Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
PLAGIARISME DAN OTOPLAGIARISME Shidarta* email :
[email protected]
Abstract: The terms „plagiarism‟ and „autoplagiarism‟ may ring the bell, but most of us likey ignore their meanings. In fact, scholars and practioners of communication should pay attention on the issues of plagiarism and autoplagiarism as their activities have to produce copyrights and their rights have something to do with copyright of others. Plagiarism and autoplagiarism do not only refer to ethical, but also to legal matters, such as copyright infringement. Keywords: plagiarism, autoplagiarism, copyright. Pendahuluan
T
indakan plagiarisme dan otoplagiarisme kerap menjadi sorotan dalam aktivitas ilmiah di kalangan dunia akademik dan jurnalistik. Pelaku plagiarisme dan otoplagiarisme ini dapat datang dari semua kalangan dengan berbagai motivasi. Sebagian kecil di antara mereka melakukannya memang tidak dilandasi itikad buruk, melainkan lebih karena kelalaian, ketidakcermatan, atau bahkan tidak menyadarinya sebagai tindakan yang terlarang. Namun, risiko atas perilaku ini terkadang sangat tragis. Seorang guru besar sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di Bandung, misalnya, sampai harus mengundurkan diri dari jabatan akademiknya pada awal tahun 2010 lalu karena melakukan plagiarisme tatkala memuat tulisannya di harian The Jakarta Post. Karya plagiarisme tentu tidak hanya dipublikasi dalam karya berbentuk tulisan, seperti buku, makalah, atau artikel, tetapi dapat juga dalam format lain yang dimuat di berbagai media. Iklan adalah salah satu contoh produk yang rentan memuat kandungan plagiarisme. Iklan-iklan yang populer di luar negeri kerap menjadi inspirasi, sehingga mengundang para praktisi periklanan membuat iklan serupa untuk kalangan domestik. Apabila adaptasi yang dilakukannya tidak didukung oleh kreativitas dan itikad baik, maka hampir dapat dipastikan bahwa iklan yang dihasilkan akan menjadi karya plagiarisme. Fenomena maraknya plagiarisme dan otoplagiarisme ini tentu tidak berdiri sendiri. Faktor kemudahan teknologi dan perangkat komunikasi bisa pula dituding sebagai biang persoalan. Kebiasaan copy-paste dari hasil unduhan karya orang lain di dunia maya demikian menggoda, sehingga kerap membuat kita terlena dan lupa mencantumkan sumber referensi. Alasan lupa boleh jadi memang alasan yang jujur, tetapi ancaman sanksi yang dikenakan Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002) secara normatif sulit untuk diajak berkompromi dengan alasan demikian. * Dosen bidang hukum dan filsafat pada sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, ia mengajar mata kuliah Hukum Komunikasi.
