Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia
Position Paper Memahami Pengaturan Terbaru UU Lembaga Perwakilan dan Rekomendasi terhadap Peraturan Tata Tertib DPR
Oleh: Erni Setyowati Siti Maryam Rodja Ronald Rofiandri
www.pshk.or.id | www.parlemen.net | www.danlevlibrary.net
Memahami Pengaturan Terbaru UU Lembaga Perwakilan dan Rekomendasi terhadap Peraturan Tata Tertib DPR
I.
Umum
Refleksi dari belum matangnya sistem kepartaian, pemilihan umum, hingga lembaga perwakilan di Indonesia dapat tercermin dari berubahnya perangkat hukum di bidang politik setiap kali menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Perubahan paket undang-undang politik1 yang sudah berlangsung sejak reformasi bergulir, yang didahului amandemen UUD 1945 ternyata belum mampu mendorong terwujudnya sistem politik ideal yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Pasca reformasi, tiga kali Pemilu telah dilaksanakan di Indonesia, dan tiga kali pula paket undang-undang politik mengalami perubahan. Perubahan regulasi bidang politik setiap kali menjelang Pemilu merupakan pemborosan waktu dan anggaran, serta sangat kental kepentingan politik demi melanggengkan kekuasaan. Meski demikian, jika melihat materinya yang belum maksimal, tidak dapat dinafikan bahwa perubahan paket undang-undang politik juga memiliki sisi positif, yakni memberikan peluang untuk terakomodasinya pembaruan menuju sistem yang lebih ideal. Tabel Fase Perubahan Undang-Undang Bidang Politik di Indonesia 1999 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
2002 dan 2003 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang partai Politik
2008 dan 2009 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Mencabut UndangUndang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya)
(Mencabut UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999)
(Mencabut UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002)
Paket Undang-Undang Politik terdiri atas Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 1
2
1999 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Mencabut UndangUndang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Mencabut UndangUndang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1995)
2002 dan 2003 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
2008 dan 2009 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Anggota Legislatif)
(Mencabut UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999)
(Mencabut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003) Undang-Undang Nomor Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang tentang Majelis Susunan dan Kedudukan Permusyawaratan Majelis Rakyat, Dewan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat, Rakyat, Dewan Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat, Daerah, dan Dewan Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Daerah Perwakilan Rakyat Daerah (Mencabut UndangUndang Nomor 22 (Mencabut UndangTahun 2003) Undang Nomor 4 tahun 1999)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Mencabut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003)
3
Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Lembaga Perwakilan) merupakan aturan yang tidak kalah penting dan melengkapi ketiga undang-undang politik lainnya2.
II. Konteks Kelahiran UU Lembaga Perwakilan Melalui Rapat Paripurna Luar Biasa pada 3 Agustus 2009, DPR dan Pemerintah telah menyetujui Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk). Pengesahan undangundang ini menyusul ketiga undang-undang politik lainnya (UU Parpol, UU Pemilu Anggota Legislatif, dan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) yang telah disahkan sebelum Pemilu 2009. Keempat undang-undang politik ini merupakan undang-undang yang diinisiasi oleh Pemerintah kepada DPR pada 25 Mei 2007 melalui Surat Presiden No. R-27/Pres/05/2007. Proses pembahasan UU Lembaga Perwakilan diawali pembentukan dua Panitia Khusus (Pansus) melalui Rapat Paripurna 26 Juni 2007. Pansus pertama diamanatkan untuk membahas RUU Pemilu Anggota Legislatif dan RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pansus kedua untuk RUU Partai Politik dan RUU Susduk. Terhitung, sejak pembentukan Pansus tersebut, pembahasan RUU Susduk menghabiskan waktu kurang lebih dua tahun dua bulan hingga pengesahannya pada Rapat Paripurna Luar Biasa 3 Agustus 2009 lalu.
