SINERGI KALANGAN AKADEMIK, DUNIA USAHA DAN PEMERINTAH DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN BUDAYA KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA Adi Soeprapto Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta e-mail :
[email protected] contact : 081327063231
Abstract :
Student Entrepreneurship Development Program has been a key issue for higher education institutions in Indonesia, is associated with high rates of unemployment that have the educational background of college graduates. This condition is due to the persistence of the paradigm as a job seekers and mismatch competence with business and industry demand. Various efforts to develop a culture of entrepreneurship among students has been conducted by the college to promote a culture of entrepreneurship among students, where such efforts are intended to form the spirit and entrepreneurial skills. However, one of the fundamental problems encountered in development efforts are linked to the sustainability aspects of the program to continue to be conducted continuously over time, given the establishment and development of a culture can not be done in a short time and require the involvement of many stakeholders that the process can take place continuously. The concept of the triple helix which is a synergy between the academic-businessgovernment can be used as a solution to ensure the sustainability of the development program. This paper intends to provide a description the urgency of doing synergy developing a culture of entrepreneurship students through the triple helix. Furthermore, exposure performed the role of each party as well as the implications that arise therein in order to maintain continuity in the program once it bring innovation in program implementation. Keywords : sinergy. Triple helix, entrepreneurship, sustainability
Abstrak :
Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa telah menjadi isu utama bagi lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, terkait dengan tingginya angka pengangguran terbuka yang memiliki latar belakang pendidikan lulusan perguruan tinggi. Kondisi ini dikarenakan masih adanya paradigma pencari kerja dan ketiaksesuaian kompetensi dengan permintaan dunia usaha dan industri. Berbagai upaya pengembangan budaya kewirausahaan di kalangan mahasiswa telah dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk meningkatkan budaya kewirausahaan di kalangan mahasiswa, dimana upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk membentuk jiwa dan meningkatkan ketrampilan wirausaha. Namun demikian, salah satu persoalan mendasar yang dihadapi dalam upaya pengembangan ini adalah terkait dengan aspek keberlangsungan program untuk terus dapat dilaksanakan secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, mengingat pembentukan dan pengembangan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat dan memerlukan pelibatan banyak pihak agar proses tersebut dapat berlangsung dengan berkesinambungan. Konsep triple helix yang merupakan sinergitas antara kalangan akademik-dunia usahapemerintah dapat dipergunakan sebagai solusi untuk menjamin keberlangsungan program pengembangan tersebut. Makalah ini bermaksud memberikan deksripsi mengenai urgensi melakukan sinergitas pengembangan budaya kewirausahaan mahasiswa melalui pendekatan triple helix. Lebih lanjut, dilakukan pemaparan atas peran dari masing-masing pihak sekaligus implikasi yang muncul didalamnya dalam rangka menjaga keberlangsungan program sekaligus di dalamnya memunculkan inovasi dalam implementasi program. Kata kunci : sinergitas, triple helix, keberlanjutan.
Pendahuluan Kewirausahaan
memainkan
peran
kritikal
dalam
perkembangan
perekonomian bangsa, terutama dalam hal inovasi teknologi, daya saing internasional dan penciptaan lapangan kerja (Grebel, Pyka and Hanusch, 2003). Adalah Schumpeter yang pertama kali menggambarkan peran kewirausahaan dalam evolusi ekonomi melalui perusakan status quo dengan mengubah mengenalkan cara baru dan yang lebih baik untuk melakukan sesuatu (Gimmon and Levi, 2009), dimana Schumpeter menguraikan peran wirausaha dalam lima hal:
(1) wirausaha
mengenalkan produk baru dan kualitas baru dari suatu produk, (2) wirausaha yang mengenalkan metode baru berproduksi yang lebih komersial, baik berdasarkan pengalaman maupun hasil kajian ilmiah dari suatu penelitian (3) wirausaha yang membuka pasar baru, baik dalam negeri ataupun di negara yang sebelumnya belum ada pasar (4) wirausaha yang menggali sumber pasokan bahan baku baru bagi industri setengah jadi atau industri akhir, dan (5) wirausaha yang menjalankan organisasi baru
dari
industri apapun (Burhanuddin, 2010). Sehingga seringkali
kewirausahaan (entrepreneurship) dipandang sebagai motor penggerak dibalik pertumbuhan ekonomi. Hal ini merujuk pada studi yang dilakukan oleh Audretsch dan Thurik sebagaimana yang dikutip oleh Solt (2006) menunjukkan semakin besar aktivitas kewirausahaan akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dengan mempergunakan sampel negara-negara OECD. Selanjutnya, Yanya, Hakim dan Razak (2011) dalam studinya mengklarifikasi peran penting kewirausahaan yang dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Thailand.
Pada
awalnya, studi mengenai
kewirausahaan menekankan pada aspek
individual dan situasi yang melingkupinya seperti nilai, karakteristik dan perilaku kewirausahaan. Selanjutnya, studi kewirausahaan bergerak pada aspek organisasi terutama dalam hal orientasi dan perilaku kewirausahaan organisasi dalam kaitannya dengan konsekuensi kinerja organisasi seperti pertumbuhan dan kinerja. Ketika terdapat pemaknaan bahwa perilaku kewirausahaan dipandang dapat memberikan konsuensi positif baik pada tataran individu dan organisasi, maka studi berikutnya diarahkan pada upaya berkesinambungan untuk mengartikulasikan kewirausahaan sebagai sebuah budaya. Proses inisiasi kewirausahaan tersebut dilakukan dengan mengacu pada upaya pembelajaran yang dipandang sebagai proses perubahan dan pembentukan
pengetahuan,
ketrampilan,
sikap
dan
kemampuan
seorang
wirausahawan (Priyanto, 2009). Keberadaan kewirausahaan sebagai sebuah spirit menjadi suatu hal yang mendesak di Indonesia, terkait dengan semakin kompetitifnya lingkungan bisnis dengan ditandai oleh fenomena hypercompetition dan perubahan lingkungan yang semakin tidak pasti sehingga menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai modal dasar untuk dapat memelihara kualitas pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, yang masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah (SD kebawah) yang
mencapai separuh dari jumlah penduduk
Indonesia yang bekerja. Di sisi lain, masih tingginya angka pengangguran, khususnya
pengangguran terdidik menjadi tantangan tersendiri dengan memperhatikan kondisi data pengangguran terbuka di Indonesia yang dilansir oleh BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang berlatarbelakang pendidikan tinggi lebih besar ketimbang
mereka yang berlatar belakang pendidikan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan pendidikan tinggi mengalami kesulitan dalam melakukan akses pada lapangan kerja dikarenakan adanya orientasi job seeker (pencari kerja) yang lebih mengandalkan ijazah dan gelar akademik (Najib,2007). Oleh karena itu, upaya untuk melakukan pengembangan budaya kewirausahaan menjadi penting, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi yang diharapkan tidak saja mampu mengubah paradigma berpikir dari job-seeker ke jobcreator, melainkan juga memperbaiki kualitas pelaku ekonomi Indonesia yang mengedepankan kreativitas dan inovasi. Kewirausahaan sebagai budaya Dalam perspektif teoritik, terdapat dua perspektif untuk memahami kewirausahaan, yaitu (Mars and Aquilar,2010) : (1) memahami kewirausahaan sebagai proses yang dilakukan
untuk meningkatkan inovasi sedemikian rupa
sehingga dapat mengubah keseimbangan dari struktur ekonomi, mendistribusikan sumber daya, dan menciptakan dan mengakumulasi kemakmuiran; (2) memahami kewirausahaan sebagai proses untuk menghasilkan dan mengakumulasi kemakmuran ekonomi dengan menggerakkan dari ekonomi asimetris menuju keseimbangan ekonomi yang lebih besar. Sejalan dengan hal tersebut, Joewono (2011) mendefinisikan sebagai gairah untuk mengembangkan bisnis baru. Sedangkan menurut Priyanto (2009), kewirausahaan merupakan sesuatu yang ada dalam jiwa seseorang, masyarakat dan organisasi yang karenanya akan dihasilkan berbagai macam aktivitas usaha dan bisnis.
