JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2014) 1-5
1
POLIMERISASI EMULSI POLIVINIL ALKOHOL DAN MONOMER VINIL ASETAT DALAM CAMPURAN PELARUT ETIL ASETATAIR PADA SINTESIS POLIVINIL ASETAT Malinda Fitri A., dan Lukman Atmaja Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak— Sintesis polivinil asetat (PVAc) telah berhasil dilakukan dengan mempolimerisasi polivinil alkohol dan monomer vinil asetat dengan variasi rasio pelarut etil asetat-air yaitu 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, dan 2:3 menggunakan surfaktan disponil AES 72. Penelitian dilakukan dengan metode polimerisasi emulsi. Reaksi berjalan optimal pada rasio pelarut etil asetat-air 1:2 tapi tidak berpengaruh pada pembentukan gugus fungsi sesuai dengan analisa spektrum IR. Kajian lebih lanjut sampel dianalisis menggunakan Thermomechanical Analysis (TMA), pada rasio pelarut etil asetat-air 1:2 diperoleh koefisien ekspansi minimum dan maksimum masingmasing -2178 dan -485 ppm/°C. Hasil menunjukkan bahwa koefisien termal dipengaruhi oleh rasio yang digunakan dalam pelarut, makin besar rasio air yang digunakan makin besar pula penurunan koefisien termal. Hasil uji kuat-tarik (tensil strength) menunjukkan modulus elastisitas tertinggi dihasilkan pada rasio etil asetat-air 1:2 dengan modulus elastisitas mencapai 9,809MPa dan stress mencapai 18,9MPa. Kata Kunci— Polimerisasi emulsi, Monomer Vinil Asetat, Polivinil alkohol, Rasio pelarut.
I. PENDAHULUAN
P
roduksi perekat telah banyak berkembang dalam dunia perindustrian Indonesia. Salah satu bahan perekat yang populer adalah polivinil asetat water-based biasanya digunakan sebagai perekat body mobil listrik. Seiring perkembangan teknologi body mobil listrik ini dituntut memiliki bobot yang ringan, oleh karena itu, pada pembuatannya perlu digunakan body material dari lapisan fiberglass dan polyurethane. Fiberglass tersebut memiliki massa yang lebih ringan dibandingkan dengan plat besi, sedangkan polyurethane digunakan karena memiliki konduktivitas termal rendah dan dapat menurunkan konsumsi energi lebih dari 50% sehingga dapat mengurangi bahan bakar yang digunakan (Nieuwenhuyse, 2006). Misalkan saja, terdapat 2 mobil dengan bobot berbeda melaju dengan kecepatan yang sama, maka pemakaian bahan bakar yang relatif irit adalah mobil dengan bobot yang ringan. Hal inilah yang menyebabkan fiberglass dan polyurethane digunakan sebagai body material pada mobil listrik. Pesatnya
perkembangan teknologi membuat semakin banyak orang berlomba-lomba menciptakan bobot body yang ringan pada mobil listrik dengan kedua body material tersebut. Oleh karena itu, untuk merekatkan keduanya biasanya digunakan bahan perekat yaitu polivinil asetat. Polivinil asetat (PVAc) merupakan salah satu perekat yang memiliki harga relatif murah, tidak beracun, tidak memiliki dampak negatif bagi lingkungan, tidak berbau, tahan jamur dan memiliki viskositas seragam. Perekat PVAc diperoleh melalui proses polimerisasi emulsi (Feldman dan Barbalata, 1996). Kinerja mekanik dari PVAc memburuk dengan meningkatnya suhu, stabilitas ikatannya pun menurun pada suhu diatas 70°C (Kaboorani dan Riedl, 2011). PVAc yang banyak digunakan di Indonesia selama ini merupakan PVAc jenis water-based, dimana PVAc jenis ini memiliki sifat lebih sulit untuk kering karena pelarut air umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menguap ke udara. Selain itu, PVAc water-based cenderung memiliki tegangan permukaan yang tinggi sehingga akan sulit dalam melapisi permukaan material (Rolando, 1998). Oleh karena itu, kemudian dilakukan studi penelitian bagaimana pembentukan polivinil asetat melalui polimerisasi emulsi dengan menggunakan pelarut etil asetat. Pada penelitian ini etil asetat tidak dapat melarutkan polivinil alkohol yang merupakan komponen utama dalam polimerisasi emulsi pembentukan polivinil asetat, sehingga proses polimerisasi tidak berjalan maksimal dan tidak diperoleh produk lateks PVAc yang diinginkan. Pelarut etil asetat kemudian dicampur dengan aqua demineralisasi untuk menambah rasio kandungan air dalam etil asetat, yang diharapkan polivinil alkohol akan mudah larut pada pelarut etil asetat-air sehingga polimerisasi polivinil asetat dapat berjalan maksimal dan diperoleh produk lateks PVAc yang diinginkan. Hal ini juga sesuai dengan konsep polimerisasi emulsi pembentukan polivinil asetat, dimana polimerisasi emulsi pada dasarnya adalah polimerisasi radikal bebas dan membutuhkan setidaknya empat komponen utama yang berbeda. Keempat komponen tersebut adalah, inisiator, monomer/monomer, emulsifier dan fase kontinyu, yaitu air. Keempat komponen membentuk lateks, yang merupakan dispersi koloid partikel polimer dalam air. Proses ini pada dasarnya adalah polimerisasi radikal bebas monomer yang larut air dalam medium air, dan lateks akhir distabilkan oleh surfaktan atau koloid pelindung (Albertsson dan Christine, 2007).
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2014) 1-5 Kelarutan polivinil alkohol selama polimerisasi emulsi sangat berpengaruh dalam terbentuknya produk lateks PVAc itu sendiri. Polivinil alkohol adalah senyawa yang akan larut dalam pelarut yang banyak mengandung air (Lange,2011), oleh karenanya variasi rasio pelarut etil asetat:air pada penelitian ini sangat berpengaruh. Air akan sangat berpengaruh pada tahapan polimerisasi dan pembentukan akhir produk PVAc, dimana tanpa adanya kandungan air tersebut polivinil alkohol akan susah larut dan proses polimerisasi tidak akan berjalan. II. URAIAN PENELITIAN A. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat reactorglass skala laboratorium yang dipesan khusus dengan kapasitas reaktor sekitar 1 kg, pengaduk besi, waterbath, mechanical stirrer WiseStir HS-50A, 2 buah syringe, dan kondensor. Peralatan gelas seperti gelas beker, gelas ukur, pipet tetes, pipet volume, dan beberapa instrumen yang digunakan untuk karakterisasi seperti FTIR (Fourier Transform Infrared), TMA (Thermal Mechanical Analysis), uji kuat-tarik (Tensile Strength). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah polivinil alkohol (PVA), etil asetat (C 4 H 8 O 2 ), aqua demineralisasi, vinil asetat monomer, buffer sodium bikarbonat (NaHCO 3 ), inisiator amonium persulfat ((NH 4 ) 2 S 2 O 8 ), dibutil phtalat (C 16 H 22 O 4 ), anti mikrobial, gas nitrogen, serta surfaktan anionik disponil AES 72. B. Sintesis Polivinil Asetat Pelarut etil asetat-aqua DM dengan rasio 1:2 (sedemikian hingga berat total mencapai 650 gram) dimasukkan dalam reactorglass sambil dipanaskan dalam waterbath pada suhu 70°C. Selanjutnya, dialiri dengan gas nitrogen selama ±2menit. Reaktor kaca kemudian ditutup dengan penutup berleher lima, masing-masing berfungsi sebagai tempat penghubung kondensor, mechanical stirrer sebagai penggerak pengaduk besi, 2 buah syringe sebagai tempat masuknya inisiator amonium persulfat serta campuran monomer-surfaktan, dan satu lagi sebagai penutup. Proses polimerisasi diawali dengan melarutkan polivinil alkohol dalam pelarut etil asetat-aqua DM rasio 1:2 pada reactorglass berleher lima tadi dengan posisi mechanical stirrer mulai beroperasi hingga polivinil alkohol larut sempurna. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 750 rpm sambil suhu dinaikkan hingga suhu 90°C. Sambil terus diaduk, ditambahkan larutan buffer sodium bikarbonat (2,29 gram sodium bikarbonat dalam 5,48 gram larutan etil asetat-aqua DM), larutan inisiator amonium persulfat (1,55 gram amonium persulfat dalam 5,48 gram larutan etil asetat-aqua DM), dan surfaktan disponil AES 72 0,93 gram (kemajuan reaksi dipantau dengan adanya busa saat polimerisasi yang berangsur-angsur naik). Campuran reaksi direfluks dan diaduk lebih lanjut selama 10 menit hingga reaksi polimerisasi berangsur turun, kemudian 1/10 dari 450,92 gram (campuran vinil asetat monomer dan surfaktan) serta 2/3 dari larutan amonium
2 persulfat (1,55 gram amonium persulfat dalam 83 gram larutan etil asetat-aqua DM) dimasukkan melalui syringe ke dalam reactorglass. Semua bahan diaduk dengan kecepatan konstan 750 rpm selama 1 jam. Sisa larutan amonium persulfat serta vinil asetat monomer dimasukkan masing-masing melalui syringe yang diatur kecepatan alirnya ke dalam reaktor yaitu 1:8 tiap tetesnya hingga kedua larutan tersebut habis bersamaan. Campuran reaksi diaduk lebih lanjut selama 4 jam, kemudian diturunkan suhu waterbath hingga 30°C lalu dibutil phtalat (16,41 gram) dan anti mikrobial (1,3 gram) dimasukkan dalam campuran latex tersebut sambil pengaduk tetap beroperasi. Selanjutnya, hasil polimerisasi dipindah dari reaktor ke dalam beaker gelas. Hasil akhir terbentuk polivinil asetat berupa campuran latex berwarna putih. Produk polivinil asetat (PVAc) tersebut selanjutnya dikeringkan pada pelat kaca selama 1 hari dengan ketebalan ±1mm. Setelah kering, selanjutnya lembaran membran tersebut dikarakterisasi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared), TMA (Thermal Mechanical Analysis), dan uji kuat-tarik (Tensile Strength). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sintesis Polivinil Asetat (PVAc) Proses polimerisasi diawali dengan memasukkan pelarut etil asetat-aqua DM dengan rasio 1:2 (sedemikian hingga berat total 650 gram) dalam reactorglass. Polivinil alkohol merupakan padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik dan minyak tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi (Harper, 2003). Oleh karena itu, perbandingan jumlah rasio tersebut digunakan karena saat sintesis polivinil alkohol tidak larut dalam etil asetat, maka ditambahkanlah aqua DM sehingga kandungan air dalam etil asetat lebih banyak. Larutan etil asetat-aqua DM kemudian dialiri dengan gas nitrogen selama ±2 menit untuk menghilangkan kandungan oksigen bebas dalam pelarut, dimana saat gas nitrogen masuk ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung udara pada pelarut tersebut. Sambil dipanaskan pada suhu 70°C, reaktor ditutup dengan penutup kaca berleher lima dan alat mulai diset. Pemanasan dilakukan sampai suhu 70°C untuk menghindari menguapnya etil asetat dalam reaktor karena titik didih etil asetat sendiri adalah 77°C. Apabila alat sudah selesai diset, dimasukkan polivinil alkohol melalui salah satu lubang leher dengan menggunakan corong ke dalam reaktor kemudian diaduk dengan kecepatan 750 rpm sambil suhu dinaikkan hingga 90°C. Kenaikan suhu sampai 90°C dilakukan agar polivinil alkohol dapat larut selama proses polimerisasi. Polivinil alkohol yang paling umum digunakan dalam polimerisasi emulsi industri vinil asetat adalah yang terhidrolisa sebagian pada suhu 85-90°C (Lange, 2011). Pada awal reaksi polivinil alkohol berbentuk granul, setelah diaduk sambil dipanaskan terbentuk larutan yang sedikit mengental menunjukkan bahwa polivinil alkohol larut dalam larutan etil asetat-aqua DM. Polivinil alkohol digunakan sebagai protective colloid yang berfungsi untuk mencegah terjadinya aglomerasi pada saat reaksi polimerisasi berlangsung dan juga polivinil alkohol menghasilkan efek
