Firman Muh Arief
RELEVANSI NILAI HUKUM ISLAM DAN UUPA NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG KEPEMILIKAN TANAH
Abstrak Tanah sebagai bagian dari esensi kehidupan senantiasa menarik perhatian dikarenakan tanah adalah sumber kehidupan selain air. Dalam kehidupan ini tidak ada manusia yang tidak membutuhkan tanah, apalagi negara-negara yang masih agraris. Sedang masalah pertanahan adalah masalah utama yang masih dihadapi oleh negara yang penghidupan ekonominya masih ditunjang dari sektor pertanian. Hukum Islam mengatur kepemilikan tanah dengan sumbernya dari al Qur’an, hadist serta amalan dan kebijakan para khalifah yang tentunya tetap berpedoman dari 2 sumber primer dengan tetap mengutamakan kemaslahatan. Hukum negara Indonesia yang tertuang dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 ikut memberi andil dalam mengatur masalah agraria dengan tetap bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian terdapat prinsip-prinsip dasar yang sama antara hukum Islam dengan UUPA dalam hal kepemilikan tanah. Kata kunci: kepemilikan tanah dalam Islam, kepemilikan tanah menurut UUPA, relevansi keduanya dengan kekinian
A. Pendahuluan Kehidupan seorang manusia atau suatu kaum tidak bisa lepas dari esensi dasarnya dan sejak dahulu hingga sekarang hal seperti itu tidaklah berubah. Perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia semakin cepat dan berkembang maju, namun esensi dasar manusia tetap adanya seperti pangan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Sejak zaman nabi Adam AS dianggap sebagai manusia pertama yang hidup di muka bumi, manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Adapun usaha-usaha yang dilakukan dalam memenuhi esensi akan pangan tak mungkin terlepas dari kegiatan pertanian. Sejak dahulu nabi Adam AS dan keluarganya telah memulai kegiatan pertanian dan beternak sebagai usaha memenuhi kebutuhan pangan dan kegiatan ini berlangsung hingga sekarang.
82
Bahkan sebagian besar kebutuhan sumber pangan manusia dipenuhi dengan kegiatan pertanian. Hal ini menegaskan pentingnya sektor pertanian bagi kehidupan manusia dan kemajuan suatu peradabanpun diawali dengan kemandirian memenuhi kebutuhan pangannya. Lokasi kegiatan pertanian apapun sudah pasti melibatkan elemen penting dari alam sebagai pendukungnya. Elemen penting itu tidak lain adalah tanah dan kegiatan pertanian apapun tentu akan sulit dilakukan tanpa menggunakan media tanah. Keberadaan tanah sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an dalam surah al-A’raf ayat 58 sebagai berikut: ُصسفُ اآلياثُ لقىم َ ً والبلدُ الطيبُ يخسجُ ًبَاحهُ بإذىُ زبهُ والري خبث ال يَخسجُ إالًكداُ كرلك َُيَشكس ْوى Terjemahnya: Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanamantanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur.1 Keberadaan tanah dalam ayat tersebut ditegaskan sebagai eleman penting dan diciptakan Allah SWT bagi kehidupan manusia. Hal tersebut merupakan karunia yang patut disyukuri oleh manusia. Perkembangan teknologi bercocok tanam dewasa ini, telah berkembang sedemikian rupa sehingga memungkinkan manusia untuk menanam di media lain selain tanah, namun tanah tetap saja sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia yang dianggap anugerah dan memiliki keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan media tanam lain. Manusia tentunya akan kesulitan apabila tanah tidak ada apabila penggunaan media yang bukan tanah seperti penggunakan sistem hidroponik mungkin menjadi alternatif namun tidaklah efektif dan efisien. Upaya menumbuhkan tanaman dari benih saja 1
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1978), h.
83
sudah memerlukan berbagai macam kebutuhan dengan biaya yang tidak sedikit, belum lagi jika harus memenuhi kebutuhan harian tanaman seperti unsur hara dan menjaga kelembaban udara bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi tanaman pangan dalam jumlah besar. Sistem bercocok tanam model demikian tidak semua petani mampu melakukannya dan oleh sebab itulah tanah diciptakan untuk sebagai penunjang kegiatan pertanian. Manusia pada umumnya memiliki perbedaan dan tanahpun juga memiliki perbedaan. Ada tanah yang diciptakan memiliki kesuburan tinggi, ada tanah dengan tingkat kesuburan sedang dan adapula tanah dengan potensi tersembunyi yang harus diusahakan terlebih dahulu baru manusia dapat menuai hasilnya. Walaupun begitu secara keseluruhan tanah diciptakan dalam keadaan baik hanya kita sebagai manusia yang harus lebih arif dalam mengelolanya. Selain peran tanah dalam sektor pertanian, juga berperan untuk tempat tinggal dan bagi tanaman mereka tentulah membutuhkan tempat untuk menancap dengan kuat dan tumbuh berkembang. Tanaman juga membutuhkan unsur hara sebagai makanannya, sebagai suplemen untuk tumbuh dan berkembang hingga memproduksi. Ketersediaan unsur hara walaupun jumlahnya terbatas dan yang penting juga kebutuhan akan air. Sebab tanah dapat menahan, menyimpan dan menyediakan air dalam bentuk yang dapat diserap oleh tanaman. Keunggulan yang dimiliki tanah tentu tidak dapat tergantikan dengan media lainnya. Setidaknya hingga saat ini belum ada yang dapat memberikan peranan yang sama dengan biaya yang lebih murah. Sehingga sangat penting bagi manusia untuk menjaga kelestarian tanah dari segala aspek demi keberlangsungan hidup di masa mendatang. Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri dan sebagai individu, manusia hidup berdampingan bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Keberlangsungan hubungan tentunya punya relevansi dengan kebutuhan hidup yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi sendiri. Adanya keberagaman kebutuhan hidup dan untuk memenuhinya tidak terlepas dari tergantungnya hasil yang diperoleh dengan upaya yang dilakukan. 84
Keinginan manusia adalah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Jika dalam saat yang bersamaan, dua manusia ingin memenuhi kebutuhan hidup yang juga sama dengan obyek kebutuhan yang hanya satu dan keduanya tidak mau mengalah, maka akan terjadi bentrokan. Suatu bentrokan yang akan terjadi juga kalau hubungan antara manusia dengan satu dan manusia yang lainnya ada yang tidak memenuhi kewajibannya. Hal-hal yang terjadi semacam itu sebenarnya akibat dari tingkah laku manusia yang mau bebas. Suatu kebebasan dalam tingkah laku tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi kalau kebebasan tingkah lakunya tidak dapat diterima oleh kelompok sosialnya karena didalam kehidupan sosial, situasi kebersamaan maupun situasi sosial supaya teratur diperlukan ketentuan-ketentuan yang dapat membatasi kebebasan tingkah laku. Ketentuan-ketentuan yang diperlukan harus timbul dari dan dalam pergaulan hidup bebas atas kesadarannya dan biasanya dinamakan hukum.2 B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka penulis dapat mengemukakan rumusan dan batasan masalah yang merupakan inti pembahasan ini, yaitu: 1. Konsep kepemilikan tanah menurut Islam 2. Konsep kepemilikan tanah dalam hukum perundangundangan di Indonesia C. Pembahasan Tanah sebagai faktor produksi paling penting dan menjadi kajian paling serius oleh para ahli ekonomi dengan sifat khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat tanah diantaranya dapat memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, kuantitas tanah terbatas dan tanah bersifat tetap. Sifat lainnya, tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Didalam masyarakat, 2
R. Abdoel Djamal, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Baru 1993, (Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 1-2
85
kepemilikan tanah telah menjadi permasahan yang akibatnya menjadi penyebab timbulnya pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah di dalam masyarakat atau antar masyarakat. Tanah berperan memberikan andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem perekonomian kapitalisme atau sosialisme sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.3 Penguasaan tanah adalah bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena menentukan tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Dalam pertanian faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usaha tani serta termasuk distribusi hasilnya di antara pelakunya.4 Fenomena tingginya alih fungsi lahan dan lahan terlantar di Indonesia adalah dampak dari sistem penguasaan menurut hukum negara yang sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi (privat) karena dijiwai sistem ekonomi kapitalis. Kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Pidato politik 31 Januari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sebuah rencana besar yakni melaksanakan reforma agraria. Dengan ketegasannya beliau mengatakan bahwa pemerintah akan membagikan tanah bagi rakyat miskin. Prinsipnya tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Apalagi angka kemiskinan mencapai 39,5 juta, angka pengangguran 11,1 juta sedang pengangguran terbuka mencapai 29,9 juta (Data Badan Pusat Statistik). Rencana reforma agraria pemerintah sebenarnya sudah berjalan lama, hanya saja perjalanannya mengalami kemandekan.5 Dengan adanya program ini diharapkan mampu menata ketimpangan yang terjadi dalam penguasaan kepemilikan, mengurangi pengangguran, kemiskinan, serta menyelesaikan 3
Syahyuti, Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia, (Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. I Juli 2006), h. 14 4
Ibid., h. 14
5
Nurhindarno, op.cit.
