DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
-----RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kebutuhan dasar manusia yang mempunyai nilai ekonomi, sosial, budaya, religius dan ekologis, serta harus digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa kebijakan pertanahan belum mampu mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat termasuk masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan sengketa dan konflik pertanahan; c. bahwa Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan pelaksanaan secara lebih tegas dan rinci sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertanahan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-undang tentang Perkoperasian; Mengingat:
1. Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20, Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28I Ayat (3), dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menetapkan:
MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN. BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan peruntukan, penyediaan, dan pemeliharaan terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta perbuatan hukum dan hubungan hukum terkait tanah. 2. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi. 3. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang selanjutnya disebut dengan Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai dengan suatu Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat. 4. Tanah Ulayat adalah Tanah yang berada di wilayah kekuasaan Masyarakat Hukum Adat. 5. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah tanah negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan kepada penerima tanah yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan baik untuk kegiatan pertanian maupun non-pertanian. 6. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA. 7. Hak Bangsa adalah kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia untuk mempunyai dan mengatur secara bersama-sama bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Hak Menguasai Negara Atas Tanah adalah kewenangan yang dipunyai negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia dalam rangka pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan, 1
9.
10.
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18.
19.
20. 21.
pengelolaan, dan pengawasan di bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak Ulayat adalah kewenangan Masyarakat Hukum Adat untuk mempunyai dan mengatur secara bersama-sama tanah ulayat yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Hak Atas Tanah adalah kewenangan untuk menguasai dan memiliki, serta menggunakan dan memanfaatkan tanah termasuk ruang di atas tanah, di bawah tanah dan/atau air tanah, yang berhubungan langsung dengan tujuan pemberian dan/atau penggunaan hak atas tanahnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak untuk menggunakan tanah hak milik orang lain untuk keperluan bangunan selama jangka waktu tertentu dengan membayar uang sewa. Hak Pengelolaan adalah sebagian kewenangan dari Hak Menguasai Negara yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada pemegang haknya dan dipergunakan untuk pelayanan umum. Pengadaan Tanah adalah kegiatan untuk memperoleh tanah dengan cara musyawarah dan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak atas obyek pengadaan tanah. Pencabutan Hak Atas Tanah adalah perolehan tanah untuk kepentingan umum dalam keadaan yang memaksa dengan ganti kerugian yang layak dilakukan oleh Presiden setelah mendengar pertimbangan Menteri. Tukar Guling (ruilslag) adalah pemindahtanganan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dipunyai oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau pemerintah desa dengan tanah dan/atau bangunan yang dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan nilai yang sama. Pengawasan Pertanahan adalah upaya agar penyelenggaraan pertanahan dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan Masyarakat Hukum Adat, dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat. 2
22. 23. 24.
25. 26.
27. 28. 29. 30.
Peradilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa tanah adat di wilayah masyarakat hukum adat yang dilakukan oleh pemangku adat berdasarkan hukum adat. Reforma Agraria adalah penataan secara fundamental struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya. Negara adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menteri adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang selanjutnya disingkat dengan KNuPKA adalah lembaga quasiyudisial yang berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan struktural. BAB II TUJUAN DAN ASAS
Pasal 2 Tujuan undang-undang Pertanahan adalah mewujudkan kemakmuran rakyat melalui: a. pemerataan pemilikan dan penguasaan Tanah, serta akses terhadap sarana dan prasarana produksi di bidang pertanahan; b. keseimbangan antara optimalisasi produksi dengan kelestarian fungsi Tanah; dan c. kepastian hukum terhadap hak atas Tanah. Pasal 3 Asas dari undang-undang Pertanahan adalah : a. kebangsaan; b. kenasionalan; c. fungsi sosial dan ekologis; 3
d. keadilan dalam penguasaan, pemilikan, pemanfaatan Tanah; e. keanekaragaman dalam kesatuan hukum; f. akuntabilitas, keterbukaan, dan partisipatif.
penggunaan,
dan
BAB III HUBUNGAN BANGSA, NEGARA, DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN TANAH Bagian Kesatu Hubungan Bangsa dengan Tanah Pasal 4 (1) Seluruh Tanah dalam wilayah Negara merupakan Hak Bangsa yang bersifat abadi. (2) Hak Bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi kewenangan secara bersama-sama : a. mempunyai semua Tanah dalam wilayah Negara; dan b. mengatur penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan Tanah. (3) Kewenangan mempunyai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak dapat diserahkan kepada siapapun. (4) Kewenangan mengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh Negara. Bagian Kedua Hubungan Negara dengan Tanah Paragraf 1 Hak Menguasai Negara atas Tanah Pasal 5 (1) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia menyelenggarakan Hak Menguasai Negara Atas Tanah. (2) Hak Menguasai Negara Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi kewenangan kepada Negara untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pertanahan. Pasal 6 (1) Kewenangan Negara untuk membuat kebijakan dan mengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berisi: a. rencana penggunaan, pemanfaatan, persediaan dan pemeliharaan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; b. penentuan macam-macam Hak Atas Tanah yang dapat dipunyai oleh orang dan badan hukum;
4
c. penentuan bentuk-bentuk perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau badan hukum terkait dengan Tanah yang meliputi: 1. peralihan Hak Atas Tanah; 2. pembebanan Hak Atas Tanah tertentu sebagai jaminan hutang; 3. pembebanan Hak Atas Tanah tertentu dengan hak atas tanah lainnya; dan 4. pelepasan Hak Atas Tanah. (2) Kewenangan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berisi penyelenggaraan: a. mengukuhkan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; b. redistribusi Tanah untuk rakyat c. pemberian Hak Atas Tanah kepada peorangan dan badan hukum; d. pemberian izin penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; e. perizinan peralihan hak atas tanah tertentu; dan f. penentuan kewajiban tertentu dalam rangka penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan tanah. (3) Kewenangan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berisi rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha yang memanfaatkan Tanah oleh Negara melalui: a. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara atau daerah dalam rangka penyediaan kebutuhan hajat hidup orang banyak; dan b. penyertaan modal negara di dalam badan usaha swasta yang melakukan kegiatan pemanfaatan tanah. (4) Kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berisi penilaian terhadap pelaksanaan kewenangan pengurusan dan pengelolaan yang berisi: a. pemantauan atas penggunaan, pemanfaatan dan dan pemilharaan Tanah oleh orang dan badan hukum. b. evaluasi terhadap kinerja penggunaan, pemanfaatan Tanah dan pemilharaan Tanah oleh orang atau badan hukum; dan c. pengenaan sanksi terhadap pelanggaran dalam penggunaan, pemanfaatan tanah, dan pemilharaan Tanah. (5) Kewenangan Hak Menguasai Negara atas Tanah yang berada di tanah ulayat dilaksanakan oleh Masyarakat Hukum Adat. Pasal 7 (1) Hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Desa, dan Masyarakt Hukum Adat sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembagian Kewenangan sebagaiamana dimaskud pada ayat (1) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5
Paragraf 2 Hak Pengelolaan Pasal 8 (1) Subyek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan adalah: a. instansi Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. Pemerintah Desa; d. Badan Usaha Milik Negara; atau e. Badan Usaha Milik Daerah. (2) Pemberian Hak Pengelolaan kepada Subyek hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk: a. mendukung pelaksanaan dan pencapaian tujuan khusus yang dibebankan kepada Subyek hukum yang bersangkutan; dan b. memenuhi kebutuhan Tanah masyarakat sesuai dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal 9 (1) Pemegang Hak Pengelolaan berwenang: a. menyusun rencana rinci peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah; b. menyerahkan pemanfaatan bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan kepada warga masyarakat yang dilayani sesuai tujuan khusus; dan c. menggunakan sebagian dari Tanah untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. (2) Hak Pengelolaan dilarang untuk dialihkan kecuali melalui tukar guling (ruilslag) yang dilaksanakan melalui persetujuan: a. DPR bagi Hak Pengelolaan yang dipegang instansi Pemerintah; b. DPRD bagi Hak Pengelolaan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah; dan c. Badan Permusyawaratan Desa bagi Hak Pengelolaan yang dipegang oleh Pemerintah Desa. Pasal 10 (1) Rencana rinci peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. bagian Tanah yang diserahkan pemanfaatannya kepada warga masyarakat yang dilayani sesuai dengan tujuan khusus; dan b. bagian Tanah yang digunakan sendiri oleh pemegang hak pengelolaan. (2) Pemegang Hak Pengelolaan wajib menyediakan dan menyerahkan bagian tanah Hak Pengelolaan untuk dimanfaatkan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari luas tanah Hak Pengelolaan. (3) Pemegang Hak Pengelolaan yang tidak menyediakan dan menyerahkan bagian Hak Pengelolaan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hak 6
Pengelolaannya batal dan tanahnya kembali menjadi Tanah Negara. (4) Rencana rinci peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Menteri. Pasal 11 (1) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b terdiri atas perorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari tujuan khusus pemegang Hak Pengelolaan. (2) Penyerahan pemanfaatan bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan kepada warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dilakukan dengan: a. keputusan penyerahan pemanfaatan Tanah, dalam hal hak pengelolaan dipegang oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah desa. b. perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah, dalam hal hak pengelolaan dipegang oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah (3) Keputusan atau perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai rekomendasi bagi warga masyarakat penerima untuk mengajukan permohonan hak atas tanah. (4) Bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan dapat diserahkan dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. (5) Bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan yang telah diserahkan kepada warga masyarakat dengan Hak Milik, menjadi hapus sejak lahirnya Hak Milik. Pasal 12 (1) Penggunaan sebagian Tanah untuk mendukung pelaksanaan bidang tugas dari subyek Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dilakukan untuk kepentingan pemegang Hak Pengelolaan. (2) Dalam hal sebagian Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimanfaatkan secara optimal, pemegang Hak Pengelolaan dapat melakukan kerja sama pemanfaatan dengan pihak ketiga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat Pasal 13 (1) Negara mengakui keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. (2) Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: 7
a. adanya Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat; b. adanya wilayah tempat hak ulayat berlangsung; dan c. adanya Hukum Adat yang mengatur peruntukan, penggunaan, penguasaan, pemilikan, peralihan Hak Atas Tanah. (3) Keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi kriteria: a. adanya sekelompok orang yang hidup bersama-sama dari generasi ke generasi berdasarkan hubungan geneologis dan/atau kesamaan wilayah tempat tinggal; b. adanya pranata kepemimpinan adat; c. adanya harta kekayaan atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma Hukum Adat. Pasal 14 (1) Pengakuan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilaksanakan melalui pengukuhan oleh: a. Peraturan Pemerintah, apabila Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat berada dilintas Provinsi; b. Peraturan Daerah, apabila Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat berada di dalam 1 (satu) Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota; dan c. Peraturah Daerah Kabupaten/Kota, apabila Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat berada di dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota. (2) Pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar permohonan pengukuhan yang diajukan oleh Masyarakat Hukum Adat kepada Pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuhan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan Pertanahan. Pasal 15 (1) Penggunaan dan pemanfaatan bagian bidang Tanah Ulayat untuk keperluan warga Masyarakat Hukum Adat dan orang luar sekedar dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dilakukan berdasarkan Hukum Adat. (2) Perolehan Hak Milik oleh perseorangan di wilayah Masyarakat Hukum Adat dilakukan sesuai dengan tata cara Hukum Adat yang berlaku pada Masyarakat Hukum Adat. (3) Hak Milik yang diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 16 (1) Pemanfaatan Tanah Ulayat oleh pihak ketiga atau warga Masyarakat Hukum Adat untuk kegiatan usaha tertentu dilakukan berdasarkan persetujuan tertulis dari Masyarakat
8
Hukum Adat mengenai penyerahan pemanfaatan tanah serta bentuk dan besarnya nilai rekognisi. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan oleh pelaku usaha sebagai syarat pengajuan permohonan dan perpanjangan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai kepada instansi yang berwenang. (3) Dalam hal Hak Atas Tanah yang dimiliki oleh pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan hapus, maka tanahnya kembali dalam penguasaan Masyarakat Hukum Adat. BAB IV HAK ATAS TANAH Bagian Kesatu Umum Pasal 17 (1) Setiap penggunaan dan pemanfaatan Tanah harus didasarkan kepada hak atas tanah, kecuali: a. Tanah yang diperuntukkan untuk ruang publik; b. Tanah yang ditetapkan sebagai cagar budaya; atau c. Tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang dilindungi, serta kawasan lingkungan setempat. (2) Masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan Tanah yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 Hak Atas Tanah tidak mencakup kepemilikan atas bangunan, tanaman, dan benda lain yang ada di atas atau di bawah Tanah, kecuali: a. secara fisik antara tanah dengan bangunan, tanaman, dan benda dimaksud menjadi satu kesatuan; atau b. Tanah dan benda dimaksud dipunyai oleh pemegang hak yang sama. Pasal 19 (1) Pemerintah menentukan batas minimum dan maksimum pemilikan dan penguasaan Tanah. (2) Batas minimum pemilikan dan penguasaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertanian ditentukan dengan luas yang dapat menjamin hidup layak dengan mempertimbangkan: a. ketersediaan Tanah pertanian; b. tingkat produktivitas lahan pertanian; dan c. perkembangan penggunaan teknologi pertanian.
