31
STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN LAHAN GAMBUT
Sumaryanto, Mamat H.S., dan Irawan Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16111
Abstrak. Berbagai pendapat bahwa konversi lahan gambut menjadi kawasan budidaya berkontribusi nyata pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Walaupun lahan gambut yang dibudidayakan untuk pertanian, kenyataan di lapangan me nunjukkan lahan gambut terlantar dan sudah tidak ditumbuhi tanaman tegakkan kayu (kehutanan). Kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa secara turun-temurun sebagian dari kawasan gambut telah difungsikan oleh komunitas setempat sebagai kawasan budiday a pertanian dan sejak dua dekade terakhir terjadi percepatan laju konversi lahan gambut terutama untuk perluasan perkebunan sawit. Terkait dengan hal diatas, Indonesia menjad i sorotan dunia karena dipersepsikan sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Kondisi demikian itu menghadapkan pemerintah dan masyarakat pada situasi yang dilemat is. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi berimp likasi men ingkatnya emisi gas rumah kaca; sebaliknya, jika secara mutlak konversi lahan gambut dilarang maka kepentingan ekonomi terp inggirkan. Sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang pendekatannya berbasis pengintegrasian aspek sosial budaya, ekonomi, dan teknologi tepat guna yang sarat muatan aspek lingkungan adalah salah satu strategi yang d ipandang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Katakunci: kawasan gambut, sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
PENDAHULUAN Sejak pemanasan global dan perubahan iklim mengemuka sebagai salah satu ancaman paling potensial terhadap masa depan ketahanan pangan, perhatian terhadap eksistensi lahan gambut juga menguat. Alasannya, setiap jengkal konversi lahan gambut menjadi kawasan hunian ataupun kawasan budidaya menyebabkan emisi gas rumah kaca yang men ingkat jika dibandingkan dengan konversi lahan non gambut. Terkait dengan hal itu perkembangan sawit di Indonesia (dan Malaysia) dinilai sebagai penyebab utama kerusakan hutan gambut (UNEP and UNESCO 2007) penghancur seringkali men jadi bulan-bulanan di dunia internasional karena terstigmatisasi sebagai salah satu penghancur kelestarian gambut. Persepsi tersebut tidaklah tanpa dasar, namun jelas kurang tepat dan tidak adil jika yang dilihat hanya dampak konversi lahan gambut terhadap emisi gas rumah kaca. Alasannya: (1) kondisi obyektif menunjukkan bahwa tingginya laju konversi lahan gambut untuk perluasan perkebunan sawit adalah imp likasi dari ting ginya laju pertumbuhan permintaan CPO d i pasar global yang tentu saja merupakan faktor eksternal 379
Sumaryanto et. al.
bagi Indonesia, (2) lahan gambut yang dibudidayakan untuk pertanian, kenyataan di lapangan menunjukkan lahan gambut terlantar dan sudah tidak ditumbuhi tanaman tegakkan kayu (kehutanan), (3) secara normatif Indonesia berhak untuk mengurangi angka kemiskinan, meningkat kan kesempatan kerja, meningkat kan nilai tambah, dan men ingkatkan devisa, (4) pengembangan sawit di lahan gambut memiliki kelayakan teknis-finansial yang tinggi. Dengan kata lain latar belakang pendayagunaan lahan gambut men jadi kawasan pertanian perlu dilihat dengan seksama; dan adanya teknologi pertanian yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca serta berkontribusi dalam sekuestrasi karbon haruslah diperhitungkan. Dengan luas lahan gambut sekitar 14,9 juta hektar, Indonesia adalah negara yang berperan penting dalam percaturan dunia di bidang mit igasi perubahan iklim. Indonesia akan diposisikan sebagai kontributor utama dalam penyerapan karbon jika lahan gambutnya dapat dipertahankan sesuai kondisi alaminya. Di sisi lain, Indonesia potensial sebagai kelo mpok lima besar penyumbang emisi gas rumah kaca jika pengelolaan lahan gambut mengabaikan prinsip-prinsip berkelanjutan. Pengelolaan kawasan lahan gambut membutuhkan strategi yang secara ko mprehensif dapat mempertemukan kepentingan sosial ekonomi dan kepentingan pelestarian sumberdaya alam secara seimbang dan adil. Strategi tersebut tidak dapat dilakukan dengan pendekatan top down semata karena sistem pengelolaan yang produktif dan berkelanjutan mensyaratkan terakomodasikannya sumber-sumber keragaman yang seringkali bersifat spesifik lo kal yang dimensinya tidak hanya mencakup dimensi teknis dan finansial tetapi juga dimensi sosial budaya komunitas setempat. Sebaliknya, pendekatan bottom up saja juga tidak akan mampu menjawab tantangan jaman karena dinamika lingkungan strategis mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi wilayah. Interaksi antara komunitas setempat dengan dunia luar yang semakin intensif cenderung mendegradasi sendi-sendi kelembagaan lokal yang konvergen dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Proses degradasi kelembagaan tersebut seringkali sulit dih indari karena dalam konteks finansial – ekonomi cenderung inferior karena seiring dengan men ipisnya sekat-sekat isolasi maka perubahan sosial semakin mengarah pada sistem ekonomi pasar yang dalam tahap awal perkembangannya cenderung mengedepankan kepentingan jangka pendek.
RUANG LINGKUP Ruang lingkup tulisan ini difokuskan pada kawasan lahan gambut yang telah berubah fungsi menjadi kawasan budidaya dan lahan gambut terlantar yang peraturan dan undangundang potensial dijadikan kawasan budidaya. Data dan informasi dipero leh dari studi pustaka dan hasil survey sosial ekono mi dalam Proyek Penelitian Kerjasama Badan Litbang Pertanian – ICCTF tahun 2010/ 2011. 380
Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut
Sebagai suatu tinjauan, makalah ini d iharapkan dapat men ingkatkan pemahaman mengenai arti penting dari sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Diharapkan tulisan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi peningkatan perekonomian masyarakat yang bermukim di kawasan lahan gambut dan sekitarnya yang berbasis pada sistem pengelolaan berkelanjutan.
PROFIL PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT Total luas lahan gambut dunia pada saat ini adalah sekitar 400 juta hektar (sekitar 3% dari luas daratan bumi). Dari luas itu, sekitar 350 juta hektar di antaranya berada di kawasan utara hemisphere (Amerika Utara, Rusia, dan Eropa). Gambut tropis terutama ada di Asia Timur, Asia Tenggara, Kepulauan Karibia dan A merika Tengah, A merika Selatan, da n kawasan selatan Afrika. Diperkirakan luasnya sekitar tinggal 30 – 45 juta hektar atau sekitar 10 – 12 persen dari total luas lahan gambut dunia (Strack, 2008). Saat ini sekitar 14 – 20 persen dari total lahan gambut dunia telah dieksploitasi, dan sebagian besar adalah untuk pertanian. Ini terjadi di negara-negara maju maupun negara berkembang. Perbedaannya, periode eksploitasi lahan gambut yang dilakukan negara-negara maju terjadi ketika perubahan iklim belu m mengemu ka; sedangkan di negara-negara berkembang terjadi ketika isu tentang perubahan iklim dan pentingnya mitigasi sangat mengemuka. Laju pertumbuhan cepat perluasan lahan pertanian di negara-negara berkembang terjadi dalam setengah abad terakhir. Khususnya untuk perluasan lahan pertanian yang merambah pula ke kawasan gambut, terjadi dalam tiga dekade terakhir dan dalam sepuluh tahun terakhir ini lajunya masih tinggi. Kondisi ini sangat dilematis bagi negara -negara berkembang. Di satu sisi, dalam rangka pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan maka negara-negara berkembang membutuhkan perluasan lahan pertanian. Dalam konteks seperti itu sulit untuk sama sekali t idak menyentuh lahan gambut. Di sisi lain, tuntutan global maupun atas kepentingan nasional jangka panjang; negara -negara berkembang (termasuk Indonesia) wajib ikut serta dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Dari total luas lahan gambut yang terletak di kawasan Asia Tenggara yang luas totalnya diperkirakan sekitar 26.216 juta hektar, sekitar 20,2 juta hektar diantaranya terletak di Indonesia. Dari 20,2 juta hektar tersebut yang telah berubah dari kondisi alamiahnya (hutan) diperkirakan sekitar 7,6 juta hektar atau sekitar 38 persen (IFCA, 2007), yaitu menjad i kawasan budidaya (terutama perkebunan sawit) dan semak belukar. Berbeda dengan lahan yang berubah menjadi kawasan budidaya, status penguasaan lahan gambut yang berubah menjadi semak belu kar tersebut tidak jelas. Sebagian diantaranya berupa persil-persil lahan yang dikuasai komun itas setempat, sebagian lainnya merupakan lahan terlantar. 381
Sumaryanto et. al.
