BioSMART Volume 7, Nomor 1 Halaman: 47-52
ISSN: 1411-321X April 2005
Siklus Estrus dan Struktur Histologis Ovarium Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Setelah Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Secara Oral Estrous cycle and histologic structure of rat’s (Rattus norvegicus L.) ovaries by oral administration of monosodium glutamate (MSG) DIAN MEGAWATI, SUTARNO♥, SHANTI LISTYAWATI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 23 September 2004. Disetujui: 3 Januari 2005.
ABSTRACT The objectives of this research were to study the effects of giving MSG orally on estrous cycle and histological structure of rat’s ovaries. Randomized Completed Design was used in this research. Laboratory animal were grouped in to five dosage groups of MSG, 0, 77, 98, 119 and 140 mg/200 g body weight’s respectively. Every group consists of five repetitions. The estrous cycles of MSG-treated rats showed shorter periods of diestrous and longer periods of proestrous and estrous. The ovaries of MSG-treated rats had no effect in the number of primary follicles, but decreased in the number of secondary and tertiary follicles in 140 mg/200g body weight’s dosage, decreased in the number of corpus luteum and increased in the number of atretic follicles in 140 mg/200g body weight’s dosage. The treatment also caused abnormalities such as the granulose cells escaped from basement membrane, there were many crevices between granulose cells, follicle cells were free and filled the antrum, the theca layers were destroyed and showed degeneration of ovum. Key words: monosodium glutamate, rat (Rattus noregicus L.), estrous cycle, ovary.
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, termasuk perubahan pola konsumsi makanan yang lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan makanan awetan yang belakangan ini semakin banyak dijual di pasar tradisional dan swalayan. Penggunaan bahan tambahan makanan sering dijumpai, salah satunya adalah bahan penyedap yang banyak sekali digunakan seperti senyawa L-asam glutamat yang digunakan dalam bentuk garamnya yaitu monosodium glutamat (MSG) (Tranggono dkk., 1989). Berbagai merk dagang MSG telah dikenal di masyarakat secara luas seperti Ajinomoto, Vetsin, Micin, Sasa, Miwon dan sebagainya (Donatus, 1990; Maun, 1998). MSG merupakan bumbu penyedap ketiga yang paling banyak digunakan di dunia, setelah garam dan lada. Ratarata konsumsi terhadap MSG di dunia melebihi 67,5 juta kg/tahun (Esminger, 1995). Pada tahun 1995, Frank melaporkan adanya suatu “sindroma restoran cina” yang memperlihatkan gejala-gejala sakit antara lain rasa panas, rasa tertusuk-tusuk pada wajah dan leher, dada sesak dan ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail:
[email protected] [email protected],
[email protected]
lain-lain. Kaemmerer (1999) mengatakan beberapa reaksi sensitivitas yang mungkin terjadi karena MSG antara lain sakit kepala, migrain, kejang-kejang, mual, muntah, berdebar-debar, sesak nafas dan bercak pada kulit. Fahim et al. (1999) mendapatkan kesimpulan dari penelitiannya, bahwa MSG menyebabkan penurunan kandungan histamin yang berarti dalam sistem saraf pusat. Olney et al. (1970) mengatakan MSG juga menyebabkan kerusakan pada otak. Nagasawa et al. (1974) menemukan bahwa MSG menyebabkan terjadinya obesitas dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan tubuh pada tikus neonatal. Selain itu beberapa peneliti lain mengatakan bahwa MSG dapat menyebabkan gangguan endokrinal melalui mekanisme hipotalamus-hipofisis (Olney et al., 1970; Airoldi et al., 1980; Tandjung dan Rahman, 1988; Donham et al., 1990). Dua hormon gonadotropin FSH (Follicle-stimulating hormone) dan LH (Luteinizing hormone) disekresikan oleh hipofisis anterior, yang sekresinya diatur oleh signal yang berasal dari hipotalamus (Guyton, 1992). Fungsi sekretorik dan gametogenik gonad serta siklus seksual bergantung pada sekresi hormon gonadotropin ini (Ganong, 1998). Hormon gonadotropin ini juga menggiatkan pertumbuhan praovulasi dan sekresi estrogen dan progesteron, yang memiliki mekanisme umpan balik terhadap hipotalamus (Turner dan Bagnara, 1976). Dari kerja fisiologis endokrinal inilah diduga bahwa MSG dapat menimbulkan kerusakan pada sistem dan organ reproduksi serta lebih jauh lagi dapat menyebabkan infertilitas. 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
