Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
67898
Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Bangka Belitung: Sebuah Potret Deskriptif
Provincial Governance Strengthening Programme 2011
Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Bangka Belitung: Sebuah Potret Deskriptif Oleh Andika Pambudi dan Wahyudi Romdhani
Project Management Unit - PGSP Gedung Graha Mandiri Lt.21 Jl. Imam Bonjol No.61 Jakarta Pusat 10310 Telp: 021 391 7284, 391 8554 Faks: 021 515 3461 PGSP Paper Series No.3—September 2011
© 2011 ISBN: 978-602-98635-5-0
Pernyataan: Laporan ini bukan merupakan pandangan resmi BAPPENAS, UNDP, maupun DSF. Laporan ini disusun melalui PGSP yang merupakan proyek penguatan tatakelola pemerintah provinsi yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDP dengan dukungan DSF
Daftar Isi
2
Pengantar dari GM21 Tulisan ini adalah upaya untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan kondisi sosial-ekonomi dan input pembangunan di tiga provinsi pilot PGSP yaitu Nusa tenggara Timur, Gorontalo, dan Kepulauan Bangka Belitung. PGSP atau Provincial Governance Strengthening Programme merupakan program yang diinisiasi oleh UNDP bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri melalui dukungan Decentralization Support Facility (DSF). Banyak pihak yang telah membantu untuk penyelesaian tulisan ini. Terima kasih disampaikan atas kontribusinya yang telah diberikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya, khususnya bagi pemerintah daerah di tiga provinsi pilot dalam menyusun kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Tiada gading yang tak retak,begitu pun dengan tulisan ini.
Jakarta, September 2011 Penulis
3
Daftar Isi Bab 1
Kilasan Pembuka
… 1
Bab 2
Tinjauan Sosial Ekonomi
… 5
2.1
Produk Domestik Regional Bruto
5
2.2
Indeks Pembangunan Manusia 2.2.1 Ekonomi: Pengeluaran Riil Perkapita yang Disesuaikan 2.2.2 Kesehatan: Angka Harapan Hidup 2.2.3 Pendidikan: Rata-rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf
8 10 11 13
2.3
Bab 3
Millenium Development Goals 15 2.3.1 Tujuan Menanggulangi Kemiskinan 1: dan Kelaparan 16 2.3.2 Tujuan Mencapai Pendidikan Dasar 2: untuk Semua 20 2.3.3 Tujuan Mendorong Kesetaraan 22 3: Gender 2.3.4 Tujuan Menurunkan Kematian Anak 30 4: 2.3.5 Tujuan Meningkatkan Kesehatan Ibu 31 5: 2.3.6 Tujuan Memerangi HIV/AIDS, 6: Malaria dan Penyakit Menular 33 Lainnya 2.3.7 Tujuan Kelestarian Lingkungan 35 7: Hidup 2.3.8 Tujuan Kemitraan Global 37 8: Input Pembangunan … 40 3.1
4
Organisasi Pemerintahan 3.1.1 Perangkat Daerah: Dinas dan Lembaga Teknis 3.1.2 Instansi Vertikal: Relasi Pusat-Daerah 3.1.3 Lembaga Non-Pemerintahan
41
3.2
Perencanaan
50
3.3
Penganggaran
53
42 45 48
3.3.1 3.3.2
Bab 4
Pendapatan Daerah Pengeluaran Daerah
54 60
3.4
Tata-Kelola 3.4.1 Tata Kelola Ekonomi Daerah 3.4.2 Demokrasi 3.4.3 Korupsi 3.4.4 Standar Pelayanan Minimal
63 64 66 68 69
3.5
Kabupaten-Kota
70 … 73
Penutup Referensi
76
Lampiran
80
5
Daftar Tabel Tabel 1. Komponen Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008
9
Tabel 2. Perkembangan Angka Harapan Hidup
1 1
Tabel 3. Perkembangan Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup
1 2
Tabel 4. Perkembangan Angka Melek Huruf
1 4
Tabel 5. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah
1 4
Tabel 6. Persentase Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang Pada Balita
1 9
Tabel 7. APM Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
2 1
Tabel 8. Angka Melek Huruf (AMH) dan Drop-Out Sekolah Dasar
2 1
Tabel 9. Perkembangan Angka Melek Huruf Perempuan dan Laki-laki
2 4
Tabel 10. Perkembangan Angka Rata-rata Lama Sekolah Perempuan dan Laki-laki Tabel 11. Persentase Perempuan dalam Angkatan Kerja
2 5 2 7
Tabel 12. Keterlibatan Perempuan di DPRD dan DPD Hasil Pemilu 2009 Tabel 13. 6
2 8 2 9
Perkembangan GDI dan GEM Tabel 14. Perkembangan Kesenjangan Gender dalam Kualitas Hidup
2 9
Tabel 15. Penyebaran Kasus AIDS
3 4
Tabel 16. Kasus AIDS Akibat IDU dan Jumlah Kematian Akibat AIDS
3 4
Tabel 17. Jumlah Kasus (Penderita) Malaria
3 5
Tabel 18. Luas Kawasan Hutan dan Perairan (Hektar) Tahun 2009
3 6
Tabel 19. Luas Lahan Kritis Tahun 2006
3 6
Tabel 20. Persentase Banyaknya Rumah Tangga yang Mempunyai Telepon, Telepon Selular, Komputer, dan Internet (persen)
3 8
Tabel 21. Potensi dan Jumlah Perangkat Daerah Tahun 2008
4 2
Tabel 22. Perbandingan Nomenklatur Dinas di Tiga Provinsi
4 4
Tabel 23. Perbandingan Nomenklatur Lembaga Teknis di Tiga Provinsi
4 7
Tabel 24. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
5 5
Tabel 25. Dana Bagi Hasil Pajak dan Non-Pajak
5 7
Tabel 26. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
5 9
7
Tabel 27. Alokasi Anggaran Pada Sektor Prioritas Tahun 2007 Tabel 28. Alokasi Belanja Langsung dan Tidak Langsung
6 2 6 3
Tabel 29. Indeks Tata Kelola Pemerintahan Tahun 2008
6 4
Tabel 30. Indeks Tata Kelola Ekonomi daerah di Kabupaten/Kota
6 5
Tabel 31. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Tahun 2007 dan 2009
6 7
Tabel 32. Rekapitulasi Suara Pemilu Tahun 2009
6 7
Tabel 33 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Kabupaten/Kota Tahun 2006
6 8
Tabel 34. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Ibukota Provinsi Tahun 2010
6 9
Tabel 35. Jumlah Wilayah Administrasi Tahun 2010
7 2
8
Daftar Gambar Gambar 1. Perkembangan PDRB Total
6
Gambar 2. Perkembangan PDRB perkapita
7
Gambar 3. Perkembangan Kontribusi Sektor Pertanian
8
Gambar 4. Perkembangan IPM dari Tahun 2004 -2009
9
Gambar 5. Perkembangan Pengeluaran Riil Perkapita yang Disesuaikan
1 1
Gambar 6. Perkembangan Tingkat Kemiskinan
1 7
Gambar 7. Perkembangan Poverty Gap Index
1 8
Gambar 8. Perkembangan Poverty Severity Index
1 8
Gambar 9. Kesetaraan Gender Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar (SD) Tahun 2008
2 3
Gambar 10. Kesetaraan Gender Angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun 2008
2 4
Gambar 11. Perbandingan Angka Harapan Hidup Perempuan dan Laki-laki Tahun 2007
2 6
Gambar 12. Perkembangan Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Penduduk
3 0 9
Gambar 13. Perkembangan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
3 2
Gambar 14. Proporsi Perempuan Umur 15-49 tahun Berstatus Menikah yang Sedang Menggunakan Alat KB
3 3
Gambar 15. Perkembangan Persentase RT yang Memiliki Akses Terhadap Air Bersih
3 7
Gambar 16. Bagan Proses Perencanaan di Daerah
5 2
Gambar 17. Perkembangan Total Penerimaan APBD
5 5
Gambar 18. Besaran Kontribusi PAD terhadap Total APBD
5 6
Gambar 19. Perkembangan DAU Tahun 2005 – 2009
5 8
Gambar 20. Perkembangan Total Pengeluaran APBD
6 1
10
Daftar Tabel Lampiran Tabel Lampiran 1. Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan yang Dialami Tahun 2008
8 0
Tabel Lampiran 2. Persentase Rumah Tangga yang memenuhi Kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tahun 2007
8 0
Tabel Lampiran 3. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan
8 1
Tabel Lampiran 4. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan
8 1
Tabel Lampiran 5. Persentase Cakupan Bayi yang Terimunisasi Campak
8 1
Tabel Lampiran 6. Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah
8 2
Tabel Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kelaikan Batas Maksimum Besaran Organisasi Perangkat Daerah
8 3
Tabel Lampiran 8. Daftar Lembaga Swadaya Masyarakat di Provinsi NTT
8 3
Tabel Lampiran 9. Daftar Lembaga Swadaya Masyarakat di Provinsi Kep. Bangka Belitung
8 6
Tabel Lampiran 10. Alokasi Belanja Langsung (Juta Rupiah)
8 6
11
Bab 1 Kilasan Pembuka Sistem desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten-kota, untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Memilih pemimpin, mengelola aparatur, dan kekayaan daerah menjadi bagian dari kewenangan daerah. Semua ini telah diatur dalam Undangundang (UU) 32/2004 dengan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksananya. Dalam perjalanannya, selain sebagai daerah otonom, provinsi dalam hal ini gubernur juga mempunyai fungsi yang lain, yaitu sebagai wakil pemerintah pusat. Hal ini telah muncul di dalam Pasal 37 UU 32/2004. Namun sangat disayangkan, beberapa masalah muncul terkait dengan fungsi ini, terutama menyangkut koordinasi. Banyak bupati dan walikota yang mencoba mangkir dari koordinasi dengan provinsi. Walhasil, kebijakan atau perencanaan yang dilakukan oleh provinsi dan kabupaten-kota tidak searah dan terkadang tumpang-tindih. Seiring itu, desentralisasi juga membawa ketaksaan hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota —bahkan secara empirik kedua pemerintah subnasional ini memerankan dirinya masing-masing dalam kedudukan yang sejajar. Dengan kata lain, koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi oleh provinsi sukar terjadi secara optimal. Sebagai contoh, di dalam UU 32/2004 pasal 13 disebutkan bahwa perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang menjadi kewenangan provinsi. Namun, pada pasal 14, pemerintah juga memberi kewenangan yang sama bagi kabupaten-kota. Sangatlah tepat jika kabupaten-kota mempunyai alasan yang kuat untuk membuat perencanaan sendiri terlepas dari provinsi, walaupun dalam pembagiannya, wilayah provinsi terdiri dari wilayah kabupaten dan kota. Persoalan seperti inilah yang menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah pusat, Kementerian Dalam Negeri untuk membuat peraturan turunan dari UU Pemerintah Daerah yaitu PP 19/2010 mengenai tata cara pelaksanaan 12
tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi. Peran gubernur sebagai koordinator, pembina, dan pengawas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi ketentuan di dalamnya. Peran sebagai koordinator dilaksanakan di dalam konteks seluruh struktur penyelenggara pemerintahan daerah, mulai dari pemerintah provinsi dengan instansi vertikal hingga antarpemerintahan daerah kabupaten/kota di satu wilayah provinsi. Begitu juga dengan pembinaan dan pengawasan yang merangkul seluruh tingkatan pemerintahan. Persoalan yang timbul kemudian adalah fungsi dan peranan tersebut tidak begitu saja mudah untuk diterapkan di daerah. Terlebih dengan melihat permasalahan-permasalahan yang masih ada antara gubernur dengan bupati-walikota. Kondisi ini tentu saja membuat tanggung jawab yang dipikul oleh gubernur menjadi semakin besar. Tanggung jawab dalam bentuk pelaporan ke pemerintah pusat ataupun tanggung jawab sebagai daerah otonom itu sendiri yang memiliki goal besar, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, tata-kelola pemerintahan menjadi hal yang penting untuk diperbaiki. Pentingnya tata-kelola pemerintahan yang baik sudah dibuktikan oleh para peneliti, pembuat kebijakan, dan lembaga donor. Hampir semua mengakui pentingnya tata-kelola yang baik bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi. Kaufmann, et al (1999) menyimpulkan bahwa good governance merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur apakah suatu negara mempunyai kapasitas atau tidak untuk menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Hubungan yang positif ditunjukkan antara tatakelola yang baik dengan indikator pembangunan. Beberapa peneliti menggunakan indikator-indikator yang berbeda untuk mengukur tata-kelola tersebut, seperti demokrasi (Sharma, 2007), voice and accountability, political stability and absence of violence/terrorism, government effectiveness, regulatory quality, rule of law, and control of corruption (Kaufmann et al, 2008). Dalam perumusannya, tata-kelola pemerintahan daerah akan berjalan dengan efektif dan efisien jika dikembangkan berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada di tiap 13
daerah. Permasalahan-permasalahan tersebut bisa muncul dari dua sisi, yaitu pencapaian indikator sosial-ekonomi dan kebijakan dalam pemerintahan itu sendiri. Kedua hal inilah yang menjadi tantangan bagi daerah tentang bagaimana mengelola potensi atau kemampuan yang ada dengan seoptimal mungkin demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua `core issues‘ di dalam penyelenggaraan desentralisasi saat ini. Pertama adalah `intergovernmental issue‘ yang menyangkut persoalan koordinasi penyelenggaraan pemerintahaan, terutama antara provinsi dan kabupaten-kota. Kemudian yang ke-dua adalah persoalan tata-kelola pemerintahan sehingga pertanyaan mengenai bagaimana kondisi provinsi saat ini dan apa yang sedang dilakukan untuk memperbaikinya permasalahan bisa menjadi catatan penting. Untuk menampilkan itu semua, laporan ini secara keseluruhan akan mengkaji tentang bagaimana hubungan antara capaiancapaian kesejahteraan masyarakat dengan input-input pembangunan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hubungan inilah yang kemudian harus diterjemahkan sebagai tantangan sehingga dapat dirumuskan tata-kelola yang baik. Adapun indikator sosial-ekonomi yang akan dipakai adalah Produk Domestik Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Millenium Development Goals (MDGs), serta komponen-komponennya. Sementara itu, input pembangunan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan dilihat dari indikator organisasi pemerintahan (perangkat daerah, lembaga relasi pusat-daerah, dan lembaga nonpemerintahan), perencanaan, penganggaran (penerimaan dan pengeluaran), tata-kelola pemerintahan (tata-kelola ekonomi, demokrasi, korupsi, dan standar pelayanan minimum), serta perkembangan wilayah administrasi kabupaten-kota. Adapun provinsi-provinsi yang akan dipilih adalah Provinsi Kep. Bangka Belitung, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga provinsi ini adalah provinsi pilot bagi program penguatan pemerintah provinsi/Provincial Governance Strengthening Programme Bappenas untuk mengakselerasi penguatan peran
14
Seldadyo (2011) dalam PGSP Paper Series No.1/2011 mengemukakan beberapa alasan terpilihnya tiga provinsi tersebut menjadi daerah pilot. Pertama, provinsi baru hasil pemekaran pada era desentralisasi. Kedua, kondisi geografis tiga provinsi tidak jauh berbeda satu sama lain. Ketiga, pencapaian Indeks Pembangunan Manusia yang dapat dikategorikan rendah. Dengan mengacu kepada potensi dan capaian daerah, paper ini bertujuan meninjau lebih jauh dan memotret secara detail perkembangan pembangunan daerah di tiga provinsi tersebut.
15
Bab 2 Tinjauan Sosial–Ekonomi Pembangunan dalam dimensi sosial dan ekonomi merupakan dua aspek yang penting dalam pembangunan daerah. Hill (1996) menyimpulkan bahwa keduanya memang sangat tepat dalam menggambarkan kemajuan atau perkembangan suatu daerah, serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Disparitas antardaerah pun bisa menjadi bahasan yang muncul dari keduanya. Sebagai aspek yang penting, sosial-ekonomi menjadi hal yang mudah dilihat ketika perubahan sudah terjadi, terutama dalam tata-kelola pemerintahan. Salah satu bagian dari aspek tersebut adalah masalah kemiskinan yang juga menjadi fokus utama bagi beberapa daerah, seperti NTT, di era desentralisasi ini. Oleh karena itu, sangat tepat jika pada pembahasan awal dimulai dengan melihat perkembangan indikator kedua aspek tersebut, yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Millenium Development Goals (MDGs), serta komponenkomponen di dalamnya. Ulasan yang ada di dalamnya bisa menjadi gambaran mengenai efek dari tata-kelola yang selama ini sudah berjalan.
2.1 Produk Domestik Regional Bruto Sebagai pembuka tinjauan sosial-ekonomi, capaian PDRB di tiga provinsi akan menjadi bahasan awal. Seperti diketahui bahwa sudah menjadi hal yang lazim apabila Produk Domestik Bruto (PDB) ditampilkan untuk melihat perkembangan ekonomi suatu negara, sekaligus pertumbuhannya, tidak terkecuali dengan PDRB untuk skala daerah. Walaupun pada kenyataannya, banyak peneliti yang tidak puas dan menilai tidak cukup mengukur pertumbuhan ekonomi hanya dari PDB. Salah satunya adalah Vaury (2003) yang berkesimpulan bahwa penggunaan PDB sebagai indikator ekonomi memiliki banyak kekurangan. PDB tidak memperhitungkan barang dan jasa yang mampu meningkatkan kekayaan ekonomi suatu negara, seperti produksi rumah tangga, pekerja sukarelawan, 16
dan administrasi publik. Hasilnya pun bisa dikatakan bias dan tidak bisa dibandingkan antarnegara. Namun, sekali lagi, indikator ini tetap menjadi pilihan utama dalam mengukur pertumbuhan ekonomi. Pada tingkat lokal, dilihat secara agregat, ketiga provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga tahun 2009 (Gambar 1). Walaupun tergolong provinsi baru, PDRB Provinsi Kep. Babel hampir menyamai PDRB Provinsi NTT. Pada tahun 2004, total PDRB di Kep. Babel sebesar 8,41 trilliun rupiah, kemudian meningkat menjadi 10,20 di tahun 2009. Sementara itu PDRB di Provinsi NTT sebesar 9,54 trilliun rupiah (Tahun 2004) dan 11,90 trilliun rupiah (Tahun 2009). Di sisi lain, total PDRB Provinsi Gorontalo ternyata masih sangat jauh dari dua provinsi lainnya, terlebih jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Hingga tahun 2009, total value added provinsi ini sebesar 2,7 trilliun rupiah, sedangkan rata-rata nasional sebesar 62,92 trilliun rupiah. 70 60 Kep. Babel 50 40
NTT
30
Gorontalo
20 Rata-rata Nasional
10 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 1. Perkembangan PDRB Total (trilliun rupiah) Sumber: Badan Pusat Statistik
Kaitannya dengan tata-kelola pemerintahan, beberapa penelitian mengambil sudut yang berbeda untuk menilai perkembangan PDRB. Beberapa diantaranya mengaitkan bahwa PDRB dalam hal ini PDRB per kapita mampu menjadi indikator yang menunjukkan karakteristik perkembangan tata-kelola pemerintahan di suatu negara. Lebih jelasnya, kualitas kelembagaan dibentuk oleh faktorfaktor ekonomi (Svensson, 2005). Kebalikannya, membaiknya 17
nilai PDRB juga bisa menjadi akibat dari adanya perbaikan pada salah satu indikator di dalam tata-kelola pemerintahan. Tata-kelola yang lebih baik akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan per kapita (Kaufmann dan Kraay, 2003). Dari tiga provinsi yang menjadi bahasan dalam laporan ini, Provinsi Gorontalo berada posisi terendah dalam PDRB per Kapita. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Gorontalo sangat rendah. Tahun 2004, rata-rata penduduk memiliki penghasilan 2,1 juta rupiah per tahun, sampai tahun 2009 hanya mengalami peningkatan sedikit menjadi 2,75 juta per tahun. Angka tersebut masih terbilang kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya, terlebih dengan Provinsi Kep. Babel yang sama-sama termasuk provinsi baru. PDRB per Kapita Provinsi Kep. Babel pada tahun 2004 sebesar 7,82 juta, kemudian meningkat menjadi 8,99 juta di tahun 2009. Sementara itu untuk Provinsi NTT sebesar 2,57 juta rupiah di tahun 2009, terendah diantara tiga provinsi tersebut. 10000000 9000000 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
Kep.Babel NTT Gorontalo
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 2. Perkembangan PDRB perkapita (rupiah) Sumber: Badan Pusat Statistik
Bagaimana dengan perkembangan masing-masing sektor pendukung PDRB? Dominasi sektor pertanian masih terjadi. Perlahan dari tahun ke tahun, besaran kontribusi sektor ini semakin meningkat. Secara rata-rata, tiap tahun sektor pertanian mampu menyumbang sebesar 23,71 persen dari total PDRB masing-masing provinsi. Namun, kondisi berbeda terjadi di sektor pendukung terbesar ke-dua. Tiap provinsi memiliki sektor pendukung PDRB ke-dua yang berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing18
masing. Hingga tahun 2008 Provinsi Kep. Babel mampu dominan di sektor manufakturnya, sedangkan NTT dan Gorontalo ternyata baik di sisi pelayanan jasa, yaitu jasa pemerintahan umum maupun swasta. 50 40 30
Kep.Babel
20
NTT
Gorontalo
10 0 2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 3. Perkembangan Kontribusi Sektor Pertanian (persen) Sumber: Badan Pusat Statistik
2.2 Indeks Pembangunan Manusia Ulasan selanjutnya adalah mengenai Indeks Pembangunan Manusia sebuah indeks yang menjadi kesepakatan internasional dalam mengukur kinerja pembangunan. Beberapa ukuran mungkin bisa digunakan sebagai pengganti indeks ini, tapi hasilnya tidak bisa dibandingkan antarnegara atau antardaerah. Oleh karena itu, United Nations Development Programme (UNDP) mengambil empat indikator untuk mengukur pembangunan daerah dari sisi ekonomi dan pembangunan manusia (pendidikan dan kesehatan). Pada aspek ekonomi, variabel yang diambil adalah rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan, sedangkan variabel untuk aspek kualitas/mutu manusia adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah. Pentingnya variabel-variabel ini ternyata dibuktikan oleh beberapa peneliti. Hill (1996)1 berpendapat bahwa sektor sosial merupakan sektor yang paling jelas atau kentara
1
Lebih detail dapat dilihat pada bukunya yang berjudul ‗The Indonesian Economy Since 1996‘.
