Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
REPRESENTASI STEREOTIP PEREMPUAN PARUH BAYA DALAM IKLAN TELEVISI “CONFIDENCE DIAPERS” Reza Ekon Wirata dan Mei Ie Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jl. Letjen S.Parman No.1 Jakarta 11440
Abstract: This study aims to determine the meaning of middle-aged female stereotypes on television commercials Confidence Diapers version of " chatter mothers. " This study used a qualitative pendekan semiotic analysis. Subjects in this study are five middle-aged female characters in advertisements Confidence Diapers, and 1 informant. Data was collected through study of documentation, interviews, and literature. The technique of data analysis is done through data reduction, data display, and conclusion or verification. Test the validity of the data is done through investigator triangulation. The research was conducted in Jakarta, such as college, home, cafe, perustakaan, and others. The conclusion of this study indicate that the stereotype of women in television commercials confidence diapers represented in figures housewife from upper middle class and measure success in terms of material owned. Keywords: Communication, advertising, semiotics Barthes, advertising, television, women, middle-aged, stereotypes, Confidence Diapers. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna stereotip perempuan paruh baya pada iklan televisi Confidence Diapers versi "obrolan ibu-ibu." Penelitian ini menggunakan pendekan kualitatif dengan analisis semiotika. Subjek dalam penelitian ini yaitu lima karakter perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diapers, dan 1 orang informan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara, dan studi pustaka. Teknik analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Uji keabsahan data dilakukan melalui triangulasi penyidik. Penelitian ini dilakukan di Jakarta, seperti kampus, rumah, kafe, perustakaan, dan lainnya. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa stereotip perempuan pada iklan televisi confidence diapers direpresentasikan pada sosok-sosok ibu rumah tangga dari kalangan menengah atas dan mengukur keberhasilan dari segi material yang dimiliki. Kata Kunci: Komunikasi, periklanan, semiotika Barthes, iklan, televisi, perempuan, paruh baya, stereotip, Confidence Diapers.
11
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
Pendahuluan Iklan merupakan bentuk komunikasi yang dipergunakan untuk dapat memberikan ingatan kepada masyarakat berupa produk, merek, individu dan berbagai hal lainnya agar tetap berada pada ingatan tertinggi masyarakat akan produk atau iklan sejenis lainnya. Iklan bukan hanya sebagai media promosi atau dibangun atas dasar konsep pemasaran semata. Iklan dapat diwujudkan dengan mengkolaborasikan kreatifitas dengan tujuan-tujuan tertentu yang dikemas sedemikian rupa agar lebih menarik perhatian masyarakat. Iklan dalam televisi sebagai salah satu media yang memiliki kekuatan besar untuk dapat menyebarkan iklan dan nilai-nilai di dalamnya secara lebih massif, berpotensi untuk dapat mengubah pandangan-pandangan penonton dalam memaknai produk yang diiklankan. Iklan televisi memiliki potensi besar untuk lebih menginformasikan kepada masyarakat mengenai produk yang diiklankan serta juga berpotensi untuk mengubah pandangan masyarakat melalui perepresentasian berbagai objek iklan di dalamnya. Televisi merupakan media massa yang memiliki kelengkapan yang baik dalam merepresentasikan objek iklan melalui gambaran objek audio visual yang bukan hanya menginformasikan, tetapi juga dapat menghibur serta mendidik penontonnya akan berbagai hal yang disampaikan dalam iklan. Iklan dapat mengajak penonton untuk tertarik dan pada akhirnya membeli produk yang diiklankan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kreatifitas yang dimiliki si pemasang iklan serta memberikan nilai-nilai mendalam pada masyarakat untuk menimbulkan ikatan emosional. Iklan yang efektif dan dapat dikatakan berhasil jika adanya unsur keterikatan antara penonton dengan iklan yang ditayangkan, sehingga penonton dapat menjadikan produk yang diiklankan sebagai pilihan utamanya dibandingkan produk sejenis lainnya. Seperti halnya iklan produk Confidence Diapers yang dikemas dengan penggambaran filosofis tertentu yang sebenarnya tidak menggambarkan keberadaan produk secara jelas, tetapi mengemasnya dalam penggambaran analogi iklan yang memerlukan usaha lebih dalam memaknai isi pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut. Confidence Diapers merupakan produk diapers (popok) yang diperuntukan bagi orang dewasa, oleh karena itu iklan yang diproduksinya pun diwakili oleh para pemeran yang diwakili oleh perempuanperempuan paruh baya sebagai perwakilan dari pangsa pasar yang dituju oleh Confidence Diapers. Iklan televisi Confidence Diapers menggambarkan mengenai 5 orang tokoh utama yang terdiri atas perempuan-perempuan paruh baya (ibu-ibu) dengan kisaran usia dari 40-60 tahun. Iklan tersebut menggambarkan mengenai pertemuan ibu-ibu yang berteman dan membicarakan topik mengenai kegiatan anak-anak mereka. Setiap tokoh perempuan paruh baya dalam iklan tersebut memiliki gaya tersendiri, dari cara berpakaian, tatanan rambut, cara berbicara, hingga menggambarkan pola pikir yang ada dari masing-masing karakter dalam iklan. Setiap perempuan paruh baya yang digambarkan dalam iklan Confidence Diapers memiliki karakternya masing-masing yang memberikan pengertian akan adanya bentuk makna stereotip yang direpresentasikan oleh masing-masing karakter perempuan paruh baya dalam iklan tersebut. Cara perepresentasian perempuan paruh baya inilah yang kemudian menarik perhatian peneliti untuk
ISSN: 2085 1979
12
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
semakin memahami apa tujuan dari penggambaran kelima karakter perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diapers. Berbagai objek gambar dalam iklan Confidence Diapers yang merujuk pada perepresentasian perempuan dalam iklan, dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang dapat memberikan gambaran mengenai stereotip perempuan paruh baya di Indonesia. Berbagai karakter yang ada dalam iklan tersebut memiliki potensi untuk dapat dimaknai sebagai produk perepresentasian stereotip perempuan paruh baya, karena berbagai hal yang digambarkan dalam iklan tersebut secara garis besar bertumpu pada penggambaran kelima tokoh perempuan paruh baya dalam iklan. Kelima tokoh perempuan paruh baya tersebut jika dimaknai lebih dalam, akan memberikan bentuk gambaran mengenai stereotip perempuan paruh baya yang direpresentasikan melalui berbagai aksesoris, pakaian, tatanan rambut, make-up, cara berbicara dan berbagai perulaku lainnya yang mewakili masing-masing karakter. Stereotip perempuan dalam iklan Confidence Diapers memungkinkan untuk dapat dimaknai dengan lebih seksama melalui analisis semiotika. Analisis semiotika akan memberikan peluang besar bagi peneliti untuk dapat memahami berbagai macam objek dan keterkaitan diatara objek tersebut sebagai simbol-simbol komunikasi yang dapat diinterpretasikan. Analisis semiotika merupakan bentuk perangkat analisis yang memberikan peluang bagi siapa saja untuk dapat memahami berbagai macam objek dalam iklan dan keterkaitannya dengan tujuan dari penggunaan objek-objek tersebut. Peneliti maupun penonton, dapat menjadikan analisis semiotika sebagai sarana pendukung untuk lebih memaknai stereotip perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diapers. Semiotika pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha untuk dapat memahami beragam macam tanda sebagai produk komunikasi. Analisis semiotika merupakan seperangkat alat penunjang penelitian ini karena beragam bentuk aspek penstereotipan yang terdapat dalam iklan Confidence Diapers dapat dimaknai dengan lebih beralasan dan mengemukakan berbagai macam keterkaitan yang mungkin ditimbulkan dari berbagai objek iklan melalui analisis semiotika. Halhal yang berkaitan dengan penggunaan tanda-tanda penstereotipan perempuan (khususnya perempuan paruh baya) dapat dipelajari melalui berbagai objek yang ada dalam iklan Confidence Diapers. Produksi makna melalui tanda dalam pandangan semiotika, memperlihatkan bahwa produksi makna tersebut terdiri atas serangkaian objek yang saling memiliki keterkaitan. Pemahaman akan analisis semiotika kemudian menempatkan kemampuan peneliti dalam memaknai iklan sebagai bagian dari kompleksitas tanda komunikasi yang memiliki keterkaitan erat antar satu objek dengan objek lainnya. Sehingga objek-objek tersebut dapat diinterpretasikan dengan mengacu pada latar belakang pemahaman, kebudayaan, hingga pola pikir peneliti yang dapat mempengaruhi penilaian tentang stereotip perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diapers. Stereotip dalam iklan Confidence Diapers dapat dimaknai melalui berbagai bentuk adegan dalam iklan. Pemaknaan yang dapat diartikan dengan menempatkan makna konotasi maupun denotasi sebagai pembangun makna stereotip di dalamnya, semakin memperkuat wacana analisis semiotika sebagai perangkat tepat guna memaknai iklan televisi. Stereotip dalam iklan televisi dibangun dan dibentuk dengan merujuk pada adanya usaha pemasang iklan untuk dapat mewakili tujuan dari perusahaan dalam mengemas iklannya. Pemahaman 13
