REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Komunikasi Bidang Studi Advertising & Marketing Communications
Disusun oleh :
ANTONIUS HARMOKO 44305110001 Bidang Studi Advertising & Marketing Communications Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta 2009
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
Lembar Persetujuan Sidang Skripsi
Judul
Nama NIM Bidang Studi Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) : Antonius Harmoko : 44305110001 : Advertising & Marketing Communications : Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Mengetahui, Pembimbing Skripsi
Dr. Endah Murwani, M.Si
ii
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
Lembar Kelulusan Sidang Skripsi
Judul
Nama NIM Bidang Studi Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) : Antonius Harmoko : 44305110001 : Advertising & Marketing Communications : Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Menyetujui,
1. Ketua Sidang (Drs. Juwono Tri Atmojo, M.Si)
(______________________)
2. Penguji Ahli (Farid Hamid, S.Sos; M.Si)
(______________________)
3. Pembimbing Skripsi (Dr. Endah Murwani, M.Si)
(______________________)
iii
Bidang Studi Advertisng & Marketing Communication Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana
Lembar Persetujuan Perbaikan Skripsi
Judul
Nama NIM Bidang Studi Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) : Antonius Harmoko : 44305110001 : Advertising & Marketing Communications : Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Menyetujui,
1. Ketua Sidang (Drs. Juwono Tri Atmojo, M.Si)
(______________________)
2. Penguji Ahli (Farid Hamid, S.Sos; M.Si)
(______________________)
3. Pembimbing Skripsi (Dr. Endah Murwani, M.Si)
(______________________)
iv
Lembar Pengesahan Skripsi
Judul
Nama NIM Bidang Studi Fakultas
: REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) : Antonius Harmoko : 44305110001 : Advertising & Marketing Communications : Ilmu Komunikasi
Jakarta, Agustus 2009
Mengetahui, Pembimbing Skripsi
(Dr. Endah Murwani, M.Si)
Dekan FIKOM UMB
Kabid Studi Periklanan FIKOM UMB
Dra. Diah Wardhani M.Si
Dra. Tri Diah Cahyowati, M.Si
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Bapa di Surga, karena hanya karena kemurahanNYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007), sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercu Buana, Jakarta. Pemilihan judul REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) ini berdasarkan keinginan penulis untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai kebersamaan yang merupakan bagian dari budaya Jawa bisa direpresentasikan dalam iklan, dan mampu menghasilkan pesan yang komunikatif kepada pembaca. Dalam proses pengerjaannya, terdapat keterlibatan banyak pihak yang turut membantu hingga skripsi ini tersusun dengan baik, sekalipun masih didapati banyak kekurangan. Karenanya dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu : 1. Ibu Endah Muwarni, Dra MS. selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar meluangkan waktu untuk berdiskusi di antara kesibukan kerja-nya. 2. Bapak Farid Hamid, S.Sos, MSi selaku dosen penguji ahli, untuk segala masukan yang diberikan. 3. Ibu Tri Diah Cahyowati, Dra. selaku Ketua Bidang Studi Periklanan, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana.
vi
4. Dra. Diah Wardhani M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana. 5. Bapak, Ibu, dik Vera, Bude dan seluruh keluarga besar yang menjadi sumber energi yang tak kunjung habis selama menempuh studi di Jakarta. 6. Teman-teman kelas Advertising & Marketing Communications, FIKOM, Program Kuliah Karyawan, UMB D-III angkatan 7, untuk persahabatan dan proses yang kita lalui bersama. 7. Keluarga besar karyawan TU FIKOM UMB yang turut membantu keperluan surat-menyurat untuk penyelesaian skripsi. 8. Semua pihak yang telah berbaik hati membantu penulis sejak awal hingga akhir studi di Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang didapati dalam penulisan skripsi ini, karenanya penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang akan memperkaya tulisan sederhana ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi mereka yang membacanya.
Jakarta, Agustus 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman Judul...............................................................................................................i Lembar Persetujuan Sidang Skripsi ..............................................................................ii Lembar Kelulusan Sidang Skripsi................................................................................iii Lembar Persetujuan Perbaikan Skripsi.........................................................................iv Lembar Pengesahan Skripsi.......................................................................................... v Kata Pengantar ............................................................................................................vi Daftar Isi ……………………………………………………………..........................viii Daftar Gambar ................................................................................................................ x Abstraksi ……………………………………………………………............................. xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah ……………………………………………………… 1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………………………………….. 12
1.3
Tujuan Penelitian …………………………………………………………….. 12
1.4
Signifikasi Penelitian ………………………………………………………… 12 1.4.1 Signifikasi Akademis ………………………………………………… 12 1.4.2 Signifikasi Praktis ………….………………………………………… 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Nilai Kebersamaan sebagai Bagian dari Budaya Jawa
………...…..……..... 14
2.2
Iklan sebagai susunan tanda-tanda ………...……………................................. 20 2.2.1 Tanda-tanda dalam Iklan Cetak ……...……………................................. 22 2.2.2 Nilai Budaya Jawa dalam iklan ……...……………............................... 24
2.3
Semiotika sebagai Kajian untuk Memahami Sistem Tanda……….…....…… 31
2.4
Representasi dalam Semiotika ......................................................................... 36
BAB III METODOLOGI 3.1
Paradigma Penelitian ……………………………………………………….. 40
3.2
Tipe Penelitian ……………………………………………………………… 41
viii
3.3
Metode Penelitian …………………………………………………………… 42
3.4
Unit Analisa ………………………………………………………………… 43
3.5
Definisi Konsep …………………………………………………………….. 44
3.6
Tehnik Pengumpulan Data ………………………………………………….. 44
3.7
Analisa Data ……………………………………………………………........ 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Penelitian 4.1.1 Analisa Sintagmantik Iklan Maajalah Harian Kedaulatan Rakyat versi ”Menyapu Jalan”……....………….…………………………......................... 48 4.1.1.1 Headline ……………………………...……………............... 49 4.1.1.2 Ilustrasi ….……………………………….......……............... 51 4.1.1.3 Teks Iklan ……………………...…………………............... 57 4.1.1.4 Identitas …………………...………………………............... 59 4.1.2 Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi ”Menarik Becak”……....………….…………………………......................... 60 4.1.1.1 Headline ……………………………...……………................ 61 4.1.1.2 Ilustrasi ….……………………………….......……................ 63 4.1.1.3 Teks Iklan ……………………...…………………................ 68 4.1.1.4 Identitas …………………...………………………................ 70 4.1.3 Analisa Paradigmatik …………………...…………………................... 71
4.2
Pembahasan …...............…....….......………………....................................... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan..................................................................................................... 87 5.2. Saran............................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.2
Tokoh Utama Punakawan ........................................................ 29
Gambar 4.1.1
Iklan harian Kedaulatan Rakyat versi ’Menyapu Jalan’ ............ 48
Gambar 4.1.2
Iklan harian Kedaulatan Rakyat versi ’Menarik Becak ............. 60
x
”Segala sesuatu indah pada waktunya…”
…teruntuk Bapak dan Ibu yang tak pernah lelah menemani dan memberikan doa...
xi
Bidang Studi Advertising & Marketing Communications Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana ABSTRAK ANTONIUS HARMOKO 44305110001 REPRESENTASI NILAI KEBERSAMAAN SEBAGAI BAGIAN DARI BUDAYA JAWA DALAM IKLAN (Kajian Semiotik terhadap Iklan Harian Kedaulatan Rakyat di Majalah Cakram Komunikasi Tahun 2007) xiii halaman + 87 halaman Bibliografi : 21 buku (1974-2008); 9 artikel majalah, 6 artikel web site Pesan dalam sebuah iklan merupakan faktor utama yang menentukan berhasil atau tidaknya sebuah proses komunikasi komersial ataupun sosial yang disampaikan ke benak permirsa. Salah satunya adalah harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta yang mengemas iklan cetak mereka melalui pendekatan yang mengangkat simbol-simbol budaya Jawa dan bercerita mengenai nilai kebersamaan yang dianut oleh masyarakatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat representasi nilai budaya Jawa yang terdapat dalam eksekusi iklan cetak dengan meneliti tanda-tanda yang terdapat pada iklan, sekaligus untuk memahami makna dari tanda-tanda tersebut. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Semiotika Signifikasi yang didasari oleh pemikiran dari Ferdinand de Saussure dimana akan dilihat ke dalam tiga area penting dalam kajian akan tanda; yaitu tanda itu sendiri, sistem dimana tanda itu tersusun, dan kebudayaan di mana tanda itu beroperasi. Relasi pertandaan ini didasarkan kepada bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ’bentuk’ atau ’ekspresi’; dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ’konsep’ atau ’makna’. Sedangkan data-data yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat diolah secara kualitatif untuk kemudian coba dianalisa menggunakan metode analisis sintagmantik dan paradigmatik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Penelitian deskriptif juga tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji coba hipotesa, membuat ramalan, atau mendapatkan makna atau simplikasi, walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif. Dari definisi di atas, maka tipe penelitian deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan makna dalam struktur teks iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat dilihat dari setiap aspek konsep tanda yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai budaya Jawa direpresentasikan dalam semua aspek tanda yang terdapat dalam iklan baik pada headline, ilustrasi, maupun teks dari iklan, dimana pemaknaan yang terbentuk dari susunan tanda tersebut menghasilkan sebuah bentuk representasi nilai-nilai kebersamaan dalam budaya Jawa yang dijadikan sebagai pesan utama dari iklan.
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Iklan dewasa ini telah menjadi medium yang banyak digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan komersial ataupun non komersial. Kemunculan berbagai bentuk media interaktif dan media iklan luar ruang yang berintegrasi dengan lingkungan membuat bentuk eksekusi iklan semakin beragam, sehingga pesan dapat disampaikan kepada masyarakat dengan cara dan pendekatan yang kreatif. Dari segi pesan, kreativitas iklan juga mampu menjangkau sasaran hingga ke dalam lingkup segmentasi terkecil, karena pesan iklan kini telah hadir dalam muatan yang lebih personal dan dekat dengan keseharian kehidupan masyarakatnya. Iklan telah menjadi sebuah solusi yang efektif dalam mendukung upaya pemasaran karena ditujukan langsung kepada target konsumennya yang sangat tersegmentasi dan spesifik (niche market). Dari segi fungsinya, iklan secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu iklan komersial dan non komersial. Kedua jenis iklan ini secara umum memiliki beberapa tujuan seperti untuk membujuk target khalayak, memberikan informasi, serta untuk meningkatkan citra sebuah merek di masyarakat. Iklan komersial merupakan bentuk iklan yang berisi pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada calon pembeli yang paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu.1 Fungsi utama dari iklan
1
Frank Jefkins, Periklanan (Jakarta: Erlangga 1997), 5
2 komersial adalah untuk mendukung proses pemasaran sebuah produk. Sedangkan iklan non komersial adalah bentuk iklan yang tidak bertujuan untuk menjual produk secara langsung melalui pesan-pesannya. Dalam sebuah iklan, komoditas yang paling utama sekaligus berharga adalah pesan dengan ’ide yang tetap segar’.2 Pencarian ide dari pesan yang kreatif dan mampu bertahan lama dalam sebuah kampanye periklanan sangat dibutuhkan agar
merek dapat ’muncul’ dan ’terlihat’ diantara banyaknya
pesaing. Secara umum, ide kreatif harus mampu: 1. Menciptakan kesadaran yang tinggi. 2. Mengubah sikap khalayak sasaran menuju arah yang telah ditetapkan dalam tujuan. 3. Bersifat fleksibel terhadap kondisi pasar yang beragam. 4. Dapat dilaksanakan ke dalam berbagai media. 5. Dapat menyesuaikan dengan strategi pemasaran lain seperti promosi penjualan, program penjualan, dan pemasaran hubungan pelanggan.3
Apapun media yang digunakan, iklan harus muncul dengan ide-ide baru yang mampu menarik perhatian konsumen. Dan ini bisa dihasilkan melalui pesan yang kreatif, komunikatif, informatif sekaligus persuasif, sehingga diharapkan pesan iklan dapat tertanam dalam waktu yang lama di benak konsumen. Dalam perkembangannya, dari segi bentuk eksekusi, penggunaan media, dan yang terutama dari bentuk pesan yang disampaikan iklan sudah sangat mengalami banyak perubahan. Dari segi eksekusi dan media, peranan teknologi turut membuat dunia periklanan semakin inovatif dan kreatif dalam berkomunikasi dengan
2
May Lwin & Jim Aitchison, Clueless in Marketing Communications (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer 2005), 128 3 Ibid
3 konsumen. Sedangkan dalam bentuk pesan iklan, kita bisa melihat bahwa iklan sudah mampu berkomunikasi sacara lebih personal dengan impact yang dihasilkan cukup bertahan lama. Pesan-pesan iklan yang ada saat ini sudah mengalami
kemajuan
yang
berarti
dalam
kaitannya
sebagai upaya
mengkomunikasikan sebuah merek dalam benak masyarakat yang semakin modern, kritis, dan berpikiran lebih terbuka. Dalam strategi penciptaan sebuah pesan iklan, terdapat dua buah pendekatan strategi yang seringkali digunakan dalam upaya penyampaian pesan ke benak konsumen. Kita mengenalnya sebagai sumber kreatif dalam penciptaan sebuah iklan yaitu: 1. Sumber Faktual–produk, yakni strategi kreatif iklan yang berdasarkan data-data baku yang tidak akan berubah. Sumber ini mengedepankan aspek keunggulan data produk yang bersifat teknis. 2. Sumber Imajinatif – image/citra, yakni upaya mengeksplorasi aspek emosional dan image yang melekat pada produk dan jasa yang ditawarkan kepada target audience, sehingga diharapkan pemirsa bidikan mendapatkan kebanggaan dan prestisius.4 Ian Batey dalam bukunya Asian Branding mengungkapkan bahwa setiap merek memiliki dua nilai daya tarik yang sangat penting dimana keduanya digambarkan dalam sebuah gambaran yin –yang; saling terkait satu sama lain. Nilai daya tarik tersebut adalah: 1. Nilai-nilai merek rasional, meliputi sifat dan manfaat berwujud. a. Sifat: apakah definisi produk (bukan merek)? Apa keistimewaan produk fungsionalnya dan ciri khas secara fisik? b. Manfaat berwujud: apakah produk itu cocok dengan saya? Apa konsekuensi fungsional dari sifat produk yang membuat merek disenangi? 2. Nilai-nilai emosional merek, meliputi kepribadian dan keuntungan yang tidak berwujud. a. Kepribadian: seandainya merek itu manusia, manusia macam apakah dia?
4
Agustrijanto (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2001), 60
4 b. Manfaat yang tidak berwujud: perasaaan apa yang dibangkitkan oleh merek? Apa imbalan emosional dapat saya harapkan dengan menggunakan merek?5 Fenomena yang terjadi saat ini, iklan tidak lagi dan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk ’berbicara’ mengenai ’nilai guna’ suatu produk, tetapi iklan sudah menjadi media untuk melakukan pendekatan emosional secara personal kepada konsumen. Hal ini bisa kita cermati dari bentuk-bentuk pesan dalam iklan baik itu media eletronik maupun media cetak. Iklan-iklan dari berbagai produk sudah tidak banyak berbicara mengenai keunggulan teknis masing-masing produk dibandingkan pesaing, tetapi sudah berbicara mengenai kedekatan emosional yang bisa dimunculkan apabila konsumen menggunakan produk tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini karena adanya standar mutu tinggi yang telah dimiliki oleh banyak produk sejenis, sehingga perbedaan-perbedaan kualitas tidak lagi terlihat secara nyata atau semakin berkurang.6 John Hegarty dari biro iklan Bartle Hegarty dalam buku Clueless in Advertising mengatakan bahwa iklan dewasa ini lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan yang dirasakan dan tidak berwujud. ”Unique Selling Proposition (U.S.P.) telah digantikan oleh E.S.P. atau Emotional selling Proposition.”7 Media cetak maupun audiovisual kini dipenuhi oleh iklan yang tampil dengan pesan yang lebih sederhana, menyentuh, membanggakan, dan dapat menarik simpati dari konsumen sehingga mampu membangun awareness yang
5
Ian Batey, Asian Branding (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer 2002), 86 May Lwin & Jim Aitchison, Clueless in Advertising (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer 2005), 21 7 Ibid 6
5 baik di benak masyarakat pada umumnya, khususnya kepada target sasaran dari produk tersebut. Para perusahaan yang beriklan tersebut kini makin menyadari bahwa dengan sedemikian besarnya arus informasi yang diterima masyarakat yang semakin modern, konsumen kini tidak hanya mencari keunggulan manfaat dan fungsi semata dari sebuah produk yang dipilihnya, melainkan juga kenyaman dan kepuasan pribadi yang bisa membuatnya yakin bahwa pilihannya untuk menggunakan produk tertentu adalah pilihan yang benar dan masuk akal, menjadi sebuah kebutuhan, dan mampu meningkatkan prestise atau kebanggaan. Hal ini yang menyebabkan beragamnya bentuk eksekusi sebuah iklan pada media massa dimana saat ini, media dan periklanan telah menjadi sebuah industri ekonomi yang semakin berkembang. Media massa baik media eletronik (stasiun TV, stasiun radio, pengelola situs berita di
internet) atau media cetak (penerbit surat kabar, majalah,
tabloid, dll) tumbuh menjadi sebuah pelaku industri dimana salah satu core business utama yang dimiliki selain ’menjual’ berita melalui media terbitannya juga dengan menyediakan ruang bagi para pengiklan untuk menempatkan iklannya. Dan dalam hal penyedian ruang iklan, media massa seperti televisi, surat kabar dan majalah sampai saat ini masih menjadi pilihan utama para perusahaan untuk berkomunikasi melalui iklan. Semakin besar sebuah industri maka konsekuensi yang harus dihadapi adalah hadirnya pesaing. Untuk mengantisipasi persaingan bisnis ini, maka media massa juga merasa perlu untuk melakukan sebuah kampanye promosi dan periklanan untuk semakin memperkuat merek agar mampu meningkatkan
6 loyalitas pembaca atau penonton dan berujung kepada meningkatnya kepercayaan dari para pengiklan. Di media surat kabar, persaingan merebut pasar melalui iklan juga menjadi hal yang penting untuk dicermati. Di tengah maraknya persaingan dan jumlah surat kabar yang terbit, maka iklan diharapkan mampu menjadi alat untuk meningkatkan loyalitas pembaca. Kepercayaan pembaca itu sendiri dianggap penting bagi brand personality surat kabar itu sendiri.8 Iklan-iklan ini biasanya muncul dalam format iklan cetak, walau iklan televisi pun bisa ditemui seperti iklan Sinar Harapan dengan model Komisaris Utama Aristides Katoppo, iklan televisi Kompas versi ”Lintas Generasi”, dan iklan harian Seputar Indonesia ketika baru muncul di persaingan surat kabar nasional. Muatan pesan-pesan pada iklan cetak surat kabar seringkali berisi sosialisasi program-program dan isi dari media tersebut, ataupun untuk menonjolkan penghargaan dan keunggulan yang dimiliki baik itu dari jumlah pembaca ataupun teknologi yang menunjang kegiatan media tersebut. Muatan pesan ini cenderung ingin memperkuat awareness di benak konsumen, sehingga pesan-pesannya pun cukup menjual.9 Namun di luar iklan dengan pesan-pesan faktual yang menjual, surat kabar juga banyak melakukan pendekatan yang lebih kreatif melalui pesanpesan iklan yang imajinatif dan emosional. Di sini media mencoba meningkatkan awareness dan loyalitas pembaca dengan lebih memfungsikan diri mereka sebagai sebuah jembatan komunikasi antara masyarakat, media dengan sistem kehidupan yang ada di dalamnya.