III. Proses Pembahasan RUU Susduk Momentum pembahasan RUU Susduk tentunya menjadi arena pertarungan kepentingan aktor-aktor politik dalam lembaga perwakilan itu sendiri. Untuk meminimalkan terjadinya pengambilan keputusan yang hanya didasari pada kepentingan politik kelompok tertentu, Pansus dan Pemerintah bersepakat untuk melaksanakan pembahasan RUU Susduk dalam fórum-forum rapat yang bersifat terbuka hingga tahap akhir pembahasan. Hal ini patut diberikan apresiasi karena Pansus RUU Susduk berani mengambil langkah progresif seperti yang pernah dilakukan dalam pembahasan RUU Kewarganegaraan, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan RUU Pelayanan Publik. Pembahasan RUU Susduk diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Sebanyak enam kali RDPU digelar dan melibatkan pihak-pihak dari kalangan NGO, akademisi, dan asosiasi. Selain RDPU, Pansus juga menggelar konsultasi dengan Kementerian UU Partai Politik, UU Pemilu Anggota Legislatif, dan UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 2
4
Pendayagunaan Aparatur Negara dalam rangka membahas pemberdayaan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, Departemen Keuangan untuk hal-hal yang berimplikasi pada penggunaan anggaran negara pada lembaga MPR, DPR, dan DPD. Pansus RUU Susduk juga melakukan kunjungan kerja ke lima daerah di Indonesia dalam rangka menyerap aspirasi daerah. Adapun pihak-pihak yang terlibat antara lain:
Waktu
Lembaga yang Terlibat
Kamis, 31 Januari 2008
RDPU dengan: - Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi); - National Democratic Institute (NDI); - Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK); dan - Parliament Watch
Rabu, 6 Februari 2008
Rabu, 13 Februari 2008
Keterangan
RDPU ini menampung saran dan masukan mengenai RUU Susduk. Formappi memberikan masukan secara umum tentang RUU Susduk khususnya fungsi DPD. Sedangkan NDI memberikan perbandingan sistem pemerintahan soft bicameral Indonesia dengan negara-negara lain dan PSHK menjelaskan bahwa RUU Susduk merupakan pintu masuk penguatan lembaga perwakilan. Dalam RDPU ini Parliament watch tidak memenuhi undangan. RDPU dengan: Isu yang berkembang dalam RDPU ini antara lain - Saldi Isra; - Danny Indrayana; dan kelembagaan MPR, penguatan fungsi legislasi DPD, jumlah - I Gde Pantja Astawa anggota fraksi di DPR dan DPRD, keterbukaan, peraturan tata tertib, perempuan dalam pimpinan DPR, DPD, dan DPRD, dan orientasi bagi anggota DPRD. Kalangan akademisi dan RDPU ini dibatalkan dengan IKAHI alasan yang tidak diketahui RDPU dengan DPD Beragam tanggapan dan pandangan disampaikan DPD, antara lain konsekuensi amandemen UUD 1945 terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia, bagaimana seharusnya peran dan keterlibatan DPD dalam pembahasan suatu rancangan
5
Waktu
Lembaga yang Terlibat
Konsultasi dengan MPR dan BPK
Kamis, 14 Februari 2008
Forum Konstitusi
6
Keterangan undang-undang, pengawasan terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan pengawasan pelaksanaan undang-undang. Bahkan DPD telah melakukan kajian dan mempersiapkan RUU Susduk usulan DPD yang terdiri atas sepuluh bab dan 67 pasal. Konsultasi ini hanya dihadiri MPR. Ketua MPR menyampaikan 8 (delapan) poin usulan perubahan atas RUU Susduk antara lain mengenai sumpah anggota MPR, tugas pimpinan MPR, serta pertanggungjawaban atas penyelenggaraan tugas MPR. Di akhir pemaparan usulan, Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa MPR tetap bersifat permanen (bukan joint session), termasuk pimpinan dan kesekretariatannya. Forum Konstitusi mengkritisi beberapa hal yang termuat dalam materi RUU Susduk antara lain penamaan RUU yang kurang tepat karena memasukan unsur DPRD, penjabaran lebih lanjut dalam undang-undang mengenai tugas dan wewenang MPR, DPR, dan DPD, hingga peraturan tata tertib masingmasing lembaga. Dalam kesimpulannya, Forum Konstitusi menyatakan bahwa perubahan atau penggantian UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak harus berburu waktu
Waktu 27 – 29 Februari 2008
Rabu, 19 Maret 2008
Lembaga yang Terlibat Kunjungan kerja ke daerah: - Manado; - Sumatera Barat; - Jawa Tengah; - Kalimantan tengah; - NTB (ditunda) RDPU dengan: - Pokja Petisi 50; - Tewas ORBA; - GRM; - HMI; - MPO; dan - IPC
Keterangan Berdasarkan info dari staf sekretariat Pansus, kunjungan kerja ini bekerjasama dengan gubernur setempat serta melibatkan LSM dan akademisi di daerah yang akan dikunjungi. RDPU ini memberikan masukan antara lain: - Mendorong proses keterbukaan dalam rapat pembahasan RUU; - MPR sebagai joint session; - Memasukan wakil masyarakat dalam komposisi anggota Badan Kehormatan; - Tidak boleh merangkap jabatan (termasuk pimpinan dewan dan pimpinan alat kelengkapan); - Pengelolaan keuangan DPR dan DPD secara mandiri; dan - Evaluasi kinerja secara periodik untuk perbaikan kinerja.
Pansus melakukan terobosan dalam membahas muatan RUU Susduk. Mekanisme pembahasan RUU tidak lagi hanya terpaku pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Mengkombinasikan pembahasan melalui kluster/pengelompokan ketentuan berdasarkan jenis kelembagaan (MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Kesekretariatan) menjadi metode alternatif yang digunakan dalam pembahasan RUU ini. Adapun hal-hal teknis menyangkut bahasa dan kalimat perundang-undangan diserahkan kepada tim teknis. Pada umumnya dalam dinamika pembahasan RUU Susduk, materi-materi yang bukan merupakan isu krusial dapat disepakati di tahap Rapat Kerja (Raker) Pansus dan Pemerintah. Akan tetapi, pembahasan isu atau ketentuan seperti judul RUU, kedudukan MPR, kewenangan DPD, syarat pembentukan fraksi, mekanisme pemilihan dan komposisi pimpinan MPR dan DPR, penggunaan hakhak DPR, serta peran Setjen DPR sangat alot dan tidak dapat disepakati di tahap Raker Pansus. Pembahasan dilanjutkan ke tahap rapat Panitia Kerja (Panja) dan 7
hingga Tim Perumus (Timus), sambil “diselingi” dengan beberapa kali lobby antara DPR dan Pemerintah. Pembahasan RUU Susduk juga diwarnai dinamika eksternal yang melibatkan kalangan akademisi dan NGO dalam rangka mengadvokasi gagasan perbaikan kinerja lembaga perwakilan. Upaya ini dilakukan melalui forum-forum diskusi publik maupun publikasi media yang mengkaji dan mengkritisi isu-isu krusial yang masih alot dan belum disepakati baik antar fraksi maupun antara DPR dan Pemerintah. RUU Susduk merupakan satu-satunya RUU bidang politik yang disahkan setelah Pemilu 2009. Hasil pemilu anggota legislatif serta pemilu presiden dan wakil Presiden cukup jelas menggambarkan konfigurasi politik 2009-2014. Sisa masa pembahasan RUU Susduk pasca Pemilu 2009 akhirnya terkontaminasi dengan hasrat politik, khususnya partai-partai besar dan koalisinya. Hal ini dapat tercermin pada saat memutuskan materi komposisi dan mekanisme penentuan pimpinan DPR misalnya. Sebelum Pemilu 2009, sembilan fraksi selain Fraksi Partai Demokrat (FPD) menolak tegas usulan FPD yang menginginkan ketua DPR akan ditempati oleh kader partai pemenang Pemilu. Sehingga muncul usulan alternatif bahwa pimpinan DPR dipilih secara paket (tidak mengacu pada urutan pemenang Pemilu 2009). Alhasil, menjelang akhir pengesahan, suara FPD yang awalnya minoritas (dibandingkan dengan suara sembilan fraksi lain) tiba-tiba menjadi pemenang dan usulannya terakomodasi dalam Pasal 82 UU Lembaga Perwakilan. Materi lain yang jelas ditunggangi kepentingan politik adalah tentang syarat pembentukan fraksi. Meminimalkan jumlah fraksi dapat berdampak pada efektitas kerja dan mekanisme pengambilan keputusan di DPR. Awalnya, terdapat tiga usulan komposisi fraksi; Pertama, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) mengusulkan 2,5% dari jumlah anggota DPR (560 orang) yakni 14 orang. Kedua, Fraksi Partai Golkar (FPG) dan FPD mengusulkan 25 orang, dan ketiga, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengusulkan minimal 10% dari seluruh anggota DPR (560 orang) atau 56 orang. Menjelang pengesahan, lagi-lagi usulan ini mencair dan sampai pada titik kesepakatan bahwa syarat pembentukan fraksi adalah memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Raker 28 Juli 2009 mengagendakan Laporan Ketua Panja terhadap Pansus RUU Susduk. Setelah pembacaan laporan, FPG dan FKB masih memberikan tanggapan bahwa jumlah fraksi harus diminimal dengan cara memperbesar jumlah anggota sebagai persyaratan pembentukannya. Karena masih ada beberapa hal yang belum disepakati, akhirnya dilakukan lobby selama kurang lebih dua jam. Setelah lobby, setiap fraksi membacakan pandangan mini dan FKB mengubah pendapat saat menanggapi laporan ketua Panja. Akan tetapi FPG
8
masih tetap pada posisi fraksi harus diperkecil sehingga jumlah anggotanya harus berjumlah tiga kali alat kelengkapan DPR, namun usulan FPG ditolak. Pengesahan UU Lembaga Perwakilan setelah Pemilu harus menjadi catatan penting yang tidak boleh terulang di masa mendatang. Kondisi ini akan meminggirkan objektifitas anggota DPR karena sudah terkontaminasi dengan kepentingan politik praktis yang kekuatannya sudah tergambar dari hasil Pemilu.
