1
SELEKSI CENDAWAN ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN CABAI
RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Seleksi Cendawan Endofit untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tanaman Cabai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Ratna Dwi Hirma Windriyati NRP A352110041
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian pihak terkait.
4
RINGKASAN RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI. Seleksi Cendawan Endofit untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh SURYO WIYONO dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan mempunyai kedudukan penting dalam industri pangan di Indonesia. Budidaya cabai sangat bergantung pada musim, cuaca, iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman. Salah satu gangguan penyakit penting yang sering menyerang adalah layu bakteri. Layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum yang mempunyai kisaran inang yang luas, menginfeksi tanaman melalui akar dan menyerang pembuluh xilem. Penyakit layu bakteri ini sulit untuk dikendalikan karena bakteri dapat bertahan di tanah dan gulma selama bertahun-tahun. Metode yang efektif dan ramah lingkungan sangat diperlukan, yaitu dengan pengendalian hayati. Metode yang perlu dikembangkan misalnya menggunakan cendawan endofit. Cendawan endofit adalah cendawan yang menginfeksi jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit. Penelitian mengenai cendawan endofit untuk pengendalian penyakit layu bakteri belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan beberapa cendawan endofit dan menguji kemampuan cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit layu bakteri. Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu pengambilan sampel di lapangan, isolasi cendawan endofit dan bakteri R. solanacearum, uji patogenisitas, uji kolonisasi, uji keefektifan cendawan endofit penyakit layu bakteri dan pengaruh cendawan endofit terhadap pertumbuhan. Bakteri R. solanacearum diperoleh dari tanaman bergejala layu di Bogor, sedangkan sampel tanaman cabai sehat diambil dari dua daerah yaitu Bogor (kecamatan Dramaga dan Ciampea) dan Garut (Kecamatan Rancabango dan Panjiwangi), setiap lokasi lahan diambil 10 tanaman cabai. Cendawan endofit diisolasi dari bagian akar dan batang tanaman cabai sehat dengan sterilisasi permukaan. Seluruh cendawan yang berhasil diisolasi berjumlah 110 isolat. Cendawan yang didapatkan dari Bogor berjumlah 32 isolat (18 berasal dari akar dan 14 dari batang), sedangkan dari Garut didapatkan 78 isolat (46 isolat berasal dari akar dan 32 isolat dari batang). Semua cendawan yang didapatkan dari hasil isolasi, diuji patogenisitasnya terhadap perkecambahan benih cabai. Cendawan ditanam pada media PDA dan diinkubasi selama 7 hari. Selanjutnya, 20 benih cabai yang sudah disterilisasi permukaan ditanam di atas media biakan cendawan dan diinkubasi pada suhu ruang. Setelah 7-14 hari, diamati persentase perkecambahan dan panjang kecambah. Sepuluh isolat cendawan endofit didapatkan bersifat nonpatogenik, 7 isolat berasal dari bagian akar dan 3 isolat dari batang. Dua isolat cendawan endofit (B1TW dan B5GB) dapat meningkatkan jumlah daun tanaman cabai dan 5 isolat cendawan endofit (A9.2GB, B5GB, A1SG, A3.2G2, A7.3G2) mampu meningkatkan tinggi tanaman cabai dibandingkan dengan kontrol. Lima isolat cendawan endofit yaitu A1TW, A7.3G2, A9.2GB, A8.1aG2, dan B5GB diuji kemampuannya dalam menekan penyakit layu bakteri. Tiga isolat
5
cendawan endofit mewakili kelompok cendawan yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan 2 isolat mewakili cendawan endofit yang tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Berdasarkan kemampuannya menghambat penyakit, didapatkan bahwa isolat B5GB dan A1TW mampu menekan penyakit layu bakteri dengan tingkat penekanan paling tinggi, yaitu sebesar 27% dan 23.33%. Kata kunci: Capsicum annuum L., patogenisitas, pengendalian hayati
6
SUMMARY RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI. Selection of Endophytic Fungi as Biocontrol Agent of Bacterial Wilt (Ralstonia solanacearum) on Chili. Supervised by SURYO WIYONO dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Chili is one of important horticultural crops in Indonesia. Chili cultivation very depend on the season, harvest, weather, climate, pest and diseases. Bacterial wilt is one of important diseases on chili in Indonesia. Bacterial wilt is caused by Ralstonia solanacearum which has wide range of host, infects the plant roots and attacks the xylem vessels. The disease cause great yield loss. Bacterial wilt disease is difficult to control because the bacteria can survive in the soil and weeds for years, varied in virulence and has wide host range. Environmentally friendly methods such as the using endophytic fungi is needed. Endophytic fungi is potential as a biological agent and safe for environment. Endophytic fungi is a fungi that infects the plant tissues without causing any disease symptoms. This research was conducted to obtain endophytic fungi from healthy chili plant and test the ability of endophytic fungi to control bacterial wilt disease. This study was consisted of several steps, sampling in the field, isolation of endophytic fungi and bacteria R. solanacearum, pathogenicity test, colonization test, test of the effectiveness of endophytic fungi against bacterial wilt disease and the growth of chili. Ralstonia solanacearum was isolated from the infected plants from Bogor. Healthy chili plant collection were taken from Bogor (Dramaga and Ciampea) and Garut (Rancabango and Panjiwangi), from each field site, it was taken 10 chili plants. The endophytic fungi were isolated from roots and stems of the healthy chili plant by surface sterilization. The isolation resulted in 110 isolates fungi. Thirty two of them were obtained from Bogor (18 isolates were derived from root and 14 of them were from stem), whereas from Garut it was obtained 78 isolates fungi (46 isolates were derived from root and 32 of them were from stem). One hundred and ten isolated fungi were tested the pathogenicity on the chili seed germination. Fungi were grown on potato dextrose agar medium and incubated in 7 days. Twenty chili seeds were planted on the fungi culture medium and incubated at room temperature. After 7-14 days the percentage of germination and seedling length were observed. Ten isolates were nonpathogenic endophytic fungi, 7 were derived from root, and 3 of them were from stem. Two endophytic fungi isolates (B1TW and B5GB) increased the number of leaves of chili plants and 5 isolates (A9.2GB, B5GB, A1SG, A3.2G2, A7.3G2) increased the chili plants height compared to control plants. Five isolates of endophytic fungi A1TW, A7.3G2, A9.2GB, A8.1aG2, and B5GB tested the suppress ability of bacterial wilt disease. It were taken from 3 isolates of endophytic fungi (A7.3G2, A9.2GB, B5GB) represent fungi improved plant growth and 2 isolates (A1TW, A8.1aG2) of endophytic fungi represent not enhance chili plants height. Based on diseases suppression capability, it was found that endophytic fungi isolates A1TW and B5GB were able to control bacterial wilt at the level of 27% and 23.33%. Endophytic fungi isolates which were potential as
7
biological control agents of bacterial wilt disease on chili were A1 TW and B5GB, both of which were sterile hyphae. Keywords: Capsicum annuum L., pathogenicity, biological control
8
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
9
SELEKSI CENDAWAN ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN CABAI
RATNA DWI HIRMA WINDRIYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
10
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Munif, MScAgr
12
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih ialah cendawan endofit, dengan judul Seleksi Cendawan Endofit untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tanaman cabai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suryo Wiyono, MScAgr dan Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran, kritik dan motivasi yang membangun, serta Dr Ir Abdul Munif, MScAgr selaku penguji luar komisi, yang memberikan saran pada penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa studi magister melalui program Beasiswa Unggulan serta mendanai sebagian penelitian ini melalui program Hibah Penelitian Unggulan Strategis Nasional. Terima kasih pula kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku ketua tim penelitian proyek Hibah Penelitian Unggulan Strategis Nasional dan ketua program studi Fitopatologi, kepada Dra Purnomowati, SU dan Drs Uki Dwiputranto, GradDipSc, MSc yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan studi magister. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayahanda Achmad Ghozali Hasan, ibunda Sri Yuli Purwaningsih, suami Akhmad Saefudin, eyang uti Salimah serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada teman-teman penulis, mba Riana, Evan, ibu Sri Hartati, Fitopatologi 2011, Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Pondok Putri Rahmah, dan semua pihak yang telah membantu tetapi tidak dapat disebutkan disini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua doa, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini dengan balasan terbaik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Ratna Dwi Hirma Windriyati
13
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Cabai Merah Bioekologi Bakteri Ralstonia solanacearum Gejala Penyakit Layu Bakteri Patogenisitas R. solanacearum Pengendalian R. solanacearum Cendawan Endofit sebagai Agens Biokontrol Mekanisme Pengendalian Hayati Patogen oleh Cendawan Endofit