19
mengukur pembangunan ekonomi dan IPM menjadi salah satu bagiannya. 74 72 70
Kep. Babel
68
NTT
66 Gorontalo
64
Rata-rata Nasional
62 60 58 56 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 4. Perkembangan IPM dari Tahun 2004 -2009 Sumber: Badan Pusat Statistik
Seperti pada penjelasan sebelumnya, salah satu alasan mengapa tiga provinsi ini dipilih salah satunya adalah karena nilai IPM-nya. Tiga provinsi ini memiliki nilai IPM dengan karakteristik yang berbeda-beda, khususnya Kep. Babel. Dari tahun 2004 hingga 2009, nilai IPM di masing-masing provinsi semakin meningkat (Gambar 4). Peningkatan IPM ini didorong oleh peningkatan yang terjadi pada semua komponen pembentuknya yang akan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Hal yang menarik adalah perbandingan antara Kep. Babel, NTT, dan Gorontalo. Walaupun sebagai provinsi baru, kualitas manusia di Provinsi Kep. Babel ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas manusia di dua provinsi lainnya. Hal ini terlihat dari nilai IPM yang lebih besar. Provinsi
Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
20
Pengeluaran Riil Perkapita (ribu rupiah) 636,07 599,93 619,70 623,35
Angka Harapan Hidup (tahun) 70,90 69,60 69,80 71,03
Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 8,10 6,60 7,10 7,86
Angka Melek Huruf (persen) 95,41 87,96 95,71 92,98
Tabel 1. Komponen Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008 Sumber: Badan Pusat Statistik
Perbandingan ini menunjukkan bahwa umur provinsi ternyata tidak mengindikasikan bahwa provinsi tersebut sudah mapan dalam pembangunan manusia. Banyak faktor lainnya yang menyebabkan daerah tertinggal. Kondisi alam yang berat dan sumberdaya alam yang terbatas menjadi salah satu faktor kurangnya capaian pembangunan manusia di Gorontalo. Topografi wilayah yang berbukit-bukit menyebabkan sulitnya pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik sehingga pertumbuhan ekonomi pun semakin menurun. Selain itu, iklim yang kering dan kondisi lahan yang kurang subur mengakibatkan NTT rentan terhadap bencana kekeringan dan kerawanan pangan. Hal inilah yang ditemukan oleh beberapa lembaga penelitian maupun donor seperti SMERU dan ADB terkait dengan perkembangan pembangunan di NTT. Pembuktian kondisi di atas semakin jelas ketika karakteristik secara nasional pun menunjukkan hal yang hampir sama. Dari tiga provinsi, NTT dan Gorontalo memiliki nilai IPM di bawah rata-rata nasional. Isu ketertinggalan ternyata masih tampak dari persoalan ini.
2.2.1Ekonomi: Pengeluaran Disesuaikan
Riil
Perkapita
yang
UNDP (1999) menjelaskan pertumbuhan ekonomi bukanlah indikator yang tepat untuk menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Indikator yang tepat adalah indikator yang berhubungan langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan capaian-capaiannya, serta mengarah kepada kemampuan manusia yang paling dasar, seperti berpengetahuan dan standar kehidupan yang layak. Namun kenyataannya, PDRB yang digunakan untuk mengukur produksi yang dihasilkan suatu daerah, belum tentu didistribusikan dan dinikmati oleh masyarakat tersebut disebabkan karena tingginya mobilitas antar barang antar wilayah. Dengan kata lain, PDRB per kapita tidak dapat menggambarkan daya beli masyarakat daerah. Oleh sebab itu pengeluaran riil perkapita merupakan variabel yang lebih mampu menggambarkan keadaan daya beli riil dari masyarakat lokal daripada menggunakan PDRB per kapita. Dari konteks tersebut, pada aspek ekonomi pengeluaran 21
rumah tangga dapat digunakan sebagai proxy pendapatan masyarakat. Pengeluaran perkapita ini terlebih dahulu disesuaikan dengan tingkat harga untuk dapat mengukur tingkat daya beli yang nyata. 640000.00 630000.00 Kep. Babel
620000.00 610000.00
NTT
600000.00
Gorontalo
590000.00 580000.00
Rata-rata Nasional
570000.00 560000.00
550000.00 2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 5. Perkembangan Pengeluaran Riil Perkapita yang Disesuaikan (rupiah) Sumber: Badan Pusat Statistik
Dengan mencermati perkembangan pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan, terlihat bahwa peningkatan kesejahteraan di Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan yang relatif tajam dibandingkan dua provinsi lainnya selama kurun waktu 2004– 2008. Namun, Gorontalo juga satu-satunya provinsi yang mengalami penurunan tingkat kesejahteraan pada tahun 2006.
2.2.2 Kesehatan: Angka Harapan Hidup Selain kondisi ekonomi masyarajat, sektor kesehatan juga penting dalam mengukur standar hidup masyarakat. Salah satu indikatornya adalah tingkat harapan hidup masyarakat. Indikator ini menunjukkan perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup (secara rata-rata). Besaran angka ini pun bisa sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya di bidang pelayanan kesehatan. Tabel 2. Perkembangan Angka Harapan Hidup Provinsi Kep. Babel
22
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
68,10
68,30
70,70
70,80
70,90
71,00
NTT
64,90
66,50
69,10
69,40
69,60
69,90
Gorontalo
65,00 67,67
65,60 68,05
69,20 70,65
69,50 70,84
69,80 71,03
70,10 71,23
Rata-rata Nasional
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari data yang tersedia pada Tabel 2, hingga tahun 2010, tiga provinsi ini memiliki angka harapan hidup yang cukup rendah dan di bawah rata-rata nasional. Hingga tahun 2010, angka harapan hidup di Kep. Babel sebesar 71,00 tahun, sedangkan NTT dan Gorontalo masing-masing 69,90 tahun dan 70,10 tahun dengan rata-rata nasional sebesar 71,23 tahun. Tiga provinsi tersebut masih tertinggal dalam indikator kesehatan, walaupun peningkatan angka harapan hidup yang tinggi terjadi di NTT dan Gorontalo. Rendahnya infrastruktur dan pelayanan kesehatan menjadi salah satu penyebabnya (Barlow et al, 2007). Dibandingkan dengan provinsi lain, dua fasilitas tersebut di NTT memang sangat lemah dan kurang, padahal keduanya merupakan bagian penting dalam mengurangi kemiskinan. Selain angka harapan hidup, bagus atau tidaknya pelayanan kesehatan di daerah juga dapat direfleksikan oleh angka kematian bayi. Dari tahun 2005 hingga tahun 2008, angka kematian bayi di Provinsi NTT dan Gorontalo yang mempunyai angka harapan hidup rendah masih terbilang tinggi, walaupun mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Tabel 3). Pada tahun 2008, jumlah bayi yang meninggal di Provinsi NTT dan Gorontalo sekitar 31 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup. Angka-angka tersebut masih cukup jauh jika dibandingkan dengan angka kematian bayi di Provinsi Kep. Babel sebanyak 26,00 kematian per 1000 kelahiran hidup. Tabel 3. Perkembangan Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup Provinsi
Tahun 2005
2006
2007
2008
Kep. Babel
33,00
26,90
26,40
26,00
NTT
35,00
33,40
32,30
31,20
Gorontalo Rata-rata Nasional
34,00 31,57
33,20 27,43
32,00 26,64
30,80 25,88
Sumber: UNDP (Human Development Report 2004) dan BPS (Indikator Kesejahteraan Rakyat 2007 dan Booklet Maret 2009)
23
Pada profil kesehatan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, NTT dan Gorontalo masih berada di deretan posisi terbawah dalam beberapa indikator. Selain faktor pelayanan kesehatan, ketersediaan sarana-prasarana kesehatan, dan ekonomi, faktor perilaku masyarakat juga ternyata memiliki pengaruh terhadap tingkat kesehatan di tiap provinsi. Beberapa indikator yang dapat menggambarkannya, yaitu persentase penduduk yang menderita keluhan sakit dan persentase rumah tangga yang berperilaku hidup sehat. Dilihat dari indikator pertama, Gorontalo dan NTT masuk ke dalam kategori provinsi dengan persentase penduduk yang mempunyai persentase keluhan terbesar. Di tahun 2008, sebanyak 49,66 persen penduduk di Gorontalo mengeluh tentang kesehatan mereka, sedangkan di NTT sebanyak 47,04 persen. Lain halnya dengan keluhan kesehatan di Provinsi Kep. Babel yang hanya 36,06 persen. Jenis keluhan yang terbanyak adalah batuk dan pilek (Tabel Lampiran 1). Hal ini juga bisa dilihat dari indikator perilaku hidup bersih dan sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Dari data yang ada (Tabel Lampiran 2), hanya sebanyak 26,8 persen (NTT) dan 27,8 persen (Gorontalo) rumah tangga di kedua provinsi tersebut yang memenuhi kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Keduanya berada di posisi terbawah. Sementara angka di Provinsi Kep. Babel sebesar 47,8 persen sudah melebih angka rata-rata nasional.
2.2.3 Pendidikan: Rata-rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf Tidak berbeda dengan sektor kesehatan, sektor pendidikan juga mempunyai peran yang penting dalam peningkatan pembangunan manusia di suatu negara atau daerah. Sektor ini juga bisa menjadi bahan acuan dalam melihat perkembangan kebijakan pemerintah. Peningkatan atau penurunan di sektor ini bisa dilihat dari tahun rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Dari dua indikator tersebut, provinsi NTT selalu tertinggal dibandingkan dengan provinsi lainnya maupun dengan capaian rata-rata nasional. Dari tahun 2004 hingga 2009, banyaknya penduduk yang bisa baca-tulis di provinsi ini masih berkisar di angka 80 persen-an. Sulitnya akses masyarakat terhadap sarana pendidikan bisa menjadi salah satu faktornya. 24
Sementara itu, kondisi di Provinsi Kep. Babel dan Gorontalo jauh lebih baik. Persentase jumlah penduduk yang melek huruf semakin meningkat dari tahun ke tahun dan selalu lebih besar dari angka rata-rata nasional. Tabel 4. Perkembangan Angka Melek Huruf 2004
2005
Tahun 2006 2007
Kep, Babel
95,40
95,40
95,40
94,87
95,34
95,41
NTT
86,50
85,60
86,50
87,25
87,66
87,96
Gorontalo
95,70
95,00
95,70
95,75
95,51
95,71
Rata-rata Nasional
92,43
92,01
92,43
92,28
92,70
92,98
Provinsi
2008
2009
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pada indikator rata-rata lama sekolah yang menjelaskan berapa lama orang bersekolah, secara keseluruhan di masingmasing provinsi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, Provinsi Kep. Babel, NTT, dan Gorontalo masih tertinggal. Rata-rata lama sekolah masyarakatnya masih tergolong pendek. Pada tahun 2004, masyarakat di Kep. Babel hanya bisa menikmati pendidikan hingga kelas satu SMP atau 6,5 tahun, sedangkan NTT dan Gorontalo masing-masing sebesar 6,2 tahun dan 6,8 tahun. Nilai keduanya pun tidak mengalami perubahan yang besar hingga tahun 2009 atau tetap di bawah rata-rata nasional. Hanya provinsi Kep.Bangka Belitung saja yang mengalami peningkatan dan berada di atas rata-rata nasional. Tabel 5. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Provinsi
Tahun
Kep, Babel
2004 6,50
2005 6,60
2006 6,90
2007 7,18
2008 8,10
2009 8,10
NTT
6,20
6,30
6,40
6,42
6,40
6,60
Gorontalo
6,80
6,80
6,80
6,91
7,00
7,10
Rata-rata Nasional
7,48
7,61
7,72
7,78
7,70
7,86
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari seluruh gambaran komponen pembentuk Indeks Pembangunan Manusia, dapat terlihat bahwa Provinsi Kep. Babel merupakan provinsi ‗tersukses‘ dalam pencapaian kualitas penduduknya dibandingkan dua provinsi lainnya. Hanya pada aspek kesehatan saja, posisi provinsi kep. Babel 25
berada di bawah rata-rata nasional. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kategori daerah lama atau baru belum tentu menjadi jaminan bahwa provinsi ini akan maju. Banyak faktor yang menyebabkan kurang suksesnya pembangunan manusia di daerah. Kurang meratanya pendapatan di masyarakat bisa menjadi salah satu faktornya.
2.3 Millenium Development Goals Dilihat secara kasat mata, IPM dan MDGs tidaklah jauh berbeda. Kedua indikator digunakan untuk tujuan yang sama, yaitu melihat pencapaian pembangunan manusia. Dalam MDGs pun ada beberapa variabel yang juga digunakan dalam IPM, salah satunya angka melek huruf. Namun, jika coba ditilik lebih dalam, ternyata kedua indikator ini saling berbeda dan cenderung saling melengkapi. Tepatnya, IPM terdiri dari indikator akhir dalam pembangunan, sedangkan MDGs merupakan kumpulan dari target-target yang harus dicapai dalam meningkatkan IPM itu sendiri. Tujuan-tujuan dalam MDGs merupakan hasil kesepakatan dari negara-negara anggota United Nations atau PBB, termasuk Indonesia pada September 2000. Pada tahun tersebut, semua negara setuju untuk menetapkan 8 tujuan dalam pencapaian MDGs. Delapan komponen tersebut adalah (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Lebih jauh lagi, tiap tujuan diikuti dengan target-target yang berbeda-beda. Tiap negara atau daerah bisa menetapkan target-target tersebut sendiri sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing, Kilas balik terhadap sejarahnya, pemerintah sebenarnya sudah lama menerapkan MDGs di dalam perencanaan. Saat Soekarno menjabat sebagai presiden, pemerintah telah mengeluarkan dokumen perencanaan pembangunan yang selanjutnya diberi nama Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 dan Pokok-pokok Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 196126
1969 (UNDP dan Bappenas, 2007). Dokumen-dokumen tersebut secara konsisten berupaya meningkatkan pembangunan, terutama pembangunan manusia. Hanya saja, ada beberapa perbedaan di beberapa sisi dengan Target MGDs yang telat disepakati oleh beberapa negara saat ini. Hal yang sama juga terjadi di tingkatan yang lebih rendah. Tiap daerah sebenarnya sudah memasukkan target-target MDGs dalam dokumen RPJMD. Namun, lagi-lagi soal pemahaman dan persepsi. Istilah MDGs tidak secara eksplisit disebutkan dalam dokumen-dokumen daerah. Pengetahuan mengenai MDGs masih terbatas pada level kepala dinas ke atas, akademisi, dan media lokal2. Hal ini tentu saja membawa dampak terhadap pencapaian pembangunan itu sendiri, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah pusat untuk mensosialisasikan lebih jauh lagi. Terkait dengan kondisi pembangunan di masing-masing daerah, fokus pembahasan selanjutnya akan berkisar pada kemajuan atau perkembangan indikator-indikator di dalam Target MDGs. Indikator-indikator tersebut dipilih berdasarkan apa yang sudah digunakan UNDP dan Pemerintah Indonesia dalam hal ini Bappenas, serta beberapa sumber lain yang relevan.
2.3.1 Tujuan 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Pada dasarnya, semua tujuan dalam MDGs saling terikat atau berkaitan satu sama lain. Namun, di dalam pelaksanaannya, masing-masing mendapat prioritas tertentu. Permasalahan kemiskinan dan kelaparan menjadi target dalam tujuan pertama ini, Kedua hal ini selalu ada di hampir setiap negara dan tidak pernah bisa dihilangkan begitu saja. Seolah-olah kemiskinan sudah mendarah-daging di dalam pembangunan tiap negara, termasuk Indonesia. Data BPS menunjukkan masih tingginya tingkat kemiskinan di tiga provinsi. Tingkat kemiskinan yang ada masih sangat jauh dari target MDGs sebesar 10,30 persen. Pada Gambar 6 dapat terlihat hanya Provinsi Kep. Babel yang telah melewati angka tersebut, yaitu 6,51 persen di tahun 2010. Sementara itu, jika dilihat secara keseluruhan, dari tahun 2004 hingga 2010, persentase jumlah penduduk miskin di tiap provinsi cenderung menurun. 2
Untuk lebih jelas dapat lihat ‗Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia 2010‘ yang dikeluarkan oleh Bappenas.
27
35.00 30.00 25.00 Kep. Babel
20.00
NTT
15.00
Gorontalo
10.00
Rata-rata Nasional
5.00
Target MDG’s 2015
0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 6. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Sumber: Badan Pusat Statistik
Penurunan terbesar terjadi di Provinsi Gorontalo dari 29,01 persen tahun 2004 menjadi 23,19 persen di tahun 2010 atau menurun sebesar 2,82 persen selama enam tahun. Kondisi ini menunjukkan adanya perbaikan pada kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Dari tiga provinsi, hanya Provinsi Kep. Babel yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Walaupun mengalami penurunan secara agregat dari tahun ke tahun, dua provinsi lainnya yaitu NTT dan Gorontalo masih memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di dua provinsi ini masing-masing sebesar 27,86 persen dan 29,01 persen, sedangkan rata-rata nasionalnya sebesar 17,37 persen. Kondisi ini tidak berubah hingga tahun 2010 dengan tingkat kemiskinan masing-masing 23,03 persen (NTT), 23,19 persen (Gorontalo), dan rata-rata nasional 14,43 persen. Indikator-indikator lain yang bisa menunjukkan kemiskinan di suatu wilayah adalah Poverty Gap Index (PGI) dan Poverty Severity Index (PSI). PGI atau yang biasa disebut Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan indikator yang dapat menunjukkan kesenjangan pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan, sedangkan PSI atau Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Selain itu, indikator PSI juga dapat digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan (Foster et al, 1984). 28
8.00 7.00 6.00 5.00
Kep.Babel
4.00
NusaTenggaraTimur
3.00
Gorontalo Rata-rata Nasional
2.00 1.00 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 7. Perkembangan Poverty Gap Index Sumber: Badan Pusat Statistik
2.50 2.00
Kep.Babel
1.50
NusaTenggaraTimur Gorontalo
1.00
rata-rata nasional 0.50 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 8. Perkembangan Poverty Severity Index Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan pola atau kecenderungan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di tiga provins. Kep. Babel dan Gorontalo memiliki indeks yang cenderung menurun dari tahun 2004 hingga tahun 2010, tapi tidak dengan Provinsi NTT (Tabel Lampiran 3 dan 4). Tingkat kemiskinan yang dilihat dari nilai kedua indeks malahan cenderung meningkat kalau 29
diambil dari titik tahun 2004. Nilai PGI di NTT tahun 2004 sebesar 2,28, sedangkan PSI-nya sebesar 0,60. Kedua nilai tersebut meningkat tajam sampai di tahun 2010 menjadi 4,14 (PGI) dan 1,14 (PSI). Nilai indeks 414 ini dapat diterjemahkan bahwa secara rata-rata, orang miskin di NTT mempunyai pengeluaran per bulan sebesar 414 persen di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut juga dapat menunjukkan bahwa biaya per kapita yang harus dikeluarkan dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di NTT adalah sebesar 414 persen dikali dengan nilai garis kemiskinan. Sementara itu, nilai indeks keparahan kemiskinan 1,14 memperlihatkan bahwa penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin sudah sangat besar. Setiap penduduk miskin memiliki pengeluaran yang berbeda-beda sehingga intensitas kemiskinan pun menjadi semakin besar pula. Jadi bisa dikatakan bahwa peluang seseorang dikatakan miskin di NTT sangat besar. Target selanjutnya adalah pengurangan proporsi penduduk yang menderita kelaparan. Untuk hal ini, indikator yang akan digunakan adalah persentase anak-anak berusia di bawah lima tahun yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang. Pada tahun 2010, sebanyak 11,20 persen balita di Provinsi Gorontalo mengalami gizi buruk (Tabel 6). Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan provinsi NTT (9,00 persen). Nilai keduanya berada di atas rata-rata nasional sebesar 5,70 persen. Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan angka target MDG‘s 2015 yang sebesar 3,6 persen. Lain halnya dengan Provinsi Kep. Babel yang bisa menurunkan persentase gizi buruk hingga 6,12 persen selama tujuh tahun dari 2003 sampai 2010. Hal ini merupakan modal penting untuk mencapai target yang diharapkan pada tahun 2015. Tabel 6. Persentase Kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang Pada Balita Provinsi 2003
Gizi Buruk 2005 2007
2010
Gizi Kurang 2007 2010
9,32
8,70
4,60
3.20
13,70
11.70
NTT
12,65
9,40
9,00
24,20
20.40
Gorontalo
21,66
8,20
11.20
17,20
15.30
Rata-rata Nasional
9,11
13,0 4 15,4 1 9,09
6,37
5,70
14,04
14.13
Kep. Babel
30
Target MSG’s 2015
3,6
11,9
Sumber: Kementerian Kesehatan
Di sisi lain, rendahnya angka balita yang mengalami gizi buruk ternyata tidak diikuti dengan rendahnya angka balita yang mengalami kekurangan gizi. Hal ini terlihat dari data persentase balita yang mengalami kekurangan gizi pada tahun 2010. Di tahun tersebut, dari tiga provinsi, Kep. Babel masih berada di posisi terendah dengan jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi sebanyak 11,7 persen, tapi tidak dengan NTT, angkanya justru sangat besar mencapai 20,4 persen. Padahal jika dilihat dari kasus malnutrisi, Provinsi NTT memiliki nilai yang tidak tinggi. Sementara itu, kasus balita kekurangan gizi di Provinsi Gorontalo 15,3 persen. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintah, baik pusat maupun daerah, Tantangan-tantangan tersebut yang melatarbelakangi mengapa kondisi ini masih terjadi. Beberapa di antaranya adalah akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, serta rendahnya daya beli dan ketidaktersediaan pangan di daerah. Hal inilah yang terlihat dari hasil laporan MDGs Indonesia Tahun 2010.
