BKSDA BALI
PPS BALI
LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
Disusun oleh:
Tim Pelaksana Program Pelepasliaran Elang Brontok 2007
2007 1
BKSDA BALI
PPS BALI
Tim Pelaksana
Supervisi Ir Istanto Dwi Martoyo (Ka Balai KSDA Bali) Drh. Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali) Species assesment Faturrohman (Balai KSDA Bali) Kiswanto (Balai KSDA Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) Drh. Made Winaya (PPS Bali) M. Syaifudin Andry Chusnul Habitat assesment Faturrohman (Balai KSDA Bali) Kiswanto (Balai KSDA Bali) Mulyono (Balai KSDA Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) M. Syaifudin Andry Chusnul Kontributor foto Made Winaya (PPS Bali) Oni PB (PPS Bali) Andry Chusnul M. Syaifudin Tim lapangan Putu Citra Sudarmaya (Balai KSDA Bali) I Nengah Sukayasa (Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan) Gede Zorro (Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan) Penyusun Jatmiko Wiwoho (PPS Bali) Oni Purwoko Basuki (PPS Bali) Ivan Juhandara (Balai KSDA Bali)
2
BKSDA BALI
PPS BALI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR _______________________________________________ PENDAHULUAN __________________________________________________ PELAKSANAAN 1. Pra kegiatan _________________________________________________ 2. Pemeriksaan kesehatan ________________________________________ 3. Penandaan dan pemasangan wingmarker __________________________ 4. Sosialisasi masyarakat _________________________________________ 5. Survei habitat ________________________________________________ 6. Habituasi ___________________________________________________ 7. Pelepasliaran ________________________________________________ 8. Monitoring paska pelepasliaran __________________________________ PENUTUP ________________________________________________________
LAMPIRAN ___________________________________________________________
3
BKSDA BALI
PPS BALI
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan, laporan ini dapat kami sajikan ke hadapan sidang pembaca. Laporan ini merupakan formulasi dari perjalanan panjang upaya melepasliarkan 2 ekor Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) ke habitatnya di Kawasan Hutan Batukaru, Tabanan, dalam Program Pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Tahun 2007. Program ini terselenggara berkat kerjasama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali, BaliPost Group, dan Kelompok Tani Prana Dewi-Wongaya Gede, Tabanan. Tanpa mengurangi substansi, rujukan ilmiah, dan kelengkapan data lainnya, sistematika penulisan Laporan Program ini disusun sesederhana mungkin, agar mudah dipahami khalayak pembaca. Terima kasih kepada segenap pihak yang telah mendukung –langsung maupun tidak langsung- sehingga Program ini dapat dilaksanakan dengan baik. Tak dapat kami lupakan bimbingan, dukungan baik moral maupun material formal dari Kepada Kepala Balai KSDA Bali, Ir. Istanto Dwi Martoyo, yang sejak awal meyakini bahwa betapapun baiknya pemeliharaan satwa dalam captive, jalan terbaik bagi satwa liar adalah kembali hidup di alam bebas. Kepada Kepala SKW I KSDA Bali, Ir. Supriyanto, beserta jajarannya, kami sampaikan pernghargaannya atas asistensi dan dukungan teknis selama persiapan sampai berakhirnya program. Tak lupa salut dan penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada Direktur BaliPost Group, A. B. G. Satria Narada, atas kepedulian serta peran aktifnya dalam upaya konservasi satwa-satwa dilindungi di Bali, melalui dukungan pada Program ini. Demikian pula kami ucapkan penghargaan yang tak ternilai kepada Kelompok Tani beserta keluarga besar Prana Dewi, Desa Wongaya Gede, Tabanan, serta segenap prajuru adat, perangkat Desa Wongaya Gede, serta segenap masyarakat Desa Wongaya Gede atas kerjasama dan perhatiannya terhadap program ini. Besar harapan kami, Laporan Program ini menambah khasanah keilmuan bidang konservasi dan bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya mereka yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar. Terima kasih.
Tabanan, Mei 2007 Tim Penyusun
4
BKSDA BALI
PPS BALI
PENDAHULUAN
1. Konservasi Jenis di Indonesia Indonesia adalah negara yang terdiri dari 17.000 pulau, memiliki kurang lebih 198 juta hektar daratan, 120 juta hektar di antaranya merupakan areal hutan (Departemen Kehutanan/FAO, 1989, Soehartono dkk 2003). Dilihat dari luas daratannya negara ini sangat beruntung memiliki jenis hidupan liar yang berlimpah, yang pada akhirnya memberikan tambahan nilai dalam keindahan dan keberagaman. Kecenderungan yang belakangan ini terjadi adalah permintaan hidupan liar sebagai hewan peliharaan dan produk-produk lainnya (misalnya untuk bahan makanan dan aksesoris) meningkat setiap waktu. Eksploitasi terhadap hidupan liar Indonesia kemungkinan besar akan mengakibatkan munculnya masalah-masalah yang terkait dengan bidang konservasi, seperti pemanenan yang terlalu berlebihan dan kepunahan jenis (Soehartono dkk 2003). Salah satu upaya penyelamatan jenis yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan perlindungan hukum melalui UU No. 5/1990 dan PP No. 7 dan No. 8/1999. Namun perlindungan hukum saja tidaklah cukup untuk menjaga keberadaan jenis dari berbagai ancaman yang menjadi penyebab penurunan populasi di alam, jika tidak diiringi dengan upaya konservasi lainnya. Kurang lebih lima tahun terakhir ini upaya penyelamatan jenis di Indonesia semakin meningkat karena tingkat ancaman terhadap keberadaan jenis juga semakin tinggi dan semakin tidak terkendali. Beberapa kegiatan dalam upaya penyelamatan jenis telah dan terus-menerus dilakukan, salah satu bentuk dan upaya penyelamatan satwa adalah melakukan penyitaan jenis-jenis yang dilindungi dari perdagangan hidupan liar. 2. Tujuan Program Program Pelepasliaran adalah program untuk melepas satwa dilindungi yang telah ditangkap atau dipelihara manusia kembali ke habitat alaminya, yang bertujuan a.l. untuk: a. Memberi kesempatan pada satwa dilindungi yang telah dibawa keluar habitat untuk hidup bebas di alam, b. Menambah populasi jenis (species) di alam, c. Meningkatkan nilai konservasi kawasan dalam jangka panjang, dan d. Mendorong pendidikan konservasi kepada masyarakat, serta memperkuat nilai konservasi lokal terhadap satwa liar, khususnya yang terancam punah.
3. Program Release oleh Pusat Penyelamatan Satwa Bali Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali adalah salah satu dari enam pusat penyelamatan satwa yang ada di Indonesia, berlokasi di Banjar Dukuh, Desa Dauh Peken, Tabanan, Bali. Berdiri pada tanggal 1 Mei 2004, dan dikelola oleh Yayasan PPS Bali, PPS Bali merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang penyelamatan satwa liar Indonesia yang dilindungi. PPS Bali berfungsi sebagai tempat penitipan dan penampungan sementara dari satwa-satwa dilindungi hasil penyitaan pemerintah, translokasi dari PPS lain, maupun penyerahan masyarakat di Bali. Selain itu, PPS Bali juga berfungsi sebagai sarana pendidikan lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati Indonesia. Dalam perkembangannya, PPS Bali memiliki tugas ganda yaitu; sebagai tempat penampungan satwa sitaan untuk mendukung upaya penegakan hukum, dan sebagai fasilitas rehabilitasi dan pelatihan satwa sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya sesuai prosedur (Guidelines IUCN) dan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa. Release Program untuk jenis raptor di dunia pernah dilakukan oleh beberapa lembaga yang memfokuskan perhatian pada jenis burung pemangsa. Umumnya, program pelepasliaran elang dilakukan pada individu hasil penangkaran (captive breeding), sehingga anakan burung tersebut yang akan dilatih dan dilepasliarkan. Di Eropa, Amerika dan beberapa negara lainnya, 5
BKSDA BALI
PPS BALI
pelepasliaran elang lebih sering dilakukan terhadap jenis raptor yang mengalami kecelakaan seperti tertabrak mobil, tertembak atau tersangkut di kawat-kawat ladang pertanian (Rakhman Z., dkk 2004). Hal tersebut berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia, dimana kendala yang dihadapi oleh jenis-jenis elang adalah perburuan dan perdagangan satwa liar yang sangat tinggi, meski semua jenis burung pemangsa di Indonesia telah dilindungi oleh Undang-Undang. Program Release kali ini merupakan program release ketiga yang telah dilaksanakan oleh PPS Bali bekerjasama dengan BKSDA Bali. Sebelumnya pada tahun 2005 Program Release berhasil melepasliarkan 2 ekor Elang Brontok di TWA Danau Buyan-Danau Tamblingan dan pada tahun 2006 melepasliarkan 4 ekor Elang Bondol di lokasi yang sama. Saat ini PPS Bali merawat 4 ekor Elang Brontok, 2 ekor di antaranya dipersiapkan untuk dilepasliarkan ke kawasan hutan Gunung Batukaru. Kedua ekor elang tersebut merupakan hasil penyitaan Kepolisian Daerah Bali dan BKSDA Bali pada tanggal 19 Juli 2005 di Denpasar. Hal menarik pada program kali ini adalah munculnya minat kalangan pengusaha untuk mendukung kegiatan pelestarian elang di Bali, yang ditandai dengan kesediaan BaliPost Group mendukung pendanaan program ini. BaliPost Group adalah perusahan sindikasi media (harian umum, tabloid, radio, dan televisi lokal) terbesar di Bali. Perusahaan ini selain diketahui sebagai perusahan media paling berpengaruh di Bali, juga dikenal memiliki kepedulian terhadap pelestarian satwa langka di Bali, khususnya terhadap raptor (burung-burung pemangsa). Dalam budaya lokal dan agama Hindu di Bali, raptor memiliki posisi religius dan kultural yang tinggi. BaliPost sebelumnya telah melakukan pelepasliaran beberapa raptor dalam upacara-upacara adat Bali sebagai simbolisme menjaga keajegan alam Bali. Berikut adalah data Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) yang siap dilepasliarkan di kawasan Pura Batukaru, Tabanan. NO
DATA
NO. REG
B.A.P
ASAL
TGL DITERIMA
TAGGING
JENIS KELAMIN
1
Elang Brontok 1
A/S.c/0138/P PSB
BAP. 13/IVK.17/PPA.00/2005
BKSDA Bali (penyitaan Polda Bali di Pasar Burung)
19-Jul-2005
microchip AVID no: 070830570 tgl: 4-Nop-2006
Betina
2
Elang Brontok 2
A/S.c/0139/P PSB
BAP. 13/IVK.17/PPA.00/2005
BKSDA Bali (penyitaan Polda Bali di Pasar Burung)
19-Jul-2005
microchip AVID no: 075529865 tgl: 5-Nop-2006
Jantan
4. Perlindungan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Saat ini kepemilikan terhadap satwa dilindungi khususnya jenis burung paruh bengkok dan burung pemangsa cukup besar. Dalam satu kali operasi penertiban terhadap satwa langka yang dilakukan oleh BKSDA di wilayah Jawa dan Bali, baik itu di pasar burung maupun di rumah pribadi, paling kurang terdapat satu ekor jenis burung paruh bengkok atau burung pemangsa yang dimiliki secara ilegal oleh masyarakat (Wijaya dkk, 2004). Satwa-satwa hasil sitaan dan penyerahan masyarakat ke BKSDA selanjutnya dititipkan di pusat penyelamatan satwa yang ada di Indonesia untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi sebelum dilepaskan kembali ke habitatnya, salah satunya adalah di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali. Status perlindungan Elang Brontok adalah: 1. UU Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. PP Republik Indonesia No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 3. PP Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 4. Keputusan Presiden Rl Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention International on Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora: ”...pemanfaatan spesies tersebut perlu perlakuan internasional dengan pembatasan kuota tertentu yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi dan kecenderungan di alam”.
6
BKSDA BALI
PPS BALI
5. Profil Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Hampir sebagian besar ancaman yang dihadapi oleh burung pemangsa di beberapa kawasan di Indonesia adalah terjadinya degradasi (penurunan kualitas dan kuantitas) habitat, perburuan, dan penangkapan untuk perdagangan. Hal ini juga yang dialami oleh salah satu komunitas burung pemangsa Indonesia yaitu Elang Brontok Spizaetus cirrhatus Gmelin, 1788. Indonesia memiliki 75 jenis burung pemangsa dari dua suku yang berbeda, yaitu suku Accipitridae, terdiri atas 65 jenis burung pemangsa dan suku Falconidae terdiri atas 10 jenis (Ed Collin., Ed., A.A. Supriatna). Lima jenis burung pemangsa dari marga Spizaetus merupakan bagian dari suku Accipitridae yaitu Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang Jawa (S. bartelsi), Elang Blyth’s (S. alboniger), Elang Walacea (S. nanus) dan Elang Sulawesi (S. lanceolatus) (Andrew, 1992 dalam Nurwatha dkk, 2000). Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) sendiri tersebar luas mulai dari India, Asia Tenggara, Filipina, Sunda Besar dan Nusa Tenggara (MacKinnon. 1998) dengan tatus Elang Brontok adalah ‘tidak umum’ yang berarti kurang dari 50% dari habitat yang ada (Strange, 2001). Jenis ini umumnya merupakan jenis penetap, sebagian individu pra-dewasa tersebar. Memiliki ukuran panjang tubuh antara 57 - 79 cm dengan rentang sayap mencapai 127 - 138 cm, berat tubuh antara 1,3 kg - 1,9 kg. Menyukai habitat pinggiran hutan, padang rumput, kebun yang berpohon, sumber-sumber air yang ditumbuhi pohon, hutan dekat perkampungan sampai di pinggiran perkotaan. Dan umumnya diketemukan pada ketinggian dibawah 1500 m dpl, namun tidak umum diketinggian 2.000 m dpl. Senang berburu ayam kampung di pinggiran hutan, maupun memangsa jenis-jenis mamalia kecil, reptilia dan katak (MacKinnon. 1998; Prawiradilaga dkk. 2003).
Deskripsi Fisik: berukuran besar (70 cm), bertubuh ramping. Sayap sangat lebar, ekor panjang berbentuk bulat, jambul sangat pendek. Terdapat fase gelap, pucat dan peralihan. Fase gelap: seluruh tubuh coklat gelap dengan garis hitam pada ujung ekor, terlihat kontras dengan bagian ekor lain yang coklat dan lebih terang. Burung muda juga berwarna gelap. Fase terang: tubuh bagian atas coklat abu-abu gelap, tubuh bagian bawah putih bercoret coklat kehitaman memanjang, strip mata dan kumis kehitaman. Burung muda: tubuh bagian atas coklat keabu-abuan, kepala dan tubuh bagian bawah keputih-putihan. Bentuk peralihan dari kedua fase tadi terutama terlihat pada pola warna coretan dan garis (tetapi lebih mirip bentuk terang): garis-garis pada ekor dan sayap tidak teratur serta garisgaris coklat kemerahan melintang pada perut bagian bawah dan ekor bagian bawah. Iris: Kuning sampai coklat, paruh kehitaman, sera kuning kehitaman, kaki kuning kehijauan. Suara: Pekikan panjang kwip-kwip kwiiah meninggi atau klii liiuw tajam. Penyebaran global: India, Asia Tenggara, Filipina, Sunda Besar dan Nusa Tenggara. Penyebaran lokal dan status: Terdapat di seluruh dataran Sunda Besar, tidak umum ditemukan di bawah ketinggian 2.000m. Kebiasaan: Mengunjungi hutan dan daerah berhutan terbuka, menyergap ayam kampung. Berburu dari udara atau dari tempat bertengger di pohon kering. Umumnya berburu di hutan yang baru ditebang. (Sumber: Buku Panduan Lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan, MacKinnon dkk, 1992).
7
PELAKSANAAN
Proses pelepasliaran satwa sitaan atau yang pernah dipelihara manusia bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tetapi upaya tersebut tetap harus diprioritaskan mengingat sebagian besar satwa sitaan atau serahan masyarakat bukan hasil penangkaran, melainkan berasal dari alam, sehingga peluang untuk dapat dilepasliarkan kembali cukup besar. Untuk melepasliarkan kembali satwa ke habitatnya, diperlukan beberapa persiapan untuk meminimalkan resiko dan memberi peluang dapat bertahan hidup di alam yang lebih besar. Dalam pelaksanaannya, pelepasliaran dapat dilakukan setelah adanya kajian pada satwa yang akan dilepasliarkan, kajian habitat lokasi pelepasliaran dan perencanaan yang baik dalam pelepasan termasuk sistem monitoring di lokasi pelepasan. Apabila hasil kajian satwa dan habitatnya menunjukkan potensi positif, maka pelepasliaran dapat dilakukan. Satwa liar disita oleh pihak berwenang karena berbagai alasan. Sekali pihak berwenang mengambil alih kepemilikan satwa-satwa tersebut harus ditempatkan secara layak dan bertanggung jawab serta efektif dan efisien. Peraturan-peraturan yang umum berlaku, praktek-praktek kultural dan kondisi-kondisi ekonomi akan mempengaruhi keputusan pengaturan penempatan yang tepat dan baik menyangkut satwa-satwa sitaan tersebut. Dalam konteks konservasi, ada beberapa pilihan yang mungkin bisa diambil, yaitu: 1) memelihara satwa tersebut di tempat penangkaran untuk menghabiskan sisa hidup alami mereka. 2) mengembalikan satwa tersebut ke alam (habitat alaminya). 3) meng-etonasi (menidurkan) satwa mereka dengan cara yang baik.
tersebut,
misalnya
memusnahkan
Sumber: Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan
Beberapa tahapan persiapan yang harus dilakukan berdasarkan standar IUCN adalah: 1. Pemeriksaan medis 2. Penandaan dan morfometri 3. Penilaian habitat/lokasi release 4. Pengamatan perilaku 5. Sosialisasi masyarakat 6. Habituasi 7. Pelepasliaran 8. Monitoring paska release
1. Pra Kegiatan Inisiasi terhadap program ini telah dilakukan sejak tahon 2005, tepatnya setelah melihat keberhasilan Program Release Elang Brontok di TWA Danau Buyan-Tamblingan pada Juli 2005. Pada bulan Nopember 2005 telah dimulai survei pendahuluan untuk mengetahui calon lokasi pelepasliaran, sekaligus bertemu dengan para tokoh dan pemangku adat desa. Namun mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki PPS Bali dan bersamaan dengan dilaksanakannya berbagai program lainnya, maka gagasan ini kemudian lama tidak muncul. Barulah kemudian, pada Oktober 2006 muncul titik terang yaitu sejak diadakannya pembicaraan mengenai pentingnya pelestarian satwa (khususnya raptor) yang menerapkan prosedur standar (baku) secara internasional dan nasional. Hal ini dianggap penting, karena di Bali sering dilakukan pelepasan satwa oleh para pejabat daerah pada acara-acara seremoni. Umumnya mereka
BKSDA BALI
PPS BALI
memiliki ketertarikan dan menyadari pentingnya melestarikan alam melalui pengembalian satwa ke alam bebas, tetapi sedikit sekali yang menyadari pentingnya persiapan-persiapan standar baik terhadap satwa (seperti status kesehatan dan perilaku alami) maupun lokasi pelepasan (kondisi lama, ketersediaan pakan, tingkat ancaman, kompetisi di alam, dll). Pematangan rancangan program telah dimulai sejak kunjungan Direktur BaliTV ke fasilitas PPS Bali pada tanggal 10 Nopember 2006 sekaligus mendiskusikan pentingnya pelestarian raptor dalam kaitan dengan pelestarian nilai-nilai budaya Bali. Dalam pertemuan tersebut disepakati pembagian tugas dan peran dari masing-masing pihak: BKSDA Bali sebagai penanggung jawab program, PPS Bali sebagai pelaksana program, dan BaliPost Group sebagai penyandang dana. Nantinya diharapkan program release Elang Brontok di kawasan hutan Batukaru ini mampu mendorong munculnya partisipasi berbagai kalangan (pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat luas) dalam pelepasliaran satwa dilindungi di Bali, khususnya jenis-jenis raptor.