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2014) 1-5 penstabilan dalam latex (Lange, 2011). Sambil terus diaduk, ditambahkan larutan sodium bikarbonat sebagai buffer. Polimerisasi emulsi dari polivinil asetat biasanya terjadi pada pH 4,5-5,5 sehingga buffer ditambahkan untuk mengendalikan laju dekomposisi inisiator dan meningkatkan pH (Lange, 2011). Selanjutnya, ditambahkan larutan amonium persulfat sebagai inosiator, dan surfaktan disponil AES 72 untuk menstabilkan pertumbuhan partikel selama polimerisasi dan bertindak sebagai agen pengubah rantai (Salager, 2002). Penambahan surfaktan menyebabkan terjadinya polimerisasi yakni dipantau dengan adanya busa yang berangsur-angsur naik selama sintesis. Tahap selanjutnya dimasukkan secara bersamaan vinil asetat monomer sebanyak 10% dari total monomer dan juga amonium persulfat sebanyak 2/3 bagian dari total APS melalui syringe ke dalam reaktor. Muncul busa yang berangsur-angsur naik menunjukkan terjadi polimerisasi dalam reaksi yang bersifat eksotermis. Setelah reaksi mereda dengan ditandai turunnya busa, diaduk campuran dengan kecepatan konstan 750 rpm selama 1 jam. Sisa amonium persulfat dan vinil asetat monomer ditambahkan tetes demi tetes dengan perbandingan 1:8 dengan tujuan reaksi polimerisasi berjalan sempurna karena amonium persulfat akan menginisiasi monomer secara perlahan. Campuran reaksi diaduk lebih lanjut selama 4 jam dan terbentuk campuran latex berwarna putih, selanjutnya diturunkan suhu waterbath hingga 30°C, kemudian dibutil phtalat dan anti mikrobial dimasukkan sambil pengaduk tetap beroperasi selama 15 menit. Produk polivinil asetat yang dihasilkan dipindah dari reaktor ke dalam beaker gelas, polivinil asetat berbentuk latex berwarna putih seperti pada Gambar 3.1.a.
3 B. Karakterisasi B.1. Fourier Transform Infrared (FTIR) Spektra FTIR polivinil asetat solvent-based yang disupply dari PT. Greatchemindo Satria Putramas (Gambar 3.2).
3500
3000
2500
2000
1500
1000
Bilangan Gelombang (cm-1) Gambar 3.2 Spektra FTIR Polivinil Asetat solvent-based
Berdasarkan spektra FTIR menunjukkan adanya bilangan gelombang (ν maks ) pada 2923, 1727, 1370, 1223 cm-1 pada spektrum IR yang masing-masing sesuai untuk vibrasi ulur C-H sp3, vibrasi regang C=O, vibrasi tekuk CH 3 , dan vibrasi ulur C-O. Hasil spektra FTIR tersebut, memiliki puncak-puncak yang menunjukkan ciri khas polivinil asetat solvent-based.
a b Gambar 3.1. (a) Produk Lateks PVAc (b) Produk Lateks PVAc Etil Asetat:Air dengan Rasio 1:2
Produk polivinil asetat (PVAc) tersebut selanjutnya dikeringkan pada pelat kaca selama ±1hari dengan ketebalan ±1mm (Gambar 3.1.b) . Setelah kering, selanjutnya lembaran membran tersebut dikarakterisasi dengan FTIR (Fourier Transform Infrared), TMA (Thermomechanical Analysis), uji kuat-tarik (Tensile Strength). Pada penelitian ini dilakukan beberapa variasi yaitu rasio pelarut, dimana pelarut yang digunakan adalah etil asetat yang dikombinasikan dengan aqua DM. Adapun variasi rasio etil asetat-aqua DM masing-masing adalah 1:1; 2:3; 1:2; 1:3; dan 1:4 dalam jumlah pelarut seluruhnya 650 gram.
