PERILAKU EKONOMI PETANI JAMBU METE DI KABUPATEN BUTON DAN MUNA CASHEW FARMERS ECONOMIC BEHAVIOR IN THE BUTON AND MUNA REGENCY Oleh: Taane La Ola,1) Farida Nurland2), Darmawan Salman2) dan Didi Rukmana2) 1) Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari 2) Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengkaji gambaran perilaku ekonomi antara petani jambu mete di Kabupaten Buton dan Muna. Penelitian dilakukan bulan Juli sampai November 2010, masing-masing di Desa Bombonawulu dan Desa Mone Kecamatan Gu-Lakudo untuk Kabupaten Buton serta Desa Lahontohe dan Desa Labasa Kecamatan Tongkuno untuk Kabupaten Muna. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan metodologis, kedua lokasi merupakan sentra budidaya jambu mete di Sulawesi Tenggara. Responden diambil secara simple random sampling 200 KK setiap kecamatan sehingga berjumlah 400 responden. Analisis data secara deskriptif kualitatif menggunakan tabel frekuensi tunggal, tabulasi silang dua arah dengan tujuan melihat perilaku ekonomi (perilaku produksi, pemasaran, investasi, tabungan dan konsumsi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku ekonomi petani jambu mete di Kabupaten Buton lebih mendukung kegiatan produksi, pemasaran, menabung dan investasi, sedangkan perilaku ekonomi petani jambu mete di Kabupaten Muna lebih mendukung konsumsi. Kondisi ini ditunjukkan perilaku petani di Kabupaten Buton yang relatif lebih produktif melakukan diversifikasi usaha jambu mete dan tidak menjual hasil mete dalam bentuk gelondongan, tetapi melakukan pengolahan lanjut menjadi kacang mete dan sebagai pedagang pengumpul lokal. Hal berbeda ditunjukkan petani jambu mete di Kabupaten Muna yang lebih tertarik menjual hasil mete dalam bentuk gelondongan. Kata kunci: perilaku ekonomi, produksi, pemasaran, investasi, tabungan, konsumsi, jambu mete
2
ABSTRACT The study was conducted to assess the economic picture of the behavior between cashew farmers in Buton and Muna Regency. The study was conducted from July to November 2010, one each in the Village and Village Bombonawulu Mone-Gu District Lakudo for Buton Regency and village and the village of Labasa District Lahontohe Tongkuno for Muna. Purposively selected research sites with methodological considerations, the second location is the center of cashew cultivation in Southeast Sulawesi. Respondents were taken in simple random sampling of 200 families each district so that the total 400 respondents. Descriptive analysis of qualitative data using a single frequency tables, cross tabulation of two directions with the purpose of viewing economic behavior (the behavior of the production, marketing, investments, savings and consumption). The results showed that the economic behavior of cashew farmers in Buton Regency more supportive of the production, marketing, savings and investment, while the economic behavior of cashew farmers in Muna more supportive of consumption. This condition is shown the behavior of farmers in Buton Regency is relatively more productive to diversify their business and not sell cashew nut results in the form of logs, but performs further processing into cashew nuts and as a local collector. This indicated different cashew farmers in Muna Regency is more interested in selling cashew results in the form of logs. Key words: behavioral economics, production, marketing, investments, savings, consumption, cashew PENDAHULUAN Pengusahaan jambu mete (Anacardium occidentale, L) dalam kerangka kepentingan permasalahan pembangunan nasional mempunyai nilai strategis terutama
berkenaan pemanfaatan lahan
marginal,
penyelamatan dan
pelestarian aset sumberdaya pembangunan pertanian karena jambu mete sekaligus menjadi tanaman konservasi lahan marginal (kering dan kritis), (Ditjenbun, 1991) mengingat tanaman ini dapat tumbuh dimana tanaman lain tidak bisa tumbuh (Puryanto, 1983; Abdullah, 1985; Sugiyanto, 1994). Jambu mete di Sulawesi Tenggara telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidupnya (survival), serta membuat kehidupan yang lebih baik (a better living). Sebagai komoditas komersial, jambu mete yang diproduksi petani di Sulawesi Tenggara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir. Luas areal perkebunan jambu mete di Sulawesi Tenggara mencapai 169.926,34 ha atau 30,3% dari total