IV. Perbandingan antara UU Susduk dengan UU Lembaga Perwakilan Secara umum perbedaan yang sangat mencolok dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 dengan Undang-Undang Lembaga Perwakilan adalah dari muatan batang tubuh. Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 hanya memuat 114 pasal sedangkan pada UU Lembaga Perwakilan jumlahnya hampir empat kali lipat yaitu 408 pasal. Masuknya beberapa ketentuan yang semula ada dalam Peraturan Tata Tertib DPR untuk ditarik menjadi aturan dalam UU Lembaga Perwakilan merupakan faktor yang paling mempengaruhi membengkaknya jumlah pasal. Terobosan yang sangat positif, mengingat selama ini Pearturan Tata Tertib DPR mengatur hal-hal yang sebetulnya merupakan materi muatan undang-undang. Perbedaan lain yang juga cukup banyak menjadi sorotan dalam proses pembahasan UU Lembaga Perwakilan adalah tentang penamaan. Sebelumnya ada keinginan untuk mempertahankan frase “Susunan dan Kedudukan/Susduk”. Namun, akhirnya DPR dan Pemerintah menyepakati untuk menghilangkan frase “Susduk”, karena undang-undang ini diharapkan tidak hanya mengatur soal susunan dan kedudukan tapi juga bagaimana lembaga perwakilan menjalankan fungsi dan mempertanggungjawabkannya. Dalam uraian berikut akan dijabarkan beberapa perbedaan spesifik antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dengan UU Lembaga Perwakilan. A. Transparansi Transparansi dalam kerja-kerja lembaga perwakilan telah menjadi isu yang mengemuka sejak satu dekade terakhir. Banyak harapan dari masyarakat supaya MPR, DPR, DPD, dan DPRD dapat lebih terbuka dan transparan dalam menyelenggarakan rapat-rapat serta kegiatan lain di luar gedung. Utamanya setelah merebak berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD.3 Hal ini direspon positif oleh DPR dan Pemerintah dalam merumuskan pasal-pasal transparansi di UU Lembaga Perwakilan dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. Baca http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/03/04/brk,20090304-163017,id.html, disebutkan ada sembilan orang anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. 3
9
Salah satu rumusan tentang implementasi prinsip transparansi dalam UU Lembaga Perwakilan adalah kewajiban bagi MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk menyelenggarakan semua rapat-secara terbuka kecuali dinyatakan tertutup (disebutkan dalam Pasal 200 untuk DPR, Pasal 269 untuk DPD, Pasal 319 untuk DPRD propinsi, dan Pasal 370 untuk DPRD kabupaten/kota). Rumusan seperti ini tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, namun diserahkan pengaturannya dalam Peraturan Tata Tertib. UU Lembaga Perwakilan sebetulnya juga masih mengandung kelemahan, karena tidak mengatur soal syarat sebuah rapat bisa berlangsung tertutup. Syarat ini penting untuk membatasi diskresi DPR dalam menyusun Peraturan Tata Tertib yang mengatur tentang rapat yang bisa dibuka dan ditutup. Rapat-rapat penting seperti pembahasan rancangan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah seharusnya dilakukan secara terbuka. Begitupun rapat-rapat di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) terkait dengan pembahasan anggaran DPR, termasuk kategori rapat yang harus dibuka untuk umum. Keterbukaan rapat akan mencegah terjadinya praktek korupsi yang terjadi dalam rapat-rapat di atas. B. Akuntabilitas Rapor merah diberikan kepada DPR sepanjang periode 2004-2009 terkait soal akuntabilitas. Mulai dari kasus korupsi yang menimpa beberapa anggota, penggunaan anggaran DPR untuk alokasi yang tidak tepat sampai dengan soal studi banding yang dianggap pemborosan. Catatan di atas memberi cukup alasan bagi DPR dan Pemerintah untuk secara serius membuat aturan tentang akuntabilitas bagi DPR. Beberapa terobosan terkait akuntabilitas yang ada dalam UU Lembaga Perwakilan adalah: 1. Adanya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) BAKN adalah alat kelengkapan baru di DPR yang tidak ada dalam UndangUndang Susduk. Alat kelengkapan ini pada hakikatnya dibentuk untuk menindaklanjuti laporan hasil keuangan BPK yang selama ini seringkali mandeg di DPR. Lebih rinci tugas BAKN adalah sebagai berikut:4 Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR Menyampaikan penelaahan kepada komisi Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan serta penyajian, dan kualitas laporan. Adanya BAKN sebetulnya telah diusulkan oleh BPK kepada DPR sejak setahun lalu5. Lembaga ini diharapkan dapat membantu DPR memaksimalkan fungsi pengawasannya terhadap Pemerintah terutama dalam Pasal 113 Undang-Undang Lembaga Perwakilan “BPK Ingin DPR Bentuk Komisi Pemantau Audit” http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19481&cl=Berita. Diakses pada 16 Agustus 2009. 4 5
