Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590
EKSISTENSIALISME MOHAMMAD IQBAL DAN SOREN AABYE KIERKEGAARD (DIALOG PEMIKIRAN TIMUR DAN BARAT) 1
Rodlyah Khuzai, 2 Syarah Siti Burdah, 3 Nilu Yuspasari, 4 Maftuh Supriadi 1,2,3,4
Fakultas Dakwah, Universitas Islam Bandung, Jl.Rangga Gading No.8 Bandung 40116 e-mail: 1
[email protected]
Abstrak. Pemiskinan dimensi filosofis sedang terjadi di negeri ini. Ketika ruang publik direduksi menjadi pasar, ketika tekanan orientasi kebanyakan orang pada hasil, maka ekonomi menjadi perhatian utama, kehidupan bukan lagi diorientasikan untuk mengabdikan diri, menjamin kebebasan setiap individu serta keadilan. Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard menawarkan solusi cerdas dalam mengatasi persoalan tersebut melalui pemikiran-pemikirannya, keduanya adalah dua tokoh besar pemikir eksistensialis yang berpengaruh di Barat maupun Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) latar belakang sosial-politik dan intelektual lingkungan dan masyarakat banyak mempengaruhi konstruksi eksistensialisme Mohammad Iqbal adapun Soren Aabye Kierkegaard lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi internal keluarga dan kehidupannya; (2) konstruksi eksistensialisme Mohammad Iqbal adalah takdir, ijtihad, dan konsep diri, sedangkan Soren Aabye Kierkegaard adalah estetika, etika, dan religius; (3) persamaan konstruksi eksistensialisme Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard terletak pada kesamaannya melakukan kritik terhadap pemikiran yang menafikan individualitas manusia, Iqbal melakukan kritik terhadap idealisme Plato, sedangkan Kierkegaard melakukan kritik terhadap idealisme Hegel, kesamaan lainnya yaitu menekankan pentingnya individualitas manusia yang menunjukkan eksistensi manusia yang sejati, mendasarkan pemikiran eksistesialisme mereka dengan Eksistensi (keberadaan dan kehadiran) Tuhan; (4) relevansi eksistensialisme kedua tokoh ini dengan studi Islam adalah menyadarkan akan jati diri manusia yang sangat mulia dan perlu dipertahankan sehingga tidak terjebak pada materialisme dan pemiskinan moral. Kata kunci: Eksistensialisme dan Perubahan
1.
Pendahuluan
Pemiskinan dimensi filosofis sedang terjadi di negeri ini. Ketika ruang publik direduksi menjadi pasar, tekanan orientasi kebanyakan orang pada hasil, maka ekonomi menjadi perhatian utama. Kehidupan bukan lagi diisi dalam rangka mengabdikan diri dengan menjamin kebebasan individu dan kesejahteraan bersama serta keadilan, tetapi dipenuhi dengan nafsu ambisi, egoistik, dan individualistik, Zubaidi (2007:10). Bercermin pada kondisi sosial bangsa Indonesia yang masih carut marut ini, upaya penggunaan kajian filsafat menjadi langkah signifikan untuk dilakukan agar menggugah kembali kejernihan rasionalitas, kebeningan jiwa, dan kesadaran nurani. Orang yang berfilsafat, adalah orang yang berfikir sambil bertangung jawab, sehingga tampak adanya hubungan antara kebebasan berfikir dan etika yang melandasi kebebasan berfikir itu.(Fuad Hasan, 1992:5). Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang lahir karena protes terhadap filsafat tradisional dan masyarakat modern, seperti pandangan Plato. Dalam sistem tersebut jiwa individual hilang dalam universal yang abstrak. Ia memberontak terhadap alam yang impersonal, serta gerakan massa. Masyarakat industri cenderung menundukkan manusia menjadi alat, komputer atau objek, saintisme hanya memandang manusia sebagai bagian dari proses fisik (Edward Paul, Vol. III, 1967: 148; N. S.J. Drirjakara, 1989; 63-64).
277
278 |
Rodlyah Khuzai, et al.