3 lahan mete yang ada di Indonesia dengan produksi pada tahun 2006 sebesar 40.325 ton (BPS Sultra, 2007). Selanjutnya, gambaran penting dari keragaman usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara adalah kondisi permodalan usaha yang lemah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan keuangan internal dalam keluarga petani, sementara bantuan modal kapital eksternal seperti kredit tanpa agunan dengan bunga rendah akhir-akhir ini,
baru mulai diperkenalkan. Petani lebih
banyak melakukan jalan pintas dengan meminjam uang kepada pedagang pengumpul yang umumnya juga berprofesi sebagai tengkulak. Menurut data base perkebunan, Puslitbangbung Indrawanto et al. (2003) bahwa hanya sekitar 8,35% dari pendapatan petani jambu mete di Sulawesi Tenggara dialokasikan untuk tabungan dan investasi usahatani. Sumberdaya (resources) dalam ilmu ekonomi merupakan sesuatu yang dapat dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial adalah sumberdaya ekonomi
yang
dapat dipandang sebagai
investasi
untuk
mendapatkan
sumberdaya baru. Fenomena menarik di lokasi penelitian adalah perilaku ekonomi petani jambu mete yang berbatasan antara Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna, warganya menunjukkan kegiatan ekonomi yang oleh Scott (1983) dinamakan “etika subsistem” yang pada dasarnya menunjukkan perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal dan umumnya cenderung tidak berani mengambil resiko (ekonomi moral). Menurut argumentasi
Scott
bahwa
(1983) para
bahwa
petani
itu
ekonomi
moral
mengambil
telah
resiko
meletakkan
ketika
mereka
mengevaluasi strategi-strategi ekonomi. Mereka lebih menyukai usaha kecil-kecil yang mendatangkan hasil-hasil yang pasti dari pada hasil banyak tapi mendatangkan resiko. Popkin (1986) secara eksplisit menggunakan pendekatan ekonomi politik melalui analisisnya dengan memusatkan perhatian pada aspek “pengambilan keputusan individu”. Pilihan ini tepat, karena pendekatan ekonomi politik mengasumsikan manusia sebagai homo economicus yang selalu berpikir rasional dalam menentukan tindakan-tindakannya di antara pilihan keuntungan yang akan diperoleh dan resiko kerugian yang mungkin diperoleh. Perilaku demikian juga cenderung ditemukan pada petani di lokasi penelitian.
4 Nampak pula bahwa dua lokasi penelitian yang berbatasan tersebut terdapat perbedaan budaya dalam bidang usaha pertanian, sejalan dengan pandangan Max Weber (1958) tentang pengaruh nilai-nilai budaya terhadap kehidupan sosial ekonomi dalam bukunya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”. Selanjutnya Max Weber menekankan bahwa kekuatan atau nilai agama ternyata ikut ambil bagian secara kualitatif terhadap pembentukan semangat kapitalisme dan merupakan suatu faktor yang otonom dan sekaligus memiliki kemungkinan untuk memberikan corak pada sistem perilaku ekonomi. Usahatani jambu mete di perbatasan Kabupaten Buton dan Muna merupakan sentra produksi jambu mete Sulawesi Tenggara, tetapi nampak berbeda dalam kegiatan usahatani jambu mete. Hal ini menarik karena kedua wilayah tersebut didiami oleh suku yang sama yaitu Suku Pancana (Muna), sehingga diyakini masyarakatnya mempunyai modal sosial yang sama tetapi kenyataan menunjukkan perilaku sosial ekonomi berbeda. Oleh karena itu alasan mendasar dilakukan penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam mengenai perbedaan perilaku ekonomi dalam kegiatan usahatani jambu mete, yang pada akhirnya akan memberikan perbedaan taraf kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengkaji gambaran perilaku ekonomi petani jambu mete di wilayah Gu-Lakudo Kabupaten Buton dan wilayah Tongkuno Kabupaten Muna.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan selama lima bulan, mulai bulan Juli sampai dengan November 2010, di Provinsi Sulawesi Tenggara masing-masing di Desa Bombonawulu dan Desa Mone Kecamatan Gu-Lakudo untuk Kabupaten Buton dan di Desa Lahontohe dan Desa Labasa Kecamatan Tongkuno untuk Kabupaten
Muna.
