ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN PENILAIAN HAKIM TENTANG KETERANGAN SEORANG SAKSI DI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Dian Dewi Pulungsari, Diyas Mareti Riswindani
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian penilaian hakim tentang keterangan seorang saksi di dalam proses peradilan pidana menurut ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Berdasarkan penelitian ini dihasilkan simpulan, bahwa keterangan seorang saksi bukan merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti bebas dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan serta tidak mengikat hakim. Undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undangundang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setiap perkara yang masuk ke pengadilan pasti membutuhkan suatu proses pembuktian. hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan dan tidak lagi berwenang untuk menilai secara bebas. Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian harus benar benar bertanggung jawab jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus pada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. Kata Kunci : Pembuktian, Hakim, Saksi, KUHAP ABSTRACT This research aimed at the power of knowing substantiation appraisement judge about particulars a witness at in the process of criminal justice according to the provisions of the criminal procedure code. The research is normative legal research that is both prescriptive. Based on research is produced, drawing conclusions that description a witness the evidence is not legitimate. The evidence of a witness as a proof free and has no power probative value perfect and does not specify and shall not bind the judge. The Act determines that the evidence the witness has a perfect proof strength properties and specify. The process of proof in a criminal offence provided for in article 183-189 of law No. 8 of 1981 on The law of Criminal Procedure Code. Every case that goes to trial would require a process of proof. judges should not be judging strength pembuktiannya, Justices unanimously should be bound to apply the award and are no longer authorized to freely assess. Judges assess the strength of freedom in applying evidentiary testimony should really be responsible not to the freedom that assessment leading to the arbitrariness without morality and honesty is high. 1
Keywords : Substantion, Judge, Witness, The Draft of Criminal Procedure Code
A. PENDAHULUAN Pembuktian dalam hukum acara pidana diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007 : 185). Kebenaran yang dicari melalui pembuktian ini adalah kebenaran secara yuridis dan bukan secara mutlak karena kebenaran mutlak itu sulit dicari. Pada tahap pembuktian hakim diharuskan memeriksa alat-alat bukti yang ada sebelum memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu tindak pidana. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Setiap perkara yang masuk ke pengadilan pasti membutuhkan suatu proses pembuktian. Pembuktian merupakan proses yang sangat rumit dan sulit yang selalu menjadi masalah yang dipermasalahkan oleh siapapun akan kebenarannya. Pembuktian mencari kebenaran dari suatu perkara sesungguhnya kebenaran itu sulit dicari terlebih semua orang yang terlibat tidak mau dipersalahkan dalam perkara tersebut. Pembuktian menurut M.Yahya Harahap merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman-pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya
Harahap,2010:793).
Selain
M.Yahya
Harahap,
R.Subekti
juga
mengemukakan arti pembuktian menurut pandangannya yaitu meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan (Subekti, 2010:1). Menurut Darwan Prinst mengenai pengertian pembuktian yaitu pembuktian bahwa benar peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggung jawabkannya. Oleh karena itu untuk membuktikan kesalahan terdakwa pengadilan terkait oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan
2
pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang dengan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa (Darwan Prinst,2002:137). Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi
dan
terdakwa
yang
bersalah
melakukannya,
sehingga
harus
mempertanggungjawabkannya. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macammacam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa. Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan, Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undangundang. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan. Salah satu titik berat pemeriksaan saksi sebagai alat bukti ditunjukan 3
