REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM IKLAN TELEVISI Puasini Apriliyantini1 dan Siti Chusnul Chotimah
Abstract Kitchen and cooking is identical with woman. Even if there are cooking by displaying male figure often associated with public areas, such as professional chefs. Ketchup Sedaap "Ayah Jago Masak" advertorial gives a different perspective. In this ad featured, a father figure as a cook in the family. Interested to investigate how the representation of masculinity displayed through these ads and how advertising correlation with the reality of conditions in society. Key Words: Advertisement, masculinity, semiotic
Abstrak Dapur dan kegiatan memasak selama ini identik dengan wilayah perempuan. Kalaupun ada kegiatan memasak dengan memajang sosok laki-laki kerapkali berhubungan dengan wilayah publik, misalnya profesi koki. Iklan Kecap Sedaap “Ayah Jago Masak” memberikan sudut pandang yang berbeda. Dalam iklan ini sosok ayah tampil sebagai tukang masak di lingkup keluarga. Menjadi menarik untuk diteliti bagaimana representasi maskulinitas ditampilkan melalui iklan tersebut dan bagaimana korelasi iklan dengan kondisi realitas di masyarakat. Kata Kunci: Iklan, maskulinitas dalam iklan, semiotik
Pengantar Model iklan di televisi kini tidak lagi didominasi oleh perempuan. Banyak produk yang mulai menggunakan laki-laki sebagai model iklannya. Dalam iklan, laki-laki seringkali ditampilkan sebagai sosok yang bersifat superordinat bagi kaum perempuan bahkan ketika iklan tersebut ditujukan bagi konsumen perempuan (Darmawan, 2008). Fakta ini berkait dengan pembagian peran gender sebagai hasil dari kategorisasi antara perempuan dan laki-laki, sebuah representasi sosial dalam struktur sosial dan budaya (Sunardi, 2008:27). Sifat feminin dan maskulin, sebenarnya tidak melekat pada seseorang sebagai ciri lahir. Masyarakatlah yang kemudian membuat ciri-ciri tersebut seolah-olah identik 1
Puasini Apriliyantini adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
dengan jenis kelamin tertentu. Maskulin dianggap sebagai ciri ideal bagi laki-laki sementara sifat feminin dianggap sebagai ciri ideal bagi perempuan. Ketika seseorang terlahir sebagai laki-laki, maka ia di’wajib’kan menjadi sosok yang memiliki sifat-sifat maskulin: kuat, dominant, agresif, rasional, dan memimpin. Sementara ketika seseorang terlahir sebagai seorang perempuan, maka ia akan dianggap ideal jika memiliki sifat pendiam, pasif, romantis, dan bergantung (Pratiwi, 2009). Sebagai sebuah representasi dunia nyata dalam iklan sosok pria lebih sering digambarkan sebagai sosok maskulin. Laki-laki diidentikkan dengan sifat-sifat gagah, perkasa, aktif, jagoan, dsb. Berbeda dengan iklan kebanyakan yang telah ada, iklan Kecap Sedaap versi “Ayah Jago Masak” menampilkan peran laki-laki dalam lingkup domestik. Sosok laki-laki yang berperan sebagai ayah dalam iklan tersebut, hadir sebagai juru masak di rumah (dapur) yang selama ini selalu diberikan kepada model perempuan. Iklan sebagai Media Representasi Representasi adalah penghubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang membuat manusia mampu merujuk dunia objek-objek, orang-orang, dan kejadiankejadian fiksional yang bersifat imajiner. Representasi akan dapat dipahami ketika ia berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasi sosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi. Dalam proses representasi tersebut, ada tiga elemen yang terlibat yaitu objek sebagai sesuatu yang direpresentasikan, tanda, representasi itu sendiri, dan coding, yakni seperangkat aturan yang menentukan hubungan antara tanda dengan pokok-pokok persoalan (Noviani, 2002:61). Gambar dan tanda visual, semirip apapun dengan benda yang mereka acu, adalah tanda yang membawa makna. Dengan demikian maka harus diinterpretasi. Foto, iklan, dan visual yang bersifat ikonis dan indeksikal, merupakan representasi dari objek sebenarnya. Iklan sebagai bagian dari media massa merupakan media representasi. Sebab, gambar maupun tulisan, caption atau kata-kata yang dikandungnya merupakan tanda dan representasi dari objek sebenarnya di dunia nyata. Meski demikian terkadang makna yang dihasilkan penonton/pembaca iklan bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh produsen atau pencipta iklan (Hal, 2002:32). Membaca Representasi Lewat Semiotik Membaca representasi dalam bentuk tanda merupakan kajian dari studi semiotik. Menurut Umberto Eco, semiotik berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda (Sobur, 2003:xiii). Semiotik merupakan metode yang berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda baik termasuk dalam bentuk teks, iklan, dan berita. Semiotik memelajari sistem-sistem, aturan, konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Kriyantono, 2006:263-264). Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan, baik oleh penyampai maupun penerima (encoder atau decoder). Maka bukan saja konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditentukan dengan kemasan pesan, namun pemaknaan merupakan proses aktif. Makna merupakan hasil dari interaksi dinamis di antara tanda, interpretant, dan objek. Sehingga makna secara historis ditetapkan dan mungkin akan berubah seiring perjalanan waktu. Penelitian ini bermaksud membaca bagaimana representasi mengenai konsep maskulinitas ditampilkan oleh iklan Kecap Sedaap versi “Ayah Jago Masak”.
