RTH TANGGUNG JAWAB BERSAMA1 Oleh : Asep Sumaryana2 Ruang terbuka hijau (RTH) bisa dipersepsikan beragam. Mungkin saja persepsi tergantung kebutuhan atau beban akan kehadirannya. Kebutuhan akan RTH umumnya terjadi tatkala terjadi beragam gangguan yang disebabkan oleh kelangkaan RTH seperti udara semakin panas, banjir atau munculnya gangguan penyakit sebagai akibatnya. Dianggap beban jika kehadiran RTH menjadi gangguan atas pemenuhan kebutuhannya seperti kebutuhan ruang untuk rumah dipangkas oleh keharusan menyediakan RTH. Bagi pemerintah yang bertanggung jawab merespons kebutuhan penduduknya, RTH menjadi penting kehadirannya. Hanya saja seringkali pemerintah merasa memiliki RTH tanpa harus melibatkan masyarakatnya. Dampaknya, RTH sering dipagari dan dipasang pengumuman yang intinya orang tidak boleh menginjaknya kecuali petugas. Kondisi ini akan membuat RTH sebagai ”jarak” antara pemerintah dengan masyarakatnya. Padahal RTH mestinya menjadi tanggung jawab bersama dan harus memiliki beberapa fungsi : Pertama, konservasi air. Semakin banyak RTH resapan air semakin banyak karena permukaan tanah yang terbuka menjadi lebih luas. Dampaknya, air mengalir ke wilayah hilir juga semakin berkurang sehingga resiko banjir di daerah hilir bisa diminimalisir. Disamping itu, air yang tertahan meresap kedalam tanah dan menjadikan kandungan air dibanyak permukaan tanah menjadi banyak. Dengan demikian selain tanaman di RTH semakin subur, juga persediaan air bisa bertambah kendati kemarau panjang menjelang. Kedua, penghijauan. RTH yang baik jika tanamannya tumbuh subur. Kondisi ini terkait dengan hal pertama. Semakin hijau royo-royo sebuah kota akan semakin kaya dengan udara segar dan semakin sejuk juga. Oleh sebab itu, pepohonan di RTH jangan dianiaya dengan pengrusakan atau beragam aktivitas seperti pemasangan iklan gratis yang dipaku dipohon. Jika perlu pepohonan di RTH dipupuk agar terus subur. Untuk itu diperlukan banyak orang untuk merawatnya. Pohon yang tua bisa digantikan dengan yang baru, yang berpenyakitan juga bisa diobati. Oleh sebab itu, merawat pohon yang ada
1 2
Disampaikan dalam diskusi bulanan FISIP Unpad pada tanggal 13 Januari 2011 Kepala LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP-Unpad
menjadi lebih penting ketimbang calon pengantin disuruh tanam pohon untuk kemudian ditelantarkan. Ketiga, tempat bermain. Bermain dibawah rindangnya pohon bisa menyenangkan. Selain aman dari bahaya lalulintas, juga bisa menyegarkan. Beragam olahraga anak bisa dilakukan dengan bimbingan orangtua. Interaksi antar-anak bisa membangun kreativitas dan sosialisasi
semakin baik. Amak mengenal karakter yang berbeda, orang tua
mengasuhnya agar gesekan tidak menjadikan perbenturan. Dengan demikian kohesi sosial terbangun dengan sendirinya, anak-anak tidak cepat marah akibat tersinggung, atau tidak mawa karep sorangan jika merasa dominan. Keempat, pendidikan. Dengan adanya RTH, masyarakat bisa mengembangkan pendidikan bagi anaknya, demikian halnya sekolah. Beragam pohon yang ada bisa dinamai dan dikenalkan kepada anak-anak sekaligus fungsinya. Bisa jadi dari pohon yang ada di RTH bisa dipelajari karakternya serta diajarkan kepada anak filosofisnya. Cara seperti ini lebih mendekatkan generasi penerus kepada lingkungan alamnya sehingga menumbuhkan kesadaran pada anak untuk tidak merusak yang berdampak kerugian kepada manusia.
Ujungnya, hubungan timbal balik makhluk (khususnya manusia)
dengan lingkungan sekitarnya (Soemarwoto,1997) menjadi lebih harmonis, Untuk mewujudkan keempat hal diatas, pemerintah, pengusaha dan masyarakat perlu bergandengan tangan membangunnya. Melalui kapasitas pemerintah
membuat
aturan (Perda ataupun UU) lahan perkotaan dialokasikan untuk RTH. Kebijakan yang telah dibuat disampaikan kepada masyarakatnya agar dimengerti filosofisnya. Pemagaran yang banyak dilakukan menunjukkan jika sosialisasi tersebut masih belum berhasil sehingga masyarakat malah terlarang untuk memanfaatkan RTH yang ada. Dampaknya terdapat jarak dimana masyarakat merasa tidak memiliki ruang tersebut dan pemerintah sebagai pemiliknya. Gap ini membahayakan nasib RTH. RTH yang ada bisa semakin nari kolot sehingga semakin layu sebelum berkembang. Hal demikian pantas terjadi karena keterbatasan personal yang mengurusi RTH. Mungkin saja ada taman yang rusak dan tidak terurus. Akibatnya personal yang ada kewalahan menanganinya sementara masyarakat tidak mau terlibat karena takut salah. Atau karena tidak merasa dilibatkan
untuk memiliki, anggota masyarakat yang kepepet bisa merusak tanaman yang ada ada sebagai upaya memenuhi kebutuhan atau iseng-iseng berhadiah. Keberhasilan menumbuh-kembangkan RTH ditentukan juga oleh keterlibatan masyarakat sekitar RTH. Dengan demikian, RTH tidak dapat diisolasi dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Dengan kemampuan mensosialisasikan RTH untuk dicintai bersama, maka pejabat pemerintah menjadi contoh dalam mempraktikannnya. Inkonsistensi bisa menyebabkan ketidakpercayaan semakin besar sehingga kepatuhan semakin menipis. Pengusaha pun perlu didorong untuk membangun RTH atau merawat RTH yang ada bersama masyarakat. Pengembang perlu dikenakan kewajiban membangun RTH yang dikelola bersama masyarakat yang ada. Banyaknya perumahan yang tidak memiliki RTH menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah dalam menggulirkan regulasi kelihatan tumpul
dan
tidak
bergigi
di
pengusaha.
Dampaknya
pengusaha
senantiasa
memaksimalkan fungsi ruang untuk kepentingan profitnya dan tidak merasa perlu membangun RTH.
Kearifan Butuh kearifan untuk membaca dan merenungi fungsi tanaman serta mendengarkan keluhan alam. Berbagai bencana yang timbul bisa jadi ciri keperkasaan alam jika sedang murka. Atau juga kelemahan manusia yang sombong. Kebiasaan menghitung keuntungan material perlu diubah dengan keuntungan sosial, spiritual dan ekologis. Keharmonisan dengan alam perlu dilakukan dengan menempatkan alam sebagai sesama mahluk Tuhan. Hal itu bisa sama artinya dengan menyelamatkan kehidupan anak-cucu. Tentu tidak berguna materi melimpah jika bencana selalu mengintip. Percuma juga kendaraan bagus jika diintai pohon tumbang. Demikian dengan kemampuan membangun jalan yang kemudian rusak oleh arus banjir. Mungkin tidak perlu lagi kikir untuk tumbuh-kembangnya pepohonan disekitar kita. Tidak perlu kikir untuk meluangkan waktu merawat ciptaan Tuhan yang ada. Tidak boleh berhitung untung-rugi secara material. Mungkin perlu menghentikan dikalkulasi profit materi yang dihasilkan tiap jengkal tanah yang dimiliki. Pengembang pun tidak boleh kikir dengan penyediaan ruang terbuka yang hijau yang menjadi paru-paru warga serta
tempat bermain anak. Jangan pula jijik dengan jalan tanah sehingga perlu dibeton dan kedap serapan air. Kalau perlu gunakan paving block agar air tetap bisa meresap. Pemerintah adalah pihak yang paling kompeten untuk menyelamatkan alam. Dengan kebijakan yang bertumpu pada kearifan lokal, sawah pun dicegah dari kekeringan dan alih fungsi. Penggundulan bukit pun perlu dicegah dengan tangan perkasa pemerintah. Tidak boleh ada pejabatnya yang justru memiliki vila di bukit. Komposisi ruang terbuka dengan ruang terbangun perlu ditegaskan dan ditegakkan. Pengembang yang membangkang selayaknya diberikan sanksi kurungan dan denda, sementara masyarakat yang berkorban membela alam patut mendapat penghargaan. Orientasi pada pemupukan PAD dari perizinan pemanfaatan lahan perlu dihentikan. Pelayanan prima dalam perizinan tidak boleh digampangkan jika berdampak rusaknya alam. Keberpihakan kepada alam sudah mulai terwujud karena alam pun membutuhkan kasih sayang dari manusia. Untuk itu, eksploitasi alam bisa berarti kekejaman terhadap sesamas yang perlu dihindari oleh manusia beradab. Bencana yang datang bertubi, bisa jadi reaksi alam atas kenistaan yang diperbuat manusia. Untuk menanggulanginya tentu bukan hanya dibangun bendungan dan peninggian jalan, bukan juga dibuat kanal dan benteng. Namun perlu kearifan manusia menyikapi alam. Mungkin bisa diperoleh dari calon legislatif yang akan tampil. Bisa juga dari perjalanan karir birokrat yang peduli lingkungan. Kepedulian dan kemauan merawat alam dan tumbuhan yang ada akan membuat ruang gerak pohon semakin leluasa dan tumbuh sehat serta kuat. Dengan demikian, alam pun berterima kasih kepada manusia melalui sumber mata air yang berlimpah, kurangnya bencana, serta kenyamanan hidup sampai anak-cucu. Kearifan lokal yang ditinggal leluhur semestinya bisa menangkap isyarat alam yang datang. Kesombongan diri dengan merasa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi bisa menumpulkannya. Mungkin perlu waktu untuk merenung. Perlu semangat untuk meluluh-lantahkan kesombongan untuk menagkap isyarat alam karena bersahabat dengan alam jauh lebih baik ketimbang bersahabat dengan bencana. Barangkali masih ingat gagasan Prof. Emil Salim mengenai pembangunan berwawasan lingkungan. Intinya, pembangunan tidak merusak alam yang dipinjami dari anak-cucu. Oleh sebab itu, setiap rencana pembangunan mesti meminimalisir kerusakan
alam agar kesinambungan hidup sehat terus berlanjut. Boleh jadi pandangan ini melahirkan UU Penataan Ruang (UU 24/1992 jo UU 26/2007) agar penggunaan ruang menjadi teratur dan tidak merusak alam Indonesia. Sebagai implementasinya, Peraturan Pemerintah 26/2008 mengatur rencana struktur ruang, pola ruang wilayah nasional, penetapan kawasan strategis serta arahan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan pengendaliannya. Berpedoman pada peraturan semacam itu, daerah pun menurunkannya pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi dan kabupaten/kota. Secara hirarkhis, peraturan yang ada sudah cukup lengkap untuk memagari alam dari kerusakan dan efek sampingnya. Hanya saja peraturan tidak selalu sesuai dengan lapangan. Konon benturan kepentingan antar-daerah ataupun daerah dengan propinsi sering mendorong munculnya ketimpangan. Sudah berulangkali perangkat hukum disempurnakan agar tidak dapat ditembus oleh penyimpangan, demikian halnya kajian dan riset. Hasilnya sering meninggalkan hati yang luka bagi alam karena ada intervensi kepentingan oknum manusia yang merugikan alam itu sendiri. Dengan demikian bisa benar pandangan yang menyatakan bahwa kendati aturan buruk namun bisa berbuah baik jika ditangani manusia yang baik. Faktor Lingkungan Mendorong aparat menjadi baik dengan berbagai reward dan punishment perlu pula diimbangi dengan membangun kedua lingkungan tersebut supaya mengerti dan menghargai tugas dan tanggungjawab aparat terkait. Egoisme lingkungan sering menjadi penyebab pelaksanaan tugas menjadi terganggu, termasuk penegakkan RTRW. Bisa jadi akibat rongrongan dari pemilik otoritas yang lebih tinggi, melahirkan pengecualian dalam implementasi RTRW. Bisa jadi akibat rengekan oknum anggota keluarga pun, kebijakan bisa bergeser pula. Keluarga aparat atau pejabat berpeluang menjadi motivator untuk berjihad menjaga alam, atau sebaliknya. Demikian halnya penduduk ataupun pengusaha dan warga sekitar. Sebagai public services, aparat perlu memerhatikan semua stakeholdernya. Hanya saja posisi semuanya perlu setara (Thoha, 2008). Kesetaraan ini menyebabkan bargaining semua pihak menjadi seimbang, tidak ada yang istimewa secara politik, yang ada komitmennya terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian kapasitas aparat/pejabat
perlu lebih baik untuk dapat menyaring berbagai informasi agar tidak terjebak oleh kepentingan sekelompok orang dengan mengorbankan kepentingan mayoritas. Hanya saja Dananjaya (1986) benar, jika nilai dan kebutuhan digambarkan berseberangan. Nilai bisa dipertahankan jika tingkat kebutuhan bisa dipenuhi oleh kemampuan diri. Ketika kebutuhan sudah melampaui kemampuan, maka kecenderungan merusak bisa menguat. Dengan demikian, pilihannya seringkali bukan pada akurasi informasi, namun bisa terletak pada tawaran yang bisa memenuhi kebutuhan kendati harus mengorbankan nilai. Pandangan pejabat identik dengan mobil dan rumah bagus bisa memperbesar kebutuhannnya dan berpotensi mengorbankan nilai yang dianutnya. Berkembangnya kerusakan alam serta tidak terpenuhinya kebutuhan RTH di perkotaan, perlu mendapat perhatian bersama. Dampak banjir yang ditimbulkan akibat kekurangan wilayah resapan air perlu dianggap jika hal demikian akibat pemahaman terhadap fungsi RTH yang rendah. Fungsi RTH perlu dipahami bukan sekedar gugur kewajiban sehingga muncul tanaman dalam pot atau mengubah banyak tempat beraspal untuk ditanami pepohonan. Perlu ada penyadaran terhadap lingkungan aparat/pejabat supaya aparat tersebut memiliki keteguhan hati untuk bekerja.
Pendidikan yang
membangun budi pekerti perlu digelorakan kembali agar hubungan alam dengan manusia bisa semakin baik. Dengan demikian nilai perlu menjadi pilihan terbaik yang mampu mengalahkan desakan kebutuhan. Jika yang terjadi seperti diatas, pendidikan sulit diharapkan membangun pendamping aparat/pejabat dirumahnya agar tegas bertugas. Rongrongan komersialisasi dan materialistik menggeserkan anak sekolah dari idealismenya. Bila hal demikian menimpa anak pejabat bisa dibayangkan kokohnya kebutuhan yang kemudian didorongkan kepada kekuasaan orangtuanya untuk bisa dipenuhi. Lebih celaka lagi jika banyak orang tua mengakomodasi rengekan semacam itu sehingga maju tak gentar membela yang bayar. Dengan demikian akan menjadi sulit menyemangati aparat/pejabat agar tetap konsisten menegakkan aturan. Tampaknya lingkungan diatas perlu didorong memiliki wawasan tentang RTRW serta RTH, tujuan dan konsekwensinya bila dilanggar. Pendidikan perlu mampu memberikan pencerahan agar RTRW tidak disalahgunakan yang merugikan anakcucunya dengan semakin menyempitnya ruang terbuka hijaunya. Kerusakan alam dengan
berbagai fenomenanya perlu dipahami sebagai fenomena bunuh diri massal manusia. Untuk semua itu komponen pendidikan tidak boleh berpangku tangan agar pendidikan tetap jernih menyampaikan kebenaran dan budi pekerti. Jika tidak, sebaik apapun peraturan tentang RTRW akan tetap rusak oleh lingkungan yang serakah. ****
Rujukan Dananjaya. 1986. Sistem Nilai Manager Indonesia. Jakarta : PT Pustaka Binaman Soemarwoto. 1997. Manusia dan Lingkungan. Sumaryana. Harian Pikiran Rakyat beberapa edisi. Thoha. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. UU 26/2007 tentang RTRW PP 26/2008 tentang RTRW