Topik Utama REAKTOR BIOGAS SISTEM CoLAR UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA SEBAGAI SUMBER ENERGI RAMAH LINGKUNGAN Rochman Isdiyanto, Aminnudin, Dian Galuh Cendrawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
[email protected]
SARI Cover Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR) atau reaktor anaerobik tertutup telah dapat diterapkan sebagai teknologi pengolahan air limbah industri tapioka yang menghasilkan biogas. Bioreaktor sistem CoLAR terbuat dari bahan geomembran dengan kapasitas 3.600 m3 mampu menampung air limbah dengan laju alir 150 m3 per hari. Air limbah akan mengalami proses fermentasi anaerobik dengan waktu tinggal hidrolik selama 20 hari. Hasil pengamatan pada uji kinerja bioreaktor diketahui bahwa bioreaktor CoLAR yang diterapkan dapat bekerja dengan baik. Hal ini ditandai dengan menurunnya nilai rata-rata Total Chemical Oxygen Demand (T-COD) sebesar 70,3%, yaitu dari 9.011 mg/liter turun menjadi 2.680 mg/liter atau sebesar 0,317 gr COD/liter/hari atau 949,6 kg COD/150 m3/hari. Sistem bioreaktor mampu menghasilkan rata-rata produksi biogas sebesar 485,4 m3/hari dengan kandungan metana sebesar 58,8%. Kualitas biogas tersebut secara teknis dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan. Kata kunci : bioreaktor CoLAR, limbah cair, biogas.
1. PENDAHULUAN Limbah cair pada industri pangan tradisional, seperti tepung tapioka, tahu, tempe, kerupuk kulit dan sebagainya, merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan. Timbulnya limbah pada industri pangan baik limbah padat, cair maupun gas, tidak dapat dihindari. Usaha untuk meminimalisasi timbulan limbah telah banyak dilakukan melalui mekanisme modifikasi proses maupun peningkatan efisiensi untuk memenuhi standar baku mutu agar tidak mencemari lingkungan. Jumlah dan karakteristik air limbah yang ditimbulkan pada industri pangan bervariasi
menurut jenis industrinya. Sebagai contoh pada industri tapioka tradisional, air limbah yang dihasilkan industri tapioka dapat mencapai sekitar 4-5 m3/ton ubi kayu yang diolah dengan konsentrasi bahan organik sangat tinggi. Kebutuhan oksigen untuk mendekomposisi bahan organik yang terdapat dalam air limbah tapioka secara kimiawi (COD) dapat mencapai 18.000-25.000 mg/l, sehingga diperlukan suatu sistem pengolahan dengan waktu tinggal yang lama (1). Pada umumnya sistem pengolahan air limbah industri tapioka yang saat ini diterapkan adalah pengolahan limbah secara aerobik dan anaerobik menghasilkan gas karbon diokasida
Reaktor Biogas Sistem Colar Untuk Pengolahan ....... ; Rochman I, Aminuddin, Dian GC
41
Topik Utama (CO2) dan metana (CH4). Kedua gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Dari hasil pengukuran emisi gas di kolam anaerobik diketahui bahwa setiap ton ubi kayu menghasilkan sekitar 24,4 m3 biogas dan lebih dari 50 % berupa gas metana (2). Sistem pengolahan air limbah tapioka yang saat ini diterapkan juga telah mampu mencapai baku mutu yang dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/1995, tetapi sistem ini masih menghasilkan emisi gas rumah kaca (CH 4 dan CO 2) dan menghamburkan sumber energi yang potensial, yaitu metana (CH4) yang merupakan sumber energi alternatif yang bersifat terbarukan. Meskipun pada pembakaran metana akan dihasilkan karbon dioksida, dampak karbon dioksida terhadap pemanasan global 21 kali lebih kecil bila dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh gas metana (3). Peningkatan harga bahan bakar minyak akibat semakin menipisnya cadangan bahan bakar minyak dan masalah pemanasan global telah menjadi isu utama seluruh masyarakat dunia. Pemanfaatan metana sebagai sumber energi dapat memberikan kontribusi terhadap dampak positif pemanasan global selain itu juga sejalan dengan Kebijakan Pemerintah bidang energi yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.5/ 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan INPRES No.1/2006 tentang Pemanfaatan Biofuel sebagai energi alternatif maupun Blue Print Energy Management 2020. Teknologi produksi biogas pada dasarnya adalah teknologi yang memanfaatkan proses pencernaan (digestion) yang dilakukan oleh bakteri methanogenic dalam lingkungan tidak ada udara (anaerobik). Teknologi biogas sebenarnya sudah mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1980-an, namun hingga saat ini belum mengalami perkembangan yang menggembirakan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain; masih terbatasnya tenaga ahli yang berminat menekuni biogas, reaktor
