PERSEPSI, RESPON DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN TERHADAP PELESTARIAN CAGAR ALAM MARTELU PURBA PROVINSI SUMATERA UTARA Elvy Marenda Simanjuntak1, Mustofa Agung Sardjono2 dan Marlon Ivanhoe Aipassa3 1
2
Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Unmul Samarinda. Laboratorium Politik, 3 Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda. Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Fahutan Unmul Samarinda
ABSTRACT. Perception, Response and Participation of Local Society towards Preservation of Martelu Purba Nature Preserve, North Sumatra Province. This study aimed to determine the perception and response of communities around conservation areas of Martelu Purba Nature Preserve (MPNP); those who participated in the preservation of the MPNP, and the shape and intensity of participation that had been done so far, and to to formulate alternative management efforts toward the MPNP collaboration based on the research results. The research was carried out at MPNP, Regency of Simalungun, Province of North Sumatera from June 2010 until May 2011. Respondent selection for interview was done according to purposive sampling consisted of boys (<40 years), women, family head, society self-power institution, farmer group, society self-supporting institution and key informant (village head, village secretary, custom/society figure and kaur). Another important respondent stakeholder (government/private institution, social institution and individual) related the importance towards MPNP. Data were analyzed using Scale Likert method, Participation-Empowerment Index and SWOT analysis (strengths, weaknesses, opportunities, threats). Based on pursuant to research the results, perception and response of local society towards the preservation of MPNP was high, where the society perception at Sub-District of Tiga Runggu had score value higher than those at Purba Tongah Village, society response at Sub-District of Tiga Runggu had value equal to society response at Purba Tongah Village. Local society participated in the preservation of MPNP resulted in "very inactive" category. MPNP management was handled by BKSDA. Based on the SWOT analysis, collaborative management of the proposed formulation was as much as 9 strategies, in which all the nine strategies related to aspects of local governance, institutional aspects and the availability of funds, manage the business aspects of society, aspects of the social environment, and aspects of infrastructure development Kata kunci: persepsi, respon, partisipasi, Martelu Purba, pengelolaan kolaboratif
Salah satu bentuk kawasan konservasi yang sangat dikenal ialah cagar alam (nature sanctuary) yang memiliki fungsi kawasan perlindungan terhadap seluruh komponen ekosistem, baik flora, fauna, maupun habitatnya dan semua proses dibiarkan berlangsung secara alamiah. Oleh karena itu, di dalam kawasan cagar alam tidak dibolehkan melakukan aktivitas manusia yang dapat mengganggu proses ekologis yang sedang berlangsung (Anonim, 1998). 28
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
29
Kepentingan untuk menetapkan (dan mengukuhkan) kawasan-kawasan konservasi atau fungsi hutan lainnya didasarkan pada pemikiran bahwa yang namanya kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar (open access). Terlebih luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai hingga 140 juta hektar (di mana sekitar 30% merupakan kawasan dilindungi termasuk konservasi) tidaklah sebanding dengan jumlah aparat yang harus mengawasi dan mengamankannya. Kondisi ini yang memacu terjadinya permasalahan dalam pengelolaan hutan, di mana berbagai gangguan terjadi atas sumberdaya alam yang sangat penting tersebut. Begitu pula dengan upaya pelestarian kawasan hutan yang diwujudkan dalam bentuk pencanangan sebagian wilayah hutan sebagai kawasan cagar alam guna melindungi kelestarian aneka ragam flora dan fauna yang terkandung di dalamnya. Namun upaya pelestarian kawasan ini tidak jarang kurang memperhatikan keberadaan masyarakat yang tinggal dan mencari penghidupan di dalam dan sekitar kawasan. Padahal dalam banyak kasus keberadaan masyarakat beserta aktivitasnya sudah berlangsung lebih lama dari penetapan kawasan hutan menjadi cagar alam. Keberadaan cagar alam justru mengakibatkan aktivitas masyarakat yang hidup di tengah hutan menjadi dibatasi oleh peraturan negara yang lebih menekankan pada pentingnya aspek kelestarian. Salah satu contoh adalah Cagar Alam Martelu Purba (CAMP) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang merupakan salah satu kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. Cagar alam ini memiliki luas sebesar 195 ha dan berada pada posisi ketinggian sampai dengan 1.333 m dpl serta didominasi oleh dua jenis vegetasi utama yang merupakan hasil penanaman tahun 1948. Jenis dominan ini adalah meranti udang (Shorea leprosula Miq.) dan meranti batu (S. platyclados V.Sl.). Darwo (2001) dalam penelitiannya menyatakan, bahwa kondisi dan sifat tanah di kawasan