1
APLIKASI JUSTICE TEORY DALAM SISTEM PERPAJAKAN : STUDY KASUS PADA STAFF EDUKATIF & ADMINISTRATIF FAKULTAS EKONOMI UNAIR
Dewi Prastiwi (Unesa) Dian Agustia (Unair)
Abstract The purpose of the recent research was firstly to investigate an effect of the individualism, power distance on distributive justice. Second, the research was conducted to study an effect of the distributive justice on the tax consciousness. Finally, objective was investigating an effect of individualism, power distance on tax consciousness through distributive justice. The results showed that the individualism, power distance did not influence the distributive justice. The individualism and power distance did not produce an effect on the tax consciousness. In addition, the individualism and power distance generated an indirect effect on the tax consciousness through the distributive justices. This suggested that the individualism and power distance could influence the tax consciousness when they were subject to an adequate stimulus of the well-defined taxation system satisfying the distributive. The findings of the research may be useful as the information and inputs for the government and taxation policy makers maintaining that the fair and equitable taxation system exerts a considerable influence on the tax consciousness. However, the tax consciousness is also influenced by internal state of each individual. Key words: individualism, power distance, earnings, distributive justice, procedural justice, tax consciousness
1
2
LATAR BELAKANG
Data Jumlah penduduk Indonesia dan jumlah wajib pajak terdaftar selama tiga tahun terakhir adalah sebagai berikut: Jumlah Penduduk
Jumlah wajib pajak terdaftar
2007 : 222 juta
7.100.000
2008 : 225 juta
10.680.000
2009 : 231
10.682.000
Dari jumlah tersebut berarti hanya sekitar 4,62 % yang patuh untuk membayar pajak. Rendahnya jumlah wajib pajak terdaftar menunjukkan tingginya
tax gap di Indonesia. Disamping tax gap indikator tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat juga terlihat dari tax ratio, dimana tax ratio Indonesia masih terendah di Kawasan ASEAN yaitu sebesar 12%-13% untuk tahun 2008 (Berita Pajak, 2008:7).
Tax gap dan tax ratio Indonesia menunjukkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih rendah. Sebenarnya bisa diyakini bahwa setiap anggota masyarakat berkewajiban untuk membayar pajak, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka tidak sadar untuk membayar pajak. Faktor tersebut berupa faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa motivasi
internal untuk membayar pajak/ tax morale (Torgler, 2003). Sedangkan faktor eksternal berupa kondisi perpajakan di Indonesia. Pemenuhan pajak tidak timbul dengan sendirinya, namun sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus
eksternal maupun stimulus internal (Walgito, 2003: 13). Seorang wajib pajak akan membayar pajak apabila didorong oleh motif tertentu, sikap, serta sifat-sifat dari wajib pajak tersebut. Banyak motif yang mendorong seseorang untuk
2
3
membayar pajak. Ahli psikologi sosial Kelman berpendapat bahwa motif seseorang membayar pajak dapat bermacam-macam diantaranya : pertama pertama, orang membayar pajak karena takut dihukum bila menyembunyikan pajak atau tidak membayar pajak, perilaku yang demikian disebut “compliance”. Bentuk kepatuhan seseorang seperti ini bukan karena kesadaran atau kesukarelaan melainkan karena rasa ketakutan atau terpaksa (Rosdiana, 2005:60). Motif kedua disebut “identification” yaitu seseorang membayar pajak didorong rasa senang dan rasa hormat kepada petugas pemerintah, khususnya petugas pajak (Kesuma,2004:28). Motif ketiga disebut internalization, pada tingkat ini orang membayar pajak didorong oleh kesadaran bahwa pajak berguna untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat luas (Ancok,1988:69-71). Dalam teori keadilan Adams disebutkan bahwa orang-orang dimotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan secara adil (Suprihanto,dkk, 2003: 51). Perilaku seseorang selalu didorong untuk mencapai keadilan. Sesuatu dikatakan adil, jika input per outcomes seseorang sama dengan input per outcomes orang lain. Keadilan merupakan jalan tengah dari segala tuntutan rasio yang individualistis agar interaksi dan transaksi dapat tetap dilanggengkan. Keadilan mempunyai tiga dimensi yakni (1) keadilan distributif (distributive justice) yang bekenaan dengan decision outcomes, (2) keadilan prosedural (procedural justice) yang berkaitan dengan prosedur pengambilan keputusan dan (3) keadilan interaksional (interactional justice) yang berkenaan dengan perilaku interpersonal dalam pembuatan prosedur dan penyampaian outcome (Austin,1979). Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan kesimpulan bahwa penilaian keadilan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesadaran perpajakan. Hasil penilaian keadilan akan berbeda, apabila dinilai oleh individu dengan karakter yang berbeda. Atas dasar tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan secara empiris bahwa faktor penilaian keadilan berpengaruh terhadap kesadaran perpajakan. Dan penilaian keadilan dipengaruhi oleh faktor internal berupa karakter wajib pajak.
3
4
TINJAUAN PUSTAKA Banyak
penelitian
dan
literatur
yang
membahas
mengenai
ketidakterpenuhan pajak, diantaranya menyatakan bahwa pembayar pajak sebagai pelaku berakal (rasional) yang pada dasarnya (tidak) patuh jika dibebaskan dari pembayaran (Roth, Scholz, & White, 1989). Pada dasarnya tidak ada manusia yang mau dikenakan pajak, tetapi kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pajak serta adanya bukti positif yang ditunjukkan pemerintah diantaranya berupa keamanan, pelayanan publik yang lebih baik, tersedianya barang publik, kesejahteraan rakyat akan membuat masyarakat lebih rela untuk membayar pajak (Rosdiana, 2005:62). Wenzel (2002) menekankan pada peran persepsi ketepatan dan keadilan, dan menemukan bahwa pembayar pajak akan menjadi tidak patuh dalam sistem pajak yang tidak adil, tidak tepat, dan tidak sah. Penelitian yang dilakukan oleh Thibaut dan Walker (1975) menggambarkan proses dan kontrol keputusan sebagai kreteria dari ketepatan dan kewajaran suatu prosedur. Sedangkan menurut Lind Tyler (1988) berpendapat bahwa siapapun ingin mendapatkan perlakuan yang adil sebagai anggota kelompok, karena perlakuan yang adil menunjukkan pengakuan atas keanggotaan mereka dan status mereka dalam suatu komunitas. Penelitian yang dilakukan oleh Simon (2002) menyebutkan bahwa ada pengaruh positif keadilan terhadap kepuasan anggota dan jalannnya suatu organisasi.
Persepsi/Penilaian Penilaian
tentang
tingkat
keadilan
perpajakan
dipengaruhi
oleh
kepentingan individu (self interest), dan kepentingan dipengaruhi oleh karakter individu. Individu dengan karakter individualisme tinggi, akan berorientasi pada prestasi dan termotivasi oleh pentingnya untuk memaksimalkan outcome personal (Simon, 2002). Individu dengan karakteristik individualisme tinggi akan menilai perpajakan tidak/kurang adil dibandingkan dengan individu dengan karakter
individualismenya rendah. Penilaian keadilan berbeda pada individu dengan karakter jarak kuasa. Individu dengan karakter jarak kuasa tinggi cenderung diatur
4
5
atau diperintah secara hirarkis. Individu dengan karakter jarak kuasa tinggi akan menilai pajak merupakan hal yang adil dan benar, jika hal tersebut merupakan keputusan pihak yang berwenang dibandingkan dengan individu yang mempunyai karakter jarak kuasa lebih rendah. Ada beberapa hal yang menyebabkan tingkat kesadaran perpajakan masyarakat rendah. Pertama adalah karena pajak merupakan kewajiban yang tidak dirasakan langsung manfaatnya atau dengan kata lain tidak ada kontraprestasi secara langsung. Kedua Kedua, karena tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah sangat jauh dari memuaskan. Kondisi perpajakan tidak mengatur alokasi input dan output secara wajar dan proporsional. Ketiga Ketiga, jeleknya sistem sosial masyarakat dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang sudah sangat mengakar, menjadi salah satu alasan timbulnya rasa saling kecurigaan dan tertutupnya antara pemerintah dan Wajib Pajak (Birowo,2003:23). Keempat Keempat, belum adanya perangkat Undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang mengatur secara adil hak dan kewajiban pihak wajib pajak dan negara. Suhardito (1996:5) menyatakan bahwa menurut Guritmo ada 3 faktor keberhasilan perpajakan, yaitu sistem administrasi dan hukum, kualitas aparat perpajakan dan kepatuhan masyarakat pembayar pajak. Selanjutnya Suhardito menyatakan bahwa menurut Amachi faktor keberhasilan perpajakan meliputi: faktor administrasi negara dan pajak, Undang-undang dan peraturan pelaksanaan perpajakan serta masyarakat khususnya Wajib Pajak dan keadaan lingkungan. Dari dua pendapat tersebut disimpulkan bahwa Wajib Pajak merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan sistem perpajakan suatu negara. Sedangkan faktor-faktor yang melekat pada Wajib Pajak menurut Suhardito (1996:5-6), diantaranya : faktor pendidikan, faktor kesadaran bernegara, faktor kesadaran perpajakan,
faktor
pemahaman
terhadap
Undang-undang
dan
peraturan
perpajakan, faktor persepsi tentang pelaksanaan sanksi denda, faktor tax evasion, dan menurut Prihanto (1992:36), faktor sikap rasional Wajib Pajak, faktor sikap Wajib Pajak terhadap pemerintah (Ancok,1988:63-67).
5
6
Teori Keadilan Aristoteles yang mula-mula menggagas perlunya keadilan dalam transaksi khususnya,
dan dalam pengelolaan ekonomi pada umumnya. Ia berpendapat
bahwa dalam mengelola rumah tangga dan negara diperlukan transaksi take-and
give. Tetapi, dalam proses take and give harus tetap dilakukan secara adil (Tom Campbell, 1994), proporsional, tidak menimbulkan kesenjangan dan tidak ada yang yang mengalami kerugian dan atau keuntungan supernormal. Keadilan merupakan jalan tengah dari segala tuntutan rasio yang
individualistis agar interaksi dan transaksi dapat tetap dilanggengkan. Menurut Aristoteles, bentuk keadilan yang lebih khusus yang asasi bagi komunitas sipil harus mempergunakan alokasi keuntungan-keuntungan secara berimbang untuk imbalan-imbalan bagi mereka yang adil. Hubungan antara keadilan dengan interaksi (sosial) dan transaksi dapat dilihat dari bagaimana ia mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia yang pada akhirnya membentuk sistem sosial. Setiap sistem sosial yang terdiri dari peranperan dan status yang mempunyai seperangkat harapan yang teratur dan saling berkaitan serta mencakup sekumpulan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang menyusun sebuah perintah normatif yang harus dipatuhi oleh para pemegang peran individual. Jika ada kesesuaian minimal dengan harapan-harapan peran serta terjadi kesepakatan tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak apa yang terkait pada masing-masing peran, status dan posisis, maka terjadilah interaksi dan transaksi yang pada akhirnya akan membentuk sistem sosial. Secara lebih spesifik, keadilan tidak hanya berkenaan dengan distribusi hasil (outcome) tetapi juga bagaimana distribusi tersebut didatangkan dan dengan apa ia diimplementasikan (Austin,1979). Keadilan mempunyai tiga dimensi yakni (1) keadilan distributif (distributive justice) yang bekenaan dengan decision
outcomes, (2) keadilan prosedural (procedural justice) yang berkaitan dengan prosedur pengambilan keputusan dan (3) keadilan interaksional (interactional
justice) yang berkenaan dengan perilaku interpersonal dalam pembuatan prosedur dan penyampaian outcome. Namun dalam pembahasan berikut, peneliti hanya akan memfokuskan diri pada keadilan distributivel.
