Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590
PARADIGMA TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI YANG BERPIHAK TERHADAP MASYARAKAT KECIL: SEBUAH TELAAH AWAL 1
1
Eka An Aqimudin,
2
Arif Firmansyah
Staff Pengajar Fakultas Hukum UNISBA Jalan Rangga Gading No 8 2 Assisten Advokat PBKH UNISBA Jalan Tamansari 24 email: 1
[email protected], 2
[email protected].
Abstrak Dalam menggagas Tri Darma Perguruan Tinggi supaya bisa berjalan dengan baik, maka metode yang digunakan harus tepat. Metode yang digunakan sekarang yang memfokuskan kepada pandangan normatif (positivis) memperlihatkan bahwa hukum sibuk dengan melakukan penyelesaian berdasarkan undang-undang dan logika hokum semata. Sementara, yang dihadapi adalah kehidupan yang kompleks, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan logika hukum. Oleh karena itu, maka pandangan tersebut harus bergeser melalui gagasan kosentris, Tridarma Perguruan Tinggi menjadi satukesatuan atau tersatukan secara utuh. Kata kunci: Paradigma, Tri dharma, Masyarakat
1.
Pendahuluan
Pada saat ini pendidikan hukum di Indonesia telah dikuasai oleh model pendidikan liberal positivistik yang lebih mementingkan aspek pendidikan instan dan lebih mengedepankan rasio dan teknologi. Kondisi tersebut merupakan pengaruh paradigma pendidikan modern yang disokong oleh gelombang filsafat modern. Secara ideologis, pemikiran modern telah menciptakan spektrum ideologi pendidikan yang cukup luas dan beragam seperti konservatisme, liberalisme, fundamentalisme, intelektualisme, kapitalisme ataupun anarkisme. Pendidikan hukum yang diharapkan mampu mengatasi krisis manusia modern justru terjebak pada kepentingan sesaat dan terlalu berorientasi pada semangat duniawi. Sehingga tidak heran apabila dikatakan pendidikan hukum telah mati menemui ajalnya, karena pendidikan hukum hanya berorientasi kepada formalisme ( Anthon F. Susanto, 2010: 250-252). Pendidikan hukum yang disokong oleh gelombang filsafat modern yang mengedepankan nalar-logika sebagai alat utama untuk mengungkapkan kebenaran. Pendidikan hukum pada tingkat strata satu (S1) saat ini dikenal dengan model Lawyers law yaitu pendidikan hukum yang mengarahkan lulusannya menjadi sarjana siap pakai, efisien, serta pasti dengan kemampuan yang tercetak untuk menerapkan hukum positif. Ketika hukum dipahami sebagai domain professional, domain yang dibangun dari fondasi-fondasi keilmuan yang dikenal sebagai Ilmu Hukum Skematik; ilmu hukum yang dipilah dan dipreteli sampai kepada wilayah paling spesifik dari apa yang kita pahami. Metode seperti itu menjadikan ilmu hukum dikotak-kotakan sehingga apabila seorang mengambil kotak tertentu akan kesulitan memahami kotak yang lain (Anthon F. Susanto, 2007: 17-18). Metode pemikiran seperti itu sejalan dengan pemikiran Cartesian Newtonian dalam sains. Kelsen menerapkan pandangan tersebut dalam ilmu hukum sehingga melihat hukum hanya sebagai bangunan kotak-kotak dari perundangundangan (Satjipto Rahardjo, 2009: 12-13).
397
398 |
Eka An Aqimudin, et al.
Berdasarkan pandangan tersebut, pendidikan hukum sangat mengedepankan atau menunggalkan kecerdasan nalar dan konsep pendidikan hukum yang terpilah serta metode pendidikan hukum yang hanya mengarah kepada formalisme. Akibat dari pendidikan hukum yang mengedepankan nalar dan logika, berpengaruh terhadap metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian normatif. Penelitian normatif membahas membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum (H. Zainudin Ali, 2009: 24). Dalam pandangan normatif tersebut terlihat bahwa hukum sibuk dengan melakukan penyelesaian berdasarkan undang-undang dan logika hukum. Sementara, yang dihadapi adalah kehidupan yang kompleks, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan logika hukum. Akibat dari penelitian model tersebut, maka penelitian yang dihasilkan hanya berisikan teks-teks hukum yang sukar dipahami oleh orang yang bukan orang hukum (masyarakat luas). Pada akhirnya, ketika penelitian tersebut hendak diaplikasikan (dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat) akan mengalami kesulitan.
2.
Pembahasan
2.1
Pendidikan Hukum Berbasis Kemanusiaan
Menurut Driyarkara, pendidikan merupakan proses homonisasi dan humanisasi. Homonisasi artinya proses menjadi homo (manusia) sedangkan humanisasi adalah proses menjadi human (manusiawi) (Agus Suwignyo, 2009: 3). Sederhananya, tujuan pendidikan tidak lain untuk menciptakan manusia yang manusiawi. Pada titik ini dapat dilihat bahwa pendidikan tidak hanya berurusan pada nalar dan logika saja. Sebab, manusia pada dasarnya tidak hanya terdiri dari akal melainkan juga ruh, hati dan jiwa (Umiarso dan Zamroni, 2011: 70). Dengan demikian, pendidikan hukum harusnya juga diajarkan untuk tujuantujuan kemanusiaan. Sayangnya, menurut Satjipto Rahardjo, proses awal pendidikan hukum di Indonesia lebih menekankan kepada pembinaan keterampilan (professional) yang berbasis pada pengetahuan hukum dan cara-cara penggunaan hukum tersebut. Akibatnya, aspek-aspek kemanusiaan dan manusia yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan dan terdorong kebelakang (Uli Parulian Sihombing, 2010: 75). Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kepentingan kolonial pada saat itu yang membutuhkan sarjana-sarjana hukum Indonesia untuk ditempatkan pada lembaga-lembaga pengadilan sebagai pegawai pemerintah (ambtenaar) kolonial. Hukum pada akhirnya hanya sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan penjajah atas jajahanya. Pada tingkat filosofis, pola pendidikan hukum tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dari pengaruh paradigma positivisme hukum dalam pendidikan hukum. Fokus ilmu hukum kemudian direduksi hanya menjadi sekedar praktik rutin: bagaimana menjadi “legal craftsmanship” dan “legal mechanic” yang ahli menerapkan suatu peraturan terhadap kasus tertentu, namun tidak dapat mengembangkan dan memperbaiki sistem hukum (Widodo Dwi Putro, 2011: 3). Tentu saja tidak salah mempersiapkan peserta didik ilmu hukum di perguruan tinggi dengan keterampilan-keterampilan hukum, akan tetapi harus diimbangi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah, pada akhrinya hukum itu akan bermuara pada kemaslahatan manusia? Pengaruh positivisme hukum yang lain adalah menyakini bahwa hukum merupakan wilayah yang steril, terpisah dari moral (Widodo Dwi Putro, 2011: 5).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Paradigma Tri Dharma Perguruan Tinggi yang Berpihak terhadap Masyarakat Kecil: Sebuah Telaah Awal
| 399
Padahal, dalam kenyataannya ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai (ideologi) dan anasir-anasir non-hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Meuwissen bahwa, “dalam suasana hukum, maka Sein dan Sollen justru tidak dapat dipisahkan secara tajam” (B. Arief Sidharta, 2008: 8). Pada titik inilah, perlu dilakukan upaya kritik untuk mendobrak kemapanan pendidikan ilmu hukum yang telah dipengaruhi oleh aliran positivisme. Jalan keluarnya, melalaui studi kritis dengan teknik dekonstruksi a la Jacques Derrida. Dekonstruksi terhadap ilmu hukum merupakan strategi pembalikan untuk mencoba melihat makna istilah yang tersembunyi, yang kadang kala istilah tersebut telah cenderung diistimewakan melalui sejarah, meski dekonstruksi itu sendiri tetap berada pada hubungan istilah atau wacana tersebut (H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2007: 127). Upaya pembongkaran (dekonstruksi) tersebut harus terus dilakukan agar publik dapat melihat bahwa pemahaman atas ilmu hukum tidak hanya tunggal, yaitu postivisme. Masih ada pendekatan-pendekatan lain yang menandakan bahwa hukum itu bersifat plural atau majemuk Tamanaha berupaya untuk menujukkan bahwa hukum itu pada dasarnya tidak tunggal. Ia lalu mengelompokkan sistem peraturan (hukum) yang berkembang dalam masyarakat menjadi enam kelompok yaitu; sistem hukum positif, hukum kebiasaan, hukum agama, hukum fungsional, hukum ekonomi dan hukum komunitas (Muji Kartika Rahayu, 2012). Enam sistem hukum hasil pengelompokan Tamanaha tersebut dapat dilihat dalam realitas masyarakat Indonesia hingga saat ini. Maka dari itu, pendidikan hukum di perguruan tinggi harus mampu mengadopsi realitas empirik tersebut. Satjipto Rahardjo memberikan usulan dalam bentuk konkrit, yaitu dengan menciptakan kurikulum pendidikan hukum yang berorientasi pada manusia dan kemanusiaan. Sehingga, saat mahasiswa/mahasiswi masuk ke dunia pendidikan hukum maka yang pertama-tama diajarkan adalah tentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kemanusiaan dan manusia (Uli Parulian Sihombing, 2010: 75). 2.2
Peneletian Hukum: Mendayung di antara dua Karang
Proses pendidikan ilmu hukum di perguruan tinggi tidak berhenti pada tahapan transfer ilmu di dalam kelas. Pengembanganya perlu diperkaya melalui penelitianpenelitian hukum. Sayangnya, akibat dari pendidikan ilmu hukum di perguruan tinggi yang kental dengan positivisme, penelitian hukum yang dilakukan oleh para akademisi hukum ikut terpengaruh. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa hasil penelitian hukum hanya menghasilkan bertumpuk-tumpuk dokumen yang belum terlihat efeknya terhadap masyarakat. Data dari LPPM UNISBA bisa dijadikan alat ukur, berapakah persentase hasil peneltian yang berhasil diimplementasikan dalam bentuk nyata berupa pengabdian kepada masyarakat. Selama tahun 2011-2012, sebanyak 14 penelitian dosen fakultas hukum UNISBA tidak sampai berlanjut pada tahap implementasi berupa PKM. Fakta ini menunjukkan bahwa ada keterpisahan antara penelitian dengan PKM. Menurut Anthon F.Susanto, penelitian hukum harus berorientasi pada budaya, nilai-nilai, moralitas, konsep, asas yang hidup dalam realitas masyarakat Indonesia.
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
400 |
Eka An Aqimudin, et al.
Penelitian hukum juga harus memiliki orientasi terhadap masyarakat yang mengalami penindasan dan termarjinalkan (Anthon F. Susanto, 2012). Argumen di atas sejalan dengan makna pendidikan yang disampaikan oleh Y.B. Mangunwijaya bahwa pendidikan adalah upaya pemerdekaan manusia-manusia lemah dan tertindas, sungguhsungguh menjadi manusia yang merdeka, manusia yang tuan-tuan dan puan-puan sejati (Agus Suwignyo, 2009: 4). Penelitian hukum yang dominan saat ini dilakukan oleh akademisi ilmu hukum di Indonesia masih dikuasai oleh paradigma positivisme. Artinya, dalam penelitian ini terdapat hirarkis antara subjek (peneliti) dengan objek yang diteliti, dimana posisi subjek berada lebih tinggi daripada objek (Anthon F. Susanto, 2012). Penelitian tersebut berangkat dari anggapan bahwa objek penelitian (masyarakat) membutuhkan suatu aturan (hukum) baru atau bahkan memperkuat aturan-aturan yang telah ada. Akibatnya, penelitian dengan paradigma postivisme berputar pada kaidah normatif yang kemudian dengan nalar rasionalisme mencoba menemukan norma yang dibutuhkan masyarakat atau memperteguh norma yang telah ada. Inilah metode penelitian normatif-dogmatik. Selain peneltian hukum normatif-dogmatik, paradigma positivisme juga melahirkan apa yang disebut dengan penelitian empirik. Jenis penelitian ini berusaha mengadopsi metode penelitian yang digunakan dalam ilmu sains (alam). Dalam penelitian ini, hukum dapat dilihat sebagai variabel kuantitatif yang dapat dicerap oleh panca indera. Oleh karena itu, hukum direduksi menjadi fakta sosial sehingga dapat dipisahkan dengan variabel lain seperti nilai, ideologi, agama dan lainnya (Anthon F. Susanto, 2012). Pada titik inilah, kedua jenis penelitian hukum di bawah payung positivisme tersebut berupaya untuk menetralkan hukum dari anasir-anasir di luar hukum. Pada hal, seperti telah dituliskan sebelumnya, ilmu hukum pada realitasnya tidak mungkin dapat dipisahkan dengan unsur-unsur di luar hukum. Dengan demikian, argumen bahwa ilmu hukum bersifat netral adalah sebuah utopia kalau tidak mau disebut ilusi. Oleh karena itu, perlu dirintis suatu penelitian hukum di luar pendekatan normatif-dogmatik maupun empirik. Hal ini tidak berarti bahwa kedua model penelitian tersebut tidak berguna. Melainkan, untuk memberikan alternatif lain kepada para peneliti ilmu hukum. Meminjam judul buku dari Mohammad Hatta (Mohammad Hatta 1976), salah seorang proklamator Indonesia, pencarian model peneletian alternatif tersebut ibarat mendayung diantara dua karang, yakni normatif-dogmatik dan empirik. Anthon F. Susanto telah menggulirkan upaya penelitian hukum alternatif tersebut. Beliau mengusulkan agar penelitian hukum diarahkan agar memiliki tujuh karakteristik khusus, yaitu: normologis (tidak dogmatik), kolaboratif, kritis, partisapatif, emansipatif, transformative dan transgresif (Anthon F. Susanto, 2012). Normologis bermakna bahwa penelitian penelitian hukum tetap bersifat normatif namun tetap dikaitkan dengan nilai. Kolaboratif dimaknai bahwa peneltian hukum mengkaji kegiatan-kegiatan manusia yang terkait dengan hukum, dengan kata lain melibatkan masyarakat. Kritis diartikan bahwa penelitian hukum harus masuk ke wilayah-wilayah pembahasan soal diskriminasi, ketidakadilan dan lainnya. Partisipatif yaitu bagaimana sikap memposisikan diri seorang peneliti terhadap realitas hukum dan sosial, Emansipatif adalah memposisikan sederajat antara subjek dengan objek penelitian. Transformatif yaitu penelitian hukum yang mengangkat isu sebuah sistem yang
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Paradigma Tri Dharma Perguruan Tinggi yang Berpihak terhadap Masyarakat Kecil: Sebuah Telaah Awal
| 401
menindas atau memarjinalkan masyarakat. Transgresif adalah penelitian tidak bersifat mono disiplin akan tetapi multi disiplin (Anthon F. Susanto, 2012). Model penelitian hukum tersebut diharapkan dapat memberikan kemanfaatan yang berpihak pada kepentingan masyarakat marjinal dan terbelakang. Pergeseran paradigm hukum sebagaimana dijelaskan diatas dapat digambarkan melalui ragaan sebagai berikut:
Pengabdian kepada masyarakat Pendika kan
Pendidikan Hukum
Abstrak penelitian
p
Penelitian Hukum
Pengkongkritan bergeser
pendidikan
Pengabdian Kepada Masyarakat Konkrit Lingkar Kosentris Gambar 1 Pergeseran paradigm hukum
Dalam gambar diatas terlihat bahwa dalam konsep positivisme hukum relasi antara Pendidikan, Hukum, Penilitian Hukum dan pengabdian kepada masyarakat bersifat hierarkis dari abstrak, pengkongkritan sampai konkrit. Namun dalam perkembangannya konsep tersebut harus mengalami pergeseran supaya konsep hukum bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Melalui gagasan Kosentris relasi (pendidikan hukum, penelitian hukum, pengabdian kepada masyarakat) tidak lagi bersifat hierarkis, melainkan menjadi satukesatuan atau tersatukan secara utuh. Setiap analisis akan selalu bergerak dari analasis yang mendasar (pendidikan) menuju kearah analisis yang bersifat materil (penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Arah dari model penjelasan demikian dapat dilakukan secara bolak-balik, dari arah mana kita mulai maka analisis akan bergerak melingkar menyentuh bagian-bagian yang ada di sekelilingnya (Anthon F. Susanto, 2012). 2.3
Menentukan Titik Fokus Pengabdian Kepada Masyarakat
Konsekuensi dari model pendidikan dan penelitian hukum di atas akan menghasilkan pola pengabdian yang fokus pada kepentingan masyarakat yang termarjinalkan. Kelompok masyarakat inilah yang harus jadi muara dari pendidikan dan
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
402 |
Eka An Aqimudin, et al.