tersebut mendukung pertumbuhan tanaman meranti batu, sehingga jenis ini dominan tumbuh di kawasan tersebut. Tetapi, hutan meranti di CAMP terancam punah oleh perambahan dan perladangan liar, padahal kawasan cagar alam tersebut merupakan sumber benih meranti utama di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan reboisasi dan penghijauan (Anonim, 2006b). Hal yang perlu memperoleh perhatian dan menjadi latar belakang utama dari kajian yang lebih mendalam mengenai strategi pelestarian cagar alam ini melalui sebuah penelitian, bahwa peran yang dimainkan oleh kawasan ini sangat penting sekali karena dalam perkembangannya saat ini batas antara kawasan dan lahan pertanian masyarakat sangat kontras, karena tidak adanya lagi perantara berupa zona penyangga (Rimba, 2005). Apabila ekosistem kawasan rusak, maka secara langsung akan merusak produktivitas tanah dan aktivitas pertanian. Perlu diketahui bahwa berdasarkan laporan dari Anonim (2002), bahwa CAMP merupakan kawasan yang terletak berdekatan bahkan berbatasan langsung dengan pemukiman dan lahan pertanian, sehingga terkesan bukan merupakan hutan di mana hutan biasanya jauh dari pemukiman dan aktivitas penduduk. Walaupun pemukiman masyarakat di luar kawasan cagar alam ini, dikhawatirkan pemukiman masyarakat sekitar akan mengancam keberadaan kawasan hutan dan seluruh komponen ekosistem yang terdapat di dalam hutan.
30
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
Kawasan hutan ini juga berada di tepi jalan raya, bahkan dibelah jalan, sehingga sangat mudah untuk dilewati oleh setiap orang baik dengan menggunakan kendaraan maupun jalan kaki. Kondisi pagar kawat berduri yang terdapat di kawasan hutan saat ini banyak yang rusak dan hilang dan pintu masuk ke dalam kawasan yang kurang dijaga ketat oleh petugas kehutanan, menyebabkan masyarakat di sekitar kawasan masih bebas untuk keluar masuk hutan setiap hari. Kondisi ini bisa saja menjadi gangguan bagi kelestarian hutan untuk masa yang akan datang. Potensi flora dan fauna yang ada di kawasan hutan ini merupakan asset deposito bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar hutan, terutama kayu bakar, aren/enau, humus dan sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari. Selain itu, hampir sebagian besar hamparan lahan yang ada di sekitar kawasan CAMP digunakan untuk lahan pertanian yang diusahakan dengan intensif. Pembinaan daerah penyangga dilakukan dengan pemberian bibit kopi pada tahun 2002 untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mengurangi ketergantungan kepada CAMP. Selanjutnya dilakukan penanaman tanaman jalur batas pada tahun 2003 dan pemeliharaan tanaman jalur batas dengan tanaman pinang pada tahun 2004 untuk menjaga batas-batas kawasan, sehingga keutuhan kawasan tetap terjaga (Anonim, 2006a). Namun, pemerintah masih khawatir bahwa seluruh aktivitas masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan dapat menyebabkan fungsi CAMP sebagai kawasan perlindungan terhadap seluruh komponen ekosistem, baik flora, fauna, maupun habitatnya menjadi terganggu dan terancam, sehingga menyebabkan degradasi kekayaan alam secara langsung dan tidak langsung. Sesuai dengan hasil penelitian Laksono dkk. (2001) tentang masyarakat Arfak dan konsep konservasi dinyatakan bahwa setelah dijadikannya kawasan hutan sebagai cagar alam justru membatasi aktivitas masyarakat di hutan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Persepsi masyarakat tentang hutan yang telah tertanam di dalam benak mereka sejak dahulu dipaksa diubah dengan adanya pengklaiman kawasan hutan sebagai hutan negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan respon masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian CAMP; pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam pelestarian CAMP dan bentuk serta intensitas partisipasinya yang telah dilakukan selama ini; serta merumuskan alternatif upaya pengelolaan CAMP ke arah kolaborasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kawasan CAMP yang secara administratif pemerintahan terletak di Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan administratif pengelolaan hutan konservasi, kawasan cagar alam ini terletak di bawah pengelolaan bidang Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I yang berkedudukan di Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara. Pemilihan responden untuk wawancara dilakukan secara purposif (purposive sampling) yang terdiri dari pemuda (<40 tahun), perempuan, kepala keluarga, LPM (lembaga pemberdaya masyarakat), kelompok tani, LSM (lembaga swadaya
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
31
