Agric. Sci. J. – Vol. I (4) : 275-285 (2014)
SELEKSI BERBASIS MARKA SSR UNTUK KARAKTER KETAHANAN TERHADAP WERENG COKLAT DAN PENGAMATAN FENOTIPIK UNTUK DAYA HASIL TINGGI PADA PADI F2 SSR MARKERS BASED ON SELECTION FOR RESISTANCE TO BROWN PLANTHOPPER AND PHENOTYPIC OBSERVATIONS FOR HIGH YIELD IN F2 PROGENY OF RICE 1
Widya Pertiwi1), Nono Carsono2), dan Suseno Amien2) Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran 2 Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran ABSTRAK
Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan salah satu hama utama yang dapat menurunkan produksi padi di Indonesia. Oleh karena itu perakitan dan seleksi tanaman padi yang memiliki karakter tahan terhadap wereng coklat dipandang sebagai pendekatan yang lebih efektif dan ramah terhadap lingkungan dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan individu padi F2 Ciherang X PTB-33 yang memiliki karakter ketahanan terhadap wereng coklat berdasarkan marka SSR dan mengetahui rasio segregasinya serta memiliki daya hasil yang tinggi secara fenotipik. Percobaan dilakukan di Laboratorium Analisis dan Bioteknologi Tanaman dan Kebun Percobaan Ciparanje, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Sebanyak 283 tanaman F2 dianalisis secara deskriptif dengan mengamati pola pita DNA menggunakan marka SSR RM313, RM586, RM8213, dan RM589 untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat dan rasio segregasinya serta pengamatan fenotipik untuk daya hasil tinggi. Hasil menunjukkan bahwa Primer RM313 dan RM586 tidak menghasilkan fragmen yang polimorfik, sedangkan oleh primer RM8213 terseleksi 72 genotip dan oleh primer RM589 terseleksi 65 genotip. Selanjutnya, 20 genotip terseleksi oleh kedua primer tersebut. Berdasarkan hasil analisis Chi-Kuadrat, primer RM8213 dan RM589 menunjukkan rasio segregasi pola pita DNA 1:2:1 (rentan:heterozigot segregasi:resisten). 20 genotip yang terseleksi menggunakan marka SSR, dilakukan pengamatan fenotipik untuk karakter daya hasil dan diperoleh enam yang memiliki potensi daya hasil yang tinggi. Enam genotipe terseleksi yaitu genotip #14, #18, #77, #188, #235 dan #265 direkomendasikan untuk dilanjutkan ke generasi berikutnya. Kata kunci: daya hasil tinggi, fenotipik, padi, SSR, wereng coklat. ABSTRACT The brown planthopper (Nilaparvata lugens Stal. = BPH) is one of the major pests that could reduce the production of rice in Indonesia. Because of that, rice breeding and selection of rice that resistant to BPH is the ideal option for economic and effective management of BPH. The objectives of this research were to obtain F2 progeny (Ciherang X PTB-33) of rice that resistant to BPH based on SSR marker and also segregation ratio and has a high yield based on phenotypic. Experiments were carried out in the Laboratory of Plant Analysis and Biotechnology and Ciparanje Experimental Farm, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. A total of 283 F2 plants were analyzed descriptively with observations DNA band using primers RM313, RM586, RM8213, and RM589 for SSR marker of resistance to BPH and also segregation ratio, and for phenotypic observations. The
Diterima 27 Agustus 2014. Disetujui 20 Oktober 2014. Alamat Korespondensi :
[email protected]
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
result showed that primers RM313 and RM586 no polymorphic band, whereas primer RM8213 were obtained 72 genotypes and RM589 were obtained 65 genotypes. And 20 genotypes of plants obtained by RM8213 and RM589. Based on chi-squares test for segregation of DNA bands by RM8213 and RM589 fitted the 1:2:1 (susceptible: heterozygous segregants:resistant). 20 genotypes were selected based on SSR marker, and six genotypes obtained have high yield by phenotypic observations. Six selected genotypes i.e. #14, #18, #77, #188, #235 and #265 are recommended for the next generation. Key words: brown planthopper, high yield, phenotypic, rice, SSR. PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia secara umum, sehingga produksi beras dalam negeri diharapkan dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya, dalam pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri, Indonesia masih bergantung pada impor beras dari negara lain (Christianto, 2013). Masalah utama yang menjadi penghambat dalam peningkatan produksi padi di Indonesia adalah disebabkan oleh adanya serangan hama dan penyakit (Manopo dkk., 2013). Salah satu hama utama pada