Sejak tanggal 17 Desember 2006 dilakukan koordinasi intensif antara BKSDA Bali dan PPS Bali untuk mempersiapkan perangkat kelembagaan, tim kerja, dan perlengkapan lapangan. Pada tanggal 2 Januari 2007 secara formal tim kerja telah terbentuk melalui Surat Keputusan Kepala Balai Nomor SK.01/IV-K.17/PPA.03/2007, tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Kerjasama Antara Balai KSDA Bali, PPS Bali dan Bali Post Group.
2. Pemeriksaan Kesehatan Sebagai persiapan terhadap individu sebelum dilepasliarkan ke alam, sangat penting melakukan screening kesehatan yang mengacu pada standar internasional. Tujuan Screening kesehatan bertujuan untuk memastikan bahwa individu yang akan dilepaskan benar-benar dalam kondisi yang sehat sehingga mampu mempertahankan hidup di alam, serta untuk memastikan individu tidak membawa penyakit yang dapat menular kepada satwa lain dan lingkungan sekitarnya. Acuan dan Pelaksanaan Pemeriksaan kesehatan terhadap kedua elang yang akan dilepasliarkan ini mengacu pada guidelines IUCN yaitu: Quarantine And Health Screening Protocols For wildlife Prior to Translocation and Release Into The Wild, yang mana standar ini juga disesuaikan dengan kondisi penyebaran penyakit di masing-masing negara mengacu pada data dan informasi OIE (The Office International des Epizootis). Selain berpedoman pada standar yang ada juga dilakukan analisa terhadap data penyebaran penyakit di Indonesia pada umumnya dan lebih khusus di daerah Bali berdasarkan data OIE yang ada di Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian dan data distribusi penyakit dari Balai Pengujian dan Penelitian Veteriner Regional VI Denpasar. Hal ini dilakukan karena keterbatasan sarana dan fasilitas laboratorium di Indonesia untuk beberapa pemeriksaan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan di Klinik PPS Bali dan di laboratorium hewan di Bali, yaitu Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional VI Denpasar, Departemen Pertanian serta di Laboratorium Klinik Veteriner Yudisthira Swarga. 9
BKSDA BALI
PPS BALI
Metode dan Hasil Pemeriksaan Tahapan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhadap 2 ekor Elang Brontok tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan sekaligus sebagai seleksi awal terhadap individu untuk menentukan layak tidaknya satwa untuk dilepasliarkan ke alam. Pemeriksaan fisik terhadap elang meliputi: a. Pengamatan visual, yaitu terhadap bentuk fisik yang meliputi kesempurnaan sayap, bulu primer, kaki, ekor, mata, paruh, selaput lendir. b. Palpasi atau perabaan, yaitu pada daerah musculus pectoralis dan musculus femoralis untuk menentukan status gizi satwa serta kelainan fisik lainnya. c. Pengukuran yang meliputi pengukuran temperatur, frekuensi nafas dan denyut jantung. Berikut adalah data hasil pemeriksaan fisik kedua elang tersebut. Elang Brontok I No. Registrasi No. BAP BKSDA Bali Nama ilmiah Nama panggilan Jenis kelamin Umur Asal Tanggal kedatangan
: A/S.c/0086/PPS-B : BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005 : Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788 : Timba : Jantan : 2 tahun : Penyitaan di Pasar Burung Satria, Denpasar : 19 Juli 2005
Lama pemeliharaan Pemilik awal PPS Bali
: : Tidak diketahui : 2 tahun
Penanganan Perilaku : Program pemberian feed suplement, berupa penambahan vitamin dan mineral yang diberikan pada pakan satwa untuk memenuhi kebutuhan satwa Penempatan kandang Karantina : 19 Juli 2005 – 14 Agustus 2005 Kandang reptil : 14 Agustus 2005- 15 April 2006 Kandang kubah : 15 April 2006 – 30 Januari 2007 Pelatihan Penangkapan dan penanganan mangsa Kemampuan terbang dan manuver Pengenalan jenis pakan alami Minimalisasi interaksi dengan manusia Data pengukuran Waktu Senin, 15 Januari 2007 Jenis Spizaetus cirrhatus, A/S.c/0138/PPSB Pengukuran ditujukan pada individu yang merupakan hasil:
penangkapan di alam
anakan
penyelamatan/rescue 1 Berat badan 1,8 kg 2 Panjang total
Tempat Klinik PPS Bali Individu no S.c/04 Pelaksana: Pusat Penyelamatan Satwa Bali
Frekuensi pernafasan 61 cm Detak jantung
11/15” 42/15” 10
BKSDA BALI
3 4 5 6 7 8 9 10 11
12
13 14 15 16
Panjang sayap Rentang sayap Lebar sayap dalam Lebar patagium Panjang ekor Tungkai Diameter tungkai Tapak kaki Dengan cakar Tanpa cakar Cakar Depan dalam Tengah Luar Belakang Paruh Tanpa cere Dengan cere Tinggi Lebar Jarak antar pupil Warna iris Ukuran tembolok Temperatur
Elang Brontok II No. Registrasi No. BAP BKSDA Bali Nama ilmiah Nama panggilan Jenis kelamin Umur Asal Tanggal kedatangan Lama pemeliharaan Pemilik awal PPS Bali
48 cm 118 cm 28 cm 9 cm 25 cm 10,6 cm 1,2 cm
PPS BALI
Penandaan/tagging: Wing marker: Warna/posisi: Putih di sayap kanan Kode: BKSDA Bali S.c/04
Microchip: Merk : Avid 7,9 cm Nomor : 070830570 3,4 cm 2,8 cm Transmitter: 2,2 cm (tidak terpasang) 3,7 cm 3,4 cm 3,8 cm 3 cm 0,9 cm 3,9 cm Coklat 41,1
: A/S.c/0086/PPS-B : BAP. 13/IV-K.17/PPA.00/2005 : Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788 : Timbi : Betina : 2 tahun : Penyitaan di Pasar Burung Satria, Denpasar : 19 Juli 2005 : Tidak diketahui : 2 tahun
Penanganan Perilaku : Program pemberian feed suplement, berupa penambahan vitamin dan mineral yang diberikan pada pakan satwa untuk memenuhui kebutuhan satwa Penempatan kandang Karantina : 19 Juli 2005 – 14 Agustus 2005 Observasi : 14 Agustus 2005 - 15 April 2006 Kandang kubah : 15 April 2006 – 30 Januari 2007 Pelatihan Penangkapan dan penanganan mangsa Kemampuan terbang dan manuver Pengenalan jenis pakan alami Minimalisasi interaksi dengan manusia Data pengukuran Waktu Senin, 15 Januari 2007 Jenis Spizaetus cirrhatus, A/S.c/0138/PPSB
Tempat Individu no
Klinik PPS Bali S.c/03
11
BKSDA BALI
PPS BALI
Pelaksana: Pusat Penyelamatan Satwa Pengukuran ditujukan pada individu yang merupakan Bali hasil:
penangkapan di alam
anakan
penyelamatan/rescue 1 Berat badan 1 kg Frekuensi 7/15” pernafasan 2 Panjang total 59 cm Detak jantung 36/15” 3 Panjang sayap 51 cm 4 Rentang sayap 118 cm Penandaan/tagging: 5 Lebar sayap dalam/luar 29 cm Wing marker: 6 Lebar patagium 8 cm Warna/posisi: merah pada sayap kiri 7 Panjang ekor 26 cm Kode: BKSDA Bali S.c/03 8 Tungkai 8,5 cm 9 Diameter tungkai 1,2 cm Microchip: Merk : Avid Dengan cakar 10 Tapak kaki Tanpa cakar 7,6 cm Nomor :075529865 Depan dalam 2,7 cm Tengah 2,2 cm Transmitter: 11 Cakar Luar 1,8 cm Kode transmitter: 53,265 Belakang 2,9 cm Ukuran transmitter: 2,5 cm Berat transmitter: 11,5 gram Tanpa cere 3 cm Panjang antena: 22 cm Dengan cere 3,7 cm 12 Paruh Tinggi 2 cm Lebar 1,1 cm 13 Jarak antar pupil 4 cm 14 Warna iris Coklat 15 Ukuran tembolok 16 Temperatur 40,8 Kesimpulan dan rekomendasi: Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik secara anatomis dan fisiologis, kedua individu elang tersebut dinyatakan secara klinis normal dan sehat, dan siap untuk dilakukan tahap pemeriksaan selanjutnya.
b. Pemeriksaan Laboratorium 2.1 Pemeriksaan Faeces a. Pemeriksaan terhadap faeces segar secara langsung dan pengapungan untuk mendeteksi adanya parasit cacing, trichomonas, coccidia dan protozoa lainnya. b. Pewarnaan Apusan Faeces (Faecal smear), dengan pewarnaan Gram untuk mendeteksi Candida sp. dan Clostridium sp, serta pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk deteksi Mycobacterium avium. c. Kultur Faeces (Faecal culture) untuk deteksi Salmonella sp. dan Campylobacter sp. 2.2 Pemeriksaan Darah a. Pemeriksaan terhadap CBC (Complete Blood Count) dan PCV untuk mengetahui gambaran darah b. Pemeriksaan Serum, untuk deteksi terhadap penyakit New Castle Disease dan Avian Influenza. c. Pemeriksaan apusan darah (Blood smear), untuk deteksi terhadap parasit darah terutama Avian Malaria, Microfilaria dan Leucocytozoon sp. 2.3 Pemeriksaan Swab Cloaca dan Choanal a. Swab Cloacal dilakukan untuk isolasi virus terutama deteksi penyakit Avian Influenza, apabila dari pemeriksaan serologi menunjukkan hasil positif. b. Swab Choanal dilakukan untuk deteksi adanya infeksi oral trichomonas. 12
BKSDA BALI
PPS BALI
2.4 Pemeriksaan kulit terutama pada follikel bulu Pemeriksaan dimaksudkan untuk deteksi adanya infestasi ectoparasite yang dapat berperan sebagai vektor dari penyakit. Berikut adalah data hasil pemeriksaan laboratorium: Elang Brontok I No Regirstrasi Nama panggilan Hasil
: A/S.c/0086/PPS-B : Timba :
1. Pemeriksaan Faeces ( faeces segar, pewarnaan , faecal culture) - Pemeriksaan faeces secara langsung (natif) didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun larva dari cacing dan protozoa) - Pemeriksaan secara apung didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun larva dari cacing dan protozoa). - Pewarnaan faeces (Faecal smear) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan clostridia. - Kultur faeces (Faecal culture) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan clostridia. 2. Pemeriksaan Sampel darah (CBC dan PCV, serum, apusan darah), Swab cloaca dan coanal , dan kulit adalah seperti tabel di bawah ini. No 1
Jenis Pemeriksaan CBC dan PCV
2
Serologi
3
Hapus darah
4
Swab Cloaca dan coanal
5
Pemeriksaan Kulit
Tujuan pemeriksaan Hematokrit
Hasil pemeriksaan 50
Kadar Hb
16,6
Jml Eritrosit
3,74
Jml Leukosit
22,2
Total Protein
4
Deteksi Antibodi terhadap ND Deteksi Antibodi terhadap AI Heteropil
Negatif antibodi virus ND Negatif antibodi virus AI 90
Limfosit
5,4
Monosit
4,5
Trombosit
24
Parasit darah Isolasi Pada telur berembrio utk virus AI Oral Trichomonas Deteksi Ectoparasit
Negatif Negatif
Negatif Negatif
Pemeriksaan Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira BPPV Denpasar BPPV Denpasar Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira
Keterangan Nrml 40-55% Nrml 10,5 – 18,7 g/dl Nrml2,2-4,5 ribu/µl 5,0-11,0 ribu/µl 2,5-5,0 g/dl
45-75% 20-50% 0-2% 35-50 ribu/µl
BPPV Denpasar Klinik PPSB Klinik PPSB
13
BKSDA BALI
Elang Brontok II No. Registrasi Nama panggilan Hasil
PPS BALI
: A/S.c/0086/PPS-B : Timbi :
1. Pemeriksaan Faeces ( faeces segar, pewarnaan , faecal culture) - Pemeriksaan faeces secara langsung (natif) didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun larva dari cacing dan protozoa) - Pemeriksaan secara apung didapatkan hasil negatif (tidak teramati adanya telur atau pun larva dari cacing dan protozoa). - Pewarnaan faeces (Faecal smear) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan clostridia. - Kultur faeces (Faecal culture) didapatkan hasil negatif kuman salmonella, candida dan clostridia. 2. Pemeriksaan Sampel darah (CBC dan PCV, serum, apusan darah), Swab cloaca dan coanal , dan kulit adalah seperti tabel di bawah ini. No 1
Jenis Pemeriksaan CBC dan PCV
2
Serologi
3
Hapus darah
Tujuan pemeriksaan Hematokrit
Hasil pemeriksaan 41
Kadar Hb
13,6
Jml Eritrosit
1,88
Jml Leukosit
7
Total Protein
4
Deteksi Antibodi terhadap ND Deteksi Antibodi terhadap AI Heteropil
Negatif antibodi virus ND Negatif antibodi virus AI 65
Limfosit
31
Basofil
2,8
Trombosit
4
Swab Cloaca dan coanal
5
Pemeriksaan Kulit
Parasit darah Isolasi Pada telur berembrio utk virus AI Oral Trichomonas Deteksi Ectoparasit
Negatif Negatif
Negatif Negatif
Pemeriksaan Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira BPPV Denpasar BPPV Denpasar Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira Lab Yudhistira
Keterangan Nrml 40-55% Nrml 10,5 – 18,7 g/dl Nrml2,2-4,5 ribu/µl 5,0-11,0 ribu/µl 2,5-5,0 g/dl
45-75% 20-50% 0-2% 35-50 ribu/µl
BPPV Denpasar Klinik PPSB Klinik PPSB
Mengingat keterbatasan fasilitas di laboratorium Indonesia, terdapat dua pemeriksaan sebagaimana dipersyaratkan dalam prosedur IUCN, yang tidak dilakukan, yaitu Adenovirus dan Herpesvirus. Sehingga pemeriksaan hanya berdasarkan the clinical signs associated with hepatitis, pancreatitis, pneumonia atau enteritis (diarrhea, yellow urates, polyuria, dypsnea, depression dan lethargy), kadang muncul gejala syaraf, concjunctivitis dan kematian (Rupley, 1997). Data penyebaran penyakit yang dikeluarkan oleh OIE juga tidak menyebutkan adanya kejadian penyakit ini di Indonesia, karena kurangnya data dari Indonesia (OIE online, 2005). 14
BKSDA BALI
PPS BALI
Herpesvirus adalah penyebab penyakit Inclusion Body Hepatitis yang umum menyerang pigeon and budgerigars. Clinical sign include rhinitis, conjunctivitis, nasal discharge, dypsnea, diarrhea, anorexia, vomiting and polydipsia. Sangat sulit melakukan pemeriksaan penyakit ini, kecuali berdasarkan necropsi (Rupley, 1997). Treatment dan tindakan Treatment yang dilakukan terhadap Elang Brontok yang akan dilepasliarkan adalah dengan pemberian deworming untuk preventif helminthiasis, vitamin dan mineral untuk meningkatkan stamina, ruborantia untuk meningkatkan nafsu makan serta pencegahan ectoparasit. Pemberian vitamin dan mineral melalui pakan dilakukan secara berkala dan metode ini lebih efektif karena sifat elang yang tidak menyisakan makanan pada saat memakan mangsanya sehingga dapat dipastikan vitamin yang masuk dalam dosis yang sesuai. Pemberian Ruborantia dengan Hematopan melalui injeksi yang diberikan pasca pengambilan sampel. Deworming dengan oramec (ivermectin oral) diberikan untuk mencegah infestasi internal parasit dan parasit darah diaplikasikan secara langsung terutama pada saat paska pengambilan sampel. Penyemprotan individual Elang dengan Bird Spray (Acarisida) untuk mencegah infestasi ectoparasit yang diberikan 2 kali selama Elang berada di kandang besar. Rekomendasi medis Dari hasil pemeriksaan medis (anatomi, fisiologi, dan laboratorium), maka disimpulkan bahwa kedua ekor Elang Brontok (kode: Elang 1 dan Elang 2) adalah dalam kondisi sehat dan layak untuk dilepasliarkan.
2. Penandaan dan Pemasangan Wingmarker Sesuai dengan dengan SK. Menhut No. 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar dan Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. 35/IV-KKH/2004 tentang Penandaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi (Hidup dan Mati) di Luar Habitatnya (Exsitu), PPS Bali disaksikan oleh telah dilakukan penandaan pada kedua ekor Elang Brontok yang akan dilepasliarkan, pada tanggal 4-5 Nopember 2006 di klinik PPS Bali. Kegiatan ini selanjutnya dimuat dalam Berita Acara Penandaan No. BA. 001/IV-K.17/PPA.00/2007 oleh BKSDA Bali.
Alat penandaan: microchip (dalam applicator berbentuk suntik) dan microchip reader.
Morfometri (pengukuran morfologi) satwa.
Elang yang telah dipasang wingmarker (warna merah).
Untuk memudahkan pengamatan pada tahap monitoring paska release, pada tanggal 15 Januari 2007 dilakukan morfometri, pemasangan wingmarker dan transmitter, dengan disaksikan oleh petugas BKSDA Bali dan dua orang anggota kelompok tani Desa Wongaya Gede. Transmitter merupakan alat pemancar gelombang radio yang dipasang pada tubuh satwa
15
BKSDA BALI
PPS BALI
yang berfungsi memantau keberadaan dan aktivitas elang setelah dilepasliarkan. Gelombang radio ini ditangkap oleh sebuah receiver yang mengeluarkan bunyi beep nada tertentu. Perubahan nada beep menandakan perbedaan posisi atau aktivitas elang pada saat itu. Dari alat ini dapat diketahui kemungkinan keberadaan individu.
3. Survei Habitat
Mengembalikan satwa sitaan ke alam/habitat alaminya sering dipertimbangkan sebagai pilihan paling populer bagi suatu lembaga yang melakukan penyitaan dan bisa mendapatkan dukungan publik yang kuat. Namun demikian, kegiatan semacam itu memiliki banyak masalah dan resiko yang nyata dan umumnya memberikan sedikit keuntungan. Jika pelepasan satwa-satwa sitaan kembali ke alam/habitat alaminya akan konsisten dengan prinsip-prinsip dan praktek konservasi, maka pelepasan itu seharusnya a) hanya ke dalam satu lokasi di luar wilayah jelajah alami spesies tersebut jika kegiatan itu sejalan dengan Panduan IUCN untuk Re-introduksi untuk suatu introduksi konservasi; dan b) hanya dilakukan dalam kasus-kasus di mana satwasatwa tersebut bernilai konservasi tinggi dan atau pelepasan itu bagian dari suatu program pengelolaan. Program pelepasan kembali ke alam apapun harus memasukan pemeriksaan dan pemantauan yang penting untuk mencegah akibat negatif yang potensial timbul. Sumber:
Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan
Pada tahap ini dilakukan survei habitat terhadap calon lokasi pelepasliaran Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus, Gmelin, 1788) yaitu di wilayah sekitar Pura Batukaru dan hutan lindung. Survei dilakukan oleh Tim PPS Bali bekerjasama dengan BKSDA Bali, dalam hal ini KSDA Resort Buyan-Tamblingan serta masyarakat dari Kelompok Tani Prana Dewi. Tujuan Tahap ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan habitat lokasi potensial pelepasliaran melalui serangkaian kajian terhadap: • Keberadaan tipe habitat • Keberadaan jenis burung pemangsa sejenis ataupun jenis lainnya • Keberadaan pakan di sekitar lokasi pelepasan • Tingkat ancaman dan gangguan terhadap jenis yang akan dilepasliarkan • Dukungan dan keterlibatan masyarakat sekitar dalam program yang akan dilaksanakan Metodologi Untuk mengetahui gambaran umum mengenai keberadaan tipe habitat di lokasi tersebut dilakukan studi literatur dari beberapa penelitian sebelumnya, serta survei lapangan dengan menggunakan metode transek di beberapa titik lokasi (Soegianto, 1994). Studi mengenai keberadaan jenis Elang Brontok dan jenis elang lainnya dilakukan melalui pengamatan intensif pada satu titik dan ketinggian tertentu (Yamazaki, 1997) dan menggunakan metode menyusuri sepanjang jalan (road survey) serta jelajah sekitar (foot survey) (Fuller& Mosher, 1987), serta mencatat setiap jenis satwa yang ditemui. Dengan demikian diharapkan dapat dikumpulkan data keragaman jenis satwa baik burung, mamalia, reptil, dll di sekitar lokasi. Keberadaan jenis pakan di sekitar lokasi diketahui melalui observasi langsung dan penggunaan perangkap mamalia kecil. Sedangkan data pendukung jenis-jenis pakan lainnya berasal dari informasi masyarakat sekitar. Mengenai tingkat ancaman dan gangguan, terdapat ancaman alami berupa kompetisi dan ancaman yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia (perburuan, 16
BKSDA BALI
PPS BALI
perusakan habitat). Untuk mengetahui hal ini dilakukan pengamatan langsung di lapangan dan pengumpulan informasi dari penduduk sekitar. Selain itu, survei habitat sekaligus dimanfaatkan untuk mengetahui potensi dukungan masyarakat pada program menggunakan metode wawancara semi-struktur kepada masyarakat sekitar lokasi. Waktu • •
Survei habitat di kawasan Hutan Batukaru dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu: Survei I, tanggal 12 Nopember 2005: berlokasi di areal sekitar Mengening, Batukaru untuk melihat kondisi lokasi habituasi. Survei II, tanggal 17-24 Januari 2007: berlokasi di sekitar Desa Wongaya Gede, hutan Pura Batukaru, dan perkebunan di perbatasan dengan hutan lindung Batukaru.
Hasil dan Pembahasan
a. Deskripsi kawasan
Gunung Batukaru
Kelompok hutan Batukaru termasuk dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 4 yang secara administratif terletak di lintas Kab. Buleleng, Badung dan Tabanan. Untuk di Kab. Buleleng melintas di Kec. Banjar, Sukasada, Sawan dan Kubutambahan. Untuk di Kab. Tabanan melintas di kecamatan Baturiti, Penebel, dan Pupuan dan Kab. Badung di Kec. Petang. Pembagian administrasi kepemangkuan hutan terletak di RPH Banjar, Kubutambahan, Sukasada, Petang, Candikuning, Penebel dan Pupuan.
Kompleks Pegunungan Batukaru yang terdiri dari Cagar Alam Batukaru (1.762,80 Ha), Taman Wisata Alam Danau LOKASI Beratan, Tamblingan dan Buyan (1.491,16 Ha) dan sisanya Hutan Lindung Batukau (11.899,32 Ha), merupakan salah satu hutan pegunungan yang tersisa di Pulau Bali. Secara administratif terletak di lintas Kab. Buleleng, Badung dan Tabanan. Untuk Kab. Buleleng melintas di Kec. Banjar, Sukasada, Sawan dan Kubutambahan. Untuk di Kab. Tabanan melintas di kecamatan Baturiti, Penebel, dan Pupuan dan Kab. Badung di Kec. Petang. Pembagian administrasi kepemangkuan hutan terletak di RPH Banjar, Kubutambahan, Sukasada, Petang, Candikuning, Penebel dan Pupuan. Topografinya bergunung-gunung, dengan kelerangan landai sampai sangat curam, kelas lereng antara 15 sampai diatas 45%, berada pada ketinggian 767 m sampai puncak tertinggi gunung Batukau 2276 m dpl. Di hutan ini terdapat banyak gunung (G), seperti G. Pohen, Tapak, dan Lesung (ketiganya adalah Cagar alam), G Sengayang, G Pucak Adeng, G Puncak Manggu, G Pengelengan, Puncak Bon, Catur, dll. Jenis tanahnya terdiri dari jenis Regosol, Latosol dan Andosol. Tipe iklimnya sebagian besar tipe B, sebagian lagi C dan D. Komplek pegunungan ini terdiri dari hutan hujan tropis di bagian utara dengan vegetasinya seperti Salam (Eugenia polyantha), Bayur, Kepelan (Manglietia glauca), Seming. Di bagian selatan pada beberapa puncak terdiri dari 17
BKSDA BALI
PPS BALI
hutan hujan basah dengan vegetasin seperti Cemara pandak (Podocarpus imbricata), Cemara geseng, Seming, Tahlan (Dysoxylum sp), Peradah (Garcinia sp), Belantih (Homalantus gigantius), bangsa bunut dan beringin (Ficus sp) dan jenis jenis Lateng (Laportaceae), Pandan, berjenis-jenis Pakis (Filices), temu-temuan (Zingeberaceae), liana dan banyak jenis anggrek (Orchidaceae). Keberadaan kawasan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya termasuk Kabupaten Badung, Gianyar, Tabanan dan Buleleng. Hal ini terlihat dari banyaknya sungai dan sumber air yang mengalir dari kawasan ini seperti dari arah selatan Tukad Bangke, Tukad Kaliasem, Lengis, Yeh He, Yeh Otan, Tukad Made, Tukad Balian dan Yeh Saba, Yeh Empas, Yeh Sungi, Tukad Pangi, dan Tukad Ayung. Sedangkan yang bermuara ke utara adalah sungai Yeh Panas, sampai ke Tukad Saba, dan arah timur, merupakan daerah resapan Danau Buyan, Tamblingan dan Beratan. Selain itu, beberapa resapan air danau yang menjadi mata air yang secara tidak langsung membentuk DAS seperti Tukad Banyumala, Tukad Buleleng dan Tukad Serumbung. Di dalam komplek pegunungan ini terdapat 3 danau besar yaitu Danau Beratan luas permukaannya 385 ha, Danau Buyan luas permukaannya 367 ha, dan Danau Tamblingan luas permukaan 115 ha. Secara umum, tipe ekosistem yang terdapat di kawasan ini di antaranya adalah (a) ekosistem pegunungan; yang terdiri dari hutan hujan tropis pegunungan, hutan campuran, dan lahan pertanian, dan (b) ekosistem lahan basah; yang terdiri dari danau dan rawa. Kawasan ini sangat penting tidak hanya bagi kehidupan manusia tetapi juga bagi kehidupan satwa liar di kawasan ini, kawasan ini bagaikan sebuah oase bagi satwa liar tersebut di tengah tingginya tingkat degradari dan fragmentasi hutan di Pulau Bali. Akan tetapi keberadaan kawasan ini termasuk keanekaragaman hayatinya belum banyak diketahui karena minimnya kegiatan penelitian dan upaya konservasi bagi itu terhadap keanekaraman hayati yang ada di kawasan ini maupun terhadap kawasan itu sendiri.
b. Lokasi dan titik pelepasliaran Titik lokasi pelepasliaran berada di daerah Menghening, Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Dengan ketinggian ±750 m dpl daerah tersebut merupakan kawasan perkebunan masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan lindung Batukaru. Perkebunan Menghening didominasi oleh tanaman kopi dan tanaman coklat, serta beberapa tanaman kayu keras pelindung maupun pohon buah seperti Teep, Dapdap (Erythria sp), Nangka (Artocarpus integra), Bunut (Ficus sp) maupun Cempaka (Michelia champaca).
18
BKSDA BALI
PPS BALI
Berdampingan dengan daerah Tuka yang juga merupakan perkebunan rakyat, Menghening membentuk celah/lembah dari utara ke arah selatan, dari hutan lindung sampai perbatasan wilayah Desa Wongaya Gede, Bengkel dan Batukambing. Di bawahnya mengalir Sungai Mada yang hulunya di hutan lindung Batukaru. Merupakan daerah yang memiliki kontur landai sampai dengan kemiringan yang curam dengan hutan bambu petung dan bambu tali yang lebat disepanjang aliran sungai. Kandang habituasi dibangun di titik koordinat S 08o22’18.6” E 115o05’56.0” di atas tanah miliki salah satu warga desa, yaitu Gde Mastera dengan ukuran kandang panjang 20 meter, tinggi 10 meter dan lebar kandang 6 meter.
c. Tipe vegetasi, keberadaan jenis satwa, dan potensi pakan Survei lapangan untuk mengetahui kondisi lokasi baik tentang vegetasi, jenis-jenis satwa dan keberadaan potensi satwa pakan dilakukan pada tanggal 17-26 Februari 2007 di beberapa titik di sekitar hutan dan Pura Batukaru, melibatkan PPS Bali, KSDA Bali dan masyarakat sekitar dari Kelompok Koperasi Prana Dewi. Untuk melihat tipe vegetasi tanaman yang di sekitar lokasi kandang dilakukan pengambilan sampel penelitian di tiga titik lokasi yaitu Menghening, Tuka dan hutan adat pura Batukaru. Pada ketiga titik tersebut dilakukan pengambilan data dengan metode transek dengan membuat tiga buah garis transek masing-masing sepanjang 100 meter. Hasil dari data ini tidak mewakili keseluruhan hutan lindung maupun daerah perkebunan, namun hanya menunjukkan potensi tanaman yang berada di sekitar wilayah lokasi. Dari setiap garis transek kemudian dibuat lagi plot-plot pengamatan dengan ukuran 20 x 20 meter, 10 x 10 meter, 5 x 5 meter dan plot ukuran 1 x 1 meter. Dari plot-plot ini kita mengambil catatan jenis, ukuran tinggi maupun diameter tanaman yang ada. Plot yang dibuat tersebut di dalamnya mewakili beberapa tipe dari tanaman yang ada di sekitar lokasi yaitu tanaman pada kelas pohon, yaitu tanaman dengan diameter batang lebih dari 20 cm, kelas tiang yaitu tanaman dengan 19
BKSDA BALI
PPS BALI
diameter batang lebih kecil dari 20 cm, kelas pancang yaitu tanaman dengan diameter kurang dari 10 cm dan tinggi kurang dari 3 meter, serta jenis tanaman semai atau tanaman penutup tanah yang banyak terdiri dari jenis rumput-rumputan. Menggunakan perumusan Soegianto (1994), maka kita mendapatkan perkiraan kelimpahan, frekuensi, kerapatan serta dominasi dari jenis tanaman yang berada disekitar lokasi. Metode Pengambilan Sampel Transek Berpetak Petak Ukur
Jalur Transek ( 100 meter )
Petak Ukur
Kelas Pohon
= 20 x 20 meter
Kelas Tiang
= 10 x 10 meter
Kelas Pancang
= 5 x 5 meter
Kelas Semai
= 1 x 1 meter
Dari hasil transek di lokasi Menghening dan Tuka, tanaman jenis rumput Mentek-mentek yang memiliki kelimpahan paling tinggi (lihat tabel lampiran) dari tanaman kelas semai yang ada di sekitar lokasi. Sedangkan dari kelas tiang dan pancang yang mendominasi adalah jenis tanaman kopi dan cokelat. Tanaman kopi dan cokelat memang merupakan tanaman budidaya utama yang ditanam oleh masyarakat sekitar sehingga jumlah keberadaannya sangat banyak. Pada lokasi-lokasi terbuka, sering dijumpai hewan-hewan mamalia serta reptil seperti tupai, kadal maupun ular di sekitar lokasi. Hewan-hewan kecil tersebut terlihat memanfaatkan buah maupun batang tanaman untuk tempat berlindung, bermain, tempat berburu maupun bahan makanan bagi mereka. Sedangkan jenis kelas pohon, jenis tanaman di sekitar Menghening dan Tuka didominasi tanaman-tanaman kayu keras hutan yang sengaja ditanam untuk upaya reboisasi sekitar lokasi. Keberadaan pohon-pohon tinggi ini sangat menguntungkan bagi pelepasliaran, yaitu dapat berfungsi sebagai alternatif tenggeran maupun pohon sarang setelah pelepasliaran. Tipe burung Elang Brontok adalah jenis elang gunung yang aktivitasnya lebih banyak bertengger. Termasuk pada saat mencari mangsa, burung ini dapat berburu mangsa dari tempatnya bertengger. Untuk pengambilan data satwa dilakukan dengan melakukan pengamatan dan penjelajahan, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor. Pengambilan data dilakukan di beberapa titik lokasi yaitu perbatasan Desa Wongaya Gede, sekitar Pura Batukaru dan hutan adatnya, daerah Menghening serta Tuka di perbatasan wilayah hutan lindung. Dari informasi masyarakat sekitar juga diperoleh data-data penunjang baik tentang jenis satwa, keberadaan pakan ataupun kemungkinan adanya potensi hambatan. Potensi jenis-jenis satwa yang ada dicatat untuk mengetahui keragaman jenis yang ada di sekitar lokasi tetapi tidak dilakukan penghitungan jumlah/kepadatan masing-masing individu satwa pada masing-masing lokasi. Jenis satwa yang ditemui dan teridentifikasi sebanyak 60 jenis burung, 4 jenis mamalia, 7 jenis reptil, 3 jenis insek, 2 jenis primata dan satu jenis dari keluarga amfibi (lihat tabel lampiran). Dari 60 jenis burung yang dicatat selama survei dilakukan, 6 jenis adalah merupakan jenis dari burung pemangsa, baik itu burung pemangsa penetap ataupun jenis burung pemangsa migran. Selama survei dijumpai sedikitnya 3 ekor individu Elang Ular (Spilornis cheela) yang oleh masyarakat sekitar disebut Kekelik, dengan asumsi bahwa yang dua ekor merupakan satu pasangan 20
BKSDA BALI
PPS BALI
karena kemunculanya selalu bersama-sama baik ketika terbang meluncur, soaring maupun berburu di sekitar lokasi dan satu ekor lagi merupakan individu yang berbeda karena tidak pernah terlihat mau bergabung dan selalu terbang sendirian. Perjumpaan dengan jenis Elang Ular ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan jenis pemangsa lainnya, kemungkinan karena lokasi hutan di sekitar Pura Batukaru merupakan salah satu lokasi berburu makanan. Jenis lain yang merupakan resident di lokasi namun jarang ditemui adalah Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk gelap dan Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) atau dikenal dengan nama lokal Sikep. Elang Hitam yang dijumpai adalah individu yang masih muda terlihat dari warna bulu dada dan paha yang masih berwarna coklat pucat bercoret-coret kuning, dan terlihat terbang rendah berburu di ladang sekitar Menghening. Sedangkan Elang Brontok jarang dijumpai, karena sering dijumpai dalam posisi terbang jauh dari lokasi pengamatan. Pada survei yang dilakukan pada akhir Januari 2007, telah mulai terlihat rombongan kecil dari burung pemangsa migran yang melakukan migrasi balik. Migrasi puncaknya terjadi pada bulan April dan Mei setiap tahunnya. Sebelumnya memang telah diketahui bahwa kawasan Pegunungan Batukahu menjadi salah satu jalur migrasi burung pemangsa setiap tahun, yaitu Oktober-Nopember dari Siberia menuju Indonesia bagian timur untuk melewatkan musim dingin dan berkembang biak selama musim panas di daerah mereka bermigrasi (Imansyah dkk. 2002). Dari 6 jenis raptor migran yang diketahui, 3 jenis teridentifikasi selama survei berjalan yaitu Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus), Elang-alap Cina (Accipiter soloensis) dan Elang-alap Nipon (Accipiter gularis). Ada kemungkinan bahwa daerah hutan sekitar Pura Batukaru dan hutan lindung menjadi daerah perching site dimana burung pemangsa migran bertengger, beristirahat, tidur maupun berburu mencari makan di sela-sela perjalanan. Oleh masyarakat sekitar jenis ini lebih dikenal sebagai Bulusan memang sering dijumpai di sekitar lokasi berburu mangsa berupa burung maupun mamalia kecil lainnya. Pertemuan pada saat pagi hari, saat matahari mulai naik dan burung pemangsa migran mulai terbang “soaring” berputar mencari panas matahari dan pada sore hari banyak yang terbang diatas tajuk-tajuk pohon mengidentifikasikan bahwa kemungkinan adanya pohon tidur “sleeping tree “ di sekitar lokasi.
Selain jenis burung pemangsa, jenis burung lain yang banyak diketemukan selama survei adalah dari keluarga merpati-merpatian (Columbidae) dan keluarga cucak-cucakan (Pycnonotidae). Kedua keluarga burung ini merupakan salah satu potensi pakan yang banyak terdapat di sekitar lokasi, selain sering dijumpai, jumlah populasinya pun besar. Keduanya merupakan jenis burung pemakan buah dan biji-bijian yang cenderung berkelompok dalam jumlah besar. Cucak Kurincang (Pycnonotus atriceps) dan Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) banyak dijumpai di daerah perkebunan pinggiran desa yang masih jauh dengan hutan. Namun sebaliknya dengan Empuloh Janggut (Alophoixus bres), lebih sering diketemukan dalam kelompok-kelompok kecil maupun sendiri diperkebunan kopi yang berbatasan langsung dengan hutan. Jenis ini sering terlihat memakan biji-biji buah kopi yang sudah masak diatas pohon. Selain biji-bijian kopi, biji dari pohon Bunut (Ficus sp) juga merupakan makanan bagi burung. Delapan jenis burung dari keluarga merpati-merpatian Punai Penganten (Treron griseicauda), Punai Gading (Treron vernans), Pergam Hijau (Ducula aenea), Pergam Ketanjar (Ducula rosacea), Uncal Buau (Macropygia emiliana), Uncal Kouran (Macropygia ruficeps), Tekukur (Streptopelia chinensis) dan Delimukan Zamrud (Chalcophaps indica). Jenis satwa lain yang dijumpai dan berpotensi menjadi pakan alami elang adalah mamalia kecil seperti Bajing Kelapa (Callosciurus notatus), Tikus Ladang (Rattus exulan) sampai beberapa jenis binatang melata seperti Ular Air, Ular Sawah, Kadal (Mabuya multifiscata) dan Bunglon (Bronchocela jubata). Dari segi lokasi, perkebunan luas dengan tanaman dominan kopi, cokelat 21
BKSDA BALI
PPS BALI
dan dominasi tanaman penutup tanah berupa rumput-rumputan merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan satwa yang berpotensi menjadi mangsa elang. Ladang menyediakan pakan yang melimpah bagi berbagai jenis mamalia kecil maupun reptil. Di samping itu, berdasarkan kesaksian warga, masih sering dijumpai beberapa jenis primata di sekitar Menghening, Tuka maupun hutan lindung. Primata dari jenis Monyet Ekor Panjang (Macaca fasicularis) dan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) berada di perbatasan antara ladang dan hutan. Monyet Ekor Panjang atau Bojog bagi masyarakat peladang sekitar hutan merupakan salah satu hama tanaman yang merusak tanaman, karenanya masih terjadi sebagian warga masyarakat mengusir monyet menggunakan senapan angin. Sedangkan “Ijah” sebutan masyarakat untuk Lutung, semakin lama terdesak masuk ke dalam hutan, dan sudah mulai jarang dijumpai.
d. Tingkat ancaman dan gangguan Aktivitas masyarakat desa sebagai petani sawah dan ladang menuntut mereka untuk bekerja dan beraktivitas di sekitar hutan. Namun dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat, aktivitas mereka tidak mengganggu kelestarian hutan dan alam di sekitar lokasi. Pengambilan kayu untuk dijual ataupun untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan adalah berasal dari hasil ladang masing-masing warga, baik itu kayu-kayu bongkaran tanaman kopi maupun Dapdap yang dahulunya merupakan tanaman pelindung. Kegiatan pengambilan kayu secara ilegal oleh masyarakat sekitar lokasi tidak terjadi karena adanya kesepakatan di antara masyarakat untuk tidak mengambil kayu hutan secara sembarangan. Ancaman yang masih ada adalah masih banyaknya peredaran senjata senapan angin di sebagian warga masyarakat. Walaupun rata-rata pemilik senjata merupakan peladang yang mempergunakan senjatanya untuk mengusir monyet dari sekitar ladangnya, namun masih ada pemilik senapan yang mengunakannya untuk berburu satwa, terutama burung di sekitar lokasi. Sempat juga dijumpai tanglung jerat dari tali dan kawat yang dipasang untuk menjerat satwa yang melewatinya, biasanya digunakan untuk jerat ayam hutan, rusa maupun babi hutan. 4. Pengamatan Perilaku Pengamatan perilaku pada elang yang akan dilepasliarkan di alam dimulai sejak pertama kali datang ke PPS Bali. Kegiatan ini sekaligus sebagai seleksi awal terhadap individu sebelum dilanjutkan dengan tahapan persiapan berikutnya. Pengamatan dilakukan pada fasilitas kandang yang berbeda sesuai dengan perlakuan terhadap individu.
Hasil Pengamatan 1.
Kedatangan dan masa karantina (19 Juli 2005) Pada saat pertama datang, elang ditempatkan di kandang kecil atau ruang karantina kecil ukuran 75 x 75 cm untuk memudahkan dalam pemeriksaan umum dan medis. Pada kondisi ini diberikan pakan yang tidak jauh berbeda dengan pemeliharaan sebelumnya, agar 22
BKSDA BALI
PPS BALI
elang tidak stres karena perubahan pakan yang mendadak. Pakan diberikan dalam bentuk cacahan daging kecil. Observasi umum sudah mulai dilakukan di kandang kecil untuk memberi gambaran langkah perlakuan selanjutnya.
2.
Pemindahan ke kandang reptil berpasangan (14 Agustus 2005)
Dari kandang karantina, setelah cukup dilakukan evaluasi medis dan perkembangan fisik, perilaku satwa diamati cukup bagus, maka elang dipindahkan ke dalam kandang yang lebih besar berukuran plt: 2 x 2 x 1,5 m. Pemindahan ini juga sekaligus penggabungan kedua individu menjadi satu agar bisa dilihat perkembangannya. Perlakuan pakan sudah mulai diarahkan pada pengenalan makanan alami, seperti tikus, kadal maupun katak. Pemberian pakan ini bertahap dari jenis pakan yang dimatikan, dilemahkan dan jenis pakan hidup. Hal ini untuk mengasah insting berburu pakan alaminya. Demikian juga dengan penambahan enrichment kandang berupa tenggeran kayu dari ketinggian rendah sampai menengah untuk mengetahui kemampuan burung dalam memanfaatkan ruang dan pemilihan tempat bertengger. 3.
Pemindahan ke kandang kubah besar (15 April 2006)
Tahap selanjutnya adalah memindahkan kedua elang ke kandang kubah yang lebih besar untuk memantau perkembangan fisik dan perilaku, serta melakukan penambahan perlakuan atau enrichment untuk meningkatkan kemampuan alami elang. Kandang yang digunakan berbentuk kubah dari bahan besi galvanis dengan ukuran plt: 30 x 6 x 9 m. Untuk melatih perilaku alami dan memberi kesan alami di dalam kandang, maka semua unsur besi dilapisi dengan tali goni serta diberi tenggeran kayu dengan tingkat ketinggian berbeda mulai dari rendah, sedang, tinggi, top level. Disediakan juga sarang buatan pada tempat yang paling tinggi. Pemberian pakan dilakukan dengan memberikan pakan alami yakni mangsa hidup dengan tingkat kecepatan gerakan mangsa yang berbeda seperti kadal, bajing, tikus maupun ular kecil. Selama dalam kandang kubah, campur tangan manusia mulai banyak dikurangi dan sudah mulai dilakukan penilaian/observasi intensif terhadap kedua individu elang. Beberapa hal yang diamati selama observasi adalah: - Perilaku alami seperti cara terbang, menelisik, bersuara - Pemanfaatan ruang kandang (posisi bertengger): di tanah, tenggeran rendah, menengah atau top level. - Kemampuan berburu dan mengenali mangsa yang diberikan. - Kecepatan berburu (mulai dari mengawasi mangsa sampai terbang untuk menangkap mangsa) dan akurasi berburu. - Penandaan teritori: mengusir individu lain - Pemanfaatan ruang untuk makan: makan di tanah atau di tenggeran. - Interaksi dengan sekitar, terutama manusia Setelah observasi pada periode tertentu, dilakukan evaluasi terhadap pemberian perlakuan, individu satwa dan lingkungan sekitar kubah. Dilakukan pula perubahan-perubahan maupun penambahan terhadap enrichment dan perlakuan selama elang di kandang. Penggantian cabang-cabang artificial (buatan) untuk mengurangi resiko penyakit juga dilakukan. Demikian juga dengan pemindahan cabang artificial supaya elang tidak terpaku pada 23
BKSDA BALI
PPS BALI
satu atau dua tempat saja, penggantian sarang buatan dengan batang kayu besar, pemindahan sarang buatan calon mangsa (mobile), pemberian pakan alami tidak diketahui elang (lewat lubang tertutup yang langsung masuk ke sarang buatan) atau pada malam hari. Pembatasan interaksi dengan manusia dilakukan melalui pembatasan interaksi dengan staf animal keeper. Cara ini dilakukan untuk mengurangi frekuensi perjumpaan dengan manusia, melakukan upaya menyembunyikan mangsa pada saat pemberian pakan. Manusia (animal keeper) yang mendekat ke kandang harus memakai masker dan wearpack dengan warna alami atau warna yang sama dengan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar elang tidak terbiasa mendekat dengan manusia terutama pada saat dilepasliarkan ke alam. Berdasarkan hasil pengamatan, kedua ekor elang tersebut -Timba dan Timbi- dari segi perilaku alami sudah tampak membaik. Kecenderungan untuk memanfaatkan ruang atas dengan memanfaatkan tenggeran di atas dan perlakuan pakan yang selalu di atas dapat dijadikan salah satu indikatornya. Pergerakan aktif ke seluruh bagian kandang serta nampak sering bertengger dan bersuara berpasangan. Tidak tampak tanda-tanda agresi dari keduanya terhadap satu dan lainnya, sebagaimana sifat alami dari Elang Brontok yang cenderung teritorial.
5. Sosialisasi Masyarakat Sosialisasi kepada masyarakat Desa Wongaya Gede telah dilaksanakan melalui dua metode, yaitu secara informal dan formal. Sosialisasi informal dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2006 dan 11 Januari 2007 melibatkan Kelompok Tani Prana Dewi, Desa Wongaya Gede. Kelompok tani beranggotakan 20-30 orang petani penggarap. Kelompok tani tersebut memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian hutan, sebagaimana ditunjukan dalam partisipasi mereka pada berbagai kegiatan pembibitan dan penanaman kembali hutan Batukaru. Pertemuan pertama dimaksudkan untuk menjelaskan maksud dan tujuan program, manfaat bagi masyarakat, serta tahapan kerja. Umumnya mereka antusias menyambut program release ini, mengingat makin jarangnya warga menjumpai satwa-satwa langka, termasuk Elang Brontok di kawasan hutan tersebut. Pada pertemuan kedua disepakati adanya kerjasama program antara PPS Bali sebagai pelaksana dan penanggung jawab teknis Program dengan kelompok tani sebagai mitra lokal untuk membantu teknis kegiatan selama di lokasi, seperti pembangunan kandang habituasi, perawatan satwa selama habituasi, seremoni release, hingga monitoring paska release. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam sebuah Nota Kesepakatan Kerjasama yang ditandatangani pada tanggal 11 Januari 2007. Selain itu, sosialisasi formal telah dilakukan kepada Kepala Desa Wongaya Gede dan para perangkat desa pada tanggal 24 Januari 2007 oleh BKSDA Bali dan PPS Bali. Kesempatan ini sekaligus dimaksudkan untuk meminta dukungan Kepala Desa untuk penyelenggaraan sosialisasi yang melibatkan sejumlah warga yang lebih besar sebagaimana yang telah dilaksanakan pada program-program release sebelumnya. Namun mengingat adanya rencana pemilihan kepala desa dalam waktu dekat, maka rencana ini ditangguhkan sampai selesainya kegiatan tersebut. Sedangkan kegiatan sosialisasi terhadap desa-desa sekitar dilaksanakan pada tanggal 1-14 Pebruari 2007.
6. Habituasi Habituasi adalah penempatan satwa dalam suatu kandang buatan tidak permanen sebelum satwa dilepasliarkan, habituasi merupakan masa pelatihan yang sebenarnya bagi satwa sebelum lepas bebas kembali ke alam, yaitu periode dimana satwa akan berhadapan langsung dengan kondisi alam dimana mereka akan dilepaskan. 24
BKSDA BALI
PPS BALI
Merujuk pada standar IUCN, elang selanjutnya ditempatkan dalam kandang habituasi. Kandang habituasi terbuat dari bahan yang tidak berbahaya bagi satwa, seperti: bambu, kayu, dan jaring, serta dapat dibongkar pasang atau tidak permanen dan bahan tidak mudah rusak. Kandang habituasi berfungsi untuk menempatkan satwa sebelum dilepaskan, tempat memulihkan kondisi tubuh satwa setelah perjalanan/pengangkutan, memperkenalkan satwa dengan kondisi lingkungan sekitar, tempat melatih/mengembalikan perilaku alami satwa. Rujukan: MINIMUM STANDARDS FOR WILDLIFE REHABILITATION International Wildlife Rehabilitation Council dan National Wildlife Rehabilitators Association Species Red-tailed Hawk
-
Restricted Activity (inch) 16" x 27" x 22"
Limited Activity (feet) 6' x 8' x 8'
Unlimited Activity (feet) 10' x 50' x 12'
Kegiatan selama masa habituasi satwa adalah: pemberian pakan pemantauan kondisi fisik dan kesehatan satwa pengamatan perilaku satwa memberikan perlakuan/pelatihan untuk peningkatan kualitas bagi satwa yang akan dilepasliarkan perawatan dan penanganan satwa apabila diperlukan.
Hasil dan Pembahasan: 1.
Pembangunan Kandang Habituasi
Kandang habituasi dibangun areal peladangan Mengening, + 400 m arah Barat Pura Batukaru. Kandang habituasi yang disiapkan untuk 2 ekor Elang Brontok hanya satu kandang di satu lokasi, karena kedua Elang Brontok yang akan dilepaskan sudah dalam satu kelompok selama dalam rehabilitasi di PPS Bali. Kandang habituasi berukuran plt: 20 x 6 x 10 m, terletak di atas tanah datar Pembangunaan kandang habituasi. dikelilingi ladang dengan kemiringan hingga 45o dan anak sungai dangkal dengan lebar + 2 m. Pemilihan lokasi dan bentuk kandang merupakan salah satu cara pelatihan dari elang rehabilitan yang akan dilepasliarkan kembali di alam. Dengan membuat kondisi kandang yang sepenuhnya berada di atas tanah datar, memungkinkan elang akan lebih leluasa dan akan terlatih melakukan manuver dalam berburu. Penempatan beberapa titik tenggeran dari cabang-cabang dan ranting pohon serta kayu mati yang ada di sekitar kandang berguna untuk melatih pemanfaatan ruang oleh elang, dari tenggeran dekat tanah permukaan sampai tenggeran teratas. Untuk mengurangi panas dan terik matahari, di beberapa atap jaring diberi peneduh dengan paranet, terutama di atas tenggeran. Pembangunan kandang habituasi memakan waktu 8 (delapan) hari kerja yaitu mulai tanggal 20-28 Januari 2007, dimulai dengan pemotongan bambu di sekitar areal kandang. Dibutuhkan sekitar 7 - 10 bambu petung berdiameter 15 - 20 cm, panjang rata-rata 12 m dan bambu tali berdiameter 8 - 10 cm sebanyak 15 - 20 batang.
25
BKSDA BALI
PPS BALI
Spesifikasi Kandang Habituasi • • • • • •
Jumlah kandang Bentuk Ukuran Bahan Penempatan Enrichment
: 1 buah : kotak : panjang 20 m, lebar 6 m, tinggi 10 m : bambu petung, bambu tali, jaring, tali manila, kayu, paranet : tanah datar : pohon kopi dan cabang kayu untuk tenggeran, peneduh dari paranet, tempat minum dari bambu
Pemasangan pintu kandang habituasi.
Kandang habituasi, dengan pintu release yang siap digunakan
Kandang habituasi, tampak dari pondok pengamatan.
26
BKSDA BALI
2.
PPS BALI
Evakuasi satwa ke kandang habituasi
Setelah kandang habituasi selesai dibangun, selanjutnya kedua elang siap dipindahkan dari fasilitas perawatan di PPS Bali, Tabanan ke kandang habituasi di Mengening, Wongaya Gede. Pemindahan (evakuasi) ke lokasi kandang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2007. Kedua elang sebelumnya telah dipindahkan dari kandang besar (kandang raptor) ke kandang yang lebih kecil (kandang reptil), segera sesudah pemasangan wingmarker dan transmitter pada tanggal 15 Januari 2007, untuk pemulihan stress dan memudahkan pemindahan ke kandang angkut.
Elang tiba di lokasi haituasi. Tim Pelaksana bersembahyang di Pura Batukaru berdoa memohon kelancaran kegiatan.
Dimulai pada pukul 08.30 wita, yaitu setelah pemberian pakan pada pagi hari, kedua elang dipindahkan ke dua kandang angkut. Selanjutnya pada pukul 11.30 wita, menggunakan kendaraan patroli milik BKSDA Bali, seluruh tim PPS Bali dan BKSDA Bali berangkat menuju Pura Batukaru untuk mengadakan upacara atur piuning memohon kelancaran kegiatan kepada Ida Sang Hyang Widhi asa, sebelum
elang dilepaskan di kandang habituasi. Setelah tiba di lokasi kandang, sekali lagi dilakukan upacara adat untuk memohon keselamatan pada kedua burung yang akan menempati lokasi barunya. Pada tanggal 30 Januari 2007 pukul 13.55 wita, petugas BKSDA Bali melepas satwa dari kandang angkut ke kandang habituasi.
3.
Observasi perilaku selama masa habituasi
Pengambilan data perilaku elang di dalam kandang habituasi dilakukan dengan menggunakan metode AdLibithum Sampling Method (Altman, J. 1973) dikombinasikan dengan tabel modifikasi dari Panduan Perilaku Burung Pemangsa di TNGH (Prawiradilaga, Dewi. et all. 2003). Secara umum, kondisi lingkungan sekitar kandang habituasi merupakan daerah perkebunan campuran seperti kopi (Cofea sp), coklat (Cacau sp), cengkeh (Syzygium aromatica), pisang (Musa sp). Ketinggian lokasi ± 750 m dpl yang cenderung bercurah hujan tinggi, terutama selama masa habituasi pada Januari-Februari 2007 dengan fluktuasi suhu 22oC terendah (malam hari) dan tertinggi 26oC (siang hari). Perubahan cuaca di lokasi cukup cepat terjadi, ditandai dengan penutupan awan atau kabut tebal dan digantikan dengan panas matahari.
27
BKSDA BALI
PPS BALI
Sesuai dengan tujuan habituasi, selama tahap ini dilakukan pengamatan perilaku dan perlakuan-perlakuan di dalam kandang terhadap individu. Perlakuan-perlakuan tersebut merupakan bentuk pelatihan untuk meningkatkan kondisi individu, mempertajam insting alami individu. Pengurangan maupun penambahan enrichment dalam kandang, penyesuaian pola pakan dan variasi jenis pakan dilakukan selama elang berada di dalam kandang habituasi. Dua minggu awal berada di kandang, pengamatan difokuskan terhadap daya adaptasi elang terhadap kondisi lingkungan, terutama dengan cuaca yang berbeda dari kondisi di lingkungan awal di fasilitas Pusat Penyelamatan Satwa Bali, Tabanan. Diamati bagaimana elang mampu mengenali tempat bertengger, posisi shelter pelindung dan bagaimana individu memanfaatkannya. Selama periode ini sudah mulai terlihat perbedaan karakter kedua ekor burung tersebut. Salah satu individu, Timbi, lebih cepat memanfaatkan tenggeran pada cabang-cabang atas dan lebih cepat mengetahui cabang mana yang memiliki shelter perlindungan ketika cuaca panas maupun hujan, sedangkan Timba masih cenderung memanfaatkan tenggeran bawah. Untuk menjaga kondisi kesehatan burung, selama masa awal adaptasi ini (dua minggu) maka pemberian pakan dilakukan secara teratur siang dan sore hari. Pakan yang diberikan berupa tikus putih sebanyak enam sampai delapan ekor tikus setiap pemberian. Selain untuk memastikan burung mendapatkan suplai pakan, sekaligus dimaksudkan sebagai pelatihan langsung bagi individu terhadap perilaku mendapatkan pakan. Mulai nampak bagaimana respon individu terhadap ketika pakan dimasukkan ke dalam kandang, lama pengamatan mangsa, cara menangkap dan menangani mangsa. Pakan yang diberikan selama masa habituasi bervariasi, selain tikus putih diberikan juga katak, kadal, maupun burung. Tentu saja, perbedaan jenis pakan akan mempengaruhi tingkat kesulitan penangkapan oleh individu. Pemberian pakan yang bervariasi juga dimaksudkan untuk melatih individu, baik dalam pengenalan mangsa alami maupun kemampuan berburu. Dengan jenis pakan yang berbeda, individu akan belajar menyesuaikan cara penanganan mangsa berdasarkan jenis dan ukuran mangsa. Seperti, katak dan tikus putih relatif tidak sulit ditangkap, karena perilaku keduanya yang cenderung pasif, tidak banyak bergerak dan pergerakannya lamban, sedangkan jenis kadal memiliki pergerakan lebih cepat. Pemberian pakan berupa burung dilakukan dalam kondisi tertentu, yaitu jika terdapat burung-burung liar yang menabrak atau tersangkut jaring kandang, seperti Punai Gading, Uncal Kauran maupun Delimukan Zamrud. Tikus putih
Katak
Selama observasi, terlihat bahwa Timba lebih lama mengamati mangsa yang sudah dimasukkan ke dalam kandang, dan dalam penanganan mangsa Timba lebih cenderung melakukan di bawah (di atas tanah). Respon sebaliknya diperlihatkan oleh Timbi yang lebih cepat dari pada Timba. Pada akhir minggu kedua bulan Februari 2007, Timbi sudah menunjukkan banyak perkembangan, terutama pada kondisi dan aktivitas hariannya. Penguasaan terhadap tempat/tenggeran atas, orientasi perpindahan tempat antar tenggeran, cara terbang yang mulai ringan mengepakkan sayap, menelisik bulu serta aktif mengeluarkan suara keras. Perkembangan perilaku dari Timba cenderung lebih lambat terutama dalam hal orientasi terbang antar tenggeran, sehingga seringkali terbentur dinding jaring saat harus terbang pindah tenggeran. 4.
Observasi perilaku melalui pengumpulan data kuantitatif
Untuk memperoleh data perilaku harian kedua ekor elang yang ada di kandang habituasi, observasi harian dilaksanakan pada Maret 2007 selama 14 hari dengan total pengamatan sebanyak 89 jam. Total prosentase perilaku harian dari kedua ekor elang selama di dalam kandang habituasi tidak terlalu jauh berbeda. Sebagian besar waktu dari kedua ekor elang dihabiskan untuk 28
BKSDA BALI
PPS BALI
bertengger, lebih dari 72% dari waktu selama pengamatan. Perilaku yang diamati terdiri dari perilaku saat bertengger, pergerakan, dan interaksi antara individu elang (berupa perilaku agresi). Perilaku individu ”Timba”
PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBA
menelisik menengok mengamati mangsa makan
14% 4% 0% 3% 0% 0% 1% 0%
0%
9%
minum
0%
berak menggosok paruh rentang sayap mengpakan sayap menggaruk leher
4% 2%
menggoyangkan badan menggoyangkan ekor 63%
bersuara keras bersuara pelan
Berdasarkan pengamatan, terhadap individu Timba secara keseluruhan tercatat 620 perilaku (selengkapnya lihat lampiran), dengan prosentase perilaku terbanyak pada perilaku bertengger yaitu sebanyak 72,26% (448), diikuti perilaku perpindahan sebanyak 24,68% (153), dan PROSENTASE PENGAMATAN PERILAKU TIMBA ”Total ... tercatat 620 perilaku, dengan prosentase perilaku terbanyak pada perilaku bertengger yaitu sebanyak 72,26% (448), diikuti perilaku perpindahan sebanyak 24,68% (153), dan perilaku agresi sebanyak 19 (3,06%). ”
perilaku agresi sebanyak 19 (3,06%). Sedangkan dari perilaku bertengger, sebanyak 276 (61,61%) merupakan perilaku bertengger diam menengok kanan dan kiri. Perilaku mengamati kondisi lingkungan sekitar adalah cara untuk mencegah kehadiran kompetitor atau burung pemangsa lain. Perilaku ini merupakan bentuk insting perlindungan individu terhadap daerah teritorinya, yang kadang sulit dibedakan dengan perilaku searching (pengamatan mangsa). Pengamatan individu terhadap mangsa dimasukkan ke dalam parameter lain di dalam tabel karena pada saat pengamatan mangsa, perilaku yang diamati adalah ketika elang sudah benar-benar menemukan dan mengamati mangsa sebelum terbang menyambarnya. Besarnya prosentase diam menengok kanan kiri juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca di sekitar lokasi yang sering berkabut dan hujan, sebaliknya elang yang aktif pada siang hari maupun saat terik matahari, cenderung diam dan tidak banyak beraktivitas. Selain menengok ke kanan-kiri, perilaku bertengger lain yang teramati adalah menelisik (8,7%) untuk mencari kutu, menyisir atau meminyaki bulu. Jarangnya frekuensi preening (menelisik bulu) karena umumnya perilaku ini dilakukan pada saat cuaca cerah-panas, sedangkan kondisi tersebut jarang ditemui di lokasi yang hampir setiap hari turun hujan. Bertengger sambil bersuara (vokalisasi) berfungsi untuk mempertahankan teritorinya melalui bentuk isyarat peringatan (alarm call) kepada individu lain. Selama observasi, Timba tampak memiliki vokalisasi lebih lama dibandingkan Timbi, walaupun pada saat akhir masa pengamatan prosentase vokalisasinya keduanya hampir sama. Vokalisasi juga terlihat pada saat muncul perilaku agresi, baik menyerang maupun mempertahankan diri. Pada akhir periode habituasi, kedua 29
BKSDA BALI
PPS BALI
individu nampak sering menunjukan vokalisasi secara bersautan. Namun hal ini tidak dapat disimpulkan sebagai perilaku untuk saling menarik perhatian individu lain, sebab tidak terlihat perilaku lain seperti perkawinan atau pengumpulan ranting untuk sarang. Demikian pula dengan perilaku kedua individu bertengger pada satu tenggeran yang sama, yang hanya terlihat tiga kali. Pengamatan harian pada perpindahan individu adalah meliputi terbang antartenggeran, tenggeran dengan tanah, berjalan, berlari dan meloncat di atas tanah. Selama observasi, Timba memiliki kecenderungan berada di bawah, yaitu sering memanfaatkan tenggeran bawah dan berada (berdiri) di atas tanah. Terutama dalam pergerakan untuk berburu dan menangkap mangsa, masih sering Timba bergerak mengejar mangsa dengan berjalan diatas tanah (11%). Biasanya perburuan mangsa diawali dari atas tenggeran, tetapi kemudian individu lebih banyak mengejar mangsa dengan berjalan di atas tanah. Dalam hal orientasi jarak terbang, Timba masih mengalami kesulitan, sering dalam perpindahan dari tenggeran satu-ke tenggeran lain (misalnya sebagai reaksi kehadiran manusia atau pada saat agresi), individu sering membentur jaring sebelum mendapatkan tenggeran lain untuk berpijak. Dalam hal pemanfaatan ruang, Timba cenderung berperilaku untuk berada pada tenggeran bawah dan di atas tanah, yaitu 21% aktivitas di atas tanah dan 18% untuk pemanfaatan tenggeran bawah, terutama pada saat berburu dan menangani mangsanya. Perilaku ini teramati umumnya ketika sekitar lokasi sudah dalam kondisi benar-benar sepi dari aktivitas manusia. Pada saat tidur, Timba lebih banyak memanfaatkan tenggeran bagian atas pada waktu malam hari.
PROSENTASE PERILAKU BERPINDAH TIMBA 11%
berpindah 1
0% 5%
berpindah 2 berpindah 3
6% 0%
berpindah 4 berpindah 5 berpindah 6
51%
15%
berpindah 7 berpindah 8
12%
sambar mangsa
Meskipun secara umum perilaku harian Timba kurang aktif dibanding dengan Timbi, namun dalam interaksi di antara kedua elang, dominasi lebih besar ditunjukkan Timba, sebagaimana terlihat dari pola menyerang yang sering dilakukan Timba (84%). Agresi ini terutama berkaitan dengan perebutan pakan. Pola pelatihan pemberian pakan secara acak, dan kadang kala diselingi puasa (diet) menimbulkan persaingan makanan di antara kedua individu tersebut. Akibatnya, muncul pula pola-pola pertahanan diri dan mempertahankan mangsa setelah berhasil memperoleh makanannya. Pola merebut ini juga disebabkan oleh perkembangan dari reaksi Timbi yang sering kali lebih cepat dalam mengamati dan menangani mangsa yang diberikan oleh observer maupun pakan yang alami yang diperoleh di dalam kandang.
30
BKSDA BALI
PPS BALI
Perilaku individu ”Timbi ” PROSENTASE PENGAMATAN PERILAKU TIMBI Total jumlah perilaku teramati adalah 973, dengan perincian perilaku bertengger 703 (72,25%), perilaku perpindahan 251 (25,79%) dan agresifitas 19 (1,95%).
Prosentase perilaku harian dari Timbi tidak berbeda jauh dengan prosentase perilaku harian yang ditunjukkan Timba (selengkapnya lihat lampiran), sebanyak 703 (72,25%) perilaku bertengger, 251 (25,79%) perpindahan tempat dan 19 (1,95%) perilaku agresif. Aktivitas harian tercatat lebih banyak pada Timbi karena perilakunya yang lebih aktif selama masa habituasi. Hal ini terlihat sejak dari awal masa habituasi dimana adaptasi Timbi terhadap tempat barunya lebih cepat daripada Timba. Adaptasi pada kondisi lingkungan kandang, pemanfaatan cabang-cabang tenggeran bagian atas dan vokalisasi bersuara pada minggu kedua masa habituasi. Aktivitas pergerakan Timbi, berupa perpindahan terbang antar tenggeran cenderung tinggi 70% dari total keseluruhan perilaku perpindahannya dan hanya sedikit sekali pergerakan di atas tanah maupun terbang dari tenggeran ke tanah. Hal ini menunjukkan kemampuan Timbi untuk melakukan aktivitas alaminya dan memanfaatan ruang. Begitu pula dalam hal berburu menyambar mangsa, insting alaminya tampak lebih dominan dibanding Timba, khususnya menyambar pada saat dari tenggeran. Bagi jenis elang tipe pemburu seperti jenis Elang Brontok, perilaku Timbi ini menunjukkan kemampuan yang cukup baik.
PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBI 1%
menelisik menengok mengamati mangsa makan minum berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk leher menggoyangkan badan menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan
10%
20% 1% 1% 0% 2%
0% 3% 3% 58%
Perkembangan positif lain yang nampak pada perilaku harian Timbi adalah dalam hal pemanfaatan ruang, yaitu sebanyak 87% menggunakan tenggeran cabang atas yang ada, yang berarti sudah nampak insting alaminya untuk memanfaatkan tempat yang aman bagi dirinya dari kemungkinan gangguan. Begitu pula dalam hal menangani mangsa, yang lebih banyak memanfaatkan tenggeran atas (74%) sebagai tempat makan. Hal ini memperlihatkan kemampuan lebih Timbi dalam cara berburu, terbang membawa mangsa dan mendapatkan lokasi yang aman baginya untuk makan.
PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBI 8%
5% tanah cabang bawah cabang atas
87%
31
BKSDA BALI
PPS BALI
Perkembangan insting alami Timbi selama masa habituasi, secara umum lebih cepat dari Timba, aktivitas harian yang terpantau lebih cepat meningkat, mendekati perilaku alami. Timbi lebih cepat menemukan tempat/ruang tenggeran yang memiliki shelter perlindungan dan memanfaatkannya dalam kondisi panas maupun hujan. Kemampuan berburu pakan alam yang berada di sekitar lokasi juga nampak lebih baik. Berdasarkan beberapa kali pengamatan, terlihat secara jelas mampu berburu dan mendapatkan mangsa berupa kadal, ular kecil, maupun tupai (saat terakhir masa habituasi). Bahkan Timbi pernah terlihat memperoleh mangsa ular kecil di dalam kandang. Secara keseluruhan, faktor cuaca dan kondisi sekitar lokasi, selama masa habituasi sangat mempengaruhi kondisi aktivitas perilaku harian dari kedua individu elang. Dimana cuaca sering mendung dan hujan sehingga terutama perilaku pergerakan dari elang lebih sedikit dan lebih banyak bertengger. Pada pertengahan masa habituasi, terjadi perubahan iklim yang cukup besar di sekitar kawasan hutan Batukaru, ditandai dengan datangnya musim angin hingga ke lokasi habituasi. Demi pertimbangan keselamatan kedua elang, maka pada tanggal 9-13 Mei 2007 kedua elang dipindahkan (dievakuasi) dari kandang habituasi ke lokasi yang aman di perkampungan Desa Wongaya Gede.
7. Pelepasliaran
Mengembalikan ke alam - Keuntungan Ada keuntungan-keuntungan mengembalikan satwa-satwa sitaan ke alam/habitat alaminya, asalkan prasyarat medis, genetis dan pemeriksaan lainya dilaksanakan dengan baik dan program pemantauan paska pelepasan dikembangkan. (as per IUCN 1998). a) Dalam situasi-situasi dimana populasi yang ada benar-benar terancam, re-introduksi mungkin meningkatkan potensi konservasi jangka panjang spesies secara keseluruhan, atau dari suatu populasi lokal spesies itu b) Pengembalian kembali ke alam membuat pernyataan politis/ pendidikan yang kuat menyangkut nasib satwa-satwa itu dan mungkin mempromosikan nilai-nilai konservasi lokal. Namun demikian, sebagai bagian dari program pendidikan atau kepedulian masyarakat, biaya-biaya dan kesulitan-kesulitan menyangkut pelepasan kembali ke alam harus menjadi fokus perhatian. c) Spesies yang dikembalikan ke alam memiliki kemungkinan meneruskan dan memainkan peranan-peranan ekologis dan biologis mereka.
Sumber: Panduan IUCN untuk Penempatan Satwa Sitaan
Setelah tahap habituasi berhasil dilalui, maka elang siap dilepasliarkan. Kegiatan pelepasliaran ditandai dengan pembukaan jaring penutup kandang habituasi. Kandang habituasi sendiri telah dirancang sedemikian rupa sehingga jaring dapat terbuka lebar dan tidak membahayakan satwa (dari kemungkinan terjerat). Meskipun kegiatan ini bertujuan untuk memberi kesempatan elang terbang keluar, tetapi tidak diperlukan tindakan (perlakuan) tertentu untuk memaksa elang agar meninggalkan kandang, seperti memaksa, menakut-nakuti elang dengan kayu atau bambu, karena hal ini akan sangat membahayakan keselamatan elang, sekaligus menghindari terjadinya stres pada elang. Pelepasliaran dilaksanakan melalui serangkaian acara seremonial yang dilakukan secara terpisah dari kandang, yaitu di Wantilan Pura Batukaru pada tanggal 1 April 2007. Hadir dalam acara ini antara lain pejabat Dit. KKH Ditjen PHKA Dephut, Kepala Bapedalda Propinsi Bali, 32
BKSDA BALI
PPS BALI
Wakil Bupati Tabanan, Kepala BKSDA Bali, Direktur BaliPost Group. Hadir pula jajaran birokrasi terkait Pemda Bali dan Kab. Tabanan, pimpinan dan karyawan BaliPost, staf BKSDA Bali, staf PPS Bali, prajuru (pengurus) adat, pengempon pura, dan tokoh warga setempat. Seremoni dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran khususnya warga di kawasan Pura Batukaru akan pentingnya pelestarian satwa, terutama berkaitan dengan pelestarian hutan Batukaru sebagai salah satu mata rantai penting ekosistem besar Pulau Bali. Pada kesempatan tersebut, juga dipaparkan berbagai persiapan yang harus dilalui dan pentingnya mengikuti dan menerapkan prosedur standar pelepasliaran satwa. Hasil yang diharapkan dari acara ini adalah meningkatnya kesadaran warga sekitar kawasan untuk menjaga kelestarian hutan berikut satwa-satwa di dalamnya, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran konservasi satwa dilindungi
dan kawasan kepada para pejabat daerah (propinsi dan kabupaten), khususnya dalam penerapan prosedur-prosedur standar ilimiah pada pelepasliaran satwa dilindungi. Mereka diharapkan menyadari bahwa dengan begitu sulitnya melepaskan kembali satwa-satwa ke alam, maka penangkapan satwa dari habitat seharusnya dapat dikurangi. Kepada para pejabat dan tokoh masyarakat diharapkan pula memberi teladan agar tidak dengan mudahnya melepasliarkan satwa yang belum melalui persiapan (seperti pemeriksaan medis, perilaku, habitat, dll) pada acara-acara seremonial –sebagaimana selama ini sering terjadi di Bali- karena akan berdampak pada banyak hal: penularan penyakit, kemampuan hidup satwa setelah dilepasliarkan, dampak ekologi pada lokasi pelepasliaran, dll. Pada kesempatan tersebut pula diserahkan Piagam Perhargaan Balai KSDA Bali kepada BaliPost Group atas jasa dan partisipasinya selama ini dalam pelestarian alam di Bali, khususnya pada Program Pelepasliaran Satwa Dilindungi, diterima oleh langsung Direktur BaliPost Group. Setelah acara seremoni di Wantilan Pura berakhir, para undangan diajak menyaksikan secara langsung pembukaan kandang habituasi di lokasi kandang. Untuk menghindari gangguan terhadap elang akibat kerumunan manusia, maka lokasi pembukaan kandang ditempatkan pada jarak + 100m dari kandang di sebelah Timur kandang dan berada pada areal yang cukup tertutup oleh rimbunan pohon. Untuk dapat membuka kandang, kandang telah dilengkapi dengan sebuah pintu (pada sisi Selatan) yang terhubung dengan tali pembuka di areal berkumpulnya undangan. Tepat pukul 12.30 wita, tali pembuka dilepaskan secara perlahan oleh pejabat perwakilan Dit. KKH Ditjen PHKA Dephut, Kepala BKSDA Bali, dan Direktur BaliPost Group, menandai dibukanya kandang habituasi.
8. Monitoring Paska Pelepasliaran Sesudah tahap pelepasliaran kembali ke alam usai, masih ada tahap lain yang harus dilalui oleh setiap individu satwa yaitu: monitoring paska pelepasliaran. Monitoring bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelepasliaran. Monitoring dilakukan dengan memperhatikan perkembangan perilaku, daya tahan, dan adaptasi elang yang dilepas terhadap lingkungan barunya. Monitoring ini dilakukan secara intensif selama 2 bulan (1 April - 31 Mei 2007) oleh Tim PPS Bali dan BKSDA Bali. Pengambilan data perilaku masing-masing elang dilakukan melalui pengamatan langsung dan mencatat seluruh aktifitas elang selama perjumpaan, menggunakan Metode Jelajah dan memakai radio telemetri untuk mengetahui keberadaan elang 33
BKSDA BALI
PPS BALI
kemudian mencatat seluruh perilaku elang yang diamati (lampiran tabel pengamatan). Dimana salah satu elang yang dilepasliarkan telah dipasang dengan transmitter untuk mempermudah proses monitoring paska pelepasliaran. Hasil Monitoring Timba keluar dari kandang habituasi pada tanggal 2 April 2007 pukul 15.08. Dan selama satu minggu observasi harian di lapangan, kedua ekor burung masih terpantau disekitar lokasi, baik secara visual maupun gelombang transmitter, namun perjumpaan tidak dalam waktu yang lama. Timbi selama satu minggu terpantau lebih aktif dengan pergerakannya yang lebih banyak terbang berpindah dari pohon kepohon, begitupula terlihat lebih aktif berburu makanan. Pada hari kedua, Timbi sudah terpantau tiga kali mendapatkan pakan berupa kadal. Cara terbang dari Timba dan Timbi masih dalam jarak pendek, belum terbang dalam kepakan yang jauh. Dalam cara berburu pun kedua elang masih sering menangkap mangsa dari atas tanah, mengejar mangsa dengan berjalan dan berlari dari atas tanah. Perilaku berburu di tanah ini yang masih menjadi kekurangan dan penyimpangan perilaku dari kedua elang, namun tidak ada perilaku kecenderungan mendekat terhadap observer maupun masyarakat yang ada di sekitar lokasi. Walaupun pergerakan yang masih terbatas di sekitar lokasi, namun tingkat pertemuan antara burung dengan observer sangat sedikit sekali, hal ini karena medan yang sulit untuk melakukan observasi dengan kontak langsung. Tutupan kanopi dan medan yang berlembah berjurang menyulitkan dalam mengikuti pergerakan elang. Selengkapnya, berikut adalah hasil monitoring selama 10 hari pertama paska pelepasliaran: Senin, 2 April 2007 Pada pagi hari pukul 08.20, Timbi terlihat berada di atas sebuah pohon tumbang, tepat di belakang pondok pengawasan yang hanya berjarak kurang lebih 6 m dengan pondok. Timbi aktif bergerak, sering berburu mangsa di bawah batang pohon tersebut (diatas tanah), terbang jarak pendek di sekitar pondok. Secara jelas terlihat dua kali berhasil menangkap mangsa: kadal kecil. Tidak takut dengan kehadiran/aktivitas manusia di sekitarnya. Siang hari Timbi mulai bergeser ke arah selatan tidak jauh dari pondok, masih aktif terbang dan berburu mangsa. Timba keluar kandang pada pukul 15.08 sore hari, bertengger dipohon Dapdap di depan kandang, diberi pakan dua ekor tikus putih karena dari pagi tidak terlihat berburu atau mendapatkan pakan. Setelah diberi pakan, Timba turun dan mengejar mangsanya dia tas tanah dengan berjalan. Selasa, 3 April 2007 Pagi pukul 08.45, Timba terlihat bertengger di pohon Dapdap di depan pondok. Tidak banyak aktivitas baik menelisik, berpindah tempat maupun terbang. Masih dominan berperilaku bertengger diam dan menengok kiri kanan. Sampai sore hari pukul 14-an, Timba berada di pohon, diberi pakan dua ekor tikus putih, baru mau turun dan makan di tanah. Timbi terlihat pada pukul 10.15 di sebelah selatan pondok, 100-an m dari kandang. Aktif berpindah tempat dari dahan-ke dahan dalam satu pohon ataupun terbang jarak pendek, dan berburu mencari mangsa. Satu jam Timbi masih bisa terpantau, namun pukul 11-an Timbi terbang kearah selatan dan tidak terpantau lagi, namun menggunakan sinyal transmitter masih bisa terpantau dengan baik. Rabu, 4 April 2007 Perjumpaan dengan Timba pada pukul 11.00 tidak jauh dari pondok, bertenger di atas pohon Dapdap tanpa banyak aktivitas, hanya bertengger diam dan menengok kiri-kanan. Sampai kemudian terbang menghilang ke arah selatan pada pukul 11.40. Dijumpai lagi pada pukul 13.21, di dekat kandang sapi. Tidak lama kemudian terbang dan menghilang lagi. 34
BKSDA BALI
PPS BALI
Timbi terlihat lebih aktif perilakunya daripada Timba. Pada siang hari sering berpindah cabang maupun menelisik serta terbang antar pohon jarak dekat. Teramati pula beberapa kali berburu walaupun sering kemudian berjalan atau berlari di atas tanah mengejar mangsanya. Jumat, 6 April 2007 Timbi teramati pada pukul 10.46 - 11.56. Kemudian terbang ke arah selatan kandang habituasi dan menghilang di dalam hutan bambu dan kebun kopi, namun sinyal transmitter masih mampu mendeteksi keberadaannya di sekitar lokasi di Menghening dan Tuka. Dari informasi Nengah Arya (warga setempat), sekitar pukul 10an Timbi terlihat berada di pohon Dapdap di dekat pondok dan sedang berburu mangsa dan memperoleh kadal. Sedangkan pada siang hari sekitar pukul 12.30an Timbi dijumpai oleh Pak Robi (warga setempat) di atas dekat jalan kapur (Tuka) sedang berburu di atas tanah (mangsa tidak diketahui). Sabtu, 7 April 2007 Tidak ada perjumpaan sama sekali dengan tim monitoring sejak pagi sampai siang hari. Lokasi yang dijelajahi berada di sekitar kandang habituasi di Menghening dan Tuka hingga jarak sekitar 300 meter arah selatan kandang habituasi dimana Timbi kemarin masih bisa terdeteksi baik secara visual maupun lewat gelombang transmitter. Cuaca pada siang hari turun hujan hingga sore hari. Minggu, 8 April 2007 Monitoring dilakukan dengan menyusuri sungai Mada di antara Menghening dan Tuka ke arah selatan. Tidak dijumpai kedua individu elang sama sekali. Kondisi medan berupa lembah dan terdiri atas hutan bambu dan kebun kopi mempersulit pencarian kedua individu elang. Sinyal transmitter dari pemancar sama sekali tidak terdeteksi. Hujan turun sekitar pukul 13-an hingga sore hari. Informasi yang diperoleh dari Pak Ari (warga), pada pagi hari sekitar pukul 9, Timbi terlihat berada di atas tanah, di sekitar kandang sapi seperti sedang berburu mangsa, namun tidak diketahui apakah berhasil atau tidak menangkap mangsanya. Elang tersebut kemudian terbang ke arah selatan dan tidak diketahui arah selanjutnya. Senin, 9 April 2007 Cuaca cerah panas hanya sampai pertengahan hari, monitoring dilakukan dengan melakukan pencarian individu elang kearah utara kandang habituasi. Dari informasi yang diperoleh dari masyarakat (Pak Ari dan Pak Suwir), antara pukul 8-9 elang masih terlihat di sekitar kandang habituasi, Timba berada di pohon Dapdap di sebelah utara pondok dan Timbi di pohon Teep di dekat kandang sapi. Namun karena terganggu oleh mulai banyak aktivitas manusia keduanya terbang. Timbi ke selatan dan Timba keutara. Pencarian ke utara, elang tidak ditemukan. Namun masyarakat di sekitar ladang Pak Suwir (sekitar 150 m dari kandang habituasi) sejak satu hari sebelumnya (8 April 2007) melihat keberadaan Timba di sekitar lokasi. Individu elang tidak dijumpai pada saat itu. Begitu pula saat dilakukan pencarian ke selatan, Timbi tidak diketemukan pula, begitu pula sinyal transmitter sama sekali tidak mendeteksi. Selasa, 10 April 2007 Observasi dilakukan untuk menemukan kedua elang dengan menyusuri jalan utama di daerah Tuka dari arah selatan sampai ujung utara, berbatasan dengan jalur pendakian ke gunung Batukaru, namun tidak terjadi kontak dengan elang sama sekali. Monitoring kemudian dilanjutkan oleh Tim Monitoring hingga dua bulan. Hasil-hasilnya akan disajikan pada laporan terpisah.
35
BKSDA BALI
PPS BALI
PENUTUP
Selama berlangsungnya persiapan sampai dengan pelaksanaan Program Pelepasliaran ini, dapat dipetik beberapa nilai pembelajaran yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan prorgram di masa mendatang, yaitu:
a. Upaya mengembalikan satwa liar dilindungi ke alam bebas ternyata tidak mudah dan murah. Namun, bagaimanapun, hal ini harus tetap dilakukan –dan dikembangkan- mengingat ancaman terhadap keberadaan dan keragaman jenis di habitat aslinya semakin tinggi.
b. Sedikit sekali pengetahuan di kalangan pejabat daerah (Bali) akan pentingnya penerapan standar dan prosedur pelepasliaran satwa ke alam, khususnya dampak yang dapat ditimbulkan ke ekosistem maupun manusia jika satwa dilepasliarkan tanpa melalui persiapan sebagaimana disyaratkan oleh standar dan prosedur internasioal.
c. Masih seringnya kita jumpai para pejabat di Bali yang begitu mudahnya melepasliarkan satwa ke alam pada seremoni-seremoni tanpa terlebih dahulu melakukan assessment, merupakan preseden buruk bagi masyarakat luas di masa depan. Dengan kehadiran para pejabat dalam seremoni Program Pelepasliaran ini, diharapkan memberi pemahaman akan pentingnya penerapan standar dan prosedur yang berlaku dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui berbagai kebijakan yang relevan.
d. Melalui Program ini, masyarakat –khususnya warga sekitar lokasi pelepasliaran- dapat memahami secara nyata pentingnya pelestarian satwa dilindungi.
e. Tumbuhnya partisipasi kalangan usaha dalam program ini, menunjukkan adanya perubahan mindset kalangan dunia usaha di Bali akan pentingnya tanggung jawab sosial (corporate social resposibility –CSR) kalangan bisnis terhadap masyarakat. Telah muncul kesadaran bahwa kelangsungan dunia usaha berkaitan erat perbaikan kondisi sosial dan lingkungan Bali yang semakin hari semakin menurun. Diharapkan, nantinya akan semakin banyak kalangan usaha yang mendukung program pelepasliaran satwa dilindungi.
f. Melalui Program ini, teridentifikasi betapa kearifan lokal (local genius) masyarakat Bali ternyata mampu menyelamatkan dan melindungi kawasan hutan dari kerusakan akibat ulah manusia, sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat Desa Wongaya Gede dan para pengempon Pura Batukaru selama ini.
g. Masih minimnya perhatian pemerintah –khususnya pemerintah daerah di Bali- pada upaya pelestarian kawasan beserta locus-locus ekosistem di dalamnya, melalui program-program pelepasliaran satwa dilindungi di Bali. Ke depan perlu dikembangkan suatu model restorasi dan/atau pelestarian kawasan hutan yang berorientasi untuk mempertahankan populasi jenis hidupan liar di dalamnya.
h. Tidak bisa dipungkiri bahwa Program-program pelepasliaran satwa dilindungi selama ini dominan (jika bukan seluruhnya) diinsiasi dan dilaksanakan oleh pusat-pusat penyelamatan satwa (PPS-rescue center) di Indonesia, sebagai salah satu fasilitas penampungan satwa sitaan pemerintah. Mengingat bahwa selain PPS terdapat lembaga-lembaga konservasi yang juga menampung satwa sitaan, yang sebagian besar adalah hasil tangkapan dari alam (bukan hasil breeding), maka sudah saatnya Pemerintah mendorong upaya pelepasliaran satwa dilindungi yang kini berada di lembaga-lembaga konservasi.
36
BKSDA BALI
PPS BALI
DAFTAR PUSTAKA
Agnes E. Rupley, DVM, ABVP. 1997. Manual of Avian Practice. United States of America. Anonim. 2000. Informasi Potensi Kawasan Konservasi Propinsi Bali. Unit KSDA Bali. Anonim. 2003.Annual Animal Disease Status of Indonesia. OIE Report. Internet Online. Altman, J. 1973. Observational Study of Behavior Sampling Methods. Biby, C., M. Jones dan S. Marsden. 2000. Tekhnik-tekhnik Ekspedisi Lapangan: Survey Burung. BirdLife International-IP. Bogor. Ed Collin dan A. Supriatna. Diurnal Raptor List in Indonesia. Fowler E. Murray, R. Eric Miller. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine. Fifth Edition. United States. Fuller, M.R & J.A. Moshler. 1997. Raptor Survey Techniques. Page 37-65 in B.A. Giron Pendleton., B.A. Millsap., K.W. Cline and D.M. Bird. Eds. Raptor Management Techniques Manual. Natl. Wild. Fed., Washington, D.C. Hawk Conservacy Trust. 2005. Available at: http://www.hawk-conservancy.org. Opened at 18th November 2005. Imansyah. J., O.P. Basuki., M. Akbar., A. Novel., Sudaryanto. 2002. Jalur Migrasi Burung Raptor Migran di Bali. Bali. Unpublish. MacKinnon, J., K. Phillips., B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Penterjemah: W. Raharjaningtrah., A. Adikerana., P. Martodiharjo., E.K. Supardiyono., B. van Balen. Puslitbang Biologi-LIPI/BirdLife Internacional Indonesia Programme. Bogor. Nurwatha, P.F dan Z. Rahman. 2000. Distribusi dan Populasi Elang Sulawesi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. YPAL. Bandung. Prawiradilaga, D., T. Murrate., A. Muzakkir., T. Inoue., Kuswandono., A.A. Supriatna., D. Ekawati., M.Y. Alfianto., Hapsoro., T. Ozawa dan N. Sakaguchi. 2003. Panduan Survey Lapangan dan Pemantauan Burung-burung Pemangsa. Biodiversity Conservation ProjectJICA. Japan Internacional Cooperation Agency. Setiadi, A.P., Z. Rahman., P.F. Nurwatha., M. Muchtar dan W. Raharjaningtrah. 2000. Status, Distribuís Populasi dan Konservasi Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di Jawa Barat Bagian Selatan. YPAL. Bandung. Soegianto, Agoes. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Strange, M. 2001. Birds of Indonesia. Periplus Editions (HK) Ltd. Wijaya, K.D., O.P. Basuki., C. Riupasa dan J. Katayane. 2004. Studi Habitat Penglepasliaran dan Konservasi Kakatua Maluku (Cacatua mollucensis) di Taman Nasional Manusela Maluku. PPS Bali. Tidak dipublikasikan. Yamazaki, T. 1997. Research Manual of Large Forest Raptors. Osaka (Unpublish) 37
Hasil Analisa Vegetasi (Anveg) di Menghening, Tuka, dan Sekitar Pura Batukaru Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Semai (Tumbuhan penutup tanah ) NO
NAMA JENIS
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
2 Anting-anting Bacem Deworan Dinding ai Jlengot Keladi Kopi Krorak Mentek-mentek Pacar Padang blanda Padang pamor Padang santen Paku Paku kedis Suplir Yeh-yeh
JUMLAH INDIVIDU 3 1 3 2 2 2 6 2 9 130 1 39 6 2 9 7 9 4
JUMLAH TERUKUR 4 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 2 1 1 2 3 1 1
FREKUENSI
KELIMPAHAN
5 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.67 1.00 0.33 0.67 0.33 0.33 0.67 1.00 0.33 0.33
6 Jarang Jarang Jarang Jarang Jarang Agak sering Jarang Agak sering Sangat berlimpah Jarang Berlimpah Agak sering Jarang Agak sering Agak sering Agak sering Jarang
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
KETERANGAN 7 Tolok ukur kelimpahan : Jarang Agak sering Sering Berlimpah Sangat berlimpah
= = = = =
1 5 15 30 >
-
4 14 29 90 90
/ / / / /
m² m² m² m² m²
1
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Pancang ( T < 3 m, Ø <10 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2 1 2 3 4 5
JUMLAH
JUMLAH
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4 1 1 1 2 1
5 2.25 2.5 2.25 35.00 7.50
JUMLAH
JUMLAH
Coklat Dadap Kelor Kopi Pisang
1 1 1 15 3
FREKUENSI 6 0.33 0.33 0.33 0.67 0.33
FREKUENSI RELATIF (%) 7 16.67 16.67 16.67 33.33 16.67
KERAPATAN ( Pohon/ha ) 8 8.33 8.33 8.33 125.00 25.00
KERAPATAN RELATIF (%) 9 4.76 4.76 4.76 71.43 14.29
DOMINANSI RELATIF (%) 11 4.55 5.05 4.55 70.71 15.15
INDEK NILAI PENTING 12 25.97 26.48 25.97 175.47 46.10
( m²/ha ) 10
DOMINANSI RELATIF (%) 11
INDEK NILAI PENTING 12
9.17 13.75 32.08 9.17 13.75 9.17 18.33 13.75 18.33 916.67
0.87 1.30 3.04 0.87 1.30 0.87 1.74 1.30 1.74 86.96
16.20 24.30 38.53 20.75 19.76 11.66 27.86 19.76 23.31 97.74
DOMINANSI ( m²/ha ) 10 18.75 20.83 18.75 291.67 62.50
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Mengening/Perkebunan Kelas Tiang ( Ø <20 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Blantih Dadap Coklat Lenggung Adis Pradah Ee Cempaka Sembung Gintungan
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4
5
6
FREKUENSI RELATIF (%) 7
2 3 7 2 3 2 4 3 4 2
2 3 3 3 2 1 3 2 2 1
1.1 1.65 3.85 1.1 1.65 1.1 2.2 1.65 2.2 1.1
0.67 1.00 1.00 1.00 0.67 0.33 1.00 0.67 0.67 0.33
9.09 13.64 13.64 13.64 9.09 4.55 13.64 9.09 9.09 4.55
FREKUENSI
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
( Pohon/ha ) 8
KERAPATAN RELATIF (%) 9
17 25 58 17 25 17 33 25 33 17
6.24 9.36 21.85 6.24 9.36 6.24 12.48 9.36 12.48 6.24
KERAPATAN
DOMINANSI
2
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Tirta Mengening Kelas Pohon ( Ø >20 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14
Blantih Dadap Adis Aren Ee Cempaka Sembung Gintungan Jabon Terep Ampag Lenggung Suren
JUMLAH
JUMLAH
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4
5
6
FREKUENSI RELATIF (%) 7
3 3 2 2 5 2 2 3 1 1 1 1 1
3 3 2 2 3 1 3 2 1 1 1 2 1
0.21 0.21 0.14 0.14 0.35 0.14 0.14 0.21 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07
1.00 1.00 0.67 0.67 1.00 0.33 1.00 0.67 0.33 0.33 0.33 0.67 0.33
12.00 12.00 8.00 8.00 12.00 4.00 12.00 8.00 4.00 4.00 4.00 8.00 4.00
FREKUENSI
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
( Pohon/ha ) 8
KERAPATAN RELATIF (%) 9
25.00 25.00 16.67 16.67 41.67 16.67 16.67 25.00 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33
11.11 11.11 7.41 7.41 18.52 7.41 7.41 11.11 3.70 3.70 3.70 3.70 3.70
KERAPATAN
( m²/ha ) 10
DOMINANSI RELATIF (%) 11
INDEK NILAI PENTING 12
1.75 1.75 1.17 1.17 2.92 1.17 1.17 1.75 0.58 0.58 0.58 0.58 0.58
11.11 11.11 7.41 7.41 18.52 7.41 7.41 11.11 3.70 3.70 3.70 3.70 3.70
34.23 34.23 22.82 22.82 49.04 18.82 26.82 30.23 11.41 11.41 11.41 15.41 11.41
DOMINANSI
3
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Semai (Tumbuhan penutup tanah ) NO 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
NAMA JENIS 2 Anggrek tanah Aren Bacem Ficus sp. Keladi Kopi Lateng Mentek-mentek Paku Palam Plendo
JUMLAH INDIVIDU 3 1 3 1 2 13 1 2 35 2 4 1
JUMLAH TERUKUR 4 1 1 1 1 1 2 1 3 2 2 1
FREKUENSI
KELIMPAHAN
5 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.67 0.33 1.00 0.67 0.67 0.33
6 Jarang Jarang Jarang Jarang Agak sering Jarang Jarang Berlimpah Jarang Jarang Jarang
KETERANGAN 7 Tolok ukur kelimpahan : Jarang Agak sering Sering Berlimpah Sangat berlimpah
= = = = =
1 5 15 30 >
-
4 14 29 90 90
/ / / / /
m² m² m² m² m²
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Pancang ( T < 3 m, Ø <10 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lampeni Yeh-yeh Ficus sp. lateng Pisang Udu Sembung klampok Blantih Lemasih
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4
5
6
FREKUENSI RELATIF (%) 7
3 3 3 2 2 2 1 1 2 2
22.50 22.50 18.00 33.75 6.75 13.50 13.50 13.50 11.25 15.75
1.00 1.00 1.00 0.67 0.67 0.67 0.33 0.33 0.67 0.67
14.29 14.29 14.29 9.52 9.52 9.52 4.76 4.76 9.52 9.52
10 10 8 15 3 6 6 6 5 7
JUMLAH
JUMLAH FREKUENSI
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
( Pohon/ha ) 8
KERAPATAN RELATIF (%) 9
83.33 83.33 66.67 125.00 25.00 50.00 50.00 50.00 41.67 58.33
13.16 13.16 10.53 19.74 3.95 7.89 7.89 7.89 6.58 9.21
KERAPATAN
( m²/ha ) 10
DOMINANSI RELATIF (%) 11
INDEK NILAI PENTING 12
187.50 187.50 150.00 281.25 56.25 112.50 112.50 112.50 93.75 131.25
13.16 13.16 10.53 19.74 3.95 7.89 7.89 7.89 6.58 9.21
40.60 40.60 35.34 49.00 17.42 25.31 20.55 20.55 22.68 27.94
DOMINANSI
4
Kelimpahan dan Dominansi Flora Lokasi: Pura Batukaru/Hutan lindung Kelas Tiang ( Ø <20 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Blantih Dadap Adis Pradah Ee Cempaka Sembung Dadem Gintungan Klampoak Bunut Lateng Lenggung Seming Suren
JUMLAH
JUMLAH
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4
5
6
FREKUENSI RELATIF (%) 7
3 3 2 1 5 1 2 4 3 2 2 4 1 2 1
3 3 2 1 3 1 3 3 3 2 2 3 2 2 1
1.65 1.65 1.1 0.55 2.75 0.55 1.1 2.2 1.65 1.1 1.1 2.2 0.55 1.1 0.55
1.00 1.00 0.67 0.33 1.00 0.33 1.00 1.00 1.00 0.67 0.67 1.00 0.67 0.67 0.33
8.83 8.83 5.88 2.94 8.83 2.94 8.83 8.83 8.83 5.88 5.88 8.83 5.88 5.88 2.94
FREKUENSI
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
( Pohon/ha ) 8
KERAPATAN RELATIF (%) 9
25.00 25.00 16.67 8.33 41.67 8.33 16.67 33.33 25.00 16.67 16.67 33.33 8.33 16.67 8.33
8.33 8.33 5.56 2.78 13.89 2.78 5.56 11.11 8.33 5.56 5.56 11.11 2.78 5.56 2.78
KERAPATAN
( m²/ha ) 10
DOMINANSI RELATIF (%) 11
INDEK NILAI PENTING 12
13.75 13.75 9.17 4.58 22.92 4.58 9.17 18.33 13.75 9.17 9.17 18.33 4.58 9.17 4.58
8.33 8.33 5.56 2.78 13.89 2.78 5.56 11.11 8.33 5.56 5.56 11.11 2.78 5.56 2.78
25.49 25.49 17.00 8.50 36.60 8.50 19.94 31.05 25.49 17.00 17.00 31.05 11.44 17.00 8.50
DOMINANSI
5
Kelimpahan dan Dominansi Flora Di sekitar pura batukaru Kelas Pohon ( Ø >20 cm ) JUMLAH NO
NAMA JENIS
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Blantih Dadap Adis Lateng Bala Beringin Bunut Ee Cempaka Sembung Gintungan Ampag Lenggung
JUMLAH
JUMLAH
INDIVIDU
TERUKUR
LBD
3
4
5
6
FREKUENSI RELATIF (%) 7
3 3 2 10 3 6 6 5 2 2 3 1 1
3 3 2 3 2 3 2 3 1 3 2 1 2
0.36 0.36 0.24 1.2 0.36 0.72 0.72 0.6 0.24 0.24 0.36 0.12 0.12
1.00 1.00 0.67 1.00 0.67 1.00 0.67 1.00 0.33 1.00 0.67 0.33 0.67
10.00 10.00 6.67 10.00 6.67 10.00 6.67 10.00 3.33 10.00 6.67 3.33 6.67
FREKUENSI
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
( Pohon/ha ) 8
KERAPATAN RELATIF (%) 9
25.00 25.00 16.67 83.33 25.00 50.00 50.00 41.67 16.67 16.67 25.00 8.33 8.33
6.38 6.38 4.26 21.28 6.38 12.77 12.77 10.64 4.26 4.26 6.38 2.13 2.13
KERAPATAN
( m²/ha ) 10
DOMINANSI RELATIF (%) 11
INDEK NILAI PENTING 12
3.00 3.00 2.00 10.00 3.00 6.00 6.00 5.00 2.00 2.00 3.00 1.00 1.00
6.38 6.38 4.26 21.28 6.38 12.77 12.77 10.64 4.26 4.26 6.38 2.13 2.13
22.77 22.77 15.18 52.55 19.43 35.53 32.20 31.28 11.84 18.51 19.43 7.59 10.92
DOMINANSI
6
Daftar Jenis-jenis Satwa yang Terdapat di Sekitar Lokasi Habituasi Jenis/species MAMMALIA 1 MUSANG LUWAK 2 BAJING KELAPA 3 TUPAI AKAR 4 TIKUS LADANG
Nama Ilmiah
Keterangan
Paradoxurus hermaphroditus Callosciurus notatus Tupaia gliss Rattus exulans
potensi pakan potensi pakan potensi pakan
Mabuya multifiscata Bronchocela jubata
Draco volans
potensi pakan potensi pakan potensi pakan potensi pakan potensi pakan
INSEKTA 1 KUPU RAJA HELENA 2 CAPUNG 3 CAPUNG
Troides helena Orthetrum sabina Brachythemis contaminata
-
PRIMATA 1 MONYET EKOR PANJANG 2 LUTUNG
Macaca fasicularis Tracypitecus auratus
-
AMFIBI A 1 KATAK
Rana sp
potensi pakan
REPTILIA 1 ULAR TANAH 2 KADAL 3 BUNGLON 4 ULAR AIR 5 ULAR SANCA 6 ULAR SAWAH 7 CECAK TERBANG
Phyton reticulatus
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
7
Daftar Jenis-jenis Burung (bird list) di Pegunungan Batukahu, Januari 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Jenis Kuntul Kerbau Sikep Madu Asia Elang-alap Nipon Elang-alap Cina Elang Ular Elang Hitam Elang Brontok Ayam Hutan Hijau Ayam Hutan Merah Kareo Padi Punai Penganten Punai Gading Pergam Hijau Pergam Ketanjar Uncal Buau Uncal Kouran Tekukur Delimukan Zamrud Bubut alang-alang Walet Linchi Cekakak Jawa Cekakak Sungai Takur Bultok Takur Tohtor Takur Tenggeret Caladi Ulam Jingjing Batu Sepah Hutan Cipoh Kacat Cucak Kuricang Merbah Cerukcuk Empuloh Janggut Srigunting Hitam Srigunting Kelabu Srigunting Batu Cica-kopi Melayu Gelatik Batu Kucica Kampung Meninting Besar Anis Merah Rementuk Laut Cikrak Daun Ceret Gunung Cinenen Jawa Prenjak Jawa Sikatan Bubik Sikatan Kepala Abu Kehincap Ranting Kekep Babi Perling Kumbang
Nama Ilmiah Bubulcus ibis Pernis ptylorhynchus Accipiter gularis Accipiter soloensis Spilornis cheela Ichtinaetus malayensis Spizaetus cirrhatus Gallus varius Gallus gallus Amaurornis phoenicurus Treron griseicauda Treron vernans Ducula aenea Ducula rosacea Macropygia emiliana Macropygia ruficeps Streptopelia chinensis Chalcophaps indica Centropus bengalensis Collocalia linchi Halcyon cyanoventris Todirhamphus chloris Megalaima lineata Megalaima armillaris Megalaima australis Dendrocopus macei Hemipus hirundinaceus Pericrocotus flammeus Aegithina tiphia Pycnonotus atriceps Pycnonotus goiavier Alophoixus bres Dicrurus macrocercus Dicrurus leucophaeus Dicrurus paradiseus Pamatorhinus montanus Parus major Copsychus saularis Enicurus leschenaulti Zootera citrina Gerygone sulphurea Phylloscopus trivirgatus Cettia vulcania Orthotomus sepium Prinia familiaris Muscicapa dauurica Culicicapa ceylonensis Hypothymis azurea Artamus leucorhynchus Aplonis panayensis
Nama Inggris Cattle Egret Oriental Honey-buzzard Japanese Sparrowhawk Chinese Goshawk Crested Serpent-eagle Black Eagle Changeable Hawk-eagle Green Junglefowl Red Junglefowl White-breasted Waterhen Grey-cheeked Green-Pigeon Pink-necked Green-Pigeon Green Imperial-Pigeon Pink-headed Imperial-Pigeon Ruddy Cuckoo-Dove Little Cuckoo-Dove Spotted-Dove Emerald Dove Lesser Coucal Cave-Swiftlet Javan Kingfisher Collared Kingfisher Lineated Barbed Orange-fronted Barbed Blue-eared Barbed Fulvous-breasted Woodpecker Black-winged Flycatcher-shrike Scarlet Minivet Common Iora Black-headed Bulbul Yellow-vented Bulbul Grey-cheeked Bulbul Black Drongo Ashy Drongo Greater Racket-tailed Drongo Chesnut-backed Scimitar-babbler Great Tit Magpie Robin White-crowned Forktail Orange-headed Thrush Golden-bellied Gerygone Mountain Leaf-warbler Sunda Bush-warbler Olive-backed Tailorbird Bar-winged Prinia Asian Brown Flycatcher Grey-headed Flycatcher Black-naped Monarch White-breasted Wood-swallow Asian Glossy Starling
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
Keterangan dilindungi, migran dilindungi, migran dilindungi, migran Dilindungi Dilindungi Dilindungi
Dilindungi Dilindungi
8
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Kerak Kerbau Burung Madu Sriganti Cabai Bunga Api Cabai Lombok Cabai Gunung Cabe Jawa Kacamata Biasa Kacamata Gunung Opior Jawa Bondol Jawa
Acridotheres javanicus Nectarinia jugularis Dicaeum trigonostigma Dicaeum maugei Dicaeum sanguinolentum Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Zosterops montanus Lophozosterops javanicus Lonchura leucogastroides
Javan Myna Olive-backed Sunbird Orange-bellied Flowerpecker Red-chested Flowerpecker Blood-breasted Flowerpecker Scarlet-haded Flowerpecker Oriental White-eye Mountain White-eye Javan Grey-throated White-eye Javan Munia
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
Dilindungi
9
HASIL PENGAMATAN PERILAKU HARIAN 1. Individu ”Timba” Total jumlah perilaku yang teramati selama masa habituasi adalah 620, yang terdiri atas perilaku bertengger 448 (72,26%), berpindah 153 (24,68%), serta perilaku agresi 19 (3,06%). 1. BERTENGGER menelisik menengok mengamati mangsa makan minum berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk leher menggoyangkan badan menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan Total
Jumlah 39 276 9 17 0 5 0 15 0 2 19 1 63 2 448
% 8,7 61,61 2,01 3,79 0 1,12 0 3,35 0 0,45 4,24 0,22 14,06 0,45 100
PERILAKU BERTENGGER TIMBA
menelisik menengok mengamati mangsa
63 19 0 2 15 0 05
2
39
makan
1
minum berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk leher
17 9
menggoyangkan badan 276
menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan
PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIMBA 14%
0%
menelisik menengok mengamati mangsa makan minum
9%
0% 4% 0% 3% 0% 1% 0%
berak gosok paruh
4% 2%
menggaruk leher menggoyangkan badan
rentang sayap kepak sayap
63%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan
10
2. PERPINDAHAN berpindah 1 berpindah 2 berpindah 3 berpindah 4 berpindah 5 perpindah 6 berpindah 7 berpindah 8 sambar mangsa Total
Jumlah 79 18 23 0 9 17 0 0 7 153
% 51,63 11,76 15,03 0 5,88 11,11 0 0 4,57 99,98
PERILAKU BERPINDAH TIMBA berpindah 1 0
17 0
berpindah 2
7
berpindah 3
9
berpindah 4 berpindah 5 79
23
perpindah 6 berpindah 7 berpindah 8
18
sambar mangsa
PROSENTASE PERILAKU BERPINDAH TIMBA 11%
berpindah 1
0% 5%
berpindah 2 berpindah 3
6% 0%
berpindah 4 berpindah 5 perpindah 6 51%
15%
berpindah 7 berpindah 8
12%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
sambar mangsa
11
3. AGRESI menyerang bertahan Total
Jumlah 16 3 19
% 84,21 15,79 100
PERILAKU AGRESI TIMBA 3 menyerang bertahan
16
PROSENTASE PERILAKU AGRESI TIMBA
16% menyerang bertahan
84%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
12
PEMANFAATAN RUANG tanah cabang bawah cabang atas Total
Jumlah 48 41 135 224
% 21,43 18,3 60,27 100
PEMANFAATAN RUANG TIMBA
48
tanah
cabang baw ah
cabang atas 135
41
PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBA
21% tanah cabang baw ah cabang atas 61%
18%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
13
PENANGANAN MANGSA ditenggeran atas tenggeran bawah ditanah Total
Jumlah 1 0 16 17
% 5,88 0 94,12 100
PENANGANAN MANGSA TIMBA
1
0 ditenggeran atas tenggeran baw ah ditanah
16
PROSENTASE PENANGANAN MANGSA TIMBA 6%
0% ditenggeran atas tenggeran baw ah ditanah
94%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
14
2. Individu ”Timbi”
Total jumlah perilaku yang teramati selama masa habituasi adalah 973, yang terdiri atas perilaku bertengger 703 (72,25%), terbang 251 (25,79%), serta agresi 19 (1,95%). 1. BERTENGGER menelisik menengok mengamati mangsa makan minum berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk leher menggoyangkan badan menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan Total
Jumlah 68 409 21 19 0 5 0 15 1 4 8 6 137 10 703
% 9,67 58,18 2,99 2,7 0 0,38 0 2,13 0,14 0,57 1,14 0,85 19,49 1,42 99,66
PERILAKU BERTENGGER TIMBI
menelisik menengok mengamati mangsa
10 137
makan
68
minum berak
6 148 15
gosok paruh rentang sayap kepak sayap
0 5 0 19 21
menggaruk leher 409
menggoyangkan badan menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan
PROSENTASE PERILAKU BERTENGGER TIM BI 1% 20%
10%
1% 1% 1% 0% 2%
0% 3% 3% 58%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
menelisik menengok mengamati mangsa makan minum berak gosok paruh rentang sayap kepak sayap menggaruk leher menggoyangkan badan menggoyangkan ekor bersuara keras bersuara pelan
15
2. PERPINDAHAN berpindah 1 berpindah 2 berpindah 3 berpindah 4 berpindah 5 perpindah 6 berpindah 7 berpindah 8 sambar mangsa Total
Jumlah 174 15 23 0 6 12 0 1 20 251
% 69,32 5,98 9,16 0 2,39 4,78 0 0,4 7,96 99,99
Keterangan: 1. Terbang dari cabang kecabang lain antar pohon atau pohon yg sama 2. Terbang dari cabang pohon ke tanah 3. Terbang dari tanah ke cabang pohon 4. Terbang dari tanah kembali ke tanah 5. Bergeser di atas cabang 6. Berjalan di tanah 7. Berlari di tanah 8. Meloncat di tanah
PERILAKU BERPINDAH TIMBI berpindah 1 berpindah 2 06
12
20
1 0
berpindah 3 berpindah 4
23
berpindah 5 perpindah 6 berpindah 7
15 174
berpindah 8 sambar mangsa
PROSENTASE PERILAKU BERPINDAH TIMBI berpindah 1 2% 0%
5% 0%
8%
berpindah 2 berpindah 3
9%
berpindah 4 berpindah 5 perpindah 6
6%
berpindah 7 70%
berpindah 8 sambar mangsa
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
16
3. AGRESI menyerang bertahan Total
Jumlah 4 15 19
% 21,05 78,95 100
PERILAKU AGRESI TIMBI
4 menyerang bertahan
15
PROSENTASE PERILAKU AGRESI TIMBI
21% menyerang bertahan
79%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
17
PEMANFAATAN RUANG tanah cabang bawah cabang atas total
Jumlah 27 18 286 331
% 8,16 5,44 86,4 100
PEMANFAATAN RUANG TIMBI 27
18 tanah cabang baw ah cabang atas
286
PROSENTASE PEMANFAATAN RUANG TIMBI
8%
5% tanah cabang baw ah cabang atas
87%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
18
PENANGANAN MANGSA ditenggeran atas tenggeran bawah ditanah Total
Jumlah 14 0 5 19
% 73,68 0 26,31 99,99
PENANGANAN MANGSA TIMBI
5
ditenggeran atas tenggeran baw ah ditanah
0 14
PROSENTASE PENANGANAN MANGSA TIMBI
ditenggeran atas
26%
tenggeran baw ah ditanah 0% 74%
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
19
Hasil Monitoring Harian Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) Paska Pelepasliaran No 1
Hari, tanggal
Keterangan
Minggu, 01-04-2007 Seremoni pelepasliaran dilakukan di Wantilan Pura Batukaru pada pagi hari. Pembukaan kandang dilakukan di lokasi kandang habituasi, Menghening pada pukul 10-an. Di lokasi habituasi hujan turun deras sampai sore hari. Individu yang pertama kali keluar adalah Timbi (wingsmarker merah) pada pukul 13.45 wita, setelah keadaan di sekitar lokasi sepi dan tidak ada aktifitas orang sama sekali. Sebelumnya dilakukan pemancingan menggunakan umpan pakan (tikus putih) yang dilemparkan di luar pintu kandang habituasi. Sampai sore hari pukul 16an, Timbi masih bertengger di atas kandang dalam cuaca hujan deras.