Representasi berusaha digali melalui pembacaan semiotik dengan menggunakan konsep Charles Shanders Pierce. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana maskulinitas direpresentasikan dalam iklan Kecap Sedaap versi “Ayah Jago Masak”? Signifikansi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana bagaimana konsep maskulinitas pun dapat ditampilkan pada wilayah domestik. Sesuatu yang selama ini dihindari oleh produsen iklan karena dianggap menyalahi konvensi. Kreativitas bagaimanapun menjadi hal penting bagi tim kreatif yang memproduksi iklan. Mesti demikian, kreativitas tidak harus identik dengan segala sesuatu yang stereotip. Tinjauan Pustaka Maskulinitas Sebagai Konstruksi Sosial Konsep maskulinitas sebagai konstruksi sosial sangat ditentukan oleh konteks budaya dan waktu. Rumah, adalah tempat di mana sosialisasi awal konstruksi sosial tersebut terjadi. Orang tua memungut konsep gender pertama pada saat memberi nama kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lazimnya diberi nama: Joko, Budi, Iwan, dst. Sementara anak perempuan diberi nama: Wati, Ani, Yuli, dsb. Anak laki-laki kemudian harus menjadi maskulin dan anak perempuan wajib bersikap feminin. Hal ini terlihat dari hadiah-hadiah yang diberikan oleh orangtua dan teman-teman saat anak-anak berulang tahun misalnya.Mainan mobil-mobilan sudah pasti diberikan pada anak laki-laki dan mainan boneka untuk anak perempuan. Hal ini berlanjut pada perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya. Berdasarkan hasil penelitian George Murdock, beberapa peran dilihat sebagai bentuk maskulin dan feminin, tetapi banyak juga yang tidak konsisten. Artinya, suatu kegiatan tertentu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan dapat dianggap feminin dalam kebudayaan lain. Dengan demikian, tugas dan pembagian kerja tidak bergantung pada jenis kelamin individu yang bersangkutan karena setiap lingkungan budaya yang berbeda memiliki ciri khas tertentu dalam menentukan tugas dan pembagian kerja. Gender merupakan ciri khas dari setiap daerah. Selanjutnya media massalah yang menuangkan konstruksi sosial yang berbeda di tiap kebudayaan tersebut di ruang publik. Maskulinitas Di Media Dalam sebuah penelitian bertajuk ‘Boys to Men: Media Message About Masculinity’, dijelaskan bahwa laki-laki yang dimunculkan oleh media massa cenderung menegaskan dominasi sosial kaum laki-laki. Mayoritas laki-laki yang ditampilkan oleh media massa merupakan kelompok heteroseksual yang lebih sering diasosiasikan dengan wilayah publik ketimbang domestik. Beberapa studi mengenai stereotip laki-laki umumnya menyebutkan bahwa laki-laki identik dengan sifat kuat, mandiri, agresif, bertanggung jawab, dan suka berpetualang. Konsep Semiotika Charles Sanders Pierce