2.3.2 Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Tujuan selanjutnya adalah terkait dengan pencapaian pada tingkat pendidikan dasar. Memastikan semua anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2015 menjadi target utama di dalamnya. Untuk mengukur pencapaian target tersebut, beberapa indikator yang bisa digunakan adalah angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah, dan angka melek huruf usia 15-24 tahun. Dilihat dari perkembangannya dari tahun 2006 hingga 2009, angka partisipasi murni tingkat sekolah dasar di tiap provinsi cenderung meningkat (Tabel 7). Tahun 2006, anak-anak usia 7-12 tahun yang dapat bersekolah di Provinsi Kep. Babel sebanyak 91,50 persen. Angka tersebut kemudian meningkat tajam pada tahun 2009 menjadi 97,22 persen. Hingga akhir
31
tahun 2009, kondisi ini juga terjadi di provinsi lainnya walaupun peningkatannya terbilang sedikit. Perbandingan dalam indikator ini semakin nampak jika angka di tiap provinsi dibandingkan dengan angka rata-rata nasional, angka di Provinsi Gorontalo masih sangat jauh dari angka rata-rata nasional. Hasil capaian APM-SD di tiga provinsi ini masih perlu diakselerasi lagi, mengingat target pada tahun 2015 seluruh anak Indonesia usia SD harus mampu bersekolah. Tabel 7. APM Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (persen) Provinsi 2006
APM SD 2007 2008
Kep. Babel
91,50
91,6 0
91,5 3
NTT
91,60
91,6 0
91,6 7
Gorontalo
90,50
90,2 0
90,4 4
Rata-rata Nasional
92,64
92,9 2
93,3 4
Target MSG’s 2015
2009
2006
APM SMP 2007 2008
97.2 2 92.1 3 92.0 8 94.3 7
55,3 0
52,2 0
52,0 4
47,2 0
49,5 0
49,5 6
52,3 0
52,2 0
52,3 5
65,1 8
63,8 5
64,1 0
2009 71.3 6 59.6 7 67.7 2 73.3 1
100%
Sumber: Kementerian Pendidikan Kesejahteraan Rakyat 2007)
Nasional
dan
BPS
(Indikator
Pola naik-turun atau fluktuasi juga terjadi pada data angka partisipasi murni di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Penurunan terjadi di tahun 2007, kemudian naik secara tajam di tahun 2009. Hal menarik justru terjadi pada perbandingan antar provinsi. Posisi Gorontalo berada di atas NTT. Hingga tahun 2009, APM SMP di Gorontalo sebesar 67,22 persen, sementara NTT Gorontalo 59,67 persen. Tabel 8. Angka Melek Huruf (AMH) dan Drop-Out Sekolah Dasar Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
32
Angka Melek Huruf 2008 2009 95,34 95,41 87,66 87,96 95,51 95,71 92,70 92,98
Drop-Out SD 2008 2009 2,20 2,66 3,49 3,36 2,09 2,06 1,96 1.95
Target MSG’s 2015 Sumber: Kementerian Pendidikan Kesejahteraan Rakyat 2007)
100% Nasional
dan
BPS
(Indikator
Kondisi pada dua indikator sebelumnya juga tergambar pada indikator angka melek huruf usia 15-24 tahun. Tingkat partisipasi sekolah yang rendah dibarengi dengan angka melek huruf yang rendah pula. Pada tahun 2009, banyaknya penduduk usia muda atau remaja yang bisa baca-tulis di Provinsi NTT sebesar 87,96 persen. Angka tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan angka pada Provinsi Kep. Babel (95,41 persen) dan Gorontalo (96,71 persen). Kondisi yang sama juga tercermin pada perbandingannya dengan rata-rata nasional. Angka melek huruf di NTT pada usia tersebut masih di bawah rata-rata nasional sebesar 92,98 persen. Begitu pula dengan Provinsi Gorontalo. Lain halnya dengan Kep. Babel yang sudah berada di atas rata-rata nasional. Namun, jika dibandingkan dengan target MDG‘s tahun 2015, masih perlu banyak upaya untuk sampai kesana dalam perbaikan mutu pendidikan di daerah. Fluktuasi yang terjadi pada angka partisipasi murni SD dan SMP menunjukkan bahwa di tengah perjalanan dalam belajarmengajar, ternyata ada siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya atau putus sekolah. UNDP dan Bappenas (2007) mencacat bahwa faktor ketiadaan biaya masih menjadi alasan penduduk usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan mereka. Pemerintah pun diharapkan tidak hanya memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana saja, tapi juga bantuan keuangan berupa beasiswa. Selain kemampuan ekonomi, ternyata masih banyak faktor lainnya. Sepertinya halnya pada sektor kesehatan, tingkat kesejahteraan yang diukur melalui pendapatan per kapita belum bisa mengukur peluang untuk tidak terjadinya putus sekolah. Pernyataan ini tergambar pada Provinsi Kep. Babel yang memiliki angka putus sekolah yang tinggi dibandingkan dengan kondisi di Gorontalo. Pada tahun 2009 jumlah anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah di Kep. Babel sebanyak 2,66 persen, angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan angka di Gorontalo (2,06). Padahal, tingkat kesejahteraan masyarakat di provinsi ini merupakan yang terbaik dibandingkan lainnya.
33
2.3.3 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi tujuan ke-tiga yang ditargetkan oleh MDGs. Dalam upaya pencapaiannya, tujuan ini bisa dipantau dari beberapa indikator, sekaligus menjadi target rinci. Untuk memudahkan dalam pendeskripsian, indikator-indikator tersebut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu pendidikan, kesehatan, dan tenaga kerja. Pada sektor pendidikan, indikator yang akan digunakan adalah (1) rasio murid perempuan terhadap murid laki-laki pada tingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas dan universitas, (2) tingkat melek huruf wanita usia 15-24 tahun, (3) rata-rata lama sekolah, dan (4) angka partisipasi murni sekolah. Sementara itu, sektor kesehatan akan diwakilkan oleh angka harapan hidup, sedangkan sektor tenaga kerja akan berfokus pada keterlibatan perempuan di dalam pekerjaan yang bersifat professional, berada di legislatif, serta bagaimana tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat pengangguran di masing-masing provinsi. Sebagai penyatu dari indikator-indikator tersebut, indeks pembangunan gender dan pemberdayaan gender akan digunakan.
118
Laki-laki
116
Perempuan
114 112 110 108 106 104 102
Babel
NTT
Gorontalo
Rata-rata nasional
Gambar 9. Kesetaraan Gender Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar (SD) Tahun 2008 Pada sektor pendidikan, dilihat dari angka partisipasi kasar sekolah tingkat SD, SMP, dan SMU, kesetaraan gender belum tampak. Dominasi laki-laki di tiap tingkatan di tiga provinsi masih ada. Hal ini nampak jelas pada Gambar 9 dan 10. 34
Dominasi perempuan hanya nampak pada tingkat sekolah dasar di NTT dan tingkat SMP di Gorontalo. Dominasi perempuan tersebut menunjukkan bahwa keinginan anakanak perempuan untuk bersekolah. 90
Laki-laki
80
Perempuan
70 60 50 40 30
20 10 Babel
NTT
Gorontalo
Rata-rata nasional
Gambar 10. Kesetaraan Gender Angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun 2008 Terkait dengan kualitas pendidikan perempuan, secara keseluruhan, berdasarkan data dari BPS, angka melek huruf perempuan di tiga provinsi pada selang antara tahun 2006 dan 2009 mengalami peningkatan (Tabel 9). Walaupun di awal tahun 2006 angka melek huruf pada perempuan masih jauh di bawah angka melek huruf laki-laki, namun secara perlahan selisihnya semakin mengecil hingga tahun 2009. Kondisi baik ini juga terlihat jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Hanya Provinsi NTT yang mempunyai angka melek huruf masih berada di bawah rata-rata nasional. Tabel 9. Perkembangan Angka Melek Huruf Perempuan dan Laki-laki Provinsi
Angka Melek Huruf Perempuan 2006 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf Laki-laki 2006
2007
2008
2009
Kep. Babel NTT
94,60
94,60
93,24
93,16
97,50
98,30
97,32
97,65
83,00
85,00
85,68
85,85
87,80
89,70
89,78
90,24
Gorontalo
93,30
96,00
95,17
95,77
95,10
95,50
95,86
95,66
Rata-rata Nasional
89,26
89,85
90,15
90,54
94,83
95,52
95,31
95,53
Sumber: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
35
Hal yang menarik dari tabel tersebut adalah kondisi pendidikan perempuan di Provinsi Gorontalo ternyata jauh lebih baik daripada kondisi pendidikan perempuan di provinsi lainnya. Persentase jumlah perempuan usia 15-24 yang bisa baca-tulis di provinsi ini lebih banyak dibandingkan persentase jumlah perempuan yang bisa baca tulis di provinsi lain. Pada tahun 2009, angka melek huruf di provinsi ini sebesar 95,77 persen, sedangkan untuk provinsi lainnya masing-masing Kep. Babel (93,16 persen) dan NTT (85,85 persen). Tidak hanya itu, dibandingkan dengan provinsi lain dan rata-rata nasional, kualitas pendidikan laki-laki di Gorontalo juga jauh lebih baik. Hingga akhir tahun 2009, angka melek huruf laki-laki di Gorontalo sebesar 95,66 persen. Jika dibandingkan dengan bahasan sebelumnya posisi Gorontalo pada indikator ini sangatlah berbeda. Bahasanbahasan sebelumnya menunjukkan posisi Gorontalo yang selalu berada di bawah provinsi lainnya, terlebih dibandingkan dengan Provinsi Kep. Babel yang merupakan provinsi baru juga. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pembangunan manusia, khususnya pembangunan perempuan di sektor pendidikan sudah semakin membaik. Hasil di atas juga terkonfirmasi oleh angka rata-rata lama sekolah (Tabel 10). Di tiga provinsi, pembangunan perempuan di Gorontalo ternyata jauh lebih baik. Rata-rata lama sekolah perempuan di provinsi ini semakin meningkat dari tahun ke tahun dan mampu melebihi rata-rata lama sekolah laki-laki. Hal ini berbeda dengan kondisi di provinsi lainnya. Kesempatan perempuan untuk bersekolah masih sangat kecil. Angka 7,40 tahun di tahun 2009 untuk rata-rata lama sekolah di Gorontalo menunjukkan bahwa secara rata-rata anak perempuan di provinsi ini mampu lulus SD atau putus sekolah pada kelas dua SMP. Sementara di Provinsi Kep. Babel dan NTT, anak perempuan hanya mampu bersekolah hingga tingkat SD atau putus sekolah kelas satu SMP.
Provinsi
36
Rata-rata Lama Sekolah Perempuan 200 200 200 2009 6 7 8
Rata-rata Lama Sekolah Laki-laki 2 200 2008 200 0 7 9 0 6
6,80
6,80
7,00
7,10
6,00
6,20
6,10
6,40
7,00
7,10
7,00
7,40
7,23
7,34
7,30
7,48
Kep. Babel
NTT
Gorontalo Rata-rata Nasional
7 , 8 0 6 , 8 0 6 , 6 0 8 , 1 6
7,8 0
7,7 0
7,70
6,9 0
6,8 0
6,90
6,7 0
6,8 0
7,00
8,2 7
8,0 9
8,25
Tabel 10. Perkembangan Angka Rata-rata Lama Sekolah Perempuan dan Laki-laki Sumber: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Indikator selanjutnya adalah angka harapan hidup yang mewakili sektor kesehatan. Pada indikator ini, kesetaraan gender lebih terlihat. Kaum perempuan di tiap provinsi dapat hidup lebih lama dibandingkan laki-laki (Gambar 11). Hal ini terlihat dari angka harapan hidup perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan angka harapan hidup laki-laki. Pada tahun 2007, angka harapan hidup perempuan dan laki-laki di Provinsi NTT sebesar 68,7 tahun dan 64,8 tahun. Sementara itu di Gorontalo masing-masing 67,9 tahun dan 64 tahun. Kondisi yang lebih baik ternyata ditunjukkan oleh Provinsi Kep. Babel. Angka harapan hidup perempuan dan laki-laki di provinsi ini mampu melebihi angka harapan hidup rata-rata nasional. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa tingkat kesehatan di Provinsi Kep. Babel jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kesehatan di dua provinsi lainnya. Masyarakat Kep. Babel mampu menjaga kondisi tubuh dan hidup lebih sehat.
37
72 Perempuan 70
Laki-Laki
68 66
64 62 60 Kep. Babel
Gambar
NTT
Gorontalo
Rata-rata Nasional
11. Perbandingan Angka Harapan Perempuan dan Laki-laki Tahun 2007
Hidup
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Setelah melihat perkembangan di dua sektor utama, pendidikan dan kesehatan, pembahasan akan dilanjutkan dengan melihat perkembangan dari indikator-indikator pada sektor tenaga kerja. Indikator pertama yang akan dilihat adalah tingkat partisipasi kerja perempuan. Secara keseluruhan, persentase jumlah perempuan yang termasuk ke dalam angkatan kerja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada indikator ini, Provinsi NTT menunjukkan hasil atau perkembangan yang cukup baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Persentase perempuan yang termasuk ke dalam angkatan kerja semakin meningkat. Tahun 2004, sebanyak 42,4 persen angkatan kerja berjenis kelamin perempuan. Angka tersebut sempat menurun pada tahun 2005 sebelumnya akhirnya meningkat kembali di tahun 2007 menjadi 44,60 persen. Kemudian, jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, sebagai provinsi baru, kesetaraan gender dalam dunia kerja di Kep. Babel dan Gorontalo ternyata belum bisa menyaingi NTT. Kurangnya lapangan pekerjaan bagi kaum perempuan mengakibatkan partisipasinya pun masih terbilang kecil. Persentase perempuan yang termasuk angkatan kerja di kedua provinsi tersebut masih di bawah ratarata nasional dengan angka di tahun 2007 masing-masing sebesar 32,9 persen dan 31,8 persen, sedangkan rata-rata nasionalnya 37,85 persen. 38
Tabel 11. Persentase Perempuan dalam Angkatan Kerja Tahun
Provinsi 2004
2005
2006
2007
Kep. Babel
31,70
28,20
28,40
32,90
NTT
42,40
41,50
42,10
44,60
Gorontalo
29,20
28,60
31,50
31,80
Rata-rata Nasional
35,42
34,27
35,70
37,85
Sumber: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Ditilik lebih jauh dari jenis pekerjaannya, peningkatan partisipasi kerja perempuan juga terlihat pada jenis pekerjaan yang bersifat profesional, teknisi, kepemimpinan dan tatalaksana. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merilis bahwa di tahun 2004 sebanyak 34,6 persen pekerja di bidang ini di Kep. Babel adalah perempuan. Angka tersebut semakin meningkat di tahun 2006 menjadi 37,82 persen. Hal yang sama juga terjadi di provinsi lainnya. Dibandingkan dua provinsi lain, persentase partisipasi perempuan pada bidang ini di Provinsi Gorontalo, yaitu 57,03 persen (tahun 2006) paling besar. Dari sisi pegawai negeri sipil (PNS), kesetaraan gender pun semakin membaik. Jumlah PNS perempuan di Provinsi Gorontalo lebih besar daripada jumlah PNS laki-laki. Tahun 2007, rasio antaranya keduanya sebesar 1,33 dengan jumlah masing-masing sebanyak 15196 pegawai perempuan dan 11463 pegawai laki-laki. Sayangnya, hal ini belum tercapai di Provinsi Kep. Babel dan NTT. Jumlah laki-laki yang bekerja di pemerintahan masih dominan. Dalam aspek pemerintahan lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terlihat pada hasil pemilihan umum Tahun 2009 lalu, perwakilan perempuan di DPR dan DPD memang tidak begitu banyak. Persentase terbesar keterwakilan perempuan di lembaga legislatif ada di Provinsi Gorontalo dengan 20 persen perempuan. Sementara itu, untuk kursi di DPD, peran atau posisi perempuan di lembaga ini tidak ada. Semua kursi DPR berhasil diraih oleh laki-laki. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa peluang perempuan untuk bersaing dengan laki-laki, baik di legislatif maupun DPD, relatif masih kecil. 39
Tabel 12. Keterlibatan Perempuan di DPRD dan DPD Hasil Pemilu 2009 Provinsi Kep. Babel
DPR-RI Perempuan Laki-laki (%) (%) 25,00 75,00
NTT
7,70
DPD-RI Perempu Laki-laki an (%) (%) 25,00 75,00
92,30
25,00
75,00
Gorontalo 20,00 80,00 100,00 Rata-rata 21,00 81,92 26,92 75,00 nasional Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Selanjutnya, indikator lain yang terkait dengan kesetaraan gender adalah Indeks Pembangunan Perempuan/ Gender Related Development Index (GDI) dan Indeks Pemberdayaan Perempuan/ Gender Empowerment Measurement (GEM). Keduanya merupakan rangkuman dari indikator-indikator sebelumnya. Indeks pertama, yaitu GDI bertujuan untuk mengukur kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam beberapa area: hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup, sedangkan GEM mengukur perkembangan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Tabel 13. Perkembangan GDI dan GEM Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
GDI
GEM
2005
2006
2007
2008
2005
2006
2007
2008
55,4 0 59,6 0 52,3 0 60,0 6
57,8 0 61,3 0 53,6 0 61,9 9
59,0 0 63,1 0 55,2 0 63,2 0
59,6 9 63,4 4 55,2 5 63,6 0
40,2 0 57,3 0 53,5 0 53,8 2
42,4 0 59,0 0 54,1 0 55,8 3
43,7 0 61,0 0 55,3 0 56,9 2
44,1 1 61,1 4 55,6 3 57,2 6
Sumber: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Dilihat dari perkembangannya, nilai GDI dan GEM di masingmasing provinsi memiliki pola kecenderungan menaik. Sebagai contoh, di tahun 2005 nilai GDI di Provinsi Gorontalo adalah sebesar 52,30, angka tersebut kemudian meningkat 40
menjadi 55,25 pada tahun 2008 sedangkan di provinsi lainnya masing-masing Kep. Babel (59,69) dan NTT (63,44). Sementara itu, nilai GEM di Gorontalo pada tahun 2004 sebesar 53,50, kemudian berubah naik menjadi 55,63 di tahun 2008. Tabel 14. Perkembangan Kesenjangan Gender dalam Kualitas Hidup Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
2005 15,30 4,00 15,20 9,22
Kesenjangan (IPM-GDI) 2006 2007 13,40 12,62 3,50 2,26 14,40 13,63 7,82 7,12
2008 12,50 2,71 14,04 7,28
Dari kedua perkembangan indeks di atas, terlihat bahwa kesetaraan gender di tiap provinsi sudah semakin membaik. Hal ini juga terbukti dari besaran selisih antara IPM dan GDI yang menunjukkan bias atau kesenjangan gender dalam kualitas hidup. Dari tahun 2005 hingga 2008, selisih keduanya semakin menurun. Misalnya saja selisih IPM dengan GDI di Provinsi Kep. Babel, yaitu sebesar 15,30 (tahun 2005) yang kemudian menurun menjadi 12,50 (tahun 2008). Besaran selisih kedua indeks juga memperlihatkan bahwa kesenjangan gender di Provinsi Kep. Babel dan Gorontalo masih sangat besar. Besaran selisih antara IPM dan GDI di kedua provinsi tersebut secara rata-rata masih di atas 10 poin, sedangkan besaran di Provinsi NTT berada di bawah lima poin.
2.3.4 Tujuan 4: Menurunkan Kematian Anak Menurunkan angka kematian balita sebesar dua-pertiganya dalam kurun waktu 1990-2015 menjadi tujuan ke-empat dalam MDGs. Indikator yang ditetapkan untuk menilai pencapaian target adalah angka kematian bayi (AKB) per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian balita (AKBA) per 1.000 kelahiran hidup, dan persentase jumlah anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak. Seperti yang terlihat pada pembahasan sebelumnya, tingkat kesehatan bayi berumur di bawah satu tahun terus mengalami perbaikan. Hal ini terlihat dari besarnya angka kematian bayi yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Gambar 12). Akan tetapi, jika dibandingkan dengan target MDGs yang sudah ditetapkan, yaitu 23 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 41
2015, angka-angka tersebut masih sangat jauh. Bisa jadi, target yang sudah ditetapkan tidak akan tercapai. 40 Kep. Babel 35
NTT
30
Gorontalo
25
Rata-rata Nasional
20 Target
MDG’s
2015 (23)
15 10 2005
2006
2007
2008
Gambar 12. Perkembangan Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Penduduk Sumber: Kementerian Kesehatan
Selain bayi, kematian balita juga penting untuk dilihat perkembangannya. Hingga tahun 2005, tingkat kematian balita di tiap provinsi semakin menurun. Misalnya saja angka kematian balita di Provinsi Gorontalo yang menurun dari ratarata sebanyak 97 per 1.000 kelahiran hidup selang antara tahun 1994-2003 menjadi 67 kasus per 1.000 kelahiran hidup di tahun 2005. Namun, jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, kondisinya jauh berbeda. Dari tiga provinsi, hanya Provinsi Kep. Babel yang mampu menurunkan angka kematian balita hingga di bawah rata-rata nasional. Di tahun 2005, angka kematian balita di kedua provinsi ini sebesar 28 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan angka rata-rata nasional sebesar 40,58 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, angka di dua provinsi lainnya masing-masing sebesar 60 per 1.000 kelahiran hidup (NTT) dan 67 per 1.000 kelahiran hidup (Gorontalo). Satu lagi indikator kesehatan dalam target ini adalah imunisasi campak. Secara keseluruhan, cakupan campak di tiap provinsi mengalami peningkatan, walaupun dengan pola yang berfluktuasi. Penurunan dari tahun ke tahun hanya terjadi di Provinsi Gorontalo. Di tahun 2004, persentase jumlah balita 42
yang mendapatkan imunisasi di provinsi ini sebanyak 90,61 persen. Angka tersebut semakin menurun hingga mencapai 75,90 persen di tahun 2007. Jika dibandingkan dengan dua provinsi lainnya, angka tersebut juga masih jauh berbeda. Misalnya saja dibandingkan persentase cakupan bayi yang terimunisasi di Provinsi Kep. Babel, yaitu 91,80 persen di tahun 2007. Hal yang sama juga terjadi pada perbandingannya dengan rata-rata nasional. Hingga tahun 2007, Provinsi Gorontalo masih jauh tertinggal. Rata-rata nasional untuk cakupan imunisasi campak di tahun tersebut sebesar 87,65 persen dari jumlah bayi umur 12-23 bulan. (Tabel Lampiran 5) UNDP dan Pemerintah Indonesia (2007) mencatat bahwa ada tiga penyebab kematian bayi yang masih menjadi tantangan utama. Tiga penyebab tersebut adalah diare, komplikasi perinatal, dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Lebih jauh lagi, tercatat bahwa ketiga sebab tersebut memberikan kontribusi terbesar bagi 75 persen kematian bayi di Indonesia. Rendahnya kesehatan ibu dan bayi baru lahir, serta akses terhadap pelayanan kesehatan juga menjadi bahasan, sekaligus tantangan yang juga harus segera diselesaikan.