Dengan memperhatikan definisi mengenai kewirausahaan tersebut di atas, maka terdapat tiga pemikiran dasar yang menjelaskan hadirnya kewirausahaan (Cuervo, Riberio and Roig, 2011): (1) pemikiran yang memfokuskan pada tataran individual, dengan kata lain bahwa kewirausahaan merupakan bagian dari karakteristik manusia, seperti kemauan untuk menghadapi ketidakpastian, penerimaan atas risiko, kebutuhan untuk berprestasi yang membedakan seora wirausaha dari masyarakat kebanyakan; (2) terdapatnya faktor lingkungan, ekonomi yang memotivasi dan memungkinkan hadirnya aktivitas kewirausahaan, seperti dimensi pasar, dinamika perubahan teknologi, struktur pasar dan demografis; (3) terkait dengan berfungsinya lembaga, budaya dan nilai-nilai sosial. Lebih lanjut, Priyanto (2009) dengan menggunakan model konstruksi sosial menjelaskan bahwa keberadaan kewirausahaan dalam diri individu pada awalnya muncul dari dari realitas obyektif yang ada dimasyakarat berupa simbol, pekerjaan, nilai, kepercayaan dan ekspektasi. Pribadi ini terus berkembang dengan berbagai macam relasi, interaksi, integrasi dan akulturasi sehingga akan memunculkan identitas bagi yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan pemaknaan diri dan identitas dirinya yang pada gilirannya akan membangkitkan dorongan dalam dirinya untuk melakukan tindakan atau perilaku kewirausahaan. Pendidikan sebagai Strategi Pembudayaan Kewirausahaan Kewirausahaan merupakan hasil interaksi, integrasi dan refleksi ide, ekspektasi,dan aktivitas satu orang dengan lainnya yang diperoleh melalui proses pembelajaran (Priyanto, 2009). Lebih lanjut, dengan Mengutip Hall Priyanto
menyatakan bahwa melalui pembelajaran bahwa dalam jangka pendek pembelajaran akan merubah sikap dan kinerja seseorang, sedangkan dalam jangka panjang mampu menumbuhkan identitas dan daya adaptabilitas yang sangat penting bagi keberhasilannnya. Oleh karena itu, pendidikan kewirausahaan dapat dipandang sebagai strategi pembudayaan kewirausahaan, di mana melalui pendidikan maka seorang wirausaha dapat meningkatkan kompetensi dan kualitas kewirausahaan, terutama terkait dengan ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menciptakan perusahaan baru dan meningkatkan inovasi (Mars and Ginther, 2012) Selanjutnya,
pendidikan kewirausahaan dapat dipandang sebagai suatu
platform untuk penanaman pengusaha baru (Jaafar and Aziz, 2008) di mana didalamnya terdapat upaya-upaya untuk melakukan pengenalan peluang, penyusunan sumberdaya dengan mempertimbangkan risiko, dan membangun usaha bisnis. Bechard dan Toulouse, dalam Jaafar and Aziz (2008) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kumpulan ajaran formal yang menginformasikan, mnelatih dan mendidik siapa saja yang tertarik dalam penciptaan bisnis atau pengembangan usaha kecil. Dalam konteks pendidikan, banyak peneliti melihat peran yang signifikan dari pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dalam penciptaan “pengusaha baru”, di mana para mahasiswa yang mengikuti kuliah kewirausahaan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memulai bisnis mereka sendiri dan kuliah kewirausahaan telah menarik banyak perhatian di kalangan mahasiswa pada universitas-universitas di seluruh dunia (Jaafar and Aziz, 2008).
