RINGKASAN ACHMAD SOBARI. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO and IRFAN SYAUQI BEIK. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya. Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah). Pemerintah pusat memberikan transfer kepada
pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Dalam kurun waktu sembilan tahun diberlakukannya desentralisasi fiskal, dana perimbangan mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu dari 84.8 trilyun pada tahun 2001 menjadi 269.4 trilyun pada tahun 2009. Dana Alokasi Umum juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari 61.8 trilyun pada tahun 2001, menjadi 177.9 trilyun pada tahun 2009. Sementara itu Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari 1.05 trilyun pada tahun 2001, menjadi 24.4 trilyun tahun 2009. Disamping dari sisi penerimaan, peningkatan juga terjadi pada sisi pengeluaran pemerintah. Pada awal pelaksanaan desentralisasi yaitu tahun 2001,
pengeluaran pemerintah sebesar 94.4 trilyun, kemudian di tahun 2009 meningkat menjadi 407.8 trilyun. Bila dilihat perbandingan pengeluaran rutin dan pembangunan, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan. Berbagai keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin serta indeks pembangunan manusia. Tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun 2001 hingga tahun 2009 terlihat berfluktuasi, demikian pula dengan persentase penduduk miskin yang terlihat berfluktuasi dari tahun 2001 hingga 2009, sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) terus mengalami peningkatan dari 65.80 pada tahun 2002, menjadi 71.76 pada tahun 2009. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah. Namun demikian, setelah 8 tahun otonomi daerah berjalan, harus disadari bahwa tujuan ideal belum tercapai dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, tentunya disertai dengan komitmen yang kuat sehingga otonomi daerah nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menyejahterakan rakyat (Brodjonegoro, 2009). Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia, 2) Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia, 3) Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia di Indonesia. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis persamaan simultan. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh nyata terhadap kinerja fiskal daerah. Setelah kebijakan tersebut diterapkan, total penerimaan pemerintah daerah dan total pengeluaran pemerintah daerah secara signifikan menjadi lebih tinggi. Dari sisi penerimaan, pajak daerah, retribusi, bagi hasil pajak dan bukan pajak, serta dana alokasi umum (DAU) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum penerapan kebijakan desentralisasi fiskal. Komponen terpenting dari sisi penerimaan adalah DAU. Terdapat kecenderungan umum bahwa pemerintah daerah sangat tergantung pada DAU. Dengan kata lain, effort untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) relatif kecil atau belum optimal. Dilema yang dihadapi dalam konteks ini adalah pengurangan ketergantungan pada DAU melalui peningkatan PAD (yaitu dengan meningkatkan pajak dan retribusi daerah) dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi, akhirnya dapat mengurangi daya saing usaha yang hendak dijalankan di daerah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, perlu dicari titik keseimbangan antara DAU dan PAD, dimana besaran PAD yang hendak dikumpulkan jangan sampai menghambat perkembangan dunia usaha di daerah. Dari sisi pengeluaran, seiring dengan peningkatan penerimaan, pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara absolut menjadi lebih tinggi pada periode setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal.
Pengeluaran pembangunan untuk pertanian dan tenaga kerja secara signifikan menjadi relatif lebih tinggi, sebaliknya pengeluaran pembangunan untuk kesehatan dan pendidikan tidak signifikan perubahannya. Hasil simulasi model dari sisi penerimaan secara umum menunjukkan bahwa peningkatan DAU lebih berpengaruh dan efektif dalam meningkatkan kinerja pembangunan sosial ekonomi dibandingkan dengan peningkatan pajak dan BHPBP. Dari sisi pengeluaran, pengeluaran pembangunan sektor pertanian lebih berpengaruh nyata dan efektif dalam meningkatkan kinerja perekonomian dan penurunan tingkat kemiskinan di Pulau Sumatera, Kalimantan, serta Sulawesi. Sedangkan pengeluaran sektor pendidikan dan sektor kesehatan memberikan dampak yang lebih besar terhadap peningkatan PDRB serta penurunan kemiskinan di Pulau Jawa-Bali dan Papua. Berdasarkan hasil penelitian maka saran penelitian ini adalah : 1) Meskipun DAU memberi dampak yang besar bagi kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi, namun perhatian harus lebih ditingkatkan pada kemampuan fiskal daerah serta perbaikan pengelolaan sumber daya alam, untuk dapat meningkatkan penerimaan dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. 2) Pembangunan wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi diarahkan untuk menjadi pusat produksi, pengolahan, serta peningkatan produktivitas sektor pertanian, untuk itu dibutuhkan peningkatan pengeluaran sektor pertanian secara berkesinambungan pada ketiga pulau tersebut. 3) Tantangan terbesar pengembangan Pulau Papua adalah meningkatkan sumber daya manusia. Peningkatan pada fasilitas dan akses pendidikan dan kesehatan sangat diperlukan, untuk itu peningkatan pengeluaran sektor kesehatan dan pendidikan lebih diprioritaskan dibanding pengeluaran sektor lainnya. 4) Pemerintah daerah diharapkan melakukan efisiensi pos pengeluaran rutin dan mengaloksikan kembali pada pos pengeluaran pembangunan karena memberikan dampak yang relatif baik pada kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah. Kata kunci : desentralisasi fiskal, persamaan simultan, pembangunan sosial ekonomi.
RINGKASAN ADJI SUBEKTI. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NOER AZAM ACHSANI. Sejarah mencatat, selama lebih dari 40 tahun Indonesia belum pernah mengalami deflasi untuk periode tahunan. Pasca krisis 1998, terdapat perubahan haluan politik yang menyebabkan perubahan kondisi ekonomi secara struktural. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabel kebijakan dan non kebijakan yang memengaruhi dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi. Metode yang digunakan dalam metode ini adalah data panel dinamis untuk model spasial dan non spasial. Temuan dari penelitian ini adalah, selama tahun 2000 – 2009, dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1, penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi. Berdasarkan pendekatan model data panel spasial dinamis, inersia inflasi dapat didekomposisi menjadi dua sumber penyebab inflasi, yaitu persistensi dari inflasi masing-masing provinsi dan inflasi yang berasal dari provinsi lainnya. Selain itu, pendekatan model data panel non spasial dinamis menunjukkan bahwa interaksi antara perbaikan kondisi infrastruktur dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan secara simultan dapat menurunkan volatilitas inflasi. Hal ini terkait dengan hasil estimasi dari model ini yang lebih sensitif terhadap shock yang berasal dari perekonomian global dibanding model spasial. Penelitian ini menyimpulkan selama tahun 2000 – 2009, inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran, selain itu, diperoleh bukti bahwa inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena fiskal. Terkait dengan kesimpulan penelitian ini, dalam penetapan target inflasi, Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah disarankan untuk merancang sistem peramalan target inflasi. Upaya penurunan derajat pass through dapat dilakukan dengan strategi substitusi bahan baku impor, himbauan penggunaan barang domestik dan kewajiban penggunaan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk lokal untuk perizinan usaha baru. Pemerintah pusat disarankan untuk melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala untuk mengindari dampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas kebijakan tersebut dan seyogyanya mempertimbangkan besaran penyesuaian gaji pengawai pemerintah karena dapat menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. Lebih lanjut, terkait dengan penyesuaian BI rate dan penentuan target inflasi, Bank Indonesia hendaknya membuat peramalan yang cukup akurat guna meningkatkan kredibilitasnya. Terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan perbaikan kondisi infrastruktur dan penyederhanaan peraturanperaturan terkait dengan dunia usaha. Kata kunci: volatilitas inflasi, data panel dinamis, variabel kebijakan dan non kebijakan
RINGKASAN ANDRI PRIYANTO. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan Sumber Daya Manusia di Provinsi Banten. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan YETI LIS PURNAMADEWI Peningkatan sumber daya manusia (SDM) akan berdampak pada peningkatan kualitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan SDM untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pertumbuhan ekonomi dapat meningkatan penciptaan lapangan kerja atau usaha, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga yang memungkinkan peningkatan kualitas anggota keluarganya. Melalui jalur inilah modal manusia atau human capital dapat melanjutkan pembangunan yang lebih merata di masa mendatang. United Nations Development Programme (UNDP) sejak 1990 telah menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) untuk mengukur keberhasilan atau kinerja suatu negara atau wilayah dalam pembangunan SDM. Pencapaian pembangunan yang komprehensif di Provinsi Banten dirasa belum memuaskan, dimana pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita yang terus meningkat tiap tahunnya, namun pencapaian IPM masih relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lain. IPM Provinsi Banten menempati ranking 23 dari seluruh provinsi se Indonesia. Kualitas SDM sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan kesehatan dari penduduk itu sendiri. Pada tahun 2009 tingkat pendidikan terakhir penduduk berusia 10 tahun keatas di Banten masih didominasi oleh tidak/belum dan tamat SD/MI/Sederajat, yaitu sebesar 55,60 persen (BPS, 2009). Penduduk yang tidak berkualitas sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan kurang beruntung mendapatkan pekerjaan (pengangguran). Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkaji pembangunan ekonomi dan SDM di Provinsi Banten, (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan SDM di Provinsi Banten, dan (3) Merumuskan kebijakan yang bisa diambil untuk meningkatkan pembangunan SDM. Penelitian dilakukan di Provinsi Banten dengan menggunakan data sekunder berupa panel data yang mencakup kabupaten/kota di Provinsi Banten. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat kondisi pembangunan ekonomi dan pembangunan SDM. Sementara model regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan sumber daya manusia. Model dimodifikasi dari Ramirez, et. al (2000). Hasil kajian selama periode 2002-2009, menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan IPM di Provinsi Banten, dari sekitar 66,6 pada tahun 2002 menjadi 70,6 pada tahun 2009. Pencapaian IPM tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lain karena masih terjadi ketimpangan yang cukup besar di Provinsi Banten. Ketimpangan terjadi baik pada pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh indikator PDRB perkapita maupun pada pembangunan SDM yang ditandai tingkat pendidikan dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan/kesehatan. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa selain indeks gini rasio (GR), semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh nyata dalam meningkatkan IPM di
Provinsi Banten. Variabel-variabel tersebut yaitu: PDRB perkapita (INC), pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan (GOV), pendidikan kepala rumah tangga (EDU), serta jumlah penduduk yang sakit (HLTH) dengan koefisien masing masing sebesar: 0,00014; 0,03; 16,71; dan 4,76. Variabel pendidikan kepala rumah tangga merupakan faktor paling dominan dalam meningkatkan pembangunan manusia di Banten. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk meningkatkan IPM di Provinsi Banten dirumuskan saran kebijakan sebagai berikut: (1) Pembangunan manusia di Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang masih rendah untuk itu perlu adanya peningkatan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan maupun kesehatan di ketiga kabupaten tersebut, (2) Empat faktor yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM sebaiknya menjadi prioritas dalam pengambilan kebijakan pemerintah, (3) Perlu adanya peningkatan investasi terutama pada kabupaten/kota yang PDRB perkapitanya masih rendah Kata kunci : IPM, regresi data panel.
RINGKASAN ATIK MAR’ATIS SUHARTINI: Pro Poor Growth Tingkat Provinsi di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan telah dilakukan sejak Pelita III dan menjadi agenda utama dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2005-2009 melalui ‘triple track strategy’ program pembangunan pro growth, pro job dan pro poor. Hingga tahun 2009, kemiskinan cenderung menurun hingga 14,15 persen, walaupun masih di bawah target RPJM 2005-2009 sebesar 8,2 persen dan target Deklarasi Milenium PBB sekitar 7 persen. Sedangkan indeks gini sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, hingga tahun 2009menunjukkankecenderunganmeningkatmenjadi 0,37 yang sebelumnyasebesar 0,36 tahun 2005. Pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih memberikan manfaat kepada penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya, atau pertumbuhan ekonomi yang bersifat pro poor growth. Pro poor growth dengan titik berat pada penduduk miskin, akan memperbaiki kesejahteraannya dan distribusi pendapatan akan lebih merata (equity aspects), dimana aspek ini akan memperkuat dampak pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan (Kakwani dan Pernia, 2000 dan Grimm, et al., 2007). Suparno (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum bersifat pro poor growth pada periode 2002-2005 dan pro poor growth periode 2005-2009. Akan tetapi derajat pro poor growth di tingkat provinsi bisa berbeda satu sama lain.Berdasarkan uraian tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis gambaran pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia, menganalisis efek pertumbuhan dan efek distribusi terhadap perubahan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia, menganalisis derajat Pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia, dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi Pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data utama berupa data konsumsi rumah tangga hasil Susenas Konsumsi Panel selama tahun 2005-2009, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dinamika pertumbuhan ekonomi, distribusi pedapatan dan kemiskinan dianalisis dengan metode deskriptif melalui nilai rata-rata, standar eviasi dan analisis kuadran. Metode dekomposisi kemiskinan Shapley digunakan untuk menganalisis efek pertumbuhan dan efek distribusi terhadap perubahan kemiskinan. Poverty Equivalent Growth Rate (PEGR) merupakan alat analisis yang digunakan untuk menghitung derajat manfaat pertumbuhan terhadap penduduk miskin. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi pro poor growth dianalisis dengan menggunakan regresi data panel.Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2005-2009, rata-rata pertumbuhan ekonomi cenderung menurun dengan kecenderungan standar deviasi yang meningkat. Hal ini menunjukkan sebaran pertumbuhan ekonomi yang semakin beragam antar provinsi atau bisa dikatakan semakin timpang. Sebaliknya rata-rata Indeks gini selama tahun 2005-2009 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan standar deviasi yang cenderung menurun. Hal ini menunjukkan fenomena ketimpangan di tingkat provinsi yang semakin tinggi. Sedangkan rata-rata dan standar deviasi dari persentase dan jumlah penduduk miskin, selama tahun 2005-2009 cenderung menurun. Pertumbuhan ekonomi yang cepat disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan, menghasilkan kemiskinan di bawah rata-rata terjadi di provinsi Jambi, Bangka Belitung dan Kalimantan Tengah.Pada awal periode 2005-2006, baik efek pertumbuhan maupun efek distribusinya berpotensi meningkatkan kemiskinan. Sehingga secara total memiliki net effect meningkatkan kemiskinan. Sedangkan pada akhir periode
2008-2009, baik efek pertumbuhan maupun efek distribusi keduanya berdampak pada pengurangan kemiskinan. Selain itu semakin banyak jumlah provinsi yang memiliki efek pertumbuhan dan efek distribusi menurunkan kemiskinan di akhir periode.Pada awal periode 2005-2006, pertumbuhan ekonomi bersifat anti pro poor growth yang berarti penduduk miskin tidak merasakan manfaat pertumbuhan. Sebaliknya pada akhir periode 2008-2009, pertumbuhan ekonomi telah bersifat pro poor growth yang berarti penduduk miskin merasakan manfaat pertumbuhan lebih besar dari pada penduduk tidak miskin. Demikian juga jumlah provinsi yang semakin banyak di akhir periode dengan pertumbuhan ekonomi yang telah bersifat pro poor growth.Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, produktivitas sector pertanian, rata-rata lama sekolah baik total ataupun menurut jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Produktifitas sector pertanian dan rata-rata lama sekolah baik total ataupun menurut jenis kelamin memiliki pengaruh negatif, yang berarti peningkatan produktifitas sektor pertanian dan peningkatan rata-rata lama sekolah akan menurunkan kemiskinan. Sedangkan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, yang berarti peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah penduduk miskin.Saran yang dapat diberikan diantaranya sebagaiberikut: pemerintah khususnya di daerah hendaknya tidak hanya mengejar pertumbuhan yang tinggi dalam pembangunan, akan tetapi juga pemerataan pendapatan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Peningkatan kesejahteraan penduduk miskin dalam rangka pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan produktifitas sector pertanian melalui revitalisasi pertanian. Pendidikan atau human capital penduduk miskin juga perlu ditingkatkan mengingat pengaruhnya yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Selain itu, kontrol terhadap laju pertumbuhan penduduk perlu digalakkan kembali terkait peningkatan kebutuhan dasar dan lapangan pekerjaan yang harus terpenuhi sebagai konsekuensi pertambahan jumlah penduduk. Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, ketimpangan kemiskinan, pro poor growth
pendapatan,
pengurangan
RINGKASAN BARUDIN. Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Peningkatan Permintaan Pariwisata terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Dibawah bimbingan RINA OKTAVIANI dan SRI MULATSIH. Pariwisata telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia. Berbagai organisasi internasional seperti PBB, Bank Dunia, World Tourism Organization (UNWTO) telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi setelah adanya globalisasi dan liberalisasi yang semakin memudarkan berbagai hambatan. Sejak 4 November 2002, pemerintah Indonesia bersama negara ASEAN telah menandatangani perjanjian ACFTA mengenai pemberlakuan pasar bebas di kawasan ASEAN-China. Disamping itu dilakukan juga kerjasama ekonomi dan perdagangan lainnya seperti APEC dan WTO.Perkembangan kegiatan pariwisata tersebut ternyata masih mengalami beberapa kendala dan hambatan. Oleh karena itu, penulis terdorong untuk melakukan analisis dan penelitian mengenai kondisi dan perkembangan pariwisata di Indonesia terkait dengan maraknya liberalisasi yang dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif dengan menggunakan metodologi dan indikator yang tepat, benar dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pariwisata dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam indikator makroekonomi serta mengidentifikasi dampak liberalisasi perdagangan dan peningkatan permintaan pariwisata terhadap perekonomian nasional seperti pendapatan dan ketenagakerjaan.Penelitian ini menggunakan Model Keseimbangan Umum/ Computable General Equilibrium (CGE) dari INDOMINI (Oktaviani, 2008) yang berinduk pada MINIMAL (Horridge, 2001). Model ini kemudian dikombinasikan dengan sebagian dari model WAYANG (Wittwer, 1999) dan selanjutnya disebut model INDOWISATA. Database yang digunakan adalah tabel input output nasional 67 sektor updating tahun 2008 yang terdapat dalam neraca satelit pariwisata nasional. Sistem persamaan yang terdapat dalam model ini meliputi 15 blok sesuai dengan model INDOMINI. Hal yang berbeda adalah bahwa permintaan akhir (final demand) dibagi menjadi 2 yaitu permintaan akhir yang terkait dengan pariwisata dan permintaan akhir lainnya. Disamping itu, tenaga kerja juga dibagi menjadi 2 yaitu pekerja formal (dibayar) dan pekerja keluarga (tidak dibayar).Kondisi perekonomian Indonesia selama tahun 2009 terjadi pertumbuhan sebesar 4,5 persen, meskipun mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang mampu tumbuh hingga mencapai 6,0 persen. Pertumbuhan ekonomi yang berada dalam tren menurun tersebut diduga akibat terjadinya kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup besar sebagai akibat turunnya permintaan global. Namun beberapa indikator kesejahteraan masyarakat selama tahun 2009 terlihat mulai menunjukkan kondisi yang membaik seperti PDB per kapita, jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran terbuka. Persepsi positif juga tercermin dari meningkatnya daya saing ekonomi Indonesia pada laporan WEF tahun 2010 menjadi peringkat 44 dari posisi 54 pada tahun 2009.Perkembangan perdagangan antara Indonesia
dengan beberapa negara mitra dagang baik dalam kerangka AFTA maupun ACFTA selama kurun waktu tiga tahun terakhir selalu mengalami defisit. Dengan melihat kondisi tersebut maka pemerintah harus melakukan langkalangkah strategis guna mengurangi banjirnya produk-produk impor serta harus mendorong peningkatan ekspor khususnya ke negara-negara yang telah melakukan kerjasama perdagangan dengan Indonesia. Tumbuhnya kerjasama regional seperti ACFTA dan APEC akan memberikan warna baru dalam pembangunan ekonomi termasuk aktivitas pariwisata Indonesia.Peranan kegiatan pariwisata terhadap ekonomi nasional pada tahun 2009 mengalami peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Nilai output dari kegiatan pariwisata secara keseluruhan selama tahun 2009 mencapai sebesar Rp 504,69 triliun atau berkontribusi sebesar 4,80 persen. Sedangkan peranan kegiatan pariwisata terhadap nilai tambah bruto (NTB) mencapai sebesar Rp 233,64 triliun atau memberikan kontribusi sebesar 4,16 persen dari total NTB nasional. Selama tahun 2009, kontribusi sektor-sektor terkait pariwisata terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sebanyak 6,98 juta orang atau 6,68 persen dari tenaga kerja nasional. Disamping itu, peranan dalam ekspor jasa mencapai 4,37 persen yang sebagian besar disumbang oleh sektor hotel, restoran, hiburan dan angkutan.Penelitian ini menerapkan dua skenario utama dari kebijakan ekonomi makro. Skenario pertama dimodelkan dengan menghapus tarif impor hingga 0 persen pada semua komoditi impor kecuali padi dan gula. Skenario kedua diasumsikan bahwa pemerintah lebih pro-bisnis serta agar terjadi keseimbangan secara eksternal dengan pemotongan pajak tak langsung sebesar 20 persen. Pada skenario ini dilakukan dua model simulasi, yaitu jika digabungkan dengan adanya pertumbuhan kegiatan kepariwisataan sebesar 10 persen dan tidak ada pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia.Studi ini menunjukkan bahwa liberalisasi yang dikombinasikan dengan pariwisata akan mempunyai dampak positif pada perekonomian domestik. Liberalisasi dan peningkatan permintaan pariwisata bisa mengurangi tingkat harga-harga domestik, meningkatkan jumlah perdagangan luar negeri dan ketersediaan produk dalam ekonomi domestik, sehingga merangsang produksi lebih lanjut. Hasilnya untuk kasus Indonesia adalah meningkatkan kinerja ekonomi makro dan kesejahteraan seperti meningkatkan konsumsi rumah tangga. Wisatawan juga diindikasikan lebih baik karena mereka dapat mengkonsumsi lebih banyak dari tingkat pengeluaran yang mereka lakukan dan juga keuntungan dari ketersediaan produk yang lebih besar. Pertumbuhan permintaan pariwisata akan memperkuat dampak positif dari liberalisasi dan pada saat yang sama akan mengurangi efek sampingnya. Namun perlu diperhatikan pada neraca perdagangan yang semakin tertekan, sehingga diperlukan adanya kebijakan yang menyertainya dan sesuai, seperti promosi pariwisata dan investasi di bidang infrastruktur yang dapat mendukung terjadinya pertumbuhan pada sektor jasa. Kata kunci: liberalisasi, pariwisata, pajak, dampak ekonomi, CGE
RINGKASAN BUDI KURNIAWAN. Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia dalam Kerangka Model Input Output Tahun 1971-2008. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI MULATSIH. Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir dekade 1960-an terbukti merupakan titik awal bagi pembangunan ekonomi dan industri. Pergeseran kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966 membuka cakrawala baru bagi Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi (Weinstein 1976). Pembangunan ekonomi yang lebih serius dan terencana dengan baik di Indonesia baru dimulai sejak awal pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (Repelita I) tahun 1969 dan prosesnya berjalan mulus sejak itu hingga terjadi krisis ekonomi tahun 1997-1998. Upaya stabilisasi dan rehabilitasi dilakukan dalam semangat desentralisasi dan detatisme untuk mengatasi kondisi ekonomi yang buruk pada akhir masa orde lama. Perubahan struktur PDB merupakan akibat dari industrialisasi di Indonesia (Kuncoro 2007). Proses industrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril 1993), dan berdasarkan kriteria United Nation Industrial Development Organization sampai dengan tahun 2008 Indonesia termasuk kedalam kategori negara semi industri. Pertanyaannya adalah apakah benar telah terjadi perubahan struktural yang mendasar dalam perekonomian Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi? Apakah model input-output cukup akurat jika digunakan dalam perencanaan ekonomi? Bagaimana peran sektoral dalam proses transformasi struktural perekonomian Indonesia? Sektor ekonomi apa yang memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi dan menjadi kunci dalam perekonomian Indonesia? Fakta terjadinya deindustrialisasi negatif pada perekonomian Indonesia memunculkan pertanyaan, apakah stategi industrialisasi yang diterapkan di Indonesia telah berbasis sumberdaya? Apakah transformasi perekonomian Indonesia sebaik transformasi negara berkembang lainnya? Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian empirik terhadap perubahan struktur perekonomian (economic landscape) di Indonesia dalam kerangka model input output (IO) selama kurun waktu 1971 sampai dengan 2008. Penelitian dilakukan dengan menelaah Tabel IO Indonesia yang bersumber dari BPS meliputi data tahun 1971, 1975, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005 dan 2008. Sektor-sektor dalam runtun data IO diagregasikan secara seragam (common set) menjadi 66 sektor mengacu pada klasifikasi Tabel IO Tahun 2008 (updating 2005). Model IO digunakan untuk menjawab beberapa tujuan penelitian. Analisis perubahan teknis dilakukan dengan cara meregresikan koefisien teknis input output periode (n+1) terhadap koefisien teknis input output periode ke-n. Model persamaan X = (I-A)-1F yang diturunkan dari matriks kebalikan Leontief untuk menguji apakah koefisien teknis input output yang diprediksi dari (I-A)-1 tahun ke-n mempunyai kekuatan peramalan yang baik sampai satu periode kedepan (n+1), dilakukan dengan mensubstitusikan data permintaan akhir (F) tahun (n+1) kedalam persamaan sehingga diperoleh data total output (X) untuk tahun (n+1) hasil peramalan. Matriks pengganda output
(Multiplier Product Matrix) disajikan dalam grafik tiga dimensi untuk memvisualisasikan struktur perekonomian.Deviasi hasil estimasi total output dengan uji matriks Leontief memiliki kecenderungan over estimate untuk setiap periode. Hal ini disebabkan oleh adanya deviasi yang terlalu tinggi (outlier) pada beberapa sektor, antara lain sektor “tanaman bahan makanan lainnya (6)”, “hasil tanaman serat (15)”, “industri kimia (40)”, “industri dasar besi dan baja (45)”, industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik (48)” dan sektor “lain-lain (66)”. Keenam sektor sebagaimana tersebut memiliki deviasi yang sangat tinggi hampir disetiap periode. Deviasi total tertinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 19,33 persen dengan rata-rata 11 persen perperiode. Tidak terjadi perubahan teknis yang signifikan antara satu periode ke periode berikutnya, terindikasi dari hasil uji regresi koefisien teknis xij*=+xij dengan hipotesis =0 dan =1.Terdapat 20 (dua puluh) sektor yang menjadi sektor kunci dalam dinamika proses perubahan struktur perekonomian Indonesia selama periode pengamatan, namun tidak satupun sektor primer pernah menjadi sektor kunci. Selama periode analisis terdapat 5 (lima) sektor yang mengolah hasil pertanian yang bisa disebut sebagai sektor kunci antara lain; sektor “industri minyak dan lemak (28)”, “industri makanan lainnya (32)”, “industri tekstil, pakaian dan kulit (36)”, “industri bambu, kayu dan rotan (37)” dan “industri kertas, barang dari kertas dan karton (38)”. Sektor industri lain yang menjadi sektor kunci adalah “industri pupuk dan pestisida (39)”, “industri kimia (40)”, “pengilangan minyak bumi (41)” serta “industri barang karet dan plastik (42)”. Beberapa industri berat yang menjadi sektor kunci adalah sektor “industri dasar besi dan baja (45)”, “industri logam dasar bukan besi (46)”, “industri barang dari logam (47)”, “industri mesin, alat dan perlengkapan listrik (48)” serta sektor “industri alat angkutan dan perbaikannya (49)”. Sektor “listrik, gas dan air (51)” dan sektor “bangunan (52)” adalah dua sektor yang selalu menjadi sektor kunci disepanjang periode analisis. Sektor tersier yang pernah menjadi sektor kunci antara lain adalah sektor “perdagangan (53)”, “jasa lainnya (65)”, “restoran dan hotel (54)” serta sektor “angkutan darat (56)”.Berdasarkan visualisasi perubahan lanskap ekonomi, peningkatan peranan yang terjadi antara lain terkait dengan dua sektor primer yaitu ”pertambangan batubara dan biji logam (24)” dan ”pertambangan minyak, gas dan panas bumi (25)”. Peningkatan ini juga terkait dengan sektor ”industri pupuk dan pestisida (39)”, ”industri kimia (40)”, ”pengilangan minyak (41)” dan ”industri alat-alat dan perlengkapan listrik (48)”. Sektor tersier yang terkait dengan peningkatan peranan adalah sektor ”lembaga keuangan (61)” dan ”usaha persewaan bangunan dan jasa perusahaan (62)”. Penurunan peranan antara lain terlihat pada beberapa sel yang terkait dengan sektor ”padi (1)”, ”perdagangan (53)”, ”angkutan darat (56)” dan ”lain-lain yang tidak jelas batasannya (66)”.Transformasi struktur perekonomian Indonesia jika dibandingkan dengan proses perubahan struktur perekonomian yang terjadi pada negara-negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) dalam jangka waktu sekitar 40 tahun menunjukkan pola yang berbeda. Pergeseran struktur GDP negara-negara BRIC diawali pergeseran peran sektor pertanian oleh sektor industri yang selanjutya diikuti peningkatan peran sektor jasa. Pergeseran struktur yang terjadi di Indonesia diawali pada kondisi dimana sektor jasa telah mendominasi perekonomian, selanjutnya terjadi peningkatan peran
sektor industri menggeser sektor pertanian dan akhirnya mendominasi perekonomian. Perkembangan struktur tenaga kerja di Indonesia menunjukkan pola yang tidak biasa (unusual pattern) dan bertentangan dengan teori perkembangan tenaga kerja. Tinjauan tentang tingkat produktifitas tenaga kerja memberikan justifikasi kesimpulan atas apa yang terjadi bahwa sebenarnya tenaga kerja yang bergeser dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang produktifitasnya lebih tinggi. Daya penyebaran yang tinggi pada sektor-sektor sekunder tidak diikuti derajat kepekaan yang tinggi pada sektor-sektor primer mengindikasikan tidak adanya link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Strategi industrialisasi yang kurang tepat menyebabkan proses deindustrialisasi di Indonesia berjalan tidak alami dan cenderung negatif. Kebijakan industrialisasi sebaiknya mempertimbangkan link and match antara industri yang dibangun dengan sumber bahan baku yang tersedia. Seiring perjalanan waktu seharusnya terjadi konvergensi tingkat produktifitas pada keseluruhan sektor walaupun pada awalnya produktifitas tenaga kerja sektor jasa memang tertinggi dibanding sektor industri dan pertanian. Peningkatan produktivitas sektor primer memerlukan dukungan teknologi dan jaminan ketersediaan input dalam proses produksinya. Kata Kunci : ekonomi landscape, model input output, sektor kunci
RINGKASAN DEWI PURWANTI. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan YETI LIS PURNAMADEWI. Energi mempunyai peranan penting dan strategis karena energi merupakan input penting bagi bergeraknya perekonomian suatu negara. Minyak bumi sebagai salah satu sumber energi di dunia telah menjadi energi dengan tingkat konsumsi tertinggi untuk proses produksi dibandingkan sumber energi lainnya. Dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 1970-an berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2000-an. Pada tahun 1970-an, kenaikan harga minyak menyebabkan inflasi tinggi, resesi, produktivitas rendah, dan tingkat pertumbuhan rendah atau negatif. Kenaikan harga minyak pada awal tahun 2000-an menyebabkan peningkatan infasi namun relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1970-an dan pertumbuhan ekonomi dunia tetap kuat. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Unalmis et al. (2009). Hasil penelitian Limin et al. (2010) dan Apriani (2007) menyimpulkan bahwa kenaikan harga minyak berhubungan positif dengan output dan inflasi di China dan Indonesia. Pada tahun 2008, kontribusi konsumsi minyak ASEAN+3 terhadap konsumsi dunia cukup besar yaitu sebesar 21,9 persen sedangkan kontribusi produksinya terhadap produksi dunia cukup rendah yaitu sebesar 7,4 persen. Selama tahun 1999 sampai 2008, rata-rata pertumbuhan konsumsi minyak di negara-negara ASEAN+3 mencapai 2,5 persen per tahun sedangkan rata-rata pertumbuhan produksi (supply) minyak hanya mencapai 0,5 persen per tahun. Hal ini berarti terjadi gap antara konsumsi dan produksi minyak sebesar 2 persen per tahun. Makin tingginya konsumsi minyak tanpa diikuti dengan persediaan minyak yang cukup akan membuat ketergantungan minyak negara-negara ASEAN+3 menjadi tinggi. Ketergantungan negara-negara ASEAN+3 yang masih tinggi pada produk minyak ini akan merugikan negara-negara di kawasan ini khususnya bila terjadi kenaikan harga minyak yang cukup tinggi. Hal ini juga terkait dengan kondisi perekonomian kawasan ASEAN+3 yang masih akan terus berkembang yang tentunya memerlukan banyak energi. Selain itu, adanya ASEAN Free Trade Area (AFTA), China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), dan wacana adanya integrasi ekonomi ASEAN+3 seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) mengakibatkan guncangan pada perekonomian di suatu negara dapat berdampak pada negara-negara lainnya di kawasan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji gambaran umum inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan harga minyak dunia di negaranegara ASEAN+3; (2) menganalisis dampak guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3; (3) menganalisis dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+3; (4) menganalisis dampak inflasi tahun sebelumnya terhadap inflasi negara-negara ASEAN+3 dan dampak pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3. Data yang dikumpulkan
merupakan data panel yaitu gabungan antara data time series tahunan dengan periode 1999-2008 dan data cross section meliputi negara ASEAN+3. Negaranegara ASEAN+3 yang dimasukkan dalam penelitian ini antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, China, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan metode analisis panel dinamis yaitu First Differences-Generalized Method of Moments (FD-GMM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 17,98 US$ per barel pada tahun 1999 menjadi 97,04 US$ per barel pada tahun 2008 atau naik sekitar 23,86 persen per tahun. Selama periode yang sama, rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 menunjukkan peningkatan yaitu masing-masing sebesar 3,31 persen dan 5,3 persen per tahun. Selama tahun 1999-2008, peningkatan harga minyak dunia umumnya diikuti oleh peningkatan inflasi di masing-masing negara ASEAN+3 kecuali di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh penerapan subsidi harga bahan bakar minyak yang sangat tinggi di Indonesia. Beberapa negara lainnya menerapkan pajak terhadap bahan bakar dalam rangka menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Penerapan subsidi bertujuan untuk mengurangi dampak kenaikan inflasi sedangkan penerapan pajak bahan bakar akan berdampak pada inflasi. Hubungan antara harga minyak dunia dengan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara-negara ASEAN+3 umumnya menunjukkan hubungan yang positif kecuali di Jepang, Filipina, dan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia sekarang tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Hubungan positif antara harga minyak dunia dengan pertumbuhan ekonomi antara lain terjadi di Indonesia dan Malaysia karena kedua negara tersebut merupakan pengekspor minyak mentah dan produk-produk olahannya.Hasil analisis dengan metode panel dinamis menunjukkan bahwa kenaikan laju perubahan harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3. Kenaikan laju perubahan harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi antara lain disebabkan karena umumnya negaranegara ASEAN+3 tidak melakukan subsidi harga bahan bakar. Kenaikan harga minyak juga dapat mengakibatkan kenaikan harga-harga barang lain seperti harga barang dan jasa yang terkait dengan bahan bakar minyak dan kenaikan harga komoditas lain. Tingginya harga minyak juga telah mendorong berkembangnya produksi biofuel sebagai energi alternatif. Beralihnya penggunaan sejumlah besar komoditas yang semula hanya sebagai bahan pangan menjadi bahan baku industri biofuel (seperti minyak sawit, jagung, gandum, kedelai) juga pada akhirnya memicu kenaikan harga. Selain itu, Kenaikan harga minyak juga menyebabkan kenaikan defisit fiskal dimana salah satu asal inflasi adalah hasil dari ketidakseimbangan fiskal. Kenaikan laju perubahan harga minyak dunia secara signifikan juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan yang diperoleh dari ekspor minyak mentah dan produk-produk olahannya, peningkatan pendapatan negara pengekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, penurunan intensitas minyak, dan pemberian subsidi bahan bakar di beberapa negara. Peningkatan permintaan agregat juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sehingga peningkatan harga minyak yang berdampak pada inflasi tidak diiringi penurunan pertumbuhan ekonomi seperti pada tahun 1970-an. Penelitian ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi dan inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang tinggi sering ditandai dengan kontraksi tingkat PDB dimana inflasi tinggi terkait dengan kinerja makroekonomi yang buruk. Inflasi yang tinggi berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya sosial tinggi yang harus ditanggung oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Kenaikan tingkat harga akan menurunkan stok uang riil yang pada akhirnya menyebabkan penurunan permintaan dan output. Secara umum, inflasi meningkatkan biaya produksi dan transportasi serta menurunkan daya beli masyarakat sehingga berpengaruh negatif bagi perekonomian. Selain itu, inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing dipengaruhi secara positif oleh Inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya namun tidak signifikan di negara-negara ASEAN+3.Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan adanya revisi harga secara regular untuk menetapkan harga bahan bakar minyak pada tingkat harga keekonomian serta upaya penurunan konsumsi minyak untuk mengurangi ketergantungan minyak negara-negara ASEAN+3 dalam rangka menjamin stabilitas ekonomi. Konsumsi minyak yang tinggi di negara-negara ASEAN+3 tidak diiringi dengan produksi (supply) yang cukup sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendidik dan menyadarkan konsumen tentang pentingnya penghematan konsumsi bahan bakar minyak. Selain itu, dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi maka negara-negara penghasil minyak perlu menyiapkan dana cadangan yang berasal dari kelebihan penerimaan ekspor minyak untuk memenuhi permintaan minyak dalam negeri serta meningkatkan nilai tambah produk-produk ekspor yang harganya terkait dengan harga minyak dunia seperti batubara, karet, dan kelapa sawit. Peningkatan nilai tambah ini bisa dilakukan dengan meningkatkan ekspor barang setengah jadi dan mengurangi ekspor barang mentah. Pemerintah dalam hal ini otoritas moneter (bank sentral) di negara-negara ASEAN+3 hendaknya lebih mengutamakan dampak harga minyak dunia terhadap inflasi antara lain melalui jalur suku bunga. Kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan inflasi negara-negara ASEAN+3 dan inflasi yang tinggi menyebabkan biaya tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sehingga pembuat kebijakan diharapkan dapat membuat kebijakan yang tidak hanya baik untuk jangka pendek namun juga untuk jangka panjang. Selain itu, perlu dilakukan upaya penurunan intensitas minyak melalui penurunan konsumsi minyak dengan penghematan terutama di sektor transportasi, industri, listrik, maupun di tingkat rumah tangga sehingga diharapkan akan mengurangi dampak tingginya harga minyak dunia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata dapat menurunkan tingkat inflasi sehingga perlu dilakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui peningkatan investasi dan ekspor. Kata Kunci: guncangan harga minyak dunia, inflasi, pertumbuhan ekonomi, data panel dinamis fd-gmm
RINGKASAN DIANA BHAKTI. Permintaan Energi Rumah Tangga di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan MUHAMMAD FIRDAUS Pemerintah bertanggung jawab menentukan berbagai tindakan dan kebijakan dalam menjamin ketersediaan dan akses masyarakat terhadap energi, termasuk juga keberlangsungannya untuk jangka panjang. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah subsidi terhadap harga energi. Subsidi bertujuan untuk menjamin akses masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga keekonomian energi dan juga mendorong aktivitas industri terutama industri pada skala kecil. Selain dampak positif, subsidi juga mempunyai dampak negatif, sehingga pemerintah berupaya secara bertahap menghapus atau mengurangi subsidi.Penarikan subsidi akan mengakibatkan kenaikan harga energi sehingga memengaruhi tingkat konsumsi energi konsumen, termasuk kelompok rumah tangga. Akibat kenaikan harga suatu komoditi energi, diduga rumah tangga akan mengurangi konsumsi energi tersebut. Penurunan konsumsi suatu komoditi energi akan dialihkan pada komoditi energi lainnya yang merupakan substitusi dari komoditi terkait. Perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga terhadap suatu komoditi ini juga ditentukan oleh proporsi perubahan pendapatannya. Informasi mengenai perilaku konsumsi energi rumah tangga ini akan tergambar melalui fungsi permintaannya.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku rumah tangga di Pulau Jawa dalam mengkonsumsi energi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan parameter permintaan energi, seperti elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas silang komoditi-komoditi energi. Permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dan nilai-nilai elastisitas permintaan tersebut akan dilihat perbandingannya antara desa dan kota serta perkembangannya selama dilaksanakannya konversi minyak tanah ke gas, sejak tahun 2007 hingga tahun 2010.Penelitian ini menggunakan data yang mencakup rumah tangga di Pulau Jawa yang menjadi sampel Susenas periode pencacahan bulan Maret, tahun 2007 – 2010. Rumah tangga sampel tersebut dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS (Linear approximation – Almost Ideal Demand System). Adapun kelompok komoditi yang digunakan dalam analisis ada enam kelompok, yakni kelompok komoditi energi (terdiri atas energi listrik; LPG, gas kota, dan briket/batu bara; minyak tanah; bensin, dan solar), kelompok komoditi makanan, dan kelompok komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan nilai elastisitas permintaan yang diperoleh untuk rumah tangga di Pulau Jawa pada tahun 2007 – 2010 (total), akan dilakukan simulasi dengan beberapa skenario. Skenario pertama adalah kenaikan harga bbm (bensin dan solar) sebesar 11 persen dan harga listrik sebesar 15 persen. Skenario yang kedua adalah kenaikan harga yang sama untuk bbm dan listrik seperti pada skenario pertama, namun diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 4 persen.Kebutuhan energi rata-rata rumah tangga di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga di wilayah perdesaan. Hal ini terlihat dari proporsi pengeluaran rumah
tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di perdesaan yang lebih rendah dibanding dengan proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di wilayah perkotaan. Selain itu, dilihat dari peningkatan proporsi pengeluaran komoditi energi selama tahun 2007 – 2010 mengindikasikan tingkat kebutuhan energi ataupun tingkat harga kelompok komoditi energi yang mengalami peningkatan. Menurut perkembangannya selama tahun 2007 – 2010, bisa dilihat bahwa proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara baik di perdesaan, perkotaan, ataupun secara total, terus mengalami peningkatan sedangkan proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi minyak tanah terus menurun. Hal ini sejalan dengan adanya program konversi minyak tanah ke lpg yang dilakukan oleh pemerintah.Berdasarkan hasil pengolahan, nilai adjusted R-square model AIDS adalah 79,86 persen. P-value menunjukkan bahwa semua variabel bebas (harga masing-masing kelompok komoditi, pengeluaran rumah tangga dummy wilayah, dan tren tahun, mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel proporsi pengeluaran kelompok komoditi ((Pr>|t|) < 0,01).Hasil elastisitas permintaan harga sendiri menunjukkan bahwa selama tahun 2007-2010 nilai elastisitas listrik merupakan barang yang bersifat elastis unit di semua wilayah di Pulau Jawa. Nilai elastisitas untuk komoditi energi lainnya menunjukkan bahwa komoditi-komoditi tersebut termasuk barang elastis untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Adapun komoditi lpg, gas kota, dan batu bara merupakan komoditas yang paling elastis.Jika dilihat perkembangannya selama tahun 2007 hingga tahun 2010, elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri untuk kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta kelompok komoditi non makanan lainnya relatif tidak mengalami perubahan yang besar. Hal ini terkait dengan masih banyaknya rumah tangga di Indonesia yang belum mendapat akses akan listrik dan juga harga jual energi yang diatur oleh pemerintah. Berbeda dengan kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Nilai mutlak elastisitas harga sendiri untuk kelompok komoditi ini cenderung menurun. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, nilai mutlak elastisitas harga sendirinya meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2010. Hal ini disebabkan jumlah konsumsi untuk kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara pada jangka waktu tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring program konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga perubahan harga lpg, gas kota, dan batu bara yang terjadi memberikan dampak yang semakin kecil pada perubahan konsumsi komoditi tersebut. Kondisi sebaliknya berlaku untuk komoditi minyak tanah.Elastisitas silang antar sub kelompok dalam kelompok komoditi energi bernilai positif (substitusi), namun nilainya relatif tidak terlalu besar. Jika dilihat dari besarannya, tingkat substitusi listrik dengan komoditi lainnya sangat kecil. Jika dilihat dari nilai elastisitas pendapatannya, semua komoditi energi termasuk kelompok barang mewah, sedangkan kelompok komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya termasuk barang kebutuhan pokok (nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi makanan relatif mendekati 1). Nilai elastisitas pendapatan untuk kelompok komoditi bensin dan solar relatif besar, (eiI>2) sedangkan nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi energi yang lain kurang dari dua, kecuali untuk lpg, gas kota, dan batu bara di perdesaan. Hasil pengolahan juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kelompok pendapatannya besaran