Proporsi terbesar dari lahan gambut yang telah berubah fungsi tersebut berada di Sumatera (3,5 juta hektar) dan Kalimantan (1,7 juta hektar), dan sisanya di Papua. Di Sumatera dari 7,23 juta hektar yang telah d ipetakan (93 persen dari perkiraan luas lahan gambut di wilayah tersebut) sekitar 1,03 juta hektar d iantaranya terkonversi menjad i lahan perkebunan sawit. Di Kalimantan, dari 5,77 juta hektar yang telah dipetakan (sekitar 71 persen dari total luas lahan gambut di wilayah tersebut), sekitar 258,3 ribu hektar dikonversi menjad i perkebunan sawit (Miettinen. 2012). Selain dikonversi men jadi lahan perkebunan sawit, bentuk-bentuk konversi lainnya yang cukup luas adalah menjad i lahan tanaman industri (akasia), kebun karet, nanas, dan tanaman pangan/hortikultura. Berbeda dengan sawit yang sebagian besar pengusahaannya dilakukan oleh perusahaan, sebagian besar usahatani tanaman pangan dan kebun karet berupa usaha pertanian rakyat. Do minasi sawit dalam konversi lahan gambut menjadi kawasan budidaya tersebut disebabkan keuntungan finansial yang diperoleh dari usahatani sawit superior jika dibandingkan ko moditas pertanian lainnya. Bah kan sebagian dari lahan pertanian pangan (termasuk sawah) di sejumlah lokasi di Su matera Utara, Su matera Barat, Jamb i, Su matera Selatan, dan Riau dikonversi pula men jadi kebun-kebun sawit. Dalam lingkup makro, perkembangan industri sawit berkontribusi sangat besar pada perekonomian nasional. Ini terbukti dari penciptaan nilai tambah, penciptaan kesempatan kerja, dan penerimaan devisa. Sebagai ilustrasi, dalam lima tahun terakhir, sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sub sektor pertanian yang memiliki neraca perdagangan positif (Tabel Lamp iran 1). Bagi wilayah yang bersangkutan, pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut serta berkontribusi dalam pengurangan angka kemiskinan. Oleh karena itu dalam batas -batas tertentu agribisnis kelapa sawit dapat dipandang s ebagai primer mover pertumbuhan sektor pertanian khususnya, dan perekonomian wilayah pada umu mnya. Agribisnis kelapa sawit (dan karet) memiliki daya dorong pertumbuhan output, nilai tambah, dan pendapatan yang sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, pada dalam p eriode 1995 - 2005 efek pengganda (multiplier effect) total untuk komoditas sawit dalam pembentukan output, nilai tambah, dan pendapatan telah meningkat masing -masing 13, 7, dan 19 persen; sedangkan untuk ko moditas karet dengan urutan yang sama meningkat 0.4, 8, dan 1 persen (Tabel Lamp iran 2).