86
konflik sengketa tanah yang hingga kini sudah cukup banyak.6 Namun program ini seolah-olah bisa mewujudkan mimpi petani miskin di tanah air yang taraf hidupnya masih dibawah garis kemiskinan. 1. Konsep Kepemilikan Tanah dalam Islam Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi dan Islam secara tegas menolak sistem pembagian tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda reforma agraria. Islam secara tegas tidak mengijinkan penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan mengelolanya karena hukum-hukum seputar tanah dalam Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan adanya perbedaan prinsip dengan sistem ekonomi lainnya. Mengakui kepemilikan tanah secara individu dibenarkan dalam sistem ekonomi Islam apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya seperti terdapatnya kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Kepemilikan dianggap sah secara syari’ah tentunya disertai dengan hak untuk mengelola maupun memindahtangankan secara waris ataupun jual beli. Sebagaimana kepemilikan individu lainnya, kepemilikan tanahpun bersifat pasti tanpa ada pihak-pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Negara berperan melindungi harta milik warga negara dan melindunginya dari ancaman gangguan lain. Maka kepemilikan atas tanah tentu dapat dilakukan dengan prinsip yang sama dengan komoditas lainnya, sehingga tanah dapat dikuasai dengan waris, hadiah dan jual beli sebagaimana komoditas lainnya yang dapat dilakukan dengan transaksi ini.7 Politik pertanian menurut pandangan Islam berkaitan erat dengan politik ekonomi Islam dan hal tersebut ditandai dengan adanya jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok 6
Yuswanda A. Temanggung, Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketimpangan dalam Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah, diakses pada Koran Seputar Indonesia, 18 Februari 2007. 7
Nurhindarno, op.cit
87
(primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai dengan jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi berbagai kebutuhan pelengkap sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Sedangkan politik pertanian Islam adalah hukum-hukum dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian dalam rangka mencapai tujuan politik ekonomi Islam yakni menjamin tercapainya kebutuhan pokok individu masyarakat. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa politik pertanian Islam membicarakan hukum-hukum tentang optimalisasi tanah pertanian serta upaya meningkatkan produktivitas barangbarang kebutuhan pokok.8 Mekanisme tertentu dalam pemilikan dan penguasaan tanah secara khusus yaitu: menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara. Menghidupkan tanah mati artinya mengelola atau menjadikan tanah mati agar siap ditanami. Yang dimaksud tanah mati adalah tanah yang kepemilikannya tidak dimiliki seseorang dan tidak terdapat tanda-tanda apapun sebagai petunjuk kepemilikan, seperti pagar, tembok, tanaman, pengelolaan ataupun yang lainnya. Tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang akan menjadi milik orang yang bersangkutan. Kepemilikan tanah dalam ihya al-mawat diartikan sebagai kepemilikan dengan sebab yang khas.9 Hak kepemilikan ini didasarkan beberapa hadits Rasulullah saw. ُْ السحْ َويُ َع ي ُْ اّلل بْيُ أَبي َج ْعفَسُ َع َُّ ُي عبَيْد ُْ َحدَّثٌََا يَحْ يًَ بْيُ ب َكيْسُ َحدَّثٌََا اللَّيْثُ َع َّ ُي ه َح َّودُ بْيُ َعبْد ي أَ ْع َو َُس أَ ْزضًا ُْ ل َه َُ سلَّ َُن َقا َُّ ًَّصل ُْ اّلل َع ٌْ َها َع َُّ ي َُ ش ُتَ َزض َ ي َعائ ُْ ع ْس َو ُة َ َع َ اّلل َع َليْهُ َو َ ُي ال ٌَّبي َ ُاّلل َع ٌْهُ في خ ََلفَخه َُّ ي َُ ضً بهُ ع َوسُ َزض َُ ج ِل َ َحدُ فَه َُى أ َحقُ قَا ُْ س َ َل ع ْس َوةُ ق َ لَ ْي
Artinya: 8
M. Taufik N.T, Politik Pertanian Perspektif Islam, diakses pada website http://mtaufiknt.wordpress.com 9
Ibid
88
Telah diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Bukair, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Ubaidullah bin Abi Ja'far dari Muhammad bin 'Abdurrahman dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya (tanah tak bertuan), maka orang itu yang paling berhak atasnya". 'Urwah berkata: 'Umar radliallahu 'anhu menerapkannya dalam kekhilafahannya.10 Berdasarkan pernyataan hadist diatas bahwa individu yang menghidupkan tanah mati mempunyai hak untuk memilikinya beserta hak-hak lainnya sebagai konsekuensi kepemilikan. Pemilik lahan berhak memperoleh manfaat atas tanah, mengelola, mendapatkan harga sebagai hasil penjualannya, pertukaran atas tanah, mewariskan kepada ahli warisnya sebagaimana kepemilikankepemilikan lainnya. Ada perbedaan pandangan dari beberapa ulama mengenai konsep menghidupkan tanah mati. Pendapat Imam Malik mengatakan bahwa siapapun yang menghidupkan tanah mati dan lahan itu dekat dengan tanah yang sudah dimakmurkan maka orang tersebut haruslah meminta izin dari imam setempat. Namun tidak demikian menurut Abu Yusuf, Muhammad dan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tidak perlu ada izin dari imam setempat sebab perkara-perkara yang dimubahkan tidak perlu minta izin dari imam (khalifah) sebagai kepala negara.11 Kepemilikan tanah dengan konsep ihya al-mawat tidak dibedakan pada aqidah atau agama individunya, apakah yang menghidupkan orang muslim atau kafir dzimmi (kafir yang tunduk pada pemerintahan Islam) karena hadis-hadis yang ada tentang ihya al-mawat bersifat mutlak tanpa ada perbedaan status aqidah seseorang yang memilikinya. Harta milik umum yang telah diambil 10
Abu al Hasan Ali bin Khalaf bin Abdu al Malik bin Batthal al Bakri al Qurthuby, Syarah Shahih al Bukhari li ibni Batthaal, (Cet. II; Maktabah Rusyd: Riyadh, 1423 H/2003 M), no. Hadist 2167 h. 474-476. 11
Abu al Hasan Ali bin Khalaf bin Abdu al Malik bin Batthal al Bakri al Qurthuby, Syarah Shahih al Bukhari li ibni Batthaal, (Cet. II; Maktabah Rusyd: Riyadh, 1423 H/2003 M), no. Hadist 2167 h. 474-476.