Gagasan mengenai pendidikan kewirausahaan mahasiswa di jenjang pendidikan tinggi menurut Chen, Wang and Wang (2010) merujuk pada kesadaran dari lembaga pendidikan tinggi dalam hal nilai dan keyakinan akan pendidikan kewirausahaan serta standar kegiatan ketika membudayakan talenta kewirausahaan. Selanjutnya, Chen, et al. (2010) menjelaskan lima hal yang harus dikonstruksikan pada pendidikan kewirausahaan di pendidikan tinggi : 1. Pendidikan kewirausahaan tidak hanya bertujuan hanya untuk beberapa kalangan mahasiswa tetapi haruis mempertimbangkan dilakukan pada semua mahaiswa. 2. Pendidikan kewirausahaan tidak hanya ditujukan untuk membudidayakan talenta kewirausahaan pada masyarakat untuk menanggulangi tekanan ketenagakaerjaan semata, tetapi yang lebih penting lagi bahwa hal ini dilakukan untuk menjadi pendorong bagi pembangunan sosial dan ekonomi dan inovasi ilmiah. 3. Pendidikan kewirausahaan tidak hanya menjadi tugas mahasiswa itu sendiri, tetapi lebih merupakan masalah sosial yang menjadi perhatian bersama oleh seluruh masyarakat dan hal ini merupakan kegiatan yang sistematis dan rumit. 4. Pendidikan kewirausahaan tidak hanya sekedar bermakna negasi atas pekerjaan pendidikan saat ini dengan seleksi pekerjaan pendidikan, melainkan untuk lebih memperdalam dan memperluas dari mode ketenagakerjaan dan negasi dialektis antara pekerjaan pendidikan saat ini dengan seleksi pekerjaan pendidikan. 5. Dalam mengkonstruksikan pendidikan kewirausahaan, harus terdapat penyatuan teori dan praktek dan menyatukan hal-hal umum dan kekhasan dimana pendidikan kewirausahaan tidak hanya sesuai dengan peraturan umum mengenai pendidikan tinggi melainkan juga mencakup ciri khas dari masingmasing perguruan tinggi, tidak hanya dari sudut keilmiahan melainkan juga kemampuan untuk bersiasat. Lebih lanjut, Wang et al (2010) mengemukakan pentingnya tujuan pendidikan kewirausahaan sebagai dasar bagi perancangan dan penilaian dari perkuliahan pendidikan kewirausahaan sekaligus hal ini merupakan titik awal bagi pendidikan kewirausahaan untuk melakukan seleksi atas isi pendidikan, memperjelas
metode
pendidikan
dan
melaksanakan
langkah-langkah
pendidikan. Dalam hal ini Wang et al., dengan mempergunakan taksonomi Bloom mengidentifikan tiga hierarkhi tujuan pendidikan kewirausahaan yaitu tujuan
kognitif,
emosional
dan
kterampilan
operasional
yang
dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Sumber : Chen, Yurong; Wang, Wenhua; Wang Weixing, 2010, Study on Operation Mechanism of University Students’ Entrepreneurship Education, Asian Social Science, Vol. 6, No. 8
Gambar 1 : Tujuan Obyektif Pendidikan Kewirausahaan bagi mahasiswa Menurut Wang et al., (2010) pendidikan kewirausahaan memberikan dasar yang kuat begi pengembangan karir mahasiswa di masa depan melalui penumbuhan kesadaran, pengetahuan
dan kapasitas kewirausahaan.
Kesadaran kewirausahaan merupakan tendensi psikologis dari subyek kewirausahaan dimanifestasikan
akan
praktek
dengan
kewirausahaan,
permintaan
akan
biasanya
kuliah
hal
ini
kewirausahaan;
ketertarikan, motivasi, semangat, pemikiran dan keyakinan terhadap isu dan materi
kewirausahaan
sebagai
dasar
bagi
pengembangan
kualitas
kewirausahaan. Adapun pengetahuan kewirausahaan merujuk pada struktur
pengetahuan dalam bentuk perangkat dan sarana yang dipergunakan oleh subyek kewirausahaan untuk melakukan praktik kewirausahaan, dimana didalamnya mencakup pengetahuan dasar, profesional dan komprehensif. Sedangkan, kapasitas kewirausahaan merujuk pada, kondisi subyek yang memfasilitasi kesuksesan praktik kewirausahaan yang mencakup kapasitas dasar, seperti perhatian, daya ingat, observasi dan imajinasi; kapasitas komprehensif
meliputi
kapasitas
organisasi,
manajemen,
koordinasi,
komunikasi dan operasi. Berpikir kreatif merupakan struktur dasar dari kapasitas kewirausahaan. Kualitas psikologis kewirausahaan merujuk pada karakteristik
individu
dari
subyek
kewirausahaan
dalam
praktik
kewirausahaan yang berperan sebagai penyelaras dari mental dan perilaku mereka, mencakup kemandirian, pengendalian diri, kerjasama, keberanian sosial dan kegigihan yang dapat mencerminkan kualitas emosional dan aspek kemampuan dari subyek kewirausahaan.