ISSN : 2085 1979
45
Shidarta: Plagiarisme Dan Otoplagiarisme
Sebuah studi di Amerika Serikat sekitar sepuluh tahun lalu sudah memberi sinyal lampu merah atas perilaku plagiarisme ini (Overbeck, 2000). Rutgers University Study tahun 1991 mencatat 66% dari sekitar 16.000 mahasiswa dari 31 universitas terkemuka di Amerika Serikat mengaku setidak-tidaknya pernah satu kali melakukan kecurangan terkait plagiarisme. Bahkan, 12% di antara mereka mengaku melakukannya secara rutin. Ini berarti tujuh dari sepuluh orang melakukan rutinitas tersebut. Pejabat di Universitas California-Berkeley tahun 1977 menyatakan bahwa dari tahun 1993 sampai 1997 saja, telah terjadi peningkatan perilaku plagiarisme di kampus sebanyak 744%. Sebuah angka fantastis untuk kriteria Amerika Serikat pada kurun waktu sepuluh tahun lalu tatkala teknologi informasi dan komunikasi belum secanggih sekarang. Senyampang survei serupa dilakukan di sini, dapatlah dibayangkan bagaimana kondisi yang riil terjadi di kampus-kampus di Indonesia . Mengingat kompleksitas problema di atas, dalam mata kuliah Hukum Komunikasi yang diajarkan di fakultas-fakultas ilmu komunikasi, topik tentang plagiarisme dan otoplagiarisme ini menjadi penting untuk disampaikan. Pembahasan topik tersebut biasanya digandengkan dengan ulasan tentang hak cipta. Tujuannya tidak lain agar peserta didik, sejak awal sudah mendapat pemahaman mendalam tentang risiko dari perilaku ini dan mengajak mereka untuk lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam strategi “jalan pintas” yang biasanya menjadi cikal bakal setiap tindakan plagiarisme dan otoplagiarisme. Tujuan yang kurang lebih sama juga berlaku untuk tulisan dalam jurnal kali ini. Peristilahan Secara umum kata plagiarisme sebagai istilah baku dalam kosa kata bahasa Indonesia kalah populer dibandingkan kata plagiat, yang sebenarnya diambil alih dari bahasa Belanda: plagiaat. Oleh karena ada kata plagiarism dalam bahasa Inggris, maka terma inilah yang kemudian lebih layak untuk diserap, sehingga muncullah istilah plagiarisme tersebut. Judy Anderson (1998: 1) mengawali bukunya tentang plagiarisme dengan memberi ilustrasi menarik tentang sulitnya mencari batas-batas toleransi dari perilaku tersebut. Ia mengatakan: Most articles, books or stories on plagiarism start with some type of definition. The most common is the dictionary‟s derivative view. It seems so simple. Plagiarism is the act of using the words of another without giving the originator credit. But just like trying to define race as it refers to groups of people, defining plagiarism becomes murky and foggy if one tries to put exact boundaries on it. Instead, it seems to fall under the same category as defining art. “I don‟t know what it is, but I know it when I see it.” Menurut situs UCB Libraries (2011), plagiarisme adalah “ The act of appropriating the literary composition of another author, or excerpts, ideas, or passages there from, and passing the material off as one‟s own creation.” Dalam ungkapan yang lebih sederhana, dapat dimaknai ulang sebagai tindakan mengambil karya cipta pihak lain dan menggunakannya dengan memberi kesan bahwa karya cipta tersebut, baik seluruh maupun sebagian, berasal dari pihak 46
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
yang mengambil tersebut (bandingkan pengertian serupa dengan pengertian yang dimuat di dalam beberapa peraturan internal institusi pendidikan, misalnya dalam Peraturan Universitas Tarumanagara Nomor 062). Berbeda dengan plagiat atau plagiarisme, kata otoplagiarisme adalah sebuah istilah yang mungkin tidak terlalu ramah di telinga. Perilaku ini bahkan oleh banyak orang tidak dipandang sebagai suatu bentuk plagiarisme. Paling tidak, hal seperti ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang masih dapat ditoleransi. Ketika penulis diminta menyusun Peraturan Universitas Tarumangara Nomor 062, penulis memberi arti otoplagiarisme ini sebagai “Tindakan mereproduksi karya cipta sendiri yang telah dipublikasikan sebelumnya tanpa menerangkan atau menyebutkan sumbernya.” Berbeda dengan plagiarisme pada umumnya, dalam otoplagiarisme, karya yang diduplikasi adalah karya milik sendiri. Ketika seseorang diundang membawakan makalah di sebuah seminar, misalnya, makalah yang disampaikannya sangat mungkin bukan produk orisinal untuk seminar tersebut, melainkan makalah yang sudah dibawakannya di berbagai kesempatan lain. Jika ia lupa memberi keterangan tentang hal itu, sesungguhnya perilaku otoplagiarisme sudah terjadi. Demikian juga apabila seorang penulis artikel mempublikasikan satu karyanya pada lebih dari satu media. Atau, ada penulis yang membuat tulisan dalam satu buku yang kemudian tulisan itu muncul lagi pada bukunya yang lain, tanpa ada satu keterangan pun yang menyertainya. Jenis-Jenis