89
oleh kafir dzimmi dari dasar lembah, semak belukar serta puncak gunung itu memang bisa menjadi miliknya, dimana harta tersebut tidak boleh dicabut dari orang tersebut. Ketentuan ini berlaku secara umum dan mencakup semua bentuk tanah; baik tanah itu dalam wilayah negara Islam ataupun tanah diluar negara Islam; baik tanah itu berstatus usyriyah ataupun kharajiyah.12 Kharaj secara sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah dan dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal tertentu dapat dibebankan atas umat Islam. Kata ini sebenarnya diambil dari bahasa administratif Bizantium yang makna asalnya adalah “upeti”. Dalam bahasa Persia, kata ini disebut kharag, semakna dengan tributum dalam bahasa Yunani pada kekuasaan Romawi masih jaya. Agaknya kata ini diterima menjadi bahasa Arab asli karena sama artinya dengan hasil bumi, yang secara spesifik berarti pajak yang dibayar untuk pemilikan tanah.13 Istilah kharaj dikenal pertama kali dalam Islam setelah perang Khaibar. Saat itu Rasulullah saw memberikan dispensasi kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk tetap memiliki tanah mereka dengan syarat mereka membayar sebagian hasil panennya pada pemerintah Islam. Dalam sejarah pemerintahan Islam, kharaj dianggap sebagai sumber keuangan negara yang dikuasai oleh komunitas (pemerintah) dan bukan oleh sekelompok orang.14 Adapun pada pemerintahan kini khususnya di Indonesia bisa dikategorikan sebagai pajak bumi yang wajib dibayarkan setiap tahunnya. Kharaj dibedakan atas dua jenis, yaitu kharaj yang sebanding (proporsional) dan kharaj yang tetap. Jenis yang pertama dikenakan secara proporsional berdasarkan total hasil pertanian, misalnya seperdua, sepertiga atau seperlima dari hasil yang diperoleh. Sedang bentuk kedua (kharaj yang tetap) dibebankan atas tanah tanpa membedakan status pemiliknya, apakah anak-anak 12
M. Taufik N.T, op.cit
13
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Cet. I; Penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, Februari 2001), h. 281. 14
AA. Ishlahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Bina Ilmu Offset: Surabaya, 1997), h. 252.
90
atau dewasa, merdeka atau budak, perempuan atau laki-laki, muslim atau non-muslim. Kewajiban membayar kharaj hanya sekali setahun meskipun panen yang dihasilkannya bisa tiga atau empat kali setahun. Sedangkan kharaj yang sebanding dikenakan sepersepuluh dari hasil panen. Namun kharaj sebanding tidak boleh dipungut bila terjadi gagal panen yang disebabkan oleh bencana alam seperti tanah longsor ataupun banjir.15 Dibedakannya antara tanah mati dan tanah yang tidak mati menunjukkan bahwa Islam melalui Rasulullah saw. telah membolehkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya sebagai tanda kepemilikan. Oleh karena itu menghidupkan dan memagari tanah mati tidak perlu izin dari khalifah sebab perkara-perkara yang yang telah dimubahkan untuk kaum muslimin tidak perlu ada izin dari khalifah. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati tentu tidak dapat dimiliki kecuali dengan jalan lain seperti pemberian khalifah dan hal tersebut dianggap sebagai tanah miilik negara.16 Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati diatas tanah kharajiyah yang belum pernah dipungut kharaj-nya, maka jika dia seorang muslim maka dia berhak memiliki zat tanah sekaligus dengan kegunaannya. Kewajibannya adalah membayar usyur dan tidak wajib membayar kharaj. Namun jika dia seorang non-muslim maka hanya berhak memiliki kegunaannya tanpa memiliki zat tanah tersebut. Kewajiban non-muslim dalam hal ini adalah membayar kharajnya dan tidak dikenakan usyur. Sebagaimana yang telah ditetapkan atas penduduk tanah taklukan dimana mereka non-muslim dan dibiarkan mengelolanya tanpa usyur namun harus membayar kharaj sebagai kompensasi. Berbeda dengan itu, siapapun yang telah menghidupkan tanah mati diatas tanah kharajiyah yang sebelumnya pernah ditetapkan kharaj-nya sebelum tanah tersebut berubah menjadi 15
Muhammad Ashraf, Economic System Under Umar The Great, diterjemahkan oleh Irfan Mahmud Ra’na, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibnu al-Khaththab, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1992), h. 120. 16
M. Taufik N.T, op.cit
91
tanah mati, maka orang tersebut hanya memilki kegunaannya dan tidak peduli apakah orang tersebut muslim atau non-muslim. Oleh karena itu masing-masing dari mereka tetap diwajibkan membayar kharaj sebab tanah tersebut statusnya sebagai tanah taklukan yang harus diambil kharajnya. Kharaj tersebut akan tetap wajib atas tanah tadi sepanjang masa, baik dimiliki seorang muslim ataupun non-muslim. Ketentuan ini hanya berlaku untuk ketentuan tanah mati yang dihidupkan untuk ditanami atau peruntukannya untuk lahan pertanian.17 Adapun jika tanah tersebut dihidupkan bukan untuk lahan pertanian misalnya seperti tempat tinggal, membangun industri atau tempat penampungan, maka tanah tersebut tidak dikenakan usyur atau kharaj. Dalam hal ini tidak dibedakan tanah usyur atau kharaj sebab para sahabat yang telah menaklukkan tanah Irak dan Mesir, telah menguasai Kufah, Bashrah dan Fusthah (Kairo lama). Para sahabat telah mendudukinya pada masa Umar bin Khaththab kemudian mereka tinggal bersama orang lain (non-muslim) namun kepada mereka tidak dikenakan kharaj dan tidak diharuskan membayar zakat atas tempat tinggal mereka sebab zakat tidak diwajibkan atas perumahan dan bangunan.18 Pemberian negara berupa tanah oleh khalifah adalah pemberian secara cuma-cuma atas tanah yang menjadi milik negara. Tanah yang diberikan sudah dikelola dan siap untuk langsung ditanami atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang. Dengan kata lain, mekanisme ini hanya berlaku pada tanah yang tidak mati namun diambil alih oleh negara karena dibiarkan terlantar.19 Pemberian tanah oleh negara sebagaimana menghidupkan tanah mati tentunya disertai dengan penganugrahan hak kepemilikan secara utuh. Pemiliknya bebas menggunakan dan mengalihkan haknya kepada orang lain. Baidhuri melaporkan bahwa pemberian Rasulullah SAW kepada Bilal bin Harits oleh Rasulullah telah dijual oleh ahli warisnya kepada Umar. Hal ini 17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid
92