48
B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 47-52
Tuntutan kebutuhan terhadap makanan yang rasanya enak membawa konsekuensi pemakaian bahan penyedap terutama MSG semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi zat tersebut dalam tubuh. Dampak negatif dari penggunaan MSG secara berlebihan sebenarnya sudah lama diketahui dari penelitian para ahli, namun penggunaan MSG secara bebas tetap dilakukan masyarakat. Di sisi lain pemerintah belum memberikan batasan yang jelas dalam hal penggunaan dan pemasaran MSG (Depkes. RI, 1992). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menambah informasi ilmiah tentang pengaruh MSG terhadap sistem dan organ reproduksi betina. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari–Maret 2003. Tempat penelitian di Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Laboratorium Patologi Balai Penyelidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wates-Kulonprogo dan Sub Lab Biologi, Laboratorium Pusat MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bahan dan alat Dalam penelitian ini digunakan 25 tikus putih (Rattus norvegicus L.) betina yang belum pernah bunting, umur 2 bulan dan berat badan rata-rata 150 gram. Pakan hewan uji adalah pelet Br II dan air ledeng sebagai minumnya. Untuk pewarnaan preparat apus vagina digunakan larutan Methilen Blue 0,1%. Untuk pembuatan preparat awetan histologi ovarium diperlukan seperangkat bahan pembuatan preparat section dan zat warna Ehrlich Hematoxilin-Eosin. Alat yang digunakan untuk membuat larutan uji adalah timbangan analitik, gelas ukur, pipet ukur, botol, tissue dan kertas label. Dalam pemberian perlakuan diperlukan timbangan Ohaus dan disposable syringe ukuran 1,0 mL yang ujungnya diberi kanul. Untuk pembuatan sediaan apus vagina diperlukan cotton bud, gelas benda dan gelas penutup. Peralatan bedah terdiri dari bak parafin, gunting, scalpel, pinset, jarum, kapas. Untuk pembuatan preparat histologi ovarium diperlukan alat-alat seperti cawan petri, flakon, botol-botol, pipet tetes, gelas ukur, corong gelas, pisau, timer, gelas piala, oven parafin, kotak kecil, holder kayu, spatula, refrigerator, rotary microtome beserta pisaunya, kuas kecil, gelas benda, gelas penutup, hot plate, staining jar, rak gelas, wadah plastik, pipa kapiler, kertas isap, kertas tissue dan kotak sediaan. Mikroskop cahaya serta buku kerja digunakan untuk pengambilan data. Cara kerja Rancangan percobaan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan lima macam perlakuan dengan lima kali ulangan. Persiapan hewan percobaan. Sebelum digunakan untuk percobaan, tikus betina diaklimasi terlebih dahulu selama satu minggu.
Pembuatan larutan uji. Monosodium glutamat dibuat larutan uji dengan dosis bervariasi menurut Ratnawilis (1991) dalam Maun (1998) dan Hegenbart (1994), yaitu 0 mg/200 g BB sebagai kontrol, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB, 140 mg/200 g BB, dengan menggunakan akuades sebagai pelarutnya (Depkes RI, 1979). Perlakuan hewan uji. Tikus diberi larutan MSG secara oral menggunakan disposable syringe 1 mL dengan dosis untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: • Kelompok I : 1 mL akuades sebagai kontrol • Kelompok II : Monosodium glutamat 77 mg/200 g BB dalam 1 mL akuades • Kelompok III: Monosodium glutamat 98 mg/200 g BB dalam 1 mL akuades • Kelompok IV: Monosodium glutamat 119 mg/200 g BB dalam 1 mL akuades • Kelompok V : Monosodium glutamat 140 mg/200 g BB dalam 1 mL akuades Pemberian MSG dilakukan selama 30 hari. Setelah perlakuan, saat tikus betina dalam masa estrus, tikus dibunuh untuk diambil ovariumnya kemudian dibuat preparat section dan diamati dengan mikroskop. Pembuatan sediaan apus vagina. Untuk mengetahui siklus estrus setiap hewan uji maka dilakukan apus vagina pada masing-masing hewan uji selama 20 hari. Goresan dilakukan pada dinding dalam vagina masing-masing hewan uji menggunakan cotton bud sehingga dinding epitel vagina terambil. Epitel yang terambil di ujung cotton bud dioleskan pada gelas benda kemudian ditetesi dengan larutan Methylen Blue 0,1 %. Setelah diberi gelas penutup diamati di bawah mikroskop (Suntoro, 1983). Pembuatan