STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH ** Oleh : Nurhayati Djamas Latar Belakang 1. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia serta bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam Undang-undang ditegaskan bahwa pendidikan agama merupakan muatan wajib dalam semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ketentuan ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. 2. Dewasa ini pendidikan agama menjadi sorotan tajam masyarakat. Berbagai gejolak sosial dan problem-problem budaya yang muncul sangat gencar akhir-akhir ini mendorong berbagai pihak mempertanyakan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Memang tidak adil menimpakan tanggung jawab munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian siswa. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa selain keberhasilan dalam memberikan kontribusinya dalam meningkatkan ketaatan menjalankan agamanya, dalam pelaksanaan pendidikan agama masih terdapat kelemahankelemahan yang mendorong dilakukannva penyempurnaan terus menerus. 3. Selain kelemahan internal pada aspek-aspek instrumental, seperti SDM, kurikulum, metodologi, sistem evaluasi, supervise, sarana-prasarana, manajemen pendidikan, dan lain-lain; penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah juga didorong oleh tuntutan dilakukannya upaya pembaharuan ke arah masyarakat yang lebih terbuka, demokratis, transparan, produktif serta inovatif. 4. Permasalahan lain yang juga ikut menjadi pertimbangan pentingnya reaktualisasi pendidikan agama Islam di sekolah amino adalah posisi Pendidikan Agama yang masih terasa berada pada posisi marjinal, belum dapat masuk menjadi bagian primer atau strategis dalam mainstraim sistem pendidikan nasional. Gejala ini memang sulit dinyatakan secara kongkrit, tetapi dapat dirasakan melalui berbagai fenomena, seperti: a. Jumlah jam pelajaran yang hanya 2 jam. Berdasarkan pengalaman, usaha untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah terkendala dengan keterbatasan waktu yang teralokasikan 2 jam pelajaran per minggu, padahal muatan utama pendidikan agama
1
adalah proses internalisasi nilai yang memerlukan kerapatan perulangan dan kesinambungan, yaitu: (1) Penanaman keyakinan/ keimanan; (2) Pembentukan akhlaq/budi pekerti; dan (3) Pengembangan keterampilan beribadah, termasuk membaca Al Qur'an. b. Rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran agama. Pada umumnya siswa lebih termotivasi dalam mata pelajaran yang langsung berkenaan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak adanya Ujian Akhir Nasional pada mata pelajaran Pendidikan Agama juga menjadi salah satu alasan kurangnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama. c. Rendahnya perhatian orang tua terhadap pentingnya pendidikan agama di sekolah. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya, orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah, pertama kali tentu atas pertimbangan kepentingan pengembangan kecerdasan, bukan pembentukan jiwa keagamaan dan watak kepribadian; d. Kurangnya perhatian pihak sekolah. Pada umumnya, perhatian pihak sekolah umum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama sangat rendah. Di samping beberapa sekolah yang sangat menonjol kegiatan pendidikan agamanya, selebihnya adalah sekolah yang kurang begitu antusias untuk mengembangkan kegiatan keagamaan di sekolah. Padahal, dengan waktu yang hanya 2 jam pelajaran per minggu, upaya internalisasi nilai-nilai agama jelas memerlukan kolaborasi dari semua pihak -vang ada di sekolah, terutarna kepala sekolah dan guru mata pelajaran lain.
