Reaktualisasi Mempertahankan Nilai LOKAL DAN MORAL KEAGAMAAN PESANTREN PERSPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID Nasri Kurnialoh Sekolah Tinggi Agama Islam Pelita Bangsa Cikarang E-mail:
[email protected] Muhammad Miftah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus E-mail:
[email protected]
Abstrak Semakin disadari bahwa tantangan besar dalam masyarakat modern adalah dekadensi moral dan agama, lambatnya laju perkembangan ekonomi masyarakat, dan tingginya angka konsumerisme masyarakat. Tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang, oleh karena itu pendidikan pesantren dituntut untuk terus berkembang dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lokal dan moral keagamaan, meskipun pesantren dalam desakan teknologi informasi, kapitalisasi, dan arabisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa upaya Abdurrahman Wahid dalam mempertahankan nilai lokal dan moral keagamaan pesantren yang merupakan salah satu model pendidikan yang dimiliki bangsa ini yang telah memenuhi standar operasional prosedur fungsi edukatif. Materi yang disampaikan bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukan peran masa depan secara kongkrit, yakni cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan dan Tuhan. Kata Kunci: Nilai Lokal, Moral, Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid.
224
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Abstract It is increasingly recognized that the great challenge in the modern society are moral decadence and religion, the slow pace of economic development of society, and the high number of consumerist society. The challenge of pesantren is greater and heavier in the present and future, therefore, pesantren educations are demended to grow by maintaining the local values and religious morals, although pesantren is in pressuring of information technology, capitalization, and arabization. The purpose of this study was to analyze the efforts of Abdurrahman Wahid in retaining local values and moral religious of pesantren which was the one model of education of this nation that met the standards of operating procedures of educative function. The material presented did not only give the access to the students referral lives of the golden heritage of civilization islamic in the past time, but also showed the future role concretely, the way of life that crave peace, harmony with the society, environment and God. Kewords: Local Value, Moral, Pesantren, KH. Abdurrahman Wahid.
A. Pendahuluan Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh, berkembang dan tersebar di berbagai pedesaan dan perkotaan. Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri”1 dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam.2 Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.3 Dalam penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya. Lihat Clifford Geertz, “Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 61 2 Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h., 329. 3 Ibid., h. 328. 1
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
225
Keberadaan pesantren sebagai lembaga keIslaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai yang strategis dalam pengembangan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dinamika kehidupan di masyarakat saat ini semakin menunjukkan pergeseran karakter bangsa. Masyarakat Indonesia yang dulu populis-sosialis berganti menjadi manusia yang materialis-individualis, bahkan anarkis. Tidak ada lagi gotong-royong, yang ada hidup yang serba diukur dengan materi serta kesenjangan sosial yang semakin lebar. Kedamaian dan kerukunan berganti konflik yang berujung pada tawuran dan bentrok antar kelompok. Salah satu tokoh bangsa yang peduli terhadap nilai lokal dan moral keagamaan pesantren di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur. Bagi Gus Dur manusia adalah ciptaan terbaik Tuhan yang bertugas menjadi khalifah dalam memakmurkan bumi ini. Karena ciptaan terbaik, maka pendidikan bagi manusia adalah langkah terbaik agar manusia merealisasikan tugas kekhalifahan yang disandangnya. Pertama-tama, bagi Gus Dur, lembaga pendidikan harus mampu membangun basis dan pondasi. Basis itu adalah kearifan nilai lokal dan moral keagamaan. Di sini, yang dimaksud kearifan lokal oleh Gus Dur adalah nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan dalam ajaran agama. Efendi menjelaskan bahwa dalam bahasa Gus Dur, kearifan lokal itu disebut dengan pribumisasi Islam, di mana ajaran Islam dan tradisi lokal dijadikan sebagai landasan moral dalam nyata kehidupan. Karena penanaman nilai-nilai moral dapat dilakukan melalui pendidikan, maka kearifan lokal (tradisi dan ajaran agama Islam) harus dijadikan ruh dalam proses pendidikan.4 Di samping itu, adat istiadat dalam suatu tatanan masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma adat yang berlaku menjadi landasan moral dalam berperilaku. Kearifan lokal yang terbentuk dari tradisi dan lokalitas ajaran mampu
Efendi, Pendidikan Islam Transformatif ala KH.Abdurrahman Wahid, (Wonosobo: Gama Media,2010), h. 96. 4
226
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
memberikan pelajaran hidup yang berguna bagi proses perkembangan kedewasaan seseorang, tentu saja melalui proses pendidikan.5 Tulisan ini mengangkat kiprah yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid terhadap pesantren, nilai moral dan lokal ke Indonesiaan serta metode pembentukan perilaku santrinya. Dari penelusuran itu, langkah-langkah pesantren itu ke depan sangat penting untuk digaungkan secara intens agar pesantren benar-benar bisa eksis, berperan maksimal mengantarkan masyarakat pada kemampuan untuk menyikapi kehidupan-kehidupan kontemporer dengan segala dampak yang dibawahnya. B. Kajian Teori 1. Nilai Lokal dan Moral Keagamaan Pesantren. a. Islam Kultural dan Modernisasi. 1) Nilai-nilai Lokal dan Moral Keagamaan.