preparat histologis ovarium. Preparat histologis pada penelitian ini dibuat menurut metode parafin dengan pewarnaan HE (Suntoro, 1983). Cara pengumpulan data. Dari preparat apus vagina dapat diketahui lama fase-fase siklus estrus yang terjadi pada tikus putih (Rattus norvegicus L.). Dari preparat histologi ovarium dapat diamati perubahan struktural dan jumlah dari folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier, folikel atresia dan korpus luteum. Analisis data Untuk mengetahui pengaruh monosodium glutamat (MSG) terhadap siklus estrus dan struktur histologis ovarium, maka data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan One way Analisis Varian (Anava) dan apabila ada beda nyata di antara perlakuan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf signifikansi 5 %, sedangkan untuk data kualitatif dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus estrus Berikut ini merupakan gambaran pola perubahan fasefase yang terjadi selama siklus estrus pada masing-masing kelompok perlakuan.
MEGAWATI dkk. – Pengaruh siklus estrus dan struktur histologis ovarium Rattus norvegicus
49
Gambar 1. Pola perubahan fase-fase siklus estrus tikus putih setelah 20 hari pemberian Monosodium Glutamat dalam berbagai dosis perlakuan. D = Diestrus; P = Proestrus; E = Estrus
Gambar 1 menunjukkan perubahan fase-fase siklus estrus yang terjadi pada setiap individu tikus selama jangka waktu 20 hari. Jika diperhatikan secara garis besar terlihat bahwa perlakuan II (dosis MSG 77 mg/200 g BB) pola siklusnya tidak berbeda dengan perlakuan I (kontrol). Pada perlakuan III (dosis MSG 98 mg/200 g BB) terlihat fase estrus cenderung mengalami sedikit perpanjangan dibandingkan perlakuan I (kontrol). Perlakuan IV (dosis MSG 119 mg/200 g BB) memperlihatkan pola dengan perpanjangan fase estrus yang cukup lama dan fase proestrus juga mengalami perpanjangan, namun fase diestrusnya tidak begitu berbeda dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan V (dosis MSG 140 mg/200 g BB) memperlihatkan pola fase diestrus yang relatif dipersingkat dan fase proestrus serta estrus relatif diperpanjang. Dari gambaran tersebut diketahui bahwa MSG pada dosis tertentu (98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB, 140 mg/200 g BB) dapat mempengaruhi pola siklus estrus. Perubahan pola siklus estrus setelah perlakuan ini sebenarnya sangat berhubungan dengan perubahanperubahan yang terjadi dalam ovarium. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tandjung dan Rahman (1988) dan Nagasawa et al. (1974), pemberian MSG secara terus menerus dapat menyebabkan gejala degenerasi struktural organ-organ endokrinal hewan uji. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Vitt et al. ( 2000) diketahui bahwa pemberian MSG pada tikus betina dapat menghambat peningkatan konsentrasi FSH dalam serum. Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan perkembangan folikel ovarium menjadi terhambat karena pengaruh hormon FSH mutlak diperlukan dalam proses ini. Masa pertumbuhan folikel hingga mencapai perkembangan maksimal merupakan fase proestrus pada tikus. Hormon FSH menginisiasi perkembangan folikel ovarium serta meningkatkan jumlah sel granulosa, disamping itu peningkatan jumlah sel teka dipengaruhi oleh LH yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi estrogen dan sintesis progesteron (Brook and Marshall, 1995). Struktur histologis ovarium Pengamatan secara kualitatif Ada beberapa bentuk kerusakan yang terlihat pada sebagian besar folikel ovarium yaitu terlepasnya sel-sel granulosa dari membrana basal, terdapat banyak celah di antara sel-sel penyusun membran granulosa serta terlepasnya sel-sel folikel dan masuk ke dalam antrum folikuli. Kerusakan-kerusakan yang terlihat ternyata merupakan tanda-tanda dari proses atresia (Junquiera et al., 1997) yang dapat dialami oleh folikel primer, folikel sekunder dan folikel tersier. Kerusakan ini bisa dijumpai pada kelima kelompok perlakuan, karena ovarium normal sekalipun tetap akan memiliki folikel atretik. Perbedaan kerusakan hanya akan terlihat secara kuantitatif dari jumlah folikel atretik yang berbeda antar berbagai dosis perlakuan. Proses peningkatan jumlah folikel atretik ini terjadi akibat adanya gangguan hormonal karena pengaruh pemberian MSG.