6
7
Keadilan Distributif Teori keadilan distributif terpusat pada alokasi manfaat dan biaya. Teori pertukaran
sosial
memberikan
penekanan
pada
aturan
distribusi
atau
pertimbangan pertukaran (exchange considerations) dalam membangun hubungan
interpersonal. Persepsi kewajaran outcome organisasi yang diterimakan pada anggota organisasi mengarah pada keadilan distributif (Hubbell & Assad, 2005; Byrne & Cropanzano, 2001; Romans, 1961). Isu tentang keadilan distributif muncul ketika ada kondisi dimana sesuatu yang berharga dan langka, dan tidak semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dalam mengukur keadilan distributif individu mengevaluasi dan membandingkan outcome yang mereka terima dengan standar atau aturan, dan atau outcome yang diterima oleh kolega (orang lain) serta berdasarkan pengalaman masa lalu (Hubbell & Assad, 2005; Cropanzano & Greenberg, 1997; Austin, 1977; Adams, 1965).
Teori Keadilan Dalam Perpajakan. Keadilan merupakan salah satu asas yang sering kali menjadi pertimbangan penting dalam memilih policy option yang ada dalam membangun sistem perpajakan. Suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagian-bagiannya (Rosdiana,2005:121). Sejarah juga membuktikan bahwa pajak yang dipungut dengan tidak adil dapat menyebabkan timbulnya revolusi sosial, sebagaimana yang terjadi di Perancis dan Inggris. Oleh karena itu, kebutuhan akan ditegakkannya asas keadilan dalam pemungutan pajak merupakan suatu hal yang mutlak. Sejumlah studi telah dikembangkan untuk menyelidiki pengaruh keadilan terhadap pemenuhan pajak, baik keadilan distributif maupun prosedural. Menurut Wenzel (2002) keadilan distributif dalam perpajakan dinilai dengan: pertama pertama, ada ketepatan pada beban pajak seseorang, apakah beban pajak pribadi telah dibandingkan dengan beban wajib pajak lainnya, atau dibandingkan dengan wajib pajak dari kelompok lain. Misalnya, Spicer dan Becker (1980) menemukan studi
7
8
simulasi bahwa adanya perbedaan yang merugikan akan meningkatkan pengelakan pajak dan perbedaan yang menguntungkan mengurangi pengelakan pajak. Kedua Kedua, adanya ketepatan pada penetapan beban pajak relatif dalam kelompok atau strata sosial yang berbeda. Isu ini tidak mempertimbangkan perlakuan satu orang atau kelompok tertentu tapi lebih pada pendistribusian beban pajak antar kolektif secara keseluruhan; yang merupakan aspek keadilan makro. Ketiga Ketiga, adanya isu kewajaran pada pertukaran antar pemerintah dan pembayar pajak. Hal ini dapat dikonsepkan sebagai aspek keadilan mikro, saat individu atau kelompok menilai apakah keuntungan pemerintah dan layanan yang mereka dapatkan sebanding dengan pajak yang mereka bayarkan, dibandingkan dengan keuntungan yang didapat dan pajak yang dibayar oleh pihak lain. Sebagai contoh, Porcano (1988) menemukan bahwa wajib pajak yang patuh melaporkan bahwa hubungan pertukaran yang mereka terima kurang adil jika dibandingkan dengan laporan dari wajib pajak yang tidak patuh pajak.
Distributive justice terdiri dari banyak dimensi. Tiga di antara sekian banyak dimensi cukup dikenal adalah (…………): 1) Equity
Equity mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut serta sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara. Setiap orang menganalisis setiap pertukaran yang dilakukan serta menetukan sejauh mana pertukaran tersebut adil/fair. Dalam konsep equity, setiap orang menganalisis rasio input dan hasilnya dengan rasio input dengan hasil mitra pertukarannya. Jika timbul persepsi umum bahwa pajak hanya merupakan upaya-upaya law enforcement untuk mereka yang berusaha menghindarinya, sementara di sisi lain terlihat jelas bahwa golongan masyarakat yang kaya justru membayar pajak lebih sedikit dari berapa yang seharusnya mereka bayar atau bahkan justru mereka yang menikmati fasilitas-fasilitas perpajakan, sulit diharapkan terciptanya kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para wajib pajak. Kondisi ini akan menimbulkan perasaan tidak puas, karena adanya keyakinan bahwa norma sosial telah dilanggar. Menurut teori sosial
8
9
dalam pertukaran setiap pihak harus mendapatkan perlakuan yang adil dan
fair. Banyak penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa equity mempunyai pengaruh cukup nyata terhadap kepuasan wajib pajak. 2) Equality Keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal dan keadilan vertical (Rosdiana, 2005:124). Suatu pemungutan pajak dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila wajib pajak yang berada dalam “kondisi” yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals). Pengertian sama (equal) adalah besarnya “seluruh tambahan kemampuan ekonomi netto”. Asas keadilan vertikal terpenuhi apabila wajib pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. 3) Need Kebutuhan merupakan hasil yang didasarkan pada permintaan dengan tanpa memperhatikan kontribusi. Pemerintah kita kurang responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat, banyak fasilitas-fasilitas publik yang dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan segolongan masyarakat. Meskipun pembayar pajak tidak mendapatkan manfaat yang secara langsung bisa dirasakan, bukan berarti uang pajak bisa semena-mena digunakan oleh pemerintah, apalagi saat ini tuntutan akan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik (good governance) bukan lagi sekedar wacana. Karena itu, akuntabilitas dan transparansi penggunaan penerimaan pajak mutlak harus dilakukan jika pemerintah sungguh-sungguh menginginkan adanya social trust yang pada akhirnya akan membentuk voluntary tax compliance.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keadilan Perpajakan Faktor-faktor yang mempengaruhi keadilan perpajakan adalah : 1. Ketepatan pembebanan pajak yang sesuai dengan kemampuan wajib pajak (Wenzel, 2002).Setiap orang akan menganalisis beban dengan kemampuan. Apabila dirasa beban yang harus dibayar lebih besar dengan kemampuan, akan muncul perasaan diperlakukan secara tidak adil. Kondisi ini akan
9
10
lebih parah apabila telah ada proses membandingkan dengan pihak lain yang mempunyai kemampuan lebih besar, namun dikenakan beban yang relatif sama atau bahkan lebih kecil. 2. Waktu pembayaran pajak ditetapkan secara wajar. Bagi sebagian orang faktor waktu menjadi variabel yang penting. Dalam kondisi yang relatif stabil waktu tidak menjadi faktor yang penting, artinya segala macam masalah bisa diselesaikan pada saat itu juga. Namun, dalam kondisi yang relatif tidak stabil, masalah yang timbul dalam waktu yang tidak tepat bisa menimbulkan perasaan tidak senang, tidak puas. 3. Rasio pajak yang dibayar dan imbalan yag diperoleh ditetapkan secara wajar. Seperti dikatakan oleh Aristoteles dalam konsep keadilannya, bahwa manusia mempunyai sifat rakus dan pengecut. Dia senantiasa ingin memaksimalkan benefit yang diperoleh dari setiap transaksi. Jika masingmasing pihak mempunyai keinginan yang sama dan tidak ada sistem yang mengatur, maka transaksi tidak akan berlangsung lama karena ada ketidakpuasan antar pihak. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya sistem yang mengatur rasio cost dan benefit secara adil dan wajar. 4. Tingkat pelayanan aparatur dan penyediaan barang publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Wenzel, 2002). Setiap orang selalu menganalisis setiap transaksi yang dilakukan untuk menentukan apakah transaksi tersebut bersikap adil atau tidak. Teori equity menganggap bahwa setiap orang akan menganalisis rasio input output dan output mitra transaksinya. Bila terdapat rasio yang ‘tidak menguntungkan ‘dibanding dengan yang ‘diterima’ pihak lain, maka akan dirasakan adanya ketidakadilan. Perasaan tidak puas dapat muncul bila diperoleh keyakinan bahwa suatu norma sosial telah dilanggar. Sebab, teori ini beranggapan bahwa semua pihak yang terlibat dalam dalam suatu transaksi harus mendapatkan perlakuan yang adil dan fair. Kepuasan akan terjadi bila rasio hasil input setiap pihak adalah sama atau kurang lebih sama. 5. Ada reward dan punishment yang adil dan konsisten antara wajib pajak dan pemungut pajak, dan negara. Keadilan bersifat abstrak dan luas.
10
11
Keadilan tidak hanya bisa diartikan sebagai kesamaan antara rasio input
output dan input output mitra transaksinya. Namun juga bisa pada penilaian perlakuan pada pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Sesuatu pada awalnya bisa dinilai adil, namun dengan berjalannya waktu bisa dikatakan tidak adil, apabila tidak dilaksanakan secara konsisten.
Hubungan Penilaian Keadilan Perpajakan dan Kesadaran Perpajakan Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Roth, Scholz, & White, (1989) menghasilkan kesimpulan bahwa pembayar pajak sebagai pelaku berakal (rasional) yang pada dasarnya (tidak) patuh jika dibebaskan dari pembayaran. Tapi riset terakhir menunjukkan keterbatasan pandangan ini, pada akhirnya para peneliti menekankan pada peran persepsi ketepatan dan keadilan, dan menemukan bahwa pembayar pajak akan menjadi tidak patuh dalam sistem pajak yang tidak adil, tidak tepat, dan tidak sah (Wenzel,2002).
Tax morality atau moralitas (kesadaran-kesungguhan) membayar pajak merupakan salah satu aspek atau bagian kesadaran berwarga negara. Apabila kesadaran berwarganegara tinggi maka berarti pula moralitas perpajakan juga tinggi. Kesadaran membayar pajak sebaliknya sangat dipengaruhi oleh efisiensi dan efektifitas kegiatan pemerintah. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pemerintah atau dalam menggunakan uang negara banyak kebocoran, korupsi dan penyelewengan lain, maka akan berakibat merosotnya tax morality masyarakat (Soetrisno,1982:106). Kepatuhan wajib pajak tidak akan secara otomatis meningkat jika pemerintah tidak mengimbanginya dengan peningkatan mutu pelayanan perpajakan, penegakan hukum yang tidak diskriminatif, transparansi penggunaan pajak dan distribusi pemungutan pajak yang adil diwujudkan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kepatuhan sukarela akan terbangun jika fungsi-fungsi pemerintah benar-benar dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan prinsip good governance. Kesadaran perpajakan (tax morality) secara umum didefinisikan sebagai kondisi psikologis seseorang yang menggambarkan kemauan yang bersangkutan
11
12
untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara sadar, tanpa paksaan, dan didasarkan pada pertimbangan rasional serta pengetahuan yang bersangkutan tentang perpajakan. Pemahaman dan keyakinan diperoleh melalui pengetahuan, pengalaman yang diterima. Dari pengetahuan dan pengalaman yang diterima dinilai sampai pada tahap diyakini. Apabila pajak dinilai dan diyakini adil, sesuai dengan keinginan serta harapannya, maka individu tersebut terdorong untuk sadar membayar pajak. Dalam hal perpajakan, seseorang yang mempunyai kesadaran tinggi ditandai oleh adanya: 1. Perhatian lebih terhadap perpajakan dan hal-hal yang terkait dengannya 2. Upaya mencari tambahan informasi yang berkenaan dengan perpajakan 3. Melakukan analisis terhadap akibat dari pemenuhan atau pengingkaran pajak. 4. Merasa bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan kebutuhan. 5. Mempunyai keinginan untuk memenuhi kewajiban perpajakan 6. Mempunyai hasrat atau dorongan yang kuat untuk memenuhi kewajiban perpajakan. 7. Memenuhi kewajiban perpajakan. Berdasarkan pemaparan literatur tersebut di atas maka dapat diajukan hipotesis dan kerangka proses berpikir sebagai berikut: Kerangka Proses Berpikir : H4
INDIVIDUALISME (X1)
H1
H3 KEADILAN DISTRIBUTIF (X3)
KESADARAN PERPAJAKAN (Y)
H2
JARAK KUASA (X2)
H5
Hipotesis : H1:
Individualisme berpengaruh terhadap Keadilan Distributif
H2:
Jarak Kuasa berpengaruh terhadap Keadilan Distributif
12
13
H3:
Keadilan Distributif berpengaruh terhadap Kesadaran Perpajakan
H4:
Individualisme berpengaruh terhadap kesadaran perpajakan melalui keadilan distributif.