Lokasi
penelitian
dipilih
secara
purposive
dengan
pertimbangan metodologis, yakni di kedua lokasi terpilih merupakan wilayah sentra budidaya jambu mete di Sulawesi Tenggara. Responden diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sekitar 10% dari jumlah populasi rumah tangga 2.141 KK, yaitu masing-masing kecamatan diambil 200 KK sampel sehingga secara keseluruhan berjumlah 400 responden. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a) Pengumpulan data dengan metode survei melalui daftar kuesioner. (b) Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan melalui pengumpulan
5 informasi dari informan dengan teknik snowball. (c) Pengamatan berperan serta (observation participant). Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data kuantitatif maupun kualitatif secara sekuensial. Analisis data secara deskriptif kualitatif menggunakan tabel frekuensi tunggal, tabulasi silang dua arah dengan tujuan melihat perilaku ekonomi (perilaku produksi, pemasaran, investasi, tabungan dan konsumsi). HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran usahatani jambu mete di Kabupaten Buton dan Muna Sentra jambu mete di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna dan masih menjual mete dalam bentuk gelondongan, dan sebagian lainnya diolah menjadi produk olahan kacang mete secara tradisional. Pemerintah daerah Sulawesi Tenggara membuka peluang bagi para investor untuk berinvestasi dalam penanganan pasca panen jambu mete. Peluang investasi yang bisa dikembangkan adalah pembangunan pabrik kacang mete, pembuatan selei, sirup dan minyak CNSL (Media Indonesia.com, 2010). Petani penghasil jambu mete di Kabupaten Buton memiliki budaya mengolah mete dibandingkan dengan petani di Kabupaten Muna. Masalah dari pengolahan mete adalah petani belum mengenal luas teknologi tepat guna “pengkacipan mete” (proses pemisahan kacang mete dari biji gelondongan), keterbatasan modal dan tenaga kerja. Saat musim panen tiba, petani mete selain terdesak berbagai kebutuhan (sehingga perlu segera menjual mete), juga kekurangan tenaga kerja, karena seluruh tenaga kerja terserap dalam kegiatan pemungutan dan pengeringan mete. Implikasinya, petani terpaksa menjual mete gelondongan dengan harga murah. Beberapa bulan kemudian, saat harga mete meningkat (seiring dengan kelangkaan mete), petani mete hanya bisa pasrah diri karena seluruh mete yang mereka miliki telah dijual ke pedagang pengumpul. Idealnya petani mete mampu menyisihkan pendapatan dari hasil panennya untuk disimpan, sehingga mereka bisa dapat menjual gelondongan saat harga baik atau mengkacip mete selama menunggu musim panen berikutnya. Selanjutnya pengembangan diversifikasi dapat ditekan pada pola usahatani ganda yang saling bersinergisme dalam input-output, salah satu contoh adalah pola integrasi tanaman-ternak, dan usaha pengolahan hasil (pengkacipan mete dan pemanfaatan buah semu). Pengembangan usahatani
6 jambu mete yang berorientasi agribisnis dan berkelanjutan diarahkan untuk mengembangkan pola industrial dan padu-padan serta sinergisme dengan usaha lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga ke hilir) (Simatupang, 2003), yang sasarannya adalah untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya melalui pengembangan usaha diversifikasi. Pola diversifikasi lain pada usahatani jambu mete adalah pola usaha tanaman sela diantara tanaman jambu mete dengan beragam varietas pada satu hamparan luas, seperti varietas jagung toleran terhadap kekeringan, varietas berumur genjah, padi gogo, kedelai dan kacang tanah serta umbi-umbian yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena usahatani jambu mete yang berkembang di Sulawesi Tenggara umumnya usahatani keluarga skala kecil, maka usahatani yang dapat dikembangkan adalah pola usahatani intensifikasi diversifikasi yang mengintegrasikan kegiatan rumah tangga, usahatani dan kegiatan non usahatani (Kendarinews.com, 2010). 1. Perilaku produksi dan pemasaran Perilaku produksi petani jambu mete di Kabupaten Buton maupun Muna dikategorikan dalam beberapa perilaku meliputi: penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama penyakit, alokasi waktu kerja. Kualifikasi indeks perilaku produksi tersebut dikategorikan atas tiga yaitu: kategori kurang baik (indeks <1,4), sedang (1,4 ≤ indeks ≤ 5,6) dan kategori baik (indeks >5,6). Lebih jelasnya perilaku produksi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku produksi di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Indeks perilaku produksi