Eksistensialisme mengklaim bahwa subyektivitas manusia adalah individual, ia harus menjalani eksistensinya dengan subjektivitasnya, yakni manusia yang kongret dan nyata bukan apa yang dipukul rata dan objektif (Soren Aabye Kierkegaard dalam Fuad Hassan, 1992: 25). Mohammad Iqbal dan Soren Abye Kierkegaard, adalah pemikir eksistensialis yang berpengaruh di Barat maupun Timur. Soren Kierkegard mengungkapkan, becoming subjective is the task proposed to every human being, bahwa bagi SK, eksistensi (mengada) bagi manusia adalah tugas. Kalau eksistensi yang sejati itu menjadi tugas, jelaslah bagi SK. Eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang etis dan religius. Puisi dan syair Iqbal membangkitkan semangat bagi eksistensi jati diri manusia: Apakah kau sekadar debu, kencangkan simpul pribadimu, pegang selalu wujudmu yang alit, betapa keagungan memulas pribadi seseorang, dan menguji cahayanya di kehadiran suria, lalu pahatkan kembali rangka lama kepunyaanmu, dan bangunlah wujud yang baru, wujud yang bukan semu, atau pribadimu cuma lingkaran asap. Ekky Malaky, diunduh dari www.google.com. 15 Maret 2012 Pemikiran eksistensilisme kedua tokoh ini, masih jarang dikaji orang sehingga dipandang perlu untuk dikaji secara mendalam, serta dapat mengkomunikasikannya kepada mahasiswa dan insan akademik pemerhati filsafat.
2.
Metode Penelitian
a)
State of the Art Ujang Habibi dan Enjang, mengangkat karya Mohammad Iqbal berkenaan dengan masalah politik dan pemikirannya tentang landasan dalam Islam, yakni AlQuran, Al-Hadits, dan Ijtihad. Di bidang politik, sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930, ia bermimpi untuk mewujudkan berdirinya negara Pakistan yang terpisah dengan India. Iqbal menerapkan Ijtihad kolektif agar umat Islam dapat menjawab tantangan zaman, diunduh dari Google Jumat, 23 Desember 2011. Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce, Bandung: Refika, 2007, mengungkapkan pemikiran Mohamad Iqbal dan Charles S. Peirce dengan cara perbandingan, tulisan ini berusaha menemukan karakteristik epistemologi keduanya dan menemukan implikasi dari perbedaan episrtemologinya dan implikasinya bagi studi Islam. Blasius B. Baene, Konsep Eksistensialisme Soren Kierkegaard, (htttp//id. Google). Menguraikan kritik Kierkegard terhadap ide “abstraksionisme” Hegel mereduksi manusia kongkret atau individu bahkan kesadaran manusia kongkret hanyalah dialektika dalam roh. Bagi Kierkegaard hanya manusia yang bereksistensi.. Oleh karena itu, Kierkegaard membedakan tiga tahap kehidupan eksistensial, yaitu tahap estetis, tahap etis dan tahap religius. Alim Koswantoro, Manusia bagi Kierkegaard, Jurnal Esia, vol. 10 No. 2, Juli 2009, menyatakan bahwa eksistensi otentik dari manusia dalam pandangan Kierkegaard, adalah penyajian dirinya secara individual, bebas dan bertanggung jawab, bukan manusia pada umumnya. Melalui kajian penelitian terdahulu yang penulis ungkapkan di atas, belum menemukan tema yang sama dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini, terutama subjek dan pembahasan kajiannya.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Eksistensialisme Mohmad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard (Dialog Pemikiran Timur dan Barat)
| 279
b)
Road Map Pada penelitian yang lalu, penulis telah mengkaji epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce dan menjadi buku teks wajib untuk mata kuliah Filsafat Umum di S1 Fakultas Dakwah, S1 di lingkungan Unisba untuk mata kuliah Pemikiran Islam, maupun S2 untuk kajian Filsafat Barat di UIN Yogyakarta, UMY, UII Yogyakarta; dan Sejarah Pemikiran Islam di Pascasarjana MPI Unisba. Melalui penelitian yang dilakukan, yakni Eksistensialisme Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegard, diharapkan dapat menjadi buku Teks/buku Ajar mata kuliah Filsafat Umum baik bagi mahasiswa fakultas Dakwah Unisba dan mata kuliah Pemikiran Modern dalam Islam di lingkungan Unisba, kajian filsafat Barat di Pascasarjana, maupun insan akademik pemerhati filsafat. Bagi Universitas Islam Bandung, terutama Fakultas Dakwah merupakan suatu kebanggaan dan kekayaan inteletual di bidang filsafat, jika penelitian ini dapat dipublikasikan, akan memberi manfaat lebih luas.