Pierce, menggunakan tiga elemen dalam konsep semiotikanya: tanda, interpretant, dan objek. Model semiotik Pierce ditampilkan melalui tiga tipe tanda. Pertama, icon. Merepresentasikan objek karena kesamaan. Tanda adalah icon sejauh menyerupai objek dan digunakan sebagai tanda dari objek itu. Setiap gambar adalah icon dan memiliki kualitas yang sama dengan objek yang direpresentasikian sehingga menimbulkan sensasi analogi dalam pikiran. Kedua, simbol. Mengacu pada objek sehingga dibenarkan oleh aturan. Biasanya berupa ide yang umum, yang menyebabkan simbol diinterpretasikan mengacu pada objek. Ketiga, indeks. Image, efek dari tanda yang kita lihat. Makna yang diartikan melalui tanda pada teks terdiri dari dua jenis. Makna yang pertama adalah makna denotatif, merujuk pada kata denotatif yaitu kata-kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Makna kedua adalah makna konotatif yang merujuk pada makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaant ertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum (Sobur, 2001:26). Membaca Visual Iklan dengan Semiotik Pierce Berdasarkan klasifikasi Pierce, sesuai dengan deskripsi iklan, maka peneliti membaca iklan dengan menggunakan klasifikasi tanda yang berelasi dengan objek. Ikon mencakup pada suara dan gambar yang ada dalam iklan, suara yang dimaksud adalah suara tokoh atau narator dalam iklan, voice over, dan latar musik. Kemudian yang dimaksud dengan gambar adalah segala sesuatu yang bergerak, berwarna, dan menyerupai sesuatu yang sesuai dengan aslinya. Simbol mencakup tuturan dan tulisan yang ditampilkan iklan, seperti merk, atau kalimat dari pemeran iklan. Bentuk tanda Pierce bisa saling tumpang tindih, dalam artian bahwa elemen yang dianggap ikon, bisa juga menjadi simbol untuk makna tertentu. Teks dalam bentuk visual memungkinkan adanya ideologi yang tersembunyi. Pierce menyatakan ideologi di balik teks adalah unsur konotatif yang patut diamati selain dari unsur denotatif berupa objek ataupun tanda itu sendiri. Teks dalam bentuk iklan dan film memasukkan unsur teknis seperti posisi kamera (angle dan shot), pencahayaan dan editing, selain dari elemen-elemen fisik lain yang ada dalam iklan. Dalam penelitian ini, salah satu unit analisis yang diamati pada level representasi adalah tagline dan logo. Melalui keduanya, peneliti mencari signifikasi tanda terhadap fenomena. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Dengan metode ini, peneliti dapat membuat desain penelitian yang bisa berubah bergantung proses dan hasil penelitian. Unit analisis yang digunakan berupa iklan televisi yang terekam. Unit analisisnya berupa elemen-elemen fisik pada iklan yaitu: latar, teknik kamera, gesture, kostum, make up, musik, dan dialog tokoh dalam iklan. Pengumpulan data dilakukan secara dokumenter dengan cara mengamati adegan dalam iklan, kemudian mengambil elemen-elemen iklan yang dianggap dapat dimaknai dan memasukkannya ke dalam kategori-kategori. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Elemen-elemen dalam iklan dalam hal ini dibagi menjadi tiga tingkat analisis sebagaimana dimodelkan oleh John Fiske: level realitas (appearances), level representasi, dan level ideologi.