Triple Helix : Sebuah Model Sinergitas dalam Pengembangan Budaya Kewirausahaan Mahasiswa Pendidikan kewirausahaan sebagai bagian dari pengembangan kewirasuahaan nasional merupakan suatu upaya yang sistematis dan kompleks, hal ini dikarenakan kewirausahaan merupakan hasil interaksi, integrasi dan refleksi ide, ekepektasi dan aktivitas satu orang dengan orang lain (Priyanto, 2009); di sisi lain, kewirasuahaan juga dipengaruhi oleh banyak aspek lingkungan, seperti budaya, karakter dan kebijakan mengenai kewirausahaan itu sendiri. Sehingga upaya untuk pengembangan
budaya kewirausahaan dikalangan mahasiswa tidak dapat dilakukan atau dibebankan pada salah satu unsur saja yaitu lembaga pendidikan tinggi. Lebih lanjut, hal ini memerlukan sinergitas dari multi pihak, sehingga pendekatan model triple helix yang melibatkan kerjasama diantara tiga unsur perguruan tinggi, pengusaha, pemerintah dapat dipergunakan untuk menanggulangi masalah kompleksitas tersebut sehingga dapat menghasilkan sistem dan pendidikan kewirausahaan yang komprehensif. Pendekatan triple-helix merupakan sebagai sinergi positif antara tiga aktor yang berbeda dalam membahas pengembangan inovasi yang diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff. Model ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Taufik (2010) menekankan bahwa interaksi antara universitas (akademisi), industri dan pemerintah merupakan kunci utama bagi peningkatan kondisi yang kondusif bagi inovasi. Irawati (2007) mengemukakan model ini melibatkan universitas sebagai centre
of
excellence
melalui
aktivitas
akademik
berbasis
penelitian
dan
pengembangan, industri sebagai penyedia permintaan pelanggan berbasis aktivitas komersial serta penelitian dan pengembangan, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dimana intergrasi dari ketiga aktor yang berbeda ini secara ideal akan meningkatkan keberlimpahan pengetahuan dalam suatu wilayah dan pada gilirannya meningkatkan pengembangan daya saing ekonomi baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam perkembangannya, model triple helix ini mengalami proses pengembangan yang menggambarkan proses transformasi dalam hubungan antara ketiga pihak tersebut, di mana menurut Etzkowitz dan Leydesdorff sebagaimana yang
dilansir oleh Taufik (2010) secara konseptual setidaknya terdapat tiga bentuk evolusi model triple helix tersebut : 1.
Triple Helix I menunjukkan model Etatistic hubungan perguruan tinggi – industri – pemerinta, seperti diilustrasikan pada Gambar 2 sebagai berikut :
Sumber : Taufik, Tatang Ahmad, 2010, Kemitraan dalam Pengusatan Sistem Inovasi Nasional, Dewan Riset nasional, Jakarta. Gambar 2 : Model Triple Helix I : Model Etatistik Dalam model Triple Helix I peran pemerintah mendominasi pihak lainnya (lingkaran spiral) lain. Perkembangan sistem inovasi dan kemitraan dan kelembagaan dikendalikan oleh pemerintah. Pemerintah sebagai mediator dalam mengatur hubungan industri, transfer teknologi dan peraturan institusional. 2.
Triple Helix II, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3 didefiniskan sebagai suatu sistem komunikasi yang terdiri dari operasi pasar, inovasi teknologi (yang mempengaruhi perubahan di masa depan dan kontrol antarmuka. Antarmuka fungsi-fungsi yang berbeda ini beroperasi dalam modus terdistribusi untuk
menghasilkan bentuk-bentuk baru komunikasi seperti dalam transfer teknologi yang berkelanjutan atau dalam undang-undang paten
Sumber : Taufik, Tatang Ahmad, 2010, Kemitraan dalam Pengusatan Sistem Inovasi Nasional, Dewan Riset nasional, Jakarta. Gambar 2 : Model Triple Helix II : Model Laizzes Faire Model Triple Helix II terdiri atas tiga lingkaran kelembagaan yang terpisah dengan garis batas yang kuat, dan hubungan antara lingkaran tersebut sangat terbatas. “Ketegasan” peran secara “tradisional” mencirikan model ini. Misalnya, peran perguruan tinggi adalah menyediakan SDM (melalui pendidikan tinggi secara formal) dan lebih banyak melaksanakan riset dasar. Sementara itu peran pemerintah dibatasi oleh “kaidah” umum intervensi menurut pandangan arus utama ekonomi (mainstream economics), yaitu mengatasi kegagalan pasar. 3. Model Triple Helix III , seperti yang digambarkan pada Gambar 4 mengungkapkan perkembangan pola kemitraan yang kompleks dan dinamis antara ketiga aktor utama sistem inovasi. Para aktor berperan dalam penciptaan
infrastruktur pengetahuan dalam bentuk lingkaran spiral yang tumpang-tindih (overlapping), di mana setiap lingkaran mengambil peran pihak lainnya dan pada antarmukanya berkembang organisasi-organisasi hibrida (hybrid organization).
Sumber : Taufik, Tatang Ahmad, 2010, Kemitraan dalam Pengusatan Sistem Inovasi Nasional, Dewan Riset nasional, Jakarta. Gambar 2 : Model Triple Helix III : Model Organisasi Hibrida
Dalam Triple Helix III kelembagaan universitas, industri, dan pemerintah, di samping melakukan fungsi-fungsi tradisional mereka, masing- masing juga menggunakan peran pihak lain, antara lain dengan menggunakan jasa universitas untuk menumbuhkan industri, atau melihat kuasi-peran pemerintah sebagai pengelola inovasi lokal dan regional. Beberapa fitur penting dalam model Triple Helix III adalah terutama pada (Taufik,2010) :
Transformasi hubungan perguruan tinggi – industri - pemerintah dalam menghasilkan pengetahuan. Peran pihak yang terlibat dalam hubungan ini terintegrasi ketimbang dalam “aliran pengetahuan” melalui intermediaries. Interaksi rekursif. Hubungan antarpihak lebih merupakan proses yang terusmenerus berkembang. Peran dan batasan yang “kabur” (fuzzy border) antara berbagai aktor. Perguruan tinggi misalnya turut mengambil peran pengembangan kewirausahaan (entrepreneurial), sebaliknya swasta juga turut berperan dalam dimensi akademis Tingkat analisis mikro dalam konteks kelembagaan (institusional). Kelembagaan dalam hal ini bukan saja menyangkut “organisasi”, tetapi juga hubungan, interaksi, dan peraturan/kebijakan, serta hal lain yang mempengaruhinya. Menurut pandangan Leydesdorff dan Etzkowitz
sebagaimana yang dikutip oleh
Taufik (2010) Triple Helix pada intinya merupakan suatu model untuk menganalisis inovasi dalam suatu ekonomi berbasis pengetahuan. Sehingga konsep atau pendekatan yang telah disampaikan dapat terus diperluas sesuai dengan dinamika perubahan dan konteksnya. Lebih lanjut, Taufik (2010) mengemukakan bahwa perkembangan perspektif bentuk dan hubungan antar berbagai aktor dalam inovasi tidak terjadi begitu saja melainkan terbentuk atau terbangun dalam evolusi sosial, teknik dan ekonomi dari masyarakat modern yang cenderung mengubah diri mereka dan berinteraksi di antara mereka dengan penataan ulang konfigurasi yang pada gilirannya akan membentuk suatu tipologi kemitraan sebagai fungsi komunikasi dan koordinasi antara lembaga-lembaga yang terkait. Dalam konteks program pengembangan budaya kewirausahaan, upaya bersama ini dapat tergambar pada
Tim Koordinasi Nasional Pengembangan
Wirausaha Kreatif di Kementerian Koordinator Perekonomian RI,
mendorong
pengembangan kewirausahaan nasional melalui tiga jalur terpadu Tri Tunggal Kewirausahaan yaitu Pembenihan, Penempaan dan Pengembangan, Joewono (2011) :
1.