masyarakat) dan informan kunci (kepala desa, sekretaris desa, tokoh adat masyarakat dan kaur). Responden penting lainnya adalah para stakeholder (institusi pemerintah/swasta, lembaga sosial dan individu) yang terkait kepentingannya terhadap kawasan CAMP. Analisis data yang digunakan adalah metode Skala Likert, Participation-Empowerment Index dan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Cagar Alam Martelu Purba sebelumnya merupakan hutan lindung yang telah ditetapkan sejak zaman kolonialisme pada tahun 1916 dalam Zeelfbesstur tanggal 8 Juli 1916, kemudian dikukuhkan oleh Panitia Tata Batas yang diangkat berdasarkan Besluit Gubernur Pesisir Timur Pulau Pertja tanggal 23 Agustus 1935 No. 125/B/AZ, sesuai Proces Verbaal yang dibuat pada tanggal 20 September 1938 dengan Register No. 9/SM (Anonim, 2006a). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.923/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 dinyatakan bahwa kawasan hutan Martelu Purba Register 9/SM yang terletak di Kabupaten Simalungun masuk dalam Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan/Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan ditunjuk sebagai Hutan Lindung Martelu Purba. Pada tahun 1993 dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 471/Kpts-II/1993 tanggal 2 September 1993, status kawasan beralih fungsi menjadi cagar alam. Dasar kriteria penetapan cagar alam ini adalah tegakan pohon meranti yang mendominasi di kawasan ini merupakan hasil reboisasi (penanaman) yang bertajuk sama tinggi yang berhasil ditanam oleh Ir. Depari pada tahun 1948 pada ketinggian 1.333 m dari permukaan laut. Sekarang kegiatan reboisasi tersebut telah berhasil membentuk kawasan hutan ini dengan formasi tegakan pohon meranti yang seumur, seragam, lurus dan menjulang tinggi. Keindahan formasi ini menjadi kelebihan tersendiri dari hutan lindung ini dan merupakan cerminan kekayaan nilai hutan tropis Indonesia sehingga pada tahun 1993 Menteri Kehutanan memutuskan untuk meningkatkan nilai perlindungan kawasan dari hutan lindung menjadi cagar alam. Secara geografis kawasan CAMP terletak pada koordinat 2°53’2°54’ LU dan 98°42’98°43’ BT. Cagar alam ini juga terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ular. Pada umumnya topografi di dalam kawasan landai sampai curam dengan kemiringan antara 665%, ketinggiannya dari permukaan laut adalah 1.333 m (Djajoesman, 1982). Hanya sebagian saja yaitu di bagian utara terdapat jurang dengan kemiringan sampai dengan 80% yang di bagian bawahnya terdapat Aek Simartolu. Cagar Alam Martelu Purba termasuk dalam satuan tanah podsolik coklat dan kelabu dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi vulkanik. Tebal lapisan horizon A dan B berkisar antara 17,6670 cm dengan nilai rata-rata 31,88 cm. Kisaran kemasan (pH) tanah lapisan A dan B adalah 5,83–6,83 dengan nilai rata-rata 6,38. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, cagar alam ini dan daerah sekitarnya termasuk ke dalam tipe iklim B dengan rata-rata curah hujan
32
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
setahun sebesar 2.194 mm dan rata-rata hari hujan setahun sebanyak 125 hari (Anonim, 2006a). Rata-rata suhu maksimum adalah sebesar 21,7°C dan rata-rata suhu minimum 14,7°C. Komposisi jenis tumbuhan yang hidup di cagar alam ini didominasi oleh pohon meranti. Jenis fauna yang ada dalam kawasan ini antara lain kambing hutan (Capricornis sumatrensis) meskipun populasinya sangat sedikit, namun daerah ini merupakan home range. Jenis satwa yang paling banyak terdapat di kawasan ini adalah monyet (bodat) dan kera yang sering turun ke ladang penduduk memakan buah tanaman. Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan CAMP. Berdasarkan data demografi, jumlah penduduk pada kedua desa/Nagori/kelurahan lokasi penelitian adalah 7.465 jiwa. Jumlah penduduk asli paling dominan di lokasi penelitian ini yaitu mencapai 67,5% di Kelurahan Tiga Runggu dan 75% di Desa Purba Tongah. Penduduk asli tersebut adalah suku Batak Simalungun, sedangkan suku pendatang di lokasi penelitian ini adalah Batak Toba, Batak Karo, Jawa, Nias dan Batak Pak-pak. Persepsi Masyarakat terhadap Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba Berdasarkan hasil penelitian, persepsi masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian CAMP adalah tinggi dengan skor rata-rata sebesar 7,50 di mana persepsi masyarakat di Kelurahan Tiga Runggu memiliki skor yang lebih tinggi daripada persepsi masyarakat di Desa Purba Tongah. Hal ini menunjukkan masyarakat sekitar kawasan memahami dengan baik bahwa dirinya bergantung hidup dari sumberdaya hayati hutan yang terdapat di CAMP dan menginginkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara lestari, meskipun saat ini mereka masih kurang memiliki pengetahuan tentang istilah cagar alam. Persepsi terhadap perlindungan hutan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada persepsi terhadap pernyataan lain (persepsi terhadap pengawetan plasma nutfah, persepsi terhadap kegiatan pencegahan dan penanggulangan dari ancaman dan gangguan kerusakan hutan dan persepsi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari) yaitu sebesar 8,10. Masyarakat sekitar kawasan menganggap CAMP sebagai hutan yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya karena memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar kawasan yang nilainya tidak dapat digantikan