H5:
Jarak Kuasa berpengaruh terhadap kesadaran perpajakan melalui keadilan distributif
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini untuk menganalisis kemungkinan adanya pengaruh satu atau lebih variabel terhadap satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien hubungan atau koefisien lainnya. Variabel-variabel tersebut meliputi: variabel
individualisme, jarak kuasa, keadilan distributif, dan kesadaran perpajakan. Penelitian korelasional ini dilakukan dengan maksud untuk menguji dugaan atau hipotesis adanya hubungan penilaian keadilan perpajakan dengan kesadaran perpajakan dengan karakter individualisme, dan jarak kuasa. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif, karena menekankan pada pengujian teori atau hipotesis melalui pengukuran variabel dengan angka dan analisis dengan statistik (Indiantoro dan Supomo, 1999). Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan secara cross sectional, yaitu penelitian satu waktu tertentu dengan menggunakan banyak responden, dengan unit analisis individu. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan alat statistik inferensial dengan derajat ketelitian 5%. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah Staff (pegawai tetap) akademik dan non akademik Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Dasar pertimbangan dipilihnya populasi ini adalah bahwa populasi terpilih mempunyai karakteristik individu yang sesuai dengan variabel penelitian ini yaitu:
individualisme, dan jarak kuasa. Klasifikasi Variabel Dalam penelitian ini ada 3 variabel, yaitu variabel independent, variabel dependen, dan variabel antara (intervening). Variabel independen adalah :
13
14
individualisme, jarak kuasa, sedangkan variabel dependennya adalah kesadaran perpajakan. Sebagai variabel antara (intervening) adalah keadilan distributif .
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel-variabel penelitian ini diukur dengan menggunakan skala likert, dimana responden menyatakan tingkat setuju atau tidak setuju mengenai berbagai pernyataan mengenai perilaku, obyek, orang, atau kejadian (Kuncoro, 2003:). Definisi operasional setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Individualisme (X1)
Individualisme didefinisikan sebagai konsep diri seseorang (individu) yang mengutamakan pada otonomi personal dan peningkatan kepentingan diri sendiri.
Individualisme diukur dengan skala 8 item yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Triandis dan Gelfand (1997). Jarak Kuasa /Power Distance (X2) Jarak
kuasa
merupakan
konsep
diri
seseorang
(individu)
yang
menggambarkan sejauh mana individu menganggap posisinya lemah atau jauh dari penguasa (kekuasaan) pada suatu lembaga, organisasi, atau negara serta pandangan dan kepercayaan bahwa kekuasaan terbagi secara tidak adil atau tidak merata. Jarak kuasa diukur dengan skala 6 item yang dimodifikasi dan dikembangkan dari (Erez dan Earley,1987). Keadilan Distributif (X3) Keadilan distributif didefinisikan sebagai persepsi dan atau pandangan dan penilaian seseorang atas outcome atau hasil yang diterima seseorang dari suatu perlakuan. Keadilan distributif diukur dengan menggunakan instrument yang dikembangkan dan dimodifikasi dari instrument (Moorman,1991). Kesadaran Perpajakan (Y) Kesadaran perpajakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat motivasi positif dalam bentuk kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) untuk melakukan tindakan tertentu secara sadar, tanpa paksaan yang dalam hal ini
14
15
adalah pemenuhan kewajiban untuk membayar pajak terutang yang didasarkan pada pengetahuan atau proses berfikir. Jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data subyek tersebut berupa karakteristik individu (individualisme dan jarak kuasa), pendapat atas penilaian keadilan distributif serta tingkat kesadaran perpajakan individu yang digali langsung dari sumber primer.
PENGUJIAN STATISTIK Data telah diuji dan dinyatakan valid dan reliabel karena telah diuji validitasnya dan reliabiltasnya. Kemudian data juga dinyatakan lolos dari uji asumsi klasik baik untuk uji normalistas, heterodasitas, autokolerasi, dan multikolinearitas. Hasil analisis pengujian hipotesis tidak langsung No 1 2 3
No 1 2
VARIABEL Independen Dependen R^2 Beta Individualisme Keadilan Distributif 0.042 0.206 Jarak Kuasa Keadilan Distributif 0.013 0.113 Keadilan Distributif Kesadaran Perpajakan 0.553 0.553 Hasil analisis pengujian hipotesis langsung
Variabel Langsung Interviening Indi ---> Kesadaran Keadilan Distributif JK ---> Kesadaran Keadilan Distributif
15
Beta L 0.043 -0.045
Beta 1 0.206 0.113
t 1.929 1.043 6.080
Sig 0.057 0.300 0.000
Beta 2 Beta TL 0.553 0.114 0.553 0.062
Kesimpulan H1 Ditolak H2 Ditolak H7 Diterima
Kesimpulan H9 Diterima H10 Diterima
16
HASIL DAN KESIMPULAN
Pengaruh Individualisme Terhadap Keadilan Distributif Hasil penelitian membuktikan bahwa individualisme tidak berpengaruh terhadap keadilan distributif. Hal ini tidak konsisten dengan penelitian Simon (2002) yang menyatakan bahwa individu dengan karakter individualisme akan berorientasi pada prestasi dan termotivasi oleh pentingnya untuk memaksimalkan
outcome personal. Beberapa hal yang mungkin menyebabkan karakter individualisme dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap keadilan distributif antara lain: a. Responden dalam penelitian ini adalah staff administratif dan edukatif Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memperoleh fasilitas PPh DTP (Pajak ditanggung pemerintah). Kondisi ini menyebabkan mereka netral terhadap keadilan distributif karena tidak merasakan pemungutan pajak atas penghasilan yang mereka peroleh. b. Individualisme alam penelitian ini didefinisikan sebagai diri seseorang (individu) yang mengutamakan pada otonomi personal dan peningkatan kepentingan diri sendiri. Keadilan distributif mengacu pada kewajaran
outcome (hasil) pembayaran pajak yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan barang-barang publik dan pelayanan umum. Seseorang yang
individualismenya tinggi, lebih memperhatikan kepentingan pribadinya daripada kepentingan orang lain atau masyarakat luas. Sehingga individu dengan karakter ini mempunyai kecenderungan untuk tidak peduli terhadap distribusi hasil pajak yang bersifat umum dan makro, yang utama bagi mereka adalah memenuhi kebutuhan secara optimal. c. Negara Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang, dengan kondisi perekonomian masyarakat secara umum dibandingkan dengan kondisi perekonomian di negara lain masuk dalam golongan rata-rata ke bawah. Dengan kondisi negara dan masyarakat demikian apabila dikaitkan dengan teori kebutuhan Maslow (Suprihanto,dkk, 2002:43), responden
16
17
dalam penelitian ini masih dalam taraf didorong untuk memenuhi kebutuhan tingkat pertama yaitu kebutuhan fisiologis. Mereka belum terdorong untuk memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya, berupa kebutuhan sosial. Sehingga keinginan masyarakat Indonesia belum sampai pada taraf memikirkan kesejahteraan masyarakat lain, penyediaan fasilitas serta barang publik, keadilan pendistribusian hasil pembangunan, jalannya pemerintahan, dll.