memberikan gambaran tentang jangkauan kepemilikan ini.20 Hal lain seperti yang ditunjukkan pada kasus Bilal al-Muzni yang meminta sebidang tanah kepada Rasulullah SAW dan dia tidak dapat memiliki tanah tersebut kecuali telah diberikan oleh Rasulullah SAW kepadanya. Kalau seandainya terhadap tanah yang seperti ini dapat dia miliki dengan cara menghidupkannya dan memagarinya, tentulah dia tidak perlu meminta serta menunggu Rasulullah saw. memberikannya. Pemberian tanah oleh negara dalam pengertian diatas memiliki pengertian yang yang berbeda dengan sistem pemberian tanah (land reform) dalam sistem feodalisme. Karena sistem ini bersifat khas dengan dilandasi semangat sosialisme yang tidak pernah diakui kebenarannya dalam Islam. Sistem ini dilakukan negara dengan memberikan tanah kepada orang yang dikehendaki sesuai kebijakan yang tepat pada masa itu. Tentunya prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan adalah mengutamakan kepada orang-orang yang membutuhkan dan memiliki kemampuan mengelolanya. Pengelolaan lahan pertanian dengan konsepsi kepemilikan tanah mengenai tanah mati dan kemudian dapat dimiliki secara cuma-cumanya bagi siapa saja yang menghidupkannya menyiratkan maksud tanah dimanfaatkan lebih disukai dibandingkan tanah yang terlantar. Sistem ekonomi manapun pasti menyadari hal ini karena peran penting tanah sebagai faktor produksi bahan kebutuhan pokok manusia. Sistem Islam dengan merujuk berbagai hukum seputar tanah menunjukkan perhatiannya yang besar tentang hal ini. Bahkan pemberian tanah pertanian oleh negara dimaksudkan untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusi penyediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang dapat dihasilkan tanah dan bukan untuk ditelantarkan. Kasus Bilal bin al-Muzni menggambarkan dorongan ini. Yunus menceritakan dari Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar berkata: “Bilal bin al-Harits al-Muzni datang kepada Rasulullah SAW lalu dia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau lalu memberikan tanah kepadanya yang berukuran luas. 20
Nurhindarno, op.cit.
93
Ketika pemerintahan dipimpin oleh Umar, dia (Umar) berkata kepadanya: “wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah kepada Rasulullah saw, lalu beliau memberikannya kepadamu. Sedang beliau tidak pernah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada padamu. “Bilal menjawab: “Benar”. Umar berkata: “Lihatlah, mana diantara tanah itu yang mampu garap, maka milikilah. Dan mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan membagikannya kepada kaum muslimin.” Bilal berkata: “Demi Allah, aku tidak akan melakukan sama sekali memberikan apa yang diberikan oleh Rasulullah saw.” Umar berkata: “Demi Allah, engkau hendaknya benar-benar menggarapnya.” Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu dia garap dari Bilal, lalu dia membagikannya kepada kaum muslimin. Negara sebagai pihak yang mengontrol aktifitas ekonomi warganya akan memaksa para pemilik lahan pertanian untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah yang dilakukan negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan berkesanggupan untuk mengelolanya. Oleh itu, kepemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi waktu tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hak-hak yang menyertainya selama yang bersangkutan mengelola sesuai dengan kegunaannya.21 Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama tiga tahun. Sistem pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini dapat diambil dari hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Umar bin Khattab r.a mengatakan: “orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” Pengambilan tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua jenis tanah pertanian, baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah, pemberian negara maupun menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab hukum) 21
Ibid
94
dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang tanah tersebut. Jadi tiap pemilik tanah, yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, darimanapun asal kepemilikan tanah tersebut. Hal ini tidak bisa dianggap telah mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Sebab syari’ah telah menjadikan kepemilikan tanah pertanian dengan cara kelola. Semuanya ini adalah agar tanah tersebut selalu ditanami dan dikelola secara optimal. Oleh karena itu pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alatnya, benih, hewan dan pekerjapekerjanya. Dia juga boleh mempekerjakan para pekerja untuk menanaminya. Apabila dia tidak mampu mengusahakannya, maka dia akan dibantu oleh negara. Namun apabila tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, maka tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain sebagai pemberian cuma-cuma dan tanpa kompensasi apapun, lalu dia menggarapnya. Apabila pemiliknya menggarapnya dan tetap menguasainya, maka dibiarkan selama tiga tahun. Apabila tanah tersebut dibiarkan tanpa dikelola selama tiga tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi sesuatu (modal) dari baitul mal, sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelolanya secara optimal.22 Syari’ah menjadikan kepemilikan tanah dengan cara kelola dan pada masa sekarang kepemilikan tersebut belum lengkap dengan penyertaan tanda bukti hak dari lembaga yang menangani urusan agraria semacam akte jual beli dan sertifikat kepemilikan. Kepemilikian tanah dengan cara kelola dalam syari’ah tanpa ada tanda bukti hak dari lembaga pertanahan memunculkan pengklaiman kepemilikan dari pihak lain. Hal inilah yang sering menjadi sengketa yang bisa berujung pada tindakan anarkisme dan perampasan hak milik. Penyewaan lahan pertanian dalam Islam dilarang dan pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian. Ia tidak diperbolehkan untuk menyewakan tanah 22
Ibid
95
pertanian dengan sewa berupa makanan, atau apa saja yang dihasilkan dari sana, sebab semuanya merupakan ijarah. Menyewakan tanah untuk pertanian secara mutlak hukumnya haram. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: Mereka bertanya kepada Rasulullah, “kami akan menyewakannya dengan bibit.” Beliau menjawab: “Jangan.” Mereka bertanya lagi: “kami akan menyewakannya dengan rabi’ (danau)”. Beliau tetap menjawab: “Jangan.” Kemudian beliau pertegas dengan sabdanya: “Tanamilah atau berikanlah kepada saudaramu.” Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya seseorang yang mampu mengelolanya harus memiliki lahan, sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan menguasai lahan pertanian.23 Islam mengakui tanah sebagai faktor produksi yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan memperhatikan prinsip dan etika ekonomi. Alqur’an maupun as-sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah yang baik24 terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai keabsahan sewa. Hal ini disebabkan karena rasulullah pernah melarang penyewaan tanah namun pada kesempatan lainnya rasulullah memperbolehkan aktivitas ini baik secara tunai maupun bagi hasil.25 2. Konsep Kepemilikan Tanah dalam Hukum Perundangundangan Sistem kehidupan perekonomian di Indonesia masih bernuansa agraris sebagai karunia Tuhan dengan fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian dipengaruhi pemerintahan kolonial sebelumnya dengan sifat dualisme, pemberlakuan hukum adat disamping hukum agraria yang 23