Plagiarisme Di luar otoplagiarisme seperti diungkapkan di atas, plagiarisme biasanya dibedakan lagi ke dalam beberapa jenis. Elisabeth H. Oakes dan Mehrdad Kia (2004: xlvii-xlviii) mengklasifikasikan plagiarisme menjadi direct, patchwork, dan paraphrase plagiarism. Dalam tulisan berikut ini, pembedaan tersebut akan dikembangkan lagi menjadi lima jenis. Kelima jenis ini dibedakan menurut pola penyajiannya. Jenis-jenis tersebut adalah: (1) plagiarisme verbatim, (2) plagiarisme kain perca (patchwork), (3) plagiarisme parafrasa, (4) plagiarisme kata kunci atau frasa kunci, dan (5) plagiarisme struktur gagasan. Kelima jenis plagiarisme ini akan dibentangkan sekilas di bawah ini. 1. Plagiarisme Verbatim Plagiarisme paling tinggi bobot pelanggarannya adalah plagiarisme verbatim, yaitu pengambilan karya milik orang lain persis apa adanya, dengan memberi kesan sebagai karya pribadi pelaku plagiarisme yang bersangkutan. Contoh penerapannya adalah sebagai berikut: Tulisan dalam karya asli Sarah Worthington (2009: 184)
Contoh tulisan pelaku plagiarisme verbatim (tanpa menyebutkan sumber):
Copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to require
In my opinion, copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its
ISSN : 2085 1979
47
Shidarta: Plagiarisme Dan Otoplagiarisme
someone to do something—ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
48
holder the right to require someone to do something—ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
2. Plagiarisme Kain Perca Plagiarisme kain perca (patchwork) dilakukan dengan mengambil karya milik orang lain dari berbagai sumber tanpa menyebutkan rujukannya. Potonganpotongan dari berbagai sumber ini lalu dijahit sehingga menjadi sebuah karya baru dan dikesankan sebagai karya orisinal dari pelaku plagiarisme. Contoh penerapannya: Tulisan 1 dalam karya asli Sarah Worthington (2009: 184)
Tulisan pelaku plagiarisme kain perca (tanpa menyebutkan sumber):
Copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to require someone to do something—ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
We can distinguish copyright from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to require someone to do something, i.e. pay money. Copyright, by contrast, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do. Due to this, copyright is structured as a grant of exclusive rights to reproduction or use for a temporary period. The exclusive period is temporary because the system is a compromise between two goals, creation and utilization. On the one hand, creation of works will be maximized if creators enjy maximum possible rewards. On the other hand, exclusive ownership typiclly results in restricted access to the work by the public.
Tulisan 2 dalam karya asli Edward Rappaport (2002: 2) Copyright is structured as a grant of exclusive rights to reproduction or use for a temporary period. The exclusive period is temporary because the system is a compromise between two goals, creation and utilization. On the one hand, creation of works will be maximized if creators enjy maximum possible rewards. On the other hand, exclusive ownership typiclly results in restricted access to the work by the public. 3. Plagiarisme Parafrasa
Plagiarisme ini dilakukan dengan cara mengubah kalimat dari penulis asli menjadi kalimat baru dari pelaku plagiarisme. Jika pengutipnya jujur, seharusnya kalimat si penulis asli tersebut akan diformulasikannya menjadi kutipan langsung ISSN : 2085 1979
49
Shidarta: Plagiarisme Dan Otoplagiarisme
dan dicantumkan referensi tempat kutipan itu diperoleh. Namun, pelaku plagiarisme parafrasa akan melakukannya dengan mengambil alih kutipan tadi dan menampilkannya sebagai kutipan tidak langsung, lagi-lagi dengan tidak menyebutkan sumber rujukannya, sehingga memberi kesan bahwa kutipan tadi orisinal berasal dari pelaku plagiarisme tersebut. Plagiarisme parafrasa juga berlaku dalam hal tulisan asli itu diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa menyebutkan sumber aslinya. Tulisan dalam karya asli Sarah Worthington (2009: 184)
Contoh tulisan pelaku plagiarisme parafrasa (tanpa menyebutkan sumber):
Copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to require someone to do something—ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
Hak cipta sebagai benda tak berwujud berbeda dibandingkan dengan bentukbentuk hak kebendaan lainnya, misalnya dengan hak yang timbul dari perjanjian utang-piutang. Dalam hutang, si pemegang hak (kreditur) memerlukan tindakan dari pihak debitur, dalam hal ini membayar hutangnya. Ini berbeda dengan hak cipta atau hak kekayaan intelektual lainnya. Hak cipta justru mencegah agar tidak melakukan sesuatu terkait hak itu. Jika ia lakukan, haruslah dengan izin, dan untuk itu ia mendapat kompensasi.
4. Plagiarisme Kata Kunci atau Frasa Kunci Plagiarisme parafrasa yang lebih terselubung adalah plagiarisme kata kunci atau plagiarisme frasa kunci. Di sini pelaku plagiarisme hanya mengambil sejumlah kata kunci atau frasa kunci dari tulisan aslinya. Selanjutnya ia memformulasi ulang kalimat-kalimat dalam tulisan aslinya, tetapi tetap memasukkan di sana-sini kata kunci atau frasa kunci dari si penulis asli, tanpa mau menyebutkan sumber rujukannya. Dalam contoh di bawah ini, perhatikan kata-kata kunci yang sengaja ditebalkan! Tulisan dalam karya asli Sarah Worthington (2009: 184)
Tulisan pelaku plagiarisme kata kunci atau frasa kunci (tanpa menyebutkan sumber):
Copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to
Perbedaan antara hak cipta (serta hak kekayaan intelektual lain) dan hak-hak kebendaan pada umumnya terletak pada kenyataan bahwa jika pada hak
50
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
require someone to do something— ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
kebendaan secara umum seseorang dituntut untuk melakukan sesuatu (to require someone to do something), maka pada hak cipta justru sebaliknya yakni menuntut orang-orang lain agar tidak melakukan sesuatu (to require others not to do something), kecuali dengan izin.
5. Plagiarisme Struktur Gagasan Di antara semua jenis plagiarisme, plagiarisme struktur gagasan adalah jenis yang paling tersembunyi dan paling sulit dilacak. Di sini pelaku plagiarisme mencontek gagasan orang lain dan kemudian gagasan ini dituangkan kembali melalui rangkaian kalimat, dengan kata kunci atau frasa kunci yang berbeda. Gagasan orang lain itu bisa saja berasal dari sumber tertulis, film, atau bahkan tuturan lisan yang disampaikan melalui berbagai forum. Dalam konteks ini, kata kunci dan frasa kunci dari si pemilik gagasan awal memang sudah tidak lagi dipakai, tetapi struktur gagasannya masih sama. Pencontekan ide seperti ini sulit untuk dibuktikan karena kesamaan gagasan seperti itu bisa diakui terjadi secara kebetulan. Perhatikan contoh berikut ini: Tulisan dalam karya asli Sarah Worthington (2009: 184)
Tulisan pelaku plagiarisme struktur gagasan (tanpa menyebutkan sumber):
Copyright is clearly intangible property, but is quite different from other forms of intangible property such as debts. A debt gives its holder the right to require someone to do something—ie pay money. Copyright, by contrast, and along with other forms of intellectual property, is much more like tangible property in that it gives the holder the right to require others not to do something, and make them pay compensation if they do.
Untuk membedakan antara hak cipta dan hak-hak kebendaan pada umumnya, dapat diperhatikan segi tuntutan perbuatan yang diarahkan kepada orang lain. Pada hak cipta, bentuk tuntutan perilakunya adalah negatif (jangan lakukan kecuali mendapat izin), sedangkan pada bendabenda pada umumnya justru tuntutan perilakunya adalah positif (harus lakukan sesuatu).
