ISSN 1410-1939 RESPON WIJEN TERHADAP PUPUK NITROGEN [THE RESPONSE OF SESAME ON NITROGEN FERTILIZER] Djumali1 dan Elly Indra Swari2 Abstract The aim of this study was to investigate the responses of phenological, physiological, growth, and production of sesame as a result of nitrogen fertilization. Glasshouse trial was conducted at Karangploso Experimental Station, Malang, from August through to November 2002. The experiment consisted of two units (one unit was Sumberjo-1 cultivar and the other was Sumberjo-2 cultivar). Five levels of N fertilizer (0, 22.5, 45.0, 67.5, and 90.0 kg ha-1) were applied in a Randomized Block Design with three replicates. Each plot consisted of eight pots with planting space 60 × 25 cm (Sumberjo-1) and 40 × 25 cm (Sumberjo-2). The results showed that the quadratic curve responses were the common forms of sesame response on N fertilizer. Sumberjo-1 was more responsive to nitrogen application than was Sumberjo-2. Maximum plant dry weight, shoot dry weight, capsule dry weight, and yield of Sumberjo-1 were obtained on the application of 536, 953, 294, and 125 kg ha-1 nitrogen, respectively; whereas on Sumberjo-2, they were 103, 86, 62, and 61 kg ha-1, respectively. Key words: sesame, nitrogen, fertilization, spicy crop. Kata kunci: wijen, nitrogen, pemupukan, tanaman rempah.
PENDAHULUAN Pencabutan subsidi sarana produksi pertanian menyebabkan bisnis di bidang pertanian kurang berdaya kompetitif sehingga usahatani yang ada sekarang hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau untuk mengerjakan usahatani rutinitas sambil menunggu usaha di bidang lain. Agar bisnis di bidang pertanian lebih kompetitif, maka perlu dilakukan efisiensi penggunaan sarana produksi pertanian. Salah satu sarana produksi pertanian yang dapat diefisienkan adalah pupuk anorganik. Pada usahatani tanaman wijen, pupuk anorganik yang digunakan adalah nitrogen, fosfat, dan kalium. Pada umumnya aplikasi pupuk tersebut dilakukan menggunakan dosis rekomendasi yang umum. Padahal setiap varietas yang dilepas mempunyai respon yang berbeda terhadap pupuk anorganik. Respon wijen terhadap hara N masih beragam tergantung dari varietas yang digunakan dan kondisi lingkungan. Wijen di India memerlukan pupuk N sebanyak 60 kg ha-1 untuk mendukung pertumbuhan dan produksinya yang optimal (Dauley dan Singh, 1982), sedangkan di Australia dan Indone-
sia sebesar 45 - 50 kg ha-1 (Kadarwati et al., 1994; Machfud et al., 1996). Di sisi lain, tanaman wijen kurang respon terhadap pemupukan P (QuilantanVillarreal, 1983; Kadarwati et al., 1994; Machfud et al., 1996), dan K (Weiss, 1971). Dengan demikian, aplikasi pupuk N dapat dilakukan efisiensinya. Mengingat fungsi hara N yang sangat esensial bagi pertumbuhan dan produksi tanaman wijen dan respon varietas baru terhadap pupuk anorganik belum diketahui, maka sebelum dilakukan efisiensinya perlu dipelajari terlebih dahulu respon varietas wijen tersebut terhadap aplikasi pupuk N. Dua varietas wijen yang baru dilepas adalah Sumberjo-1 dan Sumberjo-2 (Sudarmo dan Suprijono, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon fenologi, fisiologi, pertumbuhan, dan produksi tanaman wijen terhadap aplikasi pupuk N. BAHAN DAN METODA Percobaan pot dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan Karangploso, Malang, dari bulan Agustus hingga November 2002. Percobaan terdiri atas dua unit, yakni satu unit untuk mengetahui respon wijen varietas Sumberjo-1 (tipe bercabang) dan sa-
1 Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. 2 Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361.