Ibid. Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi islam: Teori dan Praktek, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h.56 24
25
Azfalurrahman, Doktrin Ekonomi islam. Jilid II, (Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 279
96
didasarkan atas hukum barat dengan tidak mengabaikan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama.26 Secara yuridis penyelenggaraan pembangunan oleh negara untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, namun realitas serta dalam praktiknya dijumpai dimana pemerintah berdasarkan keyakinannya secara yuridis dalam melaksanakan pembangunan tidak segan-segan melakukan “kekerasan” terhadap rakyatnya yang secara yuridis banyak yang tidak mempunyai landasan hukum. Ketimpangan yang kerap terjadi biasanya diikuti dengan konflik yang berakibat pada penguasaan tanah oleh bukan pemegang haknya untuk kemudian ditanami dengan pangan yang semakin merebak dan obyeknyapun beragam meliputi tanah-tanah yang dikuasai oleh badan hukum maupun instansi pemerintah.27 Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, sampai saat ini masih terdapat beberapa hal yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, Undang Undang Agraria (UUPA) hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya berupa hukum pertahanan nasional.28 Landasan UU Pokok Agraria adalah Pancasila dan UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sedang pasal 1 ayat 3 UUPA berbunyi hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Hubungan yang bersifat abadi pengertiannya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya untuk anak cucu kita. Oleh karena itu sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau diterlantarkan dan UUPA no. 5 tahun 1960 hak 26
Lihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 27 Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Jakarta, 2011, h. 188 28 Muhibbin, Penguasaan Atas Tanah Timbul Oleh Masyarakat Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, (), h. 1
97
atas tanah akan terhapus dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan. Dengan didasarkan pada uraian ini maka tanah tidak boleh menjadi barang komoditas atau spekulasi yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, untuk itulah UUPA no. 5 tahun 1960 telah menentukan larangan penguasaan tanah melampaui batas karena itu tidak seorangpun yang mempunyai hak yang sah untuk memiliki lahan yang berlebihan.29 Ketentuan GBHN 1998 dalam bab IV tentang pembangunan 5 tahun ke 7 sub 19 setelah dikaikan dengan pasal 6 UUPA No.5 tahun 1960 merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam penyelesaian UUPA dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan tanah untuk kepentingan pribadinya, pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang mengakibatkan kerugian masyarakat. Tanah dalam kehidupan masyarakat memegang peran yang sangat penting, sehingga memerlukan penanganan yang serius dan profesional. Peningkatan pembangunan di berbagai bidang, baik pertanian, pemukiman dan perindustrian maka kebutuhan akan tanah tentunya akan semakin meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah maka semakin meningkat pulalah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus ditangani dengan segera.30 Didalam Undang Undang Agraria (UUPA) Bab I mengenai dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok dijelaskan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial dan digunakan untuk mencapai sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sistem hukum negara di Indonesia tampak berada ditengah pada dua ekstrim, yaitu hukum adat dan Islam di satu sisi dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Hukum tanah di Indonesia mempunyai fungsi sosial yang sebetulnya merupakan antitesa hukum tanah barat. Implikasinya, tanah tidak bisa dimiliki 29
Chalisah Parlindungan, Tanah Terlantar menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 tahun 1998 dan PermasalahanPermasalahan yang terdapat di lapangan, Artikel Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumaera Utara, no. 1 30
Ibid.
98
secara bebas tanpa intervensi dari negara. Jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan dan penguasaan tanah tanpa adanya intervensi dari negara, kekhawatiran akan terjadinya praktik akumulasi tanah tanpa batas akan berkembang serta menjadi monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang-orang dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Caranya adalah dimasukkannya unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaan. Kebebasan individu dikurangi dan dimasukkan unsur kebersamaan dalam hak individu. Jadi dalam hak individu ada hak kebersamaan, inilah yang disebut bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.31 Adanya peraturan land reform UU no. 56 tahun 1960 dimana negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, misalnya orang tidak boleh mempunyai tanah lebih dari lima hektar (di Jawa) atau tanah absente. Tugas negara mewakili kepentingan bersama menjadi lebih luas dalam mengusahakan kepentingan kemakmuran yang adil dan merata atau disebut sebagai welfare state.32 Kewenangan negara dalam membatasi kepemilikan tanah tidak lebih dari lima hektar memberikan andil dalam mengusahakan kepentingan kemakmuran rakyat. Penetapan batas maksimum tersebut diatur dalam peraturan perundangan dan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya diberikan kepada rakyat yang membutuhkan.33 Sedang jaminan kepastian hukum dari Pemerintah diadakan dengan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tanah meliputi; pengukuran, pembukuan tanah, 31
Syaiful Bahari, Negara dan Hak Rakyat atas Tanah, Kompas, 13 Mei
2005. 32
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI No. IX Tahun 2001, Makalah pada Seminar Nasional Pertanahan 2002, Pembaharuan Agraria STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002. 33
Lihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bab II: Hak-Hak atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah. Bagian I: Ketentuan Umum, Pasal 16 dan Pasal 17.
99
pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak-hak, lalu pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.34 Dalam sejarah perkembangan Islam, khalifah Umar sebagai kepala negara punya otoritas dan wewenang dengan mengambil kembali tanah milik dari sahabat Bilal al-Muzni lalu diserahkan dan dibagi-bagikan kepada kaum muslimin karena Umar berpandangan hanya tanah yang bisa digarap olehnya sehingga tanah lainnya yang tidak tergarap diberikan kepada kaum muslimin lainnya supaya bisa dikelola dengan baik meskipun tanah yang sebelumnya dimiliki Bilal al-Muzni adalah pemberian Rasulullah saw selaku kepala negara.35 Kiranya hal ini bisa dianggap sebagai upaya pemerintah dalam mengintervensi beberapa kalangan dari sahabat yang memiliki lahan lebih dan terkesan tidak mampu mengolahnya secara keseluruhan sehingga beberapa lahan yang tidak tergarap diserahkan kepada kaum muslimin lainnya supaya bisa dikelola dengan optimal. Pada dasarnya kepemilikan tanah menurut hukum positif di Indonesia dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan seluruh warga negara. Jangankan tanah, bumi, air dan kekayaan alam lainya dikasai oleh negara untuk kesejahtaraan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3: “Bumi, air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.36 Dengan demikian semua tanah yang ada di Indonesia pada hakikatnya mempunyai fungsi sosial dan tidak ada yang berfungsi untuk pribadi saja karena siapapun yang memiliki tanah di Indonesia dapat suatu waktu diambil oleh negara kalau tanah tersebut diperlukan oleh negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini didasarkan pada pasal 6 UUPA 34
Lihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bab II: Hak-Hak atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah. Bagian II: Pendaftaran Tanah, Pasal 19. 35
Nurhindarno, Tanah Pertanian dalam Politik Islam, diakses pada website http://iqbal.blog.ekonomisyariah.net 36
Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), h. 39
100
dengan isinya: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tidak ada hak subjektif yanga ada hanya fungsi sosial”.37 Walaupun dikuasai negara dan diperuntukkan untuk kesejahtaraan rakyat bukan berarti masyarakat tidak berhak untuk memiliki lahan karena penguasaan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atau kekuasaan terendah yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum. Masyarakat yang secara turun temurun menguasai suatu lahan tetap dianggap mempunyai hak kepemilikan secara penuh dan tanah yang telah dibuka oleh masyarakat dahulunya kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, maka tanah tersebut merupakan hak milik penuh orang yang mewariskannya. Hal ini dinyatakan dalam pasal 20 UUPA yang isinya: “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 UUPA”.38 Dengan adanya ketentuan tersebut, kepemilikan tanah secara penuh dengan pewarisan dapat saja dicabut kepemilikannya oleh negara jika tanah tersebut memiliki hajat hidup orang banyak, seperti; pembangunan atau pelebaran jalan, pembuatan bendungan dan lain sebagainya. Penarikan tidak boleh dilakukan secara paksa namun pemerintah melakukan pencabutan hak milik dengan memberikan ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria pada pasal 18 yang isinya: “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU”.39 Selain kepemilikan dari warisan, kepemilikan bisa diperoleh dengan adanya jual beli, penghibahan, pemberian wasiat dan pemberian menurut adat. Sistem peralihan keepemilikan diatur 37
A. P. Parlindungan, Komentar atas UUPA (Bandung, Bandar Maju, 1991), h. 59. 38
Ibid., h. 122.
39
Rosnani Siregar, Mengelola Lahan Tidur (Ihya al-Maut), Analisis Komperatif Hukum Islam dengan UUPA dalam Hal Kepemilikan Tanah, (Analytica Islamica, Vol. 9 No. 1, 2007), h. 8
101
dalam pasal 26 UUPA.40 Kepemilikan tanah yang terjadi secara kolektif atau yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat maka kepemilikan ini disebut dengan kepemilikan tanah adat (tanah ulayat) dan pemanfaatannya diperuntukkan oleh masyarakat secara kolektif. Anggota adat secara individu tidak dapat menguasai tanah tersebut, kecuali tanah-tanah tersebut dibagikan secara bersama oleh masyarakat adat maka tanah tersebut berpindah kepemilikannya dari tanah adat menjadi tanah individu. Proses pengindividualisasian tanah menjadikan tanah adat semakin berkurang jumahnya, bahkan pemerintah lebih cenderung mematikan hak ulayat dengan kebijakan mengangkat hak ulayat menjadi tanah negara atau kalau tanah ulayat sudah hilang dari masyarakat, pemerintah setempat dilarang untuk mengfungsikannya kembali sebagai tanah ulayat.41 Kasus tanah terlantar adalah masalah yang rumit sekali jika melihat adanya estalasi dari harga-harga tanah memuat masalah untuk dinyatakan tanah menjadi terlantar. Terlantar dalam arti tanah tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemegang hak. Dalam perspektif logika hukum agraria mengenai tanah tersebut dapat mempedomani apa yang diuraikan dalam UUPA No. 5 tahun 1960, pasal 2 ayat 2, 6, 7, 10, 14, 15, 18, 19 sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah, bahwa dilarang menguasai tanah melampaui batas larangan absente peraturan tata guna tanah, pemeliharaan tanah dan keharusan pendaftaran tanah. Ketentuan hukum tersebut juga dapat mempedomani beberapa ketentuan lain, misalnya: 1. UUPA No. 5 tahun 1960 dan PP No. 224 tahun 1961 tentang pembatasan hak atas tanah yang lebih terkenal dengan ketentuan landreform baik maksimum penguasaan tanah, larangan absenteisme dan redistribusi tanah untuk petani. 2. Undang-Undang No. 3 tahun 1972 tentang ketentuan pokok transmigrasi. 40
A. P. Parlindungan, Komentar atas UUPA (Bandung, Bandar Maju, 1991), h. 122 41
John Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 284
102
3. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 1974 tentang pendaftaran tanah. 4. Peraturan Pemerintah RI No. 36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. 5. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1982 tentang pengertian tanah di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan hukum/perorangan yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan. 6. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup.42 Adapun tanah-tanah yang dimiliki oleh badan keagamaan dan sosial tidak bisa dimiliki secara pribadi selama tanah itu masih dipergunakan untuk agama dan sosial. Namun jika penggunaan tanah tersebut tidak lagi untuk kegiatan-kegiatan yang dimaksud maka bisa dimiliki secara pribadi menurut ketentuan UUPA pasal 49 yang berlaku.43 Pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki oleh seseorang atau badan hukum, maka kewenangannya tidak boleh dengan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan perizinan dengan mekanisme tertentu dari pemerintah setempat dari Gubernur untuk Propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk kotamadya/kabupaten, dan Camat untuk tingkat kecamatan.44 Fenomena yang terjadi dalam pemerintahan Indonesia dengan meluasnya konflik agraria disinyalir akan terus meningkat dari tahun ke tahun dan ini terlihat dari banyaknya perluasan lahan pertanian kecil untuk kepentingan korporat dan pembangunan. Konflik agraria yang mewarnai sejumlah daerah di Indonesia dinilai muncul karena peraturan perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan pemilik modal untuk memperebutkan tanah sebagai sumber ekonomi. Masalah utama agraria adalah 42
Chalisah Parlindungan, Tanah Terlantar menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 tahun 1998 dan PermasalahanPermasalahan yang terdapat di lapangan, Artikel Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumaera Utara, h. 1-2. 43 Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), h. 40 44 Rosnani Siregar, Mengelola Lahan Tidur (Ihya al-Maut), Analisis Komperatif Hukum Islam dengan UUPA dalam Hal Kepemilikan Tanah, (Analytica Islamica, Vol. 9 No. 1, 2007), h. 11
103
konsentrasi kepemilikan sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang dan korporasi besar. Bahkan persoalan ini diperburuk dengan lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkesan mengakomodir kepentingan pemilik modal yang dialamatkan pada UU Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal.45 Sebuah analisa bahwa Peraturan Pemerintah RI No. 36 tahun 1998 tentang tanah terlantar belum mencakup seluruh hak atas tanah dan kenyataan yang terdapat dalam lapangan masih banyak kekurangan-kekurangan yang tidak menjelaskan secara terperinci tanah terlantar berapa tahun berturut-turut tidak dikerjakan atau ditinggalkan oleh pemiliknya. Hak-hak yang belum diatur lainnya dalam masih ada lagi kekurangannya misalnya seperti yang didapati kenyataan dalam kasus-kasus yaitu untuk wakaf terutama wakaf keluarga selain daerah itu kumuh juga lalu lintas ekonomi juga terhalang, apalagi jika terdapat di kota yang melanggar peraturan daerah (Peraturan Tata Kota Daerah) untuk pengembangan kota atau rencana kota. Walaupun hukum Islam mengatakan bahwa tanah wakaf tidak boleh dijual tetapi jika bertentangan dengan peraturan pemerintah dan menghalangi lalu lintas ekonomi, sudah saatnya pemerintah mengatur hal ini. Peraturan pemerintah ini harus ditinjau kembali atau ditingkatkan menjadi Undang-Undang dan dalam peraturan pelaksana akan lebih diperinci apa dan bagaimana yang disebut tanah terlantar tersebut.46 Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilainya melegalkan perampasan tanah masyarakat oleh korporasi besar. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; terakhir yakni UU Tentang 45
Rochmanuddin, Tahun Depan Potensi Konflik Agaria Meningkat, diakses http://berita.liputan6.com, 20 Februari 2012 46
Chalisah Parlindungan, Tanah Terlantar menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 tahun 1998 dan PermasalahanPermasalahan yang terdapat di lapangan, Artikel Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumaera Utara, h. 7
104
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Keseluruhan undangundang itu sungguh telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, dan wilayah tangkap nelayan.47 Kepastian hukum pertanahan diatur dalam UUPA pasal 19 dan pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Proses pendaftaran dilalui dengan tiga tahap kegiatan, yaitu kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, pengumpulan dan pengolahan data yuridis dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Sebelum berlakunya UUPA jo Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, girik menjadi bukti kepemilikan yang sebetulnya adalah tanda bukti pembayaran pajak tanah. Namun girik sebenarnya bukanlah tanda bukti kepemilikan hak atas tanah dan hanya merupakan bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah, dengan demikian jika di atas bidang tanah yang sama terdapat klaim dari pemegang girik dan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah maka pemegang sertifikat tanah menurut hukum akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Persoalan ini tidaklah sesederhana seperti yang dipikirkan karena proses kepemilikan tanda bukti hak atas tanah (sertifikat) melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan berpotensi timbulnya konflik pertanahan.48 Idham Arsyad sebagai sekretaris jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Indonesia melihat setidaknya ada empat faktor penyebab kekerasan dalam konflik agraria. Pertama, pendekatan kekerasan dan keamanan (violence and security approach) dalam menangani konflik agraria masih digunakan. Kedua, belum adanya platform yang jelas dalam menyelesaikan konflik di luar jalur pengadilan. Ketiga, tidak berubahnya kebijakan
47
Ari Anggadha & Eri Naldi, Konflik Agraria Sepanjang Tahun 2011, konflik agraria dinilai semakin meruncing karena tidak dilaksanakannya reformasi agraria, diakses pada http://nasional.vivanews.com/news/ tanggal 21 Februari 2012. 48
Sri Wijayanti, Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Tanah, Studi Kasus Putusan MA tentang Sengketa Tanah Meruya Selatan, Thesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, h. 15-16
105
politik hukum agraria sejak Orba sampai sekarang, dan Keempat, diabaikannya agenda reforma agraria. Agar kekerasan dalam konflik agraria tidak terus berulang, maka pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis, yakni : Pertama, menghentikan keterlibatan aparat keamanan dalam setiap sengketa dan konflik agraria. Dalih pengamanan objek strategis negara tidak boleh jadi alasan untuk menembaki rakyatnya sendiri. Kedua, mengevaluasi luasan lahan yang telah dikuasakan kepada badan usaha milik swasta dan pemerintah. Baik dalam bentuk HGU-Perkebunan, izin pertambangan, izin usaha pengelolaan hutan dan izin pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Fakta menunjukkan bahwa semakin luas penguasaan lahan oleh badan usaha semakin rentan terjadi konflik. Sebagai ilustrasi, dari 9,4 juta lahan yang dikuasakan untuk perkebunan sawit telah berlangsung 633 kasus konflik (Sawit Wacth;2010). Demikian pula di sektor kehutanan dimana lebih dari 30 ribu desa masuk dalam kawasan hutan yang setiap saat bisa meletus menjadi konflik yang berdarah-darah. Ketiga, segera membentuk kelembagaan khusus penyelesaian konflik agraria. Perlu dipahami bahwa saat ini kita menghadapi konflik agraria yang bersifat struktural yang penyelesaiannya tidak cukup dengan jalur pengadilan. Juga tidak cukup hanya ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena penyebab konflik bisa lintas sektoral. Terlebih lagi bahwa konflik agraria struktural penyebabnya oleh kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah sendiri. Umumnya konflik struktural ini bermula dari proses "negara-isasi" tanah-tanah milik komunitas yang sudah sejak lama bermukim (bahkan jauh sebelum negara ini berdiri), lalu atas nama negara meletakkan atas klaim atau hak pemanfaatan tertentu di atasnya dan diberikan kepada badan-badan usaha milik swasta atau pemerintah.49 Masalah hukum agraria dalam sejarah perjalanan negara ini tidak bisa dilepaskan dari periode sebelum 1960 dan periode setelah tahun 1960 atau setelah munculnya UUPA, apalagi ada perbedaan mendasar dalam hak kepemilikan tanah. Periode 49
Idham Arsyad, Dibutuhkan Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria, diakses pada http://makassar.tribunnews.com, tanggal 21 Februari 2012.