9
(3) Batas minimum pemilihan dan penguasasn untuk tempat tinggal sebagimana dimaksud pada ayat (1) seluas 100m2 (seratus meter persegi). (4) Batas maksimum pemilikan dan penguasaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan di setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan: a. jaminan pemerataan penguasaan dan pemilikan Tanah; b. tingkat kepadatan penduduk; dan c. ketersediaan Tanah yang dapat diperuntukan untuk kawasan budi daya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan batas minimum dan maksimum pemilikan dan penguasaan Tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 (1) Penggunaan dan pemanfaatan hak atas tanah diselenggarakan dengan memberikan manfaat bagi pemegang hak, masyarakat, serta dengan menjaga keberlanjutan fungsi Tanah (2) Pemegang Hak Atas Tanah berkewajiban untuk: a. menggunakan dan memanfaatkan Tanah secara terus menerus sesuai dengan sifat, dan tujuan pemberian Hak Atas Tanah; dan b. memelihara kemampuan fisik dan kelestarian Tanah. c. memberikan akses masyarakat untuk memasuki Tanah yang diperuntukkan bagi ruang publik. d. tidak menggunakan dan memanfaatkan Tanah secara spekulatif dan merugikan masyarakat. (3) Perusahaan pembangunan perumahan, kawasan industri, atau pertanian wajib memberikan akses melewati tanahnya kepada warga masyarakat menuju jalan umum atau dari jalan umum menuju tanah yang dimiliki. (4) Pemegang hak atas tanah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dicabut hak atas tanahnya setelah diberikan peringatan sebanyak tiga kali oleh pejabat pemberi hak. Pasal 21 Setiap pemegang Hak Atas Tanah dilarang menggunakan dan memanfaatkan tanah yang melebihi luas Tanah yang diberikan oleh Pemerintah. Pasal 22 (1) Setiap orang secara sendiri maupun secara bersama-sama dapat memiliki Hak Atas Tanah. (2) Semua pemegang Hak Atas Tanah yang dimiliki secara bersamasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai subyek Hak Atas Tanah. (3) Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan yang sama untuk memperoleh Hak Atas Tanah. 10
Pasal 23 (1) Peralihan Hak Atas Tanah dapat terjadi karena peristiwa hukum maupun perbuatan hukum. (2) Peralihan Hak Atas Tanah yang terjadi karena peristiwa hukum terjadi karena pewarisan. (3) Peralihan Hak Atas Tanah yang terjadi karena perbuatan hukum disesuaikan dengan jenis Hak Atas Tanah dan hanya dapat dilakukan melalui bentuk dan cara yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. (4) Bentuk perbuatan hukum pengalihan Hak Atas Tanah selain yang ditetapkan oleh undang-undang batal demi hukum. Bagian Kedua Macam Hak Atas Tanah Pasal 24 (1) Hak Atas Tanah terdiri atas: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; dan e. hak sewa untuk bangunan. (2) Selain Hak atas Tanah sebagaimana dimasud pada ayat (1) ada ha katas tanah lainnya yang terdiri dari: a. Hak guna ruang diatas tanah; dan b. Hak guna ruang dibawah tanah. (3) Hak-Hak atas tanah dan hak-hak lain yang terkait dengan tanah selain yang diatur pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan undangf-undang. Paragraf 1 Hak Milik Pasal 25 (1) Hak Milik tidak dibatasi jangka waktunya dan dapat menjadi induk dari Hak Atas Tanah lain. (2) Hak Milik dapat dibebani dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu, dan Hak Sewa untuk bangunan. (3) Pembebanan Hak Milik dengan Hak Atas Tanah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan akta pemberian hak yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Pasal 26 (1) Subyek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Milik adalah: a. Warga negara Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama. b. Badan hukum Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang Hak Milik Atas Tanah.
11
(2) Syarat badan hukum Indonesia dapat ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah: a. mempunyai tugas pokok dan fungsi sosial, keagamaan dan perekonomian; dan b. menggunakan tanahnya secara langsung untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. (3) Badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. badan sosial; b. badan keagamaan; c. bank milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; dan d. koperasi pertanian yang seluruh anggotanya petani. (4) Badan hukum Indonesia yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib mengajukan permohonan perubahan Hak Milik menjadi Hak Atas Tanah lain sesuai dengan penggunaannya. (5) Badan hukum Indonesia yang tidak mengajukan perubahan hak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan hapus haknya dan tanahnya kembali menjadi Tanah Negara. Pasal 27 (1) Hak Milik dapat terjadi melalui: a. ketentuan konversi; b. penetapan pemerintah; dan c. ketentuan Hukum Adat. (2) Hak Milik yang terjadi melalui Ketentuan Konversi sebagaima dimaksud pada ayat (1) huruf a lahir sejak berlakunya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. (3) Hak Milik yang terjadi melalui penetapan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b lahir pada saat dilakukan pendaftaran hak atas tanahnya. (4) Hak Milik yang terjadi melalui ketentuan hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi karena: a. adanya penguasaan fisik Tanah yang dilakukan secara terbuka; b. dikuasai dengan itikad baik; c. dimanfaatkan secara terus menerus; dan d. tidak dipermasalahkan oleh Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain. Pasal 28 (1) Hak milik dapat diperalihkan karena peristiwa hukum dan perbuatan hukum.
12
(2) Peralihan Hak Milik karena peristiwa hukum terjadi melalui pewarisan. (3) Peralihan Hak Milik karena perbuatan hukum terjadi melalui: a. jual beli; b. penukaran; c. penghibahan; d. penyertaan modal; e. pemberian dengan wasiat; f. pemberian menurut Hukum Adat; atau g. perwakafan. (4) Hak Milik dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Pasal 29 (1) Peralihan Hak Milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) kepada perseorangan atau badan hukum yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1) batal demi hukum. (2) Dalam hal peralihan Hak Milik yang dinyatakan batal demi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena jual beli, maka: a. pemilik semula tidak dapat menarik kembali tanahnya; b. tanahnya menjadi Tanah yang dikuasai langsung oleh negara; c. Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan yang membebani hak milik tetap berlangsung sampai jangka waktu haknya habis; d. pembeli tidak dapat menuntut harga yang sudah dibayarkan; dan e. dalam hal pembayaran harga Tanah sebagaimana yang dimaksud pada huruf d belum lunas, pembeli wajib melunasi kekurangan pembayaran. (3) Dalam hal peralihan Hak Milik yang dinyatakan batal demi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena tukar menukar, maka: a. Tanah yang diterima oleh pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara; b. pemilik semula yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik tidak dapat menarik kembali tanahnya yang sudah diserahkan; dan c. Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan yang membebani hak milik tetap berlangsung sampai jangka waktu haknya habis. Paragraf 2 Hak Guna Usaha
13
Pasal 30 (1) Hak Guna Usaha diberikan untuk kegiatan usaha pertanian, perkebunan, kehutanan tanaman, peternakan, pertambakan, dan budi daya perikanan atau rumput laut berdasarkan pada penggunaan Tanah. (2) Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang di atas Tanah Negara. Pasal 31 (1) Pemberian Hak Guna Usaha untuk usaha kehutanan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin dari menteri yang mengurusi bidang kehutanan. (2) Pemberian Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan, peternakan, pertambakan, dan budi daya perikanan atau rumput laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin dari instansi terkait. (3) Pemberian Hak Guna Usaha yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari Masyarakat Hukum Adat berdasarkan proses musyawarah yang terbuka. Pasal 32 (1) Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia; dan b. badan hukum Indonesia. (2) Dalam hal pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara asing, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak kehilangan kewarganegaraan Indonesia, wajib mengalihkan hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha. (3) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dinyatakan hapus dan tanahnya kembali menjadi Tanah Negara atau Tanah Ulayat. (4) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan hukum yang didirikan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan kepemilikan sahamnya 100% (seratus persen) harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Pasal 33 (1) Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan luas minimum 5 (lima) hektar. (2) Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk 1 (satu) badan hukum dan/atau kelompok badan hukum yang terafiliasi dengan batas luas maksimum berdasarkan kriteria: a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen pengelolaan usaha; 14
b. pemerataan pemilikan dan penguasaan Tanah; dan c. ketersediaan Tanah budi daya di masing-masing daerah. (3) Pemberian Hak Guna Usaha kepada badan hukum dan/atau badan hukum yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan paling tinggi : a. untuk satu wilayah provinsi: 1. 10.000 (sepuluh ribu) hektar untuk komoditas perkebunan dan hutan tanaman; dan 2. 50 (lima puluh) hektar untuk pertanian, peternakan, tambak, atau budi daya perikanan dan rumput laut. b. Untuk seluruh wilayah Indonesia: 1. 100.000 (seratus ribu) hektar untuk komoditas perkebunan dan hutan tanaman; dan 2. 500 (lima ratus) hektar untuk pertanian, peternakan, tambak, atau budi daya perikanan dan rumput laut. (4) Pemberian Hak Guna Usaha yang melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan batal demi hukum. Pasal 34 (1) Hak Guna Usaha dapat diperalihkan karena peristiwa hukum dan perbuatan hukum. (2) Peralihan Hak Guna Usaha karena peristiwa hukum terjadi melalui pewarisan. (3) Peralihan Hak Guna Usaha karena perbuatan hukum terjadi melalui: a. jual beli; b. penukaran; c. penghibahan; atau d. penyertaan modal. (4) Dalam hal mayoritas modal usaha badan hukum pemegang Hak Guna Usaha diperalihkan kepada pihak lain, pemegang Hak Guna Usaha wajib melaporkan kepada pejabat pemberi Hak Guna Usaha. Pasal 35 (1) Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. (2) Hak Guna Usaha yang dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang hak dengan persyaratan: a. telah melakukan pengusahaan terhadap seluruh bidang tanah yang dimilikinya dengan hak guna usaha sesuai dengan peruntukannya; b. telah memiliki Hak Guna Usaha selama 5 (lima) tahun; dan c. telah dilakukan evaluasi Hak Guna Usaha oleh pemberi hak. Paragraf 3 Hak Guna Bangunan 15
Pasal 36 (1) Hak Guna Bangunan diberikan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya. (2) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan: a. keputusan pemberian hak dari pemerintah jika tanahnya berasal dari Tanah Negara atau di atas tanah Hak Pengelolaan; b. perjanjian pemberian hak jika tanahnya diberikan di atas Tanah Hak Milik; atau c. persetujuan tertulis dari Masyarakat Hukum Adat berdasarkan musyawarah yang dilakukan secara terbuka jika tanahnya berada di wilayah Seharusnya diawali huruf capital karena istilah yang ada dalam ketentuan umum. sebelum keputusan pemberian haknya sebagai dimaksud pada huruf a. (3) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berada di kawasan hutan, pemberian hak guna bangunan dilakukan setelah pelepasan kawasan hutan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. (4) Dalam hal pendirian bangunan merupakan bagian dari keperluan pelaksanaan hak guna bangunan, terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanahnya tidak diperlukan pemberian hak guna bangunan. Pasal 37 (1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia; dan b. badan hukum Indonesia. (2) Dalam hal pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melepaskan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara asing, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak kehilangan kewarganegaraan Indonesia wajib melepaskan atau mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. (3) Hak Guna Bangunan yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hapus karena hukum, dan tanahnya menjadi Tanah Negara atau Tanah Ulayat. (4) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bubar, pihak pengelola aset badan hukum diberi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pembubaran badan hukum untuk mengalihkan hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat. (5) Hak Guna Bangunan yang tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hapus karena hukum, dan tanahnya menjadi tanah negara atau tanah ulayat.
16
Pasal 38 (1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada perseorangan dengan luas minimum yang menjamin kehidupan layak dan maksimum sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. (2) Hak Guna Bagunan dapat diberikan untuk 1 (satu) badan hukum dan/atau kelompok badan hukum yang terafiliasi dengan batas luas maksimum berdasarkan kriteria : a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen pengelolaan usaha; b. pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah; dan c. ketersediaan tanah budi daya di masing-masing daerah. (3) Pemberian Hak Guna Bangunan kepada badan hukum dan/atau badan hukum yang terafiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditentukan paling tinggi: a. Untuk satu provinsi: 1. 200 (dua ratus) hektar untuk kawasan permukiman; 2. 100 (seratus) hektar untuk kawasan perhotelan; dan 3. 200 (dua ratus) hektar untuk kawasan industri. b. Untuk seluruh wilayah Indonesia: 1. 2.000 (dua ribu) hektar untuk kawasan permukiman; 2. 1.000 (seribu) hektar untuk kawasan perhotelan; dan 3. 2.000 (dua ribu) hektar untuk kawasan industri. (4) Pemberian Hak Guna Bangunan yang melebihi batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinyatakan batal demi hukum. Pasal 39 (1) Hak Guna Bangunan dapat diperalihkan karena peristiwa hukum dan perbuatan hukum. (2) Peralihan Hak Guna Bangunan karena peristiwa hukum terjadi melalui pewarisan. (3) Peralihan Hak Guna Bangunan karena perbuatan hukum terjadi melalui: a. jual beli; a. penukaran; b. penghibahan; atau c. penyertaan modal. (4) Dalam hal mayoritas modal usaha badan hukum pemegang Hak Guna Bangunan diperalihkan kepada pihak lain, pemegang Hak Guna Bangunan wajib melaporkan kepada pejabat pemberi Hak Guna Bangunan. Pasal 40 (1) Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. (2) Hak Guna Bangunan yang dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang hak dengan persyaratan: 17
a. telah melakukan pengusahaan terhadap seluruh bidang tanah yang dimilikinya dengan hak guna bangunan sesuai dengan peruntukannya; b. telah memiliki hak guna bangunan selama 5 (lima) tahun; dan c. telah dilakukan evaluasi Hak Guna Bangunan oleh pemberi hak. Paragraf 4 Hak Pakai Pasal 41 (1) Hak Pakai terdiri atas: a. Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu; dan b. Hak Pakai selama digunakan. (2) Hak Pakai digunakan untuk: a. mendirikan bangunan; dan/atau b. melakukan kegiatan usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pertambakan, budi daya perikanan atau rumput laut berdasarkan pada penggunaan tanah. (3) Hak Pakai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan untuk paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 42 Hak Pakai dengan jangka waktu dapat diberikan kepada : a. Warga Negara Indonesia; b. Warga Negara asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum Indonesia; dan d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 43 Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu diberikan dengan: a. keputusan pemberian hak jika tanahnya berasal dari tanah negara atau di atas tanah hak pengelolaan; b. perjanjian pemberian hak jika berada di atas tanah hak milik; atau c. persetujuan tertulis dari masyarakat hukum adat berdasarkan musyawarah yang dilakukan secara terbuka jika tanahnya berada di wilayah masyarakat hukum adat sebelum keputusan pemberian haknya sebagai dimaksud pada huruf a. Pasal 44 (1) Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu untuk tempat mendirikan bangunan dapat diberikan dengan luas minimum yang menjamin kehidupan layak dan maksimum sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. (2) Pemberian Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu untuk kegiatan pertanian diberikan dengan luas maksimum paling tinggi 5 (lima) hektar dengan mempertimbangkan: 18
a. menjamin kelayakan usaha berdasarkan besaran modal yang dimiliki, teknologi yang digunakan, dan manajemen pengelolaan usaha; b. pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah; dan c. ketersediaan tanah budi daya di masing-masing daerah. Pasal 45 Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu dapat dialihkan, diwariskan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 46 (1) Hak Pakai selama digunakan dapat diberikan kepada: a. instansi pemerintah, pemerintah daerah, atau pemerintah desa; b. perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau c. badan keagamaan dan sosial. (2) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemegang hak dalam rangka pelayanan publik. (3) Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dialihkan dengan cara tukar bangun. Paragraf 5 Hak Sewa Untuk Bangunan Pasal 47 (1) Hak Sewa untuk bangunan merupakan hak untuk menggunakan tanah hak milik orang lain untuk keperluan bangunan selama jangka waktu tertentu dengan membayar uang sewa. (2) Jangka waktu Hak Sewa untuk bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan perjanjian baru berdasarkan kesepakatan. (3) Pembayaran uang sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan: a. satu kali atau pada setiap waktu tertentu; dan b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. Pasal 48 Hak Sewa untuk bangunan dapat diberikan kepada : a. Warga Negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan di Indonesia menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; atau d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 49 (1) Hak Sewa diberikan dengan perjanjian pemberian hak antara pemegang hak milik atas tanah dengan pemegang Hak Sewa melalui akta pejabat pembuat akta tanah.
19
(2) Pada sertipikat Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberi catatan keberadaan Hak Sewa untuk bangunan. Pasal 50 (1) Bangunan yang dimiliki oleh pemegang hak sewa untuk bangunan hanya dapat dialihkan apabila diperjanjikan dengan pemilik tanahnya. (2) Bangunan yang dimiliki oleh pemegang Hak Sewa untuk bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Bagian Ketiga Hapusnya Hak Atas Tanah Pasal 51 (1) Hak Atas Tanah hapus karena: a. jangka waktunya berakhir bagi hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena adanya pembatalan hak yang disebabkan oleh: 1. tidak dipenuhi syarat dan kewajiban; 2. pelanggaran terhadap ketentuan syarat subyek hak atas tanah; atau 3. ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. c. dilepaskan oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. ditelantarkan; atau f. tanahnya musnah. (2) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. (3) Hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak menyebabkan hapusnya hak keperdataan bekas pemegang hak atas bangunan, tanaman, dan benda yang berkaitan dengan tanah yang ada di atasnya. (4) Dalam hal hapusnya Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk memohon hak atas tanah baru tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 (1) Dalam hal Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) diberikan kepada pihak lain, bekas pemegang hak wajib diberikan penggantian kerugian atas bangunan, tanaman, dan/atau benda lain jika pihak yang memperoleh hak atas tanah memerlukannya. (2) Dalam hal pihak yang memperoleh Hak Atas Tanah tidak memerlukan bangunan, tanaman, dan/atau benda lain di atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bekas pemegang hak wajib membongkar atas biaya sendiri. 20
Bagian Keempat Hak Guna Ruang di Atas Tanah dan Hak Guna Ruang di Bawah Tanah Pasal 53 (1) Tanah yang berada di ruang atas dan/atau dalam Tanah yang dikuasai oleh pemegang hak yang sama dan secara fisik bangunan di bawah Tanah merupakan kesatuan dengan bangunan di atas Tanah, status hak ruang di atas dan/atau di bawah Tanah mengikuti status Hak Atas Tanahnya. (2) Tanah yang berada di ruang atas dan/atau bawah Tanah dikuasai oleh pemegang hak yang berbeda, terhadap ruang di atas Tanah dan/atau di bawah Tanah dapat diberikan: a. Hak Guna Ruang Bawah Tanah; dan b. Hak Guna Ruang Atas tanah (3) Kewenangan dari Hak Guna Ruang Bawah Tanah dan Hak Guna Ruang Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mutatis-mutandis sama dengan kewenangan yang terdapat dalam Hak Guna Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V REFORMA AGRARIA Bagian Kesatu Ruang Lingkup Pasal 54 Pengaturan Reforma Agraria meliputi : a. penetapan TORA. b. penetapan penerima TORA. c. pemberdayaan penerima TORA d. hak dan kewajiban penerima TORA e. penyelenggaraan Reforma Agraria. Bagian Kedua Tanah Obyek Reforma Agraria Pasal 55 (1) Pemerintah menetapkan tanah negara sebagai TORA. (2) Tanah Negara yang dapat ditetapkan sebagai TORA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), berasal dari: a. tanah kelebihan yang terkena ketentuan batas maksimum berdasarkan ketentuan yang berlaku; b. tanah yang terkena ketentuan absentee berdasarkan ketentuan yang berlaku; c. tanah negara bekas Tanah terlantar; dan d. tanah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi; 21
e. tanah hak yang jangka waktunya sudah berakhir dan tidak diperpanjang; f. tanah negara bekas hak barat yang tidak dimintakan hak; g. tanah negara berasal dari tanah timbul dan tanah tumbuh; h. tanah negara bekas swapraja; i. tanah negara berasal bekas pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi yang sudah direklamasi; j. tanah yang diserahkan oleh pemegang haknya kepada Negara untuk Reforma Agraria; dan k. tanah negara yang diperoleh melalui cara-cara tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) TORA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi tanah pertanian, kehutanan, dan pertambangan. Pasal 56 (1) Penetapan TORA dilakukan melalui tahapan: a. identifikasi; b. verifikasi; dan c. penetapan. (2) Menteri melakukan identifikasi, verifikasi dan penetapan TORA. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan TORA sebagamana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penerima Tanah Reforma Agraria Pasal 57 (1) Pemerintah menetapkan penerima TORA yang berhak memiliki, menguasai, mengelola dan memanfaatkan tanah. (2) Penerima TORA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. perseorangan warga negara Indonesia; b. koperasi yang anggotanya terdiri dari warga negara Indonesia; c. serikat petani; dan d. serikat nelayan. Pasal 58 (1) Penerima TORA kategori perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a secara berurutan diprioritaskan pada: a. petani penggarap b. buruh tani c. petani yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar d. masyarakat berpenghasilan rendah e. masyarakat korban konflik sosial (2) Penerima TORA kategori perseorangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi pesyaratan: a. Warga Negara Indonesia b. sudah melangsungkan perkawinan; 22
c. memenuhi prioritas sebagai penerima TORA d. bersedia bertempat tinggal di kecamatan lokasi TORA Pasal 59 (1) Penerima TORA kategori koperasi, serikat tani dan serikat nelayan sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, harus memenuhi persyaratan : a. berkedudukan di kecamatan tempat TORA b. kegiatan usahanya di bidang produksi pertanian c. keanggotan koperasi terdiri dari para petani yang termasuk prioritas sebagai penerima TORA (2) Penetapan penerima TORA dilakukan melalui tahapan : a. identifikasi; b. verifikasi; dan c. penetapan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan penerima TORA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pemberdayaan terhadap Penerima TORA Pasal 60 Dalam rangka mencapai tujuan pelaksanaan reforma agraria, Pemerintah Pusat wajib memberikan dukungan penerima TORA berupa: a. pengembangan usaha; b. sarana dan prasana c. pelatihan; d. jaminan kredit perbankan; e. jaminan modal; f. perlindungan dan jaminan akses pasar; g. jaminan pembelian produk hasil pertanian; dan h. bimbingan teknis untuk koperasi tani dan nelayan. Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Penerima TORA Pasal 61 (1) Penerima TORA berhak mendapatkan bukti kepemilikan Hak Atas Tanah. (2) Penerima TORA berhak memperoleh pemberdayaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka reforma agraria. Pasal 62 (1) Penerima TORA wajib: a. menggunakan dan mengusahakan sendiri tanahnya secara produktif; 23
b. mentaati ketentuan dan syarat menggunakan dan mengusahakan tanah. (2) Penerima TORA dilarang: a. menelantarkan tanah; b. mengalihkan hak atas tanahnya sebelum jangka waktu 20 tahun sejak lahirnya hak atas tanah; c. memerintahkan pihak lain untuk menggunakan dan mengusahakan tanahnya; atau d. mengalihfungsikan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Pasal 63 (1) Penerima TORA yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 62 diberikan sanksi berupa pencabutan hak atas tanahnya dan menjadi tanah negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah Bagian Keenam Penyelenggaraan Reforma Agraria Pasal 64 (1) Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Menteri yang membidangi urusan pertanahan berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait dan pemerintah daerah. (2) Pelaksanaan Reforma Agraria dilaporkan oleh menteri sekurangkurangnya 1 (satu) kali dalam setahun kepada Presiden. BAB IV PENDAFTARAN TANAH Bagian Kesatu Prinsip Pendaftaran Tanah Pasal 65 (1) Pendaftaran Tanah dilakukan terhadap tanah perseorangan dan badan hukum, serta Tanah Negara dan Tanah Ulayat. (2) Pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan menyediakan informasi Pertanahan berbasis bidang Tanah. (3) Dalam hal tidak tersedia secara lengkap alat bukti tertulis, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang Tanah paling singkat 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan terbuka oleh yang berhak atas Tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; dan 24
b. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung. (4) Pendanaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pendaftaran Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bagian Kedua Obyek Pendaftaran Tanah Pasal 66 (1) Tanah yang wajib didaftar meliputi: a. bidang tanah yang dimiliki dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai; b. tanah Hak Pengelolaan; c. tanah wakaf; d. hak tanggungan; e. hak guna ruang atas tanah dan hak guna ruang bawah tanah; f. Tanah Negara; dan g. Tanah Ulayat. (2) Pendaftaran atas tanah negara dan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan dengan melaksanakan inventarisasi dan pencatatan pada peta pendaftaran tanah serta tidak diterbitkan sertipikat Hak Atas Tanah. Bagian Ketiga Kegiatan Pendaftaran Tanah Pasal 67 (1) Pendaftaran tanah meliputi: a. pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya; c. penerbitan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (2) Setiap peralihan hak, hapusnya, dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftarkan. (3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai lahirnya, hapusnya, serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 68 (1) Perbuatan hukum mengenai jual beli, penghibahan, pembebanan Hak Tanggungan, penyertaan modal, dan pembebanan dengan hak lain dilakukan berdasarkan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
25
(2) Keabsahan dokumen pertanahan yang menjadi persyaratan permohonan Hak Atas Tanah merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari pemohon. Pasal 69 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PEROLEHAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM, PENGALIHFUNGSIAN TANAH SERTA TUKAR GULING Bagian Kesatu Perolehan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pasal 70 (1) Perolehan Tanah untuk kepentingan umum dilakukan melalui pengadaan tanah atau pencabutan Hak Atas Tanah. (2) Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan tanpa adanya paksaan dalam segala wujudnya dengan penggantian yang adil dan layak yang diatur dengan undang-undang. (3) Dalam keadaan yang memaksa, tanah yang terkena tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain, serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum melalui musyawarah mufakat tidak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan melalui pencabutan Hak Atas Tanah yang diatur dengan undang-undang. Bagian Kedua Pengalihfungsian Tanah Pasal 71 (1) Bidang Tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan harus dialihfungsikan sesuai dengan rencana peruntukan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. (2) Dalam hal pemegang Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan mengalihkan haknya kepada pihak lain, prioritas untuk memperoleh bidang Tanah diberikan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pasal 72 (1) Pengalihfungsian Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil kajian dampak lingkungan dan sosial yang berpotensi untuk terjadi. (2) Pelaksanaan kajian dampak lingkungan dan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada asas kemanfaatan, keterbukaan, dan partisipasi serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 26
Pasal 73 Tanah yang menurut sifat dan fungsinya sesuai untuk dipergunakan bagi budi daya tanaman tertentu tidak dapat dialihfungsikan untuk budi daya tanaman lain dan kepentingan non-pertanian. Bagian Ketiga Tukar Guling Pasal 74 (1) Tukar Guling dapat dilakukan antara Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan pihak lain dengan menerima penggantian utama berupa tanah dan/atau bangunan pengganti. (2) Tukar Guling dilaksanakan dengan pertimbangan: a. pemenuhan kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan; b. optimalisasi penggunaan tanah instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa; dan c. ketersediaan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. BAB VIII PENYEDIAAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERIBADATAN DAN SOSIAL Pasal 75 Penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial dapat dilakukan melalui: a. lembaga perwakafan atau lembaga sejenisnya; b. hibah; c. pelepasan hak dengan ganti kerugian; atau d. pemberian hak oleh negara. Pasal 76 (1) Perwakafan Tanah dan lembaga yang sejenis menurut ajaran agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a yang dianut masyarakat Indonesia dilindungi keberadaannya. (2) Tata cara perwakafan dan lembaga yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 Penyediaan tanah untuk keperluan peribadatan dan sosial melalui hibah, pelepasan hak dengan ganti kerugian dan pemberian hak oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf b, huruf c dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan.
27
BAB IX PENGAWASAN PERTANAHAN Pasal 78 (1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan dan pelaksanaan pertanahan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. (5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 79 (1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan pertanahan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan pertanahan, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota atau pejabat yang berwenang mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya. (3) Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota. (4) Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Gubernur. Pasal 80 (1) Pengawasan pertanahan wajib dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan pejabat yang berwenang terhadap pemberian hak atas tanah yang diterbitkan berdasarkan kewenangannya. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk melakukan tindakan hukum penertiban pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
28
Pasal 81 (1) Pengawasan pertanahan pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan pedoman pengawasan bidang pertanahan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan pada pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan pertanahan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan pertanahan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 82 (1) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya berkaitan dengan tanah terbukti melakukan tindakan yang sengaja atau lalai menyebabkan seseorang menjadi kehilangan hak atas tanah dikenakan sanksi administratif. (2) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya berkaitan dengan tanah terbukti melakukan tindakan yang sengaja atau lalai menyebabkan kepemilikan hak atas tanah oleh seseorang yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah dikenakan sanksi administratif. (3) Setiap pejabat pemerintah yang bidang tugasnya dibidang pertanahan yang tidak melakukan pengawasan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenakan sanksi administratif. (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa: a. sanksi ringan; b. sanksi sedang; atau c. sanksi berat. (5) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; atau c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan /atau hak-hak jabatan. (6) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b berupa: a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi; b. pemberhentian sementara memperoleh hak-hak jabatan; atau c. pembehentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan (7) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c berupa: a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di madia massa;
29
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di madia massa (8) Tata cara pengenaan sanksi adminintratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB X PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu Umum Pasal 83 (1) Sengketa Pertanahan terdiri atas: a. sengketa pertanahan konvensional; dan b. sengketa pertanahan struktural. (2) Sengeta pertanahan konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terjadi karena adanya pelanggaran terhadap kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang dimiliki perseorangan atau badan hukum. (3) Sengketa Pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pda ayat (1) huruf b terjadi karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan hukum yang menguasai tanah dalam skala besar. (4) Sifat sengketa pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. melibatkan banyak orang baik secara bersama-sama maupun komunal; b. terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah antara kelompok masyarakat dengan orang atau badan hukum; dan c. berdimensi pelanggaran hak asasi manusia; Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa pertanahan mengutamakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat diantara para pihak. (2) Penyelesaian sengketa pertanahan struktural diarahkan untuk menghilangkan ketimpangan penguasaan kepemilikan tanah dan menjunjung hak asasi manusia. (3) Penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan melalui tiga jalur penyelesaian, yaitu: a. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga nonyudisial; b. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga quasiyudisial; dan c. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga yudisial.