8 9
Artikel: Ketika Koran Harus Beriklan, Majalah Cakram Fokus, April 2006, 46 Ibid
7 Salah satunya contohnya adalah Kompas yang pada tahun 1989 meluncurkan kampanye iklan cetak surat kabar dengan tema ”Mata Hati Kata Hati”, dan dilanjutkan pada 2002 dengan tagline ”Buka Mata dengan Kompas”. Namun, kampanye periklanan yang cukup mengundang perhatian adalah ketika Kompas meluncurkan kampanye iklan cetak ”Lintas Generasi” yang mengusung ikon tokoh nasional dimana kehadiran kampanye periklanan ini bersamaan dengan perubahan format Kompas yang cukup revolusioner. Iklan Kompas ini terbagi atas dua versi, dimana versi pertama menggunakan ikon tokoh-tokoh seperti Harry Roesli, Soe Hok Gie, dan Chairil Anwar, dengan tagline ’Berjuang untuk Perubahan’. Melalui iklan ini Kompas ingin menekankan bahwa Kompas selalu memperjuangkan perubahan (termasuk dalam format Kompas yang baru) sambil tetap menjaga kepercayaan pembacanya.10 Versi kedua ”Lintas Generasi” mengambarkan bayang-bayang seorang direktur yang teringat masa lalunya sebagai seorang loper koran setelah mendengar dering bel sepeda dari sebuah handphone profesional muda yang sedang mempresentasikan perubahan logo perusahaannya. Iklan ini menekankan sisi emosional yang kuat, karena pesan utamanya adalah, walau perubahan itu terjadi, kepercayaan harus tetap dijaga. Kepercayaan ini digambarkan oleh sosok loper yang setia bersepeda dalam melayani tugasnya walaupun dalam hujan deras sekalipun.11 Tidak hanya surat kabar nasional, surat kabar lokal pun bergeliat dengan mengeluarkan dana periklanan yang tidak sedikit untuk kampanye periklanan mereka. Dan pesan-pesan yang dibawa pun sangat beragam dan
10 11
Artikel: Ketika Koran Harus Beriklan, Majalah Cakram Fokus, April 2006, 46 Ibid
8 kreatif, tidak hanya melalui pesan yang menjual namun juga yang memiliki aspek emosional yang kuat. Kedaulatan Rakyat, sebagai salah satu merek media cetak yang telah berkembang menjadi surat kabar harian daerah terbesar di Yogyakarta meluncurkan kampanye periklanan yang sangat bernuansa Jogja dan mengangkat nilai budaya Jawa secara umum. Sebagai sebuah industri, Kedaulatan Rakyat merasa perlu untuk meningkatkan posisinya di pasar koran lokal agar mampu bersaing dengan surat kabar sejenis, dan ini coba dimunculkan dengan mengangkat tema-tema lokal yang juga dekat dengan pembacanya. Sebagai surat kabar yang lahir, bermarkas dan dibesarkan di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat sendiri memiliki muatan melalui berbagai rubrik unggulan dengan warna yang sangat lokal. Rubrik tersebut diantaranya: Penanggalan, Cerbung SH Mintareja, MekarSari, Kanda Raharja, Guyon Maton, dan Adiluhung.12 Karena itulah, melalui tampilan iklan-iklannya, Kedaulatan Rakyat juga berusaha untuk mempertahankan identitasnya serta untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan semangat perusahaan yang dimiliki sebagai bagian dari masyarakat Jogja secara luas.13 Sebagai koran daerah, Kedaulatan Rakyat tidak berjalan sendirian sebagai media yang beriklan. Surat kabar daerah lainnya seperti Pikiran Rakyat – Bandung dan Suara Merdeka – Semarang juga mengangkat tematema lokal dalam pesan-pesan iklannya walaupun dalam pendekatan yang berbeda.14
12
Artikel: Kedaulatan Rakyat, Koran dari Kraton, Majalah Cakram Komunikasi, Maret 2005, 50 Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8 14 Majalah Cakram, Mei 2007 13
9 Muatan nilai budaya lokal dalam eksekusi sebuah iklan itu dianggap memiliki kekuatan dalam menyampaikan pesan, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya.15 Hal ini bisa dilihat dalam kampanye periklanan dari biro-biro iklan di Thailand yang menampilkan nilai budaya masyarakat Gajah Putih dan mampu meraih penghargaan di berbagai festival kreatif periklanan sekaligus juga berhasil mendukung upaya pemasaran produk yang diiklankan secara luas. Pada artikel majalah Cakram tentang Eksplorasi Muatan Lokal, Piyush Pandey, tokoh periklanan dari India, mengungkapkan bahwa hal ini memungkinkan karena para pengiklan melihat pasar sebagai individu, melihat pada core value suatu merek, lalu menyampaikan pesan-pesannya ke dalam bentuk yang paling relevan dengan khalayak sasarannya. Untuk itulah mengapa iklan-iklan dengan muatan budaya setempat seringkali dikatakan sebagai upaya untuk berkomunikasi membangun sebuah merek dengan cara yang efisien.16
Sebagai sebuah kota dan sebuah komunitas, Jogja dan kehidupan masyarakat Jawa yang ada di dalamnya memiliki nilai-nilai budaya yang khas dan terus dijaga kelestariannya hingga saat ini dan hal ini bisa digali dalam proses penciptaan ide sebuah iklan. Iklan-iklan harian Kedaulatan Rakyat tampak dekat keseharian masyarakat dengan latar belakang budaya Jawa yang kuat sehingga pembaca terkadang langsung dapat mengkonotasikan harian Kedaulatan Rakyat dengan Jogja dan budaya Jawa secara umum. Masyarakat Jogja dan kehidupannya yang diangkat sebagai ide utama dari iklan majalah ini secara psikografis telah dikenal lama sebagai masyarakat yang memelihara kebudayaannya dalam setiap sisi kehidupan dan bentuk perilaku mereka. Apapun yang dilakukan dan setiap pemikiran masyarakat
15 16
Artikel: Eksplorasi Muatan Lokal, Majalah Cakram Fokus, September 2006, 36 Piyush Pandey dalam artikel: Terorisme Global, Majalah Cakram, Agustus 2004, 56
10 Jogja dalam kehidupan selalu dilandasi oleh falsafah dan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mereka pegang teguh. Orang Jawa memiliki nilai budaya yang dianut dan didalamnya terkandung kepercayaan kepada Sang Pencipta, kesadaran sebagai bagian dari kodrat alam, dan upaya untuk selalu menjaga ketertiban pada lahirnya dan kedamaian pada batinnya.17 Nilai-nilai budaya tersebut dipertahankan lewat semangat kebersamaan atau gotong royong. Kebersamaan menjadi salah satu bentuk bentuk tradisi dalam berperilaku yang secara tidak langsung berakar pada kehidupan masyarakat Jawa. Nilai-nilai kebersaamaan, gotong royong, hormatmenghormati dengan yang lainnya, tenggang rasa, budi luhur, rukun damai dan mawas diri selalu diupayakan masyarakat Jawa untuk menuju selamat sejahtera dan bahagia lahir batin.18 Nilai-nilai inilah yang coba dituangkan ke dalam bentuk eksekusi iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, dan dimunculkan ke dalam beberapa seri iklan cetak yang cukup menarik secara visualisasi maupun teks iklan. Hadirnya iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat menarik perhatian peneliti karena muncul dengan konsep kreatif melalui penggunaan tanda-tanda dengan muatan nilai budaya Jawa dimana terkandung semangat dan falsafah hidup kebersamaan masyarakat Jogja yang mampu menggugah secara emosional sekaligus mampu mendukung upaya komunikasi pemasaran Kedaulatan Rakyat untuk memantapkan posisinya sebagai surat kabar utama di Yogyakarta.
17
H. Katono K. Partokusumo dalam artikel: Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara Kesatuan RI, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 84. 18 Ibid.
11 Iklan cetak Kedaulatan Rakyat ini muncul dengan ikon-ikon budaya Jawa yang baik secara visual maupun teks iklan. Iklan versi ’membersihkan jalan’ secara menarik memunculkan ikon tokoh pewayangan Punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk dan Bagong dalam sebuah mural (lukisan pada ruang publik) dan digambarkan seolah-olah sedang bergotong royong dengan tokoh penyapu jalan di dunia nyata, khususnya di sebuah jalan di sudut kota Yogyakarta. Begitu juga dengan iklan versi ’menarik becak’ dimana mural menggambarkan masyarakat yogyakarta dari segala lapisan dan profesi (lewat pakaian yang dikenakan) ’bekerja sama’ dengan penarik becak dimana becak itu sendiri telah menjadi salah satu ikon budaya Yogyakarta yang dikenal secara luas. Kedua versi iklan ini diperkuat oleh tagline ’Bebarengan Mrantasi Gawe’ yang sarat akan nilai falsafah budaya Jawa dan didukung oleh body copy iklan yang bergaya testimoni untuk memperkuat asas kebersamaan masyarakat Yogyakarta dengan nilai budaya yang dianutnya. Kedaulatan Rakyat muncul dengan konsep pesan iklan yang menarik, karena hadir melalui pesan iklan yang sarat akan pesan moral melalui pendekatan yang mengangkat nilai kelokalan budaya setempat, walaupun iklan ini berjenis iklan komersial yang biasanya iklan komersial muncul dengan pesan-pesan yang menjual. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dituangkan ke dalam konsep kreatif iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat sehingga pesan utama iklan dapat disampaikan secara baik ke dalam benak khalayak.
12 1.2
Perumusan Masalah Iklan berfungsi untuk menyampaikan pesan melalui penggunaan tandatanda periklanan yang dianggap mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat yang memiliki tanda-tanda periklanan dengan makna tertentu yang coba untuk disampaikan kepada masyarakat. Karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji secara mendalam makna dari tanda-tanda yang ada di dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat serta pesan apa yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut. Dari latar belakang tersebut, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah: Bagaimana representasi nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat?
1.3
Tujuan Penelitian a. Ingin mengetahui tanda-tanda yang merepresentasikan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa yang digunakan dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat. b. Ingin mengetahui makna dari tanda-tanda yang merepresentasikan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat.
1.4
Signifikasi Penelitian 1.4.1 Signifikasi Akademis Mengupayakan pengembangan akademis, khususnya dalam mata kuliah periklanan dan komunikasi pemasaran yang mencakup ke dalam ranah
13 kajian baru mengenai iklan yang mengangkat budaya lokal (Jawa) dan diharapkan bisa berguna bagi jajaran akademis, mahasiswa pada khususnya. Wacana ini diharapkan dapat memperkaya bentuk kajian yang digunakan untuk memaknai penggunaan tanda dalam iklan, sehingga jajaran akademis dapat memiliki referensi tambahan tantang bagaimana tanda-tanda dalam sebuah iklan dibongkar dan dianalisa untuk mendapatkan sebuah kekuatan makna, khususnya pada iklan-iklan di media cetak yang mengangkat budaya lokal (Jawa) dalam muatan pesannya.
1.4.2 Signifikasi Praktis Memberi sumbangan pikiran untuk pengiklan, biro iklan dan media, khususnya mengenai penggunaan tanda atau lambang di dalam visualisasi sebuah iklan khususnya yang mengangkat budaya lokal (Jawa) dalam muatan pesannya. Dalam kasus analisa ini, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan referensi akan sebuah analisa iklan-iklan yang mengangkat simbol-simbol budaya dalam eksekusinya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Nilai Kebersamaan sebagai Bagian dari Budaya Jawa Kebudayaan secara tata bahasa berasal dari kata ’budaya’ yang merupakan bentuk jamak dari kata ’budi’ dan ’daya’ yang berarti cinta, karsa dan rasa.1 Kata budaya itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.2 Dalam buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar karangan Eli. M Setiadi, EB Taylor, salah seorang ahli kebudayaan, mengungkapkan bahwa’budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.’ Sedangkan Koentjaraningrat, ahli budaya lainnya mengemukakan bahwa ”kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dan diperoleh dengan cara belajar.” Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi yang mengatakan bahwa ”kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.” 3 Berdasarkan berbagai sudut tinjauan mengenai pengertian budaya dan kebudayaan, terdapat hubungan yang erat antara manusia dengan sejarah kebudayaannya, sehingga manusia pada hakekatnya disebut sebagai mahluk budaya.4 Kebudayaan Jawa itu sendiri merupakan salah satu dari bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa ada sejak dahulu dan berperan dalam mewariskan berbagai hasil kebudayaan yang masih dapat dinikmati keberadaanya hingga saat ini.
1
Elly M Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2006), 27 Ibid 3 Ibid 4 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 15 2
15 Berdasarkan pengertian kebudayaan secara umum, maka budaya Jawa dapat diartikan sebagai pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum: kemauan, cita-citanya, idenya maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.5 Kebudayaan Jawa memiliki banyak keragaman. Keanekaragaman budaya Jawa ini tampak dari logat daerah bahasa jawa yang memiliki ciri khas antara daerah satu dengan lainnya (misalnya ciri yang berbeda antara daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, atau daerah pesisir pantai utara). Unsur-unsur yang memebedakan juga terdapat dalam makanan, upacara-upacara daerah, kesenian rakyat maupun seni suara.6 Pada perkembangannya, perwujudan kebudayaan dalam aspek kehidupan masyarakat secara tidak langsung membentuk sebuah indentitas masyarakat yang berada dalam lingkungan tertentu. Kebudayaan Jawa dikenal memiliki dasar-dasar seperti: 1. Orang Jawa berlindung kepada Sang Pencipta, dan penyebab dari segala kehidupan. 2. Orang Jawa yakin manusia adalah bagian dari kodrat alam, yang saling memengaruhi sekaligus untuk melawan kodratnya agar dapat mewujudkan kehendak dan cita-citanya. 3. Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya, sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Semboyan yang dipegang adalah ’Memayu ayuning bawana’ (memelihara kesejahteraan dunia).7 Secara lebih jelas, Budiono dalam bukunya Simbolisme Jawa menjabarkan bahwa di dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa selelu berpegang kepada dua hal, yaitu pertama, kepada pandangan hidupnya yang
5
H. Katono K. Partokusumo dalam artikel: Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara Kesatuan RI, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 84. 6 Ibid, 85. 7 Ibid
16 religius dan mistis, dan kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.8 Pandangan dan sikap hidup masyarakat jawa ini disimbolkan lewat berbagai segi kehidupan, dimana nilai-nilai itu dipegang dan dipelihara sebagai suatu warisan leluhur yang tetap dijaga kelestarian dengan cara ’menularkannya’ kepada generas-generasi yang lebih muda. Menurut Budiono, terdapat tiga simbol nilai utama dalam setiap tradisi dan tindakan orang jawa, yaitu simbol yang berhubungan dengan kesatuan roh leluhur seperti menyediakan sesaji, simbol yang berhubungan dengan kekuatan seperti memakai keris, tombak, dan yang terakhir adalah simbol yang berhubungan dengan keluhuran yang erat dengan pedoman-pedoman bertingkah laku.9 Selain simbol dalam bertingkah laku, orang Jawa juga memiiki tiga pedoman utama yang dijadikan pegangan dalam bertingkah laku, bertindak tanduk, dan bertutur kata dalam lingkungan sosialnya yaitu Hasta-Sila, AstaBrata, dan Panca-Kreti.10 Hasta-Sila, yang terdiri atas dua ajaran yaitu Panca-Sila dan Tri-Sila, merupakan ajaran etika, estetika, dan mistis dalam Serat Sasangka Jati, yang merupakan salah satu peninggalana karya tulis/sastra budaya Jawa. Ajaran pertama Hasta-Sila yaitu Panca-Sila merupakan watak dan tingkah laku dasar yang terpuji, yaitu rilo yang berarti keikhlasan hati, narimoyaitu sikap mencari ketentraman di hati, temen yang berarti menepati perkataan sendiri, watak atau sifat sabar yang merupakan tingkah laku terbaik, serta budi luhur yang berarti upaya untuk selalu menjalani kehidupannya sesuai dengan sifat yang dimiliki Tuhan YME. Sedangkan ajaran kedua dari Hasta-Sila yaitu Tri-Sila merupakan pokok yang harus dilaksanakan oleh manusia setiap hari, yaitu eling atau sadar 8
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 139 Ibid 10 Ibid 9
17 kepada Tuhan, pracoyo atau percaya kepada Sukma Sejati atau jiwa pribadinya, serta mituhu yang berarti setia dan selalu melaksanakan segala perintahNya.11 Pedoman utama yang kedua yaitu Asta-Brata atau Delapan Macam Tindakan. Pedoman ini diambil dari wasiat Cupu Manik Asta Gina dalam cerita pewayangan. Simbol dari Asta Brata yaitu: wanita atau wanodya kangpuspita, simbol dalam hal ini wanita/istri yang cantik dan sempurna untuk melambangkan cita-cita yang sempurna yang harus diraih, garwa atau sigarining nyawa, yaitu belahan jiwa, dalam artian harus bersatu dengan lingkungan, wisma atau rumah, yang berarti agar setiap manusia bisa menjadi tempat perlindungan,terbuka dan bijaksana, turangga atau tunggangan, perlambang kuda tunggangan agar manusia dapat mengendalikan panca indra dan nafsu, dan ini dilakukan oleh joki, yaitu oleh jiwa dan budi manusia itu sendiri, curiga atau keris, yang menggambarkan pikiran manusia yang tajam dan diapat dengan cara belajar, dan mengolah rasa agar mampu menanggapi situasi dengan tepat, kukila atau burung perkutut, manjadi simbol suara manusia agar dalam berbicara kepada sesama harus selalu enak didengar sesamnya, warnggana atau ronggeng, yang merupakan penari wanita dalam area terbuka dan seringkali menggoda penari pria, hal ini melambangkan godaan dalam setiap perjalanan manusia yang harus dilalui, pradangga, praptaning kendang lan gangsa atau suara gamelan,melambangkan fungsi yang dimiliki masing-masing manusia dalam kehidupan dan hanya bisa selaras bila dijalankan bersama-sama. 12 Sedangkan pedoman utama yang ketiga yaitu Panca Kreti atau lima perbuatan, yang terdiri atas: Trapsila atau patrap susila-nya, seperti gerakgerik, polah-tingkah, cara menghormati orang tua dan sesamanya, ukara, atau bicaranya, runtut, jelas dan jujur, sastranya, kepandaian dalam bekerja, susilanya, bagaimana moralnya, karyanya, hasilnya dalam bekerja.13 Pedoman-pedoman dalam bertingkah laku inilah yang menuntun setiap pribadi manusia jawa berinteraksi dan bersosialisasi dalam setiap ruang kehidupan. Dimanapun mereka berada, orang Jawa selelu berupaya menjaga nilai-nilai budaya, dan diimplementasikan secara nyata kepada setiap 11
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 127 Ibid, 140 13 Ibid, 139 12
18 perbuatan dan tindakan di masyarakat demi terciptanya sebuah keselarasan dan keharmonisan dalam setiap interaksi dan hubungan, baik dengan Sang Pencipta, sesama sekitar maupun alam dimana mereka berpijak. Bentuk kemasyarakatan Jawa itu sendiri secara historis-sosiologis terdiri dari masyarakat kekeluargaan, masyarakat gotong royong, dan masyarakat berketuhanan.14 Orang Jawa identik dengan pribadi sosial yang toleran kepada lingkungan sekitar. Memegang nilai-nilai kebersamaan menjadi kepribadian orang Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa bukanlah persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ’satu untuk semua, dan semua untuk satu’.15 Menurut Budiono, pada masa lalu, sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan kompleks makam, dan kepentingan bersama lainnya. Hal ini merupakan landasan masyarakat gotong royong. Semboyan saiyeg saekopraya merupakan gambaran hidup tolong menolong sesama warga.16 Semboyan ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’ diwujudkan ke banyak bentuk dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama, menanggung akibat dari suatu persoalan bersama-sama, hingga ke dalam upaya mempererat hubungan kekeluargaan. Kebersamaan sudah menjadi semangat kehidupan, dan menjadi kesadaran dari masing-masing pribadi. Semboyan lain yang cukup dikenal adalah adalah’mangan ora mangan asal ngumpul’ yang berarti ’makan tidak makan asal berkumpul’. Semboyan ini menggambarkan betapa kuat perasaan senasib sepenanggungan terhadap
14
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 66 Ibid. 16 Ibid. 15
19 sesama, dengan pengertian yang lebih luas adalah bahwa susah senang harus dilalui bersama-sama. Menurut orang Jawa, kebutuhan manusia untuk diperhatikan, dijaga, dan untuk mendapatkan perhatian dari sesamanya jauh lebih penting dari kebutuhan manusia akan hal-hal material seperti makanan, misalnya. Walau begitu semboyan ini secara gamblang ingin menyampaikan bahwa keadaan sesulit apapun (termasuk kekurangan pangan) dapat diatasi jika kita menjalaninya secara bersama-sama. Nilai-nilai kebersamaan yang dipegang oleh masyarakat Jawa juga memunculkan istilah ojo dumeh. Istilah yang menjadi dasar dipegangnya nilai kehidupan
yang semuanya diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari
dalam bersosialisasi. Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Saat memiliki kebahagian, harus diingat bahwa itu merupakan hasil bantuan dan dukungan dari masyarakat sekitarnya.17 Pedoman ini yang menjadi dasar orang Jawa untuk peduli kepada sesama, dan memberikan bantuan yang dapat diartikan sebagai tindakan ’berbagi kebahagiaan’ dan pencerminan sikap rendah hati bahwa keberhasilan dan kebahagiaan yang mereka raih juga merupakan atas peran serta orang-orang sekitar. Nilai kebersamaan yang merupakan wujud kepedulian nyata kepada lingkungannya
tetap
dihargai
sebagai
warisan
nenek
moyang
dan
keberadaanya terus dipelihara secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Generasi tua masyarakat Jawa berusaha untuk tetap terus secara dinamis menghidupkan tradisi ini dalam sistem kehidupan yang modern, seperti dalam organisasi usaha, perkumpulan arisan, perkumpulan sosial, perkumpulan
17
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 131
20 olahraga, kesenian tradisional, kepemudaan (karang taruna), maupun sistem penjagaan lingkungan secara bersama (ronda).18 Semua ini diupayakan agar tercipta lingkungan masyarakat yang harmonis. Karena dengan keadaan harmonis yang tercipta diantara para pribadi (sebagai sesama pelaku sistem sosial), maupun dengan alam (sebagai tempat berpijak), diharapkan tujuantujuan yang ingin diraih oleh setiap orang dalam perjalanan hidupnya dapat tercapai.
2.2
Iklan sebagai susunan tanda-tanda Iklan merupakan salah satu bentuk upaya komunikasi dimana hadir sebagai salah satu bentuk upaya promosi, disamping bentuk promosi lainnya yang dikenal seperti penjualan personal, promosi penjualan, dan kehumasan. Keempatnya merupakan komponen utama dari bauran promosi (promotion mix).19 Secara semiotis, ada dimensi-dimensi yang membedakan antara iklan dengan objek seni lainnya. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, iklan selalu berisi tanda berupa obyek yang diiklankan, konteks berupa lingkungan, orang atau mahluk lain yang memberi makna pada obyek, serta teks berupa tulisan yang memperkuat makna, meskipun dimensi yang terakhir tidak selalu muncul dalam iklan.20 Sebuah proses perencanaan kreatif iklan melalui penggunaan tandatanda pada akhirnya akan berhubungan secara langsung dengan berbagai pendekatan dalam eksekusi sebuah iklan, baik secara tema maupun isi. Dari
18
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 70 May Lwin and Jim Atchison, Clueless in Advertising (Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2005), 5 20 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), xii 19
21 segi isi, setiap elemen yang digunakan dalam iklan masing-masing memiliki fungsi yang saling mendukung. Sedangkan berbagai sistem budaya dan sistem sosial yang dianut di masyarakat juga bisa melatar belakangi hadirnya iklan dengan tema-tema tertentu. Pengunaan tanda atau simbol dalam iklan ini secara tepat memungkinkan terjadinya pertukaran makna pesan iklan dapat terjadi. Budiman Hakim, seorang tokoh periklanan mengungkapkan bahwa iklan yang baik harus simple, unexpected, persuasive, entertaining, relevant dan acceptable21 dan kesemuanya bisa dihasilkan dari banyak proses penciptaan iklan yang salah satunya adalah penggunaan tanda yang tepat. Iklan-iklan yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam menjual produk memiliki pendekatan eksekusi yang berbeda-beda dan tidak harus terpaku kepada teori komposisi penggunaan elemen-elemen iklan yang baku. Iklan seringkali tampil bersih tanpa tulisan dan menonjolkan visualisasi dengan pesan sederhana. Pemahaman yang baik akan fungsi dari setiap tandatanda membuat setiap elemen tanda dari iklan saling bersinergi dengan baik dalam menyampaikan ide secara kreatif. Pemakaian ilustrasi dan headline yang tepat akan membuat pesan iklan dapat dimaknai dengan tepat oleh pembaca. Sebaliknya, pemilihan kalimat iklan yang tidak tepat akan membuat pesan yang disampaikan mengalami pergeseran makna, sehingga tujuan utama yang ingin dicapai dalam sebuah kampanye periklanan dapat menemui kegagalan.
21
Budiman Hakim, Lanturan tapi Relevan (Yogyakarta: Galang Press 2005), 49-63
22 2.2.1 Tanda-tanda dalam Iklan Cetak Menurut Frank Jefkins, tanda yang dapat ditemukan dalam sebuah iklan; khususnya pada sebuah bentuk karya iklan cetak diantaranya adalah ilustrasi, headline/judul, subjudul, teks iklan, strapline, dan identitas.22 Ilustrasi, yang biasanya berupa gambar atau foto yang dipergunakan sebagai elemen visual utama dan dapat berupa foto-foto berwarna (tonal photographs), gambar kuas (wash drawing), atau gambar garis (line drawing), atau gabungan ketiga disesuaikan dengan konsep kreatif yang ada, Headline/Judul, merupakan kalimat utama pada iklan, dan biasanya berupa pernyataan dalam satu atau dua kalimat. Headline tampil secara dominan pada iklan sehingga mudah dilihat. Headline memiliki beberapa bentuk dilihat dari jenis kalimat yang dipergunakan, seperti jenis kalimat pertanyaan, perintah, tantangan, kesaksian, penawaran, keunikan, kutipan, larangan, dan lain-lain. Subjudul, merupakan kalimat pendukung headline yang berfungsi untuk lebih menekankan pada nilai jual sebuah pesan iklan yang dibawa, mengarahkan pembaca agar tetap memperhatikan teks iklan, dan menjadikan iklan lebih menarik, lebih mudah dibaca, serta lebih jelas. Teks Iklan, merupakan isi iklan atau naskah iklan yang dicetak dengan huruf yang lebih kecil dari judul dan subjudul. Pendekatan yang seringkali digunakan dalam penulisan naskah iklan diantaranya melalui pendekatan emosional, hard-selling, edukasi, narasi, monolog atau dialog, maupun melalui pendekatan testimonial (kesaksian).
22
Frank Jefkins, Periklanan (Jakarta: Penerbit Erlangga 1997), 233-247
23 Strapline, merupakan slogan yang seringkali berfungsi sebagai kalimat enutup dalam sebuah iklan. Slogan digunakan untuk menciptakan sebuah citra perusahaan yang akan ditanamkan ke dalam benak konsumen. Identitas, iklan seringkali hanya memunculkan nama produk atau perusahaan yang didukung dengan logo. Namun pencantuman nama perusahaan dan alamat dengan jelas sering pula dilakukan oleh pengiklan agar pembaca dapat mengenali perusahaan dengan jelas dan dapat memperoleh informasi lebih lanjut yang dibutuhkan. Iklan cetak sebagsi sebuah media komunikasi dua dimensi sangat berkaitan erat dengan desain komunikasi visual yang menurut Sumbo Tinarbuko dalam bukunya Semiotika Komunikasi Visual, merupakan salah satu bagian dari seni terap yang mempelajari tentang perencanaan dan perancangan berbagai bentuk informasi komunikasi visual.23 Desain komunikasi visual memiliki beberapa elemen dan prinsip yang dijadikan dasar kreatif dalam penciptaan sistem tanda-tanda yang menarik sekaligus efektif dalam sebuah iklan cetak. M. Suyanto dalam bukunya Perencanaan Desain komunikasi Visual dalam Iklan menjabarkan beberapa elemen dan prinsip desain komunikasi visual yang penting untuk diketahui dalam perancangan sebuah iklan. 24 Elemen desain komunikasi visual itu terdiri atas: Garis yang merupakan suatu tanda visual yang dibuat dari kumpulan titik-titik dan melewati permukaan. Bentuk, yang merupakan gambaran umum sesuatu yang tertutup, dan dapat dilukiskan dengan garis. Warna, yaitu elemen grafis yang sangat kuat dan provokatif. Warna terdiri atas warna primer, sekunder dan 23 24
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Viusual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 31. M. Suyanto, Aplikasi Desain Grafis untuk Periklanan, (Yogyakarta: Andi, 2004), 57.
24 tertier. Kontras nilai yang merupakan penggambaran rentang kecerahan dan kegelapan sebuah elemen visual. Tekstur, yang merupakan kualitas permukaan kertas yang terbagi atas tekstur tactile yang nyata dan dapat dirasakan dengan menyentuhnya, serta tekstur ilusi visual yang diciptakan menggunakan garis, bentuk, kontras nilai, atau warna, dan dirasakan secara visual oleh indera penglihatan. Format, yang merupakan penataan ulang dari elemen-elemen desain sehingga menjadi sebuah komposisi desain dengan spesisikasi yang diinginkan. Sedangkan prinsip desain komunikasi visual terdiri atas: Prinsip keseimbangan yang merupakan kesamaan distribusi dalam bobot. Prinsip titik fokus yang merupakan upaya pemfokusan perhatian audiense dalam sebuah susunan elemen desain yang kompleks. Prinsip hirarki visual yaitu prinsip yang mengatur elemen-elemen mengikuti perhatian yang berhubungan secara langsung dengan titik fokus. Prinsip irama yang merupakan pola yang diciptakan dengan mengulang atau membuat variasi elemen dengan pertimbangan yang diberikan terhadap ruang yang ada di antaranya dan dengan membangun perasaan berpindah dari satu elemen ke elemen lainnya. Dan yang terakhir adalah prinsip kesatuan yaitu bagaimana mengorganisasi seluruh elemen desain dalam sebuah tampilan.
2.2.2 Nilai Budaya Jawa dalam Iklan Berbagai jenis iklan kini dapat kita temukan dalam keseharian dan iklan-iklan tersebut muncul dalam berbagai media yang sangat beragam. Iklan baik itu komersial maupun non komersial merupakan salah satu bentuk media komunikasi efektif dalam menyampaikan sebuah pesan karena iklan langsung
25 berbicara kepada audience yang dituju. Setiap iklan memiliki tanda yang berbeda dalam upaya memvisualkan pesan agar mampu sampai ke khalayak dengan baik lewat sebuah tingkat ketertarikan yang tinggi akan iklan tersebut. Penggunaan tanda pada iklan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti karakter konsumen (baik dari segi demografi, psikografi, geografi, dan behaviouristik) maupun dari tujuan yang ingin dicapai melalui iklan tersebut (menumbuhkan kesadaran, menggugah, membujuk, dan sebagainya). Salah satu upaya perencanaan kreatif sebuah kampanye periklanan adalah dengan memunculkan simbol-simbol budaya ke dalam bentuk eksekusi iklan. Pengangkatan nilai budaya seringkali menjadi pilihan para kreator iklan dalam menghasilkan karya iklan agar mampu meraih perhatian konsumen. Pengangkatan nilai budaya dianggap efektif karena mampu berbicara secara lebih dekat kepada audience. Simbol-simbol budaya dihadirkan dalam sebuah bentuk eksekusi iklan dimana di dalamnya terdapat kesatuan antar simbol dalam benak konsumen. Nilai budaya yang dianut oleh sebuah komunitas masyarakat itu sendiri, baik dalam ruang lingkup kedaerahan maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas memiliki karakteristik yang berbeda. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Thailand berbeda dengan nilai yang dianut masyarakat Inggris. Begitu juga di Indonesia; karakteristik penduduk yang terdiri atas ratusan suku yang berbeda menghasilkan ratusan sistem budaya, sistem sosial dan sistem kebendaan yang sangat beragam. Bagaimana orang Jawa melakukan upacara pernikahan tidak akan sama dengan cara orang Nias menikahkan anaknya. Begitu pula dengan barang-barang kerajinan tangan
26 yang memiliki keunikan tersendiri di tiap daerah merupakan cermin dari keragaman budaya yang ada di Indonesia. Karena itu, pengangkatan nilai budaya yang beragam juga ditemukan dalam banyak bentuk eksekusi iklan. Iklan-iklan global akan menggunakan simbol-simbol budaya yang universal atau setidaknya telah dikenal luas walaupun simbol budaya ini diangkat dari budaya lokal. Kebudayaan lokal ini menjadi ikon yang mengglobal karena ’disebarkan’ oleh berbagai media seperti film-film Holywood, iklan televisi maupun program-program acara televisi di seluruh dunia. Sehingga budaya lokal ini pada akhirnya menjadi sebuah ikon yang mendunia sekaligus melegenda. Contohnya adalah iklaniklan rokok Marlboro dengan simbol-simbol budaya western khas Amerika yang identik dengan visualisasi cowboy (penunggang kuda), kuda, ataupun padang rumput dan pemandangan landscape yang indah. Iklan-iklan produk rorok ini muncul dengan pendekatan eksekusi maupun ide kreatif yang konsisten selama bertahun-tahun. Iklan yang menggambarkan kebudayaan masyarakat yang bebas, penuh petualangan, sekaligus menghargai nilai-nilai dan tradisi lokal yang menjadi kebanggaan; dalam hal ini digambarkan melalui cita rasa rokok khas Amerika. Penggunaan simbol budaya dalam iklan itu sendiri merupakan bentuk dari sebuah akulturasi budaya. Iklan sebagai media global yang identik dengan dunia modern menyatu dengan muatan dan nilai tradisi lokal yang terdapat di dalamnya. Hal ini yang sering disebut sebagai glokalisasi, suatu proses adaptasi dunia modern dalam konteks lokal.25
25
Mendiola B. Wiryawan dalam artikel: Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia, Majalah Concept, Juni 2006 73.
27 Akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam eksekusi iklan-iklan cetak maupun televisi yang mengangkat nilai budaya sebagai konsep kreatifnya. Harian Suara Merdeka Semarang seringkali mengangkat kebudayaan yang berakar cirikhas kelokalan seperti kesenian tradisional, makanan khas daerah, hingga ’jargon’ atau istilah yang akrab di lingkungan budaya setempat yang semua pendekatan ini dikombinasikan dengan pesan-pesan penjualan yang kreatif. Simbol budaya lokal juga bisa kita lihat pada iklan televisi Indomie yang sering muncul pada periode juni 2008, dimana pada iklan ini jingle iklan Indomie dinyanyikan oleh banyak talent dalam bahasa daerah yang berbedabeda, namun di dalam sebuah kemasan iklan televisi yang modern sekaligus dengan pesan penjualan yang sangat kuat. Eksekusi dari iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat juga menggambarkan bahwa nilai-nilai kelokalan bisa menjadi konsep kreatif yang kuat dalam proses penciptaan iklan untuk mendukung kampanye pemasaran modern yang lebih luas. Hal ini bisa dilihat dari ilustrasi maupun teks iklan yang menggambarkan keseharian masyarakat dan budaya Jawa khususnya dalam hal ini adalah masyarakat Yogyakarta dalam sebuah pesan iklan yang menarik, dimana iklan ini muncul dalam berbagai media cetak nasional sehingga iklan lokal ini meraih jangkauan pembaca yang lebih luas. Bentuk kreativitas Iklan-iklan dari Jogja muncul dari sebuah keadaan dimana terdapat dominasi kebudayaan tunggal dalam semua lapisan masyarakat. Kebudayaan Jawa menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang telah
28 menjadi keseharian masyarakat. Hal ini membuat idiom-idiom etnik dengan mudahnya diangkat ke dalam karya iklan modern secara alamiah. 26 Kreator iklan dari Yogyakarta memiliki kecenderungan untuk menggali simbol-simbol budaya sendiri di dalam proses berpikir kreatif mereka. Iklan-iklan lokal Jogja seringkali mengemas pesan melalui potret kejadian sehari-hari. Upaya ini dilakukan dengan harapan untuk menyentuh khalayak sasaran sekaligus memuat nilai-nilai luhur budaya yang dianut oleh masyarakat Jogja secara umum.27 Penggunaan tanda berupa simbol budaya Jawa dalam iklan ini menjadi sebuah alat penghantar yang dapat berbentuk bahasa, benda, atau barang, warna, suara maupun tindakan atau perbuatan.
28
Simbol ini dimunculkan
dalam bentuk visualisasi khas budaya Jawa seperti rumah joglo, alat transportasi tradisional seperti delman atau becak, makanan tradisional, kesenian tradisional, bentuk kerajinan daerah, hingga ke penggunaan karakter dari tokoh pewayangan, maupun melalui pengakatan realitas masyarakat Jawa dalam kesehariannya. Dalam dunia pewayangan salah satu karakter penokohan yang paling dikenal adalah Punakawan dan sering diangkat sebagai sumber ide kreatif dari eksekusi sebuah media, baik itu poster, flyer, cover buku, maupun iklan. Tokoh Punakawan terdiri atas empat tokoh utama (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dimana seringkali kisah kehidupan mereka lekat dengan nilai dan pesan moral yang hanya dapat tercipta jika masing-masing individu dalam sebuah sistem sosial mengerti peranannya dan memadukannya dengan 26
Mendiola B. Wiryawan dalam artikel: Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia, Majalah Concept, Juni 2006 73 27 Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8 28 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 137
29 individu lain untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan tokoh Bilung dan Togog, seringkali digambarkan sebagai tokoh antagonis, yang berlawanan dengan keempat tokoh utama dari Punakawan. 29 Secara umum seringkali tokoh utama Punakawan. secara visual digambarkan sbb:
Gambar 2.1.2 Tokoh Utama Punakawan Tokoh-tokoh dalam Punakawan memiliki karakter yang unik seperti: Semar, aslinya tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai Advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Paku disini dapat juga difungsikan sebagai pedoman hidup, pengokoh hidup manusia.