83
Jurnal Agronomi 9(2): 83 - 91
tu unit lagi untuk varietas Sumberjo-2 (tipe tidak bercabang). Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji adalah dosis pupuk nitrogen, yaitu 0, 22,5, 45,0, 67,5 dan 90 kg ha-1 atau setara 0, 0,38, 0,76, 1,14, dan 1,52 g urea per pot untuk varietas Sumberjo-1 dan 0, 0,25, 0,50, 0,75, dan 1,00 g urea per pot untuk varietas Sumberjo-2. Polybag berisi 15 kg tanah kering yang letaknya ditata sedemikian rupa sehingga diperoleh jarak tanam 60 × 25 cm untuk varietas Sumberjo-1 dan 40 cm × 25 cm untuk varietas Sumberjo-2. Tanah di dalam polybag diairi sampai kapasitas lapang dan setiap polybag ditanami dengan dua tanaman. Setiap perlakuan dalam satu ulangan terdiri atas 8 polybag. Tiga polybag digunakan untuk pengamatan destruktif pada umur 60 hari setelah tanam (HST) dan 5 polybag untuk pengamatan produksi. Pemupukan N diberikan dua kali, yakni ⅓ dosis diberikan pada saat tanam dan sisanya diberikan pada umur 30 HST. Sedangkan P dan K sebesar 20 kg P2O5 + 60 kg K2O per hektar atau setara dengan 0,42 g SP-36 + 0,76 g KCl per pot untuk varietas Sumberjo-1 dan 0,28 g SP-36 + 0,50 g KCl per pot untuk varietas Sumberjo-2, yang diberikan bersamaan dengan pemupukan N yang pertama. Tanah di dalam polybag dipertahankan dalam kondisi kapasitas lapang hingga akhir fase pengisian buah, lalu dibiarkan mengering sampai panen. Pengamatan dilakukan terhadap peubah fenologi, fisiologi, pertumbuhan dan hasil tanaman. Peubah fenologi yang diamati meliputi umur berbunga dan panen. Peubah fisiologi diamati pada saat fase pertumbuhan puncak, yakni pada umur 60 HST, yang meliputi laju fotosintesis maksimum (Fotmak), laju fotosintesis kotor (Fotkot), laju respirasi, konduktivitas stomata terhadap CO2, dan efisiensi pemanfaatan cahaya untuk mereduksi CO2 dengan metode pengamatan menurut ADC Bioscientific Ltd. (2000) dan Penning de Vries et al. (1989). Pada fase pertumbuhan puncak juga diamati bobot spesifik daun, indeks luas daun, bobot kering tanaman, tajuk, dan akar. Sedangkan pada saat panen, peubah yang diamati meliputi bobot kering buah dan biji. Untuk mengetahui respon wijen terhadap pupuk N dan pengaruh antar peubah, maka data yang diperoleh dianalisis regresi. HASIL DAN PEMBAHASAN Fenologi tanaman Tanaman wijen termasuk tanaman hari pendek, sehingga fenologi tanaman wijen selain dipenga-
84
ruhi oleh fotoperiodisitas juga dipengaruhi oleh ketersediaan air, varietas yang digunakan, dan ketersediaan hara N di dalam tanah selama masa pertumbuhannya (Heddy, 2001). Pengaruh ketersediaan hara N terhadap fenologi tanaman wijen yang mencakup umur berbunga pertama dan umur panen disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa peningkatan dosis pupuk N hingga 90 kg ha-1 diikuti oleh peningkatan penundaan umur pembungaan dan umur panen pada dua varietas wijen dengan membentuk kurva kuadratik. Umur berbunga dan umur panen varietas Sumberjo-1 lebih panjang daripada varietas Sumberjo-2. Penundaan umur berbunga dan umur panen tersebut disebabkan oleh banyaknya hara N yang terserap oleh tanaman dan peranan hara N di dalam tanaman sebagai bahan baku protein. Hasil penelitian Machfud et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan serapan hara N secara linier pada tanaman wijen akibat peningkatan dosis pupuk N. Menurut Heddy (2001), produksi protein secara berlebihan akan mendorong fase pertumbuhan vegetatif lebih lama sehingga umur pembungaan dan umur panen mengalami penundaan. Di sisi lain, ketersediaan hara N yang tinggi di dalam tanaman memicu terbentuknya protein tertentu yang berfungsi menonaktifkan aktivitas gen fotoperiodisitas sehingga menghambat proses pembentukan kuncup bunga (Salisbury dan Ross, 1992). Lebih lanjut dikatakan oleh Sudarmo dan Suprijono (2000) bahwa hara N di dalam tanaman juga merupakan bahan baku sintesis sitokinin, sementara salah satu fungsi sitokinin adalah menghambat penuaan daun dan pembentukan tunas aksilar, sehingga semakin besar jumlah sitokinin yang disintesis akan semakin lama penundaan umur panennya. Adapun lebih panjangnya umur berbunga dan umur panen wijen varietas Sumberjo-1 dibanding Sumberjo-2 lebih banyak disebabkan oleh karakter genetiknya sebagaimana ditunjukkan dalam deskripsinya. Fisiologi daun dan pertumbuhan tanaman Sebagai salah satu bahan pembentuk protein, kadar hara N yang tinggi di dalam tanaman menyebabkan peningkatan jumlah dan ukuran sel daun, sehingga daun yang dihasilkan lebih luas dan tebal (Devlin dan Witham, 1983). Ketersediaan hara N di dalam tanaman dapat dicerminkan oleh dosis pupuk N yang diberikan, seperti dilaporkan oleh Machfud et al. (1996). Sedangkan peubah yang dapat mencerminkan ketebalan daun dan luas daun per tanaman adalah bobot spesifik daun dan indeks luas daun (Sitompul dan Guritno, 1995). Dengan demikian, pengaruh dosis pupuk N terha-
Djumali dan Elly Indra Swari: Respon Wijen terhadap Pemupukan Nitrogen.
dap bobot spesifik daun dan indeks luas daun wijen yang seperti terlihat pada Gambar 2 dapat digunakan sebagai cerminan pengaruh hara N di dalam tanaman terhadap luas dan tebal daun. Gambar 2 memperlihatkan bahwa peningkatan dosis pupuk N hingga 90 kg ha-1 diikuti oleh peningkatan bobot spesifik daun dan indeks luas daun wijen. Hasil serupa juga diperoleh Sundari (1998), di mana peningkatan dosis pupuk N diikuti
oleh peningkatan bobot spesifik daun dan indeks luas daun paprika. Peningkatan bobot spesifik daun diikuti oleh peningkatan kandungan klorofil, karena hara N merupakan salah satu bahan pembentuk klorofil (Mayer dan Anderson, 1952). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara bobot spesifik daun dengan kandungan klorofil.
100
Y1 = 81,97143 + 0,1018 X + 0,00023516 X2
Y1 = 32,70476 + 0,0077249 X + R2 = 0,48*
35
Umur panen (HST)
Umur berbunga (HST)
40
30 25 20
R2 = 0,68**
90 80 70
Y2 = 72,00 + 0,088887 X + 0,000000022068 X2
Y2 = 21,3619 + 0,0019048 X + R2 = 0,39*
15
R2 = 0,81**
60 0
22,5
45
67,5
90
0
22,5
-1
Sumberjo-1
45
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha )
Dosis pupuk N (kg ha )
Sumberjo-2
Sumberjo-1
Sumberjo-2
A
B
65,0
2
Bobot spesifik daun (g m )
Gambar 1. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap umur awal berbunga (A) dan umur panen (B) dua varietas tanaman wijen.
60,0
2
Indeks luas daun
Y2 = 48,16784 + 0,047246 X + 0,00093216 X 2
R = 0,89**
55,0 50,0 45,0
Y1 = 43,63052 + 0,059908 X + 0,00029486 X2
40,0
R2 = 0,74**
35,0 0
22,5
45
67,5
90
4,0 3,8 3,6 3,4 3,2 3,0 2,8 2,6 2,4 2,2 2,0
Y1 = 2,929333 + 0,015674 X - 0.00011193 X2 R2 = 0,49*
Y2 = 3,249334 + 0,006148 X - 0,00055966 X2 R2 = 0,47*
0
22,5
-1
Sumberjo-2
A
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha )
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
45
Sumberjo-1
Sumberjo-2
B
Gambar 2. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap bobot spesifik daun (A) dan indeks luas daun (B) dua varietas wijen pada umur 60 HST.
85
Jurnal Agronomi 9(2): 83 - 91
14 -2 -1
(mg CO2 m s )
Konduktivitas stomata
Meskipun hara N di dalam daun tidak berperan secara langsung dalam proses fotosintesis, namun hara tersebut berperan dalam pembentukan klorofil dan translokasi karbohidrat (Salisbury dan Ross, 1992). Dalam proses translokasi karbohidrat yang dihasilkan di dalam daun, hara N berperan dalam perombakan karbohidrat menjadi protein sehingga mempercepat pemuatan (phloem loading) dan pembongkaran (phloem unloading) pada proses translokasi karbohidrat (Noggle dan Fritz, 1989). Bila translokasi karbohidrat dapat diperlancar, maka di dalam daun tidak terjadi penimbunan karbohidrat sehingga penyerapan energi cahaya meningkat dan laju fotosintesis meningkat pula (Gardner et al., 1985). Dalam kondisi ketersediaan air dan CO2 yang cukup, peubah yang dapat mencerminkan peningkatan laju fotosintesis sebagai akibat dari peningkatan translokasi karbohidrat adalah konduktivitas stomata terhadap CO2 (Fitter dan Hay, 1991). Pengaruh dosis pupuk N terhadap konduktivitas stomata (gsCO2) disajikan pada Gambar 3.
12
Y1 = 5,750771 - 0,0015795 X + 0,00067631 X2
10
R2 = 0,71**
8 6 4
Y2 = 4,439521 + 0,011376 X + 0,00030241 X2
2
R2 = 0,46*
0 0
22,5
45
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
Sumberjo-2
Gambar 3.Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap konduktivitas stomata daun dua varietas wijen pada umur 60 HST. Pada Gambar 3 terlihat bahwa peningkatan dosis pupuk N hingga 90 kg ha-1 diikuti oleh peningkatan konduktivitas stomata (gs-CO2) secara kuadratik sebagai akibat fungsi hara nitrogen dalam mempercepat perombakan fotosintat menjadi protein. Peubah konduktivitas stomata dan bobot spesifik daun merupakan peubah yang sangat berpengaruh terhadap efisiensi cahaya untuk mereduksi CO2 (EF0) dan laju Fotmak daun tunggal (Norman dan Arkebauer, 1991). Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara EF0 dengan gsCO2 dan bobot spesifik daun (EF0 = 0,0024599 gs-CO2 + 0,0024599 BSD – 0,0866797 dengan r =
86
0,81**) dan antara Fotmak dengan gs-CO2 dan bobot spesifik daun (Fotmak = 0,053776 gs-CO2 + 0,058287 BSD – 1,89026 dengan r = 0,85**). Oleh karena itu, peningkatan dosis pupuk N hingga 90 kg ha-1 diikuti oleh peningkatan efisiensi cahaya untuk mereduksi CO2 dan laju Fotmak (Gambar 4) seperti yang terjadi pada konduktivitas stomata dan bobot spesifik daun (Gambar 3). Tanaman wijen termasuk jenis tanaman C3 sehingga laju Fotkot daun tunggalnya mengikuti kinetik Michaelis-Menten, yaitu membentuk kurva respon hiperbolik eksponensial dengan peningkatan energi cahaya (Evan dan Farquhar, 1991). Dua peubah yang biasa digunakan dalam mengekspresikan laju fotosintesis tersebut adalah EF0 dan Fotmak (Penning de Vries et al., 1989), sehingga kedua peubah tersebut sangat mempengaruhi laju Fotkot daun tunggal. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara laju Fotkot daun tunggal dengan EF0 dan Fotmak (Fot = 0,69492 Fotmak + 7,8627 EF0 – 0,02507 dengan r = 0,97**). Hasil ini medukung pendapat Evan dan Farquhar (1991) dan Penning de Vries et al. (1989) bahwa laju fotosintesis dipengaruhi secara langsung oleh fotosintesis maksimum (Fotmak) dan EF0. Oleh karena EF0 dan Fotmak dipengaruhi oleh dosis pupuk N, maka laju Fotkot daun tunggal juga dipengaruhi oleh dosis pupuk N (Gambar 5A). Hal yang sama juga diperoleh Peng et al. (1995) di mana laju fotosintesis berbanding lurus dengan kandungan N di dalam daun. Respirasi merupakan proses oksidasi karbohidrat yang dihasilkan oleh fotosintesis guna mempertahankan aktivitas di dalam organ tanaman. Aktivitas ini diperlukan terutama untuk menjaga gradien konsentrasi yang melewati membran dan menjaga aktivitas enzim serta integritas membran yang memiliki daur hidup pendek (Pannangpetch, 1992). Oleh karena itu, organ atau tanaman yang banyak mengandung protein dan organ tanaman yang lebih besar memerlukan energi yang lebih banyak untuk mempertahankan aktivitasnya sehingga laju respirasi akan lebih tinggi (Ryle, 1984). Hal inilah yang menyebabkan peningkatan dosis pupuk N diikuti oleh peningkatan laju respirasi (Gambar 5b). Lebih lanjut Ryle (1984) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara laju fotosintesis dan bobot kering daun dengan laju respirasi (Respirasi = k. fotosintesis + c. bobot kering daun). Pada penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara laju fotosintesis dan bobot spesifik daun dengan laju respirasi (Res = 0,0044185 Fot + 0,00002618 BSD – 0,00230377) dengan koefisien korelasi sebesar 0,90**. Dengan demikian, hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Ryle (1984).
Djumali dan Elly Indra Swari: Respon Wijen terhadap Pemupukan Nitrogen.
0,02 0,01
Y2 = e(0,013164 X - 4,27517)
-1 -2
-2
0,03
R2 = 0,71**
(mg CO2 m sec )
-1
0,04
Fotosintesis maksimum
Y1 = 0,0157 + 0,00011748X + 0,0000028642X2
0,05 (mg CO2 m sec )
Efisiensi cahaya mereduksi CO2
0,06
R2 = 0,67**
0 0
22,5
45
67,5
2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
90
Y1 = e(0,006779 X - 0,08964) R2 = 0,80**
Y2 = e(0,006726 X - 0,54744) R2 = 0,74**
0
22,5
-1
Sumberjo-1
45
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha )
Dosis pupuk N (kg ha )
Sumberjo-2
Sumberjo-1
Sumberjo-2
B
A
2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
Y1 = 0,681924 + 0,0062186 X + 0.00004332 X2
Y2 = 0.5510085 + 0.0008392 X + 0.00005808 X2 R2 = 0,75**
0
Y1 = 0,0025412 - 0,0000052X + 0,000000516 X2
0,006
R2 = 0,56**
-1
0,007
0,005
-1
Laju respirasi
R2 = 0,77**
(mg CO2 g sec )
-2
-1
(mg CO2 m sec )
Laju fotosintesis
Gambar 4. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap efisiensi cahaya untuk mereduksi CO2 (EF0) (A) dan laju Fotmak (B) pada dua varietas wijen pada umur 60 HST. EF0 diukur pada suhu 30 oC dan intensitas cahaya 50 Joule m-2 sec-1 dan Fotmak diukur pada suhu 35 oC dan intensitas cahaya 365 Joule m-2 sec-1.
0,004 0,003 0,002 0,001 Y2 = 0,0013537 - 0,00000852X + 0,000000457X2 R2 = 0,77**
0
22,5
45
67,5
90
0
-1
Sumberjo-2
A
45
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
22,5
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
Sumberjo-2
B
Gambar 5. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap laju Fotkot daun tunggal (A) dan laju respirasi (Res) (B) dua varietas wijen pada umur 60 HST. Fotkot diukur pada suhu 30 oC dan intensitas cahaya 100 Joule m-2 sec-1 dan Res diukur pada suhu 30 oC. Bobot kering tanaman merupakan hasil akumulasi fotosintesis bersih selama masa hidup tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995), di mana fotosintesis bersih diperoleh dari Fotkot dari seluruh luas daun tanaman dikurangi laju respirasi. Oleh karena itu, bobot kering tanaman dipengaruhi oleh laju Fotkot, indeks luas daun (ILD), dan laju respirasi. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara bobot kering tanaman (Bktan) dengan laju Fotkot, ILD dan laju respirasi (Res) dengan mem-
bentuk persamaan Bktan = 27,736 Fot + 16,514 ILD – 0,0019452 Res + 6,8736, dengan koefisien korelasi sebesar 0,89**. Dari persamaan tersebut terlihat bahwa fotosintesis dan ILD berpengaruh positif dan respirasi berpengaruh negatif terhadap bobot kering tanaman. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sitompul dan Guritno (1995). Mengingat peningkatan laju respirasi sebagai akibat peningkatan aplikasi pupuk nitrogen (Gambar 5B) lebih kecil dibanding peningkatan laju Fotkot (Gambar 5A),
87
Jurnal Agronomi 9(2): 83 - 91
Bobot kering tanaman (g)
120
Y1 = 68,87136 + 0,31783 X - 0,00029632 X2 2
R = 0,92**
100 80 60 40 20
Y2 = 39,92784 + 0,36719 X - 0,001774 X2 R2 = 0,93**
0 0
22,5
45
67,5
Djajadi dan Murdiyati (1991) pada tembakau Boyolali Asepan. Gambar 6A memperlihatkan aplikasi pupuk N untuk menghasilkan bobot kering tanaman maksimum terjadi pada dosis 536 kg ha-1 pada Sumberjo-1 dan 103 kg ha-1 pada Sumberjo-2. Hal ini terjadi sebagai akibat habitus Sumberjo-1 yang bercabang (Sudarmo dan Suprijono, 2000) dan mempunyai laju fotosintesis maksimum dan EF0 yang lebih tinggi dibanding Sumberjo-2 (Gambar 5).
Rasio bobot kering tajuk/akar
maka peningkatan dosis pupuk nitrogen hingga 90 kg ha-1 masih diikuti oleh peningkatan bobot kering tanaman (Gambar 6A). Hasil ini sesuai dengan pendapat Sinclair (1991) yang menyatakan bahwa kandungan nitrogen di dalam daun dapat digunakan untuk menghitung asimilasi karbon dalam kanopi tanaman dan efisiensi penggunaan energi cahaya oleh tanaman. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Rachman et al. (1990) pada penelitiannya terhadap tanaman tembakau Virginia dan
10
Y2 = 7,011141 + 0,054921 X - 0,00070735 X2 R2 = 0,28
9 8 7 6 5
Y1 = 5,405045 + 0,016529 X - 0,00019189 X2 R2 = 0,16
4 0
90
22,5
67,5
90
Dosis pupuk N (kg ha )
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
45
-1
-1
Sumberjo-2
Sumberjo-1
Sumberjo-2
A
B
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Y1 = 58,08621 + 0,30204 X - 0,00015848 X2 R2 = 0,91**
Y2 = 34,89619 + 0,36324 X - 0,0021051 X2 R2 = 0,91**
0
22,5
45
67,5
90
Bobot kering akar (g)
Bobot kering tajuk (g)
Gambar 6. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap bobot kering tanaman (A) dan rasio tajuk/akar (B) dua varietas wijen pada umur 60 HST.
20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Y1 = 10,78858 + 0,014778X + 0,00046608X2 R2 = 0,77**
Y2 = 5,032953 + 0,0040635X + 0.00033016X2 R2 = 0,82**
0
Sumberjo-2
A
45
67,5
90
Dosis pupuk N (kg ha )
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
22,5
-1
-1
Sumberjo-1
Sumberjo-2
B
Gambar 7. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap bobot kering tajuk (A) dan bobot kering akar (B) dua varietas wijen pada umur 60 HST.
88
Djumali dan Elly Indra Swari: Respon Wijen terhadap Pemupukan Nitrogen.
Karbohidrat yang dihasilkan oleh fotosintesis bersih kanopi dipartisi ke bagian akar dan tajuk. Peubah yang dapat mencerminkan partisi karbohidrat ke akar dan tajuk tanaman adalah perbandingan tajuk dan akar. Dalam penelitian ini terungkap bahwa tidak ada korelasi yang nyata antara rasio akar dan tajuk dengan dosis pupuk N untuk kedua varietas wijen (Gambar 6B). Hal ini terjadi sebagai akibat media tanam yang digunakan di dalam pot terbatas jumlahnya sehingga pertumbuhan akar menembus lapisan tanah yang lebih dalam seperti yang terjadi di lapangan tidak terjadi. Kondisi ini mengandung arti bahwa dosis pupuk nitrogen tidak mempengaruhi jumlah karbohidrat yang dipartisikan ke akar dan tajuk, atau dapat dikatakan partisi karbohidrat ke akar dan tajuk mendapat porsi yang sama pada semua dosis pupuk N. Dengan demikian pengaruh dosis pupuk N terhadap bobot kering akar dan tajuk berkaitan dengan pengaruh dosis pupuk N terhadap bobot kering tanaman. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara bobot kering tanaman dengan bobot kering tajuk (Bktaj = 1,2311 Bktan – 3,86250) dan bobot kering akar (Bkak = 0,19057 Bktan – 3,33264) dengan koefisien nilai korelasi masing-masing sebesar 0,998** dan 0,97**. Pengaruh dosis pupuk N terhadap bobot kering tajuk dan akar tanaman wijen disajikan pada Gambar 7. Pada gambar tersebut terlihat bahwa untuk memperoleh bobot kering tajuk yang optimum diperlukan pupuk nitrogen sebesar 953 kg ha-1 pada varietas Sumberjo-1 dan sebesar 86 kg ha-1 pada varietas Sumberjo-2. Karbohidrat yang tersedia untuk pertumbuhan tajuk akan dipartisi ke organ-organ seperti batang, daun, dan buah/biji untuk mendukung pertumbuhannya. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara bobot kering batang dan daun dengan bobot kering tajuk (Bkbat = 0,49408 Bktaj – 4,967058 dan Bkdaun = 0,20587 Bktaj + 8,55582) dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,94** dan 0,92**. Karena bobot kering tajuk yang dihasilkan dipengaruhi oleh aplikasi pupuk N, maka hal yang sama juga berlaku pada bobot kering batang dan daun. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap pertumbuhan batang dan daun disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian Rachman et al. (1990) pada tanaman tembakau Virginia dan penelitian Djajadi dan Murdiyati (1991) pada tanaman tembakau Boyolali Asepan menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk N juga diikuti oleh peningkatan bobot kering daun. Karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan daun dipartisi untuk keperluan pertumbuhan luas daun, pertumbuhan tebal daun, dan sebagai karbohidrat simpanan. Menurut Sitompul dan Guritno
(1995), peubah yang dapat mencerminkan pertumbuhan tebal daun dan karbohidrat simpanan adalah bobot spesifik daun. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara luas daun dan bobot spesifik daun dengan bobot kering daun (ILD = 0,084647 Bkdaun + 1,330523 dan BSD = 0,8807 Bkdaun + 26,78628) dengan koefisien korelasi masing-masing sebesar 0,77** dan 0,72**. Karena bobot kering daun yang dihasilkan dipengaruhi oleh dosis pupuk nitrogen yang diberikan, maka indeks luas daun dan bobot spesifik daun juga dipengaruhi oleh dosis pupuk nitrogen yang diberikan (Gambar 2). Hasil buah (polong) dan biji Pada saat tanaman memasuki fase generatif, organ tajuk tanaman wijen tidak hanya terdiri dari batang dan daun saja, melainkan ditambah dengan organ buah/biji. Dengan demikian, karbohidrat yang tersedia untuk pertumbuhan tajuk tanaman akan dipartisi ke batang, daun, dan buah/biji. Selain besarnya karbohidrat yang dipartisi ke pertumbuhan buah, lama waktu partisi karbohidrat untuk pertumbuhan buah juga menentukan bobot kering buah (Charles-Edwards et al., 1986). Lama waktu partisi dapat ditentukan dari selisih umur panen dengan umur berbunga, di mana semakin panjang umur berbunga dan semakin pendek umur panen maka waktu untuk pertumbuhan buah semakin pendek. Dengan demikian, bobot kering buah ditentukan oleh bobot kering tajuk, umur berbunga, dan umur panen. Dari penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara bobot kering buah dengan bobot kering tajuk, umur berbunga, dan umur panen (Bkbu = 0,4702 Bktaj – 0,6274 Umbung + 0,0890 Umpan – 3,473739) dengan koefisien korelasi 0,96**. Mengingat bobot kering tajuk, umur berbunga, dan umur panen dipengaruhi oleh dosis pupuk N yang diberikan, maka bobot kering buah juga dipengaruhi oleh dosis pupuk N (Gambar 9A), dengan dosis pupuk optimum untuk varietas Sumberjo-1 sebesar 294 kg ha-1 dan Sumberjo-2 sebesar 62 kg ha-1 Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Kadarwati et al. (1994) dan Machfud et al. (1996), di mana peningkatan dosis pupuk nitrogen yang diberikan pada tanaman wijen diikuti oleh peningkatan bobot kering buah. Pada tanaman wijen, karbohidrat yang tersedia untuk pertumbuhan buah akan dipergunakan untuk pertumbuhan polong dan biji. Dalam penelitian ini diperoleh hubungan yang erat antara hasil biji dengan bobot kering buah (Bkbij = 1,6711 Bkbu – 1,849165) dengan koefisien korelasi 0,82**. Oleh karena itu, hasil biji yang diperoleh dipengaruhi oleh dosis pupuk N yang diberikan dengan dosis
89
Jurnal Agronomi 9(2): 83 - 91
optimum 125 kg ha-1 untuk varietas Sumberjo-1 dan 61 kg ha-1 untuk varietas Sumberjo-2 (Gambar 9B). Dosis optimum yang diperlukan oleh varietas Sumberjo-1 yang lebih tinggi dibanding Sumberjo2 menandakan bahwa varietas Sumberjo-1 lebih
28
Y1 = 27,1642 + 0,045864 X + 0,0006053 X2
35,0
R = 0,83**
30,0 25,0 20,0 15,0 Y2 = 14,05609 + 0,050051 X + 0,000007991 X2
10,0
R = 0,92**
0
R2 = 0,51*
24 22 20 18 16 14 Y2 = 16,18466 + 0,0176 X + 0,00026996 X2 R2 = 0,63**
12
2
5,0
Y1 = 20,11809 + 0,10248 X - 0,0005023 X2
26
2
Bobot kering daun (g)
Bobot kering batang (g)
40,0
responsif terhadap pemupukan N dibandingkan varietas Sumberjo-2. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dosis optimum untuk pertumbuhan buah dan biji pada tanaman wijen varietas Sumberjo-1 dan Sumberjo-2.
10
22,5
45
67,5
90
0
22,5
-1
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
45
Dosis pupuk N (kg ha )
Sumberjo-2
Sumberjo-1
A
Sumberjo-2
B
Gambar 8. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap bobot kering batang (A) dan bobot kering daun (B) pada dua varietas wijen pada umur 60 HST.
30,0
R2 = 0,84**
Hasil biji (g/tanaman)
25,0 Bobot kering buah (g)
45
Y1 = 10,8039 + 0,1537 X - 0,0002615 X2
20,0 15,0 10,0 5,0
Y2 = 4,651153 + 0,29559 X - 0,0023831 X2 R = 0,84**
0
Y1 = 23,57663 + 0,22371 X - 0,00089549 X2
35
R2 = 0,87**
30 25 20 15 10 Y2 = 6,674666 + 0,24141 X - 0,0019654 X2
5
2
0,0
40
R2 = 0,95**
0
22,5
45
67,5
90
0
22,5
-1
Sumberjo-2
A
67,5
90
-1
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
45
Dosis pupuk N (kg ha ) Sumberjo-1
Sumberjo-2
B
Gambar 9. Pengaruh dosis pupuk nitrogen terhadap bobot kering buah (A) dan hasil biji (B) pada dua varietas wijen pada umur 60 HST.