10
soal anggaran. Seperti diketahui bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dalam empat tahun berturut-turut (2004 s/d 2007) mendapatkan rapor merah, dan semua belum ditindaklanjuti oleh DPR. 2. Adanya Laporan Kinerja kepada Masyarakat di Akhir Masa Jabatan Salah satu bentuk nyata akuntabilitas anggota DPR dan DPD ke masyarakat adalah adanya laporan pertanggungjawaban, yang dapat menjadi alat bagi masyarakat untuk mengetahui aktivitas DPR dan DPD serta melakukan penilaian terhadapnya. Undang-Undang Susduk tidak membebankan kewajiban kepada DPR dan DPD untuk memberikan pertanggungjawaban. Pada beberapa pasal UU Lembaga Perwakilan terdapat kewajiban alat kelengkapan DPR dan DPD untuk membuat laporan kinerja di akhir masa jabatan. Alat kelengkapan di DPR yang memiliki kewajiban untuk membuat laporan adalah: Komisi Badan Legislasi (Baleg) Badan Kerjasama antar Parlemen (BKSAP) Badan Kehormatan (BK) Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Sedangkan alat kelengkapan DPD yang memiliki kewajiban untuk membuat laporan adalah: Panitia Perancangan Undang-undang Badan Kehormatan Panitia Urusan Rumah Tangga Adalah satu hal yang sangat positif jika alat kelengkapan DPR memberikan laporan kinerja mereka ke publik. Apalagi untuk alat kelengkapan yang selama ini kebijakannya sering mendapatkan sorotan publik, BURT dan BK misalnya. BURT sering dianggap melakukan pemborosan anggaran DPR untuk pos-pos yang tidak tepat. Yang masih dapat kita ingat misalnya soal pembelian laptop yang sangat mahal, pembelian mesin cuci, renovasi gedung yang menelan dana yang besar hingga kegiatan studi banding yang salah sasaran. Begitu juga dengan BK yang dinilai tidak pernah terbuka dalam menindak pelanggaran kode etik anggota DPR. Laporan kinerja sebetulnya memiliki dua manfaat. Pertama, memberikan informasi kepada publik dan kedua, sebagai sarana bagi DPR dan DPD untuk memberikan argumentasi tentang kebijakan yang mereka ambil serta menjadikan lembaga tersebut lebih akuntabel di mata masyarakat. Sayangnya, aturan tentang kewajiban pembuatan laporan kinerja ini hanya dilakukan pada akhir masa jabatan. Idealnya, seperti yang dilakukan oleh lembaga parlemen di berbagai negara, laporan kinerja diberikan setidaknya
11
satu tahun sekali. Ini sangat baik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat memberikan masukan kepada DPR dan DPD tentang kinerja mereka dan kemudian dilakukan evaluasi atas masukan tersebut. Kelemahan lain dari UU Lembaga Perwakilan terkait laporan kinerja adalah tidak adanya kewajiban bagi DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk juga memberikan laporan. Padahal seperti halnya DPR dan DPD, DPRD juga menjalankan fungsi representasi rakyat dan pertanggungjawaban kepada rakyat adalah bagian penting dalam menjalankan fungsi tersebut. Selain itu, DPRD baik propinsi dan kabupaten/kota selama lima tahun terakhir juga banyak didera kasus korupsi serta inkompetensi dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota DPRD. Adalah satu hal yang wajar jika pembuatan laporan kinerja juga dibebankan kepada DPRD, sehingga checks and balances dan kontrol publik kepada DPRD juga dapat berjalan dengan baik. 3. Adanya Laporan Fraksi terkait Kinerja Anggotanya Evaluasi terhadap kinerja anggota DPR melalui fraksi berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) mencoba untuk mendorong implementasi akuntabilitas. Namun sayangnya tidak ada ketentuan jangka waktu evaluasi dan pelaporan (kepada publik). Selain itu, diberikannya peran evaluasi kepada fraksi cenderung atau berpotensi bias kepentingan karena adanya penilaian terhadap rekan satu fraksi. Lebih baik evaluasi anggota fraksi diserahkan saja kepada Komisi karena berbagai ruang aktualitas anggota DPR akan lebih terlihat sebagai anggota komisi. Keanggotaan komisi yang lintas fraksi memungkinkan bekerjanya mekanisme evaluasi secara lebih fair dan obyektif, terutama karena ada peluang saling “mengecek” antar