dengan apapun. Contohnya, masyarakat sekitar kawasan menganggap cagar alam ini sebagai paru-paru dunia. Kondisi ini menandakan bahwa masyarakat sekitar kawasan sudah memiliki pemahaman yang baik tentang manfaat dan fungsi hutan bagi kehidupan mereka. Persepsi kelompok pemimpin terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi daripada persepsi kelompok lainnya, yaitu sebesar 7,70. Hal ini menunjukkan kelompok pemimpin memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian hutan yang lebih baik daripada kelompok lainnya. Persepsi kelompok rumah tangga terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata yang lebih rendah daripada persepsi kelompok lainnya, yaitu sebesar 7,30. Hal ini menunjukkan kelompok rumah tangga memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian hutan yang kurang baik dibandingkan dengan kelompok lain.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
33
Persepsi kelompok wanita terhadap pelestarian CAMP memiliki skor rata-rata yang sama dengan persepsi kelompok minat, yaitu sebesar 7,40. Hal ini menunjukkan kelompok wanita memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian hutan yang sama baik dengan kelompok minat. Respon Masyarakat Terhadap Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba Berdasarkan hasil penelitian, respon masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian CAMP adalah tinggi dengan skor rata-rata sebesar 6,60 di mana respon masyarakat di Kelurahan Tiga Runggu memiliki nilai yang sama dengan respon masyarakat di Desa Purba Tongah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setuju jika dilakukan upaya-upaya konservasi yang lebih baik dari sebelumnya supaya cagar alam ini tetap terjaga kelestariannya, karena masyarakat melihat bahwa upayaupaya konservasi yang sudah diterapkan selama ini kurang efektif dan efisien. Meskipun respon dan persepsi masyarakat terhadap pelestarian CAMP tinggi, skor rata-ratanya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan skor rata-rata dari persepsi masyarakat terhadap pelestarian CAMP. Hal ini disebabkan karena sebagian dari masyarakat sekitar kawasan menganggap bahwa kawasan cagar alam ini sudah dijaga oleh petugas dari BKSDA, sehingga mereka kurang peduli untuk menjaganya dan mereka lebih mementingkan untuk mengurus ladang mereka. Meskipun demikian, masyarakat setuju jika mereka dilibatkan dalam pelestarian CAMP. Respon kelompok pemimpin terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dari kelompok lainnya, yaitu sebesar 6,90. Kondisi ini disebabkan karena kelompok pemimpin sebagai panutan masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang pelestarian cagar alam ini daripada kelompok lain. Respon kelompok minat terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata yang lebih rendah daripada respon kelompok lain, yaitu sebesar 6,40. Kondisi ini disebabkan karena kelompok minat memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih rendah tentang pelestarian CAMP daripada kelompok lain. Respon kelompok rumah tangga terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata lebih tinggi daripada respon kelompok minat, yaitu sebesar 6,55. Kondisi ini disebabkan karena kelompok rumah tangga memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih baik tentang pelestarian cagar alam ini daripada kelompok minat. Respon kelompok wanita terhadap pelestarian cagar alam ini memiliki skor rata-rata yang sama dengan respon kelompok pemuda. Kondisi ini disebabkan karena kelompok rumah tangga memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama tentang pelestarian CAMP dengan kelompok pemuda. Partisipasi Masyarakat terhadap Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba Guna melihat lebih mendalam partisipasi masyarakat lokal di Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu dalam pelestarian CAMP, maka berikut ini diuraikan partisipasi tiap unsur masyarakat lokal, yaitu sebagai berikut: a. Pemimpin. Kepala desa dan lurah selaku pemimpin di desa/kelurahan bertanggung jawab atas tugas dan kewenangannya, maka kepala desa dan lurah
34
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
yang dibantu oleh sekretaris desa dan kaur desa harus mensukseskan setiap program pembangunan yang ada di wilayahnya. Sementara tokoh adat/masyarakat sebagai panutan masyarakat yang memiliki kharismatik kepada masyarakat perlu dilibatkan dalam berbagai program pembangunan, guna memperoleh dukungan dari masyarakat dalam mensukseskan setiap program pembangunan. Fungsi dan intensitas partisipasi unsur masyarakat ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Persentase Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Keseluruhan Pemimpin Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu
Pada Gambar 1, unsur masyarakat lokal pemimpin yang berpartisipasi pada pelestarian CAMP secara keseluruhan adalah 11 (39%) responden yang terlibat pada fungsi pemeliharaan dan 4 (14%) responden yang terlibat pada fungsi pelaksanaan, di mana 7 (25%) responden yang terlibat pada intensitas partisipasi informasi dan 8 (29%) responden yang terlibat pada intensitas partisipasi pengendalian total. Jumlah dan persentase responden yang tidak terlibat pada fungsi dan intensitas partisipasi adalah sebanyak 13 orang (47%). Jika dituangkan dalam tabel Participation Enpowerment Index, maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi unsur masyarakat lokal pemimpin memiliki angka indeks 1, dalam fungsi partisipasi angka indeks tertinggi pada pelaksanaan dengan angka indeks 3 dan intensitas partisipasi angka indeks tertinggi pada pengendalian total dengan angka indeks 5. Selanjutnya dapat dihitung nilai tingkat partisipasi pemimpin tersebut, yakni 1x3x5 = 15. Dengan demikian partisipasi pemimpin dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori sangat tidak aktif atau berada pada rentang nilai 125 (Tabel 1). Tabel 1. Fungsi dan Intensitas Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Pemimpin dalam Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba I Fungsi partisipasi F 5 Manajemen 4 Perencanaan 3 Pelaksanaan 4 2 Pemeliharaan 11 1 Distribusi Keterangan: I = indeks. F = frekuensi.
% 0 0 14 39 0
I 5 4 3 2 1
Intensitas partisipasi Pengendalian total Prakarsa tindakan Pengambilan keputusan Konsultasi Informasi
F 8 7
% 29 0 0 0 25
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
35
b. Kelompok minat. Kelompok minat terbentuk dari masyarakat itu sendiri, sehingga keberadaannya harus dapat dijadikan penggerak bagi keberhasilan suatu program. Bila dilihat secara keseluruhan, unsur masyarakat lokal kelompok minat yang tidak berpartisipasi pada pelestarian CAMP adalah 1 (13%) responden, sedangkan responden yang terlibat hanya pada fungsi partisipasi pemeliharaan dan intensitas partisipasi informasi yaitu masing-masing sebanyak 7 orang (87%) (Gambar 2).
Gambar 2. Persentase Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Keseluruhan Kelompok Minat Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu
Jika dituangkan dalam tabel Participation Enpowerment Index, maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi unsur masyarakat lokal kelompok minat memiliki angka indeks 2, dalam fungsi partisipasi angka indeks tertinggi pada pemeliharaan dengan angka indeks 2 dan intensitas partisipasi angka indeks tertinggi pada informasi dengan angka indeks 1. Selanjutnya dapat dihitung nilai tingkat partisipasi kelompok minat tersebut, yakni 2x2x1 = 4. Dengan demikian partisipasi kelompok minat dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori sangat tidak aktif atau berada pada rentang nilai 125 (Tabel 2). Tabel 2. Fungsi dan Intensitas Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Kelompok Minat dalam Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba I Fungsi partisipasi F 5 Manajemen 4 Perencanaan 3 Pelaksanaan 2 Pemeliharaan 7 1 Distribusi Keterangan: I = indeks. F = frekuensi.
% 0 0 0 78 0
I 5 4 3 2 1
Intensitas partisipasi Pengendalian total Prakarsa tindakan Pengambilan keputusan Konsultasi Informasi
F 7
% 0 0 0 0 78
c. Kelompok rumah tangga. Kelompok rumah tangga (kepala keluarga) merupakan unsur masyarakat lokal yang dapat terlibat langsung dalam beberapa program pembangunan, yang mana partisipasi aktifnya merupakan prasyarat bagi keberhasilan program pembangunan. Selanjutnya partisipasi unsur masyarakat lokal kelompok rumah tangga secara keseluruhan pada pelestarian CAMP adalah sebanyak 5 (33%) responden yang terlibat pada fungsi partisipasi pemeliharaan dan
36
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
2 (17%) responden terlibat pada fungsi partisipasi pelaksanaan, yang mana 4 (45%) responden terlibat pada intensitas partisipasi informasi dan 3 (33%) responden terlibat pada intensitas partisipasi pengendalian total. Jumlah dan persentase responden yang tidak terlibat pada fungsi dan intensitas partisipasi adalah sebanyak 11 orang (61%). Penjelasan ini dapat dilihat dalam bentuk diagram pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Kelompok Rumah Tangga Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu
Jika dituangkan dalam tabel Participation Enpowerment Index, maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi unsur masyarakat lokal kelompok rumah tangga memiliki angka indeks 3, dalam fungsi partisipasi angka indeks tertinggi pada pelaksanaan dengan angka indeks 3 dan intensitas partisipasi angka indeks tertinggi pada pengendalian total dengan angka indeks 5. Selanjutnya dapat dihitung nilai tingkat partisipasi kelompok rumah tangga tersebut, yakni 3x3x5 = 45. Dengan demikian partisipasi kelompok rumah tangga dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori tidak aktif atau berada pada rentang nilai 2650 (Tabel 3). Tabel 3. Fungsi dan Intensitas Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Kepala Keluarga dalam Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba I Fungsi partisipasi F 5 Manajemen 4 Perencanaan 3 Pelaksanaan 2 2 Pemeliharaan 5 1 Distribusi Keterangan: I = indeks. F = frekuensi.
% 0 0 17 33 0
I 5 4 3 2 1
Intensitas partisipasi Pengendalian total Prakarsa tindakan Pengambilan keputusan Konsultasi Informasi
F 3 4
% 33 0 0 0 45
d. Wanita. Secara keseluruhan partisipasi unsur masyarakat lokal wanita dalam pelestarian CAMP adalah sebanyak 4 (29%) responden yang terlibat pada fungsi partisipasi pemeliharaan dan 2 (14%) responden yang terlibat pada fungsi partisipasi pelaksanaan, yang mana pada intensitas partisipasi hanya 6 (43%) responden yang terlibat pada informasi. Jumlah dan persentase responden yang tidak terlibat pada fungsi dan intensitas partisipasi ada sebanyak 8 orang (57%). Penjelasan ini dapat dilihat dalam bentuk diagram pada Gambar 4.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
37
Gambar 4. Persentase Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Wanita Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu
Jika dituangkan dalam tabel Participation Enpowerment Index, maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi unsur masyarakat lokal wanita memiliki angka indeks 4, dalam fungsi partisipasi angka indeks tertinggi pada pelaksanaan dengan angka indeks 3 dan intensitas partisipasi angka indeks tertinggi pada informasi dengan angka indeks 1. Selanjutnya dapat dihitung nilai tingkat partisipasi wanita tersebut, yakni 4x3x1 = 12. Dengan demikian partisipasi wanita dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori sangat tidak aktif atau berada pada rentang nilai 125 (Tabel 4). Tabel 4. Fungsi dan Intensitas Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Wanita dalam Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba I Fungsi partisipasi F 5 Manajemen 4 Perencanaan 3 Pelaksanaan 2 2 Pemeliharaan 4 1 Distribusi Keterangan: I = indeks. F = frekuensi.
% 0 0 14 29 0
I 5 4 3 2 1
Intensitas partisipasi Pengendalian total Prakarsa tindakan Pengambilan keputusan Konsultasi Informasi
F 6
% 0 0 0 0 43
e. Pemuda. Secara keseluruhan partisipasi unsur masyarakat lokal pemuda dalam pelestarian CAMP adalah sebanyak 4 (33%) responden yang terlibat pada fungsi partisipasi pemeliharaan dan 2 (17%) responden yang terlibat pada fungsi partisipasi pelaksanaan, yang mana pada intensitas partisipasi hanya 6 (50%) responden yang terlibat pada informasi. Jumlah dan persentase responden yang tidak terlibat pada fungsi dan intensitas partisipasi ada sebanyak 6 orang (50%). Penjelasan ini dapat dilihat dalam bentuk diagram pada Gambar 5. Jika dituangkan dalam tabel Participation Enpowerment Index, maka diperoleh bahwa bentuk partisipasi unsur masyarakat lokal pemuda memiliki angka indeks 5, dalam fungsi partisipasi angka indeks tertinggi pada pelaksanaan dengan angka indeks 3 dan intensitas partisipasi angka indeks tertinggi pada pengendalian total dengan angka indeks 5. Selanjutnya dapat dihitung nilai tingkat partisipasi pemuda tersebut, yakni 5x3x1 = 15. Dengan demikian partisipasi pemuda dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori sangat tidak aktif atau berada pada rentang nilai 125 (Tabel 5).
38
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
Gambar 5. Persentase Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Pemuda Desa Purba Tongah dan Kelurahan Tiga Runggu Tabel 5. Fungsi dan Intensitas Partisipasi Unsur Masyarakat Lokal Pemuda dalam Pelestarian Cagar Alam Martelu Purba I Fungsi partisipasi F 5 Manajemen 4 Perencanaan 3 Pelaksanaan 2 2 Pemeliharaan 4 1 Distribusi Keterangan: I = indeks. F = frekuensi.
% 0 0 17 33 0
I 5 4 3 2 1
Intensitas partisipasi Pengendalian total Prakarsa tindakan Pengambilan keputusan Konsultasi Informasi
F 6
% 0 0 0 0 50
Analisis SWOT Sebagai Rumusan Pengelolaan Kolaboratif Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi bagi perencanaan tujuan yang optimal. Langkah awal yang perlu dilakukan untuk melaksanakan metode ini adalah mengenali keadaan terkini dan menetapkan kondisi yang diinginkan adalah merupakan cermin dari kondisi saat ini yang optimal. Berdasarkan posisi dan letak, fungsi, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat yang beragam, maka diduga CAMP riskan dengan berbagai gangguan, baik dari dalam (desa enclave) maupun dari luar (pendatang, perambah dan lainlainnya). Untuk menyikapi bagaimana mencari jalan keluar untuk dapat mempertahankan eksistensi CAMP, perlu diadakan analisis untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi tentang eksistensi CAMP berdasarkan fakta kekuatan (strength) yang dimiliki, peluang (opportunity), kelemahan (weakness) internal dan ancaman (threats) melekat dan dimiliki CAMP sebagai kawasan pelestarian alam. Berikut disajikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan dan pengelolaan CAMP mengikuti analisis SWOT yang disusun dalam matriks analisis SWOT sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Pada tabel tersebut dijelaskan, bahwa ada 9 strategi yang diusulkan sebagai rumusan pengelolaan kolaboratif, yaitu meliputi:
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
39
a. Tiga strategi yang berkaitan dengan aspek kelola kawasan, yaitu pemantapan kawasan CAMP, dokumentasi dan publikasi CAMP dan pengembangan zonasi. b. Dua strategi yang berkaitan dengan aspek kelembagaan dan ketersediaan dana, yaitu mengembangkan forum kerjasama dan usulan anggaran dana kepada Pemda. c. Satu strategi yang berkaitan dengan aspek kelola usaha bagi masyarakat. d. Dua strategi yang berkaitan dengan aspek lingkungan sosial, yaitu intensifikasi sosialisasi dan intensitas pengawasan tinggi. e. Satu strategi yang berkaitan dengan aspek pembangunan infrastruktur. Tabel 6. Analisis SWOT sebagai Rumusan Pengelolaan Kolaboratif
Faktor internal
Faktor eksternal
Opportunity (peluang): 1. Dasar hukum kuat yang didukung oleh SK Menhut 2. Adanya dukungan dari Pemda untuk melestarikan CAMP 3. Perangkat kelembagaan yang siap untuk diberdayakan Threats (ancaman): 1. Ada kebebasan bagi masyarakat untuk keluar masuk kawasan 2. Ketergantungan terhadap sumberdaya hutan 3. Kawasan CAMP terlalu terbuka 4. Imigrasi penduduk
Strenght (kekuatan): 1. Badan pengelola CAMP sudah ada 2. Supplier dalam carbon trade 3. CAMP merupakan sumber air 4. CAMP sebagai sumber benih meranti di Indonesia 5. Potensi alam untuk kegiatan penelitian dan praktek lapangan 6. Adanya potensi alam untuk pengembangan usaha dan objek wisata 7. Persepsi dan respon masyarakat sekitar kawasan yang tinggi
Strategi (S-O): 1. Pemantapan kawasan CAMP 2. Dokumentasi dan publikasi CAMP 3. Pengembangan zonasi
Strategi (S-T): 1. Kelola usaha bagi masyarakat
Weakness (kelemahan): 1. Kondisi infrastruktur dan tenaga pengelola belum memadai 2. Terbatasnya dana pengelolaan dari pemerintah 3. Kurangnya kegiatan penyuluhan 4. Partisipasi masyarakat sekitar dalam pelestarian hutan masih rendah 5. Terdapat sifat yang mementingkan kelompok di antara beberapa pihak 6. Intensitas pengawasan rendah Strategi (W-O): 1. Mengembangkan forum kerja sama 2. Usulan anggaran dana kepada Pemda
Strategi (W-T): 1. Intensifikasi sosialisasi 2. Intensitas pengawasan tinggi 3. Pembangunan infrastruktur
Cagar Alam Martelu Purba merupakan salah satu contoh kawasan hutan suaka alam. Berdasarkan Anonim (2004), bahwa kolaborasi pengelolaan CAMP adalah proses kerja sama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan tanpa harus mengubah status CAMP sebagai kawasan
40
Simanjuntak dkk. (2011). Persepsi, Respon dan Partisipasi Masyarakat
konservasi dan kewenangan penyelenggaraan pengelolaan CAMP tetap berada pada Menteri Kehutanan serta pelaksanaan kegiatan kolaborasi yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kolaborasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang konservasi. Para pihak yang dimaksud adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian atau kepentingan dengan upaya konservasi CAMP, antara lain lembaga pemerintah pusat termasuk Kepala UPT KSDA, lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), masyarakat setempat, LSM (lembaga swadaya masyarakat), BUMN (bank umum milik negara), BUMD (bank umum milik daerah), swasta nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, perguruan tinggi/lembaga pendidikan/lembaga ilmiah. Peran serta para pihak yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan CAMP. Dalam proses terwujudnya kolaborasi pengelolaan CAMP masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dapat bertindak sebagai inisiator, fasilitator dan pendampingan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Persepsi dan respon masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian CAMP adalah tinggi, di mana skor rata-rata pada persepsi masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian adalah sebesar 7,50 dan skor rata-rata pada respon masyarakat sekitar kawasan terhadap pelestarian CAMP adalah 6,60. Partisipasi masyarakat sekitar kawasan dalam pelestarian CAMP masuk ke dalam kategori sangat tidak aktif atau berada pada rentang nilai 125. Fungsi partisipasi sebagian hanya pada pemeliharaan dan pelaksanaan. Selanjutnya intensitas partisipasi sebagian hanya pada informasi dan pengendalian total. Pengelolaan CAMP secara keseluruhan ditangani oleh BKSDA. Berdasarkan analisis SWOT, rumusan pengelolaan kolaboratif yang diusulkan adalah sebanyak 9 strategi, yang mana kesembilan strategi tersebut berkaitan dengan aspek kelola kawasan, aspek kelembagaan dan ketersediaan dana, aspek kelola usaha bagi masyarakat, aspek lingkungan sosial dan aspek pembangunan infrastruktur. Saran Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diajukan beberapa hal penting yang merupakan saran-saran, yaitu: perlu dibentuk forum kerja sama antara berbagai pihak dalam merumuskan pengelolaan kolaboratif, sehingga program pelestarian CAMP dapat berjalan lancar. Perlu adanya peningkatan sosialisasi termasuk informasi tentang penetapan status kawasan CAMP guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pelestarian human, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar secara sukarela ikut bertanggung jawab dalam melestarikan CAMP. Perlu diadakan penyusunan program kerja yang melibatkan
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011
41
masyarakat sekitar kawasan sehingga masyarakat memiliki rasa tanggung jawab dalam melestarikan CAMP. Perlu diadakan pengembangan usaha bagi masyarakat sekitar kawasan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hasil-hasil hutan. Pihak Kementerian Kehutanan diharapkan memiliki keseriusan untuk melakukan pengelolaan tehadap CAMP. Bila tidak ada keseriusan untuk melakukan pengelolaan tehadap CAMP, sebaiknya status CAMP kembali pada status semula yaitu hutan lindung. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1998. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sekretaris Kabinet RI Kepala Biro Hukum dan PerundangUndangan, Jakarta. Anonim. 2002. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Martelu Purba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. BKSDA Sumut II. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Medan. Anonim. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Menteri Kehutanan, Jakarta. Anonim. 2006a. Kawasan Cagar Alam Martelu Purba. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. BKSDA Sumut II. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Medan. Anonim. 2006b KBUA Perpustakaan Emil Salim. 2006. Ringkasan Berita Hari Ini (20/02/2006). Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. http://www.menlh.go.id/home/ Darwo. 2001. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Meranti Batu (Shorea piatyclados V.Sl.) Umur 50 Tahun di Cagar Alam Martelu Purba, Sumatera Utara. Dalam: Ringkasan Hasil-hasil penelitian Balitbanghut Tahun 2001. Konifera No. 1 h 1926. www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/.../ringkas.htm-Tembolok- Mirip. Djajoesman. 1982. Salinan Laporan Hasil Penelitian Riap Pertumbuhan Tahunan Meranti (Shorea spp.) di Human Purba Tongah. Balai Penelitian Kehutanan Sumatera Aek Nauli Sumatera Utara. Laksono, P.M.; A. Rianty; B.A. Hendrijani; A. Mandacan dan N. Mansoara. 2001. Igya Ser Hanjop, Masyarakat Arfak dan Konsep Konservasi. Penerbit Kehati PSAP-UGM YBLBC, Jogyakarta. 260 h. Rimba, P. 2005. Cagar Alam Martelu Purba, Sekilas Tentang Hutan Tangkahan. http://www.rimbaraya.blogspot.com/.