3500
3000
2500
2000
1500
Bilangan gelombang (cm-1)
1000
Gambar 3.3. Spektra FTIR sample PVAc etil asetat:air dengan rasio (1) 1:1; (2) 2:3; (3) 1:2; (4) 1:3 (5) 1:4 (6) air saja
Pada spektra dari 6 sampel polimer yang telah dikarakterisasi FTIR, berturut-turut (dari spektra merah ke ungu) adalah sampel rasio pelarut etil asetat-air 1:1, 2:3, 1:2, 1:3, 1:4, dan pelarut air saja menunjukkan adanya beberapa puncak gelombang khas yang sama dengan spektra standar polivinil asetat solvent-based. Secara umum, dapat dilihat pada
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2014) 1-5
B.2. Uji Kuat-tarik Variasi rasio pelarut etil asetat:air yang ditambahkan sangat berpengaruh terhadap perpanjangan saat putus (stroke). Besarnya pertambahan panjang suatu benda tidak hanya dipengaruhi oleh gaya yang diberikan, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang dan penampang lintang sampel. Tabel 3.1 Hasil uji kuat-tarik dari setiap variasi sampel
Rasio Etil Kuat putus Perpanjangan saat Asetat:Air (N) putus (mm) 1:1 2,4 132,84 2:3 2,75 234,23 1:2 32,65 336,57 1:3 23,8 323,04 1:4 22 302,24 Water15,05 214,46 based Solvent7 156,79 based Dari data yang diperoleh pada Tabel 3.1 dan 3.2 menunjukkan bahwa sampel 3 memiliki tensile strenght dan modulus elastisitasnya paling tinggi, hal ini karena pengaruh pelarut air yang ditambahkan dalam etil asetat, dimana rasio pelarut etil asetat:air pada Sampel 3 adalah 1:2. Dimana rasio inilah yang berpengaruh pada kelarutannya polivinil alkohol. Polivinil alkohol sebagai koloid pelindung mencegah aglomerasi dengan tetap menempel pada
permukaan partikel polimer dan ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka melingkupi polimer. Tabel 3.2 Data sifat mekanik dari setiap variasi sampel
Rasio Etil Asetat:Air 1:1 2:3 1:2 1:3 1:4 Waterbased Solventbased
Tensile Strength (MPa) 0 0 18,9 11,5 10,6
Strain
Modulus Elastisitas (MPa) 0 0 9,809 6,357 6,51
0,155 1,037 1,927 1,809 1,628 0,865
14,5
16,766
0,363
4,1
11,283
B.3. Karakterisasi dengan Thermomechanical Analysis (TMA) Hasil sintesis polivinil asetat dianalisis lebih lanjut dengan Thermomechanical Analysis untuk mengamati perubahan dimensi material akibat perubahan temperatur. Pada Gambar 3.4 menunjukkan koefisien ekspansi minimum PVAc solvent-based muncul pada -8643 ppm/°C dan koefisien ekspansi maksimum muncul pada -627 ppm/°C. Pada PVAc variasi rasio pelarut etil asetat-air 1:1 memiliki koefisien ekspansi termal minimum muncul pada -246 ppm/°C, sedangkan pada rasio 1:2; 1:3; 1:4; dan 2:3 koefisien ekspansi termal minimum masing-masing muncul pada -2178, -4632, 2031 dan -424 ppm/°C. . Koefisien Ekspansi (ppm/°C)