tanaman padi yang berperan cukup besar dalam penurunan produksi padi di Indonesia adalah hama wereng coklat (N. lugens Stal.). Ledakan populasi hama wereng coklat di Indonesia yang terjadi berturut-turut dari tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 mencapai 28.421ha, 35.987ha, 47.473 ha, 137.768ha, dan 218.060ha. Selain itu luas areal padi yang puso pada tahun 2006 – 2011 berturut-turut mencapai 201ha, 247ha, 688ha, 1.237ha, 4.602ha, dan 34.932ha (Baehaki dan Made, 2011). Oleh karena itu, diperlukan solusi yang cukup efektif dalam mengendalikan wereng coklat, sehingga produksi padi di Indonesia lebih maksimal. Menurut Susanto dkk. (2003) dengan adanya varietas unggul padi dapat dijadikan sebagai salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di Indonesia. Perakitan varietas unggul padi tahan terhadap wereng coklat telah banyak dilakukan, salah satu kultivar padi yang bisa dijadikan sumber genetik ketahanan
wereng coklat adalah kultivar padi PTB-33. Kultivar padi PTB-33 adalah salah satu kultivar introduksi yang berasal dari India dan diketahui memiliki gen digenik yaitu bph2 dan Bph3 yang tahan terhadap wereng coklat biotipe 1, 2, 3, dan 4 (Baehaki, 2012) dan juga telah terdeteksi memiliki gen Qbph3 dan Qbph4 (Carsono dkk., 2013). Sejak tahun 2009 Laboratorium Analisis dan Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran telah melakukan persilangan antara kultivar PTB-33 dengan beberapa kultivar padi unggul di Indonesia, salah satunya adalah varietas Ciherang. Varietas Ciherang merupakan hasil persilangan IR64 terhadap beberapa galur IR lainnya yang dirilis pada tahun 2000, dan diketahui memiliki ketahanan terhadap wereng coklat biotip 2 dan 3 (Suprihatno dan Daradjat, 2009). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2006) diketahui bahwa pada tahun 2005 varietas Ciherang makin unggul karena banyak ditanam oleh petani dibandingkan dengan varietas IR64. Namun, pada tahun 2009 dan 2010 hama wereng coklat mulai menyerang varietas padi yang umumnya sedang populer di petani, termasuk Ciherang (Bahagiawati, 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan perakitan kembali untuk meningkatkan ketahanannya terhadap wereng coklat. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari proses perakitan kultivar padi unggul baru tersebut, yaitu untuk menganalisis populasi generasi F2 hasil persilangan Ciherang x PTB-33. Umumnya metode seleksi pada populasi F2 dapat dilakukan baik secara fenotipik maupun 276
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
genotipik. Salah satu metode seleksi genotipik adalah dengan pemanfaatan marka molekuler. Menurut Robinson et al. (2004), salah satu marka yang dapat digunakan untuk menyeleksi tanaman dengan target yang diinginkan berdasarkan sekuen DNA spesifik adalah dengan marka Simple Sequence Repeat (SSR). Saat ini cukup banyak marka-marka SSR yang diduga terpaut dengan karakter ketahanan terhadap wereng coklat, diantaranya RM586 dan RM589 yang telah teruji terpaut dengan gen Bph3 dan Bph4, RM8072 dan RM19291 yang tepaut gen Bph3 (Jairin et al., 2007), RM8213 dan RM5953 terpaut dengan gen Qbph4 dan Bph17(t), RM7 dan RM313 terpaut gen Qbph3 (Sun et al., 2005), dan lain-lain. Oleh karena itu metode seleksi untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat yang digunakan adalah dengan marka SSR. Hasil pola pita DNA yang didapatkan, selanjutnya dapat dianalisis rasio segregasi pada populasi F2 tersebut untuk mengetahui pola pewarisan sifat yangdiduga terpaut dengan karakter ketahanan terhadap wereng coklat. Kemudian, individu yang terseleksi diamati secara fenotipik untuk mengetahui potensi daya hasil dari masing-masing individu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan individu padi F2 Ciherang X PTB-33 yang memiliki karakter ketahanan terhadap wereng coklat berdasarkan marka SSR dan mengetahui rasio segregasinya serta memiliki daya hasil yang tinggi secara fenotipik. BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Analisis dan Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor dan Kebun Percobaan Ciparanje Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor pada bulan Februari – Juli 2014. Percobaan ini membutuhkan beberapa peralatan yang digunakan untuk kegiatan penanaman padi di lahan dan pengamatan secara fenotipik meliputi baki