Pengaruh Jarak Kuasa Terhadap Keadilan Distributif Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak Kuasa tidak berpengaruh terhadap keadilan distributif. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Simon (2002) yang menyebutkan individu dengan karakter jarak kuasa tinggi memandang pemimpin mempunyai otoritas penuh dan dianggap selalu benar. Sehingga, keputusan-keputusan yang diambil dinilai selalu benar. Individu dengan karakter jarak kuasa menurut Simon (2001) mempunyai ciri- ciri: cenderung diatur oleh pemerintah secara hirarkhis. Mereka mempunyai pandangan bahwa individu yang mempunyai status sosial tinggi berhak memperoleh hak istimewa dan para bawahan cenderung menghormati atasannya secara berlebihan. Individu dengan karakteristik ini melihat bahwa pemimpin dan atau pihak-pihak yang berwenang terhadap penetapan kewajiban perpajakan adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan serta keahlian yang memadai sehingga setiap hal yang ditetapkan akan dipandang sebagai sesuatu yang adil dan benar. Oleh karena itu, orang yang mempunyai ciri pribadi jarak kuasa tinggi cenderung tidak peduli terhadap segala keputusan yang telah ditetapkan, yang terpenting bagi mereka adalah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang warga negara.
Pengaruh Keadilan Distributif terhadap Kesadaran Perpajakan Hasil penelitian membuktikan bahwa keadilan distributif berpengaruh terhadap kesadaran perpajakan. Hal ini konsisten dengan penelitian Wenzel (2002) yang menekankan pada peran persepsi ketepatan dan keadilan, dan menemukan bahwa pembayar pajak akan menjadi tidak patuh dalam sistem pajak yang tidak
17
18
adil, tidak tepat, dan tidak sah. Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Simon (2002) menyebutkan bahwa ada pengaruh positif keadilan terhadap kepuasan anggota dan jalannnya suatu organisasi. Keadilan distributif secara konsisten berkorelasi dengan sikap kerja dan perilaku kerja anggota organisasi (Greenberg, 1990) dan Folger dan Konovsky (1989) melaporkan bahwa keadilan distributif punya korelasi lebih kuat dengan kepuasan gaji. Hasil penelitian ini sekaligus memperkuat pernyataan Rosdiana (2005:121) yang menyebutkan bahwa suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakat merasa yakin bahwa pajakpajak yang dipungut oleh pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagian-bagiannya. Sejarah juga membuktikan bahwa pajak yang dipungut dengan tidak adil dapat menyebabkan timbulnya revolusi sosial, sebagaimana yang terjadi di Perancis dan Inggris. Oleh karena itu, kebutuhan akan ditegakkannya asas keadilan dalam pemungutan pajak merupakan suatu hal yang mutlak. Penelitian ini sekaligus menolak hasil penelitian yang dilakukan oleh Roth, Scholz, & White (1989), yang menyebutkan bahwa pembayar pajak sebagai pelaku berakal (rasional) yang pada dasarnya (tidak) patuh jika dibebaskan dari pembayaran. Dapat diyakini bahwa setiap anggota masyarakat sadar memiliki kewajiban membayar pajak, namun seringkali masyarakat tidak sadar untuk membayar pajak karena merasa uang pajak yang telah mereka bayarkan tidak dialokasikan secara tepat dan benar. Naun apabila ada bukti positif yang ditunjukkan pemerintah diantaranya berupa keamanan, pelayanan publik yang baik, tersedianya barang publik, kesejahteraan rakyat, akan membuat masyarakat lebih rela untuk membayar pajak (Rosdiana, 2005:62). Dalam teori sosial disebutkan bahwa dalam pertukaran setiap pihak harus mendapatkan perlakuan yang adil dan wajar. Dalam salah satu dimensinya, konsep equity menyatakan bahwa setiap orang menganalisis rasio input dan hasilnya dengan rasio input dengan hasil mitra pertukarannya. Jika timbul persepsi umum bahwa pajak hanya merupakan upaya-upaya law enforcement untuk mereka yang berusaha menghindarinya, sementara di sisi lain terlihat jelas bahwa golongan masyarakat yang kaya justru membayar pajak lebih sedikit dari berapa
18
19
yang seharusnya mereka bayar atau bahkan justru mereka yang menikmati fasilitas-fasilitas
perpajakan, sulit
diharapkan
terciptanya
kesadaran
dan
kepatuhan membayar pajak dari para wajib pajak. Kondisi ini akan menimbulkan perasaan tidak puas, karena adanya keyakinan bahwa norma sosial telah dilanggar. Kepercayaan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan suatu bentuk loyalitas. Meskipun pembayar pajak tidak mendapatkan manfaat yang secara langsung bisa dirasakan, namun apabila pemerintah dapat melaksanakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi penggunaan penerimaan pajak akan terbentuk
social trust yang pada akhirnya akan membentuk voluntary tax compliance. Kesadaran adalah motivasi internal seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Kesadaran terbentuk melalui proses bagaimana orang mempersepsikan suatu obyek, evaluasi dengan menunjukkan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek dan diakhiri dengan penunjukkan arah sikap yaitu positif atau negatif. Apabila dalam proses mempersepsikan dan mengevaluasi obyek diperoleh hasil yang menyenangkan, maka arah sikap yang ditunjukkan akan positif. Pajak apabila dipersepsikan dan dievaluasi oleh anggota masyarakat sebagai sesuatu yang memenuhi unsur-unsur keadilan, maka anggota masyarakat akan menunjukkan sikap yang positif terhadap pajak dengan adanya kesadaran untuk membayar pajak.