3.
Pembahasan
Penelitian ini merupakan Penelitian Kepustakaan (Library Research). Sumber yang digunakan berupa sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang digunakan adalah karya Mohammad Iqbal dan karya Soren Aabye Kierkegaard yang tekait dengan pemikiran eksistensialisme keduanya, dan sumber sekunder yang masih berkaitan dengan pemikiran eksistensialisme Penelitian ini menggunakan pendekatan historisfilosofis dengan metode deskriptif- kualitatif analitis-komparatif, Abuddin Nata (2000: 42, 46). Langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) Studi dokumentasi, yaitu melalui literatur/kepustakaan yang terkait dengan penelitian yang dibahas, baik yang berkenaan dengan metodolologi penelitian maupun secara khusus berkenaan dengan metodologi penelitian filsafat; (2) Melakukan kajian/ telaah teoretik yang berkenaan dengan pengertian dan istilah Eksistensialisme; (3) Mendeskripsikan latar belakang sosial politik dan intelektual kedua tokoh; (4) Mengelaborasi pemikiran eksistensialisme keduanya dengan cara perbandingan untuk menemukan persamaan dan perbedaannya; dan (5) Mengelaborasi hasil kajian eksistensialisme kedua tokoh secara kritis-analisis, untuk menemukan relevansi pemikiran eksistensialisme keduanya bagi pengembangan studi Islam. a.
Kondisi Sosial-Politik dan Intelektual yang Melatarbelakangi Pemikiran Eksistesialisme Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard
1)
Latar belakang Sosial-Politik dan Intelektual Eksistesialisme Mohammad Iqbal Mohammad Iqbal, memiliki latar belakang yang cukup berbeda dengan Kierkegaard baik dari segi politik sosial intektual maupun keluarga. Iqbal lahir dari keluarga religius sehingga tidak mengalami konflik internal, beliau dapat mengikuti jenjang pendidikan formal dengan baik yang ditempuh di India maupun luar negeri karena memperoleh beasiswa, bahkan beliau menerima anugerah gelar Sir dari pemerintah Inggris karena prestasinya di bidang pendidikan dan lainnya. (H. A. Mukti Ali, 1993: 10). Problem utama yang dihadapi M. Iqbal adalah keadaan bangsa dan umat Islam pada umumnya pada waktu itu, dan terutama sekali India tempat kelahiraanya dalamm keadaan terjajah oleh Barat (non Muslim) (H. A. Mukti Ali, (1993: 51).
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
280 |
Rodlyah Khuzai, et al.
Pengalaman Iqbal belajar ke luar negeri, ia menemukan bahwa di barat ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat tetapi sayangnya sangat miskin dengan nurani (material oriented), sementara timur mengalami kemunduran karena kejumudan (tertutupnya pintu ijtihad) dan salah dalam menafsirkan makna takdir. Iqbal memandang umat Islam mengalami kemunduran karena hilangnya gairah menuntut ilmu pengetahuan seperti para pendahulu yang dapat memimpin dunia karena ilmu pengetahuan. Latar belakang inilah yang mewarnai pemikiran eksistensialisme Mohammad Iqbal. Abdul Wahhab ‘Azzam, Cet. I, 1985: 23-5); M.M. Sharif (ed.), 1966: 1615-6). Iqbal mulai memberikan enam kuliah, kemudian ia sempurnakan kuliah yang ke tujuh di Allahabad dan Aligarh. Kuliah-kuliah ini kemudian dihimpun menjadi sebuah buku berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Karya Iqbal ini merupakan karya filsafatnya yang terpenting. Sorotan utama dalam buku ini adalah terjadinya stagnasi pemikiran Islam selama hampir lima ratus tahun yang dinilai penyebabnya antara lain adalah filsafat Plato yang cenderung menafikan eksistensi individu dengan konsep idealismenya dan memandang rendah ilmu yang diperoleh melalui pancaindra serta tertutupnya pintu ijtihad. (Mohammad Iqbal, 1934: 6-10). 2)
Kondisi Sosial-Politik dan Intelektual Eksistesialisme Aabye Kierkegaard Soren Kierkegaard dilahirkan pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen. Ayahnya Michael Pedersen Kierkegaard pada waktu itu telah berusia 57 tahun, sedangkan ibunya tidak begitu dikenal kecuali informasi bahwa sebelumya adalah pembantu rumah tangga Michael. Semasa muda Michael pernah mengalami kemiskinan yang amat berat sehingga dia pernah mengutuki Tuhan, dan ia pun sempat menghamili pembantunya setelah beberapa saat istrinya meninggal, dari istri inilah lahir Soren Kierkegaard. U.Ch. Abineno (1994: 1) Peristiwa yang dialami ayah Soren, ikut membentuk pemikiran Soren begitu kuat, bahkan membuat dia sangat menderita sehingga sempat melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Penderitaan berikutnya ketika guru besar yang sangat menyayanginya juga meninggal, padahal dia merasa menemukan kembali hidupnya bersama Tuhan karena support yang diberikan gurunya. Pertemuannya dengan Regina Olsen membuat SK agak bergairah menghadapi hidup dan cobaan, tetapi akhirnya kebahagiaan ini tidak lama ia nikmati setelah pada akhirnya ia harus berpisah dengan Regina karena berbagai pertimbangan yang mendalam. (Fuad Hasan, 1994: 19; U. Ch. Abineno:20) Masalah lain yang dihadapi Soren adalah eporea zaman modern yang menilai manusia sama dengan mesin, manusia dinilai secara kolektifitas bukan secara individu. Latar belakang inilah yang banyak mewarnai pemikiran Soren yang mengantarkan dia menjadi pemikir dan bapak eksistensialis. U. Ch. Abineno, 1994: 5. b.
Konstruksi Eksistensialisme Mohammad Iqbal dan Soren Abye Kierkegaard 1) Konstruksi Eksistensialisme Mohammad Iqbal a) Konsep Taqdir Iqbal sangat menekankan kepada manusia secara individu untuk menetapkan takdirnya dengan melawan fatalisme, dan keputus asaan karena dia melihat umat Islam di dunia pada waktu itu, juga negerinya, India semua dalam keadaan terjajah oeh barat
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Eksistensialisme Mohmad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard (Dialog Pemikiran Timur dan Barat)
| 281
yang nonmuslim, karena umat Islam menerima konsep takdir secara keliru, padahal Islam mengajarkan kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan hak. b) Konsep Ijtihad Jalan yang harus ditempuh untuk memerbaiki takdir yang buruk adalah dengan membuka kembali pintu ijtihad yang dinilai tertutup setelah kokohnya 4 madzhab, karena dengan ijtihad lah manusia memliki keluasaan untuk mengembangkan diri, melepaskan dari kejumudan berfikir, sekaligus dapat melepaskan umat Islam dari penjajahan barat, dan memerankan fungsinya sebagai Khalifah Fil Ardhi. Iqbal meyakini semua ini pengaruh dari idealisme Plato. Ijtihad hanya dapat dilakukan oleh individu-individu yang merdeka, dan memiliki kebebasan berpendapat, sehingga iqbal menilai eksistensi manusia karena prestasinya sebagai wakil Alah di muka bumi, bahkan ia menganggap Tuhan sebagai mitra kerja (Co Worker) manusia. Mohammad Iqbal (1934: 37) Untuk bisa melakukan ijtihad secara optimal, maka Iqbal menggali potensi yang ada dalam diri manusia yang dikenal dengan konsep diri (Khudi). melalui konsep khudi ini ia berusaha membangkitkan semngat umat Islam yang terpuruk pada potensi yang dimiliki manusia agar kreatif terus mencipta bersama Tuhan di muka bumi. Konstruksi Eksistensialisme M. Iqbal menekankan adanya keseimbangan dalam diri manusia yang memiliki hubungan intim dengan Tuhan sebagai hubungan Vertikal, dan memiliki keintiman pula dengan alam semesta sebagai khalifah yang merupakan wujud hubungan horizontal. Inilah eksistensialisme perspektif Islam yang mengajarkan pola hidup “Seimbang/Ballance”, seperti do’a–do’a yang senantiasa kita panjatkan. (Muhamamd Chirzin, 2004: 5-6; Andi Dermawan, 2005: 16-17) 2)