B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 47-52
50
Pengamatan secara kuantitatif Hasil perhitungan jumlah folikel untuk masing-masing stadium perkembangan folikel tikus setelah perlakuan uji dapat ditabulasikan pada Tabel 1.
30 25 20 15 10 5
Tabel 1. Rata-rata persentase jumlah folikel dan korpus luteum ovarium tikus putih ±SD masing-masing stadium perkembangan, setelah pemberian MSG dalam dosis yang bervariasi, menggunakan uji one way anova dan uji lanjut DMRT 5%.
29,56±5,10a 27,12±2,24a 26,87±3,63a 25,70±4,42a 26,72±4,13a
I II III IV V
Folikel Folikel sekunder tersier
Korpus luteum
Folikel atresia
23,71±2,50b 25,19±1,30b 25,07±2,96b 22,79±2,60ab 19,53±4,45a
12,29±3,52c 7,78±2,29ab 9,45±4,59bc 10,26±2,58bc 4,8±1,49a
16,46±1,65a 23,28±2,28b 17,02±4,68a 21,66±2,84ab 28,60±5,97c
21,59±1,92b 19,85±2,50ab 19,46±2,13ab 18,67±3,52ab 17,37±3,23a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar dosis perlakuan. Perlakuan: I. 1 mL akuades/200g BB sebagai kontrol, II. 77 mg MSG dalam 1 mL akuades/200g BB, III. 98 mg MSG dalam 1 mL akuades/200g BB, IV. 119 mg MSG dalam 1 mL akuades/200g BB, V. 140 mg MSG dalam 1 mL akuades/200g BB.
Kontrol
119mg/200g 140mg/200g BB BB
30 25 20 15 10 5 0 Kontrol
77mg/200g BB
98mg/200g BB
PERLAKUAN
25
119mg/200g 140mg/200g BB BB
20 15 10 5 0 Kontrol
77mg/200g BB
98mg/200g BB
PERLAKUAN
119mg/200g BB
140mg/200g BB
Gambar 2. Persentase jumlah folikel primer tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian MSG dengan berbagai dosis (0 mg/200 g BB, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB dan 140 mg/200 g BB).
Gambar 5. Persentase jumlah korpus luteum tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian MSG dengan berbagai dosis (0 mg/200 g BB, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB dan 140 mg/200 g BB).
JML FOLIKEL ATRESIA (%)
JML FOLIKEL PRIMER (%)
98mg/ 200g BB
Gambar 4. Persentase jumlah folikel tersier tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian MSG dengan berbagai dosis (0 mg/200 g BB, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB dan 140 mg/200 g BB).
30
30 25 20 15 10 5 0 Kontrol
JML FOLIKEL SEKUNDER (%)
77mg/200g BB
P E R LA KUA N
JML KORPUS LUTEUM (%)
Perla- Folikel kuan primer
0
77mg/200g BB 98mg/200g BB 119mg/200g BB
140mg/200g BB
PERLAKUAN
30 25 20
Gambar 6. Persentase jumlah folikel atresia tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian MSG dengan berbagai dosis (0 mg/200 g BB, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB dan 140 mg/200 g BB).
15 10 5 0 Kontrol
77mg/200g BB
98mg/200g BB
119mg/200g BB
140mg/200g BB
PERLAKUAN
Gambar 3. Persentase jumlah folikel sekunder tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah pemberian MSG dengan berbagai dosis (0 mg/200 g BB, 77 mg/200 g BB, 98 mg/200 g BB, 119 mg/200 g BB dan 140 mg/200 g BB).
