PERKEMBANGAN TEORI MAKKI DAN MADANI DALAM PANDANGAN ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER Oleh: Abd. Halim1 Abstrak Tulisan ini fokus pada persoalan perkembangan Teori Makki dan Madani dalam pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer. Dari hasil pengamtan penulis dapat ditemukan bahwa Pertama, konsep Makki-Madani dalam pandangan Klasik didasarkan pada tiga hal, yakni waktu, tempat, dan sasaran. Ketiga variable ini sebetulnya masih debatable dan terbuka untuk diperbaharui sebagaimana yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Kedua, penentuan Makki dan Madani di samping memperhatikan sisi tempat dan waktu juga memperhatikan konteks realitas masyarakat pada waktu itu serta gaya bahasa yang digunakan. Hal ini disebabkan kondisi sosio-kulturan masyarakat Makkah dan Madinah sedikit berbeda. Asumsi seperti ini sebetulnya sudah menjadi kesadaran ulama klasik maupun kontemporer dengan adanya istilah fase inz\ar (Makkah) dan fase risalah (Madinah) di mana keduanya memiliki stressing poin yang sedikit berbeda. Ketiga, kegelisahan Abu Zaid sebetulnya sudah menjadi perdebatan ulama klasik akan tetapi nampaknya Abu Zaid lebih kritis dalam menyikapinya dengan menggunakan data dan analisis ilmiahhistoris. Keempat,memahami teori Makki-Madani merupakan keniscayaan bagi seorang mufassir untuk menghindari penafsiran yang ahistoris. Penafsiran yang ahistoris cenderung menyebabkan kesalahan dalam penafsiran. Kata Kunci: Makki, Madani, Ulama Klasik dan Kontemporer.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (STIQ) AnNur Bantul, Yogyakarta. Email :
[email protected]
1
1
2
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
A. Pendahuluan Dalam studi ulumul Qur’an, setidaknya ada enam tema pokok utama yang sering dijadikan bahasan. Keenam tema
tersebut antara lain: Asbab al-Nuzul, Munasabah, MakkiyahMadaniyyah, Nasikh-Mansukh, Qiraat, dan Israiliyyat. Keenam tema tersebut dapat berfungsi sebagai perangkat/alat analisis dalam studi al-Qur’an.2 Kesemuanya sangat penting untuk dijadikan alat bantu dalam memahami lebih dalam lagi tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Penafsiran al-Qur’an disamping melihat makna semantik kebahasaannya, juga perlu memandang lebih jauh bagaiamana konteks historis al-Qur’an itu diturunkan. Apakah ia diturunkan di Makkah, Madinah, atau apakah ia ditujukan kepada orang Makkah atau Madinah, begitu seterusnya. Teori Makki dan Madani merupakan salah satu alat analisis historis yang sangat penting untuk dikembangkan dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an. Memandang al-Qur’an secara ahistoris akan menyebabkan seseorang tergelincir ke dalam sebuah penyimpangan penafsiran (al-inkhiraf fi tafsir al-Qur’an). Makalah singkat yang ada di hadapan pembaca ini akan sedikit menguarai tentang teori Makki dan Madani dalam perspektif ulama klasik kemudian dicoba untuk dibandingkan dengan ulama kontemporer. Bagaimana ia dipahami, diperselisihkan dan keumudian digunakan sebagai perangkat analisis dalam memahami al-Quran. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Pendapat ini penulis kutip dari kuliah perdana Dr. Hamim Ilyas dalam kuliah alQur’an dan Hadis dalam Budaya: Konteks Keindonesiaan. Selasa 21 Februaru 2012 Pps UIN Sunan kalijaga angkatan 2011 kelas SQH A.
2
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
3
B. Konsep Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik Jumhur Ulama sepakat bahwa dalam memahami ayat-ayat
al-Quran, seorang penafsir haruslah menggunakan perangkatperangkat tafsir. Hal ini dilakukan agar para penafsir al-Quran tidak melakukan penyimpangan yang terlalu jauh ketika menafsirkan al-Quran. Teori Makki dan Madani sebagai salah satu kajian historis tentang ayat-ayat atau surat al-Quran termasuk bagian dari perangkat tafsir yang digagas oleh ulama mutaqaddimin dan kemudian dikembangkan oleh ulama kontemporer. Kita perhatikan pengertian Makki dan Madani dalam pandangan Ulama klasik. Pengertian makki dan madani menurut al-Zarkasyi3 ada tiga pendapat4, diantaranya;
1. Pendapat yang menyatakan bahwa makki adalah ayat atau surat yang diturunkan di Makkah, dan madani adalah ayat atau surat yang diturunkan di Madinah 2. Pendapat yang menyatakan yang dimaksud makki adalah ayat atau surat yang turun sebelum hijrah nabi Muhammad saw. Sedangakan madani adalah ayat atau surat yang turun setelah hijrah nabi Muhammad saw. Pendapat ini yang paling masyhur
3. Pendapat terakhir menyatakan bahwa makki adalah ayat atau surat yang di-khitab-kan pada penduduk Makkah, sedangkan madani di- khitab-kan pada penduduk Madinah.
