policy briefing
policy briefing Kewajiban Indonesia
Kewajiban Indonesia untuk Memberikan Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM yang Berat
ICTJ, IKOHI, KKP K Desember 2011
Paper yang ditulis bersama oleh International Center for Transitional Justice (ICTJ), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)
Kewajiban Indonesia untuk Memberikan Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM yang Berat
Ringkasan Eksekutif Tiga belas tahun setelah kejatuhan Soeharto, korban di Indonesia terus mengalami dampak negatif dari pelanggaran HAM yang berat dan dari masih berlangsungnya diskriminasi. Walaupun upaya yang dilakukan oleh presiden dan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dalam mengembangkan kebijakan reparasi telah kehilangan momentum, namun tuntutan korban tidaklah mengendur. Laporan bersama ICTJ dan IKOHI ini disusun berdasarkan hasil serangkaian diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan korban dan tokoh masyarakat sipil yang diselenggarakan di enam kota. Temuan utama yang masuk ke dalam paper ini meliputi:
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif
1
Pengantar
2
Menilai Kebutuhan Korban
3
Kerangka Hukum dan Kebijakan
5
Pengalaman Sampai Saat ini: Pembelajaran yang Sulit
6
Rekomendasi
9
Kebutuhan korban: Kondisi korban menuntut perhatian mendesak dari pemerintah. Korban dan keluarga korban yang menderita kehilangan akibat konflik, pembunuhan, penghilangan, dan pelanggaran HAM lainnya masih memerlukan kelima komponen reparasi yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan ketidakberulangan. Kerangka hukum dan kebijakan: Walaupun telah ada aturan hukum untuk menjalankan reparasi bagi korban, para korban tetap membutuhkan ditetapkannya putusan bersalah dari pengadilan dan membutuhkan pengajuan permohonan dari Jaksa untuk mendapatkan reparasi yang pada kenyataannya sangat jarang terwujud. Selain itu, pelaksanaan peraturan tentang reparasi justru membuat korban dan pembuat kebijakan menjadi kebingungan. Pembelajaran: pengalaman Indonesia dalam reparasi sampai saat ini memperlihatkan bahwa: •
Reparasi berdasarkan perintah dari pengadilan berjalan tidak efektif;
•
Reparasi harus dipisahkan dari program sosial; dan
•
Harus ada transparansi dan dukungan penuh dari aparat.
Rekomendasi: Berdasarkan dari tiga kesimpulan di atas, paper ini merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menjalankan tindakan mendesak maupun jangka panjang. Pemerintah harus memulainya lewat pengakuan resmi dan menyatakan permintaan maaf kepada korban, pemberian dokumen resmi terhadap keluarga korban penghilangan, dan meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan terhadap Semua Orang atas Penghilangan Paksa.
1
policy briefing Kewajiban Indonesia
Selanjutnya, pemerintah harus menyusun program reparasi komprehensif yang: •
Mengakui secara resmi atas pelanggaran yang terjadi;
•
Menjadi pelengkap, dan bukannya pengganti, dari upaya pencarian keadilan. Informasi yang berhasil dikumpulkan harus dibuka kepada Komnas HAM dan demikian juga sebalknya;
•
Memuat catatan sejarah yang lebih lengkap lewat laporan komprehensif berdasarkan informasi dari korban;
•
Melingkupi dokumentasi tentang korban yang telah dibuat oleh Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan kelompok masyarakat sipil;
•
Membangun hubungan baik dengan kelompok masyarakat sipil dan kelompok korban; dan
•
Berbeda dengan program pengembangan sosial dan ekonomi yang bersifat umum.
Paper ini diakhiri oleh rekomendasi dengan usulan pengaturan mekanisme institusional, mandat, registrasi, keuangan, jenis reparasi, dan hubungan antara pencarian kebenaran, keadilan, dan reformasi hukum.
Pengantar Ketika Presiden Soeharto lengser pada Mei 1998, era reformasi dimulai. Setelah tiga belas tahun berjalan, reformasi membuat Indonesia dapat menjalankan pemilu secara demokratis dan damai, peran militer dalam politik praktis dihilangkan, konflik di Aceh berakhir, dan jumlah pelanggaran HAM menurun secara signifikan. Namun, Indonesia belum dapat menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM lewat pengungkapan kebenaran, penghukuman terhadap pelaku yang bertanggung jawab, dan memperbaiki kerusakan yang dialami oleh korban kejahatan sistematik. Paper ini disusun berdasarkan analisis pendekatan keadilan transisi secara luas seperti seperti yang diungkapkan dalam laporan tentang keadilan transisi di tahun 2011.1 Paper ini difokuskan pada reparasi, berdasarkan hasil FGD di lima kota yaitu Jakarta, Kendal, Medan, Makassar, dan Jayapura.2 Paper ini juga merangkum pandangan korban yang muncul dalam lokakarya di Aceh yang diselenggarakan oleh Kontras Aceh dan ICTJ.3 Paper ini juga mengacu pada pengalaman ICTJ di Chile, Sierra Leone, Peru, Argentina, dan banyak negara lain yang baru lepas dari konflik.
1
Lihat ICTJ dan KontraS, Keluar Jalur: Keadilan Transisi di Indonesia sejak Kejatuhan Soeharto (Jakarta: ICTJ dan KontraS, Maret 2011). 2 Diskusi kelompok terfokus (FGD) pertamakali diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2010, dilanjutkan dengan serangkaian diskusi dengan masyarakat korban di empat kota lainnya: Kendal, Jawa Tengah (17 Juli 2010); lalu di Medan yang menghadirkan korban dari Aceh dan Sumatera Utara (25 Juli, 2010); Makassar, Sulawesi Selatan (3 Agustus, 2010), dan Jayapura, Papua (25 – 27 November, 2010). Setelah itu dilakukan diskusi bersama anggota Koalisi untuk Keadilan dan Kebenaran (KKPK) untuk membahas temuan dan rekomendasi yang termuat dalam draft pertama paper yang diadakan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2010. Dalam diskusi tersebut, direktur ICTJ untuk Keadilan Reparatif, Ruben Carranza, dan pakar reparasi internasional, Catalina Diaz, juga memberikan masukan dan perspektif komparatif mengenai reparasi. Paper kebijakan ini disusun oleh Matt Easton dan Galuh Wandita dan didasarkan pada laporan Hak Korban atas Reparasi di Indonesia, yang disusun oleh Zainal Mutaqin dan Simon Simonsky dari IKOHI, dan catatan proses FGD dan lokakarya perempuan korban 1965 yang diselenggarakan oleh JPIT (Jaringan Perempuan Indonesia Timur) di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Maret 2011. 3 Workshop dua hari diselenggarakan oleh ICTJ dan KontraS Aceh bersama 25 korban dari Saree, Seulawah, Aceh Besar pada 6-7 Desember 2010. Lihat “Konsep Reparasi Berdasarkan Perspektif Korban Pelanggaran HAM,” dokumen ICTJ.
