RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ........ TAHUN ........ TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa atas perjuangan bangsa Indonesia meliputi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan negara kepulauan dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa wilayah sebagai salah satu unsur kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai batas di darat, laut, dan udara yang merupakan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada sejarah, perjanjian, dan/atau konvensi internasional; c. bahwa pengaturan mengenai wilayah negara sampai saat ini belum diatur dalam suatu undang-undang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Wilayah Negara; Mengingat:
Pasal 1, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESI A MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG WILAYAH NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah kesatuan geografis yang terdiri dari darat, perairan, dan udara dengan batas-batas yang ditentukan berdasarkan sejarah, perjanjian, dan/atau konvensi internasional. 2. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang menghubungkan titik-titik koordinat geografis yang ditentukan berdasarkan sejarah, perjanjian dan/atau konvensi internasional. 3. Wilayah Perbatasan adalah bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di batas Wilayah Negara. 4. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah dikelilingi oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air pasang. 5. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan diantara pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. 6. Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. 7. Zona Tambahan adalah jalur laut sampai selebar maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut Teritorial. 8. Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut teritorial. 9. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar laut teritorial, yang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. 10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. 11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
2
BAB II ASAS DAN TUJUAN Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Pengaturan wilayah negara kebangsaan, kenusantaraan, kerjasama, dan kemanfaatan.
dilaksanakan berdasarkan asas kedaulatan, keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, Bagian Kedua Tujuan Pasal 3
Pengaturan Wilayah Negara bertujuan untuk menjamin keutuhan Wilayah Negara dan kedaulatan negara, mengatur pengelolaan Wilayah Negara dan Wilayah Perbatasan, serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perbatasan. BAB III WILAYAH NEGARA Pasal 4 Wilayah Negara merupakan satu kesatuan wilayah perairan, daratan, dan udara yang tidak terpisahkan dengan berciri Nusantara. Pasal 5 Wilayah Negara terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Pasal 6 Wilayah Negara meliputi: a. wilayah darat termasuk tanah di bawahnya; b. wilayah perairan termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya; dan c. wilayah udara di atas wilayah darat dan wilayah perairan. Pasal 7 Wilayah darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi : a. daratan pada semua pulau-pulau yang berada di sebelah dalam garis pangkal kepulauan Indonesia;
3
b. daratan di Pulau Kalimantan dan Pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia; c. daratan di Pulau Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini; dan d. daratan di Pulau Timor yang berbatasan dengan Timor-Leste.
Pasal 8 Wilayah perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi: a. Laut Teritorial; b. Perairan Kepulauan; dan c. Perairan Pedalaman. Pasal 9 Wilayah Negara dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV BATAS WILAYAH NEGARA Bagian Kesatu Umum Pasal 10 Wilayah Negara memiliki batas di darat, perairan, dan udara. Pasal 11 Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditentukan berdasarkan sejarah, perjanjian, dan/atau konvensi internasional. Pasal 12 Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 digambarkan dalam peta wilayah. Bagian Kedua Batas Wilayah Darat Pasal 13 Wilayah Negara di darat berbatasan dengan wilayah negara: a. Malaysia; b. Papua Nugini; dan c. Timor Leste. Pasal 14
4
Batas Wilayah Negara dengan Malaysia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a sesuai dengan perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Pasal 15 Batas Wilayah Negara dengan Papua Nugini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b sesuai dengan perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Pasal 16 Batas Wilayah Negara dengan Timor Leste sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c sesuai dengan perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Bagian Ketiga Batas Wilayah Perairan Pasal 17 Wilayah Negara di perairan berbatasan dengan wilayah perairan negara: a. Malaysia; b. Singapura; c. Papua Nugini; dan d. Timor Leste. Pasal 18 Batas Wilayah Negara di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a sesuai dengan perjanjian garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Pasal 19 Batas Wilayah Negara di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b sesuai dengan perjanjian garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura. Pasal 20 Batas Wilayah Negara di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c sesuai dengan perjanjian garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Australia selaku protektor Papua Nugini. Pasal 21 Batas Wilayah Negara di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d ditentukan dengan perjanjian antara Indonesia dan Timor Leste. Bagian Keempat Batas Wilayah Udara Pasal 22
5
