Ruang Lingkup Sosiologi1 Mustain mashud (Departemen Sosiologi FISIP-UNAIR)
Pengantar Untuk apa mempelajari sosiologi? Para calon mahasiswa baru acapkali kurang paham dan bingung dan bertanya apa dan mau jadi apa memilih jurusan sosiologi? Di kalangan masyarakat pun j umumnya juga tidak banyak mengerti apa, bagaimana, untuk apa sehingga kerapkali mempertanyakan anaknya ngapain memilih sosiologi? Tidak jarang pertanyaan tersebut dilontarkan dengan nada sinis, bahkan sarkastik. Acapkali orang merasa bahwa sosiologi hanyalah mata pelajaran yang mengajarkan kepada orang agar rajin membaca media massa dan bagaimana mereka bisa pandai mengolah kata-kata yang semua nya itu dipandang bisa diperoleh dalam waktu cepat, oleh siapa saja tanpa harus bersusah payah sekolah atau kuliah dan melakukan penelitian di lapangan selama bertahun-tahun. Secara sarkastik sosiologi acap dinilai sebagian orang sebagai suatu usaha mengumpulkan apa yang diketahui setiap orang dan menuliskannya ke dalam katakata yang sulit dimengerti. Bahkan, menurut sebagian kecil orang yang antipati, termasuk pejabat negara status quo, sosiologi sering dituduh menciptakan provokator, pembuat onar, tukang protes, rewel atau para demonstran yang pekerjaan sehari-harinya cuma mengganggu ketertiban dan stabilitas umum. Oleh karena itu, para elit politik pro status quo, sosiologi tak jarang dipandang seperti ideologi yang berbahaya, yang seringkali hanya melahirkan pengacau dan provokator yang hanya berpotensi menganggu keharmonisan masyarakat. Di mata pemegang kekuasaan, Sosiologi seringkali juga dinilai merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan dipertahankan, dan karena itu melemahkan kekuasaan mereka, serta memicu terjadinya kerusuhan dan subversi (Bauman, 2000: 1023). Benarkah demikian? Berbeda dengan ilmu-ilmu terapan lain –seperti kedokteran, arsitektur, teknik sipil, ekonomi, hukum, farmasi, dan lain-lain—yang mencetak sarjana atau para profesional yang siap praktek di masyarakat maupun di dunia usaha. Sosiologi pada dasarnya memang tidak bertujuan utama menghasilkan para praktisi atau ―tukang‖. Seperti dikatakan Peter L. Berger (1985), produk sosiologi adalah para pemikir yang senantiasa peka dan kritis terhadap realitas sosial. Sumbangan sosiologi terhadap usaha pengembangan masyarakat memang tidak langsung bisa dirasakan, tetapi sifatnya mendasar karena sosiologi mampu menyuguhkan analisis dan evaluasi terhadap berbagai hal yang dalam banyak hal di luar pemikiran disiplin ilmu lain (Narwoko,2004).
1
Makalah disampaikan pada acara Penataran Guru-Guru Sosiologi (Ketua MPG) Sosiologi di PPPG Malang, 24 Agustus 2006
2
Perkembangan Sosiologi Science (ilmu) yang melahirkan sejumlah teori tidak terlepas dari konteks (latar belakang dan setting sosial) dimana ilmu dan teori itu lahir. Seperti ilmu yang lain, perkembangan sosiologi dibentuk oleh setting sosialnya, dan sekaligus menjadikan setting sosialnya itu sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Lahirnya sosiologi bermula dari Revolusi Perancis, dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad 19 yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan dan sekaligus perhatian dari para pemikir di waktu itu tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan dahsyat di bidang sosial, politik dan ekonomi. August Comte, seorang ahli filsafat dari Perancis yang lahir tahun 1798 dikenal sebagai ―Bapak Sosiologi‖. Comte lah yang pertama kali menamakan sociology dalam bukunya yang tersohor Positive Philosophy yang terbit tahun 1838. Istilah sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti ―kawan‖ dan kata Yunani logos berarti ―kata‖ atau ―berbicara‖. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Menurut Comte, di dalam hierarki ilmu, sosiologi menempati urutan teratas —di atas astronomi, fisika, ilmu kimia, dan biologi (Coster, 1977). Pandangan Comte yang dianggap baru pada waktu itu adalah ia percaya bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta spekulasi. Herbert Spencer, ilmuwan Inggris melalui bukunya berjudul Principles of Sociology (1876) sangat berjasa menjadikan sosiologi menjadi lebih populer setengah abad kemudian. Spencer menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusa dan mengembangkan teori besar tentang Teori Evolusi Sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian. Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Inggris yang menyebabkan terjadinya berbagai krisis dan permasalahan sosial, politik dan ekonomi adalah yang menjadi penyebab penting lahirnya sosiologi. Sebagaimana dikemukakan Laeyendecker (1983) bahwa krisis sosial dan politik di Eropa Barat akibat revolusi itu a.l. kian maraknya kapitalisme, terjadinya perubahan di bidang sosial-politik, kuatnya pengaruh Martin Luther hingga terjadi serangkaian perubahan sosial keagamaan, kian menguatnya skap individualisme, muncul dan bangkitnya ilmu pengetahuan modern, kepercayaan pada diri sendiri semakin kuat. Meski sejak awal kelahirannya sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial, namun berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai ―mekanisme‖ yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relathif bebas. Para filsuf sosial seperti Plato dan Aristoteles umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keteraturan yang adi-manusiawi, abadi, tak terubahkan dan ahistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.
3
Sosiologi, baru memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitar abad ke19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang-orang memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum August Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan akan kehidupannya yang diperoleh dari pengalaman. Cuma, karena belum terumus menurut metode-metode yang mantap, pengetahuan orang-orang itu disebut pengetahuan sosial: bukan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895, yakni pada saat Emile Durkheim —seorang ilmuwan perancis— menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim menguraikan tentang pentingnya metodologi ilmiah di dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Durkheim saat ini diakui banyak pihak sebagai ―Bapak Metodologi Sosiologi ―, dan bahkan Reiss (1968), misalnya, lebih setuju menyebut Emile Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi. Durkheim, bukan saja mampu melambungkan perkembangan Sosiologi di Perancis, tetapi ia juga telah berhasil mempertegas eksistensi Sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah yang memiliki ciri-ciri terukur, dapat diuji, dan obyektif. Menurut Durkheim, tugas Sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi perilaku individu. Dengan kata lain, fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang dimaksud fakta sosial di sini tidak hanya yang bersifat material, tetapi juga nonmaterial, seperti kultur, agama atau institusi sosial. Pendiri Sosiologi yang lain, Max Weber memiliki pendekatan yang berbeda dengan Durkheim. Menurut Weber, sebagai ilmu yang mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, Sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekadar mengkaji pengaruh faktor-faktor eksternal, tetapi yang lebih penting Sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal yang ada di masyarakat itu sendiri. Pada batas-batas tertentu, Weber dengan demikian mengajak para Sosiolog keluar dari pikiran-pikiran ortodoks yang acapkali terlalu menekankan pada obyektivitas dan kebenaran eksklusif, dan secara terbuka mengajak untuk mengakui relativitas interpretasi. Secara substansial, pendekatan yang ditawarkan Weber memang berbeda dengan Durkheim. Tetapi, justru karena hal itulah perkembangan sosiologi ke depan tidak pernah stagnan, apalagi mati. Sebagai sebuah ilmu yang relatif baru, perkembangan sosiologi justru selalu mencoba mencari bentuk dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Memasuki abad 20, perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer, terutama Anthony Giddens, fokus minat Sosiologi dewasa ini bergeser dari stuctures ke agency, dari masyarakat yang dipahami terutama sebagai seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan perilaku mereka, menuju ke era baru: memahami latar belakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.
4
Sosiologi sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana kini Sosiologi telah menerima pandangan hermeneutika, menekankan bahwa realitas sosial secara intrinsik adalah bemakna (diberi makna oleh akr yang memproduksinya), dan bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan aktor tersebut (Bauman, 2000: 1030). Di era tahun 2000-an ini, perkembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak memberikan sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan dab kehidupan sehari-hari masyarakat. Bidang-bidang kajian sosiologi juga terus berkembang makin variatif dan menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt (1987), misalnya mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini telah dikenal dan banyak dikembangkan. Beberapa di antaranya adalah: sosiologi terapan, perilaku kelompok, sosiologi budaya, perilaku menyimpang, sosiologi industri, sosiologi kesehatan, metodologi dan statistik, hukum dan masyarakat atau sosiologi hukum, sosiologi politik, sosiologi militer, perubahan sosial, sosiologi pendidikan, sosiologi perkotaan, sosiologi pedesaan, sosiologi agama, dan sebagainya. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin penting.
Obyek Kajian Sosiologi Sociology is the systematic study of social behavior ang human group. It focuses primarily on the influence of social relationships on people‘s attitudes and behavior and on how societies are established and change. As field of study, sociology has an extremely broadscope (Schaefer and Lamm, 1994: 2). 1)
Peter L. Berger (1978) Sosiologi bertujuan memahami masyarakat, khususnya secara teoritis: hanya untuk memahami. Untuk mencapai tujuan ini harus menggunakan prinsipprinsip metode keilmuan (kaidah metodologi penelitian) dan bersikap rasional, obyektif, berdasar pada fakta empirik dan bebas nilai (free values). Seorang ahli sosiologi harus mampu mengungkap dan membongkar fakta dan atau realitas sosial acapkali tampak baik, gemerlap dan moralis, namun sesungguhnya justru sebaliknya. Orang tampak alim dan dermawan, pada hal uangnya diperoleh dari korupsi, penggelapan pajak dan riba. Fenomena seperti inilah yang oleh Beger maksudkan dengan seeing through the facades, oleh karena realitasnya yang sering muncul adalah things are not what they seem. Seorang sosiolog karenanya perlu motivasi kuat untuk membongkar ‗kepalsuan‘ sosial melalui apa yang disebut Berger dengan ‗debunking motif, agar terbuka kedok (unmasking) penutup wajahnya (Berger, 1978) Seorang yang mengerti dan memahami sosiologi, terlebih apabila ia adalah seorang ahli sosiologi (Sosiolog) adalah mereka yang mempunyai sejumlah citra seperti berikut: suka bekerja dengan orang lain cenderung senang menolong orang lain melakukan sesuatu untuk orang lain
5
2)
seorang teoritikus di bidang pekerja sosial seorang reformasi (pembaru) sosial, as social enggener seorang peneliti sosial, khususnya tentang penelit tentang perilaku sosial seorang yang mencurahkan perhatiannya pada pengembangan metode ilmiah (scientific methode), sehingga acapkali kajian utamanya tentang kehidupan sosial terabaikan seorang pengamat (sosial) yang acapkali memelihara jarak (manipulator) dengan (dengan manusia).
Ausgust Comte (1798-1857):
Social physics Hukum kemajuan manusia, yakni hukum 3 jenjang : teologis (adikodrati), metaphysic (kekuatan abstrak) dan science Metode positif (positivisme): jelas, cermat dan berkepastian Sociology is King of social science 3)
Emile Durkheim (1858-1917) Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fakta sosial; bukan fakta individual. Fakta sosial adalah sesuatu hal yang berada di luar individu (eksternal), yang mempunyai kekuatas memaksa dan mengontrol perilaku individu. Fakta sosial yang bersifat eksternal ini tak lain adalah institusi sosial (social institusion) acapk terekspresi dan mewujud dalam bentuk cara bertindak, cara berpikir dan berperasaan yang umumnya mampu memaksa dan mengendalikan perilaku individu. It consists of ways of acting, thingking and feeling, external to the individual, and endowed with a power of coercion, by reason on which they control him … . (Durkheim, 1965: 3-4). Ada kekuatan eksternal yang cukup kuat mengontrol individu sehingga individu tidak kuasa menghindar.
4)
Max Weber Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tindakn sosial (social action) melalui penafsiran (interpretasi) agar memperoleh suatu penjelasan kausal mengenai tujuan dan akibatnya. Sociologi … attempt the interpretative understanding of social action in order thereby to arrive at a casual expanation of its course and effects (Weber, 1964: 88).