peneletian hukum, sebab mereka merupakan kelompok yang rentan terkena akibat hukum yang sewenang-sewenang. Pasal 1 butir (10), UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mendefinisikan pengabdian kepada Masyarakat (PKM) sebagai kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengertian formal PKM di atas mencoba bersifat netral yaitu membayangkan efek PKM akan mensejahterakan semua masyarakat. Padahal, sulit untuk mengukur apa yang dimaksud dengan kesejahteraan masyarakat secara umum. Untuk itu, harusnya PKM difokuskan pada kelompok masyarakat tertentu. Ini bukannlah suatu perlakuan yang tidak adil, melainkan bentuk pemberdayaan (perlindungan) hukum terhadap masyarakat lemah (ekonomi, politik dan lainnya) Redaksional tentang PKM tersebut kembali diulang dalam Pasal 47 ayat (1) UU. No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa Pemerintah memang menaganggap bahwa PKM sekedar mengaplikasikan hasil-hasil penelitian didasarkan pada basis rasionanalitas (kegiatan ilmiah). Keberpihakan dengan demikian menjadi sesuatu yang tidak ilmiah (dalam paradigma positivismee) sehingga perlu dihindari dalam melakukan kegiatan PKM. PKM saat ini harus ditujukan untuk memberikan dorongan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tertindas dan marjinal (lemah). Kelompok masyarakat ini harus diutamakan sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengakses hukum. Akan tetapi, kelompok lemah di sini tidak diartikan dalam konsep kelas versi Karl Marx yang membedakan antara kelas borjuis dan proletar berdasarkan ekonomi. Masyarakat tertindas (mustadafin) yang digunakan adalah konsep kelas menurut Muthahhari, yang membedakan antara kelas Mustadafin (masyarakat tertindas) dengan kelas Mustakbirun. Dalam konsep tersebut, Muthahhari memperluas konsep masyarakat tertindas tidak hanya dari sisi ekonomi saja seperti Marx (Murthada Muthahhari, 2012). Dengan demikian, bentuk pemihakan terhadap masyarakat tertindas lebih bersifat struktural, yaitu kelompok masyarakat yang secara struktural dilemahkan oleh yang menindas. Latar belakang ini menghasilkan gerakan bantuan hukum struktural yang berkembang di Indonesia sekitar tahun 1970-an yang kemudian melahirkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Kelompok marjinal dalam pengertian inilah yang harus dituju oleh kegiatan PKM di Perguruan Tinggi. Model seperti tersebut bisa tercipta apabila kegiatan pendidikan dan penelitian hukum tidak terjebak pada dominasi paradigma positivismee itu. Inilah mengapa bahwa antara Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Tri Darma Perguruan Tinggi) merupakan suatu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Sehingga, model PKM yang ada saat ini jelas-jelas merupakan turunan dari model pendidikan dan penelitian hukum kontemporer.
3.
Simpulan
Supaya Tri Dharma Perguruan Tinggi bisa berjalan dengan baik maka metode yang digunakan harus tepat. Metode yang digunakan sekarang yang memfokuskan pada pandangan normatif (positivis) tersebut terlihat bahwa hukum sibuk dengan melakukan penyelesaian berdasarkan undang-undang dan logika hukum. Sementara, yang dihadapi
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Paradigma Tri Dharma Perguruan Tinggi yang Berpihak terhadap Masyarakat Kecil: Sebuah Telaah Awal
| 403
adalah kehidupan yang kompleks, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan logika hukum. Oleh karena itu, maka pandangan tersebut harus bergeser melalui gagasan kosentris, Tridarma Perguruan Tinggi menjadi satukesatuan atau tersatukan secara utuh. Setiap analisis akan selalu bergerak dari analasis yang mendasar (pendidikan) menuju kearah analisis yang bersifat materil (penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Arah dari model penjelasan demikian dapat dilakukan secara bolak-balik, dari arah mana kita mulai maka analisis akan bergerak melingkar menyentuh bagian-bagian yang ada di sekelilingnya, sehingga Tridarma Perguruan Tinggi tersebut dapat memberikan manfaat lebih terhadap masyarakat.
4.
Daftar Pustaka
A. Buku
Agus Suwignyo, Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, Erlangga, Jakarta, 2000. Anthon F. Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum KonstruktifTransgresif, Cet 1, Refika Aditama, Bandung, 2007. ,Ilmu Hukum Non Sistematok Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia, Cet 1, Genta Publising, Yogyakarta, 2010. B. Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum,Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008. FX. Adji Samekto, Studi Hukum Kritis; Kritik terhadap Hukum Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. H. Zainudin Ali , Metode Penelitian Hukum, Cet 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Mohammad Hatta, Mendayung antara Dua Karang, Bulan Bintang, Jakarta, 1976. Murthada Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Rausyanfikr Institute, Yogyakarta, 2012. R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2007 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Cet 1, Bayumedia, Malang, 2009. Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan; Dalam Perspektif Barat dan Timur, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2011. Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivismee Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011.
ISSN 2089-3590 | Vol 3, No.1, Th, 2012
404 |
B.
Eka An Aqimudin, et al.
Sumber jurnal dan sumber lain
Anthon F. Susanto, Menggagas Penelitian Hukum Yang Berpihak Pada Masyarakat, Disampaikan pada Konferensi Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Semarang, 2012. Muji Kartika Rahayu, A Balanced Realism; Menghidupi Pluralisme Hukum Menurut Brian Z. Tamanaha, Disampaikan dalam Konferensi ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Semarang, 2012. Uli Parulian Sihombing, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1, ILRC, Jakarta, 2010.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora