perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh: Imaduddien Sobri G0106008
Pembimbing: 1. Dra. Salmah Lilik, M. Si 2. Tri Rejeki Andayani, S. Psi, M. Si
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi Di Kabupaten Bantul
Nama Peneliti
: Imaduddien Sobri
NIM
: G0106008
Tahun
: 2006
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari: Kamis, tanggal 08 Desember 2010
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping,
Dra. Salmah Lili, M. Si.
Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si.
NIP. 194904151981032001
NIP. 197401091998022001
Koordinator Skripsi,
Rin Widya Agustin, M. Psi. NIP. 197608172005012002
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan judul: Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat Tetap Akibat Gempa Bumi di Kabupaten Bantul Imaduddien Sobri, G0106008, Tahun 2006 Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari : Tanggal :
1. Pembimbing I Dra. Salmah Lilik, M. Si. NIP. 194904151981032001
(________________)
2. Pembimbing II Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. NIP. 197401091998022001
(________________)
3. Penguji I Dra. Machmuroch, M. S. NIP. 195306181980032002
(________________)
4. Penguji II Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. NIP. 197603232005011002
(________________)
Surakarta, ________________
Koordinator Skripsi,
Ketua Pengelola,
Rin Widya Agustin, M. Psi. NIP. 197608172005012002
Drs. Hardjono, M. Si. NIP. 195901191989031002
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Tidak ada seorangpun yang mampu merubah dunia dengan kekuatannya, yang dapat dilakukan adalah berdamai dengan kenyataan yang kita dapati. (Penulis)
“Tuhan, karuniakanlah diriku ketentraman batin untuk dapat menerima hal-hal yang takkan mungkin kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya” (Barry Spilchuk)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan karya sederhana ini kepada : Ibu dan Bapak tercinta atas keikhlasan dan kesabarannya. Adik-adik penulis, atas motivasinya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat, hidayah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya sederhana ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada : 1. Drs. Hardjono, M. Si. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dra. Suci Murti Karini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan selama penulis belajar 3. Dra. Salmah Lilik, M. Si. selaku pembimbing utama yang telah berkenan memberikan pengarahan, saran serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini. 4. Tri Rejeki Andayani, S. Psi., M. Si. selaku pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dra. Machmuroch, M. S. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Nugraha Arif Karyanta, S. Psi. yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan pengarahan, petunjuk dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi yang telah memberikan ilmu dan kemudahan dalam proses penyusunan skripsi ini. 8. Drs. Sulistiyo, S.H., CN., M. Si. selaku Kepala Dinas Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada peneliti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Deabby S. Psi. selaku Kepala Pendampingan Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat Pundong, Bantul, Yogyakarta, atas segala pelayanan dan bimbingannya. 10. Seluruh klien PRTPC yang telah bersedia menjadi responden penelitian dan atas keceriaan yang telah kita ukir bersama. 11. Seluruh pihak Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. 12. Ibunda Dra. Wahyuningsih dan Ayahanda Drs. Umar Sobri yang kusayang dan hormati atas segala cinta kasih, dukungan, pengorbanan dan doa untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah hingga selesai. 13. Adik-adikku Izuddien dan Inase yang senantiasa memberi motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 14. Sahabat-sahabatku Dika, Eli, Candra, Redy, Akbar, Wildan, Burhan, Prehaten, Gendig dan kawan-kawan Psikologi 2006 yang selalu memberikan keceriaan di tiap langkah. 15. Kawan-kawan BEM FK UNS 2007, BEM FK UNS 2008 dan Dewan Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS 2009 yang telah berjuang bersama dalam segala langkah. 16. Kawan-kawan Yayasan Psikologi Bina Asih Yogyakarta yang telah memberikan dorongan, semangat, dan kelonggaran sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
Harapan penulis, semoga karya sederhana ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat khususnya bagi perkembangan dunia psikologi serta tidak terhenti pada penelitian ini saja. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Januari 2011 Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAKSI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA DENGAN PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT TETAP AKIBAT GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL Imaduddien Sobri PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Gempa Bumi tanggal 27 Mei 2006 mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah dengan pusat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyisakan duka yang mendalam bagi para korban, sebagian di antaranya mengalami kecacatan tetap. Banyak di antara korban yang kini menyandang kecacatan tetap belum dapat menerima diri. Salah satu faktor yang membantu penyandang cacat tetap menerima diri adalah dukungan sosial, terutama dari keluarga. Aspek yang paling mendasar dari dukungan sosial adalah dukungan emosional. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul. Hipotesis yang diajukan ada hubungan positif antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa. Populasi penelitian ini adalah seluruh penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul yang jumlahnya tidak dicatat secara pasti, namun menurut data Departemen Sosial Kabupaten Bantul, diperkirakan berjumlah 300 orang. Sampel yang digunakan adalah penyandang cacat tetap yang menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat, Pundong, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 30 orang. Sampling yang digunakan purposive insidental sampling. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan Emosional Keluarga. Analisa data menggunakan analisis regresi sederhana. Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,527; p = 0,003 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap sebesar 27,8%. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Artinya, semakin tinggi atau banyak dukungan emosional keluarga yang diperoleh, maka akan semakin tinggi penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul. Kata kuci: dukungan emosional keluarga, penerimaan diri penyandang cacat tetap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT CORRELATION BETWEEN FAMILY EMOTIONAL SUPPORT AND SELF ACCEPTANCE OF PERMANENT DISABLED DUE TO EARTHQUAKE IN BANTUL Imaduddien Sobri PSYCHOLOGY DEPARTEMENT, MEDICAL FACULTY SEBELAS MARET UNIVERSITY, SURAKARTA, INDONESIA May 27, 2006 an earthquake with epicentrum at Bantul, Yogyakarta has devastated Yogyakarta Central Java region. The earthquake leaves great sorrows for the victims, much of them become permanent disabled, and until now, any of them can’t accept their disabilities. A factor which increase self acceptance was social support, especially from their family as their significant other, and the basic aspect of social support is emotional support. Fomulation of the problem in this research is: “Is there any correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled?” Our objectives was to examine correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance of the earthquake victims. Our hypothesis was there are a positive correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance. This research use every victims of May 27 2006 who was permanently disabled and live in Bantul, Yogyakarta (approximately 300 people). This research use purposive incidental sampling, with 30 attendant of “Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat” (Integrated Rehabilitation Centrum for Disabled), Pundong, Bantul, Yogyakarta, as sample. Data taken by Disabled’s Self Acceptance Scale and Family Emotional Support Scale. Data analyzed with simple regression analysis. This research result correlation coefficient (r) = 0,527; p = 0,003 (p<0,05), means there are a significant positive correlation between family emotional support and permanent disabled’s self acceptance. Family emotional support contribute 27,8% factor of permanent disabled’s self acceptance. The conclusions is there are a positive correlation between family emotional support and self acceptance of permanent disabled. That means more family emotional support accepted, increase the self acceptance of permanent disabled. Keyword: family emotional support, self acceptance of permanent disabled
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN
i
HALAMAN JUDUL
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
iii
HALAMAN PENGESAHAN
iv
HALAMAN MOTTO
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
vi
KATA PENGANTAR
vii
ABSTRAK
ix
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah
10
C. Tujuan Penelitian
10
D. Manfaat Penelitian
11
BAB II. LANDASAN TEORI A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat
12
1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat
12
2. Pentingnya Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat
18
3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri pada Penyandang Cacat
20
4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Diri
27
5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri
30
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
36
B. Dukungan Emosional Keluarga
43
1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga
43
2. Aspek-Aspek dalam Dukungan Emosional
44
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat
47
D. Kerangka Pemikiran
50
E. Hipotesis
52
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian
53
B. Definisi Operasional Variabel
53
C. Populasi, Sampel dan Sampling
55
D. Teknik Pengumpulan Data
57
E. Metode Analisis Data
60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian
63
1. Orientasi Kancah Penelitian
63
2. Persiapan Penelitian
65
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
69
B. Pelaksanaan Penelitian
76
C. Hasil Analisis Data Penelitian
77
1. Deskripsi Responden Penelitian
77
2. Deskripsi Statistik
77
3. Uji Asumsi
80
4. Uji Hipotesis
81
D. Pembahasan
83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
88
B. Saran
88
DAFTAR PUSTAKA
90
LAMPIRAN
94
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1: Blue Print Skala Penerimaan Diri
58
Tabel 2: Blue Print Skala Dukungan Emosional
60
Tabel 3: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
70
Tabel 4: Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat Setelah Uji Coba
72
Tabel 5: Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional Keluarga
74
Tabel 6: Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah Uji Coba
75
Tabel 7: Deskripsi Responden Penelitian Berdasarkan Usia
77
Tabel 8: Deskripsi Statistik Data Penelitian
78
Tabel 9: Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap 79 Tabel 10: Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga
79
Tabel 11: Hasil Uji Normalitas
80
Tabel 12: Rangkuman Hasil Uji Linearitas
81
Tabel 13: Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional Keluarga dan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar I: Skema Penerimaan Diri Menurut Glaser (1966)
20
Gambar II: Kerangka Konseptual Pemikiran
52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman A. Alat Ukur Penelitian Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat dan Skala Dukungan Emosional Keluarga
96
B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian 1. Data Hasil Uji Coba Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
104
2. Data Penelitian Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
105
3. Data Hasil Uji Coba Skala Dukungan Emosional Keluarga
106
4. Data Penelitian Skala Dukungan Emosional Keluarga
107
C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian 1. Hasil Uji Validitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
109
2. Hasil Uji Validitas Skala Dukungan Emosional Keluarga
115
3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat
120
4. Hasil Uji Reliabilitas Skala Dukungan Emosional Keluarga
122
D. Analisis Data Penelitian 1. Hasil Uji Normalitas
125
2. Hasil Uji Linearitas
126
3. Hasil Deskriptif dan Distribusi Frekuensi
128
4. Hasil Analisis Uji Regresi Linear Sederhana
129
E. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian 1. Surat Permohonan Ijin Penelitian ProdiPsikologi FK UNS
132
2. Surat Pemberitahuan Penelitian Bakesbangpol Linmas Jateng
133
3. Surat Rekomendasi Ijin Penelitian dari Bakesbang Linmas DIY
135
4. Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah DIY
136
5. Nota Dinas dari Dinas Sosial Propinsi DIY
137
6. Surat Tanda Bukti Penelitian dari Dinas Sosial DIY
138
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Gempa bumi yang mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada hari Kamis 27 Mei 2006 telah lama berlalu menyisakan kenangan pahit bagi para korbannya. Gempa bumi berkekuatan 5.9 skala Richter yang berpusat di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul ini telah memporakporandakan beberapa kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa bumi ini juga memakan banyak korban, terhitung sebanyak 6.234 warga meninggal dunia dan lebih dari 50.000 warga lainnya mengalami luka-luka, baik luka ringan, sedang, hingga berat (http://www.wikipedia.org). Banyak di antara korban luka pada gempa bumi Yogyakarta mengalami kecacatan permanen. Tingkat kecacatan tersebut bermacam-macam, mulai dari kehilangan anggota gerak, kehilangan anggota badan, infeksi menetap pada anggota badan, hingga kelumpuhan total. Para korban gempa bumi tersebut sebagian besar juga kehilangan tempat tinggal, terhitung lebih dari 1,3 juta jiwa kehilangan tempat tinggal mereka (IOM Indonesia Newsletter, Agustus 2006). Kabupaten Bantul sebagai kabupaten yang mengalami kerusakan paling parah dalam bencana gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 juga menjadi kabupaten dengan jumlah korban paling banyak. Data dari Kabupaten Bantul tercatat sebanyak 3.098 korban meninggal dunia dan 6.437 korban mengalami luka berat yang diperkirakan akan mengalami kecacatan seumur hidupnya dan lebih banyak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lagi korban yang mengalami luka sedang yang diperkirakan akan mengalami kecacatan sementara (http://www.atmajaya.ac.id). Bagi banyak korban yang selamat dari maut pada kejadian tersebut, menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat Gempa bumi sangatlah menyakitkan dan sulit diterima. Kehilangan rumah, harta benda, sanak saudara, dan bahkan bagi sebagian orang harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus mengalami kecacatan untuk selamanya merupakan suatu cobaan yang sangat berat (Akbar dan Afiatin, 2009). Terlebih bagi korban yang mengalami cacat fisik, selain telah kehilangan sanak saudara dan harta benda, kecacatan yang dialami juga mengubah keadaan hidup mereka, baik secara fisik maupun psikologis. Jumlah penyandang cacat tetap akibat gempa bumi Yogyakarta cukup banyak. Menurut Harian Suara Merdeka, terdapat 1.500 orang korban gempa bumi yang harus mengalami kecacatan seumur hidup, dengan jumlah terbesar adalah korban yang berasal dari Kabupaten Bantul. Data dari Dinas Sosial Kabupaten Bantul menunjukkan, hingga bulan November 2009 di Kabupaten Bantul tercatat sekitar 300 warga di Kabupaten Bantul yang masih menjalani perawatan karena mengalami kecacatan (www.sosial.bantulkab.go.id). Versi lain menurut data dari Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Bantul menyebutkan, hingga bulan Februari 2010, tercatat 900 warga Kabupaten Bantul yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul. Sebagian besar dari jumlah tersebut mengalami kecacatan permanen, mulai dari tidak sempurnanya keseluruhan atau sebagian bentuk tubuh, kehilangan sebagian atau keseluruhan organ tubuh,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kehilangan anggota gerak, paraplegia atau kelumpuhan tubuh bagian bawah akibat terjadi penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang, hingga tetraplegia atau kelumpuhan yang disebabkan cedera pada tulang belakang yang menyebabkan hilangnya seluruh penggunaan dari semua anggota badan dan dada yang terutama diakibatkan oleh penekanan terhadap sistem saraf pusat akibat fraktur pada tulang belakang bagian atas (bagian leher). Sebanyak 20 orang dari 900 orang yang masih menjalani fisioterapi di PMI cabang Bantul rawan depresi. Hal ini dilihat dari fakta bahwa 20 orang tersebut pernah melakukan percobaan bunuh diri (http://www.indosiar.com). Berbagai kecacatan yang dialami oleh korban gempa bumi di Kabupaten Bantul tersebut mengakibatkan berbagai reaksi. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh penyandang cacat akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul pernah beberapa kali terjadi. Selain kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri, ada pula penyandang cacat tetap yang berkeinginan kuat untuk sembuh. Terlalu besarnya keinginan untuk sembuh membuat penyandang cacat tersebut berusaha mencari jalan untuk sembuh dari kecacatannya dengan cara-cara tidak ilmiah yang membahayakan bagi dirinya sendiri. Berikut ini adalah contoh kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Bantul: Contoh kasus pertama dialami oleh seorang gadis belia berusia 23 tahun berinisial ”Sum” yang beralamat di Dusun Pandean, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. ”Sum” yang terpaksa menjalani amputasi kaki kanan hingga sebatas lutut akibat infeksi patah tulang terbuka yang dia alami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada saat terjadi gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Akibat tidak tahan lagi dengan kecacatan yang dia derita, pada tanggal 04 Oktober 2006, ”Sum” melakukan tindakan nekad dengan membakar dirinya sendiri dengan menggunakan bensin. ”Sum” yang ditemukan dalam kondisi luka bakar serius kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta (http://www.indosiar.com). Contoh kasus kedua dialami oleh ”ES”, seorang gadis berusia 26 tahun yang tinggal di Desa Kranggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Sebelum terjadi gempa bumi Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006, “ES” dikenal sebagai seorang sarjana MIPA yang banyak beraktivitas dan supel dalam pergaulan. “ES” bahkan bersama dengan kekasihnya telah merencanakan pernikahan yang sedianya akan segera dilaksanakan. Namun Tuhan berkehendak lain, pada saat gempa bumi terjadi, “ES” terjatuh dan tertimpa tembok rumahnya sehingga mengalami patah tulang belakang yang mengakibatkan paraplegia, sehingga “ES” mengalami kelumpuhan anggota gerak bagian bawah. Kelumpuhan yang dialami membuat “ES” kehilangan banyak hal yang dahulu dapat dinikmatinya. Keterbatasan fisik membuat “ES” tidak dapat beraktivitas seperti dahulu, menganggap dirinya tidak berguna, hingga puncaknya adalah pada saat keluarga kekasihnya tidak mau menerima keadaan fisiknya sekarang. Merasa kecewa, “ES” kemudian nekad mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadi tangan. Usaha bunuh diri pertama kali gagal karena perawat menemukan “ES” dalam kondisi bersimbah darah. Tidak puas dengan usaha pertama, “ES” mencoba melakukan usaha kedua dengan cara yang sama, namun sekali lagi usaha tersebut gagal karena perawat menemukannya dalam kondisi kritis. Usaha ketiga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan “ES” dengan jalan yang sama, namun mengalami kegagalan karena diketahui oleh salah seorang kerabatnya. Contoh kasus yang ketiga dijumpai di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso, Surakarta, yaitu seorang laki-laki bernama ”S” yang ditinggalkan oleh istrinya karena ”S” mengalami paraplegia akibat fraktur pada tulang belakangnya. Istri ”S” menyatakan bahwa akan pergi hingga ”S” bisa berjalan lagi. Keinginan untuk dapat berkumpul dengan istrinya membuat ”S” melakukan segala cara agar dapat berjalan kembali. Berbekal informasi dari seorang rekan, ”S” melakukan terapi bagi dirinya sendiri, yaitu dengan merendam kaki hingga sebatas paha dengan air hangat. Namun, karena saraf di daerah kaki ”S” sudah tidak dapat berfungsi lagi, maka ”S” tidak dapat merasakan panas dari air yang digunakannya. ”S” kemudian menambah air panas pada air yang digunakannya. Alhasil, kaki ”S” mengalami luka bakar grade II dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan kelumpuhan yang dialami tidak juga sembuh. Ketiga kasus yang telah dipaparkan di atas mencerminkan bahwa banyak di antara penyandang cacat akibat gempa bumi Yogyakarta yang belum dapat menerima diri. Beberapa penyandang cacat tetap yang belum dapat menerima kecacatannya ada yang memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali normal, sehingga melakukan cara-cara yang kurang rasional untuk mencapainya. Hal ini dapat dilihat dari paparan kasus ketiga. Selain itu, ada pula beberapa penyandang cacat tetap yang kehilangan harapan hidup, sehingga melakukan tindakan nekad dengan berusaha mengakhiri hidupnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya penerimaan diri seseorang. Anderson (1959) menyatakan bahwa self acceptance (penerimaan diri) penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa kita. Menurut Calhoun dan Acocella (dalam Badaria dan Astuti, 2004), penerimaan diri merupakan aset pribadi yang berharga karena mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu, sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi. Orang-orang yang penerimaan dirinya positif, berarti orang itu mampu memahami dirinya dan menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain, dalam menerima dirinya sendiri, seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat sesuai dengan Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah faktor utama yang membentuk kepribadian yang sehat. Penerimaan individu terhadap cacat yang mereka alami berbeda-beda, dan sering kali tidak sebanding lurus dengan tingkat kecacatannya. Hal ini dikarenakan sikap-sikap mereka dipengaruhi oleh situasi sosial yang lebih luas. Setiap individu yang cacat fisik memiliki kebutuhan emosional khusus, kemampuan bawaan, dan latar belakang pengalamannya sendiri. Jika penyandang cacat dengan cacat fisiknya diterima oleh orang-orang yang berarti dalam lingkungannya, maka ini merupakan kesempatan yang baik untuk bisa menerima cacatnya dan mengatur cara menyesuaikan diri dengan cacatnya. Sebaliknya, apabila individu tersebut ditolak atau dilindungi secara berlebihan, maka persepsi terhadap dirinya sendiri berupa kebencian atau perasaan kasihan terhadap diri sendiri karena kecacatan tersebut (Semiun, 2006). Kepercayaan masyarakat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap kecacatan juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat, misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai suatu aib dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus disembunyikan dari penglihatan warga lainnya. Hal ini menyebabkan penyandang cacat tidak dapat menerima kecacatannya (Kasim, 2002). Menurut Semiun (2006), dampak cacat fisik tidak jelas dan langsung, namun sampai batas tertentu, cacat itu ditentukan oleh hubungan-hubungan antarpribadi yang dialami oleh orang-orang yang cacat. Dengan kata lain, respon, sikap, serta perlakuan keluarga dan orang-orang yang penting dalam lingkungan sangat mempengaruhi reaksi-reaksi tingkah laku individu terhadap cacat fisik yang dialami. Reaksi orang-orang di lingkungan penyandang cacat menurut Schuster dan Ashburn (1992) dapat berupa penolakan (rejection), idealisasi (idealization), merasa kasihan, dan dapat pula berupa penerimaan secara realistis (realistic acceptance). Reaksi penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa upaya menyingkirkan individu penyandang cacat. Cara yang ditempuh seperti memasukkan penyandang cacat ke yayasan yang mengurusi penyandang cacat, menitipkan di tempat saudara lain, hingga menelantarkan begitu saja. Reaksi idealisasi berupa penolakan terhadap kecacatan yang disandang oleh individu penyandang cacat, dan senantiasa berusaha membuat penyandang cacat tersebut dapat menjadi normal kembali sesuai dengan keinginan mereka. Reaksi merasa kasihan termanifestasi dalam memberikan perhatian yang sangat berlebihan kepada penyandang cacat, hingga mengurangi kewajiban namun menambah hak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang harus diperoleh penyandang cacat. Adapun reaksi penerimaan realistis termanifestasi dalam sikap memberikan pengarahan menuju kehidupan mandiri penyandang cacat. Reaksi penerimaan realistis oleh lingkungan akan berupa sikap-sikap penerimaan terhadap penyandang cacat. Adapun sikap penerimaan terhadap penyandang cacat dapat berupa pemberian dukungan sosial yang menurut House (dalam Smet, 1994) memiliki aspek atau bentuk tertentu. Bentuk atau aspek tersebut meliputi (1) Dukungan Emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan; (2) Dukungan Penghargaan, meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu seseorang untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain yang berfungsi untuk menambah penghargaan diri; (3) Dukungan Instrumental, mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang dibutuhkan orang lain; (4) Dukungan Informatif, meliputi pemberian nasihatnasihat, petunjuk, saran-saran dan umpan balik. House (dalam Corneil, 1998) juga menilai bahwa dukungan emosional sebagai bentuk yang paling penting dari dukungan sosial karena merupakan dasar dari ketiga bentuk dukungan yang lain. Hal ini didapatkan dari kenyataan bahwa aspek-aspek dukungan emosional seperti perasaan empati, kepedulian, dan kemampuan untuk mendengarkan merupakan dasar yang nantinya akan menggerakkan orang-orang di lingkungan seorang individu untuk memberikan aspek-aspek lain dalam dukungan sosial kepada individu yang bersangkutan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Reaksi lain yang mungkin ditampilkan oleh orang-orang di lingkungan penyandang cacat adalah penolakan. Penolakan terhadap penyandang cacat dapat berupa
menyembunyikan
penyandang
cacat
tersebut
dari
lingkungan,
membedakan hak dan kewajiban penyandang cacat tersebut dengan individu lain di lingkungannya, hingga membuang penyandang cacat tersebut baik dengan cara yang halus (menitipkan ke yayasan pembinaan orang cacat) ataupun dengan cara yang kasar (membiarkan menggelandang, dan lain-lain). Perlakuan orang-orang tersebut sangat berpengaruh terhadap penerimaan diri sang penyandang kecacatan, mengingat tidak mungkin seorang penyandang cacat dapat menerima dirinya dengan kecacatannya jika orang-orang di lingkungannya tidak menerima kehadirannya. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya dukungan emosional keluarga bagi penyandang cacat tetap. Dukungan emosional sangat diperlukan untuk mempersiapkan penyandang cacat untuk menghadapi realita kecacatan yang akan disandang seumur hidupnya. Dukungan emosional membuat penyadang cacat tetap menjadi lebih mampu menerima diri sehingga tidak lagi mencari jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya atau mencoba cara-cara yang irasional yang berbahaya karena keinginan untuk sembuh dari kecacatannya. Mencermati fenomena yang telah dipaparkan, serta melihat pentingnya dukungan emosional untuk meningkatkan penerimaan diri penyandang cacat tetap, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap? 2. Berapakah sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat pada korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan tetap. 2. Untuk mengetahui berapa besar sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Manfaat teoritis yang didapatkan dari peneilitian ini adalah: 1. Manfaat bagi keilmuan Psikologi untuk membuktikan adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri korban gempa bumi di Kabupaten Bantul yang mengalami kecacatan permanen. 2. Manfaat bagi dunia penelitian, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran baru untuk dapat dikembangkan lebih jauh lagi dalam mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri individu penyandang cacat tetap.
Adapun manfaat praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang penyandang cacat tetap, agar dapat memberikan perhatian dan perlakuan terutama dari segi emosional untuk mendukung anggota keluarga yang menyandang kecacatan tetap dalam mencapai penerimaan diri yang positif. 2. Bagi institusi yang melaksanakan rehabilitasi kepada penyandang cacat agar dapat merancang berbagai pendekatan khususnya yang berbasis pemberian dukungan emosional dengan pemberdayaan masyarakat agar dapat membantu penyandang cacat tetap mencapai penerimaan diri yang positif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Penerimaan Diri Penyandang Cacat 1. Pengertian Penerimaan Diri Penyandang Cacat Penerimaan diri menurut Corsini (1999) adalah pengakuan atas kemampuan dan prestasi pribadi, bersama dengan pengakuan dan penerimaan keterbatasan pribadi. Kurangnya penerimaan diri secara umum dianggap sebagai ciri utama gangguan emosional. Menurut Rubin (1982), penerimaan diri merupakan sikap merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan pada dirinya. Hal ini sejalan dengan Pannes (dalam Hurlock, 1973), yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah ungkapan rasa penghargaan yang ditujukan pada kenyataan diri sendiri. Burns (1985) dan Johnson (1993) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tidak adanya sikap sinis mengenai diri sendiri. Chaplin (1999) mengatakan penerimaan diri adalah sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, serta pengetahuan-pengetahuan akan keterbatasan-keterbatasan nya sendiri. Sartain (1973) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan kemauan individu untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan untuk mengakui keadaan dirinya. Hal ini tidak berarti individu tersebut sudah tidak memiliki ambisi lagi, melainkan mereka masih memiliki keinginan untuk memperbaiki keadaan dirinya. Maslow (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menyatakan bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri, orang yang menerima diri dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Orang yang menerima diri bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya. Perls (dalam Schultz, 1991) mendefinisikan penerimaan diri berkaitan dengan orang yang sehat secara psikologis yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa diri mereka. Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki, merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) menyatakan bahwa orang yang menerima diri adalah orang yang memiliki konsep diri positif, sehingga dapat menerima keadaan-keadaan yang ada pada dirinya. Konsep diri sendiri menurut Burns (1985) adalah kesan yang ditangkap oleh seseorang mengenai diri sendiri secara menyeluruh, yang di dalamnya mencakup persepsi tentang diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang telah dicapai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima diri adalah
orang
yang
memiliki
kesan
positif
commit to user
secara
menyeluruh
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan mencerna pendapat orang lain mengenai dirinya sendiri. Menurut Sheerer, orang yang menerima diri percaya terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari keterbatasan, serta menerima sifat kemanusiaan. Allport (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang positif, yang ketika individu menerima diri sebagai seorang manusia, maka dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain. Ryff (dalam Kail dan Cavanaugh, 2000) mendefinisikan penerimaan diri sebagai pandangan positif tentang diri sendiri, mengakui dan menerima segi yang berbeda dari dirinya sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak. Kecacatan terdiri atas cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu-wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis. Definisi penyandang cacat kemudian dipersingkat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang cacat terdiri atas penyandang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat ganda. Adapun penyadang cacat yang akan dibahas di sini adalah penyandang cacat fisik. Coleridge (1997) mengemukakan definisi kecacatan dengan sudut pandang sosial. Definisi kecacatan yang diungkapkan oleh Coleridge terutama merujuk pada kecacatan fisik yang dilihat dari sudut pandang sosial. Menurut Coleridge, kecacatan terbagi menjadi dua, yaitu: a. Impairment (kerusakan/kelemahan) Impairment merujuk pada ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu. Sebagai contoh adalah kelumpuhan di bagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki. b. Disability/Handicap (kecacatan/ketidakmampuan) Disability merujuk pada kerugian atau keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang yang menyandang kerusakan atau kelemahan tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang tersebut dari arus aktivitas sosial. Supratiknya (1995) membagi sebab-sebab cacat fisik menjadi dua, yaitu cacat bawaan atau cacat sejak lahir dan cacat non bawaan. Cacat bawaan atau cacat sejak lahir merupakan kecacatan yang terjadi sejak individu lahir karena sebelum proses kelahiran individu sudah mengalami kecacatan atau mungkin juga kecacatan disebabkan oleh proses yang salah pada saat kelahiran. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami oleh individu bukan sejak lahir tetapi terjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma (kecelakaan atau peperangan). Soenaryo (1995) mengklasifikasikan tingkat kecacatan fisik yang disandang seorang individu menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. Cacat fisik ringan Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik ringan apabila menyandang kecacatan, namun masih dapat mengurus dirinya sendiri dan belum memerlukan alat bantu untuk melakukan aktivitasnya. Contoh penyandang cacat ringan adalah individu yang satu tangan atau satu kakinya mengalami kelayuan, tidak dapat digunakan, atau putus. Contoh lain adalah individu yang cacat pada salah satu kakinya karena terpotong sampai dengan batas lutut. b. Cacat fisik sedang Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik sedang apabila menyandang kecacatan yang mengharuskan penggunaan alat bantu seperti kruk, walker, atau kursi roda untuk dapat menjalani aktivitas sehari-harinya. Contoh individu yang menyandang cacat fisik sedang adalah individu yang mengalami kelayuhan pada dua kaki dan satu tangan, kedua kaki putus, dan sebagainya. c. Cacat fisik berat Seorang individu diklasifikasikan sebagai penyandang cacat fisik berat apabila menyandang kecacatan yang menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Individu yang menyandang cacat fisik berat memerlukan bantuan orang lain dalam menjalani kehidupannya serta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membutuhkan alat bantu untuk aktivitasnya. Contoh individu yang dikategorikan sebagai penyandang cacat fisik berat adalah penyandang cacat yang mengalami paraplegia, tetraplegia, dan kehilangan seluruh anggota geraknya. Meskipun kami membahas mengenai klasifikasi tingkat kecacatan fisik, namun dalam penelitian ini, kami hanya akan melakukan penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional dengan penerimaan diri secara umum saja tanpa memandang mengenai tingkat kecacatan yang disandang oleh para responden. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas, dapat dinyatakan bahwa penerimaan diri adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai dirinya. Orang yang menerima diri memiliki sifat percaya terhadap kemampuan diri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri, bertanggungjawab, berpendirian, menyadari akan keterbatasan diri, serta menerima sifat kemanusiaan yang dimiliki. Adapun penyandang cacat adalah orang yang mengalami ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibat-akibatnya terhadap fungsi tertentu yang diakibatkan karena faktor bawaan atau faktor non bawaan. Kecacatan tetap diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu cacat ringan, cacat sedang dan cacat berat. Berdasarkan pada paparan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penerimaan diri pada penyandang cacat adalah kesan positif secara menyeluruh dalam mempersepsikan diri, serta dalam menangkap dan menerima pendapat orang lain mengenai keadaan diri sendiri yang dilakukan oleh orang dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketidaklengkapan atau ketidaknormalan beserta akibat-akibatnya terhadap beberapa fungsi tertentu. 