Pengaruh Individualisme terhadap Kesadaran Perpajakan. Berdasarkan hasil uji statistik, koefisien hubungan langsung lebih kecil daripada koefisien hubungan tidak langsung, maka dapat disimpulkan hubungan yang sebenarnya adalah hubungan tidak langsung. Individualisme dapat berpengaruh ke kesadaran perpajakan melalui penilaian keadilan distributif. Kesadaran individu secara umum tidak ditentukan oleh karakter individu yang bersangkutan. Karakter individu tidak bisa membentuk kesadaran. Yang membentuk dan menentukan kesadaran seseorang adalah stimulus yang diperoleh yang bersangkutan. Bila stimulus tersebut dirasakan dan dinilai menguntungkan atau wajar dan sesuai dengan tata nilai dan kepentingan yang
19
20
bersangkutan, maka akan mempengaruhi sikap, pandangan, pikiran maupun kesadaran yang bersangkutan. Sebaliknya bila stimulus yang diterima ternyata tidak sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan, maka hal tersebut akan mendorong orang untuk semakin tidak sadar. Dalam hal perpajakan, kesadaran perpajakan individu tidak dipengaruhi oleh karakter individualisme yang bersangkutan tetapi lebih karena bagaimana individu tersebut menilai aspek-aspek perpajakan termasuk sisi keadilan dan atau mungkin kualitas pelayanan. Bila individu yang bersangkutan menilai bahwa sistem perpajakan yang ada, terutama dalam hal penentuan beban pajak yang harus dibayar adalah wajar, tidak memberatkan, dan sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan, maka hal tersebut akan meningkatkan kesadaran perpajakan yang bersangkutan. Kesadaran ditandai dengan semakin meningkatnya kepedulian, keingintahuan, keinginan untuk melakukan tindakan tertentu secara sadar, tanpa paksaan untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara suka rela, tepat waktu, dan dalam jumlah yang sebenarnya.
Pengaruh Jarak Kuasa terhadap Kesadaran Perpajakan. Berdasarkan hasil uji statistik koefisien hubungan langsung lebih kecil daripada koefisien hubungan tidak langsung, maka dapat disimpulkan hubungan yang sebenarnya adalah hubungan tidak langsung. Jarak kuasa dapat berpengaruh ke kesadaran perpajakan melalui penilaian keadilan distributif. Semakin tinggi jarak kuasa seseorang yang ditandai dengan adanya anggapan bahwa atasan dan bawahan adalah orang yang berbeda, dan para penguasa berhak untuk memperoleh keistimewaan, maka akan semakin turun kesadaran perpajakan yang bersangkutan. Hal tersebut sangat mungkin berkaitan dengan adanya “sikap keterpaksaan” yang bersangkutan untuk selalu memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Orang dengan jarak kuasa tinggi akan melakukan apapun yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya kepada negara termasuk membayar pajak. Hanya saja pemenuhan kewajiban tersebut tidak karena yang bersangkutan sadar, tahu dan secara suka rela melakukannya tetapi lebih karena terpaksa karena posisi yang bersangkutan yang lemah, rendah,
20
21
rakyat jelata dan merasa jauh dari kekuasaan serta tertindas. Mereka melihat bahwa pemerintah adalah raja yang harus diikuti semua kemauannya dan peraturannya. Oleh karena itu, kesadaran perpajakan mereka rendah. Tindakan yang mendasari mereka lebih karena “ketakutan” akan resiko yang ditimbulkan bila tidak membayar pajak. Individu yang mempunyai jarak kuasa tinggi dapat mempunyai kesadaran yang tinggi, bila diberikan stimulus yang memadai tentang aspekaspek perpajakan. Stimulus tersebut salah satunya adalah berupa citra dan pandangan
yang
positif
perihal
keadilan
perpajakan.
Meskipun
yang
bersangkutan mempunyai jarak kuasa tinggi, namun apabila yang bersangkutan mempunyai pandangan dan penilaian bahwa perpajakan yang ada telah disusun secara adil, fair, memberikan manfaat yang memadai serta disusun dengan prosedur yang adil dan proses tersebut diketahui oleh individu, maka kesadaran perpajakan yang bersangkutan akan meningkat. Dampaknya, individu yang dulu skeptis, tidak mau tahu dan tidak peduli terhadap perpajakan meskipun setiap saat membayar pajak, ke depan kepedulian dan kesadaran akan lebih meningkat.
21
22
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Politik Perpajakan & Partisipasi Publik. Bisnis Indonesia. 27 Februari 2006. http://www.pb-co.com/news_print.asp?ID:1059 Anonim. 2005. Target Pajak 2006 Rp. 348,66 Triliun. Berita Pajak. No.1546 Tahun XXXVIII Tanggal 1 September 2005. Hal. 6-7 Allport, Gordon. 1971. Personality a Psychological Interpretation, Constable & Co. Ltd.,London. Alm, J., Jackson, B. R., & McKee, M. 1993. Fiscal exchange, collective decision institutions, and tax compliance. Journal of Economic Behavior and Organization, 22, 285-303. Benno, Torgler. 2003. Tax Morale: Theory and empirical analysis of Tax Compliance.University Basel Birowo, Tejo. 2003. Pemberian Bunga Sebagai Satu Keadilan Pajak. (Discourses: One of Solution Toward The Best of Tax Reform). Berita Pajak No. 1485/Tahun XXXV/15 Februari Brotodihardjo, Santoso. 1995. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Edisis ketiga. Bandung : Eresco. Baron, R.A. and Byrne, D. 1984. Social Psychology. Understanding Human Interaction. Fourth Edition. Allyn and Bacon Inc.,Bosyon. Davidoff, L.L. 1981. Introduction to Psychology. Second Edition. McGraw-Hill International Book Company, Tokyo. Greenberg, J. 1990. Employee theft as a reaction to underpayment inequity: The hidden cost of pay cuts. Journal of Applied Psychology, 75, 561-568. Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS . Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gunadi, 1999. Akuntansi Pajak. Jakarta: PT. Gramedia. Gunadi, M Djoned, 2004. Ketentuan Formal Perpajakan Dalam Pemeriksaan Pajak. Jurnal Perpajakan Indonesia Volume 1 Nomor 9: 10-15 Hadiprojo, Sukantorekso, dan Handoko, T Hani, Organisasi Perusahaan: Teori, Struktur dan Perilaku. Edisi Dua, Yogyakarta : BPFE UGM.