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 28 14 109 54,5
RT 137
(%) 34
Jumlah
< 1.4
Kurang baik
1.4 - 5.6
Sedang
139
69,5
82
41
221
55
> 5.6
Baik
33
16,5
9
4,5
42
11
200
100
200
100
400
100
Jumlah
Berdasarkan Tabel 1 bahwa perilaku produksi petani jambu mete di lokasi penelitian secara keseluruhan berkualifikasi perilaku produksi sedang (55%) dan kategori dengan kualifikasi baik hanya 11%. Bila perilaku produksi petani mete ini
7 dibandingkan antara kedua wilayah lokasi penelitian maka Tongkuno Kabupaten Muna merupakan wilayah yang petaninya mempunyai perilaku produksi yang kurang baik (45,5%) dan kategori dengan kualifikasi baik hanya 4,5%. Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan perilaku produksi petani mete di Kabupaten Buton yang dominan mempunyai perilaku produksi dengan kategori kualifikasi yang sedang (69,5%) dan kategori dengan kualifikasi baik hanya 16,5%. Perilaku pemasaran produk jambu mete oleh petani di lokasi penelitian dikualifikasikan atas pemasaran dalam bentuk gelondongan, kacang mete mentah (diolah setengah jadi) dan produk olahan kacang mete goreng siap saji (produk jadi). Kualifikasi indeks perilaku pemasaran oleh petani jambu mete di lokasi penelitian dikategorikan atas tiga yaitu: kategori kurang baik (indeks <1,0), kategori sedang (indeks 1,0 - 3,4) dan kategori baik (indeks >3,4). Indeks perilaku produksi petani jambu mete di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku pemasaran di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Indeks perilaku pemasaran
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 24 12 114 57
RT 138
(%) 34
Jumlah
< 1.0
Kurang baik
1.0 - 3.4
Sedang
166
83
78
39
244
61
> 3.4
Baik
10
5
8
4
18
5
200
100
200
100
400
100
Jumlah
Tabel 2 menunjukkan bahwa perilaku pemasaran produk jambu mete di lokasi penelitian secara umum berada pada kategori dominan berkualifikasi sedang yaitu mencapai 61%, berkualifikasi baik hanya 5%, dan sisanya sebanyak 34% berkualifikasi kurang baik. Perilaku pemasaran jambu mete di Kabupaten Buton dominan berada pada kategori dengan kualifikasi sedang (83%) dan yang berkualifikasi baik hanya 5%. Perilaku pemasaran jambu mete di Kabupaten Muna, mempunyai perbedaan dengan Kabupaten Buton karena di daerah ini pemasaran jambu mete dominan berada pada kategori yang kurang baik (57%) dan kategori yang berkualifikasi baik hanya 4%. Hal ini menunjukkan bahwa petani mete di Kabupaten Muna Kabupaten Muna memasarkan produk mete kurang produktif karena hanya menjual biji mete dalam bentuk gelondongan saja tanpa ada upaya pengolahan lanjut. Perilaku yang berbeda ditunjukkan oleh petani mete di Kabupaten Buton, karena
8 pemasaran produk mete oleh petani di daerah ini telah melakukan beberapa upaya diversifikasi produk dengan pengolahan lanjut, mulai dari pengolahan kacang mete mentah setengah jadi sampai pengolahan kacang mete goreng siap saji atau dalam pengolahan lanjut lainnya seperti aksesori beberapa jenis kue dengan ciri khas lokal daerah Sulawesi Tenggara. 2. Perilaku alokasi waktu kerja Manajemen alokasi waktu kerja petani jambu mete di lokasi penelitian secara umum cukup beraneka ragam, baik di Kabupaten Buton maupun Muna. Alokasi waktu kerja dibedakan atas waktu kerja kegiatan dalam rumah tangga, alokasi waktu kerja upahan di luar rumah tangga dan alokasi waktu untuk berekreasi. Persentase manajemen waktu tenaga kerja keluarga dalam usahatani jambu mete di lokasi penelitian umumnya masih tergolong kategori kurang baik dengan persentase tertinggi 39%. Kategori perilaku alokasi waktu kerja petani jambu mete di lokasi penelitian dibedakan atas 3 kategori, yaitu kategori kurang baik apabila alokasi waktu kerja < 3,1; kategori sedang berada pada kisaran 3,1 sampai dengan 6,9 dan kategori baik jika indeksnya > 6,9. Secara rinci indeks perilaku alokasi waktu kerja responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku alokasi waktu kerja di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010
Indeks alokasi waktu kerja
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 65 32,5 91 45,5
RT 156
(%) 39
Jumlah
< 3.1
Kurang baik
≥ 3.1 - 6.9
Sedang
71
35,5
69
34,5
140
35
> 6.9
Baik
64
32
40
20
104
26
200
100
200
100
400
100
Jumlah
