Relasi Islam dan Negara: Mengupas Konsepsi Negara Perspektif Fiqh Hermanto Harun Universitas Kebangsaan Malaysia
Abstrak: Entitas negara merupakan bentuk logis dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Namun, dalam dinamika kajian dan praktik politik dalam prespektif Islam, posisi negara selalu menjadi topik bincang serius. Apakah posisi negara vis a vis agama, atau negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari realisasi pemahaman keberagamaan. Dari ruang diskusi ini kemudian, muncul beberapa spesifikasi keilmuan yang mengupas secara mendalam tentang negara, termasuk kedudukan negara dalam perspektif fikih. Dalam kajian relasi agama negara, para fuqaha telah mengupas dan menjelaskannya secara rinci, bahkan kajian tentang negara perpsektif fikih telah mengklasifikasi bentuk, tugas dan fungsi negara sebagai watsilah dalam menegakkan ajaran Islam. Kajian posisi negera perspektif fikih ini setidaknya memberi justifikasi bahwa persoalan politik—dalam hal ini—kedudukan negara dalam perspektif Islam menjadi sangat jelas, sehingga dapat memberi kejelasan dalam sumbang pemikiran tentang status negara dalam kaca mata agama, khususnya Islam.. Kata Kunci: Islam, negara, fiqh.
A. Pendahuluan Perbincangan mengenai negara dalam perspektif Islam selalu menjadi topik menarik, karena relasi negara dengan agama dalam kajian Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
152 HERMANTO HARUN
ulama fikih (fuqahâ) tidak secara tegas membahas persepaduan keduanya. Tidak adanya pembahasan tentang integrasi agama dengan negara secara konkrit, disebabkan pada masa awal Islam, hubungan agama dengan negara tidak menjadi suatu persoalan, mengingat semua masalah pengurusan dan administrasi berada di bawah kepemimpinan baginda Rasul. Maksudnya, secara kelembagaan, Nabi Muhammad SAW menjadi rujukan semua perkara yang berhubungan dengan urusan agama, sekaligus juga, dalam masa yang sama, merupakan pemimpin tertinggi negara. Hal ini senyawa dengan ajaran Islam yang berprinsipkan tawhid, dalam arti, Islam menekankan hubungan erat antara agama dengan negara, dengan penegasan yang jelas menafikan pemisahan antara agama dengan negara (al-dîn wa al-dawlah) karena tidak ada pemisahan antara agama dengan dunia (al-dîn wa al-duniâ) serta agama dan politik (al-dîn wa al-siyâsah). Namun, dalam dekade terakhir ini, terutama semenjak kerajaankerajaan Islam dikuasai oleh negara-negara Barat dan Eropa yang menganut faham dan ideologi Kristiani, faham pemisahan agama dengan negara menjadi paradigma yang dipaksakan kepada umat Islam. Sehingga, hampir mayoritas negara-negara yang berpenduduk muslim di dunia sekarang ini, berkiblat kepada sekularisme dalam sistem bernegara. Dalam sekularisme, yang berlaku adalah pemisahan antara spirit (kerohian) dan matter (kebendaan). Seterusnya berlaku pemisahan anatara wahyu (revelation) dan akal (reason) dan antara tradisi dengan modernisasi.1 Tularan paham sekularisme dari paradigma Barat, akhirnya membangkitkan kembali pelbincangan status negara dalam agama, khususnya posisi negera dalam dogmatik Islam. Ajaran Islam yang bercorak universal dan integral, dihadapkan pada suatu tantangan yang coba mengisolasikan ajaran luhurnya dalam ruang privat. Sementara urusan negara merupakan persoalan publik yang tidak boleh dicampurkan dengan agama, karena, negara tidak hanya dimiliki oleh rakyat satu agama, akan tetapi melindungi rakyat yang beraneka ragam, baik agama, suku dan budaya. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 153
Dari itu, sebuah tantangan untuk mendiskripsikan konsep negara dalam perspektif Islam. Karena dirasa perlu untuk membincangkan perkara yang berhubungkait dengan negara, baik defenisi, kedudukan, bentuk, karakteristik dan peran negara perspektif Islam.
B. Definisi dan Kedudukan Negara Secara substansial, pembahasan negara telah ada semenjak manusia membentuk suatu komunitas. Adalah fakta yang amat biasa, seperti yang dikemukakan sejak zaman Aristoteles bahwa manusia itu makhluk sosial.2 Dari itu, wujud sebuah negara merupakan suatu keharusan dalam mengatur hubungan sosial masyarakat. Hubungan antar kelompok masyarakat memerlukan sebuah institusi, karena dalam berinteraksi antar sesama manusia, terdapat banyak kepentingan yang kadang mengarah kepada pertentangan dan kekacauan. Dari sini, entitas negara menjadi urgent, karena negara merupakan organisasi dalam satu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Negara juga dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, kelompok organisasi, maupun oleh negara itu sendiri.3 Secara literal, ungkapan negara dalam bahasa arab sering dibahasakan menjadi dawlah. Dalam bahasa Yunani diterjemahkan menjadi koinomia politike yang diartikan sebagai masyarakat madani dan dalam bahasa Latin diterjemahkan res publica atau civitas.4 Kata dawlah berarti menguasai atau mengalahkan, atau daerah, kawasan yang telah menggunakan sistem pemerintahan dan keleluasaan (istiqlâl) politik.5 Kata dawlah dinamai juga dengan aldawlah al-ummah (nation state) yang menurut istilah klasik mesti memiliki tiga hal; rakyat, wilayah dan pemerintahan yang mampu menjaga dan menguasai wilayahnya dan dapat melakukan kerjasama Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
154 HERMANTO HARUN
dengan negara-negara lain.6 Kata dawlah terlahir dari proses perjalanan sejarah politik umat Islam, dimana pada mulanya, ungkapan dawlah kurang popular dalam istilah kekuasaan. Sehingga, pada dekad awal Islam, yang terkenal adalah Istilah sulþâniyah, kemudian berkembang menjadi mamlakah, karena keadaan negeri-negeri tersebut berada di bawah kekuasaan kesultanan. Pada masa berikutnya, sebutan mamlakah berganti menjadi dawlah, terutama pada masa dinasti Uthmâniyahdimana bangsa Turki tidak mengenal istilah ini-dan mereka mengambil nama dawlah sejak masa kekuasaan cAbbasiyah akhir, ketika mamlakah sedang mengalami perpecahan dan perebutan kekuasaan antara tentara dan para menteri vis a vis gabenor dan amir di negeri-negeri yang jauh dan dekat dari ibukota Baghdad, seperti Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang berasal dari silsilah Arab dan Adhudud al-Dawlah al-Buwaihi yang lahir di Persia.7 Dalam kenyataannya, istilah dawlah telah dipergunakan sebelum itu, bahkan kata dûlah yang memiliki akar kata yang serupa dengan kata dawlah, telah ditulis dalam kitab suci al-Qur’an.8 Akan tetapi, pemaknaan kata dawlah dengan arti kekuasaan telah banyak digunakan, seperti khuþbah Hasan bin cÂlî di depan Khalîfah Mucâwiyah ketika di Kufah, dan pembicaraan Abu al-cAbbâs al-Saffah di Masjid Kufah setelah kejatuhan dinasti Banî Umayyah.9 Bertolak dari penjelasan di atas, istilah dawlah berkembang sampai saat ini, sehingga secara politik diartikan sebagai sekelompok manusia yang menduduki suatu wilayah tertentu secara berterusan dan tunduk di bawah suatu kekuasaan politik atau pemerintahan.10 Dalam istilah bahasa Inggris, negara (dawlah) diterjemahkan menjadi state, country dan nation.11 Penerjemahan ini menggambarkan bentuk negara perspeptif Barat yang bermula dari lahirnya Triniti Wesphalia pada tahun 1648, konsep ini yang memperkenalkan format negara modern yang berbentuk negara bangsa (nation state). Konsep negara bangsa ini muncul di Barat ketika ruang dan cakupan agama dibatasi hanya dalam wilayah vartikal dalam kehidupan individu yang bersifat privat dan tidak mencakupi segala aspek kehidupan yang Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 155
bersifat publik. Keadaan seperti ini berlaku terhadap berbagai negara modern di dunia sekarang ini. Konsep negara bangsa itu bertolak dari berbagai definisi negara yang digagaskan oleh para ilmuan. Soltau, mendefinisikan negara sebagai alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan problematika bersama atas nama masyarakat. 12 Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Sedangkan menurut Cicero, seorang pemikir Roma, negara adalah timbulnya pemikiran sehat masyarakat banyak yang bersatu untuk keadilan, dan berpartisipasi bersama dalam keuntungan.13 Di sisi lain, Thomas, mengikuti Aristoteles, melihat negara sebagai suatu sistem tukar-menukar pelayanan demi mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama. Negara, sebagaimana manusia, harus tunduk kepada hukum alam. Bila melawan atau menentang hukum alam, berarti negara menempatkan dirinya berdepan dengan dirinya sendiri yang akan membawanya kepada kehancuran. Sama seperti manusia melawan kodratnya sendiri. Hukum kodrat inilah yang melandasi perilaku dan aspirasi manusia membentuk negara.14 Dalam perspektif Islam, definisi negara secara terperinci seperti yang dirumuskan oleh pemikir Barat, hampir tidak dijumpai. Hal ini karena pada dasarnya Islam merupakan agama yang tidak membatasi ajarannya kepada suatu kaum dan wilayah tertentu saja. Ajaran Islam (sharîcah) juga tidak membataskan ruang pada masa tertentu, akan tetapi merupakan suatu ajaran yang menyeluruh, yang selalu memberi solusi terhadap segala keperluan umat, dan mengangkat derjatnya pada setiap zaman.15 Kemudian, diperintahkannya Rasul SAW untuk berdakwah kepada seluruh manusia menunjukkan bahwa bentuk negara dalam Islam itu bersifat mencakupi seluruh dunia ( câlamiyah).16 Inilah gambaran ajaran Islam yang bersifat universal, yang kemudian diterjemahkan oleh Rasul SAW dalam kehidupannya, baik dalam Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
156 HERMANTO HARUN
kapasitasnya sebagai utusan Allah SWT maupun sebagai manusia yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Universalitas Islam tentunya mencakupi persoalan negara, walau bincang tentang bentuk negara, pada masa awal sejarah Islam juga tidak menjadi prioritas, karena, selain masih adanya Rasulullah SAW sebagai pemimpin, baik dalam urusan yang berkaitan dengan hal keduniaan, apatah lagi yang berhubungan dengan persoalan keagamaan. Setelah meninggalnya Rasulullah SAW, wacana kepemimpinan umat menjadi persoalan besar. Bahkan disebutkan oleh Ibn Ishâq sebagai musibah besar bagi kaum muslimin hingga berhimpunnya umat dibawah kepemimpinan Abu Bakar. 17 Perbedaan pendapat ketika menentukan siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah SAW yang dikenal dengan peristiwa Saqifah Banî Sacidah, dimana kelompok Ansâr lebih cenderung memilih Sacad bin cUbâdah dan Muhajirin berpihak kepadah Abû Bakar.18 Kedua kelompok sahabat ini sama-sama mengklaim lebih berhak untuk menjadi khalifah. Bermula dari kajadian ini, pergantian kepemimpinan dalam sejarah khilafah Islam, utamanya pada masa khulafâ al-râshidin menunjukkan akan keragaman sistem dalam mengangkat sorang pemimpin umat. Di sini tampak akan pentingnya kepemimpinan dan baicat seorang khalifah setelah meninggalnya Rasul SAW, karena para sahabat tetap menginginkan mereka tetap di bawah naungan satu jama’ah. Dari sini kemudian terlihat wujud makna negara (dawlah) seperti dalam pandangan modern.19 Perjalanan sistem khilafah Islam dipentas sejarah begitu unik, sehingga menimbulkan berbagai penafsiran terhadap bentuk negara dalam perspektif Islam. Sehingga para ulama dan pemikir muslim telah banyak membincangkan konsep tentang negara. Perbincangan tersebut tidak hanya bertumpu pada konsep teoritik, namun juga menyentuh bidang politik secara amaliah, sehingga acapkali terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam yang kadang membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan internal umat Islam. Perbedaan pandangan tersebut, selain disebabkan oleh faktor sosial, juga disbabkan dari latar belakang budaya bangsa muslim yang Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 157