Tahap Pembenihan Pembenihan
kewirausahaan
dimaksudkan
untuk
menanamkan
atau
mencangkokkan benih kewirausahaan pada target group yang potensial menjadi wirausaha. Pembenihan dilakukan melalui kampanye terpadu above the line dan below the line menggunakan media massa dan beragam pertemuan dengan audien berjumlah banyak. Pembenihan dimaksudkan untuk meningkatkan minat dan tekad para calon wirausaha agar termotivasi untuk memulai bisnis baru. Kegiatan
pembenihan
kewirausahaan
yang
dilakukan
antara
lain
penyelenggaraan Creative Entrepeneur Dialog pada bulan Desember 2010 dan Pencanangan Gerakan Kewirausahaan Nasional pada bulan Februari 2011 bertempat di SMESCO. KADIN dan DIKTI pada beberapa tahun terakhir ini juga mengadakan seminar dan pelatihan dan dosen di belasan kota untuk mengobarkan semangat berwirausaha di kampus yang diikuti ribuan calon wirausaha baru dengan semangat tinggi. Kalangan BUMN, perusahaan swasta dan berbagai lembaga swadaya masyarakat telah memberi perhatian besar pada program pembenihan kewirausahaan. 2.
Tahap Penempaan
Pada kebanyakan calon wirausaha yang sudah punya tekad berwirausaha, diperlukan program penempaan dalam bentuk pelatihan teknis dan praktis untuk memulai bisnis baru. Para penyelenggara pelatihan dan kursus di pemerintahan, perusahaan
dan
masyarakat
perlu
memberi
porsi
lebih
besar
pada
penyelenggaraan program penempaan wirausaha. Kegiatan mentoring dalam bentuk konsultasi bisnis baru, conselling dan pendampingan sangat diperlukan oleh para calon wirausaha agar berani dan bisa memulai bisnis barunya. 3.
Tahap Pengembangan Bagi wirausaha yang sudah memulai bisnisnya dan membutuhkan, perlu disediakan fasilitasi untuk memperlancar pengembangan bisnisnya agar tercipta wirausaha-wirausaha baru Indonesia yang berdaya saing global. Fasilitasi yang diberikan di tahap pengembangan antara lain peningkatan akses permodalan, pemanfaatan
teknologi,
akses
pasar,
dan
pengembangan
daya
saing.
Pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong inovasi perlu dioptimalkan
dalam
pengembangan
kewirausahaan
nasional,
termasuk
didalamnya pengembangan lembaga dan fasilitas inkubator bisnis dan teknologi.
Penutup Keberadaan kewirausahaan sebagai sebuah spirit menjadi suatu hal yang mendesak di Indonesia, hal ini dikarenakan terkait dengan memainkan peran kritikal dalam perkembangan perekonomian bangsa. Di sisi lain dengan semakin kompetitifnya lingkungan bisnis dengan ditandai oleh fenomena hypercompetition dan perubahan lingkungan yang semakin tidak pasti
sehingga menempatkan
kreativitas dan inovasi sebagai modal dasar untuk dapat memelihara kualitas pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk melakukan pengembangan budaya kewirausahaan menjadi penting, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi yang diharapkan tidak saja mampu mengubah paradigma berpikir dari job-seeker ke job-creator, melainkan juga memperbaiki kualitas pelaku ekonomi Indonesia yang mengedepankan kreativitas dan inovasi. Pendidikan kewirausahaan dapat dipandang sebagai strategi pembudayaan kewirausahaan yang diharapkan sebagai media untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas kewirausahaan dan sekaligus sebagai platform untuk penanaman pengusaha baru di mana didalamnya terdapat upaya-upaya untuk melakukan peluang,
penyusunan
sumberdaya
dengan
mempertimbangkan
pengenalan risiko,
dan
membangun usaha bisnis Pendidikan kewirausahaan sebagai bagian dari pengembangan kewirausahaan nasional merupakan suatu upaya yang sistematis dan kompleks, hal ini memerlukan sinergitas dari multi pihak. Pendekatan model triple helix yang melibatkan kerjasama diantara tiga unsur perguruan tinggi, pengusaha, pemerintah dapat dipergunakan untuk menanggulangi masalah kompleksitas tersebut sehingga dapat menghasilkan sistem dan pendidikan kewirausahaan yang komprehensif sekaligus memunculkan sosok wirausahawan yang inovatif.