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum petani mete di lokasi penelitian mengalokasikan waktu dengan kategori yang baik mencapai 26% dan kategori sedang mencapai 35%. Perilaku alokasi waktu kerja petani jambu mete di Kabupaten Muna 80% masih berada pada kategori kurang baik sampai sedang dan hanya 20% yang berkualifikasi waktu kerja yang baik. Petani di Muna cenderung tidak memanfaatkan waktu kerja secara efisien karena masih cukup banyak waktu luang yang tersedia untuk bekerja, hal tersebut ditunjukkan
9 sebanyak 44,5% petani di Kabupaten Muna berada pada kualifikasi kurang baik dalam manajemen alokasi kerja. Manajemen waktu petani jambu mete di Kabupaten Buton sebagaimana terlihat pada Tabel 3 lebih baik bila dibandingkan dengan petani di Muna. Petani di Kabupaten Buton sebanyak 32% berada pada kategori baik dalam mengalokasikan waktu kerja dan 68% berada pada kategori kurang baik sampai kategori sedang. Optimalisasi pemanfaatan waktu kerja di wilayah ini, masih cukup berpeluang untuk lebih ditingkatkan karena masih terdapat sekitar 32,5% alokasi waktu luang belum dimanfaatkan secara optimal. 3. Perilaku menabung dan investasi Perilaku menabung petani jambu mete di lokasi penelitian diarahkan pada jenis tabungan di lembaga keuangan seperti perbankan, investasi pengadaan alat-alat produksi, peralatan penunjang pengolahan biji mete gelondongan, pengadaan bibit dan pembukaan lahan baru sebagai perluasan usaha. Perilaku menabung dibedakan atas 3 kategori, yaitu kategori kurang baik apabila nilai indeks perilaku menabung berada pada kategori kualifikasi <1,1; kategori sedang dengan nilai indeks perilaku menabung antara 1,1-5,2 dan kategori baik dengan nilai > 5,2. Secara rinci indeks perilaku menabung petani mete di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku menabung di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010
Indeks perilaku menabung
Kualifikasi
< 1.1 Kurang baik 1.1 - 5.2 Sedang > 5.2 Baik Jumlah
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 68 33 95 47,5 103 51,5 96 48 29 14,5 9 4,5 200 100 200 100
Jumlah RT 163 199 38 400
(%) 40 50 10 100
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa secara umum petani mete di kedua kecamatan lokasi penelitian belum banyak memahami pentingnya menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka untuk menabung sehingga terlihat tingkat partisipasi menabung masih relatif rendah. Perilaku petani jambu mete dalam menabung yang berkualifikasi baik hanya 10% dan selebihnya sekitar 90% masih berada pada kategori kurang baik sampai sedang.
10 Perilaku menabung petani jambu mete di Kabupaten Buton memiliki kecenderungan tingkat kesadaran dan kepedulian menabung lebih baik dibandingkan dengan petani di Kabupaten Muna. Petani jambu mete di Kabupaten Buton 67% dikategorikan berkualifikasi antara sedang sampai baik dan hanya 33% yang dikategorikan kurang baik, sedangkan petani mete di Kabupaten Muna 52,5% dikategorikan dalam kualifikasi sedang sampai baik dan 46,5% dikategorikan berkualifikasi kurang baik. Sebagaimana perilaku menabung, perilaku investasi juga dibedakan menjadi 3 kualifikasi, yaitu kategori berkualifikasi kurang baik dengan nilai indeks perilaku investasi <1,6 kategori kualifikasi sedang dengan capaian nilai indeks antara 1,6 sampai dengan 6,2 dan kategori baik dengan rataan nilai indeks >6,2. Secara rinci indeks perilaku investasi petani mete di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku investasi di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Indeks perilaku investasi
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 53 26,5 62 31
RT 115
(%) 28,5
Jumlah
< 1.6
Kurang baik
1.6 - 6.2
Sedang
85
42,5
112
56
197
48,5
> 6.2
Baik
62
31
26
13
88
22
200
100
200
100
400
100
Jumlah
Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum perilaku investasi petani jambu mete masih relatif rendah di kedua kabupaten lokasi penelitian karena 48,5% dikategorikan berkualifikasi sedang dan hanya sekitar 22% berkualifikasi baik, selebihnya kurang baik (28,5%). Perilaku investasi petani mete di Kabupaten Buton mempunyai indeks perilaku investasi relatif lebih baik dibandingkan dengan petani di Kabupaten Muna. Petani mete di Kabupaten Buton 73,5% berada dalam kategori kualifikasi perilaku investasi sedang sampai kualifikasi baik dan hanya 26,5% dikualifikasikan sebagai perilaku investasi yang kurang baik. Hal ini berbeda dengan keadaan petani mete di Kabupaten Muna yang mempunyai perilaku investasi berkualifikasi sedang sampai baik sebesar 69% dan sisanya dikategorikan dalam perilaku investasi kurang baik.