3 3 3 4 5 6 6 8
METODE Tempat dan Waktu Bahan Isolasi Cendawan Endofit dari Tanaman Cabai Sehat Uji Patogenisitas Cendawan Endofit terhadap Perkecambahan Benih Cabai Uji Kemampuan Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Uji Penghambatan terhadap Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Cabai Uji Cendawan Endofit dalam Mengkolonisasi Tanaman Cabai Variabel Pengamatan dan Pengukuran Analisis Data
9 9 9 9
10 11 11 12
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Cendawan Endofit Patogenisitas Cendawan Endofit Pengaruh Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Kemampuan Cendawan Endofit dalam Mengendalikan Layu Bakteri Kolonisasi Cendawan Endofit
12 12 13 16 18 19
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
20 20 21
10 10
14
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
26
RIWAYAT HIDUP
31
15
DAFTAR TABEL 1 2 3
Jumlah isolat cendawan endofit dari tanaman cabai sehat Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai Pengaruh cendawan endofit terhadap kejadian penyakit layu bakteri
12 13 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Pengaruh cendawan endofit terhadap jumlah daun tanaman cabai Pengaruh cendawan endofit terhadap tinggi tanaman cabai Tingkat kolonisasi cendawan endofit pada bagian akar dan batang bibit cabai Gambar mikroskopis hifa isolat A1TW (Hifa steril 1) pada media water agar dan PDA Gambar mikroskopis hifa isolat B5GB (Hifa steril 2) pada media water agar dan PDA
17 17 19 20 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
9 10
Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai sehat di daerah Bogor dan Garut Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai bergejala layu di daerah Bogor Perkecambahan benih pada biakan cendawan endofit Bentuk koloni beberapa isolat cendawan endofit Tanaman cabai besar yang ditanam di rumah kaca Tanaman cabai bergejala layu 9 dan 12 hari setelah perlakuan Isolasi R. solanacearum Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 6 hari setelah perlakuan Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 9 hari setelah perlakuan Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 12 hari setelah perlakuan
26 27 27 28 28 29 29 30 30 30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan mempunyai kedudukan penting dalam industri pangan di Indonesia. Tingkat konsumsi cabai masyarakat Indonesia tergolong tinggi, terutama pada hari besar. Menurut data dari Ditjenhorti (2014), konsumsi cabai merah dari tahun 2009 sampai 2013 cenderung meningkat, misalnya konsumsi rata-rata per kapita dari tahun 2011 sampai 2012 yaitu dari 14 965 menjadi 16 529. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia pada skala rumah tangga mengonsumsi cabai dalam bentuk segar (mencapai 80%), sedangkan untuk industri pengolahan hanya 20%. Tingginya tingkat konsumsi cabai oleh masyarakat memberikan peluang besar untuk petani dalam mengembangkan budidaya cabai. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2009 hingga 2013, yang menyebabkan meningkatnya produksi dan produktivitas cabai besar. Meskipun jumlah lahan dan produksi cabai meningkat, lonjakan harga cabai masih tetap terjadi setiap tahun. Hal ini dapat dikarenakan harga cabai sangat bergantung pada musim tanam, musim panen, sistem distribusi, cuaca, iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman. Salah satu gangguan penyakit penting yang sering menyerang adalah penyakit layu. Penyakit layu dapat disebabkan kekurangan air atau adanya gangguan patogen, seperti cendawan Verticillium sp. (Sanogo dan Carpenter 2006), Fusarium sp. (Nurzannah et al. 2014) dan bakteri Ralstonia solanacearum. Penyakit layu yang akan dibahas disini adalah penyakit layu bakteri. Layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Tanaman yang terinfeksi akan menjadi layu, kerdil dan daunnya menguning (Alvarez et al. 2010). Hal ini sangat merugikan karena gejala lebih lanjut dapat menyebabkan kematian dan kegagalan panen pada tanaman cabai. Kejadian penyakit yang terjadi pada tanaman cabai dapat mencapai 16.6% (Begum et al. 2012). Bakteri ini dapat bertahan hidup di dalam tanah dan air, meskipun tanpa tanaman inang. Sisa akar tanaman terinfeksi patogen yang tertimbun di dalam tanah akan menjadi sumber inokulum berikutnya. Sel bakteri yang keluar dari sisa akar tanaman terinfeksi dapat menginfeksi tanaman lain, baik melalui luka alami atau luka akibat adanya gigitan serangga. Penyakit ini mempunyai distribusi yang luas, sering menyerang tanaman pertanian termasuk tanaman cabai, baik di negara tropis maupun subtropis. Bakteri R. solanacearum dapat menular melalui saluran irigasi atau permukaan air, pencangkulan, pemangkasan atau ketika pindah tanam. Tanah yang terinfestasi bakteri akan terbawa melalui bibit, sepatu atau alat pertanian, sehingga penyebarannya luas (EPPO 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Alvarez et al. (2010) bahwa pengendalian penyakit layu bakteri sulit dilakukan karena bakteri R. solanacearum dapat bertahan hidup di dalam tanah dan air dalam waktu yang lama. Selain itu, bakteri ini mempunyai kisaran inang yang luas (Schloter et al. 2000). Oleh karena itu, diperlukan adanya metode yang dapat mengatasi penyakit ini, tidak hanya efektif tetapi juga ramah lingkungan.
2
Pengendalian penyakit layu bakteri yang sudah pernah dilakukan seperti melakukan rotasi tanaman, tumpangsari, penanaman varietas tahan dan penggunaan agens hayati seperti bakteri rizosfer dan endofit. Rotasi dan tumpangsari dengan tanaman jagung yang dilakukan Khairul (2005) dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri pada cabai hingga 48.6%. Penanaman varietas tanaman cabai tahan seperti varietas PBC 473 (Yulianah 2007; Putri 2010), pemanfaatan bakteri rizosfer Pseudomonas fluorescens RH4003 asal kacang tanah dapat menekan kejadian penyakit menjadi 5.83% (Aditya 2006). Pemanfaatan bakteri endofit dan rizosfer dari tanaman tomat (Nawangsih 2006: Nawangsih et al. 2011), dan pisang tongkat langit (Latupeirissa et al. 2014) untuk menekan penyakit layu bakteri. Teknik pengendalian hayati menggunakan bakteri endofit telah banyak dilakukan untuk menekan layu bakteri, sebaliknya pemanfaatan cendawan endofit untuk pengendalian penyakit layu bakteri masih belum banyak dilakukan. Cendawan endofit merupakan cendawan yang dapat mengolonisasi jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit dan tidak menimbulkan kerugian (Bacon dan White 2000). Cendawan endofit pada umumnya bermanfaat bagi tanaman inang, seperti memacu pertumbuhan tanaman (Dai et al. 2008), tanaman menjadi lebih tahan terhadap tekanan lingkungan dan dapat menekan penyakit tanaman (Ganley et al. 2008; Motaal et al. 2010). Mekanisme penekanan penyakit pada tanaman melalui dua cara yaitu secara langsung (antibiosis), menghasilkan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan patogen dan tidak langsung, yaitu dengan menginduksi ketahanan tanaman inang baik secara fisik maupun kimia (Herre et al. 2007). Penelitian cendawan endofit telah banyak dilakukan, namun penelitian cendawan endofit pada tanaman hortikultura terutama tanaman cabai sebagai agens hayati di Indonesia masih relatif sedikit. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat cendawan endofit asal cabai diantaranya adalah cendawan endofit tanaman cabai dan teki untuk menekan Colletotrichum spp. (Istikorini 2008), cendawan endofit untuk menekan pertumbuhan kutu daun (Aphis gossypii) (Hernawati et al. 2011), cendawan endofit untuk menghambat penyakit daun keriting kuning (Damayanti 2013) yang disebabkan oleh Pepper yellow leaf curl begomovirus (PepYLCV), dan untuk pengendalian penyakit busuk pangkal batang karena Phytophthora capsici (Ramdan 2014). Pemanfaatan cendawan endofit asal tanaman cabai untuk pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman cabai belum pernah dilakukan. Pemanfaatan cendawan endofit dari tanaman lain (selain cabai) sebagai agens hayati terhadap R. solanacearum telah dilakukan, seperti cendawan endofit dari akar tanaman kentang (Sunarmi 2010), tanaman Camptotecha acuminate (Ding et al. 2010) dan tanaman Populus deltoides (Meng et al. 2012), namun pengujian yang dilakukan masih dalam skala in vitro. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan cendawan endofit dari tanaman cabai sehat. 2. Menguji kemampuan cendawan endofit dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman cabai besar.
3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan informasi baru mengenai spesies cendawan endofit dari tanaman cabai yang mempunyai potensi dalam mengendalikan penyakit layu bakteri dan memacu pertumbuhan pada tanaman cabai.
TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Tanaman Cabai Merah Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi di Indonesia. Cabai mempunyai kontribusi besar terutama di bidang industri pangan. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan cabai merah. Menurut data dari Ditjenhorti (2014), luas lahan pertanaman cabai meningkat dari tahun 2009 ke 2013 (117.178 menjadi 124.110 ha). Oleh karena itu terjadi peningkatan produksi pada tahun tersebut. Oleh karena itu, budidaya tanaman cabai perlu dikembangkan. Permasalahan yang sering muncul pada budidaya tanaman cabai adalah banyaknya serangan hama dan penyakit, baik saat pembibitan, masa vegetatif, generatif dan juga pascapanen. Penyakit yang sering menyerang tanaman cabai seperti virus kuning, penyakit mosaik, antraknosa yang disebabkan oleh Collethotricum sp. yang menyerang saat tanaman mulai berbuah, busuk pangkal batang oleh Phytophthora sp. menyerang saat pembibitan, layu Fusarium, bercak daun Cercospora, dan layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian 2010). Menurut Rachmah (2015), penyakit yang menyebabkan kerusakan cukup serius pada tanaman cabai pada masa vegetatif dari tingkat paling tinggi yaitu berturut-turut penyakit layu bakteri, virus kuning dan bercak daun Cercospora. Oleh karena itu perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap penyakit tersebut terutama layu bakteri. Bioekologi Bakteri Ralstonia solanacearum Bakteri R. solanacearum termasuk tular tanah dan air. Penyebaran antar tanaman dapat terjadi apabila tanaman sehat berada di dekat perakaran tanaman sakit, penanaman tanaman di lahan yang terinfeksi, melalui peralatan pertanian dan aliran irigasi. Bakteri ini mampu bertahan dalam tanah hingga bertahun-tahun dan bertahan pada tanaman alternatif lainnya. Beberapa gulma seperti Urtica dioica, Amaranthus spp., Biden pilosa, Galinsoga perviflora, Oxalis latifolia, Spergula arvensis, Rumex abyssinicum, Tagetes minuta dan Stellaria sennii diketahui sebagai inang alternatif bagi bakteri ini (Wenneker et al. 1999). Yulianti (2009) menambahkan bahwa R. solanacearum juga dapat hidup pada gulma seperti rumput teki, krokot dan babandotan. Faktor lingkungan seperti temperatur, kelembapan serta adanya mikroorganisme antagonis akan mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri ini (Champoiseau dan Jones 2009). Suhu (30-35 ºC)
4
dan kelembaban tanah yang tinggi merupakan kondisi terbaik R. solanacerum untuk berkembang. Jumlah bakteri ini akan meningkat, laju infeksi patogen meningkat, perkembangan penyakit meningkat, sehingga jumlah bakteri yang keluar dari tanaman inang ke tanah meningkat. Hal ini akan mempercepat penyebaran penyakit (EPPO 2004). Patogen ini telah banyak dilaporkan mempunyai inang yang banyak. Salah satunya dilaporkan oleh Nasrun et al. (2007) bahwa selain menyerang tanaman cabai, R. solanacearum juga menyerang tanaman pisang, jahe, kacang tanah, nilam dan tanaman Solanaceae lainnya, seperti tembakau, terong dan tomat. Bakteri R. solanacearum dapat dikelompokan menjadi ras dan biovar. Pengelompokan ras didasarkan pada kisaran inang dan reaksi hipersensitif pada inang spesifik, sedangkan pengelompokan biovar didasarkan pada penggunaan disakarida (laktosa, sorbitol dan selobiosa) dan heksosa alkohol (manitol, sorbitol dan dulcitol). Menurut James et al. (2003), bakteri R. solanacearum yang menyerang tanaman cabai masuk ke dalam ras 1 dan 3 serta biovar 3 karena mampu menggunakan laktosa, maltosa, selobiosa, manitol, sorbitol dan dulcitol. Nasrun et al. (2007) menambahkan bahwa R. solanacearum yang menyerang nilam dapat juga menyerang tanaman cabai, namun tidak dapat menginfeksi tanaman pisang, jahe dan kacang tanah, sehingga dimasukan ke dalam ras 1. Biovar 3 juga mampu menggunakan sumber karbon lain seperti dekstrosa dan trehalosa. Bakteri R. solanacearum tidak akan berpendar jika ditumbuhkan pada media King’s B, dapat tumbuh pada NaCl 0-2%, pH 4-8,5 dengan suhu 13-37 ºC dan tidak dapat tumbuh pada suhu 41 ºC. Apabila ditumbuhkan pada media semi selektif (tetrazolium cholride) akan membentuk koloni yang berlendir berwarna putih dengan warna merah muda di tengah (virulen), sedangkan avirulen koloninya berwarna merah tua (James et al. 2003). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Chandrashekara et al. (2012), bahwa koloni berwarna putih kusam dengan warna merah muda di tengah dan tepi koloni bakteri ini bentuknya tidak teratur. Bakteri ini termasuk Gram negatif, berbentuk batang dan tidak membentuk spora.Uji KOH yang dilakukan oleh Chaudhry dan Rashid (2011) menghasilkan adanya lendir pada loop, yang menunjukan bakteri tersebut termasuk gram negatif (dinding sel yang tipis), tidak memproduksi levan, bersifat aerob, tidak memproduksi ammonia dari arginin. Gejala Penyakit Layu Bakteri Gejala penyakit layu bakteri biasanya terlihat pada siang hari, yaitu daun muda layu dan terlihat merunduk. Jika kondisi mendukung, seluruh bagian tanaman akan layu. Sebaliknya jika kondisi kurang mendukung, perkembangan penyakit kurang cepat, pertumbuhan terhambat, tanaman memproduksi akar adventif pada batang. Jaringan vaskular pada batang terlihat cokelat, jika batang dipotong terdapat aliran massa bakteri (ooze) berwarna putih kekuningan (EPPO, 2004). Adanya ooze ini membedakan gejala layu bakteri dari layu Fusarium. Layu Fusarium ditandai dengan memucatnya warna tulang daun, tangkai merunduk dan layu dimulai dari daun bagian bawah selanjutnya anak tulang daun menguning (Nurzannah et al. 2014), sedangkan layu bakteri diawali dengan layunya daun bagian pucuk, diikuti oleh daun bagian bawah (Nasrun et al. 2007). Gejala dengan
5
intensitas penyakit lebih dari 50%, tanaman akan mati dalam waktu 7-25 hari. Jika akar dan batang dipotong, akan terlihat adanya nekrotik pada jaringan pembuluh, yaitu adanya warna cokelat dan hitam sepanjang jaringan kayu dan kambium. Selain itu, terdapat aliran massa bakteri yang keluar dari jaringan pembuluh kayu jika batang direndam dalam air (Nasrun et al. 2007). Menurut Champoiseau dan Jones (2009), bakteri R. solanacearum menginfeksi tanaman terutama dari bagian akar yang terluka, baik dikarenakan adanya pertumbuhan akar lateral atau karena luka oleh organisme lain. Selain itu juga dapat masuk ke tanaman melalui batang yang luka karena serangga atau luka mekanis. Setelah menginfeksi akar dan batang, kemudian mengolonisasi jaringan vaskular melalui xilem. Hal ini didukung oleh pernyataan Zhu et al. (2010), bahwa setelah menginfeksi tanaman melalui luka, bakteri ini kemudian mengolonisasi pembuluh xilem dan menyebar dengan cepat hingga batang tanaman sehingga menyebabkan layu. Perkembangan layu pada tanaman juga bergantung pada tipe inang dan ras patogen (Lemessa dan Zeller 2007). Gejala layu yang terjadi disebabkan adanya produk eksopolisakarida polisakarida (EPS) berlebihan dalam pembuluh vaskular. Kolonisasi dan kelayuan tanaman inang ini dipengaruhi oleh gen yang dimiliki R. solanacearum. Gen tersebut adalah gen yang pengode enzim litik, EPS, gen hrp (gen hipersensitif patogenisitas), gen pengode efektor yang diinjeksi oleh T3SS dan gen pengode lainnya (Alvarez et al. 2010). Patogen tetap mempertahankan keagresifannya pada kepadatan terendah 1.13x105 cfu/ml setelah memasuki fase stasioner Zhu et al. (2010). Patogenisitas R. solanacearum Menurut EPPO (2004), R. solanacearum mempunyai beragam gen yang terlibat dalam kolonisasi dan kelayuan tanaman inang, seperti enzim hidrolitik dan EPS, gen hrp, lipopolisakarida dan lectin. Enzim hidrolitik merupakan enzim yang digunakan untuk mendegradasi atau menghidrolisis dinding sel tanaman yang sebagai tahap awal proses infeksi untuk mendapatkan nutrisi. EPS diketahui berperan dalam merusak pembuluh tanaman karena adanya tekanan hidrostatik, dan juga membantu dalam kolonisasi patogen pada batang tanaman. Huang dan Allen (2000) juga menyatakan bahwa virulensi R. solanacearum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ekstrapolisakarida (EPS I), endoglucanase (EG) dan poligalakturonase (PG). Kolonisasi bakteri pada akar batang tomat memerlukan senyawa ini. Poussier et al. (2003) menyatakan bahwa gen phcA merupakan gen pengatur virulensi, yang ditemukan pada tanaman yang layu atau terinfeksi, yang mengatur kejadian konversi fenotipik terjadi pada tanaman. Pendekatan biokimia, genetika dan molekuler menyatakan bakteri mempunyai faktor virulensi seperti EPS I yang mengsekresi eksoenzim untuk mendegradasi dinding sel tanaman, poligalakturonase (PG) dan dan endoglukanase (EG), mesin sekresi tipe III (hrp) yang memungkinkan sekresi dan injeksi protein efektor ke dalam tanaman. Semua faktor virulensi dikendalikan oleh gen phcA yaitu protein regulator yang berperan dalam sistem Phc. phcA mengaktifkan ekspresi gen untuk mengode produksi EPS I, EG, beberapa eksoprotein lain dan merepresi ekspresi gen lain seperti motilitas, produksi PG, siderofor dan hrp.
6
Pengendalian R. solanacearum Pengendalian bakteri R. solanacearum sangat kompleks sehingga dibutuhkan pengendalian yang tepat, cepat, efisien, baik secara kimia maupun biologi. Pengendalian layu bakteri menggunakan agens hayati sudah banyak dilakukan, akan tetapi sebagian besar menggunakan bakteri. Pemanfaatan cendawan endofit sebagai agens hayati untuk penyakit ini masih jarang dilakukan. Guo et al. (2004), mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca menggunakan rhizobacteria yaitu dengan strain Serratia sp.(J2), Pseudomonas fluorescens (J3) dan Bacillus sp. (BB11). Semua bakteri tersebut mampu mengontrol penyakit layu bakteri dan dapat meningkatkan hasil tomat. Kuarabachew et al. (2007) menggunakan P. fluorescens untuk mengontrol R. solanacearum. P. fluorescens diisolasi dari kentang berbeda dari beberapa daerah kemudian ditumbuhkan pada media King’s B. Isolat yang menunjukkan antibiosis kemudian diuji di rumah kaca. Isolat Pf S2, Pf Wt3 dan PfW1 secara signifikan dapat mengurangi 59,83% penyakit layu bila dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, pertumbuhan tanaman kentang meningkat seperti tinggi tanaman dan berat kering. Chakravarty dan Kalita (2011) juga melakukan penelitian menggunakan P. flruorescens untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada terong. Bahan organik yang berbeda dievaluasi sebagai substrat pembawa P. fluorescens. Vermikompos dan pupuk kandang dapat mendukung pertumbuhan bakteri antagonis ini. Karboksil metil selulosa dan substrat pembawa diuji di pot dan lapangan. Hasilnya formulasi CVPf dapat menekan penyakit layu pada terong dan meningkatkan hasil panen dibandingkan yang lain. Cendawan Endofit sebagai Agens Biokontrol Endofit menurut Petrini (1992) dalam Vaz et al. (2009) adalah mikroorganisme yang ada di dalam jaringan tanaman sehat paling sedikit satu siklus hidup tanpa menyebabkan gejala penyakit atau pengaruh negatif terhadap tanaman inang. Cendawan endofit dapat diperoleh dari jaringan tanaman yang sehat, seperti akar, batang, daun dan buah. Vaz et al. (2009) mendapatkan cendawan endofit dari tanaman Myrciaria floribunda, Alchornea castaneifolia dan Eugenia aff. bimarginata. Cendawan endofit Colletotrichum gloesporioides paling banyak terdapat pada M. floribunda dan A. castaneifolia, sedangkan Mycosphaerella sp. paling banyak terdapat pada E. aff. bimarginata. Contoh cendawan endofit lain yang pernah ditemukan yaitu Aspergillus flavus, Penicillium citrinum dan Periconia lateralis yang ditemukan pada cabai (Basha et al. 2010). Cendawan endofit Ascomycota yang umum ditemukan pada tanaman karet liar ada tiga genus yaitu Pestalotiopsis,Trichoderma dan Penicillium. Genus lainnya yaitu Alternaria, Annulohypoxylon, Cladosporium, Cochliobolus, Colletotrichum, Endomelanconiopsis, Entonema, Epicoccum, Fusarium, Guignardia, Leptosphaerulina, Khuskia dan Umbelopsis (Gazis dan Chaverri 2010). Cendawan endofit berbeda dengan cendawan mikoriza. Mikoriza mengolonisasi akar tanaman hingga rizosfer, sedangkan endofit berada di dalam jaringan tanaman, tumbuh dalam akar, batang, daun dan akan menghasilkan spora jika jaringan tanaman tua. Menurut Rodriguez et al. (2009), hampir semua
7
tanaman sehat berasosiasi dengan cendawan endofit. Secara umum cendawan endofit dikelompokkan menjadi endofit clavicipitaceous (C-endofit) dan nonclavicipitaceous endofit (NC-endofit), berdasarkan keterkaitan evolusi, taksonomi, tanaman inang dan fungsi ekologisnya. Endofit clavicipitaceous biasanya menginfeksi rumput-rumputan, sedangkan endofit nonclavicipitaceous pada jaringan nonvascular yang tidak menunjukan gejala, pakis, konifer dan angiospermae. Penularan cendawan endofit dapat secara vertikal (diturunkan kepada anakannya) dan secara horizontal. Penelitian menggunakan cendawan endofit telah banyak digunakan. Cendawan endofit diketahui mampu medukung pertumbuhan tanaman, juga menekan penyakit tanaman. Banyak senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh cendawan endofit misalnya antimikroba, insektisida, sitotoksik dan antikanker. Pemanfaatan cendawan endofit sebagai agens biokontrol telah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya dilakukan oleh Rubini et al. (2005), yang mengisolasi cendawan endofit dari tanaman cokelat, dan diuji kemampuannya dalam menekan penyakit sapu setan. Gliocladium catenulatum merupakan cendawan endofit yang dapat menekan penyakit sapu setan paling baik karena menghasilkan senyawa antifungi. Selain itu, Istikorini (2008) mengisolasi cendawan endofit dari bagian akar dan batang tanaman cabai dan teki. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa cendawan endofit tersebut adalah Acremonium sp., Fusarium oxysporum, F. solani, Trichoderma sp., Gliocladium sp., Penicillium sp. Aspergillus sp. dan Colletotrichum sp. Cendawan Acremonium sp. hanya dapat diisolasi dari teki, sedangkan Colletotrichum sp. hanya dapat diisolasi dari tanaman cabai. Berdasarkan uji patogenisitas yang dilakukan dapat dibuktikan bahwa cendawan endofit yang didapatkan tidak mampu menimbulkan gejala penyakit pada tanaman cabai, tomat, ketimun dan kacang panjang. Hernawati et al. (2011), mengisolasi cendawan endofit dari daun tanaman cabai untuk menekan kutu daun. Beberapa cendawan endofit yang didapatkan yaitu Aspergillus flavus, Nigrospora sp. Coniothyrium sp., SH 1 (hifa steril 1) dan SH 2 (hifa steril 2). Setelah dilakukan perlakuan berupa penyemprotan suspensi cendawan endofit pada bagian tajuk dan tanahnya, terlihat bahwa Nigrospora sp., SH 1 dan SH 2 dapat menekan pertumbuhan populasi kutu daun. Pemanfaatan cendawan endofit sebagai agens biokontrol terhadap R. solanacearum masih secara in vitro, yaitu dengan mengekstrak senyawa yang dihasilkan dari cendawan. Seperti yang dilakukan oleh Ding et al. (2010) mengisolasi cendawan endofit dari tanaman Camptotecha acuminate (Nyssaceae) dan melaporkan bahwa terdapat sembilan taksa cendawan endofit, beberapa diantaranya Colletotrichum, Alternaria dan Pestalotiopsis dan Diaporthe. Selanjutnya cendawan ini difermentasi untuk mendapatkan senyawa metabolit sekundernya dan diuji aktivitas antibakterinya terhadap R. solanacearum. Ternyata hanya isolat XSJ01 (Penicillium sp.) yang mempunyai aktivitas antibakteri kuat (zona hambat lebih dari 20 mm). Selain itu, Meng et al. (2012) juga menguji senyawa metabolit yang dihasilkan cendawan endofit. Cendawan endofit yang didapatkan berasal dari tanaman Populus deltoides (cottonwood). Sebelumnya, cendawan endofit difermentasi kemudian dilakukan ekstraksi dan fraksinasi. Terdapat empat senyawa yang didapatkan yaitu palmariol B, 4hydroxymellein, alternariol 9-methyl ether dan botrallin. Senyawa 4-
8
hydroxymellein mempunyai sifat antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa lainnya, yang ditandai dengan sedikitnya massa bakteri yang tumbuh. Sebaliknya, senyawa botrallin mempunyai kemampuan antibakteri yang paling lemah diantara senyawa lainnya. Mekanisme Pengendalian Hayati Patogen oleh Cendawan Endofit Cendawan endofit umumnya bersifat menguntungkan bagi tanaman inang. Penelitian mengenai cendawan endofit sebagai agen biokontrol telah banyak dikaji. Mekanisme cendawan endofit dalam menekan penyakit tanaman ada beberapa, yaitu secara langsung (hubungan cendawan endofit dan patogen) dan tidak langsung (induksi ketahanan tanaman). Mekanisme penghambatan langsung biasanya terjadi karena cendawan endofit menghasilkan senyawa aktif yang dapat menekan perkembangan patogen, baik bersifat antifungal maupun antibakteri. Cendawan endofit yang masuk ke dalam kelompok ini mampu menghasilkan satu atau lebih senyawa semacam antibiotik, seperti senyawa terpenoid, alkaloid, senyawa aromatik dan polipeptida. Cendawan endofit Acremonium zeae menghasilkan antibiotik pirosidin yang mampu menghambat patogen A. flavus dan F. verticillioides. Selain itu, cendawan endofit Phomopsis cassia juga dapat menghasilkan antibiotik cadinane sesquiterpenes yang mampu menghambat Cladosporium sphaerospermum dan C. cladosporioides. Selain menghasilkan senyawa aktif, cendawan endofit juga menghasilkan enzim litik yang mampu mendegradasi senyawa penyusun dinding sel patogen seperti kitin, protein, selulosa, hemiselulosa dan DNA. Cendawan endofit akan menghasilkan enzim untuk menghidrolisis dinding sel tanaman ketika mengkolonisasi permukaan tanaman. Enzim ini dapat menekan aktivitas patogen secara langsung dan mendegradasi dinding sel patogen (Gao et al. 2010). Penghambatan secara tidak langsung dapat melalui induksi ketahanan tanaman, yaitu SAR (systemic acquired resistance) dan ISR (induced systemic resistance). SAR, diinduksi oleh infeksi patogen yang diperantarai asam salisilat dan berhubungan dengan akumulasi PR (pathogenesis related) protein. ISR diinduksi oleh beberapa rhizobacteria non patogen, diperantarai oleh asam jasmonik atau etilen, tidak berhubungan dengan akumulasi PR protein. Mekanisme lainnya yaitu cendawan endofit sebagai elisitor yang dapat merangsang tanaman menghasilkan senyawa metabolit aktif sehingga meningkatkan ketahanan tanaman. Cendawan endofit juga dapat mendukung pertumbuhan tanaman, yaitu dengan meningkatkan zat pengatur tumbuh seperti sitokinin dan auksin, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan sulit untuk diinfeksi patogen (Gao et al. 2010). Beberapa penelitian mengenai cendawan endofit sebagai agens biokontrol telah dilakukan banyak peneliti. Mejia et al. (2008), mendapatkan cendawan endofit dari tanaman Theobromae cacao sehat, yaitu Colletotrichum gloeosporioides, Clonostachys rosea dan Botryosphaeria ribis. Cendawan endofit ini dapat melawan cendawan patogen seperti Moniliophthora roreri, Phytophthora palmivora (busuk hitam buah), Moniliophthora perniciosa (sapu setan). Motaal et al. (2010) mendapatkan cendawan endofit dari tanaman obat Hyoscyamus muticus L. yaitu Alternaria alternata, Aspergillus fumigatus, Drechslera hawaiiensis, Fusarium solani, Penicillium citrinum, Neoscytalidium
9
dimidiatum, Thyrostromella myriana, Ulocladium charcarum. Semua cendawan endofit ini mempunyai aktivitas antagonis terhadap cendawan patogen Giberella zeae dan Thanatephorus cucumeris. Semua cendawan endofit ini mengeluarkan cairan ekstraseluler yang bersifat antagonis terhadap cendawan patogen. Rehman et al. (2011) mendapatkan cendawan endofit Nodulisporium sp. dari tanaman obat Nothapodytes foetida. Cendawan endofit ini setelah diuji dengan kultur ganda ternyata mempunyai aktivitas antagonis terhadap cendawan patogen Alternaria alternata dan Colletotrichum gleosporoides. Selain itu, cendawan Nodulisporium sp. ini juga mampu menghambat bakteri patogen gram positif. Menurut Zhao et al. (2010), cendawan endofit berperan penting dalam memproduksi senyawa bioaktif untuk aplikasi pertanian, kesehatan dan industri makanan. Cendawan endofit mampu memproduksi senyawa bioaktif yang sebenarnya berasal dari tanaman, seperti paclitaxel, podophyyotoxin, camptothecine, vinblastine, hypericin dan diosgenin. Asosiasi antara cendawan endofit dengan tanaman inang ini menguntungkan karena salah satu senyawanya dapat bersifat antimikroba yang banyak digunakan sebagai obat atau biokontrol. Cendawan endofit mampu menginduksi ketahanan tanaman Pinus monticola, karena efektif meningkatkan ketahanan terhadap penyakit Cronartium ribicola penyebab penyakit karat blister putih pada pinus (Ganley et al. 2008).