gambar di atas bahwa spektra FTIR sampel PVAc dengan kombinasi pelarut etil asetat:air dengan surfaktan disponil AES 72 dan PVAc water-based tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada pola spektra yang dihasilkan tetapi memiliki nilai bilangan gelombang yang berbeda. Pada Gambar 3.3, sebagai contoh spektrum IR warna biru menunjukkan adanya puncak lebar pada bilangan gelombang 3343 cm-1 yang sesuai untuk vibrasi ulur –OH dan puncakpuncak lain muncul pada bilangan gelombang 2937, 1728, 1370, 1224 cm-1 yang masing-masing sesuai untuk vibrasi ulur C-H sp3, vibrasi regang C=O, vibrasi tekuk CH 3 , dan vibrasi ulur C-O. Hasil spektra FTIR menunjukkan bahwa baik PVAc berbasis water-based, solvent-based maupun pelarut etil asetat-air tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pada spektrum IR PVAc solvent-based dan 6 sampel yang telah dikarakterisasi menunjukkan perbedaan yaitu munculnya puncak-puncak pada bilangan gelombang 3376-3316 cm-1 yang sesuai untuk vibrasi ulur –OH, dimana pada PVAc solvent-based tidak muncul puncak pada bilangan gelombang tersebut sehingga tidak terdeteksi gugus –OH. Munculnya gugus –OH disebabkan karena pengaruh pelarut aqua demineralisasi yang digunakan sebagai campuran etil asetat. Seperti diketahui, bahwa PVA saat bereaksi dengan aqua demineralisasi akan berubah menjadi PVOH (Harper, 2003), inilah yang menyebabkan spektrum IR mendeteksi gugus –OH pada 6 sampel tersebut. Adapun variasi rasio pelarut etil asetat-air dan surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pembentukan polivinil asetat (PVAc) dan analisa gugus fungsi didalamnya.
4
600 0 -600 -1200 -1800 -2400 -3000 -3600 -4200 -4800 -5400 -6000 -6600 -7200 -7800 -8400 -9000 -9600 20
30
40
50
60
70
80
Temperatur (°C) Gambar 3.4. Termogram TMA PVAc solvent-based
Semakin tinggi nilai koefisien muai panas, maka semakin kecil perubahan dimensi suatu polimer, sehingga kekuatan ikat silang polimer rendah. Dengan kata lain, jika nilai koefisien muai panas rendah, maka ukuran/dimensi polimer akan rapat dan kekuatan ikat silangnya akan tinggi (Askeland dkk., 2011). Sampel PVAc rasio pelarut etil asetat-air 1:2 menggunakan surfaktan disponil AES 72 koefisien ekspansi maksimumnya muncul pada -485 ppm/°C. Pada sampel dengan rasio 1:1; 1:3; 1:4 dan 2:3 masing-masing muncul pada 483, 464, -106, dan 532 ppm/°C.
Koefisien Ekspansi (ppm/°C )
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2014) 1-5 600 300 0 -300 -600 -900 -1200 -1500 -1800 -2100 -2400 -2700 -3000 -3300 -3600 -3900 -4200 -4500 -4800
5 UCAPAN TERIMA KASIH
(b)
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Lukman Atmaja selaku dosen pembimbing penulis dan temanteman seperjuangan C-28.