11 4. Perilaku konsumsi Konsumsi pangan meliputi konsumsi komoditi serealia, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/lemak, kacang-kacangan, sayur, buah dan lainnya. Konsumsi non pangan meliputi: kesehatan, pendidikan, biaya perlengkapan dapur, perumahan, pakaian transportasi dan lainnya. Penelitian ini membagi perilaku konsumsi pangan maupun non pangan dalam 3 kategori kualifikasi yaitu: kualifikasi kurang baik apabila nilai indeks perilaku konsumsi < 3,1; sedang dengan nilai indeks 3,1- 5,3 dan kualifikasi baik dengan nilai > 5,3. Secara rinci indeks perilaku konsumsi petani jambu mete di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku konsumsi di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Indeks perilaku konsumsi
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 80 40 39 19,5
RT 119
(%) 30
Jumlah
< 3.1
Kurang baik
≥ 3.1 ≤ 5.3
Sedang
111
55,5
142
71
253
63
> 5.3
Baik
9
4,5
19
9,5
28
7
200
100
200
100
400
100
Jumlah
Tabel 6 menunjukkan bahwa perilaku pola konsumsi petani jambu mete di lokasi penelitian, baik pangan maupun non pangan secara keseluruhan berkualifikasi sedang (63%), sisanya 30% berkualifikasi kurang baik dan hanya 7% yang berkualifikasi baik. Perbandingan indeks perilaku konsumsi petani di lokasi penelitian terlihat dominan berkualifikasi sedang. Namun demikian petani di Kabupaten Muna menunjukkan perilaku konsumsi lebih tinggi (71%), dibandingkan petani jambu mete di Kabupaten Buton (55,5%). 5. Rangkuman perilaku ekonomi Perilaku ekonomi petani jambu mete di lokasi penelitian, baik di Kabupaten Buton maupun Muna merupakan gambaran umum kondisi petani mete di Kabupaten Buton dan Muna yang terdiri dari: perilaku produksi, perilaku pemasaran produk, perilaku menabung dan investasi serta perilaku konsumsi. Secara umum perilaku ekonomi petani jambu mete di Kabupaten Buton relatif lebih baik dibandingkan dengan keberadaan petani jambu mete di Kabupaten
12 Muna. Kondisi ini ditunjukkan dengan berbagai upaya yang sedang dan telah dilakukan petani setempat dalam mengelola usahatani jambu mete sehingga membuahkan hasil yang lebih menguntungkan untuk menambah pendapatan keluarga dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Petani jambu mete di Kabupaten Buton relatif produktif dalam mengelola usahatani jambu mete. Perilaku ini terlihat jelas bahwa produk jambu mete yang dihasilkan dijual dalam bentuk hasil olahan ke pasar atau ke pedagang pengumpul setempat karena sadar bahwa nilai jual mete gelondongan akan relatif lebih rendah dibandingkan harga mete olahan. Sebagian petani mete atau masyarakat setempat memanfaatkan momen jual beli jambu mete ini menjadi peluang usaha agribisnis potensial dengan menjadi pedagang pengumpul lokal. Kondisi ini tentunya secara umum berbeda dengan perilaku petani jambu mete di Kabupaten Muna. Petani mete di wilayah ini cenderung lebih apatis terhadap upaya diversifikasi peluang usaha dan sistem pemasaran jambu mete yang ada. Petani mete umumnya lebih tertarik untuk menjual hasil produk mete yang dihasilkan dalam bentuk gelondongan saja tanpa ada upaya pengolahan lanjut seperti yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Buton Kabupaten Buton. Akibatnya harga jual jambu mete yang diterima petani di Kabupaten Muna relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan petani di Kabupaten Buton yang melakukan diversifikasi usaha agribisnis dan pengolahan lanjut terhadap jambu mete yang dihasilkan. Perilaku ekonomi petani dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 3 kualifikasi yaitu: kualifikasi kurang baik apabila nilai indeks perilaku ekonomi > 6,10; sedang dengan nilai indeks antara 3,97 sampai dengan 6,10 dan kualifikasi baik dengan nilai < 3,97. Secara rinci indeks perilaku ekonomi petani jambu mete di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut indeks perilaku ekonomi di Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Indeks perilaku ekonomi