22
23
Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Holistik (OrganismikFenomenologis), Penerjemah Yustinus, Kanisius. Yogyakarta.
Indiantoro, Nur dan Bambang Supomo,1999, Metodologi Penelitian Bisnis, untuk Akuntansi & Manajemen, Edisi Pertama, Yogyakarta, BPFE James, S., Hasseldine, J., Hite, P ., & Toumi, M. 2001. Developing a tax compliance strategy for revenue service. Bulletin for International Fiscal Documentation, 55, 158-164. Tiono, Kesuma Hadi, 2004, Pola Hubungan Determinan Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Menerapkan Akuntansi Pajak (Pola Empiris), Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya Kuncoro, Mudrajat, 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Kotler, Philip. 2003. Manajemen Pemasaran. Edisis Kesebelas. Jakarta: Intan Sejati Klaten Kasaly, Rhenald, TIM CFMS. Poernomo Sidhi. Sri Bintang Pamungkas, Djamaludin Ancok, Sutomo dan Rukiah Handoko, 1988, Barometer Pajak. Jakarta: Yayasan Bina Pembangunan Lind, E. A., & Tyler, T.R. (1988). The social psychology of procedural justice, New York: Plenum Press Moskowitz, M.J. and Orgel, A.R. 1969. General Psychology. A Core Text in Human Behaviour. Houghton Mifflin Company, Boston. Mardiasmo, 2003. Perpajakan, Edisi Revisi. Yogyakarta : ANDI Napitulu Humala. 2005. Pengaruh Frekuensi Pemeriksaan Pajak dan Kualitas Pemeriksa Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Pada Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak Jawa Bagian Timur I Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana UNAIR (tidak dipublikasikan) Prihanto, F.X Sutyas. 1992. Garis Besar Cakupan Materi Psikologi Sosial. Diktat Surabaya: Universitas Surabaya Pareek, Udai. 1996. Perilaku Organisasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Porcano, T. M. 1988. Corralates of tax evasion. Journal of Economic Psychology, 9, 47-67. Prasetijo & John. 2005. Perilaku Konsumen. Edisi Pertama. Yogyakarta: ANDI
23
24
Roth, J., Scholz, J.,& Witte, A. 1989. Taxpayer complience. Vol.1: An agenda for research. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Rosdiana & Rasin Taringan. 2005. Perpajakan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Sakti, Nufransa,2003. Mungkinkah Memberikan Kontraprestasi Langsung Kepada Para Pembayar Pajak. Berita Pajak No.1505, Edisi 15/12: 38-40 Sakti, Nufransa, Wira. 2006 Menyimak Permasalahan Pajak dalam Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak. Inovasi. Vol.6/XVIII/3 Juni 2006 Simon S.K.Lam,John Schaubroeck and Samuel Aryee. 2002. Relationship Between Organizational Justice and Employee Work Outcomes : A CrossNational Study. Journal of Organizational Behaviour 23 : 1-18. Saefudin, Deden, 2003. Hukum dan Penghargaan Untuk Wajib Pajak. Berita Pajak No. 1492, Edisi 1/6 : 24-28. Suhardito, Bambang. 1996. Pengaruh Faktor-faktor Yang Melekat Pada Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Sobur Alex, 2003. Psikologi Umum Dalam Lintasan Sejarah. Edisi Pertama, Bandung : Pustaka Setia. Said, Muhammad. 2003. Fenomena Pajak. Berita Pajak No. 1488/Tahun XXXV/1 Mei 2003 Soetrisno, 1982, Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. Cetakan ke-2. Yogyakarta: FE Universitas Gajah Mada. Sekaran, Uma. 1992, Research Methods For Business, John Willey & Sons, Inc., New York Sukma, Ating dkk. 2005, Peranan With Holding Tax System Terhadap Efektivitas Administrasi Perpajakan. Berita Pajak. No.1546 Tahun XXXVIII Tanggal 1 September 2005. Hal. 32-35
Schiffman & Kanuk, 2004. Perilaku Konsumen. Edisi Tujuh. Jakarta: INDEKS. Spicer, M. W., & Becker, L. A. 1980. Fiscal inequity and tax evasion: An experimental approach. National Tax Journal, 33, 171-175. Thibaut, J., & Walker, L (1975). Procedural Justice : A psychological Analysis, Hillsdale, NJ: Erlbaum.
24
25
Tambunan, Petrus. 2003. Mengapa Kita Bayar Pajak. Berita Pajak No. 1488/Tahun XXXV/1 Mei 2003
Tyler, T. R., Rasinski, K., & Spodick, N. 1985. The influance of voice on satisfaction with leaders: Exploring the meaning of process control. Journal of Personality and Social Psychology, 48, 72-81. Wenzel, M.2002. What is social about justice? Inclusive identity and group values as the basis of the justice movie. Journal of Experimental Social Psychology, 38, 205-218. Wenzel, M. 2002. The Impact of Outcome Orientation and Justice Concern on Tax Compliance: The Role of Taxpayers’ Identity. Journal of Applied Psychology,87, 629-645. Zain, Mohammad, 2003, Manajemen Perpajakan, Penerbit Salemba, Jakarta
25