30
Sosok
Semar juga merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa.31 Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan Tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwallahi,
29
prabuwayang.wordpress.com Sudarjanto, Wayang dan Wayang Kulit, www.sudarjanto.multiply.com 31 Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com 30
30 yang artinya : tinggalkan semua apapun yang selain Allah.32 Petruk anak Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, pandai berbicara, dan juga sangat lucu.33 Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan lawakan-lawakannya. Petruk dikenal sebagai seorang pribadi yang cenderung asal bicara tapi sedikit bodoh.34 Gareng, juga diadaptasi dari kata Arab Naala Qariin. Kata Naala Qariin, artinya memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para wali sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) untuk kembali kejalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.35 Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah. 36Sekalipun cerdas dan hati-hati tapi sulit menyampaikan sesuatu melalui kalimat.37 Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Dalam versi lain kata Bagong berasal dari Baqa' yang berarti kekal atau langgeng, artinya semua manusia hanya akan hidup kekal setelah di akhirat nantinya. Dunia hanya diibaratkan Mampir Ngombe (Sekedar Mampir untuk Minum).38 Bagong selain memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh, juga memiliki sifat sangat lucu.
32
Sudarjanto, Wayang dan Wayang Kulit, www.sudarjanto.multiply.com www.semarasanta.wordpress.com 34 Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com 35 www.sudarjanto.multiply.com, loc cit. 36 www.semarasanta.wordpress.com 37 www.setiabudi.name.com, loc it. 38 www.sudarjanto.multiply.com, loc cit. 33
31 Bilung adalah rival abadi Petruk. Dari sosok Bilung kita mendapatkan pelajaran untuk selalu menghargai masukan dari siapapun. Dalam cerita wayang disebutkan bahwa karakter ini adalah sahabat Togog dan sering memberikan masukan kepada tuannya. Karena kemunculannya dalam cerita pewayangan yang tidak sesering dari keempat tokoh Punawakan yang disebut diatas, maka secara visual Bilung pun muncul tidak dominan, namun walau begitu, kehadirannya dengan peran yang dimilikinya dapat melengkapi cerita.39 Pengunaan simbol budaya akan melahirkan kedekatan visual, dan hal inilah yang ingin diraih dari khalayak. Kedekatan ini semakin diperkuat oleh pesan iklan yang juga sarat akan nilai-nilai kehidupan yang bersandar pada nilai-nilai budaya tersebut. Dengan kata lain, pengangkatan nilai budaya dan penggunaan simbol budaya dalam iklan dimaksudkan untuk mengangkat halhal kecil dan biasa dalam keseharian menjadi sesuatu yang bernilai. Dan hal tersebut dapat diperoleh melalui kepekaan, kedekatan, dan pengenalan yang baik dari para pencipta iklan akan kebudayaan secara luas.40
2.3
Semiotika sebagai Kajian untuk Memahami Sistem Tanda Komunikasi dalam upaya menyampaikan sebuah pesan memungkinkan terjadinya
transaksi
pertukaran
informasi
oleh
kedua
pihak
yang
berkomunikasi. Proses transaksi ini menggunakan tanda-tanda komunikasi baik verbal maupun non verbal sehingga mampu menjadi penghubung agar terjadi kesepakatan akan makna.
39 40
Punakawan: Simbol Kerendahhatian dan penebar Hikmah, www.setiabudi.name.com Artikel: Mengangkat Hal Biasa Jadi Luar Biasa, Majalah AdDiction, September 2006
32 Dalam buku Semiotika Komunikasi Visual karya Sumbo Tinarbuko, diungkapkan bahwa menurut Zoest tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu , tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.41 Saat terjadi transaksi, baik komunikator maupun komunikan berusaha untuk memiliki pemaknaan yang sama terhadap isi pesan. Karena itu komunikasi secara luas dapat diartikan sebagai upaya ’berbagi pengalaman’, yang didalam prosesnya sangat memungkinkan terjadinya pertukaran makna dan tanda.42 Hal ini diperkuat oleh pendapat Bernard Berelson dan Gary A. Steiner, dalam buku Edy Mulyana bahwa ”komunikasi merupakan transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya melalui simbolsimbol – kata-kata, gambar, figur, dan grafik” dalam buku Alex Sobur yang berjudul Semiotika Komunikasi.43 Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi44. Manusia melalui perantaraan tanda-tanda dapat berkomunikasi dan beriteraksi dalam sebuah sistem sosial. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non verbal, teori
41
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 12 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung:Remaja Rosdakarya 2000), 42 43 Ibid, 62 44 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15 42
33 yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana sebuah tanda disusun.45 Charles Sanders Pierce dalam buku Semiotika Komunikasi Visual menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia juga hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.46 Dan dalam sebuah proses komunikasi, esensi dari pembongkaran makna hanya dapat dilihat dari adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat diketahui dan dilihat bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi dalam sebuah proses komunikasi.47 Komunikasi
memerlukan dan bahkan bertumpu kepada ’pekerja
tanda’ yang memilih tanda dan mengkombinasikannya dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bentuk baik kata ataupun gambar.48 Tandatanda inilah yang nantinya akan diterima oleh pihak lain dan akan coba dimengerti, sehingga terjadi proses pertukaran tanda yang membuka peluang terjadinya proses pembentukan makna.49 Dalam sebauah proses komunikasi, sistem tanda menjadi sebuah sarana yang penting.50 Dan untuk melihat bagaimana sistem penaandaan ini berfungsi dalam sebuah proses komunikasi digunakan suatu kajian dalam ilmu komunikasi yang dikenal dengan kajian semiotika atau semiologi.
45
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 16 47 Ibid, op.cit 48 Ibid, xii 49 Ibid 50 Ibid, 16 46
34 Semiotika merupakan ilmu atau metode analisa untuk mengkaji tanda.51 Kajian tersebut tidak terbatas pada bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda melainkan juga dunia itu sendiri yang terdiri atas tanda.52 Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.53 Alex Sobur mengungkapkan teori dari Umberto Eco yang secara terminologis mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda54 Alex Sobur juga mengungkapkan, bahwa menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam kajian semiotika yang memiliki pusat perhatian pada tanda; yaitu: 1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara menghantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang itu disusun. Kajian ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 3. Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi.55
Pengetahuan akan semiotika sudah muncul pada zaman pertengahan khususnya di bidang filsafat melalui pemikiran John Locke. Akan tetapi semiotika modern lebih mengacu kepada dua pemikir, yaitu: Ahli bahasa dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan filsof Amerika
51
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 15 Ibid, 13 53 Ibid, 95 54 Ibid 55 Ibid, 94 52
35 bernama Charles Saunders Pierce (1839-1914). 56 Dari kedua pemikir tersebut lahirlah sebuah gerakan yang mengembangkan analisis semiotik dan diteruskan oleh ahli lain seperti Roland Barthes (Perancis) dan Umberto Eco (Italia). Dalam buku Semiotika Komunikasi karangan Alex Sobur, Ferdinand De Saussure mengemukakan teori bahwa tanda memiliki dua aspek penting dalam proses komunikasi yaitu sound image/penanda (signifier) dan konsep/petanda (signified). Penanda (signifier) adalah bunyi yang bermakna, atau coretan yang bermakna, yakni apa yang dikatakan dan dibaca (aspek material). Sedangkan petanda (signified) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep dari bahasa (aspek mental). Hubungan antara signifier dan signified disebut signification.57 Sedangkan, menurut Charles Sanders Pierce, tanda berkaitan dengan objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.58 Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaanya, indeks untuk hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.59 Kedua jenis hubungan tanda inilah yang terjadi dalam setiap proses komunikasi dan bagaimana keberadaan tanda serta bagaimana tanda-tanda itu berperan dalam sebuah sistem tanda menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Salah satu teori yang seringkali digunakan untuk mengkaji tanda sebagai sebuah sistem/struktur adalah teori ’semiotika signifikasi’ dari Saussure. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin ilmu yang 56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 110 Ibid, 46 58 Ibid, 34 59 Ibid 57
36 mengkaji peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.60 Implisit dalam definisi tersebut adalah bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan yang berlaku.61 Dengan melihat kepada dua bidang penanda (signifier) dan petanda (signified) Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. Sehingga teori semiotika signifikasi dari Saussure merupakan semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu.62 Dengan begitu teori semiotika diharapkan dapat membantu untuk memahami bagaimana sebuah sistem tanda bekerja dalam setiap proses komunikasi baik dalam bentuk komunikasi lisan, tulisan ataupun visual.
2.4
Representasi dalam Semiotika Representasi kehidupan merupakan suatu realitas sosial. Iklan dengan bahasa yang digunakannya pun menjadi representasi dari aspek yang melambangkan dan yang dilambangkan. Representasi dapat dilihat melalui sistem tanda-tanda yang terdapat didalamnya. Dan dalam hal ini, semiotika menjadi bentuk kajian yang mengkaji tentang watak tanda-tanda yang digunakan oleh pikiran dalam mencapai pemahaman
terhadap
sesuatu
atau
dalam
menyampaikan
ketahuannya kepada orang lain.63
60
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), vii Ibid 62 Ibid, viii 63 Essay Concerning Human Understanding, 1986, hal. 32 61
ketahuan-
37 Bahasa iklan juga merupakan suatu sistem tanda yang menjadi bagian dari semiotika. Semiotika dan bahasa iklan menjadi upaya yang dapat merepresentasikan kondisi sosial dan kultural. Oleh karena itu, semiotika digunakan sebagai salah satu model rujukan untuk membantu mengetahui makna di balik bahasa iklan. Salah satu konsep yang relevan dalam memaparkan pemahaman iklan dapat dilakukan melalui representasi. Konsep mengenai representasi hadir dalam kajian mengenai kebudayaan dan menekankan pada pentingnya makna yang terbentuk dalam kehidupan dan sistem sosial. Hal ini sering tampak pada penyampaian pesan sebuah iklan. Dalam konteks ini budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus menerus. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, Alan O. Connor menyatakan bahwa budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.64 Dari pengertian ini, pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam kaitannya melihat iklan sebagai produk kebudayaan, maka penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui bentuk eksekusi iklan baik itu ilustrasi maupun bahasa yang ditampilkan.. Media merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya ke ruang publik, dan salah satunya bisa merupa media iklan. Representasi dapat dikatakan sebagai cerminan dari realitas yang ditampilkan media, di samping realitas yang sebenarnya. Media berperan sebagai bagian yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat.
64
Alan O.Connor. Culture and Communication-Questioning The Media: A Critical Introdustion. (Sage Publication: California, 1990), 29.
38 Representasi merupakan gambaran dari realitas yang ditampilkan sebagai hasil pemaknaan pesan yang disampaikan. Sedangkaian bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat dalam pengungkapan realitas itu disebut sebagai upaya pemaknaan. Peran pemaknaan terletak pada diri pembaca/audiens. Peran bahasa menjadi penting sebagai medium untuk mencapai makna. Bahasa akan membantu upaya untuk mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh si pemberi pesan. Stuart Hall menyatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai tanda, yang bersifat mengartikan atau merepresentasikan konsep-konsep, gagasan atau perasaan yang memungkinkan terjadinya interpretasi.65 Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa. Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa.66 Representasi bersifat subyektif;
masing-masing
orang
memiliki
perbedaan
dalam
menginterpresentasikan konsep pesan yang dihadirkan. Dalam relasi antara media dan pembaca, harus dipahami bahwa media mempunyai bentuk representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Media menyampaikan pesan melalui iklan dan itu memberi gambaran ideologis dari pelaku representasi media, terhadap keadaan sosial dan budaya yang digambarkan.
65
Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. (Sage Publications: London, 1997), 56. 66 Ibid, 56.
39 Kaitannya dengan semiotika, ilmu ini dapat didefinisikan sebagai representasi terhadap sesuatu yang mampu menyampaikan pesan dan makna kepada orang lain dalam sebuah sistem tanda. Semuanya menghasilkan upaya pemaknaan pada sebuah keadaan dimana semua mencacu pada Tanda itu sendiri, kode atau sistem di mana lambang-lambang itu disusun, serta kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi.67
67
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 200294
BAB III METODOLOGI
3.1
Paradigma Penelitian Di dalam sebuah peneltian, sebuah paradigma dibutuhkan oleh penulis dalam menentukan sebuah cara pandang terhadap suatu masalah. Paradigma dapat membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menginterprestasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.1 Paradigma penelitian digunakan dalam penelitian sebagai acuan konsep untuk melakukan rancangan penelitian. Paradigma dalam penelitian ini berorientasi pada paradigma konstruktivis dengan mengedepankan telaah secara objektif dan kritis dari materi iklan yang diteliti. Paradigma konstruktivis secara objektif dan kritis berupaya mengungkapkan suatu teks atau wacana berdasarkan isi yang disajikan, dengan menganalisis maksudmaksud dan makna-makna tertentu.2 Wacana itu sendiri merupakan suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek yang mengemukakan suatu pertanyaan.3 Wacana dalam penelitian ini merupakan bentuk eksekusi dari iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat dimana akan berusaha diungkapkan
1
Manase Malo & R. Sulastiawaaan, Permasalahan dan Preposisi Penelitian, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Penerbit Karunia, Universitas Terbuka, 1986), 32 2 website: www.garis-cakrawala.blogsppot.com 3 Ibid
41 maksud tersembunyi dari subyek pembuat iklan yang merupakan kreator iklan tersebut tersebut dengan melakukan beberapa upaya penafsiran. Paradigma Konstruktivis menekankan pada upaya menyusun kembali pemaknaan terhadap realitas tanpa perlu adanya konsekuensi aksi perubahan struktur sosial. Selain itu, paradigma konstruktivis mengatakan kebenaran bersifat relatif, dan ditentukan oleh konteks masyarakatnya.4
3.2
Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.5 Penelitian deskriptif tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji coba hipotesa, membuat ramalan, atau mendapatkan makna atau simplikasi, walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.6 Dari definisi di atas, maka tipe penelitian deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan makna dalam struktur teks iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat dilihat dari setiap aspek konsep tanda yang digunakan. Berdasarkan acuan paradigma konstruktivis yang digunakan, maka penelitian deskriptif ini akan bersifat interpretatif menyebabkan pandangan yang menyatakan kebenaran bersifat relatif juga terbawa dalam kajian
4
Litbang Kompas, www.kompas.com Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 76 6 Ibid 5
42 semiotika ini.7 Cara pandang ini yang menyebabkan terbukanya peluang yang besar dalam penelitian ini untuk dibuatnya interprestasi-interprestasi baru serta berbagai bentuk penafsiran lain yang mungkin tidak sejalan dengan hasil analisa yang dilakukan oleh penulis.
3.3
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode semiotika.8 Dengan metode semiotika tanda-tanda iklan diinterprestasikan secara mendalam sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan yang lebih terperinci mengenai kandungan dari tanda yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat. Secara luas, penulis akan menggunakan teori Semiotika Signifikasi yang didasari oleh pemikiran dari Ferdinand de Saussure dimana penulis akan melihat ke dalam tiga area penting dalam kajian akan tanda; yaitu tanda itu sendiri, sistem dimana tanda itu tersusun, dan kebudayaan di mana tanda itu beroperasi.9 Mengacu pada sebuah analisa tanda pada sebuah iklan cetak yang mengangkat nilai budaya Jawa, penulis akan melakukan suatu kajian yang menempatkan peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, serta menjadi bagian dari struktur sosial 10 Penulis akan melihat relasi pertandaan ini dengan melihat kepada bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ’bentuk’ atau
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), 147 Ibid 9 Ibid, 94 10 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), vii 8
43 ’ekspresi’; dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ’konsep’ atau ’makna’.11 Dengan metode semiotika ini tanda-tanda akan iklan diinterprestasikan secara mendalam sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan yang lebih terperinci mengenai kandungan dari tanda yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat.
3.4
Unit Analisa Sebagai unit analisa dalam penelitian ini adalah tanda-tanda termasuk satuan tanda (signeme) yaitu elemen-elemen visual yang digunakan dalam ilustrasi dalam ketiga iklan serta teks iklan yang terdiri atas headline, subheadline, dan naskah iklan. Unit analisa lainnya yaitu elemen pendukung, komposisi lay out dan warna yang melengkapi kesatuan desain iklan secara menyeluruh. Unit analisa ini akan mencakup dua versi iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat dengan versi yang berbeda, yaitu versi ”Membersihkan Jalan” dengan visualisasi seorang petugas penyapu jalan dengan latar belakang lukisan di tembok (mural) yang menggambarkan para tokoh punakawan dalam pewayangan, dan versi ”Menarik Becak” dengan visualisasi seorang penarik becak dengan latar belakang mural yang menggambarkan beberapa karakter dari anggota masyarakat.
11
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), viii
44 3.5
Definisi Konsep Dalam penelitian ini akan dilihat mengenai : a.
Muatan nilai budaya Jawa yang terdapat dalam semua aspek tanda yang terdapat dalam kedua iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat.
b.
Nilai-nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa yang tampak/direpresentasikan dalam kedua iklan.
c.
Nilai kebersamaan yang tercermin pada berbagai falsafah dan pandangan hidup masyarakat Jawa, khususnya pada semboyan ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’ untuk meraih kebahagiaan bersama.
Oleh karena itu penelitian ini mencoba melihat nilai-nilai kebersamaan sebagai bagian budaya Jawa dimana hal ini dimunculkan dalam eksekusi iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat lewat pengambaran aktivitas sehari-hari masyarakat yang lekat dengan upaya menjalin keselarasan dengan lingkungan dimana di dalamnya banyak diangkat hal-hal kecil dalam kehidupan.
3.6
Tehnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini yang disebut sebagai data adalah semua aspek tanda dan satuan tanda yang terdapat di dalam ketiga iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat pada tahun 2007 yang dimuat di majalah bulanan Cakram untuk kemudian dioservasi dan didokumentasikan untuk kemudian diteliti dan dianalisa berdasarkan kategori penanda dan petandanya.
45 3.7
Analisa Data Data-data yang terdapat dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat diolah secara kualitatif untuk kemudian coba dianalisa agar dapat diketahui maknanya. Untuk menemukan makna dalam penelitian ini digunakan metode analisis sintagmantik dan paradigmatik. Melalui analisis sintagmantik, teks (gambar iklan) akan diperiksa dan diuji sebagai rangkaian yang membentuk sebuah narasi. Inti dari analisis sintagmantik adalah untuk melihat secara mendalam bagaimana teks-teks iklan tersebut terbentuk oleh serangkaian peristiwa berupa visualisasi tanda yang tersusun secara beraturan. Selain itu, melalui analisa sintagmantik akan dilihat kombinasi tanda-tanda berdasarkan aturan tertentu, sehingga menghasilkan ungkapan bermakna.12 a. Definisi Konseptual Aspek sintagmatik dalam penelitian ini mengacu pada keberlakuan sistem tanda dalam materi iklan cetak harian Kedaulatan Rayat yang terdiri dari signified dan sifnifier. Seluruh gambar dan bahasa dalam materi iklan akan dikaji berdasarkan unsur penanda (signified) dan petanda (signifier) sebagai representasi atau simbolisasi dari nilai-nilai kebersamaan dalam budaya Jawa. b. Definisi Operasional Seluruh gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan harian Kedaulatan Rakyat akan diklasifikasikan ke dalam bentuk sistem tanda yang mencakup siginified dan signifier.
