Peri Penulis & Sahabat Mempersembahkan :
The Shores and The Piano
Penerbit Peri Penulis Publisher
The Shores and The Piano Oleh: Peri Penulis & Sahabat Copyright © 2013 by Peri Penulis & Sahabat (Maria Ch Michaela, Stephie Anindita, Yohanna Yang, Bayu Ampuh Wicaksono, Mpit Tivani, Rika Priwantina)
Desain Sampul: Ajeng Ayu
Diterbitkan melalui: peripenulis.wordpress.com
2
Ucapan Terimakasih
Hai, Sahabat Peri! Setelah bulan-bulan di tahun 2013 ini berlalu, akhirnya kami berhasil meluncurkan buku baru lagi. Praise to our Mighty Lord, akhirnya kumpulan novelet berjudul "The Shores and The Piano" ini bisa terbit juga. Peri Penulis juga memohon maaf kepada para kontributor karena kelambatan kami dalam menyelesaikan proyek ini. Hiks >_<
Peri Penulis mengucapkan terima kasih untuk para peserta yang sudah berpartisipasi dalam lomba yang kami adakan Februari 2013 lalu. Ada sekitar 75 naskah novelet yang masuk. Dan terima kasih pada Fonny Jodikin, penulis sekaligus editor yang saat ini sedang berdomisili di Singapore, sudah banyak membantu kami memilih 10 besar finalis dalam Lomba Valentine‟s Day ini. Mengapa kali ini novelet? Tidak ada alasan khusus, sih. Hanya berusaha memberikan variasi selain kumpulan flash fiction dan kumpulan cerpen. (Dan tenyata nulis novelet itu lebih susah, bo!). Oh, ya, seri novelet ini memiliki tiga kata kunci, yaitu: mawar, cokelat, dan musik. Mengapa kami memilih ketiga kata kunci itu? Karena awalnya novelet ini rencananya diluncurkan sewaktu Valentine, tetapi apa daya nggak keburu -_-
3
Salah satu hal yang membuat kami terkesan, tiga kalimat kunci (mawar,
cokelat,
dan
musik)
yang
kami
berikan
bisa
bertranformasi menjadi novelet yang indah, dengan ide cerita segar yang tidak melulu percintaan klise. Tiga kalimat kunci yang kami berikan adalah:
1. Aku mendekatkan buket itu ke depan hidungku dan mengendus baunya. Bau tajam bunga mawar serta-merta menyergap hidungku. Buket mawar ini indah sekali.
2. Kreek... Ia menyobek kertas alumuniumnya, mematahkan sepotong cokelat dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
3. Musik instrumen mengalun pelan. Ia memutar tombol volume ke kanan. Kini suara denting piano yang berpadu dengan petikan dawai gitar terdengar lebih jelas. Ia tersenyum. Musik. Mesin waktu paling sederhana. "Dansa?"