Nama lengkapnya Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi (Kairo 745 M- w. 794 M), pengarang kitab Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an. 4 Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al- Burhan Fi ‘ Ulum al-Qur’an juz.I (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957), hlm. 187 3
4
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
Tiga pengertian makki dan madani diatas sama persis dengan pengertian versi al-Suyuti5 yang mengacu tiga pendapat seperti yang telah dijelaskan. Perbedaannya hanya pada urutan penempatan6, kalau al-Suyuti menempatkan pendapat paling masyhur di urutan pertama yang oleh al-Zarkasyi ditaruh di urutan ke-2. yakni yang dinamakan makki adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum Hijrah dan madani adalah ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrah. al-Suyuti menambahkan bahwa ayat yang turun di luar masa itu yaitu baik di Makkah atau di Madinah, pada masa Fath makkah, haji wada’, dan pada waktu perjalanan dakwah, merujuk pada riwayat Utsman bin Sa’id alRazi sampai padaYahya bin Salam mengatakan “ayat yang turun di Makkah dan ayat yang turun di tengah perjalanan ke Madinah namun Nabi belum sampai kota Madinah, maka termasuk ayat makki. Dan ayat yang turun di beberapa perjalanan Nabi setelah beliau sampai di kota Madinah, maka ayat itu termasuk madani” Dengan demikian, bila mengacu riwayat tersebut, turunnya ayat pada saat perjalanan hijrah Nabi dinamakan ayat makki.7 Kategori yang dipakai dari pengertian makki dan madani yang paling masyhur seperti yang telah dikemukakan berdasarkan hitungan fase. Yakni fase sebelum dan setelah hijrah. Dalam
Nama lengkapnya Jalaluddin al-Suyuti (849 H-w.911), pengarang kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. karya Az-Zarkazi dan al-Suyuti ini menjadi rujukan para ulama setelahnya dalam kajian al-Qur’an. 6 Urutan pengertian makki dan madani menurut Al-Suyuti; pertama, makki adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum Hijrah dan madani adalah ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrah. Kedua, makki adalah ayat yang turun di kota Makkah dan madani adalah ayat yang turun di kota Madinah. Ketiga, makki adalah ayat yang turun khusus kepada ahl Makkah dan madani adalah ayat yang dikhususkan bagi ahl Madinah lihat Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an…Juz I, Hlm. 9 lihat juga Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an… hlm. 61-62 7 Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an…Juz I, hlm. 9 5
6
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
Makkah,9 walaupun ada kemungkinan yang tidak termasuk kafir pun juga masuk golongan yang dikhitabkan. Sedangakan lafadz khitab untuk penduduk Madinah yang mayoritas kaum beriman adalah”ya ayyuha al-lazina amanu”.Ç10
Pendapat diatas pun masih menyisakan pertanyaan lain, bagaimana kasus yang ada di surat al-Baqarah:281 para ulama sepakat bahwa ia termasuk surat madaniyah, tapi dalam ayat 21, dan 128 mengandung karakteristik ayat makkiyah? Surat an-Nisa’ disepakati madaniyyah tapi di pembukanya memakai khitab “ya ayyuhan nas”, selanjutnya surat al-Hajj termasuk makkiyah, namun ayat 77 memakai khitab ”ya ayyuha al-lazina amanu”.. Dalam kasus ini, sebagian ulama mengecualikannya, diantara mereka al-Zarkasyi dan al-Suyuti. Kedua tokoh itu menambahkan bahwa kasus masuknya alat khitab tersebut sah-sah saja, apalagi “ya ayyuhan nas “ dan”ya ayyuha al-lazina amanu” hanyalah ciri-ciri umum cara al-Qur’an ketika berbicara kepada penduduk Makkah dan Madinah.11 Alasannya, al-Qur’an sesungguhnya di-khitab-kan kepada seluruh makhluk di semesta ini, jadi sah saja bila al-Qur-an ketika berbicara kepada orangorang yang beriman menyebut mereka dengan sifat, nama dan jenis mereka, sebagaimana sah pula jika al-Qur’an memerintahkan non-mukmin untuk menjalankan ibadah mereka seperti halnya memerintahkan mukminin untuk istiqamah dan bersungguh dalam ibadah nya.12 Manna’ Khalil Qattan pengarang Mabahis fi Ulum al-Quran tidak mendefinisikan secara khusus tentang pengertian Makki
Moh. Bakr Ismail, Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Dar al-Manar, 1991) hlm. 50 Lihat Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Hlm. 187 dan Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an… Juz I, hlm. 9 11 Ibid., Hlm. 191 dan lihat pula Ibid. Hlm. 18 12 Ibid . dan Ibid. Dan lihat Manna’ al-Qattan, Mabahis| fi ‘Ulum Al-Qur’an… Hlm. 62
9
10
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
7
dan Madani, ia menyebutkan bahwa ada sekitar 14 poin penting dalam studi Makki dan Madani: 1) ayat yang turun di Mekkah 2) yang turun di Madinah; 3) yang diperselisihkan; 4) ayat-ayat Makkiah dalam surah Madaniah; 5) ayat Madaniah dalam surah
Makkiah; 6) yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya di Madinah; 7) yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya di Mekkah; 8) yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah (makki) dalam kelompok madani; 9) yang serupa diturunkan di Madinah (madani) dengan kelompok Makki; 10) yang dibawa dari Mekkah ke Madinah; 11) yang dibawa dari Madinah ke Mekkah; 12) yang turun waktu malam dan siang; 13) yang turun musim panas dan dingin; 14) yang turun waktu menetap dan dalam perjalanan.13 Tema bahasan inilah barangkali yang menginspirasi Nasr Hamid Abu Zaid untuk melakukan rekonstruksi ulang tentang teori Makki-Madani.