anggota fraksi yang berbeda. Fraksi lebih baik hanya menginformasikan daftar aktivitas dan penggunaan dana setiap tahun. Hal yang sama berlaku pula untuk ketentuan Pasal 96 ayat (7) yang menyatakan bahwa laporan atas kinerja komisi hanya dilakukan pada akhir masa jabatan/keanggotaan DPR. Hal ini tidak membuka ruang kontrol atas kinerja DPR di tengah masa periode. Sebaiknya laporan kinerja dibuat setidaknya setiap tahun sidang. C. Keterwakilan Perempuan Ketentuan tentang keterwakilan perempuan dalam UU Lembaga Perwakilan bisa dibilang sebuah barang baru. Undang-undang yang lama sama sekali tidak menyinggung hal ini. Padahal pengaturan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Pemilu Anggota Legislatif sudah lebih dulu bergulir, yaitu sejak 1999. Pansus RUU Susduk mulai membuka diri untuk memasukan gagasan keterwakilan perempuan melalui Pasal 95 ayat (2)6 dan pasal 138 ayat (2)7 yang Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proposional dengan memperhatikan prinsip keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. 6
12
pada intinya mensyaratkan adanya keterwakilan dalam cabatan pimpinan komisi dan panitia khusus. Walaupun aturan ini belum diterapkan dalam pemilihan pimpinan DPR serta semua alat kelengkapan lain, namun setidaknya sudah ada sensitifitas terhadap soal keterwakilan perempuan di DPR. Sayangnya aturan ini tidak diterapkan sama pada DPD dan DPRD. D. Dukungan Kelembagaan Dukungan kelembagaan adalah salah satu faktor penting yang mendorong kinerja DPR, DPD, dan DPRD, khususnya dalam rangka menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh anggota dalam menjalankan fungsi mereka. Salah satunya adalah dengan tidak lagi mensyaratkan status pegawai negeri sipil kepada pegawai Sekretariat DPR, DPD, dan DPRD. Status mereka diubah menjadi pegawai parlemen, seperti yang terjadi pada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya. Dengan status ini, orientasi mereka untuk melayani anggota DPR, DPD, dan DPRD lebih terjaga. Namun, usulan ini tidak mendapatkan respon yang baik dari Pansus RUU Susduk sehingga status pegawai sekretariat DPR, DPD, dan DPRD masih merupakan pegawai negeri sipil. Beberapa isu lain yang perlu mendapatkan catatan dalam masalah dukungan kelembagaan diantaranya: 2. Pemilihan Sekretariat Jenderal Pasal 393 UU Lembaga Perwakilan menyatakan bahwa sekretaris jenderal untuk ketiga lembaga diusulkan oleh pimpinan ketiga lembaga tersebut dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan pemerintah. Mekanisme ini belum menjamin terpilihnya seorang sekretaris jenderal yang mampu menjalankan tugasnya secara baik dan profesional. Harusnya sebelum menentukan usulan pimpinan diwajibkan untuk menggelar mekanisme yang terukur dan jelas, misalnya pengadaan fit and proper test bagi calon Sekretaris Jenderal DPR/DPD, sehingga tingkat penerimaan dan kemampuan dia bekerja mendukung DPR/DPD secara administratif dan keahlian tidak diragukan lagi. 3. Dukungan Tenaga Ahli Dukungan tenaga ahli dalam kerja-kerja DPR, DPD, dan DPRD merupakan sebuah keharusan. Bagaimanapun anggota dewan bukanlah seorang ahli, tapi yang dibutuhkan dari mereka lebih pada menyuarakan kepentingan konstituen,sedangkan bagian teknis dan keahlian menjadi porsi dari para tenaga pendukung.
Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proposional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota 7
13
Dalam konteks ini, DPR sedikit lebih baik dibandingkan dengan DPD dan DPRD. Mereka telah memiliki tenaga peneliti, kelompok perancang serta beberapa staf ahli yang ditempatkan di Baleg dan Fraksi. Berbeda halnya dengan DPD dan DPRD, mereka tidak memiliki alokasi khusus untuk tenaga ahli baik yang ditempatkan di panitia/komisi maupun untuk anggota. Urusan anggaran merupakan penyebab utamanya. Namun sekarang UU Lembaga Perwakilan telah memberikan ruang kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mendapatkan bantuan dari tim ahli atau kelompok pakar. 8 Dengan adanya ketentuan tersebut, diharapkan DPD dan DPRD tidak lagi mengalami kesulitan terkait anggaran penyediaan tim ahli atau kelompok pakar. Apalagi anggota DPRD yang banyak diantaranya belum memiliki penguasaan yang baik terhadap isu-isu yang sifatnya teknis dan keahlian yang akhirnya berdampak kepada kualitas produk yang mereka hasilkan, yaitu peraturan daerah dan APBD.
