29
STAIN Palangka Raya
PLURALISME, TOLERANSI, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Oleh: Zulfa Jamalie1 In public life a very plural, distinction because both tribes, language, culture, customs, all the more sothe difference understand and religion, is very prone to the incidence of conflict and contradiction. In the field of religious life, the attitude of intolerance and mutually hostile, could well arise due to frictions due to differences of religious doctrine, the doctrine of deployment or implementation of services by their respective religions. For it's numerous attempts have been made by the Government in order to achieve harmony between religious life, whether through education, out reach, and mentoring and various other ways, because harmony is an absolute requirement for the Government to carry out the construction. Of course the efforts and programs that have been launched by the Government will not work optimally if not supported by all components of the society and all the people of religion. Therefore the development of an attitude of tolerance, pluralism, mutual respect and appreciate between believers and between groups who have the difference understand is very important to do. How exactly the strategy or efforts should be done to make it happen? Key words Multicultural education, and harmony between religious. Abstrak Dalam kehidupan masyarakat yang sangat plural, baik perbedaan karena suku, bahasa, budaya, adat-istiadat, terlebih-lebih perbedaan paham dan agama, sangat rawan timbulnya konflik dan pertentangan. Di bidang kehidupan agama, sikap intoleransi dan saling bermusuhan, bisa saja timbul karena terjadinya gesekan-gesekan akibat perbedaan paham, penyebarluasan paham agama, ataupun pelaksanaan ibadat oleh masing-masing pemeluk agama. Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama, baik melalui pendidikan, penyuluhan, maupun pembinaan dan berbagai cara lainnya, karena kerukunan merupakan syarat mutlak bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan. Tentu saja upaya dan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah tidak akan berhasil maksimal jika tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakat dan seluruh umat beragama. Karena itu pengembangan sikap toleransi, pluralisme, saling menghormati dan menghargai antar umat beragama dan antar kelompok yang memiliki perbedaan paham sangat penting untuk dilakukan. Bagaimana sebenarnya strategi atau upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya? Kata-kata kunci Pendidikan multikultural, dan kerukunan antar umat beragama. 1
Zulfa Jamalie adalah dosen Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
30
STAIN Palangka Raya
A. Pendahuluan Pluralisme dan toleransi, di mana keaneragaman budaya, etnis, bahasa dan sejenisnya bukan untuk menunjukkan bahwa, secara kodrati yang satu lebih baik dari yang lain, melainkan agar masing-masing saling mengenal, memahami dan bekerjasama. Untuk itu diperlukan sikap saling pengertian, saling menghormati dan menghargai, terbuka dan lapang dada. Sikap jumud, eksploitatif, otoriter, feodal dan represif sangat bertentangan dengan karakteristik masyarakat egalitarian. Pengakuan terhadap pluralisme dan toleransi berimplikasi pada pengakuan yang sama pada diri setiap orang di depan hukum atau syariat Islam. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ketika khalifah “Ámiril Mukminin” Ali bin Abi Thalib bermasalah dengan seorang Yahudi yang dituduh telah mencuri baju besi beliau, Ali diputus oleh pengadilan Islam kalah karena tidak memiliki bukti otentik yang kuat untuk membenarkan pengakuannya padahal waktu itu kedudukan beliau adalah sebagai kepala negara. Namun dengan akhlaknya yang tinggi Ali dengan lapang dada mengakui kekalahannya. Implikasi perilaku Ali bin Abi Thalib yang notabene pada waktu itu adalah kepala negara yang berkuasa dan mempunyai kekuasaan ––yang pada masa sekarang ini seakan-akan dipahami mempunyai hak untuk memaksa untuk memenangkan perkaranya–– secara spontan mendapat respon dari lawannya berperkara dengan pengakuan: ”Benar engkau hai Ali baju besi ini sebenarnya adalah milik engkau dan atas perlakuan yang sama, adil bagi setiap orang dalam hukum, aku nyatakan diriku masuk Islam”. Konsep seperti di atas dan sejarah yang telah ditunjukkan oleh orangorang besar tentang memahami dan mewujudkan sikap toleransi terhadap plural yang terjadi itulah yang mesti diwujudkan dalam kehidupan sekarang. Lingkungan masyarakat kita yang sangat majemuk, baik dari segi suku, bahasa, adat-istiadat, kebiasaan, aliran, bahkan agama menuntut adanya sikap untuk saling menghormati dan menghargai agar, kehidupan berjalan secara rukun, damai dan harmonis.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
