Perubahan Kepemilikan Tanah Petani Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kab. Grobogan Sejak Berlakunya UUPA 1960 Dan PP No.24 Tahun 1997 Anes Apriliastuti (10140014-ST) Mahasiswa Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang ABSTRAK Di desa Selo terdapat makam tokoh leluhur raja Mataram sehingga komplek tanah yang terdapat disekitar makam pada jaman sebelum kemerdekaan merupakan tanah yang bebas dari pajak namun setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960 semua daerah yang awalnya memperoleh keistimewaan sebagai tanah perdikan, status tersebut dihilangkan dan semua daerah mempunyai peraturan yang sama mengenai prosedur kepemilikan tanah disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : 1)Bagimanakah letak geografis desa Selo kecamatan Tawangharjo; 2). Bagimanakah sistem kepemilikan tanah di desa Selo sebelum berlakunya UUPA 1960; 3) Bagaimana sejarah berlakunya Land Reform; 4)Bagaimana sistem kepemilikan tanah di desa selo sejak berlakunya PP no.24 tahun 1997; 5). Bagaimana kendala dan upaya pemerintah desa Selo dalam melaksanakan UUPA 1960. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Langkah-langkah penulisan meliputi: heuristik, kritik sumber, interprestasi dan historiografi. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumen. Data dalam penulisan skripsi transformasi kepemilikan tanah sebagian besar diperoleh dari hasil wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa latar belakang kepemilikan tanah di desa Selo yang dulunya merupakan desa perdikan yang mana tanah desa ini merupakan tanah milik keraton Surakarta dan bebas dari segala macam pajak. Dan setelah Undang-Undang pokok Agraria disahkan maka desa ini tidak memiliki hak yang istimewa dan mempunyai status yang sama dengan daerah lain di Indonesia. Pada masa Orde Baru pemilikan tanah harus dibuktikan dengan sertifikat maka masyarakat harus mendaftarkan tanah miliknya agar mendapat perlindungan hukum dengan prosedur yang telah ditentukan. Pada masa reformasi peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 digunakan sebagai peraturan baru tentang kepemilikan tanah dan ukuran luas tanah yang harus dimiliki masyarakat. Kata Kunci : tanah petani, komplek tanah, undang-undang agrarian PENDAHULUAN Hampir dua setengah abad feodalisme dan kolonialisme menciptakan kehidupan miskin dan tertindas bagi rakyat terutama para petani. Hal ini yang menyebabkan gerakan nasionalime kemerdekaan untuk menyingkirkan unsur-unsur negara kolonial Hindia – Belanda yang dari gabungan kepentingan kaum feodalis dan kaum kapitalis asing. Sistem Feodal adalah suatu sistem ekonomi dimana raja beserta keluarganya dan para bangsawan, penguasa Daerah sebagai orang yang menguasai tanah dan rakyat sebagai abdi. Dalam sistem feodalisme alat produksi seperti tanah (milik para raja dan para bangsawan). Dalam alat produksi (Tanah) rakyat yang mengelola tanah hanya mempunyai hak menggunakan tidak mempunyai hak memiliki atau menguasai tanah karena tanah adalah milik para Bangsawan. Pemerintah kolonial Belanda dalam usaha penguatan status desa melakukan usaha
usaha
membenahi untuk desa-desa yang ada di Jawa. Hal tersebut dikarenakan bentuk desa-desa di Jawa merupakan bagian dari hukum feodal yang tidak otonom, sehingga pemerintah Belanda merubah Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
71
desa-desa di Jawa menjadi desa mandiri dan demokratis mempunyai hak otonom berdasarkan ikatan kontrak dengan Negara Kolonial. Setiap desa memiliki kepala desa yang dipilih langsung oleh rakyat. Setiap kepala desa mendapatkan gaji yang disesuaikan dengan kesuburan tanah serta berapa luas tanah tsb. Setiap desa mempunyai hak hukum tanah , sawah ataupun pekarangan yang mereka tempati dengan membayar pajak untuk luas serta tingkat kesuburan tanah. Dapat dikatakan bila dalam suatu masyarakat terjadi perubahan kehidupan secara ekonomi akan menimbulkan terjadinya perubahan kehidupan sosisal suatu masyarakat. Kehidupan sosial ekonomi petani di pedesaan Jawa nampak bahwa struktur agraris ditandai dengan ketimpangan distribusi penguasaan tanah yang cukup tajam. Hal ini memberi kesan bahwa di pedesaan Jawa terjadi kecenderungan pembagian masyarakat menjadi dua bagian yang berlawanan yaitu golongan petani miskin dan golongan petani kaya. Kemiskinaan ini merupakan kemiskinan struktural yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat mengakibatkan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yng sebenarnya tersedia bagi mereka (Soemardjan, 1980: 5). Perekonomian Indonesia adalah ekonomi pertanian maka pemerintah Indonesia memusatkan perhatian utamanya pada perkembangan pertanian, dengan pemusatan perhatian pada produksi bahan pangan dengan meningkatkan tanaman padi karena beras merupakan bahan makanan pokok. Dengan jalan ini pemerintah mengharapkan dapat mencukupi sendiri kebutuhan bahan pangan pokok tanpa harus mengimpor beras dari luar negeri. Pada awal Indonesia merdeka pemerintah Orde Lama tidak berhasil memperluas dasar dari kebijaksanaan di pedesaan, misalnya dengan jalan memperbaikai kehidupan petani kecil dan petani tidak bertanah melalui pelaksanaan landreform. Landrefrom menjadi starategi untuk mengatasi ketimpangan yanga terjadi karena perbedaan penguasaan tanah (Fauzi, 1999: 140). Program Landreform sangat ditentukan oleh kondisi suatu negara, sebab Landreform merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu negara. Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan Landreform tersebut. Di Indonesia program Landreform meliputi: 1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; 2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai; 3. Reditribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara; 4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; 5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; 6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagianbagian yang terlampau kecil.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
72
Meskipun MPRS telah menerima undang-undang landrefrom yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah. Permulaaan tahun 60an memang telah dilakukan usaha untuk melakukan perubahan dari bawah. Terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kaum buruh dan petani kecil berusaha melaksanakan undang-undang pokok agraria dengan menduduki tanah milik petani kaya yang mana tindakan ini mendapat dukungan dari serikat tani Indonesia sayap kiri seperti barisan tani Indonesia (BTI). Sebuah organisasi yang dibentuk PKI pada masa itu. Akibatnya di pedesaanpedesaan Jawa timbul ketegangan politik terutama pada tahun 1964-1965 dan akhirnya sengketa antara organisasi buruh tani dan petani kaya merupakan salah satu sebab dilancarkannya kudeta militer pada 1 Oktober 1965. Perubahan kekuasaan menyebabkan lahirnya suatu pemerintahan yang berjanji untuk memecahkan dilema dari produksi bahan pangan itu. Pada masa pemerintahan orde baru pemerintah mulai mengambil tindakan untuk mengurangi
impor beras dengan jalan
meningkatkan produksi dalam negeri dengan revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan program intensifikasi pertanian tanaman pangan khususnya beras dengan memperkenalkan dan memperlus teknologi baru dalam teknik bertani (Fauzi, 1999: 164). Selain itu peningkatan produksi pangan akan sangat membantu tindakan melawan inflasi yang berlarut-larut yang mengancam ekonomi nasional. Maka suatu proses perubahan kehidupan sosial yang muncul di pedesaan yang melahirkan proletarariat pertanian yang terdiri dari kaum petani yang tak memiliki tanah. Dipihak lain muncul tuan-tuan tanah besar dan golongan tani kaya. Proses ini dapat dihat dengan nyata di daerah-daerah dimana campur tangan pemerintah paling mencolok. Modernisasi telah membangkitkan pertanian komersiil dan kapitalisme pedesaan. Golongan atas pedesaan berhasil memperluas pengawasan mereka atas sumber yang paling penting yaitu tanah pertanian. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut perundang-undangan. Tanah merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa, merupakan kebutuhan yang hakiki dan berfungsi sangat esensial bagi kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa. Peradaban itu akan berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan tanahnya secara bijaksana Melihat gejala-gejala yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian yang memiliki kecenderungan yang dapat menimbulkan terjadinya perubahan kehidupan sosial maka penulis tertarik untuk mengangkat “Perubahan Kepemilikan Tanah Petani Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan sejak berlakunya UUPA 1960 dan PP no.24 tahun 1997”.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
73