12
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
46 Sementara analisis paradigmatik adalah analisis yang berhubungan dengan prosedur yang memungkinkan dilakukannya ”pembongkaran” serta pencarian ideologi yang terkandung dalam makna tanda-tanda dimana hanya ada satu pilihan makna yang akan dipilih.13 a. Definisi Konseptual Aspek paradigmatik mengacu pada makna tunggal yang diperoleh berdasarkan telaah secara sintagmatik dalam materi iklan harian Kedaulatan Rakyat. Pemaknaan iklan dalam penelitian ini menjadi acuan untuk memahami nilai-nilai repersentasi kebersamaan budaya Jawa. b. Definisi Operasional Seluruh gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan pada dasarnya merepresentasikan tata nilai dan kehidupan yang terjadi pada masyarakat Jawa. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan ke dalam bentuk gambar dan bahasa yang disajikan dalam materi iklan. Dengan demikian, akan diketahui makna tunggal sebagai indikator aspek paradigmatik yang dikandung materi iklan tersebut dari segi representasi kebersamaan budaya Jawa.
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan terhadap iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat bertujuan untuk membongkar makna di balik sistem tanda yang berhubungan, baik visual dan verbal agar didapatkan sebuah hasil bagaimana nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa direpresentasikan ke dalam kedua iklan tersebut. Dua versi iklan yang akan diteliti adalah iklan versi ’membersihkan jalan’ dengan tokoh penyapu jalan dan lukisan mural tokoh pewayangan Punakawan serta iklan versi ’menarik becak’ dengan tokoh penarik becak dan lukisan mural yang menggambarkan berbagai lapisan masyarakat Yogyakarta. Perangkat tanda dalam kedua iklan akan dianalisa menggunakan aksis bahasa sintagmantik dan paradigmatik. Melalui kajian sintagmantik akan dikaji secara mendalam dua unsur tanda yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah sistem perangkat tanda dimana kedua bidang tanda ini berfungsi di dalam sebuah aturan yang menghasilkan ungkapan bermakna. Sedangkan analisa paradigmatik akan melihat makna yang diciptakan dari upaya pembongkaran sistem dan cara kombinasi perangkat tanda-tanda yang ada.
48 4.1.1
Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi ”Menyapu Jalan”
Gambar 4.1.1 Iklan harian Kedulatan Rakyat versi ’Menyapu Jalan’
49 Melalui kajian sintagmantik, pada iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat versi ”Menyapu Jalan” akan dikaji secara mendalam dua unsur tanda yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah sistem perangkat tanda dimana tanda-tanda yang akan dikaji adalah Headline, Ilustrasi, Teks Iklan, dan Identitas dimana keempat tanda tersebut berfungsi di dalam sebuah aturan yang menghasilkan ungkapan bermakna.
4.1.1.1 Headline Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat kalimat ’Bebarengan Mrantasi Gawe’, dimana tulisan berjenis roman berwarna putih dengan latar belakang elemen dekoratif. Tulisan divisualisasikan sekaligus sebagai ilustrasi dimana letaknya terdapat pada lukisan mural di tembok yang menjadi latar belakang ilustrasi utama. Untuk aspek Petanda (signified), ’Bebarengan Mrantasi Gawe’ dalam bahasa Indonesia berarti ’bersama menyelesaikan pekerjaan’. Headline ini muncul menyatu dengan ilustrasi iklan, digambarkan sebagai bagian dari lukisan mural di tembok pinggir jalan. Headline menggambarkan pesan utama dari iklan dimana kehadiran headline akan ’menuntun’ pembaca ke dalam sistem perangkat lain yang mendukungnya (ilustrasi dan teks iklan). Pemunculan headline dalam bahasa Jawa merupakan bentuk pengangkatan nilai budaya Jawa yang khas, dekat dengan keseharian masyarakat, dan mampu menarik perhatian. Headline ini menggambarkan semangat kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat Jogja, dimana karakternya diwakili oleh tokoh-tokoh
50 Punakawan yang dengan semangat turut serta dalam pekerjaan seorang penyapu jalan yang seringkali dianggap sepele. Ungkapan headline yang merupakan ungkapan keseharian masyarakat Jawa ini pun coba dihadirkan dalam eksekusi iklan sehingga nilai-nilai budaya dan falsafah yang terkandung di dalamnya dapat kembali diingat dan kembali dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan jenis huruf Roman selain agar memiliki tingkat keterbacaan yang baik, sekaligus menampilkan kesan informal, dinamis, sekaligus tampak solid. Kesan solid dimaksudkan agar headline mampu ’muncul’, ’berbicara’ dan tertanam dalam benak konsumen, sehingga diharapkan mampu menggugah pembaca untuk melakukan suatu perubahan positif baik dalam sikap dan tindakan. Warna putih digunakan untuk mempertimbangkan faktor clarity /kejelasan serta ’kebersihan’ area desain, sehingga tulisan dengan background gelap/hitam dapat terlihat dan terbaca dengan baik. Elemen dekoratif yang dihadirkan sebagai dasar headline memiliki beberapa pengertian, diantaranya berfungsi sebagai elemen visual yang memperkuat tampilan headline, karena dengan begitu headline memiliki tingkat keterbacaan yang lebih jelas. Elemen ini muncul secara estetika dekat dengan bentuk-bentuk ornamen khas Jawa dimana bentuk ornamen itu dapat kita temui di berbagai lukisan batik, atau pada ukiran barang-barang kerajinan khas Yogyakarta. Elemen dasar ini juga ingin menggambarkan visualisasi ’baloon’, dimana dalam cerita bergambar (komik), baloon berfungsi untuk menempatkan kata-kata, dialog, dan tulisan lainnya, sebagai sarana agar gambar dapat ’berbicara’ kepada
51 audiens. Headline iklan dalam hal ini diposisikan sebagai sebuah pesan penting yang ingin disampaikan dan diharapkan mampu mendukung penggambaran ilustrasi secara umum.
4.1.1.2 Ilustrasi Untuk aspek Penanda (signifier), digambarkan sosok penyapu dengan identitas yang dikenakannya sedang melaksanakan tugasnya menyapu jalan di sebuah lingkungan jalan di sudut kota Yogyakarta, dengan latar belakang lukisan mural tokoh punakawan yang terlukis pada tembok jalan. Lukisan mural secara visual dibuat sekan-akan menyatu dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh si penyapu jalan (membantu menyelesaikan pekerjaan). Untuk aspek Petanda (signified), penulis membagi ilustrasi iklan ini ke dalam 3 bagian elemen pendukung visual. Yang pertama adalah mengenai penyapu jalan dan identitas yang dikenakannya. Dari identitas yang dikenakan, seragam yang dikenakan oleh si penyapu jalan berfungsi sebagai identitas profesi dari petugas kebersihan yang dipekerjakan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta. Topi camping selain bermakna sebagai alat pelindung dari terik matahari, juga mempunyai makna kesederhanaan, serta menjadi ciri khas atau identitas ’kaum kecil’ saat sedang bekerja, khususnya pada pekerja-pekerja kasar seperti buruh bangunan, penarik becak, buruh angkut di pasar, maupun para petani. Sapu lidi merupakan alat bantu utama yang digunakan, sekaligus sebagai lambang dari ’teman setia’ yang menemani kesehariannya dalam beraktivitas. Ketiga identitas ini yang
52 menggambarkan semangat yang dimiliki oleh para pekerja penyapu jalan, yang dalam kesehariannya merasa bangga pada apa yang dikerjakan, karena mereka merasa memiliki peran masing-masing dalam sebuah sistem kehidupan sosial kemasyarakatan. Yang kedua adalah mengenai ingkungan dimana ia berada (sudut trotoar jalan kota Yogyakarta). Trotoar pinggir jalan merupakan gambaran dari tempat dimana sebagian besar penyapu jalan menghabiskan waktunya seharian. Di tempat-tempat umum ini mereka biasa ditemukan, tempat dimana mereka bertanggungjawab atas tugas mereka sehari-hari, dan sampah yang berserakan berbicara lebih mengenai pentingnya tugas utama mereka menjadikan ruas jalan lebih bersih, indah dan asri. Trotoar dan pinggir jalan seakan menjadi sebuah bentuk ’panggung kehidupan’ bagi para penyapu jalan dimana eksistensinya ’muncul’ di dalam masyarakat melalui tindakan yang sederhana, namun memiliki dampak yang besar. Tanaman hias dengan pot yang terletak di pinggir-pinggir jalan merupakan upaya untuk membuat ruang publik menjadi lebih hijau dan asri, selain dapat berfungsi sebagai paru-paru kota. Pot tanaman ini
secara tidak langsung
perawatannya juga menjadi tanggung petugas penyapu jalan. Sehingga pot tanaman ini memiliki makna bahwa selain tugas utamanya, penyapu jalan juga memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan dengan hal-hal yang ada di sekitarnya. Gerobak sampah merupakan alat bantu yang ’menemani’ keseharian, selain tentunya sapu lidi yang menjadi alat bantu utamanya. Gerobak sampah
53 yang penuh menandai cukup beratnya pekerjaan yang menjadi tugas sehari-hari. Setiap sampah yang ada di gerobak itu menandai setiap cucuran keringat dan tanggungjawab yang harus diemban oleh si penyapu jalan. Lampu jalan yang terletak di pinggir jalan merupakan lampu yang menjadi ciri khas kota Jogja. Selain bentuknya yang unik dengan tiga buah lampu dalam satu tiang, lampu jalan Jogja ini dihiasi oleh ornamen yang khas. Lampu jalan ini menjadi salah satu ikon budaya kota Jogja, dimana dapat ditemukan hampir di seluruh sudut jalan-jalan di kota Jogja,1 dan kehadirannya berintegrasi dengan baik dengan lingkungan sehingga mampu menjadikan kota Jogja menjadi lebih ’cantik’. Pemunculan lampu jalan ini menjadi suatu simbol budaya yang juga diharapkan mampu membawa nuansa kelokalan budaya Jawa di dalam eksekusi iklan majalah ini. Yang ketiga adalah mengenai lukisan mural tokoh Punakawan pada tembok yang menjadi latar belakang. Mural merupakan bagian dari ’urban art’ yang merupakan ekspresi kreativitas masyarakat kota yang erat kaitannya dengan freedom of expression atau kebebasan berekspresi. Mural berbentuk lukisan dimana mereka menjadikan ruang publik untuk berkekspresi.2 Teknik yang digunkan bisa menggunakan cat tembok atau cat semprot, dimana penggayaan dan teknik melukis yang ada pada sebuah mural sangat tergantung pada kreativitas si pelukis. Penggunaan mural sebagai salah satu ilustrasi dalam iklan mencerminkan kebebasan berekpresi masyarakat Jogja; yang dikenal sebagai kota budaya dimana 1
www.kratonjogja.com Ary Sutedja dalam artikel: Menikmati Seni dalam Hiruk Pikuk Kota, Majalah Concept, Volume 4, Edisi 20, 2007, hal 11
2
54 masyarakatnya memiliki apresiasi yang tinggi akan karya seni. Kehadiran mural di ruang-ruang publik di kota Jogja mampu menciptakan sebuah keindahan dimana kehadirannya bersinergi dengan tata letak serta karakter dari tata ruang Jogja itu sendiri yang memiliki ciri khas dibanding kota lainnya di Indonesia. Hitam dan putih memiliki kekuatan secara visual, terutama sebagai latar belakang dari sebuah visual. Warna hitam dan putih biasa digunakan untuk menimbulkan efek kontras yang baik, serta untuk mendramatisasi suasana. Dari segi dekoratif, lukisan mural tersebut yang bermain dengan intensitas ’gelap terang’ menjadi daya tarik visual yang cukup baik, walaupun hadir dalam warna yang sederhana. Penggunaan warna hitam dan putih yang sederhana namun memiliki impact kuat diharapkan dapat mewakili semangat falsafah dan kebudayaan jawa itu sendiri yang dalam segala kesederhanaannya tetap mampu relevan dan memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan sosial di masyarakat. Melalui visualisasi iklan, digambarkan tokoh Punakawan berintegrasi secara langsung dengan para pembaca dimana masing-masing tokoh dilukiskan melakukan tugasnya masing-masing dimana melalui lukisan ini digambarkan suatu keadaan sosial dimana setiap orang memiliki peranan masing-masing dan bila disatukan di dalam suatu bentuk kerjasama dan kebersamaan akan menghasilkan hasil karya yang manfaatnya yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Masing-masing tokoh Punakawan memiliki karakter berbeda-beda dan memiliki filosofi sebagai panduan untuk menjalani hidup yang terkandung di dalamnya. Jika keseluruhan filosofi itu disatukan dan dilaksanakan secara utuh,
55 maka diharapkan kehidupan akan menjadi lebih mudah untuk dilalui. Hal ini sangat berhubungan dengan nilai kebersamaan yang hanya dapat tercipta jika masing-masing individu dalam sebuah sistem sosial mengerti peranannya dan memadukannya dengan individu lain untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan tokoh Bilung dan Togog, seringkali digambarkan sebagai tokoh antagonis, yang berlawanan dengan keempat tokoh utama dari Punakawan.3 Tokoh Punakawan sendiri dipilih karena tradisi yang terdapat dalam masyarakat Jawa, dimana tokoh-tokoh ini ’diciptakan’ oleh para Wali untuk menyebarkan agama Islam. Para Wali berusaha melakukan pendekatan komunikasi yang lebih efektif bagi para masyarakat Jawa dengan memunculkan para tokoh dengan kisah yang sarat akan nilai kehidupan sekaligus dekat dengan kehidupan keseharian di masyarakat. Sosok Semar yang sedang membersihkan menggunakan kemoceng ingin menggambarkan suatu keadaan dimana Semar sebagai pribadi yang arif dan bijaksana selalu menjaga kebersihan hati dan pikiran dari berbagai hal yang tidak baik, dan dalam hal ini disimbolkan dari kotoran/debu (melambangkan hal yang tidak baik) yang melekat pada dinding putih (melambangkan kebersihan hati). Tokoh lainnya, Petruk ’membantu’ si penyapu jalann memasang lampu. Ini bermakna bahwa sosok Petruk seringkali memberikan ’pencerahan’ kepada kondisi sosial di masyarakat dan ini dilakukan melalui lampu yang bisa diartikan sebagai ’alat penerang’ berupa lelucon dan lawakan yang menyindir yang menjadi ciri khas Petruk.
3
prabuwayang.wordpress.com
56 Gareng digambarkan ’membantu’ menyapu bagian lain dari jalan. Sikapnya yang cenderung tidak banyak bicara ditunjukkan dengan tindakan yang nyata. Tindakan menyapu di sini bisa diartikan bahwa Gareng memilah-milah mana yang baik dan buruk dalam bersikap, sehingga ia memiliki banyak teman karena ia tahu bagaimana bersikap arif dalam keseharian sehingga hubungan sosial dapat dijalaninya dengan baik. Bagong yang tampak membawa wadah atau tempat untuk sampah bagi si penyapu jalan bisa berarti bahwa ia memiliki sikap pelayanan. Makna hidup sementara dapat diartikan sebagai waktu untuk melayani sesama, agar pada waktu perjalanan hidup kita selesai, kita telah melakukannya banyak hal baik sebagai modal kita di kehidupan selanjutnya. Karena kemunculannya dalam cerita pewayangan yang tidak sesering dari keempat tokoh Punawakan yang disebut diatas, maka secara visual Bilung pun muncul tidak dominan, namun walau begitu, kehadirannya dengan peran yang dimilikinya dapat melengkapi cerita. Kegiatan menyiram tanaman yang dilakukan Bilung dapat diartikan sebagai tindakan ‘memberi’ kepada lingkungannya. Jika dalam cerita pewayangan Bilung selalu memberi masukan kepada tuannya, maka dalam ilustrasi ini, Bilung ‘memberikan’ kesegaran pada tanaman yang ada di pinggir jalan, dan bisa berdampak nyata kepada lingkungan. Ornamen dekoratif yang dimunculkan dalam ilustrasi merupakan elemen pendukung estetika yang mendukung lukisan-lukisan tokoh Punakawan secara visual. Bentuknya yang menyerupai gelombang atau aliran air mengibaratkan irama kehidupan yang harus dilalui oleh para tokoh sekaligus menggambarkan
57 situasi dan kondisi yang kita hadapi dalam hidup sehari beserta tantangan dan kesulitan di dalamnya.
4.1.1.3 Teks Iklan Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat teks iklan berbunyi: ’Yang nyapu jalan bukan hanya saya, tapi bareng yang lain juga. Hanya tempatnya berbeda-beda. Saya cuman nyapu bagian sini, tapi bisa menikmati bersihnya jalan seluruh kota. Tukimin. Depan Galeria Sagan.’ Tulisan teks iklan berjenis roman dan berwarna biru dimana dituliskan di sebuah lembaran kardus. Untuk aspek Petanda (signified), teks ini menggambarkan secara jelas semangat kebersamaan di dalam kehidupan masyarakat jawa yang dituangkan ke dalam tema iklan versi ’Menyapu Jalan’. Melalui iklan ini kita mengenal sosok si penyapu jalan bernama Tukimin. Sebagai orang Jawa, Tukimin selalu merasa bahwa ia hanya bagian kecil dari sebuah lingkungan dimana ia hidup. Ia hidup di dalam suatu budaya yang meyakini bahwa baik buruknya suatu lingkungan sangat tergantung dari keadaan ketika orang-orang yang tinggal di dalamnya mampu hidup berdampingan dan saling melengkapi baik dengan sesama maupun alam. Penggayaan testimoni dalam teks iklan ini dimaksudkan agar pesan iklan sampai ke benak pembaca lewat pendekatan yang lebih personal dan manusiawi. Pendekatan testimoni yang biasa mempergunakan ’public figure’ diharapkan dapat membentuk persepsi di kalangan konsumen. Namun, dengan menampilkan Tukimin yang ’bukan siapa-siapa’ diharapkan masyarakat dapat tergugah, bahwa di tengah-tengah kehidupan yang serba dinamis, masih ada pribadi-pribadi biasa -
58 bahkan bisa dibilang ’orang kecil’- yang memegang teguh falsafah nilai kehidupan dalam kesehariannya. Tukimin, sebagai pemberi testimoni, namanya tercetak tebal agar memberikan penekanan, bahwa ia hanyalah orang biasa, tanpa title atau gelar baik itu pendidikan maupun gelar kebangsawanan dalam penulisan namanya. Kalimat ’depan Galeria Sagan’ merujuk ke suatu daerah dimana Tukimin biasa menjalankan tugasnya membersihkan jalan yaitu di depan pusat perbelanjaan Galeria yang terletak di daerah Sagan kota Yogyakarta. Kemunculan kalimat ini semakin memperkuat kalimat testimoni yang dibangun, bahwa tokoh Tukimin sungguh nyata, bukan tokoh rekaan, dan dirinya dapat ditemui seharihari di lokasi dimana ia bekerja. Tulisan berjenis roman dipilih untuk menselaraskan dengan headline iklan, selain memiliki kesan yang dinamis, non formal, dengan tingkat keterbacaan yang baik. Sedangkan warna biru dipilih agar terjadi keselarasan dengan bidang kotak yang memuat identitas perusahaan di bagian bawah iklan. Hal ini penting, karena dengan penggunaan warna-warna yang senada, membuat iklan secara estetika muncul menarik. Lembaran
kardus
yang
menjadi
media
penulisan
teks
iklan
menggambarkan kesederhanaan dan keterbasan yang mewakili sosok Tukimin yang ’berbicara’. Selain itu kardus juga menjadi lambang dari barang-barang ’terbuang’ yang menggambarkan profesi Tukimin sebagai penyapu jalan sebagai kelompok marjinal atau terpinggirkan dalam kehidupan kota yang hiruk pikuk.