31
STAIN Palangka Raya
B. Antara Pluralisme dan Tolerasi Toleransi adalah suatu sikap yang dimiliki oleh seseorang untuk menghormati dan menghargai sikap, ide, pendapat, keyakinan, dan pemikiran orang lain. Berarti orang yang memiliki sikap toleransi tidak akan mengganggu orang yang tidak sama pendapat, pemikiran, atau paham dengannya. Lawan dari kata toleransi adalah intoleransi atau tidak toleran, yakni tidak menghormati dan tidak menghargai orang lain, cenderung untuk mencela, menghujat, atau menyalahkan orang lain. Sikap tidak toleran biasanya muncul disebabkan oleh banyak faktor, misalnya perasaan individualisme (nafsu ingin menguasai sesuatu), merasa paling benar dan besar, saling berprasangka (prejudice), kepicikan pandangan, dan fanatisme buta (taklid).2 Akibat nyata dari berkembangnya sikap tidak toleran terhadap orang lain yang berbeda tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat. Menurut Imam Munawwir, dampak dari intoleransi dimaksud antara lain adalah: timbulnya perpecahan dan permusuhan, tertutup menerima kritik, buah pikiran, dan saran dari orang lain, bersikap isolatif, dan cenderung radikal ekstrem.3 Sedangkan pluralisme, berarti suatu paham atau aliran yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam bidang tertentu dan memahami perbedaan tersebut sebagai sebuah realitas, sehingga bersikap untuk menerima dan menghormatinya (toleransi). Istilah ini terambil dari kata plural yang berarti banyak, majemuka, bermacam-macam, berbeda-beda. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan tersebut bisa terjadi dalam berbagai hal, baik dalam hal asal-muasal daerah atau suku, budaya, bahasa, paham, dan yang paling utama adalah agama. Namun, sehubungan dengan kerukunan antar umat beragama, biasanya perbedaan atau pluralitas tersebut menyangkut empat hal pokok, yakni suku, agama, ras, dan antargolongan, yang biasa disingkat dengan istilah SARA. 2
Imam Munawwir, Sikap Islam terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi, dan Solidaritas, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h.15-22. 3 Ibid., h.23-28.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
32
STAIN Palangka Raya
Dengan demikian sikap toleransi memiliki hubungan yang erat dengan kenyataan plural yang terjadi dalam lingkungan masyarakat kita. Artinya untuk membentuk masyarakat pluralisme yang baik maka sikap toleransi menjadi syarat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang. C. Sikap Islam terhadap Pluralisme dan Toleransi Berdasarkan telaah dan pembahasan sarjana muslim klasik tersebut kita dapat simpulkan bahwa Islam sendiri secara normative sangat mendorong terbentuknya masyarakat plural yang egaliter, dengan penekanan pada prinsip persamaan kemanusiaan, di mana kehadiran dan martabat seseorang tidak dilihat dari geneologis, etnis dan kepemilikan material (hartawan). Paradigma ini tidak hanya bersifat teoritis atau konsep semata, akan tetapi secara realitas juga telah dipraktikkan oleh masyarakat Islam selama berpuluh-puluh tahun dalam kehidupan mereka. Bagi umat Islam, batasan dan konsep pluralisme maupun toleransi antar umat beragama sudah sangat jelas, sebagaimana digambarkan dalam surah alKafirun ayat 1-6. Prinsip persamaan kemanusiaan, di mana kehadiran dan martabat seseorang tidak dilihat dari geneologis, etnis dan kepemilikan material (hartawan), merupakan paradigma egalitarian dan pluralisme yang tidak hanya bersifat teoritis atau konsep semata, akan tetapi secara realitas juga telah dipraktikkan oleh umat Islam selama berpuluh-puluh tahun dalam kehidupan mereka. Surah al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa:
,ﯾﺎﯾﮭﺎاﻟﻨﺎس إﻧﺎﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ﻣﻦ ذﻛ ﺮ و اﻧﺜ ﻰ وﺟﻌﻠﻨ ﺎﻛﻢ ﺷ ﻌﻮب وﻗﺒﺎﺋ ﻞ ﻟﺘﻌﺮﻓ ﻮا . إن ﷲ ﻋﻠﯿﻢ ﺧﺒﯿﺮ,إن اﻛﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ ﷲ اﺗﻘﺎﻛﻢ Artinya: “Hai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Ayat di atas menjadi dasar dalam memahami konsep ini, bahwa apapun etnis dan jenis kelaminnya ketika lahir ke dunia, manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan kehormatan mereka dalam pandangan Allah