persemaian/ steroform, sprayer, alat garis tanam 25 x 25 cm, penggaris, label, amplop/plastik seal, dan alat tulis. Selanjutnya, peralatan untuk kegiatan percobaan molekuler yaitu pestle, mortar, spatula, micro tube, waterbath, refrigerated microsentrifuge (Eppendorf), PCR (mastercycler Epgradient dari Eppendorf), spectrophotometer (Rayleigh UV-9200), tangki elektroforesis, alumunium foil, gel documentation system (G-Box dari Syngene), pipet dan pipet tip beragam ukuran, lemari pendingin, incubator, dan sarung tangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam penanaman sampel di lapangan adalah benih padi generasi F2-8 (generasi F2 nomor tanaman 8) hasil persilanganCiherang X PTB-33, benih tetua recipient Ciherang dan benih tetua donor PTB-33, pupuk kandang domba, pupuk Urea, pupuk SP36, dan pupuk KCl. Bahan yang digunakan dalam percobaan molekuler di laboratorium adalah alkohol 70%, isopropanol, chloroform, CTAB, TE buffer, PCR kit KAPA2GTM Fast ReadyMix (2X) (KapaBiosystems), primer (Tabel 1), aquades, miliQ, dan 0,2μ/ml EthidiumBromide (EtBr). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif. Dimulai dari seleksi berbasis marka SSR, setelah didapatkan individu-individu yang terseleksi kemudian diseleksi berdasarkan pengamatan fenotipik untuk karakter daya hasil tinggi. Tahapan dalam seleksi berbasis marka SSR meliputi: Isolasi DNA dengan metode CTAB Cetyl trimethylammonium bromide) (Doyle dan Doyle, 1987) yang dimodifikasi, pengujian kuantitas dan kualitas DNA dilakukan untuk mengetahui konsentrasi dan kemurnian suatu DNA yang disolasi dengan menggunakan mesin Spectrophotometer. Kemudian, amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR dengan program: 94o C untuk pre denaturation selama 5 menit, 94o C untuk denaturation selama 1 menit, 55o C untuk annealing selama 1 menit, 72o C untuk elongation, 72o 277
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
C untuk final elongation selama 7 menit. Setelah itu, elektroforesis pada gel agarose 3% pada larutan 0,5X TBE buffer dan dialiri tegangan listrik 75 volt selama 90
menit dan visualisasi DNA menggunakan mesin UV transumilator atau Gel Documentation System.
Tabel 1. Primer yang digunakan untuk pengujian marka yang diduga terpaut karakter ketahanan terhadap wereng coklat. Sekuens Primer Fragmen No Marka Gen terpaut Sumber DNA Forward Reverse Tgctacaagtgttctt Gctcaccttttgtgttcc Sun et al., 1 RM313 QBph3 111bp caggac ac 2005 Qbph 4 dan Agcccagtgataca Gcgaggagataccaa Sun et al., 2 RM8213 177bp Bph 17(t) aagatg gaaag 2005 Bph3 dan Acctcgcgttattag gagatacgccaacgag Jairin et al., 3 RM586 271bp Bph4 gtacccatcat atacccaggtt 2007 Bph3 dan Atcatggtcggtggc Caggttccaaccagac Jairin, et al., 4 RM589 186bp Bph4 ttaac actg 2007
Sehingga genotip-genotip hasil persilangan dari kedua tetua tersebut tidak dapat diseleksi. Hasil visualisasi dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Kemudian, hasil visualisasi DNA yang diamplifikasi oleh RM589 menunjukkan adanya polimorfis pada kedua tetua, sama halnya dengan hasil yang diperoleh dari hasil visualisasi DNA menggunakan primer RM8213. Hasil visualisasi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pola Pita DNA Pola pita DNA diperoleh dari hasil visualisasi DNA menggunakan mesin Gel Documentation System. Hasil visualisasi DNA dengan menggunakan primer RM313 dan RM586 pola pita yang didapatkan tidak menunjukkan fragmen yang polimorfik. Tidak adanya fragmen polimorfik ini artinya kedua tetua tersebut tidak memiliki pola pita DNA yang berbeda berdasarkan ukuran pasangan basa (Layla, 2001).
300 bp 200 bp 100 bp
L CH PTB1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 1. Hasil visualisasi DNA oleh RM313 pada genotipe padi 1 –10 Keterangan : L = Ladder 100bp; CH = tetua recipient Ciherang; PTB = tetua donor PTB-33; = pita DNA.
300 bp 200 bp 100 bp
L
CH PTB 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283
Gambar 2. Hasil visualisasi DNA oleh RM586 pada genotipe padi 274 – 283 Keterangan : L = Ladder 100bp; CH = tetua recipient Ciherang; PTB = tetua donor PTB-33; = pita DNA.
278
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
–
300 bp 200 bp
+ –
HH + +
– – H +
+
100 bp
L CH PTB 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275
Gambar 3. Hasil visualisasi DNA oleh RM8213 pada genotipe padi 266–275 Keterangan : L = Ladder 100bp; CH = tetua recipient Ciherang; PTB = tetua donor PTB-33; Tanda (+) = menyerupai tetua donor; (-) = menyerupai tetua betina; H = heterozigot/ menyerupai pita DNA dari kedua tetua; = pita DNA.