VISI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Berbagai pertimbangan di atas telah mendorong dilakukannya penajaman visi, misi, dan strategi pendidikan agama Islam, yaitu tentang impian dan citacita apa yang hendak diwujudkan dari penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah, Perumusan dan pemantapan visi dan misi, serta strategi ini diharapkan dapat menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi seluruh unsur yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah dalam upaya dan perjuangannya mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan agama menjadi unsur terpenting dalampembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Posisi ini menempatkan pendidikan agama lebih banyak berimplikasi dengan tujuan yang bersifat penanaman nilai-nilai sikap dan perilaku, dari pada transformasi ilmu pengetahuan agama. Tujuan pendidikan agama Islam pada sekolah seharusnya lebih menekankan domain afektif dan psikomotor, dibanding pencapaian kemampuan kognitif. Untuk itu, visi pendidikan agama Islam di sekolah dirumuskan sebagai berikut; "Terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter, watak dan kepribadian dengan landasan iman dan ketakwaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan prilaku sehari-hari, untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
2
MISI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Berdasarkan visi di atas serta mengingat kendala serta permasalahan yang dihadapi, ditetapkan empat misi pokok dalam penyelenggraan pendidikan agama di sekolah, yaitu : 1. Melaksanakan pendidikan agama sebagai bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah. 2. Menyelenggarakan pendidika agama di sekolah engan mengintegrasikan aspek pengajaran, pengamalan, dan pengalaman, bahwa kegiatan belajar mengajar di depan kelas, dan diikuti dengan pembiasaan pengamalan ibadah bersama di sekolah, kunjungan dart memperhatikan lingkungan sekitar, serta penerapan nilai dan norma akhlak dalam perilaku sehari-hari. 3. Melakukan upaya bersama antara guru agama dengan kepala sekolah serta seluruh unsur pendukung pendidikan di sekolah untuk mewujudkan budaya sekolah (school culture) yang dijiwai oleh suasana dan disiplin keagamaan yang tinggi yang tercermin dari aktualisasi nilai dan norma keagamaan dalam keseluruhan interaksi antar unsur pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. 4. Melakukan penguatan posisi dan peran guru agama di sekolah secara terus menerus, baik sebagai pendidik, maupun sebagai pembimbing, dan penasehat, komunikator serta penggerak bagi terciptanya suasana dan disiplin keagarnaan di sekolah. STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Faktor-faktor yang menjadi pilar utama penentu keberhasilan pelaksanaan pendidikan agama tersebut diatas yaitu guru pendidikan agama, kepala sekolah, kurikulum; proses belajar mengajar dan pendekatan pendidikan agama di sekolah; sarana, prasarana dan instrumen pendukung penyelenggaraan pendidikan agama; serta instrumen pendukung pendidikan lainnya. Karena itu, strategi bagi pencapaian visi dan pelaksanaan misi pendidikan agama meliputi: 1. Pemerataan penyelenggaraan pendidikan agama sejalan dengan tuntutan UndangUndang nomor, 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan Agama Islam wajib diberikan pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. 2. Pengembangan dan pemberdayaan SDM guru pendidikan agama yang diarahkan kepada penguatan posisi dan peran mereka dalam sistim pendidikan di sekolah. Guru pendidikan agama harus mencerminkan sosok sebagai pendidik, pembimbing dan penasehat bagi anak didik, serta sekaligus sebagai komunikator dan penggerak bagi terciptanya suasana keagamaan di sekolah, sehingga dapat mendukung terselenggaranya proses pendidikan agama di sekolah secara optimal bagi pencapaian visi pendidikan agama.Untuk itu Guru Pendidikan Agama Islam sekurangkurangnya harus memiliki kualifikasi clan kompetensi dasar, yaitu memiliki self image/self confidence (citra diri sebagai pendidik dan
3
kepercayaan diri yang tinggi); komitmen yang tinggi terhadap profesi dalam mencapai visi Pendidikan Agama Islam; penguasaan pengetahuan teknis terkait dengan profesi sebagai pendidik; serta memiliki kemampuan untuk mengimpelementasikannya dalam proses pendidikan di sekolah. 3. Pemantapan kurikulum pendidikan agama dengan mengedepankan esensi dari aspek-aspek keagamaan yang elementer bagi terwujudnya sosok anak didik yang berwatak, berkarakter dan berkepribadian utuh dengan landasan iman, ketakwaan dan nilai-nilai moral yang kokoh. Untuk itu, perlu dirumuskan indikator keluaran (out put) atau capaian dari pelaksanaan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan dengan merumuskan standard kemampuan dasar pada anak didik dalam setiap tahapan proses pendidikan yang dilaluinya. Sosok anak didik yang berwatak dan berkepribadian utuh, yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dalam keselurt/han sikap dan perilakunya, hendaknya tergambar dalam rumusan kemampuan dasar pada setiap tahapan pelaksanaan kurikulum tersebut. Karena itu, rumusan kemampuan dasar tersebut tidak lagi semata-mata terbatas pada penguasaan pengetahuan agama (yang bersifat verbal), tetapi meliputi dan lebih mengutamakan pada perwujudan sikap dan perilaku anak didik. 