Konstruksi Eksistensialisme Soeren Abye Kiekergaard Pengalaman Soren Kierkegaard yang sangat melankolis dan penuh penderitan dan mengalami kegelapan dalam hidupnya, ia memulai konsep eksistensialismenya secara bertahap. Pertama, estetis dalam diri manusia adalah segala sesuatu yang membuatnya hidup sebagai mansia. Ia hidup dengan, di dalam, untuk dan oleh yang estetis. Sikap estetis sebagaimana digambarkan oleh sosok Don Juan, yaitu suatu taraf yang ditandai suatu hasrat yang tidak habis-habisnya untuk dipuaskan. Dan hidup ini semua dilakukan secara langsung, sekarang, dalam kekinian. Eksistensi tahap awal masih menggambarkan sifat-sifat manusia yang lebih banyak negatifnya daripada yang positif, hal ini merupakan pengalaman yang dialami Kikergaard ketika putus asa dari berharap pada figur seorang ayah yang seharusnya menjadi tauladan. Kierkegaard manghadapkan dengan pernyataannya, memilih dunia dan memeluknya, tetapi kehilangan jiwa atau sebalinya memiliki jiwa tetapi tidak memiliki dunia. Kedua, etika, Manusia etis memilih dalam pilihannya itu tergeser faktor “Kebetulan”. Ia secara hakiki berhubungan dengan segala sesuatu, yang ia pilih dengan kebebasannya, rasa tanggungjawab memainkan peranan penting. Ia bertanggungjawab kepada Allah. Frederick Copleston, (1963: 342) Tahap terakhir yang harus dicapai manusia adalah taraf religius. Pada taraf ini manusia tidak lagi mengidamkan pengertian dan kesaksian dari sesama manusia. pada taraf religius ini ia menghayati pertemuannya dengan Tuhan sebagai suatu dialog yang sejati. Bagi Soren agama harus dihayati sebagai pengalaman subjektif. Juga dalam hubungan ini, ia menekankan bahwa agama bukan formalitas, melainkan bagaimana
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
282 |
Rodlyah Khuzai, et al.
menjalani suatu eksistensi beragama. Artinya ia memahami dengan baik, dan penuh penghayatan, dia memandang Tuhan sebagai Bapak di surga yang menjadi tmpat mengadu dan mendengarkan keluhannya.
c.
Persamaan dan Perbedaan Pemikiran antara Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard tentang Eksistensialisme
Persamaan pemikiran Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard tentang Eksistensialisme, 1) M. Iqbal dan Kierkegaard melakukan kritik terhadap pemikiran yang menafikan individualitas manusia, Iqbal melakukan kritik terhadap idealisme Plato, sedangkan Kierkegaard melakukan kritik terhadap idealisme Hegel. Frederick Copleston, S.J. (1963: 190) 2) M. Iqbal dan Kierkegaard menekankan pentingnya individualitas manusia yang menunjukkan eksistensi manusia sejati. M. Iqbal (1963: 13); Frederick Copleston, S.J. (1963: 342) 3) M. Iqbal dan Kierkegaard mendasarkan pemikiran eksistesialisme mereka dengan Eksistensi (keberadaan dan kehadiran) Tuhan; 4) M. Iqbal dan Kierkegaard menekankan eksistensi manusia manakala manusia aktif berbuat, berkarya merubah dunia dan manusia menjadi lebih baik, beriman kepada Allah dan menyakini kebenaran janji-janji-Nya. M. Iqbal (1934: 27); U. Ch. Benino (1989: 25) Perbedaan mendasar antara Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard terletak pada konstruksi eksistensialisme yang dibangun.Konstruksi eksistensialisme Mohammad Iqbal adalah (1) Takdir, (2) Ijtihad, dan (3) Konsep Diri.Sedangkan konstruksi eksistensialisme Soren Aabye Kierkegaard adalah (1) Estetika, (2) Etika, dan (3) Religius. Kedua tokoh ini memiliki keyakinan agama yang berbeda, M. Iqbal beragama Islam, sedangkan Soren Kierkegaard beragama Nasrani (Kriten Protestan). d.
Relevansi Eksistensialisme Mohammad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard dengan Pengembangan Studi Islam Dalam mengkaji studi Islam pemikiran eksistensialisme M. Iqbal dan Soren Kierkegaard, menjadi salah satu metodololgi dalam diskursus berbagai disiplin ilmu maupun teknis-teknis menyelesaikan masalah. Melalui kajian eksistensialisme kedua tokoh ini menyadarkan akan jati diri manusia yang sangat mulia dan perlu dipertahankan sehingga tidak terjebak pada materialisme dan pemiskinan moral, dan saling merhargai terhadap perbedaan. Bagi praktisi pendidikan, dapat memberikan pandangan untuk pendidikan Islam maupun pendidikan umum. Pendidikan bukan proses transaksional antara pengajar dengan siswa, tetapi proses interaktif dinamis. Siswa tidak berperan sebagai “objek”, tetapi berperan sebagai “subjek”, Artinya guru mengakui eksistensi siswa, seperti sistem pendidikan nasional yang digalakkan yaitu dari teacher centris menjadi student centris. Sejalan dengan program pemerintah, yaitu pendidikan karakter. Eksistensialisme menjadi dasar teoretis pengembangan karakter siswa, sikap mandiri, optimis terhadap kemampuan diri, kreatif, dapat ditransformasikan, dan diinternalisasikan kepada siswa.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Eksistensialisme Mohmad Iqbal dan Soren Aabye Kierkegaard (Dialog Pemikiran Timur dan Barat)
| 283
4.
Kesimpulan dan Saran
1)
Kesimpulan a. Rekonstruksi Eksistensialisme Muhammad Iqbal meliputi: Kritik terhadap Idealisme Plato, Konsep Takdir, konsep Ijtihad, dan konsep Diri. Sedangkan Eksistensialisme Soren Kierkegaard meliputi: Kritik terhadap Idealisme Hegel, Estetika, Etika, dan Religius. b. Eksitensialisme kedua tokoh memiliki persamaan pada kritiknya terhadap para filsof idealis, sangat memperhatikan kepada individualitas manusia, dan mendasarkan eksistensialis mereka pada eksistensi Tuhan. c. Eksistensialisme M. Iqbal sangat menekankan pada kesimbangan hidup jasmani-rohani, dunia dan ukhrawi sehingga menjadikan Tuhan sebagai Mitra Kerja (Co Worker). Sedangkan Kierkegard memandang Tuhan sebagai Bapak tempat mengadu dan memohon semua permohonannya.
2)
Saran a. Bagi para ilmuwan, khususnya yang berkaitan dengan studi Islam, penelitian ini dapat dijadikan salah satu metodolologi solusi alternatif pemecahan masalah. b. Bagi masyarakat luas diharapkan dapat melahirkan sikap toleransi yang tinggi antar agama, antar peradaban dan saling menghargai adanya perbedaan pendapat, sehingga tidak melahirkan konflik yang anarkis. c. Bagi peneliti yang akan datang dapat mengelaborasi lebih jauh pemikiran eksistensialisme kedua tokoh ini, terutama konsepnya tentang diri.
5.
Daftar Pustaka
Abudin Nata (2000) . Metodologi Studi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet.V Ahmad Syafi’i Maarif, (1983) “Iqbal: Dekrit Tuhan dan Jawaban Manusia” dalam Ahmad Syafi’i Maarif dan Mohammad Diponegoro (ed.), Percik-percik Pemikiran Iqbal.Yogyakarta: Shalahuddin Press, Cet. I Alasdair Mecyntere, (1967) Existensialism in Paul Edward. Encyclopedia of Philosophy, Vo. II Andy Dermawan, (2005) . Ibda Bi Nafsika . Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. I. Frederick S.J. Copleston, (1963) .A History of Philosophy. VII London: Search Press. Fuad Hassan, (1992) Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya, H.A. Mukti Ali, (1990). Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal. Jakarta: Bulan Bintang. Mohammad Iqbal,(1962) The Recontruction of Religious Thought in Islam. London: Oxford University, _____, Asrar-i khudi, tt.terj.Bahrum Rangkuti. Jakarta: Bulan Bintang, .(1982)Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam terj. Ali Audahdkk. Jakarta: Tintamas,
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
284 |
Rodlyah Khuzai, et al.
Muhammad Chirzin, (2004). Konsep dan Hikmah Akidah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I. N. S. J.Drijarkara, ,(1989) .Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan. Rodliyah Khuza’i, (2007), Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce .Cet. I, Bandung: Refika Zubaidi, dkk, (2007). Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, Cet. I, Jogjakarta: Ar-Ruz Media
6.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada LPPM Universitas Islam Bandung atas dibiayainya penelitian ini dengan Nomor kontrak 32/B-3/LPPM SP 3/II/2012 serta terlaksananya acara Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian 2012 ini dan kepada pihak Panitia Prosiding atas kerjasamanya untuk memuat makalah seminar terpilih.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora