Dated/15-03-07 (rev4)
RICE IMPORT SURGE IN INDONESIA (SERBUAN IMPOR BERAS DI INDONESIA)
By M. Husein Sawit Erna Maria Lokollo Report prepared for the Actionaid International Collaboration with Indonesian Center for Agriculture Socio Economic and Policy Studies (ICASEPS)
Bogor March 2007
TABLE OF CONTENTS
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Acknowledgements Abbreviations Executive Summary Introduction • Important of Domestic Food Production and Rice • Rice in the International Setting • Nature of Import and Its Impact • Methodology • Objective of Study SSG and SSM for Developing Countries • SSG not Effective • Proposal G-33 on SSM • Modality on Import Surge • Modality on Falling in Price Rice Production and Market Pattern • Role of Rice • Rice Production • Rice Consumption and Food Substitute • Rice Import and Import Surge Impact Assessment • Importance of West Java in Indonesian Rice • Input output of Rice Farming • Impact on the Farmers • Impact on the Collectors/Traders • Impact on the Millers • General Impact Policy and Regulatory Environment • Monopoly and Strong Support • Radical Liberalization • Protection via Tariff • Import Ban Conclusion and Recommendation References Appendixes
Page i ii iii 1 2 3 5 6 7 8 8 12 12 13 15 15 16 18 21 24 24 25 28 30 31 33 34 34 35 37 42 43 46 49
ABBREVIATIONS
AOA Bulog CBS FAO GBHN GDP IFPRI IMF IP IT KKN LOI MMT MNCs MP MPG MPR MT NTB PATANAS RI RT SAP STE TMT TRR UKM USD USDA UUD45 WTO
Agreement on Agriculture National Food Logistic Agency Central Bureau Statistics Food and Agriculture Organization Garis Besar Haluan Negara (National Guidelines) Gross Domestic Product International Food and Policy Research Institute International Monetary Fund Importir Produsen (Producer Importer) Importir Terdaftar (Registered Importer) Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Collusion and Corruption) Letter of Intend Million Metric Ton Multi National Corporations Musim Paceklik (Lean Season) Musim Panen Gadu (Secondary Harvesting Season) Musim Panen Raya (Main Harvesting Season) Metric Ton Non Tariff Barrier Panel Rural Data Republic of Indonesia Rumah Tangga (Household) Structural Adjustment Program State Trading Enterprise Thousand Metric Ton The Rice Report Usaha Kecil Menengah (Small and Medium Enterprise) US Dollar United State Department of Agriculture Undang-undang Dasar 1945 World Trade Organization
EXECUTIVE SUMMARY 1.
Agriculture has played an important role in Indonesia's economic growth. However, for the last three decades, the share of agriculture in the GDP has declined from more than half in the 70's to just less than a-fifth in the early 2000. Namun demikian peran food crops dalam GDP pertanian masih tinggi, yaitu hamper 50%, tertinggi dari sub-sektor lainnya seperti estate crops, livestock atau fishery. Meanwhile, agriculture sector absorbs around 44 million workers which are 43.7 % of the total employment (90.8 million) of the country.
2.
Food crops dan pangan dalam negeri berperan sangat strategis. Bukan hanya sebagai komoditas sumber penghasil energi/protein, mineral, vitamin serta serat-seratan, tetapi juga berperan sebagai non-food services yang tak ternilai harganya. Yang tercakup dari non-food services tersebut adalah food security, rural development, poverty reduction and rural livelihood. Produksi pangan dalam negeri haruslah dipandang sebagai usaha untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan di wilayah pedesaan. Diantara produk pangan tersebut, beras menduduki peringkat pertama sebagai komoditas terpenting, karena menyangkut ketahanan pangan masyarakat dan melibatkan banyak sekali orang didalamnya, baik sebagai produsen, konsumen maupun diantaranya.
3.
With 12 millions people involve in, and contribute to 27% of the agricultural GDP, paddy/rice industry become the largest industry in the Indonesian economy. Paddy production within the country is 54 million tons, accounted for 9 % of the world production. Indonesia is the third largest rice producer in the world after China and India. The total area harvested is 12 millions hectare per year. Major production centre is concentrated in the Java Island and very few in the off-Java, such as the South of Sulawesi, West Nusa Tenggara, the North and West Sumatera.
4.
Ada dua industri besar yang terkait dengan padi dan beras, yaitu industri padi dan industri beras. Industri beras terkait dengan industri penggilingan padi. Sedangkan industri padi, didominasi oleh industri primer, yaitu usahatani padi. Di industri primer ini, sekitar 11,3 juta orang terlibat didalamnya, yang umumnya didominasi oleh petani sempit dan miskin. Rata-rata kepemilikan lahan pertanian petani pangan ini adalah kurang dari 0,5Ha per rumahtangga.
5.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk melihat dampak dari serbuan impor beras di Indonesia. Secara umum tujuan yang lebih luas adalah untuk: (i) meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan tentang dampak dari serbuan impor beras, (ii) mengidentifikasi kebijakan yang tepat untuk meresponsnya, dan (iii) memberi masukan dan memperkuat posisi G-33 tentang SP dan SSM.
6.
The study was conducted in the four Districts of the Province of West Java in Indonesia, which are the District of Cianjur, the District of Bandung, the District of Indramayu, and the District of Karawang. They are both the pusat penghasil padi utama di Propinsi Jawa Barat. Di masing-masing District dipilih satu desa yang dominan tanaman padi Sehingga studi kasus di 4 desa sample itu diharapkan akan diperoleh data kualitatif dan kuantitatif
yang lebih lengkap, baik yang terkait dengan usahatani, penggilingan padi, maupun aspek perdagangan padi atau beras. 4 Desa terpilih itu adalah juga merupakan desa penelitian PATANAS {Panel Petani NasionaT)-a. baseline and comprehensive surveys, conducted in 2002 and 2005 by the ICASEPS (Indonesian Center for Socio Economic and Policy Studies. In each village, namely Nagrak, Pagelaran, Sampalan, and Rajasinga, around 57 to 102 farmers were taken as samples for a quantitative input-output data of rice farming (made to total of 336 farmers). Di keempat desa sample itu pula, tim melakukan several FGD were conducted to get the qualitative information in December 2006 and January 2007. 7.
The average landholding size of rice farmers are 0.28 hectare (ha) for Nagrak' village, 0.22 ha for Pagelaran' village, 1.21 ha for Sampalan' village, and 0.36 ha for Rajasinga' village. Kecuali desa Sampalan, luas rataan usahatani padi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tempat lain di pulau Jawa. Umumnya usahatani padi, seperti usahatani tanaman pangan lainnya, dikelola oleh petani sempit, dengan luas usahatani kurang dari 0.5 Ha. The majority population in the villages are small farmers households, with the average age of the household's head of 44-47 years old, and the wife being 3-6 years younger. The average household' size is 3-5 people, and the average education attainment is only 3-6 years (primary school). Para pemuda baik pria maupun wanita banyak meninggalkan desa, mencari kerja atau kerja informal di kota, terutama Jakarta dan Bandung. Lapangan kerja amat terbatas di desa, umumnya penggangguran tidak kentara.
8.
Dampak serbuan impor beras dapat dilihat dengan dua tinjauan perspective yang berbeda tetapi saling melengkapi satu dengan lainnya. Tinjauan atau perspective pertama adalah secara makro, yaitu pada tataran nasional dan yang kedua adalah perspective mikro, yaitu di tingkat semua pelaku industri padi/beras atau supply chain actor yang terlibat dalam padi/beras ini dan sangat didasarkan atas temuan di lapangan.
9.
Tinjauan secara makro, dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami import surge beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003 selama periode 1996-2005. Pada waktu import surge 1998-1999, awalnya tidak terasa buat petani/penggilingan padi, karena harga dalam negeri masih lebih tinggi, akibat dari depresiasi Rp terhadap USD. Namun, mulai 1999, harga beras impor lebih murah, karena menguatnya Rp, stabilnya nilai tukar, serta menurunnya harga beras di pasar internasional.
10. Pada era liberalisasi radikal 1998-1999, pemerintah tidak punyak kekuatan untuk melindungi petani padi dari serbuan impor. Kebijakan free trade itu, bukan pilihan pemerintah, namun itu atas "paksaan" dari IMF, sebagai bagian dari stabilisasi ekonomi makro, setelah Indonesia banyak berhutang dari lembaga ini. 11. Sejak 2000-03, pemerintah menetapkan tarif spesifik untuk beras. Tujuannya tidak saja untuk melindungi petani, tetapi juga mengurangi salah urus. Mengontrol volume impor jauh lebih mudah daripada mengontrol nilai beras impor, karena harga beras amat bervariasi antar kualitas, waktu maupun negara eksportir. Ternyata tarif sepesifik itu pun kurang efektif, sehingga pemerintah melakukan inspeksi fisik {red tine) atas beras impor.
Perlindungan via tarif ternyata tidak cukup ampuh untuk melindungi serbuan impor yang terjadi pada 2002 dan 2003. Penyelundupan beras meluas, baik melalui pelabuhan resmi dengan cara under-invoice, atau melalui pelabuhan tidak resmi. Diperkirakan pada waktu itu, separo beras yang masuk ke Indonesia berasal dari penyelundupan. 12. Beras impor baik legal maupun illegal, masuk ke berbagai wilayah di Kalimantan dan Sumatera. Dari wilayah tersebut, kemudian sebagian beras itu mengalir ke kota-kota di pulau Jawa. Harga padi tertekan, karena beras tidak mengalir dari wilayah produksi/desa, akan tetapi malah sebagian beras impor dari kota mengalir ke pedagang grosir di tingkat kabupaten. Oleh karena itu, kejatuhan harga gabah di bawah harga dasax/procurement price meluas. Selama ini tidak pernah terjadi harga gabah di MP lebih rendah dari harga gabah di MPR atau MPG. Kejatuhan harga itu, tentu ada kaitannya dengan pengaruh import surge, terutama untuk 2002 dan 2003. 13. Sejak Januari 2004 impor beras amat dibatasi, hanya untuk keperluan khusus. Bersamaan dengan usaha pemerintah untuk berantas penyelundupan, sejak itu, harga beras dalam negeri menjadi tinggi, perdagangan antar pulau bergairah kembali. Sejumlah penggilingan padi yang bermodal memperluas kerjasama {contract farming) dengan para petani untuk berproduksi sesuai dengan varietas yang diinginkan oleh penggilingan. 14. Dari perspective mikro, penelitian ini menemukan bahwa serbuan impor beras itu tidak secara langsung {direct) dapat dirasakan oleh para stakeholders, terutama petani maupun penggilingan padi. Akan tetapi import surge secara tidak langsung telah menyebabkan tingkat pendapatan rumah tangga petani padi dan pelaku supply chain beras menjadi tertekan. Itu terjadi karena menurunnya harga beras, khususnya di musim paceklik. Para petani terpaksa harus menjual dengan harga per unit yang rendah, dan bagi pedagang/millers hal itu telah mengurangi volume perdagangan gabah/beras. 15. Pengusaha penggilingan padi/beras semakin kesulitan memperoleh bahan baku gabah, karena perluasan hortikultura di lahan sawah. Harga hortikultura berfluktuasi, risiko tinggi, namun selama periode tertentu, mereka memperoleh keuntungan di atas normal dan mampu menutupi kerugian sebelumnya. Ini hanya mungkin, kalau hortikultura itu berdurasi singkat, yaitu sebulan. Diperkirakan daya tampung pasar hortikultura terbatas, dan belum didukung oleh infrastruktur distribusi dan penyimpan yang kuat. Aspek inilah yang harus lebih besar diperankan oleh pemerintah. Sungguhpun hortikultura menguntungkan, namun banyak petani tidak bersedia mengkoversikan seluruh lahannya untuk hortikultura. Sebagian lahannya tetap ditanami padi, dengan alasan ketahanan pangan rumah tangga, serta mengurangi risiko dalam usahatani. 16. Petani/penggilingan/buruh tani lebih mengutamakan kestabilan harga gabah/beras. Harga gabah/beras janganlah terlalu rendah dan jangan pula terlalu tinggi. Kestabilan harga dapat memperkecil risiko berusaha tani, usaha penggilingan padi, serta jaminan akses beras buat buruh atau petani sempit di musim paceklik. 17. Secara umum, import surge terutama 2002 dan 2003, tidak terasa buat petani luas, penggilingan padi. Karena kejatuhan harga tidaklah terlalu lama. Pemerintah dengan
cepat mengoreksi kebijakan perdagangan, sehingga harga beras/gabah terkoreksi dalam jangka waktu yang relatif pendek. Berbagai koreksi kebijakan perdagangan dipilih, seperti penerapan tarif spesifik, inspeksi secara fisik (red line), serta pembatasan impor menurut musim panen padi, serta larangan impor terbatas. 18.
Apabila serbuan impor itu berlangsung lama, misalnya terus menerus berlangsung sampai dengan 3 tahun, akibatnya akan luas. Kemiskinan di desa penghasil beras pasti akan bertambah. Itu terjadi karena penurunan produksi dan pengurangan areal tanam, serta berpengaruh pada pekerjaan sebagai buruh tani. Para petani maupun buruh tani tidaklah mudah mencari kerja sebagai penggantinya di perdesaan, sehingga akan mendorong urbanisasi yang lebih cepat. Di daerah perkotaanpun, masih sulit memperoleh pekerjaan, mengingat tingginya angka pengangguran. Pekerja wanita diperkirakan akan lebih sulit mencari altematif perkerjaan, karena terbatasnya pekerjaan di kota, kecuali mereka yang masih muda dan berpendidikan.
19.
Rekomendasi hasil penelitian ini adalah bahwa Indonesia harus melihat impor beras sebagai instrumen untuk menstabilkah harga beras dalam negeri. Penutupan impor secara total sama kelirunya dengan liberalisasi total. Indonesia harus mampu mengelola impor beras.
20.
Indonesia memerlukan perlindungan sementara .yang efektif dan fleksibel untuk melindungi diri dari ancaman serbuan impor, khususnya beras. SSM seperti yang dirancang dalam Doha Round menjadi amat penting buat negara berkembang, Indonesia khususnya. Itu diperlukan untuk melindungi diri dari serbuan impor. Hal itu bukan berarti negara berkembang anti impor, tetapi dengan itu negara berkembang dapat mengelola impor secara lebih baik.
21.
Instrumen tarif akan efektif, apabila infrastruktur untuk pengawasan diperbaiki, kualitas sumber daya ditingkatkan, serta penggajian mereka harus ditata ulang. Demikian juga pendanaan untuk mendukung pengawasan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan fleksibel penggunaannya. Dalam waktu yang sama, penegakkan hukum dan pencegahan korupsi juga amat diperlukan.
22.
Perubahan NTB ke TB, ternyata tidaklah mudah buat Indonesia. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk persiapan infrastruktur, SDM, penggajian, serta manajemen keuangan, pengawasan dll seperti yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, negara berkembang seperti Indonesia masih memerlukan instrumen NTB untuk melindungi diri dari serbuan impor, sebelum siap dengan instrumen tarif.
23.
Remedy perlindungan SSM akibat dari import surge atau kejatuhan harga, sebaiknya memakai tarif dan NTB. Apabila perlindungan itu hanya tarif belaka, diperkirakan kurang efektif perlindungan via SSM. Setidak-tidaknya perlu ada waktu transisi untuk mempersiapkan diri ke penerapan secara penuh dengan perlindungan TB. Waktu yang diperlukan itu, bergantung sekali pada masing-masing negara berkembang. Itu seharusnya menjadi S&DT yang perlu dipertimbangkan.