42
biogas sering tidak berfungsi dengan baik karena kesalahan konstruksi/bocor, desain tidak user friendly, cara operasi yang masih manual, serta biaya konstruksi yang mahal. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian teknis yang lebih mendalam serta dengan cara-cara pendekatan baru untuk pengembangan teknologi biogas lebih lanjut, sehingga implementasinya di lapangan tidak banyak menemui banyak hambatan dan permasalahan. Pengolahan limbah cair industri tapioka secara anaerobik telah dapat diterapkan sebagai teknologi produksi biogas. Penanganan limbah anaerobik yang selama ini menggunakan sistem kolam terbuka, kini telah dapat direkayasa dan dimodifikasi menjadi kolam sistem tertutup dan berfungsi sebagai bioreaktor. Bioreaktor sistem tertutup tersebut didesain sebagai unit penghasil biogas dan sekaligus dapat menampung biogas yang dihasilkan. Pengembangan bioreaktor dengan sistem kolam tertutup tersebut dikenal dengan sistem Cover Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR). Biogas yang dihasilkan dapat dikumpulkan di dalam bioreaktor tersebut yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang bersifat terbarukan.
2. TEKNOLOGI CoLAR Bioreaktor sistem CoLAR dibangun menggunakan bahan utama geomembrane sebagai penutup kolam dan perangkap biogas yang terbentuk selama fermentasi berlangsung. geomembrane tersebut terbuat dari High Density Poly Etylen (HDPE) dengan ketebalan 1 mm. Bahan pendukung lainnya adalah bata merah, pasir, semen untuk konstruksi bak inlet dan outlet. Stereofoam ukuran 200 x 100 x 20 cm digunakan sebagai pelampung untuk memudahkan pemasangan geomembrane dan untuk alat bantu pijakan pada waktu diakukan perawatan. Untuk sistem instalasi saluran limbah inlet dan outlet, digunakan pipa PVC AW ukuran 4" dan, untuk sistem instalasi gas, digunakan pipa PVC ukuran 3", 3/4 ", dan 1/2" .
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama Beberapa faktor penting yang harus dijadikan acuan untuk perancangan bioreaktor CoLAR untuk pengolahan limbah cair industri tapioka sebagai unit penghasil biogas adalah sebagai berikut : 1) Kapasitas produksi harian bahan baku singkong olahan. 2) Penghitungan kapasitas produksi limbah cair sebagai bahan baku pengisian. 3) Penentuan waktu tinggal hidrolik (Hidraulic Retention Time) yang yang optimal untuk proses fermentasi. 4) Penghitungan kapasitas volume total digester dan ruang penyimpanan gas. 5) Pengaturan tekanan pada sistem instalasi biogas dengan menggunakan manometer air. Kemampuan bioreaktor, sebagai tempat berlangsungnya proses degradasi bahan organik untuk menghasilkan biogas, perlu diuji kinerjanya secara seksama. Ketepatan dalam melakukan rancang bangun dan kualitas pemasangan konstruksi sangat menentukan kinerja digester biogas. Konstruksi yang salah dapat menyebabkan digester tidak dapat bekerja dengan baik, akibatnya produksi biogas tidak optimal. Untuk mengetahui apakah bioreaktor sistem CoLAR tersebut dapat berfungsi dengan baik, perlu dilakukan uji terhadap kinerja bioreaktor. Terdapat dua kelompok paramater uji untuk menentukan kinerja digester; pengujian secara fisika dan pengujian secara kimia. Pengujian secara fisika antara lain: pH, suhu, dan laju produksi gas. Sementara, pengujian secara meliputi Total Chemical Oxygen Demand (TCOD) dan kualitas biogas (komposisi gas).
3. PERANCANGAN REAKTOR COLAR 3.1. Penghitungan Kapasitas Limbah Pengembangan bioreaktor CoLAR dilakukan di pabrik tapioka, yaitu PD Semangat Jaya yang
berada di Propinsi Lampung. Bahan baku utama pembuatan biogas adalah limbah cair pabrik tersebut. Kegiatan rancang bangun reaktor CoLAR diawali dengan penghitungan kapasitas limbah harian yang dihasilkan. Berdasarkan identifikasi kemampuan produksi tapioka, PD Semangat Jaya memiliki kapasitas produksi rata-rata sekitar 30 ton singkong per hari. Penggunaan air untuk proses produksi tapioka antara lain untuk pencucian, pemarutan, ekstraksi, dan pengendapan, yang selanjutnya akan menjadi limbah cair. Kapasitas limbah cair yang dihasilkan pada industri tapioka dapat mencapai 4-5 m3/ton ubi kayu. Berdasarkan data tersebut, diperoleh koefisien limbah sebesar 4,80 liter/kg singkong. Kapasitas limbah cair dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1) sebagai berikut : Kap.Limbah = = = =
Koef. x Jml. bahan olahan. 4,8 liter/kg x 30.000 kg/hari 144.000 liter/hari 144 m3/hari
Dengan diketahuinya kapasitas limbah cair yang dihasilkan setiap harinya, selanjutnya limbah tersebut akan menjadi bahan isian reaktor/ digester dengan laju alir sebanyak 144 m3/hari secara kontinyu. 3.2. Penentuan Dimensi Reaktor CoLAR Waktu tinggal hidraulik air limbah merupakan faktor penting yang sangat menentukan terhadap keberhasilan produksi biogas, karena akan mempengaruhi laju pembebanan dan konsentrasi air limbah di dalam bioreaktor. Lamanya waktu tinggal hidrolik juga menentukan terjadinya peningkatan konsentrasi mikroorganisme di dalam bioreaktor. Keberhasilan lama kontak antara mikroorganisme dan bahan organik dalam air limbah serta kondisi proses fermentasi, seperti pH dan temperatur, sangat berpengaruh terhadap produksi biogas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tinggal
Reaktor Biogas Sistem Colar Untuk Pengolahan ....... ; Rochman I, Aminuddin, Dian GC
43
Topik Utama Vdig = WTH x Kap. limbah Vdig = 20 hari x 144 m3/hari Vdig = 2.880 m3 Vt = Vdig + 20 % Vt. Vt - 20 % Vt = Vdig 80 % Vt = Vdig Vt = Vdig / 80 % 2.880 x 1,25 3 Vt = 3.600 m
hidrolik yang optimal untuk proses fermentasi limbah cair tapioka adalah 20-40 hari ( 2, 6, 7, 8 ) dan hasil penelitian skala laboratorium dilaporkan waktu tinggal hidrolik yang optimal adalah 20 hari (9). Untuk membuat rancang bangun reaktor sistem CoLAR dengan memperhitungkan parameter laju alir limbah sebagai bahan isian dan waktu tinggal hidrolik (WTH) untuk proses fermentasi yang optimal. Perancangan desain memperhitungkan pula ruang penampung gas yang dihasilkan dari proses fermentasi sebesar 20 % dari volume total digester. Penentuan kapasitas ruang penampung gas 20 % berdasarkan hasil pengukuran emisi gas di kolam anaerobik diketahui bahwa setiap ton ubi kayu menghasilkan sekitar 24,4 m3 biogas (1). Mengacu pada angka hasil pengukuran produksi biogas tersebut, maka volume total digester (Vt) yang dibutuhkan untuk proses degradasi bahan organik dalam limbah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2) dan (3) sebagai berikut :
Cover Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR)
Dengan diketahuinya volume total digester/ reaktor 3.600 m3 maka dimensi yang dibutuhkan untuk pembuatan digester CoLAR adalah 30 m x 20 m x 6 m = 3600 m3. 3.3. Pengaturan Tekanan Proses fermentasi anaerobik senantiasa menghasilkan biogas secara terus-menerus. Produksi gas yang terakumulasi akan meningkatkan tekanan yang menuju ke segala arah. Agar biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, diperlukan upaya pengaturan
Pompa resirkulasi
COVER HDPE
Pipa Bak inlet kontrol inlet
Timbunan tanah
Bak kontrol outlet
Pipa outet
GAS STORAGE
Pipa outlet
1,5 m
1,5 m
2m
2 m
Air limbah
6m
`
30 m
Penampang Samping Dinding Cover Lagoon Anaerobic Reactor
Redesain
Gambar 1. Desain bioreaktor CoLAR
44
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama Penentuan tinggi (h) 80 cm tujuannya adalah untuk mendapatkan tekanan yang bekerja pada sistem instalasi berada pada tekanan rendah, sehingga biogas aman pada saat digunakan. Besarnya tekanan yang bekerja pada sistem instalasi biogas tersebut sebagai berikut : Pbiogas = Pudara + x g x (2X) 3 = 1atm + 1000 kg/m x 10 m/det2 x 2 (0,8 m) = 1 atm + 16000 N/m2 = 1 atm + 16000 Pa = 1 atm + 0,1579 atm = 1,16 atm Gambar 2. Bioreaktor CoLAR 4. UJI KINERJA REAKTOR CoLAR tekanan pada sistem instalasi. Tekanan gas dikontrol dengan manometer air pada level air (h) setinggai 80 cm. Pada sistem ini, manometer air berfungsi sebagai kelep pengaman tekanan (safety valve) dan sebagai perangkap air (water trap).
Kegiatan uji kinerja bioreaktor dilakukan berdasarkan beberapa parameter yang berpengaruh terhadap proses fermentasi, seperti temperatur, derajat keasaman (pH), Total Chemical Oxygen Demand (T-COD), dan konsentrasi metana. 4.1. Temperatur Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan optimalisasi produksi biogas karena dapat mempengaruhi aktifitas mikroorganisme yang akan mendegradasi bahan organik. Temperatur juga akan mempengaruhi proses anaerobik. Peningkatan temperatur akan meningkatkan laju pertumbuhan spesifik berbagai jenis bakteri. Peningkatan laju pertumbuhan spesifik akan meningkatkan jumlah mikroorganisme, sehingga meningkatkan laju dekomposisi air limbah menjadi biogas. Hasil pengukuran terhadap temperatur air limbah menunjukkan bahwa proses fermentasi anaerobik terjadi pada rentang temperatur 26 - 28 0C.
80 cm
Gambar 3. Manometer air
Pada kondisi rentang temperatur tersebut, diduga proses fermentasi telah dapat berjalan dengan baik, karena berada pada kondisi temperatur mesofilik. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa temperatur mesofilik untuk proses fermentasi adalah 25 - 40 0C dan kondisi optimum terjadi pada temperatur 30-350C.(6, 10)
Reaktor Biogas Sistem Colar Untuk Pengolahan ....... ; Rochman I, Aminuddin, Dian GC
45
Topik Utama Peningkatan temperatur dalam reaktor di lapangan tidak dilakukan, karena penerapannya memerlukan energi yang besar dan biaya yang mahal. Penggunaan temperatur ruang di daerah tropis juga diketahui telah mampu menghasilkan biogas dengan cukup baik. 4.2. Derajat Keasaman (pH) Kondisi pH sangat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme mendekomposisi bahan organik untuk menghasilkan gas metana. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pH air limbah industri tapioka, diketahui rata-rata pH air limbah berkisar antara 5,2 - 5,7 pada posisi inlet dan 6,8 - 7,2 pada posisi outlet bioreaktor. Rendahnya nilai pH air limbah pada posisi inlet (5,2 - 5,7) terjadi karena air limbah telah mengalami dekomposisi awal yang belum sempurna, yaitu proses asidifikasi bahan organik yang menyebabkan konsentrasi asam meningkat. Pada tahap asidifikasi ini senyawa-senyawa monomer akan diurai kembali menjadi asamasam organik oleh bakteri asetogenik. Produk utama dari proses dekomposisi tahap asidifikasi adalah asam asetat, asam propionat, dan asam laktat yang merupakan produk akhir dari proses asidifikasi. Proses asidifikasi berlangsung dalam waktu yang singkat akibat dari meningkatnya laju alir penambahan bahan organik (COD) dalam air limbah. Inilah yang menyebabkan pH air limbah pada awalnya mengalami penurunan. Kondisi pH berangsurangsur akan mengalami kenaikan mendekati posisi pH netral sejalan dengan bertambahnya waktu tinggal hidrolik, sehingga proses dekomposisi berjalan optimal. Kondisi pH mendekati netral sangat dibutuhkan kelompok bakteri metanogenik untuk mendegradasi asam-asam organik menjadi asam asetat, methana (CH4), dan gas-gas lain. Hasil pengukuran terhadap pH pada posisi outlet dari bioreaktor menunjukkan pH sekitar 6,8-7,2.
46
Kondisi pH pada kisaran tersebut diduga proses fermentasi anaerob dapat berjalan dengan baik untuk produksi biogas. Proses fermentasi anaerobik dapat berlangsung dengan baik pada pH sekitar 7,0 dengan pH optimumnya adalah 7,0-7,2. Sedangkan efektivitas kinerja suatu digester paling tinggi terjadi pada pH 7,0 dan nilai pH yang mendekati nilai pH netral merupakan kondisi optimum bagi bakteri metanogenik dalam menghasilkan gas metana (2). 4.3. Total Chemical Oxygen Demand Kondisi suhu dan pH air limbah pada penerapan reaktor CoLAR ini memungkinkan terjadinya proses fermentasi anaerob dapat berlangsung dengan baik. Hal ini ditandai dengan terjadinya laju penyisihan COD (COD-removal) air limbah. Hasil pengukuran terhadap nilai rata-rata Total Chemical Oxygen Demand (T-COD) limbah segar adalah 9.011 mg/liter dan setelah limbah mengalami proses fermentasi nilai T-COD turun menjadi 2.680 mg/liter. Hasil penerapan dan uji kinerja bioreaktor CoLAR juga menunjukkan bahwa, sistem bioreaktor mampu mendegradasi bahan organik dengan rata-rata laju penyisihan T-COD sebesar 6.331 mg COD/liter atau 0,317 gr COD/Liter/hari atau 949,6 kg COD/150 m3/hari dengan persentase laju penyisihan sebesar 70,3 %. Pada Gambar 5 terlihat hasil pengukuran terhadap Total COD mengalami penurunan secara signifikan sebesar 70,3 %. Menurunnya nilai T-COD menunjukkan bahwa telah terjadi penyisihan T-COD selama proses fermentasi berlangsung. Hal ini mengindikasikan sistem bioreaktor dapat bekerja dengan baik. Besarnya laju penyisihan COD (T-COD removal) adalah kemampuan sistem bioreaktor dalam mendekomposisi bahan organik (COD) dalam satuan waktu tertentu. Parameter ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja sistem bioreaktor pada proses fermentasi anaerobik.
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama TOTAL COD (T-COD) 10000
T -C O D (m g /L )
9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu Pengamatan (hari ke) Inlet
Outlet
Gambar 4 . Rata-rata penurunan nilai T-COD
Hasil laju penyisihan T-COD yang diperoleh dalam uji kinerja bioreaktor CoLAR tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada skala laboratorium dengan waktu tinggal hidrolik yang sama (20 hari), yaitu sebesar 0,430 gr COD/Liter/hari dengan persentase sebesar 82,4 %. Perbedaan hasil T-COD yang diperoleh tersebut diduga bahwa pada penelitian skala laboratorium beberapa faktor yang berpengaruh seperti temperatur, pH, pengadukan (resirkulasi), dan kondisi reaktor lebih mudah dikendalikan dibanding skala pilot plant di lapangan. 4.4. Produksi biogas Selama proses fermentasi, bahan organik yang terkandung dalam air limbah mengalami proses dekomposisi secara anaerobik dan menghasilkan biogas. Pada proses sintesa metana, setiap satu mol metana memerlukan dua mol oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Akibatnya, setiap produksi 16 gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram, sehingga pada suhu dan tekanan standar setiap stabilisasi 1 kg COD dapat menghasilkan 0,35 m3 gas metana.(2).
Biogas yang dihasilkan bioreaktor sistem CoLAR telah diukur secara kontinyu dengan menggunakan gas flow meter yang dihubungkan dengan lubang pengeluaran gas pada bioreaktor. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bioreaktor mampu menghasilkan biogas harian sebesar rata-rata 485,4 m3/hari atau setiap m3 limbah menghasilkan biogas sekitar 3,2 m3. Jika dihitung dan dikorelasikan terhadap besarnya laju penyisihan COD, laju produksi biogas sebesar 0,51 m3 biogas/kg COD/hari atau perkiraan produksi metana sebesar 0,31 m3 CH4/kg COD/hari.
Gambar 5 . Reaktor CoLAR terpasang
Reaktor Biogas Sistem Colar Untuk Pengolahan ....... ; Rochman I, Aminuddin, Dian GC
47
Topik Utama Agar biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar terbarukan, kandungan gas metana di dalamnya harus tinggi supaya biogas dapat dibakar. Untuk mengetahui komposisi biogas yang dihasilkan oleh reaktor CoLAR, dilakukan pengukuran konsentrasi gas metana. Hasil uji laboratorium terhadap komposisi biogas diperoleh rata-rata konsentrasi metana sebesar 58,8 % dengan sebaran antara 54 % - 62 %. Selain metana juga terdeteksi gas Karbondioksida (CO2) dengan konsentrasi ratarata sebesar 30.2 %, gas Nitrogen (N2) sebesar 6,5 % serta H2S sebesar 605 ppm. Dengan diketahuinya konsentrasi gas metana sebesar 58,8 %, diperkirakan rata-rata produksi metana sekitar 285 m3/hari (Gambar 6).
Biogas layak digunakan sebagai bahan bakar dan menghasilkan api berwarna biru apabila kadar gas metana minimal 50 % (11) . Konsentrasi gas metana hasil uji kinerja reaktor CoLAR ini sebesar 58,8 % sehingga memenuhi syarat untuk dapat dibakar dan dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Pada Gambar 7, tampak bahwa konsentrasi gas metana yang dihasilkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi gas karbon dioksida dan nitrogen. Hal ini menunjukkan bahwa proses metanogenesis dapat berlangsung dengan baik di dalam sistem bioreaktor anaerobik (CoLAR) tersebut.
LAJU PRODUKSI BIOGAS
Produksi Biogas (m 3)
600 500 400 300 200 100 0 15
20
25
30
35
40
45
50
Waktu Pengamatan (Hari ke) CH4
BIOGAS
Gambar 6. Produksi biogas dan metana (CH4) Komposisi Biogas
Konsentrasi Biogas (%)
70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Waktu pengamatan (hari ke) N2
CH4
CO2
Gambar 7. Komposisi biogas
48
M&E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Topik Utama 5. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil kegiatan kerekayasaan dan uji kinerja bioreaktor sistem CoLAR di atas dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :
(1) Hasanudin, U. 2006. Present Status and Possibility of Biomass Effective Used in Indonesia. Proceeding. Seminar on Sustainable Sosiety Achievement by Biomass Effective Used. EBARA Hatakeyana Memorial Fund, Jakarta.
5.1. Kesimpulan a. Kegiatan rancang bangun Cover Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR) pada pengolahan limbah cair industri tapioka dapat diterapkan sebagai teknologi produksi biogas. Kapasitas limbah cair yang dihasilkan sebesar 150 m3 per hari dapat ditampung dan terproses oleh bioreaktor CoLAR kapasitas 3.600 m3 dengan waktu tinggal hidrolik selama 20 hari. b. Sistem bioreaktor Cover Lagoon Anaerobic Reactor (CoLAR) yang diterapkan dapat bekerja dengan baik. Hal ini ditandai dengan menurunnya nilai rata-rata Total Chemical Oxygen Demand (T-COD) sebesar 70,3 %, yaitu dari 9.011 mg/liter turun menjadi 2.680 mg/liter atau sebesar 0,317 gr COD/Liter/hari atau 949,6 kg COD/150 m3/hari. c. Sistem bioreaktor mampu menghasilkan rata-rata produksi biogas sebesar 485,4 m3/ hari dengan kandungan metana sekitar 58,8 %. d. Konsentrasi metana (CH4) dalam biogas sebesar 58,8 %, secara teknis dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. 5.2. Saran a. Teknologi pengolahan limbah cair industri pangan menjadi biogas perlu dilakukan kajian keekonomian secara detail dan menyeluruh terhadap aspek teknis maupun non-teknis, sehingga hasilnya dapat dikembangkan lebih lanjut ke arah skala komersial. b. Teknologi pengolahan limbah cair industri tapioka menjadi biogas dapat dijadikan suatu percontohan teknologi yang dapat diimplementasikan pada industri pangan lainnya, seperti industri tahu, tempe, kelapa sawit, mie, industri penggemukan sapi, dan lain sebagainya.
(2) Hasanudin, U. 2007. Methane Production from Agroindustry Wastewater. Workshops on Commercialization of Renewable Energy Recovery from Agroindustrial WastewaterUniversity of Lampung, Bandar Lampung. (3) Rodhe, A. L., 1990. A comparison of the contribution of various gasses to the greenhouse effect. Science, 248, 12171219. (4) Omer, A. M., and Y. Fadalla. 2003. Biogas Energy Technology in Sudan. Journal of Renewable Energy, 28: 499 - 507. (5) Converti, A., A. D. Borghi., and M. Zilli, S. 1999. Anaerobic Digestion of The Vegetable Fraction of Municipal Refuses: Mesophilic Versus Thermophilic Conditions. Journal of Bioprocess Enginering. 21 : 371 - 376. (6) Garcelon, J., and Clark, J. 2005. Waste Digester Design. Civil Engineering Laboratory Agenda. University of Florida. http://www.ce.ufl.edu/activities/waste/ wddins.html. (7) Isdiyanto, R. dan Udin Hasanudin.2009. Pengaruh Waktu Tinggal Hidrolik Terhadap Produksi Biogas. Majalah Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan. Vol. 8. No. 2. Desember 2009. hal. 82-90. (8) Wise, D. L., P. L. Alfred, and A. S. Mostafa. 2000. A large-scale Biogestion of Diary and Pig Manure: Start Up Procedure of Batch, Fed-batch and CSTR-type Digesters. Journal of Bioprocess Wastes, 26: 15 - 31. (9) Hammad, M., D. Badarneh, and K. Tahboub. 1999. Evaluating Variable Organic Waste to Produce Methane. Energy Conversion and Managements. 40 : 1463 - 1475.
. Reaktor Biogas Sistem Colar Untuk Pengolahan ....... ; Rochman I, Aminuddin, Dian GC
49