59 4.1.1.4 Identitas Untuk aspek Penanda (signifier), Identitas dalam iklan ini ditandai dengan kehadiran: (1) Logo Kedaulatan Rakyat dan Tagline yang berbunyi ’Korannya Rakyat’, (2) Alamat: Jl. P. Mangkubumi 40 -46 Yogyakarta 55232 Telp. +62-274-565685, Fax.+62-274-562229, email: pemasaran@ kr.co.id, www.kr.co.id. dan (3) Tulisan berwarna putih dengan dasar kotak biru. Untuk aspek Petanda (signified), Logo dan tagline muncul sebagai corporate identity dari harian Kedaulatan rakyat, dimana bentuknya sudah cukup akrab di mata masyarakat Jogja. Alamat sangat berkaitan dengan identitas perusahaan yang penting untuk dimunculkan dalam iklan, khususnya untuk mendukung upaya pemasaran bagi para pengiklan, maupun untuk kepentingan pembaca baik pelanggan ataupun calon pelanggan harian tersebut. Selain itu kemunculan alamat website juga diperlukan dalam upaya Kedaulatan Rakyat untuk meraih segmen yang lebih besar di kalangan pembaca, serta untuk meningkatkan citra positif dari suatu perusahaan media yang hadir up date dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Identitas perusahaan muncul dengan warna putih agar mudah terbaca pada bidang gelap yang berwarna biru, selain itu efek positif negatif yang muncul dapat lebih menarik perhatian mata pembaca secara visual. Warna kotak biru, selain untuk lebih menarik perhatian secara visual, juga melambangkan keharmonisan, dan memberikan kesan lapang. Warna ini juga diasosiasikan dengan kesan etnik, antik, country style.4
4
Harry Gon, E Mayariani, Andrianto Budiarsa, Robertus Pawang, Kombinasi Warna (Jakarta: PT Prima Infosarana Media, 2005), 28
60 4.1.2
Analisa Sintagmantik Iklan Majalah Harian Kedaulatan Rakyat versi
Menarik Becak
Gambar 4.1.1 Iklan harian Kedulatan Rakyat versi ’Menarik Becak’
61 Melalui kajian sintagmantik, pada iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat versi ”Menarik Becak” akan dikaji secara mendalam dua unsur tanda yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) sebagai sebuah sistem perangkat tanda dimana tanda-tanda yang akan dikaji adalah Headline, Ilustrasi, Teks Iklan, dan Identitas dimana keempat tanda tersebut berfungsi di dalam sebuah aturan yang menghasilkan ungkapan bermakna.
4.1.2.1 Headline Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat kalimat ’Bebarengan Mrantasi Gawe’ dimana tulisan berjenis roman berwarna putih dengan latar belakang elemen dekoratif. Tulisan divisualisasikan sekaligus sebagai ilustrasi dimana letaknya terdapat pada lukisan mural di tembok yang menjadi latar belakang ilustrasi utama. Untuk aspek Petanda (signified),’Bebarengan Mrantasi Gawe’ dalam bahasa Indonesia berarti ’bersama menyelesaikan pekerjaan’. Headline ini muncul menyatu dengan ilustrasi iklan, digambarkan sebagai bagian dari lukisan mural di tembok pinggir jalan. Headline menggambarkan pesan utama dari iklan dimana kehadiran headline akan ’menuntun’ pembaca ke dalam sistem perangkat lain yang mendukungnya (ilustrasi dan teks iklan). Pemunculan headline dalam bahasa Jawa merupakan bentuk pengangkatan nilai budaya Jawa
yang khas, dekat
dengan keseharian masyarakat, dan mampu menarik perhatian. Headline ini menggambarkan semangat kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat Jogja, dimana karakternya diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dengan semangat
62 turut serta dalam pekerjaan seorang tukang becak yang seringkali dianggap sepele. Ungkapan headline yang merupakan ungkapan keseharian masyarakat Jawa ini pun coba dihadirkan dalam eksekusi iklan sehingga nilai-nilai budaya dan falsafah yang terkandung di dalamnya dapat kembali diingat dan kembali dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan jenis huruf Roman selain agar memiliki tingkat keterbacaan yang baik, sekaligus menampilkan kesan informal, dinamis, sekaligus tampak solid. Kesan solid dimaksudkan agar headline mampu ’muncul’, ’berbicara’ dan tertanam dalam benak konsumen, sehingga diharapkan mampu menggugah pembaca untuk melakukan suatu perubahan positif baik dalam sikap dan tindakan. Warna putih digunakan untuk mempertimbangkan faktor clarity /kejelasan serta ’kebersihan’ area desain, sehingga tulisan dengan background gelap/hitam dapat terlihat dan terbaca dengan baik. Elemen dekoratif yang dihadirkan sebagai dasar headline memiliki beberapa pengertian, diantaranya berfungsi sebagai elemen visual yang memperkuat tampilan headline, karena dengan begitu headline memiliki tingkat keterbacaan yang lebih jelas. Elemen ini muncul secara estetika dekat dengan bentuk-bentuk ornamen khas Jawa dimana bentuk ornamen itu dapat kita temui di berbagai lukisan batik, atau pada ukiran barang-barang kerajinan khas Yogyakarta. Elemen dasar ini juga ingin menggambarkan visualisasi ’baloon’, dimana dalam cerita bergambar (komik), baloon berfungsi untuk menempatkan kata-kata, dialog, dan tulisan lainnya, sebagai sarana agar gambar dapat ’berbicara’ kepada audiens. Headline iklan dalam hal ini diposisikan sebagai
63 sebuah pesan penting yang ingin disampaikan dan diharapkan mampu mendukung penggambaran ilustrasi secara umum.
4.1.2.2 Ilustrasi Untuk aspek Penanda (signifier), sosok penarik becak digambarkan dalam iklan dengan identitas yang dikenakannya sedang melaksanakan tugasnya menarik becak di sebuah lingkungan jalan di sudut kota Yogyakarta, dengan latar belakang lukisan mural
tokoh masyarakat yang terlukis pada tembok jalan.
Lukisan mural secara visual dibuat sekan-akan menyatu dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh si penarik becak (membantu menarik becak menggunakan tali). Untuk aspek Petanda (signified), penulis membagi ilustrasi iklan ini ke dalam 3 bagian elemen pendukung visual. Yang pertama adalah mengenai Penarik becak dan identitas yang dikenakannya. Si penarik becak menggunakan kaos biru, celana pendek hitam, dan bersendal jepit yang merupakan pakaian sehari-hari yang biasa digunakan oleh ’masyarakat biasa’ dalam beraktivitas. Topi camping selain untuk melindungi dari panas terik matahari juga merupakan simbol kesederhanaan. Handuk yang melilit di bahu lehernya merupakan ’ikon’ dari penarik becak ataupun pekerja kasar lainnya, karena handuk menjadi bagian tak terpisahkan sekaligus menjadi teman setia bagi yang kesehariannya selalu bersimbah peluh. Becak sebagai kendaraan transportasi dan angkutan sudah sangat familiar di telinga kita. Becak dapat dengan mudah kita jumpai di kota Jogja karena itu
64 Jogja seringkali disebut dengan kota becak karena jumlahnya yang sangat banyak.5 Becak telah menjadi sarana transportasi yang memasyarakat. Bagi para wisatawan, baik asing maupun lokal, menaiki becak mempunyai kesan tersendiri. Tarif yang murah dan rasa nyaman ketika menaiki becak menjadi kendaraan favorit.6 Pada ilustrasi iklan, becak yang dikendarai digambarkan terbuka bagian atapnya, untuk memuat muatan yang lebih banyak. Dengan begitu, becak juga menjadi kendaraan yag fleksibel, tidak hanya dipergunakan untuk mengangkut penumpang, tapi juga dapat digunakan untuk mengangkut berbagai barang yang akan dipindahkan ke tempat lain. Berbagai barang-barang yang diangkut dalam becak merupakan barangbarang rumah tangga yang seringkali ditemukan pada masyarakat bawah. Barangbarang ini merupakan gambaran dari banyaknya kebutuhan pokok ataupun kebutuhan hidup dari masyarakat kebanyakan. Dengan membawa seluruh barang itu ke dalam satu muatan, menandakan si penarik becak harus menanggung semua kebutuhan tersebut dalam ’becaknya’ yang berarti juga lewat satu-satunya ’mata pencaharian’ yang dimilikinya. Yang kedua adalah mengenai lingkungan dimana ia berada (sudut trotoar jalan kota Yogyakarta) Sebagai sebuah lingkungan, trotoar pinggir jalan merupakan gambaran dari tempat dimana sebagian besar penarik becak menghabiskan waktunya seharian. Di tempat-tempat umum ini mereka biasa ditemukan, mengantar setiap penumpang maupun wisatawan yang berkunjung di Jogja. Trotoar dan pinggir jalan seakan menjadi sebuah bentuk ’panggung
5 6
www.kratonjogja.com ibid
65 kehidupan’ bagi penarik becak dimana eksistensinya ’muncul’ di dalam masyarakat
melalui
tindakan
yang
sederhana,
namun
kehangatan
dan
ketulusannya membuat para penumpang mempercayakan keselamatan diri mereka untuk diantar ke tempat tujuan. Yang ketiga adalah menganai lukisan mural tokoh masyarakat pada tembok yang menjadi latar belakang. Mural merupakan bagian dari ’urban art’ yang merupakan ekspresi kreativitas masyarakat kota yang erat kaitannya dengan freedom of expression atau kebebasan berekspresi. Mural berbentuk lukisan dimana mereka menjadikan ruang publik untuk berkekspresi.7 Teknik yang digunkan bisa menggunakan cat tembok atau cat semprot, dimana penggayaan dan teknik melukis yang ada pada sebuah mural sangat tergantung pada kreativitas si pelukis. Penggunaan mural sebagai salah satu ilustrasi dalam iklan mencerminkan kebebasan berekpresi masyarakat Jogja; yang dikenal sebagai kota budaya dimana masyarakatnya memiliki apresiasi yang tinggi akan karya seni. Kehadiran mural di ruang-ruang publik di kota Jogja mamapu menciptakan sebuah keindahan dimana kehadirannya bersinergi dengan tata letak serta karakter dari tata ruang Jogja itu sendiri yang memiliki ciri khas dibanding kota lainnya di Indonesia. Hitam dan putih memiliki kekuatan secara visual, terutama sebagai latar belakang dari sebuah visual. Warna hitam dan putih biasa digunakan untuk menimbulkan efek kontras yang baik, serta untuk mendramatisasi suasana. Dari segi dekoratif, lukisan mural tersebut yang bermain dengan intensitas ’gelap
7
Ary Sutedja dalam artikel: Menikmati Seni dalam Hiruk Pikuk Kota, Majalah Concept, Volume 4, Edisi 20, 2007, hal 11
66 terang’ menjadi daya tarik visual yang cukup baik, walaupun hadir dalam warna yang sederhana. Penggunaan warna hitam dan putih yang sederhana namun memiliki impact kuat diharapkan dapat mewakili semangat falsafah dan kebudayaan jawa itu sendiri yang dalam segala kesederhanaannya tetap mampu relevan dan memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan sosial di masyarakat. Masyarakat umum dalam lukisan mural menggambarkan kondisi dari masyarakat Jogja yang beragam baik dari tingkat ekonomi, sosial, maupun statusnya. Mereka semua merupakan wakil-wakil dari masyarakat yang seringkali bersinggungan langsung dan merupakan gambaran dari ’rekan seperjalanan’ para penarik becak di dalam kesehariannya. Lewat penggambaran ini diharapkan interaksi yang terjalin secara visual dalam ilustrasi iklan juga dapat terlihat secara nyata di dalam kehidupan. Tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat dalam ilustrasi iklan adalah ibu rumah tangga, anak kecil, petani, petugas polisi, pegawai kantor. Seorang ibu rumah tangga kerap menggunakan jasa becak untuk berbelanja atau mengantar anak sekolah. Ibu rumah tangga bisa jadi merupakan tokoh yang paling dekat dengan keseharian tukang becak. Sosok ibu juga ingin menggambarkan bahwa nilai kebersamaan dan niat saling membantu juga menyentuh hati seorang perempuan yang merasa ikut tergerak untuk mengurangi beban dari si penarik becak. Anak kecil seringkali merasa aman jika berada di dekat tukang becak, karena tukang becak seringkali menggantikan peran orang tua yang mengantar dan menjaga mereka terutama saat menuju sekolah. Anak kecil menggambarkan
67 sosok yang melakukan hal baik karena merasa berterima kasih atas perlakuan baik orang lain. Pamrih yang diberikan tulus kepada orang-orang yang dalam hidupnya juga melakukan hal-hal baik, walaupun itu dilakukan sebagai bagian dari kewajiban profesinya. Petani
merupakan
anggota
masyarakat
yang
merasa
senasib
sepenanggungan dengan tukang becak. Para petani yang juga terbiasa bekerja keras sehari-harinya merasakan beban para penarik becak saat harus mengangkut beban yang banyak dalam becaknya. Petugas Polisi mengambarkan tokoh yang mengayomi masyarakat, terutama masyarakat kecil. Polisi menjadi cerminan seorang tokoh masyarakat yang sadar akan tugasnya di masyarakat dan itu dibuktikan pada pelayanan yang dilakukan kepada seluruh anggota masyarakat, termasuk kepada tukang becak sekalipun. Pegawai kantor yang dimunculkan dalam lukisan mural dan ditandai dengan kemeja dan dasi yang dikenakannya merupakan penggambaran bentuk kepedulian dari kalangan terpelajar dan mapan. Dengan turut terlibat membantu, ingin digambarkan bahwa nilai kebersamaan selalu dijaga oleh berbagai elemen masyarakat, dan diimplemantasikan dalam kehidupan sehari-hari, apapun status sosial yang dimilikinya. Ornamen dekoratif yang dimunculkan dalam ilustrasi merupakan elemen pendukung estetika yang mendukung lukisan-lukisan tokoh masyarakat secara visual. Bentuknya yang menyerupai gelombang atau aliran air mengibaratkan irama kehidupan yang harus dilalui oleh para tokoh dan menggambarkan situasi
68 dan kondisi yang kita hadapi dalam hidup sehari beserta tantangan dan kesulitan di dalamnya. Sedangkan awan melambangkan kerendahan hati dari para tokoh yang ada di lukisan itu, karena bagaimanapun mereka merasa masih ’ada hal yang lebih tinggi’ dari tempat dimana mereka berpijak.
4.1.2.3 Teks Iklan Untuk aspek Penanda (signifier), terdapat teks iklan yang berbunyi: ’Hidup bebarengan itu ndak boleh iri dan emosi, nanti rejekinya bakal jauh. Kalo ndak rukun dengan tetangga, hidup bakal sumpek sendiri. Pak Kasno. Dalem Benteng Kraton.’ Tulisan teks iklan berjenis roman dan berwarna biru dimana dituliskan di sebuah lembaran kardus. Untuk aspek Petanda (signified), lewat Teks iklan ini kita mengetahui bahwa sosok penarik becak dalam ilustrasi iklan ini bernama Pak Kasno. Teks ini menggambarkan secara jelas semangat kebersamaan di dalam kehidupan masyarakat jawa dan dituangkan ke dalam tema iklan versi ’Menarik Becak’. Sebagai bagian dari masyarakat Pak Kasno berpendapat bahwa kerukunan dan kebersamaan merupakan syarat utama mencapai kebahagiaan. Karena dengan nilai ’tepa selira’ yang dijunjung tinggi, maka orang-orang yang ada di sekitar kita akan siap membantu setiap kesulitan yang sedang kita hadapi. Penggayaan testimoni dalam teks iklan ini dimaksudkan agar pesan iklan sampai ke benak pembaca lewat pendekatan yang lebih personal dan manusiawi. Pendekatan testimoni yang biasa mempergunakan public figure diharapkan dapat membentuk persepsi di kalangan konsumen. Namun, dengan menampilkan Pak
69 Kasno yang ’bukan siapa-siapa’ diharapkan masyarakat dapat tergugah, bahwa di tengah-tengah kehidupan yang serba dinamis, masih ada pribadi-pribadi yang memegang nilai kehidupan dalam aktivitasnya sehari-hari. Pak Kasno, sebagai pemberi testimoni, namanya tercetak tebal agar memberikan penekanan, bahwa ia hanyalah orang biasa, tanpa title atau gelar baik itu pendidikan maupun gelar kebangsawanan dalam penulisan namanya. Kalimat ’Dalem Benteng Kraton’ merujuk ke suatu daerah dimana Tukimin saat itu melintas dan mungkin menjadi daerah dimana ia sering mengoperasikan becaknya, yaitu di daerah Benteng Dalem Kraton Yogyakarta. Tulisan berjenis roman dipilih untuk menselaraskan dengan headline iklan, karena selain memiliki kesan yang dinamis, tulisan Roman bersifat non formal, dengan tingkat keterbacaan yang baik. Sedangkan warna biru dipilih agar terjadi keselarasan dengan bidang kotak yang memuat identitas perusahaan di bagian bawah iklan. Hal ini penting, karena dengan penggunaan warna-warna yang senada, membuat iklan secara estetika muncul menarik. Lembaran
kardus
yang
menjadi
media
penulisan
teks
iklan
menggambarkan kesederhanaan dan keterbasan yang mewakili sosok Pak Kasno yang ’berbicara’. Selain itu kardus juga menjadi lambang dari barang-barang ’terbuang’ yang menggambarkan profesi Pak Kasno sebagai penarik becak sebagai kelompok marjinal atau terpinggirkan dalam kehidupan kota yang hiruk pikuk.
70 4.1.2.4 Identitas Untuk aspek Penanda (signifier), Identitas dalam iklan ini ditandai dengan kehadiran: (1) Logo Kedaulatan Rakyat dan Tagline yang berbunyi ’Korannya Rakyat’, (2) Alamat: Jl. P. Mangkubumi 40 -46 Yogyakarta 55232 Telp. +62-274-565685, Fax.+62-274-562229, email: pemasaran@ kr.co.id, www.kr.co.id. dan (3) Tulisan berwarna putih dengan dasar kotak biru. Untuk aspek Petanda (signified), Logo dan tagline muncul sebagai corporate identity dari harian Kedaulatan rakyat, dimana bentuknya sudah cukup akrab di mata masyarakat Jogja. Alamat sangat berkaitan dengan identitas perusahaan yang penting untuk dimunculkan dalam iklan, khususnya untuk mendukung upaya pemasaran bagi para pengiklan, maupun untuk kepentingan pembaca baik pelanggan ataupun calon pelanggan harian tersebut. Selain itu kemunculan alamat website juga diperlukan dalam upaya Kedaulatan Rakyat untuk meraih segmen yang lebih besar di kalangan pembaca, serta untuk meningkatkan citra positif dari suatu perusahaan media yang hadir up date dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Identitas perusahaan muncul dengan warna putih agar mudah terbaca pada bidang gelap yang berwarna biru, selain itu efek positif negatif yang muncul dapat lebih menarik perhatian mata pembaca secara visual. Warna kotak biru, selain untuk lebih menarik perhatian secara visual, juga melambangkan keharmonisan, dan memberikan kesan lapang. Warna ini juga diasosiasikan dengan kesan etnik, antik, country style.8
8
Harry Gon, E Mayariani, Andrianto Budiarsa, Robertus Pawang, Kombinasi Warna (Jakarta: PT Prima Infosarana Media, 2005), 28
71 4.1.3 Analisa Paradigmatik Setelah tanda-tanda dalam kedua iklan majalah harian Keadulatan Rakyat tersebut dianalisa secara sintagmantik dimana teks (gambar iklan) diperiksa dan diuji sebagai rangkaian yang membentuk sebuah narasi dan dikategorikan menjadi penanda (sifnifier) dan petanda (signified) untuk kemudian dimaknai, maka tahapan selanjutnya tanda-tanda dalam kedua iklan akan dianalisa secara paradigmatik. Analisis paradigmatik adalah analisis yang berhubungan dengan prosedur yang memungkinkan dilakukannya ”pembongkaran” serta pencarian ideologi yang terkandung dalam makna tanda-tanda dimana hanya ada satu pilihan makna yang akan dipilih.9 Secara paradigmatik, berdasarkan proses analisa yang telah dilakukan terhadap kedua iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, dapat dilihat kesamaan ide kreatif dalam iklan dalam membawakan pesan utama. Persamaan ide kreatif yang pertama dari kedua iklan adalah penggunaan sosok masyarakat kecil yang memiliki posisi marjinal/terpinggirkan dalam sebuah sistem sosial sebagai tokoh utama dalam iklan. Melalui kedua teks iklan dapat diketahui bahwa kedua tokoh ini bernama Tukimin dan Pak Kasno dan digambarkan berdomisili dan menjalankan aktivitas sehari-harinya sebagai penyapu jalan dan penarik becak di kota Yogyakarta. Pengunaan endorser dalam sebuah iklan kerap kali menjadi sebuah kekuatan dari pesan iklan, karena endorser iklan dihadirkan mewakili pesan itu sendiri.