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
mengenai nilai penerapan tanda dalam objek-objek iklan yang dapat dimaknai sebagai produk pembangun stereotip. Permasalahan yang muncul dalam penggunaan analisis semiotika yaitu adanya nilai-nilai subjektifitas yang muncul dalam memaknai beragam tanda dalam objek penelitian. Perbedaan cara pandang tersebut berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan kerangka pikir yang beragam dari penonton, begitu pun dengan peneliti yang dibangun atas pandangan-pandangan budaya setempat dalam menilai berbagai hal yang ada dalam iklan sejalan dengan pemahaman budaya. Keberagaman cara pandang dalam memaknai penerapan dan keterkaitan tanda dalam objek iklan akan menumbuhkan suatu perbedaan wacana hingga ideologi. Untuk itu, perhatian peneliti tidak secara pasti akan sejalan dengan penonton lainnya yang juga dapat memaknai stereotip perempuan dalam iklan televisi Confidence Diapers sejalan dengan pemahaman budayanya masing-masing. Analisis semiotika melalui gabungan objek-objek yang dapat dipahami tersebut merujuk pada latar belakang dari setiap individu yang berbeda, untuk itu pula pemahamannya dapat berbeda satu sama lain. Sebagaimana pada tahap mitos yang menjadi pencapaian Barthes dalam memaknai tanda sebagai pengikat antara latar belakang budaya, sosialitas dan berbagai kebiasaan untuk menjadi dasar dalam memaknai tanda-tanda dalam iklan. Peneliti dalam menerapkan analsis semiotika pada penelitian ini mengacu pada pemahaman semiotika Barthes yang memaknai berbagai macam tanda pada tiga tatanan, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Ketiga hal tersebut menjadi gambaran nyata mengenai adanya seperangkat media praktis guna memaknai iklan televisi Confidence Diapers agar lebih dapat dimaknai. Pemahaman akan makna denotasi dalam pandangan Barthes mengacu pada adanya keterikatan antara penanda ( signified) dan petanda (signifier) yang juga dibangun atas dasar kebiasaan, latar budaya, pengetahuan dan berbagai hal yang digunakan peneliti atau siapa saja yang mempergunakan metode semiotika Barthes. Penanda merujuk pada objek tertentu, sedangkan petanda merupakan makna mental dari keberadaan objek tersebut. Pada tatanan selanjutnya, Barthes mengetengahkan makna konotasi sebagai bagian lanjtan dari memahami tandatanda komunikasi. Konotasi merupakan usaha untuk memaknai keterkaitan antara penada dan petanda sebagai produk yang mewakili pembentukan makna lain. Konotasi akan lebih membuka peluang bagi peneliti dalam memaknai berbagai macam analogi dalam iklan Confidence Diapers agar lebih dapat dimaknai keberadaannya dalam merepresentasikan stereotip perempuan. Pada tahapan terakhir, Barthes mengetengahkan Mitos sebagai hasil dari pemaknaan akan tandatanda komunikasi yang dibentuk atas dasar latar budaya. Mitos dalam pandangan Barthes bukan hanya mengisyaratkan sesuatu yang berifat mistis, legenda atau takhayul. Mitos dalam hal ini menjadi suatu kajian ideologi yang dihasilkan dari adanya kepercayaan dan pemahaman dari masyarakat atas pemikiran budaya, norma, cara pandangan sosialitas, hingga berbagai hal yang pernah diketahuannya dalam kehidupan. Mitos berjalan sebagai suatu bentuk tuntunan untuk menjadi latar pemikiran dalam memaknai tanda-tanda yang ditemui masyarakat, maka dari itu stereotip perempuan dalam iklan Confidence Diapers akan sangat memungkinkan memiliki keberagaman penilaian dari setiap penonton. Pada tahapan pembentukan mitos sebagai tahapan akhir yang ingin dicapai dalam memaknai tanda komunikasi dalam analisis semiotika merujuk pada adanya kerangka pikir dan kebudayaan ISSN: 2085 1979
14
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
yang ada dan berkembangan dalam lingkungan peneliti. Mitos yang ada bukan hanya memberikan pemahaman mengenai produksi makna konotasi dan denotasi, tetapi juga menjelaskan tentang keterkaitan antara kedua tatanan tersebut yang merujuk pada turut campurnya latar budaya, pola pikir, dan lingkungan peneliti dalam memaknai stereotip perempuan dalam iklan Confidence Diapers. Pada akhirnya penelitian ini akan memperlihatkan berbagai bentuk stereotip perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diapers dengan merujuk pada keberadaan makna denotasi, konotasi dan mitos sebagaimana pemahaman semitoka Barthes yang dijadikan sebagai acuan dalam menerapkan analisis semiotika dalam penelitian ini. Iklan sebenarnya merupakan bagian dari bauran pemasaran (marketing mix) selain produk, harga, dan ditribusi-distribusi. Tanpa iklan, perusahaan akan sulit maju untuk mencapai keuntumgan dalam menjaring konsumen. Hingga saat ini seiring dengan melajunya bisnis perdagangan baik barang maupun jasa, disimpulkan bahwa keberadaan iklan adalah untuk membangun atau mendukung kreatifitas pemasaran. Widyatama menyatakan mengenai pengertian iklan sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut ini, bahwa: “Iklan sebagai semua bentuk penyajian non personal, promosi ide-ide, promosi barang produk atau jasa yang dilakukan oleh sponsor tertentu yang dibayar. Artinya dalam menyampaikan iklan tersebut, komunikator memang secara khusus melakukan dengan cara membayar kepada pemilik media atau membayari orang yang mengupayakannya.” (Widyatama, 2005:16). Kutipan diatas menunjukan bahwa iklan pada dasarnya sebagai upaya pengkomunikasian akan promosi pada barang atau jasa yang ditawarkan dengan memanfaatkan media tertentu sebagai alat komunikasinya. Iklan sebagai industri hadir dan berkembang karena adanya nilai nominal yang harus dibayarkan untuk jasa iklan yang ditayangkan. Pemahaman mengenai periklanan juga diungkapkan Jefkins (2004: 5) sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut, bahwa “Periklanan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya.” Selanjutnya Grifin dan Ebert (Soemanagara, 2006: 32) yang menyatakan pengertian iklan bahwa: “Advertising is paid, nonpersonal communication used by an identified sponsor to inform an audience abaout product (Iklan adalah pembayaran, komunikasi nonpersonal yang digunakan untuk mengidentifikasikan sponsor untuk menginformasikan kepada pendengar tentang sebuah produk).” Lain halnya dengan Kasali yang juga memberikan pemahamannya mengenai pengertian periklanan, bahwa “Periklanan adalah suatu komunikasi massa dan harus dibayar untuk menarik kesadaran menanamkan informasi, mengembangkan sikap, atau mengharapkan adanya suatu tindakan menguntungkan.” (Kasali, 2007: 51). Berbagai kutipan akan penjelasan mengenai pemahaman periklanan dia atas secara keseluruhan merujuk pada adanya transaksi yang diperjual-belikan dalam jasa periklanan. Iklan hadir dan tumbuh karena jasa periklanan yang ditawarkan menunjukan adanya sejumlah dana yang harus dibayarkan dalam mendanai kepentingan periklanan. Untuk itu, iklan pada dasarnya tidak diberikan secara cuma-cuma, karena para pengiklan harus siap dengan resiko dana yang dikeluarkan guna memanfaatkan jasa periklanan agar manfaat dari periklanan di dapat sebagai dampaknya dalam meningkatkan nilai jual produk atau jasa yang diiklankan. 15
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
Manfaat iklan yang terbesar adalah membawa pesan yang ingin disampaikan oleh produsen kepada khalayak ramai. Agar iklan bisa sampai pada khalayak ramai, maka sebelumnya harus ditahui mengenai rumus 4P. Rumusan tersebut dinyatakan Kotler (2002: 18), sebagai berikut: “1) Produk, yaitu apa yang akan ditawarkan pada para calon konsumen oleh para pengiklan. 2) Price, yaitu harga yang ditawarkan oleh pihak produsen kepada para calon konsumen dan sewajarnya bersaing dengan produk atau jasa yang serupa yang lebih dulu beredar di pasaran. 3) Promotion, yaitu proses penyebaran pesan, atau pengiklanan dari suatu produk yang baru diedarkan di pasaran haruslah Komunikatif yaitu menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami. 4) Place, yaitu distribusi pengiriman barang harus sampai pada daerah-daerah yang mungkin masyarakatnya memang membutuhkan produk tersebut, sehingga jangan sampai suatu iklan beredar pada suatu daerah tertentu tetapi produk tersebut sangat sulit untuk dicari pada daerah tersebut.” Strategi pemasaran banyak yang berkaitan dengan komunikasi. Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran. Untuk menjalankan fungsi pemasaran, maka yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu saja harus lebih dari sekedar memberi informasi kepada khalayak. Dalam memahami tahap-tahap promotion, maka harus mengetahui pembagian media yang ada. Berbagai pilihan media promosi yang ada tersebut dijelaskan Kasali (2007: 23) yang membedakan media promosi berdasarkan pembayaran komisi dan dimuatnya iklan, yaitu: “Pertama, media lini atas (above the line) terdiri dari iklan-iklan yang terdapat dalam media cetak, media elektronik (seperti: radio, televisi, bioskop), serta media luar ruangan (seperti: papan reklame, angkutan). Kedua, media lini bawah ( below the line) terdiri dari seluruh media selain media di atas seperti direct mail, pameran, point of sale display material, kalender, agenda, gantungan kunci, tanda mata.” Media lini atas terdiri dari iklan-iklan yang dimuat dalam media cetak, elektronik (radio, televisi, bioskop), serta luar ruang (reklame, car branding). Media lini atas memiliki beberapa karakter yang khas, yaitu: Informasi yang disebarkan bersifat serempak, artinya dalam waktu yang sama, informasi dapat disebarluaskan secara bersamaan pula. Khalayak penerima pesan cenderung anonim (tidak dikenali secara personal oleh komunikator). Mampu menjangkau khalayak secara luas. Media lini bawah terdiri dari seluruh media selain media lini atas, seperti directmail, pameran, point of sale, display material, kalender, agenda, gantungan kunci dan tanda mata. Media lini bawah memiliki karakteristik tersendiri berupa: Komunikan yang dijangkau terbatas, baik dalam jumlah maupun luas wilayah sasaran. Mampu menjangkau khalayak yang tidak dijangkau media lini atas, serta cenderung tidak serempak. Umumnya biro iklan memungut pembayaran berupa komisi atas dimuatnya iklan di berbagai media lini atas, sedangkan media lini bawah memungut uang jasa yang di tambahkan pada biaya pembuatannya. Televisi merupakan salah satu bentuk media massa elektronik audio visual yang dapat digunakan dengan mudah dan murah. Pengertian televisi secara sederhana diungkapkan oleh Parwadi yang menyatakan bahwa: “Televisi adalah sistem pengambilan gambar, penyampaian, dan penyuguhan kembali gambar melalui tenaga listrik. Gambar tersebut ditangkap kemudian ditangkap dengan
ISSN: 2085 1979
16
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
kamera televisi, diubah menjadi sinyal listrik, dan dikirim langsung lewat kabel listrik kepada pesawat penerima.” (Parwadi, 2004: 28). Sebagai salah satu bentuk media massa, televisi juga memiliki fungsinya tersendiri layaknya media massa lainnya. Fungsi dari televisi tersebut salah satunya dijelaskan Ardianto dan Erdinaya (2005: 128) yang menyatakan bahwa “Fungsi Televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar dan radio siaran), yakni memberikan informasi yang mendidik, menghibur dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi… untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi.” Banyaknya produk media massa yang ada dalam masyarakat sekarang ini tetap dapat dibedakan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Begitu pun televisi yang memiliki beberapa macam karakteristik sebagaimana dinyatakan Ardianto dan Komala, yaitu: “1) Audiovisual, televisi dapat didengar dan dapat dilihat, apabila khalayak radio hanya mendengar kata-kata, musik dan efek suara, khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak. Tetapi tidak berarti gambar lebih penting dari kata-kata, keduanya harus ada kesesuaian secara harmonis. 2) Berpikir dalam gambar, terbagi dalam dua proses: pertama visualization yang menerjemahkan secara individual. Kedua picturization (penggambaran), kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa, sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu. Pengoperasian lebih kompleks, melibatkan lebih banyak orang contoh melibatkan kerabat kerja ( crew) dalam pembuatan suatu program acara.” (Ardianto dan Erdinaya, 2005: 128). Karakteritik utama televisi mengacu pada kemampuan televisi untuk menyajikan gambar serta suara sehingga pesan komunikasi dapat diinterpretasikan secara lebih jelas. Kemampuan televisi dalam mengemas produk audiovisual dalam setiap tayangannya telah menempatkan televisi sebagai produk media massa yang digemari oleh khalayak luas. karakteristik ini pula yang menempatkan televisi sebagai media massa yang paling banyak diakses khalayak, selain kemudahan penggunaan serta murahnya biaya menonton televisi. Mudah dan murahnya khalayak untuk menonton televisi sebenarnya tidak dengan mudah dilakukan oleh para individu di balik industri pertelevisiannya. Ada berbagai faktor yang harus diperhatikan oleh para pelaku industri televisi untuk memberikan sajian yang digemari khalayak. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam siaran televisi sebagaimana diungkapkan Ardianto dan Erdinaya (2005: 130), antara lain: “1) Pemirsa, faktor pemirsa sebagai khalayak yang dituju perlu mendapat perhatian yang lebih. Oleh karenanya komunikator dalam televisi harus memahami kebiasaan dan minat pemirsa serta kategori peirsa apakah ana-anak, dewasa, atau orang tua. 2) Waktu, setelah komunikator mengetahui minat dan kebiasaan tiap kategori pemirsa, langkah selanjutnya adalah pertimbangkan waktu penayangan. Jadi apa yang akan disampaikan sesuai dengan kebutuhan khalayak. 3) Durasi, durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan juga harus dipertimbangkan ketika akan menyusun pesan. 4) Metode penyajian, pesan yang akan disampaikan melalui televisi harus disusun dengan metode penyampaian yang sesuai dengan karateristik yang melekat dengan televisi sehingga tetap akan menarik dan diminati oleh khalayak.” Berbagai faktor dalam penentuan tayangan televisi tersebut penting untuk diperhatikan karena berkenaan dengan kemampuan untuk menarik minat khalayak untuk menonton televisi. Khalayak hanya tahu akan siaran televisi yang menarik 17
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
bagi dirinya masing-masing tanpa mempedulikan berbagai tata cara dalam menyajikan siaran televisi, untuk itu para pelaku industri harus dapat mempersiapkan tayangan televisi dan berbagai elemen di dalamnya secermat mungkin. Pengertian mengenai representasi akan mengalami kesulitan ketika kata representasi lebih dipahami maksudnya dari pada penggunaan arti harfiahnya semata. Ada salah satu penjelasan mengenai pengertian represetasi yang diungkapkan Hall, bahwa “Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan sosial melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.” (Hall, 1997: 15). Kutipan di atas menjelaskan bahwa representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah proses sosial dari 'representing'. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup terhadap cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Selanjutnya Hall menjelaskan mengenai kedudukan representasi pada praktek penempatan maknanya, bahwa: “Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna.” (Hall, 1997: 17). Pada kutipan diatas dijelaskan bahwa bahasa mampu melakukan semua beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara individu merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata yang digunakan dan citra yang gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada sesuatu hal tersebut. Stereotip atau lebih dikenal dengan penyebutan stereotype dalam bahasa Inggris merupakan seperangkat penilaian yang overgeneralisasi dan prasangka budaya yang sering kali menghambat komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi yang lebih parah, yaitu ketersinggungan. Seringkali penilaian pada diri seseorang dengan memakai kacamata budaya atau perilaku kita sendiri untuk mengukur dan menilai budaya atau perilaku orang lain. Sehingga dapat terjadi penilaian yang akan menunjukan tidak objektifitasnya penerapan nilai pada suatu objek karena parameter kebenaran yang kita gunakan adalah budaya kita sendiri. Hal tersebut menunjukan bahwa stereotip berkenaan erat dengan kebudayaan yang membentuk pemahaman individu pada kesepakan sosial yang memberikan penilaian-penilaian akan hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaannya tersebut. Pemahaman mengenai stereotip salah satunya diungkapkan Mufid yang mengatakan bahwa “Stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang ISSN: 2085 1979
18
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut.” (Mufid, 2009: 260). Pemahaman mengenai stereotip merujuk pada upaya menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Bisa juga didefinisikan sebagai penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam kategorikategori, atau penilaian mengenai orang-orang atau obyek-obyek berdasarkan kategori-kategori yang sesuai daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. Stereotip menjadi salah satu dari beberapa faktor yang dapat menghambat komunikasi lintas budaya. Karena stereotip tersebut dapat membuat kita terlalu cepat mengambil kesimpulan terhadap seseorang tanpa mengenal karakter orang tersebut secara individual. Misalnya, banyak orang yang mengangggap bahwa orang Padang itu pelit, padahal tidak semua orang Padang itu pelit. Kita memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau media sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan informasi tersebut agar sesuai dengan pemikiran kita. Ini sudah merupakan pembentukan stereotip. Stereotip bisa berkaitan dengan hal positif maupun negatif, stereotip bisa benar atau pun salah, stereotip bisa berkaitan dengan individu atau pun subkelompok. Ada sejumlah kondisi dimana stereotip merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan sebagaimana dijelaskan Mufid (2009: 261), antara lain: a. Manusia membutuhkan sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat kompleks. b. Manusia membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) ketika berhadapan dengan sesuatu yang baru, manusia lalu menggunakan stereotip. c. Manusia membutuhkan cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia di sekitarnya. d. Manusia tidak mungkin mengalami semua kejadian, karenanya manusia mengandalkan informasi dari pihak lain (media) sebagai jendela dunia. Maka terjadilah duplikasi stereotip. Dalam masyarakat yang egaliter, stereotip dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil. Penggunaan stereotip akan menutup ruang untuk melihat individu dengan segala keuinikan dan kapabilitasnya masing-masing. Sedangkan dalam tatanan kelompok, penggunaan stereotip akan menghilangkan hak individu untuk menentukan diri sendiri, dimana hak ini meripakan nilai dasar dari pembentukan suatu masyarakat. Dengan demikian stereotip memiliki nilai negatif sebagaimana dijelaskan Mufid, antara lain: “1) Melanggar nilai-nilai kemanusiaan, yakni kejujurann dan ketulusan. 2) Tidak fair, karena meniadakan perbedaan dan potensi individu. 3) Stereotip mengarahkan pada kebohongan. 4) Stereotip pada media mengakibatkan audiens berpikiran sempit.” (Mufid, 2009: 265). Walaupun nilai-nilai negatif sering mengiringi penilai stereotip tetapi stereotip tetap sulit untuk dihilangkan karena kadangkala juga terbentuk berdasarkan kebenaran ralita sosial. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam 19