beragam. Selain kedua faktor itu, faktor yang bersifat teologis, yaitu tidak ada keterangan tegas dari sumber teras Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah tentang format negara dan pemerintahan perspektif Islam. Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalîfah, dawlah, dan hukûmah, namun istilah tersebut berada dalam kategori ayat zanniyat yang membolehkan penafsiran.20 Ragam pandangan ulama tentang negara dan pemerintahan juga disebabkan oleh perbedaan persepsi mereka tentang kepentingan kedua konsep tersebut. Sebagian ulama menganggap bahwa negara dan pemerintahan adalah berbeda dari sudut falsafah. Pemerintahan adalah corak kepemimpinan dalam mengatur kepentingan publik (berhubung dengan kaidah dan strategi politik), sedangkan negara merupakan institusi politik sebagai wadah pengurusan pemerintahan (berhubung dengan bentuk atau format politik). Sebagai hasilnya, perbincangan tentang negara dan pemerintahan dapat dilakukan secara terpisah seperti membicarakan strategi pengurusan dan pengisian pemerintahan tanpa mempersoalkan bentuk negara. Sebagian ulama lain menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, sehingga pembicaraan tentang pemerintahan tidak boleh terlepas daripada pembicaraan tentang negara.21 Adanya anggapan bahwa tidak adanya penyebutan negara dalam al-Qur’ân dan al-Sunnah secara jelas (sarîh) tidak berarti tidak ada kewajipan untuk mewujudkan format negara dalam ajaran Islam. Karena keberadaan negara merupakan keperluan masyarakat dan adanya negara telah dicontohkan oleh Rasul SAW dan diteruskan di zaman sahabat. 22 Memang, ide negara Islam relatif baru, dan persentuhan Islam dengan negara terjadi semenjak hijrahnya Rasul SAW dari Makkah ke Madinah. Akan tetapi, bagi Islam, untuk berkembang sebagai komunitas negara (statehood) merupakan hal yang sangat diperlukan. Itulah sebabnya kemudian menjadikan hijrah menjadi cikal pekembangan konsep kenegaraan di Madinah.23 Wujud negara dalam perspektif Islam, merupakan suatu yang mesti ada, karena perkumpulan manusia mesti memiliki suatu sistem Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
158 HERMANTO HARUN
politik untuk mengatur segala urusan mereka.24 Searah dengan itu, Ibnu Sînâ juga menjelaskan, bahwa, manusia tidak akan dapat berdiri dengan aturannya sendiri, kecuali bersekutu dengan dengan komunitas sejenisnya.dan manusia wajib untuk berinteraksi secara adil dalam pengawasan sharac, yang diatur oleh keistimewaan sharic dengan hak ketaatan. 25 Selain itu juga, sabda Rasul SAW yang berbunyi; “sesiapa yang melepaskan pegangan tangannya dari taat, maka Allah SWT menjumpainya pada hari kiamat dengan tanpa hujah baginya. Dan siapa yang mati dan tidak melaksanakan baicat, maka mati dalam keadaan jahiliyah”.26 Hadith di atas menyatakan bahwa seorang muslim yang tidak melaksanakan bai cat akan mati dalam keadaan jahiliyah. 27 Ini menunjukkan bahwa Rasul SAW menegaskan akan pertingnya sebuah sistem kekuasaan dalam masyarakat. Dari sini juga titik tolak (muntalaq) akan kemestian terhadap adanya sebuah negara sebagai suatu keperluan dasar dalam sistem sosial masyarakat.28 Akan tetapi, menurut al-cAshmâwî, keperluan negara (hukûmah) bagi masyarakat memang suatu yang tidak dapat diingkari, namun, negara tidak semestinya berbentuk khilâfah islâmiyah (negara Islam), karena, akan menyebabkan kebingungan antara negara civil (khilâfah madaniyah) dengan khilâfah dîniyah (negara agama). Perbedaan keduanya sangat jelas, bahwa khilâfah madaniyah adalah suatu sistem yang didirikan oleh rakyat (jamâcah) yang berteraskan nilainilai kesepakatan mereka, berorientasi kepada apa saja yang mereka inginkan dan senangi. Sedangkan khilâfah dîniyah atau al-hukm aldînî ialah negara yang melaksanakan sistem agama sehingga apa yang dikatakan, diamalkan, dan apa yang dihukum oleh para pemimpin seolah menjadi firman, amalan dan hukum Tuhan.29 Pendapat cAsmâwî tersebut, menafikan keberadaan negara Islam, karena menurut dia, negara Islam sama bentuknya dengan sistem teokrasi yang pemimpinnya sangat otoriter yang anti kritik dan bersifat suci tampa dosa. Pendapat ini sealur dengan gagasan yang diusungkan oleh cÂlî Abd al-Râziq, yang menyatakan bahwa wilayah kenabian Muhammad SAW atas kaum beriman hanya semata Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 159
dalam ruang risalah (wilâyah risâlah) yang tidak boleh dicampurasukkan dengan persoalan pemerintahan, apatah lagi negara, kepentingan-kepentingan politik dan tujuan-tujuan raja dan penguasa.30 Kedua pendapat di atas, jelas bertentangan dengan kedudukan dan status negera dalam perspektif Islam. Menurut Muhammad c Imârah, ketika al-Qur,ân memerintahkan kepada para pemimpin (ûlî al-amr) untuk melaksanakan amanah kepada yang berhak, menegak keadilan hukum, dan juga memerintahkan kepada manusia untuk taat kepada pemipin, dan kemudian mewajibkan kepada kepada umat dan negara (ummah wa al-dawlah) dengan kekuasaan yang ada di dalamnya untuk merujuk kepada al-Qur,ân dan al-Sunnah untuk merujuk segala persoalan hukum. Hal ini merupakan inti dari pemahaman ayat al-Qur,ân terhadap negara Islam (al-khilâfah alislâmiyah) yang terdapat dalam al-Qur,ân, seperti dalam surat alNisâ’: 58-59.31 Ayat tersebut merupakan khitab kepada pemimpin-pemimpin Islam, khususnya kepada Rasul SAW dan para sahabatnya, kemudian juga untuk orang-orang setelah mereka, bahkan juga kepada seluruh makhluk,32 Ayat itu juga merupakan pondasi kehidupan bagi umat yang mesti dijalankan, karena menjalankan amanah kepada yang berhak dan melaksanakan hukum secara adil, keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan kehidupan dan kebahagiaan umat.33 Menurut al-Qaradâwî, ayat itu menjadi dalil terhadap adanya negara dalam Islam, karena kandungannya mengkhitab pemimpim dan umat sekaligus. Khitâb pertama kepada pemimpin, agar menjalankan amanah dan menegakkan keadilan hukum, karena jika kedua aspek ini telang hilang, maka akan mengakibatkan kehancuran umat dan keruntuhannya. Adapun khitâb yang kedua kepada umat, supaya selalu mentaati para pemimpin, dan menjadikannya setelah taat kepada Allah SWT dan Rasul SAW, juga memetintahkan untuk mengembalikan segala perbedaan pendapat hanya kepada Allah SWT dan Rasul SAW yaitu ajaran yang terdapat dalam al-Qur’ân dan Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
160 HERMANTO HARUN
Hadîth. Ini berarti diwajibkan kepada kaum muslimin mempunyai negara, jika tidak, maka perintah tadi hanya sia-sia belaka.34 Selain dukungan dalil al-Qur’ân tentang perlunya negara, juga, dari perpektif sejarah telah dibuktikan, bahwa Madinah merupakan dâr al-islâm, dan sebagai dasar dari negara Islam baru yang langsung dipimpin oleh Rasulullah SAW sekaligus nabi dan Rasul yang diutus kepada umat.35 Wujud negara Madinah merupakan suatu bukti akan kesesuaian Islam dengan pemahaman politik dan kenegaraan. Bahkan, keberadaan negara merupakan suatu yang mutlak adanya (badihiyât) atau merupakan suatu yang wajib adanya dalam perspektif agama (al-maclûm min al-dîn bi al-darûrah), karena Islam itu terdiri dari akidah dan sistem hukum, agama dan negara, dan pemerintahan Islam merupakan bagian dari akidah atau juga bagian dari perkara yang telah diwjibkan Allah SWT.36 Ibn Taimiyah menyatakan bahwa wajib adanya negara dan kekuasaan bukan merupakan pendapat baru, namun merupakan pendapat ulama terdahulu (salaf al-sâleh) seperti yang diriwayatkan oleh al-Marwazî dari Imâm Ahmad, bahwa bagi kaum muslim wajib mempunyai seorang hakim (penguasa), jika tidak, maka akan menghilangkan hak-hak manusia.37
C. Beberapa Bentuk Negara Kemutlakan akan adanya suatu negara, seperti yang telah dijelaskan di atas, adalah bentuk dari keperluan dalam mengatur jalur lintas kepentingan antara sesama manusia. Dari itu, peranan negara memiliki kekuatan yang tidak dapat dibantah lagi, karena negara merupakan wasilah dalam menegakkan kemaslahatan, baik yang berhubungan dengan makhluk maupun dengan Tuhan. Akan tetapi, konsep dan bentuk sebuah negara tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan bentuk negara, terutama negara modern sekarang ini, disebabkan oleh adanya rasa nasionalisme yang berawal dari doktrin politik yang dibangkitkan di Eropa, yang mana setiap puak manusia dibagikan kepada latar Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 161
belakang sejarah, bahasa dan corak lainnya untuk membentuk negara bangsa yang berdaulat.38 Pembagian jenis negara dalam kajian ini tidak bertolak dari konsep dan sejarah negara bangsa (nation state) seperti penjelasan di atas. Karena, ketika mendefenisikan negara Islam, maka pemahamannya mencakupi pengertian yang jauh lebih luas. Pengertian negara Islam, setidaknya mencakupi dua unsur dasar. Pertama, unsur akidah, yang lahir dari akidah tawhîd dan segala sesuatu yang datang dari manhaj Tuhan yang universal. Kedua, unsur kemanusiaan, yang terdiri daripada tiga pondasi, seperti ummah, imâm dan ahl al-halli wa al-caqdi. Unsur akidah mesti menyatu dalam unsur kemanusiaan, dan keberadaan unsur kemanusiaan merupakan pelengkap dari keperluan bagi unsur akidah.39 Jika merujuk kepada konsep ini, maka batasan wilayah negara Islam tidak terbatas kepada pembagian batas teritorial geografis semata, namun lebih luas dari itu, teritori negara Islam adalah dimana Islam diyakini oleh manusia. Dari sini kemudian lahir beberapa istilah dalam pembagian negara Islam yang berdasarkan batasan akidah dan keyakinan, seperti dâr al-islâm, dâr al-harb, dan dâr al-sulh. Akan tetapi, dalam kajian modern yang mengangkat terma negara bangsa (nation state) ada lagi jenis yang disebut dengan muslim state (albilâd al-islâmiyah), yaitu dimana sebuah negara mayoritas rakyatnya beragama Islam. Polarisasi bentuk negara menjadi dâr al-islâm dan dâr al-harb sebenarnya tidak memiliki rujukan yang sarîh, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. Akan tetapi pembagian ini menurut para fuqahâ bertujuan, diantaranya untuk mengatur persoalan umat Islam. Hal ini melihat kepada keperluan umat Islam untuk bersatu dalam menghadapi tantangan dan permusuhan pihak luar, sehingga diperlukan menjaga identitas umat dan jamaahnya, karena hakikatnya negara Islam itu adalah satu. Juga untuk menjelaskan hukum syara’ dan mengaturnya bagi kaum muslimin dan kaum selain mereka. Kemudian, merealisasikan fikih kepada waqi’ hubungan kaum muslimin dengan yang lain serta menjelaskan hukum syara’ Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