Pelanggaran Hak Cipta Plagiarisme seringkali dikonotasikan hanya sebagai pelanggaran etika, bukan sebagai perbuatan melawan hukum. Bagi komunitas hukum, perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam. Dalam konteks ISSN : 2085 1979
51
Shidarta: Plagiarisme Dan Otoplagiarisme
ini, perbuatan melawan hukum pidana (wederechtelijke daad) adalah yang paling relevan untuk dikaitkan. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sudah mengaturnya secara jelas. Menurut undang-undang ini, hak cipta (copy right) adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak eksklusif merupakan hak yang hanya diperuntukkan bagi si pencipta atau penerima hak cipta itu. Apabila ada orang lain yang ingin memanfaatkan ciptaan tadi, orang ini harus mendapat izin terlebih dulu dari pencipta atau penerima hak cipta tadi. Hak cipta adalah salah satu hak kekayaan intelektual ( intellectual property rights) yang mendapat perlindungan secara otomatis oleh negara. Jadi, tanpa harus melalui prosedur pendaftaran atau permintaan, hak ini akan langsung diberikan oleh negara. Kebijakan demikian semata-mata demi kepentingan praktis, yaitu agar memudahkan setiap pencipta mendapatkan perlindungan, mengingat sedemikian banyak ciptaan dihasilkan setiap hari, baik di bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun sastra. Pendaftaran sebenarnya lebih diperlukan untuk menjamin perlindungan dan mempermudah proses pembuktian, khususnya tatkala terjadi sengketa hak cipta di kemudian hari. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kasus plagiarisme yang dibawa sampai ke tingkat pengadilan. Padahal, apabila dicermati ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta, perbuatan plagiarisme termasuk ke dalam kriteria tindak pidana yang diancamkan. Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan sedikitnya sepuluh pasal yang dapat dijerat dengan ancaman pidana. Dari pasal-pasal tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan istiah plagiarisme dan otoplagiarisme. Justru Pasal 15 Undang-Undang Hak Cipta membuat rumusan secara negatif dengan kata-kata sebagai berikut: “Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak Cipta: (a) penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta... ” Rumusan Pasal
15 huruf a ini perlu dikaji lebih mendalam. Dari bunyi ketentuan tersebut jelas, bahwa syarat mencantumkan sumber adalah sebuah syarat mutlak untuk dapat terbebas dari tindak pelanggaran. Artinya, jika tidak dicantumkan sumbernya, pasal ini otomatis mengkategorikan tindakan itu sebagai pelanggaran hak cipta, sekalipun dalam sanksi pidana tidak disebut-sebut secara eksplisit tentang ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran atas Pasal 15 Undang-Undang Hak Cipta. Seandainya pun dicantumkan sumbernya, masih tetap terbuka kemungkinan pengambilan itu terancam sebagai pelanggaran hak cipta, yakni apabila pengambilan tersebut ternyata sampai merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Pembatasan ini berdimensi kualitatif. Pembentuk undang-undang rupanya menyadari bahwa pembatasan yang kuantitatif memang sulit ditetapkan. Sekalipun demikian, dari kata-kata yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 huruf a Undang-Undang Hak Cipta, secara implisit pembentuk undang-undang menganggap besaran sepuluh persen sebagai batas yang sudah potensial merugikan kepentingan pencipta. Acuan sepuluh persen ini tidak harus diukur dari keseluruhan suatu karya. Tidak berarti jika jumlah halaman sebuah buku adalah 52
ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun III/01/2011