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan Rumah Kaca Cikabayan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2014. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman cabai sehat dan sakit (terinfeksi layu bakteri) yang diambil dari daerah Bogor dan Garut. Media MEA (malt extract agar), PDA (potato dextrose agar), PDB (potato dextrose broth), TTC (tripheny tetrazolium chloride) agar, dan TSA (tryptic soy agar), etanol 70%, NaOCl 1% dan 3%, akuades, spiritus, isolat bakteri Ralstonia solanacearum yang diisolasi dari tanaman cabai sakit, isolat cendawan endofit dari tanaman cabai sehat. Isolasi Cendawan Endofit dari Tanaman Cabai Sehat Cendawan endofit diisolasi dari bagian akar dan batang tanaman cabai yang sehat yang diperoleh dari lapangan. Dan tiap lokasi lahan, diambil 10 tanaman. Isolasi cendawan endofit dilakukan dengan merujuk pada metode dari Fisher et al. (1993). Akar dan batang tanaman dicuci bersih menggunakan air mengalir, kemudian dipotong-potong. Potongan akar dan batang tanaman cabai disterilisasi permukaannya secara bertahap yaitu dengan merendam dalam etanol 70% selama
10
1 menit, NaOCl 1% (akar) dan 3% (batang) selama 3 menit, etanol 70% selama 30 detik dan dibilas menggunakan akuades steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya, akar dan batang ditiriskan di atas kertas saring steril dan dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Potongan kecil tersebut kemudian ditanam pada media MEA 10% yang sebelumnya diberi 2 tetes asam laktat 20% per cawan petri. Setiap cawan diisi 5 potongan bagian tanaman dan diinkubasi pada suhu ruang selama 310 hari. Miselium yang tumbuh dari potongan jaringan tanaman tersebut diamati setiap hari, selanjutnya miselium dipindahkan ke dalam media PDA baru untuk dimurnikan. Isolat yang telah murni diidentifikasi berdasarkan warna koloni dan morfologi mikroskopisnya dan dibandingkan dengan kunci identifikasi. Uji kesterilan dilakukan dengan membuat kontrol, yaitu dengan menggoreskan potongan akar dan batang yang sudah disterilisasi (setelah bilasan terakhir) ke media PDA, kemudian diamati beberapa hari berikutnya. Uji Patogenisitas Cendawan Endofit terhadap Perkecambahan Benih Cabai Cendawan endofit yang didapatkan dari hasil isolasi kemudian diuji patogenisitasnya. Uji patogenisitas dilakukan dengan menumbuhkan benih cabai varietas Gelora yang sudah disterilisasi permukaannya pada koloni cendawan endofit berumur ± 7 hari. Benih cabai yang digunakan pada masing-masing cendawan endofit sebanyak 20 benih. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang, selanjutnya diamati selama 7-14 hari. Isolat cendawan endofit yang bersifat patogenik tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya. Cendawan endofit bersifat berpotensi patogenik apabila menghambat perkecambahan atau pertumbuhan biji cabai. Uji Kemampuan Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Tahap ini dilakukan untuk melihat kemampuan cendawan endofit terhadap pertumbuhan tanaman. Benih cabai disterilisasi permukaan dan direndam di dalam suspensi cendawan endofit selama 60 menit. Selanjutnya, benih diambil kemudian dibungkus menggunakan kertas tisu steril lembab dan disimpan semalaman (12 jam). Benih cabai yang telah disimpan selanjutnya ditanam pada baki semai berisi media tanah steril. Kontrol dilakukan tanpa pemberian cendawan endofit. Setelah tanaman berumur 3 minggu dipindah ke polybag, dan disiram kembali dengan suspensi cendawan endofit sebanyak 10 ml per tanaman (kerapatan 105 fragmen hifa/ml). Uji Penghambatan terhadap Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Cabai Patogen diambil dari tanaman yang menunjukan gejala layu bakteri. Tanaman cabai sakit dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran. Bagian pangkal batang dipotong untuk melihat adanya ooze, selanjutnya dicelupkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril. Selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat untuk membuat seri pengenceran hingga10-8. Suspensi bakteri setiap tingkat pengenceran 10-6, 10-7, 10-8 selanjutnya disebarkan ke dalam cawan petri berisi media TTC agar sebanyak 0.1 ml dengan 3 ulangan. Isolat murni yang didapatkan ini kemudian digunakan untuk melihat sifat morfologi dan fisiologi bakteri berdasarkan Schaad (2001). Virulensi bakteri patogen dijaga dengan menginokulasikan suspensi ooze ke tanaman cabai sehat.
11
Tahap selanjutnya yaitu inokulasi cendawan endofit pada tanaman cabai. Cendawan endofit diinokulasikan ke tanaman dengan pemeraman benih dan penyiraman pada bibit cabai. Pemeraman benih dilakukan seperti pada uji keefektifan cendawan endofit terhadap pertumbuhan tanaman, dilakukan sebelum penanaman. Penyiraman dilakukan dengan menumbuhkan cendawan endofit pada media PDB 100 ml dan digojok dengan kecepatan 150 rpm selama 14 hari. Miselium yang tumbuh dipanen dan dihancurkan menggunakan homogenizer (IKA ULTRA-TURRAX T18 Basic) dengan kecepatan 3.500-24.000 rpm selama 5-8 menit. Kerapatan setiap cendawan endofit dihitung hingga menjadi 105 fragmen hifa/ml. Perakaran tanaman cabai berumur 1 minggu diinokulasi dengan cendawan endofit kembali, dengan cara penyiraman sebanyak 10 ml per tanaman. Tahap terakhir, dilakukan inokulasi bakteri patogen ke tanaman. Tanaman cabai berumur 5 minggu (± 5-7 daun) pada perakarannya dilukai dengan menggunakan pisau. Selanjutnya masing-masing tanaman diinokulasi dengan suspensi inokulum R. solanacearum sebanyak 30 ml, dengan kerapatan bakteri 108 cfu/ml. Inokulum yang digunakan ini menggunakan suspensi ooze segar. Pengamatan dilakukan terhadap masa inkubasi dan kejadian penyakit. Uji Cendawan Endofit dalam Mengolonisasi Tanaman Cabai Benih cabai direndam dalam inokulum cendawan endofit, kemudian disemai pada media tanah steril di polybag dan diamati pertumbuhannya. Setelah 30 hari, dilakukan pengamatan. Bagian akar dan batang tanaman cabai dipotong kecil dan disterilisasi permukaannya dengan NaOCl 1% selama 1 menit dan etanol 70% selama 1 menit, kemudian dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali, potongan akar dan batang yang telah steril selanjutnya ditiriskan di atas kertas saring steril. Akar dan batang dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian potongan tersebut diletakkan di atas cawan petri berisi media PDA. Setiap cawan petri diisi dengan 5 potongan akar dan diulang 5 kali, kemudian diinkubasi selama 5-7 hari pada suhu ruang. Jumlah akar dan batang yang terkolonisasi cendawan endofit dihitung untuk mendapatkan persentase kolonisasinya. Variabel Pengamatan dan Pengukuran
1. 2.
3.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: Tinggi tanaman diukur dari atas permukaan tanah sampai tajuk tanaman cabai menggunakan penggaris (cm). Pengamatan dilakukan setiap minggu. Pengamatan kejadian penyakit dilakukan dari awal sampai muncul gejala (masa inkubasi), diamati tiap hari. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus berikut:
Pengamatan kolonisasi cendawan endofit dilakukan dengan menghitung persentase akar dan batang tanaman cabai yang terkolonisasi cendawan endofit, yaitu dengan rumus berikut:
12
Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Setiap perlakuan diulang 6 kali dan setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman. Data diolah menggunakan analisis ragam (Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Cendawan Endofit Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dari wilayah Garut dan Bogor berjumlah 110 isolat, masing-masing 78 isolat dari Garut dan 32 isolat dari Bogor (Tabel 1). Jumlah cendawan endofit yang berasal dari Garut lebih banyak dibandingkan dengan cendawan yang berasal dari Bogor. Hal ini diduga karena adanya perbedaan waktu dalam pengambilan sampel. Pengambilan sampel tanaman di daerah Garut dilakukan pada musim hujan, sedangkan pengambilan sampel di Bogor sebagian dilakukan pada musim kemarau. Selain itu, adanya penggunaaan fungisida yang berlebihan (dua kali seminggu) pada lokasi pengambilan sampel di Bogor juga diduga mempengaruhi jumlah cendawan endofit. Menurut Hyde dan Soytong (2008), keragaman spesies endofit sangat ditentukan oleh metode isolasi, letak geografis asal tanaman serta bagian jaringan yang diisolasi. Tabel 1 Jumlah isolat cendawan endofit dari tanaman cabai sehat Asal isolate Bogor Garut
Jumlah isolat dari bagian tanaman Akar Batang 18 (16.36) 14 (12.72) 46 (41.81) 32 (29.09)
Total 32 (29.09) 78 (70.90)
Angka dalam kurung menunjukkan persentase.
Hasil isolasi cendawan endofit juga menunjukan bahwa distribusi cendawan endofit didapatkan dari akar lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang. Hal ini sesuai dengan penelitian Paul et al. (2012) yang memperoleh cendawan endofit dari tanaman cabai, yaitu 41% berasal dari akar, 36% dari daun dan 23% dari batang. Distribusi cendawan endofit yang ditemukan juga bergantung pada jenis tanaman dan musim pengambilan sampel (Kim et al. 2013).
13
Patogenisitas Cendawan Endofit Hasil pengujian patogenisitas cendawan dengan menggunakan benih cabai menunjukan bahwa 91 (82.72%) isolat menghambat perkecambahan benih, 12 (10.9%) isolat bersifat netral, dan 10 (9.09%) isolat memacu perkecambahan benih. Jumlah cendawan endofit asal akar yang memacu pertumbuhan panjang kecambah hanya ada 7 (6.36%) isolat, sedangkan asal batang hanya 3 (2.72%) isolat. Sebaliknya, jumlah cendawan asal akar yang menghambat pertumbuhan kecambah sebanyak 57 (51.81%), dan 39.09% asal batang. Pengelompokkan ini berdasarkan persentase kecambah dan rerata panjang kecambah. Isolat cendawan endofit menghambat jika persentasi perkecambahan antara kurang dari 85% dan mempunyai panjang kecambah kurang dari kontrol, sedangkan isolate cendawan memacu perkecambahan jika persentase perkecambahan antara 85-100% dan mempunyai panjang kecambah lebih dari kontrol. Isolat cendawan endofit dianggap netral jika perkecambahan benih lebih dari 85%, tetapi panjang kecambah kurang dari kontrol. Sebagian besar isolat cendawan yang ditemukan bersifat patogenik karena menghambat perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah cabai. Tabel 2 Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai
Kode isolat
Kontrol A1 SG A2.1 SG A2.2 SG A1.SG A2.1 SG A2.2 SG B5 SG Kontrol A2 GB A3 GB A7.1 GB A7.2 GB A9.1 GB A9.2 GB A9.3 GB B5 GB Kontrol A1 TW A7 TW B1 TW
Persentase kecambah (%) 85 90 45 10 55 25 55 100 85 0 90 0 100 85 100 90 100 100 100 80 100