Pembahasan Maskulinitas dan Area Domestik; Pembacaan Paradigma Pada Level Realitas Pada level ini setting lokasi yaitu dapur yang digunakan untuk memasak dominan warna coklat kehitaman. Warna ini mengesankan elegan, kokoh, dan canggih. Bentuk dapur yang simpel minimalis identik dengan kesederhaan laki-laki. Dekorasi bahan makanan di atas meja yang dibiarkan berantakan seolah mengesankan ciri pria yang berantakan. Sementara konsep dapur yang terbuka dan berdekatan dengan taman belakang dianggap mencerminkan sifat laki-laki yang selalu agresif dan terbuka. Pada aspek kostum dan make up, maskulinitas ditampakkan oleh kostum yang dikenakan model iklan: kaus berwarna abu-abu polos berlengan pendek dengan celemek berwarna abu-abu yang senada dengan kausnya. Meski berada di rumah dan di dapur, model tampak mengenakan jam tangan seperti mengesankan ranah pria yang lebih banyak berada di ruang publik. Tampilan aksesoris ini juga seolah mengesankan bahwa pria yang berada di dapur kebanyakan masih kelas atas. Pada aspek gestur, model melakukan dialog dengan menghadap kamera.Wajah dan postur model dikesankan melakukan kegiatan memasak sebagai kegiatan yang menyenangkan. Model juga tampak terampil dan dikesankan terbiasa. Saat model memegang botol kecap, ia hanya menggunakan satu tangan. Kesan yang ingin ditampilkan adalah citra kuat dan gagah. Pada adegan kegiatan memasak, diperlihatkan sang model juga melakukan atraksi pada proses memasak, memukuli perabot makan dengan peralatan masak sehingga menjadi musik yang menarik. Model juga melakukan juggling. Lagi-lagi ini adalah citra maskulinitas yang ingin ditampilkan oleh iklan. Saat adegan mencicipi makanan, model ditampilkan mencicipi hasil masakan yang masih panas tanpa menggunakan sendok dan dengan memegang dua benda pada satu tangan. Hal-hal tersebut menggambarkan sifat-sifat maskulinitas: sembrono, jorok, dan berani. Pada aspek dialog tokoh iklan, kata-kata yang digunakan oleh model juga mendukung konsep maskulinitas: “Mau Jago Masak?” . Penggunaan istilah jago sendiri merujuk pada makna ayam jantan yang identik dengan karakter gagah, kuat, petarung. Beberapa dialog lain yang digunakan pada iklan ini menggambarkan konsep maskulinitas di ruang domestik baik melalui kata-kata, intonasi, maupun lafal sang model. Pembacaan Paradigma Pada Level Representasi Pembacaan pada level representasi ini dilihat antara lain melalui caption yang digunakan. Selain ditulis pada teks iklan, caption ini juga diucapkan oleh model. Caption “Mau Jago Masak?” ditulis dengan menggunakan huruf berjenis Calibri. Kesan yang diperoleh peneliti adalah informal, santai namun kokok. Caption ini diucapkan model dengan bahasa tutur yang lugas. Ukuran huruf yang cukup besar seolah mendukung kesan kokoh dan kuat sebagai bagian dari sifat maskulin. Musik yang digunakan sebagai latar iklan diperlihatkan diproduksi dari alat-alat masak dan musik instrumental yang digunakan. Ritme musik dinamis dan riang merujuk pada konsep maskulinitas yang ditampilkan oleh iklan. Seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa meski berada di dapur yang notabene wilayah domestik, laki-laki tetaplah sosok maskulin. Maskulinitas yang Tersembunyi; Paradigma Pada Level Ideologi
Konsep maskulin kini bukan sekadar nilai yang berkaitan dengan peran gender. Konsep maskulin di negara lain direkonstruksi oleh media dan menjadikannya sebagai komoditas. Jika semula tokoh laki-laki hanya digunakan pada iklan untuk produk lakilaki, maka kini pengiklan pun mulai menggunakan pemeran laki-laki untuk produkproduk yang lebih bersifat umum, bahkan untuk produk yang menyasar konsumen perempuan. Model laki-laki digunakan untuk mengembangkan pasar yang akan dibidik agar jangkauan pemasarannya lebih luas. Sistem kapitalisme yang melatarbelakangi perdagangan, tidak hanya menyediakan kebutuhan masyarakat. Kapitalisme lebih dari itu berusaha menciptakan kebutuhan. Kapitalisme menciptakan citra positif maskulinitas dan menciptakan produk-produk yang menguatkan citra tersebut. Kesimpulan Dari tiga level analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa konsep maskulin begitu dominan ditampilkan. Unit-unit analisis yang telah dikaji menunjukkan bahwa pengiklan menggunakan tokoh laki-laki di wilayah domestik tanpa mengurangi kesan maskulinitas. Satu hal yang menarik dari iklan ini adalah bagaimana tim kreatif mampu keluar dari stereotip gender yang selama ini mendominasi iklan-iklan di televisi, di mana dapur dan rumah lebih banyak dianggap sebagai ranah perempuan.
DAFTAR PUSTAKA Eriyanto. 2005. Analisis Wacana. Jogjakarta: LkiS. Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fiske, John. 2004. Culture and Communication Studies. Jogjakarta: Jalasutra. Hall, Stuart. 1997. Representation: Culutral Signifying and Practices. London: Sage Publication. Jefkins, Frank. 1995. Periklanan. Jakarta: Erlangga. Kriyantono, Rakhmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta. Noviana, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi, dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. __________. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.