(a)
(a) 1:1 (e)
DAFTAR PUSTAKA
(b) 2:3
(c)
[1]
(c) 1:2 (d) 1:3 (f)
(e) 1:4 (f) water-based
(d) 20
30
40
50
60
70
80
Temperatur (°C )
Gambar 3.5. Termogram TMA sample PVAc Etil Asetat:Air dengan Rasio (a) 1:1; (b) 2:3; (c) 1:2; (d) 1:3 (e) 1:4 (f) water-based
Berdasarkan Gambar 3.5 di atas, sampel PVAc dengan rasio pelarut etil asetat-air 1:1, 2:3, 1:2, 1:3 dan 1:4 koefisien muai panasnya cenderung mengalami penurunan, sehingga dapat diindikasikan bahwa ukuran/dimensi polimer berkurang dan kekuatan ikat silangnya juga semakin berkurang karena tidak mampu menahan kenaikan panas yang diberikan, sehingga pada koefisien ekspansi termal minimum ini menunjukkan bahwa saat proses termal berlangsung produk mengalami perubahan ke fase leleh. Semakin besar rasio pelarut etil asetat-air semakin menurun pula koefisien termalnya, karena pelarut air membuat produk semakin encer, sehingga kerapatannya juga semakin berkurang. Pada koefisien termal PVAc solvent-based sesuai pada Gambar 3.5 yang muncul pada -8643 ppm/°C menunjukkan bahwa saat proses termal berlangsung produk mengalami perubahan ke fase leleh, dimana mengindikasikan ukuran/dimensi polimer berkurang dan kekuatan ikat silangnya juga berkurang. Sesuai dengan hasil termogram TMA (Gambar 3.5) rasio pelarut etil asetat-air yang digunakan pada sintesis PVAc berpengaruh terhadap laju koefisien ekspansinya. Semakin banyak rasio pelarut air yang digunakan maka koefisien ekspansi yang muncul juga akan semakin menurun. IV. KESIMPULAN Sintesis PVAc telah berhasil dilakukan dengan polivinil alkohol dan monomer vinil asetat sebagai prekursor melalui polimerisasi emulsi dengan variasi rasio pelarut etil asetat-air dan surfaktan disponil AES 72. Polimerisasi emulsi pembentukan polivinil asetat berjalan optimum pada pelarut etil asetat:air rasio 1:2. Namun, rasio pelarut etil asetat-air tidak berpengaruh kepada pembentukan gugus fungsi PVAc yang dibuktikan dengan hasil karakterisasi FTIR. Sementara karakterisasi TMA menunjukkan hasil bahwa rasio pelarut etil asetat-air berpengaruh terhadap koefisisen termal, semakin banyak rasio pelarut yang digunakan maka koefisien ekspansi yang muncul juga akan semakin menurun. Rasio pelarut etil asetat-air 1:2 merupakan rasio yang optimum dalam melarutkan polivinil alkohol selama polimerisasi emulsi yang ditunjukkan pada uji kuat-tarik dengan hasil tensile strength 18,9MPa dan modulus elastisitas 9,809MPa.
Nieuwenhuyse A. E. V. (2006) Thermal insulation materials made of rigid polyurethane foam (PUR/PIR) Properties - Manufacture., Federation of European Rigid Polyurethane Foam Associations, Belgium. [2] Feldman D. and Barbalata A. (1996) Synthetic Polymers (Technology, Properties, Application)., Chapman & Hall, London. [3] Kaboorani A. and Riedl B. (2011) Effects of Adding Nano-clay on Performance of Polyvinyl Acetate (PVA) as a Wood Adhesive. , 1031– 1039. [4] Lange H. (2011) Emulsion Polymerization of Vinyl Acetate with Renewable Raw Materials as Protective Colloids. [5] Rolando T. E. (1998) Solvent-Free Adhesives., H.B. Fuller Company. [6] Salager J. . (2002) Surfactants Types and Uses”, Version 2, FIRP Booklet #E300-A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English., Universidad De Los Andes,, MéridaVenezuela. [7] Sichina, W.J. (2010) Characterization of Polymer by TMA., Perkin Elmer Inc., United State of America. [8] Olayemi, J.., Adeyeye, A.., 1982. Some Properties Of Polyvinyl Acetate Films Cast From Methanol Acetoneand Chloroform As Solvent. Polymer Testing 3, 25–35. [9] Ferreira, G.R., Seguna, T., de Souja Jr., F.G., Umpierre, A.P., 2012. Synthesis of Poly(vinyl acetate)-based Magnetic Polymer Microparticles. European Polymer Journal 48, 2050–2069. [10] Erbil Y. H. (2010) Vinyl Acetate Emulsion Polymerization and Copolymerization with Acrylic Monomers., CRC Press, United State of America.