382
Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut
URGENSI SISTEM PENGELOLAAN BERBASIS KEBERLANJUTAN Melihat peranannya dalam perekonomian kawasan dan nasional yang sangat strategis maka seju mlah ekses negatif yang muncul seiring dengan perkembangan agribisnis kedu a ko moditas tersebut perlu ditangani secara bijaksana. Pertama, ekses negatif yang terkait dengan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit. Kedua, ekses negatif yang terkait dengan konflik-konflik penguasaan lahan antara perkebunan besar dengan komunitas setempat. Ketiga, ekses negatif yang terkait dengan menurunnya kapasitas produksi pangan akibat konversi lahan pangan men jadi lahan sawit dan atau karet. Nilai ekono mi pelestarian sumberdaya lahan gamb ut sangat tinggi dan dalam jangka panjang bukan tidak mungkin lebih tinggi dari nilai ekono mi eksploitasinya. Namun jawaban atas persoalan jangka panjang tidak mungkin dapat dicapai jika persoalan jangka pendek dan menengah juga tidak diatasi. Terkait deng an itu maka Indonesia terus berupaya mencari berbagai terobosan dan dalam rangka penyempurnaan model pengelolaan lahan gambut berkelan jutan. Sebagai bagian dari strategi pengelolaan lahan berkelan jutan tersebut adalah pemberlakuan moratoriu m gambut. Dalam tataran prakt is, esensi dari sistem pengelolaan lahan gambut berkelan jutan dapat dipandang sebagai rekonsiliasi atas sasaran jangka pendek (sarat muatan ekonomi) dengan sasaran jangka menengah – panjang (sarat muatan lingkungan). Konkritnya adalah mengupay akan agar pendayagunaan lahan gambut harus berbasis pada prinsip -prinsip pembangunan pertanian berkelan jutan dimana emisi GRK diminimalkan dan sebisa mungkin ikut berkontribusi dalam sekuestrasi karbon, namun pada saat yang sama kepentingan finansial, ekon omi, kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan juga tercapai sasarannya. Adalah fakta bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan pertanian nasional yang sampai saat in i belu m terpecahkan adalah aspek pertanahan. Di beberapa wilayah, terutama d i luar Pu lau Jawa masih banyak sekali diju mpai dualisme kelembagaan penguasaan tanah. Sangat banyak dijumpai kasus -kasus incompatibility antara hukum pertanahana nasional (formal) dengan hukum adat yang dianut masyarakat setempat. Batas yurisdiksi, aturan representasi, dan masalah kepemilikan dalam organisasi sosial di bidang penguasaan tanah yang dianut komunitas lokal di wilayah yang bersangkutan tidak mudah diintegrasikan dalam aturan formal yang mengacu pada Undang-Undang Pertanahan Nasional. Kondisi tersebut merupakan salah satu sumber timbulnya konflik-konflik sosial dalam pendayagunaan sumberdaya lahan. Dalam seju mlah kasus, solusi atas konflik-konflik tersebut belum dapat diformu lasikan dalam suatu mekan isme huku m yang berlaku umu m karen a paradig ma yang dianut dalam masyarakat adat sangat beragam dan kadang-kadang diametral dengan sudut pandang yang dianut dalam huku m formal. 383
Sumaryanto et. al.
Dalam sistem pengelolaan gambut berkelan jutan, konflik yang telah terjadi maupun sumber-su mber konflik tersebut harus diposisikan sebagai bagian integral dari strategi kebijakan. Justifikasinya adalah sebagai berikut. Pertama, sistem pengelolaan berkelan jutan berpijak pada paradig ma peningkatan produktivitas berbasis prinsip kelestarian. Dalam konteks demikian itu, konflik penguasaan tanah kontraproduktif untuk introduksi teknologi dan kelembagaan sistem pengelolaan berkelanjutan. Kedua, konflik penguasaan tanah menyebabkan keuntungan ekonomi dari pengembangan agribisnis (misalnya sawit) menjad i leb ih rendah bahkan mungkin merugi. Akibatnya, akumulasi manfaat yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendukung aksi-aksi mit igasi men ipis bahkan mungkin menjad i nol. Ketiga, ekses konflik yang tidak tertangani dengan baik adalah munculnya penjarahan atas aset-aset produktif termasuk sumberdaya alam (lahan gambut) yang belum d imanfaatkan. Pencegahan atau setidaknya minimalisasi konversi lahan -lahan pangan menjadi lahan perkebunan sawit (dan karet ) sangat dirasakan urgensinya. Tidak semua ru mah tangga di kawasan yang bersangkutan merupakan petani perkebunan, sementara itu semua orang tentu butuh pangan. Secara teoritis, meningkatnya ketergantungan pangan dari daerah lain tidak men jadi masalah sepanjang daya beli masyarakat di wilayah tersebut tinggi. Namun dalam tataran prakt is tidaklah sesederhana itu persoalannya. Adalah fakta bahwa seiring dengan konversi lahan sawah di sejumlah sentra produksi beras maka peningkatan kapasitas produksi pangan menjadi sangat lambat. A kibatnya, kemampuan daerah-daerah yang secara tradisional merupakan sumber pasokan pangan juga menurun. Pada gilirannya, kondisi demikian itu menyebabkan tingkat ketahanan pangan nasional menurun dan tentu saja menyentuh pula wilayah -wilayah perkebunan yang dimaksud di atas.
STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN GAMBUT BERKELANJUTAN Strategi umu m pengembangan sistem pengelolaan gambut berkelanjutan adalah mensinergiskan upaya-upaya minimalisasi konversi lahan gambut alami dan peningkatan produktivitas usahatani pada lahan-lahan gambut yang telah tergarap berbasis teknologi ramah lingkungan dan pengurangan emisi karbon. Pembangunan pemanfaatan lahan gambut ke depan perlu diarahkan untuk mencapai keberlanjutan (sustainability) dan sekaligus memin imalkan dampak negatif lingkungan, termasuk di antaranya penurunan emisi GRK. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergeseran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai kita rasakan. Pengurangan emisi GRK dapat ditempuh melalui berbagai pendekatan, termasuk di antaranya melalui pengu rangan deforestrasi dan Degradasi Hutan (Reduction Emission from Deforestration and Forest 384
Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut
Degradation, REDD+ ) dan dari berbagai sektor, menjad i sebuah pilihan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon karena berpotensi mengurangi emisi karbon dan meningkat kan pendapatan nasional Indonesia di masa depan. Dalam pengurangan emisi GRK terutama karbon dioksida, Indonesia melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian yang dilakukan dengan prinsip “pro-growth, pro job, pro-poor, and pro-environment” kesempatan ini mempunyai urgensi untuk penurunan tingkat kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mentargetkan perkembangan ekonomi sebesar 7% per tahun. Selain sebagai sumber emisi dan sebagai sektor yang rentan terhadap perubahan iklim, sektor pertanian juga (khususnya lahan gambut) dapat berperan dalam memit igasi perubahan iklim. Ju mlah emisi dari sektor pertanian dapat dikurangi melalui berbagai usaha mitigasi. Proses pertumbuhan tanaman, terutama tanaman tahunan (tanaman pohon pohonan) menyerap CO2 dari atmosfir melalui proses fotosintesis dan menjadikannya sebagai bagian dari jaringan tanaman penyimpan senyawa karbon organik. Melalui rehabilitasi lahan padang alang-alang dan semak belukar dengan penanaman tanaman tahunan seperti tanaman karet, kelapa sawit dan kakao, sektor pertanian dapat merupakan penambat karbon (karbon sink).
KESIMPULAN Dalam menurunkan emisi GRK terutama karbon dioksida, diharapkan Indonesia melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian yang dilakukan dengan prinsip “pro-growth, pro job, pro-poor, and pro-environment” kesempatan ini mempunyai urgensi untuk penurunan tingkat kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi. Sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan pendekatan mengintegrasikan aspek sosial budaya, ekonomi, dan teknologi tepat guna yang sarat muatan aspek lingkungan adalah salah satu strategi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah emisi GRK. Selain sebagai sumber emisi dan sebagai sektor yang rentan terhadap perubahan iklim, sektor pertanian juga (khususnya lahan gambut) dapat berperan dalam memit igasi perubahan iklim, terutama dengan mengusahakan tanaman tahunan.
385
Sumaryanto et. al.
DAFTAR PUSTAKA IFCA. 2007. Peatland Use in Indonesia. Dalam Anggraeni, L (2011). Analisis Ekonomi Mitigasi Penurunan Emisi di Lahan Gambut. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Miettinen, J., A. Hooijer, D. To llenaar, S. Page, C. Malins, R. Vern immen, C. Shi, and S. C. Liew. 2012. Historical Analysis and Projection of Oil Palm Plantation Expansion on Peatland in Southeast Asia. White Paper Number 17. The International Council on Clean Transportation. www.theicct.org Strack, M. 2008. Peatlands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Fin land. 227 p. UNEP and UNESCO 2007. The last stand of the orangutan, 2007. State of emergency: illegal logging, fire and palm oil in Indonesia’s National Parks.
386
Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut
Tabel Lamp iran 1. Perkembangan neraca perdagangan pertanian 2006 – 2010
Tabel Lamp iran 2. Nilai pengganda total sektor sawit dan karet dalam struktur ekonomi Indonesia, 1995 dan 2005
387
Sumaryanto et. al.
388