2. Pentingnya Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Penerimaan diri sangat mempengaruhi tingkat penyesuaian diri seseorang. Hurlock (1973) menyatakan bahwa semakin seseorang menyukai dirinya, maka orang tersebut akan semakin menerima dirinya. Semakin tinggi penerimaan diri seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat penyesuaian dirinya. Hurlock juga menambahkan bahwa orang yang menerima dirinya akan merasa digunakan, disukai, dibutuhkan dan secara fundamental merasa berharga. Dalam hal ini terlihat sekali bahwa penerimaan diri adalah salah satu kunci untuk mencapai hidup yang bahagia. Hurlock kemudian membagi dampak dari penerimaan diri ke dalam dua kategori menurut lingkupnya yaitu: a. Penyesuaian diri Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence). Selain itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif. Hal tersebut karena individu yang menerima dirinya memiliki anggapan yang realistis terhadap dirinya, sehingga akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Penyesuaian sosial Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memmiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented). Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan konsep diri karena penerimaan diri memiliki peranan yang penting dalam pembentukan konsep diri dan kepribadian yang positif. Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu pada gambaran diri ideal, sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai dengan realitas. Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan diri sangat penting bagi penyandang cacat untuk dapat menyesuaikan diri baik di dalam dirinya sendiri, maupun di dalam pergaulan di lingkungan sosial. Orang yang dapat menerima diri niscaya akan berusaha untuk melakukan hal-hal yang realistis agar dapat menyesuaikan diri di dalam pribadi maupun di lingkungan sosial. 3. Tahap-Tahap Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Tahapan penerimaan diri yang dilalui oleh penyandang cacat bervariasi, ada yang mengalami seluruh tahapan secara berurutan, ada yang mengalami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seluruh tahapan secara tidak berurutan, bahkan ada pula yang tidak mengalami sebagian tahapan. Secara garis besar diungkapkan oleh Glaser (1966), tahapan penyesuaian diri penyandang cacat sesuai dengan skema penerimaan diri sebagai berikut: Disclosure (Membuka Diri)
Depression (Depresi)
Acceptance (Menerima)
Active Preparation (Persiapan Aktif)
Denial (Menolak)
Passive Preparation (Persiapan Pasif)
Gambar I: Skema Penerimaan Diri menurut Glaser (1966)
Menurut Glaser, tahapan penerimaan diri seorang penyandang cacat tetap adalah sebagai berikut: a. Tahap Pertama: Disclosure (Membuka Diri) Tahap pertama dalam penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sang penyandang cacat mengetahui kondisi fisiknya, yaitu bahwa sekarang sang penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami kecacatan permanen. Penyandang cacat tetap yang mengetahui keadaan fisiknya, kemudian mencari informasi-informasi mengenai bagaimana kondisi fisik yang dialami, cara menyembuhkan dirinya (dari kecacatan yang disandangnya), dan informasiinformasi lainnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah membuka diri, seorang penyandang cacat akan mengetahui kondisi riil mengenai keadaan yang dialami, salah satunya adalah bahwa kecacatan yang dialami akan disandang seumur hidup. Kondisi ini tentunya sangat mengejutkan karena tidak ada lagi harapan untuk memiliki tubuh yang sempurna kembali seperti sedia kala. Hal ini membuat sebagian besar penyandang cacat tetap akan menjalani suatu tahap atau fase yang disebut sebagai depresi. b. Tahap Kedua: Depression (Depresi) Adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang ditemui oleh penyandang cacat tetap yang mayoritas diakibatkan oleh suatu kecelakaan atau bencana membuat mereka masih berharap bahwa kondisi fisiknya akan kembali seperti sedia kala. Harapan para penyandang cacat tetap agar dapat kembali seperti sedia kala merupakan sesuatu yang wajar. Namun, karena kecacatan yang disandangnya bersifat permanen, maka harapan untuk dapat kembali seperti semula adalah hal yang mustahil. Tidak terpenuhinya harapan untuk kembali seperti sedia kala membuat penyandang cacat tetap mengalami depresi dan tidak mau menerima kondisi fisik yang dialami. Masing-masing penyandang cacat memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga antara penyandang cacat yang satu dengan yang lain berbedabeda dalam melalui tahap depresi ini. Ada penyandang cacat yang melalui tahap depresi dalam jangka waktu yang singkat, ada yang melalui tahap ini dalam jangka waktu yang lama, dan bahkan ada penyandang cacat yang tidak melalui tahap depresi, namun bisa langsung menerima diri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Tahap Ketiga: Acceptance or Denial (Menerima atau Menolak) Tahap ketiga penerimaan diri penyandang cacat adalah menerima atau menolak kecacatan permanen yang disandangnya. Jika seorang penyandang cacat menolak kondisi kecacatan fisik yang dialami, maka ada beberapa kemungkinan hal yang akan dialami. Penyandang cacat mungkin akan mengalami depresi yang berkepanjangan, atau mungkin akan berusaha dengan cara apapun untuk dapat kembali seperti semula, bahkan dengan cara-cara yang irrasional, bahkan ada pula yang karena tidak mampu menerima kondisi fisik yang dialami, seorang penyandang cacat tetap nekad untuk berusaha mengakhiri hidupnya. Hal ini sesuai dengan contoh kasus yang telah disajikan di bagian pendahuluan. Apabila seorang penyandang cacat menerima kondisi fisik yang dialami sekarang, maka ada dua kemungkinan hal yang akan dilakukan oleh penyandang cacat tersebut. Dua hal tersebut adalah: 1) Active Preparation (Persiapan Aktif), yaitu bersiap-siap menghadapi kecacatan yang disandangnya dengan cara aktif dalam melakukan latihan kemandirian, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, aktif dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Hal yang membedakan antara active preparation dengan passive preparation penyandang cacat yang melakukan active preparation berusaha untuk melakukan persiapan (seperti belajar menggunakan kursi roda, mengikuti fisioterapi, mengikuti terapi okupasi) secara aktif, tidak tergantung pada orang-orang di lingkungannya. 2) Passive Preparation (Persiapan Pasif), yaitu juga melakukan persiapan untuk menghadapi kecacatan yang harus disandang seumur hidup namun secara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pasif. Perbedaan yang ada jika dibandingkan dengan penyandang cacat yang melakukan active preparation adalah penyandang cacat yang melakukan passive preparation masih sangat tergantung oleh orang-orang yang ada di lingkungannya untuk mau melakukan persiapan, seperti dalam mengikuti fisioterapi harus diingatkan oleh keluarganya, kurang inisiatif untuk belajar menggunakan kursi roda, dan sebagainya. Ahli lain yang menjabarkan mengenai tahapan emosional penyandang cacat sejak dari tahap krisis hingga tahap penerimaan diri adalah LeMaistre (1999). LeMaistre menyatakan ada enam tahap yang harus dilalui oleh seorang penyandang cacat hingga mampu menerima diri. Tahap-tahap tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Tahap Krisis Pada tahap krisis, penyandang cacat merasa menderita dan sangat ketakutan. Secara fisik maupun psikologis, penyandang cacat akan mengalami penurunan kemampuan dalam merespons orang lain, disorientasi, dan mengalami peningkatan kecemasan. Selama masa krisis, dukungan emosional sangat dibutuhkan oleh penyandang cacat. Tahap krisis dilalui oleh hampir semua pasien penyandang cacat dengan energi dan perhatian yang difokuskan pada persiapan fisik dalam menanggapi sakit yang dideritanya, sehingga bertahan adalah perhatian utama. Selain itu, pasien penyandang cacat dan keluarganya harus mengatasi rasa takut yang diakibatkan oleh ketidakjelasan nasib atau masa depannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Tahap Isolasi Ketika sifat akut penyakit telah berkurang, namun pemulihan total tidak terjadi dan kecacatan menetap, penyandang cacat menyadari bahwa ada begitu banyak ketidakpastian mengenai masa depan. Penyandang cacat mengalami kegelisahan, sehingga pada malam hari mengalami kesulitan tidur. Ketidakpastian masa depan menjadi salah satu serangan besar dalam diri penyandang cacat. Kecemasan penyandang cacat sering mengakibatkan kekakuan dalam berhubungan dengan orang lain dan diri sendiri, sehingga penyandang cacat cenderung mengisolasi diri. Hal ini diakibatkan oleh kepercayaan pasien bahwa tidak ada orang yang dapat mengerti mengenai kesedihan dan kehilangan yang dialaminya. Keluarga sang penyandang cacat mungkin akan merasa marah, takut, bahkan jijik dengan situasi yang dialami oleh penyandang cacat tersebut. Pada saat itu, baik penyandang cacat maupun keluarganya kembali ke dalam pikirannya masing-masing dan kini dihantui oleh pengetahuan bahwa hidup mereka tidak akan sama seperti sebelumnya lagi. Pada tahap isolasi komunikasi terbuka sangat penting. Kedua belah pihak tidak boleh saling menyalahkan. Komunikasi harus dilakukan dengan intensif untuk memecahkan isolasi. c. Tahap Anger/Kemarahan Setelah mengetahui keadaan fisik yang sebenarnya, penyandang cacat merasa marah, cemas, tidak berdaya, merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya sangat tidak adil, sehingga secara emosional penyandang cacat akan marah, sering kali target kemarahan adalah pada dirinya sendiri. Kemungkinan yang paling
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbahaya ketika hal ini terjadi adalah penyandang cacat tersebut akan melakukan percobaan bunuh diri. Ada dua alasan yang membuat penyandang cacat menjadikan dirinya sendiri sebagai target kemarahannya. Pertama, tidak mungkin untuk marah kepada nasib, karena tidak ada lawan eksternal. Kedua, kecacatan yang disandangnya melahirkan rasa tidak berdaya. Anggapan bahwa kecacatan yang sekarang disandangya tidak dapat disembuhkan dan itu semua adalah kesalahan penyandangnya sendiri. d. Tahap Rekonstruksi Tahap ini dialami oleh penyandang cacat yang telah merasa jauh lebih kuat secara fisik dan telah memiliki cukup waktu untuk memulai suatu keterampilan hidup baru. Pada tahap ini biasanya rasa aman mulai tumbuh, serta suasana hati lebih bahagia karena penyandang cacat sudah mulai berusaha untuk menguasai kemampuan-kemampuan baru untuk kehidupannya. Hal-hal yang direkonstruksi bukanlah hidup seperti yang sebelumnya, namun perasaan bahwa diri penyandang cacat tersebut adalah seseorang yang utuh entitas dan kohesif. Rekonstruksi ini memiliki beberapa aspek, seperti keterampilan baru, dan yang paling penting adalah kekuatan emosional. e. Tahap Intermitten Depression / Depresi Berulang Setelah semua tampak lebih cerah bagi penyandang cacat, maka akan ada keinginan untuk melakukan jeda dalam melakukan aktivitas-aktivitas baru yang kini dilakukan. Ketika masa jeda atau masa istirahat dilakukan oleh penyandang cacat, maka akan muncul bayangan mengenai hal-hal yang dahulu sebelum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyandang kecacatan dilakukannya dengan lebih mudah. Bayangan-bayangan tersebut dapat menghasilkan kesedihan dan keputusasaan, apalagi jika kecacatan yang disandangya sekarang telah mengakibatkan banyak hal yang kurang menyenangkan terjadi dalam kehidupan sang penyandang cacat tersebut. Depresi berulang menggabungkan dua perasaan, yaitu kesadaran akan hilangnya fungsi yang biasa dilakukan sebelum menyandang kecacatan, dan hal yang disebut sebagai phantom psyche, yaitu bayangan-bayangan atau khayalankhayalan yang muncul seperti bagaimana kehidupan yang seharusnya dilalui sekarang jika tidak menyandang cacat, atau bagaimana jika sekarang masih menjalani hidup sebagai manusia normal. Keinginan-keinginan untuk kembali normal membuat penyandang cacat mengalami depresi yang berulang-ulang. Hal ini terjadi karena sering kali pada saat senggang, bayangan-bayangan dan keinginan-keinginan tersebut muncul kembali dan berulang-ulang. f. Tahap Renewal/Pembaharuan Ketika masa kesedihan, kehampaan, penyesalan, dan keinginan yang sangat kuat untuk sembuh kembali telah hilang, telah menguasa teknik menggunakan kursi roda, dan telah bangga dengan prestasi yang didapatkan, yaitu dapat menjalani kehidupan mandiri meski menyandang kecacatan, seorang penyandang cacat mulai memasuki tahap renewal. Hal yang paling terlihat dalam tahap ini adalah adanya perubahan gaya hidup dan harus adanya keterampilanketerampilan baru. Penyandang cacat yang telah masuk tahap renewal, mampu menerima keadaan yang dihadapinya sekarang. Penyandang cacat telah menguasai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keterampilan-keterampilan untuk dapat mandiri dengan kondisinya sekarang, sehingga tidak lagi merasa cemas dengan masa depannya. Secara emosional, penyandang cacat juga lebih stabil. Berdasarkan pada teori-teori yang diungkapakan oleh para ahli mengenai tahapan-tahapan emosional yang dilalui oleh penyandang cacat sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapan emosional seorang penyandang cacat untuk menuju kepada penerimaan diri sangat berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara berurutan, ada orang yang melalui seluruh tahapan emosional secara tidak berurutan, dan ada pula orang yang melalui sebagian saja tahapan emosional tersebut. Tahapan-tahapan emosional yang secara teoretis dilalui oleh seorang penyandang cacat terdiri atas enam tahapan, yaitu tahap krisis, tahap isolasi, tahap kemarahan, tahap rekonstruksi, tahap depresi berulang, dan tahap pembaharuan (yang di dalamnya, penyandang cacat yang bersangkutan telah mampu menerima dirinya). 4. Ciri-Ciri Individu yang Menerima Dirinya Penerimaan diri yang dibentuk oleh seorang individu, menurut Schultz (1991) merupakan suatu hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri pribadi individu tersebut. Hal ini diperjelas oleh Jersild (1963) yang menyatakan bahwa terbentuknya pengertian tentang arti positif dari kenyataan mengenai kemampuankemampuan diri sendiri diperoleh dengan cara meninjau kemampuan tersebut berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang sudah ada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sheerer (dalam Thompson, Gardiner, dan Di Vesta, 1959) menyebutkan bahwa orang yang menerima dirinya memiliki sejumlah nilai dan patokan dalam berperilaku. Nilai-nilai tersebut akan membentuk keutuhan pribadi orang termasuk dalam menerima keadaan dirinya. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan delapan ciri orang yang menerima dirinya, yaitu: a. Memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan di sini dapat berupa percaya terhadap dirinya sendiri, lebih melihat kelebihan daripada kekurangan yang ada dalam dirinya, serta puas menjadi diri sendiri. Orang yang menerima dirinya akan berpandangan optimis terhadap masa depan, sehingga apa yang ada di depannya akan nampak cerah. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain. Orang yang menerima dirinya akan memandang bahwa harga dirinya sama dengan harga diri orang lain di sekitarnya. Hal ini membuat orang yang menerima dirinya merasa memiliki kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban dengan orang lain di sekitarnya. c. Tidak menganggap dirinya abnormal atau aneh dan tidak mengharapkan orang lain menolak dirinya. Menerima diri berarti menganggap dirinya sama dengan orang lain, bukan merupakan suatu anomali yang harus dijauhkan dari komunitas normal. Orang dengan penerimaan diri yang baik berarti mampu menempatkan diri sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia seutuhnya tanpa memandang dirinya sebagai suatu hal yang ditolak oleh orang lain. d. Tidak malu atau hanya senantiasa memperhatikan dirinya sendiri. Orang dengan penerimaan diri yang baik akan memiliki orientasi diri lebih ke luar daripada ke dalam dirinya sendiri. Sikap menolong, ramah kepada orang lain, dan lain-lain dilakukan oleh orang dengan penerimaan diri yang baik. Hal ini akan membantu orang tersebut untuk lebih diterima secara sosial oleh orang lain. e. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Orang dengan penerimaan diri yang baik berani memikul tanggung jawab atas akibat dari apa yang telah dia lakukan. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung berani mengakui kesalahan yang diperbuat dan berani mengakui suatu hal yang memang menjadi haknya. f. Menggunakan norma dirinya sendiri dalam berperilaku. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk lebih mengikuti standar dirinya sendiri daripada bersikap conform terhadap tekanan sosial. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung menganggap dirinya memiliki hak untuk memiliki ide, aspirasi dan pengharapan sendiri. g. Menerima pujian dan celaan secara objektif. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung mampu melakukan penilaian yang realistik terhadap kelebihan dan kekurangannya. Hal ini juga terjadi dalam menerima pujian dan celaan. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung akan bersikap asertif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
h. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya atau mengingkari kelebihannya. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menerima dirinya dan tidak menyangkal impuls emosinya. Orang dengan penerimaan diri yang baik cenderung untuk menganggap wajar kekurangan atau keterbatasan dirinya daripada orang lain, seperti ketika orang lain juga memiliki keterbatasan. Berdasarkan pada teori mengenai ciri-ciri individu yang menerima dirinya seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima
dirinya
memiliki
ciri-ciri
sebagai
berikut:
(a).