2.3.5 Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Selain pada bayi, kesehatan ibu juga mendapat perhatian dalam MDGs. Selama kurun waktu 1990-2015, dunia internasional mentargetkan penurunan angka kematian ibu sebesar tiga-perempat. Perkembangan target ini dipantau melalui beberapa indikator seperti proporsi kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan terlatih (persen) dan penggunaan kontrasepsi pada perempuan menikah berumur 15-49 tahun (persen). Data yang dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan menunjukkan tren yang fluktuatif pada persentase jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan di tiga provinsi. Nilai indikator ini di Provinsi Kep. Babel pada tahun 2004 sebesar 81,31 persen, kemudian menurun hingga tahun 2007 (80,30 persen), sebelum akhirnya meningkat dengan signifikan menjadi 93,73 persen di tahun 2009. Kegagalan dalam persalinan akibat tidak dibantu oleh tenaga kesehatan bisa menyebabkan beberapa hal, seperti pendarahan,
43
eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi (UNDPIndonesia, 2007). 100 90 80 70 60
Kep.Babel
50
NTT
40
Gorontalo
30
Rata-rata nasional
20 10 0
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 13. Perkembangan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (Kementerian Kesehatan)
Penggunaan alat kontrasepsi modern bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi angka kehamilan yang tidak diinginkan. Dilihat dari perkembangannya, proporsi perempuan umur 15-49 tahun berstatus menikah yang sedang menggunakan alat KB ternyata paling besar berada di dua provinsi baru, yaitu Kep. Babel dan Gorontalo. Pada tahun 2010, proporsi indikator ini di Kep. Babel adalah sebesar 62,00 persen, sedangkan Gorontalo sebesar 62,40 persen. Sementara itu, angka di NTT masih relatif kecil dan berada di bawah rata-rata nasional.
44
70 60 50
Kep. Babel
40
NTT
30
Gorontalo
20
Rata-rata Nasional
10 0 2005
2006
2007
2008
2010
Gambar 14. Proporsi Perempuan Umur 15-49 tahun Berstatus Menikah yang Sedang Menggunakan Alat KB Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (Kementerian Kesehatan)
Penurunan angka persalinan yang dibantu oleh tenaga ahli bisa mengakibatkan meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Kurangnya tenaga ahli dan fasilitas kesehatan bisa menjadi kendala utamanya. Korelasi inilah yang ditemukan pada hasil penelitian Women Research Institute (WRI) pada tahun 2009. Ada banyak faktor yang mempengaruhi upaya menurunkan AKI. Akes terhadap pelayanan kesehatan bisa menjadi salah satunya. Lebih jauh lagi, faktor kemiskinan dan budaya ternyata berada di baliknya.
2.3.6 Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya Pengendalian penyebaran HIV dan penurunan jumlahnya menjadi target dalam MDGs. Tidak hanya itu, malaria dan penyakit lainnya pun menjadi perhatian bagi pemerintah. Prevalensi penyebaran HIV/AIDS dan Malaria, bisa menjadi indikator dalam melihat perkembangan tujuan yang keenam ini. Hingga tahun 2010, beberapa provinsi mengalami peningkatan dalam jumlah kasus penderita AIDS (Tabel 15). Hal ini terjadi di Provinsi NTT. Di provinsi ini, perkembangan jumlah kasusnya berfluktuasi. Tahun 2007, 69 kasus AIDS terjadi yang kemudian meningkat menjadi 138 kasus di tahun 2009, sebelum akhirnya mencapai 242 kasus pada tahun 45
2010. Sementara itu, jumlah kasus per tahun 2010 di provinsi lainnya masing-masing 120 (Kep. Babel) dan 3 (Gorontalo). Tabel 15. Penyebaran Kasus AIDS Provinsi
Jumlah kasus (kumulatif)
Prevalensi AIDS
2007
2008
2009
2010
2007
2008
2009
2010
Kep. Babel NTT
69
95
117
120
6,78
9,33
11,36
11,65
92
110
138
242
2,2
2,64
3,17
5,55
Gorontal o Rata-rata Nasional
3
3
3
3
0,33
0,33
0,33
0,33
338
503
605
731
7,16
10,56
11,40
14.14
Sumber: http://spiritia.or.id/Stats/Statistik.php
Dalam pengendalian kasus ini, Provinsi Gorontalo mengalami kemajuan yang cukup pesat. Terbukti dari tahun 2007 hingga 2010 tidak ada penambahan kasus AIDS baru. Beda halnya dengan Provinsi Kep. Babel, yang sama-sama termasuk kategori sebagai provinsi baru. Kasus AIDS di Kep. Babel masih cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh besaran prevalensi penyebaran AIDS-nya. Angka terbesar ditunjukkan oleh provinsi ini dengan 11,65 kasus per 100.000 penduduk. Sementara besaran di NTT dan Gorontalo adalah 5,55 kasus dan 0,33 kasus per 100.000 penduduk. Dilihat dari faktor penyebab AIDS, sebanyak 34,17 persen kasus di Kep. Babel pada tahun 2010 ditentukan oleh Injecting Drug Users (IDU) . Sementara di provinsi lainnya masingmasing sebesar 6,19 persen (NTT) dan 66,67 persen (Gorontalo). Kematian terbanyak akibat terinveksi virus HIV terjadi di Provinsi NTT, yaitu 36 orang, sedangkan provinsi lainnya masing-masing 18 orang (Kep. Babel) dan 1 orang (Gorontalo). Tabel 16. Kasus AIDS Akibat IDU dan Jumlah Kematian Akibat AIDS 2007
2008
2009
2010
AID SIDU
Mati
AID SIDU
Mati
AID SIDU
Mati
AID SIDU
Mati
Kep. Babel
20
4
36
13
40
18
41
18
NTT
10
16
11
23
12
25
15
36
Gorontalo
2
1
2
1
2
1
2
1
Rata-rata Nasional
168
72
213
105
241
117
280
138
Provinsi
46
Sumber: http://spiritia.or.id/Stats/Statistik.php
Sementara itu terkait dengan penyebaran penyakit malaria di masing-masing provinsi, Kementerian Kesehatan melaporkan sejak tahun 2004 hingga 2009, dari tiga provinsi, jumlah kasus malaria terbanyak ada di Provinsi NTT. Di tahun 2004, sebanyak 633.462 jiwa terkena penyakit malaria. Dalam lima tahun angka tersebut menurun secara cepat dan drastis hingga tahun 2009 menjadi hanya 63.792 jiwa. Sementara itu, jumlah penderita malaria di provinsi lainnya hingga tahun 2009 masing-masing sebesar 8.461 jiwa (Kep. Babel) dan 3.160 jiwa (Gorontalo). Tabel 17. Jumlah Kasus (Penderita) Malaria (jiwa) Tahun
Provinsi 2004
2005
2006
2007
2008
2009
17.335 626.27 8
5.378 70.39 0
44.734 453.30 6
31.080 332.11 4
50.714 508.24 4
8.461 63.79 2
Gorontalo 12.633 817 11.793 10.674 13.834 Rata-rata Nasional 83.264 6.536 66.127 55.464 59.100 Sumber: Profil Kesehatan Indonesia (Kementerian Kesehatan)
3.160
Kep. Babel NTT
6.237
2.3.7 Tujuan 7: Kelestarian Lingkungan Hidup Selain pembangunan manusia, lingkungan juga merupakan bagian penting, sekaligus menjadi faktor dalam perkembangan pembangunan itu sendiri. Lingkungan yang baik mendukung pembangunan, khususnya di daerah. Oleh karena itu, PBB dan beberapa negara sepakat untuk memasukkan variabel lingkungan hidup ke dalam target MDGs. Indikator-indikator yang digunakan untuk menggambarkan perkembangan kelestarian lingkungan hidup ini adalah rasio kawasan perairan terhadap kawasan daratan dan rasio kawasan hutan lindung terhadap keseluruhan kawasan hutan. Selain itu, pada bahasan ini pun akan dilihat perkembangan pengguna air di masyarakat dengan menggunakan indikator jumlah masyarakat yang mempunyai akses terhadap air bersih. Pada tahun 2009, Kementerian Kehutanan RI mencatat bahwa luas perairan di Provinsi NTT sebesar 253922 Ha atau 16,33 persen dari luas daratannya. Besaran luas perairan di kedua provinsi tidak berubah dari tahun ke tahun. Sementara 47
itu untuk kawasan hutan lindung, berdasarkan data terakhir, sebanyak 47,02 persen (731.220 Ha) kawasan hutan di Provinsi NTT telah dijadikan sebagai kawasan hutan lindung, sedangkan di Kep. Babel sebesar 156.730 Ha atau 23,84 persen dari total kawasan hutan. Tabel 18. Luas Kawasan Hutan dan Perairan (Hektar) Tahun 2009 Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
Kawasan Hutan (A)
Perairan (B)
Jumlah (A+B)
657.510
-
657.510
1.555.068
253.922
1.808.990
-
-
-
4.601.840,2
214.365,44
4.846.038,93
Sumber: Kementerian Kehutanan
Di sisi lain, dilihat dari ranah data yang berbeda, kondisi lahan kritis di tiap provinsi ternyata cukup tinggi. Di Provinsi Kep. Babel, dari 672.214,21 Ha lahan kritis, sebanyak 314.842,51 Ha atau 46,84 persen termasuk kategori lahan sangat kritis. Banyaknya area bekas penambangan timah tentu saja bisa menjadi penyebabnya. Di provinsi lainnya, yaitu Gorontalo kategori lahannya masih pada taraf agak kritis, sedangkan NTT sudah memasuki tahapan kritis. Tabel 19. Luas Lahan Kritis Tahun 2006 (Hektar) Provinsi
Kriteria Lahan Kritis Sangat Kritis
Kep. Babel
314.842,51
NTT
985.223,89
Gorontalo 62.987,70 Rata-rata Nasional 229.685,56 Sumber: Kementerian Kehutanan
Kritis
Agak Kritis
Jumlah
261.615,48 2,234.587,2 8
95.756,22 1.171.955,9 3
672.214,21 4.391.767,1 0
202.789,79
426.276,89 1.587.002,7 0
692.054,38 2.593.562.6 9
776.874,43
Kondisi lahan yang tidak baik ternyata tidak membuat akses masyarakat terhadap air bersih menjadi menurun. Dilihat dari perkembangannya, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih di tiap provinsi terus mengalami peningkatan dan penurunan atau berfluktuasi tiap tahunnya. Di Gorontalo, pada tahun 2004 sebanyak 16,97 persen rumah 48
tangga (RT) dapat menikmati air bersih. Angka tersebut kemudian meningkat menjadi 18,32 persen di tahun 2009 (Gambar 15). Di provinsi NTT, besarannya 17,65 persen. Sementara itu, kondisi yang sangat jauh berbeda hanya terjadi di Kep. Babel, dari tahun 2004 hingga 2009 sangat minim rumah tangga yang dapat mandi dan minum dengan air bersih. Secara keseluruhan persentasenya berada jauh di bawah rata-rata nasional dan terus mengalami penurunan dari 5,28 persen menjadi 1,76 persen. Kondisi ini tentu saja menjadi perhatian bagi pemerintah. Lingkungan yang baik tentu akan mendukung pembangunan dengan baik juga. Kondisi lahan yang sulit terkadang menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk menikmati hidup dengan enak, termasuk menikmati air bersih. 25.00 20.00 Kep. Babel
15.00
NTT 10.00
Gorontalo
5.00 0.00 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 15. Perkembangan Persentase RT yang Memiliki Akses Terhadap Air Bersih Sumber: Badan Pusat Statistik
2.3.8 Tujuan 8: Kemitraan Global Membangun kemitraan global menjadi tujuan terakhir yang ingin dicapai dalam MDGs. Penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi penduduk usia muda dan pemanfaatan teknologi baru oleh masyarakat menjadi strategi di dalamnya. Oleh karena itu, perkembangan dari tujuan kemitraan global ini dilihat melalui pengamatan terhadap beberapa indikator, seperti persentase rumah tangga (RT) yang memiliki telepon, telepon selular, dan komputer pribadi dengan akses internet. 49
Berdasarkan data yang didapat dari BPS, persentase jumlah RT yang memiliki telepon di rumahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut juga terjadi di tiga provinsi dalam laporan ini. Di tahun 2006, sebanyak 6,14 persen RT di Provinsi Kep. Babel sudah mempunyai jaringan telepon di rumahnya. Angka ini kemudian meningkat hingga 10,10 persen di tahun 2007. Pola agak berbeda justru terlihat di Provinsi NTT dan Gorontalo. Walaupun secara keseluruhan persentase jumlah RT yang memiliki telepon mengalami peningkatan, penurunan pernah terjadi di kedua provinsi tersebut dari tahun 2005 hingga tahun 2006. Angka 5,75 persen di tahun 2005 di NTT turun menjadi 3,59 persen pada tahun 2006, sedangkan di Gorontalo perubahan terjadi dari 6,54 persen (tahun 2005) menjadi 5,29 persen (tahun 2006). Tabel 20. Persentase Banyaknya Rumah Tangga yang Mempunyai Telepon, Telepon Selular, Komputer, dan Internet (persen) Provinsi
Telepon 2006
Telepon Selular 2006
2007
Komputer 200 200 6 7
Internet 200 200 6 7
31,46
48,12
2,38
4,55
0,70
0,97
Kep. Babel
6,14
2007 10,1 0
NTT
3,59
4,74
8,83
16,76
1,44
1,98
0,41
0,40
Gorontalo Rata-rata Nasional Target MDG’s 2015
5,29
7,39 11,3 0
12,06
25,49
-
-
0,41
0,69
24,49
37,99
4,01
5,54
1,06
1,19
9,56
100%
50%
Sumber: Badan Pusat Statistik
Pertumbuhan pengguna telepon selular di tiap provinsi juga menunjukkan kenaikan yang cukup besar. Misalnya saja di Provinsi NTT yang pada tahun 2006, hanya 8,83 persen dari RT yang memiliki telepon selular (ponsel), kemudian setahun kemudian meningkat menjadi 16,76 persen. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa semakin mudahnya masyarakat untuk membeli ponsel. Harga yang terus bersaing dan cenderung turun, menjadi salah satu akibat dari peningkatan jumlah pengguna ponsel di tiap provinsi. Begitu pula dengan jumlah pengguna komputer dan internet di tiap RT. Persentase-nya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun secara 50
keseluruhan jika dilihat dari tahun 2006 hingga tahun 2007, persentase-nya mengalami peningkatan yang cukup baik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masih sangat jauh untuk mencapai tujuan kedelapan dari target MDG‘s tahun 2015, dimana ditargetkan pengguna ponsel sebanyak 100 persen dan internet sebesar 50 persen dari seluruh rumah tangga. Pada analisis yang lain, dari keempat indikator tersebut, tiga diantaranya masih memperlihatkan wilayah timur masih tertinggal dibandingkan dengan wilayah barat. Kondisi geografi bisa menjadi kendala dari ini semua. Misalnya saja kepemilikan berbagai peralatan seperti telepon, telepon selular, komputer dan internet. Persentase jumlah rumah tangga yang memiliki telepon rumah sendiri di Provinsi Kep. Babel masih lebih banyak dibandingkan dengan dua provinsi lainnya, yaitu NTT dan Gorontalo. Dilihat dari indikator-indikator output atau capaian pembangunan di atas, yaitu IPM dan MDGs, bisa memperlihatkan bahwa kemajuan daerah ternyata belum terlalu merata. Begitu juga dengan kesejahteraan masyarakat. Masih banyak capaian-capaian pembangunan yang belum sesuai dengan harapan yang termasuk di dalamnya sektorsektor penting, seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini tentu saja menjadi tugas penting bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan.
51
Bab 3 Input Pembangunan Untuk mencapai kemajuan pembangunan hingga berujung pada kesejahteraan rakyat, reformasi dalam segala sisi dan bentuk dilakukan. Misalnya saja reformasi dalam organisasi atau kelembagaan, baik pemerintahan maupun nonpemerintahan. Penyesuaian potensi daerah terhadap pelayanan publik yang baik menjadi isu terkait dalam pembangunan pada era desentralisasi ini. Buruknya pelayanan publik yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat bisa menjadi indikasi dalam buruknya tata-kelola pemerintahan hingga dapat mengakibatkan krisis multidimensional. Ada pilar kunci yang membantu dalam pelaksanaan good governance3. Tiga pilar tersebut, yang pertama adalah public governance yang mengarah kepada lembaga pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kedua, hal yang tertuju pada sektor swasta atau dunia usaha. Ketiga atau terakhir adalah masyarakat atau civil society. Ketiga pilar inilah yang setidaknya menjadi hal atau bagian penting dalam proses menuju good governance. Pembahasan ini akan lebih mengarah kepada pilar yang pertama dan ketiga. Pilar pertama akan dibahas melalui pendekatan terhadap kondisi pemerintahan pada masingmasing provinsi, seperti organisasi/kelembagaan (perangkat daerah, instansi vertikal, dan non-pemerintahan). Sementara itu, pilar ke-tiga akan lebih mengarah kepada tata-kelola 3
Prof. DR. Sofian Effendi dalam artikelnya yang berjudul ―Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama‖. http://www.sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf
52
ekonomi, demokrasi, korupsi dan standar pelayanan minimum (SPM). Keduanya akan diapit dengan analisis perkembangan kebijakan dalam perencanaan, penganggaran dari sisi penerimaan dan pengeluaran, yang kemudian berujung kepada kaitannya dengan perkembangan wilayah administrasi (kabupaten-kota, kecamatan, dan desa) di masing-masing provinsi. Sebelum mengarah kepada itu semua, ada dua hal yang menjadi pondasi atau dasar dalam pemerintahan di semua tingkatan, baik pusat maupun daerah. Dua hal ini adalah visi dan misi. Visi menjadi dasar bagi pemerintah dalam menjabarkan dan menjalankan langkah-langkah pembangunan di daerahnya masing-masing. Kalau pun disederhanakan, visi merupakan cita-cita yang dibangun oleh daerah itu sendiri. Kemudian untuk mewujudkannya, tiap provinsi menetapkan beberapa misi sebagai usaha dan target pembangunan yang harus dicapai. Target-target ini tentu saja bisa tercapai jika sebuah organisasi memiliki kelembagaan, perencanaan, penganggaran, dan tata-kelola yang baik. Secara eksplisit dengan melihat visi dan misi tiap provinsi, terutama tiga provinsi yang menjadi bahasan dalam laporan ini, hanya Provinsi Gorontalo yang memiliki visi sedikit berbeda dalam tata bahasa dengan visi Indonesia 2014, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera, dan demokratis. Sementara untuk misi, semuanya memiliki misi yang hampir sama, yaitu memberdayakan ekonomi rakyat, mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), meningkatkan infrastruktur bagi kesejahteraan rakyat, dan memperbaiki tata-kelola, kapasitas, serta kapabilitas pemerintahan. Sebagai tambahan, ada beberapa isu khusus yang dikemukakan sebagai misi oleh beberapa provinsi, seperti NTT dengan isu gender, kemiskinan, dan kawasan perbatasan, kemudian Kep. Babel dengan isu lingkungan hidup, serta kawasan provinsi kepulauan.
3.1 Organisasi Pemerintahan Laiknya sebuah organisasi, dalam pemerintahan pun terdapat susunan atau struktur yang harus dipenuhi. Beberapa aturan dibuat untuk mengikatnya. Sebagian dibuat oleh pemerintah pusat, sedangkan lainnya atas persetujuan DPRD dengan pemerintah daerah masing-masing. Aturan pusat biasanya 53
lebih banyak mengarah kepada pembentukan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang mewakilkan kedudukan pemerintah pusat di daerah yaitu badanbadan/lembaga pusat. Sementara itu, payung hukum di daerah lebih banyak mengatur tentang lembaga–lembaga daerah yang dibentuk dan diberi nama sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Hal ini tentu saja berdampak kepada keberagaman struktur di tiap daerah. Tiap daerah mencari dan menetapkan struktur terbaik guna mencapai pemerintahan yang efektif dan efisien. Terkait dengan organisasi perangkat daerah, pemerintah pusat telah mengaturnya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 yang merupakan peraturan pengganti dari PP 8/2003. Peraturan sebelumnya dirasakan belum cukup memberikan pedoman yang menyeluruh. Pada Pasal 1 ayat 5 PP 41/2007 dijelaskan bahwa perangkat daerah provinsi adalah unsurunsur pembantu kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah, sedangkan bagi kabupaten/kota ada tambahan di dalamnya, yaitu kecamatan dan kelurahan.