***AS***
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, 2010, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Peningkatan Jumlah Mahasiswa : Sebuah Kerangka Penelitian, Orange Book, Departemen Agribisnis FEM IPB Bogor. Chen, Yurong; Wang, Wenhua; Wang Weixing, 2010, Study on Operation Mechanism of University Students’ Entrepreneurship Education, Asian Social Science, Vol. 6, No. 8; August, pp.48-53. Cuervo, Alvaro; Ribeiro Domingo, Roig Salvador, 2011, Entrepreneurship: Concepts, Theory and Perspective : Introduction, Universitad de Valencia, Spain. Gimmon, Levi and Levi, Jonathan, 2009, Instrumental Value Theory and Human Capital of Entrepereneurs, Journal of Economics Issues, Volumne XLIII, No.3, September, pp.715-732. Grebel, Thomas; Pyka, Andreas; Hanusch, Horsch, 2003, Evlutionary Approach to the Theory of Entrepreneurship, Industry and Innovation, Vol.10, No.4 December, pp.493-514. Irawati, Dessy, 2007, Understanding The Triple Helix Model from The Perspective of the Developing Country: A Demand or A Challange for Indonesian Case Study?, MPRA Paper no.5829,pp.1-16. Jaafar, Mastura; Aziz, Abdul Rashid Abdul, 2008, Entrepreneurship education in developing country Exploration on its necessity in the construction programme, Journal of Engineering, Design and Technology, Vol. 6 No. 2, pp. 178-189 Joewono, Handito, 2011, Strategi Pengembangan Kewirausahaan Nasional Sebuah Rekomendasi Operasional, INFOKOP Vol. 19 – JULI, pp. 1 – 23. Mars, Matthew M; Aguilar,Cecilia Rios, 2010, Academic entrepreneurship (re)defined: significance and implications for the scholarship of higher education, High Education, 59; pp.441–460 Mars, Matthew M; Ginther, Mary Beth, 2012, Academic Innovation and Autonomy : An Exploration of Academic Entrepreneurship Education within American Community College and the Academic Cpaitalist Context, Community College Review, 40(1), pp.75-95. Najib, Mohammad Farid, 2007, Pengangguran dan Kewirausahaan : Re-Orientasi Mahasiswa dari Job-seekers ke Job-creators, Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Voume 8 Nomor 1, Februari, pp.156-162 Priyanto, Soni Heru, 2009, Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat, Andragogia, Jurnal PNFI ,Volume 1 / No 1 – Nopember, pp.57-82. Solt, Michael, 2006, Transforming China in the 21st Century Through Entrepreneurship, Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability, Volume III, Issue 1, pp.1-29. Taufik, Tatang Ahmad, 2010, Kemitraan dalam Pengusatan Sistem Inovasi Nasional, Dewan Riset nasional, Jakarta. Yanya, Muhammadsuhaimee; Hakim, Roslan Abdul; Razak, Nor Azam Abdul, 2011, Entrepreneurship Causes Growth or Growth Causes Entrepreneurship?
Evidence from Thailand, International Conference on Business and Economics Research, IPEDR Vol.16, pp.53-57.
Biodata : Adi Soeprapto, lahir di Surabaya, 4 April 1971, Pendidikan pendidikan S3 pada Program Doktor Ilmu Admnistrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang (lulus tahun 2009), S2 Program Studi Ilmu Administrasi Niaga Konsentrasi Pengembangan Sistem Informasi Universitas Brawijaya Malang (lulus tahun 2003), S1 Jurusan Ilmu Administrasi Niaga FIA Universitas Brawijaya Malang (lulus tahun 1996). Saat ini menjadi Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis Fisip UPN “Veteran” Yogyakarta (1997-sekarang). Aktif sebagai Wakil Ketua I Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Yogyakarya (periode 2006-2011; 2011-2016). Publikasi antara lain Political Marketing : Suatu Kontribusi Teori Marketing dalam Bidang Politik, Paradigma, Jurnal Masalah-masalah Kebijakan, Vol.9, Nomor 1, Maret (2005), Pilkada Langsung dan Pengembangan Ekonomi Daerah, dalam buku Pilkada langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, Subhan afifi, Nikolaus Loy, Susilastuti, DN (ed.), (2005), FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta Press, Yogyakarta. Penelitian terkini adalah tentang Pengembangan Model Analisis Dampak Sosial Pelayanan Transportasi Publik Perkotaan (2009).