30
Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Lembaga Non-Yudisial Pasal 85 (1) Penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan melalui lembaga non-yudisial melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, dan peradilan adat. (2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Hasil penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan kepada pengadilan negeri untuk memperoleh kekuatan eksekutorial dari negara. (4) Penyelesaian sengketa pertanahan melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan mengenai negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pasal 86 (1) Peradilan adat berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan konvensional antar warga masyarakat yang terjadi di dalam wilayah masyarakat hukum adat. (2) Penyelesaian sengketa pertanahan melalaui peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan atau putusan berdasarkan hukum adat. (3) Hasil penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didaftarkan kepada pengadilan negeri untuk memperoleh kekuatan eksekutorial dari negara. (4) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan atau para pihak tidak menerima putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) para pihak dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada Pengadilan Agraria. (5) Hasil penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan utama bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berwenang menyelesaikan sengketa pertanahan konvensional di wilayah masyarakat hukum adat sebelum dilakukan upaya penyelesaian melalui Peradilan Adat. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Lembaga Quasi-Yudisial Pasal 87 (1) Penyelesaian sengketa pertanahan struktural melalui lembaga quasi-yudisial dilakukan oleh Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) (2) KNuPKA dibentuk dengan Peraturan Presiden
31
(3) KNuPKA terdiri dari 11 orang komisioner yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (4) Susunan kepengurusan KNuPKA ditentukan oleh anggota KNuPKA untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 88 Syarat menjadi anggota KNuPKA meliputi: a. Warga Negara Indonesia; b. mempunyai pengalaman dalam memediasi dan menyelesaiakan sengketa pertanahan; c. bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), POLRI, TNI dan Pengurus atau anggota Partai Politik; dan d. bukan pelaku usaha yang memiliki saham pada perusahaan yang mempergunakan hak atas tanah. Pasal 89 (1) Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural, KNuPKA berwenang: a. melakukan tindakan mitigasi untuk menghentikan dampak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat sengketa Pertanahan struktural; b. melakukan mediasi antara para pihak yang bersengketa; c. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan yang berkaitan dengan sengketa Pertanahan struktural; d. memutuskan mengenai sengketa Pertanahan struktural; dan/atau e. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan dan pemulihan hak pihak yang bersengketa. (2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KNuPKA dapat menetapkan penghentian sementara pemanfaatan dan penggunaan Tanah yang menjadi Obyek sengketa pertanahan sampai terdapat putusan yang mengikat. Pasal 90 Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural, KNuPKA bertugas: a. menerima pengaduan dari pihak yang bersengketa b. melakukan pendampingan terhadap pihak yang bersengketa c. melakukan pemeriksaan dokumen dan bukti-bukti d. mendengarkan keterangan para pihak, saksi dan ahli e. melakukan investigasi lapangan untuk memperoleh keterangan f. membuat putusan mengenai sengketa pertanahan yang ditangani g. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan dan pemulihan hak pihak yang bersengketa. Pasal 91 (1) KNuPKA membentuk panel komisi yang terdiri dari 5 orang komisioner untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan sengketa pertanahan struktural. 32
(2) Pemeriksaan yang dilakukan oleh Panel Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 100 (seratus) hari kerja sejak kasus teregistrasi di KNuPKA. (3) Pemeriksaan sengketa dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup. (4) Hasil pemeriksaan oleh panel komisi disampaikan dalam rapat pleno KNuPKA untuk mengambil putusan mengenai sengketa yang ditangani. Pasal 92 (1) Putusan KNuPKA dalam penyelesaian sengketa pertanahan struktural bersifat final dan mengikat. (2) Putusan KNuPKA dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural dapat berupa: a. sanksi administratif b. denda administratif c. pengembalian tanah d. ganti rugi (3) Pembacaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bagian Keempat Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Lembaga Yudisial Pasal 93 (1) Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa. (2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari. Pasal 94 (1) Penyelesaian sengketa pertanahan konvensional melalui lembaga yudisial dilakukan oleh Pengadilan Agraria (2) Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 95 (1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanahan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk 33
membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang pertanahan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang pertanahan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang pertanahan; d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang pertanahan; e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang pertanahan; dan f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang pertanahan. Pasal 96 (1) Penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. (2) Apabila dalam pelaksanaan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyidik pegawai negeri sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia. Pasal 97 (1) Penyidik pegawai negeri sipil dibentuk pada tingkat nasional dan tingkat provinsi. (2) Penyidik pegawai negeri sipil tingkat nasional memiliki ruang lingkup kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi pada tingkat provinsi. (3) Penyidik pegawai negeri sipil tingkat provinsi memiliki ruang lingkup kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi pada tingkat kabupaten/kota. (4) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 34
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 98 Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 99 (1) Menteri yang membidangi urusan pertanahan berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi keuangan melakukan inventarisasi peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan Hak Pengelolaan. (2) Terhadap Hak Pengelolaan yang sudah berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang ini harus dilakukan penyesuaian dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. (3) Hak pengelolaan yang dipegang oleh pemegang hak pengelolaan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2) dinyatakan hapus haknya dan tanahnya menjadi Tanah Negara. (4) Terhadap penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, masih tetap diberlakukan sampai dengan masa berakhirnya perjanjian penyerahan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Pasal 100 (1) Pengukuhan keberadaan Hak Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilaksanakan paling lama dalam waktu 5 tahun sejak berlakunya undang undang ini. (2) Bagian bidang Tanah Ulayat yang sudah diperoleh dan dipunyai secara sah oleh perseorangan atau badan hukum dengan Hak Atas Tanah sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap diakui berdasarkan Undang-Undang ini. (3) Bagian bidang tanah Hak Ulayat yang telah diperoleh dan dipunyai secara sah oleh perseorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau ulang apabila dalam penyelenggaraannya menimbulkan pelanggaran terhadap hak masyarakat hukum adat. Pasal 101 (1) Terhadap Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang sudah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini masih tetap diberlakukan sampai dengan masa berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. 35
(2) Terhadap Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang sudah berakhir jangka waktunya, dapat diperpanjang kembali dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 102 Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Pasal 103 (1) Presiden membentuk KNuPKA paling lambat satu tahun sejak berlakunya undang-undang ini. (2) Sebelum KNuPKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 terbentuk, kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan struktural diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (3) Dalam hal menjalankan tugas dan wewenang menyelesaikan sengketa pertanahan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk sub-komisi yang terdiri dari 5 orang komisioner dan didukung oleh Sekretariat Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pasal 104 (1) Pengadilan Agraria dibentuk paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini. (2) Sebelum Pengadilan Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbentuk, kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan diselesaikan oleh pengadilan negeri. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 105 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan peraturan pelaksanaannya yang telah ada, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undangundang ini.
36
Pasal 106 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR ...