3.1.1 Perangkat Daerah: Dinas dan Lembaga Teknis Sebagai bagian dari perangkat pemerintahan, dinas daerah mempunyai peran yang cukup penting. Peran ini semakin membesar ketika otonomi daerah telah digulirkan. Dari segi jumlah dinas, antara provinsi satu dengan provinsi lainnya agak bervariasi. Pada Tabel 21 terlihat jelas bahwa di antara ketiga provinsi, Gorontalo mempunyai jumlah dinas yang paling sedikit, yaitu 11 dinas. Sementara provinsi yang lainnya masing-masing memiliki 16 unit (Kep. Babel) dan 16 unit (NTT). Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa motif kebijakan masing-masing daerah. Tabel 21. Potensi dan Jumlah Perangkat Daerah Tahun 2008 Luas Wilayah (km2)
Pendudu k (Jiwa)
APBDpendapatan (juta rupiah)
Dinas (unit)
Lembaga Teknis (unit)
16.424,14
1.122.500
840.700,69
16
11
46.137,87
4.534.300
946.026,75
15
12
Gorontalo
12.165,44
972.200
537.004,63
11
10
Rata-rata Nasional
56.374,54
6.926.105
2.931.129,58
16*
13*
Provinsi Kep. Babel NTT
54
Sumber: Peraturan Daerah mengenai struktur organisasi pemerintahan di tiap provinsi dan Statistik Indonesia *) Rata-rata 32 provinsi, tanpa Provinsi Bengkulu
Perbedaan dalam jumlah juga terjadi pada lembaga teknis daerah di tiap provinsi. Jumlah lembaga teknis terbanyak ada di Provinsi NTT dengan 13 lembaga teknis yang terdiri dari 8 badan daerah. Sementara itu, di Gorontalo jumlahnya lebih sedikit yaitu, 10 lembaga teknis dengan rincian tujuh badan dan tiga lembaga (inspektorat, Satpol PP, dan kantor perwakilan). Jika mengacu pada PP 41/2007, ada beberapa kriteria dalam pembentukan dinas, lembaga teknis, dan jumlahnya. Tiap besaran wilayah, jumlah penduduk, dan APBD memiliki nilai atau bobot tertentu yang kemudian dijumlah menjadi nilai total sebagai dasar dalam menentukan berapa batas maksimal jumlah dinas dan lembaga teknis di suatu daerah. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah dinas dan lembaga teknis di beberapa provinsi yang diamati melebihi batas maksimum yang seharusnya digunakan (Tabel Lampiran 6 dan 7). Sebagai contoh adalah hasil perhitungan pada Provinsi Kep. Babel yang memiliki total nilai sebesar 25. Berdasarkan aturan dalam PP tersebut, dengan nilai total 25 poin, provinsi ini diarahkan kepada kriteria yang pertama di dalam PP, yaitu jika nilai total kurang dari 40 poin, maka dalam struktur pemerintahan, batas maksimum jumlah dinas adalah 12 dinas. Kenyataan yang terjadi dan didasarkan pada peraturan daerah Provinsi Kep. Babel No. 5, 6, dan 7 Tahun 2008, jumlah dinas di provinsi ini adalah sebanyak 16 dinas. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi NTT. Kondisi yang laik hanya terjadi di Provinsi Gorontalo. Provinsi ini mempunyai jumlah dinas sebanyak 11 dinas yang tidak melebihi batas maksimum sebesar 12 dinas. Jumlah lembaga teknis di tiap provinsi juga melebihi batas maksimal yang sudah diatur dalam PP 41/2007. Di Provinsi Gorontalo, berdasarkan perhitungan besaran organisasi perangkat daerah yang diatur di PP tersebut, jumlah lembaga teknis yang ideal adalah sebanyak 8 lembaga, tapi dalam kenyataannya di provinsi ini ada 10 lembaga. Ketidaksesuaian dalam jumlah dinas dan lembaga teknis dengan aturan yang ada ini menunjukkan adanya ketidakefisienan di dalam struktur pemerintahan.
55
Selain penggelembungan jumlah dinas, penamaan atau nomenklatur organisasi perangkat daerah juga menjadi permasalahan terutama dalam penetapan anggaran baik di pusat maupun daerah. Azas yang dibangun, yaitu `miskin struktur, kaya fungsi‘ sering diterjemahkan ke dalam penggabungan beberapa sektor pembangunan menjadi satu dinas daerah. Misalnya saja sektor pendidikan di Gorontalo yang digabung dengan sektor pemuda dan olahraga ke dalam satu dinas dengan nomenclature Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Tidak hanya itu, sektor peternakan pun mengalami hal yang sama, yaitu digabung menjadi satu ke dalam Dinas Perkebunan dan Peternakan. Tabel 22. Perbandingan Nomenklatur Dinas di Tiga Provinsi Provinsi Bidang Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kesehatan Kehutanan
Pertambangan
Pertanian
Kelautan dan Perikanan Tenaga Kerja Koperasi dan UMKM Perindustrian dan Perdagangan Komunikasi
56
Kep. Bangka Belitung Dinas Pendidikan Dinas Pemuda dan Olah Raga Dinas Kesehatan Dinas Kehutanan Dinas Pertambangan dan Energi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
NTT
Gorontalo
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Dinas Kesehatan Dinas Kehutanan
Dinas Kesehatan
Dinas Pertambangan dan Energi Dinas Pertanian dan Perkebunan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dinas Koperasi dan UMKM Dinas Perindustrian dan Perdagangan Dinas
Dinas Kehutanan dan Pertambangan
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan
—
Perhubungan Kebudayaan dan Pariwisata Pekerjaan Umum
Sosial
Pendapatan Daerah
Komunikasi dan Informatika Dinas Perhubungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Pekerjaan Umum Dinas Kesejahteraan Sosial Dinas Pendapatan, Pengelolaan Ke uangan dan Asset Daerah
Komunikasi dan Informatika Dinas Perhubungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial
Dinas Perhubungan dan Pariwisata Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial
Dinas Pendapatan dan Aset Daerah
—
3.1.2 Instansi Vertikal: Relasi Pusat-Daerah Seperti yang tercantum di dalam PP 6/1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah, instansi ini merupakan perangkat dari Kementerian atau lembaga Pemerintahan nonKementerian yang mempunyai lingkungan kerja di wilayah yang bersangkutan. Kepala wilayah menjadi perwakilan pemerintah pusat di daerah dalam memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya di wilayah gubernur, bupati dan walikota. Jadi, bisa dikatakan bahwa dari segi jumlah, banyaknya lembaga atau instansi vertikal ini di tiap daerah relatif sama. Namun, seiring makin berkembangnya sistem pemerintahan dan perubahan rezim, jumlahnya pun bervariasi. Perubahan jumlah instansi vertikal di daerah adalah salah satunya akibat dari penerapan sistem desentralisasi. Bertahun-tahun daerah dikelola dengan sistem sentralisasi yang bersifat top-down dalam penerapan kebijakan. Para pemimpin daerah pun merasa tidak mempunyai kesempatan untuk berekspresi. Walhasil, ketika isu desentralisasi yang memberikan keleluasaan untuk mengelola daerahnya masingmasing sudah diterapkan, daerah merasakan adanya kebebasan. Dalam beberapa aspek, peran pemerintah pusat memang tidak hilang, tapi sistem baru ini menjadi lahan politik yang subur bagi para pemangku di daerah. Kasus yang paling nyata adalah mengenai koordinasi pusat dan daerah. 57
Pemerintah pusat menilai bahwa para gubernur atau bupati/walikota sudah ‗tidak sinergis‘ lagi. Hal ini mengakibatkan relasi pusat dengan daerah menjadi sedikit tidak baik. Kasus ini menjadi isu sentral dalam sistem desentralisasi. Pemerintah pusat tidak begitu saja melepas daerah. Dalam UU 32/2004, provinsi ditempatkan sebagai kepala daerah dan sekaligus perwakilan pemerintah pusat. Di dalamnya memang tidak dijelaskan mengenai hierarki yang jelas antara provinsi dan kabupaten-kota, sampai akhirnya Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan PP 19/2010 yang mengatur tentang peran dan kedudukan gubernur. Di dalam UU desentralisasi dijelaskan bahwa tiap daerah memang berhak untuk mengatur daerahnya masing-masing, namun ada enam sektor atau aspek yang tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat. Kementerian atau lembagalembaga dari enam sektor tersebut dapat mempunyai instansi vertikal dan lembaga-lembaga teknis di tiap daerah. Selain keenam sektor, pemerintah pusat juga membentuk badanbadan yang mengkoordinasikan pemerintah daerah dalam beberapa aspek yang menjadi isu nasional, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Narkotika. Badan Perwakilan Pusat Secara harfiah, badan-badan pemerintah, seperti Bappeda dan Badan Keuangan daerah, merupakan lembaga-lembaga teknis daerah. Di dalam perda pembentukan lembagalembaga teknis, misalnya saja Provinsi Gorontalo, badanbadan di provinsi berkedudukan sebagai unsur penunjang dan bertanggungjawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, selain lembaga teknis daerah, di beberapa provinsi juga terdapat badan/lembaga yang dibentuk sebagai intansi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, seperti Badan Penanggulangan Bencana, Badan Narkotika, dan Badan Meteorologi dan Geofisika. Fungsi, tugas dan tanggungjawab dari badanbadan vertikal ini berbeda dengan instansi lainnya yang dibentuk atas inisiatif dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu tiap daerah. Jadi bisa dikatakan, instansi vertikal ini berkedudukan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah.
58
Instansi vertikal dibentuk dengan alasan-alasan yang memang bersifat nasional. Relasi pusat dengan daerah menjadi tujuan utama pembentukannya. pembentukan badan-badan ini pun diharapkan mampu memperpendek dan mempererat hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, meningkatkan kelancaraan, percepatan, efisiensi dan efektifitas proses manajemen logistik dan peralatan di daerah, dan menunjang pembangunan dan pengembangan kemampuan masyarakat di daerah terkait dengan isu-isu nasional. Badan-badan pusat yang berada di daerah berbeda jumlahnya. Pembentukan badan ini lagi-lagi harus melihat dan berpedoman kepada syarat-syarat tertentu, seperti potensi wilayah dan lainnya. Badan-badan seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) hampir ada di setiap provinsi, tapi belum tentu untuk badan-badan lain. Sebagai contoh adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sampai saat ini sudah ada 28 provinsi yang membentuk BPBD ini. Hampir semua badan tersebut dibentuk pada tahun 2009. Tidak hanya itu, di Provinsi NTT sudah ada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu. Tabel 23. Perbandingan Nomenklatur Lembaga Teknis di Tiga Provinsi Provinsi Bidang Perencanaan pembangunan
Kepegawaian
Kep. Bangka Belitung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Statistik Badan Kepegawaian Daerah
NTT Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
-
Badan Kepegawaian dan Pengembangan aparatur daerah Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi Badan Investasi daerah Provinsi gorontalo Badan Kesatuan bangsa dan Politik
Lingkungan Hidup
Badan Lingkungan Hidup Daerah
Badan Lingkungan Hidup Daerah
Investasi
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
-
Politik
Gorontalo
Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan
59
Provinsi Bidang
Kep. Bangka Belitung Masyarakat
Pendidikan
Badan Pendidikan dan Pelatihan
Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan
Perwakilan daerah Perempuan dan Anak
Kantor Perwakilan Badan Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Perlindungan Anak Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Perpustakaan
Arsip Perdesaan
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
Satpol PP
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Inspektorat -
Inspektorat Perizinan
Pengolahan Data
-
Keuangan
-
NTT Perlindungan Masyarakat Badan Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kantor Penghubung -
Badan Perpustakaan Daerah Badan Arsip Daerah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
-
Inspektorat Kantor Pelayanan Periizinan Terpadu Satu Pintu Kantor Pengolahan Data Elektronik -
Sumber: Perda Provinsi
3.1.3 Lembaga Non-Pemerintahan 60
Gorontalo
-
-
Kantor Perwakilan -
-
Badan Pemberdayaan Masyarakat desa dan Penanggulangan Kemiskinan Provinsi gorontalo Kantor Satpol PP dan Linmas Inspektorat -
-
Badan Keuangan Daerah
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan, khususnya di Indonesia, terutama setelah desentralisasi digulirkan, menuntut pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mengambil langkah-langkah guna tercapainya pemerintahan yang efektif dan efisien. Aspirasi masyarakat pun semakin berkembang dan bebas untuk disampaikan. Begitu juga dengan intervensi dunia internasional terhadap perkembangan atau kemajuan negara dan daerah. Hal inilah yang mungkin menyebabkan semakin banyaknya lembagalembaga swadaya masyarakat (LSM) bermunculan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah ataupun karena keinginan untuk mendampingi pemerintah, menjadi landasan yang kuat bagi para pemangku kepentingan di dalam LSM tersebut. Belum lagi, saat ini semakin banyak lembagalembaga internasional yang berkedudukan sebagai lembaga donor, datang ke Indonesia dan melakukan beberapa treatment guna meningkatkan kinerja pemerintahan yang lebih baik. Pemerintah Indonesia sendiri sudah membuat payung hukum yang jelas mengenai pembentukan organisasi non pemerintahan ini, yaitu UU 16/2001. Berdasarkan UU tersebut, secara umum organisasi non pemerintahan di Indonesia berbentuk yayasan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Donor Fungsi lembaga non-pemerintahan semakin besar, apalagi melihat keterbatasan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan. Perlu adanya bagian yang berfungsi sebagai pengamat, pengkritik, watchdog, sekaligus berperan sebagai pembantu pemerintah dalam menentukan kebijakan yang lebih baik. Hal inilah yang mungkin bisa menjadi fungsi dari LSM tersebut. Dilihat dari perkembangannya, jumlah LSM di berbagai provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Jumlah LSM di NTT masih sedikit, yaitu 19 lembaga. Semuanya menyebar ke berbagai wilayah, seperti Alor, kupang, Timor, dan Oepura Sementara itu, di Gorontalo jauh lebih sedikit jumlahnya, begitu pun dengan jumlah yang ada di Kep. Bangka Belitung (Tabel Lampiran 8 dan 9). Seiring dengan perkembangannya, ranah kerja LSM pun semakin beragam. Kategorinya pun semakin bervariasi, bukan hanya oposisi
61
terhadap pemerintahan, bahkan seringkali menjadi sebuah konsultan bagi pemerintahan yang sedang berjalan4. Selain LSM, lembaga donor juga mempunyai peranan penting dalam pembangunan di Indonesia. Jumlah lembaga donor di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, terlebih setelah era desentralisasi. Lembaga-lembaga donor yang kebanyakan dari negara-negara maju sangat berminat dan antusias melakukan pengembangan di Indonesia. Rupanya, dampak yang ditimbulkan akibat adanya sistem desentralisasi di Indonesia, seperti pemekaran daerah dan perubahan organisasi pemerintahan, semakin membuat lembagalembaga donor antusias dan ingin melakukan pemberdayaan dan peningkatan kaspasitas di Indonesia. Hasil kajian yang dilakukan oleh YIPD menunjukkan adanya perubahan arah atau ranah pelibatan kerjasama yang dilakukan oleh lembaga donor5. Pada tahun 1999-2000, program-program yang dilaksanakan oleh lembaga donor lebih banyak melibatkan lembaga dan personil di tingkat provinsi. Setelah selang waktu tersebut, program-program dari lembaga donor lebih banyak melibatkan pemerintah daerah di tingkat kabupaten-kota. Di sisi lain, terkait dengan pendanaan program, hasil survei yang dilakukan LP3ES pada tahun 1998 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa sebanyak 62 persen dari LSM di Indonesia memperoleh dana dari iuran anggota sebagai salah satu sumber pembiayaan kegiatan organisasi, sedangkan sisanya memperoleh dukungan dana dari badan-badan bantuan asing (internasional).
3.2 Perencanaan Setelah bagian luar dari sisi pemerintahan dijabarkan, penting untuk dilihat bagaimana keadaan sistem pemerintahan itu sendiri. Salah satu bagian penting dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah perencanaan. Proses ini pada dasarnya mendata aspirasi dan kebutuhan masyarakat melalui beberapa tahapan. Tahapan perencanaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Musyawarah Perencanaan 4
Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi yang dilakukan oleh Tim PGSP-UNDP pada tahun 2009. 5 Kajian ini berjudul ―Otonomi dan Kapasitas Pemda: Kajian Awal terhadap Program Lembaga Donor untuk Peningkatan Kapasitas Pemda selama Otonomi Daerah‖ oleh Asti Budi Larasati.
62
Pembangunan (Musrenbang) di tiap provinsi hampir sama. Musrenbang dimulai dari Musrenbang tingkat desa/kelurahan, Musrenbang tingkat kecamatan, forum SKPD, dan Musrenbang kabupaten/kota. Hasil dari Musrenbang kabupaten/kota selanjutnya dibawa dan dijadikan masukkan bagi Musrenbang Provinsi, Rapat Koordinasi Pusat (Rakorpus) dan Musrenbang Nasional. Berdasarkan PP 8/2008 tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah, sedikitnya ada lima dokumen yang dibuat dalam satu tahapan perencanaan di pusat, maupun di daerah. Pertama adalah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Kedua dan yang lainnya adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Strategis (Renstra) SKPD, dan Rencana Kerja (Renja) SKPD. Kemudian soal waktu, dengan mengacu kepada PP yang sama, setidaknya dibutuhan waktu satu tahun atau bisa lebih untuk membuat semua dokumendokumen perencanaan tersebut, termasuk di dalamnya proses sosialisasi. Jadi bisa dibayangkan, dengan masa jabatan lima tahun kerja, pemerintah, baik pusat maupun daerah harus meluangkan waktunya untuk membuat dan melakukan berbagai rapat koordinasi. Jika dilihat dari visi dan misi yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah tiap provinsi, sektor pendidikan dan kesehatan selalu menjadi sektor utama yang mendapat perhatian penuh, selanjutnya adalah pengembangan perekonomian daerah melalui penguatan keunggulan masing-masing provinsi. Beberapa provinsi sudah melakukan inovasi-inovasi dalam perencanaan ini, seperti Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2007, hasil evaluasi yang dilakukan Bappenas terkait dengan Tiga tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009 menunjukkan bahwa ketiga agenda Provinsi Gorontalo sudah sinkron terhadap tiga agenda pembangunan nasional. Perbedaan hanya terletak pada bahasa penyampaiannya. Secara keseluruhan, perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Gorontalo membuahkan hasil yang baik. Dalam hal birokrasi pemerintahan, provinsi ini sudah melakukan reformasi yang sebelumnya berbentuk model kaya struktur-miskin fungsi bertansformasi menjadi miskin struktur-kaya fungsi. Pada agenda lain pun menunjukkan hasil yang cukup baik. 63
Selain itu, kaitan antara perencanaan di dalam RPJMD masing-masing provinsi dengan capaian yang sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya perlu juga diperhatikan. Apakah capaian sudah sesuai dengan target yang ditetapkan? Pada Provinsi NTT, beberapa capaian sudah sesuai dengan target, tapi yang lainnya masih terlihat jauh. Sebagai contoh adalah Angka Partisipasi Murni SD pada tahun 2009 masih sedikit kurang dari target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah di dalam RPJMD Provinsi. Di dalam RPJMD tersebut, APM-SD ditargetkan mencapai 92,80 di tahun 2009. Namun, pada kenyataannya, angka tersebut masih belum tercapai. Hal ini terlihat dari data aktual di tahun 2009 yang menunjukkan bahwa capaian indikator tersebut adalah 92,13 persen
64
Hasil Evaluasi RPJMD sebelumnya
Visi dan Misi Daerah
Rancangan Awal RPJPD
Rancangan Akhir RPJPD
RPJPD (ditetapkan dengan Perda)
Renstra SKPD
Rancangan Awal RPJPD Rancangan Akhir RPJMD
RPJP Nasional
RPJM Nasional
Musrenbang I
Rancangan Awal Renstra SKPD
Musrenbang II
RPJMD (ditetapkan dengan Perda)
Rancangan Awal RKPD
Rancangan Akhir RKPD
Renstra SKPD
RKPD (ditetapkan dengan Pergub)
Musrenbang III
Keterangan: dilanjutkan ke proses selanjutnya digunakan sebagai bahan ada proses masukan
Gambar 16. Bagan Proses Perencanaan di Daerah Sumber: PP 8/2008
65
Kondisi yang tidak jauh berbeda pun terjadi di Gorontalo. Masih kurangnya hasil pembangunan di Gorontalo dapat terlihat dari perbandingan antara target di dalam RPJMD 2007-2012 dengan data atau fakta yang ada. Data BPS menunjukkan bahwa capaian Provinsi Gorontalo terutama di sektor pendidikan dan kesehatan masih jauh dari target. Hingga akhir tahun 2008, APK SMP dan SMA di Provinsi Gorontalo sebesar 63,93 persen dan 52,80 persen. Sementara target yang ditetapkan pada saat perumusan RPJMD untuk indikatorindikator tersebut adalah sebesar 87-97 persen (APK SMP) dan 7585 persen (APK SMA). Hal yang sama juga terjadi pada tingkat kemiskinan. Dengan tahun data yang sama, tingkat kemiskinan di Gorontalo sebesar 25,01 persen dan masih jauh dari target yang diharapakan berkurangnya penduduk miskin menjadi 17-10 persen. Karena masih kurangnya hasil pembangunan yang dicapai, Pemerintah Gorontalo sudah mulai melakukan beberapa perbaikan dalam perencanaan. Dengan dukungan dari UNDP dan Bappenas, provinsi ini sudah berhasil memasukkan indikator IPM ke dalam sistem perencanaan. Kondisi IPM yang berhasil dicapai, dijadikan sebagai pertimbangan dalam proses penentuan strategi dalam perencanaan pembangunan. Pemasukan IPM tersebut dilakukan pada semua proses perencanaan atau Musrenbang, baik di tingkat desa, kabupaten/kota, maupun provinsi. Tidak hanya itu, pada tahun 2010, sebuah laporan mengenai pembangunan manusia di Gorontalo sudah dihasilkan. Dalam laporan tersebut, terdapat 15 kecamatan yang memiliki IPM terendah dan hal ini tentu saja menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah provinsi dalam menentukan strategi atau kebijakan yang tepat. Ketika perencanaan sudah matang, bagaimana dengan penganggarannya? Apakah penganggaran sudah sesuai dengan target yang akan dicapai? Apakah ada kaitan antara penganggaran dengan capaian pembangunan yang sudah ada? Hal inilah yang coba ditelaah mengenai realisasi perencanaan dalam penganggaran di masing-masing provinsi.