–
300 bp 200 bp
+ +
– + H +
+
–
+ H –
100 bp
L
CH PTB 283 282 281 280 279 278 277 276 275 274
Gambar 4. Hasil visualisasi DNA oleh RM589 pada genotipe padi 283 – 274 Keterangan : L = Ladder 100bp; CH = tetua recipient Ciherang; PTB = tetua donor PTB-33; Tanda (+) = menyerupai tetua donor; (-) = menyerupai tetua betina; H = heterozigot/ menyerupai pita DNA dari kedua tetua; = pita DNA. Tanaman yang tidak terdapat pita DNA (genotip 277) dilakukan proses elektroforesis dan atau PCR ulang hingga mendapatkan pita DNA. Hasil visualisasi DNA dari populasi tanaman F2 (Ciherang X PTB-33) dengan menggunakan primer RM8213 yang memiliki pola pita DNA yang sama dengan tetua donor adalah sebanyak 72 genotip (25,44 %). Kemudian, tanaman yang memiliki pola pita DNA mirip dengan tetua recipient adalah sebanyak 56 genotip (19,79 %) dan sisanya yaitu sebanyak 155 genotip (54,77 %) memiliki dua pita DNA yang sama dengan kedua tetuanya. Selanjutnya, hasil visualisasi DNA dengan menggunakan primer RM589 diperoleh 65 genotip (22,97 %) mirip tetua donor. Kemudian, diperoleh 72 genotip (25,44 %) mirip tetua Ciherang dan sisanya sebanyak 146 (51,59 %) mirip keduanya. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Jairin et al. (2010) yang melakukan analisis pada dua populasi F2TN1 X Babawee dan Babawee X KDML105 menggunakan primer RM589. Hasil yang diperoleh dari populsi F2 TN1 X
Babawee, individu yang memiliki genotip RR (resisten seperti Babawee) adalah 18 individu (18,95%), dan 27 individu (28,42%) yang memiliki genotip SS (rentan seperti TN1). Sisanya 50 individu (52,63%) adalah individu yang memiliki genotip RS (heterozigot seperti keduanya). Kemudian pada F2 Babawee X KDML105 diperoleh individu yang memiliki genotip RR (resisten seperti Babawee) adalah 15 individu (19,23%), dan 23 individu (29,49%) yang memiliki genotip SS (rentan seperti KDML105). Sisanya 40 individu (51,28%) adalah individu yang memiliki genotip RS (heterozigot dari keduanya). Setelah diketahui genotip-genotip yang terseleksi, langkah selanjutnya adalah menggabungkan data visualisasi dari marka RM8213 dan RM589. Tanaman yang terseleksi untuk dibackcross dengan tetua recipient atau dianalisis selanjutnya pada generasi F3 adalah tanaman yang memiliki pola pita DNA sama dengan tetua donor pada kedua marka tersebut. Diperoleh 20
279
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
genotip F2 yang memiliki pola pita DNA sama dengan tetua donor pada kedua marka, yaitu genotip #14, #18, #37, #51, #77, #89, #92, #102, #117, #166, #188, #201, #225, #228, #235, #265, #270, #276, #279 dan #270. Analisis Chi-Kuadrat Analisis Chi-Kuadrat dilakukan untuk mengetahui pola pewarisan atau rasio segregasi dari gen ketahanan terhadap wereng coklat pada populasi F2 Ciherang X PTB-33. Rasio segregasi untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat dihasilkan berdasarkan data pengamatan hasil visualisasi menggunakan primer RM8213 dan RM589. Data hasil pengamatan yang diperoleh tersebut akan
dibandingan dengan hasil harapan berdasarkan hipotesis yang teoritis. Melalui perbandingan nilai rataan populasi ( ) yang diperoleh dapat ditetukan garis batas antara menerima dan menolak hipotesis tersebut. Hipotesis rasio segregasi untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1:2:1 (Jairin et al., 2010; Prayoga, 2013). Derajat bebas yang digunakan untuk membandingkan hasil perhitungan ChiKuadrat adalah 2, karena variasi alil yang terbentuk pada generasi keturunan ada 3 (rr, Rr dan RR).
Tabel 2. Hasil analisis Chi-Kuadrat ( ) untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat pada Populasi F2-8 Ciherang X PTB-33 berdasarkan pola pita DNA yang diperoleh Frekuensi pengamatan (O) χ2 Frekuensi harapan Genotip F2 (E) RM8312 RM589 RM8213 RM589 rr 56 72 1/4 x total = 70,75 Rr 155 146 2/4 x total =141,5 4,385tn 0,632tn 5,99 RR 72 65 1/4 x total = 70,75 Keterangan: rr = homozigot rentan; Rr = heterozigot segregasi; RR = homozigot resisten; total adalah total sampel (283 nomor genotip); tn = tidak berbeda nyata.