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Konten media massa terkait dengan stereotip karena digunakan sebagai alat untuk mengkonstruksi realitas bagi audiensnya. Stereotip merupakan alat bagi individu untuk melihat dunia luar. Mufid memberikan pandangan kritisnya kembali pada bentuk stereotip yang sering disampaikan media massa, bahwa “Maraknya stereotip dalam media justru memunculkan pertanyaan seputar peran media dalam masyarakat, yakni apakah media memang memiliki peran perubahan sosial yang mengampanyekan nilai-nilai egaliter atau apakah justru media hanya berperan sebagai cermin dari nilai-nilai sosial. Pemahaman mengenai perempuan pada dasarnya mengacu pada jenis kelamin dan pembagian peran gender. Pengertian perempuan salah satunya diungkapkan Fakih bahwa “Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti cantik dan saluran untuk melahirkan. memproduksi telur. memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Sedangkan menurut konsep gender, perempuan adalah manusia yang memiliki sifat lemah lembut, cantik. emosional, atau keibuan.” (Fakih, 2004: 8). Kutipan di atas lebih menunjukan peran perempuan dalam pandangan gender yang membedakannya secara alamiah dan dalam konteks perbedaan jenis kelamin dan alat reproduksinya. Pengertian lainnya tentang pemahaman akan arti perempuan diungkapkan Gandhi yang memperlihatkan peran perempuan atas dasar sosial, sebagai berikut: “Pengertian Perempuan adalah mitra kaum laki-laki yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum laki-laki, dalam detail yang sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki, Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, sebagaimana kaum laki-laki dalam ruang aktivitasnya, Istilah ini yang disebut dengan kesetaraan gender.” (Gandhi, 2002: 11). Kutipan di atas lebih memperlihatkan pengertian perempuan dalam perannya sebagai sosok yang juga memiliki peran-peran yang sama pentingnya dengan laki-laki, terlebih dalam hal kepentingan sosialnya. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa pengertian perempuan menunjukan pada gender yang berperan sebagai ibu serta memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam perannya sebagai bagian dari sosialitas masyarakat. Banyak pendapat yang agak variatif sehubungan dengan bilangan usia paruh baya. Pembatasan pada pemahaman usia baya tersebut banyak diutarakan oleh beberapa ahli, terkait dengan batasan untuk mengelompokan manusia pada usia baya, separuh, atau disebut juga usia madya. Batasan mengenai usia paruh baya, salah satunya dapat dilihat pada pemahaman berikut: “Hurlock (1992) membatasi usia paruh baya adalah sekitar 40-60 tahun. Ia membagi 2 fase, yaitu usia paruh baya dini (40-50 th); dan usia paruh baya lanjut (50-60 th). Mappiare (19982) sepakat dengan batasa usia tersebut. Gunarsa (1988) menduga bahwa usia paruh baya berlangsung lebih cepat 5 th dari perkiraan orang. Menurutnya usia paruh baya adalah pada umur 35-60 th. Sementara Jim & Sally (1987), membatasi bahwa usia paruh baya adalah antara 33-70 th. Akan tetapi sekalipun terdapat beberapa perbedaan, yang jelas adalah bahwa usia paruh baya bukanlah usia muda dan usia 70th sungguh berbeda dengan usia 40 th.” (http://www.keluargabesar.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6
ISSN: 2085 1979
20
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
02:usia-paruh-baya-masa-krisis-atau-prestasi-&catid=35:keluarga&Itemid=55 diakses pada 21 Mei 2013 WIB). Dalam banyak hal, periode tangah baya adalah waktu timbulnya tekanan emosional. Berbagai pemahaman pada penerapan usia paruh baya sebagaimana dijelaskan di atas, merujuk pada adanya usaha untuk memberikan batasan yang konkret mengenai usia paruh baya. Walaupun tidak ada batasan jelas mengenai usia paruh baya, tetapi dapat disimpulkan bahwa usia paruh baya pada dasarnya telah melewati usia muda, dan bahkan sering dikaitkan dengan awal masa tua yang dikaitkan pada kisaran usia 50, baik kurang darinya atau lebih. Pemahaman lain mengenai usia paruh baya dijelaskan pada kutipan berikut yang memberikan penjelasan dalam pendekatan psikologis, bahwa: Bernice Nengeartein (Callhoun dan Acocella, l990) dikatakan bahwa peroiode ini merupakan suatu masa ketika orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Meskipun bagi orang lain ada kalanya periode ini justru merupakan permulaan kemunduran. Bagi Erik Erikson (Callhoun dan Acocella, l990), dalam periode ini individu memiliki antara kearifan dan penyerapan pribadi. Kearaifan yang dimaksud adalah kapasitas untuk mengembangkan perhatian terhadap orang lain atau masyarakat sekitar. Orang yang gagal mengembangkan kapasitas keariftan ini mungkin menjadi semakin terserap pada diri mereka sendiri seperti larut dalam kehidupan duniawi dan bendawi saja.” (http://www.keluargabesar.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6 02:usia-paruh-baya-masa-krisis-atau-prestasi-&catid=35: keluarga&Itemid=55 diakses pada 21 Mei 2013 WIB). Pemahaman Erikson tersebut berpijak pada kenyataan yang dia sinyalir bahwa dalam setiap tingkat kehidupan selalu dicirikan dengan pilihan-2 antara 2 pendekatan terhadap kehidupan, satu positif dan satunya negatif. Tampaknya paruh baya merupakan salah satu waktu dalam hidup seseorang dimana banyak terjadi peristiwa besar yang memaksanya untuk mengadakan penataan kembali. Penataan kembali itu kiranya terjadi karena adanya beberapa perubahan besar dalam hal fisiologis, psikologis, seksual dan perubahan-perubahan sosial yang menyertainya. Semiotika mengacu pada pemahaman akan tanda dan cara tanda tersebut dipergunakan. Pemahaman akan semiotika secara jelas memperlihatkan adanya kajian akan tanda. Sejalan dengan pernyataan Eco (Sobur, 2004: 95) yang menyatakan bahwa “Tanda itu didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensional sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.” Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pemahaman mengenai Van Zoest (Sobur, 2004: 96) mengenai semiotika dijelaskan sebagai berikut, bahwa “Semiotika adalah ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungan dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.” Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Pada intinya, semiotika mengacu pada pemahaman akan tanda dan cara tanda tersebut dipergunakan. Pemahaman akan semiotika secara jelas memperlihatkan adanya kajian akan tanda. Sejalan dengan pemahaman di atas, Eco (Sobur, 2004: 95) menyatakan mengenai kedudukan tanda dalam semiotika, 21
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
bahwa “Tanda itu didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensional sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.” Batasan lebih jelas mengenai pengertian semiotika dikemukakan Preminger (Sobur, 2004: 96) yang menyatakan bahwa “Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan, konvensi yang memungkinkan tanda-tanda itu mempunyai arti. Berikut ini akan dijelaskan mengenai macam-macam tipe penanda yang digunakan dalam kajian semiotika yang memberikan penekanan pada keberadaan tanda sebagai objek utamanya, sebagaimana diungkapkan Sobur (2004: 97), antara lain: a. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya: 1) Qualisigns: penanda yang bertalian dengan kualitas. Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Qualisigns yang murni pada kenyataannya tidak pernah ada. Jadi agar benarbenar berfungsi, qualisign harus mempunyai bentuk. 2) Sinsigns: penanda yang bertalian dengan kenyataan. Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. 3) Legisigns: penanda yang bertalian dengan kaidah. Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Semua tanda bahasa merupakan legisigns, karena bahasa merupakan kode. Setiap legisigns mengimplikasikan sinsigns, sebuah second yang mengaitkan sebuah third, yakni peraturan yang bersifat umum. Jadi, legisign sendiri merupakan sebuah third. b. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya: 1) Icon: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya, 2) Index: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, 3) Symbol: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan kaidah secara konvensi telah lazim digunakan oleh masyarakat. c. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya: 1) Rheme or seme: penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir, 2) Dicent or decisign or pheme: penanda yang menapilkan informasi tentang petandanya, 3) Argument: penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah. Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas serupa dan atau mirip. Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang mesti ada dalam setiap studi tentang makna. Ketiga unsur tersebut adalah: a) tanda, b) acuan tanda, c) pengguna tanda. Peirce (Fiske, 2004: 62) menjelaskan mengenai pengertian ISSN: 2085 1979