162 HERMANTO HARUN
yang berhubungan dengan hubungan internasional.40 Dâr al-Islâm Ungkapan dâr al-islâm merupakan istilah yang bermaksud menjelaskan negara Islam. Istilah ini sangat masyhur dalam kajian fuqahâ terdahulu yang memiliki pengertian yang sama dengan istilah dawlah dalam kajian modern. Penyebutan dawlah dalam istilah modern pada umumnya bermakna negara Islam.41 Secara bahasa, dâr berarti tempat (al-mahall), wilayah (albalad) dan negara (al-watan).42 juga boleh diartikan sebagai naama dari lapangan, bangunan dan tempat.43 Dari sini, kota Madinah boleh disebut dâr karena merupakan tempat golongan orang beriman,44 seperti yang dimaksud oleh firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr.45 Makna lughawi dari dâr dalam ayat tersebut searah dengan penafsiran para ulama yang menyebutkan bahwa Madinah merupakan dâr al-hijrah yang sebelumnya telah diduduki oleh golongan orang yang beriman, yang mana iman itu telah menetap dalam hati mereka (Ansâr).46 Adapun makna istilahi dari dâr itu, tidak berbeda dengan pengertian kata dawlah dalam perpektif modern,47 karena dâr juga berarti balad,48 yang bermakna setiap tempat yang dimanfaatkan di muka bumi baik yang dihuni maupun tidak.49 Selain itu juga, kata balad banyak disebut di dalam al-Qur’ân yang antaranya bermakna negeri yang subur (al-balad al-tayyib),50 atau sebutan daripada negeri Makkah,51 dan bentuk jama’ (plural) daripada kata balad ialah al-bilâd atau buldân52 yang juga selalu digunakan untuk terma negara sepeti al-bilâd al-islâmiyah (negara-negara Islam). Timbulnya istilah dâr al-islâm bertolak dari hijrahnya Rasul SAW ke Madinah, bahkan berawal semenjak perjanjian kedua (baicat al-caqabah al-thâniyah) dimana mencakupi wilayah Yathrib yang terdiri dari berbagai kaum, baik dari Aus dan Khazraj di bawah kepemimpinan Muhammad SAW.53 Di Madinah, umat Islam memiliki keistimewaan daripada orang-orang musyrik. Umat Islam hidup dengan penuh kedamaian di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 163
Pelembagaan kepemimpinan Rasul SAW tersebut menjadi unsur penting dalam membentuk sebuah negara, karena negeri Yathrib yang selanjutnya berubah nama menjadi Madinah, secara politik, telah berubah menjadi negara dengan kekuasaan baru yang dipimpin secara langsung oleh Rasul. Dengan demikian, Madinah bergerak menjadi kota baru dengan kekuatan agama Islam, dan agama Islam tidak akan berjaya tanpa Madinah.54 Bermula dari sejarah Madinah, sebutan dâr al-islâm atau dawlah islâm mempunyai rujukan sejarah, sehingga dalam perspektif fikih, dâr al-islâm didefinisikan sebagai negara yang berdasarkan kesatuan politik, yang mencakupi semua wilayah Islam untuk mewujudkan tujuan dasar Islam yang memiliki kekuatan kesepaduan dan satu tujuan dengan diatur oleh satu sistem politik yang bertujuan untuk merealisasikan kebaikan, maslahat bagi semua.55 Penggunaan istilah ini juga pernah di ungkapkan oleh Khalid bin Walid ketika diperintahkan oleh Khalifah Abu Bakr dalam mengajak kaum Hirah dan pimpinan mereka kepada Islam. Ungkapan itu menyatakan jika mereka (ahl al-hirah) keluar selain dari dâr al-hijrah dan dâr al-islâm maka umat Islam tidak berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga mereka.56 Akan tetapi, dalam memberikan definisi dâr al-islâm, banyak dijumpai perbedaan pendapat yang didengungkan oleh para fuqahâ. Dari mazhab Hanafiyah, dâr al-islâm didefenisikan sebagai setiap negara yang nampak jelas pelaksanaan hukum Islam.57 Sedangkan mazhab Malikiyah berpendapat, bahwa dâr al-islâm adalah negara yang menegakkan syi’ar Islam atau melaksanakan majoritas ajarannya.58 Dari kalangan Syafi’iyah berpendapat lain, bahwa dâr al-islâm adalah setiap tempat dimana masyasrakatnya mampu mengbendung permusuhan kafir harbi.59 Sedangkan Ibn Qayyim alJawziyah dari mazhab Hanâbilah, menyatakan bahwa dâr al-islâm adalah negara dimana penduduknya terdiri dari orang-orang Islam dan disana direalisasikan hukum Islam.60 Imam al-Nawawi membagikan dâr al-islâm kepada beberapa bentuk, yang kemudian dijelaskan oleh Mohd Nasran menjadi empat Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
164 HERMANTO HARUN
devisi,61 yaitu: 1.Wilayah yang telah ditaklukkan oleh umat Islam (fi bilâd ahdathnâhu) seperti Kufah, Basrah dan Kairo. 2.Wilayah yang telah memeluk Islam dengan penuh kebebasan (aslama ahlahu calayhi) seperti Yaman dan Madinah. 3.Wilayah yang ditaklukkan dengan damai (wa mâ futiha cunwatan) seprti Infahan dan Maghrib. 4.Wilayah yang dikuasai dengan perjanjian perdamaian (sulh) seperti Bait al-Maqdis. Pembagian bentuk dâr al-islâm oleh Imam Nawawi tersebut disyarahkan oleh Sheikh al-Sharbînî yang menegaskan tentang kewajiban umat Islam setelah akad perlindungan terhadap golongan kufar yang berhubungan dengan jiwa dan harta, juga yang berkaitan dengan aturan pembangunan rumah gereja (kanîsah) mereka.62 Banyaknya ragam pendapat pada fuqahâ tentang definisi dâr al-islâm, semua itu hanya pada level bentuk pengungkapan (siyâghah lafziyah) sahaja, karena pada hakikatnya, semua berhalatuju pada satu muara, yaitu; adanya kekuasaan yang dimiliki oleh umat Islam di atas negara tersebut, sehingga boleh mengangkat hukum Islam dan segala shicarnya.63 Namun demikian, pelbincangan definisi tentang dâr al-islâm (negara Islam) sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat didiskusikan, sehingga di dalam Ensiklopedia Fikih, kalimat dâr alislâm tetap mendapat ruang untuk didefinisikan. Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan bahwa dâr al-islâm ialah setiap negeri atau wilayah yang menzahirkan secara formal hukum Islam.64 Sesuai perkembangan zaman, definisi dari dâr al-islâm juga semakin meluas, karena selain dari esensi defnisi tersebut bertolak dari konsepsi ijtihad para fuqahâ yang sangat mungkin terkontaminasi oleh dinamika sosialnya, juga dalam realitas interaksi dunia dalam peta globalisasi sekarang ini, dimana hubungan antara negara bangsa tidak lagi banyak dipengaruhi oleh kepentingan agama, akan tetapi juga oleh kepentingan politik, ekonomi sosial dan budaya. Maka seiring dengan itu, definisi dâr al-islâm juga semakin Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 165
meluas. Menurut Muhammad Sadiq cAfîfî, dâr al-islâm ialah negara yang dikuasai hukum Islam, baik secara undang-undang maupun pelaksanaan, juga kekuatan dan izzah bagi umat muslim, baik mayoritas rakyatnya muslim atau bukan Islam. Negara ini menjadi tanah air (waþan) umat Islam apapun jenis bangsanya, atau tempat dilahirkannya. Mereka (umat Islam) bebas dengan segala hak, baik sivil maupun hak beragama. Juga mereka berkewajiban untuk menjaga, mempertahankan agama, kekayaan dan kehormatannya dari serangan musuh dan menjamin kemuliaan dan keagungan setiap individu yang hidup di atas tanah negara itu.65 c Abd al-Qâdir cAwdah mendefnisikan dâr al-islâm sebagai suatu negara yang menzahirkan hukum Islam, atau adanya kemampuan rakyat yang bergama Islam untuk melaksanakan hukum Islam, atau setiap negera yang seluruh atau mayoritas rakyatnya beragama Islam, atau setiap negeri yang dikuasai oleh kaum mislimin dan memegang kekuasaan, meskipun mayoritas rakyatnya beragama non Islam, atau juga negeri yang dipegang kekuasaannya oleh non muslim tetapi rakyat yang muslim boleh melaksanakan hukum Islam atau tidak dihalangi oleh mereka untuk menzahirkan hukum Islam.66 Perkembangan defenisi seperti yang diungkapkan cAwdah di atas, boleh dikatakan bahwa semua negara yang berpenduduk muslim dapat dikategorikan sebagai negara Islam. Akan tetapi persoalannya, dimana banyak terjadi, yang menghalangi pelaksanakan hukum Islam tersebut bukan dari kelompok luar Islam, tetapi dari kalangan muslim sendiri. Hal ini karena konteks dunia modern sekarang, dimana hampir semua negara yang berpenduduk mayoritas muslim tidak lagi menjadikan sharicah sebagai hukum pisitif (qânûn) negara, sebagai akibat dari pengaruh peradaban Barat yang menanam pengaruhnya ketika menjajah negara-negara Islam pada beberapa abad silam. Sebagai dampaknya, kajian tentang sistem negara dalam perspektif fikih Islam hanya sebatas wacana teoritik yang tidak lagi menyentuh realitas kehidupan umat dalam bernegara-bangsa.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
166 HERMANTO HARUN
Dâr al-Harb Setelah memahami definisi dari dâr al-islâm, maka mudah untuk dipahami bahwa dâr al-harb berarti kebalikan dari negara Islam. Istilah dâr al-harb mempunyai makna yang sama dengan dâr al-kufr dan dâr al-shirk.67 Namun para fuqahâ tidak sependapat tentang entitas ungkapan dâr al- harb. Di sini, setidaknya terdapat dua mazhab: 1. Mazhab mayoritas fuqahâ (jumhûr al-fuqahâ) seperti alShaficiyah, Hanâbilah, Mâlikiyah dan Zâhiriyah berpendapat bahwa negara yang tidak menegakkan hukum (sharicah) Allah SWT dan tidak menzahirkannya, kemudian melaksanakan hukum kufr, maka ini berarti disebut juga sebagai dâr al-kufr atau dâr al-harb.68 Pendapat ini berargumentasi rasionalitas, bahwa kata dâr disandarakan kepada al-islâm atau al-kufr disebabkan adanya Islam ataupun kufur. Keduanya jelas dapat ditentukan dengan adanya pelaksanaan hukum Islam atau kufur, dan apabila hukum Islam yang dilaksanakan, maka disebut dâr al-islâm, dan apabila hukum kufur yang direalisasikan, maka disebut dâr al-harb. 2. Mazhab Abû Hanîfah yang menyatakan bahwa dâr al-islâm tidak dapat menjadi dâr al-kufr hanya karena adanya pelaksanaan hukum kufur, kecuali disebabkan oleh tiga syarat; Pertama, jelasnya hukum kufur. Kedua, apabila bersatu dan berhubungan dengan negara kufur. Ketiga, tidak ada lagi rasa aman, baik muslim maupun zimmi di bawah pengawasan keamanan golongan muslimin.69 Pendapat ini berhujah bahwa manyandarkan kata al-dâr kepada al-islâm atau al-kufr bukan berarti yang dimaksud itu esensi Islam dan Kufur, akan tetapi yang dimaksud disini ialah rasa aman dan takut. Artinya, jika rasa aman itu sepenuhnya dirasai oleh kaum muslimin, maka itu disebut dâr al-islâm. Namun jika sebaliknya, rasa aman dikuasai penuh oleh kaum kufar, dan kaum muslimin merasa tidak aman, maka ini disebut dâr al-kufr. Selanjutnya, perubahan dâr al-islam kepada dâr alMedia Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 167
kufr hanya disebabkan oleh tampaknya hukum kufur, hal ini hanya kemungkinan yang belum pasti. Maka tidak boleh berubah sifat dâr islâm yang telah dirasa yakin kepada dâr al-kufr yang masih sebatas kemungkinan, karena suatu yang telah yakin telah boleh dihilangkan dengan keraguan (syak).70 Namun secara umum, ada dua gambaran dari dâr al-harb. Pertama, ada beberapa bentuk dari maksud dâr al-harb dalam perspektif Islam : 1). yaitu sebuah negara yang menggenderangkan perang terhadap umat Islam. 2). Negara yang sebelumnya di bawah kekuasaan Islam, namun berkhianat dan mengingkari janji, juga melakukan tindakan yang menakutkan. 3). Negara yang tidak boleh bagi penguasa Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Islam. 4). Wilayah yang dihuni oleh non muslim yang awalnya di bawah kekuasaan Islam, kemudian bergabung kepada negara kufur dan memperkuat negara kufur tersebut yang membuat umat muslimin merasa terancam, karena non muslim tersebut memusuhi negara Islam. 5). Tidak ada lagi rasa aman bagi umat Islam ataupun non muslim yang bermukim di negara kufur, seperti jaminan keamanan dan hak untuk tinggal di negara tersebut.71 Kedua, sebagaian ulama berpandangan bahwa dâr al-harb ialah suatu negara yang kekuasaannya tidak dipegang oleh umat Islam, dan umat Islam tidak mampu untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, dan juga tidak ada perjanjian antara umat Islam dengan non muslim dalam batasan hubungan antara kedua belah pihak yang menguatkan akan tidak adanya permusuhan kepada umat Islam, baik nyawa, harta, maupun kehormatan mereka.72 Sedangkan menurut Zuhaylî, dâr al-harb ialah negara yang tidak melaksanakan hukum Islam baik secara agama maupun politik disebabkan oleh keberadaannya di luar kekuasaan Islam dan penguasanya terdiri dari non muslim.73 Adanya pembagian peta dunia menjadi dua bentuk wilayah yaitu dâr al-islâm dan dâr al-harb dalam konsep Islam, menurut sejarah, pengungkapan istilah ini memang pernah dikatakan oleh Nabi SAW,74 dan juga dari asâr para sahabat.75 Selain itu, disebabkan oleh adanya Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
168 HERMANTO HARUN
penyebaran wilayah dakwah pada masa awal sejarah Islam, dan ketentuan status wilayah tersebut menjadi dâr al-islâm atau dâr alharb sangat tergantung dari kondisi kemenangan atau kekalahan antara umat Islam dengan umat lainnya.76 Dâr al-Sulh Istilah dâr al-ºulh juga dinamakan oleh ulama sebagai dârlmucâhadah dan dâr al-muwâdacah. Dâr al-cahd secara bahasa berarti al-âman, al-dhimmah, al-yamîn, al-hufaz.77 Ada yang menerjemahkan dâr al-sulh sebagai “wilayah genjatan senjata” dimana wilayah tersebut, umat Islam dengan non muslim membuat kesepakatan untuk tidak saling berperang.78 Secara istilah, dâr al-sulh ialah negara yang tidak terlihat di dalamnya golongan muslimin, namun mereka mengadakan perjanjian dengan golongan muslimin untuk membayar pajak (kharaj),79 dengan tidak mengambil jizyah atas perlindungan kepada mereka, karena mereka bukan di negara Islam. 80 Pengertian dâr al- cahd atau dâr al-sulh seperti di atas menjelaskan posisi secara politik, bahwa negara yang telah mengadakan perjanjian dengan negara Islam tersebut berarti berada di bawah kekuasaan Islam. Hal ini terlihat dari kewajiban mereka membayar kharaj, dimana menjadi tradisi politik antar negara pada waktu itu, bahwa membayar sebagaian harta tersebut merupakan perlambangan kepatuhan. Istilah al-cahd yang juga disebut al-sulh tersebut dikhususkan kepada non muslim yang sebelumnya mereka berstatus kafir harbi. Mereka dijamin keamanannya dan berhak untuk saling membantu dan membela, selama mereka patuh dalam perjanjian untuk tidak menyerang pihak muslimin. Adapun perjanjian kaum muslimin dengan mereka bersifat sementara, oleh karena itu mereka juga disebut ahl al-hudnah yang bermakna damai setelah perang dengan beberapa ketentuan, atau damai kedua belah pihak dalam batas waktu tertentu.81 Konsep al-sulh merupakan keperluan bersama dan sangat
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 169
mendasar dalam kehidupan manusia, karena dalam kedamaian itu terciptanya dinamika yang sehat, dan harmoni dalam setiap interaksi antar umat manusia. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga dapat melaksanakan kewajiban di bawah aturan perdamaian.82 Oleh karena itu, damai merupakan hak mutlak setiap individu manusia sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk yang memikul tugas sebagai pembawa amanah Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah SWT ke atas bumi dengan perantara seorang Nabi Muhammad SAW yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam,83 dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad semata. Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan nama agama ini: yaitu al-Islâm. Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam antara umat manusia. Konsep dan fakta sejarah Islam menunjukkan, bagaimana sikap tasâmuh dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-kitâb maupun kaum mushrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonian dan damai.84 Dalam ungkapan nas agama, perdamaian sering dibahasakan dengan kata al-amân, kemudian dalam terjemahan sistem formal yang dirangkumi oleh fuqahâ, perdamaian sering dibahaskan dengan al-sulh, al-hudnah, al-ma’âqadah, dan ‘aqd al-zimmah. Dalam kamus al-Muhit, al-sulh disepandankan dengan al-salâm,85 keduanya mempunyai arti yang sama, yaitu peace.86 Lain lagi menurut Ibn Qudâmah, al-sulh berarti suatu kesepakatan (ma’âqadah) yang bertujuan pada perbaikan antara dua pihak yang bertikai.87 Sedangkan Zuhaylî mendefinisikan al-ºulh sama dengan al-hudnah, yaitu Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
170 HERMANTO HARUN
berdamai (muºâlahah) dengan ahl al-harb untuk menghentikan perang dalam batas waktu tertentu dengan jaminan dan tetap mengakui agamanya atau tidak, meskipun tidak di bawah otoritas pemerintahan Islam.88 Bahkan lebih spesifik, menurut Sidiq Hasan, bentuk wilayah Islam ada tiga kategori, yaitu: (a. wilayah al-harâm yang tidak boleh dikunjungi oleh kaum kafir dalam kondisi apapun, baik kafir dhimmi maupun harbi. (b). kawasan Hijaz, yaitu daerah yang meliputi Yamamah, Yaman, Najd dan Madinah. Negeri-negeri ini boleh dikunjungi oleh kaum kafir dengan proses persetujuan, akan tetapi tidak boleh bermukim melebihi tiga hari seperti laiknya musafir. (c). Seluruh daerah-daerah kawasan Islam. Daerah ini bermukim bagi kaum kafir setelah ada perjanjian damai.89 Namun konsep perdamaian dengan non muslim seperti dalam konsep al-sulh ini, dalam sejarah telah dicatat bahwa Rasul SAW pernah membuat suatu akad perjanjian dengan nasrani Najran di tanah Arab, dengan ketentuan bahwa akidah dan harta mereka dijamin keselamatannya selama mereka membayar jumlah tertentu dari harta mereka.90 Tiga bentuk negara dalam konsepsi fikh Islam seperti keterangan di atas, meskipun dalam realitasnya tidak lagi dapat dijumpai, karena hakikat negara Islam (dâr al-islâm) benar-benar tegak di atas ketentuan kitab suci al-Qur’ân dan Hadîth, yang semuanya bertolak atas dasar masalahat agama. Dari itu, batasan negara ditentukan berdasarkan kepentingan agama. Sementara saat ini, dimana era global yang cenderung banyak dipengaruhi oleh peradaban selain Islam, yang merumuskan negara dalam batasan wilayah kesukuan dan geografis yang akhirnya melahirkan nasionalisme. al-Bilâd al-Islâmiyah Suatu kenyataan dalam sejarah bahwa setelah tumbangnya Kerajaan Turki Utsmani sebagai pusat kerajaan Islam, negeri-negeri muslim terpecah belah sebagai akibat dari penjajahan yang dilancarkan oleh
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 171
negara-negara Barat. Negeri-negeri Islam yang terjajah tersebut kemudian menjadi duwailat (negara-negara) yang masing-masing memisahkan diri daripada induknya. Sampai dekade ini, sesuai Musyawarah Agung Teheran (11 Disember 1997) terdapat 55 negara yang telah bergabung dalam munazzamah al-muctamar al-islâmî (Organization of Islamic Comprence) dan lima negara yang mayoritas muslim yang tidak termasuk dalam organinsasi tersebut, seperti Tughu, Ghana, Maxdonia dan Mouzambiqe.91 Sebagai efeknya, wilayah yang telah merdeka dan memisahkan diri dari kerajaan Turki Utsmani (khilâfah Islâmiyah) menentukan berbagai bentuk kerajaan tersendiri, dan bahkan banyak pula yang meniru dan mencontohkan sistim pemerintahan negara penjajah. Sehingga bnyak negara yang awalnya telah melakukan tatbiq sharicah dan mengamalkan hukum-hakam selain Islam. Dari sini timbul pengistilahan negara sekular, yaitu negara yang tidak memberikan peran kepada agama dalam kehidupan bernegara. Agama telah diasingkan daripada kehidupan bernegara dalam berbagai tempat.92 Keputusan menjadikan sistim sekuler dalam bernegara yang moyoritas Islam, dilakukan pertama kali oleh Albania,93 selanjutnya diikuti oleh Turki. Bangsa Turki meniru Barat dimulai dari pandangan hidup dan sistim kemaysarakatan dengan melakukan proses sekulerisasi hampir secara menyeluruh. Di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk, Turki menjadi negara modern yang berdasarkan kebudayaan Barat dan ia juga melakukan reformasi agama, antaranya menggantikan kalimat azan dengan bahasa Turki.94 Dalam konteks ini, maka muncul istilah lain dari kategori bentuk negara Islam. Dalam pembahasan fikih yang ditulis oleh ulama terdahulu, kategorisasi negara muslim (muslim state) hampir tidak pernah djumpai. Karena dalam konteks politik masa itu, kedua istilah ini (dâr al-islâm dan dâr al-harb) sealur dengan realitas kekuasaan politik umat Islam. Maka menurut Khair Haykal, bahwa selain dâr al-islâm dan dâr al-kufr ada yang disebut al-bilâd al-islâmiyah yaitu negara yang menurut status defenisi sharac termasuk kepada dâr alkufr, disebabkan tidak adanya pelaksanaan hukum Islam atau Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
172 HERMANTO HARUN
ketiadaan rasa aman yang sebenarnya, atau tiada keduanya sekaligus. Kenyataan ini paling tidak karena dua hal : 1. Wilayah yang sebelumnya pernah berada di bawah kekuasaan Islam, yang tunduk dibawah hukum Islam, akan tetapi telah jatuh kepada kekuasaan kaum kufar, sehingga hampir mayoritas penduduknya terdiri dari non muslim, seperti Andalusia. Bentuk negara seperti ini disebut dengan negara muslim (muslim state), dan mengembalikan keadaannya kepada bentuk semula menjadi kewajiban bagi kaum muslimin sepanjang masa. 2. Jika mayoritas penduduk suatu wilayah tersebut terdiri dari kaum muslimin.95 Dalam konteks politik modern, ada beberapa istilah lain yang muncul dekad ini, selain daripada islamic state yang diterjemahkan menjadi dâr al-islâm, ada juga yang disebut dengan state religion yaitu posisi negara yang secara rasmi mendukung institusi keagamaan atau kepercayaan. 96 Jika institusi keagamaan dan agama yang disokong oleh negara itu agama Islam, maka istilah ini sebenarnya boleh masuk dalam kategori al-bilâd islâmiyah, karena status negara tidak sepenuhnya menjadi Islam sebagai asas ideologi dalam instittusi politik.