Selisih persentase kecambah dengan kontrol (%)
5 -40 -75 -30 -60 -30 15 -85 5 -85 15 0 15 5 15 0 -20 0
Rerata panjang kecambah (cm) 2.71 3.65 0.25 0.06 0.30 0.14 0.65 21.5 2.71 0 1.22 0 0.30 1.4 2.76 1.52 3.16 1.82 2.20 0.32 2.34
Selisih panjang kecambah dengan kontrol (cm) 0.94 -2.46 -2.65 -2.41 -2.57 -2.06 18.78 -2.71 -1.49 -2.71 -2.41 -1.31 0.04 -1.19 0.44 0.38 -1.5 0.52
14
Tabel 2 Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai (lanjutan)
Kode isolat
Persentase kecambah (%)
Selisih persentase kecambah dengan kontrol (%)
B8 TW B10 TW Kontrol A13.1 Bthl A13.2 Bthl B12 Bthl B13 Bthl B14.1a Bthl B14.1b Bthl B14.2 Bthl B15 Bthl B18 Bthl B19 Bthl B20 Bthl Kontrol A1.1 G1 A1.3 G1 A2.1 G1 A2.2 G1 A2.3 G1 A3.1 G1 A3.3 G1 A4.1 G1 A5.1a G1 A5.2 G1 A5.3 G1 A6.2 G1 A7.1 G1 A7.2 G1 A7.3 G1 A7.4 G1 A8.1 G1 A9.1 G1 A9.2 G1 A10.1 G1 A10.2 G1 A10.3 G1
100 100 95 0 0 0 0 0 90 95 0 80 0 0 100 80 100 95 100 80 100 0 0 0 0 0 65 0 0 0 0 35 0 0 0 0 0
0 0 -95 -95 -95 -95 -95 -5 0 -95 -15 -95 -95 -20 0 -5 0 -20 0 -100 -100 -100 -100 -100 -35 -100 -100 -100 -100 -65 -100 -100 -100 -100 -100
Rerata panjang kecambah (cm) 1.66 1.67 3.65 0 0 0 0 0 0.54 2.18 0 0.30 0 0 2.74 0.48 1.00 1.03 0.78 1.02 2.55 0 0 0 0 0 0.31 0 0 0 0 0.12 0 0 0 0 0
Selisih panjang kecambah dengan kontrol (cm) -0.16 -0.15 -3.65 -3.65 -3.65 -3.65 -3.65 -3.11 -1.46 -3.65 -3.34 -3.65 -3.65 -2.25 -1.73 -1.71 -1.96 -1.71 -0.19 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74 -2.43 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74 -2.62 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74
15
Tabel 2 Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai (lanjutan)
Kode isolat
B2.1 G1 B7.2 G1 B7.3 G1 B8.1 G1 B8.3 G1 B9.1a G1 B9.1b G1 B9.2 G1 B10.1 G1 B10.2 G1 B10.3 G1 Kontrol A1.2 G2 A1.3 G2 A2.1a G2 A2.1b G2 A2.2 G2 A2.4 G2 A3.1 G2 A3.2 G2 A3.3 G2 A3.4 G2 A4.1 G2 A5.1 G2 A6.1 G2 A6.2 G2 A6.3 G2 A7.1 G2 A7.3 G2 A8.1a G2 A8.1b G2 A8.2 G2 A9.1 G2 A9.2 G2 A10.1 G2 B1.1 G2
Persentase kecambah (%)
Selisih persentase kecambah dengan kontrol (%)
0 25 15 0 0 0 0 5 0 0 0 100 85 0 0 0 0 0 5 100 0 0 80 5 95 100 95 0 100 100 65 65 80 0 85 0
-100 -75 -85 -100 -100 -100 -100 -95 -100 -100 -100 -15 -100 -100 -100 -100 -100 -95 0 -100 -100 -20 -95 -5 0 -5 -100 0 0 -35 -35 -20 -100 -15 -100
Rerata panjang kecambah (cm) 0 0.04 0.03 0 0 0 0 0 0 0 0 2.75 0.35 0 0 0 0 0 0.02 7.89 0 0 0.5 0.01 0.81 3.01 0.93 0 3.11 3.13 0.43 1.36 1.68 0 0.35 0
Selisih panjang kecambah dengan kontrol (cm) -2.74 -2.69 -2.71 -2.74 -2.74 -2.74 -2.74 -2.735 -2.74 -2.74 -2.74 -2.40 -2.75 -2.75 -2.75 -2.75 -2.75 -2.73 5.14 -2.75 -2.75 -2.25 -2.74 -1.94 0.26 -1.82 -2.75 0.35 0.38 -2.32 -1.39 -1.07 -2.75 -2.40 -2.75
16
Tabel 2 Pengaruh cendawan endofit terhadap perkecambahan benih cabai (lanjutan)
Kode isolat
B1.2 G2 B1.3 G2 B2.1 G2 B4.1 G2 B5.1 G2 B5.3a G2 B5.3b G2 B5.4 G2 B6.1 G2 B6.3 G2 B6.4 G2 B7.1 G2 B7.2 G2 B7.3 G2 B9.1 G2 B9.2 G2 B10.1 G2 B10.2 G2 B10.3 G2
Persentase kecambah (%)
Selisih persentase kecambah dengan kontrol (%)
Rerata panjang kecambah (cm)
0 0 10 10 0 0 20 0 40 65 0 35 5 65 85 0 0 0 0
-100 -100 -90 -90 -100 -100 -80 -100 -60 -35 -100 -65 -95 -35 -15 -100 -100 -100 -100
0 0 0.03 0.05 0 0 0.12 0 0.18 0.30 0 0.27 0.03 0.33 0.46 0 0 0 0
Selisih panjang kecambah dengan kontrol (cm) -2.75 -2.75 -2.72 -2.70 -2.75 -2.75 -2.63 -2.75 -2.56 -2.45 -2.75 -2.47 -2.72 -2.41 -2.29 -2.75 -2.75 -2.75 -2.75
Tanda negatif (-) menunjukan selisih nilai persentase dan panjang kecambah yang lebih rendah dari kontrol.
Berdasarkan uji patogenisitas, didapatkan 10 isolat cendawan endofit yang mempunyai perkecambahan benih dan panjang kecambah melebihi kontrol. Isolat tersebut yaitu A1SG, B5SG, A9.2GB, B5GB, A1TW, B1TW, A3.2G2, A6.2G2, A7.3G2, dan A8.1aG2. Sepuluh isolat tersebut digunakan untuk uji selanjutnya, masing-masing 7 isolat berasal dari akar dan 3 isolat berasal dari batang. Pengaruh Cendawan Endofit terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa beberapa cendawan endofit terlihat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai, hal ini dapat terlihat dari Gambar 1 bahwa isolat B1TW dan B5GB dapat meningkatkan jumlah daun tanaman cabai, dan Gambar 2 terlihat bahwa isolat A1SG, A9.2GB, B5GB, A3.2G2 dan A6.2aG2 dapat meningkatkan tinggi tanaman. Kemampuan cendawan endofit dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman tidak terlepas dari kemampuannya memproduksi sejumlah metabolit pemacu tumbuh yang tinggi. Menurut Khan et al. (2012) cendawan endofit dapat meningkatkan tinggi tanaman dan panjang tunas karena menghasilkan metabolit yang membantu dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penicillium sp. menghasilkan metabolit
17
Jumlah daun
sekunder yang berperan dalam PGPF (Plant Growth Promoting Fungi) berupa senyawa bioaktif giberellin yang merupakan salah satu hormon pertumbuhan pada tanaman (You et al. 2012). Metabolit yang telah dilaporkan dapat diproduksi oleh cendawan endofit yaitu indole acetic acid (IAA), giberelin, auksin, dan sitokinin (Dai et al. 2008; Hamayun et al. 2010).
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
M2
M4 M6 M8
Kode isolat Gambar 1 Pengaruh cendawan endofit terhadap jumlah daun tanaman cabai
Tinggi tanaman (cm)
40 35 30 25 20
M2
15
M4
10
M6
5
M8
0
Kode isolat Gambar 2 Pengaruh cendawan endofit terhadap tinggi tanaman cabai pada minggu ke-2 sampai ke-8 (M2, M4, M6, M8) Cendawan endofit dikelompokkan menjadi beberapa kelas menurut Rodriguez et al. (2009), yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan membantu dalam adaptasi terhadap lingkungan termasuk ke dalam kelas 2, sedangkan cendawan endofit yang dapat membantu tanaman dalam menekan penyakit termasuk ke dalam kelas 3. Berdasarkan hal tersebut, maka 5 isolat cendawan
18
yaitu A1TW, A7.3G2, A9.2GB, A8.1aG2, dan B5GB diuji kemampuannya dalam menekan penyakit layu bakteri. Tiga isolat cendawan endofit mewakili kelompok cendawan yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan 2 isolat mewakili cendawan endofit yang tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Kemampuan Cendawan Endofit dalam Mengendalikan Layu Bakteri Penekanan cendawan endofit yang terhadap layu bakteri tergolong masih rendah (Tabel 3). Hari ke-6 setelah perlakuan, antar perlakuan masih belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Penekan terlihat berbeda setelah hari ke-9 dan ke-12 setelah perlakuan. Tabel 3 Pengaruh cendawan endofit terhadap kejadian penyakit layu bakteri Kode Isolat Kontrol A1TW A7.3G2 A9.2GB A8.1aG2 B5 GB
6 HSP 11.67±7.52 10±6.32 15±5.47 13.33±5.16 11.67±4.08 10±8.94
Kejadian Penyakit (%)1, 2 9HSP 12HSP 32.00±7.97 bc 46.50±6.02 cd 23.33±5.16 ab 33.83±8.65 ab 28.50±7.84 abc 42.83±8.28 bc 33.83±8.65 c 48.33±5.68 d 25.16±8.72 abc 37.50±11.04 abc 20.00±8.94 a 32.00±7.97 a
1
Rataan±standar deviasi. 2Huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (p>0.05). Analisis data dilakukan setelah transformasi arcsin √ x+0.5. HSP= hari setelah perlakuan.
Penekanan tertinggi diberikan oleh isolat B5GB (27%), diikuti A1TW (23.33%), A8.1aG2 (16.67%), dan A7.3G2 (7%). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya isolat B5GB dan A1TW yang memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan kontrol, sedangkan isolat lain tidak memberikan pengaruh yang nyata. Penekanan paling baik hanya 23.33% dan 27%, hal ini diduga karena berkaitan teknik inokulasi bakteri patogen yang dilakukan menggunakan jumlah inokulum yang tinggi. Cendawan endofit umumnya bersifat menguntungkan bagi tanaman inang. Penelitian mengenai cendawan endofit sebagai agens biokontrol telah banyak dikaji. Menurut Zhao et al. (2010), cendawan endofit berperan penting dalam memproduksi senyawa bioaktif untuk aplikasi pertanian, kesehatan dan industri makanan. Cendawan endofit mampu memproduksi senyawa bioaktif yang sebenarnya berasal dari tanaman, seperti paclitaxel, podophyyotoxin, camptothecine, vinblastine, hypericin dan diosgenin. Asosiasi antara cendawan endofit dengan tanaman inang ini menguntungkan karena salah satu senyawa yang dihasilkan dapat bersifat antimikroba yang banyak digunakan sebagai obat atau biokontrol. Mekanisme cendawan endofit dalam menekan penyakit tanaman dapat secara langsung (hubungan cendawan endofit dan patogen) dan tidak langsung (induksi ketahanan tanaman). Mekanisme dari cendawan endofit dalam melindungi inangnya dapat dengan menginduksi tanaman maupun produksi antibiosis sebagai mekanisme pertahanan (Herre et al. 2007). Menurut Rekha et
19
al. (2013), cendawan endofit dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai antimikroba tertentu, seperti nanopartikel yang ramah lingkungan. Mekanisme dalam penghambatan penyakit dalam penelitian ini belum diteliti. Berdasarkan penelitian lainnya, cendawan endofit menghasilkan senyawa aktif yang dapat menekan perkembangan patogen, baik bersifat antifungi maupun antibakteri. Cendawan endofit yang masuk ke dalam kelompok ini mampu menghasilkan satu atau lebih senyawa semacam antibiotik. Beberapa contoh senyawa tersebut adalah terpenoid, alkaloid, senyawa aromatik, dan polipeptida. Cendawan endofit Acremonium zeae menghasilkan antibiotik pirosidin yang mampu menghambat patogen Aspergillus flavus dan Fusarium verticillioides. Contoh lain yaitu Phomopsis cassia yang mampu mempunyai antibiotik Cadinane sesquiterpenes yang mampu menghambat Cladosporium sphaerospermum dan C. cladosporioides. Selain menghasilkan senyawa aktif, cendawan endofit juga menghasilkan enzim litik yang mampu mendegradasi senyawa penyusun dinding sel patogen seperti kitin, protein, selulosa, hemiselulosa dan DNA, sehingga dapat menekan aktivitas patogen (Gao et al. 2010). Cendawan endofit juga dilaporkan dapat menginduksi ketahanan tanaman dengan meningkatkan produksi asam salisilat dan enzim peroksidase (Tondok et al. 2012). Asam salisilat adalah molekul sinyal pada ketahanan sebagai respon ketahanan tanaman karena adanya infeksi patogen atau luka, dan enzim peroksidase yaitu enzim yang diperlukan tanaman untuk menghasilkan senyawa pertahanan tanaman, seperti lignin, kitin, dan senyawa penyusun dinding sel (Hallmann 2001). Kolonisasi Cendawan Endofit Tingkat kolonisasi cendawan endofit pada akar lebih tinggi (40-52%) dibandingkan kolonisasi pada batang (20-28%). Isolat A7.3G2 mempunyai tingkat kolonisasi paling tinggi yaitu 52%, diikuti isolat B5GB sebesar 48%, 44% untuk isolat A1TW dan A81.aG2, 40% isolat A9.2G2 (Gambar 3).