Hasil analisis folikel primer menggunakan one way Anova yang dilanjutkan uji DMRT dengan taraf uji 5% (Tabel 1, Gambar 2) menunjukkan bahwa pemberian MSG dalam berbagai dosis tidak berpengaruh nyata terhadap persentase jumlah folikel primer ovarium, walaupun pemberian MSG dapat menyebabkan gangguan hormonal. Namun secara umum jumlah folikel primer tetap
MEGAWATI dkk. – Pengaruh siklus estrus dan struktur histologis ovarium Rattus norvegicus
mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Hal ini terjadi karena FSH dalam jumlah kecil telah mampu mengaktivasi sel folikel primordial yang pada ovarium sejak lahir. Folikel primordial yang terdiri dari selapis sel pipih, berkembang menjadi selapis sel kuboid yang dinamakan folikel primer unilaminer. Sel ini akan berproliferasi secara mitosis membentuk lapisan granulosa. Folikel ini dinamakan folikel primer multilaminer. Folikel primer akan terus membesar dan sel folikelnya akan terus diperbanyak di bawah pengaruh FSH. Sel stroma di sekitarnya mulai membentuk lapisan terorganisasi mengelilingi folikel yang disebut teka folikuli. Teka ini dipisahkan dari sel folikel oleh suatu membran basal, sehingga folikel terletak lebih dalam di korteks ovarium dan dinamakan folikel sekunder (Burkitt et al., 1995). Secara umum MSG mampu menghambat kinerja FSH, sehingga aktivitas folikel primordial menjadi folikel primer juga ikut terhambat. Akibatnya pada tikus yang diberi MSG, jumlah folikel primer cenderung turun dibandingkan kontrol meskipun tidak secara signifikan. Hasil analisis jumlah folikel sekunder (Tabel 1, Gambar 3) menunjukkan bahwa pemberian MSG berpengaruh nyata terhadap jumlah folikel sekunder pada perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB), yaitu jumlah folikel sekundernya menurun secara signifikan dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lain. Perlakuan II (dosis 77 mg/200 g BB), III (dosis 98 mg/200 g BB) dan IV (dosis 119 mg/200 g BB) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah folikel sekunder dibandingkan dengan kontrol. Hai ini terjadi karena MSG dapat menyebabkan gangguan hormonal pada tikus. Ion glutamat dalam sirkulasi portal akan mempengaruhi hipotalamus dalam memproduksi GnRH (Gonadotrophin-releasing hormone) yang selanjutnya akan mengganggu hipofisis anterior dalam memproduksi FSH dan LH. Menurut Burkitt (1995), pada awal perkembangan folikel sekunder zona granulosa berproliferasi dengan cepat di bawah pengaruh FSH. Selanjutnya Johnson dan Everitt (1988) menyatakan hanya sel granulosa yang memiliki reseptor FSH pada folikel. Gangguan hormonal akibat pengaruh MSG menyebabkan proses perkembangan folikel tidak berjalan dengan normal, sehingga sebagian besar menjadi atretik. Pengaruh yang signifikan terjadi pada perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB), karena merupakan dosis MSG yang paling tinggi, sehingga resiko gangguan hormonal paling besar, sedangkan perlakuan II (dosis 77 mg/200 g BB), III (dosis 98 mg/200 g BB) dan IV (dosis 119 mg/200 g BB) tidak mempengaruhi jumlah folikel sekunder dibandingkan dengan kontrol. Menurut Junquiera (1997) perkembangan folikel sekunder dan penambahan sel granulosa menyebabkan timbunan cairan folikel (liquor folliculi) di antara sel-sel, sehingga terbentuk rongga yang disebut antrum. Oosit akan terletak eksentrik dalam daerah granulosa tebal yang disebut kumulus ooforus. Semakin lama rongga-rongga yang berisi cairan folikel menyatu membentuk satu rongga yang akan terus membesar sehingga terbentuk folikel tersier. Hasil analisis folikel tersier (Tabel 1, Gambar 4) menunjukkan bahwa pemberian MSG berpengaruh nyata terhadap jumlah folikel tersier, tetapi hal ini hanya terjadi
51
pada kelompok perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB) dibandingkan dengan kontrol. Untuk kelompok perlakuan II (dosis 77 mg/200 g BB), III (dosis 98 mg/200 g BB) dan IV (dosis 119 mg/200 g BB) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol maupun dengan kelompok V (dosis 140 mg/200 g BB). Seperti halnya folikel primer, perkembangan folikel tersier distimulasi oleh FSH dan LH. Gangguan sistem hormonal akibat pemberian MSG pada dosis perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB) menyebabkan perbesaran antrum terganggu. Pembentukan zona granulosa yang merata di sekeliling tepi folikel juga tidak maksimal. Sel granulosa tidak hanya memproduksi hormon, tetapi juga mensuplai makanan pada telur. Kerusakan sel ini akan menyebabkan kematian sel telur, sehingga banyak folikel yang menjadi atretik. Pada akhir fase folikular, folikel masak siap untuk diovulasikan dengan adanya lonjakan LH (LH-surge), dan meningkatnya jumlah FSH sesaat sebelum ovulasi. Setelah ovulasi, folikel yang ruptur mengempes dan terisi bekuan darah dan lapisan dinding folikelnya disusun kembali membentuk kelenjar endokrin sementara yaitu korpus luteum. Tabel 1 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah korpus luteum kelompok perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB) dan II (dosis 77 mg/200 g BB) mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok perlakuan III (dosis 98 mg/200 g BB) dan IV (dosis 119 mg/200 g BB), penurunan jumlah korpus luteumnya tidak signifikan, tetapi jumlahnya tetap lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol. Penurunan jumlah korpus luteum setelah perlakuan menunjukkan terganggunya proses ovulasi pada ovarium. Hal ini kemungkinan disebabkan tidak terjadinya lonjakan LH dan peningkatan jumlah FSH akibat perlakuan. Oleh karena itu sebagian besar folikel tersier yang sudah masak menjadi atretik sebelum terjadinya ovulasi. Hasil pengamatan terhadap jumlah folikel atresia (Tabel 1, Gambar 6) menunjukkan bahwa pemberian MSG pada perlakuan V (dosis 140 mg/200 g BB) dan II (dosis 77 mg/200 g BB) menyebabkan peningkatan folikel atresia yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan III (dosis 98 mg/200 g BB) dan IV (dosis 119 mg/200 g BB) berpengaruh terhadap penurunan jumlah folikel atresia tidak signifikan, tetapi jumlahnya tetap lebih besar dari jumlah folikel atresia pada kontrol. Gangguan hormonal akibat pengaruh MSG menyebabkan proses perkembangan folikel tidak berjalan normal sehingga sebagian besar folikel menjadi atretik. Peningkatan jumlah folikel atresia ini dimungkinkan akibat terhambatnya pematangan folikel ovarium mulai dari stadium perkembangan folikel primer hingga terjadinya ovulasi. Atresia merupakan gejala yang umum terjadi pada folikel ovarium hewan normal, namun pemberian MSG dapat meningkatkan jumlah folikel atresia. Pemberian MSG sebenarnya mempengaruhi ovarium secara keseluruhan dan saling berhubungan. Secara umum gangguan yang menyebabkan penurunan jumlah folikel sekunder akan menurunkan jumlah folikel tersier dan kemudian mempengaruhi penurunan jumlah korpus luteum dan peningkatan jumlah folikel atresia. Jika sejak tahap awal perkembangan folikel sudah terganggu maka tahap
52
B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 47-52
selanjutnya akan semakin terganggu. Jumlah korpus luteum berbanding terbalik dengan jumlah folikel atresia setelah perlakuan, terutama pada kelompok dosis yang pengaruhnya berbeda nyata. Pada kelompok II (dosis 77 mg/200 g BB) dan V (dosis 140 mg/200 g BB) terlihat dengan jelas bahwa pemberian MSG menyebabkan penurunan jumlah korpus luteum dan peningkatan jumlah folikel atresia. Jumlah korpus luteum yang sedikit menunjukkan jumlah folikel yang berovulasi juga sedikit karena banyak folikel yang mengalami atresia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Vitt et al (2000) dan Olney (1970), pemberian MSG pada hewan percobaan dapat menyebabkan gangguan produksi hormon FSH dan LH. Gangguan produksi hormon ini selanjutnya akan mempengaruhi gangguan struktur histologis ovarium. KESIMPULAN Pemberian MSG pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) secara umum mempersingkat fase diestrus, namun memperpanjang fase proestrus dan estrus. Pemberian MSG menyebabkan kerusakan struktur histologis ovarium, yaitu: terlepasnya sel-sel granulosa dari lamina basal, terdapat banyak celah di antara sel-sel granulosa, terlepasnya sel-sel folikel dan masuk ke antrum, rusaknya jaringan teka dan sel telur berdegenerasi. Secara kuantitatif, pemberian MSG pada tikus putih tidak mempengaruhi jumlah folikel primer secara signifikan, tetapi menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah folikel sekunder, folikel tersier, korpus luteum, dan menyebabkan peningkatan jumlah folikel atresia. DAFTAR PUSTAKA Airoldi, L., M. Bonfanti, P. Ghezzi, M. Salmona, and S. Garattini. 