kepada suatu permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian, yaitu syarat sahnya keterangan saksi. Alat bukti keterangan saksi tersebut merupakan alat bukti yang paling utama dalam suatu perkara pidana. Nilai dan kekuatan pembuktian, keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian. Berdasarkan pasal 185 ayat 1 menjelaskan bahwa “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari keterangan orang lain atau testimonium de auditu”. Sesuai dengan penjelasan KUHAP bahwa kesaksian testimonium de auditu tidak diperkenan sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Alat bukti memiliki nilai kekuatan pembuktian yang harus dipenuhi antara lain: 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji. Berdasarkan pasal 160 ayat 3 KUHAP dan pasal 160 ayat 4 KUHAP. 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Berdasarkan pasal 1 ayat 27 KUHAP sehubungan dengan pasal 185 ayat 1 KUHAP, dapat ditarik kesimpulan: pertama, setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri, di luar apa yang dilihat , di luar apa yang dialaminya, tidak dapat dijadikan serta dinilai sebagai alat bukti. Kedua, “testimonium de auditu” atau keterangan yang diperoleh dari pendengaran orang lain merupakan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. 3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan keterangan saksi berdasarkan pasal 185 ayat 5 KUHAP. 4. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan yang bertujuan agar saksi dapat dinilai sebagai alat bukti sesuai dengan pasal 185 ayat 1 KUHAP. 5. Keterangan saksi saja dirasa belum cukup. Hal ini sesuai dengan penegasan pasal 183 KUHAP tentang hakim tidak boleh menjatuhkan putusan jika alat bukti sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti (Syaiful Bakhri,2012:58-61). Keterangan saksi yang diberikan di muka persidangan itulah yang benar, karena saksi tersebut menyatakan bahwa ia telah disumpah dan harus memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Alasan perbedaan keterangan saksi yang diberikan antara pembuatan. 4
Berdasarkan teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif adalah hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan yang akan diambil. Dengan bertitik tolak pandangan tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembuktian harus dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang.8 Menurut teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang negatif tersebut lebih dipilih oleh sistem pembuktian di Indonesia. Berdasarkan prinsip teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif maka terdakwa dapat dikatakan bersalah atau tidak yaitu: 1. Pembuktian harus menggunakan alat bukti yang sah menurut undangundang, 2. Keyakinan hakim juga harus berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keterangan saksi yang berbeda antara keterangan saksi yang diberikan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dengan keterangan saksi yang diberikan waktu persidangan pada umumnya, majelis hakim lebih menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang negatif karena pembuktian keterangan saksi tersebut harus berdasarkan undang-undang selain itu dalam menentukan keyakinan hakim harus berdasarkan undang-undang. Hakim dalam persidangan hanya mengingatkan seorang saksi untuk memberikan keterangan dengan jujur yang bertujuan untuk membantu pengadilan guna mewujudkan kebenaran materiil. Berdasarkan pasal 163 KUHAP bahwa jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan sidang. Bilamana seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan pasal 185 ayat 1 KUHAP bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat di penyidik hanyalah sebagai alat bukti petunjuk yang diatur dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. 5
B. PRINSIP-PRINSIP PEMBUKTIAN Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. 2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri, Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. C. TEORI-TEORI ATAU SISTEM PEMBUKTIAN Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain: 1. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) 6
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh (Andi Hamzah,2013 : 252). 2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisonnee) Sistem pembuktian Conviction In Raisonnee masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisonnee harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak sematamata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas (Andi Hamzah,2013 : 253). 3. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori)
7
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja (Andi Hamzah, 2013 : 251). 4. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction in time. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undangundang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat 8
bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Andi Hamzah, 2013 : 254-257). D. PENGERTIAN ALAT BUKTI BESERTA PENGATURAN MENGENAI ALAT BUKTI Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Sedangkan pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara. Berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHAP ada lima alat bukti dalam perkara pidana di Indonesia, Yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa (Andi Hamzah,2013:255). Dalam pasal 186 KUHAP semua orang dapat menjadi saksi tetapi dalam pasal ini tercantum kekecualian menjadi seorang saksi sebagai berikut yaitu keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,saudara ibu atau saudara bapak juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga,suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa (Andi Hamzah:2013,256). Dalam Pasal 187 huruf a KUHAP mengatur bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi merupakan alat bukti surat. Mengenai BAP Saksi sebagai alat bukti surat dikuatkan dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung 9