2
Senin, 02-04-2007
Pada pagi hari pukul 08.20, Timbi terlihat berada di atas sebuah pohon tumbang, tepat di belakang pondok pengawasan yang hanya berjarak kurang lebih 6 m dengan pondok. Timbi aktif bergerak, sering berburu mangsa di bawah batang pohon tersebut (diatas tanah), terbang jarak pendek di sekitar pondok. Secara jelas terlihat dua kali berhasil menangkap mangsa: kadal kecil. Tidak takut dengan kehadiran/aktivitas manusia di sekitarnya. Siang hari Timbi mulai bergeser ke arah selatan tidak jauh dari pondok, masih aktif terbang dan berburu mangsa. Timba keluar kandang pada pukul 15.08 sore hari, bertengger dipohon Dapdap di depan kandang, diberi pakan dua ekor tikus putih karena dari pagi tidak terlihat berburu atau mendapatkan pakan. Setelah diberi pakan, Timba turun dan mengejar mangsanya dia tas tanah dengan berjalan.
3
Selasa, 03-04-2007
Pagi pukul 08.45, Timba terlihat bertengger di pohon Dapdap di depan pondok. Tidak banyak aktivitas baik menelisik, berpindah tempat maupun terbang. Masih dominan berperilaku bertengger diam dan menengok kiri kanan. Sampai sore hari pukul 14-an, Timba berada di pohon, diberi pakan dua ekor tikus putih, baru mau turun dan makan di tanah. Timbi terlihat pada pukul 10.15 di sebelah selatan pondok, 100-an m dari kandang. Aktif berpindah tempat dari dahan-ke dahan dalam satu pohon ataupun terbang jarak pendek, dan berburu mencari mangsa. Satu jam Timbi masih bisa terpantau, namun pukul 11-an Timbi terbang kearah selatan dan tidak terpantau lagi, namun menggunakan sinyal transmitter masih bisa terpantau dengan baik.
4
Rabu, 04-04-2007
Perjumpaan dengan Timba pada pukul 11.00 tidak jauh dari pondok, bertenger di atas pohon Dapdap tanpa banyak aktivitas, hanya bertengger diam dan menengok kiri-kanan. Sampai kemudian terbang menghilang ke arah selatan pada pukul 11.40. Dijumpai lagi pada pukul 13.21, di dekat kandang sapi. Tidak lama kemudian terbang dan menghilang lagi. Timbi terlihat lebih aktif perilakunya daripada Timba. Pada siang hari sering berpindah cabang maupun menelisik serta terbang antar pohon jarak dekat. Teramati pula beberapa kali berburu walaupun sering kemudian berjalan atau berlari di atas tanah mengejar mangsanya.
5
Jumat, 06-04-2007
Timbi teramati pada pukul 10.46 - 11.56. Kemudian terbang ke arah selatan kandang habituasi dan menghilang di dalam hutan bambu dan kebun kopi, namun sinyal transmitter masih mampu mendeteksi keberadaannya di sekitar lokasi di Menghening dan Tuka. Dari informasi Nengah Arya (warga setempat), sekitar pukul 10an Timbi terlihat berada di pohon Dapdap di dekat pondok dan sedang berburu mangsa dan memperoleh kadal. Sedangkan pada siang hari sekitar pukul 12.30an
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
20
Timbi dijumpai oleh Pak Robi (warga setempat) di atas dekat jalan kapur (Tuka) sedang berburu di atas tanah (mangsa tidak diketahui). 6
Sabtu, 07-04-2007
Tidak ada perjumpaan sama sekali dengan tim monitoring sejak pagi sampai siang hari. Lokasi yang dijelajahi berada di sekitar kandang habituasi di Menghening dan Tuka hingga jarak sekitar 300 meter arah selatan kandang habituasi dimana Timbi kemarin masih bisa terdeteksi baik secara visual maupun lewat gelombang transmitter. Cuaca pada siang hari turun hujan hingga sore hari.
7
Minggu, 08-04-2007 Monitoring dilakukan dengan menyusuri sungai Mada di antara Menghening dan Tuka ke arah selatan. Tidak dijumpai kedua individu elang sama sekali. Kondisi medan berupa lembah dan terdiri atas hutan bambu dan kebun kopi mempersulit pencarian kedua individu elang. Sinyal transmitter dari pemancar sama sekali tidak terdeteksi. Hujan turun sekitar pukul 13-an hingga sore hari. Informasi yang diperoleh dari Pak Ari (warga), pada pagi hari sekitar pukul 9, Timbi terlihat berada di atas tanah, di sekitar kandang sapi seperti sedang berburu mangsa, namun tidak diketahui apakah berhasil atau tidak menangkap mangsanya. Elang tersebut kemudian terbang ke arah selatan dan tidak diketahui arah selanjutnya.
8
Senin, 09-04-2007
Cuaca cerah panas hanya sampai pertengahan hari, monitoring dilakukan dengan melakukan pencarian individu elang kearah utara kandang habituasi. Dari informasi yang diperoleh dari masyarakat (Pak Ari dan Pak Suwir), antara pukul 8-9 elang masih terlihat di sekitar kandang habituasi, Timba berada di pohon Dapdap di sebelah utara pondok dan Timbi di pohon Teep di dekat kandang sapi. Namun karena terganggu oleh mulai banyak aktivitas manusia keduanya terbang. Timbi ke selatan dan Timba keutara. Pencarian ke utara, elang tidak ditemukan. Namun masyarakat di sekitar ladang Pak Suwir (sekitar 150 m dari kandang habituasi) sejak satu hari sebelumnya (8 April 2007) melihat keberadaan Timba di sekitar lokasi. Individu elang tidak dijumpai pada saat itu. Begitu pula saat dilakukan pencarian ke selatan, Timbi tidak diketemukan pula, begitu pula sinyal transmitter sama sekali tidak mendeteksi.
9
Selasa, 10-04-2007
Observasi dilakukan untuk menemukan kedua elang dengan menyusuri jalan utama di daerah Tuka dari arah selatan sampai ujung utara, berbatasan dengan jalur pendakian ke gunung Batukaru, namun tidak terjadi kontak dengan elang sama sekali.
10
Jumat, 13-04-2007
Selama sehari dilakukan pengamatan lapangan tidak ada perjumpaan dengan individu elang. Cuaca selama dua hari mendung dan hujan, sedikit mengalami panas matahari. Informasi yang diperoleh dari I Gubyug dan Toni (masyarakat) bahwa pada hari Kamis (12-04-2007) Timbi terlihat bertengger dan bersuara, di sebelah utara tidak jauh pondok monirtoring.
11
Senin, 16-04-2007
Tidak terjadi kontak dengan individu elang selama pencarian di lapangan.
12
Selasa, 17-04-2007
Pencarian ke arah utara sampai dengan ladang Pak Suwir tidak menjumpai elang. Cuaca mendung dan hujan gerimis sejak pagi hari. Para pencari bunut sempat melihat satu individu elang (tidak diketahui penandanya) berada di sebelah utara, tepatnya di perbatasan antara hutan lindung dan ladang.
13
Kamis, 19-04-2007
Tidak ada perjuampaan dengan elang maupun informasi masyarakat selama pencarian di lapangan. Cuaca mendung dan hujan sejak pagi hari.
14
Minggu, 22-04-2007 Diperoleh informasi dari Pak Robi dan istrinya (pemilik ladang, ± 160 meter dari kandang habituasi), satu individu elang selama dua hari dari tanggal 21-22 April terlihat di sekitar ladang miliknya. Tidak dapat dipastikan individu yang mana karena tidak sempat dilihat penanda pada
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
21
sayap elang. Hanya selama dua hari itu elang pada pagi hari sering bertengger di pohon Dapdap atau Bunut dan bersuara keras, terbang dalam jarak pendek di antara tajuk-tajuk pohon. Diketahui terbang ke barat ke arah villa atau ke arah utara menuju hutan lindung. 15
Senin, 23-04-2007
Berdasarkan informasi mengenai keberadaan elang di ladang milik Pak Robi, observasi dilakukan di sekitar ladang menuju arah utara sampai dengan perbatasan ladang masyarakat dan hutan lindung. Tetapi tidak ada perjumpaan langsung dengan individu elang. Tutupan vegetasi kopi maupun tanaman hutan (bunut) semakin rapat, sehingga jalur jalan tidak memungkinkan dilalui. Areal sepenuhnya sudah tertutp tanaman hutan.
16
Jumat, 27-04-2007
Observasi dilakukan ke arah selatan kandang habituasi. Dari sisi atas Tuka perkebunan kopi dan coklat, menyusuri Sungai Mada, melewati hutan bambu sampai kebun milik Pak Novi sejauh 500-an m . Tidak ada perjumpaan dengan individu elang, alat penerima (receiver) tidak menangkap sinyal transmitter. Berdasarkan informasi, juga tidak ada masyarakat yang melihat keberadaan elang selama ini.
17
Rabu, 02-05-2007
Observasi dilakukan dengan mencari informasi ke masyarakat yang berada di sekitar Tuka dan Menghening. Tidak ada perjumpaan ataupun informasi dari masyarakat mengenai keberadaan elang. Pencarian dilanjutkan menyusuri jalan sepanjang Tuka dari Utara menuju Selatan sampai dengan batas desa. Alat receiver juga tidak menangkap satu sinyal dari burung.
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
22
Tabel Isian (Tally Sheet) Inventarisasi Flora HARI/TANGGAL
:
LOKASI
:
PENCATAT
:
NOMOR
NAMA POHON
Ф
LBD
2
cm 3
m² 4
PETAK 1
TINGGI TBC 5
JUMLAH
KETERANGAN
9
10
Ttot 6
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
23
Tabel Isian Monitoring Harian Elang Brontok (Spizaetus Cirrhatus) Tanggal Pengamat Cuaca Individu diobservasi No
Waktu Mulai Akhir
: : : : Aktivitas
Lokasi
Koordinat
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
Keterangan
24
TABEL ISIAN OBSERVASI ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus)
Catatan: 1. Terbang dari cabang kecabang lain antar pohon atau pohon yg sama 2. Terbang dari cabang pohon ke tanah 3. Terbang dari tanah ke cabang pohon 4. Terbang dari tanah kembali ke tanah
Keterangan
5
6
7
8
Cabang Atas
4
Cabang Bawah
3
Tanah
2
Sambar Mangsa
Pelan
1
Keras
Kepak Sayap
Rentang Sayap
Dipohon
Dengan Kaki
Berak
Minum
Makan
Mengamati Mangsa
Menengok
Menelisik
Waktu
Pengamat: Ruang
Bersuara
Kandang: Habituasi Perpindahan
Menggaruk Leher/kepala
Individu: Bertengger Menggosok Paruh
Hari/tgl:
5. Bergeser di atas cabang 6. Berjalan di tanah 7. Berlari di tanah 8. Meloncat di tanah
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
25
Foto-foto
Kedua individu bertengger pada satu tanggeran yang sama. 3 Agustus 2007
“Timba” cenderung bertengger pada tenggeran di bawah (low level). 3 Agustus 2007.
“Timbi” bertengger pada tenggeran menengah (mid level). 3 Agustus 2007.
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
26
Kandang habituasi, tampak dari lokasi upacara pembukaan kandang.
Kandang habituasi, tampak dari atas pondok pengamatan.
Pondok pengamatan/observasi dan seorang petugas BKSDA Bali.
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
27
Suasana seremoni Pelepasliaran Elang Brontok di Wantilan Pura Luhur Batukaru, 1 April 2007.
Perjalanan menuju lokasi pembukaan kandang melewati anak sungai di 50 m sebelum kandang habituasi. 1 April 2007.
Perjalanan menuju lokasi pembukaan kandang. 1 April 2007.
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
28
Upacara “matur piuning” sebelum kedua ekor elang Brontok dimasukkan kedalam kandang habituasi. 30 Januari 2007.
Tim pelaksana sesaat setelah evakuasi kedua ekor elang Brontok ke kandang habituasi. 30 Januari 2007 dari kiri: Putu Citra Sudarmaya (BKSDA Bali), Mulyono (BKSDA Bali), drh Made Winaya (PPS Bali), drh Dewi Sri K (PPS Bali), Ivan Juhandara (BKSDA Bali), I Gede Hanjaya (Prana Dewi), drh Wita Wahyu Widyayandani (PPS Bali), Gede Zorro (Kelompok Tani Prana Dewi), IGN Karyadi (masyarakat)
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
29
Dari kanan: A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), drh Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali), Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali), Ir. Kurnia Rauf (pejabat KKH, Ditjen PHKA Dephut) menyaksikan pembukaan kandang habituasi. 1 April 2007.
Kiri kekanan: Pejabat Pemda Kab. Tabanan, Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali), drh Wita Wahyu Widyayandani (Direktur PPS Bali), A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), Ir. Kurnia Rauf (pejabat KKH, Ditjen PHKA Dephut), Ivan Juhandara (BKSDA Bali), I Gede Mastera (tokoh masyarakat Wongaya Gede), Camat Penebel, drh I Made Winaya (PPS Bali)
Drh Wita Wahyu Widyayandani (PPS Bali), A.B.G. Satria Narada (Direktur BaliPost Group), Ir. Istanto Dwi Martoyo (Kepala BKSDA Bali) berbincang-bincang disela rehat seremoni pelepasan elang Brontok diwantilan Pura Luhur Batukaru. 1 April 2007.
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
30
PURA LUHUR BATUKARU
Lampiran LAPORAN PROGRAM PELEPASLIARAN ELANG BRONTOK (Spizaetus cirrhatus) DI KAWASAN PURA BATUKARU, TABANAN
31