2
policy briefing
Menilai Kebutuhan Korban “…menurut saya yang pertama adalah bagaimana menyembuhkan masyarakat dari masa trauma. Kemudian yang kedua adalah masalah ekonomi untuk membiayai anak– anak yang butuh sekolah serta penyediaan lapangan pekerjaan.”
Kewajiban Indonesia
Korban dari Aceh4
Kerangka Reparasi ●
●
●
●
●
Restitusi, mengembalikan korban pada situasi sebelum terjadi pelanggaran HAM yang berat. Kompensasi, mengganti kerugian akibat kerusakan yang dialami korban baik materil maupun nonmateril. Rehabilitasi, memperbaiki kerusakan permanen dari pelanggaran HAM yang berat. Kepuasan, memulihkan martabat, reputasi, dan hak-hak korban lewat pengakuan resmi, penghormatan dan sanksi bagi pihak yang bertangung jawab. Jaminan ketidakberulangan, dengan memastikan adanya pengawasan sipil secara efektif, penguatan sistem peradilan, dan reformasi hukum.
Ketika pemerintahan otoriter berjalan selama puluhan tahun, terdapat banyak sekali korban yang tersebar dalam berbagai wilayah dan periode sejarah Indonesia. Umumnya pelanggaran tersebut dilakukan oleh pasukan keamanan dengan menindas kelompok yang memiliki pandangan politik berbeda, dan dengan melakukan penumpasan yang dilakukan secara keras terhadap gerakan pembebasan di Aceh (1978-2004), Timor Timur (19741999), dan Papua (masih berlangsung). Pasukan keamanan juga bertanggung jawab atas sejumlah insiden kekerasan diantero negeri, seperti penembakan terhadap demonstran di Tanjung Priok (1984), penyerangan terhadap beberapa kampus di Jakarta (1998) dan di Talangsari, Lampung (1989), penculikan aktivis demokrasi (1998-1999), dan kekerasan seksual dan pelanggaran HAM lainnya di beberapa kota yang terjadi bersamaan dengan peristiwa Mei 1998. Kelompok korban terbesar adalah mereka yang masih hidup dari pembersihan orangorang yang diduga memiliki kaitan dengan PKI ketika rezim Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada 1965 sampai 1966. Selama beberapa bulan, kelompok masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri bekerja bersama tentara membunuh ratusan ribu anggota PKI atau orang yang diduga memiliki kaitan dengan PKI. Selain itu, lebih banyak lagi orang yang ditahan tanpa pengadilan dalam kondisi kekurangan dan waktu yang lama. Saat mereka dibebaskan, terdapat kebijakan yang membatasi akses mereka dan keluarga mereka untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.5 Berdasarkan hasil FGD di lima kota dan penelitian lainnya, jelaslah bahwa hak-hak korban di semua kategori reparasi seperti yang disebutkan dalam pedoman PBB (lihat kotak) tidak dipenuhi.6 Korban di Indonesia berhak mendapatkan restitusi karena: •
Harta benda maupuan pensiun dari negara telah disita secara tidak adil; dan
•
Terdapat korban yang masih kekerasan, termasuk diskriminasi, belum terselesaikannya kasus orang hilang, adanya intimidasi kepada mereka yang berbicara tentang pertanggungjawaban, dan besarnya hambatan untuk menjual atau menerima warisan. Bagi korban 1965, penderitaan ini bisa dialami pula oleh generasi sesudahnya. Salah satu peserta diskusi menjelaskan, “Secara langsung sebagai cucu juga merasakan dampak dari peristiwa tersebut. . . . Kita membutuhkan pemulihan nama baik (para korban) dan juga penuntasan kasus-kasus yang telah terjadi.”7
•
Korban dan anak-anaknya terus menjadi korban dari lusinan kebijakan yang mendiskriminasikan mereka. Salah seorang putri korban 1965 bertanya, “[Bagaimana]
4
Korban laki-laki, FGD 3, Medan, 25 Juli 2010. Teresa Birks, Tugas yang Diabaikan: Menyediakan Reparasi Komprehensif bagi Korban Persekusi (Kekerasan) Negara 1965 di Indonesia, Seri Paper Khusus (New York: ICTJ, Juli 2006), 25-27. 6 Lihat “Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law,” yang dimaktubkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/147 pada 16 Desember 2005, http://www2.ohchr.org/english/law/ remedy.htm. Lihat juga International Covenant on Civil and Political Rights [Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik], pasal. 2(3), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumane, or Degrading Treatment or Punishment [Kovensi Anti Penyiksaan dan Penghukuman atau Perlakukan yang Kejam dan Tidak Manusiawi], pasal. 14(1), tentang kewajiban negara untuk menyediakan penyelesaian dan reparasi bagi korban. 7 W, cucu korban1965, FGD 2, Kendal, 18 Juli 2010 5
3
policy briefing
tentang peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap [korban] atau keluarganya . . . dilarang untuk beraktifitas dalam kepegawaian sipil dan struktur pemerintah lainnya?”8 Seorang korban 1965 lainnya yang juga seorang ibu menyatakan hal yang sama, “Harapan saya untuk generasi berikut: kalau bisa [cap] GESTAPU bisa menghilang, anak-anak saya juga dapat diperhatikan, karena anak-anak saya tidak ada yang bekerja [sebagai PNS], anak saya semua swasta.”9
Kewajiban Indonesia
Mereka berhak mendapatkan kompensasi karena: •
Anggota keluarga mereka terbunuh, hilang, dan ditahan secara sewenang-wenang;
•
Mereka kehilangan upah dan kesempatan pendidikan, dan
•
Mereka mengalami luka fisik yang berkepanjangan dan kesehatan yang buruk akibat kekerasan, penyiksaan, atau penahanan.
Mereka berhak mendapatkan rehabilitasi karena: Trauma psikologis: sebagian besar korban dan keluarganya tidak pernah menerima konseling dan menderita akibat rasa sedih dan rasa sakit yang berlapis. Ibu dari seorang korban Mei 1998 menjelaskan, “Saya masih ada rasa trauma. Saya masih merasa takut hal itu akan terjadi lagi pada anak saya yang lain.”10
●
Trauma fisik: generasi 1965 sudah berusia lanjut dan mengalami masalah kesehatan, termasuk yang disebabkan oleh kekerasan, penyiksaan, atau penahanan.
●
Korban berhak mendapatkan kepuasan karena: •
Tiadanya pertanggungjawaban pengadilan atas pelanggaran HAM masa lalu;
•
Mandegnya penanganan nasib orang yang hilang;
•
Hampir semua korban yang dibunuh pada 1965 dikuburkan di kuburan massal tanpa disertai tanda, dan
•
Masih adanya stigma terhadap mereka sebagai pemberontak, komunis, ekstrimis, atau teroris.
Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu korban perempuan dari pembantaian 1965, “Harapan saya . . . sejarah [diluruskan, yaitu] bahwa pada waktu itu kami yang dituduh ini tidak melakukan sesuatu yang tidak benar seperti yang mereka tuduhkan pada kami . . . Kalau bisa juga di sekolah-sekolah ada guru yang mengajarkan pada murid bahwa organisasi-organisasi yang terlibat dalam G30S tidak benar.”11 Korban berhak mendapatkan jaminan ketidakberulangan melalui reformasi institusi yang efektif. Salah satu alasan gagalnya penghukuman terhadap pelaku adalah karena kurangnya independensi sistem peradilan. Sistem peradilan rusak karena korupsi yang merajalela dan tidak efektif dalam mengadili pelaku kekerasan masif.12
•
8
Perempuan korban, FGD 4, Makassar, 3 Agustus, 2010. Perempuan korban, Workshop Korban, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 29 Maret 2011. “GESTAPU” adalah singkatan dari “Gerakan 30 September” yang dibuat oleh pemerintah. 10 Perempuan korban, FGD 2, Kendal, 18 Juli 2010 11 Perempuan korban, Workshop korban, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 29 Maret 2011. 12 Proses Pengadilan HAM dan bandingnya menghasilkan 100 persen kegagalan: dari 34 terdakwa, semuanya dibebaskan. Setelah melakukan kunjungan untuk menyelidiki sistem peradilan Indonesia pada tahun 2002, Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Hakim dan Penasehat Hukum menyatakan bahwa sistem peradilan Indonesia lebih buruk daripada yang ia perkirakan. Berni K. Moestafa, “RI Judiciary Worse than First Thought: UN rapporteur,” Jakarta Post, 22 Juli 2002. Tersedia di: http://www.rghr.net/mainfile.php/0429/323/; “Report of the Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers Dato’ Param Cumaraswamy, Submitted in Accordance with Commission on 9
4
policy briefing Kewajiban Indonesia
Institusi militer memang telah melakukan berbagai reformasi penting namun masih terdapat beberapa hal mendasar yang belum mengalami perbaikan yaitu ketiadaan kontrol sipil atau tidak efektifnya sistem peradilan militer.
●
Dalam konteks Papua dimana konflik masih berlangsung, jaminan ketidakberulangan harus mencakup perlindungan khusus bagi korban untuk berkumpul secara bebas. Hal yang sering terjadi adalah ketika korban atau anggota keluarga korban menuntut agar pemerintah bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang mereka derita atau jika mereka berkumpul untuk berdiskusi dan saling memberikan dukungan, mereka dicap sebagai "seperatis," dan mengalami intimidasi dan teror dari pasukan keamanan.
Kerangka Hukum dan Kebijakan Walaupun Indonesia memiliki dasar hukum untuk menjalankan reparasi, namun korban belum menerima reparasi secara berarti di semua kategori reparasi. Pada tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memandatkan dilakukannya upaya untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM di masa lalu, yang harus diikuti dengan "dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam bermasyarakat.”13 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, salah satu dari dua landasan hukum penting tentang HAM yang disahkan pada tahun-tahun pertama reformasi, menyatakan secara lebih jelas bahwa, “Semua korban pelanggaran hak asasi manusia dan ahli warisnya harus menerima kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.”14 UU ini menyatakan bahwa pengadilan HAM dapat memerintahkan langkah-langkah tersebut dalam keputusannya.15 Namun, harus ada keputusan tetap yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah agar pengadilan bisa mengeluarkan perintah reparasi. Sementar itu, hampir semua kasus pelanggaran HAM tidak pernah diproses ke pengadilan, dan juga tidak ada satupun dari 34 terdakwa di pengadilan HAM yang berhasil dihukum (dari 18 terdakwa yang dinyatakan bersalah, semuanya dibebaskan dalam proses banding). Dengan adanya ketentuan putusan pengadilan dan gagalnya sistem peradilan untuk mengadili pelaku maka pemberian reparasi kepada korban menjadi terhambat. Pada tahun 2006, Indonesia mensahkan UU no 13 tentang pembentukan lembaga yang bertugas untu mellindungi saksi dan korban yaitu LPSK. UU tersebut menyatakan bahwa korban “pelanggaran HAM yang berat” berhak untuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial, dan “hak atas kompensasi ... [dan] hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.”16 Aturan pelaksana UU tersebut mengatur agar pengajuan korban dan keluarganya untuk mendapat kompensasi kepada pengadilan HAM melalui LPSK.17 Komisioner LPSK diangkat pada tahun 2009, namun pelaksanaan peraturan tersebut terhalang oleh belum dibentuknya pengadilan HAM untuk kejahatan di masa lalu.18
Human Rights Resolution 2002/43, Report on Mission to Indonesia 15-24 July 2002, UN Doc. E/CN.4/2003/65/Add.2 (13 Januari 2003). 13 TAP MPR V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. 14 UU ini memandatkan pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang melingkupi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pandangan kritis atas mandat dan pelaksanaan pengadilan HAM, lihat ICTJ dan KontraS, Keluar Jalur: Keadilan Transisi di Indonesia Sejak Kejatuhan Soeharto, hlm. 37-51. 15 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pasal 35 (1) menyatakan, Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;. Lihat juga Surat Ketua MA RI No. KMA/403/VI/2003 tanggal 12 Juni 2003 dan surat DPR No. KS.02/3947/DPR-RI/2003. 16 UU no. 13 tahun 2006, pasal 6 dan 7. 17 Peraturan Pemerintah nomor 44 of 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban memungkinkan korban dan keluarganua untuk mengajukan permohonan kompensasi melalui LPSK, setelah ada keputusan pengadilan.