100, maka sepuluh persen di sini berarti 10 halaman. Penetapan batas sepuluh persen ini mengacu ke bagian substansial dari suatu karya. Sebagai contoh, jika bagian substansial dari karya itu ada pada bab kedua, berarti sepuluh persen ini diukur dari keseluruhan bab tersebut. Dengan demikian, apabila ada seseorang mengambil sebuah karya cipta orang lain (pada bagian yang substansial) lebih dari sepuluh persen maka sudah patut diduga telah terjadi pelanggaran hak cipta. Lebih-lebih lagi jika pengambilan karya orang lain itu dilakukan untuk alasan-alasan komersial. Sistem hukum positif Indonesia tidak hanya menyediakan satu alternatif tunggal dalam penyelesaian sengketa hak cipta. Selain mekanisme pidana, gugatan secara perdata juga dimungkinkan dengan dalih telah terjadi perbuatan melawan hukum perdata (onrechtmatige daad). Pihak penggugat mengajukan gugatannya kepada pengadilan negeri setempat. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan, hakim pun tetap terikat untuk menawarkan perdamaian kepada para pihak. Terlepas dari mekanisme penyelesaian sengketa secara formal seperti diatur dalam undang-undang, mekanisme informal atau institusional biasanya justru lebih banyak digunakan. Jika yang melakukan pelanggaran ini adalah seorang dosen, maka sanksi yang diberikan biasanya juga dikaitkan dengan status kedosenannya. Institusi tempat dosen itu bernaung juga dapat membentuk majelis kode etik guna memproses pelanggaran demikian. Undang-Undang Hak Cipta sama sekali tidak menyinggung perihal otoplagiarisme. Dapat dimaknai melalu argumentum a-contrario, bahwa karena tidak diatur maka perilaku otoplagiarisme bukan dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Otoplagiarisme memang lebih tepat dikonstruksikan sebagai pelanggaran etika. Meskipun demikian, ia masih dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum perjanjian apabila misalnya seorang penulis mengajukan karya tulisannya kepada sebuah penerbit, padahal dalam perjanjian antara penulis dan penerbit itu sudah dipersyaratkan bahwa tulisan yang diajukan harus orisinal, dalam arti belum pernah dipublikasikan di media manapun. Senyampang tulisan yang tidak orisinal itu jadi diterbitkan tanpa ada pemberitahuan atau keterangan apapun dari penulisnya, maka tindakan otoplagiarisme sudah terjadi. Jika penerbit tersebut sampai menderita kerugian akibat ketidakjujuran penulis itu, maka perilaku otoplagiarisme tadi dapat menjadi dalih gugatan atas dasar cedera janji (wanprestasi). Penutup Bagi pegiat ilmu dan praktisi komunikasi, pemahaman tentang plagiarisme dan otoplagiarisme merupakan sebuah keniscayaan. Kendati parameter plagiarisme dan otoplagiarisme tersebut kerap berputar “hanya” sebagai problema etis, bukan tidak mungkin dimensi legal juga dapat dilekatkan. Dalam konteks ini, alasan ketidaktahuan dan/atau ketidakcermatan tidak lagi menjadi apologia atas perilaku demikian.
ISSN : 2085 1979
53
Shidarta: Plagiarisme Dan Otoplagiarisme
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Judy (1998). Plagiarism, Copyright Violation and Other Thefts of
Intellectual Property: An Annotated Bibiligraphy with A Lengthy Introduction. Jefferson, North Carolina: McFarland & Co. Oakes, Elisabeth H. & Mehrdad Kia (2004). Social Science Resources in the Electronic Age. Westport: Greenwood Press.
Overbeck, Bonnie K. (2000). “Plagiarsime Statistics”
. Diunduh 1 Mei 2011. UCB Libraries (2011). “Glossary of Library Terms.” . Diunduh 1 Mei 2011. Rappaport, Edward (2002). “Copyright Term Extension: Estimating the Economic Values.” Dalam: John V. Martin, Copyright: Current Issues and Laws. New York: Nova Science Publishers. Hlm. 1-18. Worthington, Sarah (2009). “Art, Law, and Creativity” Journal of Current Legal Problems, Volume 62, Issue 1. Hlm. 169-201.
54
ISSN : 2085 1979