C. Nasr Hamid Abu Zaid14 dan Kritiknya terhadap Pandangan Ulama Klasik
Bagi Abu Zaid, studi makki dan madani adalah bentuk dialektika teks dengan realitas khususnya ketika ia menyapa sasaran penerimanya (Nabi). Perbedaan Makki dan Madani dalam teks merupakan perbedaan antara dua fase penting
Tema bahasan yang dijelaskan oleh Manna Khalil Qattan ini sebetulnya dikutip dari al-Itqan-nya al-Suyuti yang berasal dari perkataan Abul Qasim al-Naisaburi. Lihat Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an… Juz I, hlm. 9 tema bahasan yang sebetulnya berjumlah 25 akan tetapi oleh al-Qattan diringkas menjadi 14 saja. Lihat Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‘an terj. Mudzakit As (Bogor, Pustaka Litera Antar NUsa cet. 10, 2007) hal. 73. 14 Nama lengkapnya adalah Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Ia lahir pada tanggal 10 juli 1943di desa Qahafah yang berdekatan dengan kota Tanta Mesir. Abu Zaid merupakan ulama kenamaan dan cukup controversial dengan karya-karyanya yang monomintalnya Mafhum al-Nas, 13
8
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
yang memiliki andil dalam pembentukan teks, baik dalam taraf kandungan / isi ataupun strukturnya. Oleh karena itu, teks itu sendiri merupakan interaksi realitas yang dinamis-historis.15
Abu Zaid membagi pandangannya terhadap problematika pembacaan klasik tentang makki dan madani menjadi lima bagian, dua bagian mengenai konsep makki dan madani, dan tiga bagian lainnya merupakan permasalahan tentang metode kompromi ulama dalam enentuan makki dan madani. Lima bagian itu adalah; pertama, Norma-norma pembedaan, ; kedua, gaya bahasa, ; ketiga, Metode ekletik (talfiq) di antara riwayat,; keempat, Hipotesis tentang penurunan berulang (takarrar anNuzul), ; dan kelima, Pemisahan antara teks dan hukumnya. 1. Norma-norma pembeda
Pembedaan antara makki dan madani dalam teks merupakan pembedaan antara dua fase penting dalam pembentukan teks. Baik pada tataran isi maupun struktur teks. Hal ini berarti bahwa teks adalah buah dari interaksinya dengan realitas yang dinamis-historis.16 Fase makki dan madani sesungguhnya bukan hanya persoalan tempat penurunan al-Qur’an akan tetapi pembedaan dua fase tersebut memberikan efek yang berbeda pada kandungan maupun struktur teks yang disesuaikan dengan sasaran penerima teks waktu itu. Sehingga para ulama al-Qur’an mampu mengidentifikasi ayat-ayat itu makki atau madani berdasarkan karakteristik umum dalam teks. Abu Zaid berpandangan bahwa selama ini perhatian ulama
al-Qur’an terhadap makki dan madani serta asbab an-Nuzul Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKis, 2001), hlm. 93. 16 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 93. 15
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
9
berangkat dari titik tolak fiqhiyyah yakni guna membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh, yang ‘am dan yang muqayyad dalam rangka mengeluarkan hukum-hukum fiqh dan syariat dari teks. Ayat yang dianggap nasikh maupun yang
muqayyad bisa mengganti maupun menghapus status teks yang itu berarti mengganti hukum dan syariat yang terkandung dalam teks yang mansukh atau membatasi hukum pada ayat yang dinilai ‘am. Karna titik tolaknya fiqhiyyah an sich, menurut Abu Zaid, akibatnya para ulama terjebak ke dalam sejumlah kekacauan konseptual, khususnya yang berkaitan dengan batas-batas pemisah antara yang makki dan madani, baik dari sisi kandungan isi maupun strukturnya.17 Mengulang sedikit tentang pengertian makki dan madani baik al-Zarkasyi maupun al-Suyuti sepakat akan pembagian definisi tersebut menjadi tiga karakteristik. Pertama, tempat, kedua, fase, dan ketiga, sasaran (khitab).18 Dalam pengertian-pengertian yang didasarkan pada tiga variabel ini, menurut Abu Zaid terdapat beberapa kejanggalan yang perlu dikonfirmasi ulang.19 Persoalan tempat misalnya, tidak hanya Abu Zaid, Zarkasyi Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 9495. 18 Bagi dua sarjana klasik tersebut ketiga variabel itu sama dalam tataran 17
penekanan studi makki dan madani, akan tetapi yang membedakan diantara keduanya hanya persoalan prioritas penempatan urutan.
Mengenai perlunya kajian ulang terhadap pengertian-pengertian makki dan madani, baik ulama klasik, maupun kontemporer sama-sama merasakan kerancuan di dalamnya. Hanya kebanyakan mereka membiarkan kerancuan ada hingga wacana itu seakan wajar-wajar saja. Lihat Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, AlBurhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Hlm. 187, Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Dar al-Fikr) Juz I Hlm. 9 lihat juga Manna’ al-Qattan, Mabahis| fi ‘Ulum Al-Qur’an, Hlm. 61-62, Mohammad Bakr Ismail, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Manar, 19910 Hlm. 49-50, Masjfuk Zuhdi, ‘Ulum al-Qur’an, cet.v (Surabaya: Karya Abditama, 1997) Hlm.47-48, Mukhotob Hamzah, Studi al-Qur’an Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media, 2003) Hlm. 73-74
19
10
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
maupun al-Suyuti juga mempertanyakan variabel ini, jika ayat/ surat diturunkan saat Nabi berada di kota Makkah atau Madinah, itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi bagaimana status ayat/ surat yang diturunkan di selain kedua tempat tersebut? Bagi Abu Zaid semua pembagian detail ini didasarkan pada kriteria tempat sebagai dasar klasifikasi tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap teks dari segi isi maupun bentuknya.20
Demikian halnya pada karakteristik khitab, bila al-Qur’an itu ditujukan hanya kepada penduduk Makkah atau Madinah dengan gaya bahasanya yang khas “,“ya ayyuhan nas “ bagi penduduk Makkah dan “ya ayyuha al-lazina amanu” untuk penduduk Madinah. Lalu bagaimana dengan adagium al-Qur’an diwahyukan untuk rahmatan li al-‘alamin? Abu Zaid menegaskan bahwa kriteria ini cacat karena sasaran al-Qur’an sangat bervariasi. Tidak melulu pada klasifikasi pada orang beriman ataupun tidak, tetapi ia juga bersinggungan dengan ahl al-kitab, para munafik, bahkan banyak kepada Nabi sendiri.21 Abu Zaid berpendapat, seharusnya dalam menentukan kriteria Makki dan Madani didasarkan pada realitas di satu sisi dan teks di sisi lainnya. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berbanding lurus dengan gerak realitas. Sedangkan pendasaran pada teks, disebabkan kandungan isi dan strukturnya. Statemen Abu Zaid tersebut nampaknya merupakan konsistensinya atas kesimpulannya bahwa al-Qur’an adalah produk budaya dan dalam proses pembentukan dan pematangan, teks selalu menampilkan dirinya dalam wajah yang berbeda sesuai dengan kondisi sasaran penerima. Hal ini akan kita lihat jelasnya pada kriteria-kriteria gaya bahasa makki dan madani . Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 95 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 96.
20
21
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
11
Dengan pendasaran realitas disatu sisi, dan teks di sisi yang lain Abu Zaid memilih kriteria fase dalam menentukan makki dan madani, makki adalah ayat / surat yang diturunkan sebelum hijrah, dan madani adalah ayat/surat yang diturunkan setelahnya, baik
turun di Makkah maupun di Madinah, pada tahun penaklukan Makkah atau haji wada’, atau dalam suatu perjalanan. Alasan Abu Zaid memilih kriteria tersebut diantaranya karena ia melihat adanya perbedaan yang kentara pada dua fase Makkah dan Madinah. Pada fase pertama, teks memainkan perannya sebagai pemberi peringatan (inz\ar) dalam periode ini teks merubah konsep-konsep lama pada taraf pemikiran menuju konsepkonsep baru. Konsep paganistik dan realitas yang melekat Arab jahili direspon teks dengan mengarahkannya pada realitas yang diinginkannya, yaitu ketauhidan dan perbaikan akhlak. Sedangkan fase Madinah, teks berperan sebagai risalah yang bertujuan membangun ideologi masyarakat baru. Yakni masyarakat yang melengkapi dirinya dengan perangkatperangkat hukum dan ikatan-ikatan sosial menuju tatanan masyarakat berperadaban.22 Dari perbedaan kedua fase Makkah atau Madinah, hal itu juga terlihat gerakan teks yang berubah dari peran inz|ar menuju peran risalah, yang itu berarti perubahan gaya bahasa dan materi wahyu teks. Kalau melihat kriteria yang dipilih Abu Zaid, yaitu berdasarkan fase, hemat penulis kriteria ini juga menjadi kesadaran ulama klasik. Artinya tidak ada yang berubah dari wacana makki dan madani, pada poin pembedaan antara makki dan madani dari Abu Zaid.
Lihat Manna’ al-Qattan, Mabahis| fi ‘Ulum al-Qur’an, Hlm. 52-53, bandingkan dengan Moh. Bakr Isma’il, Dirasat fi’Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Manar, 1991) Hlm. 53-54, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 96., dan Fajrul Munawir (dkk.), al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA Press, 2005) Hlm. 23-31.
22
12
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
2. Gaya Bahasa Penentuan makki dan madani oleh ulama klasik didasarkan pada hapalan para sahabat dan tabi’in. Metode dengan model seperti ini biasanya cenderung mengambil periwayatanperiwayatan dari sahabat atau tabi’in yang dianggap sahih setelah melakukan investigasi mendalam dari segi perawinya maupun kandungan isi riwayat. Menurut Abu Zaid dalam menentukan makki dan madani yang direpresentasikan oleh beragam riwayat, maka ijtihad ulama klasik biasanya mentarjih riwayat berdasarkan kritik sanadnya tanpa berani, kecuali sedikit, melakukan upaya-upaya mengkaji karakteristik gaya bahasa yang khas, selain aspek kriteria waktu dan tematik. Kemudian Abu Zaid mengutip Ibnu Khaldun dalam mudaddimahnya,23 mengenai karakteristik yang khas pada ayat/surat makki dan madani, satu dari karakteristik tersebut disebutkan Ibnu Khaldun ketika berbicara tentang wahyu. Ia menyebutkan ayat-ayat madani lebih panjang apabila dibandingkan dengan ayat-ayat makki.
“Oleh karena itu, al-Qur’an beserta surat-surat dan ayat-ayatnya yang turun secara bertahap di Makkah lebih pendek daripada yang diturunkan ketika di Madinah. Perhatikanlah riwayat mengenai turunnya Surat al-Bara’ah (taubat) ketika Perang Tabuk. Surat ini diturunkan seluruhnya atau kebanyakannya kepada Muhammad ketika beliau berada diatas unta. Padahal, sewaktu di Makkah, yang diturunkan kepadanya hanya sebagian surat dari surat-surat pendek pada suatu waktu dan sebagian lainnya di waktu lain. Demikian pula ayat terakhir yang diturunkan di Madinah adalah ayat tentang utang-piutang, sebuah ayat yang panjang apabila dibandingkan dengan ayat-ayat yang turun di Makkah, seperti ayat-ayat dalam surat ar-Rahman, az|-Z|ariyat, alMuddas|ir, ad-Duha, al-Falaq, dan semacamnya. Jadikanlah perbedaan
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 99.
23
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
13
ini sebagai karakteristik yang membedakan antara surat atau ayat yang makki dan madani “.24
Lanjut Abu Zaid, sebenarnya kriteria ini, kriteria panjang dan pendek, dapat dibangun diatas dua landasan, dan dapat ditafsirkan pula dengan kedua landasan tersebut. Landasan pertama, pergeseran dakwah dari fase “inz|ar“ ke fase “risalah”. Pada fase “ inzar “ mengandalkan sebuah upaya persuasif (ta’s|ir) yang berarti penggunaan bahasanya disesuikan dengan situasi yang diinginkan. Bahasa yang padat, singkat dan memikat, gaya bahasa ini, umumnya terdapat di surat-surat pendek, dan semuanya adalah surat-surat makkiyah. Sementara “risalah” dari sisi lain, berbicara kepada penerima sambil membawa muatan yang lebih luas daripada sekedar persuasif. Dalam risalah, aspek transformasi “informasi-informasi” lebih dominan daripada aspek persuasi, meskipun aspek ini sama sekali tidak dibuang.25 Karena penekanannya lebih kepada transformasi informasi, maka dalam ayat-ayat dan surat madani cenderung panjang sebab memerlukan penjelasan yang sempurna dan detil. Sedangkan Landasan kedua atas kriteria ini adalah memberikan perhatian terhadap kondisi penerima pertama (Nabi) dari segi kebiasaannya dalam menghadapi situasi pewahyuan. Karakteristik kedua yang berkaitan dengan gaya bahasa yang dapat membedakan antara yang makki dan madani adalah karakteristik yang berkaitan dengan penggunaan Fasilah. Meskipun karakteristik ini dapat dianggap sebagai bagian dari sifat bahasa persuasif—bahasa peringatan—namun karakteristik ini
Lihat selengkapnya Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut,Libanon: Dar al-Ihya’ atTurats|) Hlm. 99. 25 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 99100. 24
14
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
dapat ditafsirkan pula dalam perspektif kemiripan mekanismemekanisme teks dengan mekanisme teks-teks lain dalam sejarah kebudayaan.26 Ketika menjelaskan karakteristik Fasilah, Abu Zaid membandingkan teks dengan teks-teks lain yang ada dalam jantung sejarah Arab abad VII. Metode ini menurut penulis, yang ia sebut sebagai metode intertekstual merupakan salah satu cara Abu Zaid dalam meyakinkan teorinya “teks produk budaya”. Artinya, kehadiran teks dari aspek gaya bahasa dengan penggunaan Fasilah didalamnya, tidak terlepas dari kerangka budaya disekelilingnya yang tercermin dalam gubahan-gubahan puisi dan persajakan bangsa Arab. 3. Metode Ekletik (talfiq) di antara riwayat
Pada keterangan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana upaya ulama klasik ketika menentukan suatu ayat itu makki atau madani , para ulama biasanya memakai cara tarjih --yakni mengambil riwayat yang dianggap paling sahih setelah diadakan kritik eksternal yang berkaitan validitas sanad dan kejujuran perawinya. Apabila suatu waktu mereka menemukan riwayatriwayat tentang suatu ayat/surat yang diperdebatkan makki dan madani nya dan ragam riwayat tersebut memiliki kekuatan yang sama dari sisi validitas sanad dan kejujuran perawi, dan ini merupakan kritik eksternal, maka komentar Abu Zaid mereka mengasumsikan salah satu dari dua hal. Pertama, bahwa teks turun berulang-ulang, sekali di Makkah ; kali lain di Madinah. Kedua, bahwa teks turun di Makkah, tetapi hukum syar’i dan fiqhiyyah-nya berlaku dikemudian hari sampai tiba fase madaniyyah. Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 100.
26
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
15
Asumsi teks turun berulang-ulang, karena diantara riwayatriwayat yang sama jelas kesahihannya, ternyata kontradiksi aspek materinya. Satu riwayat menyebutkan ayat yang dimaksud turun di Makkah, lain riwayat menyebutnya turun di Madinah.
Dalam kasus demikian biasanya ulama mengkompromikan riwayat yang sama-sama valid tersebut dengan menyimpulkan suatu ayat mungkin turun berulang-ulang karena ada hikmah di dalam pengulangan ayat, yaitu mengingatkan dan meneguhkan kandungan isi ayat terhadap sasaran penerimanya. Sementara asumsi kedua, teks turun di Makkah akan tetapi hukum syar’i dan fiqhiyyah-nya berlaku dikemudian hari. Abu Zaid berargumen, bahwa teks itu memungkinkan turun tidak hanya sekali namun bisa sampai dua kali atau lebih. Misalnya ayat mengenai tayammum surat 5 al-Ma’idah:6 yang dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut madaniyah didasarkan pada sebab-sebab turunnya. Ini tentunya bertentangan dengan kenyataan bahwa shalat difardhukan di Makkah. Maka hasil kompromi riwayat yang sama sahih tersebut adalah teks turun di Makkah hukum syar’i dan fiqhiyyah-nya berlaku di Madinah.
Abu Zaid memandang persoalan diatas sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan sarjana kita dalam menghadapi berbagai pendapat dan ijtihad ulama kuno secara kritis dan ilmiah. Ketidakmampuan ini muncul dari adanya keyakinan terhadap kesucian pribadi yang selanjutnya berimbas pada keyakinan pembenaran pemikiran dan ijtihad mereka ulama sebelumnya.27
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 103104.
27
16
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
Berikut ini contoh upaya ulama dalam memandang riwayatriwayat yang sama-sama validnya maka yang paling diutamakan adalah riwayat yang perawinya menyaksikan langsung peristiwanya. Contoh yang diperbincangkan disini adalah Q.S alIsra’[17]: 85
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, roh termasuk masalah Tuhanku. Dan ilmu yang diberikan kepada kalian hanyalah sedikit sekali,”
Meskipun ayat tersebut disepakati sebagai ayat makkiyah, namun alBukhori menjadikan ayat tersebut sebagai ayat madaniyyah dengan merujukpada riwayat Ibnu Mas’ud. Riwayat ini bertentangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang menjadikan ayat tersebut makkiyah, berdasarkan periwayatan dari at-Turmudzi. Kedua riwayat tersebut adalah:
“Ia berkata: saya berjalan bersama Nabi Saw di Madinah. Beliau berjalan dengan menggunakan pelepah kurma. Kemudian beliau melewati sekelompok orang Yahudi. Di anatara mereka ada yang mengatakan: Bagaimana kalau kita bertanya kepadanya? Mereka berkata: ceritakanlah kepada kami tentang roh.beliau berdiri sejenak dan menengadahkan kepalanya. Saya tahu bahwa beliau sedanga diberi wahyu, sampai wahyu selesai, kemudian beliau berkata: katakanlah, roh termasuk masalah Tuhanku, dan ilmu yang diberikan kepada kalian hanyalah sedikit.” “At-Turmuzi meriwayatkan, dan riwayat ini menurutnya shahih,dari Ibnu Abbas, ia berkata: orang-orang Quraisyi berkata kepada orangorang Yahudi: Berilah sesuatu untuk kami tanyakan kepada laki-laki ini (Muhammad). Mereka berkata: Tanyakanlah kepadanya mengenai roh. Kemudia mereka bertanya kepada Nabi, selanjutnya Allah menurunkan: dan,mereka akan bertanya kepadamu tentang roh…dan seterusnya. Ini berarti bahwa ayat tersebut diturunkan di Makkah, sementara riwayat pertama kebalikannya(diturunkan di Madinah).” 28
Apabila al-Suyuti memilih riwayat Ibnu Mas’ud atas dasar kesaksiannya di lapangan secara langsung atas peristiwa Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an….Juz I, hlm. 33-34
28
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
17
tersebut –sebenarnya cukup mengungkap dialektika teks dengan realitas tanpa mengkompromikan (ekletik) riwayat-riwayat yang ada—namun al-Zarkasyi meletakkan ayat-ayat ini sebagai “ayatayat yang diturunkan dua kali”.29 Pendapat yang mengatakan
bahwa ayat tersebut diturunkan dua kali, sekali di Makkah, kali lain di Madinah bagi Abu Zaid merupakan asumsi belaka untuk mempertemukan riwayat-riwayat tersebut. Umpama riwayat-riwayat itu diuji secara kritis berdasarkan data sejarah yang memadai dan menempatkannya dalam wacana makki dan madani, maka kita akan menemukan kesimpulan yang tidak saja benar secara historis pun teruji secara ilmiah. Pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan dua kali, bagi sarjana al-Qur’an kuno, yang menafsirkan hal itu atas dasar ta’zim dan taz|kir, tampak bagus. Akan tetapi, dari sudut pandang kajian ilmiah, pendapat tersebut justru tidak menguntungkan bagi persoalan makki dan madani dan asbab an-nuzul.30 Abu Zaid berargumen, bahwa konteks makro ayat mengenai roh itu makkiyah. Karena sah-sah saja masyarakat paganistik Makkah menanyakan suatu hal yang tidak mereka mengerti kepada masyarakat berkitab, masyarakat Yahudi yang tinggal di Yatsrib, atau Nasrani Najran—yang mereka hidup berdampingan dengan masyarakat Paganistik. Kalau pun selama ini riwayat itu dikatakan madaniyah hanya karena masyarakat Makkah belum sampai secara intelektual bertanya tentang “roh” maka pendapat itu tidak benar. Sebab dalam sejarah kita pernah mendengar Lihat Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, juz I, hlm 29-30 30 Hipotesis penurunan berulang menurut Abu Zaid akan mengakibatkan hipotesis lain, misalnya, teks al-Quran dapat dilupakan oleh Nabi oleh karenanya Nabi dalam kasus yang sama membutuhkan Jibril untuk menurunkannya kembali. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 105. 29
18
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
bagaimana Khadijah isteri Nabi bersama Nabi sendiri menemui Waraqah bin Naufal untuk menanyakan situasi pertama pewahyuan kepadanya (sedangkan Waraqah adalah ahl al-kitab). Abu Zaid juga menegaskan andaikata jawaban tentang roh itu terdapat di surat lain maka hal ini tidak mengurangi validitas riwayat tersebut.
4. Hipotesis tentang Penurunan berulang (takarrar alNuzul) Masih terkait asumsi ayat turun berulang-ulang, Abu Zaid menganggap hipotesis itu sesungguhnya telah melampaui asbab an-nuzul dan batas-batas pembedaan antara makki dan madani, dan memasuki kontroversi dalam tafsir. Sebab tidak adanya kepastian dalam penentuan status ayat. Bahkan, ketika metode kompromi yang menghasilkan hipotesis ayat turun berulangulang, itu juga mengandung makna yang tidak sama antara turunnya ayat yang pertama dengan yang terakhir. Kemudian Abu Zaid menambahkan bahwa tidak adanya makna yang pasti terkait dengan ayat yang dimaksud. Dalam arti kemajemukan makna tergantung pada turunnya yang berulangulang, bukan karena hasil dari dialektika hubungan pembaca dengan teks, atau interaksi teks dengan realitas dan kebudayaan. Maka menurutnya, ijtihad ulama dalam sinkretisme riwayat yang saling kontradiktif dan kemajemukan makna (isytirak) itu bermula dari “kemungkinan makna” yang terkandung dalam kata-kata, dan terkadang muncul dari turunnya yang berulangulang. Kenyataan itu dikuatkan dengan adanya indikasi ulama alQur’an yang mengaitkan makna yang isytirak dan “kemungkinan makna” itu disandarkan kepada validitas makna yang diajukan
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
19
oleh ulama salaf. Ini terjadi untuk menghindari kritik yang sebenarnya terhadap pemikiran lama.31
Contoh dalam kasus terdapat perbedaan pendapat seputar riwayat-riwayat yang berkenaan dengan surat al-Fatihah dan Surat al-Ikhlash: apakah keduanya makkiyah atau madaniyyah. Padahal yang masyhur diketahui bahwa shalat difardhukan pada akhir fase Makkah, pada malam mi’raj, apakah shalat difardhukan sebelum atau sesudah mi’raj, yang pasti Surat al-Fatihah tentunya telahditurunkan sebelumnya, karena itu makkiyah. Dan sebenarnya bila ditelisik lebih jauh dari aspek gaya bahasanya, baik pada Surat al-Fatihah maupun Surat al-Ikhlas khususnya, bisa dilihat dengan jelas segi strukturnya, pendeknya surat, pendeknya ayat-ayat dan fashilah-nya yang diulang-ulang itu menunjukkan karakteristik makkiyah. 5. Pemisahan antara teks dan hukumnya
Pemisahan antara teks dan hukum (dalalah syara’)nya sebenarnya aspek lain akibat metode sinkretisme(bersikap kompromi) ulama al-Qur’an terhadap periwayatan-periwayatan yang telah diyakini validitas sanad dan kejujuran perawi. Dampak dari aspek ini adalah memisahkan teks dari maknanya dan menjadikan maknanya menggantung dan berada di luar teks. Artinya, satu sisi teks pertama turun tanpa makna atau di sisi lain bila teks belum diturunkan namun tindakan hukum telah dilaksanakan berarti tindakan itu dilakukan tanpa didasari teks. Kedua-duanya tidak bisa diterima. Sebab sebuah wahyu tidak akan diturunkan kecuali ada tujuan yang melatarinya dan tujuan Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 111.
31
20
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
yang dikandung wahyu menuntut penerimanya memahami wahyu yang kemudian dapat dimanifestasikan di realitas nyata.
Pada kasus pemisahan teks dan hukum, Abu Zaid memberikan pandangannya, yaitu andaikata ulama al-Qur’an mengakui bahwa “sunnah” adalah teks maka tentunya asumsi mereka tentang hal ini tidak terjadi. Sebab dalam horison wacana ahli fikih dan ushul dalam menetapkan hukum mereka mengacu dalalah-dalalah syara’ pada empat sumber, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas meskipun yang terakhir mereka perselisihkan validitasnya. Akan tetapi ulama al-Qur’an meyakini satu-satunya teks agama hanya ”-Qur’an”saja. As-Sunnah cukup dipandang sebagai “catatan-catatan interpretatif”(terhadap alQur’an).32 Contoh dalam kasus diatas diantaranya, perbedaan riwayat mengenai surat al-Jumu’ah [62]:9 ada yang menyebutkan ayat tersebut madaniyyah dan pernyataan bahwa shalat itu difardhukan di Makkah.
“Hai, orang-orang yang beriman, apabila diseru pada hari Jum’at untuk shalat maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagi kamu sekalian apabila kamu sekalian mengetahui.”33
Abu Zaid menegaskan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kefardhuan shalat Jum’at, tetapi menegaskan kewajiban meninggalkan jual beli. Struktur teks itu sendiri menunjukkan demikian. Atas dasar ini, ia mengatakan bahwa tidak ada gunanya berusaha mengkompromikan antara pernyataan bahwa shalat itu difardhukan di Makkah.34
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 115. Surat al-Jumu’ah [62]:9. 34 Lihat selengkapnya Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 117. 32 33
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
21
Kemudian Abu Zaid menginventarisir sebab-sebab kekeliruan ulama al-Qur’an yang melahirkan pemisahan antara teks dan hukumnya sehingga mengacaukan konsep teks. Diantara kekeliruan itu adalah;
1. Tidak mampu membedakan anatara makna bahasa dengan makna syara’ dalam teks, meskipun secara teoritis para ulama menyadari bahwa banyak istilah bahasa dalam teks, khususnya dalam bidang syari’at dan ibadah, yang mengalami proses semantik. contohnnya di antaranya adalah anggapan mereka bahwa firman Allah “ beruntunglah mereka yang menyucikan diri, dan menyebut nama Tuhannya, kemudian melakukan shalat”35 adalah menerangkan zakat, meskipun ayat tersebut makkiyah: “Di Makkah tidak ada hari raya, tidak ada zakat, dan tidak ada puasa. Al-Baghawi mengatakan:’Bahwa bisa jadi turunnya ayat mendahului (praktik) hukumnya.”36
Pandangan Abu Zaid tentang kandungan ayat yang dipeselisihkan, sebenarnya maksud “menyucikan diri” dalam ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan zakat dalam pengertian fiqhiyyah-syar’iyyah. Makna “menyucikan diri di sini adalah makna bahasanya, yaitu makna yang banyak digunakan dalam al-Qur’an. Meskipun demikian, alQur’an sendiri menggunakan kata yang sama dalam surat berikutnya—dari sisi urutan turunnya—dengan pengertian membersihkan diri dengan cara memberikan harta, sebagaimana firman Allah: “Orang-orang bertakwa yang menyerahkan hartanya untuk membersihkan diri akan dijauhi darinya (api neraka). Dan tiada
Q.S al-A’la [87] :14 Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an… Juz I, hlm. 36.
35 36
22
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015 nikmat yanng dimiliki seseorang yang harus dibalas, kecuali dilakukan hanya untuk mengharap Tuhannya Yang Mahaluhur.”37
Kalaupun ayat diatas dimaknai dengan “zakat”, bagi Abu Zaid tidak menjadi persoalan sebab pergeseran makna semantik sangat dimungkinkan. Tetapi hal itu hanya dapat diketahui apabila kita mau melacak makna tersebut dari aspek kronologis turunnya wahyu dengan kata lain tidak hanya mengandalkan aspek pemaknaan yang nampak pada urutan bacaan (mushaf).
2. Kekeliruan yang dilakukan ulama yang mengajukan hipotesis mereka mengenai hukum muncul belakangan dari turunnya teks. Hal ini biasanya disebabkan adanya sebuah riwayat yang tidak bisa ditolak oleh ulama karena riwayat tersebut dinisbatkan kepada seorang sahabat atau tabi’in. Akhirnya mereka membuat kompromi riwayat yang kontradiktif dengan memasukkan semua kategori yang dimaksudkan riwayat tersebut dan memberikan alasan-alasan yang menguatkan. Ketika mereka dimintai keterangan perihal kompromi riwayat, kebanyakan menjawab bahwa hal itu dilakukan untuk ta’zim dan taz|kir. 3. Kekeliruan terakhir yang dilakukan ulama adalah mencampurdukkan antara “munasabah (sutuasi)” turunnya ayat dengan konteks lain di mana teks tersebut dipergunakan kembali sehingga perawi menduga bahwa teks diturunkan mendahului sebab (turunnya).38 Surat 92, al-Lail:17-20 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, hlm. 118121.
37 38
Perkembangan Teori Makki dan Madani dalam Pandangan Ulama Klasik ...
Abd. Halim
23
Kesimpulan Dari pemaparan di atas, ada beberapa hal yang penulis simpulkan. Di antaranya, pertama, konsep Makki-Madani dalam pandangan Klasik didasarkan pada tiga hal, yakni waktu, tempat, dan sasaran. Ketiga variable ini sebetulnya masih debatable dan terbuka untuk diperbaharui sebagaimana yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zaid.
Kedua, penentuan Makki dan Madani di samping memperhatikan sisi tempat dan waktu juga memperhatikan konteks realitas masyarakat pada waktu itu serta gaya bahasa yang digunakan. Hal ini disebabkan kondisi sosio-kulturan masyarakat Makkah dan Madinah sedikit berbeda. Asumsi seperti ini sebetulnya sudah menjadi kesadaran ulama klasik maupun kontemporer dengan adanya istilah fase inz\ar (Makkah) dan fase risalah (Madinah) di mana keduanya memiliki stressing poin yang sedikit berbeda. Ketiga, kegelisahan Abu Zaid sebetulnya sudah menjadi perdebatan ulama klasik akan tetapi nampaknya Abu Zaid lebih kritis dalam menyikapinya dengan menggunakan data dan analisis ilmiah-historis.
Keempat,memahami teori Makki-Madani merupakan keniscayaan bagi seorang mufassir untuk menghindari penafsiran yang ahistoris. Penafsiran yang ahistoris cenderung menyebabkan kesalahan dalam penafsiran (lihat makalah penulis sebelumnya tentang (Asbab al-Khata’ fi al-Tafsir). Wallahu a’lam bi al-Sawab.
24
Jurnal Syahadah Vol. III, No. 1, April 2015
DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulmul Quran, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKis, 2001)
Al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah, Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an juz.I (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957), Al-Syafi’i, Jalaluddin as-Suyuti, al-Itqan Fi ‘ Ulum al- Qur’an, juz.1 (tt, Dar al-Fikr, tt) Fajrul Munawir (dkk.), Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN SUKA Press, 2005)
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‘an terj. Mudzakit As (Bogor, Pustaka Litera Antar NUsa cet. 10, 2007 Hamzah, Mukhotob, Studi al-Qur’an Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media, 2003)
Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut,Libanon: Dar al-Ihya’ atTuras)
Zuhdi, Masjfuk, ‘Ulum al-Qur’an, cet.v (Surabaya: Karya Abditama, 1997)