37
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN 2015 TENTANG PERTANAHAN ---I. UMUM Sumber daya agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Sumber daya agraria merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sumber daya agraria khususnya tanah disadari bukan hanya mengandung nilai ekonomis semata namun mengandung nilai yang lain yaitu sosial karena tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi media hubungan antar manusia, religius karena tanah tempat manusia hidup berasal dari karunia Tuhan Yang Maha Esa dan tempat manusia disemayamkan, dan ekologis karena tanah tempat berbagai flora dan fauna tumbuh dan berkembang sehingga perlu dijaga kesuburannya. Pengelolaan sumber daya agraria khususnya tanah yang berlangsung selama ini telah menimbulkan ketimpangan struktur atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya. Ketimpangan tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai konflik serta penurunan kualitas lingkungan. Ketimpangan dan konflik yang terjadi didorong juga oleh adanya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria saling tumpang tindih. Akibatnya, bukan hanya jaminan kepastian hukum menjadi sangat rendah. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya agraria yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terpadu, terkoordinasi dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat. Dengan mempertimbangkan faktor ideologis, filosofis, dan sosiologis tersebut di atas, kepentingan untuk melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah merupakan suatu keniscayaan. Melalui pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan ini diharapkan upaya penataan yang mengarah pada terciptanya kemakmuran rakyat dapat diujudkan. Ada 3 (tiga) tujuan yang hendak diujudkan melalui Undang-Undang Pertanahan ini yaitu : (1) pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah, serta akses terhadap sarana dan prasarana produksi di bidang
1
pertanahan; (2) keseimbangan antara optimalisasi produksi dengan kelestarian fungsi tanah; (3) kepastian hukum terhadap hak atas tanah. Dengan prinsip-prinsip dan ketentuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang ini dikehendaki ketiga tujuan dapat tercapai. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a Yang dimaksud dengan asas kebangsaan adalah hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah yang bersifat abadi. Keberadaan bangsa sebagai kesatuan dari kelompok-kelompok dan suku-suku yang berbeda harus ditempatkan dalam kedudukan yang tertinggi dan menjadi orientasi dari kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan pertanahan. Selain itu, asas kebangsaan memiliki implikasi bahwa warga negara Indonesia harus diutamakan kepentingannya untuk memperoleh hak atas tanah dan memanfaatkan tanah untuk berbagai keperluannya. Maka pada prinsipnya hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Huruf b Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah bahwa Seluruh wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional yang harus didayagunakan untuk memberikan manfaat kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa ada diskriminasi. Huruf c Yang dimaksud dengan asas fungsi sosial menuntun penggunaan tanah yang harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya guna menciptakan keseimbangan antra kepentingan individu, keluarga dan masyarakat sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik hak atas tanah namun juga bermafaat bagi masyarakat dan Negara. Dengan demikian tanah tidak boleh terlantar atau diterlantarkan. Sementara itu fungsi ekologis menunjuk pada keharusan adanya keseimbangan dalam pemanfaatan tanah antara kepentingan optimalisasi produksi dengan kelestarian serta antara budidaya tanaman pangan dengan budi daya tanaman komersiil serta mendorong tidak terjadinya penelantaran tanah. Terwujudnya fungsi sosial dan ekologis tanah dilakukan dengan pemberian keseimbangan antara kewenangan yang diberikan dengan beban-beban kewajiban kepada pemegang hak atas tanah.
2
Huruf d Yang dimaksud dengan asas keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunan dan pemanfaatan tanah adalah adanya pemerataan distribusi dan adanya pembatasan kepemilikan tanah kepada dan oleh setiap keluarga, sedangkan keadilan pemanfaatan tanah bermakna agar ada pemerataan distribusi peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan dan kepentingan secara proporsional yaitu antarsektor di perkotaan dan di perdesaan. Huruf e Yang dimaksud dengan asas keberagaman adalah adanya pengakuan terhadap keberagaman kondisi sosial-ekonomi, hukum yang berlaku baik terkait dengan lembaga hukum hak ulayat dan peradilan adat serta asas dan norma hukum. Dalam kesatuan hukum bermakna bahwa pengakuan terhadap keberagaman tersebut harus berorientasi pada penguatan ikatan kebangsaan dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kemakmuran bagi setiap orang, pemberian perlakuan yang sama dengan tetap membuka adanya perlakuan khusus bagi kelompok yang lemah agar tercapai kesamaan kondisi sosial-ekonomi-politik, dan menyeleksi norma dan asas hukum serta lembaga yang dapat berkontribusi terhadap ikatan kebangsaa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kemakmuran bagi semua orang). Huruf f Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah pelaksanaan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan pertanahan oleh pemerintah dan pemerintah daerah harus dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga masyarakat. Asas keterbukaan bermakna agar penyusunan rencana dan pelaksanaan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan harus disampaikan/diinformasikan kepada warga masyarakat agar diketahui, dipahami, dan dinilai. Asas partisipatif bermakna agar penyusunan rencana dan pelaksanaan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan mengikutsertakan warga masyarakat untuk mendapatkan masukan substansi dan terkait pelaksanaannya).
Pasal 4
Ayat (1) Yang dimaksud dengan Hak bangsa yang bersifat abadai adalah
hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dengan tanah atau lebih luas dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud mempunyai semua Tanah dalam wilayah Negara adalah bahwa negara berkedudukan sebagai penguasa Negara yang menjalankan fungsi penguasaannya secara efektif dan dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
3
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan tujuan khusus antara lain pembangunan kawasan pelabuhan, kawasan industri, kawasan perdagangan bebas, kawasan hutan negara dan sebagainya. Dengan demikian instansi pemerintah yang dalam pelaksanaan tugasnya perlu menggunakan tanah untuk kepentingannya maupun kepentingan pihak lain harus mempunyai hak pengelolaan. Huruf b Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1) Bentuk rekognisi dapat berupa uang, pembangunan sarana dan prasarana publik, pemilikan saham, dan bentuk lain yang
4
bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Besarnya nilai rekognisi ditentukan berdasarkan kesepakatan antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga. Yang dimaksud dengan penyerahan pemanfaatan tanah adalah pelepasan sementara tanah ulayat untuk dimanfaatkan sesuai dengan jangka waktu hak atas tanah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ruang publik antara lain kawasan pantai, ruang terbuka hijau, jalan umum, dan pemakaman umum yang tidak berasal dari wakaf. Huruf b Yang dimaksud dengan cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Huruf c Yang dimaksud dengan tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia adalah tanah lereng dengan kemiringan tertentu. Yang dimaksud dengan tanah yang secara topografis dan geologis yang dapat membahayakan flora dan fauna adalah cagar alam, kawasan pengembangan biakan tanaman dan satwa yang dilindungi. Yang dimaksud dengan kawasan lingkungan setempat antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
5
Pasal 22
Ayat (1) Yang dimaksud dengan secara bersama-sama memiliki Hak Atas Tanah adalah hak atas tanah milik bersama secara adat dari kelompok dalam masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, hak bersama yang digunakan untuk tempat bangunan rumah susun, tanah warisan yang belum/tidak terbagi, hak milik bersama atas TORA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan badan sosial adalah lembaga yang menyelenggarakan kegiatan sosial antara lain pendidikan, kebencanaan, panti jompo. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan koperasi pertanian yang adalah koperasi tani yang seluruh anggotanya adalah orang yang secara langsung bekerja sebagai petani, termasuk petani tambak, nelayan dan peternak. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
6
Pasal 28
Ayat (1) Yang dimaksud dengan peristiwa hukum adalah adanya kematian yang mengakibatkan hak miliknya peralih kepada ahli warisnya. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah jual beli, hibah, tukar menukar dan perbuatan hukum lainnya yang mengakibatkan hak milik beralih kepada pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah instansi yang membidangi pertanian untuk usaha perkebunan, peternakan, pertambakan, serta instansi yang membidangi pengelolaan wilayah persisir dan pulau-pulau kecil. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya adalah perkantoran, tempat tinggal atau permukiman, industri, dan perhotelan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
7
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
8
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1) Huruf a Yang diumaksud dengan petani penggarap adalah petani yang menggarap tanah yang akan dijadikan Obyek reforma agraria. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
9
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75 Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas.
10
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1) Yang dimaksud dengan peradilan adat merupakan proses penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh pemangku adat atau lembaga adat terhadap sengketa tanah yang terjadi di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Peradilan adat bukan merupakan bagian dari struktur kekuasaan kehakiman. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1) Huruf a Mitigasi dimaksud dapat dilakukan dengan memastikan dihentikannya tindakan-tindakan yang berdampak pada keselamatan dan kelangsungan hidup dari pihak yang bersengketa. Dalam hal ini termasuk pula memastikan adanya jaminan kelangsungan hidup dari pihak yang bersengketa selama dalam pengungsian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
11
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92 Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
12
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
TAMBAHAN NOMOR ...
LEMBARAN
NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
TAHUN
...
13