Tabel 2 menunjukkan perbandingan dari hasil dari kedua primer yang digunakan (RM8213 dan RM589) dengan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, hipotesis rasio segregasi untuk karakter ketahanan terhadap wereng coklat 1:2:1 (homozigot rentan : heterozigot segregasi : homozigot resisten) pada individu F2-8 Ciherang X PTB-33 populasi diterima. Rasio segregasi 1:2:1 menunjukkan adanya dominasi tidak sempurna pada populasi tersebut. Hasil rasio segregasi perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui pola pewarisan dari pola pita DNA tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui pola pewarisan pola pita DNA tersebut mengikuti pola pewarisan Mendel atau tidak adalah dengan mengamati karakter ketahanannya secara fenotipik. Jika kedua tetua persilangan memiliki nilai yang berbeda nyata maka pola pita DNA yang terbentuk akan mengikuti pola pewarisan Mendel dengan rasio 1:2:1.
Menurut penelitian Prayoga (2013), melaporkan bahwa hasil analisis karkater fenotipik panjang trikoma dan kandungan protein pada Ciherang dan PTB-33 menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Oleh karena itu, pola pewarisan yang didapatkan dari pola pita DNA dengan menggunakan primer RM8213 dan RM589 tersebut mengikuti pola pewarisan Mendel 1:2:1. Analisis Fenotipik Analisis fenotipik yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk mengetahui daya hasil dari genotipgenotip yang telah terseleksi secara marka molekuler dengan menggunakan primer RM8213 dan RM589. Berikut merupakan hasil pengamatan fenotipik pada 20 nomor genotip F2 (Ciherang X PTB-33) yang terseleksi oleh kedua primer tersebut. a. Tinggi tanaman Selain mempengaruhi karakter umur tanaman, tinggi tanaman juga sering diperhatikan petani untuk mempermudah 280
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
proses pemanenan. Varietas Ciherang yang berumur genjah umumnya memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar PTB-33 yang berumur dalam. Menurut deskripsi varietas Ciherang, diketahui tinggi tanaman varietas tersebut berkisar antara 107 – 115 cm. Maka genotip yang memiliki tingi tanaman yang sesuai dengan deskripsi varietas Ciherang yaitu genotip #77 dan #235 dengan tinggi tanaman 112 cm. Menurut Rohaeni dan Permadi (2012) mengemukakan bahwa semakin tinggi tanaman akan menyebabkan semakin banyak fotosintat yang diproduksi dan umumnya tanaman yang tinggi akan mempunyai malai yang panjang. Kemudian dengan malai yang panjang maka akan menjamin adanya jumlah gabah bernas yang lebih banyak, sehingga akan berpengaruh terhadap semakin tingginya bobot panen yang dihasilkan oleh tanaman tersebut. Namun dalam penelitian ini, tinggi tanaman tidak menunjukkan pengaruh terhadap panjang malai, justru tanaman tersebut lebih mudah rebah dan batangnya patah, sehingga tanaman yang tinggi tidak memengaruhi hasil dari suatu tanaman. b. Jumlah anakan produktif Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai. Tanaman yang memiliki jumlah anakan yang banyak, maka akan menghasilkan fotosintat yang banyak dan mempengaruhi pembentukan malai (Rizwan dkk., 2012). Menurut deskripsi, jumlah anakan produktif pada varietas Ciherang berkisar antara 14 – 17 anakan. Hasil pengamatan di lapangan, genotip yang memiliki jumlah anakan produktif yang paling banyak adalah genotip #235 dengan jumlah anakan sebanyak 18 anakan. Kemudian genotip yang memiliki jumlah anakan produktif seperti deskripsi varietas Ciherang adalah genotip #89 dengan jumlah anakan sebanyak 16 anakan, genotip #18, #77 dan #228 dengan jumlah anakan sebanyak 15 anakan, serta genotip #265 dengan jumlah anakan produktif sebanyak 14 anakan.
c. Umur berbunga Menurut Hanum (2008) waktu yang diperlukan untuk membentuk bulir pada varietas padi yang berumur genjah (Ciherang) adalah 55 HST, sedangkan pada varietas berumur dalam (PTB-33) membutuhkan waktu 85 HST. Namun pada penelitian ini, varietas Ciherang yang ditanam membutuhkan waktu 86 HST untuk dapat berbunga, sedangkan PTB-33 yang ditanam membutuhkan waktu berbunga selama lebih dari 115 HST. Waktu pembungaan yang lama ini diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Hasil pengamatan di lapangan, genotip yang memiliki umur berbunga lebih cepat dibandingkan varietas Ciherang yang ditanam di lahan adalah genotip #92 dengan umur berbunga 79 HST, genotip #14 dengan umur berbunga 80 HST, genotip #102 dengan umur berbunga 82 HST, genotip #51 dan #280 dengan umur berbunga 83 HST, genotip #37 dan #89 dengan umur berbunga 84 HST, serta genotip #166 dan #22 dengan umur berbunga 86 HST. d. Jumlah malai per rumpun Menurut Rizwan dkk. (2012) jumlah malai per rumpun yang dihasilkan suatu tanaman padi selaras dengan jumlah anakan tanaman tersebut. Namun pada penelitian ini, jumlah malai per rumpun tidak selaras dengan jumlah anakan yang dimiliki tanaman tersebut. Jumlah malai yang banyak akan memengaruhi banyaknya bulir yang dihasilkan, sehingga tanaman tersebut berpotensi memiliki daya hasil yang tinggi. Menurut penelitian Imran dan Suriany (2009) varietas Ciherang memiliki jumlah malai per rumpun sebanyak 17 batang. Hasil pengamatan di lapangan terdapat lima genotip yang memiliki jumlah malai per rumpun yang sama dan melebihi jumlah malai per rumpun yang dimiliki oleh Ciherang. Lima genotip tersebut adalah genotip #265 dengan jumlah malai per rumpun sebanyak 19 batang, genotip #18, #102 dan #235 dengan jumlah malai per rumpun sebanyak 18 batang, dan genotip #188 dengan jumlah malai per
281
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
rumpun sebanyak 17 batang atau sama dengan Ciherang. e. Panjang malai Menurut Hanum (2008) panjang malai dihitung dari sumbu utama pada ruas buku yang terakhir. Panjang malai ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu 1) malai pendek, dengan panjang kurang dari 20 cm; 2) malai sedang, dengan panjang antara 20 – 30 cm; dan 3) malai panjang, dengan panjang lebih dari 30 cm. Panjang malai dipengaruhi oleh varietas dan cara bercocok tanam (lingkungan). Menurut penelitian Wibowo (2010) varietas Ciherang memiliki panjang malai 27 cm, namun pada penelitian ini tidak ada genotip yang memiliki panjang malai seperti varietas Ciherang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tiga genotip yang memiliki malai yang mendekati panjang malai dari varietas Ciherang dan lebih panjang dibandingkan dengan genotip yang lain. Tiga genotip
tersebut adalah genotip #265 dengan panjang malai 26 cm, genotip #77 dengan panjang malai 25,5 cm, genotip #18 dengan panjang malai 25 cm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat 2% (enam genotip) individu dari 283 populasi F2 (Ciherang X PTB-33) yang memiliki komponen pengamatan yang sesuai dan hampir sama dengan varietas Ciherang. Hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan Sleper dan Poehlman (2006) dimana intensitas seleksinya pada kurva distribusi keturunan F2 adalah 5%. Hal ini dikarenakan populasi yang diamati yaitu populasi yang terseleksi oleh kedua primer yang digunakan, sehingga memperkecil jumlah individu yang diseleksi. Selain itu, faktor lingkungan sangat memengaruhi hasil pengamatan fenotipik yang didapatkan. Hasil pengamatan fenotipik secara keseluruhan dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengamatan fenotipik untuk karakter komponen hasil pada 20 nomor genotip tanaman F2-8 Ciherang X PTB-33 yang terseleksi berdasarkan marka SSR Tinggi tanaman Jumlah anakan Umur Berbunga Jumlah malai per Panjang malai (cm) produktif (anakan) (HST) rumpun (batang) (cm) Hasil Ranking Hasil Ranking Hasil Ranking Hasil Ranking Hasil Ranking 1 14 120 5 13 7 80 2 14 9 22 6 2 18 178 20 15 3 107 18 18 3 25 3 3 37 123 8 10 13 84 6 10 15 23 4 4 51 72 17 11 11 83 4 11 12 16.5 16 5 77 112 1 15 4 91 12 19 1 25.5 2 6 89 101 6 16 2 84 7 16 7 16 17 7 92 81 15 9 16 79 1 11 13 17 15 8 102 94 12 12 10 82 3 18 4 22 7 9 117 60 18 10 14 97 16 11 14 10 19 10 166 51 19 8 17 86 8 8 17 10 20 11 188 105 4 11 12 95 15 17 6 23 5 12 201 147 16 13 8 88 10 14 10 22 8 13 225 97 10 4 18 86 9 4 18 14 18 14 228 100 7 15 5 90 11 15 8 22 9 15 235 112 2 18 1 94 14 18 5 21.5 11 16 265 127 11 14 6 99 17 19 2 26 1 17 270 130 13 13 9 93 13 13 11 21 13 18 276 123 9 4 19 109 19 4 19 22 10 19 279 106 3 3 20 110 20 1 20 21.5 12 20 280 90 14 10 15 83 5 10 16 20 14 Ciherang 107-115(a) 14-17(a) 86(b) 17(c) 27(d) Ket.: (a) Sumber: Suprihatno dkk. (2009); (b) Sumber: Data hasil pengamatan di lapangan; (c) Sumber: Imran dan Suriany (2009); (d) Sumber: Wibowo (2010). No.
No. Genotip
282
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
Perankingan di atas dilakukan untuk mempermudah melihat genotip-genotip mana saja yang berpotensi memiliki daya hasil yang tinggi. Potensi daya hasil dari genotip-genotip tersebut sebenarnya dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan karakter hasil dari masing-masing genotip. Namun, pengamatan untuk karakter hasil (jumlah bulir isi per tanaman dan bobot 1000 bulir) dari 20 genotip yang terseleksi oleh kedua primer yang digunakan ini tidak dilakukan, dikarenakan hampir seluruh sampel pada pertanaman terserang hama walang sangit (Leptocorisa oratorius F.). Keberadaan walang sangit di pertanaman dimulai pada saat fase keluar malai sampai dengan fase matang susu, dimana walang sangit ini akan menghisap cairan dari bulir tersebut sehingga bulir berubah warna dan mengapur, serta hampa. Pengendalian hama walang sangit seharusnya dilakukan dengan penyemprotan insektisida karena sudah melebihi batas ambang ekonomi. Batas ambang ekonomi dari serangan hama walang sangit ini adalah lebih dari 1 (satu) ekor walang sangit per dua rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008). Namun, penggunaan insektisida dirasa kurang efektif dalam mengendalikan serangan hama tersebut, karena tingginya populasi walang sangit dan sudah banyak dijumpai telur-telur dari walang sangit tersebut yang menempel pada daun padi. Oleh karena itu, pengendalian yang dilakukan adalah dengan menyungkup malai dengan menggunakan kertas kopi. Faktor lain yang menyebabkan tingginya populasi walang sangit pada pertanaman percobaan adalah karena adanya penyemprotan insektisida pada petaklahan di sebelah pertanaman yang juga ditanami oleh padi. Hal ini dikarenakan, saat padi di sebelah pertanaman percobaan disemprot dengan insektisida, imago walang sangit akan bermigrasi ke tempat yang terlindung dari insektisida, yaitu tanaman yang berada di sekitar sawah tersebut, yang dalam hal ini adalah lahan
pertanaman sampel dalam penelitian (Manopo dkk., 2013). Selain serangan walang sangit, jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) lain yang menyerang pertanaman padi ini adalah gulma dan penyakit blast atau yang disebabkan oleh patogen Pyricularia orizae. Pengendalian gulma dilakukan secara mekanik, yaitu dengan mencabutnya langsung dan membuangnya. Selanjutnya, untuk penyakit blast tidak dilakukan pengendalian karena skala gejala serangannya hanya 2 dan tidak melebihi batas ambang ekonomi. Batas ambang ekonomi untuk pemakaian pestisida dari blast adalah bila keparahan penyakit melebihi skala gejala 5 – 7 pada saat fase vegetatif (Widiarta dan Suharto, 2009). SIMPULAN 1. Berdasarkan seleksi menggunakan marka SSR yang diduga terpaut karakter ketahanan terhadap wereng coklat terdapat 72 genotip yang terseleksi oleh primer RM8213 dan 62 genotip yang terseleksi oleh primer RM589 dengan 20 genotip tanaman yang terseleksi oleh keduanya. 2. Rasio segregasi karakter ketahanan terhadap wereng coklat dari 283 tanaman padi F2 (Ciherang X PTB-33) berdasarkan pola pita DNA dengan pengujian Chi-Kuadrat berdasarkan primer RM8213 dan RM589 masingmasing adalah 1:2:1 (rentan:heterozigot segregasi:resisten). 3. Terdapat enam individu (2%) dari 283 individu tanaman yang telah terseleksi berdasarkan marka SSR yang berpotensi memiliki daya hasil yang tinggi secara fenotipik, yaitu genotip #14, #18, #77, #188, #235 dan #265. DAFTAR PUSTAKA Baehaki, S.E. 2012. Perkembangan biotipe hama wereng coklat pada tanaman padi. IPTEK Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1: 8 – 17. Baehaki, S.E. dan I Made J.M. 2011. Bahayanya hama wereng coklat
283
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
sebagai hama global, strategis dan bernilai ekonomi tinggi. Dalam Seminar Nasional. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 23 hal. Bahagiawati. 2012. Kontribusi teknologi marka molekuler dalam pengendalian wereng coklat. Pengembangan Inovasi Pertanian 5(1), 2012: 1 – 18. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Badan Penelitian dan Pegembangan Pertanian. Carsono, N., Barus, Y.V., Santika, S, Widarmi, W.D., Dono, D., Sumekar, Y., dan Murdaningsih, H.K. 2013. Identification of polymorphism of simple sequence repeats markers that associated with brown planthoppers resistance genes in twenty rice genotypes and their genetic relationship. Jatinangor: Oral Paper ICBS 2013. Christianto, E. 2013. Faktor yang memengaruhi volume impor beras diIndonesia. Jurnal JIBEKA Vol. 7 No. 2:38 – 43. Doyle, J.J. dan Doyle, J.L. 1987. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12: 13 – 15. Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman Jilid 2. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. hal 144 – 168. Imran, A. dan Suriany. 2009. Penampilan dan produktivitas padi hibrida S1-8SHS di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Buletin Plasma Nutfah Vol. 15 No. 2: 54 – 58. Jairin, J., Sansen, K., Wongboon, W., dan Kothcharerk, J. 2010. Detection of a brown planthopper resistance gene bph4 at the same chromosomal position of Bph3 using two different genetic backgrounds of rice. Breeding Science 60: 71 – 75.
Jairin, J., Teangdeerith, S., Leelagud, P., Phengrat, K., Vanavhicit, A., dan Toojinda, T. 2007. Detection of brown planthopper resistance genes from different rice mapping populations in the same genomic location. Science Asia 33:347 – 352. Layla, Z. 2001. Teknik penggunaan marka RAPD dengan PCR. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Manopo, R. Salaki, C.L. Mamahit, J.E.M. dan Senewe, E. 2013. Padat populasi dan intensitas serangan hama walang sangit (Leptocorisa Acuta Thunb.) pada tanaman padi sawah di Kabupaten Minahasa Tenggara. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Padmalatha, K. dan Prasad, M.N.V. 2006. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of selected medicinal and aromatic plants of conservation concern from Penisular India. African J. Biotech 5: 230 – 234. Prayoga, G.I. 2013. Analisis karakter fisiologis tetua dan aplikasi Marker Assisted Selection (MAS) pada generasi padi F2 dalam perakitan kultivar padi harapan tahan Wereng Cokelat. Tesis. Universitas Padjadjaran. Tidak dipublikasikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2006. Padi Ciherang makin popular. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Dalam Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28, No. 2, 2006. Rizwan, F., Priyadi, R., dan Kurniati, F. 2012. Pengaruh kombinasi jumlah bibit per rumpun dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil Padi (Oryza sativa L.). Universitas Siliwangi. Robinson, A. J., Love, C. G., Batley, J., Barker, G., dan Edwards, D. 2004. Simple sequence repeat marker loci discovery using ssr primer. Bioinformatics advance access. Diakses darihttp://bioinformatics. oxfordjournals.org/ content/early/2004/02/ 12/bi
284
Widya P., Nono C., Suseno A. - Seleksi Berbasis Marka Ssr Untuk Daya Hasil Tinggi Padi F2
oinformatics.bth104.full.pdf (pada tanggal 9 Februari 2014). Rohaeni, W.R. dan Permadi, K. 2012. Analisis sidik lintas beberapa karakter komponen hasil terhadap daya hasil padi sawah pada aplikasi agrisimba. Universitas Udayana. Bali. Agrotrop, 2(2): 185-190. Sambrook, J. dan Russel, D.W. 1989. Plant physiology. 2nded, Wadsworth Publ. Co., Inc., Belmont, California. 422 hal. Sleper, D.A., dan Poehlman, J.M. 2006. Breeding Field Crops – Fifth Edition. Blackwell Publishing. Sun, L., Su, C., Wang, C., Zhai, H., dan Wan, J. 2005. Mapping of a major resistance gene to the brown planthopper in the rice cultivar Rathu Heenati. Dalam Breeding Science 55: 391 – 396. Suprihatno, B., Daradjat, A.A. 2009. Kemajuan dan ketersediaan varietas unggul padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang. Susanto, U., Daradjat, A.A. dan Suprihatno, B. 2003. Perkembangan pemuliaan padi sawah di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 125 – 131. Syafaruddin.Randriani, E. dan Santoso, T.J. 2011. Efektivitas dan efisiensi teknik isolasi dan purifikasi DNA pada jambu mete. Buletin RISTRI Vol. 2 (2): 151 – 160. Wibowo, P. 2010. Pertumbuhan dan produktivitas galur harapan padi (Oryza sativa L.) hibrida di Desa Ketaon Kecamatan Banyudono Boyolali. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Widiarta, I.N. dan Suharto, H. 2009. Pengendalian hama dan penyakit tanaman padi secara terpadu. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
285