5)
Schaefer and Lamm (1994:3) Sociology is the systematic study of social behavior anf human groups Pengertian ini mereka menfokuskan pada pengaruh relasi sosial (social relationships) terhadap sikap dan perilaku orang dan bagaimana masyarakat dipertahankan dan berubah. Dalam konteks ini, kajian sosiologi boleh disebut sangat luas, misalnya keluarga (family), perusahaan (business firms), gang (gangs), partai politik (political parties), sekolah, agama (regions), serikat buruh labor unions), dst. Semuanya itu berhubungan dengan kemiskinan (poverty), kesesuaian (conformity), deskriminasi (descrimination), rasa cinta (love), Illness (rasa sakit), keterasingan (alienation), kepadatan penduduk (overpoplation) dan komunitas (community).
6
Kajian sosiologi acapkali juga bersififat biner. Misalnya, 6)
dibedakan ke dalam 2 (dua) bagian yang
Broom dan Selznick (1977) membedakan antara tatanan makro (macroorder) dan tatanan mikro (micro-order);
7)
Jack Douglas (1973) membedakan antara perspektif makrososial (macrosocial perspective) dan perspektif mikro sosial (microsocial perspective). Ia juga menyebut adanya sosiologi kehidupan sehari-hari (the sociology of everydaya life situations) dan sosiologi struktur sosial (the sociology of social structure). Yang pertama mengindikasikan kajian berskala mikro, (apa yang terjadi) pada hubungan antar individu, bagaimana mereka berkomunikasi, bersikap dan bertindak. Sedang sosiologi berskala makro, pada tataran strukur dan berperspektif makrososial, memandang masyarakat secara keseluruhan (makro), di luar individu-individu dan tidak sekedar kumpulan individuindividu pembentuknya
8)
Doyle Paul Johnson (1981) membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro;
9)
Rendal
Collins (1981) membedakan antara sosiologi makro (macrosociology) dan mikro sosiologi (microsociology). Sosiologi mikro menganalisis apa yang dilakakukan, dikatakan dan dipikirkan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang temporal; sedang sosiologi makro menganalisis proses-proses sosial berskala luas dan berjangka panjang. Disini, faktor ruang dan waktu menjadi penting diperhatikan. Pada tataran ruang, pokok bahasan sosiologi a.l. meliputi tingkat personal (individual), kelompok kecil, kerumunan, organisasi, komunitas sampai masyarakat teritorial. Pada tataran waktu, pokok bahasan sosiologi dapat berkisar pada peristiwa fenomena dalam suatu detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, abad atau lebih. Pokok kajian sosiologi mikro, kata Collins, umumnya mempelajari fenomena sosial (peristiwa) yang terjadi dalam waktu yang pendek (biasa aktual, fenomenal, sesaat dan terbatas: tambahan penulis); sedangkan sosiologi makro lebih kepada fenomena sosial berjangka panjang.
10)
Berbeda dari beberapa pembedaan 2 jenjang analisis di atas, Gerhard Lenski (1985) membedakan analisis sosiologi ke dalam 3 (tiga) jenjang, yakni mikro, meso dan makro. Analisis pada jenjang mikro (psikologi sosial) mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer terhadap individu. Analisis pada tataran meso mempelajari institusi-institusi khas dalam masyarakat; sedangkan analisis makro mempelajari masyarakat secara keseluruhan dan sistem sosial masyarakat global. Misalnya, analisis sosiologi makri ingin mengetahui ―pengaruh faktor-faktor sosial terhadap kesempatan pendidikan dasar di Indonesia‖. Termasuk ke dalam faktor sosial disini misalnya adalah jenis kelamin, kelas (strata) sosial, etinisitas, dst. Dengan kata lain, seorang sosiolog ingin mempelajari (melalui suatu penelitian ilmiah) tentang pengaruh latar belakang klas (strata) sosial, perbedaan anak lakiperempuan (gender) dan etnis terhadap kesempatan pendidikan. Dari hasil studi ditemukan, misalnya bahwa (ternyata) kesempatan pendidikan dasar lebih
7
banyak dinikmati oleh kaum pria, etnis tertentu dan orang-orang klas menengah ke atas. Dibandingkan dengan analisis makro (sebagaimana dicontohkan di atas), analisis sosiologi meso, baik dari tataran ruang dan waktu adalah lebih terbatas. Artinya, seorang sosiolog akan lebih membatasi dan mengkhususkan pokok kajiannya pada ruang yang lebih terbatas dari pada masyarakat namun lebih luas dari pada perorangan atau kelompok. Misalnya, ‖bagaimana pola hubungan antara birokrasi Diknas dan kepala-kepala SD di Kabupaten Sidoarjo‖. Sedangkan analisis sosiologi mikro lebih memfokuskan pada tingkat individu terutama perilaku individu sebagai hasil pemaknaan, interpretasi dan reaksi sosialnya terhadap stimulus orang lain dan atau lingkungan sosial-budaya sekitarnya. Misalnya, ‖bagaimana individu-individu para guru memahami kebijakan Kepala sekolahnya‖. Ekspresi dan perilaku guru adalah merupakan hasil dari pemahaman, pemaknaan dan interpretasinya atas kebijakan kepala sekolahnya. Determinasi subyek (guru) dalam analsisis sosiologi mikro adalah khas dan menjadi dasar analisis. TINGKAT ANALISIS KAJIAN SOSIOLOGI ANALISIS MIKRO (INDIVIDU) SUBYEKTIF
ANALISIS MESO
ANALISIS MAKRO
STRUKTUR SOSIAL OBYEKTIF
11)
Inkeles (1965), juga membedakan analisis sosiologi ke dalam 3 (tiga) pokok kajian atau bahasan, yaitu: hubungan (interaksi) sosial dan tindakan sosial, institusi dan masyarakat. Menurutnya, sosiologi akan mempelajari masyarakat (society) secara menyeluruh. Di dalam masyarakat itu sendiri terdiri atas usnur-unsur utama, dua diantaranya adalah hubungan (interaksi) sosial (social interaction) dan institusi sosial (social institution). Kedua konsep ini, hubungan sosial dan institusi sosial adalah konsep utama, khas sosiologi.
8
Bahkan interaksi sosial oleh Inkeles dinilainya sebagai molekul kehidupan sosial. Masalah dasr yang dipelajari sosiologi adalah tatanan sosial dan ketidakteraturan sosial, suatu masalah yang sejak jaman Thomas Hobbes dan hingga hingga masih selalu problematik. 12)
Zanden (1979), kekhasan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, determinan ilmu-ilmu sosial, sangat menarik sekaligis problematik oleh karena dalam usaha mencari pengetahuannya secara obyektif akan senantiasa dihadapkan pada ketegangan, pergulatan dan bahkan pertentangan antara tatanan faktual (empiris) dan tatanan nilai-normatif dan moral (perbedaan antara nilai/moral dan dakta-empiris). Untuk itu, Gouldner (1973) menyatakan bahwa seorang ahli sosiologi harus berupaya mengenal i nilai diri dan kemudian ‘menyisih‘kannya (untuk sementara waktu selama studi sehingga nilai-nilai subyekti yang ada pada dirinya tidak mempengaruhi proses penelitiannya atas fenomena empirik yang tengah ditelitinya.
Sociological imagination Untuk dapat memahami tentang apa yang terjadi di sekitar kita dan dalam diri individu manusia memerlukan apa yang disebut oleh C. Wright Mill (1959) dengan imajinasi sosial (social imajination), yakni suatu tentang terjadinya hubungan antara eksistensi individu dan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Kesadaran (kepekaaan) sosial ini memungkinkan orang menyadari bahwa ia secara langsung atau tidak saling berhubungan (timbal balik) dengan seting sosial (social setting) yang setiap saat (dan selalu) mempengaruhinya. Inti dari imaganiasi sosial adalah kemampuan orang untuk melihat dunia sekitarnya dari sisi luar pengalaman diri dan budayanya. A key element in the sociological imagination is the ability to view one’s own society as an out-sider would, rather than from the limited perspective of personal experiences and cultural biases (Schaefer and Lamm, 1994:3). Dengan imaginasi sosial seperti ini membuat kita mampu memunculkan pemahaman baru (yang acapkali lebih jernih dan obyektif) fenomena keseharian kita, atau bahkan pandangan kita tentang masa lalu.
Sosiology dan Common Sense Sosiologi menfokuskan mempelajari aspek-aspek tertentu dari perilaku manusia. Dalam menjelaskan perilaku manusia orang acapkali menggunakan pengalaman (pribadi dan budayanya) dan pengetahuannya, bahkan kepercayaan (agama)-nya. Bukan mendayagunakan kemampuan analisis rasional yang sistematik terhadap the facts August Comte (1798-1857) coined the term sociology to apply to the science of human behavior and insisted that sociology could make a critical contribution to a new and improved human community. Dengan mempelajari perilaku sosial secara sistematik akan dapat mengantarkan interaksi antar manusia menjadi lebih rasional. Begitu hebatnya sosiologi, ia menyebutnya sosiologi sevagai ratu (queen of the science): theological, metaphusical and scientific. Kajian sosiologi ada 2, ‗static‘ dan ‗dynamic‘. Static mempelajarim keseluruhan masyarakat dalam rangka untuk mendeskripsikan bagaimana masyarakat bekerja
9
dan berfungsi sebagai suatu sistem yang saling berhubungan atas bagian-bagiannya. Dynamics dimaksudkan untuk menemukan hukum yang menjelaskan bagaimana keseluruhan masyarakat itu berubah dari waktu ke waktu. Keduanya perlu dipelajari secara obyektif dengan metode ilmu alam (kuantitatif), sebagai sosail facts. Herbert Spencer (1820-1903), menganalogkan masyarakat seperti sistem organisme, berkembang dan berubah secara evolusioner sebagaimana teori evolusi Darwin. Perhatikan prinsip asumsi teori evolusi sosial.
Perspektif Teori Utama 1)
2)
Perspektif Fungsional (1)
August Comte: struktur dan fungsi
(2)
Herbert Spencer: masyarakat ibarat sistem organisme, evolusi sosial Darwin
(3)
Durkheim: masyarakat sebagai sistem dengan moral sebagai sumber integrasi sosialnya, collective conciousness: mechanic solidarity dan organic solidarity. Obyek kajian sosiologi adalah social facts
(4)
Talcot Parson: social equilibrium and social integration; pattern variable
(5)
Robert K Merton: pentingnya analisis fungsional dengan skala lebih mikro, seperti pada tingkat kelompok, keluarga, gang, yang dengan lebih mudah diteliti dengan baik. Oleh karena itu, ketika orang menyatakan fungsional tentang sesuatu, maka harus jelas konteksnya.
(6)
Kai erikson: deviance and system maintanance, suatu masyarakat mempunyai mekanisme mempertahankan diri secara internal sehingga kriminalitas fungsional bagi penguatan masyarakat (Cuff and Payne, 1981: 50). Oleh karena setiap masyarakat memerlukan terjadinya deviances karena dapat memperkuat kontrol sosial, membangun kembali kebersamaan dan mengingat dan memperjelas naorma sosial yang ada.
(7)
Neil Smelser: dengan konsep sistem sosial, fungsional dan differensiasi sosial dapat dipergunakan untuk menganalisis perubahan sosial: dengan memperhatikan terjadi adaptive adjustment untuk survive atau re-establish an equilibrium.
(8)
Davis and More: stratifikasi sosial adalah naturally karena kehadirannya memang fungsional dan dibutuhkan masyarakat (Cuff and Payne, 1981: 52). Masyarakat harus menyediakan posisi-posisi bagi warganya dan memotivasi nya untuk menempatinya dengan memberikan sejumlah reward.
Perspektif Konflik (1) (2) (3) (4) (5)
Karl Marx: kapitalisme, klas borjuasi-proletar (Klas sosial) Max Weber: determinasi ekonomi dan etik protestan, power dan klas Lockwood and Goldthope: klas pada masyarakat modern Ralf Dahrendorf: sifat konflik dalam masyarakat post-kapitalis Frank Parkin: nilai-nilai dan konflik pada masyarakat modern
10
3)
Perspektif Interaksionis Simbolik (1) (2) (3) (4) (5) (6)
4)
Herbert Mead: peletak dasar teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer: Interaksionisme simbolik dan ilmu Everett Hughess: defining situation (definisi situasi) Anselm Strauss: masyarakat sebagai ―negotiated order‖ Erving Goffman: Individu, Self (diri) dalam masyarakat Howard Becker: sosialisasi sebagai proses yang ‗aktif‘
Perspektif Etnomethodology (1) (2) (3)
(4) (5) (6) (7) (8) (9)
Alfred Schutz: phenomenology and the origins of ethnometodhology Berger and Luckmann: the sociology of knowledge reconcidered Harold Gerfinkel: a conseptual framework for ethnometodology (member‘s methods, indexicality, reflexivity, membership and a hyphotetical example. Garfinkel: empirical demonstrations (disrupting social order; a jury at work and coronerrs at work Aaron Cicourel: Ethnometodhology and ‗conventional‘ sociology Conventional analysis: member‘s methods for accomplishing social activities through talk Harvey Sacks: the achievement of descriptions Emmanuel Schegloff: describing places Scheloff: Sequential organisation of conversation Komparasi Tiga Pendekatan Teoritik Sosiologi
Point of View
Fungsionalist
Conflict
Interaksionist
Masyarakat
Stabil, konstan dan terintegrasi
Penuh kompetisi dan konfliktual
Tingkat analisis
Makro
makro
Perubahan Sosial
Dapat diprediksi
Perubahan akan terus terjadi dan berdampak positif
Keteraturan Sosial
Melalui kerjasama dan konsensus
Melalui kekuatan dan kekerasan
Pendukung
Emile Durkheim Talcott Parson Robert K Merton
Karl Marx C Wright Mills
Secara aktif saling pengaruh-mempengaruhi dalam kehidupan seharihari Mikro, analisis sbg upaya memahami femonena yang lebih luas Perubahan merupakan konsekuensi logis atas status sosial dan komunikasi yang dilakukannya dengan orang lain Melalui pemahaman bersama atas perilaku sehari-hari George H Mead CH. Cooley Erving Gofman
Ketiga perspektif sosiologi di atas hanalah bagian (kecil) dari sekian perspektif lain yang acap dirujuk para sosiolog dalam menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Dengan menggunakan pendekatan (perspektif) fungsional seorang sosiolog hendak
11
mjengetahui misalnya bagaimana pengangguran dapat mengurangi permintaan barang (konsumsi) namun sekaligus (berarti) memerlukan perhatian ekstra atas pelayanan publik. Interaksionist lebih menfokuskan pada dampak pengangguran terhadap kehidupan keluarga, seperti perceraian, kekerasan dalam keluarga dan ketergantungan pada obat-obatan dal alkohol. Peneliti yang menggunakan perspektif konflik akan melihat pengangguran (akibat) dari tidak meratanya distribusi pekerjaan. Beberapa perspektif sosiologi tersebut merupakan instrumen, alat atau model analisis yang sering dirujuk para soiolog dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena (permasalahan) sosial yang terjadi. Namun, suatu penjelasan teoritik tidaklah cukup, atau tidak bisa disebut sebagai penjelasan ilmiah manakala tidak melalui apa yang disebut dengan scientific method, metode (penelitian) ilmiah. Tentang metode ilmiah, perlu waktu khusus menjelaskannya.
Peran Sosiolog Sebetulnya di mana dan sebagai apa seorang sosiolog bakal berkiprah tidak mungkin bisa dibatasi dalam sebutan administrasi okupasi resmi yang diklasifikasikan pemerintah atau BPS. Namun demikian, di berbagai negara telah muncul pengakuan yang kuat terhadap sumbangan dan peran sosiolog di berbagai bidang kehidupan. Menurut Horton dan Hunt (1987), dewasa ini beberapa profesi yang umumnya diisi oleh para sosiolog adalah: 1. sebagai ahli riset, baik itu riset ilmiah untuk kepentingan pengembangan keilmuan atau riset yang diperlukan sektor industri. 2. sebagai konsultan kebijaksanaan, khususnya ikut membantu untuk mempekirakan pengaruh dari kebijaksanaan sosial tertentu. 3. sebagai teknisi atau yang populer disebut sosiolog klinis, yakni ikut terlibat di dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan masyarakat 4. sebagai guru atau pendidik yang terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar, dan 5. sebagai pekerja sosial (social worker) Di luar berbagai profesi yang telah disebutkan Horton dan Hunt di atas, masih adakah peluang lain yang bisa diisi oleh para sosiolog? jawabnya adalah masih, dan bahkan boleh dibilang masih sangat banyak. Banyak bukti menunjukkan, bahwa dengan kepekaan dan semangat keilmuannya yang selalu berusaha membangkitkan sikap kritis, para sosiolog ternyata juga bisa berkarier cemerlang di berbagai bidang pekerjaan yang banyak menuntut kreativitas. Dunia jurnalistik, misalnya, adalah salah satu bidang yang banyak diminati dan mengangkat reputasi para sosiolog karena laporan maupun tulisannya yang ―menggigit‖. Di jajaran birokasi, para sosiolog acapkali juga berpeluang menonjol kariernya karena kelebihannya dalam wawasan dan visinya atas nasib rakyat —terutama rakyat kecil yang rentan dan miskin. Di berbagai perusahaan atau sektor industri yang memiliki pusat penelitian dan pengembangan (litbang), sumbangan para sosiolog juga akan sangat dibutuhkan karena salah satu kelebihan sosiolog adalah kekuatannya di bidang penelitian.
12 Sosiologi acapkali disebut sebagai ―ilmu keranjang sampah‖ ((dengan nada memuji), karena membahas ikhwal atau masalah yang tidak dipelajari ilmu-ilmu yang ada sebelumnya dan karena kajiannya lebih banyak terfokus pada problem kemasyarakatan yang timbul akbat krisis-krisis sosial yang terjadi. Seperti telah disinggung dimuka, seiring dengan proses perubahan sosial yang terjadi, bisa dipastikan bahwa peran dan keterlibatan para sosiolog dalam berbagai sektor akan makin penting dan diperlukan. Karir dan pekerjaan apapun yang dimasuki sosiolog, niscaya akan bisa dilalui dan dikerjakan dengan sukses karena ilmu yang dipelajari akan sangat membantu mereka untuk memahami peran yang bermacam-macam itu dengan wawasan yang lebih luas. Persoalannya sekarang tinggal bagaimana para sosiolog terus berusaha meningkatkan kualitasnya dan berusaha memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat dengan sebaik-baiknya (*). Kepustakaan
Bauman, dalam: Kuper & Kuper, Eksiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, 2000: 1023). Berger, P and Luckman, T, 1971. The Social Construction of Reality. Penguin Blau, Peter, 1964. Exchange and Power in Social Life. New York: Wiley Blumer, Herbert, 1959a. Symbolic Interaction: Perspective and Method. Englewood Cliffs, NJ: Printece-Hall -------------------, 1971. ―Society as Symbolic Interaction‖ in A.M. Rose (ed) Human Behaviour and Social Process. Routledge & Kegan Paul. Cooley, Charless H, 1964. Human Nature and the Social Order. New York: Scrivner‘s Comte, August, 1974. The Positive Philosophy. 4 vols. New York: Burt Franklib. Coser, Lewis, 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. Douglas, Jack, 1980.‖Introduction to the Sociologies of Evereday Life”, in J. Douglas et.all. (eds) Introduction to the Sociologies of Evereday Life. Boston: Allyn and Bacon. Durkheim, Emile. 1982. The Rule of Sociological Methods. New York: Free Press of Glencoe Goffman, E, 1961. Asylums;. Essays on the Social Situation of Mental Patiens and Other Inmates. Anchor. --------------, 1971. The Presentation of Self in Everyday Life. Penguin. Homans, George C. 1961. ―Social Behaviour as Exchange‖, The American Journal of Sociology 62 (May): 5950666. Inkeles, Alex. (1965). What is Sociology? An Introduction to the Discipline and Profession. Mead, Herbert, 1949. On Social Psychology: Selected Papers. Free Press. Merton, Robert K, 1968. Social Theory and Social Structure. New York: Free Press Narwoko dan Bagong (ed), 2004. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Fajar Interpratama Offset Parson. Talcott, 1942. The Structure of Social Action. New York: McGarw-Hill. -----------------, 1966. Societies. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall -----------------, 1977,‖ On Building Social System Theory: Persoanal History‖, in T Parson (ed), Approach to stydu of Social Structure. New York: Free Press.
13
Radeliffe-Brown, A>R. 1964. Structure and Function in Primitive Society. Cohen and West. Sunarto, Kamanto, 1985. Pengantar Sosiologi: Sebuah ungan Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia --------------------, 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Schaefer, Richard T and Robert P. Lamm, Sociology: A Brief Ontroduction. Weber, Max, 1958. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Sribner‘s