Batas Wilayah Negara di udara secara horizontal mengikuti batas wilayah darat dan wilayah perairan. BAB V HAK BERDAULAT Pasal 23 (1) Negara memiliki hak berdaulat di Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen. (2) Hak berdaulat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perjanjian, konvensi internasional, dan peraturan perundangundangan. (3) Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki batas dengan Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen negara: a. India; b.Thailand; c. Malaysia; d. Vietnam; e. Filipina; f. Palau;dan g. Australia. BAB VI KEWENANGAN Pasal 24 Pemerintah berwenang: a. melakukan perundingan perbatasan dan membangun/membuat tanda batas; b. melakukan pembangunan di wilayah perbatasan; c. menetapkan pembiayaan pembangunan di wilayah perbatasan; d. melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; e. memperkuat kelembagaan yang sudah ada untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembangunan wilayah perbatasan; f. menjaga wilayah perbatasan; g. memberikan hak kepada penerbangan internasional untuk melintasi udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan; h. memberikan hak kepada kapal-kapal asing untuk melintasi Laut Teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; dan i. membuat dan memperbarui peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurangkurangnya setiap lima tahun sekali dan mendepositkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
6
Pasal 25 Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a meliputi: a. penyelesaian perbatasan Wilayah Negara dan perbatasan di wilayah hak berdaulat; dan b. pengawasan, penjagaan, serta pemeliharaan tanda batas. Pasal 26 Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi: a. pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan sosial budaya; dan b. peran serta masyarakat dalam pembangunan wilayah perbatasan. Pasal 27 Dalam pemberian nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d dilakukan dengan memperhatikan nama yang diberikan/dikenal oleh masyarakat setempat. Pasal 28 (1) Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b, Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan. (2) Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi bertugas: a. melaksanakan kebijakan Pemerintah untuk pembangunan wilayah perbatasan dalam rangka tugas pembantuan; b. mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pembangunan wilayah perbatasan; c. melakukan koordinasi tentang pembangunan di wilayah perbatasan; dan d. melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten. (3) Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas: a. melaksanakan pembangunan di wilayah perbatasan sesuai dengan kebijakan Pemerintah dalam rangka tugas pembantuan; b. mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pembangunan wilayah perbatasan; c. menjaga dan memelihara tanda batas di wilayah perbatasan; dan d. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di wilayah perbatasan. Pasal 29 Dalam rangka pelaksanaan wewenang sebagai mana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf i, Pemerintah membentuk badan khusus yang terdiri dari instansi terkait.
7
Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta pembentukan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 31 Masyarakat berhak ikut serta: a. memelihara, menjaga, dan mempertahankan Wilayah Negara dari segala bentuk kegiatan yang merusak tanda batas Wilayah Negara; b. membangun wilayah perbatasan; c. memberikan masukan dalam pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; dan d. memberikan masukan kepada Pemerintah berkenaan dengan kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan. BAB VIII LARANGAN Pasal 32 Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, memindahkan tanda-tanda batas Wilayah Negara.
mengubah,
dan/atau
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 33 (1) Setiap orang yang menghilangkan, merusak, mengubah, dan/atau memindahkan tanda-tanda batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, pidana penjara ditambah 1/3 (sepertiga) dan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) serta dapat dicabut izin usahanya. (3) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh pejabat atau aparat negara/pemerintah, pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp
8
2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Dengan berlakunya undang-undang ini, segala peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan batas Wilayah Negara tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Perjanjian perbatasan yang dibuat setelah Undang-Undang ini berlaku merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
9
Pasal 36 Undang-Undang ini disertakan dengan lampiran peta Wilayah Negara beserta batas-batasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan hukum internasional. Pasal 37 Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal........... RESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal................ MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Ttd HAMID AWALUDDIN
10
RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR .............. TAHUN .......... TENTANG WILAYAH NEGARA I. UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memiliki wilayah dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya perlu dijaga, dikelola, dan dikembangkan. Pengelolaan wilayah dilakukan secara terencana dan berkelanjutan serta ditujukan dan dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Wilayah menjadi penting, sebagai salah satu unsur negara untuk meletakkan kedaulatan negara atas daratan, perairan, dan udara dengan batas-batas tertentu. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batasbatas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Penentuan batas wilayah negara didasarkan pada sejarah, perjanjian, dan/atau konvensi internasional. Dalam hukum internasional dikenal asas Utis Posidetis, yang berarti bahwa wilayah negara yang merdeka dari penjajahan sama dengan wilayah yang dikuasai oleh penjajahnya di wilayah tersebut. Asas ini menjadi rujukan dalam penentuan batas darat Indonesia dengan negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor-Leste. Batas darat antara Indonesia dengan Malaysia dan Papua Nugini merujuk pada perjanjian perbatasan antara pemerintah Inggris dan pemerintah Hindia Belanda, sedangkan batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste merujuk pada perjanjian perbatasan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis. Perbatasan dengan negara tetangga di laut merujuk pada hukum internasional yang telah mengalami banyak kemajuan. Perkembangan hukum laut tersebut menguntungkan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Semula batas laut wilayah seperti termaktub dalam "Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939" (Staatsblad 1939 No. 442) hanya 3 (tiga) mil laut dan membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisah dengan laut wilayahnya sendiri-sendiri, sehingga sangat merugikan Indonesia. Dalam perkembangannya, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state), menentukan lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut, menentukan lebar Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen. Ketentuan tentang batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain selama ini, baik batas wilayah kedaulatan maupun batas hak berdaulat terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang
11
bersumber pada sejarah, perjanjian, dan/atau konvensi internasional, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua Negara di Selat Malaka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2957); b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2994); c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai garis-garis Batas tertentu antara Indonesia dan Papua New Guinea (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3017); d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah kedua Negara di Selat Singapura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3018); e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tentang Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); g. Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara; h. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu; i. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis-Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka; j. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Suatu Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman; k. Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah Laut Timor dan Laut Arafura; l. Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara; m. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis Batas dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman; n. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
12
Garis Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut Andaman dan Samudera Hindia; o. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman; dan p. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-Batas Maritim Antara Pemerintah RI dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-Masalah Yang Bersangkutan Sebagai Hasil Perundingan Antara Delegasi Pemerintah RI dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini. Semua batas wilayah negara yang dibuat dengan penjanjian dan yang akan diperjanjikan antara Negara Republik Indonesia dengan negara lain menjadi bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Urusan mengenai batas wilayah merupakan kewenangan Pemerintah. Walaupun demikian, Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dan pembangunan wilayah perbatasan melalui asas tugas pembantuan. Disamping itu, Pemerintah membentuk suatu badan khusus untuk menjalankan kewenangan yang berhubungan dengan wilayah negara di antaranya melakukan perundingan perbatasan dan membangun/membuat tanda batas, menetapkan kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan, melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya, menetapkan kebijakan untuk memperkuat kelembagaan yang sudah ada yang melaksanakan tugas dan fungsi pembangunan wilayah perbatasan, dan membuat dan memperbarui peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan badan ini dimaksudkan untuk memadukan tugas dan fungsi lembaga-lembaga yang berkaitan dengan urusan wilayah dan batas wilayah negara serta membangun dan mengembangkan sosial-ekonomi di perbatasan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas
13
Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas.
14
Huruf b Yang dimaksud dengan “Pulau Kalimantan” adalah yang dahulu dikenal dengan Pulau Borneo. Huruf c Yang dimaksud dengan “Pulau Papua” adalah yang dahulu dikenal dengan New Guinea. Huruf d Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “Laut Teritorial” adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan. Yang dimaksud dengan “Perairan Kepulauan” adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Yang dimaksud dengan “Perairan Pedalaman” adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “perjanjian perbatasan” adalah perjanjian antara pemerintah Inggris dan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Traktat Tahun 1891, Konvensi Tahun 1915 dan 1928. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “perjanjian perbatasan” adalah perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-garis Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua New Guinea tanggal 12 Pebruari 1973, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “perjanjian perbatasan” adalah perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis pada tahun 1904 dan
15
Permanent Court Award (PCA) 1914, serta Perjanjian Sementara dan Timor-Leste pada tanggal 8 April 2005. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “perjanjian garis batas laut wilayah” adalah Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka tanggal 17 Maret 1970 sebagaimana disahkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1971. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “perjanjian garis batas laut wilayah” adalah Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura tanggal 25 Mei tahun 1973 sebagaimana disahkan dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1973. Pasal 20 Yang dimaksud dengan “perjanjian garis batas laut wilayah” adalah Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-garis Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua New Guinea tanggal 12 Pebruari 1973, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973. Pasal 21 Yang dimaksud dengan “ditentukan” adalah perjanjian batas laut wilayah antara Indonesia dan Timor Leste yang dibuat setelah Undang-Undang ini. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Yang dimaksud dengan “tanda batas” di darat dapat berupa patok, tugu, pagar/tembok atau tanda tertentu lainnya, sedangkan tanda batas di laut berupa mercusuar atau tanda tertentu lainnya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “unsur geografis lainnya” antara lain palung, selat, tanjung, dan teluk. Huruf e Cukup jelas. Huruf f
16
Cukup Huruf g Cukup Huruf h Cukup Huruf i Cukup
jelas. jelas. jelas. jelas.
Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud “instansi terkait” antara lain Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, dan Pemerintah Daerah. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
17
Pasal 37 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .......
18