elastisitas harga untuk komoditi bensin dan solar semakin kecil (semakin inelastis), namun besarnya masih lebih dari satu. Begitu juga elastisitas pendapatan (pengeluaran) untuk komoditi bensin dan solar, nilainya semakin kecil pada tingkat/kelompok pendapatan yang semakin tinggi, tetapi masih merupakan barang mewah (nilainya lebih dari satu). Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada skenario I komoditi listrik dan bensin dan solar mengalami penurunan jumlah barang yang diminta, sedangkan komoditi energi lainnya mengalami peningkatan jumlah barang yang diminta. Pada skenario I, peningkatan harga bensin dan solar sebesar 11 persen, tidak menurunkan jumlah makanan yang diminta, tetapi yang berkurang adalah jumlah barang yang diminta untuk non makanan lainnya. Konsumsi komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah mengalami sedikit peningkatan antara 0,80 hingga 2,18 persen. Peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 4 persen ketika harga komoditi selain listrik serta bensin dan solar tetap, meningkatkan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah yang diminta. Simulasi skenario II menghasilkan penurunan jumlah listrik serta bensin dan solar yang diminta. Penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan, begitu juga dengan penurunan konsumsi bensin dan solar. Komoditi energi (selain listrik) bersifat elastis, dan, baik di perdesaan maupun di perkotaan, komoditi energi masih merupakan barang mewah. Terkait dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumah tangga yang positif, pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga energi untuk menekan lonjakan permintaan energi yang terjadi, dan alternatif kebijakan pembatasan pemakaian bbm bersubsidi juga bisa dikaji lebih lanjut.Komoditi-komoditi energi, baik di perdesaan maupun di perkotaan saling bersubstitusi, namun dengan tingkat substitusi yang tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan komoditi-komoditi energi tersebut memang digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda, untuk itu perlu dikembangkan alternatif energi yang bisa memenuhi keperluan rumah tangga baik dari sumber energi yang lain (terbarukan) maupun dari sumber energi yang sama namun dengan cara penggunaan berbeda yang lebih mudah, lebih hemat, dan lebih aman. Program konversi minyak tanah ke gas telah menggeser konsumsi minyak tanah rumah tangga di Pulau Jawa ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Akibatnya elastisitas permintaan untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara, semakin inelastis, sedangkan elastisitas permintaan untuk minyak tanah semakin elastis. Penelitian dapat dilanjutkan dengan melihat dampak perubahan harga komoditi-komoditi energi terhadap variabel-variabel makro seperti inflasi, tingkat pengangguran, dan sebagainya atau mengganti dengan model permintaan lain yang dianggap bisa lebih mencerminkan pola permintaan rumah tangga di Pulau Jawa, ataupun memperluas cakupan wilayah dan rentang waktu penelitian ataupun kelompok konsumen (industri, komersial, dan lainnya), dan lain-lain. Kata kunci: permintaan energi, LA-AIDS, SUR
RINGKASAN DWI MUSLIANTI. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI dan YETI LIS PURNAMADEWI. Pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, namun juga harus dapat mengurangi tingkat kemiskinan, menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan dan meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengurangan kemiskinan harus dilaksanakan secara simultan melalui berbagai kebijakan pembangunan ekonomi, sehingga seluruh elemen penduduk dapat berperan serta dalam proses tersebut, tidak terkecuali penduduk miskin (Todaro dan Smith, 2006). Peningkatan peran serta penduduk miskin tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan tersebut akan mendorong penurunan angka kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan (Adam, 2004). Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Berbagai kebijakan internasional maupun nasional telah dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti PBB dengan program Millenium Development Goals 2000-2015 (Tambunan, 2009) dan Indonesia dengan visi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Persentase penduduk miskin di Indonesia selama periode 1976-1996 terus mengalami penurunan, yaitu dari 40.10% (1976) menjadi 11.30% (1996). Namun, krisis ekonomi global pada tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 13.13%, sehingga persentase penduduk miskin meningkat menjadi 24.23% dan kembali menjadi perhatian yang serius. Krisis global yang turut mempengaruhi perekonomian Indonesia tersebut membuat pemerintah mengubah sistem ekonomi dan pemerintahan menjadi terdesentralisasi pada tahun 2001. Pemerintah daerah yang berada dekat dengan masyarakat diharapkan dapat berinteraksi langsung dalam melayani kebutuhan rakyatnya (Oates, 1972), mempercepat pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing daerah (Tanzi, 2002), mengurangi budget deficit dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional (Zhang dan Zou, 1998). Desentralisasi fiskal yang telah bergulir di Indonesia selama sembilan tahun ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk dialokasikan pada pelayanan publik dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur) serta sektor-sektor yang memihak pada kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun demikian, selama pelaksanaan desentralisasi fiskal berlangsung, terjadi peningkatan jumlah dana perimbangan yang merupakan stimulus pemerintah pusat
pada daerah, sementara itu kinerja perekonomian khususnya pengurangan penduduk miskin belum mencapai target sesuai dengan visi pembangunan yang diharapkan . Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji kondisi kinerja fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan propinsi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, 3) menganalisis dampak penerapan berbagai skenario kebijakan fiskal daerah dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder panel 26 propinsi di Indonesia pada periode 2003-2009. Data yang digunakan antara lain yaitu data APBD, data PDRB, jumlah tenaga kerja, luas wilayah, jumlah penduduk miskin serta jumlah penduduk. Analisis dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang mengacu pada model penelitian Yudhoyono (2004), Sumedi (2005) dan Usman (2006) dan terdiri dari blok fiskal daerah, blok output dan blok kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja fiskal selama tahun 2003-2009 cukup rendah, dengan nilai derajat desentralisasi fiskal sebesar 14.60%, derajat potensi daerah sebesar 15.67% dan derajat ketergantungan sebesar 63.06%. Sebagian besar propinsi memiliki ketergantungan pada sektor Pertanian yang terlihat dari relatif besarnya proporsi PDRB pertanian. Jumlah penduduk miskin banyak terdapat di pulau Jawa, namun persentase penduduk kemiskinan terbesar terdapat pada propinsi-propinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi fiskal daerah, output daerah dan kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) penerimaan pajak dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin, PDRB, kesenjangan fiskal dan lag penerimaan pajak, 2) penerimaan BHPBP dipengaruhi oleh PDRB dan lag BHPBP, 3) pengeluaran pemerintah di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur adalah berbagai penerimaan daerah (PAD, DAU dan dana perimbangan) serta masing-masing lag pengeluaran daerah, 4) PDRB dipengaruhi oleh tenaga kerja masing-masing sektor dan beberapa jenis pengeluaran daerah, dan 5) jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, PDRB masing-masing sektor, jumlah penduduk miskin dan lag jumlah penduduk miskin. Berdasarkan simulasi kebijakan fiskal yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa seluruh simulasi kebijakan fiskal daerah memberikan dampak positif terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dengan besaran yang berbeda-beda. Dampak terbesar dari kebijakan fiskal terhadap penurunan penduduk miskin tersebut berasal dari simulasi kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran pertanian dan peningkatan pengeluaran pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) peningkatan penerimaan daerah melalui peningkatan jumlah potensi pajak dan sumberdaya alam daerah agar tercapai kemandirian keuangan daerah, 2) peningkatan pengeluaran sektor pertanian perlu lebih diperhatikan karena merupakan sektor yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga berpotensi menurunkan jumlah penduduk miskin, 3) peningkatan pelayanan publik dasar seperti sektor pendidikan dan kesehatan perlu lebih ditingkatkan untuk menciptakan sumberdaya daerah yang lebih handal, 4) pengeluaran infrastruktur perlu lebih ditingkatkan guna
melancarkan aktivitas masyarakat dalam perekonomian dan mempermudah akses kepada pelayanan publik. Kata kunci: kebijakan fiskal daerah, kemiskinan, model persamaan simultan
RINGKASAN KRISMANTI TRI WAHYUNI. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan WIWIEK RINDAYATI. Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia dengan perkembangan yang pesat sehingga menyebabkan bias pembangunan Jawa – luar Jawa semakin besar. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menempatkan kebijakan fiskal pada level kabupaten/kota pada posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah. Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB yang menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Penelitian ini pada intinya bertujuan (1) menggambarkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa; (2) menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga; dan (3) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta, dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data sehingga analisis penelitian diagregasi menjadi 105 wilayah. Periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 – 2009. Hasil penghitungan koefisien variasi Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat tinggi, berada pada kisaran 0,94 sampai dengan 0,98 selama periode penelitian. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Provinsi Banten dan yang terendah terjadi di D.I. Yogyakarta. Koefisien variasi PDRB per kapita Jawa Timur tidak berada pada kisaran nilai antara 0 dan 1. Sementara itu nilai koefisien variasi Jawa Tengah dan Jawa Barat semakin melebar selisihnya karena ketimpangan Jawa Barat semakin menurun, sedangkan Jawa Tengah semakin meningkat. Besarnya ketimpangan wilayah-wilayah di Pulau Jawa didominasi adanya ketimpangan antar kota dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten.Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi (pendapatan kabupaten/kota di Pulau Jawa divergen) dengan metode data panel dinamis FD-GMM. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa disebabkan adanya
pusat-pusat industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian dengan locus kabupaten/kota menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah. Estimasi konvergensi kabupaten/kota di provinsi-provinsi Pulau Jawa dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga semuanya konvergen, dengan tingkat konvergensi tertinggi di Jawa Barat dan terendah di Jawa Timur. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat. Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah dilakukan dengan model data panel statis. Model yang terpilih pada pendekatan PDRB adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur, peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai upaya memacu produktivitas ekonomi dan penambahan jumlah sarana kesehatan yang dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah serta merata ke seluruh wilayah. Namun, ketimpangan justru semakin meningkat dengan peningkatan penggunaan energi listrik dan air bersih. Pengguna energi listrik didominasi oleh industri dan bisnis yang berada di kota-kota besar. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang dipadati oleh pemukiman. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Artinya, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi pada level rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut, disarankan adanya peningkatan kegiatan ekonomi di bidang manufaktur khususnya industri yang lebih merata ke seluruh wilayah, agar meningkatkan pemerataan pendapatan dan kecepatan konvergensi serta mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya di sekitarnya. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, misalnya dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah. Investasi infrastruktur diarahkan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dan merata di seluruh wilayah, khususnya sarana kesehatan. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah tangga. Oleh karena itu peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai upaya memutuskan lingkaran setan kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan konvergensi pendapatan wilayah Kata Kunci: Konvergensi, Ketimpangan, Data Panel GMM
RINGKASAN NURALIYAH: Peran Pengembangan Infrastruktur dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Jawa dan Luar Jawa. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan BAMBANG JUANDA. Proses pembangunan memerlukan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Penempatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak hanya sebagai target utama yang harus dicapai tetapi juga menjadi tolok ukur utama keberhasilan pembangunan terutama dari sisi ekonomi. Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain dari keberhasilan pembangunan adalah menurunnya tingkat kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan tetapi hasilnya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan dengan terjadinya krisis ekonomi rakyat miskin di Indonesia semakin bertambah. Komite Penanggulangan Kemiskinan (2003) berpendapat bahwa langkah-langkah bagi usaha penanggulangan kemiskinan di Indonesia dapat didekati dari 2 (dua) sisi, yaitu peningkatan pendapatan bagi kelompok miskin melalui peningkatan/perbaikan produktivitas dan pengurangan pengeluaran (ongkos biaya hidup) melalui akses yang lebih baik bagi kelompok miskin. Dua strategi tersebut dapat dilakukan jika di suatu wilayah terdapat infrastruktur yang memadai. Ada dua pemikiran (mazhab) dalam melihat hubungan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan (Masika dan Baden, 1997). Kelompok pemikiran pertama, memandang pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi penting dalam upaya pengurangan kemiskinan. Sementara kelompok pemikiran kedua melihat secara skeptis peran infrastruktur pada pengurangan kemiskinan. Kalaupun infrastruktur berperan dalam pertumbuhan ekonomi namun belum tentu terhadap kemiskinan. ‘Benang merah’ dari kedua pemikiran tersebut berkaitan dengan masalah akses, pembiayaan, lokasi, dan jenis infrastruktur. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan di Jawa dan Luar Jawa dan mengetahui peran pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di Jawa dan Luar Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari BPS, PLN, dan sumber lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian meliputi PDRB, angka kemiskinan, panjang jalan, jumlah listrik terjual, volume air bersih, jumlah puskesmas, jumlah tenaga kerja, jumlah penduduk, jumlah rumahtangga dan data-data lainnya yang relevan. Cakupan penelitian ini adalah data panel yang mencakup 26 provinsi di Indonesia dengan periode penelitian tahun 1993-2009. Provinsi yang mengalami pemekaran dikembalikan lagi ke provinsi induknya. Gambaran mengenai perkembangan infrastruktur dianalisis dengan metode desktiptif. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan regresi data panel. Berdasarkan hasil estimasi regresi data, infrastruktur listrik, air bersih, dan infrastruktur kesehatan di Jawa berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan di Luar Jawa hanya infrastruktur listrik dan air bersih yang nyata positif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur jalan baik di Jawa maupun di Luar
Jawa tidak signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pertumbuhan di Jawa dapat menurunkan kemiskinan. Hal yang sebaliknya terjadi di Luar Jawa bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata meningkatkan kemiskinan.Terkait dengan hasil estimasi yang didapat, dimana infrastuktur jalan tidak memberi pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah penting untuk membuat kebijakan dalam pembatasan jumlah kendaraan di Jawa. Selanjutnya pemerintah juga harus memperhatikan perekonomian di Luar Jawa, karena pertumbuhan di Luar Jawa ternyata meningkatkan kemiskinan. Kata kunci: infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan
RINGKASAN NURLATIFAH. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Ketahanan pangan di tingkat nasional atau regional tidak menjamin ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan tapi belum cukup memenuhi ketahanan pangan rumah tangga dan individu (necessary but not sufficient condition). Hal ini ditunjukkan dengan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status ketahanan pangan yang terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA 2009) untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di daerah. Data FSVA 2009 menunjukkan dari 100 kabupaten rawan pangan, lima kabupaten berada di Provinsi Jawa Timur. Hal ini adalah suatu kondisi yang ironis, mengingat banyaknya keunggulan karakteristik Provinsi Jawa Timur namun masih terdapat daerah yang rawan pangan. Bertolak dari hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian mengenai determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) menganalisis deskripsi mengenai dinamika pola konsumsi dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Timur, (2) menganalisis determinan ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur, (3) menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data susenas modul konsumsi tiga tahunan, yaitu tahun 2002, 2005 dan 2008, serta data sekunder lain yang bersumber dari BPS dan DKP. Cakupan penelitian ini terdiri dari 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Derajat ketahanan pangan rumah tangga diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Kecukupan kalori dan protein yang dianjurkan adalah berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 yaitu 2000 kkal/kapita/hari dan 52 gr/kapita/hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, regresi data panel dan regresi logistik ordinal. Pangsa pengeluaran pangan sebagai salah satu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup besar di Jawa Timur. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2002, 2005 dan 2008 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Jika dibandingkan antara perkotaan dan pedesaan terlihat bahwa pangsa pengeluaran pangan di perkotaan memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan pedesaan Kecukupan kalori di Provinsi Jawa Timur masih di bawah standar kecukupan kalori yang dianjurkan. Namun, kecukupan protein di Provinsi Jawa Timur telah memenuhi standar kecukupan protein yang dianjurkan. Jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan terlihat bahwa kecukupan kalori di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan. Namun di sisi lain, kecukupan protein di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Secara agregat, pengeluaran untuk padi-padian cukup besar namun lambat laun mengecil seiring dengan meningkatnya pengeluaran untuk makanan jadi. Pada masyarakat pedesaan terjadi perubahan komposisi pengeluaran pangan. Pada tahun 2002 padi-padian menjadi konsumsi utama masyarakat pedesaan. Namun kemudian terjadi perubahan dengan mengecilnya pangsa padi-padian dan meningkatnya makanan dan minuman jadi. Bahkan pada tahun 2008 konsumsi makanan dan minuman jadi di pedesaan hampir sama dengan konsumsi padi-padian. Adapun tiga komoditi makanan jadi yang paling besar dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan adalah pecel (19,71 persen), makanan ringan anak-anak (14,60 persen) dan mie rebus/bakso(13,36 persen). Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun persentase penduduk yang rawan pangan dari tahun ke tahun mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya persentase penduduk yang tahan pangan. Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan hanya terjadi di pulau Jawa. Hal ini tidak terjadi di Pulau Madura dan pulaupulau kecil di sekitarnya. Ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pangan dan akses pangan. Ketersediaan pangan dicerminkan dari produksi padi karena berdasarkan pola konsumsi, padi merupakan penyumbang kalori terbesar dibandingkan pangan yang lainnya. Ketersediaan padi tidak hanya membuat pangan tersedia secara cukup, namun juga membuka akses bagi pekerja di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa pendapatan dari bekerja di lapangan usaha ini, para pekerja tersebut tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi keluarganya. Selain itu, manfaat dari tersedianya padi adalah pemerintah dapat menjaga harga pangan pokok dalam batas jangkauan daya beli masyarakat. Harga yang terjangkau akan membuat masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang waktu. Rata-rata lama sekolah berpengaruh secara signifikan positif terhadap persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktifitas, output serta pendapatan sehingga akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Peningkatan pendidikan juga akan memberikan pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Salah satu faktor akses pangan adalah terjaminnya distribusi pangan yang baik. Dalam hal ini diperlukan sarana transportasi yang memadai untuk menjamin distribusi bahan pangan dapat sampai dengan baik dari produsen ke konsumen. Panjang jalan dengan kualitas yang baik dan sedang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan persentase rumah tangga yang tahan pangan. Infrastruktur pasar merupakan salah satu akses pangan. Adanya banyak pasar akan memberikan kemudahan bagi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini tentunya akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Hasil pengolahan regresi logistik ordinal menyatakan dari delapan variabel penjelas ada satu variabel penjelas yang tidak signifikan yaitu gender kepala
rumah tangga. Umur kepala rumah tangga signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Semakin bertambah umur kepala rumah tangga maka tingkat kematangan pekerjaan menjadi semakin meningkat. Hal ini akan meningkatkan kehidupan yang lebih mapan dan lebih baik sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Di sisi lain, bertambahnya umur kepala rumah tangga juga akan menambah pengetahuan semakin baik. Pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan. Semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga maka ketahanan pangan rumah tangganya akan semakin baik. Hal ini konsisten dengan analisis ketahanan pangan regional. Daerah tempat tinggal rumah tangga berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Data pengolahan SUSENAS menunjukkan banyaknya status rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan, sehingga peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangannya lebih banyak. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Bertambahnya satu orang anggota rumah tangga akan mengurangi peluang rumah tangga mencapai ketahanan pangan dibandingkan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh budget constraint dimana ketika rumah tangga bertambah jumlah anggotanya dengan pendapatan yang tetap maka akan berkurang pemenuhan kebutuhan makanannya (Hardono dan Kariyasa, 2006). Pendapatan perkapita yang merupakan proxy dari pengeluaran per kapita merupakan variabel ekonomi yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini disebabkan dengan adanya peningkatan pendapatan akan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga maka klasifikasi rumah tangga dibagi sebagai rumah tangga pertanian dan bukan pertanian. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki peluang untuk meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangganya lebih banyak dibandingkan rumah tangga non pertanian. Kondisi ini karena adanya food availibility yang lebih baik. Sumber konsumsi rumah tangga pertanian yang berasal dari produksi sendiri adalah sebesar 17,22 persen, sedangkan rumah tangga non pertanian hanya 7,38 persen. Penerimaan raskin ternyata berpengaruh signifikan dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Bagi rumah tangga yang mendapat raskin maka peluang dikategorikan tahan pangan berkurang dibandingkan yang tidak mendapatkan raskin. Di sisi lain, hasil analisis menunjukkan masih terdapat penyaluran raskin yang tidak tepat sasaran. Kata Kunci : ketahanan pangan, analisis data panel, regresi logistik ordinal
RINGKASAN PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009). Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata. Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang
terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan rata-rata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 2007-2009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya. Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Kata Kunci : P2IPDT, ekonomi, kesenjangan, kemiskinan, panel dinamis model data
RINGKASAN PURWANINGSIH. Tren Konsentrasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan WIWIEK RINDAYATI. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2008). Data PDRB menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Ketimpangan daerah juga terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat bagian utara relatif lebih maju daripada bagian selatan. Disparitas pembangunan ekonomi antar daerah juga merupakan akibat dari persebaran sumber daya yang tidak merata. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi yaitu industri manufaktur. Proses industrialisasi di Indonesia belum selesai, begitupun juga dengan industrialisasi di Jawa Barat. Oleh karena itu perlu kita menelaah lebih lanjut bagaimankah trend perkembangan konsentrasi industri manufaktur tersebut selama proses industrialisasi yang masih terus berlangsung. Kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi di Jawa Barat secara makro didominasi oleh sektor industri pengolahan. Bahkan sektor industri pengolahan, merupakan lapangan usaha terbesar kedua yang menyerap tenaga kerja setelah pertanian. Untuk itu, kajian kebijakan pembangunan dalam pengembangan sektor ini, sangatlah diperlukan, apalagi saat ini sektor industri pengolahan dalam masa recovery setelah terhempas oleh krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional. Selain itu, Jawa Barat merupakan daerah yang dinyatakan sebagai lokasi investasi asing yang sangat progresif. Perkembangan industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai leading sektor yang mendorong sektor lainnya. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian, dengan meminimalkan efek disparitas ekonomi. Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis ketimpangan ekonomi Jawa Barat. 2. Menganalisis dinamika konsentrasi industri manufaktur di Jawa Barat. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai Indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan antar kabupaten/kota di Jawa Barat dari tahun 20012008 masih tergolong tinggi, yaitu berada pada kisaran 0,64 sampai 0,69 dan mempunyai tren menurun. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar kabupaten di Jawa Barat masih terjadi ketimpangan pendapatan. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi
terhadap PDRB dalam perekonomian antar daerah, yang menjadi catatan bagus yaitu bahwa tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota tersebut mempunyai tren yang semakin turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000-2008, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 0,69. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk meyebarkan hasil pembangunan adalah melalui pembentukan WKPP. Dalam setiap WKPP terdapat satu pusat pertumbuhan, dan beberapa daerah pendukung. Pusat pertumbuhan tersebut biasanya mempunyai aktifitas industri dan ekonomi yang padat. Konsentrasi indusri tersebut seharusnya mampu menggerakkan aktifitas ekonomi di daerah konsentrasi dan juga menggairahkan perekonomian di daerah daerah pendukungnya sehingga pada akhirnya kesejahteraan dapat merata. Penemuan menarik, Indeks entropi antar WKPP meningkat terus selama 2001-2008. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren kenaikan konsentrasi industri manufaktur secara spasial. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pembentukan wilayah koordinasi pembangunan lebih berperan dalam menurunkan tingkat ketimpangan dalam satu WKPP. Tendensi terjadinya penyebaran industri manufaktur secara gamblang ditunjukkan oleh tren penurunan kesenjangan dalam satu wilayah koordinasi pembangunan. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena besaran ketimpangan antar WKPP relatif kecil jika dibandingkan dengan ketimpangan dalam satu WKPP. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Barat lebih disebabkan oleh ketimpangan antar kabupaten/kota dalam satu WKPP, namun ketimpangan tersebut bersifat konvergen. Wilayah WKPP yang ketimpangannya relatif tinggi berangsur menurun, sementara daerah yang relatif rendah ketimpanganya justru mengalami kenaikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelompokkan wilayah dengan adanya pusat pertumbuhan dalam setiap WKPP sudah menunjukkan peran yang tepat. Daerah pusat pertumbuhan mampu menyebarkan hasil pembangunan dan mendorong daerah pendukung untuk berkembang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pusat pertumbuhan yang telah mapan tumbuh dengan cepat relatif lebih sulit untuk dikejar daerah pendukungnya. Hasil analisis sebelumnya menyatakan bahwa konsentrasi industri yang semakin meningkat (terkonsentrasi) kurang sejalan dengan ketimpangan ekonomi antar wilayah di Jawa Barat. Banyak terdapat daerah konsentrasi industri, namun dampak yang muncul adalah adanya ketimpangan antar daerah yang tinggi, hal ini mengindikasikan adanya interkoneksi antar daerah yang kurang bagus. Sesuatu hal yang sangat memegang peranan untuk menghubungkan antara pusat pertumbuhan dan daerah pendukung adalah adanya infrastruktur. Permasalahan disparitas regional dan konsentrasi industri tidak akan terlalu menonjol apabila interkoneksi antar daerah sudah bagus. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model, estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri dilakukan dengan metode metode fixed effect GLS dengan memberikan weights: Cross Section SUR (Seemingly Unrelated Regression). Berdasarkan hasil estimasi, faktor-faktor yang secara positip mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur Jawa Barat yaitu ukuran perusahaan, keanekaragaman industri, kepemilikan modal asing, besarnya pasar dan infrastruktur jalan. Tingkat upah dan kebijakan kenaikan BBM mempengaruhi aglomerasi secara negatif, terdapat tiga variabel bebas yang tidak signifikan
mempengaruhi aglomerasi industri yaitu Indeks Persaingan Industri, Orientasi ekspor dan Impor dan Infrastruktur Listrik. Ukuran perusahaan mempunyai hubungan yang positif terhadap menciptaan aglomerasi. Nilai elastisitasnya sangat tinggi yaitu 0,9 yang berarti peningkatan skala ekonomi satu persen akan meningkatkan indeks spesialisasi industri sebesar 0,9 persen, ceteris paribus. Elastisitas variabel indeks keanekaragaman sebesar 0,02 yang berarti setiap kenaikan satu persen indeks keanekaragaman akan meningkatkan konsentrasi industri sebesar 0,02 persen. Variabel kepemilikan modal asing (FDI) mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,007, hal ini berarti peningkatan kepemilikan modal asing sebesar satu persen akan meningkatkan konsentrasi industri sebesar 0,007 persen. Variabel Upah Minimum Regional yang digunakan untuk mengkaji kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan biaya tenaga kerja dan aglomerasi industri di suatu daerah menghasilkan nilai elastisitas -0,000002. Hasil yang diperoleh juga sesuai dengan teori lokasi, yang menyatakan bahwa sebuah pabrik akan memilih berlokasi di daerah dengan tingkat upah yang rendah untuk meminimumkan biaya produksi. Variabel pendapataan daerah digunakan untuk mendekati besarnya pasar. Asumsinya semakin besar PDRB suatu daerah maka semakin besar pula aktivitas ekonomi di daerah tersebut. Variabel ini mempunyai elastisitas sebesar 0,32 yang berarti setiap kenaikan pendapatan di suatu daerah sebesar 1 persen maka akan meningkatkan indeks spesialisasi sebesar 0,32 persen. Variabel orientasi ekspor dan impor yang digunakan untuk mengukur hubungan dengan internasional (oppeness), variabel ini tidak signifikan mempengaruhi terkonsentrasinya suatu industri di Jawa Barat. Hasil ini kurang sesuai dengan teori NEG dan NTT. Kenyataan ini disebabkan subsektor industri manufaktur memang masih menggunakan bahan baku impor, tetapi pemasaran hasilnya sebagian besar di dalam negeri. Variabel indeks persaingan yang digunakan untuk mendekati struktur pasar juga tidak signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa semakin rendah indeks persaingan yang berarti semakin monopolistik dapat membantu dalam menjelaskan konsentrasi geografis industri manufaktur. Variabel infrastruktur listrik hasilnya tidak signifikan mempengaruhi aglomerasi. Hal ini bisa diakibatkan oleh industri pengolahan terutama industri tekstil, pengolahan makanan, dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas mempunyai konsumsi BBM yang jauh lebih dominan daripada konsumsi listrik, sementra fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri itersebut adalah industri dominan di Jawa Barat. Tanda yang negatif variabel dummy kenaikan harga BBM mengindikasikan bahwa proses konsentrasi industri manufaktur terhambat oleh meningkatnya harga beli BBM. Kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2005 mengakibatkan menurunnya konsentrasi industri manufaktur di daerah-daerah aglomerasi. Hal ini disebabkan industri manufaktur banyak menggunakan bahan bakar minyak sehinggga mengakibatkan dampak yang cukup besar. Aglomerasi industri manufaktur di Jawa Barat masih terkonsentrasi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan yang menjadi daerah perluasan aglomerasi yaitu Karawang dan Purwakarta. Sementara secara sektoral industri yang paling dominan di Jawa Barat adalah industri tekstil, dan pakaian jadi yang banyak terdapat di daerah Bandung. Dinyatakan dengan besarnya indeks Harfindahl yang mencapai 1,912 yang berati bahwa konsentrasi industri tekstil
mencapai tingkat pekat.Ukuran perusahan dan persentase penanaman modal asing berpengaruh terhadap aglomerasi sehingga pengaturan penanaman modal asing perlu diawasi dan diarahkan oleh pemerintah agar terjadi penyebaran. Selain mengejar pertumbuhan, pemerataan pembangunan hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. Dalam rangka pemerataan pembangunan perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri di daerahdaerah yang memiliki potensi. Kata Kunci : kesenjangan, konsentrasi industri, Herfindahl Index, data panel.
RINGKASAN R.A. LEISA TRIANA. Pengaruh Subsidi Beras untuk Miskin dan Tanpa Syarat Tunai Langsung untuk Telekomunikasi dan Belanja Tembakau Rumah Tangga Miskin di Jawa. Di bawah arahan SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat adalah pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Komoditi pangan mendominasi pengeluaran rumah tangga miskin namun komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi.Kemajuan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat namun mempengaruhi pola konsumsi. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah rumah tangga di Indonesia (51,99 persen) memiliki telepon seluler. Peningkatan rumah tangga yang memiliki telepon seluler di pedesaan meningkat lima kali lipat sedangkan di perkotaan dua kali lipat selama kurun waktu 2005 – 2008 (BPS 2009). Peningkatan kebutuhan komunikasi sebagai kebutuhan primer diduga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga, tidak terkecuali rumah tangga miskin (RTM). Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi RTM terkait kebutuhan telekomunikasi dan rokok akan difokuskan pada Pulau Jawa mengingat sebagian besar penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa. Adanya subsidi pemerintah dalam bentuk beras miskin dan subsidi langsung tunai diduga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Perubahan permintaan rumah tangga miskin akan diteliti melalui simulasi yang melibatkan subsidi pemerintah dan perubahan harga. Data yang digunakan adalah data pengeluaran/konsumsi RTM di Pulau Jawa yang sampelnya berjumlah 10.848 RTM yang bersumber dari BPS yang diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Metode ekonometrika yang digunakan adalah model LA/AIDS yang mengacu pada model Deaton dan Muellbauer (1980a, 1980b) dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial demografi. Cakupan komoditi yang dikonsumsi terdiri dari kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, rokok dan makanan lainnya) dan kelompok bukan makanan (telekomunikasi, pendidikan dan non makanan lainnya). Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel, SPSS 17.0, StataIC 10 dan SAS 9.0. Hasil analisis model fungsi permintaan didapatkan elastisitas harga untuk komoditi telekomunikasi bersifat elastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang lebih elastis di perdesaan (-1,87) dibandingkan di perkotaan (-1,55) dan trennya cenderung menurun. Elastisitas
harga silang komoditi telekomunikasi menyatakan hubungan komplementer antara telekomunikasi dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, rokok dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi telekomunikasi termasuk barang mewah. Elastisitas pengeluaran untuk komoditi telekomunikasi lebih tinggi di perdesaan (1,08) dibandingkan perkotaan (1,05). Elastisitas harga untuk komoditi rokok bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang hampir sama antara perkotaan (-0,97) dan perdesaan (-0,96) dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah. Elastisitas pengeluaran untuk komoditi rokok lebih tinggi di perdesaan (2,18) dibandingkan perkotaan (2,05). Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi raskin meningkatkan permintaan komoditi pangan, rokok dan telekomunikasi namun menurunkan permintaan komoditi non pangan. Penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi BLT meningkatkan permintaan untuk semua komoditi. Persentase perubahan permintaan terbesar adalah komoditi rokok dan telekomunikasi. Berdasarkan hasil simulasi maka penulis menyarankan kepada pemerintah dalam menerapkan kebijakan subsidi kepada rumah tangga miskin sebaiknya tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang. Hal ini mengingat preferensi rumah tangga miskin yang lebih mengutamakan rokok dan telekomunikasi dibandingkan makanan pokok bila ada tambahan proporsi pengeluaran. Kata kunci: subsidi, telekomunikasi, rokok, rumah tangga miskin, konsumsi, LA/AIDS
i
RINGKASAN SOEKARNO. Analisis Dampak Dana Alokasi Umum terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Aceh Tahun 2004-2009. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan MUHAMMAD FIRDAUS Proses pembangunan jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam pembangunan (Nazara,2010). Ada empat proses perubahan struktur ekonomi dengan peningkatan pendapatan perkapita, salah satunya adalah masalah distribusi baik distribusi pendapatan maupun faktor produksi. Indonesia yang selama pemerintahan orde baru menggunakan sistem sentralistik menyebabkan ketidakmerataan, dimana hampir 60 persen perekonomian terjadi di Pulau Jawa. Hal ini juga terjadi di Provinsi Aceh dimana 80 persen kegiatan perekonomian dikuasai daerah yang berada di Pesisir Timur. Menyadari hal ini pemerintah pada tahun 1999 melakukan perubahan besar pada sistem pemerintahan dan keuangan dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Dana Perimbangan. Kebijakan ini lebih dikenal dengan desentralisasi. Salah satu tujuan desentralisasi adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan dan memberikan kewenangan yang lebih baik masalah pemerintah dan keuangan. Desentralisasi fiskal yang merupakan kebijakan pemberian kewengangan pengaturan keuangan oleh pemerintah daerah bertujuan untuk memperkecil kesenjangan fiskal masing-masing daerah. Untuk menunjang kebijakan desentralisasi adalah dengan memberikan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Salah satu dana transfer yang bersifat block grant atau dengan kata lain penggunaannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini diberikan untuk tujuan memperkecil kesenjangan fiskal daerah yang pada akhirnya akan memperkecil ketimpangan wilayah dan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah daerah terhadap pendapatan perkapita dan dana alokasi umum terhadap ketimpangan di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan data panel dinamis dengan periode tahun 2004-2009 dan sebanyak 20 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Hasil dari penelitian ini pada model menunjukkan bahwa rasio pengeluaran pendidikan memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan perkapita. Pada model kedua terlihat bahwa DAU/APBD memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan ketimpangan demikian halnya pendapatan perkapita. Selain itu juga terlihat bahwa daerah Pantai Barat memberikan dampak penurunan yang lebih besar terhadap ketimpangan pendapatan dibandingkan dengan Pantai Barat. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa perlu pengawasan dan penetapan standar penggunaan dana alokasi umum agar tepat pada tujuan dari desentralisasi yaitu memperkecil kesenjangan fiskal daerah yang pada akhirnya memperkecil ketimpangan pendapatan Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal , Dana Alokasi Umum, Ketimpangan Pendapatan
RINGKASAN SRI WAHYUNI: Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL dan RATNA WINANDI. Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,15 persen atau sekitar 32 juta penduduk pada tahun 2009. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang sifatnya bantuan bukan solusi yang tepat karena hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan pemerintah kurang mempertimbangkan keragaman penyebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan wilayah yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, (2) merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di kedua kawasan tersebut. Data yang digunakan meliputi kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, pengangguran, UMP, jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan, PDRB perkapita dan data lainnya yang relevan. Sebagian besar data bersumber dari BPS. Kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan konsep BPS. Cakupan analisis 26 provinsi yang terbagi dalam Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dengan periode penelitian 2000-2009. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia adalah pengangguran. Hasil ini mempunyai implikasi bahwa program penanggulangan kemiskinan yang berbasis bantuan bukan solusi yang tepat karena yang dibutuhkan masyarakat adalah lapangan pekerjaan. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan temuan adanya perbedaan penyebab kemiskinan di kedua kawasan. Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi terutama di Pulau Jawa dan Bali dengan tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian primer sebagai mata pencaharian utama. Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia disebabkan kurangnya penduduk yang berarti tenaga kerja rendah dan kurangnya ketersediaan fasilitas publik seperti infrastruktur jalan dan listrik. Ketersediaan infrastruktur yang rendah akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. dengan demikian program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif mengatasi kemiskinan. Perbedaan penyebab kemiskinan tersebut dapat sebagai bukti bahwa program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif menanggulangi kemiskinan.
Kebijakan transmigrasi sebaiknya dilakukan untuk pemerataan penduduk, pengurangan pengangguran, meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pembangunan baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Berkaitan dengan sektor pertanian, pengurangan jumlah pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia harus dilakukan karena jumlahnya yang melimpah sementara lahan semakin sempit membuat penambahan jumlah pekerja pertanian tidak lagi memberikan nilai tambah tetapi justru akan menurunkan produktivitasnya. Pengembangan usaha agroindustri akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat dialihkan menjadi pekerja di usaha agroindustri. Berkembangnya usaha tersebut akan menambah lapangan pekerjaan sehingga dapat mempekerjakan banyak tenaga kerja dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Terkait dengan kualitas sumberdaya manusia, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Pemberian beasiswa bagi masyarakat miskin perlu ditingkatkan sampai jenjang SMU agar setelah lulus dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keteampilan dapat meningkatkan produktivitas kerja mereka yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya dan rantai kemiskinan bisa terputus. Pada Kawasan Timur Indonesia, prioritas kebijakan seyogyanya lebih difokuskan pada penambahan jumlah penduduk. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan pembangunan. Terkait dengan aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, kegiatan pertanian masih menjadi prioritas. Menurut hasil pengamatan, penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan menurun. Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama membangun infrastruktur agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terbukti berbeda. Maka dari itu dalam upaya menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kebijakan yang berbeda pula. Saran yang dapat dipertimbangkan adalah kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia harus lebih ditekankan pada transmigrasi dan pengembangan usaha berbasis agroindustri. Pada Kawasan Timur Indonesia, kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan lebih difokuskan pada penambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur. Kata kunci: kemiskinan, Kawasan Barat Indonesia, Kawasan Timur Indonesia, analisis regresi data panel, rumusan kebijakan
RINGKASAN SUSI METINARA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia Tahun 2000-2009. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan TONY IRAWAN. Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) menyebutkan bahwa sektor manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara atau wilayah (Dasgupta dan Singh, 2006). Adanya teori tersebut memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi ternyata dalam beberapa tahun terakhir terjadi gejala deindustrialisasi (deindustrialization) pada negara-negara maju. Rowthorn dan Wells (1987) melihat gejala deindustrialisasi dari sisi proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja yang semakin menurun (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997). Sedangkan Blackaby (1979) melihat gejala deindustrialisasi dari penurunan proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) (Jalilian dan Weiss, 2000). Pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak seimbang dimana pertumbuhan hanya bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa (sektor non-tradeable). Sedangkan sektor barang yang erat kaitannya dengan produksi dan perdagangan (sektor tradeable) mengalami pertumbuhan yang cenderung menurun dan jauh dibawah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor non-tradeable. Selama periode 2000-2009, rata-rata pertumbuhan sektor non-tradeable sebesar 6,92 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87 persen. Sedangkan ratarata pertumbuhan sektor tradeable sebesar 3,46 persen jauh dibawah rata-rata pertumbuhan sektor non tradeable dan pertumbuhan ekonomi (Basri, 2009).Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih banyak dipacu dari dalam sehingga sulit tumbuh di atas tingkat potensialnya. Pangsa output sektor manufaktur terhadap PDB beberapa tahun terakhir mengalami penurunan dari sekitar 28,72 persen pada tahun 2002 menjadi 26,38 persen pada tahun 2009. Selain itu pertumbuhan output sektor manufaktur sejak tahun 2005 mengalami perlambatan. Pada tahun 2005, sektor manufaktur tumbuh sebesar 4,60 persen dan terus menurun hingga mencapai pertumbuhan 2,11 persen pada tahun 2009. Sedangkan proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja beberapa tahun terakhir juga mengalami perlambatan. Pada tahun 2003, proporsi pekerja sektor manufaktur sebesar 12,40 persen menurun menjadi 12,07 persen. Keadaan ini merupakan salah satu gejala terjadinya deindustrialisasi. Perekonomian Indonesia saat ini sangat tergantung pada ekspor komoditas primer (ekspor non manufaktur). Pada tahun 2008, ekpsor non manufaktur tumbuh sebesar 29 persen. Sedangkan ekspor manufaktur hanya tumbuh sebesar 9 persen. Ketergantungan tersebut membuat pemerintah Indonesia terlena untuk mengembangkan industri manufaktur yang berdaya saing internasional. Gejala lain terjadinya
deindustrialisasi adalah semakin melemahnya daya saing perekonomian Indonesia di kancah perekonomian dunia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun peringkat daya saing Indonesia mengalami kemerosotan. Pada tahun 2003, Indonesia berada di peringkat 49 dan pada tahun 2010 menjadi peringkat 35. Walaupun peringkat daya saing perekonomian Indonesia membaik, akan tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan negara Malaysia, Taiwan, dan China yang memulai industrialisasinya belum lama ini. Berdasarkan fakta yang terjadi, penelitian ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia dan mengkaji apakah globalisasi ekonomi memengaruhi terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Penelitian ini mencakup semua wilayah yang ada di Indonesia dengan tahun analisis 2000-2009. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Metode analisisnya menggunakan pendekatan model ekonometrik untuk data panel yang mencakup 26 provinsi selama periode 2000-2009. Estimasi model menggunakan pendekatan metode Fixed Effect-General Least Square (FE-GLS). Variabel yang digunakan untuk menggambarkan deindustrialisasi dalam penelitian ini (dependent variable) adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja, pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas. Sementara variabel yang digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi (independent variable) adalah pendapatan per kapita, pertumbuhan produktivitas, keterbukaan ekonomi (openness), penanaman modal asing (PMA), jumlah tenaga kerja terampil (human capital), dan tingkat pengangguran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas) serta globalisasi ekonomi (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal asing) berpengaruh terhadap deindustrialisasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak. Selain itu, human capital (jumlah tenaga kerja terampil) turut berpengaruh terhadap deindustrialisasi walaupun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian, memperlihatkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir merupakan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan melainkan akibat sejumlah guncangan (shock) dalam sistem perekonomian.Guncangan (shock) tersebut ditunjukkan dengan analisis faktorfaktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah menurunnya investasi asing langsung (foreign direct investment) khususnya nilai realisasi penanaman modal asing (PMA) di sektor sekunder (manufaktur), dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri. Selain itu deindustrialisasi negatif yang terjadi di Indonesia ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat (stagnan) dan masih tingginya tingkat pengangguran. Secara tidak langsung tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing langsung mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia melalui peningkatan pendapatan per kapita dan produktivitas sektor manufaktur. Secara langsung dengan meningkatnya produktivitas maka produk manufaktur mampu bersaing di pasar global. Selain itu
dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan demand produk manufaktur, sehingga output juga meningkat. Seiring dengan peningkatan output maka permintaan akan tenaga kerja juga akan meningkat.Saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlu adanya kerangka paket kebijakan ekonomi yang berimbang antara kebijakan fiskal dan moneter, menciptakan iklim investasi yang kompetitif, perbaikan infrastruktur terutama infastruktur perdagangan luar negeri serta peningkatan ketrampilan tenaga kerja melalui link and match antara pelaku industri dan akademisi. Keterbukaan ekonomi (openness) dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan meningkatkan ekspor yang mampu bersaing di pasar global. Untuk dapat meningkatkan daya saing global, pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menurunkan suku bunga kredit sehingga sektor manufaktur dapat bergairah serta mengurangi beban hutang luar negeri swasta. Kata kunci: deindustrialisasi, keterbukaan ekonomi, penanaman modal asing, panel data
RINGKASAN TITIEN KRISTININGSIH. Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekspor Karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan YUSMAN SYAUKAT. Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Ada tiga negara yang menguasai pasaran karet dunia yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia. Sampai dengan tahun 2008, Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar karet alam Indonesia. Volume ekspor karet alam Indonesia mencapai lebih dari 90 persen dari total produksi karet nasional, sedangkan sisanya (7-10 persen) diserap oleh industri dalam negeri. Rendahnya konsumsi karet alam domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis karet alam.Volume ekspor terkait erat dengan nilai tukar. Nilai tukar rupiah per dolar AS berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada beberapa tahun tertentu, depresiasi nilai tukar ternyata tidak diiringi dengan peningkatan ekspor karet alam. Demikian juga apresiasi yang terjadi pada beberapa tahun tertentu justru diiringi dengan kenaikan volume ekspor karet alam Indonesia ke pasar internasional. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka pendek maupun jangka panjang antara nilai tukar riil terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang, dan mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan nilai tukar riil dan variabel independen lainnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), World Bank, International Monetary Fund (IMF), Gapkindo, Bank of Thailand, Federal Reserve Economic Data, Japan Cabinet Economic Data dan sumber-sumber data lain. Negara-negara yang menjadi obyek penelitian adalah Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan importir utama karet alam Indonesia. Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder dan bentuk datanya adalah time series triwulanan dari periode 1996 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan analisis VECM. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Excel 2003 dan Eviews 6.0.Pada jangka pendek, volume ekspor pada lag 1 mempengaruhi ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dan Jepang. Variabel yang mempengaruhi ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat secara signifikan dan positif dalam jangka panjang adalah nilai tukar riil, harga internasional karet alam dan harga karet alam negara kompetitor. Sebaliknya pada perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang, harga internasional karet alam dan harga karet alam negara kompetitor berpengaruh signifikan namun negatif. Besarnya pengaruh perubahan nilai tukar riil pada ekspor karet alam ke Amerika Serikat negatif, namun positif pada ekspor karet alam ke Jepang. Kata Kunci: Nilai tukar, ekspor, karet alam, VAR, VECM
RINGKASAN TITUK INDRAWATI. Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 2005-2009. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NUNUNG NURYARTONO. Terjadi kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah, sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Prasetyo, 2010). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama, dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya, yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah. Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Bertolak
dari hal-hal tersebut di atas maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri; (2) Menganalisis sumbangan investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama tahun 2005-2009; (3) Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun menurut jenis yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dengan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. Metode analisis deskriptif yang
digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai beberapa data yang diperoleh. Analisis rasio kemandirian fiskal digunakan untuk menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar (ekstern). Analisis data panel digunakan untuk melihat pengaruh dan dampak investasi pemerintah baik total maupun menurut jenis yang dibelanjakan terhadap perekonomian Kawasan Timur Indonesia. Analisis kinerja keuangan daerah diukur menggunakan rasio kemandirian fiskal yang dapat melihat ketergantungan suatu daerah dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2005 hingga 2009, rasio kemandirian provinsi di KTI berada di tingkat 0-25 persen yang
berarti memiliki pola instruktif dengan pemerintah pusat, tingkat ketergantungan dengan pemerintah pusat masih sangat tinggi. Provinsi di KTI yang memiliki rasio kemandirian daerah tertinggi pada tahun 2009 adalah provinsi yang sudah stabil dan memiliki pendapatan asli daerah terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya memiliki rasio kemandirian yang rendah namun juga daerah di KTI memiliki pola yang semakin menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dalam hal ini, investasi pemerintah terbagi atas enam bagian yaitu tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan; asset tetap lainnya; serta investasi lainnya. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya. Anggaran pemerintah dalam melakukan investasi adalah sebesar rata-rata 27,67 persen setiap tahunnya dari total anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Provinsi di KTI yang sedang giat menggalakkan pembangunan dan berinvestasi dalam membangun daerahnya pada tahun 2009 adalah Papua, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing mencapai 6.022,1; 4.188,8; dan 3.206,4 milyar rupiah pada tahun 2009. Khusus untuk Provinsi Papua Barat memang sedang giat membangun dalam rangka mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya sebagai provinsi terbaru yang terbentuk pada tahun 2005. Hasil estimasi persamaan peranan investasi pemerintah total terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada periode tahun 20052009 menunjukkan bahwa investasi pemerintah memiliki hubungan yang substitusi dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan memang masih sangat terbatas investor swasta akan menginvestasikan pada daerah yang belum berkembang (memiliki return of investment yang lama atau risk investment yang tinggi). Dalam persamaan terlihat yang berperan sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI adalah terpusat pada variabel tenaga kerja dengan elastisitas terbesar yaitu 0,2134 selain pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan produksi KTI masih bersifat padat karya. Sedangkan peranan investasi pemerintah untuk keperluan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-2009 menghasilkan estimasi bahwa yang memiliki peranan langsung adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pada persamaan adalah bersifat komplementer yaitu kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Dengan kata lain, keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Diantara keduanya, yang memiliki peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-2009 adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan dengan elastisitas 0,1503 dibandingkan elastisitas investasi swasta yang hanya 0,0625. Variabel trade openness pada kedua persamaan menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya trade openness dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di KTI. Hubungan yang negative memiliki makna bahwa di KTI nilai impor daerah masih cukup tinggi jika dibandingkan
dengan nilai ekspor. Hal ini sangat dimungkinkan karena daerah di KTI masih memerlukan beberapa barang yang tidak dapat disediakan dari daerahnya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan baku industri yang ada di KTI.Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa arah kebijakan yang disarankan antara lain: (1) untuk meningkatkan PAD perlu mencari alternatif lain dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing serta tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah dan mengembangkan sumber PAD yang non pajak diantaranya membangun BUMD atau usaha milik pemerintah daerah yang profitable, (2) Pemerintah daerah KTI seharusnya tidak meningkatkan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih peningkatan PAD. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor swasta untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan perijinan, perbaikan infrastruktur perekonomian serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal. (3) Pemerintah daerah KTI perlu mengusahakan suatu kebijakan yang dapat mengurangi nilai impor daerah KTI dan meningkatkan nilai ekspor dengan melihat suatu peluang pada perdagangan internasional sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah di KTI. Seperti melakukan substitusi bahan baku industri, himbauan penggunaan produk domestic dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar merupakan produksi domestik daerah. Kata Kunci: Keuangan Daerah, Investasi Pemerintah Daerah, Pertumbuhan Ekonomi Daerah
RINGKASAN TRI ISDINARMIATI. Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan TONY IRAWAN.
Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan hampir disemua sektor sehingga tarif dasar listrik (TDL) ditentukan pemerintah. Kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional PLN, oleh karena itu Pemerintah harus memberikan subsidi agar tidak merugikan PLN. Tahun 2010 subsidi listrik meningkat sebesar Rp 17,3 triliun namun masih terdapat defisit subsidi listrik sebesar Rp 4,87 triliun, sehingga Pemerintah dengan persetujuan DPR harus menaikkan TDL. Kebijakan kenaikan TDL yang berlaku mulai 1 Juli 2010 hanya untuk pelanggan yang berdaya 1300 VA ke atas dengan tingkat kenaikan yang berbeda pada tiap kelompoknya. Kelompok rumahtangga mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen, sedangkan sektor industri kenaikannya dibatasi antara 6 15 persen. Namun awal tahun 2011, PLN mencabut pembatasan kenaikan TDL di sektor industri sehingga kenaikan TDL sektor industri mencapai 20-30 persen. Kenaikan TDL selain bertujuan mengurangi beban subsidi listrik pada APBN juga mencegah subsidi yang salah sasaran, namun juga berdampak luas pada kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia. Penelitian ini mengkaji kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O tahun 2008 dan Tabel SNSE tahun 2008 yang bersumber dari BPS. Data dasar disusun dengan melakukan agregasi dan disagregasi pada Tabel I-O dan Tabel SNSE menjadi 21 sektor. Analisis penelitian menggunakan model CGE INDOMINI (Oktaviani, 2008) yang dikolaborasi dengan model CGE WAYANG (Wittwar, 1999) dan selanjutnya disebut model CGE INDOTDL. Hal yang berbeda pada mdel CGE INDOTDL dengan model INDOMINI adalah rumahtangga dipisah menjadi 2 yaitu rumahtangga berdaya listrik 450VA-900VA (rumahtangga bawah) dan rumahtangga berdaya 1300 VA ke atas (rumahtangga atas). Analisis jangka waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka pendek (short run) dengan asumsi stok kapital dan upah riil tetap dan jangka panjang (long run) dengan asumsi telah terjadi penyesuaian pada stok kapital dan upah riil akibat adanya guncangan dalam perekonomian. Untuk melihat dampak kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dilakukan analisis dengan 4 skenario. Dimana skenario 1 adalah gonjangan harga listrik berdaya 1300 VA ke atas pada sektor industri sebesar 30 persen dan rumahtangga sebesar 18 persen. Skenario 2 adalah gonjangan jika ada peningkatan efisiensi produksi di sektor listrik sebesar 10 persen. Dan skenario 3 merupakan simulasi pada skenario 1 yang diikuti peningkatan efisiensi pada seluruh sektor ekonomi sebesar 1 persen. Sedangkan skenario 4 adalah simulasi dimana skenario 1 jika diikuti kebijakan penurunan PPN pada seluruh sektor sebesar 1 persen. Kebijakan
kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia (skenario 1). Secara makro, kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, konsumsi rumahtangga, dan investasi sekaligus menyebabkan inflasi. Secara sektoral, kebijakan kenaikan TDL berdampak negatif terhadap output, tenaga kerja, dan tingkat harga. Penurunan output dan penyerapan tenaga kerja paling besar terjadi pada industri logam dasar besi, baja dan bukan besi, sedangkan industri semen merupakan sektor yang mengalami kenaikan harga tertinggi akibat kebijakan kenaikan TDL. Dampak kebijakan kenaikan TDL juga berdampak pada penurunan konsumsi pada kedua kelompok rumahtangga, dimana kelompok rumahtangga atas dampak negatifnya jauh lebih besar dibanding rumahtangga bawah.Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan kenaikan TDL baik terhadap kinerja makro maupun sektoral yang cukup besar, maka dilakukan simulasi peningkatan efisiensi di sektor listrik (skenario 2). Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga kebijakan kenaikan TDL bisa dihindari. Peningkatan efisiensi di sektor listrik juga berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Hasil simulasi kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi sebesar 1 persen di seluruh sektor ekonomi (skenario 3) berdampak positif pada peningkatan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, peningkatan total konsumsi dan ekspor walaupun masih mendorong inflasi. Begitu juga dengan kebijakan kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN sebesar 1 persen pada seluruh sektor (skenario 4) yang berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral di Indonesia. Bahkan kebijakan penurunan PPN tersebut mampu mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga kebijakan tersebut sangat efektif untuk mengatasi pengangguran di Indonesia.Selain itu kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi maupun penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi mampu meningkatkan total konsumsi pada tiap kelompok rumahtangga. Dimana dampak terhadap peningkatan total konsumsinya lebih besar pada rumahtangga bawah. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain: (1) sektor listrik sebaiknya meningkatkan efisiensi sebesar 10 persen karena mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga pemerintah tidak perlu menetapkan kebijakan kenaikan TDL, (2) kenaikan TDL yang berdampak meningkatnya biaya produksi pada sektor ekonomi hendaknya diimbangi dengan peningkatan efisiensi oleh produsen sehingga output yang dihasilkan bisa bersaing harga baik dipasar domestik maupun luar negeri (3) Pemerintah perlu membuat kebijakan menurunkan PPN saat perekonomian melemah karena dampak kenaikan TDL, sehingga industri tetap mampu berproduksi dengan harga output sesuai daya beli masyarakat, (4) Pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan TDL harus berperan dalam menarik investor sehingga mau menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah harus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor dengan cara memberikan kepastian hukum, menstabilkan sosial politik dan keamanan. Kata Kunci : TDL, CGE, efisiensi, PPN, perekonomian
