136 _______Rekonstruksi Regulasi Tugas dan Wewenang Gubernur Menguatkan Hirarki. Hj. Andi Kasmawati
REKONSTRUKSI REGULASI TUGAS DAN WEWENANG GUBERNUR MENGUATKAN HIRARKI PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI Oleh:
Hj. ANDI KASMAWATI Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Email:
[email protected] Abstrak: Pemerintahan daerah provinsi diawal reformasi mengalami stagnasi kepemerintahan karena tugas dan wewenang yang dimilikinya tereduksi oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah namun dalam pemberlakuannya ditemukan berbagai persolan sehingga diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah, pada UU ini kembali memberi ruang kepada pemerintah provinsi/gubernur untuk menjalin hubungan hirarki pemerintahan, UU ini ditunjang oleh perundang-undangan lainnya diataranya PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM, PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan terakhir PP No. 19 Tahun 2010 tetang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Ddaerah Provinsi, pada PP yang terakhir ini mempertegas posisi gubernur dalam melakukan Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten/Kota, serta dapat menjatuhkan sankri bagi daerah/kota yang sulit diajak berkoordinasi dalam perencanaan pembangunan daerah. Kata Kunci: Hirarki Pemerintahan Provinsi Menguat PENDAHULUAN Tugas dan wewenang pemerintahan daerah merupakan topik yang tidak akan pernah selesai dan akan selalu menarik untuk dikaji, karena masalah tugas dan wewenang menjadi penentu bagi setiap jenjang pemerintahan menjalankan program pembangunannya, sejak reformasi, masalah tugas dan wewenang pemerintahan daerah senantiasa mengalami perkembangan mengikuti perkembanga pemerintah dan masyarakat. Munculnya dinamika pemerintahan dan masyarakat berkonsekuensi pada lahirnya regulasi yang berimplikasi pada lemahnya posisi dan tanggung jawab pada setiap jenjang pemerintahan. Hal itu dapat kita lihat sejak tahun 1998 beberapa regulasi mengenai pemeritahan daerah telah lahir, diawali lahirnya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun 1999), kemudian diganti dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2004.
Tentang Pemerintahan Daearah (UU No. 32 Tahun 2004) yang telah direvisi dengan Undang Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua Undang– Undang ini memberikan kedudukan gubernur selaku pemerintahan daerah provinsi menempati posisi yang berbeda. Pada UU No. 22 Tahun 1999 posisi gubernur lemah terhadap pemerintah daerah kabupaten dan kota, sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2004 posisi gubernur kembali menguat dan diperkuat lagi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah diwilayah Provinsi. Lahirnya PP No. 19 Tahun 2010 ini oleh penulis menarik untuk dikaji terutama dalam menelaah latar belakang, substansi, dan kesesuaiannya dangan regulasi lainnya yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
137 REKONSTRUKSI REGULASI PEMERINTAHAN DAERAH Rekonstruksi perungang-undangan pemerintah daerah dilandasi oleh adanya pembagian daerah sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) perubahan kedua Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 yaitu: “Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Ketentuanketentuan yang lebih menekankan adanya hubungan keterkaitan dan ketergantungan serta sinergi antartingkat pemerintahan juga dipertegas dalam UU No 32 Tahun 2004 yang membagi daerah kabupaten atau kota dengan provinsi secara berjenjang (hirarki). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yaitu: “Negara kesatuan republik indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masingmasing mempunyai pemerintah daerah”. Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (4) yaitu: “Pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya”. Pada Pasal 11 ayat (2) yaitu: “Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dan atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan”. Pembagian daerah seperti ini berbeda sekali dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih memperlihatkan kemandirian atau kebebasan (indepedensi) daerah kabupaten kota dari daerah provinsi. Pemerintah Provinsi bukan merupakan pemerintah atasan dari Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak ada hubungan hirarki antara Pemerintah Supremasi, Volume VI Nomor 2, Oktober 2011
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota (penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 Bab I angka 1 huruf f) demikian pula pada ketentuan Pasal 2 (1) pada UU No. 22/1999 yang menekankan bahwa: "Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom". Ketentuan yang terdapat dalam kedua UU pemerintahan daerah tersebut menunjukkan bahwa pada awal reformasi pergeseran paradigma tata pemerintahan daerah mengarah kepada penguatan kewenangan pada pemerintah daerah terutarna pada pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai titik berat otonomi daerah, oleh karena itu seiring dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945 maka UU pemerintahan daerah UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, dan pada pergantian ini diatur kembali hubungan hirarki tersebut. Perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal hubungan hirarki antara pemerintah dengan pemerintah daerah, dari tidak ada hubungan hirarki pada UU No. 22 Tahun 1999 menjadi ada hubungan hirarki pada UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal hubungan hirarki antara pemerintah dengan pemerintah daerah, dari tidak hubungan hirarki pada UU No. 22 Tahun 1999 menjadi ada hubungan hirarki pada UU No. 32 Tahun 2004 makin diperkuat dengan lahimva Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan, Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, yang ditetapkan pada Tanggal 28 Januari 2010, dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 25 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah ini lahir untuk rnernperjelas dan mempertegas peran gubernur sebagai wakil pemerintah untuk ISSN 1412-517X
138 _______Rekonstruksi Regulasi Tugas dan Wewenang Gubernur Menguatkan Hirarki. Hj. Andi Kasmawati melaksanakan pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan penyelesaian kegiatan pembangunan di daerah, selain itu diharapkan pula dapat mengurangi ketegangan yang selama ini seiring terjadi dalam hubungan antara bupati/walikota dan gubernur di daerah. Perbedaan dalam memahami pola hubungan antara bupati/walikota dan gubernur di daerah selama ini (sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) berpotensi menimbulkan kesalah pahaman dan memicu terjadinya ketegangan dan ketidak harmonisan antara bupati/walikota dan gubernur, karena secara normatif pada undang-undang pemerintahan daerah, terutama pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, peran gubernur tidak jelas dan hirarki pemerintahan tidak ada, sehingga kedudukan dan fungsi gubernur lemah, sebagaimana dikemukakan Syafri Nugraha dkk. dalam tulisannya tentang Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. (2006:8): "Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmented administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuantujuan otonomi daerah. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan tidak adanya hirarki antara satu sama lain antara provinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan, dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten kota, karena sulitnya mengakses kabupaten/kota secara kelembagaan. Hubungan antara kabupaten/kota dengan pemerintah (pusat) dilakukan secara langsung, tanpa melalui
gubernur, peran dan fungsi gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintah daerah menjadi sentralalistis kembali. Oleh karena itu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah ini di anggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal hubungan kewenangan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, maka di gantilah dengan UU No. 3212004 tentang Pemerintahan Daerah, namun UU ini dianggap belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur telah terbentuk sehingga masih sering muncul masalah-masalah yang berkaitan dengan kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan. TUGAS DAN WEWENAN GUBERNUR DALAM REGULASI PEMERINTAHAN DAERAH UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sudah mengatur tentang tugas dan wewenang gubernur yaitu pada Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Gubernur dalam kedudukannya sebagaina dimaksud dalam Pasal 37 (Pasal 37 ayat (1) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan, ayat (2) dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden) memiliki tugas dan wewenang yaitu: 1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; 2. Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; 3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupatenlkota. Gubernur dalam melaksanakan tugas, wewenang, pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memerlukan pedoman
139 sebagaimana diatur dalam Pasal 223 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menetapkan bahwa: "Pedoman Pembinaan dan Pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah. " Uraian ini menunjukkan bahwa seseungguhnya dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menempatkan posisi Gubernur sebagi suatu lembaga negara yang dapat melakukan pembinaan dan pengawasan bagi pemerintah kabupaten/kota, selain itu pemerintah daerah provinsi juga menjalankan urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan ini di pertegas dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dibagi berdasarkan kewilayahan dan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Peraturan Pemerintah ini bila dilaksanakan sebagaimana yang diatur didalamnya sudah jelas pembagian kewengan mengurus urusan pemerintahan antarjenjang pemerintahan tersebut, namun dalam pelaksanaan masih terjadi tarik ulur kewenangan mengurus urusan pemerintahan, lahirnya PERDA yang tidak sinergi dengan peraturan diatasnya sehingga tidak sedikit PERDA yang dibatalkan. Selain PP tentang pembagian urusan pemerintahan yang telah diberlakukan sejak 2007 silam, maka untuk memperkuat posos gubernur pada jenjang pemerintahan daerah provinsi, dibuatlah PP No. 19 Tahun 2010, bila dicermati PP tersebut, secara teknis mengatur tugas, wewenang, dan kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. KONSISTENSI RGULASI PEMERINTAHAN DAERAH Sejak diberlakukannya UU No. 32/2004 tetang pemerintahan Daerah telah banyak Peratuaran Perundang-undangan Supremasi, Volume VI Nomor 2, Oktober 2011
yang dibuat untuk mengatur tetang tugas dan wewenang Gubernur baik sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah maupun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Berkaitan dengan wewenang pembinaan dan pengawasan gubernur dalam rangka pelanyanan minimal, pemerintah telah menetapkan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) bahwa: "Pembinaan Penerapan Standar Pelayanan Minimal terhadap pemerintah daerah provinsi dilakukan oleh pemerintah, dan pembinan penerapan standar pelayanan minimal terhadap pemerintah daerah kabupatenlkota dilakukan oleh gubernur." Kemudian pada Pasal 15 ayat (3) dijelaskan "Monitoring dan Eavaluasi seabagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh a. Pemerintah untuk pemerintah daerah provinsi dan, b. Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah untuk pemerintah daerah kabupaten/kota ". Selanjutnya pada Pasal 17 ayat (2) "Pemerintah dapat melimpahkan tanggungawab pengembangan kapasitas pemerintahan daerah kabupaten/kota yang belum mampu mencapai standar pelayanan minimal kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah." Pasal-pasal tersebut pada dasarnya mengatur kewenangan pembinaan dan pengawasan secara berjenjang. Penegasan mengenai kewenangan pembinaan dan pengawasan ini dapat juga kita lihat dalam Pasal 8 ayat (2) PP No. 79 Tahun 2005 yang isinya menyatakan bahwa: "Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) yang menyatakan bahwa: pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 7 dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, batik kepada seluruh daerah atau kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan) dilakukan secara berjenjang sesuai dengan susunan pemerintahan." ISSN 1412-517X
140 _______Rekonstruksi Regulasi Tugas dan Wewenang Gubernur Menguatkan Hirarki. Hj. Andi Kasmawati Ini berarti bahwa pembinaan atau bimbingan, supervisi, dan konsultasi bagi pemerintah provinsi dilakukan oleh pemerintah pusat, sedangkan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi atau gubernur. Kemudian pada ayat (3) dijelaskan bahwa: "Pemberian bimbingan, supervis, dan konsultasi kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan oleh Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen kepada Gubernur dan dikoordinasikan dengan menteri." Hal tersebut menggabarkan bahwa kewengangan pembimbingan yang diatur dalam Pasal 8 PP No. 79 Tahun 2005 tersebut masih belum jelas kewenangan gubernur karena pada ayat (2) di sebutkan.....dilakukan secara berjenjang, sedangkan pada ayat (3) ...dapat dilimpahkan kepada Gubernur. Dalam perundang-undangan pemerintahan daerah terutama pada UU No. 32 Tahun 2004 dan berbagai peraturan pemerintah lainnya telah mengatur kewenangan gubernur, namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang telah diatur dalam perundang-undangan tersebut antara satu dengan lainnya mereduksi kewenangan yang telah diatur sebelumnya seperti, dalam PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara berjenjang dalam berbagai regulasi teknis tidak konsisten dengan berberapa peraturan diatasnya, sebagai contoh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Satndar Pelayanan Minimal dalam Pasal 22 ayat (3) di jelaskan bahwa: "Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen mendelegasikan tugas kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
teknis atas penerapan dan pencapaian tandar pelayanan minimal pemerintahan daerah kabupaten/kota." Dari kata mendelegasikan bupati, tugas Gubernur menunggu pendelegasian dari pemerintah (menteri/pimpinan lembaga) sedangkan pada PP No. 65 Tahun 2005 Pasal 14 (3) dan Pasal 15 (3) sudah jelas mengatur tugas gubernur untuk melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, tidak perlu lagi menunggu pendegosiasian dari menteri atau lembaga pemerintahan lainnya. Ketidak konsistenan peraturan perundang-undangan menimbulakan ketidak pastian dalam menjalankan pemerintahan di daerah yang dapat berimplikasi pada tidak jelasnya pengurusan urusan pemerintahan yang bermuara pada terjadinya konflik kewenangan. Kelemahan dan kesulitan yang dialami Gubernur dalam melakukan koordinasi dengan bupati/walikota dalam perencanaan pembangunan daerah, diharapkan dapat diatasi setelah lahirnya PP No. 19 Tahun 2010 ini karena Gubernur dapat memberikan sanksi kepada bupati dan walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c. yaitu: "Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji. " PENUTUP Rekonstruksi regulasi pemerintahan daerah tidak akan mungkin terhindarkan apabila dinamika kehidupan berpemerintahan senatiasa bergerak seiring bergeraknya tantangan dan kebutuhan pemerintahan dan masyarakat, setiap regulasi yang diberlakukan sedianya memperoleh tanggapan dari pemerintah dan masyarakat sehingga regulasi tersebut dapat dikatakan responsif. Terjadinya rekonstruksi regulasi di era pemerintahan reformasi ini nampaknya lebih intensif dibanding era pemerintahan
141 sebelumnya, hal ini dapat berakibat sulitnya memahami, dan menimbulkan ketidak pastian dalam menerapakan peraturan yang telah diberlakukan karena peraturan yang lama belum tersosialisasi dengan baik muncul lagi peraturan yang baru, begitupula dengan materi yang diatur dalam peraturan tersebut sering terjadi tumpang tindih. Kondisi inilah yang dialami pemerintah daerah provinsi sehingga untuk memberikan ketegasan dan kepastian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2010 tetang tata cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Meski PP ini memiliki muatan materi yang baru tapi tugas dan wewenang gubernur sesungguhnya ditemukan juga pengaturan sudah diatur sebelumnya pada UU maupun PP atau peraturan lainnya.
“Reposisi dan Akselerasi Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah.
DAFTAR BACAAN Eko
Prasojo, 2008. Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Di Indonesia Antara Senripetal dan Sentifugal, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Administrasi Publik Pada FISIP UI, Jakarta 8 April 2008. Safri Nugraha, dkk. 2006 Pemahaman Dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerinatah Pusat dan Pemerinatahan Daerah. dikunjungi dalam: http://www.admsci.ui.edu=20062 0070130&act=detpubliction Sinar Harapan, 2010 Pemerintah Perkuat Posisi Gubernur (Rabu 24 Februari 2010) Gubernur Sulawesi Selatan, 2009 Rekonstruksi Regulasi Tugas dan wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Makalah Seminar Nasional Supremasi, Volume VI Nomor 2, Oktober 2011
ISSN 1412-517X