V. Hal-hal Lain yang Perlu Diatur dalam Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPR 1. Mekanisme Kerja Antara DPR dan DPD Harus ada kejelasan mengenai mekanisme yang ditempuh DPD saat penyampaian pendapat mini DPD, sebagaimana diatur dalam Pasal 151 ayat (1) huruf a. Apa yang dibicarakan selama penyampaian tanggapan dari DPD harus berlangsung transparan dan bisa diketahui publik. Selain sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat, keikutsertaan DPD menyampaikan pandangannya akan dinilai masyarakat. Keterbatasan wewenang DPD tidak kemudian dirusak dengan kualitas undang-undang yang sebenarnya lebih banyak melibatkan peran DPR dan Pemerintah. Dengan kata lain, pandangan DPD terhadap substansi rancangan undang-undang –sebelum kemudian disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah- bisa dibaca oleh publik. Bahkan apabila substansinya lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dan lebih baik dari aspek kajian, maka secara tidak langsung akan memperkuat legitimasi DPD. 2. Penggunaan Hak Imunitas Terkait pelekatan dan perluasan hak imunitas bagi anggota parlemen di luar forum rapat, dalam implementasinya berpotensi menimbulkan kompleksitas, apabila belum ada parameter yg menentukan apakah seorang anggota parlemen bertindak/bersikap masih dalam ruang lingkup fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran atau tidak. Untuk itu, harus ada formulasi aturan main yang jelas tentang penggunaan hak imunitas yang diperluas, guna menghindari penyalahgunaan. 8
Pasal 395 UU Lembaga Perwakilan
14
3. Ketentuan Larangan Rangkap Jabatan Peraturan Tata Tertib harus memasukan pula kewajiban public disclosure, utamanya dalam konteks mencegah praktek KKN di parlemen atau yang melibatkan anggota DPR. Selain itu, larangan rangkap jabatan juga perlu dimuat dalam kode etik, supaya makin mengikat anggota DPR dan terhadap ketentuan ini memerlukan keterlibatan Badan Kehormatan (BK) dalam rangka penyelesaian kasus pelanggaran. 4. Ketentuan Lebih Rinci Mengenai Pelanggaran terhadap Kode Etik dan Tidak Melaksanakan Kewajiban Sebagai catatan, “pelanggaran terhadap kode etik (Pasal 207 jo Pasal 213 ayat (2) huruf b) dan tidak melaksanakan kewajiban (Pasal 127 ayat (1) huruf a” harus diuraikan secara detail karena ruang lingkup kemungkinan pelanggarannya sangat luas. Apakah kemudian ketentuan “tidak melaksanakan kewajiban” sama seperti yang sebelumnya pernah diatur melalui Pasal 29 UU Nomor 22 Tahun 2003 dan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR. Kemudian mengenai ketentuan “melanggar kode etik” ada di Keputusan DPR No 16/DPR RI/I/2004-2005 yang memuat pengaturan, mulai dari hal-hal yang terlalu abstrak (soal kepribadian dan tanggung jawab yang termaktub dalam Pasal 3 dan Pasal 4) sampai dengan tingkat pelanggaran yang bisa diukur, misalnya: a. Pasal 5 ayat (3), yaitu aturan tentang pembatasan bagi anggota DPR menyampaikan hasil rapat, konsultasi, atau pertemuan sejenisnya; b. Pasal 6 dan Pasal 7, yakni ketentuan dalam rapat; c. Pasal 9, tentang perjalanan dinas; d. Pasal 10 dan Pasal 11, mengenai kekayaan, imbalan, dan pemberian hadiah; e. Pasal 12 s/d Pasal 14, mengatur bagaimana kemungkinan anggota DPR terlibat dalam konflik kepentingan; f. Pasal 15, tentang larangan rangkap jabatan; g. Pasal 16, kemungkinan anggota DPR membocorkan rahasia; dan h. Pasal 17 dan Pasal 18, beberapa larangan dan kewajiban anggota DPR ketika mereka melakukan hubungan dengan mitra kerja dan lembaga di luar DPR.
15
Lampiran I
Tabel Perbandingan antara UU Lembaga Perwakilan dan UU Susduk UU Lembaga Perwakilan
UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD AKUNTABILITAS
Kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (Pasal 73 ayat (5))
Tidak mengatur tentang hal ini.
Adanya aturan tentang pembuatan laporan Tidak mengatur tentang hal ini. kinerja beberapa alat kelengkapan DPR dan DPD pada akhir masa jabatan. Pasal 84 ayat (1) huruf k, Pasal 96 ayat (7), Pasal 102 ayat (1) huruf i, Pasal 236 ayat (1) huruf i, Pasal 243 ayat (1) huruf g Adanya aturan tentang pertanggungjawaban Tidak mengatur tentang hal ini. anggota melalui Fraksi. Pasal 80 Adanya Badan Akuntabilitas Keuangan Tidak mengatur tentang hal ini. Negara yang bertugas melakukan tindak lanjut atas laporan audit BPK. Pasal 113 TRANSPARANSI Adanya aturan bahwa semua rapat di MPR, Hanya diatur dalam Peraturan Tata DPR, DPD, dan DPRD dilakukan secara Tertib DPR. terbuka kecuali dinyatakan tertutup. Pasal 200, Pasal 269, Pasal 319, dan Pasal 370 KETERWAKILAN PEREMPUAN Adanya aturan untuk memperhatikan Tidak mengatur tentang hal ini. keterwakilan perempuan dalam menentukan pimpinan Panitia Khusus dan Komisi. Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 138 ayat (2) DUKUNGAN KELEMBAGAAN Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR, DPR, DPD diusulkan oleh pimpinan masing-masing lembaga kepada presiden sebanyak 3 (tiga) orang. Sebelum mengusulkan 3 nama tersebut, pimpinan lembaga harus
16
Tidak diatur mekanisme rinci pemilihan Sekjen MPR, DPR, dan DPD. Hanya disebutkan bahwa Sekjen diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul pimpinan.