Yakin
atas
kemampuannya dalam menghadapi kehidupan; (b). Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain; (c). Menganggap dirinya normal dan tidak mengharapkan orang lain menolak dirinya; (d). Berorientasi ke luar; (e). Bertanggungjawab terhadap perbuatan yang telah dilakukan; (f). Menggunakan norma-norma diri sendiri dalam berperilaku; (g). Menerima celaan dan pujian secara objektif; (h). Tidak menyalahkan diri sendiri atas keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki. 5. Aspek-Aspek Penerimaan Diri Menurut Jersild (dalam Hurlock, 1974), individu yang menerima dirinya sendiri memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain. Orang yang menerima dirinya memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari potensi diri yang dimiliki,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginan, serta menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri. Secara rinci, Jersild (1963) mengemukakan beberapa poin mengenai aspek penerimaan diri sebagai berikut : a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan realistis. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara secara objektif mengenai dirinya yang sebenarnya. b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain realistis. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik akan memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya dengan lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia pun tidak berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Individu yang bersikap baik dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya akan bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain. c. Merasa sejajar dengan orang lain. Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut dengan infeority complex adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik atas dirinya. Adapun orang yang menerima diri akan cenderung untuk merasa sejajar dengan orang lain dan memandang diri secara realistis. d. Respon realistis atas penolakan dan kritikan Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Ia berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Yang penting dalam penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri. e. Memiliki keseimbangan antara “real self” dan “ideal self” Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan. Individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu, untuk memastikan ia tidak akan kecewa saat nantinya, ia menyeimbangkan antara ideal self dengan real self. f. Menerima orang lain. Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih memungkinan baginya untuk menyayangi orang lain. Sebaliknya, apabila seorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih memungkinkan untuk merasa benci pada orang lain. Terciptanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain akan berakibat individu yang memiliki penerimaan diri merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial. g. Berusaha untuk menuruti kehendak, dan menonjolkan diri. Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia memanjakan dirinya, akan tetapi, ia akan menerima bahkan menuntut kelayakan dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya dalam mendapatkan posisi yang menjadi incaran dalam kelompoknya. Individu yang menerima dirinya tidak akan membiarkan orang lain selangkah lebih maju darinya dan menggagu langkahnya. Individu dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya dengan bijak, memiliki pendirian yang terbaik dalam berfikir, merasakan dan membuat pilihan, serta tidak hanya menjadi pengikut setia inisiatif orang lain. h. Spontanitas dan menikmati hidup Individu dengan penerimaan diri yang baik mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya, namun terkadang ia kurang termotivasi untuk melakukan sesuatu yang rumit. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i. Aspek moral penerimaan diri: Jujur dalam menerima diri Individu dengan penerimaan diri yang baik bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya. Ia memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya, dan ia tidak menyukai kepura-puraan. Individu ini dapat secara terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas, ragu, dan bimbang tanpa harus menipu diri dan orang lain. j. Sikap terhadap penerimaan diri positif Menerima diri merupakan hal peting dalam kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin mengalami keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Individu dengan penerimaan diri membangun kekuatannya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasaannya. Banyak hal dalam perkembangan seorang individu yang belum sempurna, bagi seseorang individu akan lebih baik jika ia dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya. Ahli lain, yaitu Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengungkapkan adanya tujuh aspek penerimaan diri, antara lain: a. Percaya terhadap kemampuan diri Individu yang menerima diri cenderung mempunyai kemampuan untuk menghadapi kehidupan sekarang dan yang akan datang, sehingga individu tersebut percaya bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat membantu dirinya menghadapi kehidupannya, baik sekarang maupun yang akan datang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Perasaan sederajat Individu yang menerima diri menganggap diri sendiri berharga sebagai manusia yang sama derajatnya dengan orang lain. Perasaan ini akan mengarahkan individu tersebut untuk merasa sama seperti orang lain, tidak merasa dirinya menyimpang ataupun istimewa. c. Orientasi ke luar diri Individu yang menerima diri akan merasa tidak malu atau self conscious dalam berperilaku di lingkungannya. Hal ini akan membuat individu yang bersangkutan lebih memperhatikan dan toleran terhadap orang lain. d. Bertanggungjawab Individu yang menerima diri cenderung berani memikul tanggung jawab atas perilaku yang dilakukannya. e. Berpendirian Individu yang menerima diri akan cenderung lebih suka mengikuti standarnya sendiri daripada bersikap conform terhadap standard-standard yang diberlakukan oleh orang lain. f. Menyadari keterbatasan Individu yang menerima diri tidak menyalahkan diri atas keterbatasanketerbatasan yang dimiliki atau mengingkari kelebihan-kelebihan yang dimiliki. g. Menerima sifat kemanusiaan Individu yang menerima diri tidak menyangkal impuls atau emosinya, atau merasa bersalah karenanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah membandingkan antara dua teori mengenai aspek-aspek penerimaan diri di atas, penulis lebih cenderung menggunakan aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer yang berisi: (a) Percaya terhadap kemampuan diri; (b) Perasaan sederajat; (c) Orientasi ke luar diri; (d) Bertanggungjawab; (e) Berpendirian; (f) Menyadari keterbatasan; (g) Menerima sifat kemanusiaan. Aspek-aspek dari Sheerer ini dipilih karena telah mewakili aspek-aspek yang ada pada teori yang lain, serta lebih mudah dioperasionalkan. 6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Menurut Hurlock (1974), faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan diri adalah : a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri. Pemahaman tentang diri timbul karena adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Individu yang dapat memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin ia dapat menerima dirinya. b. Adanya hal yang realistik Hal yang realistik dalam hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya dengan memiliki harapan yang realistik, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri. c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan Ketika seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, namun jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai. Sehingga, agar seseorang dapat menerima dirinya, maka hambatan-hambatan di dalam lingkungannya harus dihilangkan. d. Sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan menyenangkan Sikap-sikap
anggota
masyarakat
di
lingkungan
individu
yang
bersangkutan sangat mempengaruhi penerimaan diri individu yang bersangkutan. Hal yang harus menjadi perhatian adalah tidak mungkin seorang individu mampu menerima dirinya apabila sikap-sikap anggota masyarakat di lingkungannya sangat buruk terhadap individu yang bersangkutan. Sikap anggota masyarakat di lingkungan individu yang bersangkutan (dalam hal ini adalah penyandang cacat) yang memberikan dukungan-dukungan terhadap individu yang bersangkutan memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap penerimaan diri. e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat Karakteristik orang yang sehat mental salah satunya adalah tidak mengalami gangguan emosional berat. Tidak adanya gangguan emosional yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berat akan menciptakan kondisi individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Keberhasilan yang dialami seorang individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri. Sebaliknya, jika yang dialami individu adalah kegagalan, maka individu yang bersangkutan akan menolak dirinya sendiri. g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik sehingga menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan menambah penerimaan sosial pula. h. Adanya perspektif diri yang luas Memiliki perspektif diri yang luas yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Usia dan tingkat pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk mengembangkan perspektif dirinya. i. Pola asuh dimasa kecil yang baik Pola asuh yang dialami oleh seorang individu pada masa kecilnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat penerimaan diri yang dimiliki. Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
j. Konsep diri yang stabil Individu
yang
memiliki
konsep
diri
yang
stabil
akan
dapat
mengaktualisasikan diri di hadapan orang lain karena memiliki kepercaan diri yang tinggi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit menunjukkan pada orang lain, siapa ia yang sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya. Ahli lain, Jersild (1963), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang antara lain: a. Usia Menurut Jersild (1963), penerimaan diri individu cenderung sejalan dengan usia individu tersebut. Semakin matang dan dewasa seorang individu, semakin tinggi pula tingkat penerimaan dirinya. b. Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin besar pula kesempatan individu tersebut dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, dan kemampuan diri yang dimiliki, sehingga semakin tinggi kepuasan diri yang dapat diraih. Dengan semakin tingginya kepuasan diri yang didapatkan, otomatis tingkat penerimaan diri akan semakin tinggi. c. Keadaan Fisik Menurut Fuhrmann (1990), keadaan fisik seseorang akan mempengaruhi tingkat penerimaan diri. Remaja cenderung lebih mempertimbangkan keadaan fisik mereka daripada orang yang lebih tua dalam menerima diri, dan wanita lebih mempertimbangkan keadaan fisik mereka dalam menerima diri daripada laki-laki.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Child Welfare, University of California mendapatkan data dari 93 anak laki-laki dan 83 anak perempuan. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa 29 orang anak laki-laki dari total 93 responden anak lakilaki merasa terganggu oleh keadaan fisiknya, dan lima orang anak laki-laki mengalami masalah berkaitan dengan penyesuaian diri yang dikarenakan oleh kondisi fisiknya. Hasil penelitian dari 83 responden anak perempuan menyebutkan bahwa 38 orang anak perempuan merasa terganggu oleh keadaan fisiknya, dan 12 orang responden mengaku mengalami masalah penyesuaian diri yang dikarenakan oleh keadaan fisik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Okoro dkk. (2009), prevalensi serious psychological distress/SPD (tekanan psikologis serius) yang dialami oleh orang dewasa yang menyandang kecacatan hampir tujuh kali lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak mengalami kecacatan (14,1% pada orang dewasa penyandang cacat dan 1,8% pada orang dewasa normal). d. Inteligensi Faktor inteligensi juga mempengaruhi tingkat penerimaan diri yang dilakukan oleh seseorang. Orang dengan inteligensi yang lebih tinggi akan cenderung memiliki lebih banyak kemampuan dibandingkan dengan orang dengan inteligensi yang lebih rendah. Hal ini akan berimbas pada kepuasan individu yang lebih tinggi, sehingga akan lebih mudah dalam menerima diri. e. Pola Asuh Orang Tua Hurlock (1974) menyebutkan bahwa pola asuh demokratik membuat anak merasa dihargai sebagai manusia dalam keluarga. Anak yang merasa dihargai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai manusia cenderung akan menghargai dirinya sendiri dan memperkirakan sendiri tanggung jawab yang harus dipikulnya, sehingga ia akan mengendalikan perilakunya sendiri dengan kerangka aturan yang ia buat dengan berpedoman pada norma-norma yang ada di masyarakat. f. Dukungan Sosial Salah satu faktor faktor yang paling penting dalam membuat seseorang meneriman dirinya, menurut Hurlock (1973) adalah dukungan sosial, terutama dari orang-orang yang berpengaruh bagi individu tersebut. Penerimaan diri juga lebih mudah dilakukan oleh orang-orang yang mendapat perlakuan yang lebih baik dan menyenangkan. Penelitian Okoro dkk, (2009) menemukan bahwa kurangnya dukungan sosial membuat orang dewasa penyandang cacat lebih rentan mengalami serious psychological distress (tekanan psikologis serius) jika dibandingkan dengan orang dewasa penyandang cacat yang mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan sosial memiliki beberapa aspek. House (dalam Smet, 1994) memaparkan aspek-aspek dukungan sosial sebagai berikut: 1) Dukungan emosional Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional akan nampak dari kualitas dan kuantitas interaksi yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan dengan penyandang cacat yang bersangkutan. Semakin baik kualitas dan semakin banyak kuantitas interaksi antara penyandang cacat yang bersangkutan dengan orang-orang di lingkungannya, maka semakin besar pula
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dukungan emosional yang didapatkan oleh penyandang cacat tersebut. Dukungan emosional memiliki empat aspek, yaitu empati, simpati, kepedulian, dan perhatian. 2) Dukungan penghargaan Dukungan penghargaan meliputi ungkapan formal, dorongan untuk maju, serta membantu penyandang cacat yang bersangkutan untuk melihat segi-segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan keadaan orang lain. Hal ini berfungsi untuk menambah penghargaan diri penyandang cacat tersebut. 3) Dukungan instrumental dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, sesuai dengan yang dibutuhkan penyandang cacat yang bersangkutan. orang-orang di lingkungan penyandang cacat mungkin memberikan dukungan instrumental yang berupa alatalat yang dapat meningkatkan kemandirian penyandang cacat yang bersangkutan. 4) Dukungan informatif Dukungan informatif meliputi pemberian nasihat-nasihat, petunjuk, saransaran dan umpan balik kepada penyandang cacat yang bersangkutan. Berdasarkan
pada
paparan
teori
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penerimaan diri seorang individu yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang adalah faktor usia, faktor pendidikan, faktor keadaan fisik, faktor inteligensi, faktor pola asuh orang tua, dan faktor dukungan sosial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Dukungan Emosional Keluarga 1. Pengertian Dukungan Emosional Keluarga Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dukungan emosional merupakan salah satu aspek dari dukungan sosial. Dukungan sosial sendiri didefinisikan sebagai bantuan yang dapat diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan tentram (Taylor, 1995). Cohen dan Syme (1985) menentukan bahwa dukungan sosial mengacu pada sejumlah aspek yang berbeda dari hubungan sosial. Dukungan sosial kadang-kadang didefinisikan secara konseptual atau operasional dalam hal keberadaan atau kualitas hubungan sosial secara umum, atau jenis tertentu. Dukungan sosial biasanya juga didefinisikan sebagai isi fungsional dari relasi sosial. seperti tingkat yang melibatkan arus hubungan mempengaruhi atau keprihatinan emosional, instrumental atau bantuan nyata, informasi dan sejenisnya. Dukungan sosial menurut House (dalam Smet, 1994) memiliki empat aspek, yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan material, dan dukungan informasional. Aspek yang memiliki peran terpenting di antara keempat aspek dukungan sosial tersebut adalah dukungan emosional. Hal ini dikarenakan dukungan emosional adalah dasar bagi ketiga aspek yang lain (Corneil, 2007). Thoits (1986) mengungkapkan bahwa dukungan emosional dapat berupa ungkapan rasa simpati, yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh seseorang; pemberian perhatian yang dapat pula berupa pengalokasian waktu oleh seseorang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mendengarkan dan didengarkan; kasih sayang yang merupakan kelanjutan dari rasa simpatik, penghargaan yang dapat berupa penghargaan verbal maupun non verbal; dan kebersamaan atau keberadaan seseorang yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan untuk mempertahankan semangatnya. Corsini
(1999)
menyatakan
bahwa
dukungan
emosional
adalah
penentraman hati, dorongan dan persetujuan yang diterima dari seorang individu atau
kelompok.