Tingkat kolonisasi (%)
60
Akar
Batang
50 40 30 20 10 0
A1TW A7.3G2 A9.2GB A8.1aG2 B5 GB Isolat cendawan endofit Gambar 3 Tingkat kolonisasi cendawan endofit pada bagian akar dan batang bibit cabai
20
Kolonisasi akar lebih tinggi dibandingkan dengan batang diduga karena cendawan endofit mengkolonisasi pertama kali pada bagian ini. Hal ini juga berkaitan dengan perlakuan yang dilakukan, yaitu menggunakan seed coating (pemeraman benih) dan penyiraman cendawan endofit yang dilakukan di sekitar perakaran tanaman. Menurut Pimentel et al. (2006), usia tanaman juga berpengaruh terhadap tingkat kolonisasi cendawan endofit yang diaplikasikan. Cendawan endofit akan lebih mudah mengkolonisasi tanaman yang berumur muda dibandingkan dengan tanaman yang berumur lebih tua. Tingkat kolonisasi yang cukup tinggi pada isolat A1TW dan B5GB ini diduga mempengaruhi kemampuannya dalam menekan penyakit layu bakteri pada tanaman cabai. Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop cahaya, didapatkan bahwa isolat A1TW dan B5GB berupa hifa steril (Gambar 4 dan 5).
b
a
Gambar 4 Gambar mikroskopis hifa isolat A1TW (Hifa steril 1) a) pada media water agar, b) dari media PDA
a
b
Gambar 5 Gambar mikroskopis hifa isolat B5GB (Hifa steril 2) a) pada media water agar, b) dari media PDA
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Cendawan endofit yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini berjumlah 110 isolat, dengan 10 isolat cendawan endofit bersifat nonpatogenik yang berasal dari daerah Bogor dan Garut. Isolat B5GB dan A1TW dapat menekan penyakit layu bakteri dengan tingkat penekanan paling tinggi, berturut-turut 27% dan 23.33%.
21
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme penghambatan cendawan endofit terhadap bakteri patogen dan teknik inokulasi patogen serta cendawan endofit yang berbeda. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkombinasikan beberapa cendawan endofit yang berpotensi menekan penyakit layu bakteri.
DAFTAR PUSTAKA Aditya R. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri rozosfer untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada kacang tanah yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Yabuuchi et al. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Alvarez B, Elena GB, Maria ML. 2010. On the Life of Ralstonia solanacearum, a destructive bacterial plant pathogen. Current Research, Technology and Education Topics in Applied in Microbiology and Microbial Biotechnology. [Internet]. [diunduh 2011 Nov 15]; 267-279. Tersedia pada: http://www.formatex.info/microbiology2/267-279.pdf. Bacon CW, White JF. 2000. Microbial Endophytes. New York (US): Marcel Deker Inc. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2010. Budidaya dan pascapanen cabai merah (Capsicum annuum L.). Ungaran (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jawa Tengah. Basha H, Hemannavar V, Ramanujam B, Rangeshwaran R, Sriram S. 2010. Screening of chilli microflora and other biocontol agents for their antagonistic effects on Colletotrichum spp. infecting chillies. The J. of Plant Protect. Sci. 2(1): 38-44. Begum N, Haque MI, Mukhtar T, Naqvi SM, Wang JF. 2012. Status of bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum in Pakistan. Pak. J. of Phytopathol. 24(1): 11-20. Chakravarty, G dan Kalita M.C. 2011. Management of Bacterial Wilt of Brinjal by P.fluorescens Based Bioformulation. J. of Agricultural Biological Sci. 6(3): 1-11. Champoiseau PG, Jones JB. 2009. Ralstonia solanacearum race 3 biovar 2 causes tropical losses and temperate anxienties. Plant Health Progress. 1-10. DOI: 10.1094/PHP-2009-0313-01-RV. Chandrashekara KN, Prasannakumar MK, Deepa M, Vani A, Khan ANA. 2012. Prevalence of races and biotypes of Ralstonia solanacearum in India. J. of Plant Protect. Res. 52(1): 53-58. Chaudhry Z, Rashid H. 2011. Isolation and characterization of Ralstonia solanacearum from infected tomato plants of Soanskesar valley of Punjab. Pak. L. Bot. 43(6): 2979-2985. Dai CC, Yu BY, Li X. 2008. Screening of endophytic fungi that promote the growth of Euphobia pekinensis. Afr. J. of Biotechnol. 7(19): 3505-3510.
22
Damayanti. 2013. Potensi cendawan endofit untuk menekan penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai (Capsicum annum) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ding T, Jiang T, Zhou J, Xu L, Gao ZM. 2010. Evaluation of antimicrobial activity of endophytic fungi from Camptotheca acuminate (Nyssaceae). Online J. Genetics and Molecular Res. 9(4): 2104-2112. [Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Sosial Ekonomi Nasional 2009-2013. [Internet]. [diunduh 21 Agu 2014.]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabe-15b-konsumsi-rata.pdf. [EPPO] Europpean and Mediterranean Plant Protection Organization. 2004. Ralstonia solanacearum. Diagnostic protocols for regulated pests.EPPO.[Internet]. [diunduh 2012 Mar 14];(34):173-178. Tersedia pada: http://plantpath.ifas.ufl.edu/rsol/RalstoniaPublications_PDF/EPPORalstonia Diagnostic%20protocols.pdf. Fisher PJ, Petrini O, Sutton BC. 1993. A comparative study of fungal endophytes in leaves, xylem and bark of Eucalyptus nitens in Australia and England. Sydowia. 45(2): 338-345. Ganley RJ, Sniezko RA, Newcombe G. 2008. Endophyte-mediated resistance against white pine blister rust in Pinus monticule. Forest Ecol. and Management. 255: 2751-2760. Gao F, Dai C, Liu X. 2010. Mechanisms of fungal endophytes in plant protection against pathogens. Afr. J. of Microbiol Res. 4(13): 1346-1351. Gazis R, Chaverri P. 2010. Diversity of fungal endophytes in leaves and stems of wild rubber trees (Hevea brasiliensi) in Peru. Fungal Ecol. 3: 240-254. DOI: 10.1016/j.funeco.2009.12.001. Guo JH, Qi HY, Guo YH, Ge HL, Gong LY, Zhang LX, Sun PH. 2004. Biocontrol of tomato wilt by plant growth-promoting rhizobacteria. Biological Control. 29(1): 66-72. DOI: 10.1016/S1049-9644(03)00124-5. Hallmann J. 2001. Plant interaction with endophytic bacteria. Di dalam: Jeger MJ, Spence NJ, Editors. Biotic Interaction in Plant-Pathogen Associations. Wallingford (US): CABI : 87-119. Hamayun M, Khan SA, Khan AL, Tang DS, Hussain J, Ahmad B, Anwar Y, Lee IJ. 2010. Growth promotion of Cucumber by pure cultures of gibberellinsproducting Phoma sp. GAH7. W. J. Microbiol. Biotechnol. 26: 889-894. Hernawati H, Wiyono S, Santoso S. 2011. Leaf endophytic fungi of chili (Capsicum annuum) and their role in protection against Aphis gossypii (Homoptera: Apididae). Biodiversitas. 12(4): 187-191. Herre EA, Mejia LC, Kyllo DA, Rojas E, Maynard Z, Butler A, van Bael SA. 2007. Ecological implications of anti-pathogen effects of tropical fungal endophytes and mycorrhizae. Ecology. 88(3): 550-558. Huang Q, Allen C. 2000. Polygalacturonases are required for rapid colonization and full virulence of Ralstonia solanacearum on tomato plants. Physiological and Molecul. Plant Pathol. 57(2): 77-83. DOI: 10.1006/pmpp.2000.0283. Hyde KD, Soytong K. 2008. The fungal endophyte dilemma. Fungal Diversity. 33:163-173.