90
Djumali dan Elly Indra Swari: Respon Wijen terhadap Pemupukan Nitrogen.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tanaman wijen merespon aplikasi dosis pupuk nitrogen dengan membentuk kurva kuadratik. Varietas Sumberjo-1 lebih responsif dibandingkan varietas Sumberjo-2. Untuk memperoleh bobot kering tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering buah, dan bobot kering biji yang maksimum, wijen varietas Sumberjo-1 memerlukan aplikasi pupuk nitrogen masing-masing sebesar 536, 953, 294, dan 125 kg ha-1, sedangkan varietas Sumberjo-2 sebesar 103, 86, 62, dan 61 kg ha-1. DAFTAR PUSTAKA ADC Bioscientific Ltd. 2000. Lci Portable Photosynthesis System: Instruction Manual. ADC Bioscientific Ltd, Hoddesdon, Herts. Charles-Edwards, D. A., D. Doley dan G. M. Rimmington. 1986. Modelling Plant Growth and Development. Academic Press, Sydney, Australia. Dauley, H. S. dan K. C. Singh. 1982. Effect of N and P rates and plant densities on yield of rainfed sesame. Indian Journal of Agricultural Science 53: 166-169. Devlin, R. M. dan F. H. Witham. 1983. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Co, Belmont, California. Djajadi dan A. S. Murdiyati. 1991. Pengaruh dosis dan frekuensi pemupukan N terhadap produksi dan mutu tembakau Boyolali Asepan. Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat 6: 94-102. Evan, J. R. dan G. D. Farquhar. 1991. Modeling Canopy Photosynthesis from the Biochemistry of the C3 Chloroplast. Dalam K. J. Boote dan R. S. Loomis [eds.], Modeling Crop Photosynthesis - from Biochemistry to Canopy, 1-15. CSSA, American Society of Agronomy, Madison, USA. Fitter, A. H. dan R. K. M. Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman (diterjemahkan oleh Sri Andani dan Purbayanti). Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Gardner, F. D., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa State University Press, Ames, USA. Heddy, S. 2001. Ekofisiologi Tanaman: Suatu Kajian Kuantitatif Pertumbuhan Tanaman. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kadarwati, F. T., Soenardi, Parjan dan H. Santoso. 1994. Pemupukan N dan P pada tanaman wijen. Buletin Tembakau dan Serat 3: 7-10. Machfud, M., Soenardi dan F. T. Kadarwati. 1996. Pengaruh dosis pupuk N dan P terhadap pertumbuhan dan hasil wijen galur Pachequino di lahan tadah hujan. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 2: 43-49.
Mayer, B. S. dan D. B. Anderson. 1952. Plant Physiology. Van Nostrand Co, London. Noggle, G. R. dan G. J. Fritz. 1989. Introductory Plant Physiology (2nd edition). Prentice Hall of India Private Limited, New Delhi. Norman, J. M. dan T. J. Arkebauer. 1991. Predicting Canopy Photosynthesis and Light-use Efficiency from Leaf Characteristics. Dalam K. J. Boote dan R. S. Loomis [eds.], Modeling Crop Photosynthesis from Biochemistry to Canopy, 75 - 94. CSSA, American Society of Agronomy, Madison, USA. Pannangpetch, K. 1992. Introduction to Simulation of Crop Growth on Computer. Khon Kaen University, Thailand. Peng, S., K. G. Cassman dan M. J. Kropff. 1995. Relationship between leaf photosynthesis and nitrogen content of field-grown rice in tropics. Crop Science 35: 1627-1630. Penning de Vries, F. W. T., D. M. Jansen, H. F. M. t. Berge dan A. Bakema. 1989. Simulation of Ecophysiological Processes of Growth in Several Annual Crops. Simulation Monograph 29. Pudoc, Wageningen. Quilantan-Villarreal. 1983. Some Agroeconomic Aspects of Sesame in Mexico. Dalam Ashri [ed.], Sesame: Status and Improvement, p. 64-67. FAO, Rome, Italy. Rachman, A., M. Sholeh dan Suwarso. 1990. Pengaruh dosis dan sumber pupk N terhadap hasil dan mutu tembakau Virginia FC pada tanah Grumusol Bojonegoro4. Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat 5: 105-114. Ryle, G. J. A. 1984. Respiration and Plant Growth. Dalam J. M. Palmer [ed.], The Physiology and Biochemistry of Plant Respiration, 3-16. Cambridge University Press, Cambridge. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1992. Plant Physiology (4th edition). Wadsworth Publishing Co., Belmond, California. Sinclair, T. R. 1991. Canopy Carbon Assimilation and Crop Radiation-Use Efficiency Dependence on Leaf Nitrogen Content. Dalam K. J. Boote dan R. S. Loomis [eds.], Modeling Crop Photosynthesis - from Biochemistry to Canopy, 95-108. CSSA, American Society of Agronomy, Madison, USA. Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisa Pertumbuhan Tanaman. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Sudarmo, H. dan Suprijono. 2000. Varietas Unggul Jarak dan Wijen. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat, Malang. Sundari, T. 1998. Pengaruh Dosis N dan K terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buah Paprika, p. 170-178. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan HITI. HITI Komda Jatim, Surabaya. Weiss, E. A. 1971. Castor, Sesame, and Safflower. Leonard Hill, London.
91
92