Dukungan
emosional
menjadi
faktor
utama
dalam
mempertahankan semangat, dukungan emosional biasa ditemukan dalam kelompok inspirasional dan juga dalam kegiatan yang dilakukan sendiri, seperti meditasi, membaca buku, dan berdoa. Ahli lain, yaitu Basavanna (2000) mendefinisikan dukungan emosional sebagai peneguhan, dorongan, dan persetujuan yang diterima dari seorang individu atau kelompok. Dapat disimpulkan bahwa dukungan emosional keluarga merupakan ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian, kasih sayang, penghargaan dan kebersamaan yang diterima dari seorang atau beberapa orang dalam keluarga orang yang bersangkutan, dan ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian, kasih sayang, penghargaan dan kebersamaan tersebut menjadi faktor utama dalam mempertahankan semangat. 2. Aspek-Aspek dalam Dukungan Emosional Corsini (1999) menyatakan bahwa dukungan emosional memiliki bentuk seperti penentraman hati, dorongan dan persetujuan. Sedangkan Thoits (1986) dalam penelitiannya mengungkapkan ada lima aspek dalam dukungan emosional. Kelima aspek dalam dukungan emosional tersebut adalah:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Ungkapan Rasa Simpati Simpati berupa kemampuan untuk ikut merasakan perasaan yang dialami oleh seseorang (Statt, 1998). Ungkapan rasa simpati dapat berupa ungkapan verbal dan non verbal. 2) Pemberian Perhatian Pemberian perhatian yang dilakukan oleh seseorang yang memberikan dukungan emosional dapat berupa pencurahan waktu untuk mendengarkan (listening) dan didengarkan (listened). Kemampuan seseorang dalam memberikan perhatian berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Demikian pula dengan
model-model
atau
cara-cara
seseorang
dalam
mengungkapkan
perhatiannya kepada orang lain juga berbeda-beda. Kemampuan orang dalam melihat dan mengukur perhatian yang diberikan oleh orang lain pun juga berbedabeda. 3) Kasih Sayang Kasih sayang atau dikenal juga sebagai afeksi secara harfiah adalah semacam status kejiwaan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Afeksi atau kasih sayang menjelaskan hubungan dari sekedar rasa simpati atau persahabatan antara dua orang yang lebih. Pemberian kasih sayang pada masing-masing orang berbeda dalam cara pemberian dan intensitasnya. 4) Penghargaan Dukungan emosional yang berupa penghargaan dapat berupa penghargaan yang diberikan secara verbal, non verbal, maupun dengan penghargaan material.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun terdapat tiga macam penghargaan (verbal, non verbal dan material), namun ketiga macam penghargaan tersebut saling berkaitan. 5) Kebersamaan Dukungan emosional yang berupa kebersamaan diartikan sebagai keberadaan seseorang ketika orang lain membutuhkannya. Selain keberadaan ketika dibutuhkan oleh orang lain, kebersamaan yang dimaksud di sini adalah kebersamaan secara emosional, yaitu mau bersama dalam suka dan duka. House (1981, dalam Cohen dan Syme, 1985) mengidentifikasikan bahwa dukungan emosional mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Ungkapan empati Orang yang mampu memberikan dukungan emosional kepada orang lain adalah orang yang mengerti apa yang dirasakan dan apa yang kira-kira sedang dipikirkan oleh orang lain tersebut. Tanpa mengetahui perasaan dan pikirannya, seseorang tidak akan mampu untuk memberikan dukungan emosional terhadap orang yang bersangkutan. 2) Kasih Sayang Pemberian dukungan emosional berarti juga mencurahkan kasih sayang bagi individu yang bersangkutan. 3) Penghargaan Pemberian penghargaan yang dilakukan dapat berupa penghargaan secara verbal maupun secara non verbal. Penghargaan terhadap seseorang merupakan suatu dukungan yang penting dalam dukungan emosional, karena dengan adanya penghargaan, eksistensi individu yang mendapatkannya merasa dihargai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Kebersamaan Meluangkan waktu untuk bersama-sama, menjadi pendengar yang baik, dan memberikan feedback terhadap apa yang didengarkan adalah salah satu komponen dalam dukungan emosional. 5) Perhatian Perhatian atau attention dapat berupa kemauan untuk mendengarkan (listening) dan kesediaan untuk didengarkan (listened). Mendengarkan di sini diartikan sebagai mendengarkan secara empatik, sehingga kita mendengarkan perkataan orang yang kita berikan dukungan emosional, dan juga memahami apa yang dirasakan dan juga dipikirkan oleh orang yang bersangkutan. Berdasarkan pada teori-teori mengenai aspek-aspek dukungan emosional yang telah diungkapkan di atas, dapat dilihat bahwa aspek-aspek dukungan emosional antara lain (a). ungkapan rasa simpati; (b). kasih sayang; (c) penghargaan; (d) kebersamaan; dan (e). pemberian perhatian. Aspek-aspek ini dipilih oleh penulis karena merupakan aspek-aspek dukungan emosional yang lebih mudah dioperasionalkan.
C. Hubungan Antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Seseorang yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi fisik yang sempurna, kemudian karena suatu kecelakaan atau suatu musibah, mengalami gangguan medis pada suatu anggota gerak yang mengharuskan kehilangan sebagian anggota gerak tersebut, atau mengalami gangguan medis pada susunan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sistem saraf, yang mengakibatkan tidak dapat menggunakan sebagian atau seluruh anggota gerak yang dimiliki pasti akan membuat perubahan yang sangat besar pada kondisi fisik, psikologis dan sosial. Menghadapi kenyataan harus menyandang kecacatan seumur hidup karena suatu kecelakaan atau musibah merupakan suatu hal yang sulit. Rasa frustrasi karena tidak mampu melakukan hal-hal yang dahulu pada saat masih normal dapat dilakukan, dan kecemasan akan masa depan membuat individu penyandang cacat tetap sulit untuk menerima keadaan dirinya sekarang. Rasa frustrasi dan kecemasan yang berlebihan pada akhirnya nanti akan berakibat pada penolakan terhadap diri sendiri dan kondisi kecacatannya. Namun apabila individu penyandang cacat dapat mengatasi rasa frustrasi dan kecemasankecemasan yang muncul, maka akan dapat menerima diri dan kondisi kecacatannya. Kondisi ini dinamakan sebagai penerimaan diri. Jersild (1963) membahasakan penerimaan diri sebagai kondisi individu yang menyadari kekurangan yang dimiliki tanpa menyalahkan diri sendiri. Individu yang menerima diri menyadari bahwa dirinya memiliki potensi, sehingga merasa bebas untuk melakukan keinginan dengan tetap memiliki perhitungan akan keterbatasan yang dimiliki, sehingga tetap memandang diri secara rasional. Penerimaan diri sangat penting dimiliki oleh penyandang cacat untuk dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik, karena tanpa penerimaan diri, seorang individu akan mengalami penurunan kualitas hidup. Seseorang individu dalam melakukan proses penerimaan diri didukung oleh banyak faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu faktor yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
paling penting dalam membuat seseorang dapat menerima diri, menurut Hurlock (1973) adalah dukungan sosial, terutama dari orang-orang yang berpengaruh (significant others), yaitu adalah keluarga. Aspek yang paling penting dalam dukungan sosial, menurut House (dalam Corneil, 1998) adalah dukungan emosional, karena mendasari aspek-aspek yang lain dalam dukungan sosial. Dukungan emosional memiliki bentuk-bentuk seperti ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian, kasih sayang, penghargaan, dan kebersamaan. Semakin besar ungkapan rasa simpati yang didapatkan oleh seorang individu, maka akan merasa lebih dihargai oleh orang lain, sehingga dapat lebih menghargai dirinya sendiri. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan penerimaan diri individu yang bersangkutan. Sebaliknya, jika seorang individu hanya mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan simpati sama sekali terutama dari keluarganya, maka akan merasa tidak dihargai, sehingga lebih kesulitan dalam menghargai dirinya sendiri. Hal ini secara tidak langsung akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menolak dirinya sendiri, sehingga akan mengalami kesulitan dalam menerima diri. Perhatian,
kebersamaan
dan
kasih
sayang
yang
diterima
ikut
mempengaruhi penerimaan diri seorang individu. Semakin besar perhatian, kasih sayang dan kebersamaan yang didapatkan oleh seorang individu menandakan bahwa orang-orang di lingkungan sekitarnya menerima keberadaan individu yang bersangkutan. Hal ini akan berimbas pada meningkatnya keinginan individu yang bersangkutan untuk menghargai diri dan menerima diri. Demikian pula sebaliknya, jika seorang individu tidak diperhatikan, diasingkan (tidak diberi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
waktu dan tempat untuk menjalin kebersamaan) dan tidak diberi kasih sayang oleh orang-orang yang ada di lingkungannya, maka individu yang bersangkutan akan merasa tidak diterima oleh lingkungannya. Hal ini akan berakibat pada penolakan terhadap dirinya. Penghargaan yang diterima oleh seorang individu akan berpengaruh terhadap penerimaan diri. Semakin besar penghargaan yang diberikan oleh lingkungan terhadap seorang individu, maka akan semakin mudah pula bagi individu yang bersangkutan untuk menerima diri. Sebaliknya, jika seorang individu kurang diberikan penghargaan oleh orang-orang di lingkungannya, maka individu yang bersangkutan akan lebih sulit dalam menerima dirinya. Berdasarkan pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga terhadap seorang individu pada akhirnya akan berimbas pada tingkat penerimaan diri individu tersebut. Semakin besar dukungan emosional yang didapatkan oleh seorang individu, maka akan semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. demikian pula sebaliknya, semakin kecil dukungan emosional yang didapatkan oleh seorang individu, maka akan semakin rendah pula tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
D. Kerangka Pemikiran Keluarga merupakan lingkungan sosial yang paling berpengaruh terhadap seorang individu. Dukungan terbesar yang paling mempengaruhi seorang individu kebanyakan berasal dari keluarganya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebanyakan penyandang cacat. Para penyandang cacat yang mengalami pengurangan atau bahkan kehilangan fungsi tertentu pastinya akan membutuhkan dukungan-dukungan tertentu dari orang lain, dan pada saat itu, dukungan yang paling besar adalah dari keluarganya. Penyandang cacat yang sedang merasakan kehilangan atas fungsifungsinya yang dulu dapat dilakukan pasti membutuhkan dukungan agar dapat menerima kenyataan bahwa dirinya kini tidak dapat lagi melakukan hal-hal yang biasa dilakukannya sebelum menyandang kecacatan. Menerima kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melakukan fungsinya adalah hal yang sangat sulit bagi sebagian besar penyadang cacat. Proses penerimaan diri tersebut harus dimulai dari diri sendiri dan didukung oleh orang-orang di lingkungan penyandang cacat yang bersangkutan, yaitu dengan pemberian dukungan. Dukungan yang paling penting untuk mencapai penerimaan diri menurut Hurlock (1973) adalah dukungan sosial, dan aspek yang paling penting dari dukungan sosial tersebut, menurut Corneil, (2007) adalah dukungan emosional. Berdasarkan paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa semakin besar dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat, maka akan semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri yang dimilikinya. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat, maka akan semakin rendah pula tingkat penerimaan diri yang dimilikinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dukungan Emosional Keluarga
Penerimaan Diri
Gambar II: Kerangka Konseptual Pemikiran
E. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : Ada hubungan positif antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Semakin besar dukungan emosional dari keluarga, maka semakin besar pula tingkat penerimaan diri yang dimiliki oleh penyandang cacat tetap tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
Penentuan metode dalam suatu penelitian adalah suatu langkah yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Metode pengumpulan data merupakan cara yang dipakai peneliti untuk memperoleh data yang diselidiki. Benar atau salahnya suatu kesimpulan hasil penelitian sangat ditentukan oleh tepat atau tidaknya metode penelitian yang digunakan. Hadi (1987) menyatakan bahwa kesalahan
menentukan
metode
akan
mengakibatkan
kesalahan
dalam
pengambilan keputusan, sebaliknya semakin tepat metode yang digunakan semakin baik pula hasil penelitian yang diperoleh.
A.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam peneilitan ini adalah: Variabel tergantung
: Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
Variabel bebas
: Dukungan Emosional Keluarga
B. Penelitian
ini
Definisi Operasional Variabel menggunakan
definisi
operasional
variabel-variabel
penelitian sebagai berikut: 1. Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap Penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah penilaian positif secara keseluruhan dan realistis terhadap diri sendiri, serta mampu mencerna pendapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang lain mengenai dirinya secara objektif yang dilakukan oleh seseorang setelah mengalami kehilangan sebagian fungsinya yang terjadi bukan karena faktor bawaan. Orang yang menerima diri menyadari akan kekurangan dan kelebihannya secara realistis. Kesadaran atas kekurangan dan kelebihan yang dimiliki membuat orang yang menerima diri memiliki sifat percaya pada kemampuan diri sendiri, merasa sederajat dengan orang lain, memiliki orientasi ke luar diri, bertanggungjawab atas perbuatannya, berpendirian, serta menerima sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki. Pengukuran penerimaan diri yang dimiliki oleh seorang penyandang cacat dilakukan dengan Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat yang dibuat berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri dari Sheerer (dalam Cronbach, 1963) yaitu: percaya terhadap kemampuan diri; perasaan sederajat; orientasi ke luar diri; bertanggungjawab; berpendirian; menyadari keterbatasan; dan menerima sifat kemanusiaan.. Semakin tinggi skor yang didapatkan oleh seorang responden, maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya, begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang didapatkan, maka semakin rendah pula penerimaan diri responden yang bersangkutan. 2. Dukungan Emosional Keluarga Dukungan emosional merupakan pandangan atau penilaian individu terhadap sikap-sikap yang dilakukan oleh lingkungan keluarga seorang individu yang dapat membuat individu yang bersangkutan mendapatkan semangat baru. Sikap-sikap tersebut berupa pemberian ungkapan rasa simpati, pemberian perhatian dan kasih sayang seperti pencurahan waktu, kemauan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendengarkan individu yang bersangkutan, kemauan untuk mengerti harapan dan keinginan individu yang bersangkutan, serta penghargaan dan kebersamaan yang diberikan oleh lingkungan individu yang bersangkutan. Pengukuran dukungan emosional yang diberikan oleh keluarga individu yang bersangkutan dilakukan dengan menggunakan Skala Dukungan Emosional Keluarga yang disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan emosional menurut Thoits (1986) yaitu: ungkapan rasa simpati; pemberian perhatian; kasih sayang; penghargaan; dan kebersamaan. Semakin tinggi skor yang didapat oleh seorang individu, maka semakin besar dukungan emosional keluarga yang didapatkannya, demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin kecil pula dukungan emosional yang diperoleh oleh individu yang bersangkutan.
C.
Populasi, Sampel dan Sampling.
Populasi yang yang diteliti dalam penelitian ini adalah para penyandang cacat tetap yang diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 dan berdomisili di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Populasi penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul jumlahnya tidak dapat dipastikan, namun menurut data yang tercatat oleh Departemen Sosial Kabupaten Bantul, diperkirakan ada sebanyak 300 orang warga Kabupaten Bantul yang menyandang cacat tetap akibat gempa bumi tanggal 27 Mei 2006. Usia penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul sangat bervariasi, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga lansia. Dilihat dari segi sosial ekonomi, penyandang cacat akibat gempa di Kabupaten Bantul juga bervariasi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
namun kebanyakan berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar penyandang cacat tetap yang disebabkan gempa tanggal 27 Mei 2006 tersebut diberikan fasilitas pengembangan diri di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Terpadu yang berlokasi di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Arikunto (2002), jika populasi subjek lebih dari 100 orang, maka dapat diambil sampel antara 10-11% atau 20-21% dari total populasi. Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang penyandang cacat yang mengikuti kegiatan pemberdayaan di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Terpadu yang berlokasi di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini disesuaikan dengan perhitungan bahwa 30 orang adalah 10% dari total populasi, yaitu diperkirakan sebanyak 300 orang. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive incidental sampling, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti pada suatu waktu tertentu dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui tersebut sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti (Sugiyono, 2004). Adapun pengambilan sampel akan
dilaksanakan
menyesuaikan
dengan
jadwal
pelatihan
kerja
yang
dilaksanakan di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Terpadu yang berada di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Pengambilan data dilaksanakan setelah pelaksanaan kegiatan pelatihan kerja, sehingga diharapkan semakin banyak subjek penelitian yang dapat ditemui pada saat tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D.
Teknik Pengumpulan Data.
Suatu penelitian sangat memerlukan perhatian pada segi pengumpulan data, terutama dalam pengukuran. Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai oleh peneliti untuk memperoleh data yang akan diselidiki. Baik buruknya hasil penelitian sebagian tergantung pada teknik pengumpulan data atau sifat pengukurannya (Suryabrata, 1991). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunkan skala psikologis. Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala penerimaan diri dan skala dukungan emosional. 1. Skala Penerimaan Diri Tujuan penggunaan skala ini adalah untuk mengukur tingkat penerimaan diri responden penelitian. Aspek-aspek yang diukur dalam skala ini adalah tujuh aspek penerimaan diri berdasarkan Sheerer (dalam Cronbach, 1963). Skala penerimaan diri ini menggunakan bentuk skala modifikasi dari tipe Likert Summated Rating (LSR) dengan menghilangkan jawaban ragu-ragu (R). sehingga, masing-masing aitem memiliki empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai). Penilaian skala bergerak dari empat sampai satu untuk butir-butir favorable dan satu sampai dengan empat untuk butir-butir yang unfavorable. Penentuan taraf penerimaan diri yang dimiliki subjek dapat dilihat dari jumlah skor skala tersebut. Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh berarti semakin tinggi taraf penerimaan dirinya. Selanjutnya, blue-print skala penerimaan diri dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1 Blue Print Skala Penerimaan Diri No
1
2
3
4
5
6
Aspek
Indikator
Percaya kemampuan diri
1. Percaya dapat hidup mandiri dengan kondisi yang dialami 2. Memiliki rencana ke depan dengan kondisi yang dihadapi. 3. Optimis dalam menghadapi masa depan 4. Mengetahui kemampuan yang dimiliki Perasaan 1. Menganggap diri sederajat dengan orang Sederajat lain 2. Tidak menganggap diri menyimpang 3. Tidak menganggap diri istimewa 4. Tidak mengalami hambatan emosional ketika berkomunikasi Orientasi 1. Tidak malu dalam mengutarakan keluar diri pendapat 2. Tidak banyak berpikir mengenai kekurangan diri sendiri ketika berada di tengah orang banyak. 3. Tidak menjadi orang yang paranoid di tengah-tengah orang banyak. 4. Lebih memperhatikan orang lain 5. Lebih toleransi terhadap orang lain Bertanggung- 1. Berani bertanggung jawab atas jawab perbuatan yang dilakukan 2. Berpikir mengenai kemungkinan yang terjadi sebelum melakukan perbuatan. 3. Tidak melakukan mekanisme pertahanan ego ketika harus menghadapi tanggung jawab. Berpendirian 1. Lebih suka menggunakan norma-norma yang dianut daripada harus menyesuaikan dengan lingkungan 2. Memiliki prinsip yang selalu dipegang teguh 3. Merasa nyaman dengan standard-standard yang dimiliki. Menyadari 1. Mengakui keterbatasan yang dimiliki keterbatasan 2. Puas terhadap keadaan diri 3. Rela atas kondisi yang dihadapi 4. Tidak menyalahkan siapapun atas keterbatasan yang dimiliki 5. Menyadari kelebihan yang dimiliki
commit to user
Favour able
Unfavou rable
Jumlah
13, 22, 35, 45
18, 21, 23, 56,
8
14, 20, 36, 44
12, 17, 19, 34
8
15, 24, 46, 55
7, 33, 43, 47
8
11, 16, 25, 54
8, 32, 42, 48
8
4, 31, 49, 51
10, 26, 41, 50
8
6, 29, 38, 52
9, 27, 37, 40
8
perpustakaan.uns.ac.id
No
7
digilib.uns.ac.id
Aspek
Indikator
Favour able
Unfavou rable
Jumlah
Menerima sifat kemanusiaan
1. Menyalurkan impuls emosi 2. Tidak menyangkal atau merasa bersalah karena penyaluran emosi 3. Memaklumi sifat lupa Jumlah Total Aitem
1, 5, 30, 53
1, 2, 28, 39
8
2. Skala Dukungan Emosional Tujuan penggunaan skala ini adalah untuk mengukur frekuensi dukungan emosional yang diterima oleh individu dari keluarganya. Aspek-aspek yang diukur dalam skala ini adalah aspek-aspek dukungan emosional menurut Thoits (1986). Skala Dukungan Emosional menggunakan skala modifikasi dari tipe Likert Summated Rating (LSR) yang mengukur intensitas skala dukungan emosional yang diterima individu dengan menghilangkan jawaban kadang-kadang (K). sehingga, masing-masing aitem memiliki empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sering), S (sering), J (jarang), dan TP (tidak pernah). Klasifikasi respons TP (tidak pernah) berarti individu yang bersangkutan tidak pernah mengalami. Respons J (jarang) berarti individu yang bersangkutan mengalami dengan frekuensi maksimal satu kali dalam satu minggu. Respons S (sering) berarti individu yang bersangkutan mengalami dengan fekuensi antara dua kali dalam satu minggu hingga satu kali dalam satu hari. Respons SS (sangat sering) berarti individu yang bersangkutan mengalami dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam satu hari. Penilaian skala bergerak dari empat sampai satu untuk butir-butir favorable dan satu sampai dengan empat untuk butir-butir yang unfavorable.
commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penentuan taraf penerimaan diri yang dimiliki subjek dapat dilihat dari jumlah skor skala tersebut. Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh berarti semakin tinggi taraf penerimaan dirinya. Selanjutnya, blue print skala dukungan emosional dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2 Blue Print Skala Dukungan Emosional No
Aspek
1
Ungkapan Rasa 1. Simpati 2. 3. Pemberian 1. Perhatian 2.
2
Indikator
3
Kasih Sayang
4
Penghargaan
5
Kebersamaan
Favour able
Unfavou Jumlah rable
5, 26, 30, 43, 50 11, 13, 15, 37, 45
10
3. memperhatikan kegiatan yang dilakukan
1, 14, 38, 40, 46 2, 24, 34, 39, 47
4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 3. 4. 5.
3, 10, 20, 33, 49 6, 12, 17, 19, 28 21, 25, 29, 31, 41
9, 16, 23, 36, 44 4, 8, 22, 32, 42 7, 18, 27, 35, 48
10
Ikut merasakan perasaan yang dialami Memaklumi kondisi yang dialami Peneguhan hati menjadi pendengar yang baik menjadi pencerita yang baik membantu ketika mengalami kesulitan memantau kondisi yang dialami menghibur ketika sedih kehangatan dan keakraban melayani dengan tulus verbal: memberikan pujian non verbal: bangga terhadap prestasi material: memberikan reward ada ketika dibutuhkan mau berbagi dalam suka dan duka tetap berkomunikasi meski terpisah jarak Jumlah Total Aitem
E. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Validitas Sebelum digunakan dalam sebuah penelitian, skala harus diuji validitasnya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah skala psikologi tersebut
commit to user
10
10
10
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas menurut Azwar (1999) adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Adapun dalam penelitian ini, validitas alat ukur dipenuhi dengan content validity (validitas isi). Cara mencari validitas suatu alat pengukur disebut sebagai validasi (validation), yang pada prinsipnya adalah membandingkan hasil dari pengukuran faktor dengan suatu kriterium, yaitu suatu ukuran yang telah dipandang valid untuk menunjukkan faktor yang dimaksudkan (Hadi, 1986). Pengukuran validitas menggunakan teknik korelasi Product moment dari Pearson. Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0. 2. Reliabilitas Reliabilitas mengacu pada tingkat kestabilan suatu alat ukur dalam mengukur suatu angka atau untuk menentukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten atau tidak berubah bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Pengujian reliabilitas juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah skala yang diuji konsisten, dalam artian sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 1999). Pengujian reliabilitas menggunakan teknik Alpha untuk mengukur reliabilitas antar aitem yang paling populer dan menunjukkan indeks konsistensi yang cukup sempurna. Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung koefisien
Alpha dari tiap-tiap instrumen suatu variabel. Kuesioner dapat
dinyatakan andal apabila dalam pengujian reliabilitas diperoleh nilai Alpha di atas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
0,60 (Azwar, 2004). Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
3. Uji Hipotesis Penelitian ini dilaksanakan untuk mencari hubungan antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan emosional keluarga, dan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah penerimaan diri penyandang cacat tetap. Pelaksanaan analisis data untuk menguji hipotesis dilaksanakan dengan menggunakan analisis Regresi Linear Sederhana. Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian 1. Orientasi Kancah Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa di Kabupaten Bantul dilaksanakan di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat (selanjutnya disebut PRTPC) yang berlokasi di Dusun Piring, Kelurahan Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. PRTPC berdiri pada tahun 2009 dan bernaung di bawah Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah berdirinya PRTPC dikarenakan gempa bumi berkekuatan 5,9 skala righter pada tanggal 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan menelan korban 6.234 jiwa, dan lebih dari 50.000 warga mengalami luka-luka, mulai dari luka ringan hingga kecacatan permanen. Banyaknya korban gempa yang mengalami kecacatan permanen menggugah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyandang Cacat Pasca Gempa di bawah koordinasi Departemen Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hingga terbentuknya lembaga PRTPC di Pundong, Bantul. PRTPC merupakan pusat pelayanan dan rehabilitasi terpadu yang meliputi rehabilitasi medis, sosial, psikologis dan vokasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tujuan berdirinya PRTPC adalah meningkatkan kemampuan penyandang cacat tetap (terutama korban gempa bumi 27 Mei 2006) di bidang sosial, vokasional, serta mobilitas, sehingga menumbuhkan kemauan dan kemampuan dalam melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun pelayanan yang tersedia di PRTPC antara lain: a. pelayanan akomodasi (asrama) bagi penyandang cacat yang mau tinggal di asrama PRTPC, b. layanan konsultasi dan pemeriksaan medis, c. layanan konsultasi sosial, d. layanan konsultasi psikologis, e. layanan fisioterapi, f. layanan vokasional atau pelatihan kerja, dengan materi pokok keterampilan menjahit, keterampilan komputer, keterampilan desain grafis, keterampilan kerajinan kulit, keterampilan elektro, dan keterampilan kerajinan perak. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan survey awal untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan subjek. Berdasarkan hasil survey awal tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat. Pemilihan institusi tersebut sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Jumlah klien yang dapat ditemui di PRTPC cukup untuk dijadikan subjek penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Penelitian mengenai hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap belum pernah dilakukan kepada para klien PRTPC. c. Ijin untuk melakukan penelitian di institusi yang bersangkutan dapat diusahakan. d. Adanya data baik dari PRTPC maupun dari media massa mengenai beberapa klien PRTPC yang memiliki variasi tingkatan penerimaan diri serta mengenai kasus yang terjadi karena klien PRTPC yang belum dapat menerima diri 2. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah persiapan yang berkaitan dengan perijinan serta penyusunan alat ukur yang digunakan dalam penelitian. a. Persiapan Administrasi Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan yang diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Permohonan ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1) Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah dengan nomor 786/H 27.1.17.3/TU/2010 dengan tembusan kepada Kepala Badan Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah untuk kemudian dimintakan surat pengantar permohonan ijin penelitian kepada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Peneliti mendapatkan surat pengantar permohonan ijin dari Badan Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah dengan nomor 070/1348 Kesbangpol/2010 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tembusan kepada Kepala Badan Kesbang Linmas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3) Peneliti mengurus ijin penelitian di Badan Kesbang Linmas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan surat pengantar dari Badan Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah dan mendapatkan surat pengantar dari Badan Kesbang Linmas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nomor 074/0586 Kesbang/2010 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan
tembusan
kepada
Kepala
Biro
Administrasi
Pembangunan 4) Peneliti mengurus ijin penelitian di Biro Administrasi Pembangunan, Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mendapatkan surat keterangan ijin penelitian dengan nomor 070/5294/V/2010 dengan tujuan kepada Kepala Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 5) Peneliti mengurus ijin penelitian di Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mendapatkan nota dinas dari Kepala Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditujukan kepada Kepala Bidang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial. 6) Peneliti menyerahkan nota dinas dari Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan proposal penelitian kepada Kepala PRTPC Pundong, Bantul dan menentukan jadwal pelaksanaan penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Setelah mendapatkan jadwal pelaksanaan penelitian di PRTPC, peneliti baru dapat melaksanakan penelitian. b. Penyusunan dan uji coba instrumen Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan diri penyandang cacat dan skala dukungan emosional keluarga. Skala penerimaan diri penyandang cacat dibuat berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer (dalam Cronbach 1963). Sedangkan skala dukungan emosional keluarga dibuat berdasarkan aspek-aspek dukungan emosional keluarga menurut Thoits (1986). Penyusunan skala diawali dengan pembuatan blue print masing-masing skala. Skala penerimaan diri penyandang cacat terdiri atas 56 aitem yang mewakili 7 aspek penerimaan diri. Masing-masing aspek diwakili oleh 8 aitem dalam skala penerimaan diri penyandang cacat. Skala dukungan emosional keluarga terdiri atas 50 aitem yang mewakili 5 aspek dukungan emosional keluarga. Masing-masing aspek diwakili oleh 10 aitem dalam skala dukungan emosional keluarga. Uji coba dilaksanakan hari Jumat tanggal 01 Oktober 2010 pada pukul 16.00 WIB. Peneliti melaksanakan penelitian dengan cara memberikan skala kepada responden, yaitu para klien PRTPC setelah menjalani sesi bimbingan dan konseling mental oleh tim psikologi PRTPC. Hal yang pertama kali dilakukan, peneliti meminta para responden untuk berkumpul di ruang makan PRTPC, kemudian peneliti memperkenalkan diri serta memohon bantuan kepada para responden untuk bersedia mengisi skala yang digunakan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian ini. Setelah seluruh responden bersedia, sementara tim pendamping dari PRTPC membagikan lembar skala, snack dan ballpoint, peneliti menjelaskan mengenai petunjuk pengisian skala. Setelah seluruh responden mendapatkan lembar skala penelitian, peneliti mempersilakan para responden untuk mengerjakan. Hambatan yang dialami oleh peneliti pada saat pengambilan data antara lain: a. Ada beberapa responden yang buta huruf, sehingga untuk dapat menjawab skala harus dibacakan masing-masing aitemnya. b. Terdapat beberapa responden yang menyandang mental deficit sehingga untuk menjawab skala harus dibacakan dan dijelaskan lebih lanjut. Hal yang dilakukan peneliti untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah: a. Bagi responden yang buta huruf, peneliti bersama-sama dengan tim pendamping PRTPC membantu dengan cara membacakan masing-masing aitem kepada responden yang bersangkutan. b. Bagi responden yang mengalami mental deficit, peneliti bersama-sama dengan tim pendamping PRTPC membantu dengan cara membacakan dan menjelaskan kepada responden yang bersangkutan. Namun dalam analisis data, angket responden yang mengalami mental deficit tidak diikutsertakan dalam perhitungan karena banyaknya aitem yang tidak direspons oleh responden yang bersangkutan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun ada beberapa hambatan seperti yang telah dikemukakan di atas, namun secara keseluruhan proses uji coba alat ukur ini lancar. Sambil memberikan respons kepada skala, para responden dipersilakan untuk menikmati snack yang diberikan oleh peneliti sebagai ucapan terima kasih. Setelah seluruh lembar skala dikembalikan kepada peneliti, didapatkan ada 35 lembar skala. Dari 35 lembar skala yang kembali kepada peneliti, hanya terdapat 30 lembar skala yang dapat dianalisis lebih lanjut. 3.
Uji Validitas dan Reliabilitas Pengujian validitas alat ukur dilaksanakan dengan menggunakan validitas isi
yaitu dengan melihat apakah aitem-aitem dalam skala telah di uji sesuai dengan blue print-nya (Azwar, 1999).
Kemudian aitem-aitem yang dianggap kurang
mengungkap apa yang seharusnya diungkap akan dibuang untuk memperbesar validitas dan reliabilitas alat ukur. a. Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat Berdasarkan hasil analisis, dari 56 aitem yang digunakan dalam uji coba, didapatkan 40 aitem valid dan 16 aitem gugur. Aitem yang valid mempunyai nilai corrected item-total correlation bergerak dari 0,460 sampai 0,883 dan koefisien reliabilitas alpha () = 0,972. Distribusi aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat yang valid dan gugur adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3 Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat No 1
2
3
4
Aspek
Indikator
Favourable Valid Gugur Percaya Percaya dapat hidup 35, 13, kemampuan mandiri dengan kondisi 22, diri yang dialami 45 Memiliki rencana ke depan dengan kondisi yang dihadapi. Optimis menghadapi masa depan Mengetahui kemampuan yang dimiliki Perasaan Menganggap diri sederajat 14, 36 Sederajat dengan orang lain 20, Tidak menganggap diri 44 menyimpang Tidak menganggap diri istimewa Tak mengalami hambatan emosional ketika sedang komunikasi Orientasi Tidak malu dalam 24, 15, keluar diri mengutarakan pendapat 46 55 Tidak banyak berpikir mengenai kekurangan diri sendiri ketika berada di tengah orang banyak. Tidak menjadi orang yang paranoid di tengah-tengah orang banyak. Lebih memperhatikan orang lain Lebih toleransi terhadap orang lain Bertanggung- Berani bertanggung jawab 11, 25 jawab atas perbuatan yang 16, dilakukan 54 Berpikir kemungkinan yang terjadi sebelum melakukan perbuatan. Menghindari mekanisme pertahanan ego ketika harus bertanggungjawab
commit to user
Unfavourable Jumlah Valid Gugur 21, 18 4 23, 56
12, 17, 19, 34
-
7
43, 47
7, 33
4
8, 32, 42, 48
-
7
perpustakaan.uns.ac.id
No
Aspek
digilib.uns.ac.id
Indikator
Favourable Valid Gugur 5 Berpendirian Lebih suka menggunakan 4, 49 norma-norma yang dianut 31, daripada harus 51 menyesuaikan dengan lingkungan Memiliki prinsip yang selalu dipegang teguh Merasa nyaman dengan standard-standard yang dimiliki. 6 Menyadari Mengakui keterbatasan 6, keterbatasan yang dimiliki 29, Puas terhadap keadaan diri 38, Rela atas kondisi yang 52 dihadapi Tidak menyalahkan siapapun atas keterbatasan yang dimiliki Menyadari kelebihan yang dimiliki 7 Menerima Menyalurkan impuls 1, 5 30, sifat emosi 53 kemanusiaan Tidak menyangkal atau merasa bersalah karena penyaluran emosi Memaklumi sifat lupa Jumlah Total Aitem
Unfavourable Jumlah Valid Gugur 26, 10, 5 50 41
9, 27, 37, 40
-
8
2, 28, 39
1
5
40
Selanjutnya peneliti menggunakan 40 aitem yang valid untuk penelitian. Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam penelitian :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4 Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Penyandang Cacat Setelah Uji Coba
No 1
2
3
4
Aspek Percaya kemampuan diri
Indikator
Percaya dapat hidup mandiri dengan kondisi yang dialami Memiliki rencana ke depan dengan kondisi yang dihadapi. Optimis menghadapi masa depan Mengetahui kemampuan yang dimiliki Perasaan Menganggap diri sederajat Sederajat dengan orang lain Tidak menganggap diri menyimpang Tidak menganggap diri istimewa Tak mengalami hambatan emosional ketika sedang komunikasi Orientasi Tidak malu dalam keluar diri mengutarakan pendapat Tidak banyak berpikir mengenai kekurangan diri sendiri ketika berada di tengah orang banyak. Tidak menjadi orang yang paranoid di tengah-tengah orang banyak. Lebih memperhatikan orang lain Lebih toleransi terhadap orang lain Bertanggung- Berani bertanggung jawab jawab atas perbuatan yang dilakukan Berpikir kemungkinan yang terjadi sebelum melakukan perbuatan. Menghindari mekanisme pertahanan ego ketika harus menghadapi
Favourble
Unfavourable Jumlah
35(25),
21(15), 23(16), 56(40)
4
14(10), 20(14), 44(32)
12(9), 17(12), 19(13), 34(24)
7
24(17), 46(33)
43(31), 47(34)
4
11(8), 16(11), 54(39)
8(6), 32(23), 42(30), 48(35)
7
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanggung jawab. No Aspek Indikator 5 Berpendirian Lebih suka menggunakan norma-norma yang dianut daripada harus menyesuaikan dengan lingkungan Memiliki prinsip yang selalu dipegang teguh Merasa nyaman dengan standard-standard yang dimiliki. 6 Menyadari Mengakui keterbatasan keterbatasan yang dimiliki Puas terhadap keadaan diri Rela atas kondisi yang dihadapi Tidak menyalahkan siapapun atas keterbatasan yang dimiliki Menyadari kelebihan yang dimiliki 7 Menerima Menyalurkan impuls sifat emosi kemanusiaan Tidak menyangkal atau merasa bersalah karena penyaluran emosi Memaklumi sifat lupa Jumlah total aitem keterangan :
Favourble 4(3) , 31(22), 51(37)
Unfavourable Jumlah 26(18), 5 50(36)
6(5), 29(21), 9(7), 27(19), 38(27), 37(26), 52(38) 40(29)
8
1(1) , 5(4)
5
2(2) , 28(20), 39(28)
40
angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
b. Skala Dukungan Emosional Berdasarkan hasil analisis, dari 50 aitem yang digunakan dalam uji coba, didapatkan 38 aitem valid dan 12 aitem gugur. Aitem yang valid mempunyai nilai corrected item-total correlation bergerak dari 0,467 sampai 0,889 dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
koefisien reliabilitas alpha () = 0,965. Distribusi aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga yang valid dan gugur adalah sebagai berikut:
Tabel 5 Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Dukungan Emosional Keluarga No 1
2
3
4
5
Aspek
Indikator
Favourable Valid Gugur 1, 14, 38, 40, 46, 2, 24, 34, 39, 47
Ungkapan Ikut merasakan perasaan Rasa Simpati yang dialami Memaklumi kondisi yang dialami Peneguhan hati Pemberian Menjadi pendengar yang Perhatian baik Menjadi pencerita yang baik Memperhatikan kegiatan yang dilakukan Membantu ketika mengalami kesulitan Memantau kondisi yang dialami Kasih Sayang Menghibur ketika sedih 20, Kehangatan dan 33, keakraban 49 Melayani dengan tulus Penghargaan Verbal: memberikan 6, pujian 12, Non verbal: bangga 17, terhadap prestasi 28, Material: memberikan reward Kebersamaan Ada ketika dibutuhkan 21, Mau berbagi dalam suka 25, dan duka 29, Tetap berkomunikasi 31 meski terpisah jarak 41, Jumlah Total Aitem
commit to user
Unfavourable Jumlah Valid Gugur 5, 43, 26, 8 50 30
11, 13, 37, 45
15
9
3, 10
9, 16, 23, 44
36
7
19
4
8, 22, 32, 42
5
-
7, 18, 27, 35,
48
9
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya peneliti menggunakan 38 aitem yang valid untuk penelitian. Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam penelitian : Tabel 6 Distribusi Aitem Skala Dukungan Emosional Keluarga Setelah Uji Coba
No Aspek Indikator Favourable 1 Ungkapan Ikut merasakan perasaan 1(1), Rasa Simpati yang dialami 14(11), Memaklumi kondisi yang 38(28), dialami 40(30), Peneguhan hati 46(35), 2 Pemberian Menjadi pendengar yang 2(2), Perhatian baik 24(18), Menjadi pencerita yang 34(25), baik 39(29), Memperhatikan kegiatan 47(36) yang dilakukan Membantu ketika mengalami kesulitan Memantau kondisi yang dialami 3 Kasih Sayang Menghibur ketika sedih 20(15), Kehangatan dan 33(24), keakraban 49(37) Melayani dengan tulus 4 Penghargaan Verbal: memberikan 6(5), 12(9), pujian 17(13), Non verbal: bangga 28(21), terhadap prestasi Material: memberikan reward 5 Kebersamaan Ada ketika dibutuhkan 21(16), Mau berbagi dalam suka 25(19), dan duka 29(22), Tetap berkomunikasi 31(23) meski terpisah jarak 41(31), Jumlah total aitem keterangan :
Unfavourable Jumlah 5(4), 43(32), 8 50(38)
11(8), 13(10), 37(27), 45(34)
9
9(7), 16(12), 23(17), 44(33)
7
4(3)
5
7(6), 18(14), 27(20), 35(26),
9
38
angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pelaksanaan Penelitian Banyaknya kendala dalam penelitian, seperti faktor terbatasnya jumlah subjek penelitian, subjek penelitian yang tidak dapat dijumpai setiap saat, sulitnya perijinan untuk penelitian di instansi PRTPC, serta penjadwalan penelitian yang ketat oleh pengurus instansi PRTPC memaksa peneliti untuk menggunakan uji coba penggunaan skala langsung digunakan untuk penelitian tanpa meninggalkan perhitungan validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut. Perhitungan validitas dan reliabilitas alat ukur serta program yang dipergunakan dalam pengukuran alat ukur tersebut digunakan program komputer SPSS 17.0 for windows. Seperti telah diuraikan di atas bahwa pelaksanaan uji coba juga merupakan pelaksanaan penelitian mengenai permasalahan yang diajukan oleh penulis yaitu tentang “Hubungan antara Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap di Kabupaten Bantul” dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2010. Penelitian dilakukan pada responden penyandang cacat tetap yang mengikuti rehabilitasi terpadu di Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat yang berlokasi di Dusun Piring, Kelurahan Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Penelitian dilaksanakan secara klasikal bagi responden yang dapat membaca-tulis, dan secara individual dengan jalan membacakan masing-masing aitem bagi responden yang buta huruf.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Deskripsi Responden Penelitian Berikut ini akan disajikan deskripsi subjek penelitian yang kemudian diikuti oleh rangkuman data penelitian. Deskripsi subjek penelitian dan deskripsi data penelitian ini memberikan gambaran pertama dan penting mengenai keadaan subjek penelitian yang akan memperkuat dan memperkaya hasil analisis interfisial guna pengujian hipotesis (Azwar, 2004). Responden penelitian ini total berjumlah 30 orang responden. Rentang usia responden berkisar antara 17-43 tahun. Adapun berdasarkan jenis kelamin, responden penelitian ini terdiri dari laki-laki 18 orang dan perempuan 12 orang. Untuk gambaran mengenai usia responden penelitian tersaji dalam tabel berikut ini.