D. Fungsi Negara Islam Mengingat keberadaan negara merupakan keperluan asasi manusia, maka tentu ada peran yang mesti dilaksanakan. Pemaknaan peran negara dalam dunia modern sekarang ini terus berkembang. Peran negara diterjemahkan ke dalam tugas-tugas pelbagai institusi yang dibentuk negara itu sendiri. Hampir setiap negara di dunia mempunyai peran yang sama, yaitu menjaga keutuhan negara dan melindungi rakyatnya. Namun secara khusus, negara Islam mempenyai peran yang lebih, dimana peran dan tanggung jawab negara (pemerintah) begitu besar dan luas. Ia meliputi kewajiban memelihara agama, mengurus negara dan rakyat, menjaga keamanan dan keselamatan negara, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 173
nyawa dan harta benda, kehormatan dan sebagainya.97 Di samping itu, sebagai pengawal agama, negara Islam juga harus menggalakkan model alternatif keserasian berbagai kaum, yakni keharmonisan yang berasaskan kepada semangat untuk menghayati ajaran-ajaran akhlak yang diajarkan oleh agama masing-masing. Perbedaan mendasar antara negara Islam dengan negara bukan Islam, ialah terletak pada posisi negara terhadap agama. Bagi Islam, menjaga agama merupakan tujuan awal dalam terwujudnya sebuah negara. Akan tetapi, dalam negara yang mendasarkan diri pada faham sekulerisme, justru agama diabaikan. Hal ini karena dalam sekulerisme, agama dipisah-kan dari aturan negara. 98 Agama dijadikan sebagai urusan individu. Negara akan turut campur dalam menjagaan agama, kalau hal tersebut dapat menimbulkan kerugian kepada negara. Karena menjaga agama Islam menjadi bagian dari tugas negara, maka paling tidak ada dua peran negara dalam perspektif Islam99, yaitu peranan realisasi akidah dan peran kekhalifahan: Tugas Merealisasikan Akidah (al-Wazîfah al-cAqidiyah) Sebagaimana diketahui bahwa peranan sentral negara Islam ialah merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, dan untuk mewujudkan semua mesti selari dengan maqâsid sharicah, sedangkan tujuan shâriah dalam negara tiada lain kecuali berada dalam ruang akidah tawhid. Karena dalam Islam, diciptakan manusia hanya untuk menyembah dan ibadah kepada Allah SWT.100 Ibadah yang dimaksud, mempunyai pemahaman yang memcakupi makna yang sangat luas. Peran tersebut tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan peran kekahalifahan. Tugas Kekhalifahan (al-Wazifah al-Istikhlâfiyah) Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini untuk memikul amanah memakmurkan bumi dan melaksanakan keadilan. Sebagai bentuk daripada cita-cita mewujudkan tujuan besar Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
174 HERMANTO HARUN
yaitu peranan menjaga akidah. Tugas memakmurkan bumi ini dengan melakukan berbagai aktivitas, sebagai bentuk realisasi tugas khlaifah. Sacid Hawwâ, menjelaskan bahwa maksud dari memakmurkan bumi ialah manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.101 Aktivitas memakmurkan dunia jelas tidak boleh terlepas dari pemahaman Islam, karena tidak mungkin terlaksana seperti yang diharapakan, sebagaimana yang terjadi pada kisah kaum Thamûd. Dengan demikian, usaha untuk memkmurkan dunia mesti dilaksanakan dengan dua perkara, yaitu: 1. Peranan mewujudkan kesejahteraan (al-wazifah al-inmâ,iyah) seperti yang telah dijelaskan Allah SWT dalam kitab suci-Nya. 102 Kehidupan yang baik tidak boleh lepas dari kaitan iman kepada Allah, karena akidah menjadikan amal saleh sebagai motivasi dan tujuan. Karena itu, amal saleh beserta iman akan mendapat balasan, yaitu kehidupan yang baik di dunia. Dalam kehidupan banyak sekali selain harta yang menyebabkan kebaikan, seperti berhubungan dengan Allah SWT, thiqah dengan-Nya dan ketenangan apabila berada di bawah perlindungan dan rida-Nya. Kehidupan yang baik di dunia seperti ini tidak akan mengurangi ganjaran pahala di akhirat kelak.103 Penjelasan tafsir di atas menerangkan bahwa, peran negara mestilah mengantarkan rakyatnya kepada kehidupan yang baik dan sejahtera. Semua itu akan didapat apabila sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang senyawa dengan tujuan dicipatakannya manusia sebagai pengamban amanah risalah di bumi ini. 2. Peranan mewujudkan keamanan (al-wazîfah al-amniyah). Peran ini merupakan penyempurna dalam rangka mewujudkan tujuan kemakmuran. Karena tampa adanya rasa aman, maka kemakmuran akan sangat susah untuk dirasakan. Ibn Kathîr menjelaskan bahwa Allah SWTyang memberikan makanan kepada kaum Quraysh dan memberi keistimewaan kepada mereka berupa keamananan dan kemudahan agar mereka boleh beribadah kepada Allah SWT dan tidak menshirikkan-Nya Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 175
dengan menyembah patung, dan berhala. Bagi yang menerima keamanan ini, maka Allah SWT akan mengumpulkan baginya aman di dunia dan akhirat.104 Gambaran tafsir di atas menunjukkan bahwa keamanan menjadi hal penting dalam sebuah negara, dan peranan negara menjadi sangat diperlukan, karena rasa aman dapat meluluskan segala aktivitas dalam kehidupan. Hal ini berlaku dalam kontek zaman ini, dimana setiap negara berusaha mempertahankan kedaulatannya dari ancaman negara luar, ataupun juga berusaha mempertahankan stabilitas dalam negara demi terwujudnya kesejahteraan dan keleluasaan dalam melaksanakan perintah Tuhan.
E. Penutup Penjelasan mengenai konsep negara perspektif Islam memiliki bentuk, karakter dan peran yang sangat berbeda dengan konsep negara yang dipraktikkan oleh peradaban selain Islam. Dalam istilah politik Islam, negara selalu dibahasakan dengan dawlah, kata ini lahir daripada proses perjalanan sejarah politik umat Islam, dimana pada mulanya, ungkapan dawlah kurang popular dalam istilah kekuasaan. Sehingga, pada dekade awal Islam, yang terkenal adalah Istilah sulþâniyah, kemudian berkembang menjadi mamlakah. Apapun mustalah daripada negara Islam, ianya memiliki hujah daripada kitab suci al-Qur’an, al-Sunnah dan praktik sejarah sebagaimana yang telah dicontohi oleh baginda Rasul SAW ketika berada di Madinah. Negara Madinah (Yasrib) merupakan tamsil bentuk negara yang bertamadun, yang menjunjung tinggi identiti manusia sebagai makhluk yang mulia. Negara Madinah yang langsung dipimpin oleh Rasulullah SAW telah manjadi inspirasi sejarah, dimana ketenteraman umum dalam rakyat yang pluralis budaya dan agama dapat wujud. Karena, negara dalam Islam bukan menjadi tujuan dari Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
176 HERMANTO HARUN
kehidupan manusia, akan tetapi hanya sebagai watsilah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun akhirat. Peran negara Islam merealisasikan akidah (al-Wazîfah alc Aqidiyah) dan menjalankan tugas kekhalifahan yaitu mewujudkan (al-Wazifah al-Istikhlâfiyah) kesejahteraan dan keselamatan bagi seluruh manusia, tanpa melihat jenis, kaum dan bangsa. Catatan: 1. S.M.N al-Attas, Islam and Secularism, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993, hlm 33 2. Wan Muhammad Nor Wan Daud, Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam, Syed M Naquib al-Attas, Suatu Hurain Konsep Asli Islamisasi, Cet 1, Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005, hlm. 128 3. Miriam Budiarjo, Daras-Dasar Ilmu Politik, Cet : 30, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 39 4. Olivier Duhamel & Yves Meny, al-Mucjam al-Dustûrî, Cet 1, al-Muassasah al-Jamiciyyah li al-Dirâsaât wa al-Nashr wa al-Tawzic, 1996, Beirût, hlm. 612 5. Jamâcah Kibâr al-Lughawiyîn al-Arab, al-Mu’jam al-Arabî al-Asâsî, alMunazzamah al-Arabiyah li al-Tarbiyah Wa al-Thaqâfah wa al-Ulûm, tt, hlm 471. 6. Graham Evans & Jeferey Newnham, Qâmûs Penguin li al-cAlâqât alDawliyah, Cet 1, Markaz al-Khalij li al-Abhâth, al-Imârât al-Arabiyah, 2004, hlm. 702 7. Idmon Rabbaþ, al- Wasîþ fi al-Qânûn al-Dustûri al-cÂm, Juz 1, Dâr alc Ilmî li al-Malâyîn, Beirût, 1968, hlm. 14-15 8. al-Qur’ân al-Karîm, al-Hashar : 7. Yang bemaksud: “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya sahaja di antara kamu”. 9. Samir Aliya, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat Dalam Islam, Terjemah; Asmuni Solihan Z, Cet I, Khalifa, Jakarta, 2004, hlm. 30-31 10. Sâbir Tha’imah, al-Dawlah wa al-Sultah fi al-Islâm, Kaherah, Maktabah Madbûlî, 2005, hlm, 193 11. Rûhî Ba’labakî, al-Mawrid, Modern Arabic English Dictionary, Cet VIII, Dâr al cIlmi Li –al Malâyîn, , Lebanon, hlm. 556. 12. Roger H Saltou, An Introduction To Politik, Longmans, London, 1961, hlm, 1 13. Tasar Karimudin, Definisi Negara, http://tasarkarsum.blogspot.com, 29 July 2009 14. Sabine, George., History of Political Theory, Henry Holt and Company, New York, 1954, hlm. 249 15. Mannâc al-Qaþþân, Târîkh al-Tashric.al-Islâmî, Cet V, Maktabah Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 177 Wahbah, Kaherah, 2001. hlm. 20. 16. Abd Shâfi Muhammad Abd al-Laþîf, al-Sîrah al-Nabawiyah wa al-Târîkh al-Islâmî, Dâr al-Salâm, Kaherah, 2007, hlm. 165 17. Muhammad bin Ishâq bin Yasâr al-Maþlabî al-Madanî, al-Sîrah alNabawiyah, Cet 1, Dâr al-Kutb al-cIlmiyah, Beirût, 2004, hlm.723 18. Abdullah bin al-Imâm Muhammad bin Abd al-Wahâb, Mukhtasar Sîrah Nabawiyah, Muassasah al-Rayyân, Beirût, 2000, hlm. 554 19. Seperti yang ditulis oleh al-Tabari tentang perbualan cAmr bin Hârits dengan Sacid bin Zaid setelah beberapa saat meninggalnya Rasulullah SAW. cAmr bin Harits bertanya kepada Sacad, bila masa membaiat Abû Bakar, dan Harits menjawab; yaitu hari dimana wafatnya Rasulullah SAW karena umat membenci keberadaan mereka satu hari dalam keadaan tidak berada dalam satu jamaah. Lihat : Zafir al-Qasimy, Nizâm al-Hukm fi al-Sharicah wa al-Târikh al-Islâmî, Dâr al-Nafâis, Beirût, 1980, hlm. 157 20.Din Syamsudin, Membumikan al-Qur’ân dan As-Sunnah Untuk Pembangunan Negara Moden, dalam; Islam Dalam Era Globalisasi, Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, Kuala Lumpur, Cet 1, 2007, hlm. 176 21. Din Syamsudin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000, hlm. 40 22. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cet II, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm. 213 23. Abd al-Wahab al-Affendi, Who Needs An Islamic State, Malaysia Think Tank, London, 2008, hlm. 18 24. Abd al-Rahmân Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Dâr al-Kutb al-Ilmmiyah, tt. Beirût,,hlm. 238. 25. Ridwân Sayyid, al-Ummah wa al-Jamâcah wa al-Sultah, Dirâsat fi alFikr al-Siyâsi al-cArabî al-Islamî, Cet I, Dâr Iqrâ, 1984, hlm. 180-181 26. Imam Muslim, Sahîh Mulim, Juz 3, Dâr Ehyâ al-Turâth,al-cArabî, Beirût, hlm 1478. Hadîth nombor 1851. 27. Ada beberapa nas Hadîth yang menyatakan bahwa “siapa yang mati sedang dia tidak membaicat imâm maka mati dalam keadaan jahiliyah” dan Hadîst yang lain “tidak halal bagi seorang muslim yang melalui malam dengan tanpa meletakkan baiat di pundaknya kepada seseorang” 28.Ibrâhîm al-cUbâdî, Jadaliyât al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âsir, Dâr al-Hâdî, Lebanon, 2001, hlm, 49. 29. Muhammad Sacid alcAsmâwî, al-Khilâfah al-Islâmiyah, Cet V, al-Intishâr al-cArabî, Beirût, 2004, hlm. 44 30. c Âlî cAbd Râziq, al-Islâm wa Usûl al-Hukm, Bahth fi al-Khilâfah wa alHukûmah fi al-Islâm, Dâr Maktabah al-Hayât, Beirût, 1966, hlm. 155156 31. Muhammad cImârah, Suqûþ al-Ghulûw al-cIlmânî, Dâr al-Shurûq, Kaherah, 1995, hlm. 156 32. Abî Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurþubî, al-Jâmic li Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
178 HERMANTO HARUN Ahkâm al-Qur’ân, Cet 1, Juz 3, Dâr al-Kutb al-cIlmiyah, Beirût, 2000, hlm. 165-166 33. Mahmûd Shaltût, Tafsir al-Qurcân al-Karîm, Dâr al-Shurûq, Cet 11, Kaherah, 1988, hlm.206 34. Yûsuf al-Qaradâwî, Min Fiq al-Dawlah fi al-Islâm, Makânatuhâ, Mac âlimuhâ, Tabi catuhâ, Mawqifuhâ min al-Dimukrâþiyah wa alTacaddudiyah wa al-Mar’ah wa Ghayr al-Muslimîn, Dâr al-Shurûq, Kaherah, 1997, hlm. 15 35. Yûsuf al-Qaradâwî, Min Fiq al-Dawlah Fi al-Islâm, hlm. 15. 36. c Uthmân Abd al-Muciz Ruslân, al-Tarbiyah al-Siyâsah cInda al-Ikhwân al-Muslimîn, Dâr al-Tawzîc, Kaherah, 1990, hlm. 229 37. Muhammad al-Mubârak, Arâ Ibn Taimiyah fi al-Dawlah,wa Madâ Tadâkhuliha fi Majâl al-Iqtisâdî, Dâr al-Fikr, Beirût, tt, hlm. 29. Pendapat ini juga terdapa dalam ; al-Ahkâm al-Sultâniyah, Abî Yuclâ, hlm. 6 38.Devid L Sills et al, International Encyclopedia of Social Science, Vol II, The Macmillan Compeny & The Free Press, New York, 1972. hlm. 11 39. Hamid Abd al-Majîd Quwaysî, al-Wazîfah al-cAqîdiyah li al-Dawlah alIslâmiyah, Dirâsah Manhajiyah fi al-Nazarât al-Siyâsah al-Islâmiyah, Dâr al-Tawzic wa al-Nashr al-Islâmiyah, Kaherah, 1993. hlm. 124. 40.Ismâcil Lutfî Fatânî, Ikhtilâf al-Dârayn wa Atharuhu fi Ahkâm alMunâkahât wa al-Mucâmalât, Cet II, Dâr al-Salâm li Tabâcah wa al-Nashr wa al-Tawzic, Kaherah, 1998, hlm. 77 41. Sulaimân Muhammad Tubuliyâk, al-Ahkâm al-Siyâsah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmî, Cet 1, Dâr al-Nafâis, cAmmân, 1997, hlm. 15 42. Ismâcil Lutfî Fatânî, Ikhtilâf al-Dârain wa Atharuhu fi Ahkâm alMunâkahât wa al-Muâcmalât, Cet II, Dâr al-Salâm li al-Tabâcah wa alNashr wa-al Tawzic, Kaherah, 1998, hlm. 17 43. Jurji Shahin cAtiya, Mucjam al-Muctamad cArabi-cArabi, Cet 1, Dâr alKutb al-cIlmiyyah, Beirut, 2007, hlm. 208 44.Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-Arab, Dâr al-Bairût li Tabâcah wa al-Nahsr, Beirut, 1968, hlm. 298 45. Al-Qur’ân al-Karim, al-Hashr, 9 46.Mahmud ibn Abî al-Hasan Ibn al-Husayn al-Naysâburi, Icjaz al- Bayân c an Macâni al-Qur’ân, Juz 2, Cet 1, Maktabah al-Tawbah, Riyâd, 1997, hlm. 251.Lihat: Abi Muhamad Makkî Ibn Abî Tâlib al-Qaysî, al-Hidâyah ilâ Bulûgh al-Hidâyah, Juz 13, Cet 1, Jâmi cah al-Shâriqah, Imârat Muttahidah, 2008, hlm. 7392 47. Ismâcil Lutfî Fatânî, Ikhtilâf al-Dârain wa Atharuhu fi Ahkâm alMunâkahât wa al-Muâcmalât, hlm. 21 48.Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-Arab, hlm. 299 49.Abî Mansûr Muhammad bin Ahmad al-Azharî, Mucjam Tahzîb al-Lughah, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 179 Juz 1, Cet I, Dâr al-Macrifah, Beirut, 2001, hlm. 283 50.al-Qur’ân al-Kar m, al-Acrâf, 58 51. al-Qur’ân al-Karm, al-Tîn, 3 52. Fakhr al-Dîn al-Torîhî, Majmac al-Bahrayn, Juz 3, Cet II, Muassah alWafâ’, Lebanon. 