3.3 Penganggaran Pada saat desentralisasi dilaksanakan, pemerintah sudah membuat aturan yang jelas mengenai keuangan, sekaligus penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan yang penuh juga terjadi pada keuangan daerah. Di dalam UU 33/2004, yang merupakan revisi dari UU 25/1999, dijelaskan bahwa tiap daerah 66
berhak mengatur keuangannya secara sendiri, baik penerimaan maupun pengeluaran dan semua itu harus tertuang di dalam peraturan daerah. Dalam kebijakan keuangan daerah, tiap provinsi memiliki arah yang berbeda-beda. Potensi dan kemampuan daerah yang menentukan ke mana arah kebijakan keuangan tersebut. Salah satu contoh, yaitu Perda Provinsi Gorontalo No. 4/2007 mengenai RPJMD Tahun 20072010, mengarahkan pendapatan daerah kepada peningkatan PAD dengan harapan rasio-nya terhadap PDRB akan meningkat pula. Selanjutnya, pengelolaan belanja daerah akan diarahkan pada (1) peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, (2) peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat, (3) pengurangan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah, (4) peningkatan pelayanan publik, serta (5) peningkatan efisiensi melalui anggaran berbasis kinerja. Hal yang sama juga terjadi di provinsi lainnya yang mengharapkan adanya perkembangan di dalam pendapatan daerah dan alokasi belanja daerah. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian ini akan difokuskan kepada perkembangan keuangan daerah, termasuk komponen-komponen di dalamnya, yaitu sisi pendapatan dan sisi pengeluaran.
3.3.1 Pendapatan Daerah Sesuai dengan UU 33/2004 mengenai perimbangan keuangan daerah, penerimaan daerah pada era desentralisasi didapat dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah yang dimaksud bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan pendapatan lainnya. Sementara pendapatan yang bersumber dari pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dilihat dari perkembangannya, total pendapatan daerah di tiap provinsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, total pendapatan yang diterima Provinsi Kep. Babel sebesar 0,43 trilliun rupiah. Angka tersebut secara cepat meningkat menjadi 0,82 trilliun rupiah pada akhir tahun 2009. Kondisi yang sama juga terjadi di beberapa provinsi lainnya, termasuk Provinsi Gorontalo yang mengalami peningkatan pendapatan dari 0,27 trilliun rupiah di tahun 2005 menjadi 0,54 trilliun rupiah pada tahun 2009.
67
3500 3000 2500 2005 2000
2006
1500
2007 2008
1000
2009
500 0 Kep. Babel
NTT
Gorontalo
Rata-rata Nasional
Gambar 17. Perkembangan Total Penerimaan APBD (Milliar Rupiah) Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sejalan dengan perkembangan total pendapatan, besaran PAD di tiap provinsi pun mengalami peningkatan dari tahun 2005 hingga tahun 2009. Kep. Babel yang merupakan provinsi dengan pendapatan terbesar, memiliki PAD sebesar 114,46 milliar rupiah pada tahun 2005. Angka ini terus meningkat menjadi 255,26 milliar rupiah pada tahun 2009. Di sisi lain, walaupun terus meningkat dari tahun ke tahun, total PAD di Provinsi Gorontalo masih terbilang kecil dan masih berada di posisi terbawah jika dibandingkan dengan Provinsi Kep. Babel yang sama-sama dikategorikan sebagai provinsi baru. Pada tahun 2005, total PAD Provinsi Gorontalo sebesar 46,17 milliar rupiah (Tabel 24). Tabel 24. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (Milliar rupiah) Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
2005
2006
188,30 140,65 46,17 904,14
198,17 176,07 53,69 924,31
2007
2008
2009
206,29 187,79 50,50 1.006,09
210,47 204,26 60,79 1.087,72
255,26 223,85 76,98 1.288,08
Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
68
Pada masing-masing komponen PAD pun menunjukkan hal yang sama. Pendapatan dari sektor pajak, retribusi, BUMD, dan pendapatan lainnya mengalami peningkatan. Kondisi yang kurang baik terjadi di Provinsi Gorontalo. Dari keempat komponen PAD, hanya sektor pajak yang memiliki perkembangan meyakinkan dari tahun ke tahun. Tiga komponen lainnya mengalami fluktuasi hingga penurunan yang cukup drastis. Misalnya saja komponen retribusi daerah yang mengalami penurunan dari 2,81 milliar rupiah di tahun 2005 menjadi 500 juta rupiah pada tahun 2009. 50
Kep. Babel
45 40
NTT
35 Gorontalo
30 25
Rata-rata Nasional
20 15 10 5 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 18. Besaran Kontribusi PAD terhadap Total APBD (persen) Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
Dilihat dari besaran kontribusinya terhadap total APBD, sebagai provinsi baru, PAD Kep. Babel sudah mampu memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Hingga akhir tahun 2009, sebanyak 31,44 persen APBD provinsi ini berasal dari PAD-nya. Angka tersebut jauh di atas tiga provinsi lainnya, yaitu NTT (23,45 persen) dan Gorontalo (14,40 persen). Bahkan Provinsi Kep. Babel beberapa kali telah melampaui angka rata-rata nasional dalam kontribus PAD terhadap APBD-nya. Dana Perimbangan Selain PAD, dana perimbangan merupakan bagian dari pendapatan daerah. Komponen ini merupakan salah satu kebijakan yang diambil pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi, yaitu pengalokasian 69
dana APBN ke daerah. Dana ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antar-pemerintah daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU 33/2004. Komponen di dalamnya antara lain dana bagi hasil (pajak dan sumberdaya alam), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Keuangan, dana bagi hasil pajak yang diterima oleh masing-masing provinsi semakin meningkat setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan Provinsi Kep. Babel, penerimaan Gorontalo dari sektor ini masih tergolong kecil. Di tahun 2005, dana Bagi Hasil Pajak (BHP) yang diterima Provinsi Gorontalo hanya sebesar 13 milliar rupiah atau 57,12 persen dari BHP yang diterima Kep. Babel. Rasio perbandingan antara kedua provinsi tersebut semakin berkurang hingga tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan Provinsi Gorontalo lebih lambat dari Provinsi Kep. Babel. Sementara itu, jika dilihat dari data yang ada, penerimaan dari Dana Bagi Hasil Non-Pajak (BHNP) di masing-masing provinsi mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Pada tahun 2005, total penerimaan daerah Provinsi NTT yang berasal dari BHNP hanya sebesar 37,42 juta rupiah. Di tahun 2008, angka tersebut meningkat cepat menjadi 226,93 milliar rupiah. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Kep. Babel dan Gorontalo. Tabel 25. Dana Bagi Hasil Pajak dan Non-Pajak (Juta Rupiah) Bagi Hasil Pajak
Provinsi
Bagi Hasil Non-Pajak
2006
2007
2008
2006
2007
2008
Kep. Babel
24.875,53
30.752,15
34.250,85
34.828,9 4
143.713,5 7
260.770.019, 8
NTT
50.300,44
50.275,98
52.438,92
3,12
7.504,29
226.934,89
Gorontalo Rata-rata Nasional
15.118,31 305.025,3 2
15.342,47 364.470,5 9
16.319,93 399.620,4 3
183,81
11.063,39 840.400,7 0
157.811,22 129.047.931, 6
Sumber: Kementerian Keuangan
Komponen selanjutnya adalah dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Penting untuk dicatat, bahwa data yang diperoleh mengenai DAU dan DAK ini memiliki dua sumber yaitu dari Kementerian Keuangan dan Bappenas. Terlihat dari Gambar 19, besarnya DAU yang diterima provinsi cenderung selalu meningkat, fluktuasi hanya terjadi di Provinsi Gorontalo. Di tahun 2007, DAU yang diterima Gorontalo mengalami penurunan dari 391,39 milliar 70
rupiah (tahun 2006) menjadi 291,39 milliar rupiah. Hingga akhir tahun 2009, angka tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya, yaitu sebesar 388 milliar rupiah, sedangkan NTT dan Kep. Babel masing-masing 617 milliar rupiah dan 408 milliar rupiah . Pola yang tidak berbeda terjadi pada data Bappenas6. Di tiap provinsi, besarnya DAU yang diterima cenderung meningkat dengan perlambatan di beberapa tahun. Peningkatan yang besar terjadi dari tahun 2005 ke tahun 2006. Namun, jika dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan, data dari Bappenas jauh lebih besar. Hingga tahun 2009, DAU yang diterima masing-masing provinsi adalah sebesar 1,61 trilliun rupiah (Kep. Babel), 5,55 trilliun rupiah (NTT), dan 1,46 trilliun rupiah (Gorontalo). 700 600 500 400 Kep. Babel 300
NTT 200 Gorontalo 100
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 19. Perkembangan DAU Tahun 2005 – 2009 (Milliar Rupiah) Sumber: Kementerian Keuangan
Dibandingkan dengan alokasi DAU, alokasi DAK di tiap provinsi ternyata juga memiliki pola yang berbeda. Provinsi NTT dan Gorontalo, yang termasuk provinsi-provinsi di wilayah timur, memiliki DAK yang lebih besar dibandingkan dengan DAK di Provinsi Kep. Babel. Pada tahun 2009, DAK yang diterima Provinsi NTT dan Gorontalo masing-masing sebesar 52,76 milliar rupiah dan 51,35 6
Tim Koordinasi Penyusunan Kebijakan Perencanaan Pemantauan dan Evaluasi DAK Bappenas (TKPKP2E-DAK Bappenas). http://www.tkp2e-dak.org/
71
milliar rupiah. Sementara itu, DAK yang diterima Provinsi Kep. babel adalah 42,87 milliar rupiah.
Tabel 26. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Juta Rupiah) Dana Alokasi Umum
Provinsi
Dana Alokasi Khusus
2006
2007
2008
2009
Kep. Babel
2006
2007
2008
2009
275.689
319.357
391.045
407.995
-
-
22.029
42.871
NTT
479.436
553.589
616.602
616.602
-
-
42.576
52.759
Gorontalo
391.390
291.394
368.638
Rata-rata Nasional
388.325
-
-
25.374
51.346
441.407
499.356
560.960
581.978
229.395
98.125
27.232
48.078
Sumber: Kementerian Keuangan
Data Bappenas menunjukkan hal yang hampir sama. Provinsi yang sudah lebih dulu terbentuk dalam hal ini NTT cenderung mengalami peningkatan yang tinggi dalam penerimaan dana DAK sejak tahun 2005 hingga tahun 2009. Sementara dua provinsi baru, yaitu Kep. Babel dan Gorontalo, mengalami peningkatan yang cukup kecil. Tahun 2005, DAK yang diterima oleh Provinsi NTT sebesar 212,92 milliar rupiah. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 279,13 milliar rupiah menjadi 492,05 milliar rupiah di tahun 2006, sedangkan peningkatan di Kep. Babel dan Gorontalo hanya sebesar 136,66 milliar rupiah dan 78,66 milliar rupiah. Jika dilihat per bidang, proporsi DAK terbesar di tiap provinsi dari pemerintah pusat dialokasikan untuk sektor pendidikan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur jalan menjadi sektor yang ke-dua. Kemudian disusul sektor kesehatan pada posisi ke-tiga. Semua sektor ini merupakan prioritas pembangunan nasional. Permasalahan yang ada terkait dengan data adalah perbedaan dalam kedua sumber data tersebut Kementerian Keuangan dan Bappenas tentu saja membuat kerumitan tersendiri. Namun, terlepas dari persoalan tersebut, pertanyaan yang timbul dari gambaran ini semua adalah apakah alokasi dana-dana dari pemerintah pusat ke daerah sudah sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang memang ada di tiap provinsi? Jika dikaitkan antara besarnya DAU dan DAK yang diterima oleh masing-masing provinsi dengan capaian pembangunan yang telah ada, beberapa 72
provinsi memang seharusnya sudah bisa menampakkan hasil pembangunan yang lebih baik, misalnya saja Provinsi NTT yang memiliki DAU yang relatif lebih besar dari provinsi lainnya. Dengan mengacu kepada jumlah populasi, luas wilayah, pendapatan per kapita, nilai IPM, dan jumlah pegawai negeri sipil di tahun 2007, pemerintah pusat mengalokasikan DAU untuk Provinsi NTT sebesar 616,6 milliar rupiah (Data Kemenkeu) di tahun 2008. Dengan dana ini Pemerintah berharap pembangunan di NTT bisa menjadi lebih baik. Pada kenyataannya, seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, NTT masih termasuk ke dalam provinsi yang tertinggal dengan nilai IPM dan beberapa indikator MDGs yang rendah. Kondisi pembangunan di NTT masih sangat jauh dibandingkan dengan kondisi pembangunan di provinsi lainnya, terutama dengan Provinsi Gorontalo dan Kep. Babel, yang merupakan provinsi baru. Besarnya DAU ternyata tidak menunjukkan tingkat pembangunan manusia yang lebih baik. Malahan, nilai IPM-nya cenderung stagnan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa perlu ada treatment di sisi lain oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah yang bukan hanya dari sisi pendanaan.
3.3.2 Pengeluaran Daerah Pembahasan selanjutnya adalah mengenai perkembangan pengeluaran daerah dan beberapa komponennya. Pengeluaran atau belanja daerah merupakan bentuk kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengeluaran nilai kekayaan bersih. Belanja daerah dapat dibedakan menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek belanja. Berdasarkan Permendagri 13/2006, belanja daerah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. Di dalam pengertiannya, belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sedangkan belanja tidak langsung adalah belanja yang dianggarkan, tetapi tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program. Dilihat secara keseluruhan, Provinsi NTT memiliki total belanja yang paling besar di antara ketiga provinsi. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2009, total belanja daerah provinsi ini mengalami peningkatan dari 0,45 trilliun rupiah menjadi 1,03 trilliun rupiah. Sementara itu, total belanja daerah dua provinsi lainnya masing-masing 1 trilliun rupiah (Kep. Babel) dan 0,54 trilliun rupiah (Gorontalo) pada tahun 2009. Dalam indikator ini, Provinsi Gorontalo bisa terbilang `jauh tertinggal‘.
73
3500 3000
2500 Kep. Babel
2000
NTT 1500
Gorontalo Rata-rata Nasional
1000 500 0 2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 20. Perkembangan Total Pengeluaran APBD (Milliar Rupiah) Sumber: Dijten Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan
Beralih ke alokasi pengeluaran, Laporan APBD Provinsi Tahun Anggaran 2007 mencatat tiga alokasi anggaran terbesar yang menjadi prioritas dalam penganggaran. Di Provinsi Kep. Babel, sektor pertanian menjadi prioritas ke-tiga dalam pengeluaran daerah, setelah sektor pemerintahan umum dan pendidikan. Kemudian, di Provinsi NTT dan Gorontalo, perbedaan hanya terjadi pada prioritas ke-tiga, yaitu kesehatan (NTT) dan pendidikan (Gorontalo). Sektor pertama dan kedua diprioritaskan untuk pemerintahan umum dan pekerjaan umum. Akan tetapi pada alokasi anggaran tahun 2008, sektor yang menjadi prioritas dalam pendanaan atau belanja daerah ternyata berubah. Perubahan tersebut terjadi di Provinsi Kep. Babel. Provinsi ini merubah rencana penganggarannya dengan memasukkan sektor kesehatan ke dalam prioritasnya, selain pemerintahan umum dan pendidikan. Tabel 27. Alokasi Anggaran Pada Tiga Sektor Prioritas Tahun 2007 (persen) Provinsi Kep. Babel
Pemerintaha n Umum 34,22
NTT
36,78
Gorontalo
34,70
Pendidika n 11,57 8,55
Kesehata n -
Pertanian 4,45
Pekerjaan Umum -
10,30
-
26,30
-
-
30,33
Sumber: Kementerian Keuangan (Laporan APBD Tahun 2007)
74
Gambaran di atas bisa memperlihatkan bahwa dalam penganggaran pun, tiap provinsi sudah memprioritaskan sektor-sektor yang memang menjadi perhatian, terutama di dalam perencanaan. Sektor pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan umum, serta pekerjaan umum masih menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Disini terlihat bahwa sektor pemerintahan umum selalu menjadi penyerap terbesar dari alokasi anggaran di daerah, hal inilah yang menyebabkan capaian pembangunan daerah masih selalu tersendat. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan dalam pengalokasian anggaran daerah agar lebih banyak kepada sektor-sektor pelayanan publik. Alokasi anggaran pada sektor prioritas yang mengalami perubahan ini juga sejalan dengan komposisi antara belanja langsung dan tidak langsung yang selalu berubah-ubah. Dari data yang tersedia, di Provinsi Kep. Babel, total belanja tidak langsung lebih besar daripada total belanja langsung. Data ini terjadi pada tahun 2007. Namun, di tahun 2008 dan 2009, kondisinya berubah. Total belanja langsung selalu lebih besar jika dibandingkan dengan total belanja tidak langsung. Pengeluaran langsung Dalam komponen belanja langsung, di antara tiga provinsi, Provinsi NTT memiliki realisasi anggaran yang paling besar. Berdasarkan Laporan Realisasi APBD tahun 2007, total belanja langsung provinsi ini sebesar 0,58 trilliun rupiah. Angka tersebut menurun di tahun 2008 menjadi 0,50 trilliun rupiah pada tahun 2008 dan 0,49 trilliun rupiah di tahun 2009. Peningkatan justru terjadi di dua provinsi lainnya. Pada tahun 2009, total belanja langsung Provinsi Kep. Babel sebesar 0,53 trilliun rupiah atau lebih besar dari total belanja NTT. Sementara itu, di Provinsi Gorontalo masih kecil dengan total 0,33 trilliun rupiah. Ditilik lebih jauh lagi, komponen terbesar ternyata ada pada belanja modal. Pengeluaran untuk pembelian tanah, peralatan dan mesin, serta bangunan dan gedung mengakibatkan total belanja langsung di kelima provinsi meningkat. Pada tahun 2007, komposisi belanja modal paling besar terjadi di Provinsi Kep. Babel. Sebanyak 61,15 persen total belanja langsung digunakan untuk belanja modal. Sementara itu, persentase di provinsi lainnya masing-masing sebesar 51,18 persen (NTT) dan 49,18 persen (Gorontalo). Hal menarik terjadi pada perubahan komposisi komponen belanja langsung di Provinsi NTT dan Gorontalo. Porsi komponen belanja terbesar berubah dari untuk belanja modal ke belanja barang dan jasa di 75
tahun 2008 dan 2009. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebutuhan barang dan jasa guna mendukung pemerintahan di kedua provinsi tersebut semakin meningkat (Tabel Lampiran 9). Tabel 28. Alokasi Belanja Langsung dan Tidak Langsung (Juta Rupiah) Provinsi Kep. Babel
Belanja Tidak Langsung 2007 318.357
2008 375.26 7 485.65 3
NTT 336.055 Gorontal o 128.104 Rata-rata 4.400.86 Nasional 9 Sumber: Kementerian Keuangan
Belanja Langsung
2009
2007
531.601
574.177
2008 400.82 4 498.58 1
470.313
318.068
530.065
2009
209.294
331.136
-
325.211
1482.043
5.548.905
-
1.717.816
496.558
Pengeluaran tidak langsung Dilihat secara total, belanja tidak langsung di tiap provinsi mengalami peningkatan. Sejak tahun 2007 hingga 2009, total belanja tidak langsung di Provinsi Kep. Babel bertambah dari 0,32 trilliun rupiah menjadi 0,47 trilliun rupiah. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Gorontalo, pengeluaran untuk hal-hal di luar program atau kegiatan pemerintahan semakin meningkat dari 0,13 trilliun rupiah di tahun 2007 menjadi 0,21 trilliun rupiah pada tahun 2009. Dilihat dari komponennya, alokasi terbesar di dalam belanja ini pada Provinsi NTT dan Gorontalo adalah untuk membayar gaji pegawai. Di tahun 2009, Provinsi NTT mengeluarkan biaya sebesar 65,61 persen dari total belanja tidak langsung untuk keperluan gaji pegawai, sedangkan di Gorontalo komposisinya jauh lebih besar, yaitu 72,12 persen.
3.4 Tata-Kelola Pembahasan selanjutnya adalah mengenai tata-kelola di dalam pemerintahan. Ada banyak aspek yang menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan reformasi atau perbaikan guna kemajuan negara dan daerah. Beberapa di antara aspek-aspek tersebut antara lain Tata-kelola Ekonomi, Demokrasi, Korupsi, dan Standar Pelayanan Minimum. Komponen-komponen tersebut merupakan pengertian tatakelola dalam arti luas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kemitraan pada tahun 2008 terkait dengan Indeks Tata-Kelola Pemerintahan, Provinsi Gorontalo 76
menempati urutan ke-delapan nasional dan terbaik di Pulau Sulawesi. Kategori cukup baik didapat dengan nilai indeks sebesar 5,51. Kinerja birokrasi dan pemerintah yang baik menjadi penyebabnya. Sisi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, transparansi, dan partisipasi menyumbangkan angka yang bagus. Hal ini tentu saja menjadi prestasi luar biasa mengingat bahwa provinsi ini masih bisa dikategorikan sebagai provinsi baru di Indonesia. Tabel 29. Indeks Tata Kelola Pemerintahan Tahun 2008 Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
Nilai 4,44 5,06 5,51 5,11
Peringkat Nasional 27 20 8
Sumber: Kemitraan
Hal menarik lainnya yang ditemukan dari indeks ini adalah mengenai peringkat Provinsi NTT yang lebih baik dibandingkan dengan posisi dari Provinsi Kep. Babel. Provinsi NTT menempati peringkat ke-20, sedangkan Kep. Babel pada posisi 27. Dilihat dari komponennya, Provinsi NTT ternyata memiliki keunggulan dalam hal akuntabilitas, transfaransi, efisiensi dan efektivitas di masing-masing pemangku kepentingan. Nilai pada keempat sisi tersebut cukup bagus. Dari hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa nilai tata-kelola pemerintahan yang baik belum tentu menjadi jaminan untuk dapat mencapai sasaran pembangunan yang diharapkan.
3.4.1 Tata Kelola Ekonomi Daerah Tata-kelola ekonomi daerah merupakan salah satu komponen penting dari sistem desentralisasi di Indonesia. Tiap daerah telah diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri, termasuk dalam perekonomian. Beberapa daerah sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengatur ini semua. Mulai dari perizinan usaha hingga biaya transaksi. Hal inilah yang coba diteliti oleh KPPOD dan The Asia Foundation dengan membuat sebuah indeks tata-kelola ekonomi daerah pada tahun 2007
77
Tabel 30 . Indeks Tata Kelola Ekonomi daerah di Kabupaten/Kota 2007 No
Kabupaten/Kota
Provinsi
Peringkat
Gorontalo
Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah 68,4
1
Kabupaten Gorontalo
2
Kabupaten Bone Bolango
3
Kota Gorontalo
Gorontalo
63,4
105
Gorontalo
63,2
108
4
Kabupaten Boalemo
Gorontalo
62,8
114
5 6
Kabupaten Pahuwato
Gorontalo
58,2
175
Kabupaten Timor Tengah Selatan
NTT
69,9
23
7
Kabupaten Manggarai
68,6
30
8
Kabupaten Rotendao
NTT NTT
68,3
35
9
Kabupaten Timor Tengah Utara
NTT
68,0
39
10
Kabupaten Ende
NTT
65,1
77
11
Kabupaten Ngada
NTT
64,7
86
12
Kabupaten Flores Timur
NTT
63,0
110
13
Kabupaten Kupang
NTT
61,2
134
14
Kabupaten Sikka
NTT
61,1
137
Kabupaten Sumba Timur
NTT
61,0
138
Kabupaten Lembata
NTT
60,2
151
Kota Kupang
NTT
59,3
161
Kabupaten Alor
NTT
56,8
193
19
Kabupaten Sumba Barat
NTT
55,7
206
20
Kabupaten Manggarai Barat
NTT
53,7
216
21
Kabupaten Belu
NTT
49,4
233
15 16 17 18
Rata-rata Nasional
33
61,7
Sumber: KPPOD-USAID-The Asia Foundation
Indeks tersebut dibuat dengan melakukan penilaian terhadap 9 indikator, yaitu akses terhadap lahan usaha, perizinan usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program pengembangan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, biaya transaksi di daerah, pengelolaan infrastruktur fisik daerah, keamanan dan resolusi konflik, dan peraturan daerah. Penelitian ini tidak mencakup seluruh provinsi di Indonesia, salah satu yang tidak disertakan adalah
78
Provinsi Kep. Babel Hasilnya, dalam laporan di tahun 20077, kabupaten/kota yang berada di Provinsi Gorontalo memiliki indeks di atas rata-rata, kecuali Kabupaten Pahuwato. Dilihat dari peringkatnya, Kabupaten Gorontalo berada di peringkat ke-33, kemudian kabupaten dan kota lainnya adalah ke-105 (Kab. Bone Bolango), ke-108 (Kota Gorontalo), ke-114 (Kab. Boalemo), dan ke175 (Kab. Pahuwato). Hal ini dikarenakan semakin membaiknya beberapa aspek, seperti perizinan usaha, biaya transaksi usaha, dan kualitas peraturan daerah. Tidak hanya itu, interaksi pemda dan pelaku usaha pun mampu berkontribusi terhadap peningkatan indeks. Di sisi lain, perkembangan di Provinsi NTT ternyata belum terlalu baik. Nilai indeks di masing-masing kabupaten/kota masih di bawah rata-rata.
3.4.2 Demokrasi Desentralisasi dan demokrasi tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Seolah-olah keduanya sudah satu nafas. Demokrasi merupakan elemen yang besar hingga bisa tercapainya desentralisasi dan tata-kelola pemerintahan yang baik. Walaupun demokrasi yang dijalankan saat ini masih dianggap sebagai demokrasi yang bersifat elitis, hanya untuk kalangan tertentu, tapi perubahan sistem demokrasi sejak era reformasi ini merupakan suatu kemajuan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Untuk mengukur secara kuantitatif perkembangan demokrasi di berbagai provinsi di Indonesia, sejak tahun 2007, UNDP telah meluncurkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Pengukuran secara kuantitatif ini akan menghasilkan gambaran yang jelas dari tingkat perkembangan demokrasi, serta dapat diperbandingkan perkembangan demokrasi antar provinsi. Indeks tersebut diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan sejumlah aspek demokrasi di semua provinsi di Indonesia. Aspek-aspek yang diukur adalah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Dari tiga provinsi yang diamati, terilhat pada Tabel 31 bahwa Provinsi Gorontalo mengalami kemajuan tingkat demokrasi yang sangat besar. Pada tahun 2007, Provinsi Gorontalo masih berada di kuartil terbawah provinsi-provinsi yang paling buruk demokrasinya. Namun, di tahun 2009, Provinsi Gorontalo melesat ke papan atas menjadi provinsi ke-lima terbaik berdasarkan tingkat demokrasi. Sementara itu, Provinsi Bangka Belitung dan NTT, selama dua tahun dari 2007 sampai 2009 keduanya hanya mengalami peningkatan yang sedikit. 7
Laporan Tata-Kelola Ekonomi Daerah 2007. KPPOD-USAID-The Asia Foundation.
79
Menarik untuk disimak adalah peringkat nasional demokrasi berdasarkan IDI untuk Provinsi Kep. Babel. Walaupun capaian pembangunan di provinsi ini sudah cukup baik dan berada di atas rata-rata nasional, akan tetapi kualitas penyelenggaraan demokrasi belum memuaskan. Hal yang senada namun dengan kondisi yang terbalik terlihat di dua provinsi lainnya. Dengan capaian pembangunan Provinsi NTT dan Gorontalo yang masih relatif kurang maju, akan tetapi dua provinsi ini sudah dapat menduduki peringkat atas pada kualitas demokrasinya pada tahun 2009. Tabel 31. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Tahun 2007 dan 2009 Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
IDI 2007 57,60 64,34 50,42 60,35
Peringkat Nasional 23 11 31
IDI 2009 67,01 71,64 73,50 68,03
Peringkat Nasional 20 9 5
Sumber: United Nations Development Programme Indonesia, 2011
Salah satu bagian dari demokrasi yang paling semarak pada era desentralisasi saat ini adalah adanya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung. Pemerintah sudah melakukan suatu perubahan yang bagus dalam pemilihan umum di daerah. Pemilihan kepala daerah sudah berlangsung relatif aman di tiap daerah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih secara langsung kepala daerah mereka. Tidak hanya itu, anggota DPRD pun dipilih secara langsung secara demokratis. Pemilukada ini diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan pengawasan dari Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Tabel 32. Rekapitulasi Suara Pemilu Tahun 2009 Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo
Sah
Persen
Suara Tidak sah
Persen
Jumlah
549.694 2.134.794 545.504
95,44 95,04 93,72
26.265 111.487 36.556
4,56 4,96 6,28
575.959 2.246.281 582.060
Sumber: Komisi Pemilihan Umum Pusat
Adanya kemajuan dalam demokrasi di daerah juga dapat ditunjukkan dari data rekapitulasi suara pada hasil pemilihan presiden tahun 80
2009. Dari hasil perhitungan KPU, jumlah suara yang tidak sah hanya sedikit. Di Provinsi Kep. Babel, persentase suara yang tidak sah sebesar 4,56 persen dari total keseluruhan, sedangkan di provinsi lainnya masing-masing 4,96 (NTT) dan 6,28 (Gorontalo). Jika coba dibandingkan, ternyata persentase suara tidak sah di Provinsi NTT dan Gorontalo lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi. Tingkat pemahaman masyarakat yang rendah akan proses demokrasi bisa menjadi salah satu penyebabnya.
3.4.3 Korupsi Tingkat korupsi di tiap daerah masih terbilang besar. Transparansi dalam segala hal dapat memungkinkan tingkat korupsi akan berkurang. Dalam suatu penelitian mengenai Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2006 yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia suatu instansi yang mendefinisikan dan memposisikan dirinya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba Indeks ini dibangun dari survei atas 32 kabupaten/kota di Indonesia, tetapi penelitian ini tidak menyertakan kabupaten/kota dari Provinsi Kep. Babel. Komponen yang diteliti adalah terjadinya suap untuk mendapatkan tender dengan institusi publik, suap untuk mendapat pembayaran atas tender dengan institusi publik, dan komitmen kepala daerah dalam memberantas korupsi. Tabel 33. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Kabupaten/Kota Tahun 2006 No
Kota
Provinsi
IPK
1
Kota Gorontalo
Gorontalo
3,44
2
Kota Kupang
Nusa Tenggara Timur
5,51
7 32 24
3
Kota Maumere
Nusa Tenggara Timur
3,22
4
Kota Larantuka
Nusa Tenggara Timur
4,21
Rata-rata Nasional
Peringkat Nasional 30
4,57
Sumber: Trasparency International Indonesia, 2006
Hasil survei menunjukkan bahwa praktek korupsi masih lebih tinggi di wilayah timur dibandingkan dengan praktek korupsi di wilayah barat Indonesia. Kota-kota di Provinsi NTT dan Gorontalo menempati urutan bawah dalam indeks ini. Kota Kupang (NTT) dan Kota Gorontalo (Gorontalo) memiliki indeks sebesar 5,51 dan 3,448. Padahal pemerintah Kota Gorontalo dan Provinsi Gorontalo secara 8
Rentang indeks antara 0 sampai 10. Angka 0 (nol) dipersepsikan sangat korup dan angka 10 (sepuluh) sangat bersih.
81
keseluruhan sudah memiliki komitmen yang tinggi untuk memberantas korupsi yang dapat dilihat dari nilai indeksnya. Namun, komitmen ini tidak diimbangi dengan rendahnya peluang terjadi suap untuk mendapatkan tender dengan institusi publik dan suap untuk mendapatkan pembayaran atas tender dengan institusi publik. Kondisi empat tahun setelahnya ternyata sedikit berbeda. Provinsi NTT yang diwakilkan oleh Kota Kupang berada di kelompok menengah (Tabel 34). Kota tersebut memiliki nilai indeks 4,89 yang lebih kecil dari tahun 2006 (5,51). Pelaku bisnis di kota-kota tersebut menilai bahwa praktek korupsi masih sering dilakukan oleh aparat pemerintah daerah. Hal yang menarik terjadi di Provinsi Kep. Babel dan Gorontalo. Kota Pangkalpinang berada di kelompok terbawah dengan nilai indeks yang cukup kecil, sedangkan Kota Gorontalo memiliki indeks yang meningkat dengan signifikan dibandingkan dengan indeks tahun 2006. Peningkatan terjadi dari 3,44 di tahun 2006 menjadi 5,69 (tahun 2010). Tabel 34. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Ibukota Provinsi Tahun 2010 No .
Kota
Provinsi
1
Pangkal Pinang
Bangka Belitung
2
Gorontalo
3
Kupang Rata-rata Nasional
Gorontalo Nusa Tenggara Timur
IPK 4,1 9 5,6 9 4,8 9 4,4 8
Peringkat Nasional 43 6 27
Sumber: Tranparency International Indonesia, 2010
3.4.4 Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan pelayanan publik terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Masih banyak kekurangan di berbagai sisi. Kekurangan inilah yang menjadi perhatian besar dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Jika melirik kembali tujuan dari adanya desentralisasi, sistem ini dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini bisa tercapai jika masyarakat dapat menikmati atau memiliki akses terhadap pelayanan publik dari pemerintah dengan baik. Oleh karena itu, diperlukanlah sebuah standar, terutama dalam pelayanan publik. Standar pelayanan diperlukan sebagai jaminan dan kepastian penyelenggaraan pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi 82
pertimbangan pemerintah, khususnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam menentukan pedoman-pedoman dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM). Sebelumnya, dilihat dari pengertiannya, SPM merupakan suatu tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman dan penilaian terhadap segala bentuk pelayanan. Dilihat dari perkembangannya, beberapa Kementerian negara sudah menetapkan SPM, baik di pusat maupun di daerah. Salah satu yang paling giat adalah Kementerian Kesehatan. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1457/ MENKES/ SK/ X/2003, SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota diterbitkan. Walhasil, tiap provinsi, tepatnya di kabupaten-kota, saat ini sudah memasukkan SPM sebagai bagian dari misi, bahkan ada beberapa provinsi yang sudah melakukan inovasi-inovasi dalam pelayanan publik. Selain itu, kantor pelayanan satu pintu pun sudah hampir ada di setiap provinsi. Sebagai provinsi baru hasil pemekaran daerah, Provinsi Gorontalo memang belum berhasil dalam menerapkan SPM dalam berbagai bentuk pelayanan publik. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat pemerintah untuk terus berusaha. Salah satu contoh penerapan SPM di Gorontalo adalah format penilaian desa siaga aktif. Desa siaga aktif merupakan bagian dari konsep SPM Kesehatan di kabupaten/kota. Konsep ini dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, terutama masyarakat desa. Peningkatan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar kesehatan juga menjadi arahan di dalamnya. Hal yang sama juga terjadi pada provinsi lainnya. Secara umum bisa dikatakan bahwa belum banyak SPM yang memang lahir sebagai inisiasi dari masing-masing provinsi. Kebanyakan SPM di provinsi, termasuk kabupaten-kota merupakan program turunan dari pemerintah pusat. Jadi bisa dikatakan perlu ada inovasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam menerapkan standar pelayanan minimum ini.
3.5 Kabupaten/Kota Selain empat pembahasan sebelumnya, yaitu organisasi perangkat daerah, perencanaan, penganggaran, dan tata-kelola, gambaran dan kondisi kabupaten/kota di dalam wilayah masing-masing provinsi juga penting untuk ditelaah. Sejak UU mengenai desentralisasi digulirkan pada tahun 1999, pemekaran daerah muncul dan menjadi isu utama bagi pemerintah, terutama provinsi. Pemekaran daerah ini lebih banyak terjadi di tingkat kabupaten-kota. Dilihat dari motif sosial, otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi masyarakat dan para 83
pemangku kepentingan untuk membentuk daerah baru. Pengelompokan etnik (ethnic clustering) dalam satu daerah menjadi tujuan adanya pengambilan opsi pemekaran (Fitrani et al, 2005). Sementara itu, Seldadyo et al (2009) menambahkan motif politik dan ekonomi sebagai bagian dari motif-motif yang melatarbelakanginya. Jika dilihat dari PP 41/2007, kabupaten-kota tidak masuk ke dalam perangkat daerah di provinsi. Namun, UU 22/1999 dan revisinya UU 32/2004 tentang otonomi daerah memasukkan kabupatenkota sebagai bagian penting yang mendapat otonomi penuh. Kondisi inilah yang menjadi pangkal adanya suatu gugus yang terputus antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Otonomi daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewenangan penuh yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah (dalam hal ini kabupaten-kota), diharapkan akan membawa dampak yang baik bagi kemajuan daerah. Hal ini karena rentang kendali dalam kebijakan pun semakin sempit. Pemerintah daerah dapat langsung memberikan pelayanan ke masyarakat. Lain halnya dengan sistem sentralisasi yang mengakibatkan pemerintah pusat tidak bisa melayani kebutuhan masyarakat secara merata. Kabupaten-kota menjadi bagian penting dalam pemerintahan. Apalagi, pembentukan provinsi yang diatur di dalam UU 32/2004, mensyaratkan jumlah minimal wilayah kabupaten/kota sehingga daerah tersebut dikatakan layak dan bisa menjadi sebuah provinsi baru. Peran ini menjadi semakin penting ketika PP 19/2010 dikeluarkan. Di dalam PP tersebut dijelaskan bahwa kedudukan dan peran gubernur adalah sebagai perwakilan pemerintah pusat dan pemimpin daerah. Oleh karena itu, sudah tidak ada alasan lagi bagi kabupaten-kota (bupati-walikota) untuk tidak melakukan koordinasi kepada provinsi (gubernur) atau mencoba menghindar. Terkait dengan wilayah administrasi, dari tiga provinsi yang diteliti, jumlah kabupaten terbanyak ada di Provinsi NTT, sedangkan jumlah kota merata dengan masing-masing provinsi terdiri dari satu kota. Hingga akhir tahun 2010, di Provinsi NTT sudah terbentuk 20 kabupaten dan satu kota. Sementara itu, jumlah kabupaten di Kep. Babel sebanyak enam dengan satu kota serta Gorontalo dengan lima kabupaten dan satu kota. Perbandingan menarik terlihat pada wilayah administrasi di bawah kabupaten/kota. Wilayah administrasi kecamatan dan desa di Provinsi Gorontalo ternyata lebih mengelembung dibandingkan provinsi lainnya jika dilihat dari besarnya luas wilayah. Terlihat pada 84
Tabel 35, jumlah kecamatan dan desa di provinsi ini lebih banyak daripada jumlah kecamatan dan desa di Provinsi Kep. Babel. Padahal, jika mengacu pada luas wilayah dan jumlah penduduk, seharusnya Provinsi Kep. Babel lebih unggul dalam jumlah dua wilayah administrasi tersebut. Rentang kendali pemerintah dalam melakukan pelayanan publik memang menjadi lebih sempit, tapi pada kenyataannya hal ini berdampak kepada kualitas pembangunan daerah itu sendiri.
Tabel 35. Jumlah Wilayah Administrasi Tahun 2010 Provinsi
Luas Wilayah 2 (km )
Total Kabupate n
Jumla h Kota
Jumlah Kecamata n
16.424,0 6 6 1 43 48.718,1 NTT 0 20 1 287 11.257,0 Gorontalo 7 5 1 66 Rata-rata 56.374,5 Nasional 4 12 3 202 Sumber: Statistik Indonesia Tahun 2010, Badan Pusat Statistik Kep. Babel
Jumla h Desa
Jumla h DOB
361
4
2.836
8
619
4
2.337
Lebih jauh lagi, ternyata banyaknya kabupaten-kota yang terbentuk tidak serta merta membuat daerah itu semakin maju. Tergambarkan dari Provinsi NTT yang tetap berada di bawah provinsi lain walaupun mengalami banyak pemekaran pada sejak tahun 1999 hingga 2010. Sebanyak delapan daerah otonomi baru (DOB) telah terbentuk, tetapi pembangunan yang digambarkan oleh IPM pada bahasan sebelumnya, masih sangat jauh tertinggal. Delapan bentukan daerah baru tersebut tidak lantas membuat provinsi ini bisa mengungguli provinsi lain atau sekedar bisa menyamakan. IPM provinsi ini tetap paling rendah hingga tahun 2010. Boleh jadi, pemekaran yang terjadi pada tingkat kabupaten-kota malah semakin memperburuk kondisi di tingkat provinsi dengan capaian pembangunan (IPM dan MDGs) yang masih kurang. Di sisi lain, Provinsi Kep. Babel yang merupakan provinsi baru, mempunyai tingkat IPM lebih tinggi. Beberapa evaluasi terhadap pemekaran daerah sudah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga penelitian. Hasil analisis yang dilakukan oleh Seldadyo et al (2009) menunjukkan bahwa performance daerah baru tidak lebih bagus dari daerah induk atau lama setelah adanya pemekaran. Lebih jauh lagi, hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pembentukan daerah baru bukanlah cara yang tepat atau efektif untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Perlu adanya 85
proses atau upaya `reinventing regional development’ yang bisa menjadi kebijakan alternatif. Sementara itu, Decentralization Support Facility (DSF) dalam laporannya yang berjudul `Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia‘ pada tahun 2007 menemukan bahwa biaya yang harus dibayar akibat pemekaran ini adalah semakin menurunnya pengeluaran pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah induk atau lama. Setelah pemekaran, daerah induk tidak juga mengurangi biaya rutin, walaupun jumlah penduduk lebih sedikit.