No 1 2 3
Tabel 7 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Usia Responden Fase Responden Perkembangan Jumlah % 13 - 17 tahun Remaja 3 10,00% 18 - 40 tahun Dewasa Muda 26 86,67% 40 - 60 tahun Dewasa Madya 1 3,33% Jumlah 30 100%
2. Deskripsi Statistik Gambaran umum data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data penelitian yang meliputi variabel Dukungan Emosional Keluarga dan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap berikut ini :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 8 Deskripsi Statistik Data Penelitian Jumlah Data M SD Data
Alat Ukur
Subjek Hipotetik
Penerimaan
Diri
M
SD
Empiris
Skor Skor
Skor Skor
min maks
min maks
30
40
160
100
20
87
121
103,20
8,95
30
38
152
95
19
79
119
101,73
10,28
Penyandang Cacat Dukungan Emosional Keluarga Deskripsi data penelitian di atas menggambarkan kategorisasi dari masingmasing variabel yaitu Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap dan Dukungan Emosional Keluarga. Kategorisasi dibagi menjadi tiga golongan yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penentuan kategori tersebut didasarkan pada tingkat diferensiasi yang dikehendaki. Namun untuk memperoleh kategori perlu ditentukan terlebih dahulu ditentukan batasan yang akan digunakan berdasarkan nilai deviasi standar dengan memperhitungkan rentangan nilai maksimal dan minimum teoritisnya. Kategori ini ditentukan berdasarkan sebaran empirik. Berdasarkan pendapat Azwar (1999), maka peneliti menetapkan tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Adapun rumus yang digunakan adalah : a. Tinggi :
X > µ + 1σ
b. Sedang:
µ + 1σ ≤ X ≤ µ + 1σ
µ = mean empirik
c. Rendah:
X < µ + 1σ
σ = standar deviasi
1) Penerimaan diri penyandang cacat tetap
commit to user
Keterangan :
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan sebaran empirik dari skor skala penerimaan diri penyandang cacat, maka responden penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga, seperti pada tabel berikut : Tabel 9 Kriteria Kategorisasi Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap Kategorisasi Norma Jumlah Subjek Persentase Tinggi x > 112,15 3 10% Sedang 94,25 ≤ x ≤ 112,15 21 70% Rendah 94,25 < x 6 20% Jumlah 30 100% Berdasarkan kategori skala penerimaan diri dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang memiliki penerimaan diri tinggi sebanyak 3 orang, sedang sebanyak 21 orang, dan rendah sebanyak 6 orang. 2) Dukungan emosional keluarga Berdasarkan sebaran empirik dari skor skala dukungan emosional keluarga, maka responden penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut: Tabel 10 Kriteria Kategorisasi Dukungan Emosional Keluarga Kategorisasi Norma Jumlah Subjek Persentase Tinggi x > 112,01 5 16,7% Sedang 91,45 ≤ x ≤ 112,01 19 63,3% Rendah 91,45 < x 6 20% Jumlah 30 100%
Berdasarkan kategori skala penerimaan diri dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa responden yang mendapatkan dukungan emosional tinggi sebanyak 5 orang, sedang sebanyak 19 orang dan rendah sebanyak 6 orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Uji Asumsi Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran, dan uji linearitas hubungan, mengingat bahwa syarat untuk mencari koefisien hubungan antar dua variabel (r) adalah data yang digunakan memiliki distribusi normal dan hubungannya linear. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan bantuan komputer program statistik SPSS 17.0 for Windows a. Uji Normalitas Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah sebaran data normal atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan Kolmogorov-Smirnov Test untuk menguji normalitas. Kriteria yang digunakan yaitu dengan membandingkan nilai p yang diperoleh dengan taraf signifikan yang telah ditentukan yaitu 0,05. Apabila nilai p > 0,05, maka data yang diuji normal. Tabel 11 Hasil Uji Normalitas Variabel Dukungan emosional keluarga Penerimaan diri penyandang cacat
KS 0,422 0,489
p 0,994 0,970
Kesimpulan Normal Normal
Berdasarkan uji normalitas diketahui nilai probalilitas untuk variabel dukungan emosional (0,994) dan penerimaan diri (0,970) > 0,05 sehingga data berdistribusi normal. b. Uji Linearitas Hubungan. Pengujian linieritas dengan menggunakan analisis compare means. Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Pedoman yang digunakan untuk menguji linieritas dilakukan dengan jalan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menguji signifikansi nilai F. Adapun rangkuman hasil uji linieritas hubungan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 12 Rangkuman Hasil Uji Linieritas
Hubungan
F
Dukungan emosional dan
23,546
penerimaan diri
p 0,001
keterangan linear
Berdasarkan hasil analisis uji linieritas pada tabel diatas, menunjukan bahwa nilai probailitas (0,001) atau kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara dukungan emosisonal terhadap penerimaan diri adalah linear. 4.
Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji asumsi diketahui sebaran data dukungan emosional
keluarga dan penerimaan diri penyandang cacat berdistribusi normal dan linear. Karena syarat untuk melakukan uji hipotesis, yaitu uji asumsi telah terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan analisis Regresi Linear Sederhana untuk mengetahui koefisien korelasi (R) antara dua variabel teresebut, serta untuk mengetahui R Square (R2) yang merupakan besaran sumbangan efektif peran variabel dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS, didapatkan p value sebesar 0,003. Karena p value < 0,05 () maka hipotesis diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara
dukungan emosional keluarga dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penerimaan diri penyandang cacat tetap. Besarnya koefisien korelasi antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap sebesar 0,527. Koefisien korelasi bertanda positif (+) artinya semakin tinggi dukungan emosional keluarga maka semakin tinggi pula penerimaan diri penyandang cacat tetap yang bersangkutan, begitu pula sebaliknya. Tabel menunjukkan hasil Regresi Linear Sederhana dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap. Tabel 13 Rangkuman Hasil Regresi Linear Sederhana Dukungan Emosional Keluarga dengan Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap Variabel Bebas => Variabel Tergantung Dukungan Emosional Keluarga => Penerimaan Diri Penyandang Cacat Tetap
r 0,527
p 0,003
R2 0,278
Adapun untuk mengetahui besarnya sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap, adalah menggunakan koefisien determinan, yaitu R2 (R Square), atau kwadrat dari koefisien korelasi dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS, dapat dilihat bahwa R2 adalah 0,278, sehingga dikatakan bahwa sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah 27,8%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan emoisonal keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap di Kabupaten Bantul telah terbukti. Hubungan positif antara kedua variabel ini menunjukkan bahwa hubungannya searah, artinya semakin tinggi dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat tetap, maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya. Kekuatan hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi sebesar R=0,527; p:0,003 (p<0,05), sedangkan koefisien determinan sebesar R2 = 0,278, artinya sumbangan efektif yang diberikan oleh dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap adalah sebesar 27,8%, sedangkan 72,2% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Realitas ini sejalan dengan pernyataan Hurlock (1974) bahwa dukungan sosial, terutama dari significant others (orang-orang yang berpengaruh bagi individu yang bersangkutan) adalah faktor yang paling penting dalam membentuk penerimaan diri seorang individu. Menurut House (dalam Corneil, 1998), dukungan emosional merupakan aspek yang mendasari dukungan sosial. Sehingga dapat dikatakan, jika seseorang telah mendapatkan dukungan emosional dari keluarganya, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut juga akan mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya. Penyandang cacat tetap yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari keluarganya, yaitu dukungan sosial secara umum dan dukungan emosional secara khusus, akan menilai bahwa dirinya tetap dihargai oleh keluarga dan lingkungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekitarnya selayaknya seorang individu pada umumnya. Bentuk-bentuk dukungan emosional yang paling signifikan terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap menurut hasil penelitian ini antara lain keluarga memahami kondisi yang dialami, keluarga ikut merasakan apa yang dialami, keluarga ada dan menemani selama responden menjalani pengobatan, keluarga memperhatikan kegiatan yang dilakukan, serta saudara-saudara memberikan inspirasi seperti menginformasikan peluang-peluang yang dapat digunakan untuk meraih impiannya, dan memberi nasehat bahwa banyak orang yang memiliki keterbatasan yang lebih berat daripada yang dialaminya namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Penyandang cacat tetap yang banyak mendapatkan dukungan emosional dari keluarganya akan menilai bahwa dirinya memiliki harga diri yang sama dengan orang lain, serta merasakan bahwa dirinya tetap dianggap sama seperti orang lain dan tidak dibeda-bedakan. Hal ini membuat penyandang cacat tetap yang bersangkutan memiliki pandangan positif yang menyeluruh terhadap dirinya, bahwa dirinya memiliki kekurangan, namun juga masih memiliki kelebihan. Pandangan positif inilah yang menandakan bahwa individu untuk menerima dirinya. Hal ini tercermin dalam hasil penelitian ini, yaitu bahwa semakin tinggi dukungan emosional keluarga yang didapatkan oleh seorang penyandang cacat, diikuti dengan semakin tinggi pula penerimaan diri penyandang cacat yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk penerimaan diri yang dilakukan oleh para responden menurut penelitian ini antara lain telah dapat menemukan potensi diri yang dapat dikembangkan, tidak lagi menangis ketika merasakan kesedihan, lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperhatikan dan peka terhadap orang lain daripada sibuk memperhatikan dirinya sendiri, tidak menimpakan kesalahan yang diperbuat kepada orang lain, serta memiliki keyakinan yang teguh ketika berbeda dengan orang lain. Sebaliknya, individu yang kurang mendapatkan dukungan emosional akan cenderung sulit menerima realita yang dialami, sehingga akan berimbas pada kesulitan dalam menerima diri. Sebagaimana diungkap oleh penelitian Okoro dkk, (2009), yang menemukan bahwa individu penyandang cacat yang kurang mendapatkan dukungan sosial secara umum dan dukungan emosional secara khusus, akan lebih rentan mengalami serious psychological distress (tekanan psikologis serius) jika dibandingkan dengan individu penyandang cacat yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Berikutnya, individu yang mengalami serious psychological distress akan sulit menerima realita yang dialami, sehingga akan lebih sulit dalam menerima diri. Penyandang cacat tetap yang kurang mendapatkan dukungan emosional, terutama dari keluarganya akan cenderung merasa dirinya berbeda dengan orang lain, menilai dirinya kurang berharga jika dibandingkan dengan orang lain, dan juga sering menolak keadaan yang dialami saat ini. Jika hal ini terjadi berkelanjutan, maka penyandang cacat tetap tersebut akan mengalami serious psychological distress. Tekanan psikologis yang terus menerus dialami oleh penyandang cacat tetap tersebut akan mengakibatkan penolakan terhadap dirinya sendiri. Meskipun dalam penelitian ini didapatkan bahwa dukungan emosional keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan penerimaan diri penyandang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cacat tetap, namun ternyata sumbangan efektif dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap tergolong kecil, yaitu 27,8%. Hal ini dikarenakan penerimaan diri penyandang cacat tetap dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor lain, seperti pendapat Jersild (1963) bahwa aspek-aspek lain dari dukungan sosial yang berupa dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif juga mempengaruhi tingkatan penerimaan diri seseorang. Selain itu, ada beberapa faktor lain seperti pola asuh orang tua, tingkatan inteligensi, keadaan fisik, inteligensi dan usia yang juga berpengaruh terhadap tingkatan penerimaan diri seseorang. Hal lain yang mempengaruhi tingkatan penerimaan diri penyandang cacat tetap yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah faktor budaya, mengingat sampel penelitian yang hidup dalam lingkungan budaya Jawa yang menekankan sifat “nrimo” yang menurut Koentjaraningrat (1994) merupakan suatu bentuk menyerah kepada takdir karena merasa tidak berdaya. Hal ini membuat orangorang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap stress. Sifat “nrimo” ini juga membuat orang-orang dari lingkungan budaya Jawa lebih mudah dalam melakukan penyesuaian diri dan penyesuaian sosial (Sya’roni, 2008). Koentjaraningrat (1994) mengatakan bahwa sifat “nrimo” yang dimiliki oleh orang yang memiliki latar belakang lingkungan budaya Jawa lebih mampu menerima perubahan, meskipun penerimaanya sering kali berupa penerimaan secara pasif. Sifat “nrimo” ini pula yang membuat orang dengan latar belakang budaya Jawa berpikir bahwa apapun yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah kehendak Tuhan, sehingga harus dijalani dengan sabar. Hal ini membuat para penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul merasa bahwa kelanjutan hidupnya setelah menyandang kecacatan tetap sudah diatur oleh Tuhan, sehingga mereka tidak terlalu cemas dalam memikirkan hidup mereka selanjutnya. Sifat lain yang dimiliki oleh orang dengan latar kebudayaan Jawa adalah “syukur” atau menurut Koentjaraningrat (1994) adalah selalu bersyukur atas apa yang telah didapatkan. Sifat syukur ini membuat orang dengan latar kebudayaan Jawa lebih mudah menerima kenyataan yang terjadi, karena mereka berpikir bahwa seburuk apapun kondisi yang dialami, masih harus disyukuri, karena masih banyak orang lain yang mengalami kondisi yang lebih buruk lagi. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya mengungkap hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri penyandang cacat tetap secara umum, tanpa memandang tingkat kecacatan, jenis kelamin, serta faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi penerimaan diri penyandang cacat tetap. Selain itu, jumlah responden yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini juga tergolong sedikit, hal ini dikarenakan sulitnya menemukan sampel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah rentang usia sampel yang mayoritas berada pada usia dewasa muda, sehingga kurang mewakili penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul yang memiliki rentang usia yang sangat bervariasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan penerimaan diri pada penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul, dengan koefisien korelasi sebesar 0.527 dengan p value: 0,003 (p<0,05). 2. Sumbangan efektif peran dukungan emosional keluarga terhadap penerimaan diri penyandang cacat tetap akibat gempa bumi di Kabupaten Bantul adalah 27,8%.
B. Saran 1. Bagi Keluarga yang Mempunyai Anggota Penyandang Cacat Tetap Kepada keluarga yang mempunyai anggota yang menyandang kecacatan tetap disarankan untuk memberikan dukungan emosional yang dapat berupa memfasilitasi kondisi dan kebutuhan anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap, meluangkan waktu untuk menemani anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap ketika harus melakukan terapi atau pengobatan, memberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota keluarganya yang menyandang kecacatan tetap, serta memberikan informasi serta peluang-peluang yang dapat dilakukan oleh anggota keluraganya yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyandang kecacatan tetap agar dapat berprestasi sesuai dengan kondisinya saat ini. 2. Bagi Institusi yang Melaksanakan Rehabilitasi Penyandang Cacat Tetap Kepada institusi yang melakukan rehabiitasi terhadap penyandang cacat tetap, disarankan agar selain memberikan rehabilitasi medik dan vokasional, juga memperhatikan kebutuhan para penyandang cacat tetap akan dukungan emosional keluarga, sehingga dapat dibuat program-program yang menunjang pemberian dukungan emosional dari keluarga para penyandang cacat tetap yang menjadi klien institusi yang bersangkutan. Adapun program-program tersebut antara lain dengan mengadakan rekreasi yang diikuti oleh klien beserta keluarganya, memberikan terapi keluarga bagi para klien beserta keluarganya, memberikan logoterapi kepada para klien, serta memberikan training-training psikologis bagi para kliennya. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti yang berminat untuk mengangkat tema yang sama, disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan variabel lain yang mungkin juga mempengaruhi penerimaan diri. Peneliti juga menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memperbanyak jumlah responden, serta memperhatikan tingkatan kecacatan yang dialami oleh responden.
commit to user