106
sebelum September 1960 hukum agraria didasarkan pada hukum Belanda dimana semua tanah yang seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikannya maka dianggap sebagai tanah negara. Tentu saja hak domein ini berdampak pada kemungkinan dimilikinya tanah-tanah para pemodal asing dan bisa berkembang di Indonesia. Padahal Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 jelas-jelas dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Sedang hak milik yang termaktub dalam pasal 20-27 UUPA merupakan hak terkuat tentang kepemilikan hak atas tanah yang bisa dimiliki seseorang. Namun hak kepemilikan ini tidaklah mutlak karena mengingat tanah masih memiliki fungsi sosial sehingga hak milik dalam pemanfaatannya masih tetap harus memperhatikan aspek-aspek sosial sehingga tidak mengganggu fungsi sosialnya. Misalnya ketika memanfaatkan tanah jangan sampai mencemari lingkungan atau mengganggu ketertiban umum.50 Badan Pertanahan Nasional secara khusus dan instansiinstansi lainnya dalam pemerintah yang menjalankan regulasi Undang-Undang Pokok Agraria, perlu memposisikan seoptimal mungkin dan mempertahankan eksistensi hukum positif yang bertujuan meningkatkan penyuluhan hukum keagrariaan dan meminimalisir ketimpangan dan konflik sengketa tanah dengan selalu merevisi regulasi yang ada dengan tetap menjaga kewibawaan hukum dan keberpihakannya pada masyarakat.51 Gerakan reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan sebelumnya adalah tonggak untuk melakukan tinjauan kritis terhadap peraturan agraria yang dianggap menyimpang karena dipergunakan sebagai instrumen kekuasaan. Tuntutan reforma agraria bermuara pada lahirnya ketetapan MPR RI No. IX tahun 2001 tentang pembaharuan agraria dan 50
Anne Ahira, Hak Penguasaan Tanah menurut Hukum Agraria, diakses http://anneahira.com, tanggal 25 Februari 2012. 51
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Cet. III; Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 141
107
pengelolaan sumber daya alam. Dengan adanya ketentuan tersebut dijadikan sebagai arah kebijakan strategis yang memberikan pengaturan sebagai politik hukum agraria yang lebih manusiawi dan validitas peraturan hukum agraria yang ketentuannya harus bersumber dan sesuai dengan substansi yang terkandung dalam TAP MPR.52 Perlunya aktualisasi53 nilai-nilai Islam kepemilikan tanah dalam kehidupan masyarakat, apalagi Undang-Undang Pokok Agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menempatkan tanah sebagai fungsi sosial yang peruntukannya untuk kemakmuran rakyat. Pembukaan lahan kosong dalam Islam memiliki prinsip dasar yang sama dengan ketentuan aturan-aturan kepemilikan tanah dalam UUPA. Penerapan aturan kepemilikan tanah dalam UUPA di masyarakat Indonesia tidak akan mengganggu keberadaan syari’at Islam, baik yang terkait dengan ihya mawat dengan land reform. Disamping itu penerapan syariat Islam dalam bidang muamalat jika diterapkan tidak akan mengakibatkan benturan dengan hukum positif yang ada ketika diadakan penarikan prinsip-prinsip dasar di antara kedua hukum tersebut. Hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak akan bertentangan dengan ruh hukum Islam selama pendekatan pemahaman hukum Islam tidak dilakukan secara ekstrim dan kaku. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas maka tidak ada perbedaan mendasar tentang kepemilikan tanah menurut hukum Islam dan hukum pertanahan Indonesia yang diatur dalam UUPA tahun 1960 dalam hal kewenangan membuka lahan kosong atau menghidupkan tanah mati. Asas hukum Islam dalam menghidupkan tanah mati 52
Heri Kuswanto, Perkembangan Sejarah Hukum Agraria, Fak. Hukum Univ. Narotama, Surabaya, h. 9 53
Berasal dari kata aktual yang artinya berdasarkan kenyataan atau benar-benar terjadi, sedang kata aktualisasi itu sendiri adalah perihal mengaktualkan suatu kejadian atau menjadikannya benar-benar terjadi. Lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, h. 100
108
hanya dibolehkan pada lahan-lahan yang belum ada pemiliknya dan mendapatkan izin dari imam. Perizinan di masa Rasulullah SAW bisa didapatkan langsung sebagai pemimpin yang bertindak sebagai imam/pemimpin kaum muslimin dengan didasarkan anjurannya siapa yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Sedang di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada individu atau badan hukum dan harus mendapatkan perizinan dari pemimpin setempat, baik dari camat, bupati atau gubernur dari tingkat provinsi. Sedang tanah yang berukuran luas harus mendapatkan izin langsung dari Badan Pertanahan Nasional. Adapun lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut maka dalam hukum Islam lahan tersebut tidak boleh diihidupkan untuk dimiliki. Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak dapat dimiliki oleh siapapun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial dan keagamaan. Hukum Islam tidak mengakui kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat di beberapa daerah di Indonesia yang disebut dengan hak ulayat. Dalam UUPA ada kecenderungan untuk mengurangi kepemilikan tanah secara kolektif, oleh karena itu pemerintah lokal dianjurkan untuk tidak menghidupkan kembali tanah yang kepemilikan tanahnya bersifat kolektif. Kepemilikan tanah melebihi dari batas kemampuan pemiliknya untuk mengelolanya diatur dalam UUPA No.5 tahun 1960 supaya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat meski dalam hukum Islam terutama pada masa pemerintahan khalifah Umar tidak dijelaskan secara detail berapa maksimal yang harus dimiliki karena pandangan khalifah Umar yang hanya melihat adanya ketidakpedulian pemilik tanah dan diberikannya batas waktu selama 3 tahun dan jika kelebihan dari tanah tersebut yang dimiliki tidak ada kemampuan dalam mengelolanya maka khalifah sebagai kepala pemerintah bisa melakukan pengambilan dengan cara paksa dan diberikan kepada rakyat lainnya yang berkemampuan mengelolanya dengan baik. Dengan demikian hukum Islam dan UUPA tentang kepemilikan tanah terdapat prinsip-prinsip dasar yang bertujuan 109
untuk kemaslahatan rakyatnya seperti tanah terlantar, pengakuan Islam tentang kepemilikan tanah yang didapat dengan cara hibah, pembelian dengan dilengkapi surat tanda kepemilikan yang diakui negara dan pewarisan meski dalam praktiknya masih perlu pembenahan terutama dengan munculnya beberapa konflik agraria yang banyak merugikan masyarakat bawah. SUMBER PUSTAKA Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an) 1978. Djamal, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Baru 1993, (Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) Syahyuti. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia, (Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. I Juli 2006) A. Temanggung, Yuswanda. Deputi Pengaturan dan Penataan Pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketimpangan dalam Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah, diakses pada Koran Seputar Indonesia, 18 Februari 2007 Nurhindarno, Tanah Pertanian dalam Politik Islam, diakses pada website http://iqbal.blog.ekonomisyariah.net al Qurthuby, Abu al Hasan Ali bin Khalaf bin Abdu al Malik bin Batthal al Bakri. Syarah Shahih al Bukhari li ibni Batthaal, (Cet. II; Maktabah Rusyd: Riyadh, 1423 H/2003 M) Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Cet. I; Penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, Februari 2001) AA. Ishlahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Bina Ilmu Offset: Surabaya, 1997) Ashraf, Muhammad. Economic System Under Umar The Great, diterjemahkan oleh Irfan Mahmud Ra’na, Sistem
110
Ekonomi Pemerintahan Umar (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1992)
ibnu
al-Khaththab,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Sumardjono, Maria SW. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Jakarta, 2011 Muhibbin. Penguasaan Atas Tanah Timbul Oleh Masyarakat Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, () Parlindungan, Chalisah. Tanah Terlantar menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 tahun 1998 dan Permasalahan-Permasalahan yang terdapat di lapangan, Artikel Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumaera Utara Syaiful Bahari, Negara dan Hak Rakyat atas Tanah, Kompas, 13 Mei 2005. Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya dengan TAP MPR RI No. IX Tahun 2001, Makalah pada Seminar Nasional Pertanahan 2002, Pembaharuan Agraria STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002 Rochmanuddin. Tahun Depan Potensi Konflik Agaria Meningkat, diakses http://berita.liputan6.com, 20 Februari 2012 Ari Anggadha & Eri Naldi. Konflik Agraria Sepanjang Tahun 2011, konflik agraria dinilai semakin meruncing karena tidak dilaksanakannya reformasi agraria, diakses pada http://nasional.vivanews.com/news/ tanggal 21 Februari 2012. Wijayanti, Sri. Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Tanah, Studi Kasus Putusan MA tentang Sengketa Tanah Meruya Selatan, Thesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang
111
Arsyad, Idham. Dibutuhkan Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria, diakses pada http://makassar.tribunnews.com, tanggal 21 Februari 2012 Ahira, Anne. Hak Penguasaan Tanah menurut Hukum Agraria, diakses http://anneahira.com, tanggal 25 Februari 2012
112