Bab 4 Penutup Dilihat dari perkembangan IPM dan MDGs, serta komponenkomponennya, input pembangunan yang selama ini dijalankan oleh masing-masing provinsi ternyata belum begitu berpengaruh terhadap capaian pembangunannya. Salah satu yang paling mencolok adalah pengorganisasian pemerintahan. Dalam visi-misi, perencanaan, serta penganggaran, semua bisa dikatakan sudah tampak bagus, tapi tidak dalam aspek organisasi pemerintahan. Jumlah perangkat daerah di masing-masing provinsi, terutama di tiga provinsi yang diamati, masih terbilang cukup besar dan membengkak. Desentralisasi memang mengamanatkan kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri, tanpa intervensi yang berlebihan lagi dari pemerintah pusat. Menjadi hal yang bagus ketika daerah menciptakan lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakatnya. Namun, kenyataan yang ada, daerah menciptakannya dengan menambah perangkat daerah. Padahal, jika melihat seluruh potensi yang dimiliki masing-masing daerah, bukan lagi hal yang mustahil kalau setiap daerah akan maju. Dengan adanya penambahan atau pengelembungan jumlah perangkat daerah, beban yang harus dipikul pemerintah daerah pun, khususnya terkait dengan gaji pegawai, akan semakin besar. Jadi, dapat terlihat bahwa isu penting yang mencuat dari gambaran capaian pembangunan dan kebijakan masing-masing daerah di atas adalah bahwa antar empat elemen pembangunan daerah visi-misi, organisasi, perencanaan, dan penganggaran belum begitu bersinergi atau harmonis. Bisa diperkirakan bahwa terkadang pemerintah daerah terlalu berfokus pada satu elemen saja. Padahal masih ada hal-hal penting lainnya yang perlu diperhatikan. Menggerakkan dan memonitor keempat elemen pembangunan itu secara bersama-sama, inilah 86
yang bisa dilakukan. Salah satunya, revitalisasi perencanaan dan penganggaran bisa menjadi agenda utama di dalamnya. Dalam mencapai sasaran pembangunan yang sesuai dengan target yang diaharapkan, ada beberapa tantangan yang harus dikejar dan diperbaiki. Tantangan-tantangan tersebut antaralain: 1. Penghapusan kesenjangan dalam pembangunan antardaerah. Pertumbuhan ekonomi yang kurang merata bisa menjadi salah satu indikatornya. Hal ini terlihat dari selisih yang sangat besar antarprovinsi di dalam tingkat kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru bisa menjadi salah satu solusinya. Kepala daerah dapat bekerja sama dengan pe dalam hal ini swas berusaha menciptakan peluang ekonomi yang baru dengan terlebih dahulu melihat kembali kepada potensi yang dimiliki. Beberapa provinsi sudah melakukan hal ini, seperti Provinsi Gorontalo dengan komoditas jagungnya serta Provinsi Kep. Babel dengan sektor pariwisatanya. Gubernur dan jajarannya membuat suatu komitmen atau kontrak kerja dengan masyarakat mengenai target-target yang harus dicapai serta bagaimana cara untuk mencapainya. 2.
Peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap sektor pendidikan dan kesehatan dua sektor penting dalam peningkatan pembangunan. Pengalokasian yang besar dalam penganggaran saja belum cukup untuk meningkatkan akses terhadap dua sektor ini. Komitmen bersama antarpemangku kepentingan harus segera dilakukan. Duduk bersama dan menetapkan satu visi dan misi yang jelas bisa menjadi langkah awal.
Sangat disayangkan ketika dua sektor penting ini masih dalam tahap keterpurukan. Bab kedua dalam paper ini, telah menunjukkan pencapaian pada dua sektor ini di tiga provinsi yang diamati masih jauh di bawah nilai rata-rata nasional. Dukungan peningkatan pendapatan per kapita ternyata belum membantu itu semua. Akses dan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan masih sangat sempit. Memasukkan sektor pembangunan manusia ke dalam perencanaan merupakan solusi yang tepat saat ini. Lagi-lagi harus berkaca kepada Provinsi Gorontalo, penggunaan IPM dalam perencanaan ternyata membuahkan hasil yang baik. Para perangkat daerah seluruh dinas bersepakat untuk melakukan perbaikan dari sisi perencanaan ini.
87
Dalam upaya mencapai itu semua, ada beberapa langkah yang bisa diambil9. Pertama, sinergi antara perencanaan dan penganggaran di provinsi dengan perencanaan dan penganggaran di kabupaten-kota, terlebih di kecamatan dan desa. Walaupun tantangan ini bukanlah hal baru dan sudah dilaksanakan melalui apa yang disebut ‗Musrenbang‘, tapi masih banyak kekurangan di dalamnya. Kekurangan itulah yang perlu untuk diperbaiki. Adapun langkah-langkah yang bisa dilaksanakan adalah yang pertama, penguatan peran provinsi sebagai mediator antara pemerintah pusat dan daerah (kabupaten-kota). Kedua, peningkatan kapasitas perencanaan dan penanggaran yang mengintegrasikan isu-isu lintas kabupaten-kota dan lintas sektor. Banyak keluhan bahwa warga desa atau perangkat desa merasakan tidak terakomodirnya usulan-usulan mereka dalam Musrenbang Desa di Musrenbang Kecamatan hingga kabupaten/kota. Kegiatan di desa untuk menampung aspirasi hanya sebatas formalitas saja. Draft perencanaan yang dikeluarkan oleh kabupaten/kota atau provinsi lagi-lagi hanya didasarkan pada prioritas pada tingkatan mereka saja, tanpa mempertimbangkan kepentingan desa. Inilah yang menjadi tugas seorang gubernur sebagai kepala daerah untuk menyelesaikannya. Hal penting lainnya adalah Inovasi dalam tata-kelola. Pencarian metode-metode yang baru dalam hal pelayanan publik perlu dilakukan. Pengembangan standar pelayanan minimum dan birokrasi dalam pemerintahan bisa menjadi pilihannya. Semuanya tentu saja kembali kepada tujuan awal dari pembangunan, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sektor-sektor utama yang berbasis kepada peningkatan pembangunan manusia.
9
Upaya-upaya ini sudah disarankan oleh Seldadyo, 2011 dalam ‗Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi: Catatan dari Tiga Daerah tentang Penguatan Provinsi‘
88
Referensi Bappeda Provinsi Gorontalo. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Gorontalo 2007 – 2012 Bappeda Provinsi Kep. Bangka Belitung. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007 – 2012 Bappeda Provinsi NTT. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 – 2013 Bappenas dan Provinsi Gorontalo. 2009. Pembangunan Provinsi Gorontalo: Perencanaan dengan Indeks Pembangunan Manusia. Bappenas – UN. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007 Bappenas – UNDP. 2007. Laporan Development Goals Indonesia 2007
Pencapaian
Bappenas. 2010. Laporan Pencapaian Millenium Indonesia 2010
Tujuan
Millenium
Pembangunan
Barlow, Colin, dan Ria Gondowarsito. 2007. Socio – Economic Conditions and Poverty Alleviation in Nusa Tenggara Timur BPS. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2007 BPS. 2009. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2008 BPS. 2009. Statistik Indonesia 2009
89
BPS. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia November 2010 BPS. 2010. Statistik Indonesia 2010 BPS Provinsi Gorontalo. 2008. Gorontalo dalam Angka 2009 BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2009. Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2009 BPS–Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. 2007. Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005 BPS–Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006
2007.
Dinas Kesehatan Provinsi Kep. Bangka Belitung. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2007 DSF. 2007. Cost and benefits of New Region Creation in Indonesia. Final Report Fitriani, Fitria, Bert Hofman, dan Kai Kaiser. 2005. Unity In Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 41(1) Foster, James, Joel Greer, dan Erik Thorbecke. 1984. Notes and Comments A Class of Decomposable Poverty Measures. Econometrica, 52(1984) Hill, Hal. 1996. The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant. Cambridge University Press Karyadi, Anung, Atri Istiyani, Frenky Simanjuntak, dan Jennyputri Tanan. Indeks Presepsi Korupsi Indonesia 2006: Survei di antara Pelaku Bisnis di 32 Wilayah di Indonesia. Transparency International Indonesia Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Lobaton. 1999. Governance Matters. World Bank Policy Research Working Paper 2196. Kaufmann, Daniel dan Aart Kraay. 2003. Governance and Growth: Causality which way? – Evidence for the World, in brief
90
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi. 2008. Governance Matters VII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996 – 2007. World Bank Policy Research Working Paper 4654 Kementerian Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009 Kementerian Kehutanan. 2009. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Kementerian Kesehatan. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Kementerian Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009 Kementerian Kehutanan. 2009. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan KPPOD-USAID-The Asia Foundation. Laporan Tata-Kelola Ekonomi Daerah 2007. Larasati, Asti Budi. Otonomi dan Kapasitas Pemda: Kajian Awal terhadap Program Lembaga Donor untuk Peningkatan Kapasitas Pemda selama Otonomi Daerah. YIPD Mundayat, Aris Arif, Edriana Noerdin, Erni Agustini, Sita Aripurnami, dan Sri Wahyuni. 2009. Target MDGs Menurunkan Angka Kematian Ibu Tahun 2015 Sulit Dicapai. Women Research Institut Rauf Maswadi, Syarif Hidayat, Abdul Malik Gismar, Siti Musdah Mulia, dan August Parengkuan. 2011. Menakar Demokrasi di Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009. UNDP Indonesia Seldadyo, Harry, Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, dan Wahyudi Romdhani. 2009. Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Rakyat: Mencari Jalan Alternatif. UNDP, Bappenas, DSF. Seldadyo, Harry. 2011. Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi: Catatan dari Tiga Daerah tentang Penguatan Provinsi‘. PMUPGSP
91
Sharma, Shalendra D. 2007. Democracy, Good Governance, and Economic Development. Taiwan Journal of Democracy. 3(1) Simanjuntak, Frenky. Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia 2008 dan Indeks Suap. Transparency International Indonesia, USAID, MCC Simanjuntak, Frenky, Kumba Digdowiseiso, Putut Aryo Saputro. 2010. Mengukur Korupsi di Indonesia: Index Persepsi Korupsi Indonesia 2010. Transparency International Indonesia, The Asia Foundation, USAID Sofian, Effendi. 2005. Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama. Universitas Gajah Mada Stalker, Peter. 2008. Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia. Bappenas – UN Svensson, Jakob. 2005. Eight Question about Corruption. Journal of Economic Perspectives. 19(3) UNDP. 2004. Human Development Report 2004. UNDP Vaury, Olivier. 2003. Is GDP A Good Measure of Economic Progress?. Post-Autistic Economic Review, 20(2003)
92
Lampiran Tabel Lampiran 1. Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan yang Dialami Tahun 2008 N o
Provinsi
Pana s
Sakit Kepala
Batu k
Keluhan Kesehatan Diar Asm Pilek e a
1
Kep. Bangka Belitung
11.41
9.09
16.96
2
Nusa Tenggara Timur
16.44
7.46
26.07
3
Gorontalo
23.6
6.95
16.58
Indonesia
10.54
5.28
15.12
17 27.8 7 11.3 5 14.8 9
Sakit Gigi
Lainny a
Total % Penduduk
1.53
2.13
2.26
13.12
36.24
2.14
2.2
2.78
13.24
41.89
2.89
2.43
3.05
10.99
41.46
1.54
1.44
1.63
11.68
32.47
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2008, Kementerian Kesehatan
Tabel Lampiran 2. Persentase Rumah Tangga yang memenuhi Kriteria Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tahun 2007 No
Provinsi
1
Kep. Bangka Belitung
2
Nusa Tenggara Timur
3
Gorontalo Indonesia
% Rumah Tangga
47.8 26.8 27.8 38.7
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2008, Kementerian Kesehatan
93
Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
Tahun 2004 1.35 2.28 7.00
2005 1.57 5.91 6.52
2006 1.56 5.74 6.05
2007 1.68 4.87 5.57
2009 1.28 4.87 4.59
2009 1.20 4.14 4.59
3.26
3.27
3.41
3.5
3.12
2.9
2004 0.31 0.60 2.30
2005 0.40 1.72 2.19
2006 0.39 1.63 1.86
2007 0.47 1.34 1.68
2009 0.31 1.35 1.27
2009 0.31 1.14 1.27
0.98
0.94
1.01
1.06
0.92
0.85
Provinsi Kep. Babel NTT Gorontalo Rata-rata Nasional
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik
Tabel Lampiran 5. Persentase Cakupan Bayi yang Terimunisasi Campak No
94
Provinsi
Tahun
Perkembangan Menurun Menaik Menurun Menurun
Tabel
Lampiran 3. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan
Perkembangan
Sumber: Statistik
Menurun Menaik Menurun Menurun
Tabel
Badan
Pusat
Lampiran 4. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan
2004
2005
2006
2007
1
Kep. Bangka Belitung
85.83
91.60
85.70
91.80
2
Nusa Tenggara Timur
91.22
92.00
93.20
92.80
3
Gorontalo
90.61
86.50
84.50
75.90
Sumber: http://bankdata.depkes.go.id
Tabel Lampiran 6. Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah No
VARIABEL (Untuk Provinsi di Luar jawa)
1
JUMLAH PENDUDUK (jiwa)
2
LUAS WILAYAH (KM2)
3
JUMLAH APBD (Juta Rupiah)
Kelas Interval
Nilai
≤ 1.500.000 1.500.001 - 3.000.000 3.000.001 - 4.500.000 4.500.001 - 6.000.000 > 6.000.000
8 16 24 32 40
≤ 20.000 20.001 - 40.000 40.001 - 60.000 60.001 - 80.000 > 80.000
7 14 21 28 35
500.000. 500.000 – 1.000.000 1.000.000 – 1.500.000 1.500.000 – 2.000.000 > 2.000.000
5 10 15 20 25
Ket :
95
Provinsi Kep. Bangka Belitung
Nilai Total merupakan penjumlahan nilai Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Jumlah APBD Nilai Pendudu k
Nilai Luas Wilaya h
Nilai APB D
Luas Wilayah
Pendudu k
APBD (revenue)
Jumlah Dinas
Lembag a Teknis
16,424.1 4
1,106,700
566,071,130,0 00
16
11
8
7
10
46,137.8 7
4,448,900
779,458,100,0 00
16
13
24
21
12,165.4
960,300
450,291,710,0
11
10
8
7
Nilai Tota l
Jumlah dinas
Lembag a Teknis
25
tidak laik
tidak laik
10
55
tidak laik
tidak laik
5
20
laik
tidak laik
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
-
Nilai Total kurang dari 40: Dinas maksimal 12 (dua belas) dan Lembaga Teknis maksimal 8 (delapan) Nilai Total antara 40 sampai 70: Dinas maksimal 15 (lima belas) dan Lembaga Teknis maksimal 10 (sepuluh) Nilai Total lebih dari 70: Dinas maksimal 18 (delapa belas) dan Lembaga Teknis maksimal 12 (dua belas)
Sumber: PP 41/2007
Tabel Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kelaikan Batas Maksimum Besaran Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No.41 Tahun 2007
96
4
00
Tabel Lampiran 8. Daftar Lembaga Swadaya Masyarakat di Provinsi NTT NO 1
NAMA YASBIMAN-Yayasan Bina Insan Mandiri
2
YABINMAS-Yayasan Bina Masyarakat
3
YBS-Yayasan Bina Sejahtera
4
CITRA-Yayasan Cinta Daerah
5
Yayasan Dharma Pertiwi
6
YKS Maumere-Flores-Yayasan Karya Sosial
7
Yayasan Kembang Lestari
ALAMAT Jl. Anggrek No. 46 Rt 02/05, Kel. Kota Uneng, Maumere, Flores 86 113, Nusa Tenggara Timur (NTT) Jl Baru (Sebelah Barat Kantor Golkar), Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur; Contact Person: Drs. Firmus Ole Besu (Direktur Pelaksana) Jl Lewoleba, Pulau Lembata, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur; Telp.: (0383) 41025, Contact Person: J.M. Sidhu (Ketua)
BIDANG Usaha kecil dan perkoperasian, sektor informal serta buruh/tenaga kerja.
Jl Yos Soedarso, P.O. Box 86405, Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur;Telp.: (0384) 21610; Fax.: (0384) 21353, Contact Person: Yoseph Lambo, SM (Direktur) Jl. Gatot Subroto No. 42, Kalabahi, Alor, Nusa Tenggara Timur;Telp.: (0386) 21152; Contact person: Marten Maure, SH. (Ketua) Jl. Sukarno-Hatta, Maumere 86111, Nusa Tenggara Timur (NTT); Telp.: (0382) 22205; Fax.: (0382) 21100, Contact person: Ignas Da Cunha (Direktur) Jl. W.R. Soepratman, Trikora, Bajawa, Nusa Tenggara Timur 86414; Telp.: (0384) 21611; Fax.: (0384) 21353, Contact Person: Theodorus D. Dekresano
Pendidikan, anak, lingkungan hidup, air bersih, peningkatan ekonomi masyarakat dan wanita dalam pembangunan.
Anak, air bersih, pertanian, peternakan, lingkungan dan pendidikan.
Kesehatan, pertanian, peternakan, lingkungan hidup, air bersih dan gender.
Hukum, hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, air bersih dan sanitasi, kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, anak, gender, pertanian serta usaha kecil dan koperasi. Usaha kecil dan perkoperasian.
Ekonomi kerakyatan, kebudayaan, lingkungan hidup dan pertanian.
97
(Direktur) 8
Yayasan Kolo Hunu
9
YASMARA- Yayasan Masyarakat Sejahtera - The Community Welfare Foundation
10
YMTM- Yayasan Mitra Tani Mandiri
11
Yayasan Obor Swadaya
12
SANLIMA- Yayasan Peduli Sesama
13
YPS-Yayasan Pelita Swadaya
14
Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat IE HARI YSM-Yayasan Sejahtera Muda
15
98
Jalan Advokat, Kompleks DOLOG 5A, Kupang, NTT; Telp.: (0380) 826751, 823957; Fax.: (0380) 826751, Contact Person: Domi Y. Fallo, BcSw (Direktur Eksekutif) Jl. Johar No. 1A, Kupang 85112, Nusa Tenggara Timur; Telp.: (0380) 21905; Contact person: Frans Lebu Raya (Direktur) Jl. Sonbay (Depan SMUN 1 Kefamenanu), Kefamenanu 85613, Nusa Tenggara Timur, Telp.: (0388) 31467; Fax: (0388) 31111, Contact person: Yoseph Asa (Ketua) Jl Panglima Polim No 15, Kalabahi, Nusa Tenggara Timur; Contact Person: N.B. Nappoe (Direktur) Jalan R.W. Monginsidi III, Kelurahan Fatululi, Kodya Kupang, Nusa Tenggara Timur; Telp.: (0380) 826754; Fax.: (380) 826712, Contact person: Blasius Urikame Udak (Direktur Eksekutif) Jalan Jend. Sudirman No 59, Kelurahan Waioti, Maumere, Flores, NTT; Telp.: (0382) 21121; Fax.: (0382) 2100, Contact person: Ny. Yoce Bl de Rozarie (Ketua Dewan Pengurus) Contact person: Welhelmus Dere, SM (Ketua) Jl. Loro Lamaknen No.1, Atambua 85716 (Kotak Pos 11); Nusa Tenggara Timur;
Usaha bersama, kesehatan lingkungan, usaha kecil dan menengah, pertanian dan sumber daya manusia.
Pertanian, kesehatan, air bersih dan sanitasi.
Pertanian, peternakan dan lingkungan hidup, di samping air bersih, gender, usaha kecil dan perkoperasian
Wanita dalam pembangunan, peningkatan ekonomi masyarakat, demokrasi, lingkungan dan air bersih. Pendidikan, peningkatan ekonomi masyarakat dan lingkungan hidup.
Kesehatan, income generating activity, pertanian, transportasi, gender, dan bantuan darurat (emergency).
Ekonomi masyarakat, Pertanian, peternakan, kesehatan, wanita dalam pembangunan, gender, usaha kecil dan perkoperasian.
16
YASSO- Yayasan Solidaritas Solidarity Foundation
17
Yayasan Solideo
18
LSM YTN-Yayasan Tananua
19
Yayasan Timor Membangun
Telp.: (62) (0389) 21907 Jl. Muhammad Yamin Kufeu, Atambua 35711, Nusatenggara Timur; Telp.: (0389) 21642; Fax.: (0389) 21692; Email:
[email protected]. Contact person: Drs Vinsensius (Direktur) Jl. Moh. Yamin No. 155, Atambua 85716, Nusa Tenggara Timur; Telp.: (0389) 21183; Fax.: (0389) 21400, Contact person: Ny. Getrida Lado (Ketua) Jl. Lontar No. 42, Oepura, Nusatenggara Timur; Telp.: (0380) 32950; Fax.: (0300) 31001; Contact person: Vinsensius Simau (Ketua) Jl Kartini, Kel. Kefamananu Tengah, Timor, Nusa Tenggara Timur; Telp.: (0388), 31355; Fax.: (0388) 31111 (Telkom), Contact Person: Drs. Marthen Duan (Ketua Pelaksana)
Pertanian
Kesehatan, kependudukan dan KB, gender, hutan kemasyarakatan,lingkungan hidup, anak, kajian agama, sektor informal, pertanian, peternakan, kelautan dan perikanan, listrik pedesaan, rehabilitasi kejiwaan orang cacat serta penanggulangan pengungsi. Pertanian, peternakan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, gender, usaha kecil dan perkoperasian, lingkungan hidup serta hutan kemasyarakatan. Perekonomian, peternakan, perikanan/ kelautan, ekonomi kerakyatan dan kesehatan.
Sumber: LP3ES
Tabel Lampiran 9. Daftar Lembaga Swadaya Masyarakat di Provinsi Kep. Bangka Belitung
99
No 1
2 3 4 5 6 7
Nama
Alamat
P2H2P; Perlindungan dan Pemberdayaan Hak2 Perempuan Rumpun Bambu Sang Puan Indonesia Al Karimah LCKI: Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia Yayasan Nurdewi Lestari KDS Seperadik Gale
Bidang
Jl. Kenangan 21, Pangkal Pinang
Perempuan dan Anak dan HIV: -
Desa Kurau Jl Olah raga, pangkal Pinang Bangka Barat Jl Mentok 1 Pangkal Pinang
Lingkungan Hidup Perempuan dan Anak Perempuan dan Anak Pencegahan Kejahatan
Sungai Liat Jl Masdjid Jamik, Pangkal Pinang
Kesehatan, Perempuan dan Anak Dukungan ODHA
Sumber: LP3ES
Tabel Lampiran 10. Alokasi Belanja Langsung (Juta Rupiah) Sumber: Kementerian Keuangan
Belanja pegawa i 41,501
2007 Belanja barang dan jasa 82,058
NTT
56,831
Gorontalo
49,462
Provinsi Kep. Babel
100
Belanja modal
Belanja pegawai
194,509
59,544
2008 Belanja barang dan jasa 105,966
Belanja modal
Belanja pegawai
235,31 5
43,078
2009 Belanja barang dan jasa 141,303
223,496
93,850
56,201
239,659
202,72 2
45,565
282,838
168,155
118,825
162,849
-
-
-
23,901
201,760
99,550
Belanja modal 347,220