22
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
tanda, bahwa “Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.” Peirce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menunjukkan hubungan berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya. Sebagaimana dijelaskan Pierce (Suprapto, 2006: 120), yaitu: “Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta. Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya. Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya adalah simbol.” Selanjutnya Suprapto (2006: 123) mengemukakan beberapa pokok pikiran tentang makna dan tanda dalam proses komunikasi, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Dalam proses komunikasi, seperangkat tanda merupakan hal yang penting karena ini merupakan pesan yang harus dipahami oleh komunikan. Komunikan harus menciptakan makna yang terkait dengan makna yang dibuat oleh komunikator. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistem tanda yang semakin sama. b. Tanda (sign) adalah basis dari seluruh kegiatan komunikasi. Manusia dengan perantara tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian tentang tanda dalam proses komunikasi tersebut sering disebut semiotika komuniksi. c. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu: pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan acuan hal yang dibicarakan. d. Semiotika mempunyai 3 bidang, yaitu: 1) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas aturan tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. 2) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi selama komunikasi yang tersedia mentransmisinya. 3) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang giat mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussure. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Tata kebahasaan yang diajukan dalam pandangan semiotika kemudian dapat membaca seluruh fenomena yang ada dalm kehidupan secara lebih “tekstual”. Pandangan Barthes yang 23
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
memberikan perkembangan signifikan dalam kajian semiotika yaitu terbangunnya sistem kedua yang disebut dengan konotatif, yang di dalam mitologinya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem tatanan pertama. Barthes secara lebih sederhana memperlihatkan bahwa munculnya sebuah makna denotasi tidak terlepas dari adanya sebuah penanda dan juga petanda. Namun tanda denotasi juga dapat membuat persepsi kepada sebuah penanda konotasi, seperti halnya jika mengenal adanya bentuk hubungan yang lebih menunjukan nilai-nilai keindahan tertapi lebih mengacu pada sikap feminitasi. Pandangan Barthes yang utama merujuk pada pemahaman bahwa semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Teks di sini dalam arti luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik, namun semiotik dapat meneliti teks di mana tanda-tanda terkodefikasi dalam sebuah sistem. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, iklan, fiksi, puisi, drama, fashion dan lainnya. Dalam bahasan yang akan digunakan untuk mencari pemaknaan terhadap kajian iklan pada kasus ini menggunakan pendekatan pada pemikiran Barthes yang merupakan salah satu tokoh semiotik ternama. Karena dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian makna denotatif yang melandasi keberadaanya. Acuan yang digunakan yakni melakukan penelitian berdasarkan denotatif dan konotatif serta berinterpretasi pada mitos. Denotasi cenderung digambarkan sebagai makna yang jelas atau makna yang sebenarnya dari sebuah tanda. Dalam tanda-tanda ilmu bahasa, makna denotatif merupakan apa yang dijelaskan dalam kamus. Dalam pandangan Barthes, denotasi lebih menunjukan adanya interaksi antara penanda dan petanda, seperti yang diungkapkan Fiske, bahwa “Denotasi kadang kala dianggap sebagai sebuah digital code yakni suatu kode dimana penanda maupun petanda jelas terpisah dan konotasi sebagai analogue code yaitu kode yang bekerja dalam suatu skala kontinyu”. (Fiske, 2004: 93). Pemahaman mengenai makna denotatif juga diungkapkan Piliang (1998:14), yang menyatakan bahwa: “Denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan refernsi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Misalnya ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.” Dengan kata lain denotasi dapat merupakan sebagai kata yang memiliki arti sesuai dengan apa yang ada didalam kamus bahasa indonesia, yang dapat merupakan makna sesungguhnya atau makna yang sebenarnya dari apa yang tertulis dan dilihat. Dalam catatan Pilliang istilah Konotasi dipakai untuk menunjuk pada asosiasi-asosiasi sosio-kultural dan personal (ideologi, emosi, dan sebagainya) dari tanda. Biasanya akan berkaitan dengan kelas atau status sosial, usia, gender, etnisitas, dan sebagainya dari interpretasi. Tanda konotasi lebih terbuka untuk beragam interpretasi dalam bentuk konotasi daripada denotasi. Spradley (dalam Piliang 1998: 20) menyatakan bahwa “Konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih dari pada arti referensialnya.”Selanjutnya Pilliang menjelaskan lebih lanjut mengenai makna konotasi, bahwa “Makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.” (Pilliang, 2005: 17). Selanjutnya pandangan Williamson (Pilliang 1998: 20) pada teori semiotika menyatakan bahwa “Iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, ISSN: 2085 1979
24
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, ideologinya, image-nya dan sifat glamornya dari bintang film tersebut”. Bagan 1. Model Signifikasi dua tahap Barthes
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Sedangkan makna denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Makna Konotasi adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Dengan kata lain makna denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan makna Konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam yang dipahami oleh masyarakat secara umum yang nantinya juga berdampak pada hasil simultan berupa ideologi pemikiran terhadap makna yang dipahami dan diasumsikan menjadi jawaban atas pemahaman tanda-tanda yang ada. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai makna yang hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Pada level denotasi, sebuah penanda tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, motivasi makna justru berlangsung pada level konotasi. Untuk memperlihatkan alur kerangka pemikiran peneliti dalam menganalisa penelitian ini sebagai suatu kajian semiotik yang menganalisa makna representasi citra perempuan paruh baya dalan dalam iklan televisi Confidence Diapers 25
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
berdasarkan pemahaman teori yang dikemukakan Barthes, maka peneliti menampilkan alur penelitian sebagai berikut: Bagan 2. Kerangka Pemikiran
Bagan kerangka pemikiran di atas menunjukan bahwa peneliti menganalisa representasi citra perempuan paruh baya dalam iklan televisi Confidence Diapers berdasarkan konsep semiotika Barthes dalam menganalisa iklan sebagai kajian semiotika dengan memfokuskan inti penelitian dalam tiga bagian utama yakni makna denotasi, konotasi, dan mitos. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis semiotika. Pengertian mengenai pendekatan kualitatif dijelaskan Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006: 4) yang menyatakan, bahwa: “Kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.” Pendekatan kualitatif digunakan sebagai upaya peneliti untuk dapat menggambarkan penelitian berdasarkan latar alaminya sehingga dapat ISSN: 2085 1979
26
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
memberikan pemahaman akan fenomena penelitian menurut keadaan sebenarnya. Pendekatan kualitatif tersebut dipilih karena upaya peneliti yang ingin memperlihatkan fenomena sosial mengenai penstereotipan melalui media massa sebagai suatu kajian dapat diamati proses pembentukannya. Sejalan dengan pemahaman di atas, lebih lanjut Moleong menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, bahwa: “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah.” (Moleong, 2006: 6). Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika yang dipahami sebagai suatu metode penelitian yang bertujuan mempelajari relasi tanda dan penafsirannya, Tanda dalam iklan dilihat melalui berbagai macam adegan dan unsur-unsur pendukungnya. Analisis semiotika dirasa tepat untuk dapat menggambarkan dan memaknai interaksi tanda tersebut sebagai produk komunikasi yang dapat diinterpretasikan. Untuk itu penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika agar berbagai tanda dalam iklan lebih dapat dimaknai dan dipahami sebagai produk komunikasi yang bermakna dan dapat menuntun pada pemahaman orang lain dalam menilai stereotip dalam iklan. Pemahaman mengenai analisis semiotika dijelaskan Preminger (Sobur, 2004: 96) yang menyatakan bahwa “Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda itu mempunyai arti.” Analisis semiotika memberikan kesempatan bagi peneliti untuk memaknai beragam tanda yang dapat diinterpretasikan sebagaimana berbagai tanda komunikasi dalam iklan televisi. Keterkaitan antar tanda berupa objek dan simbol-simbol komunikasi akan memberikan bentuk penstereotipan tersendiri mengenai hal-hal yang digambarkan dalam tanda komunikasi tersebut. Penelitian ini memberikan upaya dalam memaknai penstereotipan dalam iklan melalui pemaknaan interaksi tanda yang direpresentasikan melalui objek-objek iklan di dalamnya. Subjek menunjukan mengenai apa atau siapa yang menjadi bahan rujukan untuk diketahui kompleksitasnya dalam penelitian yang dilakukan. Penentuan subjek akan memberikan keterwakilan pada sebuah identitas kelompok, tempat, individu dan apapun itu yang menjadi objek penelitian serta memberikan alasan dalam penggunaannya sebagai bagian yang diamati dalam penelitian ini. Pemahaman mengenai subjek penelitian dijelaskan Arikunto (2002: 107) bahwa “Subjek adalah suatu hal yang menjadi sumber data berupa, person (sumber data berupa orang).” Subjek merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan orang atau hasil dari yang dilakukan orang dan karakteristik tertentu pada fenomena yang diteliti. Subjek dapat merujuk pada hal-hal yang bersifat person, artinya bahwa subjek dalam kualitatif lebih mengarah pada orang atau hasil dari perilaku orang. Penentuan subjek tersebut digunakan sebagai upaya peneliti dalam menentukan narasumber yang berguna bagi pemenuhan informasi penelitian. Penentuan jumlah subjek penelitian dapat mengacu pada penjelasan Nasution (2003: 11) yang menyatakan bahwa “Subjek adalah sumber yang dapat memberikan info, yang dipilih secara purposif bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu.” 27
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
Penentuan subjek berdasarkan pada kebutuhan peneliti yang menentukan fokus penelitian untuk dikaji lebih lanjut, sehingga penentuan subjek sesuai dengan kebutuhan peneliti yang mengacu pada upaya dalam menggambarkan fenomena penelitian. Subjek dalam penelitian ini mengacu pada sosok-sosok perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diaper versi obrolan ibu-ibu. Dalam iklan Confidence Diaper tersebut, data berupa person didapati dari perilaku kelima karakter perempuan paruh baya yang ada dalam iklan. Iklan dalam penelitian ini merupakan objek utama yang dijadikan sebagai sumber analisis yang diamati untuk diketahui stereotip para tokoh perempuan paruh baya di dalamnya. Oleh karena itu subjek dalam penelitian ini merujuk pada tokoh-tokoh perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diaper. Informan dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui cara pandang di luar dari peneliti untuk memberikan asupan informasi maupun sebagai sarana untuk mengembangkan analisis yang dilakukan. Informan dalam penelitian ini dijadikan sebagai sumber data sekunder, artinya bahwa informasi yang di dapat sebagai penunjang maupun sebagai alat dalam mengembangkan wacana pemikiran. Banyaknya jumlah informan dalam penelitian ini ditetapkan menurut kepentingan penelitian berdasarkan pemahaman dan kebutuhan peneliti dalam memaknai keperluan penelitian. Sejalan dengan penjelasan tersebut, penentuan mengenai banyaknya jumlah informan dalam penelitian kualitatif dijelaskan Sarwono (2006: 205), bahwa “Banyak sedikitnya orang yang akan digunakan untuk menjadi informan dalam penelitian kita tergantung pada cakupan masalah penelitian yang akan dilakukan.” Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti dalam hal ini hanya menggunakan satu orang informan sebagai pendukung untuk lebih memaknai penggambaran representasi stereotip perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diaper. Informan tersebut yaitu Nickolas France Rampisela selaku Executive Creative Director dari Enable Advertising yang memiliki pengalaman sebagai praktisi dalam bidang periklanan. Berbagai pemahaman informan dalam memaknai cita perempuan paruh baya dalam iklan Confidence Diaper, digunakan peneliti untuk lebih memberikan keberagaman cara pandang. Teknis analisis data berguna sebagai tahapan proses penelitian yang dapat memberikan arahan pada peneliti dalam menyusun dan menyampaikan hasil penelitian. Teknik analisis data merupakan usaha peneliti untuk menunjukan proses pengaturan data hingga dapat ditampilkan sebagai hasil penelitian. Pengertian mengenai teknis analisis data dijelaskan Patton (Moleong, 2006: 280) yang menyatakan bahwa “Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.” Teknik analisis data dalam penelitian ini berdasarkan komponen analisis data interaktif yang dikemukakan Miles dan Huberman (Sugiyono, yang menyatakan bahwa “Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersama-sama yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi.”
ISSN: 2085 1979
28
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Bagan 3. Analisis Data Interaktif
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan peneliti dilapangan. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan penyempitan ringkasan data lainnya. Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Penyajian data digambarkan melalui rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan sistematis agar mudah dipahami. Penyajian data ini merupakan serangkaian upaya peneliti dalam menyampaikan hasil-hasil temua dilapangan yang telah melalui tahap reduksi data. Penyajian data ini merupakan upaya peneliti dalam menampilkan hasil penelitian sebagaimana pemahamannya dalam menkonsepkan jawaban-jawaban penelitian. Penarikan kesimpulan ini merupakan hasil akhir yang ingin disampaikan peneliti mengenai hal-hal yang menjadi perhatian peneliti. Verifikasi merupakan tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan dengan peninjauan kembali berbagai upaya penyusunan data melalui berbagai penyeleksian data yang di dapat agar memenuhi unsur keseluruhan kebutuhan hasil penelitian. Hasil Penemuan dan Analisis Pada bagian hasil penelitian ini, peneliti akan menunjukan hasil dari analisa yang dilakukan pada iklan televisi Confidence Diapers. Iklan Confidence Diapers melakukan teknik pengambilan gambar yang berulang-ulang pada objek yang sama, hal ini juga dikarenakan fokus iklan yang hanya menunjukan pada keberadaan lima perempuan paruh baya. Iklan Confidence Diapers ini pada dasarnya terdisi atas beberapa adegan yang dibedakan berdasarkan topik pembicaraan dari kelima perempuan paruh baya sebagai subjek utama iklan. Untuk itu peneliti membagi hasil analisis penelitian berdasarkan beberapa adegan yang terdiri atas beberapa adegan pendukung, sebagaimana analisis yang dilakukan berikut ini: Analisis Adegan 1 Iklan Confidence diapers berikut ini, penulis bagi menjadi 5 adegan. Pembagian adegan sesuai dengan tema atau topik pembicaraan
29
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
yang berlangsung. Pada tiap adengan memiliki beberapa scene yang nantinya akan dianalis. Gambar 1 . adegan 1
1A
1B
2 1
1C Pada adegan 1 iklan Confidence Diapers, terlihat bahwa ada lima perempuan paruh baya berusia sekitar 50 tahun-an sedang berkumpul di sebuah café. Terdapat 3 adegan utama yang menunjukan alur cerita pada adegan 1 dengan berdasarkan pada tema obrolannya. Gambar 2. Adegan 1
ISSN: 2085 1979
30
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
Penanda: a. Pertanyaan: “Eh Jeng, ngomong-ngomong gimana kabar anak mu?” Petanda: a. Kalimat tersebut menjadi petanda perempuan paruh baya yang ingin mengetahui kabar anak dari perempuan paruh baya lainnya. Makna Denotasi: a. Seorang perempuan paruh baya (yang diberi tanda lingkaran merah pada gambar 1A di atas) membuka percakapan dengan menanyakan kabar mengenai anak dari perempuan paruh baya yang ada di depannya. Makna Konotasi: a. Adegan tersebut menunjukan bahwa perempuan paruh baya yang menanyakan kabar anak tadi menunjukan bahwa dia sudah lama tidak bertemu dengan temannya, sehingga ingin mengetahui hal terbaru dari kehidupan temannya. Gambar 2. Adegan 2
Penanda: a. Menjawab
pertanyaan:
penerbangan di sana,”
“Sekarang
di
Jerman,
masuk
maskapai
Petanda: a. Menjelaskan keadaan Makna Denotasi: a. Menjawab pertanyaan dengan mudah dan diikuti dengan penjelasan singkat Makna konotasi: a. Memilik makna yang dapat menunjukan petanda bahwa perempuan paruh baya tersebut telah berhasil membesarkan anaknya, dan bangga akan pencapaian anaknya.
31
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
Gambar 3. Adegan 3 i
Petanda: a. Ibu – ibu yang saling bertatapan b. Pemakain gelang dan kalung mutiara serta rambut yang disasak Petanda: a. Perilaku yang kurang menyenangkan b. Gaya ibu pejabat Makna Denotasi: a. Sikap saling memandang satu sama lain dengan saling senyum tersungging. Adegan tersebut menunjukan adanya rasa tidak percaya atau terkesan mempertanyakan pernyataan perempuan paruh baya yang ada di depannya atau mengangap adanya nilai kesombongan dari jawaban perempuan paruh tersebut. b. Memiliki stratas sosial yang tinggi Makna Konotasi: a. Bahwa sikap tersebut dapat dianggap kurang menyenangkan. Perilaku tersebut dapat dimaknai sebagai sikap sirik, atau berpikiran buruk karena penilaiannya pada pernyataan orang lain yang mungkin lebih dari pada dirinya, dianggap sebagai suatu kesombongan atau menganggapnya sebagai bualan. b. Sedangkan gambaran perempuan paruh baya dengan rambut disasak mengembang dan perhiasan mutiara menunjukan adanya kemampuan financial, hubungannya dengan status sosial, hingga adopsi perilaku kalangan atas yang dianalogikan pada gaya ibu-ibu pejabat. Sejalan dengan penjelasan di atas, informan Nickolas France Rampisela memberikan penilaiannya pada adanya penggambaran statrus sosial dalam iklan ini, bahwa “Menurut gue (saya) perempuan baya di iklan ini adalah ibu untuk golongan atas. Sama seperti produk ini, kan ga semua perempuan baya atau ibu-ibu bisa menggunakan popok ini. Butuh cost lebih untuk membeli popok ini.” (Rampisela, wawancara 3 Juni 2013). Mitos dari adegan 1 tersebut menunjukan bahwa ada beberapa bentuk penstereotipan yang dihadirkan dari penggambaran perempuan paruh baya sering diperlihatkan sebagai sosok yang ingin tahu mengenai kehidupan orang lain. Stereotip tersebut memperlihatkan bahwa perempuan paruh baya, seperti halnya ISSN: 2085 1979
32
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
ibu-ibu kebanyakan yang lebih dikaitkan dengan gender yang senang bergosip atau ingin mengetahui kehidupan orang lain. Pada kenyataannya perilaku ini bahkan menjadi komoditas oleh pertelevisian, dimana ibu-ibu sering dijadikan sebagai salah satu segmentasi utama dari tayangan infotainment atau tayangan gosip. Stereotip masyarakat yang sering mengaitkan bahwa ibu-ibu sering bergosip, sering berkumpul untuk membicarakan tetangganya, membicarakan gosip artis yang tengah marak apalagi menyangkut kehidupan pribadi dan keluarganya. Perilaku ibu-ibu yang senang bergosip, senang membicarakan orang lain, ingin mengetahui kehidupan orang lain, menjadi analogi dari stereotip perempuan paruh baya pada umumnya, dimana pembentukan stereotip tersebut juga berasal dari pemahaman masyarakat dalam menilai perilaku perempuan paruh baya. Salah satu kajian Barthes, mendasarkan analisis semiotik pada wacana pertukaran tanda dan penandanya dalam suatu tahapan signifikansi pertama yang kemudian dikenal sebagai makna denotasi. Denotasi dalam kajian ini dimengerti sebagai penggambaran makna paling nyata dari tanda. Dengan kata lain, denotasi merupakan manifestasi dari tanda terhadap objek. Pemahaman ini dikemukakan sebagai suatu upaya peneliti dalam memberikan batasan yang baku mengenai kebebasan makna denotasi diluar dari adanya satu rujukan pemahaman semata. Makna denotasi dalam kajian semiotik, merujuk pada esensi tanda dalam konteks komunikasi manusia yang melakukan pemilahan antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Arti dari penanda dan petanda ini diungkapkan Barthes yang kemudian dikutip oleh Sobur yang mengatakan bahwa “Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa.” (Sobur, 2004: 125). Dalam pandangan Barthes, makna denotasi bukan hanya merujuk pada adanya makna sebenarnya atau makna yang paling nyata yang ditunjukan objek. Makna denotasi lebih memperlihatkan hubungan antara penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan upaya pemaknaan lain dari makna paling nyata tersebut. Makna denotasi lebih menunjukan adanya upaya awal dalam memaknai interaksi objek sebagai pembuka kemungkinan mengenai adanya makna lanjutan. Makna denotasi pada stereotip perempuan paruh baya dapat dilihat dari penampilan yang juga mendukung perempuan dalam menampilkan stereotip dirinya sebagai sosok yang dapat mengikuti perkembangan jaman atau menganggap bahwa penampilan dapat mendukung status dirinya dan keadaannya seperti yang terlihat pada cara penataan dan perwarnaan rambut, cara berpakaian, penggunaan perangkat elektronik, hingga perhiasan. Stereotip perempuan yang direpresentasikan melalui objek-objek audio visual iklan juga banyak menunjukan sikap-sikap yang terkesan janggal melalui bentuk-bentuk tatapan, sikap tubuh, hingga mimik muka. Banyak diantaran adegan yang menunjukan makna diantara sikap-sikap dari objek-objek perempuan paruh baya seperti tatapan sinis, polos, heran, ramah, hingga melankolis diperlihatkan untuk mewakili karakter perempuan paruh baya pada umumnya. Perilaku hingga cara bicara perempuan paruh baya juga dapat menunjukan caranya merepresentasikan stereotip perempuan yang memiliki kebanggaan pada hal-hal yang dimilikinya seperti membicarakan pekerjaan anak. Hal-hal yang menunjukan stereotip perempuan paruh baya sebagai sosok yang pelupa atau terkesan polos dapat dilihat dari penggambaran tokoh perempuan 33
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
yang salah menyebutkan posisi kerja atau jabatan dan salah memaknai istilah teknologi. Kebanyakan stereotip perempuan dalam adegan iklan ini lebih menunjukan sosok yang ingin banyak tahu dengan banyaknya pertanyaan, tanggapan atas pertanyaan, atau pernyataan-pernyataan yang menimbulkan pertanyaan kembali. Selain itu, perempuan paruh baya juga banyak digambarkan melalui penggambaran sosok yang lebih memfokuskan diri pada keluarga, khususnya mengenai anak. Makna konotasi merupakan istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikansi tahap kedua. Berdasarkan keteraturan Barthes mengenai produksi makna dalam analisis semiotika, makna konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan dan emosi serta nilainilai dari kebudayaan. Pemahaman mengenai makna konotasi akan menunjukan subjektifitas peneliti sebagai individu yang memahami tanda dalam pemahaman sendiri dengan merujuk pada pemahaman simbol dalam nilai kultur pribadi, karena makna konotasi akan memperlihatkan makna subjektifitas seseorang. Pemahaman makna konotasi yang bekerja dalam tingkat subjektif memperlihatkan kehadiran makna konotasi yang sering tidak disadari. Berdasarkan pemenuhan kepentingan tersebut, analisis semiotika digunakan peneliti untuk dapat meminimalisir adanya kesalahan pemaknaan atau setidaknya memperlihatkan penafsiran alternatif dari banyaknya kemungkinan makna yang terkandung. Pemahaman makna konotasi yang dikategorikan sebagai suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan istilah yang bukan sebenarnya pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan bagaimana makna konotasi menggambarkan sebuah objek yang dikaitkan dengan pemahaman subjektif, dalam artian bahwa objek tersebut diartikulasikan ke dalam makna dalam kerangka pemahaman peneliti. Makna konotasi pda stereotip perempuan paruh baya direpresentasikan sebagai sosok yang banyak memperlihatkan keingintahuan yang besar dan hal ini sering dikaitkan dengan sifatnya yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Berbagai hal ditanggapinya, dan lebih menarik lagi jika berkenaan dengan kehidupan seseorang, bahkan kesenangan perempuan dalam membicarakan berbagai hal dikaitkan dengan stereotip cerewet dan ingin tahu urusan orang lain. Stereotip perempuan paruh baya erat kaitannya dengan kepekaan perasaan hingga mampu menutupi keadaan dirinya, keluarganya, dan hal-hal yang dianggap perlu atau tidak untuk diketahui orang lain. Kepekaannya tersebut terkadang menimbulkan penilaian buruk pada orang lain dan menimbulkan penilaian secara sepihak. Perempuan paruh baya juga mengikuti perkembangan jaman dan menjadikannya sebagai cara untuk lebih memahami keadaan sekitarnya, permasalahan dirinya, keluarganya, khususnya mengenai anaknya. Perempuan paruh baya juga direpresentasikan sebagai sosok yang pikun atau terlalu polos tetapi tidak menyadari kepolosan atau kesalahannya. Stereotip perempuan paruh baya sering dipercaya sebagai sosok yang selalu ingin dianggap benar atas pernyataannya, pemikirannya, pendapatnya, karena kepekaan perasaannya dan pengalamannya. Perempuan paruh baya masih sering menunjukan sikap-sikap pemikiran yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang, sehingga cara pandang yang sudah tidak sesuai tersebut sering besebrangan dengan keadaan dan pola-pola pemikiran sekarang. Perempuan paruh baya dapat menyimpan berbagai perasaannya, sehingga dianggap sebagai sosok yang sulit untuk ditebak, dan juga dikaitkan dengan seringnya berbeda pendapat. Perempuan-perempuan paruh baya dapat menjadikan kepentingan ISSN: 2085 1979
34
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
anaknya sebagai tujuan hidupnya, dan bahkan sering tidak menunjukan sisi objektif dalam menilai anaknya. Dalam sistem pemaknaan signifikansi dua tahan Barthes, mitos berada pada rangkaian signifikansi tahap kedua yang merupakan hubungan antara esensi dari representasi dari objek yang bekerja melalui tanda sehingga menghasilkan suatu kepercayaan yang dipahami sebagai representasi dari kebudayaan setempat. Pemahaman mitos tersebut menghasilkan suatu ideologi yang menjadi bentuk dasar pemikiran atas berbagai pandangan dalam masyarakat dalam memahami objek yang dituju. Pemahaman mitos juga diungkapkan Susilo sebagaimana dikutip oleh Sobur yang menjelaskan, bahwa “Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya.” (Sobur, 2004: 128). Mitos bekerja melalui pemahaman budaya atau pemahaman aspek-aspek realitas di dalamnya. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi makna. Ideologi yang sebelumnya telah tertanam sebagai suatu kepercayaan dan pemahaman mendasar tentang suatu pembenaran dan kepercayaan yang mendasari pemahaman. Makna mitos pada stereotip perempuan paruh baya menunjukan bahwa stereotip masyarakat mengenai perempuan paruh baya selalu dikaitkan dengan kesenangannya dalam membicarakan orang lain, gosip, mendramatisir keadaan, dan melankolis. Kepercayaan tersebut dapat dilihat salah satunya melalui acara infotainment dan sinetron yang menempatkan perempuan paruh baya sebagai salah satu segmentasi utamanya. Kesenangan mereka dalam membicarakan pengalaman, hidupannya, apa yang dilihatnya, dan berbagai hal yang diketahuinya, kemudian dianggap masyarakat sebagai stereotip perempuan paruh baya yang cerewet dan dikesankan sok tahu. Mitos-mitos mengenai ibu atau nenek lebih sering dikaitkan sebagai sosok yang cerewet, banyak aturan, dibandingkan sosok ayah atau kakek. Stereotip tersebut pada kenyataannya memang dibentuk atas adanya gambaran umum perempuan dan menghasilkan penilaian yang sama dalam menghasilkan sosok-sosok perempuan paruh baya yang juga melakukan hal yang sama dengan stereotip yang ada. Stereotip perempuan paruh baya juga sering dikaitkan dengan sikap-sikap melankolis, dramatik, peka, empati yang menunjukan besarnya sisi kepekaan perasaan. Banyak diantara cerita-cerita masyarakat tentang ibu yang lebih dekat dengan anaknya, kepercayaan mengenai perasaan ibu lebih kuat dibandingkan siapapun juga membentuk stereotip pada stereotip perempuan paruh baya dengan intuisi sifat keibuan. Mitos lainnya yang membentuk stereotip perempuan paruh baya dapat dilihat dari caranya dalam merepresentasikan diri sebagai sosok yang sangat membanggakan kehidupan anaknya, karena menunjukan keberhasilannya dalam mengurus dan mendidik anak. Kenyataannya banyak yang memasukan obrolan-obrolan kehidupan anaknya dalam percakapan-percakapan perempuan paruh baya, bahkan dukungan-dukungan ibu-ibu pada anaknya lebih menunjukan kepekaan perempuan paruh baya sebagai sosok ibu. Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah peneliti paparkan menggunakan semiotika Roland Barthes, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa stereotip perempuan paruh baya pada iklan televisi Confidence Diapers menunjukan bahwa 35
ISSN: 2085 1979
Reza Ekon Wirata dan Mei Ie: Representasi Stereotip Perempuan Paruh Baya DalamIklan Televisi “Confidence Diapers”
penampilan dapat mendukung status dan keadaannya seperti yang terlihat pada cara penataan dan perwarnaan rambut, cara berpakaian. Stereotip perempuan paruh baya yang sering bersikap melalui bentuk-bentuk tatapan, sikap tubuh, hingga mimik muka sering terlihat. Banyak diantaran adegan yang menunjukan makna diantara sikap-sikap dari objek-objek perempuan paruh baya seperti tatapan sinis, polos, heran, ramah, hingga melankolis. Perempuan paruh baya juga pelupa atau terkesan polos. Kebanyakan stereotip perempuan dalam adegan iklan ini lebih menunjukan sosok yang ingin banyak tahu dengan banyaknya pertanyaan, tanggapan atas pertanyaan, atau pernyataan-pernyataan yang menimbulkan pertanyaan kembali. Selain itu, perempuan paruh baya juga banyak digambarkan melalui penggambaran sosok yang lebih memfokuskan diri pada keluarga, khususnya mengenai anak. Seorang ibu sering diibaratkan lebh dekat dengan anak-anaknya dan menjadi stereotip sendiri bahwa ibu lebih memahami anaknya dan anak lebih dekat dengan ibunya karena ibunya dapat berperan sebagai teman yang dapat mendengarkan permasalahan-permasalan anaknya. Stereotip tersebut membentuk perempuan baya yang dianalogikan pada sosok ibu sebagai pendengar yang baik. Hal ini dapat dimaknai bahwa perempuan baya yang pada sosok ibu merupakan sosok yang sangat memperhatikan berbagai perilaku dan perkembangan anaknya menunjukan usahanya untuk melindungi anaknya, walaupun diibaratkan anaknya berbuat salah. Semua bentuk stereotip masyarakat dan lingkungan kita pun sering menunjukan hal yang sama, dimana penilaian akan sosok ibu selalu mengedepankan kepentingan anaknya. Konotasi dari stereotip perempuan paruh baya pada iklan televisi confidence diapers direpresentasikan sebagai sosok yang banyak memperlihatkan keingintahuan yang besar dan hal ini sering dikaitkan dengan sifatnya yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Stereotip perempuan paruh baya kuat untuk dikaitkan dengan kepekaan perasaannya hingga mampu menutupi keadaan dirinya, keluarganya, dan hal-hal yang dianggap perlu atau tidak untuk diketahui orang lain. Kepekaannya tersebut terkadang menimbulkan penilaian buruk pada orang lain, dan melakukan penilaian secara sepihak. Perempuan paruh baya juga mengikuti perkembangan jaman dan menjadikannya sebagai cara untuk lebih memahami keadaan sekitarnya, permasalahan dirinya, keluarganya, khususnya mengenai anaknya. Mitologi pada stereotip perempuan paruh baya menunjukan bahwa stereotip masyarakat mengenai perempuan paruh baya selalu dikaitkan dengan kesenangannya dalam membicarakan orang lain, gosip, drama, dan melankolis. Kesenangan mereka dalam membicarakan pengalaman kehidupannya, apa yang dilihatnya dan berbagai hal yang diketahuinya dan kemudian dianggap oleh masyarakat sebagai stereotip perempuan paruh baya yang cerewet. Stereotip perempuan paruh baya juga sering dikaitkan dengan sikap-sikap melankolis, dramatik, peka, empati yang menunjukan besarnya sisi kepekaan perasaan. Pada akhir analisa ini kita dapat melihat bagaimana pemaknaan akan kesuksesan dilihat dari pencapapain materi yang semua ditunjukan oleh adegan-adegan yang menunjukan penstreotipan akan perempuan paruh baya (ibu-ibu) yang membanggakan anaknya akan status atau pencapaian materi yang tinggi. Kesuksesan bukan apa yang orang lain rasakan, tapi apa yang kita rasakan sendiri. Menjadi orang tua yang baik karena sang anak akan mendapatkan rasa untuk menghargai diri sendiri dari adanya kualitas waktu yang dihabiskan oleh kedua orang tuanya untuk bergaul dan berkomunikasi secara langsung dengan sang ISSN: 2085 1979
36
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun V/01/2013
anak. Bukan melihat dari segi hal materi saja tapi juga dilihat dari rasa sayang serta empati terhadap orang tua sendiri. Berdasarkan kesimpulan ditas, saran-saran yang dapat peneliti berikan adalah: Dianjurkan bagi para mahasiswa-mahasiswi yang melakukan penelitian semiotika dapat mengkaitkan dengan aspek-aspek lain diluar dari apa yang telah diteliti pada penelitian ini sebelumnya. Misalnya dari aspek kebudayaan, sosial, lingkungan dan lain-lain sehingga dapat berguna di kedepanya. Sebaiknya bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian sejenis dalam menganalisa iklan sebagai objek utama penelitian, agar dapat memilah adegan secara cermat dengan menetukan setiap adegan yang hanya memiliki keterkaitan dengan fokus penelitian yang diambil agar tetap sejalan dengan tujuan penelitian. Saran Praktis, Sebaiknya penonton dalam menilai iklan confidence diapers harus dapat menilainya secara keseluruhan melalui berbagai objek iklan yang ada dan terkait bukan hanya melihat dari segi materialisme saja melainkan aspek lainya agar makna iklan tersebut dapat diinterpretasikan secara lebih tepat dengan pemahaman penonton. Sebaiknya agensi iklan dapat menjadikan setiap adegan iklan sebagai sarana dalam menyampaikan pesan-pesan komunikasi dengan mengedepankan tanda-tanda visual yang kuat dalam makna agar pengemasan iklan tetap menarik sekaligus juga sarat akan makna. Daftar Pustaka Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. (2005). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (cetakan kedua). Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Fakih, Mansour. (2004). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar. Gandhi, Mahatma. (2002). Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar. Hall, Stuart. (1997). Representation, Cultural Representation and Signifying Practice. London: SAGE Publications Ltd. Jefkins, Frank. (2004). Periklanan (edisi ketiga). Jakarta:Erlangga Kasali, Rhenald. (2007). Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Kotler, Philip. (2002). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol (Jilid II). Jakarta: Prenhallindo. Mufid, Muhamad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana: Prenada Media Grup. Parwadi, Redatin. (2004). Televisi Daerah Diantara Himpitan Kapitalisme Televisi . Pontianak: Untan Press. Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (cetakan ketiga). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soemanagara, Rd. (2006). Strategi Marketing Communication: Konsep Strategis dan Terapan. Bandung: Alfabeta. Widyatama, Rendra. (2005). Periklanan. Jakarta: Busana Pustaka Indonesia.
37
ISSN: 2085 1979