Nah, Sahabat Peri, selamat mencari ketiga kalimat kunci tersebut dalam setiap cerita. Dan tentu saja, semoga kalian menikmati setiap cerita dalam novelet ini. Happy reading! :-)
X.O.X.O
Peri Penulis
4
Juara 1: The Shores and The Piano (Bayu Aympuh Wicaksono) Juara 2: Cokelat Ajaib (Mpit Tivani) Juara 3: Kastil (Rika Priwantina)
5
The Shores and The Piano Oleh: Bayu Ampuh Wicaksono
Pintu itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Tak ada sedikit pun suara deritnya yang seringkali membuatku terganggu. Mungkin akan lebih baik bila aku menarik daunnya supaya dapat memastikan bahwa pintunya benar-benar terkunci. Tetapi itu akan sangat tidak profesional. Sama sekali bukan karakter perawat sepertiku. Aku berusaha berpikir positif, seperti „mungkin saja Mr Adams sedang berada di toilet atau sedang menyiram tanaman dalam potnya di lantai atas’. Dan urusan itu memerlukan waktu sekitar setengah jam. Aku baru sadar diriku bukan termasuk tipe yang penyabar karena tahu-tahu aku sudah mengendap-endap mengelilingi rumah itu, mengamati dindingnya yang berwarna putih kelabu karena sudah terlalu lama bergesekan dengan angin pantai. Alasanku mengendap-endap seperti ini ada tiga : pertama, angin di sini kencang dan membuat penampilanku kacau. Kedua,
6
mataharinya mulai menyengatku dengan luar biasa, dan ketiga, ranselku yang berat membuat pundakku sakit. Rumah ini seharusnya bisa menjadi tempat peristirahatan musim panas yang menyenangkan. Terletak di dataran paling tinggi di pesisir pantai dan berpagarkan tebing karang alami. Bau amis laut tercium jelas, dan siapa saja akan terbuai dengan nyanyian burung camar yang tak pernah menghilang kecuali mungkin setelah matahari terbenam. Tidak ada tumbuhan yang hidup di tanah berpasir, tetapi hal itu telah tertutupi dengan keberadaan pasir itu sendiri. Pesisir pantai di sebelah tenggara Victoria ini disebut Canning Cliff oleh sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Tempat ini akan menjadi resor wisata orang-orang kaya dan terkenal bila diekspos di media massa dan dibeli oleh para pengusaha properti. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan sepanjang aku tiba di sini, hanya rumah ini satu-satunya yang kulihat. Terletak di puncak dataran yang paling tinggi, yang puncaknya menghadap langsung ke arah Selat Bass. Aku menemukan bagian rumah yang tidak dilapisi dinding. Bagian itu hanya ditutup oleh pintu geser yang terbuat dari kaca dan membuat siapa pun dapat mengamati keadaan di dalam
rumah.
Interior
dalamnya
sudah
seperti
yang
kuperkirakan sebelumnya. Mr Adams pasti menyukai interior berwarna putih dan ruangan-ruangan yang luas. Tak ada siapa pun di dalam. Baguslah. Sepertinya mereka tak ada di rumah. Orang-orang kaya tak pernah ingat janjinya pada perawat yang disewa untuk mengurus orang tua pikun yang merepotkan. Kuketuk kacanya dan benda itu mengeluarkan suara
7
pantulan yang cukup keras. Pasti kaca antipeluru. Tulang-tulang jemariku terasa nyeri setelah mengetuknya. Tetapi rasa nyeri itu tampaknya tidak sia-sia. Tak lama kemudian muncul seorang pria dari sisi kanan ruang tengah yang luput dari pandanganku. Orang tua yang kakinya sudah gemetar itu pasti Ray Adams, yang jika aku boleh berkata secara lebih leluasa, sumber upahku mulai hari ini. Beberapa hari yang lalu tempat kerjaku di Queensland, sebuah Panti Jompo yang cukup terkenal di Australia, mendapat panggilan dari seorang kaya raya Selandia Baru yang tengah menghabiskan cutinya di Canning Cliff. Ia meminta untuk dikirimi seorang perawat untuk mengurus pria berusia delapan puluh tiga tahun yang sudah pikun bernama Ray Adams. Awalnya bukan aku yang ditunjuk untuk itu. Namun karena ada satu dan beberapa hal, Kepala Panti Jompo akhirnya memutuskan untuk mengirimku kemari. Ray Adams mengamatiku beberapa saat dari balik pintu kaca dengan pandangan penuh pertanyaan. Oke, ini akan cukup sulit. Suara tak akan bisa menembus masuk ke dalam, dan kalau pun bisa, aku tak yakin orang yang sudah pikun masih mampu
menanggapinya.
Maka
kubuat
bahasa
isyarat
menggunakan jemariku, salah satu keahlian yang tak akan diperhatikan di sekolah-sekolah formal, dan setelah jemariku selesai mengungkapkan bahwa aku meminta izinnya untuk masuk ke dalam, ia masih perlu waktu sekitar enam menit sebelum akhirnya membukakan pintu itu untukku. “Selamat siang. Anda Mr Ray Adams?” tanyaku. Tetapi tak ada jawaban.
8