Kualifikasi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 17 8,5 20 10,0
RT 37
(%) 9,25
Jumlah
< 6,0
Kurang baik
≥ 3,97 ≤ 6,10
Sedang
179
89,5
147
73,5
326
81,50
> 3,97
Baik
4
2,0
33
16,5
37
9,25
200
100
200
100
400
100
Jumlah
13 Perilaku ekonomi yang ditunjukkan petani jambu mete sebagaimana terlihat pada Tabel 7 bahwa 90,75% petani jambu mete di wilayah ini mempunyai perilaku ekonomi yang relatif baik, yaitu dengan kualifikasi perilaku sedang (81,5%) sampai perilaku baik (9,25%). Perilaku ekonomi petani antar Kabupaten Buton dan Muna menunjukkan perilaku ekonomi yang cenderung baik, yaitu berada pada level kualifikasi sedang sampai kualifikasi baik, masing-masing mencapai 91,5% dan 90%. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa perilaku ekonomi petani jambu mete di Kabupaten Buton lebih mendukung kegiatan produksi, pemasaran, menabung, dan investasi. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan perilaku ekonomi petani jambu mete di Kabupaten Muna yang lebih mendukung konsumsi. Kondisi ini ditunjukkan perilaku petani mete di Kabupaten Buton yang melakukan diversifikasi pengolahan lanjut jambu mete sehingga memberikan nilai tambah yang relatif tinggi dibanding petani mete di Muna yang hanya menjual mete dalam bentuk gelondongan saja. Saran dan implikasi kebijakan yang direkomendasikan dari hasil penelitian bagi pemerintah daerah ini adalah mempertimbangkan indikator perilaku produksi, pemasaran, investasi, tabungan dan konsumsi sebagai variabel penentu perilaku ekonomi dalam rangka perancangan dan implementasi kebijakan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A., 1985. Jambu Mete sebagai komoditi Ekspor yang Mempunyai Harapan dalam Jurnal Litbang Pertanian. Vol IV (1) Januari 1981. BPS Sultra, 2007. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. Bada Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, Kendari. Ditjenbun, 1991. Pengembangan Jambu Mete dan Prospeknya di Masa Mendatang. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI. Jakarta. http://www.kendarinews.com/berita/content/view/16950/ (Akses Selasa, 29 Maret 2011).
14 http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/11/187401/128/101/ProduksiJambu-Mete-di-Sultra-400-Ribu-Ton-per-Tahun2010 (Sabtu, 11 Desember 2010). Indrawanto, C., Wulandari, C., dan Wahyudi, A. 2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usahatani Jambu Mete di Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. 9 (4) : 141-148. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Popkin, Samuel. 1986. Petani Rasional, dalam edisi terjemahan oleh Mawi, Sjahrir, Lembaga Penerbit Padamu Negeri. Jakarta. Puryanto, E. 1983. Rehabilitasi Tanah Pasir Kuarsa Eks Tambang Timah Pulau Banka dengan Bahan Alamiah untuk Budidaya Tanaman. Scott. J.C., 1983. The Moral Economy of Peasant: Rabillian and Subsisten in Shout East Asia. Dalam edisi terjemahan oleh Bari, Hasan., Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Sugiyanto, 1994. Peluang Agribisnis dan Agroindustri Tanaman Jambu Mete di Kabupaten Gunung Kidul. Makalah Temu Usaha Komoditi Jambu Mete Rejosari, 31 Oktober 1994, UPP Jambu Mete Gunung Kidul. Weber, M. 1958. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York : Charles Scribner’s Sons.