23
Istikorini Y. 2008. Potensi cendawan endofit untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum annuum L) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. James D, Girija D, Mathew SK, Nazeem PA, Babu TD, Varma AS. 2003. Detection of Ralstonia solanacearum race 3 causing bacterial wilt of solanaceous vegetables in Kerala, using random amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis. J. of Trop. Agr. 41:33-37. Khairul U. 2005. Kajian beberapa komponen pengendalian terpadu penyakit layu bakteri pada tanaman cabai merah [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Khan SA, Hamayun M, Khan AL, Lee IJ, Shinwari ZK, Kim JG. 2012. Isolation of plant growth promoting endophytic fungi from dicots inhabiting coastal sand dunes of Korea. Pak. J. Botany. 33(4): 1453-1460. Kim CK, Eo JK, Eom AH. 2013. Diversity and seasonal variation of endophytic fungi isolated from three conifers in Mt. Taehwa Korea. Microbiol. 41(2): 82-85. Kuarabachew H, Assefa F, Hiskias Y. 2007. Evaluation of Ethiopian Isolates of Pseudomonas fluorecens as Biocontrol Agent Against Potato Bacterial Wilt Caused by Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum. Acta Agriculturae Slovenica. 2:125-135. Latupeirissa Y, Nawangsih AA, Mutaqin KH. 2014. Sselection and identification of bacteria from Tongkat Langit banana (Musa troglodytarum L.) to control the blood disease bacteria. J. ISSAAS. 20(2): 110-120. Lemessa F, Zeller W. 2007. Pathogenic characterization of strains of Ralstonia solanacearum from Ethiopia and influence of plant age on susceptibility of hosts against R. solanacearum. 2007. J. of Plant Diseases and Protect. 114(6): 241-249. Mejia LC, Rojas EI, maynard Z, Bael SV, Arnold AE, Hbbar P, Samuels GJ, Robbins N, Herre EA. 2008. Endophytic as biocontrol agents of Theobroma cacao pathogens. Biological Control. 46(1): 4-14. DOI: 10.1016/j.biocontrol.2008.01.012. Meng X, Ziling M, Jingfeng L, Liang X, Lingyun Z, Youliang P, Ligang Z, Mingan W. 2012. Benzopyranones from the endophytic fungus Hyalodendriella sp. Ponipodef12 and their bioactivities. Molecules. 17:11303-11314. Motaal FFA, Nassar MSM, Zayat SAEZ, Sayed MAES, Ito SI. 2010. Antifungal activity of endophytic fungi isolated from egyptian Henbane (Hyoscyamus muticus L.). Pak. J. Botany. 42(4): 2883-2894. Nasrun, Christanti, Arwiyanto T, Mariska I. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. J. Penelitian Tanaman Industri. 13(2): 43-48. Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman tomat [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and characterization of endophytic bacteria as biocontrol agents of tomato bacterial wilt disease. Hayati J. Biosciences. 18(2): 66-70.
24
Nurzannah SE, Lisnawati, Bakti D. 2014. Potensi jamur endofit asal cabai sebagai agens hayati untuk mengendalikan layu Fusarium (Fusarium oxysporum) pada cabai dan interaksinya. J. Online Argrotek. 2(3): 1230-1238. Paul NC, Deng JX, Sang HK, Choi YP, Yu SH. 2012. Distribution and antifungal activity of endophytic fungi in stages of Chili pepper (Capsicum annum L.) in Korea. Plant Pathol J. 28(1): 10-19. Pimentel IC, Blanko CG, Gabardo J, Stuart RM, Azevedo JL. 2006. Identification and colonization of endophytic fungi from soybean (Glycine max (L.) Merril) under different environmental condition. Braz. Arch. Biol. Technol. 49(5): 705-711. Poussier S, Thoquet P, Demery DT, Barthet S, Meyer D, Arlat M, Trigalet A. 2003. Host plant-dependent phenotypic reversion of Ralstonia solanacearum from non-pathogenic to pathogenic form via alternation in the phcA gene. Molecular Microbiol. 49(4): 991-1003. DOI: 10.1046/j.13652958.2003.03605.x. Putri NE. 2010. Keragaan beberapa genotipe cabai (Capsicum annum) dan ketahanannya terhadap antraknosa, hawar Phytophthora, dan layu bakteri serta parameter genetiknya [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rachmah W. 2015. Epidemiologi beberapa penyakit penting pada tanaman cabai (Capsicum annuum L) di desa Ciputri kecamatan Pacet kabupaten Cianjur [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramdan EP. 2014. Eksplorasi cendawan endofit sebagai agens pengendali hayati Phytopthora capsici Leonian pada cabai [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rehman S, Mir T, Kour A, Qasi PH, Sultan P, Shawl AS. 2011. In vitro antimicrobial studies of Nodulisporium species: An endophytic fungus. J. of Yeast and Fungal Res. 2(4): 53-58. Rekha, Jyoti K, Bala M, Arya V. 2013. Endophytic fungus: a potential source of biological synthesized nanoparticle. Basic Res. J. of Microbiol. 1(1): 01-07. Rubini MR, Ribeiro RTS, Pomella AWV, Maki CS, Araujo WL, Santos DRD, Azevedo JL. 2005. Diversity of endophytic fungi community of cacao (Theobromae cacao L.) and biological control of Crinipellis perciniosa, causal agent of Witches Broom Diseases.Int. J.Biol.Sci. 1:24-33. Rodriguez RJ, White JF, Arnold AE, Redman RS. 2009. Fungal endophytes diversity and functional roles. New Phytologist. 1-17. DOI: 10.1111/j.14698137.2009.02773.x. Sanogo S, Carpenter J. 2006. Incidence of Phytophthora blight and Verticillium wilt within chile pepper field in New Mexico. American Phytopathol. Soc. J. 90(3): 291-296. DOI: dx.doi.org/10.1094/PD-90-0291. Schaad NW. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant pathogenic Bacteria 3rdEd. St. Paul. Minnesota (US): APS Press. Schloter M, Michael L, Thierry H., Anton H. 2000. Ecology and evolution of bacterial microdiversity. FEMS Microbiol. Reviews. (24):647-660. Sunarmi N. 2010. Isolasi dan identifikasi jamur endofit dari akar tanaman kentang sebagai antijamur (Fusarium sp., Phytophthora infestans) dan antibakteri (Ralstonia solanacearum) [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Islam Negeri Malang.
25
Tondok ET, Sinaga MS, Widodo, Suhartono MT. 2012. Potensi cendawan endofit sebagai agens pengendali hayati Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. penyebab busuk buah kakao. J. Agron. Indonesia. 40 (2): 146 – 152. Vaz ABM, Brandao LR, Viera LA, Pimenta RS, Morais PB, Sobral MEG, Rosa LH, Rosa CA. 2009. Diversity and microbial activity of fungal endophyte communities associated with plants of Brazilian savanna ecosystems. Afr. J. of Microbiology Res. 6(13): 317-3185. DOI: 10.5897/AJMR11.1359. Wenneker M, Verdel MSW, Groeneveld RMW, Kempenaar C, Beuningen ARV, Janse JD. 1999. Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum race 3 (biovar 2) in surface water and natural weed hosts: First report on stinging nettle (Urtica dioica). European J. of Plant Pathol. 105:307-315. You. YH, Yoon H, Kang SM, Shin JH, Choo YK, Lee IJ, Lee JM, Kim JG. 2012. Fungal diversity and plant growth promotion of endophytic fungi from six halophytes in Suncheon Bay. J. Microbiol. Biotechnol. 22(11): 1549-1556. Yulianah I. 2007. Studi pewarisan karakteristik ketahanan cabai (Capsicum annuum L.) terhadap layu bakteri (Ralstonia solanacearum) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianti T. 2009. Pengelolaan patogen tular tanah untuk mengembalikan kejayaan tembakau Temanggung di kabupaten Temanggung. Perspektif. 8(1): 1-16. Zhao J, Zhou L, Wang J, Shan T, Zhong L, Liu X, Gao X. 2010. Endophytic fungi for producing bioactive compounds originally from their host plants. Current Res. Technology and Education Tropics in App. Microbiology and Microbial Biotechnology. 567-576. Zhu YJ, Xiao RF, Liu B. 2010. Growth and pathogenicity characteristics of Ralstonia solanacearum strain RS1100 in long-term stationary phase culture. J. of Plant Dis. and Protect. 117(4): 156-161.
26
Lampiran 1 Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai sehat di daerah Bogor (a) dan Garut (b)
a
b
27
Lampiran 2 Lokasi lahan asal sampel tanaman cabai bergejala layu di daerah Bogor
Lampiran 3 Perkecambahan benih pada biakan cendawan endofit: a) kontrol, b) benih berkecambah normal, c) benih tidak berkecambah, d) benih nekrosis
a
c
b
d
28
Lampiran 4 Bentuk koloni beberapa isolat cendawan endofit: a) A1SG, b) A7.3G2, c) A9.2GB, d) B1TW, e) A62.G2, f) A1TW, g) A3.2G2, h) B5SG, i) B5GB, j) A82aG2, k) A7TW, l) A6.2Bthl, m) B4Bthl, n) B10.1Bthl, o) A7.2Bth, p) B5.1G2, q) A8.1bG2, r) B2.1G2, s) A2.1G2, t) A3.1G2
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
n
o
p
q
r
s
t
Lampiran 5 Tanaman cabai besar yang ditanam di rumah kaca
29
Lampiran 6 Tanaman cabai bergejala layu: a) 9 hari setelah perlakuan, b) 12 hari setelah perlakuan
a
b
Lampiran 7 Isolasi R. solanacearum a) tanaman bergejala layu di lapangan, b) batang tanaman bergejala berwarna coklat jika dikelupas kulit luarnya, c) aliran massa bakteri (ooze) keluar dari batang tanaman, d) koloni bakteri R.solanacearum pada media TTC agar, e) uji KOH, f) penularan pada tanaman cabai
a
d
b
c
e
f
30
Lampiran 8 Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 6 hari setelah perlakuan Sumber Perlakuan Kelompok Galat Total
db 5 1 30 36
JK 113.889 5136.111 1250.000 6500.889
KT 22.778 5136.111 41.667
F hit 0.547 123.267
Pr > F 0.739 0.000
R-Square = 0.84 Lampiran 9 Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 9 hari setelah perlakuan Sumber Perlakuan Kelompok Galat Total
db 5 1 30 36
JK 837.806 26514.694 1914.500 29267.000
KT 167.561 26514.694 63.817
F hit 2.626 415.482
Pr > F 0.044 0.000
R-Square = 0.0304 Lampiran 10 Daftar sidik ragam kejadian penyakit layu bakteri R. solanacearum 12 hari setelah perlakuan Sumber Perlakuan Kelompok Galat Total R-Square = 0.407
db 5 1 30 36
JK 1367.000 58081.000 1988.000 61436.000
KT 273.400 58081.000 66.267
F hit 4.126 876.474
Pr > F 0.006 0.000
31
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 25 November 1988, sebagai anak kedua dari 4 bersaudara, dari pasangan Bapak Achmad Ghozali Hasan dan Ibu Sri Yuli Purwaningsih. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kebumen pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama lulus seleksi Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Gelar Sarjana Sains diperoleh pada tahun 2011, kemudian melanjutkan progam magister dengan Beasiswa Unggulan dari Dinas Pendidikan Tinggi pada Institut Pertanian Bogor mayor Fitopatologi, Fakultas Pertanian pada tahun yang sama.