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kepemilikan Tanah Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. (wikipedia, ensiklopedia bebas, www.google.com). Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan, dan tidak ada keharusan untuk menguasainya bersama-sama orang lain secara kolektif, namun dibalik ketentuan/peraturan menguasai dan menggunakan tanah secara kolektif bersama terbuka kemungkinan untuk diperbolehkan. Kepemilikan secara etimologi adalah penguasaan terhadap sesuatu. Kepemilikan secara termonologi adalah hubungan manusia dengan sesuatu (harta) yang memungkinkan untuk memanfaatkannya dan menggunakannya serta mencegah pihak lain menggunakannya. Bentuk kepemilikan tanah perseorangan baru muncul tatkala manusia sudah hidup menetap, bertani, dan beternak. Dalam perkembangan selanjutnya makin meningkatnya kebutuhan bagi produksi komoditi, muncullah bentuk - bentuk penguasaan tanah (land tenure) dalam bentuk pertuan tanah (landlordism) dan penyakapan bagi hasil (tenancy atau ground rent). (www.google.com) Jika dibandingkan antara pola pemilikan dan penguasaan tanah pada masyarakat barat dengan masyarakat negara – negara berkembang, kelihatannya memiliki perbedaan yang sangat fundamental. Dalam perspektif orang barat kepemilikan tanah tidak didasarkan atas status individu, akan tetapi hak atas tanah itu ditentukan atas siapa yang mengelolahnya. Sebaliknya di negara – negara sedang berkembang terutama Di Indonesia kepemilikan tanah didasarkan pada status sosial seseorang dalam masyarakat. Biasanya penguasaan tanah adalah milik para golongan bangsawan, sedangkan seseorang yang strata sosialnya dibawah hanya sering tampil sebagai penggarap bayaran atau upahan. Kepemilkan tanah di berbagai daerah di Indonesia juga ada yang dikenal dengan kepemilikan adat. Maksudnya adalah tanah itu hanya bisa dikelolah dan dimanfaatkan oleh adat pemilik tanah tersebut, karena kepemilikannya hanya untuk kepentingan bersama sebagai satu keturunan. Pengertian Petani Kata petani umumnya merujuk kepada orang yang mengelola kebun atau ladang dan menjalankan peternakan hewan (di negara maju). Biasanya hasil pertanian digunakan sendiri atau dijual kepada orang lain atau pihak lain misalnya melalui pemborong sebagai perantara untuk disalurkan ke pasar. Petani secara tradisional didefinisikan dalam sosiologi sebagai anggota komunitas dalam masyarakat agraris pedesaan. Petani merupakan seseorang yang terlibat dalam bidang pertanian. Mereka memelihara tumbuhan dan hewan untuk dijadikan makanan atau bahan mentah. Antaranya, kegiatan membiakkan binatang (sapi, ayam, kerba, kambing, domba dan lain-lain) dan menanam tanaman (padi, bunga, buah dan lain-lain). Seorang petani mengusahakan tanah miliknya atau bekerja sebagai buruh di kebun orang lain. Pemilik tanah yang mengusahakan tanahnya dengan mempekerjakan buruh juga dikenal sebagai petani atau buruh tani. Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
74
Berlakunya UUPA 1960 Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Agraria. Setelah mengalami beberapa penggantian kepanitian yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 Pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
METODE PENELITIAN Bentuk Penelitian Penelitian ini menggunakan bentuk pendekatan dalam memperoleh data dengan bentuk penelitian deskriptif kualitatif yaitu jenis penelitian yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan diwujudkan kedalam kata-kata. Dari data yang bersifat deskriptif itu peneliti melakukan analisis data untuk membuat generalisasi (S. Nasution,1996:128). Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya Ciri-ciri penelitian kualitatif adalah : (1) sumber data dalam kondisi sewajarnya, (2) penelitian tergantung pada kemampuan peneliti dalam mempergunakan instrumen yang tidak merubah situasi sewajarnya, (3) data yang dikumpulkan bersifat deskriptif, (4) proses maupun hasilnya sama penting, (5) analisis data dilaksanakan terusmenerus sejak awal dan selama proses penelitian berlangsung. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dengan judul ”Perubahan Kepemilikan Tanah Petani Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Sejak Berlakunya UUPA 1960 dan PP no.24 tahun 1997” adalah di Desa Selo kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, peneliti memilih melakukan penelitian di desa Selo karena desa Selo memiliki sejarah yang berkaitan dengan kerajaan mataram yang berada di Jawa karena Ki Ageng Selo merupakan leluhur raja-raja mataram dan untuk menghormati beliau tanah makam seluas 2 Ha dibebaskan dari pajak tanah. Subyek atau Unsur Penelitian Subyek adalah orang sebagai pelaku atau orang yang berkaitan, berpengaruh terhadap keadaan secara langsung. Dalam penelitian ini yang dimaksud subyek adalah masyarakat desa Selo kecamatan Tawangharjo kabupaten Grobogan, juru kunci makam Ki Ageng Selo. Subyek atau unsur penelitian di sini diharapkan dapat memberikan keterangan yang diperlukan dalam menyusun dan melengkapi penelitian ini.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
75
Pengumpulan Data Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara 2. Observasi 3. Studi Pustaka Alat pengumpulan data Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, diperlukan alat-alat sebagai berikut: a) Buku catatan Buku catatan digunakan untuk mencatat hasil wawancara dengan narasumber agar data yang diperoleh tidak hilang. b) Kamera Kamera berfungsi untuk mengambil gambar objek dan subjek yang diteliti HASIL PENELITIAN Pengaruh Landreform terhadap kepemilikan tanah petani desa Selo a. Berlakunya Landreform Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah. Pada dasarnya landreform memerlukan program reditribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. 1) Program Landreform Program Landreform bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi. Program Landreform sangat ditentukan oleh kondisi suatu negara, sebab Landreform merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu negara. Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan Landreform tersebut. Di Indonesia program Landreform meliputi: 1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah; 2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai; 3. Reditribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara; 4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan 5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
76
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. 2. Dasar utama dari landreform ialah UUPA masing-masing dalam: 1. Pasal 7 UUPA yang mengatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan” 2. Pasal 10 UUPA (1) “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan; (2) “Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan” 3. Pasal 17 UUPA (1)Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan dalam Pasal 2 Ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum; (2)Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat ; (3)Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. (4)Tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat (1) ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-an,dilaksanakan secara berangsur-angsur. (Harsono, 1984 :7) 3. Tujuan diadakan landreform Tujuan diadakan landreform adalah sebagai berikut: 1. Untuk menyempurnakan adanya pemerataan tanah; ada dua dimensi untuk tujuan ini; pertama, adanya usaha untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dapat dilakukan melalui usaha yang intensif, yaitu dengan reditribusi tanah; kedua, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan petani kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan antara petani secara menyeluruh. 2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah. (www.google.com) Sejak berlakunya landreform kepemilikan tanah petani desa Selo disesuaikan dengan aturan yang berlaku yaitu UUPA 1960 karena dasar dari Landreform adalah UUPA 1960 yaitu tentang pembatasan luas kepemilikan tanah. Dengan adanya pembatasan tersebut maka tuan tanah tidak dapat memiliki tanah dengan leluasa karena batas kepemilikan tanah dibatasi seluas 25 ha, jika lebih dari itu maka tanah kelebihan tersebut diberikan kepada petani tak bertanah atau buruh tani. Para petani tak bertanah tersebut mendapat tanah dari pemerintah Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
77
maksimal seluas 2 ha. Dengan mendapat tanah dari pemerintah petani desa Selo dapat mengolah tanah pertaniannya dan dapat memproduksi padi untuk memenuhi kebutuhan mereka. (wawancara dengan bp. Kepala desa Setyo Mulyadi ,01-09-13) Pengaruh PP No.24 Tahun 1997 Terhadap Perubahan Kepemilikan Tanah Masyarakat Desa Selo a. Isi PP no.24 Tahun 1997 Pasal 33 (3) UUD 45, menjelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh negara sebagai berikut : (1). Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 dan hal-hal sebagi yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2). Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk : 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD45) jelas apa yang dimaksud dari konsep meguasai atas tanah dari Negara. Dengan konsep tersebut UUPA hanyalah azas-azas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja oleh karena itu disebut Undang-Undang Pokok Agraria, mana tujuan pokoknya adalah: 1. meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebagianan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam masyarakat adil dan makmur; 2. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dalam hukum pertanahan; 3. meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dari tujuan ketiga tersebut, yakni memberikan kepastian hukum, dengan berlakunya UUPA pemerintah telah melakukan program pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 10 Tahun :1961 Tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Desa Selo Dalam Sosialisasi UUPA 1960 Dan PP No 24 Tahun 1997 Berdasarkan wawancara dengan bapak Kepala desa karakteristik masyarakat desa Selo yang berkarakter,adanya pondok pesantren sangat berpengaruh dengan karakter penduduk desa Selo menyebabkan masyarakat selo menjadi agamis, pekerjaan mereka sebagai pedagang menyebabkan Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
78
masyarakat selo memperoleh banyak pengalaman dari luar yang menyebabkan sikap kritis namun tetap taat aturan dan tidak suka berkonflik. Masyarakat Selo sangat terbuka dalam menerima informasi yang baru sehingga pemerintah desa tidak menemukan kendala yang cukup berarti dalam melakukan sosialisasi tentang UUPA 1960 tentang kepemilikan tanah serta PP no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Jika ada kendala yang ditemui adalah ketidaktahuan mereka tentang pentingnya pendaftaran tanah pertanian oleh masyarakat sehingga mereka melakukannya secara kolektif dengan harus didatangi oleh kepala dusun ke masing-masing rumah masyarakat selo, hal ini berakibat lamanya proses pendaftaran dan pengukuran tanah mereka. Namun seiiring berjalannya waktu dengan sosialisasi dan pendekatan yang terus menerus serta kemajuan tekhnologi informasi membuat masyarakat Selo sadar dengan pentingnya pemilikan tanah dengan pendaftaran tanah milik mereka diperkuat dengan terbitnya sertifikat sebagai bukti hak milik yang sah tanpa harus melalui pihak ketiga untuk melakukan pendaftaran tanah, sehingga mereka mengetahui banyaknya pajak yang harus dibayar tanpa adanya rasa khawatir dengan penipuan. Pemerintah desa Selo memfasilitasi masyarakat desa yang ingin mendaftarkan tanahnya dengan melakukan sosialisasi tentang pengadaan sertifikat massal dimana masyarakat desa di wajibkan membayar Rp. 2.000.000-,. Atau dengan program pemerintah Prona (Progran Nasional) tentang pendaftaran tanah dimana masyarakat dibebanka biaya jauh lebih murah yaitu Rp. 500.000-,. Namun jika ingin mendaftarkan tanah mereka sendiri masyarakat dapat melakukan pendaftaran rutin perseorangan dengan biaya Rp. 1.800.000-, sampai Rp. 2.000.000. atau dengan cara mendatangi notaris dengan biaya Rp. 3.500.000-,. Setelah melakukan sosialisasi pemerintah desa memberi kebebasan kepada warganya untuk memilih cara mendaftarkan tanah pertanian mereka. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah bab III mengenai pokok-pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah dimana pendaftaran tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia. Di Kabupaten Grobogan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh BPN kabupaten Grobogan yang melayani dan memberikan informasi tentang pentingnya mendaftarkan tanah agar mendapatkan perlindungan hukum jika suatu saat nanti terdapat konflik tentang perebutan tanah. Dalam prosedur pendaftaran tanah masyarakat desa Selo ini cukup mendatangi kantor kecamatan Tawangharjo dan meminta camat selaku pejabat pembuat akta tanah atau dapat mendatangi notaris yang ada di kabupaten Grobogan. ( wawancara dengan Bpk Kadus Bambang Haryono, 17 Agustus 2013) KESIMPULAN Dari hasil penulisan skipsi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa 1. Pemerintah menentukan ukuran pajak dari setiap petak tanah; Tanah dapat dinilai menurut jenisnya yaitu tanah basah (sawah) dan tanah kering (tegalan), serta pajak yang harus dibayar disesuaikan dengan jenis tanah, tanaman yang ditanam, apakah tanaman itu cukup air atau tidak. Luas tanah basah atau sawah desa Selo seluas 279,928 Ha dan tanah Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
79
tegalan seluas 96 Ha (data monografi desa Selo, 2007). Diketahui bahwa tanah desa Selo merupakan tanah tadah hujan yang mana mengandalkan pengairan atau Irigasi dari turunnya air hujan. Kondisi geografis yang kering serta jauh dari waduk atau sungai mengakibatkan tanah sawah ini tidak dapat digunakan dengan baik apabila musim kemarau tiba sehingga sawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada masa Orde Baru tanah yang dimintakan haknya harus memperhatikan kondisi fisik tanahnya serta usaha-usaha yang dilakukan, dan rencana pembangunan yang dilakukan dengan memperhatikan kelestarian alam daerah yang bersangkutan. 2. Perubahan PP no 10 tahun 1960 digantikan dengan PP no 24 tahun 1997; Dalam hal pendaftaran tanah peraturan mengenai hal ini terdapat dalam UUPA nomor 10 tahun 1961 yang kemudian pada tahun 1997 peraturan tersebut telah disempurnakan dengan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 mengenai pendaftaran tanah yang digunakan sampai sekarang. Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 merupakan reformasi dari UUPA nomor 10 tahun 1961. Pendaftaran tanah oleh masyarakat kabupaten Grobogan untuk menjamin kepastian hukum demi terjaminnya ketertiban dalam masalah pertanahan. Karena tidak selamanya hak atas tanah melekat pada pemiliknya (pemegang hak), hal ini disebabkan oleh adanya pemindahan kepentingan dari para pemilik tanah, misalnya jual beli, hibah, hibah wasiat, tukar menukar, pemasukan pokok, pemisahan dan pembagian harta warisan/ harta bersama maka pemilik tanah harus mempunyai sertifika sebagai bukti pemilikan tanah yang sah. 3. Sertifikat sebagai bukti kepemilikan yang sah Dalam memperoleh sertifikat harus melalui prosedur yang telah ditentukan, prosedur yang harus dilewati adalah melalui bagaimana cara memperoleh hak milik tanah yang jelas asal usulnya hal yang dimaksud adalah dasar dari hak milik, objek yang tidak melalui hasil rekayasa atas memperoleh tanah yang dapat terjadinya konflik dikemudian hari. Dengan demikian kewajiban dari pemilik tanah adalah melindungi hak milik atas tanah mereka adalah dengan cara membuat surat sertifikat untuk tanahnya untuk melindungi serta menghindari sengketa/ permasalahan yang mungkin timbul dikemudian hari serta sertifikat memudahkan pemilik tanah jika suatu saat nanti ingin memindahkan hak milik kepada orang lain. Dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 berisi tentang penyelenggaraan tanah yang pendaftaran tanah dilakukan oleh kepala kantor pertanahan yang dibantu oleh PPAT dan pejabat yang ditugaskan untuk melakukan pendaftaran tanah 4. Prosedur pendaftaran tanah; Seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah bab III mengenai pokok-pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah dimana pendaftaran tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia. Di Kabupaten Grobogan pendaftaran hak atas tanah dilakukan oleh BPN kabupaten Grobogan
yang melayani dan memberikan informasi tentang pentingnya
mendaftarkan tanah agar mendapatkan perlindungan hukum jika suatu saat nanti terdapat konflik tentang perebutan tanah. Dalam prosedur pendaftaran tanah masyarakat desa Selo ini cukup Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
80
mendatangi kantor kecamatan Tawangharjo dan meminta camat selaku pejabat pembuat akta tanah atau dapat mendatangi notaris yang ada di kabupaten Grobogan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Wijayanti putri.2001. Tanah dan Sistem Perpajakan. Yogyakarta: Yayasan Adikarya IKAPI Ali, Chidir. 1979. Yurispondensi Indonesia tentang Hukum Agraria. Bandung: Bina Cipta ARSIP Monografi dan Data Statis desa Selo.2007 Biro Hukum BPN. 1994. Pengadaan Tanah. Jakarta: Yayasan Bhumi Bhakti Adiguna BPN. 2004. Himpunan Peraturan Bidang Pendaftaran Tanah. Jakarta: BPN BPN Kabupaten Grobogan.2007. Informasi Pelayanan. Grobogan: BPN RI Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3S Collier, William. 1979. Pengamatan Pemilikan Tanah serta Landreform di Jawa. Jakarta: Gramedia Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gottschalk, Louis. 1979. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press Harja,Soemantri dkk. 1991. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Akademika Presindo Hatta, Mohammad.2005. Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Media Abadi Kartasapoetra, dkk. 1991. Hukum Tanah. Jakarta: PT Rhineka Cipta Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Jakarta Utama Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta Nasution, M. A. S. 1996. Azas- azas kurikulum. Bandung: Teratai Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Moleong, J Lexi . 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja Rosdakaraya Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan Wasino. 2006. Tanah dan Penguasa. Semarang: UNNES Press
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang |
81