No. 1 Tahun 1985 tentang Kekuatan Pembuktian Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Visum et Repertum yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing. Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung ini memberi penegasan bahwa berita acara, termasuk berita acara pemeriksaan saksi, bukan hanya sekedar pedoman hakim untuk memeriksa suatu perkara pidana, melainkan sebuah alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian. Dalam hal ini merujuk pada Pasal 187 huruf a KUHAP BAP merupakan alat bukti surat, termasuk juga berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing. E. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam suatu perkara pidana, hampir semua perkara pidana selalu menggunakan pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan seorang saksi dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus memenuhi aturan sebagai berikut : Mengucapkan sumpah atau janji seperti yang diatur dalam pasal 160 ayat (3)” sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut tata cara agamanya masing-masing. Dalam pasal 160 ayat (4) memberikan kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah memberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib sebelum saksi memberi keterangan tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan . Berdasarkan pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi yang bernilai adalah keterangan saksi yang saksi lihat,dengar dan mengalami itu sendiri serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut, keterangan yang diberikan diluar penglihatan pendengaran dan pengalamannya sendiri tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. Begitupula dengan testimonium de auditu keterangan yang diperoleh dari hasil pendengaran orang lain dikatakan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Menurut Wirjono Projodikoro ”Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan 10
sudah semestinya,akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu,dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa” (Andi Hamzah,2013:266) Keterangan saksi yang dapat dinyatakan sebagai alat bukti apabila keterangan saksi tersebut berisi mengenai kesaksian yang dilihat,di dengar dan dialami sendiri tentang perkara pidana tersebut serta dinyatakan dalam sidang pengadilan. Menurut pasal 183 keterangan seorang saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan seseorang terdakwa apabila mempunyai sekurangkurangnya dua alat bukti. pada pasal 185 ayat (2) dalam asas unus testis nullus testis keterangan satu orang saksi saja belum dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila saksi hanya berjumlah satu orang maka kesaksian tunggal tersebut harus dicukupi atau ditambahi dengan salah satu alat bukti yang lain, agar supaya keterangan saksi tunggal mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa harus dilengkapi dengan salah satu alat bukti lain baik berupa keterangan ahli,surat petunjuk, maupun dengan keterangan/pengakuan terdakwa. Keterangan beberapa saksi itu belum tentu membuktikan kesalahan terdakwa karena belum tentu keterangan saksi tersebut memenuhi kualitatif sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan seorang terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu.(M.Yahya Harahap,2010:289). Menurut pasal 185 ayat 4 KUHAP “keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada. Hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak 11
kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis), Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri, Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya Nilai daripada kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah apabila terdapat hubungan yang saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan tertentu. Kebenaran keterangan seorang saksi jelas harus berhubungan dengan kebenaran yang terjadi sebenarnya. Menurut pasal 185 12
ayat (6) dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus sungguhsungguh dalam memperhatikan : 1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain 3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi diberikan saat sidang pengadilan berlangsung dapat diberikan dengan sumpah maupun tanpa sumpah. Berdasarkan pasal 160 ayat (3) sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Saksi menolak bersumpah diatur dalam pasal 161, sekalipun penolakan itu tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera dan saksi tetap menolak untuk mengucap sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti ini menurut pasal 161 ayat (2) nilai keterangan saksi yang demikian “dapat menguatkan keyakinan hakim” (M.Yahya Harahap,2010:291). Keterangan yang diberikan tanpa sumpah sama halnya dengan pasal 161 saksi yang menolak untuk disumpah tidak dapat dhadirkan di dalam persidangan,keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam keterangan saksi yang dibacakan dalam sidang pengadilan sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan dalam persidangan tanpa sumpah . keterangan yang diberikan tanpa sumpah tetap merupakan alat bukti dapat dijadikan untuk menguatkan keyakinan hakim dan sekaligus menjadi tambahan alat bukti selama keterangan tersebut mempunyai hubungan saling mengikat dan sesuai dengan alat bukti yang sah tersebut. Saksi yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan terdakwa tidak dapat memberikan keterangannya dalam persidangan kecuali mereka menghendakinya dan disetujui oleh penuntut umum dan terdakwa. Menengok paal 161 ayat (2) an pasal 185 ayat (7) keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti tetapi dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim atau bernilai dan dipergunakan 13
sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya itu dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian (M. Yahya harahap,2010 : 293). Kekuatan pembuktian saksi yang disumpah, saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar,lihat dan alami sendiri
dengan menyebut secara jelas menyebut sumber
pengetahuannya,keterangan saksi harus dinyatakan dalam sidang pengadilan keterangan diluar sidang pengasilan tidak mempunyai kekuatan alat bukti yang sah. Hakim yang menilai dan menentukan kesesuai antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau diabaikan Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Serta merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Karena dengan pembuktian inilah dapat diketahui apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya atau tidak. Dengan adanya pembuktian juga maka dapat ditentukan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa yang telah benar terbukti bersalah. Karena apabila hasil pembuktian dari alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, maka terdakwa dibebaskan dari segala hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa ternyata dapat dibuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhi hukuman pidana (M. Yahya Harahap,2010:273). Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2010:286). Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil 14
pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi (Andi Hamzah, 2013:260). Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi tidak hanya dilihat dari unsur pengucapan sumpah atau janji saja. Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Mengenai sampai sejauh mana “kekuatan pembuktian” keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, maupun nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti penjelasan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2006:294-295). Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volleding bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat., nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat menerima atau menyingkirkannya. F. SIMPULAN DAN SARAN 1. SIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa keterangan seorang saksi bukan merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti bebas dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan serta tidak mengikat hakim. Undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Proses pembuktian dalam suatu tindak pidana diatur dalam pasal 183-189 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volleding bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat 15
hakim. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat menerima atau menyingkirkannya. Kekuatan pembuktian saksi yang disumpah, saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar,lihat dan alami sendiri dengan menyebut secara jelas menyebut sumber pengetahuannya,keterangan saksi harus dinyatakan dalam sidang pengadilan keterangan diluar sidang pengasilan tidak mempunyai kekuatan alat bukti yang sah. Hakim yang menilai dan menentukan kesesuai antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedang disidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau diabaikan. Hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian harus benar benar bertanggung jawab jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus pada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. 2. SARAN Berdasarkan simpulan yang telah disampaikan penulis maka hendaknya, Hakim dalam melakukan penilaian terhadap kekuatan pembuktian keterangan seorang saksi dalam persidangan maka hendaknya hakim boleh tidak terikat terhadap undangundang semata dan hakim dalam memberikan penilaian keterangan saksi harus dilihat pula dari seberapa besar kesalahan terdakwa dan berdasarkan keterangan saksi maka dari itu hakim dalam memberikan penilaian harus berdasarkan hati nurani secara logis selain itu hakim juga harus cermat serta berlaku bijak dalam mengambil sebuah putusan demi keadilan.
G. PERSANTUNAN/ UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam
16
menyelesaikan penulisan jurnal hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada : 1. Ibu Prof.DR.Hartiwiningsih,S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum UNS. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu Zaky Adliyati,S.H.,M.H., selaku Ketua Pengelola Jurnal Verstek Hukum Acara 4. Bapak Lego Karjoko,S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik. 5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS.
H. DAFTAR PUSTAKA Buku : Bakhri,Syaiful,.2012.Beban Pembuktian.Jakarta : Gramata Publishing. Hamzah,Andi.2013.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta : Sinar Grafika. Harahap,Yahya.2010.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali).Jakarta : Sinar Grafika. Muhammad,Rusli.2007.Hukum Acara Pidana Kontemporer.Jakarta : Citra Aditya Bakti. Prints,Darwan.2002.Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.Jakarta : Sinar Grafika. Subekti.2010.Hukum Pembuktian.Jakarta : Pradnya Paramita. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
17
Alamat Korepondensi Dian Dewi Pulungsari Mahasiswa Fakultas Hukum UNS NIM.E0010108 Jl.Lampo Batang Timur 4/1 Mojosongo Jebres Surakarta.HP 085876269599
[email protected]
Diyas Mareti Riswindani Mahasiswa Fakultas Hukum UNS NIM.E0010120 Badranasri RT 01 RW 11 Cangakan Karanganyar.HP 085647233014
[email protected]
18