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
33
STAIN Palangka Raya
adalah sifat takwa, yakni kepatuhan menjalankan segala apa yang diperintahkan-Nya dan konsekuen dalam menjauhi semua larangan-Nya. Karena itu, dalam rangka menjamin kerukunan dan toleransi dalam masyarakat yang plural, setidaknya umat Islam telah memiliki modal dasar yang patut untuk dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.4 Pertama, pengakuan akan persatuan kemanusiaan, di mana manusia memandang bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama. Pandangan terhadap hak persamaan ini sejatinya tidak hanya terbatas pada praktik hablumminallah, akan tetapi secara luas juga merambah pada bidang kehidupan antara masyarakat hablumminannas, sehingga dalam rentang sejarah Islam kita dapat temukan begitu tinggi sikap yang dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya dalam menjunjung persamaan harkat dan derajat manusia. Dalam salah satu hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jabir bin Abdullah diceritakan bahwa ketika suatu rombongan pengantar jenazah lewat di depan Nabi Saw, spontan beliau berdiri sebagai tanda hormat. Perilaku Nabi tersebut membuat heran sekaligus mengundang pertanyaan dalam diri para sahabat: “yaa rasulullah, innaha janazatun yahudiyyin, fa qaala a wa laisat nafsan, idza raaitum jannazatan fa quumuu”. Artinya: “Yaa Rasulullah itu adalah jenazah seorang Yahudi”, Rasul menjawab: “bukankah dia juga seorang manusia, jika kamu melihat iringan jenazah hendaklah kamu berdiri”. Ayat-ayat Alquran yang secara khusus dijadikan sebagai dasar sikap dan visi seorang muslim dalam melihat perbedaan di antara sesama manusia dan mengakui hak persamaan martabat kemanusiaan adalah surah Yunus 99, an-Nahl 93, al-Israa’ 70 dan 118 serta al-Kahfi 99. Implementasi ayat-ayat tersebut tergambar jelas dari shirah kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya dalam memperlakukan orang-orang non Muslim. Kedua, Islam sangat menghargai perbedaan, bahkan perbedaan itu sendiri menurut konsep Islam harus dijadikan sebagai potensi menuju
4
Louise Marlow, Masyarakat Egaliter, terjemahan Nina Nurmila, (Bandung: Mizan, 1999), h.9.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
34
STAIN Palangka Raya
kebersamaan, hal ini tergambar dari konsep “perbedaan adalah rahmat”, Islam datang sebagai “rahmatan lil ‘alamin, dan sebagainya. Ketiga, martabat dan harga diri seseorang sangat ditentukan oleh prestasi, dan kerja keras, bukan atas dasar prestige, etnis dan geneologis. Karena itulah Islam sangat berkepentingan dengan etos kerja sebagai dasar dalam bekerja dan mencapai prestasi dunia serta akhirat. Dalam konteks ini Rasulullah Saw. telah memproklamasikan kepada umat Islam untuk bekerja secara giat, “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamalamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”, jauh sebelum Max Weber ––seorang Sosiolog berkebangsaan Jerman–– mencetuskan gagasannya tentang tesis “teori” etos kerja. Di mana dilihat dari konteks psikologi dan pragmatis, etos kerja, kegairahan dalam bekerja seseorang menurut Weber mempunyai hubungan langsung (fungsional) dengan sistem nilai suatu ajaran agama. Dalam perspektif Weber orang-orang Protestan dari segi ekonomi lebih berhasil dibandingkan orang-orang-orang Katolik. Sebab apa yang disebutnya dengan istilah the spirit of capitalism (semangat kapitalisme) ternyata dimiliki dan lahir dari salah satu ajaran Protestanisme, yakni konsep panggilan atau beruf dalam bahasa Jerman, calling dalam bahasa Inggris. Beruf atau panggilan merupakan konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana harus bekerja. Menurut konsep yang menjadi doktrin Calvinisme itu, jalan hidup yang diterima dari Tuhan tidak melewati moralitas duniawi dengan menjalani hidup yang menjauhi kesenangan jasmaniah di biara, tetapi dengan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang sesuai dengan posisinya di dunia. Menurut Weber, hal ini jelas berbeda dengan ajaran Katholik, seperti yang diajukan oleh Santo Thomas Aquinas, yang melihat kerja hanya sebagai suatu keharusan demi kelanjutan hidup. Secara historis, sikap pluralisme juga telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan kaum Muslimin di Madinah. Pada pemerintahan Madinah yang masyarakatnya tergolong pluralistik, dilihat dari dimensi etnis dan agama, Rasulullah Saw telah meletakkan sendi-sendi sistem sosial yang juga plural.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
35
STAIN Palangka Raya
Supremasi hukum misalnya, dikembangkan secara adil tanpa membedakan golongan dan keturunan. Penganut agama lain selain Islam juga memperoleh perlindungan hukum yang sama, sehingga seluruh masyarakat merasa terlindungi oleh hukum. Demikian pula dalam pembangunan ekonomi, masyarakat diberi kebebasan bahkan didorong untuk maju. Dengan bertumpu pada dua sektor perekonomian rakyat, yakni perkebunan dan perdagangan, masyarakat menjadi dinamis, karena pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi Saw lepas dari tradisi etatisme dan nepotisme yang menjadi ciri ekonomi pra islam, sehingga masyarakat terlindungi dalam proses membangun kehidupannya. Nurcholish Madjid dengan cermat mengemukakan, setidaknya ada dua aspek yang dapat diteladani dari peristiwa sejarah tersebut, yakni pembinaan masyarakat sipil (madani) di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik dan pengembangan sikap toleransi menuju bentuk ideal masyarakat sipil tersebut.5 Dilihat dari struktur etnis, masyarakat Madinah terdiri dari bangsa Arab dan imigran Yahudi dari Mediterania. Demikian pula dari segi agama, ada masyarakat Muslim, Yahudi, dan Nasrani. Kenyataan ini menunjukkan kondisi yang sama dengan masyarakat Indonesia sekarang, bahkan pluralisme masyarakat dapat dikatakan lebih kompleks, karena tidak hanya berbeda suku dan warna kulit, tetapi juga agama, bahasa, dan budaya. Oleh sebab itu, pluralisme menurut Madjid merupakan potensi yang harus dijadikan sebagai modal dasar dalam membangun masyarakat, bukan sumber konflik sebagai yang terlihat dalam beberapa tahun ini.6 Konsep dan paradigma tentang egaliter, pluralisme, dan toleransi di atas telah menjadi modal dasar bagi umat Islam dalam menjaga hubungan baik dan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Kerangka berpikir seperti ini seharusnya juga dimiliki oleh penganut agama yang lain, sehingga dari pemahaman yang sama akan timbul sikap saling menghargai dan menghormati.
5
Nurcholish Madjid, Asas-asas Toleransi dan Pluralisme dalam Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1999), h.3. 6 Ibid., h.3.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
36
STAIN Palangka Raya
D. Strategi Menuju Kerukunan Antar Agama Setiap agama mempunyai doktrin penyebarluasan ajaran, yang dalam term Islam biasa disebut dakwah, baik dakwah yang dilakukan secara internal maupun eksternal. Dakwah internal dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas atau mutu keberagamaan umat dan agar mereka masuk ke dalam Islam secara kaffah, sedangkan dakwah eksternal dimaksudkan untuk menyebarluaskan ajaran kebenaran kepada mereka yang belum mengenal doktrin tersebut. Pemahaman ini tampaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan agama yang lain yang juga mempunyai misi untuk menyebrluaskan paham agamanya, akibatnya dalam kegiatan penyebrluasan tersebut sering terjadi pergesekan antara kelompok penganut agama, yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik sosial. Tidak hanya antar umat beragama, pergesekan sosial juga sering terjadi di kalangan satu kelompok umat beragama, karena setiap agama terdiri dari berbagai aliran, disebabkan perbedaan dalam pemahaman ajaran. Di samping itu, secara sosiologis, agama atau paham keagamaan tersebut dapat membuat ikatan emosional di antara para penganutnya, sehingga ikatan-ikatan tersebut dapat mempengaruhi hubungan sosial di antara mereka, bahkan sering terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, baik dalam pendidikan, kegiatan ekonomi maupun dalam pelayanan birokrasi pemerintahan. Sikap seperti inilah yang sebenarnya merupakan aspek negatif dari pluralisme yang seharusnya dapat dinetralisir menuju kepada kemajuan bersama. Menyadari besarnya potensi konflik antar umat beragama sehubungan penyiaran agama dan hal-hal lain menyangkut perbedaan paham serta untuk menciptakan kerukunan dan toleransi, maka pemerintah melalui Departemen Agama telah menyusun tiga konsep kerukuman hidup umat beragama di Indonesia, yaitu: 1. Kerukunan intern umat beragama 2. Kerukunan antar umat beragama 3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
37
STAIN Palangka Raya
Untuk lebih menguatkan konsep kerukunan di atas, sewaktu Departemen Agama di bawah pimpinan Said Agil Husin al-Munawwar, juga dicanangkan Tri Program Inti, yakni program pokok yang menjadi landasan dan arah bagi Departemen Agama dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dalam rangka mewujudkan: 1. Masyarakat religius dan berakhlak mulia 2. Masyarakat yang rukun dan damai dalam kebersamaan 3. Masyarakat yang mengamalkan ajaran agamanya dengan menghormati perbedaan Lebih dari itu jika kita menengok ke belakang, pemerintah juga telah mengeluarkan pedoman penting dalam rangka penyiaran dan pelaksanaan agama di Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 (Menteri Agama RI waktu itu dijabat oleh K.H.Mohammad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri dijabat Amir Mahmud) pada tanggal 13 September 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya, yang antara lain menyatakan: Pasal 1 Kepala Daerah (Pemerintah) memberikan kesempatan kepada setiap usaha penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat oleh pemelukpemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak menganggu keamanan dan ketertiban umum. Pasal 2 Kepala Daerah membimbing dan mengawasi, agar pelaksanaan penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya tersebut tidak menimbulkan perpecahan di antara umat beragama; tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan atau ancaman dalam segala bentuknya; tidak melanggar huku serta keamanan dan ketertiban umum. Pasal 5 Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemeluk-pemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan penyebaran/penerangan/ penyuluhan/ceramah/khutbah agama atau pendirian rumah ibadat, maka kepada daerah segera mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak.7 7
Departemen Agama RI, Direktorat Penerangan Agama Islam, Tuntunan Praktis Penerangan Agama Islam, (Jakarta: CV. Multi Yasa & Co, t.th.), h.28-29.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
38
STAIN Palangka Raya
SKB dua Menteri ini kemudian diikuti pula oleh keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama RI (sewaktu dijabat H. Alamsyah Ratu Perwiranegara) Nomor 70 Tahun 1978 Tentang Pedoman Penyiaran Agama, yang antara lain menyatakan bahwa: 1. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat-menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila 2. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk: a. Ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain; b. Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama; c. Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, bukubuku dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain; d. Dilakukan dengan cara-cara masuk ke luar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.8 Lahirnya dua pedoman atau peraturan di atas oleh pemerintah bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional sebagai prasyarat jalannya pembangunan dan demi tegaknya kerukunan hidup antar umat beragama sebagai modal dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa, sekaligus manifestasi kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap usaha pengembangan, penyiaran agama, dan pelaksanaan ibadat para pemeluk agama. Dialog Antar Tokoh Umat Beragama Tingkat Nasional di Jakarta pada tanggal 13-15 April 2004 menghasilkan 6 butir kesepakatan yang menjadi rekomendasi penting guna mewujudkan kehidupan umat beragama yang damai di Indonesia, yakni: 1. Tetap menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama yang sudah terpelihara selama ini 2. Mencegah potensi konflik, memelihara perdamaian, dan kerukunan 3. Melakukan omplementasi terhadap nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai toleransi dalam memantapkan kerukunan antar umat beragama 4. Saling menghargai keberadaan dan menghormati kebebasan masing-masing umat dalam menjalankan ajaran dan keyakinan agama masing-masing 8
Ibid., h.31-32.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
39
STAIN Palangka Raya