5
policy briefing Kewajiban Indonesia
Pelaksanaan Sampai Saat Ini: Pembelajaran yang Sulit Seperti dalam mekanisme keadilan transisi lainnya, kurangnya kemauan politik dalam menjalankan reparasi di Indonesia diperparah dengan tidak adanya kerangka yang jelas, koheren, dan konsisten dengan standar internasional. Hanya sebagian kecil korban yang telah memperoleh reparasi, yang umumnya terdiri dari pembayaran uang dalam jumlah kecil tanpa ada kaitan jelas dengan penderitaan mereka. Contoh di bawah ini menunjukkan perlunya sebuah program reparasi komprehensif yang tidak bergantung pada pengadilan, memasukkan pengakuan atas penderitaan korban, dan melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kegagalan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya. Kasus Tanjung Priok: Reparasi berdasarkan perintah pengadilan tidaklah efektif Pada tahun 1984 tentara menembaki pengunjuk rasa di Tanjung Priok, Jakarta. Setelah jatuhnya Soeharto, pemerintah menempuh upaya hukum terhadap anggota militer yang terlibat dalam kasus ini sehingga memberikan kesempatan bagi pengadilan HAM untuk mempertimbangkan reparasi. Pengadilan HAM ad hoc menyatakan bahwa para terdakwa bersalah dan memerintahkan terdakwa untuk membayar 1,15 miliar rupiah kepada keluarga 13 korban. Namun, ketika pengadilan banding membatalkan putusan tersebut pada 2005 dan Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa dengan alasan bahwa pembunuhan tersebut bukanlah pelanggaran HAM, perintah pengadilan tentang reparasi ikut dibatalkan.19 Selain itu, beberapa korban menerima pembayaran di luar proses pengadilan dari salah satu terdakwa. Pembayaran ini ditafsirkan oleh para korban lainnya sebagai upaya untuk membungkam mereka dan menyebabkan konflik di antara para korban. Kasus Tanjung Priok memperlihatkan adanya hambatan dalam reparasi yang didasarkan pada putusan pengadilan. Jaksa harus mengajukan permohonan reparasi atas nama korban (untuk mengatasi tekanan politik dan kurangnya preseden dan prosedur yang jelas), terdakwa harus dinyatakan bersalah dan vonisnya harus lolos dari upaya banding yang memakan waktu bertahun-tahun. Hukum perdata Indonesia juga memungkinkan diberikannya kompensasi atas kejahatan yang menimpa korban, namun sama seperti Hukum pidana, prosedur ini terbentur persoalan yang sama yaitu korupsi dan lemahnya keputusan pengadilan. Dua kasus di bawah ini menunjukkan hal tersebut. Suciwati, istri Munir yang dibunuh pada tahun 2004, memenangkan gugatan perdata terhadap Garuda karena kelalaian. Pada 2007, Pengadilan Negeri Jakarta memerintahkan tergugat untuk membayar sebesar Rp. 600 juta lebih. Putusan diperkuat oleh Mahkamah Agung pada Januari 2011, namun pembayaran beum dilakukan sampai sekarang.20 Pada kasus lain, Pengadilan Jakarta memenangkan gugatan Tommy Soeharto terhadap sebuah majalah penerbangan Garuda sebesar Rp. 12, 5 miliar karena menyebutkan bahwa Tommy adalah “terpidana pembunuhan.” Hakim menyatakan bahwa, “Walaupun Mahkamah Agung telah memvonis salah Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) atas kasus pembunuhan, dia telah menjalani hukumannya dan karena telah bebas maka dia memiliki hak penuh sebagai warga negara dan masa lalunya tidak boleh diungkit.”21 Salah satu solusinya adalah dengan memastikan bahwa sistem peradilan dapat menjaga putusannya dalam kasus-kasus HAM. Namun, korban tidak harus menunggu sampai
18 ICTJ dan KontraS, Keluar Jalur, hlm 38. 19 Thoso Priharnowo, “MA: Perkara Mascung Bukan Pelanggaran HAM”, TEMPO Interaktif, 1 Maret, 2006, http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2006/03/01/brk,20060301-74649,id.html. 20 “Court Upholds Ruling in Favour of Munir’s Widow,” Jakarta Post, 19 Februari, 2011, http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/19/court-upholds-ruling-favor-munir%E2%80%99s-widow.html. 21 “Court Awards Tommy $1.5 Million Damages for ‘Convict’ Article,” Jakarta Globe, 24 Mei, 2011, http://www.thejakartaglobe.com/news/2011/…. Tommy Soeharto divonis bersalah karena memerintahkan pembunuhan seorang hakim Mahkamah Agung yang memimpin sidang kasus korupsi yang melibatkan Tommy. Akibat pembunuhan itu, Tommy dihukum 15 tahun penjara, namun dia bebas setelah menjalani 5 tahun.
6
policy briefing Kewajiban Indonesia
reformasi hukum dilakukan. Bahkan, sistem peradilan yang berfungsi dengan baik pun hanya akan bermanfaat bagi korban yang mendapatkan bantuan hukum dan memenuhi standar kelayakan dan bukti dari pengadilan, dan meninggalkan ratusan ribu korban lain yang tidak memiliki akses untuk mendapat reparasi.22 Kasus Aceh: Reparasi harus berbeda dari program sosial yang bersifat umum Setelah Aceh mengalami konflik yang berlangsung puluhan tahun, tsunami tahun 2004 mendorong percepatan proses perundingan perdamaian yang sempat macet dan melahirkan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. MoU menyediakan "kemudahan ekonomi", termasuk lahan pertanian, pekerjaan, dan jaminan sosial, untuk mantan kombatan, tahanan politik, dan "semua warga sipil yang mengalami kerugian nyata." Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dibentuk untuk menjalankan program reintegrasi bagi mantan kombatan dan warga sipil yang terkena dampak konflik. BRA memadukan upaya tersebut dengan program yang didanai Bank Dunia untuk memberikan dana kepada masyarakat yang telah diidentifikasi melalui pemerintah lokal. Dalam fase pertama yang berakhir tahun 2007, BRA dan Bank Dunia telah mencairkan dana sebesar 26.5 juta USD untuk 1.724 desa.23 Namun, beberapa korban merasa bahwa skema ini mengabaikan kebutuhan spesifik mereka akan pengakuan dan rehabilitasi. Seorang pemimpin masyarakat di Aceh memberikan contoh, “Tetapi karena [uang] diarahkan pada desa, setiap orang di desa merasa bahwa dia berhak [mendapatkan uang itu], supaya mereka menuntut agar uang dibagi secara rata. Sementara, ada satu korban yang disetrum 23 kali, termasuk di alat kelaminnya, pada tahun 1990. Dia belum menerima bantuan sampai sekarang.”24 BRA juga melanjutkan bentuk reparasi yang telah diberikan sebelum MoU disepakati. Diyat adalah praktek dalam Islam yang memberikan kompensasi kepada kerabat orang yang terbunuh. Dalam skema yang diprakarsai oleh gubernur pada tahun 2002, keluarga orang dibunuh atau dihilangkan selama konflik menerima 200 sampai 300 USD setiap tahunnya dan diberikan selama beberapa tahun. Pemerintah telah memberikan dana tersebut kepada 20.000 korban.25 Skema reparasi administratif pasca-konflik pertama di Indonesia ini, yang terdiri dari dua jenis pembayaran, dapat terjadi karena adanya respon internasional atas bencana tsunami, adanya perjanjian perdamaian, dan adanya komitmen pemerintah untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan. Namun, memasukkan reparasi ke dalam program reintegrasi bagi mantan kombatan terbukti bermasalah. Hanya sedikit, jika pun ada, dari proyek ini yang ditujukan secara khusus kepada kebutuhan korban atau disertai dengan pengakuan atas penderitaan mereka. Tanpa pengakuan, korban tidak merasa bahwa negara telah, dan ini kenyataannya, "memperbaiki" kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya. Dengan tidak adanya informasi dasar tentang skema ini sendiri dan pelanggaran-pelanggaran yang dialami, kesempatan bagi transparansi dan pencarian kebenaran menjadi hilang. Salah seorang korban mencatat bahwa, “Pengalaman di BRA, tidak adanya transparansi sudah berapa banyak korban yang tercatat,” telah meningkatkan kekhawatiran tentang kesalahan dalam menentukan korban.26
22
Pada 2005, LBH Jakarta mengajukan class action kepada lima mantan presiden Indonesia untuk mendapat kompensasi dan rehabilitasi bagi korban kekerasan 1965. Namun Pengadilan Negeri Jakarta menolak tuntutan tersebut. 23 BRA, Fakta Seputar Reintegrasi (22 Juni 2007), http://bra-aceh.org/details_ news.php?bra=new&id=292. 24 Laporan ICTJ, “Considering Victims: the Aceh Peace Process from a Transitional Justice Perspective,” [Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari Perspektif Keadilan Transisi] (Juni 2008) hal.30 25 lihat catatan kaki no. 18 26 Korban, laki-laki, FGD 3, Medan, 25 Juli 2010
7
policy briefing Kewajiban Indonesia
Selanjutnya, untuk menerima diyat, korban seringkali harus mendapat persetujuan dari institusi keamanan lokal, pejabat pemerintah, lembaga, dan kadang-kadang individu yang mungkin terlibat dalam kematian anggota keluarga korban. Proses dan jumlah yang diterima bervariasi tergantung lokasi atau situasi, sehingga merusak transparansi dan konsistensi. Hal penting lainnya adalah, definisi sipil yang terkena dampak menghilangkan korban kekerasan seksual. Penghilangan aktivis 1998-99: Kebutuhan untuk transparansi dan dukungan resmi Dalam bulan-bulan terakhir rezim Soeharto, sejumlah aktivis pro-demokrasi dan HAM hilang. Sembilan diantaranya akhirnya dibebaskan dari tahanan militer, sementara 13 orang lainnya tidak pernah ditemukan. Tuntutan di pengadilan militer kepada pelaku yang terkait dengan penghilangan aktivis sangat tidak memuaskan dan hanya ditujukan pada prajurit berpangkat rendah, beberapa di antaranya bahkan menerima promosi. Kasus ini adalah salah satu dari sekian banyak insiden yang tidak pernah diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, tempat untuk pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Selama bertahun-tahun, jaksa menolak untuk memulai investigasi karena tidak adanya keputusan dari DPR. Ketika DPR merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM pada Desember 2009, presiden tidak mengeluarkan keputusan untuk membentuk pengadilan tersebut. Tanpa pengadilan, ditambah dengan tidak adanya putusan vonis bersalah, para korban tidak bisa mendapat perintah pengadilan untuk menerima reparasi. Rekomendasi DPR tahun 2009 ini juga merekomendasikan reparasi bagi keluarga orang yang hilang dan korban penculikan yang masih hidup.27 Pada awal 2011 beberapa kerabat dari 13 orang yang hilang yang sangat membutuhkan bantuan telah menerima pembayaran uang secara tidak resmi.28 Para pejabat menyatakan bahwa pembayaran ini merupakan bantuan kemanusiaan, dan bukannya berdasarkan pada hak-hak korban dan kewajiban pemerintah. Pembayaran itu dilakukan oleh individu dan bukan oleh pemerintah. Oleh karena itu pembayaran ini tidak memiliki transparansi maupun cap resmi yang bisa dijadikan contoh baik bagi keluarga orang hilang lainnya. Untuk membuatnya menjadi contoh yang baik, pembayaran tersebut harus dilakukan kepada semua korban dan anggota keluarga dari aktivis yang hilang pada 1998-99 secara transparan, konsisten, dan didasarkan pada prinsip-prinsip PBB, dan harus disertai dengan tindakan-tindakan non materil seperti konseling dan upaya untuk menentukan nasib mereka yang hilang. 29 Dengan demikian, pembayaran tersebut menunjukkan bahwa program reparasi administrasi secara politik dan logistik harus mendapat dukungan dari legislatif dan eksekutif.
Rekomendasi Melihat situasi para korban dan tidak memadainya upaya penanganan korban sampai saat ini, menunjukkan dengan jelas bahwa ada kebutuhan untuk dibuatnya mekanisme yang tidak bergantung pada pengadilan. Mekanisme ini mesti secara khusus dirancang untuk dan bersama korban, dan mendapat dukungan dari legislatif dan eksekutif. Dalam kata-
27
Lihat surat DPR kepada Presiden, No. PW.01/6204/DPR-RI/IX/2009, 30 September 2009. Laporan Workshop Konsolidasi dengan Keluarga Korban Penghilangan Paksa 13, Jakarta, 11-12 April 2011, dokumen ICTJ. 29 Lihat UN Basic Principles on the Right to Remedy and Reparation, supra catatan kaki no 6, paragraf 20, yang menyatakan, “kompensasi harus diberikan untuk kerusakan yang dapat dinilai secara ekonomi, sejauh diperlukan dan proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kondisi masing-masing kasus, sebagai akibat dari pelanggaran berat atas hukum hak asasi manusia internasional dan pelanggaran berat atas hukum humaniter internasional, seperti (a) Kerusakan fisik atau mental; (b) Hilangnya kesempatan, termasuk pekerjaan, pendidikan dan manfaat sosial; (c) Kerugian-kerugian material dan hilangnya pendapatan, termasuk hilangnya pendapatan potensial; (d) Kerusakan moral.” Lihat juga pragraf 22, yang menyatakan, “kepuasan harus meliputi …. (c) Pencarian keberadaan orang-orang yang hilang.” 28
8
policy briefing Kewajiban Indonesia
kata seorang ibu dari mahasiswa yang tewas dalam penembakan Semanggi II tahun 1999, “Tragedi berdarah adalah kekejaman alat negara, jadi pemerintah harus bertanggung jawab. Negara ini negara hukum, pemerintah jangan hanya kasih angin segar saja. Percuma kami berteriak sekeras-kerasnya jika hanya kami sendiri yang mendengarkan.”30 Bagian ini menyajikan rekomendasi tentang lingkup dan pendekatan mekanisme tersebut, dengan melihat capaian berbagai lembaga di Indonesia dan pengalaman ICTJ di negaranegara lain. Pihak eksekutif dan legislatif didesak untuk mempertimbangkan rekomendasi saat mereka merancang program dengan partisipasi korban dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Rekomendasi ini terutama ditujukan pada tiadanya perencanaan konkret untuk restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi. Namun, langkah-langkah ini tidak dimaksudkan untuk merusak atau mengganti upaya penuntutan atau pengungkapan kebenaran secara luas. Seorang ayah dari salah satu aktivis yang hilang menjelaskan, “Kembali dari rekomendasi DPR alangkah indahnya jika kita prioritaskan dulu point nomor satu, yaitu pencarian 13 orang yang masih hilang. Permasalahannya, jika kita terima saja reparasi itu sepertinya hal itu adalah yang paling menyakitkan. Kenapa, akan dihargai berapa sih kita untuk seorang korban dan keluarganya. Misalnya, mereka memberikan dua milyar itupun belum memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.”31 Seorang wanita yang anaknya, berumur 12 tahun, meninggal dalam Kerusuhan Mei 1998 setuju tentang perlunya keadilan, “Saya akan menerima kompensasi, tapi syaratnya [adalah] kasus harus tetap dilanjutkan.”32 Setiap keputusan, hukum atau peraturan yang berkaitan harus dengan jelas menyatakan bahwa reparasi adalah bagian dari strategi yang lebih luas. Hubungan ini harus dijamin secara kelembagaan, seperti dengan membuat program reparasi sebagai salah satu komponen dari mekanisme komprehensif untuk memperoleh kebenaran dan keadilan melalui penuntutan, pencarian kebenaran, dan langkah lainnya.33 Tindakan mendesak Prinsip dari rekomendasi paper ini adalah penyusunan program reparasi adminstratif yang komprehensif. Namun begitu, bahkan sebelum mekanisme tersebut disusun, pemerintah harus segera mengambil berbagai tindakan mendesak, yaitu:
1.
Presiden harus menyatakan pengakuan resmi dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM masa lalu. Pernyataan ini harus secara khusus merujuk pada hak atas reparasi dan janji untuk memulihkan mereka sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kebenaran.
2.
Pemerintah harus mengeluarkan status resmi bagi keluarga orang yang hilang untuk digunakan sebagai syarat pencatatan warisan dan pengalihan harta, dan nantinya untuk mendapatkan kompensasi.34
3.
Presiden harus mengeluarkan instruksi kepada semua instansi untuk menyelesaikan kasus orang hilang, dengan gugus tugas baru atau mekanisme lainnya untuk memastikan bahwa investigasi dan kolaborasi antar lembaga berjalan dengan efektif.
30
Saatnya Korban Bicara, Jakarta: TIFA, 2009, hal.69. Korban, laki-laki, FGD 2, Kendal, 18 Juli 2010. Korban perempuan, FGD 2, Kendal, 18 Juli 2010 33 Kelompok masyarakat sipil telah mengusulkan Komite Presiden untuk Keadilan dan Reparasi Hak Korban untuk memulai dan mengawasi upaya-upaya di bidang reparasi, kebenaran, dan keadilan. Proposal sedang menunggu tindak lanjut dari kantor presiden. 34 Landasan hukum dari proses ini terdapat dalam UU no. 23 tahun 2006 tentang Adminstrasi Kependudukan. Pasal 44 paragraf 4 bagian 7 menyatakan: "Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan." Namun begitu, keluarga dari 13 orang aktivis yang hilang tidak pernah mendapat penetapan dari pengadilan tentang status mereka yang hilang. Lihat juga pasal 7 (1) dan 12 dalam Konvensi Orang Hilang. 31 32
9
policy briefing
4.
Kewajiban Indonesia
Pemerintah harus menjamin perlindungan bagi para korban di Papua untuk memastikan mereka merasa aman dalam menuntut reparasi.
Pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Program reparasi adminstratif yang komprehensif Sama halnya dengan tindakan mendesak, langkah komprehensif pun belum memadai. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang aktivis HAM dalam sebuah diskusi, terdapat permintaan maaf secara terbatas dari presiden di masa sebelumnya namun tidak ada dokumen resmi atau kebijakan, “Tetapi karena tidak ada dasar, jadi tidak ada apa-apa setelahnya.”35 Karena itu pemerintah harus mengambil langkah segera untuk menyusun program reparasi administratif yang komprehensif. 1.
Pengaturan kelembagaan
Reparasi Adimistratif yang Komprehensif ●
●
●
●
●
●
a.
Presiden harus mengeluarkan suatu keputusan yang memandatkan penyusunan program reparasi yang mengatur ruang lingkup, isi, dan pembiayaan. Mengingat skala dan keanekaragaman Indonesia, program ini sebisa mungkin harus terdesentralisasi, dengan koordinasi gugus tugas di tingkat pusat yang berfungsi memastikan ketepatan kebijakan, pemantauan, dan pengawasan. Walau belum terlalu membutuhkan aturan hukum, DPR harus didorong untuk memberikan dukungan konkret, termasuk alokasi dana dalam APBN.
b.
Presiden harus bekerja bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk menunjuk anggota gugus tugas berdasarkan daftar yang dibuat oleh masyarakat sipil, termasuk kelompok korban. Lembaga itu harus diisi oleh individu yang dihormati dan bebas dari tuduhan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Anggota dapat berasal dari kalangan pemerintahan, akademisi, LSM, organisasi kemasyarakatan, atau masyarakat umum, dengan memperhatikan gender dan keragaman.
c.
Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK, harus membantu dalam desain mandat dan mekanisme yang diperlukan dengan melibatkan partisipasi kelompok masyarakat sipil. Setelah lembaga itu dibentuk oleh keputusan presiden, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK dapat mendukung program tersebut lewat bantuan rujukan korban, berbagi dokumentasi yang telah ada dan dukungan operasional seperti staf, fasilitas, dan pelatihan.
d.
Sebagian besar pemberian reparasi dapat dilaksanakan oleh dinas yang beroperasi pada tingkat lokal, dengan bantuan dari lembaga non-pemerintah. Program ini harus didasarkan pada standar yang ditetapkan oleh lembaga nasional bekerjasama dengan kemeterian terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Keuangan, Kementrian Pendidikan, Kementrian Kesehatan, dan Kementrian Sosial.
e.
Papua dan Aceh berada dalam kategori khusus karena tingginya persentase penduduk yang terkena pelanggaran masa lalu dan kekhususan yang diberikan oleh UU Otsus. Di kedua daerah ini, badan legislatif lokal harus membangun program untuk kebenaran dan reparasi. Lembaga-lembaga lokal ini masih dapat mengambil manfaat dari sumber daya dan bimbingan yang disediakan oleh program nasional.
Mencakup pengakuan resmi atas pelanggaran yang terjadi. Merupakan pelengkap, dan tidak menggantikan, upaya pencarian keadilan. Mencakup komponen kebenaran, seperti laporan akhir yang menjelaskan sifat dan skala pelanggaran dan korban. Dikembangkan dalam kemitraan dengan masyarakat sipil dan kelompok korban, untuk memberi ruang kepada suara korban dan untuk mengembalikan kepercayaan mereka melalui proses tersebut. Mungkin melengkapi, tetapi berbeda dari, programprogram pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih umum. mudah diakses oleh perempuan, anak-anak, dan orang-orang yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki kesehatan yang buruk
35
Pekerja LSM, perempuan, FGD 5, Jakarta, 13 Agustus 2010.
10
policy briefing
2.
Mandat a.
Kewajiban Indonesia
Mekanisme yang diusulkan harus disusun dengan kegiatan sebagai berikut: • Registrasi korban, dimulai lewat dokumentasi yang telah ada dan diikuti oleh registrasi kasus-kasus baru lewat program penjangkauan yang didukung oleh kelompok masyarakat sipil • Memastikan pemberian bantuan medis dan psiko-sosial darurat sebagai mandat dari UU perlindungan saksi dan korban • Menentukan bentuk dan ukuran reparasi untuk berbagai kategori korban • Membuat perjanjian yang adil dan transparan dengan kementerian, pemerintah daerah, organisasi pelayanan, dan lembaga lainnya • Pemantauan dan pelaporan pelaksanaan oleh lembaga mitra • Menerbitkan laporan akhir dengan temuan rinci tentang skala dan sifat pelanggaran dan korban, sambil mempertahankan kerahasiaan korban yang masih hidup.
b.
Jenis pelanggaran: Meskipun mungkin secara politik atau pembiayaan membuat pelaksanaan harus dilakukan secara bertahap, namun setidaknya program ini dapat menangani semua korban pelanggaran HAM bermotif politik dari 1965 sampai 2000, memprioritaskan korban dari: • Pembunuhan • Penghilangan paksa • Kekerasan seksual • Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi • Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang • Perbudakan atau kerja paksa
Pada tahap selanjutnya, berbagai pelanggaran yang perlu dimasukkan adalah: • Penyitaan sewenang-wenang atas tanah atau properti lainnya • Relokasi paksa • Kehilangan pekerjaan, kesempatan pendidikan, atau pensiun karena diskriminasi 3.
Registrasi
11
a.
Semua tahapan proses harus dapat diakses, bahkan oleh para korban yang tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki mobilitas terbatas. Harus ada proses yang efisien dan batasan pembuktian yang tidak menyulitkan. Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK bersama LSM dapat membantu dengan berbagi dokumen, mempersiapkan korban sebelum registrasi, dan melakukan konseling setelahnya. Bagaimanapun juga, registrasi itu sendiri harus dilakukan lewat mekanisme yang dimandatkan oleh presiden, dan harus mencakup unsur pengakuan resmi atas kerugian yang diderita.
b.
Lembaga tersebut dapat memulai kerjanya lewat data yang sudah ada di tangan Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK, serta masyarakat sipil dan kelompok korban, termasuk ketika melakukan penjangkauan kepada korban. Partisipasi dari kelompok korban dan organisasi perempuan akan menjadi poin
policy briefing
penting, terutama untuk situasi yang membuat munculnya stigma atau budaya diam tentang jenis korban dan pelanggaran tertentu. c.
Pendaftaran dapat dilakukan secara bertahap untuk menilai kebutuhan dan demografi korban tanpa menunda reparasi. Reparasi harus dimulai dalam waktu satu tahun setelah dimulainya proses pendaftaran. Bagaimanapun juga, registrasi harus tetap terbuka setiap kali korban datang mendaftarkan diri.
d.
Petugas verifikasi terlatih yang berkolaborasi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, kelompok perempuan, dan pemimpin lokal dan agama, dapat meninjau rekening korban. Petugas registrasi dari kelompok pembela HAM dan Komnas HAM atau Komnas Perempuan maupun LPSK pun dapat memverifikasi banyak rekening, meskipun mungkin diperlukan langkah kompilasi dan pengecekan silang atas sumber-sumber. Namun, hal yang penting diperhatikan adalah standar pembuktian tidak membuat korban yang kurang memiliki bukti kuat menjadi tidak dapat masuk dalam program. Proses ini juga harus mempertimbangkan informasi kontekstual, termasuk pola pelanggaran yang teridentifikasi pada saat registrasi atau dari penyelidikan sebelumnya.
Kewajiban Indonesia
4.
Pembiayaan
5.
a.
Langkah-langkah jangka panjang seperti pensiun dan pelayanan sosial harus dimasukkan dalam APBN. Pembayaran ini menjadi tanggung jawab negara dan menjadi semacam menjamin keberlanjutan ketika tidak ada donor.
b.
Bentuk lain pembiayaan, semacam pembiayaan luar biasa atau pembiayaan sementara, mungkin penting pada saat program dimulai atau ketika harus membiayai “pembayaran tunai” yang hanya dilakukan satu kali kepada korban, tetapi pembiayaan ini harus di luar APBN.
c.
Dimungkinkan untuk mendapatkan donor untuk kebutuhan operasional, seperti registrasi korban. Namun, reparasi tidak seharusnya tergantung pada pendanaan dari luar. Demikian pula, jika negara dapat mendapat aset dari hasil pengembalian kasus korupsi, pemerintah mungkin dapat menggunakannya untuk mengganti pengeluaran, tetapi reparasi tidak harus bergantung pada dana tersebut.
d.
Di beberapa negara, karena keterbatasan birokrasi dan keuangan, program reparasi diprioritaskan kepada beberapa kategori korban saja, seperti orang tua dan cacat. Setiap upaya harus dibuat untuk melayani semua korban secara tepat waktu, dan prioritas apapun tidak boleh diskriminatif atau merugikan hak-hak korban lainnya.
Jenis-jenis reparasi
Proses untuk pemberian reparasi harus transparan, dan sederhana baik dalam desain maupun pelaksanaannya. Penting juga untuk memahami setiap jenis pelanggaran, dengan pembedaan yang tepat, untuk mempertimbangkan tingkat keseriusan dari pelanggaran HAM dan tingkat kebutuhan. Reparasi sedapat mungkin harus diberikan secara individual. Namun, dalam kasus ketika seluruh komunitas atau desa terkena dampak konflik, reparasi kolektif mungkin juga dapat dilakukan. Jenis reparasi harus mencakup: a.
12
Pensiun dan pembayaran lain: Mengingat skala dan kompleksitas masalah, tidak mungkin bahwa kerugian dan penderitaan korban dapat dikompensasi secara penuh. Namun, pembayaran yang dilakukan secara rutin dapat membantu untuk mengakui kerugian yang diderita, mulai memulihkan kewajiban negara terhadap warganya, dan memungkinkan korban untuk menjalani kehidupan secara bermartabat. Program yang diusulkan, bekerja sama dengan kementrian terkait,
policy briefing
harus menentukan pensiun yang tepat dan disesuaikan dengan inflasi untuk semua kelas korban, dan menggunakan referensi dari data sosial ekonomi seperti rata-rata pendapatan nasional. Mekanisme ini harus menentukan pensiun untuk korban secara langsung termasuk untuk para janda, orang tua, dan anakanak dari korban yang hilang atau dibunuh. Karena korban yang berusia lanjut tidak akan mendapatkan masa pensuin yang sama lamanya dengan yang akan didapatkan oleh korban yang berusia muda, mereka harus menerima tambahan “pembayaran tunai” atau memperbesar jumlah pensiunnya.