digeser dibawah kata islam
Nilai-nilai lokal dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya atau dapat pula dikatakan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Nilainilai lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.6 Mengacu pada pengertian di atas setidaknya nilai-nilai lokal memiliki ciri yakni; Mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Bila mana kita membaca dalam literatur dalam Islam kita mengenal istilah urf, yang dilawankan dengan al-‘addah al5 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan agama berwawasan multicultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 124. 6 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, (Bandung: Setia Purna Inves, 2007), h. 13.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
227
jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement).7 Ketika Islam datang ke tanah Jawa, Islam segera beradaptasi dengan apa yang ada. Akulturasi antara Islam dengan budaya setempat berlangsung secara damai.8 Proses akulturasi dan adaptasi antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Fiqh, bahwa “al-‘adah muhakkamah,” adat itu dihukumkan atau lebih lengkapnya, “adat adalah syari’at yang dihukumkan” (al-‘adat syari’ah muhakkamah), artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.9 Karenanya, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam ilmu Ushul fiqh, budaya lokal dalam bentuk kebudayaan itu disebut ’urf, karena ’urf suatu masyarakat sesuai dengan uraian di atas mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya secara kritis dan tidak dibenarkan sikap yang hanya membenarkan semata. Hal ini sesuai dengan berbagai prinsip Islam sendiri yang menentang tradisionalisme.10 Atang Abd Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 15. 8 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 66. 9 Lihat dalam al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abi Bakar al-Ahdali al-Yamani as Syafi’i (Kudus: Menara Kudus, tt), h. 63. Lihat juga dalam Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. Keempat (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 550. 10 Tradisi itu belum tentu semua unsurnya tidak baik sehingga perlu diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diteliti, sedangkan tradisionalisme itu cenderung negatif karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Lihat Nurcholish Madjid, Islam,…. hal. 552. Contohnya adalah seperti tradisi peringatan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia (3, 7, 40, 100 7
228
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Gus Dur melihat Islam dan pluralisme itu dalam konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme dalam Islam. Menurutnya, ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam memberikan 5 (lima) jaminan dasar kepada warga masyarakat, baik secara personal (individu) maupun sebagai kelompok (impersonal). Kelima jaminan dasar tersebut tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yang terdiri dari: 1) Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; 2) Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; 3) Keselamatan keluarga dan keturunan; 4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan 5) Keselamatan profesi.11 Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Di sinilah pemaknaan moral keagamaan sebagai penggerak dalam Negara. Gus Dur menegaskan dengan melihat realitas objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik, Islam sebaiknya menempatkan diri sebagai faktor komplementer dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tujuan akhirnya (ultimate aim) adalah memfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.12 Dalam berbagai terminologi, kita mengenal istilah moral, akhlak dan etika. Moral secara lughowi berasal dari bahasa latin mores bentuk jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan atau susila, yang dimaksud dengan adat kebiasaan dalam hal ini adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima oleh masyarakat atau dapat juga sampai 1000 hari) itu diganti dengan bacaan tahlil atau membaca kalimat tauhid La ilaha illallah, ini merupakan cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran). 11 M.Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina,1995), h. 233, Lihat juga Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan… h. 4-5. 12 Abdurrahman Wahid, “Paradigma Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren” dalam Jurnal Pesantren, (No. 3/Vol.V/1988), h. 3.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
229
dikatakan moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuranukuran tindakan yang oleh umum diterima meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk yang secara etimologis artinya adalah budipekerti, peringai, tingkah laku atau tabiat. Sedangkan secara terminologis ia memiliki pengertian ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Kemudian, istilah Etika memiliki pengertian sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, ia lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat karena itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia.13 Begitupun moral keagamaan yang kami maksud di sini adalah budi pekerti yang timbul berasaskan Islam, sebagaimana budi pekerti Rosulullah SAW. Namun begitu, pengambilan istilah moral keagamaan disini sebenarnya sebagai penjembatan pemaknaan istilah antara yang semata normatif Islam dengan moral yang berasumsi pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain moral keagamaan adalah bentuk kontekstualisasi misi Islam. 2) Modernisasi Islam. Modernisasi sering dikonotasikan dengan dunia Barat, meskipun tidak benar mutlak akan pernyataan tersebut tetapi tidak bisa disalahkan lahirnya anggapan seperti ini, sebab masih banyak orang beranggapan bahwa modernisasi masih didominasi oleh nilai-nilai dari barat, bahkan ada yang beranggapan modernisasi adalah penghalusan dari pengertian westernisasi.14 Di sisi lain, modernisasi memiliki sifat universal sedangkan westernisasi lebih bersifat regional dan simbol universal itu sendiri ditunjukkan dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai motor penggerak modernisasi. 13 Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, (Yogyakarta:Gama Media. 2005), h. 161. 14 Abudin Nata, Tokoh -Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 89.
230
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa modernisasi adalah pengertian yang identik atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi, yakni proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah (irasional) dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang akliyah (rasional).15 Akar sejarah modernisasi Islam tak akan luput dari persentuhan dunia Barat yang pada abad ke-18 sudah mapan. Kebangkitan dunia Islam dilatarbelakangi banyaknya negaranegara Islam jatuh di tangan negara-negara Barat yang menyebarkan agama Kristen di abad ke-18 sampai abad ke19. Selain itu juga dilatarbelakangi oleh kesadaran pemukapemuka Islam untuk memperbaiki kedudukan mereka dengan belajar kebarat serta keinginan untuk memodernisasikan dunia Islam.16 Kenyataan baru di abad ke-21 telah terjadi dan harus menjadi bahan renungan bagi umat Islam, yaitu jatuhnya negara Afganistan, Irak, belum lagi Libya yang kini sedang dibombardir oleh Amerika dan sekutunya. Dalam garis besarnya, ada dua hal yang melatar belakangi modernisasi Islam yang dimotori oleh para pembaharu Islam di dunia; pertama, karena komitmen untuk mengatasi keterbelakangan umat Islam dalam dalam hampir semua aspek kehidupan dan Kedua. karena terdorong kemajuan yang dicapai oleh dunia Barat dengan dampaknya terhadap dunia Islam berupa penjajahan, baik secara politik maupun kultural.17 Indonesia yang merupakan penduduk mayoritas muslim dan terbesar di dunia memiliki peran yang besar atas kemajuan umat Islam. Dalam konteks tertentu modernisasi Islam yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan adanya proses transnasional yang menumbuhkan gelombang Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), h. xiv. 16 Abuddin Nata, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta, PT Rajawali Grafindo Persada, 2005), h. VI. 17 Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 27. 15
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
231
demokratisasi dan civil society, akibat adanya relasi-relasi antar masyarakat sipil di Asia dan Eropa.18 Dampak yang cukup signifikan terlihat pada pemikiran dan gerakan keIslaman yang terwujud dalam organisasiorganisasi keagamaan. Dari hal demikian setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi modernisasi Islam di Indonesia : Pertama, faktor internal umat Islam, yakni terjadi modernisasi dan sekularisasi pendidikan Islam dan kedua, faktor eksternal Islam, yakni terjadi perubahan global akibat perkembangan teknologi dan informasi.19 Kita akan coba memotret dua ormas besar yang ada di Indonesia sebagai gerakan Islam yakni NU dan Muhammadiyah.20 ORMAS
Muhammadiyah
Otoritas agama
Majlis Tarjih PP
NU
Islam Gerakan Baru
Bahsul Masail Personal-personal (Kiai) Komunitas Kaum tua Kaum tua Cendekiawan Pengikut kirakira berumur kirakira muda kira-kira 40-65, perkotaan, berumur 4030-40, aktivis pedagang, NGO, berlatar 65, pedesaan, pengusaha, belakang NU, pedagang, pegawai negri Muhammadiyah , petani dan dan swasta, tidak terikat secara sebagian petani dan rigit terhadap kecil pegawai wiraswasta organisasi Agama negri maupun tertentu swasta Pendidikan Sebagian besar Sebagian Pesantren, umum pendidikan besar berbasis dan ilmu-ilmu social umum dan pesantren dan kritis dan filsafat sebagian sebagian kecil kecil berbasis pendidikan pesantren umum
Anders Uhlin, Oposisi Bergerak, (Bandung : Mizan, 1998), h. 172-195 Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 3. 20 Ibid., h. 38. 18 19
232
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Misi/ tujuan sebagai ideologi perjuangan
Masyarakat Islam modern atau baldatun thayyibatun warabun ghafur
Masyarakat Kebebasan berfikir, Islam tradional masyarakat terbuka, berdimensi demokratis, toleran mistik-sufisme dan pluralis
Aktivitas
Dakwah bi lisan dan bil hal
Dakwah bi lisan dan bil hal
Pengembangan wacana/pemikiran Islam “alternatif”
Wajah modernisasi Islam di belahan dunia akan memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda-beda, hal ini merupakan kekayaan yang nyata dari pemikiran umat Islam dalam mengembangkan diri guna menjadi kholifatullah fil ardh. 2. Pesantren Sebagai Penjaga Nilai-nilai Lokal dan Moral Keagamaan Sebagai sebuah institusi pendidikan yang telah mengakar pesantren merupakan dunia tradisonal Islam yang mampu mewarisi dan memelihara kesinambungan tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu. Secara gradual pesantren melakukan akomodasi dan konsesi tertentu yang dipandangnya cukup tepat dalam menghadapi modernisasi dan perubahan secara luas. Dalam infrastruktur pesantren memiliki pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren21 Hal ini mengindikasikan dalam hal dasariahnya pesantren tetap sebagai institusi pendidikan yang menjaga tradisi. Dalam hal menjaga nilai-nilai lokal pesantren memiliki peran yang besar. Dalam fakta sejarah, Islam masuk ke Nusantara tentunya dengan membawa budaya Arab. Pada awalnya dakwah Islam di Nusantara dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang Arab dengan perilaku ajaran Islam. Dalam perkembangan dakwah Islam, para Wali Songo mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S, 1994), h. 46. 21
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
233
tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan mentradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.22 Keniscayaan bahwa nilai-nilai lokal dan moral keagamaan pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan oleh karakter eksistensialnya yang tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu, melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, termasuk dalam bentuk bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Abdurrahman lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.23 Ia lebih akrab dipanggil dengan Gus Dur yang dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang Jawa Timur, dirumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syamsuri.24 Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.25
22 Lanny Octavia, Ibi Syatibi,Dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Rumah Kitab, 2014), h. 7. 23 Muhammad Rifa’I, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 19402009, (Yogyakarta, gerai house of book; 2010), h. 26. 24 Greg Barton, Biografi Gus Dur the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta, LKiS Yogyakarta; 2004), h. 26. 25 Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 36.
234
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Ayah Gus Dur adalah KH Wahid Hasyim adalah menteri agama pada tahun 1949 sedangkan ibunya bernama Hj. Sholehah. Gus Dur sendiri masih berdarah Tionghoa, beliau adalah keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.26 Saudara Gus Dur yang lain bernama Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak perempuan yang bernama Alisa, Yenny, Anita dan Inayah. Gus Dur dibesarkan di lingkungan pesantren yang sarat akan nilai-nilai agama Islam.27 Riwayat Pendidikannya dimulai dari SD, Jakarta (1953); SMEP, Yogyakarta (1956); Pesantren Tambak Beras, Jombang (1963); Department of Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir (tidak tamat); dan Fakultas Sastra, Universitas Baghdad, Irak (1970).28 Sejak masih kuliah ia sudah terlibat denagn organisasi seperti Asosiasi Pelajar Indonesia dan aktif menulis di majalah yang diterbitkan asosiasi tersebut. Ia pernah mendapatkan beberapa penghargaan internasional, antara lain: dalam bidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan dunia.29 Sosok Abdurrahman Wahid tidak hanya menarik karena ia seorang penulis tentang universal moralitas dan kemanusiaan,
26 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 33. 27 Syaifullah Ma’shum, Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), h. 287-315. 28 Ibid., h. xv. 29 Syamsul Hadi, Abdurrahman Wahid KH Abdurrahman Wahid: Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahara Book, 2009), h.11-21.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
235
melahirkan juga buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya itu telah mengundang kekaguman, perdebatan dan pertikaian.30 Gus Dur memulai karirnya dalam kepengurusan NU dengan menjabat Wakil Katib Ahwal Syuriyah PBNU sekitar tahun 1980an. Dari sini, Gus Dur sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan di berbagai tempat, dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 1984 menduduki jabatan ketua umum PBNU dalam Muktamar ke 27 NU di pondok Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo. Dalam muktamar berikutnya, baik di Krapyak (1989) maupun di Cipasung (1994), Gus Dur terpilih kembali sebagai ketua umum PBNU. Ia memimpin NU selama lima belas tahun.31 Disamping itu dalam kehidupan intelektual ia aktif dalam kelompok-kelompok studi Islam Jakarta dan diskusi-diskusi umum mengenai perkembangan pemikiran Islam. Dari tahun 1982-1985, ia bergabung dengan LSM LP3ES, dan beberapa LSM lainnya, ia juga pernah ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada saat yang sama, ia dua kali tepilih menjadi Ketua Dewan Juri festifal Film Nasional.32 Demikian juga pada tahun 1980-1983, ia menjadi nominator dari Agha Khan Award untuk arsitektur Islam di Indonesia. Kemudian dari tahun 1985-1990 ia berkhidmat di Majlis Ulama Islam (MUI). Pada awal 1991, Gus Dur menjadi ketua dan juru bicara organisasi demokrasi dari berbagai kelompok agama dan masyarakat di Indonesia. Disamping itu sejak 1994 ia menjadi penasehat International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Sacular Law, di Den Haag.33 Pada tahun 1998, tepatnya bulan Juli, Gus Dur dan kawankawannya dari NU sepakat mendirikan sebuah partai yang kemudian diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa, dan partai inilah
30 Ngatawi al-Zastrouw, Abdurrahman Wahid Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas tindakan dan Pernyataan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), h. 33-34. Lihat juga dalam M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 43-44. 31 Fuad Anwar. Melawan Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Toko Bangsa, 2004), h., 11. 32 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 114. 33 Fuad Anwar. Melawan Gus Dur, h., 11
236
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
yang kemudian mengantarkannya pada puncak karir politiknya di Indonesia yakni sebagai Presiden RI yang ke-4.34 2. Responsif Abdurrahman Wahid atas Modernisasi, Kapitalisasi dan Arabisasi terhadap Nilai Lokal dan Moral Keagamaan Pesantren Ada adagium yang masih sering dilontarkan oleh kaum muslimin yakni al-Islam sholih fi kulli zaman wal makan, hal ini mengindikasikan bahwa Islam akan selalu dinamis dalam keberadaannya. Begitupun pesantren sebagai suatu institusi pendidikan ia musti mampu menjawab setiap perubahan zaman yang ada, baik itu dari pemikiran maupun masalah-masalah yang hadir. Adanya ekspansi gerakan kapitalisme dan arabisasi ke bangsa ini lebih khusus lagi gerakan ini juga masuk ke tubuh pesantren, dari masalah ini mau tak mau musti disikapi dengan arif dan bijaksana. Abdurrahamn Wahid memberikan jawaban sekaligus gerakan yang selama ia menjadi agamawan, budayawan, pendidik maupun politisi sebagaiberikut: a. Berpijak pada Tradisi Pesantren Dari beberapa literatur mengakui bahwa Islam datang ke nusantara dengan cara damai, salah satu pola yang digunakan oleh para dai waktu itu adalah hibridasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lokal yang kemudian kita kenal dengan akulturasi Islam dengan budaya nusantara. Di sisi lain pesantren diposisikan sebagai lembaga keagamaan teryata ia terus melestarikan tradisi yang sejak dulu digunakan sebagai pola pendidikan maupun pola bermasyarakat dengan elemen luar masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya lima instrumen dasar pesantren yakni, kyai, pondok, masjid, santri, dan pengajaran kitab kuning. Belum lagi ritual-ritual yang sangat dekat dengan masyarakat baik itu dalam bentuk thoriqoh, haul, dan juga penulis menemukan tradisi lisan yang ada di pesantren merupakan sastra lisan, tradisi sastra yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut. M. Hamid, Gus Gerr Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), h. 52. 34
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
237
Ada empat tradisi lisan pesantren terpenting yang bertolak dari tradisi tulisan. Tradisi tersebut biasanya berkaitan erat dengan upacara daur hidup atau peristiwa penting dalam kehidupan kaum santri dari peristiwa kelahiran sampai kematian. Tradisi tersebut yaitu tradisi mauludan, manakiban, tahlilan, dan talqinan dan masih banyak lainnya.35 Hal di atas tersebut senada dengan penelitian Zamakhsari Dhofier, ia memandang pesantren memiliki berbagai episode kreatif pada komunitas ‘’Islam tradisional’’. Dengan menggunakan teori continuity and change (kesinambungan dan perubahan), Dhofier sampai pada suatu titik simpul, pesantren sebagai pilar utama merancang perubahan dengan tetap berpijak pada tradisi keilmuan klasik.36 Di sisi lain paham kapitalisme berpandangan lain yang lebih cenderung pada pandangan positivistik. Beberapa kalangan terutama yang masih mempercayai mantra positivisme, tradisi sering dipandang sebagai penghambat kemajuan.37 Di mata Gus Dur, semua unsur yang membentuk karakter tradisionalisme pada pesantren bisa menjadi kekuatan jika dikelola secara bertanggung jawab. Bukankah kalangan ‘’Islam tradisional’’ memiliki mantra sendiri untuk merespons perubahan tanpa mengorbankan tradisi, yakni: almuhafadzatu bil-qadimish-shalih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah. Dengan mantra ini, kalangan ‘’Islam tradisional’’ mampu mencari jalan tengah antara konservatisme dengan kreativitas.38 Maka sangat lumrah bila pesantren hingga kini terus bertahan walaupun derasnya laju zaman silih berganti. Sedangkan pada wilayah pendidikan pesantren terus mengalami dinamisasi dengan menjembatani anak didik yang lebih condong ke umum, tetapi tidak meninggalkan ilmu keagamaan.39 Abdullah, Muhammad, “Puji-pujian: SebuaBh Tradisi Lisan dalam Sastra Pesantren” dalam Warta ATL Edisi 1 Maret 1995, (Jakarta: ATL. Banda, M. M. 1995), h. 15. 36 Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discourse in Indonesia’s (Nahdlatul Ulama di Era Abdurrahman Wahid), (Jogjakarta, interfidei, 2008), h. 55. 37 Ibid. 38 Ibid, h. 87. 39 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 65 35
238
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Oleh karena itu Pesantren tidak hanya menjadi objek dalam perubahan zaman namun ia juga musti menjadi subjek dalam perubahan-perubahan yang ada dengan tradisi yang dijadikan sebagai karakter dan jati diri, pesantren akan mampu mengembangkan diri sekaligus sebagai agen perubahan sosial. Dari sini nantinya akan berkembang menuju aspek yang lebih luas seperti pada wilayah ekonomi dan pendidikan. Seperti pada aspek ekonomi pesantren sangat erat dengan kajian fiqih mu’ammalah.40 Tentunya dengan pertimbangan keadilan karena saling menguntungkan. Menurut Clifford Geertz41 beranggapan bahwa kyai atau ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Dia menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya agar tidak menanggalkan budaya lama. Masyarakat dilindungi dari pengaruh-pengaruh negatif, dan dibiarkan mengambil pengaruh-pengaruh luar yang positif.42 Penjelasan tersebut nampak bahwa pesantren merupakan kawah candradimuka sekaligus kunci guardian bagi nilai-nilai lokal dan moral keagamaan. Dalam proposisi pesantren sebagai agen sosial masyarakat ia akan berdialog dengan variable lain yakni masyarakat sebagai kumunal manusia yang mengitari pesantren, dari sinilah proses tarikmenarik akan terjadi sehingga muncul nilai yang akan mampu dilaksanakan dengan baik oleh kedua belah pihak. Karena dalam kaca mata Gus Dur semua memiliki peran sehingga perlu adanya dialog. b. Pribumisasi Islam Ada beberapa argumen yang dikemukakan Gus Dur dalam tataran pribumisasi Islam Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam baik di negeri asalnya maupun di negeri lain termasuk Indonesia.Disini menunjukan bahwa Ibid, h. 189. Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang sangat terkenal dalam studi keindonesiaan. Melalui penelitiannya di Mojokuto, yang kemudian terbit bukunya Religion of Java. Dia membagi stratifikasi sosial-religius masyarakat Jawa dalam tiga kelompok, yaitu Priyayi, Santri, dan Abangan. Meski mendapat banyak kritik dan koreksi, namun hingga sekarang teori ini masih mewarnai studi sosial-religius di Indonesia. 42 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta, Wahid Institute, 2006), h. 258. 40 41
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
239
Islammengalami proses pergulatan dengan kenyataan-kenyataan historis. Proses ini kata Gus Dur tidak mengubah Islam tetapi mengubah mani”estasi dari kehidupanagama Islam. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fiqh (nash) dengan adat.43 Adanya keragaman penafsiran menyentuh pada dataran ideologis, metodoligis, maupun praksis. Pada dataran praksis inilah agama akan membentuk keragaman kebudayaan. Kedua, bilamana Islam dipandang sebagai hasil dari kebudayaan. Islam sebagai kebudayaan tidak dimulai ketika manusia diciptakan, melainkan dimulai di Jazirah Arab di masa Nabi Muhammad SAW. Kemudian kebudayaan ini menyebar luas ke Eropa selatan, Afrika hingga Asia Tenggara. Kebudayaan ini meliputi berbagai bidang mulai dari arsitektur, makanan, pakaian, bahasa, nama-nama panggilan hingga jati diri.44 Penyebaran Islam berhasil karena ada interaksi budaya Islam dan budaya lokal yang membangun peradaban bukanlah teks, melainkan dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dialognya dengan teks di lain pihak.45 Jelaslah dengan demikian, kalau kita runut, tugas utama Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhirizzaman secara sederhana, yaitu menyampaikan risalah Gusti Allah kepada seluruh manusia di bumi dan mengajarkannya, agar bisa dicerna, diterima, dan diamalkan. Sementara dalam metode penyampaiannya, Gusti Allah telah memberikan juklak yang jelas dalam Q.S. An-Nahl [16]: 125.
ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah46dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang 43 Zubaidi, Islam dan Benturan Antar Peradaban, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 182. 44 Marshall G,S. Hodgson, The Venture of Islam, terj, Mulyadhi Kartanegara. (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 138. 45 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadap Ulum AlQur’an. terj. Khiron Nahdhiyin (Yogyakarta: LKIS. 2001), h. 1. 46 Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil
240
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]: 125).47
Jelas disini metode hikmah adalah metode yang paling dianjurkan untuk ditempuh, erat kaitannya dengan metode hikmah ini, sebuah aktifitas dakwah haruslah sangat berhati-hati, Perubahan ke arah kebaikan yang menjadi tujuan dakwah tidak bisa dilakukan secara frontal, akan tetapi dengan cara pelan dan menyejukkan. Kanjeng Nabi pernah berpesan terhadap sahabat Mu’adz bin Jabal yang diutus beliau berdakwah ke daerah Yaman, “Memudahkanlah kau, dan jangan mempersulit. Memberi kabar gembiralah, dan jangan membuat lari.” Praktis metode hikmah adalah pilihan yang tepat untuk menyentuh ruang perasaan manusia dengan ajaran Islam.48 Suatu hal niscaya pribumisasi Islam sebenarnya proses alami yang ada, jadi ia merupakan bentuk fenomena social dan dalam berjalannya waktu ternyata pribumisasi Islam mampu menjadikan Islam lebih harmonis, sehingga nilai-nilai lokal terjaga namun begitu tetap kritis terhadapnya. c. Pluralisme Agama Gus Dur adalah seorang yang berdiri ditengah-tengah suatu masa yang dibangun dalam sebuah tatanan yang sangat monolitik, baik pada tataran ideologi, politik, kebudayaan dan keagamaan. Gejala proses uniformitas (penyeragaman) tampak dalam bidang ideologi, pendidikan dan aturan-aturan keorganisasian yang seharusnya memuat aspirasi masyarakat yang pluralistik. Seperti kita ketahui bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi. Berdasarkan catatan sejarah tidak jarang keragaman dalam pengamalan dan praktek keagamaan kaum muslimin tersebut menimbulkan ketegangan antara satu kelompok dengan kelompok lain, berujung pada perselisihan dan perpecahan.
47 Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2015), h. 217. 48 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 31.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
241
Wacana umum yang berkembang dalam konsep ”minna” (kelompok dalam), dan ”minhum” (kelompok luar).49 Masing-masing kelompok melakukan psikcho war dengan saling mengkafirkan satu sama lain. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa keragaman ternyata memiliki potensi besar munculnya ketidak harmonisan yang dapat menjurus ke arah perpecahan. Unsur-unsur konflik yang tercipta disebut ”kepentingan tertanam” (vested ineteres), baik pribadi maupun kelompok, yang terbentuk oleh berbagai faktor seperti sosiologis, politik, ekonomi, kesukuan dan kedaerahan.50 Keadaan tersebut semakin menjadi rumit ketika emosi yang subjektif mendominasi keadaan sehingga inti permasalahannya menjadi kabur bahkan tidak dapat dikenali. Dalam hal ini selain keterbukaan, sangat perlu dilakukan instropeksi, kajian diri dan kelompok secara jujur dan berusaha memahami akar permaslahan secara jernih.51 Ada dua hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan sikap dialogis yang ditujukan pada dua cabang dalam kehidupan agama. Pertama, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seseorang masuk surga dan neraka adalah Tuhan sendiri.52 Karena Gus Dur sadar bahwa ada banyak hal tersembunyi dalam kehidupan seseorang selama hidup di dunia ini, dan itu hanya Tuhan yang tahu apakah seseorang itu benar atau salah di hari akhir nanti. Kedua, Gus Dur juga melangkah pada segi-segi yang lebih praktis. Bagi Gus Dur, praksis agama menjadi sesuatu yang sangat esensial di dalam hubungan antar agama yang didasari oleh toleransi dan langkah yang sangat konkrit. Sebagai bukti, Gus Dur melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka.53 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 31. 50 Nurkholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. (Jakarta, Paramadina, 1995), h.163, 51 Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 96. 52 Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), h. 108. 53 Ibid, h.109. 49
242
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Pluralisme tersebut mendasari munculnya atas kesadaran tentang kesatuan maksud dan tujuan (unity of goal and aim). Sebab pada dataran praksis, pluralism menghendaki lahirnya sikap dan pandangan yang bersifat toleran, egaliter dan menganggap perbedaan sesuatu yang bersifat ”cangkang”. Dalam pola hubungan antara pesantren masyarakat dan dua arus besar yakni kapitalisme dan arabisasi yang secara serampangan mengobok-obok nilai-nilai lokal dan moral keagamaan pesantren. Dengan sendirinya akan tumbang dengan prasyarat mutlak pemahaman yang mendalam, keterbukaan dan saling menghormati di antara berbagai eleman.54 Keterangan diatas dapat dikontekstualisasikan dengan kerangka realitas kekinian bahwa secara umum teori yang dikemukakan oleh Gus Dur musti lebih disaring dan di tempatkan pada proporsi yang tepat agar ia mampu menjadi sebuah pola sosial yang baik. D. Simpulan Gus Dur menaruh perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan kehidupan sosial masyarakat. Salah satunya melalui ide “Islam sebagai etika sosial”nya dengan mengintegrasikan ajaran agama dalam kegiatan kemasyarakatan secara keseluruhan sehingga timbul kesadaran kuat dari warga masyarakat untuk menempatkan Islam sebagai kekuatan transformative dan kekuatan kultural. Hadirnya pesantren dinilai sebagai media tepat menjadikan Islam sebagai etika sosial. Sebagai sebuah subkultur, pesantren dan tata nilainya telah memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Kontekstualisasi nilai-nilai nilai lokal dan moral keagamaan pesantren perspektif KH. Abdurrahman Wahid menjadi sebuah keniscayaan untuk dibumikan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai dasar berupa kesederhanaan, kemandirian, dan keikhlasan perlu dijadikan roh pendidikan dalam suatu rumusan kontekstual yang sesuai perkembangan dan perubahan kehidupan yang terus berjalan. Sehingga di pondok pesantrenlah nilai-nilai agama bisa tersalur dengan baik, nilai-nilai kearifan bangsa bisa terjaga dan teraplikasikan. 54
Rumadi, Dkk, Damai bersama Gus Dur, (Jakarta: Kompas,2010), h. 80.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
243
Jika pendidikan adalah proses untuk menjaga nilai, maka pendidikan pondok pesantren mampu dijadikan contoh model pembelajaran untuk kembalinya moral bangsa yang dianggap semakin bobrok. Tentunya banyak sektoral lain pula perlu digarap untuk moral yang lebih baik[.]
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad, “Puji-pujian: Sebuah Tradisi Lisan dalam Sastra Pesantren” dalam Warta ATL Edisi 1 Maret 1995, Jakarta: ATL. Banda, M. M. 1995. al-Zastrouw, Ngatawi, Abdurrahman Wahid Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas tindakan dan Pernyataan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999. Anwar, Fuad, Melawan Gus Dur, Yogyakarta: Pustaka Toko Bangsa, 2004. Anwar,
M. Syafi’i, Pemikiran Jakarta:Paramadina,1995.
dan
Aksi
Islam
Indonesia,
Assegaf, Abd. Rachman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media. 2005. Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda Karya, 1999. Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan agama berwawasan multicultural, Jakarta: Erlangga, 2005. Barton, Greg, Biografi Gus Dur the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2004. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3S, 1994. Efendi, Pendidikan Islam Transformatif ala KH. Abdurrahman Wahid, Wonosobo: Gama Media,2010. Effendi, Djohan, A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discourse in Indonesia’s (Nahdlatul Ulama di Era Abdurrahman Wahid), Jogyakarta, interfide, 2008.
244
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016
Geertz, Clifford, Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa, trj Aswab Mahasun, Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983. Hadi, Syamsul, Abdurrahman Wahid KH. Abdurrahman Wahid: Guru Bangsa Bapak Pluralisme, Jombang: Zahara Book, 2009. Hamid, Abu, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di SulSel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1983. Hodgson, Marshall G,S., The Venture of Islam, terj, Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002. INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000. M. Hamid, Gus Gerr Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010. Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000. ______, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan Pustaka, 2008. Ma’shum, Syaifullah, Karisma Ulama, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998. Nata, Abudin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. ______, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta, PT Rajawali Grafindo Persada, 2005. Octavia, Lanny, Ibi Syatibi,Dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, Jakarta: Rumah Kitab, 2014. Qodir, Zuly Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Rachman, Budhy Munawar, Argumen Islam untuk pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo, 2010. ______, Sekularisme, liberalisme, dan Pluralism, Jakarta: Grasindo, 2010. Rifa’I, Muhammad, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta: Gerai House of Book: 2010.
Reaktualisasi Mempertahankan Nilai...|
245
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009. Rumadi, Dkk, Damai bersama Gus Dur, Jakarta: Kompas,2010. Sutardi, Tedi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, Bandung: Setia Purna Inves, 2007. Uhlin, Anders, Oposisi Bergerak, Bandung : Mizan, 1998. Wahid, Abdurrahman, M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1998. ______, “Paradigma Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren” dalam Jurnal Pesantren, No. 3/Vol.V/1988. ______,, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. ______, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta, Wahid Institute, 2006. ______, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010. ______, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2001. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadap Ulum AlQur’an. terj. Khiron Nahdhiyin, Yogyakarta: LKIS. 2001.
246
|
TAPiS, Vol. 16 No. 02 Juli-Desember 2016