UU Lembaga Perwakilan
UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 99
berkonsultasi kepada pemerintah. Pasal 303 Adanya kelompok pakar atau tim ahli yang Kelompok pakar dan tim ahli dapat diperbantukan terutama kepada anggota DPR diangkat, namun tidak jelas apakah dan DPD namun tetap di bawah koordinasi untuk anggota atau untuk Sekretariat Sekretariat Jenderal. Jenderal. Pasal 395 Pasal 100 Dalam menyusun anggaran program dan Tidak mengatur tentang hal ini. kegiatan, DPR dapat memformulasikan standar biaya khusus Pasal 73 ayat (2) HAL LAIN Kewajiban penyertaan naskah akademik pada Tidak mengatur tentang hal ini. setiap rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD Pasal 142 ayat (1) Kedudukan DPD dalam pembahasan Tidak mengatur tentang hal ini. rancangan undang-undang hingga Pembicaraan Tingkat II yaitu melalui penyampaian pendapat mini DPD Pasal 151 ayat (1) huruf a
17
Lampiran II
TAUTAN KE KAJIAN-KAJIAN PSHK YANG TERKAIT DENGAN DPR DAN DPD 1. Sejarah DPR (artikel pendek): http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpr 2. Alat Kelengkapan DPR (artikel pendek, berdasarkan Tata Tertib DPR 2004): http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=kelengkapan 3. Sidang dan Rapat di DPR (artikel pendek, berdasarkan Tata Tertib DPR 2004): http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=rapat 4. Hak Keuangan dan Administratif Anggota DPR (artikel pendek, periode 2004-2009): http://www.parlemen.net/site/hakkeu_dpr.doc 5. Struktur DPR yang Merespon Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan (Buku, November 2005): http://forum-politisi.org/downloads/Struktur_DPR__Bivitri_Susanti_2007-05-23_024344.pdf 6. Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi (Buku, 2007): http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=5bca6749f0945029736 3dfb443b112b5&cgyid=5b5f28cd7f1f431a6864440dc9e0aa44 7. Panduan Praktis Pemantauan Legislasi (buku, edisi kedua/revisi, 2007): http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=8685137055ba81643b6 1b8cf172e41d5&cgyid=5b5f28cd7f1f431a6864440dc9e0aa44 8. Bobot Kurang Janji Masih Terutang: Catatan Awal Tahun PSHK tentang Kinerja Legislasi (buku, 2007) http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=95eb668ca0dfc86b7791 5c3271d96c2c&cgyid=5b5f28cd7f1f431a6864440dc9e0aa44 9. Catatan Akhir tahun PSHK tentang Kinerja Legislasi tahun 2005 (buku, 2006): http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=79845f1259df96db7283 c2dbc29ec726&cgyid=5b5f28cd7f1f431a6864440dc9e0aa44 10. Panduan Praktis Pemantauan Legislasi (buku, edisi pertama, 2005) http://www.pshk.or.id/site/details.viewer.php?catid=530558051be0d04348 80b62cd3cbb2eb&cgyid=5b5f28cd7f1f431a6864440dc9e0aa44 11. Masukan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) kepada Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR: http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?guid=90e44438adc343bd73dd65 b02f638641&docid=kpshk 12. Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR Tanggal 23 Februari 2007: http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?guid=bea9e3d6b5bb94c568eda1 4c141d672d&docid=fpdpr Semua kajian di atas dapat diunduh (download) secara cuma-cuma. Informasi selanjutnya, hubungi: Bivitri (
[email protected]), 0812-10-41-593 Ronald (
[email protected]), 0818-74-77-76 Maryam (
[email protected]), 0813-184-65-799
18
BEBERAPA SITUS INTERNET PENTING UNTUK DPR 1. www.dpr.go.id 2. www.parlemen.net Situs tentang proses legislasi yang dikelola oleh PSHK 3. http://perancangprogresif.blogspot.com Blog tentang perancangan peraturan yang dikelola oleh PSHK dan diikuti oleh orang-orang yang sudah mengikuti pelatihan perancangan peraturan (Legislative Drafting Tainings) yang dilakukan oleh PSHK selama ini. Untuk mengunduh (download) peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembentukan peraturan perunundang-undangan, klik: http://perancangprogresif.blogspot.com/2009/06/peraturan-perundangundangan-untuk.html 4. http://www.glin.gov/ Global Legal Information Network: jaringan penyedia informasi hukum (peraturan) dari puluhan negara anggota yang disediakan secara gratis oleh The Law Library of Congress, Amerika Serikat. Indonesia sudah menjadi anggota; saat ini sedang dikelola oleh PSHK bersama dengan Sekretariat Jenderal DPR RI dan nantinya akan ada transfer know-how kepada Perpustakaan DPR RI. 5. Constitution Finder: http://confinder.richmond.edu/ 6. Websites of National Parliaments: http://www.ipu.org/english/parlweb.htm Situs ini dikelola oleh IPU (International Parliamentary Union) dan menjadi pintu masuk ke situs-situs internet parlemen lainnya di dunia sebagai bahan perbandingan. 7. Resources for Legislative Researchers: http://thomas.loc.gov/home/legbranch/otherleg.html 8. www.legalitas.org Situs penyedia berbagai peraturan perundang-undangan serta rancangannya, dikelola oleh Departemen Hukum dan HAM.
19