1980. Effect of oral monosodium glutamate on glutamic acid levels in the nucleus arcuatus of the hypothalamus and on serum osmolality of adult and infant mice. Toxicology Letter 7 (2): 107-111. Brook, C.G.D. and N.J. Marshall. 1995. Essential Endocrinology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Burkitt, H.G., J.W. Heath, and B. Young. 1995. Histologi Fungsional. Edisi 3. Penerjemah: J. Tambojang. Jakarta: EGC. Depkes RI. 1979. Kodeks Makanan Indonesia tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Depkes RI. 1992. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Makanan. Edisi II. Jilid II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Donham, R.S., K.M. Ogilvie, T.M. Kerner, and M.H. Stetson. 1990. Daily rhithms of luteinizing hormone and follicle stimulating hormone persist in female hamsters sterilized by neonatal administration of monosodium glutamate. Biology of Reproduction 43: 392-396. Esminger, A.H., M.E. Esminger, J.E. Konlande, and J.R.K. Robson. 1995. The Concise Encyclopedia of Foods and Nutrition. New York: CRC Press. Fahim, E., A.M. Rahman, and M.M. Fathi. 1999. Effect of monosodium glutamate and sodium benzoate on histamine content and their potential interaction with antihistaminic in different CNS areas of albino rat. Egyptian Ger. Society of Zoology Journal 29 (A): 1-16. Frank, C. 1995. Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran dan Penelitian Risiko. Edisi kedua. Penerjemah: Nugroho, E. Jakarta: UI Press. Ganong, W.F. 1998. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-16. Widjajakusuma, M.D. Jakarata: EGC. Guyton, A.C. 1992. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Darma, A. dan P. Lukmanto. Jakarta: EGC. Hegenbart, S. 1994. Filtering the Facts on Flavor Enhancers. www.foodproductdesign.com/archieve/1994/0294cs.html. [24 September 2002]. Johnson, M. and B. Everitt. 1988. Essential Reproduction. 3rd edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Junquiera, L.C., J. Carneiro, dan O. Kelley. 1997. Histologi Dasar. Edisi kedelapan. Penerjemah: Harsojo. Surabaya: Airlangga University Press. Kaemmerer, C. 1999. Food Additives, Part I. www.healingwell.com/ library/allergies/kaemmerer4.asp. [24 september 2002] Maun, S. 1998. Beberapa permasalahan mengenai monosodium glutamat (MSG). Majalah Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti 17 (1): 1-6. Nagasawa, H., R. Yanai, and S. Kikuyama. 1974. Irreversible inhibiton of pituitary prolactin and growth hormone secretion and of mammary gland development in mice by monosodium glutamate administered neonataly. Acta Endokcrinologica 75: 249-259. Olney, J.W. 1970. MSG and aspartate cause brain damage following a single low level dose. Nature: 227. Suntoro, H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi & Histokimia). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Tandjung, H.S.D. dan Rahman, A. 1988. Pengaruh Pemberian Secara Oral Beberapa Jenis Kemasan MSG di Pasaran terhadap Struktur Organ-organ Endokrinal Kelinci. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Tranggono. 1989. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Turner, C.D., dan J.T. Bagnara. 1976. Endokrinologi Umum. Edisi keenam. Penerjemah: Harsojo. Surabaya: Airlangga University Press. Vitt, U.A., E.A. McGee, M. Hayashi, and A.J.W. Hsueh, 2000. In vivo treatment with GDF-9 stimilates primordial follicle progression and cell marker CYP17 in ovaries of immature rats. Endocrinology Journal 141: 3814-3820.