5. Menghindari segala bentuk motif kekerasan dalam mencapai tujuan 6. Menyelesaikan segala masalah yang menyangkut masalah umat beragama secara integratif baik pusat maupun di daerah serta melaksanakan dialog secara berkala dan berkesinambungan sampai kelapisan masyarakat terbawah. Dalam rangka akselarasi pembinaan kehidupan masyarakat yang lebih baik, rukun, dan damai haruslah dilakukan secara seiring antara masyarakat beragama (pemeluk agama) dengan pemerintah. Fungsi-fungsi pembinaan dari pemerintah harus terus dilakukan. Pembinaan kerukunan, baik intern maupun ekstern umat beragama, semuanya harus dilakukan secara seimbang antara masyarakat dengan pemerintah. Menurut Dede Rosyada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan bersama-sama antara pemerintah dengan masyarakat tersebut antara lain adalah: 1. Menjabarkan kembali konsep kerukunan dengan mengembangkan variabel-variabel pengaruh yang secara kultural kian berkembang, tidak hanya persentuhan kegiatan dakwah dengan missi, zending, atau yang lainnya, tetapi munculnya faktor-faktor eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi, bahkan eksistensi dan peran sosial, dengan menggunakan solidaritas etnis dan fanatisme keagamaan 2. Dengan penajaman-penajaman perumusan tersebut dapat dirumuskan berbagai pendekatan dan metode yang bisa dikembangkan untuk mengantisipasi serta menekan terjadinya keretakan-keretakan sosial akibat berbagai kepentingan dengan menggunakan fanatisme agama 3. Langkah pembinaan harus dilakukan secara sinkron tiga dimensi (spiritual, kultural dan struktural), yakni pembinaan kerukunan untuk kehidupan beragama yang damai dan sejahtera 4. Usaha-usaha tersebut harus dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah. 5. Tema-tema kegiatan dakwah yang dikembangkan oleh para juru dakwah ataupun missioneris dan zending harus diarahkan untuk banyak menyentuh aspek-aspek sosial kehidupan masyarakat, khususnya dalam tema-tema pembentukan masyarakat yang cerdas, kreatif, dan dinamis serta meninggalkan tema-tema yang hanya membangkitkan emosi aliran, paham atau mazhab tertentu. 6. Selain itu, tema-tema dakwah dan pula kebiatan missi serta zending harus mengembangkan sikap dewasa pada masyarakatnya, agar tidak mudah terhasut oleh berbagai aksi provokasi yang dapat membawa kemunduran, perpecahan, kerusuhan dan konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.9 9
Dede Rosyada, Kerukunan dan Upaya Mewujudkan Masyarakat Madani, (Jakarta: Universitas Islam Jakarta, 1999), h.9-10.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
40
STAIN Palangka Raya
E. Kesimpulan Berdasarkan pokok-pokok pikiran dan penjelasan di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan: 1. Perbedaan dalam berbagai bidang hidup yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah sebuah kenyataan yang harus disikapi dengan bijak, perlu dikembangkan sikap toleransi dan saling menghormati. 2. Kerukunan hidup antar umat beragama tidak akan tercapai jika pemahaman yang baik terhadap makna penting dari konsep pluralisme dan toleransi tidak dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu diperlukan kesadaran dari masing-masing pemeluk agama untuk menjalankannya. 3. Guna mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama tersebut, para juru dakwah (khususnya) dan pemimpin umat beragama yang lain sebagai bagian dari nonformal leader sangat penting, tidak hanya untuk mengusung tema-tema dakwah yang relevan dengan kehidupan masyarakat pada saat sekarang tetapi juga untuk memberi pencerahan kepada umat bagaimana hidup secara aman dan damai dalam lingkup perbedaan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
41
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, Rajawali Press, Jakarta, 1999. Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1999. Dede Rosyada, Kerukunan dan Upaya Mewujudkan Masyarakat Madani, Universitas Islam Jakarta, Jakarta, 1999. Departemen Agama RI, Direktorat Penerangan Agama Islam, Tuntunan Praktis Penerangan Agama Islam, CV. Multi Yasa & Co, Jakarta, t.th. Imam Munawwir, Sikap Islam terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi, dan Solidaritas, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1984. Ismail (ed.), Pendidikan, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2000. Louise Marlow, Masyarakat Egaliter, terjemahan Nina Nurmila, Mizan, Bandung, 1997. Nurcholish Madjid, Asas-asas Toleransi dan Pluralisme dalam Masyarakat Madani, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999. Robert N Bellah, Beyond Belief, Harper and Row, New York, 1976.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 6, Nomor 2, Desember 2012