RINGKASAN TRI PURWANTO. Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan NOER AZAM ACHSANI. Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun keterbukaan di sektor finansial (financial openness). Keterbukaan ekonomi menggambarkan semakin hilangnya hambatan dalam melakukan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif, dan semakin lancarnya mobilitas modal antarnegara. Secara teori keterbukaan ekonomi memberi keuntungan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Keuntungan dari keterbukaan perdagangan diantaranya berupa pembukaan akses pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Keterbukaan di sektor finansial dapat mendorong masuknya modal asing (capital inflow), serta mempercepat terjadinya akumulasi modal dan transfer teknologi.Berbagai perjanjian ekonomi, baik bilateral maupun regional, disepakati untuk meningkatkan kesiapan negara-negara anggotanya dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Kerjasama regional ASEAN+3 yang dipelopori oleh negaranegara ASEAN ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan dimaksudkan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kutub baru pertumbuhan dunia, selain European Union (EU) di Benua Eropa dan North American Free Trade Area (NAFTA) di Kawasan Amerika Utara. Capaian pertumbuhan ekonomi yang bervariasi antarnegara ASEAN+3 dalam kaitannya dengan liberalisasi perdagangan tidak terlepas dari tingkat kesiapan dan kekuatan masing-masing negara dalam menghadapi persaingan global. Penelitian ini bertujuan untuk: (i) menganalisis dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negaranegara ASEAN+3; (ii) menganalisis interaksi antara keterbukaan perdagangan dengan faktor-faktor pendukungnya dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi; dan (iii) merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian.Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari World Bank, IMF, UNESCO, Badan Pusat Statistik (BPS), dan sumber-sumber lainnya. Cakupan penelitian meliputi delapan negara ASEAN+3 yakni Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, China, Jepang, dan Korea Selatan dengan menggunakan data tahunan dari 1999 hingga 2008. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode data panel statis dan data panel dinamis. Spesifikasi model penelitian merujuk pada model yang dipakai oleh Chen dan Gupta (2006) serta Chang et al. (2009), selanjutnya dilakukan penyesuaian dan penambahan beberapa variabel. Berdasarkan pengujian pada ketiga model data panel statis yakni pooled least square (PLS), fixed effect model (FEM), dan random effect model (REM) diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih baik dibandingkan dengan dua metode lainnya. Sementara itu, pengujian pada model data panel dinamis menggunakan uji Sargan dan statistik Arrelano-Bond m1 dan m2 tidak menghasilkan suatu metode estimasi yang memiliki validitas instrumen sekaligus konsistensi sesuai harapan. Penggunaan metode FD-GMM menghasilkan estimasi yang valid namun
tidak memiliki konsistensi yang baik pada statistik m1, sedangkan penggunaan metode Sys-GMM menghasilkan estimasi yang tidak valid. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 selama kurun waktu 1999-2008. Kontribusi positif keterbukaan perdagangan pada perekonomian terlihat dari arus pertukaran barang dan jasa yang semakin lancar dan tren ekspor neto yang semakin meningkat. Dampak positif keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar di kelompok negara sudah maju (kelompok NSM) seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan dibandingkan dengan di kelompok negara sedang berkembang (kelompok NSB). Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara yang sudah maju memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi persaingan global, khususnya dalam hal permodalan, infrastruktur, penguasaan teknologi, dan kualitas modal manusia. Dampak positif keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi akan bertambah besar apabila diikuti oleh penanaman modal asing (PMA), penyaluran kredit domestik oleh sektor perbankan, ketersediaan infrastruktur listrik, serta kondisi perekonomian dan harga-harga yang prospektif untuk kegiatan ekonomi. Dampak positif keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berkurang ketika disertai oleh peningkatan jumlah pekerja dan mahasiswa perguruan tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan keterbukaan di negara-negara ASEAN+3 tidak banyak menyerap tenaga kerja, khususnya di kelompok NSB seperti Indonesia dan Philipina. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa implikasi kebijakan dapat diterapkan oleh negara-negara ASEAN+3 yaitu: 1. Mengembangkan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja (labour intensive industry) terutama di negara-negara berkembang (kelompok NSB) yang memiliki jumlah tenaga kerja relatif melimpah seperti Indonesia, Philipina, dan China. Cara yang dapat ditempuh antara lain dengan meningkatkan akses usaha kecil dan menengah (UKM) kepada kredit perbankan dan infrastruktur publik, yaitu melalui: (i) penerapan suku bunga yang lebih rendah (subsidi bunga pinjaman); (ii) penjaminan agunan oleh pemerintah; (iii) relaksasi peraturan bank sentral dalam pemberian kredit usaha; dan (iv) pemberian insentif ekonomi untuk mengakses infrastruktur, khususnya energi. 2. Mengembangkan perekonomian yang berbasis pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based economy) khususnya di negaranegara maju (kelompok NSM). Cara yang dapat dilakukan adalah mendorong kegiatan riset dan pengembangan yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan industri (link and match), serta menyediakan kualitas modal manusia yang terampil dan kreatif, yaitu melalui: (i) pemberian insentif kepada peneliti dan lembaga-lembaga riset, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta; (ii) penjaminan hak paten dan hak atas kekayaan intelektual lainnya; (iii) peningkatan kualitas modal manusia yang didukung oleh kerjasama antara lembaga akademik dengan industri. Kata kunci: keterbukaan perdagangan, pertumbuhan ekonomi, analisis data panel
RINGKASAN WILING ALIH MAHA RATRI. Dampak Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan TONY IRAWAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi (output) suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Aktivitas pemerintah secara langsung maupun tidak langsung seharusnya mempengaruhi total output (PDB). Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan tenaga kerja bertambah.Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen PDB. Pengeluaran publik merupakan biaya aktivitas pemerintah, termasuk di dalamnya penyediaan barang dan jasa, produksi, dan transfer penerimaan. Pengeluaran pemerintah pusat digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Negara (APBN), sedangkan pengeluaran pemerintah daerah digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Daerah (APBD). Undang-Undang yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yaitu Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut bersama dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam rangka otonomi daerah sebagai pengganti Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999. Adanya Undang-Undang tersebut berimplikasi pada munculnya hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan pemerintah. Penerimaan daerah berasal dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana perimbangan merupakan sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintah Daerah, yang berupa transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sebagian besar provinsi hanya mampu menghimpun PAD sekitar 20 persen dari total penerimaannya, sehingga tergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah penentuan prioritas pengeluaran pemerintah berdasarkan penerimaannya tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun rencana anggarannya. Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya yaitu tingkat pengangguran, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan tenaga kerja bertambah dan pengangguran berkurang. Tujuan dasar pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata hanya untuk mengejar pertumbuhan PDB atau PDRB, namun juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan antar
masyarakat, karena ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat juga merupakan permasalahan pembangunan. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi gagal untuk mengurangi bahkan menghilangkan besarnya kemiskinan absolut maka pertumbuhan PDB per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah; (2) Mengevaluasi dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan; (3) Mengevaluasi dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan; (4) Merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja perekonomian. Untuk meneliti dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan digunakan metode Three Stage Least Square (3SLS). Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel endogen. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1983) keberadaan dua atau lebih variabel endogen memerlukan pembentukan beberapa model tambahan. Simultanitanitas dapat menyebabkan estimator parameter OLS menjadi tidak konsisten. Model pada penelitian ini mengacu pada penelitian Sumedi (2005). Untuk mengetahui dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan maka dilakukan beberapa simulasi,dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Simulasi dari sisi penerimaan dilakukan dengan meningkatkan pajak, retribusi, bagi hasil SDA, bagi hasil pajak, dan DAU masing-masing sebesar 10 persen. Simulasi dari sisi pengeluaran dilakukan dengan meningkatkan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen, pengeluaran industri sebesar 100 persen, dan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen. selain itu dilakukan simulasi campuran, yaitu peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran pertanian, peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran industri, dan peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran infrastruktur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap penerimaan pajak adalah PDRB, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Sedangkan faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi yaitu PDRB sektor non pertanian, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Faktor-faktor tersebut berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap bagi hasil pajak yaitu PDRB perkapita dan investasi, kedua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap bagi hasil pajak. Faktor yang mempengaruhi bagi hasil SDA adalah PDRB pertambangan dan penggalian, PDRB pertambangan dan penggalian berpengaruh nyata positif terhadap bagi hasil SDA. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil pajak adalah PDRB per kapita dan investasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAU secara nyata adalah kapasitas fiskal, total pengeluaran, jumlah penduduk dan luas wilayah. Selain kapasitas fiskal, semua faktor berpengaruh positif terhadap DAU. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah menurut sektor yaitu PDRB masing-masing sektor, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran pemerintah menurut sektor tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektoral yaitu pengeluaran pemerintah menurut sektor, tenaga
kerja sektoral, dan investasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja sektoral yaitu PDRB sektoral dan tenaga kerja sektoral lain. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap persentase penduduk miskin adalah PDRB per kapita, garis kemiskinan, trend dan lag persentase penduduk miskin.Hasil dari analisis dampak adalah peningkatan pajak, retribusi, bagi hasil SDA, bagi hasil pajak, dan DAU berdampak positif pada peningkatan penerimaan pemerintah, dan selanjutnya berdampak positif juga terhadap pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran pertanian, industri, dan infrastruktur berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dan berdampak negatif pada ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Peningkatan pengeluaran industri berdampak paling besar terhadap peningkatan PDRB, penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, begitu juga peningkatan DAU yang disertai peningkatan pengeluaran industri, sedangkan pengeluaran pertanian berdampak paling besar terhadap penyerapan tenaga kerja, begitu juga peningkatan DAU yang disertai peningkatan pengeluaran pertanian. Untuk provinsi di Pulau Jawa dan luar Jawa, pengeluaran industri merupakan jenis pengeluaran yang memberikan dampak terbesar terhadap PDRB. Tetapi dalam hal penyerapan tenaga kerja, pengeluaran pertanian memberikan dampak yang lebih besar dari pada pengeluaran industri. Pengeluaran industri memberikan dampak terbesar dalam penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan.
Kata Kunci :
penerimaan pemerintah, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan, kemiskinan, persamaan simultan
RINGKASAN WINANTI APSARI. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan MUHAMMAD FINDI ALEXANDI. Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan dan kelautannya. Laut Indonesia memiliki luas kurang lebih 3,1 juta km 2 (perairan laut teritorial 0,3 juta km 2 dan perairan nusantara 2,8 juta km 2) dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas lebih kurang 2,7 juta km 2 menyimpan banyak jenis ikan dan hasil perairan laut lainnya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat penting. Ikan tuna sebagai komoditas ekspor perikanan kedua telah menyumbangkan devisa pada tahun 2006 sebesar US$ 250.567 juta atau naik sebesar 17,95 persen dari ekspor ikan tuna pada tahun 2002 yang mencapai US$ 212.426 juta. Ekspor ikan tuna Indonesia selama 25 tahun terakhir ini memiliki pertumbuhan rata-rata yang positif dengan laju pertumbuhan rata rata volume sebesar 6.03persen dan 11.79 persen untuk laju pertumbuhan nilainya. Pasar ikan tuna terbesar di dunia saat ini adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ekspor ikan tuna ke Jepang sebesar 27 persen, dan ke Amerika Serikat 17 persen sedangkan ke Uni Eropa juga cukup besar volume dan nilainya yaitu sebesar 12 persen (FAO,2006). Di kawasan ASEAN, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara produsen ikan tuna setelah Thailand. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat eksploitasi baik dari segi jumlah maupun teknologi penggunaan alat tangkap. Mengingat bahwa perairan Indonesia masih luas maka peluang untuk meningkatkan produksi masih besar dan itu berarti juga peluang untuk meningkatkan ekspor sebagai penambah devisa negara juga besar. Penelitian ini menggunakan data sekunder, data time series dari tahun 1990-2009 bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), situs FAO, situs COMTRADE, IFS, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Buletin Infofish, Bank Indonesia, dan Kementrian Perdagangan. Selain itu data juga dilengkapi dengan laporan hasil penelitian, jurnal yang berkaitan dengan topik kajian. Metode yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif mengenai perkembangan volume produksi dan ekspor ikan tuna di Indonesia ke negara tujuan ekspor utama yaitu Jepang, Amerika dan Uni Eropa, untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan ekspor ikan tuna Indonesia. Metode yang kedua adalah analisis permintaan ekspor ikan tuna di Indonesia di pasar internasional, metode yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan Three Least Square untuk menghilangkan autokorelasi dan heterokedastisitas. Program yang digunakan adalah program Eviews dan microsoft excel 2007 untuk mengolah data dengan simultan equation model. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan tuna Indonesia secara signifikan adalah Interest Rate (Suku Bunga Riil), Produksi Ikan tuna tahun yang
lalu, Trend sebagai proxy perkembangan tekhnologi, dan Kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan produksi ikan tuna Indonesia seperti pengurusan izin usaha yang dipermudah, perbaikan pelabuhan dan pembangunan cold storage yang memadai, proteksi keamanan dengan penyelesaian masalah illegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Sedangkan variabel Jumlah Kapal dan Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada proses usaha produksi mempengaruhi secara positif namun tidak signifikan terhadap produksi ikan tuna Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor ikan tuna Indonesia di pasar internasional dianalisis dengan melihat karakteristik permintaan ekspor tiga negara pengimpor terbesar yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Faktorfaktor yang secara signifikan berpengaruh adalah harga ikan tuna Indonesia di negara tersebut, harga salmon sebagai ikan substitusi ikan tuna, harga ikan tuna thailand sebagai eksportir selain Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor, GDP negara pengimpor, jumlah penduduk, tarif yang diberlakukan terhadap impor ikan tuna asal Indonesia, dan konsumsi ikan tuna perkapita. Produksi dan ekspor ikan tuna Indonesia ternyata dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Indonesia dan kebijakan yang diterapkan negara pengimpor. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mendorong produksi ikan tuna dan meningkatkan ekspor perlu terus dilakukan, disamping proyek meningkatkan mutu pangan masyarakat Indonesia dengan membudayakan makan ikan yang akan meningkatkan konsumsi domestik ikan tuna Indonesia. Kebijakan meningkatkan konsumsi domestik akan menurunkan permintaan ekspor karena harga yang meningkat bila tidak dibarengi dengan meningkatkan produksi ikan tuna Indonesia. Kebijakan penghapusan tarif di negara Jepang akan meningkatkan permintaan ekspor ikan tuna dari negara Jepang, yang akan mensubstitusi dan menurunkan permintaan ekspor ikan tuna Indonesia dari Amerika dan Uni Eropa bila produksi tidak dapat ditingkatkan. Penurunan harga di Amerika Serikat juga akan meningkatkan permintaan ekspor ikan tuna Indonesia dari Amerika Serikat, dan mensubstitusi permintaan ikan tuna di negara-negara yang lain juga bila produksi ikan tuna tidak ditingkatkan. Kata Kunci: Ekspor ikan tuna Indonesia, Persamaan simultan, Data time series, Kebijakan.