9
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), ix
72 Pemilihan kedua tokoh ini pada eksekusi iklan harian Kedaulatan Rakyat, menjadi bukti kedekatan harian kedaulatan rakyat dengan para pembacanya, karena dari muatan pesan iklan itu sendiri, Kedaulatan Rakyat berbicara mengenai pesanpesan moral yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya bagi masyarakat Jawa dimana pesan iklan ini bersumber, nilai-nilai kehidupan dan pesan moral yang disampaikan akan lebih mengena jika disampaikan oleh sosok yang mewakili masyarakat kebanyakan yang juga menjalani kehidupannya di lingkungan yang sama, dan dalam hal ini diwakili oleh sosok penarik becak dan penyapu jalan yang menjalani kesehariannya di kota Yogyakarta. Kedua tokoh dalam iklan ini menggambarkan suatu kesederhanaan yang mewakili keadaan sosial masyarakat Jawa pada umumnya. Kesederhanaan ini juga yang membuat pesan iklan dapat bermain-main dalam berbagai pendekatan baik itu secara emosional, melalui pendekatan humor, maupun dengan pendekatan moral yang kesemuanya dapat disampaikan dalam satu pesan utuh (one single message). Kedua tokoh ini diharapkan mampu mewakili suatu keadaan masyarakat yang melakukan sesuatu apa adanya, dimana terdapat suatu bentuk penerimaan, kelegaan hati, dan tidak memilih-milih dalam setiap keseharian hidupnya. Sikap keterbukaan ini disampaikan secara jenaka lewat eksekusi dari kedua iklan, dimana keduanya diperlihatkan bisa saja ’bekerjasama’ dengan sosok yang bahkan tidak nyata, yang dalam hal ini adalah bentuk lukisan yang terdapat di tembok yang digambarkan seakan-akan sedang berinteraksi secara langsung. Pengangkatan kedua tokoh marjinal dalam menyampaikan nilai kebersamaan dalam budaya Jawa juga menjadi pilihan yang tepat karena mampu berbicara
73 secara emosional kepada khalayak dimana penyampaiannya pun dilakukan dengan cara-cara yang tidak menggurui. Keteladanan dari sikap hidup kedua tokoh inilah yang menjadi kekuatan utama dari pesan yang ingin disampaikan dalam ekseskusi kedua iklan ini. Persamaan ide kreatif yang kedua, adalah digunakannya tanda-tanda kelokalan budaya Jawa dalam eksekusi kedua iklan yang merepresentasikan sebuah nilai kebersamaan. Nilai budaya Jawa diangkat untuk kemudian dimunculkan dalam bentuk ide-ide segar yang komunikatif, menggugah, sekaligus menghibur. Tanda-tanda kelokalan budaya Jawa ini dapat kita lihat dalam beberapa bagian pada iklan, dan yang pertama yang bisa kita lihat adalah pada kedua ilustrasi iklan. Pada iklan versi ”Menyapu Jalan” simbol budaya Jawa muncul melalui pemunculan tokoh Punakawan dalam pewayangan, yaitu Semar, Petruk, gareng, bagong, dan Bilung dalam sebuah mural yang menjadi latar belakang tokoh utama yaitu Tukimin sebagai penyapu jalan. Sedangkan pada iklan versi ”Menarik Becak” simbol budaya Jawa muncul melalui kendaraan becak yang digunakan Pak Kasno, yang walaupun keberadaanya dapat ditemui di kota-kota lainnya di pulau Jawa, namun becak telah menjadi ikon yang identik dengan Yogjakarta dan hal ini dimungkinkan, selain karena jumlah becak yang cukup banyak di Yogyakarta, becak juga diposisikan sebagai alat transportasi massal dan sebagai salah satu ikon budaya untuk menarik wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.10
10
www.kratonjogja.com
74 Penggunaaan tokoh punakawan maupun lambang budaya Jawa lainnya memiliki tujuan agar pesan iklan dapat disampaikan secara lebih sederhana sekaligus efektif karena dekat dengan keseharian masyarakat. Dalam konteks nilai budaya Jawa, lambang-lambang ini pun telah sangat membumi dan dikenal luas, baik itu oleh warga Yogyakarta pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya. Lambang-lambang budaya ini menjadi ’alat bantu’ pertama yang digunakan dalam menyampaikan pesan nilai kebersamaan dalam budaya Jawa, dan pada eksekusi akhir dimunculkan secara sinergis dengan elemen lain dalam iklan baik itu headline, teks iklan, dan ilustrasi pendukung lainnya dalam iklan. Kesamaan eksekusi kedua iklan ini dalam mengangkat nilai budaya Jawa juga bisa dilihat dari headline dari iklan yang menggunakan bahasa Jawa dan berbunyi ’Bebarengan Mrantasi Gawe’, yang sarat akan pesan kehidupan yang biasa dipegang oleh masyarakat jawa. Selain itu, komposisi desain dan pendekatan visual kedua iklan yang hadir lewat gaya dekoratif dengan pesan iklan yang dibawakan secara jenaka (menggabungkan tokoh nyata dengan tokoh dalam lukisan) juga berusaha memunculkan ’wajah’ lain karakter budaya Jawa, karena setiap hal dalam kehidupan yang disampaikan secara kreatif dan jenaka menjadi ciri khas pembawaan pribadi dari masyarakat Jawa pada umumnya. Digunakannya ikon dari dunia pewayangan sebagai salah satu sumber kreatif dari iklan juga merupakan upaya agar pesan dapat dibawa secara mudah ke masyarakat. Latar belakang cerita pewayangan yang berasal dari India dan digunakan pada awalnya oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam lewat bentuk penanaman nilai-nilai dan falsafah kehidupan dalam setiap alur ceritanya,
75 dianggap dekat dengan keseharian masyarakat. Para wali menciptakan Punakawan sebagai suatu tokoh yang sekiranya mampu berkomunikasi dengan penonton,lebih fleksibel, mampu menampung aspirasi penonton, lucu dan yang terpenting, dalam memainkan para tokoh punakawan ini sang dalang dapat lebih bebas dalam menyampaikan misinya karena tidak harus terlalu terikat pada pakem yang ada. Punakawan menjadi salah satu tokoh yang seringkali ditunggu kehadirannya, karena mampu membawakan pesan-pesan kehidupan secara jenaka dan santai.11 Kehadiran tokoh Punakawan yang dekat dengan keseharian masyarakat Jawa di dalam sebuah iklan merupakan upaya dari kreator iklan menyampaikan pesan-pesan kebersamaan yang sederhana dan jauh dari kesan hiperbola. Beragam karakter yang dimiliki oleh para tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng, Bagong dan Bilung merupakan gambaran dari masyarakat Jogja yang beragam. Pada iklan versi ”Menarik Becak”, penggambaran keberagaman masyarakat ini muncul tidak melalui analogi, melainkan langsung lewat visualisasi anggota masyarakat dengan beragam tingkat ekonomi dan sosial dan diwakili oleh sosok ibu rumah tangga, anak kecil, petani, petugas polisi dan eksekutif muda. Nilai-nilai budaya Jawa yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengangkat nilai kebersamaan dalam pesan iklan juga dapat kita temui dari teks (body copy) kedua iklan tersebut. Kedua teks iklan menggunakan penggayaan testimoni dari kedua tokoh iklan. Teks iklan dari versi ”Menyapu Jalan” yang berbunyi ’Yang nyapu jalan bukan hanya saya, tapi bareng yang lain juga. Hanya tempatnya berbeda-beda. Saya cuman nyapu bagian sini, tapi bisa menikmati 11
www.kratonjogja.com
76 bersihnya jalan seluruh kota. Tukimin. Depan Galeria Sagan.’ Dan pada versi ”Menarik Becak” yang berbunyi ’Hidup bebarengan itu ndak boleh iri dan emosi, nanti rejekinya bakal jauh. Kalo ndak rukun dengan tetangga, hidup bakal sumpek sendiri. Pak Kasno. Dalem Benteng Kraton.’ Merupakan implementasi nyata dari kedua tokoh yang memgang nilai-nilai kebersamaan dari budaya Jawa sebagai pedoman hidupnya. Kehadiran dua kalimat testimoni ini seakan menjadi teladan bagi audiens mengenai bagaimana nilai kebersamaan itu diterapkan dalam kehidupan seharihari dimana kita bisa memulainya dari hati, sebagai pandangan hidup yang merupakan ruang lingkup terkecil, sebelum kita mengimplementasikannya pada ruang lingkup sosial/dunia nyata yang lebih luas. Kedua ’pernyatan sikap’ dari kedua tokoh iklan ini merupakan bentuk kesadaran akan pentingnya usaha untuk menempatkan diri dalam sebuah lingkungan. Sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Budiono Herusatoto bahwa bentuk kemasyarakatan Jawa itu sendiri secara historis-sosiologis terdiri dari masyarakat
kekeluargaan,
masyarakat
gotong
royong,
dan
masyarakat
berketuhanan.12 Bahwa orang Jawa identik dengan pribadi sosial yang toleran kepada lingkungan sekitar. Memegang nilai-nilai kebersamaan menjadi kepribadian orang Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa bukanlah persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ’satu untuk semua, dan semua untuk satu’.13
12 13
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 66 Ibid.
77 Lewat testimoni pada kedua teks iklan ini, audiens coba diingatkan kembali peranannya dalam masyarakat dan bagaimana harus bersikap serta bertingkah laku dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yang semua ini bisa diwujudkan dengan memelihara nilai-nilai kebersamaan yang telah ada dalam budaya masyarakat.
4.2
Pembahasan Untuk melihat bagaimana representasi nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dalam kedua iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, maka penting untuk menganalisa konteks yang terdapat pada kedua iklan. Yang pertama dilihat dari sudut pandang masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan pembaca pada umumnya sebagai target sasaran dari harian Kedaulatan Rakyat. Dalam iklan ini, strategi penciptaan sebuah pesan iklan menggunakan sumber imajinatif – image/citra, dan bukan menggunakan sumber faktual, dimana dilakukan upaya eksplorasi aspek emosional dan image yang melekat pada produk dan jasa yang ditawarkan kepada target audience, sehingga diharapkan pemirsa bidikan mendapatkan kebanggaan dan prestisius.14. Pembaca harian Kedaulatan Rakyat yang sebagian besar adalah masyarakat Yogyakarta, memiliki demografis dan keadaan masyarakat yang cukup dapat dibedakan dari masyarakat-masyarakat kota besar di Indonesia. Kota Yogyakarta sendiri, yang identik dengan kebudayaan dan pendidikan, menghasilkan stereotip bahwa masyarakat Yogyakarta cukup kritis, terpelajar,
14
Agustrijanto (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2001), 60
78 dan berbudaya. Untuk itulah isu-isu kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat menjadi sesuatu yang menarik bagi masyarakat Yogyakarta dan pembaca harian Kedaulatan Rakyat pada umumnya. Melalui iklan ini, secara emosional masyarakat juga merasa terikat baik sebagai bagian dari sebuah masyarakat dengan sistem sosial yang berlaku di dalamnya, maupun sebagai pembaca dari sebuah harian lokal surat kabar yang memiliki kepekaan terhadap kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan dari sudut pandang pengiklan, dalam hal ini adalah harian Kedaulatan Rakyat, tema kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa diangkat dalam konsep kreatif sebagai bukti eksistensi bahwa harian ini merupakan bagian dari masyarakat Jogja pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya. Di sisi lain, pada 2007, hasil survey yang dilakukan oleh Tim Peneliti Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta, menempatkan harian Kedaulatan Rakyat sebagai surat kabar yang paling banyak dipilih oleh masyarakat Yogyakarta yaitu sebesar 63,6%. Hal ini membuktikan bahwa harian Kedaulatan Rakyat identik dengan korannya Jogja yang dekat dengan keseharian masyarakat Jogja. Nilai budaya Jawa menjadi pesan yang utama dalam iklan-iklan Kedaulatan Rakyat karena sebagai surat kabar yang lahir, bermarkas dan dibesarkan di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat berusaha untuk mempertahankan identitasnya serta untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan semangat perusahaan yang dimiliki sebagai bagian dari masyarakat Jogja secara luas.15 Citra inilah yang coba dipertahankan oleh Kedaulatan rakyat melalui kemunculan iklan-iklan cetaknya pada berbagai media. 15
Artikel: Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri, Majalah AdDiction, September 2006, 8
79 Sebagai sebuah media penyampaian pesan sosial, nilai kebersamaan coba diangkat sebagai bentuk kepedulian Kedaulatan Rakyat terhadap keadaaan sosial masyarakat Jogja yang modern, dinamis, namun tetap menjaga nilai-nilai dan falsafah budaya Jawa dalam setiap sendi kehidupan. Keberadaan dan status Jogja sebagai kota budaya, secara sendirinya juga harus dicerminkan oleh semangat hidup masyarakatnya dalam sebuah tatanan budaya yang kuat, di dalam sebuah perkembangan jaman yang semakin berubah. Kebanggaan sebagai orang Jawa yang kuat dalam falsafah hidup coba dihadirkan melalui sentuhan eksekusi iklan yang menarik sekaligus menggugah. Dan dalam hal ini, Kedaulatan Rakyat juga ingin semakin memantapkan posisinya sebagai media yang memiliki kontrol sosial kuat dan menjadi satu-satunya media pilihan dan dianggap berpengaruh di Yogyakarta. Konsep nilai kebersamaan dalam budaya Jawa yang muncul dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat hadir sebagai perwujudan sebuah surat kabar lokal yang ingin mengangkat kembali semangat dan falsafah hidup yang dimiliki oleh sebagian besar pembacanya melalui pendekatan budaya lokal yang sederhana dengan pesan utama diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan hadirnya sebuah surat kabar yang ’peduli’ akan konsep realitas sosial yang berkembang di masyarakat Jawa, dalam hal ini adalah penduduk kota Yogyakarta. Lewat ilustrasi iklan, pesan dengan nilai falsafah budaya Jawa itu disampaikan secara menarik dengan menggunakan efek ’ilusi optik’ yang kuat. Efek ilusi yang dimaksud disini adalah dengan menggabungkan secara visual antara fokus utama dalam ilustrasi dengan latar belakang yang mendukungnya
80 sehingga seakan-akan terlihat sebagai sebuah kesatuan visual. Pada iklan versi ”Menyapu Jalan”, para tokoh Punakawan dalam mural, seakan-akan tampak sedang bekerja membantu Tukimin pada saat yang bersamaan. Begitu juga pada versi kedua, Pak Kasno yang sedang menarik becaknya seakan-akan dibantu ditarik menggunakan tali oleh para tokoh masyarakat yang tampak pada mural. Kedua bentuk ilustrasi ini juga coba menghadirkan pesan mengenai kebersamaan itu sendiri agar tidak hanya menjadi wacana, hanya berada pada tataran yang semu, tidak nyata, yang digambarkan lewat sebuah bentuk lukisan. Nilai kebersamaan haruslah hadir secara nyata dalam keseharian, sehingga dalam kedua iklan tokoh mural yang seakan-akan ’bergerak’ dan ’berinteraksi’ secara nyata dengan tokoh utama Tukimin dan Pak Kasno. Tukimin dan Pak Kasno yang banyak dijumpai di susut-sudut kota Yogyakarta. Melalui penggambaran tokohtokoh ini masyarakat Jogja diharapkan mampu menangkap pesan iklan yang dekat dengan keseharian. Sebagai salah satu kota besar dan kota tujuan wisatawan di Indonesia, kedua tokoh ini seakan-akan menjadi simbol yang paling dekat dalam kesibukan dan hiruk pikuk aktivitas masyarakat, sehingga pesan iklan mampu hadir dan tertanam dalam benak audiens karena simbol-simbol yang digunakan sudah familiar dan mudah dipahami. Baik Tukimin maupun Pak Kasno yang digambarkan dalam kedua iklan cetak ini merupakan pribadi yang menganggap dirinya sebagai bagian dari penduduk kota Yogyakarta dan sebagai bagian dari orang Jawa yang harus memegang nilai-nilai kebersamaan, karena masyarakat Jawa dari dahulu mereka
81 kenal sebagai masyarakat yang hidup dalam kekeluargaan, dan bukan sebagai masyarakat individu yang berjalan sendiri-sendiri. Profesi tukang becak dan penyapu jalan itu sendiri seringkali digambarkan sebagai profesi yang ’tidak menjadi pilihan hidup’ karena sebagian orang masih berpendapat bahwa profesi ini merupakan profesi pekerja ’kasar’, identik dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan yang terutama memiliki sumber penghasilan yang kecil. Stereotip yang berkembang di masyarakat menjadikan posisi tukang becak dan penyapu jalan menjadi golongan yang semakin terpinggirkan. Di tengah kondisi kota Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pelajar, sekaligus kota tujuan wisata yang sedang berkembang, memang menjadikan derap laju pembangunan di kota Yogyakarta semakin cepat dan dinamis. Keadaan demografis masyarakat Yogyakarta yang berbeda dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, ataupun Medan, menjadikan Yogyakarta tumbuh menjadi kota yang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda pula. Inkulturisasi budaya tampak menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada proses perkembangan Yogyakarta dan masyarakatnya. Budaya modern yang praktis berjalan beriringan dengan nilai-nilai budaya yang sakral. Hal ini pula yang menjadikan sistem sosial di Yogyakarta dibentuk berdasarkan faktor kebersamaan dan kekeluargaan sehingga masing-masing komponen masyarakat merasa menjadi bagian dan memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan kota Yogyakarta. Dalam iklan ini, sosok kedua tokoh dimunculkan sebagai sebuah kekuatan. Kekuatan di sini, karena dibalik kesederhanaan dan hal-hal biasa yang
82 mereka punya, ternyata mereka mampu muncul sebagai pribadi-pribadi yang memegang nilai dan falsafah kehidupan khususnya sebagai pribadi masyarakat Jawa yang hidup di dalam sebuah komunitas sosial. Mereka dicitrakan dalam iklan sebagai sosok-sosok yang mewakili pribadi-pribadi manusia Jawa yang selalu memegang teguh nilai –nilai kehidupan, selalu bekerja keras dalam hidup, sederhana dalam bertingkah laku, dan menjaga keharmonisan. ’Kesungguhan’ yang dimiliki oleh kedua tokoh iklan ini dalam menjalani hidup sesuai dengan apa yang dikatakan Budiono dalam bukunya Simbolisme Jawa yang menjabarkan bahwa di dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa selelu berpegang kepada dua hal, yaitu pertama, kepada pandangan hidupnya yang religius dan mistis, dan kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.16 Pak Kasno dan Tukimin selalu menghargai dirinya sebagai bagian masyarakat yang juga memiliki peran penting, sekaligus menyadari panggilan hidupnya dalam setiap tugas keseharian yang dijalankannya. Dalam budaya Jawa sendiri dikenal sebuah semboyan bahasa Jawa ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya ’bergerak bersama’ dalam kehidupan sehari-hari. Semboyan ini sendiri seringkali dimunculkan dalam keseharian lewat upaya saling membantu, melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama, menanggung akibat dari suatu persoalan bersama-sama, hingga ke dalam upaya mempererat hubungan kekeluargaan17.
16 17
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 139 Ibid, 66
83 Headline pada kedua iklan tersebut baik pada iklan cetak versi ”Menyapu Jalan”, maupun pada versi ”Menarik Becak” sama-sama berbunyi ’Bebarengan Mrantasi Gawe’. Kalimat dalam bahasa Jawa ini bisa diartikan sebagai bersama menyelesaikan pekerjaan. Kalimat sederhana ini menjadi pesan utama dalam iklan karena merepresentasikan salah satu nilai kehidupan yang dianut masyarakat Jawa dalam lingkungan sosialnya, baik itu di daerah dengan kebudayaan tunggal yang berperan seperti di kota Jogja itu sendiri maupun di daerah yang lebih multikultural seperti Jakarta. Dimanapun mereka berada, orang Jogja selalu memegang falsafah ’saiyeg saeko proyo’ yang artinya bergerak bersama dalam setiap sendi-sendi kehidupan, apapun peran yang dimiliki oleh setiap pribadi. Lewat kedua iklan ini, headline memunculkan nilai-nilai kebersamaan lewat dalam dua aktivitas masyarakat yang berbeda, yaitu penyapu jalan dan penarik becak, dimana kedua aktivitas ini membawa pesan tunggal, yaitu pentingnya nilai kebersamaan itu sendiri. Kemunculan headline kedua iklan ini yang berbentuk kalimat semboyan juga mengingatkan kepada banyaknya ragam kalimat semboyan yang dikenal dalam bahasa Jawa yang berisi ajakan, maupun tuntunan dan memiliki nilai falsafah kehidupan yang dalam. Semboyan-semboyan orang Jawa ini bahkan sudah menjadi istilah umum, yang penggunaannya seringkali menjadi tidak terbatas pada komunitas Jawa melainkan juga pada struktur masyarakat yang lebih kompleks. Semboyan seperti ’mangan ora mangan asal ngumpul’, ’aja dumeh’, ’memayu ayuning bawana’, ’rawe-rawe rantas, malang-malang putung’, ’Ho lopis kuntul baris’ merupakan contoh dari berbagai semboyan yang muncul
84 dari budaya Jawa sebagai bentuk tuntunan bersikap dan bertingkah laku bagi masyarakatnya. Nilai-nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa secara jelas dapat kita lihat dari penggambaran ilustrasi kedua iklan tersebut. Iklan versi ”Menyapu Jalan” menampilkan tokoh Tukimin sebagai penyapu jalan ’bekerjasama’ dengan para tokoh Punakawan yang tergambar pada mural. Sebagai sebuah cara untuk menyampaikan pesan moral dalam iklan, kehadiran tokoh Punakawan dianggap sebagai cara yang efektif. Ilustrasi dari kedua iklan ini merepresentasikan semboyan ’saiyeg saeko proyo’ dan istilah ’aja dumeh’ yang menekankan kepada kebersamaan dan ajakan untuk peduli kepada sesama, serta memberikan bantuan yang dapat diartikan sebagai tindakan ’berbagi kebahagiaan’. Jika kita analisa, terdapat dua konsep ide kebersamaan yang ditawarkan dalam eksekusi dari kedua iklan. Pada iklan versi ’Menyapu Jalan’ tokoh ilusi Punakawan digambarkan bekerja bersama-sama Tukimin dalam membersihkan lingkungan jalan. Mereka melakukan tugas masing-masing sesuai kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan pada iklan versi ’Menarik Becak’ para tokoh ilusi masyarakat umum yang terlukis di tembok, terlihat bersatu membantu menarik becak Pak Kasno. Mereka melakukan satu pekerjaan bersamasama, tanpa melihat lagi perbedaan latar belakang dari masing-masing pribadi. Kedua konsep kebersamaan ini merupakan pengejawantahan dari nilainilai gotong royong dan prinsip ’berjalan bersama’ untuk menyelesaikan pekerjaan di dalam masyarakat Jawa. Bagaimanapun bentuk dan caranya, nilai
85 kebersamaan mereka terapkan dalam menyelesaikan suatu persoalan yang ada, entah itu persoalan bersama (kebersihan lingkunagn- seperti tampak pada iklan versi ’Menyapu Jalan’) ataupun persoalan pribadi (beban berat yang dirasakan seseorang- seperti tampak pada iklan versi ’Menarik Becak’). Mengenai nilai kebersamaan sebagai bentuk kepedulian bisa dikaitkan dengan semboyan yang berlaku di masyarakat Jawa yaitu Aja dumeh. Aja dumeh itu sendiri merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya. Saat memiliki kebahagian, harus diingat bahwa itu merupakan hasil bantuan dan dukungan dari masyarakat sekitarnya.18 Pedoman ini yang menjadi dasar orang Jawa untuk selalu rendah hati dan ingat bahwa keberhasilan dan kebahagiaan yang mereka raih juga merupakan atas peran serta orang-orang sekitar. Penggunaan ilustrasi dengan idiom Tokoh Punakawan maupun tokoh masyarakat disajikan melalui pendekatan masa lampau dengan kemasan yang baru/modern. Iklan itu sendiri sebagai bentuk komunikasi media modern, muncul dengan konsep kreatif nilai kebersamaan yang diyakini telah ada sejak dahulu. Hal ini menjadi sebuah konsep pendekatan pesan yang memadukan unsur-unsur masa lampau bersama nilai dan muatan sejarah yang terkandung di dalamnya, dan dikemas melalui pendekatan eksekusi iklan dengan kemasan kekinian. Itulah alasan mengapa ilustrasi dimunculkan dalam bentuk lukisan tembok/mural yang merupakan salah satu produk dari masyarakat urban. Konsep kreatif dari kedua iklan ini pada akhirnya berusaha menjembatani kepentingan dari harian Kedaulatan Rakyat untuk berbicara langsung pada pembacanya, dimana nilai kebersamaan digunakan sebagai ide utama, dan 18
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 131
86 dikembangkan menjadi sebuah pesan iklan yang kuat untuk memancing kesadaran audience akan eksistensi dari harian ini dan dihadirkan bersama realitas kekinian dalam bentuk yang lebih nyata yang disesuaikan dengan konteks masyarakat yang terjadi di Yogyakarta saat ini. Tanda-tanda yang dihadirkan dalam iklan coba merepresentasikan ideologi sebuah media lokal yang ingin menghadirkan nilai kebersamaan sebagai pesan kreatif sebuah media komunikasi iklan, dan diharapkan para pembaca dapat menghadirkan interprestasi yang tepat akan tanda-tanda pada iklan tersebut, sehingga pada akhirnya pesan komunikasi yang merepresentasikan nilai budaya Jawa dapat dalam iklan dapat dimaknai dan sampai ke dalam benak pembaca.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan dari penelitian yaitu: 1) Ingin mengetahui tanda-tanda yang berkaitan dengan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa yang digunakan dalam iklan majalah harian Kedaulatan Rakyat, dan 2) Ingin mengetahui makna dari tanda-tanda yang berkaitan dengan nilai kebersamaan sebagai bagian dari budaya Jawa dalam iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat, penulis dapat menyimpulkan: 1. Tanda-tanda yang digunakan pada iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat memunculkan suatu gambaran dari sistem kehidupan dan sosial dari masyarakat Yogyakarta, dimana dalam visualisasi kedua iklan tersebut, terdapat pengunaan tanda yang berisi berbagai informasi mengenai kebudayaan Jawa dalam berbagai bentuk. Latar belakang cerita dalam iklan ini coba digambarkan melalui ilustrasi iklan yang memunculkan gambaran lokasi di sudut kota Jogjakarta (Sagan & Benteng Kraton), dan bagaimana iklan bercerita mengenai aktivitas sebagian masyarakat dengan nilai budaya Jawa yang terdapat di dalamnya, nilai budaya Jawa di sini tidak hanya sebatas pada tempelan identitas, melainkan juga dihadirkan sebagai filosofi kehidupan keseharian yang dipegang oleh sebagian masyarakat tersebut. Informasi lainnya adalah penggunaan simbol-simbol yang identik dengan budaya Jawa, seperti penokohan tokoh pewayangan Punakawan yang sarat dengan nilai budaya dan kehidupan yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Tokoh pewayangan
88 dengan beragam karakter dipercya mewakili masyarakat Jawa secara umum dan dalam iklan ini dimunculkan untuk memperkuat pesan utama yang berbicara mengenai nilai kebersamaan sebagai salah satu nilai kehidupan keseharian masyarakat Jawa. Informasi lain yang juga terdapat dalam eksekusi iklan ini adalah penggunaan simbol-simbol dalam bentuk ‘benda/barang’ sebagai pengantar dalam penggunaan tanda yang juga dekat dan diharapkan mampu mewakili nilai budaya Jawa, seperti becak sebagai alat transportasi sehari-hari masyarakat Yogyakarta, lampu jalan yang menjadi ciri khas kota Yogya dan seringkali dijadikan ikon budaya, ataupun kemunculan headline pada iklan yang menggunakan bahasa Jawa dan semuanya dimunculkan sebagai sebuah satu kesatuan pesan iklan yang saling mendukung. 2. Nilai kebersamaan pada budaya Jawa pada kedua iklan tersebut secara khusus diangkat sebagai konsep kreatif dan pesan utama dari iklan yang bersumber pada gambaran aktivitas keseharian masyarakat Yogyakarta dan diwakili oleh dua tokoh utama dalam iklan melalui penggambaran sosok masyarakat kecil atau marjinal sebagai tokoh utama penyampaian pesan yaitu Pak Kasno yang berprofesi sebagai penarik becak dan Tukimin yang berprofesi sebagai petugas penyapu jalan. Keduanya adalah gambaran dari masyarakat Jawa yang hidup di dalam sebuah system kehidupan di Yogyakarta. Kisah yang mengangkat sosok-sosok marjinal atau terpinggirkan dalam sebuah sistem sosial selalu menarik untuk dijadikan tema cerita, tanpa bermaksud untuk mengekspolitasi keadaan mereka yang jauh dari kemapanan. Kisah kehidupan para tokoh ini dijadikan sumber inspirasi untuk mengangkat kembali nilai
89 kebersamaan yang sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta pada khususnya. Sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta dan hidup dalam sistem sosial yang berlaku di dalamnya, kedua tokoh utama Pak Kusno dan Tukimin mencoba dilukiskan dalam iklan sebagai tokoh yang merepresentasikan nilai kebersamaan secara sederhana dalam keseharian, sebagai sesuatu yang lumrah dijalankan, dan yang lebih penting adalah dari sudut pandang mereka sendiri khususnya ketika mereka sedang menjalani aktivitas sehari-hari. Melalui pemgambaran aktivitas kedua tokoh ini, nilai kebersamaan menjadi suatu nilai kehidupan yang merakyat, dan menjadi bagian dari seluruh lapisan masyarakat, apapun pangkat, jabatan, maupun status sosialnya. Pemunculan teks iklan juga menjadi sebuah pengantar dalam ilustrasi iklan dan disampaikan secara menarik dan personal. Pengunaan bahasa Jawa memiliki kekuatan untuk menarik perhatian karena pengunaan bahasa daerah bukan hal yang biasa dalam sebuah iklan, sehingga pada proses awal, headline kedua iklan ini cukup mampu menarik perhatian pembaca. Pendekatan fotografi dan pendekatan ilustrasi mural dalam eksekusi iklan juga menghadirkan sesuatu yang baru, kreatif, dan menarik perhatian karena headline tampak menyatu dengan ilustrasi utama sehingga berkesan tidak berdiri sendiri. Upaya pendekatan ini membuat iklan cetak harian Kedaulatan Rakyat memiliki stopping power yang cukup baik, sehingga pesan iklan yang dibawa pada akhirnya mampu diterjemahkan secara mudah dalam benak pembaca. Ilustrasi dan teks iklan berhasil merepresentasikan nilai kebersamaan dalam
90 budaya Jawa kepada pembaca secara sederhana, menarik, dan sekaligus mampu memberikan ‘pencerahan’ melalui pendekatan kreatif yang tidak menggurui. Secara tidak langsung, upaya dari harian Kedaulatan rakyat untuk mengangkat pesan utama ini dalam iklan cetak mereka, dapat menggugah pembaca untuk berani melakukan sesuatu yang baik untuk melestarikan nilai kebersamaan, siapapun kita, karena kita memiliki peran masing-masing dan kita hidup dalam sebuah
tatanan
sosial dimana para pelakunya
memiliki
ketergantungan antar individu, yang satu dan yang lain.
5.2 Saran Bagi para akademisi, diharapkan penelitian-penelitian sejenis dapat dilakukan khususnya yang melihat representasi sebuah nilai kebudayaan dalam pesan iklan dan penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan teori baru yang berkelanjutan, baik melalui pendekatan kajian semiotika berdasarkan teori-teori dari Umberto Eco, Barthez, Charles Sanders Peirce dan para tokoh semiotika lainnya. Bagi para praktisi, penelitian ini diharapkan mampu menghadirkan sebuah gambaran representasi nilai budaya dalam sebuah eksekusi pesan iklan, dan diharapkan dalam proses penciptaan iklan-iklan baik itu iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat dapat mengangkat dan menyentuh nilai kelokalan sebuah budaya yang ada dan dapat dijadikan sumber ide kreatif sebuah perancangan pesan iklan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan keadaan dan struktur masyarakat yang menjadi target sasaran dari media komunikasi iklan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Agustrijanto. Copywriting, Seni Mengasah Kreativitas dan Memahami Bahasa Iklan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Batey, Ian. Asian Branding, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2003. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Eco, Umberto. Theory of Semiotic, Bloomington: Indiana University Press, 1974. Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2006. Hakim, Budiman. Lanturan tapi Relevan, Yogyakarta: Galang Press, 2005. Hall (Ed.), Stuart. Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, London: Sage Publications, 1997 Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008. Jefkins, Frank. Periklanan, Jakarta: Erlangga, 1997. Lwin, May and Atchison, Jim. Clueless in Advertising, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005. Malo, Manase & R. Sulastiawan. Permasalahan dan Preposisi Penelitian, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Penerbit Karunia, Universitas Terbuka, 1986. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. O.Connor, Alan. Culture and cummunication-Questioning The Media: A Critical Introduction, California: Sage Publication, 1990. Partokusumo, Katono K. ”Manusia Jawa dan Kebudayaanya dalam Negara Kesatuan RI.” dalam Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Rakhmat, Jallaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1985. Setiadi, Elly. M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2006 Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Syam, Nur. Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007. Wignjosoebroto, Soetandyo. “Budaya Daerah dan Budaya Nasional.” dalam Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Zoest, Aart van. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekawati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, buku asli diterbitkan tahun 1978.
MAJALAH CakramFokus Edisi Khusus 100% Indonesia, September 2007 “Eksplorasi Muatan Lokal.” CakramFokus Edisi Khusus Citra Pariwara, September 2006, hal 36 “ Kedaulatan Rakyat, Koran dari Kraton,” Cakram Komunikasi, Maret 2005, hal 50 “ Ketika Koran Harus Beriklan,” Cakram Fokus, April 2006, hal 46 “Mengangkat Hal Biasa Jadi Luar Biasa.” AdDiction, September 2006, hal c Pandey, Piyush. ”Terorisme Global”. Cakram Komunikasi, Agustus 2004, hal 56. “Pemenang Pinasthika Siap Bertanding.” CakramFokus Edisi Khusus Citra Pariwara, September 2006, hal 32 “Sudah Saatnya Menggali Budaya Sendiri.” AdDiction, September 2006, hal 8 Wiryawan, Mendiola B. “Desain Etnik, Desain Grafis Khas Indonesia.” Concept, Juni 2006, hal 73
WEB SITE www.aber.ac.uk, Chandler, Daniel. Streng this of Semiotic Analysis in Semiotics for Beginner www.ekawenats.blogspot.com, Eka Wenats Wuryananta, Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komuniasi. www.garis-cakrawala.blogsppot.com, Analisis Wacana. www.wikipedia.com, Semiotika dan Strukturalism. www.kompas.com, Azmi, Happy. Image Iklan televisi dalam Mengkonstruksi Pola Pikir dan gaya Hidup Masyarakat (Analisis Semiotik Iklan Televisi di Indonesia)
www.kompas.com, Litbang Kompas. www.kratonjogja.com.
ESSAI Concerning Human Understanding, 1996
Antonius Harmoko, lahir di Jakarta, pada tanggal
30
Juni
1980.
Pendidikan
dasar
diselesaikan di SD Strada Slamet Riyadi Tangerang
pada
tahun
1992.
Pendidikan
menengah pertama ditempuh di SMP Strada Slamet
Riyadi
Tangerang,
hingga
tahun
1995. Penulis lulus dari sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Tangerang pada tahun 1998. Selanjutnya penulis menempuh kuliah di Program Diploma (D-III) Jurusan Desain Komunikasi Visual, Akademi Desain Visi Yogyakarta hingga tahun 2002.
Selepas
kuliah,
penulis
bekerja
di
Bellisima
Communication
selama 6 bulan sebagai Creative Designer. Pada tahun 2003, penulis bekerja di AIA Financial (dahulu AIG LIFE) hingga saat ini di divisi Brand & Communications sebagai seorang Creative Designer. Wedding
Pada
&
tahun
Event
2004
Organizer
penulis
sempat
bernama
mendirikan
Fireworks
dan
usaha
berjalan
selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa portfolio yang sudah dihasilkan
penulis
diantaranya
adalah
dalam
bidang
perancangan
desain
identity
komunikasi Pertemuan
visual Nasional
Mahasiswa HI Indonesia XIII di Yogyakarta (2000), perancangan corporate identity dan marketing kit WEPRO-school of selling & distribution marketing
(2003),
perancangan
collaterals
Fireworks,
(2004),
perancangan
corporate
Mandiri
(2006),
perancangan
dan
corporate
identity
wedding&Event
identity katalog
and
Organizer
PT
Sarana
Tehnik
dan
marketing
kit
EPITECH-Industrial Flooring (2009).
Berbekal pengalaman di bidang desain grafis, serta kebutuhan untuk memperdalam bidang komunikasi pemasaran dan periklanan menjadi alasan kuat penulis memilih jurusan periklanan. Sejak September 2005 penulis menempuh studi pada jurusan Advertising & Marketing Communications, Program Kuliah Karyawan, FIKOM,
Universitas
Mercu
bulan Agustus 2009.
Buana,
Jakarta
dan
menyelesaikannya
pada