4. Dalam pada itu, pelaksanaan kurikulum perlu didukung oleh metodologi dan pendekatan pendidikan agama yang tidak saja terbatas pada aspek kognitip dalam bentuk transfer of knowledge semata, tetapi lebih menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku anak didik. Untuk itu, proses belajar mengajar di kelas perlu diikuti oleh upaya optimalisasi pemanfaatan jam pelajaran agama di sekolah dengan menyediakan waktu pada jam pelajaran untuk diisi dengan pengamalan ibadah berupa shalat berjamaah di sekolah yang diikuti dialog antara guru dan murid membahas pendidikan moral dari ilustrasi pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Al Qur'an dan ajaran Rasul. Selain itu, perlu diupayakan berbagai instrumen dan institusi pendukung bagi proses pendidikan agama di sekolah, seperti pembentukan kelompok belajar Al Qur'an sebagai salah satu jenis kegiatan ekstra kurikuler; pesantren kilat pada bulan Ramadhan, penyertaan kelompok Rohani Islam OSIS dalam upaya menciptakan suasana keagamaan di sekolah; pembentukan pengurus kegiatan keagamaan mushalla sekolah dan lainnya. 5. Untuk mendukung proses belajar mengajar dengan pendekatan pendidikan agama, yang mengintegrasikan antara unsur pengajaran, pengamalan dan pengalaman seperti dikemukakan di atas, perlu dikembangkan sarana dan prasarana pendidikan agama yang memadai di sekolah. Perlu ada upaya dan langkah konkrit antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional untuk menyediakan ruang ibadah di sekolah, yang berfungsi tidak saja untuk melaksanakan praktek ibadah seperti shalat berjamaah di sekolah, namun dapat pula dilengkapi dengan kepustakaan berupa bukubuku agama Islam sebagai referensi tambahan bagi materi pendidikan agama yang dapat dimanfaatkan baik oleh anak didik maupun guru. Ruang ibadah juga dapat bermanfaat bagi kegiatan ekstra kurikuler kelompok belajar Al
4
Qur'an atau kegiatan keagamaan lainnya. Buku-buku wajib yang berisikan materi standar bagi pendidikan agama secara nasional tetap perlu diupayakan pengadaannya bagi pemenuhan kebutuhan anak didik, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Namun, sekolah dan guru agama perlu diberi peluang untuk menggunakan buku referensi di luar buku wajib tersebut bagi pengayaan materi pendidikan agama. 6. Pelaksanaan pendidikan agama oleh guru agama bersama dengan komponen pendidikan lainnya perlu didukung oleh manajemen pendidikan (agama). Penerapan manajemen pendidikan tersebut diperlukan agar seluruh kegiatan pendidikan agama dapat diselenggarakan melalui perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi secara terintegrasi dengan keseluruhan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah. Untuk itu, perlu pula dikembangkan dan difungsikan secara optimal wadah jaringan kerja antar guru seperti KKG, MGMP, dan bahkan kelompok kerja guru di sekolah. Wadah terakhir ini diperlukan untuk tugas khusus mewujudkan ketertiban dalam hubungan antar sesama anak didik, antara guru dan anak didik, serta untuk menerapkan disiplin di sekolah. Wadah kerjasama dan jaringan kerja antar guru dapat difungsikan untuk berbagi pengalaman dalam pelaksanaan pendidikan agama serta mencari solusi bersama dari kendala clan hambatan dalam menjalankan misi pendidikan agama. Upaya ke arah optimalisasi fungsi dari berbagai instrumen pendukung pendidikan agama tersebut antara lain dapat dilakukan oleh pemerintah melalui insentip yang diberikan secara kompetitip ditinjau dari kinerja yang ditunjukkannya. 7. Selanjutnya, sebagai bagian dari pelaksanaan manajemen pendidikan di sekola kegiatan pengawasan pendidikan agama perlu dioptimalkan f'ungsima. Untuk itu, diperlukan upaya clan langkah penguatan posisi dan fungsi pengawas pendidikan agama. Pengawas pendidikan agama merupakan kepanjangan tangan sekali gus sebagai mediator antara unsur pemerintah, yang berwenang dalam kebijakan pendidikan agama dengan guru agama clan kepala sekolah, yang bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. 8. Mengupayakan langkah-langkah peningkatan koordinasi, integrasi clan sinkronisasi pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dengan pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan pemanfaatan semua potensi yang relevan bagi pengembangan keterpaduan pelaksanaan pendidikan agama.
** Disampaikan pada Rapat Kordinasi oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Kamis, 19 Oktober 2000.
5