1983, hlm. 17 53. Abd al-Laþîf al-Humayyim, al-cAlâqât al-Dawliyah fi al-Sharicah wa al-Qânûn fi al-Silm wa al-Harb, Dirâsah Muqâranah, Dâr cAmmâr, Jordania, 2006, hlm. 169 54. Ibrâhîm al-Bayumî Ghânim, Maqâsid al-Sharîcah wa Qadâyâ al-cAsr, Cet I, Muassasah al-Furqân li al-Turâth al-Islâmî, Kaherah, 2007, hlm. 117 55. Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Juz 8, Cet IV, Dâr al-Fikr, Beirût, 2004, hlm. 6306 56. Samîh Daghîm, Muwsûcah Mustalahât al-cUlûm al-Ijtimâciyah wa alSiyâsiyah fi al-Fikr al-cArabî wa al-Islâmî, Cet 1, Maktabah Lubnân Nâshirun, 2000, hlm. 456 57. c Âla al-Dîn bin Mascûd al-Kasânî, Badâic al-Sanâic fi Tartîb al-Sharâic Juz 7, Cet II, Dâr al-Kitâb al-cArabî, Beirût, 1982, hlm. 130 58. Shams al-Dîn Muhammad cIrfah al-Dasûqî, Hâshiyah al-Dasûqî cAlâ al-Sharh al-Kabîr, Juz 2, Dâr al-Fikr, Beirût, tt, hlm. 188 59. Shams al-Dîn Muhammad bin Abî al-cAbbas al-Ramlî, Nihâyat al-Muhtâj c Alâ Sharh al-Minhâj, Juz 8, Dâr al-Fikr, Beirût, 1984, hlm. 82 60.Ibn Qayyim al-Jawziyah, Ahkâm Ahl al-Zimmah, Juz 1, Cet II, Dâr alc Ilm li al-Malâyîn, Beirût, 198, hlm. 366 61. Mohd Nasran Mohamad, Precepts of Islamic Law Regulating Conduct in Warfare, Based on an Examination of al-Nawawi’s Minhaj, Cet I, Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia, 2009, hlm. 60 62. Muhammad Sharbînî al-Khatîb, Mughnî al-Muhtâj ilâ Macrifat Macânî Alfâz al-Minhâj, Juz 4, Matbacah Mustafâ al-Bâbî al-Halbî wa Awlâduhu, Mesir, 1958, hlm. 253 63. Muhammad Sa cîd Ramadân al-Buþî, al-Jihâd fi al-Islâm, Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numârisuh, Dâr al-Fikr, Damascus, 199, hlm. 80 64.Wazârat al-Awqâf wa al-Shucûn al-Islâmiyah, al-Mawsûcah al-Fiqhiyah, Juz 20, Cet II, Tabâcah Dhâta al-Salâsil, Kuwait, 1990, hlm. 217 65. Muhammad Sâdiq cAfîfî, al-Islâm wa al-cAlâqât al-Dawliyah, Cet II, Dâr al-Raid al-cArabî, 1986, hlm. 128 66. c Abd al-Qâdir al-cAwdah, al-Tashrîc al-Janâ,î al-Islâmî, Juz I, Dâr alKutb al-cIlmiyah, Beirût, hlm. 421 67. Abi cAbdillah Muhammad Bin Idrîs al-Shâficî, al-Umm, Cet I, Juz 4, alMaktabah al-Qayyimah, Kaherah, 1990, hlm. 270-271 68. c Alâ al-Dîn al-Mardawî, al-Insâf fi Macrifat al-Râjih min al-Khilâf , Cet I, Juz 4, al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kaherah, 1956, hlm. 121 69.Muhammad Khayr Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah alMedia Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
180 HERMANTO HARUN Sharciyah, Cet II, Juz I, Dâr al-Bayâriq, Lebanon, 1996, hlm. 662 70. Sulaimân Muhammad Tubuliyâk, al-Ahkâm al-Siyâsah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmî, hlm. 18 71. Muhammad Sâdiq cAfifî, al-Islâm wa al-Alâqât al-Dawliyah, hlm. 129 72. Muhammad Sâdiq cAfifî, al-Islâm wa al-Alâqât al-Dawliyah, hlm. 30 73. Wahbah al-Zuhaylî, Mawsucah al-Fiqh al-Islâmî al-Muc âsir, Cet I, Juz 5, Dâr al-Maktabî, Sûriah, 2007, hlm. 129 74. Ungkapan Nabi tersebut: mana’at dâr al-islâm wa mâ fîhâ wa abâhat dâr al-syirk wa mâ fîhâ. Lihat: Al-Mâwardi, al-Ahkâm al-Sultâniyah, hlm. 60 75. Seperti teks perdamaian yang pernah di tulis oleh Khalid Bin Walid kepada ahl al-Hirah: “Dan saya jadikan untuk ahl al-hirah setiap orang tua yang tidak sanggup lagi bekerja, ataupun terkena sesuatu musibah, atau orang kaya yang jatuh miskin, dan mereka menjadi penganut agama mereka yang benar, maka mereka dibebaskan kepada mereka jizyah dan dibebaskan hidup mereka da kelaurganya kepada baitulmal umat Islam,selama mereka masih menjadi penduduk dar al-hijrah atau dâr al-islâm, jika meraka keluar ke negara bukan islam maka tidak ada kewajiban bagi umat islam member nafkah mereka.” Abi Yusuf, alKharrâj, hlm 155-156 76. Wahbah al-Zuhaylî, Mawsucah al-Fiqh al-Islâmî al-Mucâsir, hlm. 129 77. Wazârat al-Awqâf wa al-Shu,un al-Islâmiyah, al-Mawsûcah al-Fiqhiyah, hlm. 217 78. Bassam Tibi, at al, Etika politik Islam, Civil society, Pluralisme dan Konflik, Cet I, ICIP, Jakarta, 2005, hlm. vii 79. Kharaj bermaksud cukai hasil tanah yang dikenakan ke atas orang bukan Islam. Dalam undang-undang shariah, Kharaj ialah cukai ke atas tanah pertanian. Kharaj tidak disebut dalam al-Quran atau Hadith tetapi lebih kepada ijma’ atau persepakatan ulama Islam dan sebahagian daripada tradisi Islam atau urf. Lihat: http://ms.wikipedia.org/wiki/Kharaj. 80.Wahbah Zuhaylî, Athâr al-Harb fi al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah Muqâranah, Cet 4, Dâr al-Fikr, Demascus, 1992, hlm. 175 81. Majd al-Dîn Mubârak bin Muhammad Ibn Athîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîth wa al-Athâr, Juz 5, Dâr al-Fikr, Beirût, tt, hlm. 252 82.Ahmad Umar Hâshim, al-Amn fi al-Islâm Dâr al-Manâr, Kaherah, tt, hlm. 27 83.Al-Qurân al-Karîm , Surat 21:107 84.Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, Pustaka Da’i, Jakarta, 2003, hlm 07 85. al-Fayrrûz Abâdî, al-Qâmus al-Muhît, 1011 86.Rûhi al-Baclabakî, al-Mawrid Qâmûs Arabî-Inglizî, Dâr al-Ilm alMalâyîn, Beirût, 1993, hlm. 641, 649 87. Abû Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah, al-Mughnî, Hajr li al-Tabâcah wa al-Nasr wa al-Tawzîc, Kaherah, 1989, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 181 hlm. 5 88.Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Dâr al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm., 437 89.Muhammad Sidiq Hasan, al-Dîn al-Kholis, Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyah, Beirût, 1995, hlm. 189 90.Muhammad Sodiq cAfîfî, al-Islâm wa al-Alâqât al-Dawliyah, hlm. 133 91. Shawqî Abû Khalîl, Atlas Duwal al-cÂlam al-Islâmî, Jughrâfia, Târîkhî, Iqtisâdî, Cet 1 Dâr al-Fikr, Beirût, 1999, hlm. 3 92. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 13-14 93. Menurut Massoud Khawand, Negara Islam yang pertama sekali menggunakan sistim sekuler dalam pentadbiran negara ialah Albania, bukan bangsa Turki seperti yang selama ini banyak ditulis oleh para ilmuan. Setelah terjadinya peperangan di Balkan, Albania yang ketika itu masih di bawah kekuasaan Turki Uthmani mengalami kekalahan, sehingga pada tahun 1912, Albania mengiklankan kemerdekaan dan diktiraf oleh negara-negara Eropah dibawah kawalan langsung daripada negara-negara besar, dengan syarat bangsa Albania mesti memutuskan hubungan apapun dengan kerajaan Turki Uthmani. Pada awal pentadbiran kerajaan, Albania diwajibkan menghapus segala yang berhubungkait dengan Turki Uthmani, ketimuran dan semua hal yang berkaitan dengan agama Islam. Pada tahun 1913 kerajaan Albania mengeluarkan qanun mengharamkan institusi agama dan memutuskan hubungannya dengan institusi masyikhah Islâmiyah di Istambul. Pada tahun ini juga kerajaan membuat keputusan memansukhkan huruf Arab dan menggantikannya dengan huruf Latin dan Albania. Lihat : Massoud Khawand, al-Mawsucah al-Târîkhiyah al-Jughrâfiyah, Juz 12, Isdâr Khâs, Beirut, 1998, 27 94.Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm. 272-273 95. Muhammad Khair Haykal, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah alSharciyah,, hlm. 677-678 96.http://en.wikipedia.org/wiki/Muslim_world#Islamic_states 97. Dato Wan Zahidi Wan Teh, Pelaksanaan Siyasah Shair’iyah dalam Pentadbiran Kerajaan. Cet 1, Hazrah Enterprize, Malaysia, 2002, hlm. 9 98. c Abd Wahâb al-Masîrî, Dirasât Macrifiyah fî al-Hadâthah al-Gharbiyah, Cet 1, Maktabah al-Shurûq al-Dawliyah, 2006, hlm. 52 99.Hâmid cAbd al-Mâjid Quwaysî, al-Wazifah al-cAqidiyah li al-Dawlah alIslâmiyah, Dirâsah Minhajiyah fi al-Nazariyah al-Siyâsiyah alIslâmiyah, Cet 1, Dâr al-Tawzic wa al-Nasr al-Islâmiyah, 1993, hlm. 133 100. Al-Qurân al-Karim, al-Zâriyât :56-57 101. Sacid Hawwâ, al-Asâs fi al-Tafsîr, Cet VI, Juz 5, Dâr al-Salâm li Tabâcah wa al-Nash wa al-Tawzî, Kaherah, 2003, hlm. 2574 102. Al-Qur,ân al-Karim, al-Nahl: 97 Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
182 HERMANTO HARUN 103. Sayyid Qutb, fi Zilâl al-Qur’ân, Cet XIII, Dâr al-Shurûq, Kaherah, 1987, hlm. 2193. 104. cImâd al-Dîn Abî al-Fidâ Ismâcîl bin Kathîr al-Dimishqî, Tasîr al-Qur’ân al-cAzîm, Cet 1, Maktabah Awlâd al-Shaykh li al-Turâth, Kaherah, 2000, hlm. 466.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 183
DAFTAR PUSTAKA ‘
Afîfî, Muhammad Sâdiq, al-Islâm wa al-cAlâqât al-Dawliyah, Cet II, Dâr al-Raid al-cArabî, 1986. ‘ Atiya, Jurji Shahin, Mucjam al-Muctamad cArabi-cArabi, Cet 1, Dâr al-Kutb al-cIlmiyyah, Beirut, 2007. ‘ Imârah, Muhammad, Suqûþ al-Ghulûw al-cIlmânî, Dâr al-Shurûq, Kaherah, 1995. al-Affendi, Abd al-Wahab, Who Needs An Islamic State, Malaysia Think Tank, London, 2008. al-Attas, S.M.N., Islam and Secularism, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. al-Azharî, Abî Mansûr Muhammad bin Ahmad, Mucjam Tahzîb alLughah, Juz 1, Cet I, Dâr al-Macrifah, Beirut, 2001. al-Baclabakî, Rûhi, al-Mawrid Qâmûs Arabî-Inglizî, Dâr al-Ilm alMalâyîn, Beirût, 1993. al-Buþî, Muhammad Sacîd Ramadân, al-Jihâd fi al-Islâm, Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numârisuh, Dâr al-Fikr, Damascus, 1999. c al Asmâwî, Muhammad Sacid, al-Khilâfah al-Islâmiyah, Cet V, alIntishâr al-cArabî, Beirût, 2004. al-cUbâdî, Ibrâhîm, Jadaliyât al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âsir, Dâr alHâdî, Lebanon, 2001. al-Dasûqî, Shams al-Dîn Muhammad cIrfah, Hâshiyah al-Dasûqî cAlâ al-Sharh al-Kabîr, Juz 2, Dâr al-Fikr, Beirût, tt. al-Dimishqî, cImâd al-Dîn Abî al-Fidâ Ismâcîl bin Kathîr, Tasîr alQur’ân al-cAzîm, Cet 1, Maktabah Awlâd al-Shaykh li al-Turâth, Kaherah, 2000. al-Humayyim, Abd al-Laþîf, al-cAlâqât al-Dawliyah fi al-Sharicah wa al-Qânûn fi al-Silm wa al-Harb, Dirâsah Muqâranah, Dâr c Ammâr, Jordania, 2006. al-Islâmiyah, Wazârat al-Awqâf wa al-Shu cûn, al-Mawsûcah alFiqhiyah, Juz 20, Cet II, Tabâcah Dhâta al-Salâsil, Kuwait, 1990. Aliya, Samir, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat Dalam Islam, Terjemah; Asmuni Solihan Z, Cet I, Khalifa, Jakarta, 2004. al-Jawziyah, Ibn Qayyim, Ahkâm Ahl al-Zimmah, Juz 1, Cet II, Dâr al-cIlm li al-Malâyîn, Beirût, 1998. al-Kasânî, cÂla al-Dîn bin Mascûd, Badâic al-Sanâic fi Tartîb al-Sharâic Juz 7, Cet II, Dâr al-Kitâb al-cArabî, Beirût, 1982. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
184 HERMANTO HARUN
al-Khatîb, Muhammad Sharbînî, Mughnî al-Muhtâj ilâ Macrifat Macânî Alfâz al-Minhâj, Juz 4, Matbacah Mustafâ al-Bâbî alHalbî wa Awlâduhu, Mesir, 1958. al-Laþîf, Abd Shâfi Muhammad Abd, al-Sîrah al-Nabawiyah wa alTârîkh al-Islâmî, Dâr al-Salâm, Kaherah, 2007. al-Madanî, Muhammad bin Ishâq bin Yasâr al-Maþlabî, al-Sîrah alNabawiyah, Cet 1, Dâr al-Kutb al-cIlmiyah, Beirût, 2004. al-Mardawî, cAlâ al-Dîn, al-Insâf fi Macrifat al-Râjih min al-Khilâf , Cet I, Juz 4, al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kaherah, 1956. al-Masîrî, cAbd Wahâb, Dirasât Macrifiyah fî al-Hadâthah alGharbiyah, Cet 1, Maktabah al-Shurûq al-Dawliyah, 2006. al-Misrî, Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzûr al-Afrîqî, Lisân al-Arab, Dâr al-Bairût li Tabâcah wa alNahsr, Beirut, 1968. al-Mubârak, Muhammad, Arâ Ibn Taimiyah fi al-Dawlah,wa Madâ Tadâkhuliha fi Majâl al-Iqtisâdî, Dâr al-Fikr, Beirût, tt. al-Naysâburi, Mahmud ibn Abî al-Hasan Ibn al-Husayn, Icjaz alBayân can Macâni al-Qur’ân, Juz 2, Cet 1, Maktabah al-Tawbah, Riyâd, 1997. al-Qaradâwî, Yûsuf, Min Fiq al-Dawlah fi al-Islâm, Makânatuhâ, Mac âlimuhâ, Tabicatuhâ, Mawqifuhâ min al-Dimukrâþiyah wa alTacaddudiyah wa al-Mar’ah wa Ghayr al-Muslimîn, Dâr alShurûq, Kaherah, 1997. al-Qasimy, Zafir, Nizâm al-Hukm fi al-Sharicah wa al-Târikh alIslâmî, Dâr al-Nafâis, Beirût, 1980. al-Qaþþân, Mannâc, Târîkh al-Tashric.al-Islâmî, Cet V, Maktabah Wahbah, Kaherah, 2001. al-Qaysî, Abi Muhamad Makkî Ibn Abî Tâlib, al-Hidâyah ilâ Bulûgh al-Hidâyah, Juz 13, Cet 1, Jâmi c ah al-Shâriqah, Imârat Muttahidah, 2008. al-Qurþubî, Abî Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansârî, al-Jâmic li Ahkâm al-Qur’ân, Cet 1, Juz 3, Dâr al-Kutb al-cIlmiyah, Beirût, 2000. al-Ramlî, Shams al-Dîn Muhammad bin Abî al-cAbbas, Nihâyat alMuhtâj cAlâ Sharh al-Minhâj, Juz 8, Dâr al-Fikr, Beirût, 1984. al-Shâficî, Abi cAbdillah Muhammad Bin Idrîs, al-Umm, Cet I, Juz 4, al-Maktabah al-Qayyimah, Kaherah, 1990. al-Torîhî, Fakhr al-Dîn, Majmac al-Bahrayn, Juz 3, Cet II, Muassah Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 185
al-Wafâ’, Lebanon. 1983. al-Wahâb, Abdullah bin al-Imâm Muhammad bin Abd, Mukhtasar Sîrah Nabawiyah, Muassasah al-Rayyân, Beirût, 2000. al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Dâr al-Fikr, Damaskus, 1989. al-Zuhaylî, Wahbah, Athâr al-Harb fi al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah Muqâranah, Cet 4, Dâr al-Fikr, Demascus, 1992. al-Zuhaylî, Wahbah, Mawsucah al-Fiqh al-Islâmî al-Muc âsir, Cet I, Juz 5, Dâr al-Maktabî, Sûriah, 2007. Athîr, Majd al-Dîn Mubârak bin Muhammad Ibn, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîth wa al-Athâr, Juz 5, Dâr al-Fikr, Beirût, tt. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Ba’labakî, Rûhî, al-Mawrid, Modern Arabic English Dictionary, Cet VIII, Dâr al cIlmi Li –al Malâyîn, Lebanon. Budiarjo, Miriam, Daras-Dasar Ilmu Politik, Cet : 30, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Daghîm, Samîh, Muwsûcah Mustalahât al-cUlûm al-Ijtimâciyah wa al-Siyâsiyah fi al-Fikr al-cArabî wa al-Islâmî, Cet 1, Maktabah Lubnân Nâshirun, 2000. Daud, Wan Muhammad Nor Wan, Falsafah Dan Amalan Pendidikan Islam, Syed M Naquib al-Attas, Suatu Hurain Konsep Asli Islamisasi, Cet 1, Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005. Duhamel, Olivier & Yves Meny, al-Mucjam al-Dustûrî, Cet 1, alMuassasah al-Jamiciyyah li al-Dirâsaât wa al-Nashr wa al-Tawzic, 1996, Beirût. Evans, Graham & Jeferey Newnham, Qâmûs Penguin li al-cAlâqât al-Dawliyah, Cet 1, Markaz al-Khalij li al-Abhâth, al-Imârât alArabiyah, 2004. Fatânî, Ismâcil Lutfî, Ikhtilâf al-Dârain wa Atharuhu fi Ahkâm alMunâkahât wa al-Muâcmalât, Cet II, Dâr al-Salâm li al-Tabâcah wa al-Nashr wa-al Tawzic, Kaherah, 1998. Ghânim, Ibrâhîm al-Bayumî, Maqâsid al-Sharîcah wa Qadâyâ alc Asr, Cet I, Muassasah al-Furqân li al-Turâth al-Islâmî, Kaherah, 2007. Hasan, Muhammad Sidiq, al-Dîn al-Kholis, Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyah, Beirût, 1995. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
186 HERMANTO HARUN
Hawwâ, Sacid, al-Asâs fi al-Tafsîr, Cet VI, Juz 5, Dâr al-Salâm li Tabâcah wa al-Nash wa al-Tawzî, Kaherah, 2003. Haykal, Muhammad Khayr, al-Jihâd wa al-Qitâl fi al-Siyâsah alSharciyah, Cet II, Juz I, Dâr al-Bayâriq, Lebanon, 1996. Husaini, Adian, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, Pustaka Da’i, Jakarta, 2003. Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2005. Jamâcah Kibâr al-Lughawiyîn al-Arab, al-Mu’jam al-Arabî al-Asâsî, al-Munazzamah al-Arabiyah li al-Tarbiyah Wa al-Thaqâfah wa al-Ulûm, tt. Khaldûn, Abd al-Rahmân Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Dâr alKutb al-Ilmmiyah, tt. Beirût. Khalîl, Shawqî Abû, Atlas Duwal al-cÂlam al-Islâmî, Jughrâfia, Târîkhî, Iqtisâdî, Cet 1 Dâr al-Fikr, Beirût, 1999. Khawand, Massoud, al-Mawsucah al-Târîkhiyah al-Jughrâfiyah, Juz 12, Isdâr Khâs, Beirut, 1998. Mohamad, Mohd Nasran, Precepts of Islamic Law Regulating Conduct in Warfare, Based on an Examination of al-Nawawi’s Minhaj, Cet I, Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia, 2009. Muslim, Imam, Sahîh Mulim, Juz 3, Dâr Ehyâ al-Turâth,al-cArabî, Beirût. Qudâmah, Abû Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin, al-Mughnî, Hajr li al-Tabâcah wa al-Nasr wa al-Tawzîc, Kaherah, 1989. Qutb, Sayyid, fi Zilâl al-Qur’ân, Cet XIII, Dâr al-Shurûq, Kaherah, 1987. Quwaysî, Hamid Abd al-Majîd, al-Wazîfah al-cAqîdiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah, Dirâsah Manhajiyah fi al-Nazarât al-Siyâsah alIslâmiyah, Dâr al-Tawzic wa al-Nashr al-Islâmiyah, Kaherah, 1993. Rabbaþ, Idmon, al- Wasîþ fi al-Qânûn al-Dustûri al-cÂm, Juz 1, Dâr al-cIlmî li al-Malâyîn, Beirût, 1968. Râziq, cÂlî cAbd, al-Islâm wa Usûl al-Hukm, Bahth fi al-Khilâfah wa al-Hukûmah fi al-Islâm, Dâr Maktabah al-Hayât, Beirût, 1966. Ruslân, cUthmân Abd al-Muciz, al-Tarbiyah al-Siyâsah cInda alIkhwân al-Muslimîn, Dâr al-Tawzîc, Kaherah, 1990. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
RELASI ISLAM DAN NEGARA 187
Sabine, George, History of Political Theory, Henry Holt and Company, New York, 1954. Saltou, Roger H., An Introduction to Politic, Longmans, London, 1961. Sayyid, Ridwân, al-Ummah wa al-Jamâcah wa al-Sultah, Dirâsat fi al-Fikr al-Siyâsi al-cArabî al-Islamî, Cet I, Dâr Iqrâ, 1984. Shaltût, Mahmûd, Tafsir al-Qurcân al-Karîm, Dâr al-Shurûq, Cet 11, Kaherah, 1988. Sills, Devid L., et al, International Encyclopedia of Social Science, Vol II, The Macmillan Compeny & The Free Press, New York, 1972. Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Cet II, Bumi Aksara, Jakarta, 1992. Syamsudin, Din, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000. Syamsudin, Din, Membumikan al-Qur’ân dan As-Sunnah Untuk Pembangunan Negara Moden, dalam; Islam Dalam Era Globalisasi, Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, Kuala Lumpur, Cet 1, 2007. Teh, Dato Wan Zahidi Wan, Pelaksanaan Siyasah Shair’iyah dalam Pentadbiran Kerajaan. Cet 1, Hazrah Enterprize, Malaysia, 2002. Tha’imah, Sâbir, al-Dawlah wa al-Sultah fi al-Islâm, Kaherah, Maktabah Madbûlî, 2005. Tibi, Bassam, et al, Etika Politik Islam, Civil society, Pluralisme dan Konflik, Cet I, ICIP, Jakarta, 2005. Tubuliyâk, Sulaimân Muhammad, al-Ahkâm al-Siyâsah li alAqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmî, Cet 1, Dâr al-Nafâis, c Ammân, 1997.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011