Kewajiban Indonesia
b.
Paket pelayanan: Pelayanan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rehabilitasi (kesehatan mental dan fisik) serta kompensasi (misalnya, untuk kesempatan pendidikan yang hilang). Salah seorang peserta FGD di Makassar menggambarkan trauma dari peristiwa penangkapan tahun 1965, “Sampai sekarang saya kadang masih takut, ketakutan dengan adanya ngumpul-ngumpul, takutnya ditangkap dan itulah yang selalu membayangi saya.”36 Untuk memastikan bahwa korban menerima reparasi yang sesuai dengan hak mereka, pemerintah harus membuat rujukan dan sistem manajemen kasus bagi korban yang dilaksanakan oleh pemerintah lokal dan LSM. Sistem ini juga dilakukan untuk memastikan bahwa korban dapat dengan mudah mengakses layananlayanan berikut: •
Pelayanan kesehatan: Pelayanan kesehatan menegaskan martabat korban, menanggapi kebutuhan spesifik, dan memperbaiki kehidupan secara berarti. Korban layak mendapat perhatian di luar kewajiban dasar pemerintah dalam melayani semua warganya. Korban memiliki masalah kesehatan tertentu karena trauma masa lalu dan cedera, dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa mereka tidak ditinggalkan sehingga hanya mendapatkan pelayanan kesehatan minim dan menyulitkan mereka. Perwakilan salah satu korban dalam sebuah diskusi di Jakarta menyatakan, “Itu prosesnya seperti mengemis, harusnya ada dokumen yang beda bagi korban, sudah korban menjadi korban lagi, terdampar di RS dan tidak ditangani.”37 Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan, seperti yang dipraktikkan di Chili, adalah membentuk tim kecil yang terdiri dari dokter, psikolog, perawat, dan pekerja sosial untuk merespon kebutuhan kesehatan para korban. Program ini juga harus mencakup layanan khusus untuk perempuan yang disediakan oleh instansi pemerintah, organisasi perempuan, dan Komnas Perempuan.
•
Dukungan psiko-sosial: Semua korban dan anggota keluarga harus memiliki akses terhadap pemulihan trauma melalui layanan kesehatan mental, konseling berkelompok, pemulihan lewat kreatifitas seni, pendidikan orang dewasa, dan pertemuan masyarakat. Pekerja terlatih dari instansi pemerintah, LSM, dan kelompok-kelompok korban harus melakukan program ini.
•
Pendidikan: Korban atau anak-anak mereka yang kehilangan kesempatan pendidikan akibat konflik bersenjata, diskriminasi, penangkapan, penahanan, atau faktor lainnya harus menerima beasiswa atau kesempatan untuk mengikuti pendidikan susulan. Mereka yang tidak lagi dalam usia sekolah harus memiliki akses ke program kejuruan, program buta huruf, dan pendidikan orang dewasa lain yang dapat mengatasi kesempatan yang hilang dan meningkatkan potensi penghasilan.
•
Mata Pencaharian: Korban juga telah menyatakan kebutuhan mereka untuk mendapat program peningkatan ekonomi, termasuk akses ke pelatihan
36 37
Korban laki-laki, FGD 4, Makassar, 3 Agustus 2010 Korban perempuan, FGD 1, Jakarta, 5 Juli 2010.
13
policy briefing
keterampilan dan kredit mikro, yang dapat membantu mengganti pendapatan yang hilang secara berkelanjutan. c.
Kewajiban Indonesia
6.
Reparasi simbolik: reparasi simbolik merupakan komponen penting dalam program reparasi administratif yang komprehensif. Reparasi simbolik harus meliputi: •
Permintaan maaf individu dan kolektif
•
Penguburan ulang, menandai kuburan, atau mengadakan peringatan bagi mereka yang dikubur di kuburan massal yang tidak bertanda
•
Pembuatan tugu atau plakat untuk menandai situs peristiwa
•
mengoreksi kurikulum dan buku teks yang tidak lengkap dan tidak akurat. Salah satu korban 1965 menjelaskan, “Bicara diskriminasi dan stigmatisasi sampai saat ini masih ada dan yang paling penting adalah pengungkapan sejarah atau pelurusan sejarah yang benar.”38
•
mengubah nama jalan atau membuat hari libur nasional untuk menghormati korban
Pencarian Kebenaran
Program reparasi seharusnya tidak menjadi pengganti untuk proses kebenaran yang komprehensif seperti komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Sebaliknya, reparasi dapat memberikan gambaran tentang skala dan sifat pelanggaran, dan profil korban. Selain itu, pencarian terhadap keberadaan orang hilang menjadi bagian integral dari upaya reparasi. Tanpa langkah tersebut, anggota keluarga akan terus mengalami penderitaan dari penghilangan ini, dan upaya lain untuk memperbaiki kegagalan negara dan institusinya untuk menjalankan kewajibannya tidak akan efektif. Penyelidikan perlu diperbaharui dan mencakup:
7.
a.
inspeksi fasilitas penahanan
b.
wawancara dengan tahanan lainnya, dan aparat baik yang masih aktif maupun sudah pensiun
c.
informasi dari rumah penguburan tentang jenazah yang diterima dalam kondisi yang tidak biasa
d.
pemeriksaan catatan penangkapan dan penahanan polisi, militer, dan penjara
Keadilan
Pengadilan HAM ad hoc dan permanen, serta pengadilan umum, harus terus memeriksa pelanggaran HAM masa lalu bersamaan dengan setiap proses reparasi. Informasi tentang pelanggaran individu atau sistemik yang muncul melalui proses registrasi harus dibagi dengan Komnas HAM dan jaksa, bersamaan dengan rekomendasi untuk penuntutan. 8.
Reformasi hukum
Eksekutif dan legislatif harus mengamandemen undang-undang dan peraturan yang relevan untuk memperbaiki kebingungan tentang tanggung jawab utama dan mengakhiri ketergantungan pada vonis tetap pengadilan sebelum reparasi dapat diperoleh. Reformasi tersebut juga akan membantu para korban memperoleh reparasi di masa depan. Reformasi hukum juga harus memperkuat mandat Komnas HAM dan LPSK untuk lebih membantu yang mendiskriminasikan korban dan anggota keluarganya.
38
Korban laki-laki, FGD 2, Kendal, 18 Juli 2010.
14