i
TESIS
PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG, KOTA DENPASAR: SEBUAH KAJIAN BUDAYA
NI KETUT PURAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
i
ii
TESIS
PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG, KOTA DENPASAR: SEBUAH KAJIAN BUDAYA
NI KETUT PURAWATI NIM 0690261019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
iii
TESIS
PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG, KOTA DENPASAR: SEBUAH KAJIAN BUDAYA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KETUT PURAWATI NIM 0690261019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
ii
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan asung kerta waranugrahaNya, maka tesis dengan judul “Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung, Kota Denpasar: Sebuah Kajian Budaya”, dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Terwujudnya tesis ini tidak terlepas dari peranan para pembimbing, para dosen dan kawan-kawan. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., sebagai Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyusun
tesis ini serta selama mengikuti perkuliahan pada
Program Magister kajian Budaya. Terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., selaku Pembimbing II dan sekaligus sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis hingga tesis ini dapat dirampungkan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S2) di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Magister (S2)
v
v
Kajian Budaya Universitas Udayana. Dekan Fakultas Sastra Universits Udayana Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. serta para penguji tesis ini Prof. Dr. I Gde Semadi Astra., Dr. I Gede Mudana, M.Si., DR I Wayan Redig untuk memberikan masukan, saran, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur PD Pasar Kota Denpasar, Petugas PD Pasar Kota Denpasar, Kepala Pasar Unit Badung beserta para pedagang, konsumen dan para tukang suun di Pasar Badung yang dengan tulus melayani penulis dalam pemerolehan data di lapangan. Penulis sangat menyadari bahwa apa yang tersaji dalam tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu sumbang saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Akhirnya penulis berharap semoga apa yang tersaji dalam tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya.
Denpasar,……….……………2010 Penulis
vi
vi
ABSTRAK Globalisasi berpengaruh pada perekonomian dunia dan membuka peluang kerja yang luas bagi masyarakat termasuk perempuan. Sektor pekerjaan dalam masyarakat dikelompokkan menjadi dua yaitu formal dan informal, pekerjaan kasar atau halus, berat atau ringan. Selain hal tersebut dalam masyarakat berkembang konsep pembagian kerja secara seksual dimana ada pekerjaan yang cocok untuk laki-laki dan ada pekerjaan yang cocok untuk perempuan. Dalam realitasnya konsep ini tidak selalu benar karena ada perempuan mengerjakan tugas yang diklaim milik laki-laki yang membutuhkan tenaga yang kuat seperti perempuan yang bekerja sebagai tukang suun pasar Badung. Keterlibatan perempuan di sektor publik dipengaruhi oleh budaya patriarkhi yaitu budaya yang menempatkan laki-laki pada kedudukan dan peran yang lebih penting dalam menentukan segala keinginan dan keputusan terutama menyangkut kebebasan perempuan untuk terjun ke dunia publik. Bilamana perempuan terjun kedunia publik mereka akan berhadapan dengan kerja ganda bahkan tripel roll. Oleh sebab itu keterlibatan perempuan ke dunia publik, menuntut perempuan untuk mampu menyelesaikan tugas domestik yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian yang mengungkap tiga permasalahan yaitu bagaimanakah pergulatan perempuan tukang suun pasar Badung kota Denpasar pada sektor domestik dan publik?; faktor-faktor apakah yang mendorong pergulatan perempuan tukang suun pasar Badung kota Denpasar?; bagaimanakah makna pergulatan perempuan tukang suun pasar Badung kota Denpasar?. Untuk mengungkap permasalahan di atas penelitian ini menggunakan metoda pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Informan ditetapkan secara porposive. Analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Sedangkan teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan tersebut adalah teori feminisme pasca stukturalis, teori motivasi, dan teori perubahan sosial. Ketiga teori ini digunakan secara eklektik. Hasil penelitian menunjukkan pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung kota Denpasar berupa upaya yang ditempuh perempuan dalam merekonstruksi diri yakni mengatur diri dan keluarga agar kegiatan domestik dan publik tidak terganggu. Faktor pendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun adalah faktor ekonomi, status sosial, etos kerja dan tingkat pendidikan yang rendah. Makna yang diperoleh menekuni pekerjaan sebagai tukang suun adalah keterlibatannya dalam sektor publik memberi sumbangan ekonomi sehingga mampu mengangkat kesejahteraan keluarganya, penghasilan yang diperoleh merupakan sumber pribadi yang secara psikologis dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman, percaya diri untuk berani mangambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, diri pribadi dan juga untuk kepentingan sosial seperti menyama braya. Juga keterlibatannya di sektor publik dapat dijadikan ajang rekreasi untuk melepas rasa penat dan jenuh dalam urusan rumah tangga. Kata kunci : Pergulatan, perempuan, tukang suun
vii
vii
ABSTRACT The Globalization influenced the economic world and open the large vacancy to the society especially the woman. The job vacancy sector in the society is grouped into two groups, they are the formal and informal job, hard and the soft job, and weight or light job. Beside that in the society develop the sex job desription concept, where ever the job is suitable for the man and the woman. Really this concept is not always right, because there are woman does the man’s job which needs the strong energy, like the woman porter as tukang suun pasar Badung. The woman participation in the public world is influenced by patriarchy culture is culture where the man plays on more important position and the role in deciding all he wanted and decision especially the decision in the freedom of woman to go on the public world. When the woman go to the public world, they will faced on the double job and even triple roll. That’s why the participation of the woman in the public world will demand them to do their responsibility such as the domestic duty. Based on above so, this research is done into three scope of problems they are: How are the wrestling of porter woman Badung Market on domestic and public sector, what factors can urge the Wrestling of porter woman Badung Market, and how are the sense of the porter woman Badung Market. In analyzing the problem technique are used is collecting data through interview, observation and documentation. The informan purposive defined. In the data analyzes, descriptive qualitative and interpretative. The teory used to study the problem is feminism post structure, motivation teory, and the teory of social change. The three teory is used in eclectic. The result of the research is showed of the porter woman related to the way which is done by the woman in reconstructing their self, that is how they arrange their self and also the family in order it does not disturb the domestic and public activity. There are some factors which can urge the woman work as porter, there are: economic, social status, job desire and low education factor. The sense which can be taken as porter is the sense of prosperity. Their participation in public sector give the significant economic contribution and able to: increase their family prosperity. Their income can be used as private source which is psychologically can increase the safe sense and comport and also their self confident to be able to take decision which is related to the family life, their selves and also to social life like menyabe braya. The participation in public sector can be used as refresh action, to remove a sense of fatigue in the household. The key word: Wrestling, woman, porter woman
viii
viii
RINGKASAN
Globalisasi merupakan proses sosial yang membawa seluruh bangsa dan negara di dunia saling terikat, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan
batas–batas
geografi,
ekonomi
dan
budaya
masyarakat.
Globalisasi berpengaruh terhadap perekonomian dunia, di satu pihak membuka peluang pasar bagi produk dalam negeri ke pasar internasional dan di pihak lain masuknya produk luar ke pasar dalam negeri. Kondisi ini memerlukan pemanfaatan tenaga kerja. Bali sebagai daerah tujuan wisata tidak dapat menghindar dari arus globalisasi. Pariwisata Bali membuka peluang kerja yang luas bagi masyarakat termasuk perempuan. Keterlibatan perempuan dalam bidang publik tidak dapat melepaskan begitu saja aktivitas dalam bidang domestik. Pada masyarakat Bali berlaku budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki pada kedudukan dan peran yang lebih tinggi dan dominan dalam menentukan segala keinginan dan keputusan terutama yang menyangkut kebebasan perempuan terjun ke dunia publik. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi terpinggirkan dalam dunia kerja. Dalam memilih pekerjaan, pada masyarakat Bali berlaku konsep Rwa bhineda, dualisme kultural yang memilah atau menilai sesuatu atas dua komponen yang berlawanan, yakni baik-buruk, bersih-kotor, dan kasar-halus. Di samping pemilihan pekerjaan atas dasar konsep dualisme kultural, dalam masyarakat juga berlaku konsep pemilihan atau pembagian pekerjaan berdasar jenis kelamin. Menurut konsep ini bahwa dalam masyarakat ada pekerjaan yang cocok untuk
ix
ix
laki-laki dan ada juga pekerjaan yang cocok untuk perempuan. Konsep tersebut diatas tidak selalu benar karena dalam realitas sering dilihat kaum perempuan mengerjakan pekerjaan yang selama ini diklaim sebagai milik laki-laki yang mensyaratkan fisik kuat. Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia, mampu menyediakan berbagai lapangan pekerjaan yang bisa dimasuki oleh kaum perempuan, dari pekerjaan yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan sampai pekerjaan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Salah satu pekerjaan yang bertumpu pada kekuatan fisik adalah pekerjaan sebagai buruh pasar. Pekerjaan ini banyak sekali digeluti oleh kaum perempuan terutama di kota Denpasar. Pasar Badung yang merupakan pasar terbesar di Bali tidak pernah berhenti dari aktivitas perdagangan “tidak pernah tidur”, yang denyutnya sangat membutuhkan peran buruh pasar. Buruh pasar ini banyak dilakoni oleh kaum perempuan yang sering disebut dengan Tukang Suun. Pergulatan atau perjuangannya di tengah pasar yang ramai kerap kali luput dari perhatian masyarakat karena dianggap sebagai pekerjaan masyarakat kelas bawah. Melakukan pekerjaan sebagai Tukang Suun sudah jelas memerlukan tenaga yang kuat, agar barang yang dijunjung tidak jatuh, keadaan ini sangat bertentangan dengan sifat feminimitas yang disandang perempuan, namun kenyataannya perempuan banyak melakukan pekerjaan tersebut. Pekerjaan sebagai tukang suun tidak bisa dianggap sebagai pekerjaan yang mudah karena memerlukan pergulatan dan ketekunan yang sangat kuat. Dalam menjalankan aktivitas Tukang Suun akan berhadapan dengan berbagai kondisi seperti,
x
x
lingkungan pasar yang sesak dan pengap, penilaian masyarakat, beban kerja yang berat, serta aktivitas domestik yang menjadi tanggungjawabnya. Keadaan ini sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian agar diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung, Kota Denpasar : sebuah Kajian Budaya. Dari latar belakang tersebut ada beberapa masalah yang akan dikaji yaitu bagaimana pergulatan perempuan Tukang Suun Pasar Badung pada sektor domestik dan publik, faktor-faktor apa yang mendorong pergulatan perempuan Tukang Suun Pasar Badung dan bagaimana makna pergulatan perempuan Tukang Suun Pasar Badung. Permasalahan tersebut tertuang ke dalam konsep bahwa pergulatan yang dimaksud adalah perjuangan atau pergulatan untuk membebaskan diri dari keterpinggiran yang dilakukan perempuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta berusaha untuk meningkatkan status ekonominya melalui aktivitas yang dilakukan sebagai Tukang Suun pasar Badung. Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahannya adalah teori feminisme pasca strukturalis, teori motivasi dan teori perubahan sosial. Ketiga teori ini digunakan secara eklektik. Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas digunakan teknik wawancara, observasi dan teknik dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan analisis dekriptif kualitatif dan interpretatif melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan
xi
xi
Pergulatan perempuan Tukang Suun Pasar Badung menunjukkan perempuan tidak dapat melepaskan begitu saja tugas pada sektor domestik. Agar keterlibatan perempuan pada sektor publik tidak merusak kehidupan rumah tangga, maka perempuan melakukan pergulatan dengan mengatur dirinya agar tugas-tugas domestik dapat diselesaikan dengan baik. Adapun kegiatan perempuan di sektor domestik meliputi kegiatan pengasuhan anak, mengatur tugas rumah tangga, kegiatan ranah sosial. Untuk menyelesaikan tugas rumah tangga dilakukan sendiri dan ada pula yang melibatkan peran keluarga luas seperti orang tua dan saudara yang lain. Tukang Suun merupakan pekerjaan pada sektor informal yang dicirikan oleh tingkat pendidikan yang rendah sehingga bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sangat terbatas. Untuk mengatasai kesulitan ekonomi perempuan Tukang Suun melakukan pergulatan dalam sektor publik, seperti menghadapi persaingan sesama Tukang Suun, dan juga mengatur waktu hadir ke tengah pasar. Aktivitas ini dilakukan untuk mampu mendapat konsumen lebih banyak sehingga pendapatan juga bertambah. Faktor yang mendorong pergulatan perempuan Tukang Suun Pasar Badung sangat berkaitan dengan perubahan masyarakat sebagai dampak kemajuan pembangunan kota Denpasar serta membuka peluang kerja sangat luas. Terjunnya perempuan ke sektor publik sebagai pekerja sektor informal dapat memadukan aktivitas sektor domestik dengan sektor publik. Keterlibatan perempuan pada sektor publik dapat menambah pendapatan keluarga sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pribadinya. Adapun Faktor pendorong pergulatan perempuan Tukang
xii
xii
Suun Pasar Badung meliputi faktor ekonomi, faktor status sosial, etos kerja dan faktor tingat pendidikan yang rendah. Keterlibatan perempuan sebagai Tukang Suun Pasar Badung ternyata memberi perubahan pada kehidupan keluarga, secara ekonomi kegiatan sebagai Tukang Suun memberi pengaruh pada perubahan ekonomi keluarga. Aktivitas tersebut memberi makna pada kesejahteraan keluarga . Disamping itu sumbangan ekonomi yang diperoleh melalui aktivitas sebagai Tukang Suun memberi makna psikologis menumbuhkan rasa aman dan nyaman serta mampu menumbuhkan kepercayaan dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga walaupun masih terbatas pada bidang kehidupan sehari-hari, disamping itu juga memberi makna rekreasi menghindari rasa jenuh dalam rumah tangga dimana keterlibatannya pada sektor publik secara otomatis dapat meninggalkan tugas domestik yang menjadi tugas rutin dan sangat membelenggu hidupnya. Dengan terjunnya perempuan ke pasar mereka dapat bersenda gurau melepas kepenatan tugas rumah tangga.
xiii
xiii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PRASYARAT GELAR .................................................................................. ii LEMBARAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii LEMBARAN PENGUJI ................................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... v ABSTRAK ...................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................... viii RINGKASAN ................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................. xiv DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xviii GLOSARIUM ................................................................................................ xix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................
7
1.3.1
Tujuan Umum .............................................................................
7
1.3.2
Tujuan Khusus.............................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................
8
1.4.1
Manfaat Teoretis..........................................................................
8
1.4.2
Manfaat Praktis............................................................................
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka...................................................................................
9
2.2 Konsep .............................................................................................. 14 2.2.1
Pergulatan Perempuan ................................................................. 15
2.2.2
Tukang suun ................................................................................ 17
2.2.3
Pergulatan Perempuan Tukang Suun ............................................ 18
2.2.4
Pasar Badung ............................................................................... 18
xiv
xiv
2.2.5
Kajian Budaya ............................................................................. 19
2.3 Landasan Teori .................................................................................. 20 2.3.1
Teori Feminisme Pascastrukturalis ............................................... 21
2.3.2
Teori Motivasi ............................................................................. 23
2.3.3
Teori Perubahan Sosial ............................................................... 26
2.3.4
Model .......................................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 31 3.2 Lokasi Penelitian .............................................................................. 32 3.3 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 33 3.4 Teknik Penentuan Informan .............................................................. 33 3.5 Instrumen Penelitian ......................................................................... 34 3.6 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 35 3.6.1
Teknik Wawancara ...................................................................... 35
3.6.2
Teknik Observasi ......................................................................... 36
3.6.3
Teknik Dokumentasi .................................................................... 36
3.7 Teknik Analisis Data ........................................................................ 37 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ............................................... 38 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Denpasar .................................................................................. 39 4.1.1
Geografi ...................................................................................... 39
4.1.2
Demografi ................................................................................... 41
4.1.3
Perekonomian .............................................................................. 43
4.1.4
Sistem Sosial Budaya .................................................................. 46
4.2 Pasar Badung..................................................................................... 47 4.2.1
Perkembangan Pasar Badung ....................................................... 49
4.2.2
Lokasi.......................................................................................... 50
4.2.3
Bentuk Bangunan ........................................................................ 50
4.2.4
Aktivitas di Pasar Badung ............................................................ 54
4.2.5
Karakteristik Pedagang di Pasar Badung ...................................... 57
4.2.6
Kehadiran Perempuan Tukang Suun di Pasar Badung .................. 58
xv
xv
BAB V PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG 5.1 Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung pada Sektor Domestik ........................................................................ 60 5.1.1
Kegiatan Pengasuhan anak........................................................... 64
5.1.2
Kegiatan Pengaturan Rumah Tangga ........................................... 69
5.1.3
Kegiatan Ranah Sosial ................................................................. 74
5.2 Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung pada Sektor Publik............................................................................. 77 5.2.1
Persaingan Sesama Tukang Suun ................................................. 81
5.2.2
Persaingan Dalam kehadiran di Tengah Pasar .............................. 83
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG 6.1 Faktor Ekonomi................................................................................ 91 6.2 Faktor Status Sosial ......................................................................... 96 6.3 Faktor Etos Kerja ............................................................................. 101 6.4 Faktor Rendahnya Tingkat Pendidikan ............................................. 106 BAB VII MAKNA PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG 7. 1 Makna Kesejahteraan ....................................................................... 111 7.2 Makna Rekreasi Untuk Melepas Rasa Jenuh Dalam Rumah.............. 119 7.3 Makna Psikologis ............................................................................. 121 Refleksi ................................................................................................... 127 BAB VIII PENUTUP 8.1 Simpulan .......................................................................................... 129 8.2 Saran ................................................................................................ 132 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvi
xvi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Penduduk Kota Denpasar Dirinci Per Kecamatan, dan Jenis Kelamin .......................................................................................
42
Tabel 4.2 Perkembangan Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Denpasar Tahun 2002-2006.................................................
46
xvii
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 4.1 Gambar Peta Kota Denpasar ............................................... 40 2. Gambar 4.2 Mobil Pengangkut Barang Yang Masuk Ke Pasar Badung .
53
3. Gambar 4.3 Pasar Badung Yang Monolit dan Elegan .............................
54
4. Gambar 4.4 Perempuan Tukang Suun Sedang Mengangkut Barang Pemasok ................................................................................................
56
5. Gambar 5.1 Perempuan Tukang Suun Pasar Badung .............................
79
6. Gambar 5.2 Sedang Berkeliling Mencari Pelanggan ..............................
85
7. Gambar 5.3 Perempuan Tukang Suun Mendekati Konsumen .................
85
8. Gambar 5.4 Perempuan Tukang Suun Sedang Menuas Sampian Nuras ..
87
9. Gambar 6.1 Perempuan Tukang Suun Sedang Mengangkut Barang Belanjaan Konsumen .................................................................
92
10. Gambar 6.2 Peluang Kerja Sebagai Tukang Suun Di Pasar Badung .......
105
11. Gambar 7.1 Perempuan Tukang suun Mengikuti Pembeli Berbelanja ....
115
xviii
xviii
GLOSARIUM
banjar
: salah satu jenis organisasi sosial yang ada pada masyarakat Bali.
canang
: pelengkap
sarana
upacara
keagamaan
pada
masyarakat Bali. luh luih
: istilah untuk menyebut perempuan yang memiliki kecantikan fisik dan sifat-sifat yang baik pada budaya Bali.
luh luu
: istilah untuk menyebutkan yang tidak memiliki sifat-sifat kecantikan sebagai kebalikan dari luh luih (perempuan tidak baik).
menyama braya
: istilah yang menunjukkan ikatan kesetiakawanan dan kebersamaan yang dimiliki masyarakat Bali.
mesangih
: upacara potong gigi umat Hindu yang bermakna simbolis untuk menghapus atau mengurangi sifat serakah pada diri.
metuasan
: keterampilan yang berkaitan dengan pembuatan sarana upacara pada masyarakat Bali.
ngaben
: upacara pembakaran mayat di Bali yang bermakna mempercepat
proses
pengembalian
kedalam
unsur-unsur asalnya. ngotonin
: upacara atau ritual selamatan pada masyarakat Bali ketika bayi berumur enam bulan.
ngoot
: istilah yang digunakan untuk mengkompensasikan tugas atau kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga masyarakat dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan.
odalan
: upacara atau ritual keagamaan yang dilakukan di tempat suci seperti pura atau sanggah.
xix
xix
pang ngelah sekaya
: istilah yang digunakan untuk menunjuk semangat agar berpenghasilan sendiri.
pemacekan agung
: hari suci agama Hindu yang jatuh lima hari sebelum hari raya Kuningan.
pemopog
: istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan ngoot, yaitu kompensasi tugas atau kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga masyarakat dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan.
pengupa jiwa
: sebuah istilah berkaitan dengan upaya yang dilakukan seseorang untuk mencari penghidupan.
rasa jengah
: rasa malu yang memotivasi untuk tetap berusaha.
rwa bhineda
: dua hal yang bertentangan atau berbeda.
stana rajeg
: istilah untuk pewaris keturunan
sangkep banjar
: kegiatan warga masyarakat berkumpul di balai desa untuk melakukan musyawarah desa.
xx
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Globalisasi merupakan proses sosial yang membawa seluruh bangsa dan negara di dunia saling terikat, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau satu kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Globalisasi berpengaruh terhadap perekonomian dunia, dan juga pada bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Kebudayaan sebagai sesuatu yang dipelajari dan sarana mekanisme adaptasi yang diwariskan secara turun temurun, menyangkut aspek-aspek pengetahuan, kepercayaan diri, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan segala kebiasaan sebagai anggota masyarakat. Terkait dengan kebudayaan sebagai sesuatu yang dipelajari, dalam era global terpaan informasi melalui kemajuan teknologi sangat memungkinkan seseorang mengadopsi nilainilai
pengetahuan
dan
kebiasaan
di
luar
lingkungan
sosialnya.
Ciri
berkembangnya globalisasi kebudayaan dapat dilihat dari (1) berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, (2) penyebaran prinsip multikebudayaan dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya, (3) berkembangnya tourisme dan pariwisata, (4) berkembangnya mode yang berskala global, (5) banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, dan (6) bertambah banyaknya event-event berskala global. Chia
1
2
mendiskripsikan arus globalisasi sebagai sebuah fenomena teknologi, ekonomi, politik, dan budaya (Suhanaji,2004:140). Salah satu arus globalisasi yang paling santer adalah globalisasi perekonomian, yang merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian di satu pihak membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetetif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Kondisi ini akan berpengaruh langsung terhadap pemanfaatan tenaga kerja. Perusahaan global akan memakai tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai dengan kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki ketrampilan dan pengalaman internasional sedangkan buruh kasar biasanya diambil dari negara berkembang. Begitu pula dengan Indonesia, yang merupakan bagian dari belahan dunia tidak bisa menghindar dari arus globalisasi. Sebagai konsekuensi dari kenyataan di atas, manusia masa kini harus mampu mempersepsikan dunianya sebagai suatu global village (Bagus,2001:1). Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata mancanegara juga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, dimana pengaruhnya dirasakan pada perkembangan perekonomian masyarakat.
Perkembangan pariwisata
Bali
berdampak pada perubahan pola mata pencaharian masyarakatnya dari agraris ke bidang industri dan penjual jasa. Kegiatan pariwisata Bali membuka peluang kerja
3
yang luas bagi masyarakat, tetapi tidak semua sektor pekerjaan dapat dengan mudah dimasuki oleh setiap orang khususnya perempuan. Keterbatasan perempuan dalam mengakses peluang kerja yang ada, tidak terlepas dari pengaruh budaya patriarkhi yang berlaku secara universal. Budaya patriarkhi adalah budaya yang menempatkan laki-laki pada kedudukan dan peran yang lebih penting dan dominan dalam menentukan segala keinginan dan keputusan terutama menyangkut kebebasan perempuan terjun kedunia publik. Terjunnya perempuan ke dunia publik menyebabkan mereka harus merampungkan pekerjaan domestik terlebih dahulu sebelum terjun ke sektor publik atau nafkah. Dengan demikian keterlibatan perempuan dalam dunia publik akan memperberat tugas-tugas perempuan sehingga perempuan sering memikul beban ganda bahkan triple role. Pada
sektor
publik
umumnya
peluang
kerja
yang
ada
dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni sektor formal dan sektor informal. Pada sektor informal setiap orang dapat masuk dan berkecimpung didalamnya, karena bidang ini tidak terlalu banyak menuntut persyaratan. Ciri dari sektor informal antara lain, sektor ini sangat mudah dimasuki karena tidak memerlukan keterampilan yang tinggi, bersandar pada sumber daya lokal, bergerak dalam lingkup operasi sekala kecil, dan berbentuk usaha sendiri sehingga mudah diatur sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sedangkan pada sektor formal berlaku sebaliknya (Cris Manning,1985:75). Untuk mempertahankan hidup di tengah persaingan ini, setiap orang akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka yang tidak tertampung dalam
4
sektor formal akan memasuki pekerjaan sektor informal yang tidak mensyaratkan tingkat pendidikan. Menurut Maslow (yang dikutif Usman Pelly,1994: 2) dalam mempertahankan hidup manusia harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Ada lima kebutuhan dasar manusia, yaitu (1) kebutuhan fisiologis (faal), (2) kebutuhan keamanan atau keselamatan, (3) kebutuhan rasa memiliki atau cinta kasih, (4) kebutuhan harga diri, dan (5) kebutuhan perwujudan diri. Untuk dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan tersebut manusia perlu melakukan pergulatan atau perjuangan yang disebut bekerja, karena pekerjaan merupakan objektivasi dan sebagai wadah pencerminan sifat sosialnya (Magnes Suseno,1999). Dalam memilih pekerjaan, orang sering dihadapkan pada masalah dikotomi. Menurut Atmaja (2004:11) dalam masyarakat Bali berlaku konsep Rwa bhineda, dualisme kultural yang memilah atau menilai sesuatu atas dua komponen yang berlawanan, yakni baik-buruk, bersih-kotor, dan kasar-halus. Di samping pemilihan pekerjaan atas dasar konsep dualisme kultural, dalam masyarakat juga berlaku konsep pemilihan atau pembagian pekerjaan berdasar jenis kelamin. Parker dan Parker
menyatakan ada kegiatan-kegiatan yang secara konsisten
diperuntukkan laki-laki yaitu kegiatan yang memerlukan fisik yang lebih kuat, tingkat resiko dan bahaya yang lebih tinggi, sering keluar dari rumah, serta tingkat kerterampilan yang lebih tinggi. Kegiatan ini tercermin dari sifat maskulinitas yang dimiliki laki-laki. Ada pula kegiatan yang secara konsisten diperuntukkan untuk perempuan yaitu kegiatan yang kurang mengandung bahaya, tingkat keterampilan rendah dan tidak memerlukan latihan yang intensif. Kegiatan ini tercermin pada sifat femininitas yang dimiliki perempuan (Sanderson,2003:396).
5
Menurut konsep ini bahwa dalam masyarakat ada pekerjan yang cocok untuk laki-laki dan ada juga pekerjaan yang cocok untuk perempuan. Pekerjaan yang diperuntukkan untuk laki-laki adalah pekerjaan yang menggunakan fisik yang kuat seperti berburu, bekerja pertambangan, bekerja dalam industri. Sebaliknya pekerjaan yang cocok untuk perempuan adalah pekerjaan yang tidak menuntut penggunaan fisik kuat seperti memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak dan lain-lainnya. Konsep tersebut di atas tidak selalu benar karena dalam realitas sering dilihat kaum perempuan mengerjakan pekerjaan yang selama ini diklaim sebagai milik laki-laki yang mensyaratkan fisik kuat seperti perempuan yang bekerja di pertambangan, buruh pasar (penjual jasa pembawa barang), buruh bangunan, maupun di bidang pekerjaan berat lainnya. Sebaliknya, banyak juga laki-laki yang menekuni pekerjaan sebagai tukang masak, tukang jahit (desainer), dan di bidang kecantikan yang menurut masyarakat dianggap lebih pantas dikerjakan oleh perempuan. Seperti diungkapkan Sadli (1997:47) perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan yang tidak berbeda diluar perbedaan seks yang mereka miliki. Bali sebagai daerah tujuan wisata, membuka peluang kerja bagi kaum perempuan dari berbagai bidang pekerjaan baik yang menuntut penguasaan ilmu dan ketrampilan maupun pekerjaan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Salah satu pekerjaan yang digeluti oleh kaum perempuan yang mengandalkan pada kekuatan fisik adalah pekerjaan sebagai buruh pasar. Pekerjaan ini digeluti oleh kaum perempuan terutama perempuan di kota Denpasar. Pasar Badung
6
merupakan pasar terbesar di Bali tidak pernah berhenti dari aktivitas perdagangan “tidak pernah tidur”. Denyut aktivitas perdagangan ini sangat membutuhkan peran buruh pasar yang dilakoni oleh kaum perempuan yang sering disebut juga dengan tukang suun. Pergulatan atau perjuangannya di tengah pasar yang ramai kerapkali luput dari perhatian masyarakat karena dianggap sebagai pekerjaan masyarakat kelas bawah. Dari pengamatan dan informasi sementara, perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung cukup banyak dan keberadaannya tidak diorganisir oleh pihak pasar. Mereka datang dari beberapa daerah di Bali seperti Karangasem, Klungkung, Gianyar, Buleleng dan menetap di Denpasar. Melakukan pekerjaan sebagai tukang suun sudah jelas memerlukan tenaga yang kuat, agar barang yang dijunjung tidak jatuh, keadaan ini sangat bertentangan dengan sifat femininitas yang disandang perempuan. Perempuan dikatakan memiliki fisik yang lemah sebenarnya kurang cocok melakukan pekerjaan tersebut. Namun kenyataan mereka tetap melakukan pekerjaan tukang suun. Pekerjaan sebagai tukang suun tidak bisa dianggap sebagai pekerjaan yang mudah karena memerlukan kekuatan fisik yang sangat kuat dan ketekunan. Dalam menjalankan aktivitas tukang suun akan berhadapan dengan berbagai kondisi seperti, lingkungan pasar yang penuh persaingan, penilaian masyarakat, beban kerja yang berat, serta aktivitas domestik yang menjadi tanggungjawabnya. Keadaan ini sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian agar diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung,Kota Denpasar Sebuah Kajian Budaya.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sektor domestik dan publik? 2. Faktor - faktor apakah yang mendorong pergulatan perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung ? 3. Bagaimanakah makna pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Kajian ini secara umum bertujuan untuk mengungkapkan secara jelas
tentang pergulatan perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. 1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sektor domestik dan publik.. 2. Untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang mendorong pergulatan perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung . 3. Untuk mengungkap makna pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung.
8
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1.4.1
Manfaat Teoretis 1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan budaya, yang menjelaskan pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung suatu kajian budaya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya yang ingin membahas tentang peran serta perempuan di dunia publik.
1.4.2
Manfaat Praktis 1. Secara praktis hasil kajian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dan keluarga agar dapat lebih memahami tentang masalah perempuan
yang
bertalian
dengan
upaya
perempuan
untuk
memperbaiki status dan perannya dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Studi perempuan di lingkungan akademik menunjukkan kondisi yang progresif, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya studi tentang perempuan yang telah dilakukan. Kajian-kajian tersebut banyak menyoroti tentang peran perempuan dalam dunia publik yang bertalian dengan ekonomi keluarga. Dalam kajian pustaka ini penulis merujuk beberapa buku dan hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam tulisan Murniati (1993) berjudul “Dinamika Gerakan Perempuan” menyatakan bahwa perempuan dikodratkan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, merupakan suatu fungsi yang tidak dapat diambil alih oleh laki-laki. Perbedaan biologis ini sering dieksploitasi untuk mensubordinasi perempuan sebagai mahluk yang lemah, lembut dan cenderung mengalah merupakan atribut yang digunakan untuk menggambarkan perempuan, sedangkan laki-laki digambarkan mempunyai fisik yang kuat dapat bekerja lebih keras. Pembagian fungsi ini mengarah pada pembagian kerja. Pola berpikir ini mempunyai andil dalam memantapkan akses negatif dari ideologi gender. Adapun kaitannya dengan penelitian penulis adalah kajian di atas memberi pemahaman bahwa perbedaan biologis mempengaruhi peran yang dimainkan oleh seseorang. Legitimasi gender seperti di atas menyebabkan ada beberapa pekerjaan
9
10
yang dianggap pantas dilakukan oleh perempuan dan begitu pula sebaliknya ada beberapa jenis pekerjaan yang dianggap tidak pantas dilakoni oleh perempuan. Kondisi ini yang menyebabkan perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang kaum laki-laki. Pembagian kerja secara seksual dan subordinasi perempuan dalam masyarakat juga dibahas oleh Ester Boserup dalam bukunya “Women’s Role in Economic Development” menyatakan pembagian kerja secara seksual dan subordinasi perempuan dalam kegiatan produksi karena faktor teknologi, kepadatan penduduk dan sistem usaha pertanian (Saptari dan Holszner,1997:21). Kajian di atas memberi pemahaman bahwa tersubordinasinya perempuan diranah ekonomi atau produksi tidak bisa dilepaskan dari faktor pemakaian teknologi yang memiliki dua arti, selain memberi kemudahan bagi perempuan dalam menyelesaikan pekerjaan domestik tetapi juga mampu merampas beberapa lahan pekerjaan yang sebelumnya menjadi ladang ekonomis kaum perempuan. Kondisi ini nampak jelas ketika modernisasi diterapkan dalam sistem pertanian, dimana proses pengolahan pertanian yang sebelumnya dikerjakan oleh tenaga kaum perempuan perlahan-lahan tergantikan oleh teknologi. Terpinggirnya kaum perempuan juga diakibatkan oleh persaingan di dunia kerja sebagai dampak dari bertambahnya jumlah penduduk. Pekerjaan yang mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu tidak mampu diakses oleh kaum perempuan karena mereka tidak memiliki kapital pendidikan yang memadai. Keadaan inilah yang menyebabkan kaum perempuan berada dibawah kekuasaan kaum laki-laki.
11
Wiasti (2001) dalam penelitiannya tentang “Peluang dan Pergeseran Kerja: Analisis Tentang Tenaga Kerja Wanita Di Bali” menyatakan bahwa bergesernya wanita Bali dari bidang pertanian dikarenakan bidang tersebut tidak lagi dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Perubahan ini erat terkait dengan beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, penggunaan teknologi baru dalam usaha tani, dan perubahan sistem panen. Kajian di atas memberikan gambaran, terpinggirnya perempuan dari sektor pertanian berdampak pada penguasaan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh perempuan. Mereka tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan ekonominya secara layak, karena itulah mereka berusaha mencari pekerjaan di luar sektor pertanian agar mampu bertahan hidup. Pertanian tidak lagi menjadi basis ekonomi kaum perempuan, mereka mulai beralih ke sektor industri dan jasa. Kiprah perempuan di sektor informal juga nampak dalam penelitian Kebayantini (2000) menyoroti tentang “Kehidupan Wanita Buruh Bangunan Di Desa Abiantuwung”. Sebagai buruh bangunan pekerjaan yang mereka lakukan cukup kompleks, meliputi tukang cat, tukang labur, tukang pernis, dan berbagai jenis pekerjaan lainnya yang menuntut kondisi fisik yang cukup kuat. Adapun alasan mereka menekuni pekerjaan ini sebagian besar karena faktor ekonomi, disamping faktor pendidikan dan masalah waktu. Pendapatan yang mereka peroleh sebagai buruh bangunan memberikan kontribusi yang cukup tinggi bagi perekonomian keluarga. Kaitan dengan penelitian penulis, kajian ini memberi pemahaman bahwa perempuan dapat melakukan peran yang kompleks tanpa mempertimbangkan perbedaaan jenis kelamin, serta penggunaan fisik yang kuat.
12
Bagi mereka bekerja merupakan suatu keharusan, karena itu mereka tidak memilih-milih jenis pekerjaan, baik itu pekerjaan kasar atau halus, berat atau ringan semua mesti dapat dilakoni. Terpenting pekerjaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak terikat ketat oleh waktu karena perempuan tidak bisa terlepas dari ikatan domestik dan menyama braya (sosial). Dari paparan di atas bahwa keterlibatan perempuan di sektor publik bertalian erat dalam upaya peningkatan ekonomi keluarga dan hal ini merupakan suatu keharusan, sebab tanggung jawab keluarga dalam masyarakat konvensional adalah tanggung jawab bersama. Penelitian sejenis juga dilaksanakan yang berkaitan dengan studi perempuan dan membahas tentang produktifitas perempuan dalam peningkatan aspek ekonomi keluarga. Adapun latar belakang perempuan bekerja menurut Suryani (1993:223) antara lain karena harga diri sebagai perempuan yang tidak hanya mengandalkan jerih payah suami, menambah keuangan keluarga, demi karier, dan mengisi waktu agar terbebas dari lingkungan keluarga. Kaitan kajian ini dengan penelitian penulis adalah bahwa kajian tersebut memberi inspirasi bahwa terjunnya perempuan ke sektor publik tidak semata-mata karena dorongan ekonomi tetapi juga erat terkait untuk mencapai kebebasan dan kemandirian diri sehingga dihargai oleh lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Bekerja merupakan salah satu senjata yang dapat digunakan oleh perempuan untuk membebaskan dirinya dari belenggu ketersubordinasinya. Kajian yang selaras juga dilakukan oleh Gandarsih (1986) yang mengungkap tentang “Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman” menyatakan bahwa
13
dalam usaha memahami peran ganda perempuan sangat penting bagi kita untuk memahami nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam budaya Jawa dikenal pandangan budaya seperti pasrah, nrimo dan manut, ternyata membawa nilai positif bagi perempuan dalam menghadapi kehidupan. Hal ini nampak pada perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri, dan pedagang di Kecamatan Keraton (Yogyakarta) yang termotivasi memenuhi kebutuhan keluarga, untuk memperoleh kepuasan dan mengatasi kejenuhan rutinitas pekerjaan rumah tangga. Kaitan kajian ini dengan penelitian penulis bahwa kajian di atas memberi inspirasi peran ganda yang dilakukan perempuan berkaitan dengan nilai budaya yang dianut, yang nantinya melahirkan etos kerja. Begitu pula dengan perempuan Bali yang berkecimpung di tiga peran (triple role), yakni domestik, publik dan sosial dilandasi oleh etos kerja yang sangat kuat, baik bersumber pada ajaran agama maupun nilai-nilai kultural yang berkembang dalam masyarakat. Konsep kerja sebagai sebuah dharma, rasa jengah pang ngelah ja sekaya (semangat juang agar punya kekayaan sendiri) merupakan nilai-nilai yang memotivasi perempuan Bali untuk menjadi seorang pekerja keras. Studi tentang perempuan yang terkait dengan aspek sosial-ekonomi tersirat pula dalam tesis Astiti (1986) yang mengkaji tentang “Perubahan Ekonomi Rumah Tangga dan Status Sosial Wanita dalam Masyarakat Bali yang Patrilineal”. Menurut Astiti, semenjak pariwisata di daerah Bali berkembang terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan perempuan di Desa Kamasan, Klungkung, dimana banyak di antara mereka mulai melakoni pekerjaan nafkah. Meningkatnya peranan perempuan dalam pekerjaan nafkah berarti telah
14
meningkatkan pendapatan perempuan yang dapat mempengaruhi potensi perempuan dalam pengambilan keputusan. Adanya perubahan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang-bidang tertentu yang bersumber pada adat kekerabatan patrilineal dapat dijadikan petunjuk telah terjadi perubahan dalam alokasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga dan keluarga. Kajian ini memberikan landasan pada penelitian penulis, bahwa kapital ekonomi
yang
dimiliki
perempuan
akan
mampu
menggeser
dari
keterpinggirannya. Posisi perempuan tidak selalu sebagai pendengar yang baik, tetapi pendapat atau suara perempuan mulai didengarkan. Perempuan memiliki hak membuat keputusan di beberapa bidang di ranah domestik. Paparan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sangat bermanfaat dalam penelitian ini. Hasil penelitian tersebut dapat memberi inspirasi, pemahaman juga dapat mempertajam konsep yang bertalian dengan keterlibatan perempuan dalam ranah domestik dan selanjutnya akan dijadikan bahan untuk memperkuat argumentasi sehingga hasil yang diperoleh akan lebih tajam. Dari kajian-kajian tersebut di atas nampaknya belum ada kajian yang secara khusus membahas tentang Pergulatan Perempuan Tukang Tukang Suun Pasar Badung, Kota Denpasar: sebuah kajian budaya.
2.2 Konsep Untuk memperjelas pembahasan dalam penelitian ini, maka dipergunakan beberapa konsep yang berkaitan dengan judul penelitian. Konsep-konsep tersebut
15
antara lain (1) pergulatan perempuan, (2) tukang suun, (3) pergulatan perempuan tukang suun, (4) Pasar Badung, (5) kajian budaya. 2.2.1 Pergulatan perempuan Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, pergulatan berasal dari kata ‘gulat’ mendapat himbuhan ber menjadi ‘bergulat’ berarti bergumul. Dalam bentuk kata kias ‘bergulat’ berarti berjuang. Misalnya terpaksa bergulat dengan kesukaran-kesukaran. Pergulatan berarti’perjuangan’ (Poerwadarminta,1982:331). Menururt Marseline Nope (2005:55) secara teoritis kedudukan perempuan tersubordinasi baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik Budaya patriarkhi berpeluang besar memarginalkan perempuan. Pemarginalan paling kuat terjadi pada lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan kelompok primer di mana perempuan berstatus sebagai istri dan laki-laki berstatus sebagai suami dan melakukan interaksi paling intensif. Peminggiran perempuan mendorong upaya perlawanan perempuan. Menurut Atmaja (2006:11) Bentuk perlawanan yang dilakukan perempuan antara lain, (1) perlawanan kecil-kecilan, contoh istri tidak memberi pelayanan seksual kepada suami, istri tidak memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak, Puik dan ngambul. Puik, yakni tidak bertegur sapa pada suami atau orang yang memarginalkan, perlawanan dengan tangis, perlawanan secara religius magis, perlawanan dengan kekerasan. Disamping perlawan dalam lingkungan keluarga terdapat pula perlawanan yang lebih besar, mendasar dan lebih luas, seperti gerakan feminisme. Feminisme merupakan suatu gerakan sosial yang bertujuan agar perempuan mendapat status yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang
16
politik, ekonomi, sosial. (Soekanto,1985) menyatakan feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, dunia kerja dan keluarga. Kata Perempuan dalam kamus bahasa Indonesia berarti jenis yang menjadi lawan laki-laki, ‘wanita’; misalnya orang perempuan, kakak perempuan. (Poerwadarminta,1982:738). Menurut Umar Yunus (1985:22), perempuan adalah bagian dari suatu kehidupan rumah tangga, serta dalam pengertian perempuan ada pengertian “pe(ng) rumahan,
yaitu merupakan bagian dari suatu kehidupan
rumah, terpisah dari dunia luar, sehingga terwujud sebagai bentuk pemingitan. Perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia, ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya dan dalam tataran sosiokultural perempuan dibatasi
oleh
budaya
patriarkahat
yang
kukuh
dan
merobohkannya
(Naqiyah,2005). Dengan demikian yang dimaksud dengan perempuan adalah manusia yang secara biologis berbeda dengan laki-laki, yang merupakan bagian dari kehidupan rumah tangga dan mempunyai keinginan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun geraknya dibatasi oleh nilai sosial dan budaya yang berlaku. Dari paparan di atas pergulatan perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perjuangan atau pergulatan untuk membebaskan diri dari keterpinggiran ekonomi, budaya dan sosial yang dilakukan manusia yang berjenis kelamin perempuan sebagai bagian dari kehidupan rumah tangga yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang
17
dimiliki serta berusaha untuk meningkatkan status ekonominya melalui pergulatan atau perjuangan yang dilakukan sebagai tukang suun Pasar Badung. 2.2.2 Tukang Suun Perbedaan sistem mata pencaharian hidup antara masyarakat pedesaan dengan perkotaan, terlihat di desa masyarakat hidup dari pertanian sedangkan di perkotaan masyarakat hidup dari sektor industri dan jasa. Fenomena yang terjadi bahwa masyarakat di kota hanya sebagian kecil saja yang terserap pada bidang industri seperti bekerja di perusahaan sektor modern sebagai pekerja formal, namun bagi sebagian besar masyarakat lainnya melangsungkan kehidupannya pada sektor informal. Menurut Hart sektor informal merupakan bagian angkatan kerja di kota yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisasi. Dalam kegiatannya, sektor informal mempunyai ciri padat karya, tingkat produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, pekerja keluarga, gampang keluar masuk usaha dan merupakan usaha sendiri (Cris Manning,1985: 75). Pekerja dalam sektor informal kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat bawah dan mereka hidup di kota. Mereka dipandang sebagai pekerja marginal seperti perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Tukang suun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu jenis pekerjaan dalam sektor informal yang banyak digeluti oleh perempuan yang memiliki karakteristik tingkat pendidikan rendah, merupakan usaha sendiri sebagai pekerja keluarga serta mudah keluar masuk usaha dengan melakukan
18
aktivitas berupa menjual jasa kepada orang lain, dengan membawa barang orang lain dengan menjunjung (nyuun). 2.2.3 Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pergulatan perempuan tukang suun yang dimaksud dalam penelitan ini adalah perjuangan yang dilakukan perempuan sebagai bagian dari kehidupan rumah tangga untuk membebaskan diri dari keterpinggiran yang disebabkan oleh budaya,sosial dan ekonomi melalui kegiatan yang digeluti pada sektor informal sebagai tukang suun Pasar Badung. 2.2.4 Pasar Badung Menurut Sartono Kartodirjo (dikutif Yudhi Andono (2007)), Pasar sebagai pusat perekonomian, merupakan tempat bertemunya para penjual dan pembeli. Selain itu pasar merefleksikan kreativitas manusia, yang melaluinya mereka berusaha merealisasikan dirinya dan menemukan identitasnya sebagai mahluk yang berbudaya. Sedangkan menurut Damzar (2002:83) pasar merupakan salah satu lembaga dalam institusi ekonomi, dan pasar merupakan salah satu penggerak utama dinamika kehidupam ekonomi. Berfungsinya pasar sebagai institusi ekonomi tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang. Pasar Badung merupakan salah satu pasar tradisional yang ada di kota Denpasar. Pasar tradisional merupakan salah satu lembaga dalam institusi ekonomi dan sebagai salah satu penggerak dinamika kehidupan ekonomi. Pasar sebagai institusi ekonomi tidak dapat lepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang.
19
Dari pendekatan sosiologis pasar merupakan suatu struktur hubungan antara beberapa aktor pasar seperti pembeli, pedagang, perusahaan, pemasok, pesaing, distributor, buruh, dan lain-lain. Semua aktor tersebut membentuk suatu kompleksitas jaringan hubungan yang melibatkan modal budaya dan modal sosial. Pasar dipandang tidak saja karena adanya permintaan dan penawaran tetapi lebih dari itu yaitu adanya kompleksitas jaringan aktor yang menggunakan berbagai macam energi sosial budaya seperti kepercayaan, berbagai bentuk hubungan kekerabatan, suku, daerah dan lain-lain (Damsar,2002:83). Dengan demikian yang dimaksud dengan Pasar Badung dalam penelitian ini adalah Pasar Badung sebagai salah satu pasar tradisional, dan sebagai salah satu penggerak dinamika kehidupan ekonomi kota Denpasar yang melibatkan berbagai aktor pasar seperti pembeli, pedagang, pemasok barang serta buruh pasar. 2.2.5 Kajian Budaya Kajian budaya adalah sebuah formasi diskursif, yaitu sekumpulan gagasan, citra dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang tingkah laku yang diasosiasikan dengan aktivitas sosial tertentu dalam masyarakat. Menurut Bennet kajian budaya adalah; (1) bidang interdisiplin dengan mengambil berbagai perspektif secara selektif dari disiplin lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan dengan politik, (2) kajian budaya terkait dengan semua praktik, lembaga dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, keyakinankeyakinan, rutinitas hidup dan bentuk-bentuk perilaku khas yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat. (3) bentuk-bentuk kekuasaan yang diekplorasi kajian
20
budaya
adalah
beragam
termasuk
gender,
ras,
kelas,
kolonialisme
(Barker,2005:68). Kajian budaya adalah disiplin ilmu yang komprehensip multidisipliner. Jhon Storey (2007:2) menyatakan cultural studies merupakan wacana yang membentang yang merespon kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidak setujuan dan intervensi. Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit (sebagai kehadiluhungan estetis), melainkan budaya yang dipahami sebagai praktik hidup sehari-hari. Cultural studies juga menganggap budaya bersifat politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan. Dari konsep di atas yang dimaksud dengan kajian budaya dalam penelitian ini adalah sebuah disiplin ilmu yang interdisiplin dan multidisipliner yang memusatkan perhatian mengenai rutinitas hidup perempuan tukang suun Pasar Badung sebagai kelompok yang termarjinalisasi dalam masyarakat.
2.3 Landasan Teori Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, dalam bagian landasan teori ini dibahas beberapa teori yang dipandang relevan untuk menganalisis tentang masalah yang diajukan. Adapun teori tersebut antara lain, teori Feminis Pascastrukturalis, Teori motivasi dan teori perubahan sosial.
21
2.3.1 Teori Feminisme Pascastrukturalis Gerakan
perempuan
dan
studi
tentang
perempuan
membawa
perkembangan pada teori-teori feminis. Teori feminis sangat beragam dan telah berubah secara dramatis sejak awal kemunculannya. Feminisme adalah bidang teori dan politik yang plural, dengan berbagai perspektif dan rumusan aksi yang saling bersaing. Secara umum bisa dikatakan bahwa feminisme melihat seks atau kelamin sebagai sebuah sumbu organisasi sosial yang fundamental dan tidak bisa direduksi, telah menempatkan perempuan dibawah laki-laki. Perhatian utama feminisme adalah pada jenis kelamin sebagai prinsip pengaturan kehidupan sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan. Para feminis melihat bahwa subordinasi perempuan dalam lembaga dan praktik bersifat struktural. Subordinasi struktural ini disebut sebagai patriarki, bersama dengan makna-makna tuntutannya tentang keluarga yang dipimpin laki-laki, penguasaan dan superioritas. Perubahan politik feminis terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi wanita, yakni, hak perempuan untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara intelektual (Gross,1986:193). Feminisme berupaya membangun strategi politik untuk mencampuri kehidupan sosial demi kepentingan perempuan. Adapun teori-teori feminis tersebut meliputi, Feminis Liberal, Feminis Marxis, Feminis Radikal, Feminis Sosialis, Feminis Kultural, dan Feminis Pascastruktural. Dalam penelitian ini teori feminis yang digunakan adalah teori feminis pascastrukturalis. Kaum Pascastrukturalis masih dikaitkan dengan para feminis Prancis. Tokoh teori ini adalah Simone de Beauvoir, karyanya The Second sex.
22
Dari dikotomi ini perempuan tidak hanya berbeda dengan laki-laki tetapi juga inferior. (Barker,2005:295) mengatakan bahwa seks atau kelamin dan gender merupakan konstruksi sosial dan kultural yang tidak bisa dijelaskan secara biologis serta tidak bisa direduksi kepada fungsi-fungsi kapitalisme. Pendirian antiesensialis melihat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah katagori yang universal dan abadi, melainkan konstruksi diskursif. Artinya feminitas dan maskulinitas adalah cara-cara mendeskripsikan dan mendisiplinkan subjek manusia. Asumsi yang digunakan feminisme menolak esensialis untuk menghindari ajegnya penindasan dan subordinasi. Allcoff melihat penekanan apapun tentang perempuan yang spesial dan lembut adalah sesuatu yang salah, dan hal ini sangat berbahaya karena dapat menyolidkan penindasan terhadap seksis (Barker,2005: 299). Kaum feminis Pascastrukturalis memfokuskan cara-cara pemecahan yang menurut De Beavoir ada tiga strategi yang dapat dilakukan, (1) perempuan mesti bekerja, (2) perempuan perlu menjadi intelektual, (3) perempuan perlu menjadi sosialis yang menstraformasikan masyarakat, yang akan menanggapi konflikkonflik subjek dan objek dan diri-sendiri dan orang lain. Berdasarkan hal diatas teori ini digunakan untuk membedah masalah pertama yaitu tentang bagaimana pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung. Dalam melakukan aktivitasnya, perempuan sebagai mahluk yang berbeda dengan kali-laki perempuan dituntut kemandirian dalam arti perempuan mengenali dirinya sendiri, memahami cita-cita, mampu mengambil keputusan dengan tanpa ragu-ragu. Pengenalan diri ini terwujud dalam kemampuan
23
perempuan mengenal potensi diri, memanfatkan peluang yang ada, menyadari hambatan dan tantangan serta mau dan mampu mengadakan perubahan 2.3.2 Teori Motivasi Motivasi berarti alasan atau dorongan (Daryanto,1997:440). Motivasi berarti niat, dorongan dasar untuk berbuat sesuatu, kalau ada yang kuat belajar, pasti ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai hasil yang baik (Badudu-Zain,1996:909). Motivasi berarti dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan sikap dengan tujuan tertentu (Partanto,1994:120). Motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu tersebut untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai tujuan yang diinginkan (Suryobroto,1984). Secara konseptual motivasi berkaitan erat dengan prestasi atau hasil yang dicapai, orang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja umumnya akan memperoleh prestasi kerja yang lebih baik. Dalam kerangka C. Kluckhohn dinyatakan bahwa hakekat kerja dalam kehidupan manusia terdiri atas tiga macam alasan yaitu (1) kerja untuk nafkah, (2) kerja untuk
kedudukan
(status),
kerja
untuk
kerja
yang
berkelanjutan
(Koentjaraningrat,1987). Bagaimana pandangan orang tentang hakekat kerja yang dianut akan memberikan motivasi terhadap tindakannya. Untuk melahirkan semangat kerja tinggi orang akan berorientasi pada kerja untuk menghasilkan karya yang lebih banyak. Demikian pula tindakan yang dilakukan oleh perempuan didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu berupa prestasi kerja yang lebih baik.
24
Selain hal tersebut di atas, ada juga motivasi yang sengaja ditimbulkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh seseorang, seperti nilai-nilai keagamaan. Dalam ajaran Agama Hindu bekerja adalah dharma yakni merupakan kewajiban agama yang harus dijalankan. Bekerja di dalam rumah tangga maupun bekerja untuk nafkah merupakan kewajiban yang harus dijalankan. Oleh sebab itu perempuan Bali dalam bekerja terkenal sangat ulet tidak mempersoalkan apakah pekerjaan tersebut untuk laki-laki atau perempuan. Hal ini dimotivasi oleh nilai-nilai agama yang dianut sepeti bekerja adalah sebagai kewajiban dan sebagai rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan anak. Motivasi yang ditimbulkan oleh nilai-nilai tersebut sangat penting ditanamkan pada seseorang, karena agama apapun mendorong penganutnya untuk bekerja (Imron,1996). Motivasi dapat dibedakan atas dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrisik adalah motivasi berasal dari dalam diri individu bersangkutan sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar atau faktor lingkungan. Sardiman (1986) mengemukakan bahwa ciri-ciri motivasi yang ada pada diri seseorang adalah tekun menghadapi tugas, serta tidak mudah putus asa, tidak cepat puas atas prestasi yang dicapai dan senang memecahkan masalah. Demikian pula pada kehidupan perempuan. Perempuan dalam bekerja biasanya ulet dan telaten, mereka bekerja dengan gigih demi mempertahankan kelanjutan keluarga, sehingga mereka tidak cepat puas mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk memupuk kesejahteraan keluarga. Dengan demikian perempuan khususnya perempuan Bali tidak pernah memilih-milih pekerjaan demi menghidupi keluarganya.
25
Untuk itu manusia bertindak atau bekerja senantiasa didorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, dan pemenuhan kebutuhan tersebut biasanya dimulai dari tingkatan yang paling dasar dan secara bertahap menuju kepada kebutuhan yang paling tinggi (Imron,1996). Menurut Maslow menyatakan ada lima kebutuhan dasar manusia. Ke lima kebutuhan tersebut adalah; (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan ego, kebutuhan aktualisasi diri (Imron,1996). Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling dasar dan paling penting dalam kehidupan manusia. Kebutuhan ini sangat berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan eksistensinya. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, pakaian, rumah, serta kebutuhan biologis. Kebutuhan rasa aman merupakan kebutuhan dimana setiap orang merasa aman, tidak saja secara fisik, tetapi juga secara psikhis. Kondisi yang aman dan nyaman dapat sebagai faktor pendorong orang bekerja. Kebutuhan sosial erat berkaitan dengan status dan peran manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial manusia akan hidup bersama dengan manusia lain. Kebutuhan sosial ini mengandung arti bahwa seseorang akan dapat diterima oleh orang lain, kebutuhan ini juga dapat sebagai pendorong orang beraktivitas dengan semangat karena mereka merasa diterima oleh komunitasnya. Kebutuhan ego, pada dasarnya manusia juga memerlukan penghargaan dan prestasi, dan kebutuhan ini juga dapat sebagai faktor pendorong orang beraktifitas. Demikian juga pada diri perempuan, perempuan dipandang sebagai
26
mahluk ke dua dengan dipandang seperti itu mereka merasa tidak memiliki harga diri sehingga akan mendorong perempuan untuk bekerja keras. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan seseorang agar dapat menunjukkan dan membuktikan dirinya pada orang lain. Untuk dapat mewujudkan kebutuhan ini orang harus dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki. Untuk itu perempuan dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Lingkungan yang berbeda akan menuntut aktualisasi yang berbeda pula. Dari uraian di atas, teori motivasi digunakan untuk membedah permasalahan tentang faktor-faktor yang mendorong pergulatan perempuan bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung Pergulatan perempuan sebagai tukang suun Pasar Badung sudah tentu didorong oleh berbagai faktor terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga di mana perempuan yang bekerja sebagai tukang suun berasal dari keluarga miskin, serta mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga dengan potensi yang dimiliki serta berbekal dengan semangat dan keyakinan yang berfungsi sebagai etos kerja yang mendasari tindakannya dipakai bekal dalam pergulatannya untuk memperbaiki kehidupannya dari keterpinggiran baik secara ekonomi maupun secara sosial. 2.3.3 Teori Perubahan Sosial Menurut Selo Sumarjan perubahan sosial adalah segala perubahanperubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Pelly,1984:189).
27
Demikian juga Gillin dan Gillin mengatakan perubahan sosial adalah variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahanperubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun adanya penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto,1986:286). Perubahan sosial hanya bisa diamati, diketahui oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur dan institusi suatu peri kehidupan tertentu di masa lalu dan sekaligus membandingkannya dengan susunan, struktur dan institusi suatu peri kehidupan di masa kini (Soekanto,1990). Perubahan masyarakat sebagai dampak globalisasi menyebabkan terjadi perubahan terutama terlihat dari pergeseran-pergeseran masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut mereka beralih dari sektor pertanian ke bidang industri dan jasa. Globalisasi telah merubah struktur masyarakat di mana di kota-kota terjadi perluasan kesempatan kerja sebagai dampak pembangunan. Hal ini menjadi daya tarik orang untuk berusaha mencari pekerjaan di kota termasuk perempuan. Perubahan ini menyebabkan perempuan bekerja dalam ranah publik semakin meningkat. Keterlibatannya dalam ranah publik, memungkinkan mereka memiliki sumber daya ekonomi dan ini mampu menggeser pola-pola hubungan mereka dalam rumah tangga serta juga mampu menggeser pola pemikiran mereka. Mereka memiliki kepercayaan diri bahwa mereka juga berpenghasilan serta mampu membangun kepercayaan diri sehingga akan mampu memberi makna pada kehidupannya. Teori ini digunakan untuk membahas permasalahan tentang makna pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung. Terjunnya perempuan ke sektor
28
publik sebagai tukang suun Pasar Badung adalah dampak dari perubahan sosial masyarakat. Modernisasi dan globalisasi membawa perubahan-perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yakni terjadi perubahan mata pencaharian masyarakat, banyak masyarakat yang beralih kesektor industri dan jasa salah satunya sebagai tukang suun Pasar Badung. Perubahan ini secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan perempuan dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Penghasilan yang diperoleh dapat dijadikan sumber daya pribadi bagi perempuan sehingga perubahan ekonomi keluarga, akan dapat menimbulkan perubahan pada aspek sosial dan budaya terutama pada tatanan struktur sosial yakni terjadi pergeseran pada kedudukan perempuan, perempuan lebih dihargai dan juga lebih percaya diri dalam mengekspresikan dirinya dalam lingkungannya.
29
2.4 Model Globalisasi
Budaya Lokal
Pergulatan Perempuan Bali
Gaya Hidup, Status
Pergulatan perempuan tukang suun di sektor domestik dan publik
Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung
Tradisi, Kepercayaan, Budaya Patriarkhi
Faktor-faktor pendorong pergulatan perempuan tukang
Makna pergulatan perempuan tukang suun
Keterangan tanda : Hubungan kausal Hubungan korelasi
Keterangan model : Berdasarkan model diatas dapat digambarkan bahwa berkembangnya arus globalisasi berpengaruh pada kehidupan masyarakat, budaya global menghasilkan produk teknologi, merubah ekonomi, gaya hidup, serta pola hubungan masyarakat yang menyebabkan masyarakat lebih bersifat individual. Pada pihak lain budaya lokal masih tetap berpengaruh pada kehidupan masyarakat di mana masyarakat
30
masih lekat dengan tradisi yang mereka warisi. Pola tingkah laku dan kebiasaankebiasaan yang dianutnya seperti budaya patriarkhi, mereka memandang laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari perempuan. Ke dua budaya ini saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat, dan pengaruhnya tercermin pada aktifitas yang dilakukan oleh perempuan Bali. Perempuan Bali terkenal sebagai perempuan yang ulet, dan bekerja dengan tidak memilih milih pekerjaan. Menurut pandangannya bahwa bekerja adalah sebuah kewajiban, demi keluarga dan anakanak. Hal yang sama dirasakan pula oleh perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Sebagai tukang suun sudah tentu pergulatannya ditengah pasar sangat dipengaruhi oleh budaya global seperti keinginan memiliki barangbarang elektronik seperti TV, magic jar, sepeda motor, VCD, Hand Phone yang banyak ditayangkan melalui iklan-iklan baik melalui media cetak maupun elektronik yang lebih banyak bermuatan kapitalis dan beorientasi dengan pasar, dan juga oleh budaya local seperti kebiasaan-kebiasaan yang suka bekerja keras, ulet serta tidak bersedia hanya meminta kepada suami. Selanjutnya pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung akan dikaji dalam sebuah kajian budaya yang meliputi bagaimana pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sector domestic dan public, faktor-faktor apa yang mendorong pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung, serta apa makna pergulatan yang mereka peroleh sebagai tukang suun.
31
BAB III METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan kebenaran yang bersifat ilmiah, dalam pelaksanaan penelitian ini dipergunakan metode penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara kerja yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan aturan-aturan baku dari masing-masing disiplin ilmu yang dipakai ( Mardalis,1999).
3.1 Rancangan penelitian Penelitian ini mempergunakan paradigma budaya, maka rancangan penelitiannya
berkarakteristik
kualitatif.
Kirk
dan
Miller
(dikutip
Moleong,1991:5) menyatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (dikutip Moleong,1991:3) mengatakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Metode ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik atau utuh. Melalui penelitian kualitatif ini, sasaran yang ingin dicapai adalah menyusun suatu laporan yang bersifat deskriftif naratif dari data yang terkumpul melalui pengamatan dan wawancara tentang fenomena sosial pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung.
31
32
3.2 Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Badung, Kota Denpasar. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas
pertimbangan bahwa Perkembangan Pasar
Badung sangat ditunjang oleh perkembangan Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, industri, budaya dan pariwisata sehingga menjadi tumpuan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik demi kelangsungan hidupnya. Sebagai pusat perdagangan, Kota Denpasar memiliki pasar tradisional Pasar Badung sering dipakai acuan untuk mengetahui tingkat perkembangan perekonomiannya. Pasar Badung merupakan salah satu tempat yang digunakan oleh masyarakat Denpasar dan sekitarnya untuk membuka kesempatan kerja bagi masyarakat yang ingin berwirausaha seperti berdagang. Kesempatan ini juga membuka peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menjual jasanya seperti menjadi tukang suun. Pasar Badung dari waktu kewaktu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut ditunjukkan oleh
aktivitas
jual beli yang berlangsung
24 jam.
Sistem
pengaturan waktu dan tempat berdagang di Pasar Badung dibagi atas dua sistem yaitu pada pagi hari mulai pukul 04.00 sampai pukul 17.00 diberi kesempatan untuk para pedagang untuk beraktifitas di dalam los, sedangkan mulai pukul 15.00 sampai pukul 07.00 diberikan kesempatan berdagang bagi pedagang di pasar bebas atau dipelataran pasar. Kondisi ini membuka kesempatan yang luas bagi perempuan yang bekerja sebagai tukang suun untuk melakukan aktivitasnya.
33
3.3 Jenis dan Sumber data Jenis data dalam penelitian adalah data kualitatif atau data non angka dan data kuantitatif atau data berupa angka-angka. Dilihat dari sumbernya atau darimana data tersebut diperoleh ada data primer dan data sekunder. Menurut Marzuki(1987:55) sumber data dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber data primer adalah informa sedangkan sumber data sekunder adalah dokumen seperti literatur, jurnal, statistik, dan referensi-referensi lain yang terkait dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, kedua sumber data itu sangat diperlukan dalam rangka memecahkan dan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam
penelitian sebagaimana telah
dirumuskan di atas.
3.4 Teknik Penentuan Informan Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling. Menurut Mardalis (1999). Purposive sampling merupakan cara penentuan informan berdasarkan pertimbangan peneliti yang kriterianya disesuaikan dengan tujuan tertentu yaitu informan dipilih yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Berdasar pada uraian di atas, informan utama dalam penelitian ini adalah perempuan tukang suun di Pasar Badung yang telah menekuni pekerjaan sebagai tukang suun selama 3 tahun dan sudah menikah.
Informan sengaja dipilih dengan pertimbangan bahwa
mereka memiliki kemampuan memberikan informasi tentang masalah yang diteliti, disamping itu pertimbangan rentang waktu 3 tahun menjalani pekerjaan
34
tukang suun mereka sudah dapat menentukan kestabilan dalam menentukan komitmen bahwa pekerjaan tersebut memang sudah dapat memberi kontribusi untuk dirinya dan juga mereka yang dipilih sudah menikah karena mereka sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban sosial dalam keluarga dan masyarakat sehingga memudahkan untuk mengamati ciri-ciri sosial budaya yang muncul dari aktivitasnya. Selain informan utama tadi, dalam penelitian ini juga digunakan informan penunjang seperti pedagang, pembeli, pegawai kator PD Pasar Badung, dan juga keluarga perempuan tukang suun Pasar Badung. Mereka dipilih secara porposive dengan mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan mereka tentang masalah yang diteliti.
3.5 Instrumen Penelitian Sebagaimana sudah dikemukakan di atas bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, oleh karena itu data yang diperlukan adalah data yang berbentuk non angka seperti kalimat, kata-kata, ungkapan yang diperoleh dari sumber data primer. Mantra (2004:129) mengatakan bahwa data adalah hasil pengamatan, manifestasi fakta atau kejadian spesifik. Mengingat data yang diperlukan berupa data non angka maka instrumen penelitian yang digunakan harus relevan dengan jenis data yang diperlukan. Dalam penelitian ini digunakan alat atau istrumen berupa pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data. Menurut Mardalis (1999) dalam pengumpulan data diperlukan alat yang tepat dan sesuai dengan permasalahan serta tujuan penelitian sehingga data yang diperlukan dapat diperoleh secara
35
lengkap. Pedoman wawancara memuat pertanyaan tentang pokok-pokok permasalahan yang pokok yang mengacu kepada tujuan penelitian. Sedangkan untuk mendapatkan data sekundernya diperoleh dengan cara mencatat data yang diperlukan, yang bersumber dari berbagai dokumen yang relevan serta sesuai dengan tujuan penelitian. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangat rumit karena si peneliti bertindak selaku perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, menginterpretasikan data serta pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. Dengan demikian peneliti juga sekaligus menjadi instrumen penelitian (Moleong,1991:121).
3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah; (1) Interview (wawancara), (2) observasi dan (3) dokumentasi. 3.6.1
Teknik Wawancara Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung kepada informan dan jawaban-jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam (Suhartono,1999:67). Sedangkan menurut Burhan Bungin (2006:143), wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, perasaan dan sebagainya yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara secara mendalam untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan. Dalam wawancara
36
tersebut digunakan pedoman wawancara dengan beberapa pertanyaan yang dikembangkan yang mengarah kepada masalah-masalah yang ingin diketahui. 3.6.2
Teknik Observasi Observasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana satu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi (Namawi,1995:94). Tehnik pengumpulan data ini dilakukan untuk melihat secara langsung gejala-gejala sosial, budaya dari pergulatan perempuan tukang suun di Pasar Badung dan sekaligus untuk mencocokkan jawaban informan terhadap realita di lapangan. 3.6.3
Teknik Dokumentasi Dokumen merupakan salah satu media yang merupakan rekaman terhadap
proses dan fenomena sosial. Dokumen seringkali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sukar untuk ditangkap melalui observasi langsung. Namun juga dokumen hanya memuat sebagian kecil dari proses dan fenomena sosial sehingga diperlukan analisis internal dan eksternal terhadap dokumen yang akan dikaji sebagai sumber data (Kartodirjo,1990). Selanjutnya menurut Namawi (1995;135) dokumentasi adalah cara mengumpulkan data dengan mengklasifikasikan bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen, maupun buku-buku, koran, majalah dan lain-lain. Dalam penelitian ini dokumen yang digunakan adalah buku-buku, majalah, jurnal, dan dokumen lain yang ada relevansinya dengan penelitian.
37
3.7 Teknik Analisis Data Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber data yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi.
Analisis
data
merupakan
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, katagori dan satu uraian dasar. Proses analisa data sebenarnya sudah sudah mulai dilaksanakan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif ketika sudah meninggalkan lapangan (Moleong,1999;103). Dalam penelitian ini data yang diperoleh adalah data kualitatif. Sehubungan dengan masalah tersebut maka analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskritif kualitatif dan interpretatif. Menurut Subagyo (1999:106) metode analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan gambaran yang sudah ada atau sebaliknya. Analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga langkah yaitu : (1) reduksi data, yaitu proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. (2) Penyajian data, yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan atau penyederhanaan informasi yang komplek ke dalam satuan bentuk yang sederhana dan mudah dipahami. (3) Penarikan simpulan, yaitu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang tehadap catatan di lapangan. Tujuannya
38
adalah untuk menguji kebenaran, kekokohan, kecocokan dan validitas dari maknamakna yang muncul di lokasi penelitian (Miles dan Hubermen,1992:16).
3.8 Tehnik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data merupakan tahap terakhir dari proses penelitian yang berupa laporan hasil penelitian. Moleong (1999:233) menyatakan bahwa penulisan laporan hasil penelitian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penelitian. Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Menurut Sudaryanto (1992:64) metode informal adalah cara menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarananya, sedangkan penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal adalah penyajian hasil pengolahan data dengan menggunakan tanda-tanda. Sedangkan yang dimaksud dengan tanda-tanda tersebut antara lain gambar, sketsa, denah tabel, grafik, diagram dan sebagainya. Dalam penelitian ini penyajian hasil analisis data dituangkan kedalam delapan bab, dan teknik penulisannya mengikuti ketentuan buku pedoman penulisan tesis dan disertasi yang dikeluarkan Program Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
39
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kota Denpasar 4.1.1 Geografi Letak geografi Kota Denpasar sangat strategis, di mana terkonsentrasi oleh tiga pusat pemerintahan, yaitu Kotamadya Denpasar, Kabupaten Badung dan Propinsi Bali. Secara historis Kota Denpasar pada mulanya merupakan pusat kerajaan Badung yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Pada Tahun 1958 dijadikan Pusat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Sebagai pusat pemerintahan, Kota Denpasar berkembang sangat cepat sehingga diusulkan menjadi kota Administratif pada tahun 1978. Selanjutnya status Kota Denpasar sebagai kota administratif ditingkatkan menjadi kota daerah tingkat II Denpasar tahun 1992. Kota Denpasar merupakan titik sentral dari berbagai kegiatan dan sekaligus sebagai penghubung antar kabupaten di Bali. Kota Denpasar terletak di Bali selatan pada kawasan dataran antara 08.35’.31”- 08.44’49”lintang selatan dan 115.10’23” – 115 16’27” bujur timur, dengan luas wilayah 12.778 Ha atau 2,18% dari luas wilayah Propinsi Bali. Dari penggunaan tanahnya, kurang lebih 2.717 Ha merupakan tanah sawah, 1.050 Ha merupakan tanah kering dan 11 Ha merupakan tanah lainnya seperti tambak, kolam/tebat/empang. Secara administratif Kota Denpasar berfungsi ganda, yaitu sebagai ibu kota Kabupaten dan ibu kota Propinsi Bali. Keberadaan kota hidup dan
39
40
berkembang sebagai sebuah kota yang terbuka dan dinamis. Sejalan dengan perkembangan Kota Denpasar, pada tahun 2006 Kota Denpasar dimekarkan, yang pada mulanya terdiri dari tiga kecamatan dimekarkan menjadi empat kecamatan dengan 43 desa atau kelurahan. Adapun kecamatan tersebut antara lain; kecamatan Denpasar Selatan terdiri dari 10 desa atau kelurahan, Denpasar Timur terdiri dari 11 desa atau kelurahan, Denpasar Barat terdiri dari 11 desa atau kelurahan dan Denpasar Utara terdiri dari 11 desa atau kelurahan (Denpasar Dalam Angka, 2007). Batas-batas wilayah Kota Denpasar, di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Gianyar, di sebelah barat, dan utara dengan kabupaten Badung dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada peta wilayah kabupaten Daerah Tingkat II Kota Denpasar. Gambar 4.1 Gambar Peta Kota Denpasar
( Denpasar dalam angka, 2007)
41
4.1.2 Demografi Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali yang menjadi pusat berbagai aktivitas, telah menata diri untuk menuju kota yang berwawasan budaya untuk mewujudkan pembangunan yang seimbang, sejahtera, lahir dan batin. Dalam rangka mewujudkan pembangunan tersebut fenomena kependudukan menjadi pusat perhatian dalam melaksanakan pembangunan. Penduduk tidak saja menjadi subjek pembangunan tetapi dapat pula menjadi objek pembangunan. Dengan demikian perhatian terhadap penduduk tidak saja menyangkut aspek kuantitas namun juga pada aspek kualitas. Pertumbuhan penduduk yang pesat dapat menimbulkan berbagai permasalahan, bukan hanya sekedar permasalahan kuantitas, namun
menyangkut berbagai aspek yang saling berkaitan, seperti
kepentingan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, tenaga kerja dan lain-lain. Kota Denpasar yang merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, pariwisata dan juga beragam jasa, mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Kondisi ini didukung oleh pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, yaitu rata-rata 3,20% setahun bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah tersebut tidak saja karena faktor kelahiran, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain. Migrasi ke Kota Denpasar tidak saja berasal dari kota dan desa-desa yang ada di Bali, tetapi juga berasal dari kota-kota lain di Indonesia. Pada periode 1995-2000 pengaruh migrasi terhadap pertumbuhan penduduk Kota Denpasar sebesar 75% dari migrasi penduduk, dan 25% disebabkan oleh pertumbuhan alamiah kelahiran dan
42
kematian (Yasa, 2002:133). Dampak dari tingginya pertumbuhan penduduk adalah kepadatan penduduk yang terus bertambah. Berdasarkan hasil proyeksi sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kota Denpasar berjumlah 583.600 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 295.183 jiwa (50,81%) dan penduduk perempuan 288.417 jiwa (49,19%). Pada tahun 2006 penduduk Kota Denpasar naik sebesar 1,5%. Dari 4 (empat) kecamatan yang ada di Kota Denpasar, kecamatan Denpasar Barat paling banyak penduduknya yaiu 168.580 jiwa dengan kepadatan penduduk 7.007 jiwa/km2, kemudian menyusul Denpasar selatan dengan jumlah penduduk 167.358 dan kepadatan penduduknya 3.348 jiwa/km2, Denpasar utara 137.390 jiwa dan kepadatan penduduk 4.373 jiwa/km2 dan Denpasar Timur 110.272 jiwa dan kepadatan penduduk 4.943 jiwa/km2 (Denpasar dalam angka, 2007). Tabel 4.1 Penduduk Kota Denpasar Di Rinci per Kecamatan, Dan Jenis Kelamin Tahun 2006 Jenis kelamin Kecamatan
TOTAL
Kecamatan Denpasar Selatan
84,648
Perempua n 82,710
Kecamatan Denpasar Timur
55,776
54,496
110,272
Kecamatan Denpasar Barat
85,267
83,313
168,580
Kecamatan Denpasar Utara
69,492
67,898
137,390
295,183
288,417
583,600
laki-laki
TOTAL
167,358
Sumber: BPS Kota Denpasar (proyeksi penduduk)
Tingginya pertumbuhan penduduk yang disertai dengan tingginya kepadatan penduduk sangat berpotensi terhadap timbulnya berbagai persoalan penduduk seperti munculnya pemukiman kumuh, semakin sempitnya rasio ruang terbangun dengan yang tidak terbangun, meningkatnya potensi kriminalitas serta
43
meningkatnya tuntutan akan fasilitas perkotaan. Untuk melayani penduduk akan berbagai fasilitas perkotaan menuju kehidupan yang lebih berkualitas, maka diupayakan strategi pengendalian penduduk dengan jalan gerakan tertib administrasi kependudukan. Di samping itu, gerakan tertib administrasi juga digunakan untuk memperbaiki data penduduk sehingga secara akurat dapat menunjang perencanaan di segala sektor pembangunan.
4.1.3 Perekonomian Pada masa kerajaan, perekonomian masyarakat Denpasar merupakan ekonomi tertutup yang subsistensi hanya mencukupi kebutuhan sendiri dan transaksi secara barter (Putra Agung dkk, 1986:46). Kemudian pada masa kolonial, seiring dengan keinginan pemerintah kolonial untuk membuka jalan dan jembatan yang digunakan sebagai salah satu sarana untuk membuka dan mendorong perekonomian yang lebih maju, maka perekonomian masyarakat Denpasar mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa itu bergantilah sistem ekonomi masyarakat yang sebelumnya tertutup menjadi sistem ekonomi terbuka
dengan
memperkenalkan
uang.
untuk
bertransaksi.
sehingga
perekonomian semakin dinamis. Pada masa kolonial uang kerajaan Belanda merupakan alat pembayaran yang sah. Kegiatan perdagangan pada masa kolonial menampilkan bahan-bahan komoditi perdagangan seperti beras, bahan kerajinan, kopi, babi, sapi, kain-kain, bahan perhiasan dan besi.
alat-alat pertanian dari logam
44
Pada masa kemerdekaan, perekonomian masyarakat Denpasar menunjukkan peningkatan yang semakin membaik. Dengan adanya rehabilitasi pusat-pusat perbelanjaan seperti pasar, toko-toko, dan pembangunan pabrik-pabrik baru, ikut merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat perkotaan. Perdagangan antar daerah ikut meramaikan pusat-pusat perbelanjaan di Kota Denpasar, sehingga untuk menampung pedagang yang datang ke Denpasar pemerintah membangun pasar-pasar baru seperti pasar Kamboja, Pasar Kumbasari, Pasar Lokita Sari dan Pasar Satria. Perkembangan perekonomian Kota Denpasar tidak berhenti begitu saja, terobosan-terobosan baru terus diupayakan dimana pandangan diarahkan pada industri jasa pariwisata. Sejak tahun 1966 setelah hotel Bali Beach dioperasikan, lapangan jasa pariwisata berkembang dengan pesat yang ditandai berkembangnya hotel-hotel, restoran, toko-toko kerajinan dan kesenian. Upaya pemerintah dalam meningkatkan perekonomi masyarakat melalui sektor pariwisata, maka masyarakat mulai berpaling ke sektor tersebut dan masyarakat dari daerah lain mulai berpindah menuju Kota Denpasar untuk mencari alternatif pekerjaan lain terutama yang berkaitan dengan sektor penyediaan jasa. Perkembangan pariwisata di Kota Denpasar berpengaruh terhadap pergeseran mata pencaharian, dari bermata pencaharian sebagai petani banyak yang beralih ke sektor lain seperti perdagangan, kerajinan, hotel, restoran dan jasa. Berdasarkan pergeseran mata pencaharian tersebut, distribusi mata pencaharian masyarakat Denpasar dilihat dari lapangan usaha yang digeluti adalah sebagai berikut; pertanian 2.32%, penggalian 0.08%, industri 12.86%, Listrik,
45
Gas dan air minum 0.56%, bangunan atau konstruksi 6.31%, perdagangan, hotel dan Restoran 38.42%, angkutan dan komunikasi 6.15%, keuangan 6.31%, jasajasa 26.84% dan lainnya 0.16% (Denpasar dalam angka 2007). Dilihat dari distribusi mata pencaharian diatas, hanya 2,32% masyarakat Denpasar bekerja sebagai petani. Berkurangnya penduduk menggeluti bidang pertanian, disebabkan semakin banyaknya pengalihan lahan di Kota Denpasar untuk fasililitas lain, seperti perumahan, perkantoran, industri dan lain-lain. Di samping itu menurunnya penduduk menggeluti bidang pertanian dikarenakan hasil yang diperoleh di bidang pertanian lebih kecil dari pada mereka yang menjadi buruh atau penjual jasa. Untuk mengetahui pertumbuhan perekonomian ini dapat dilihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang merupakan salah satu indikator pembangunan di bidang ekonomi dari suatu wilayah. Nilai PDRB Kota Denpasar tahun 2006 atas dasar harga berlaku sebesar 7 triliun rupiah meningkat 704 juta rupiah (naik 11,19% bila dibanding tahun 2005), sedangkan PDRB atas dasar harga konstan sebesar 4,4 triliun rupiah meningkat 245 juta rupiah (naik 11,20 % dibanding tahun 2005). Perkembangan PDRB Kota Denpasar tahun 2002-2006 dapat dilihat pada table di bawah ini.
46
Tabel 4.2 Perkembangan Nilai Produk Domistik Regional Bruto(PDRB) Kota Denpasar Tahun 2002-2006 Tahun
Atas dasar Harga Berlaku
Atas dasar harga Konstan
2002
4 194 075,40
3 529 565,81
2003
4.720.100,63
3.717 099,69
2004 2005 2006
5 376 838,54 6 295 930,94 7 000 481,89
3.933 893,16 4 171 800,20 4 417 091,13
Sumber: BPS Kota Denpasar, 2007
4.1.4 Sistem Sosial Budaya Setiap masyarakat biasanya mempunyai cara atau kebiasaan dalam menjalani kehidupannya dimana cara atau kebiasaan tersebut berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Cara-cara yang dilakukan oleh orang atau masyarakat dapat dikatakan sebagai budaya orang atau budaya masyarakat. Menurut E.B Tylor, Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soekanto, 1986:154). Dari pendapat diatas menunjukkan bahwa dengan kebudayaan setiap masyarakat akan memiliki pengetahuan berupa cara-cara atau kebiasaan yang diwarisi dari generasi pendahulunya serta dengan kebudayaan yang dimiliki tersebut setiap masyarakat dapat mempertahankan kehidupannya. Dari sisi sistem sosial budaya, masyarakat Kota Denpasar mayoritas beragama Hindu. Bersumber dari BPS Kota Denpasar (2007), masyarakat Kota Denpasar beragama Hindu 405.600 orang, Islam 135.716 orang, Kristen Protestan
47
19.048 orang, Kristen Katolik 13.859 orang dan Budha 9.076 orang (Denpasar dalam angka, 2007:207). Dalam menjalani kehidupan bersama masyarakat, Kota Denpasar hidup dalam lembaga yang dikenal dengan desa adat atau pekraman. Setiap warga atau kepala rumah tangga merupakan anggota desa adat dan dalam lingkup yang lebih kecil adalah banjar adat. Sebagai anggota banjar adat mereka dituntut untuk melaksanakan kewajiban adat yang diikat oleh desa adatnya seperti menjalankan upacara yang berkaitan dengan kahyangan tiga dan juga kegiatan yang berkaitan dengan sistem kekerabatan seperti upacara kematian dan upacara manusia yadnya.
4.2 Pasar Badung Terlepas dari berbagai tudingan kelemahan dari pasar tradisional seperti jorok dan kumuh, keberadaan pasar tradisional sangatlah penting dalam upaya menggerakkan ekonomi kerakyatan. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter dialami Indonesia pada tahun 1997 memberi pengalaman yang sangat berharga
terhadap
strategi pembangunan
ekonomi berbasis
kerakyatan.
Pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan didasari kesadaran akan perlunya mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat pada kelas bawah. Salah satu cara dengan membuka pasar tradisional dan keberadaannya menjadi ciri khas penggerak perekonomian masyarakat. Dalam perkembangan Kota Denpasar yang semakin cepat, yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi maka timbul pula pasar modern seperti mall, super market sebagai bentuk implementasi fisik perdagangan dari sistem budaya asing sehingga kehadirannya akan memberi
48
keuntungan yang direngguk oleh pihak luar. Pasar modern menawarkan berbagai pelayanan yang lebih efisien dan praktis bagi penggunanya dapat menaikan status sosialnya, sehingga keberadaannya dikhawatirkan dapat menggeser pasar tradisional. Namun dalam realitasnya pasar modern sering tidak mampu bertahan, ada beberapa diantaranya sudah tutup namun sebaliknya pasar tradisionl tetap eksis dan malah bertambah terus (www.geogle.com, 29 September 2007). Pasar Badung merupakan pasar umum, pasar ini menyediakan berbagai keperluan dari keperluan rumah tangga sampai dengan alat-alat upacara yang kebanyakan pada pasar modern tidak tersedia. Hal tersebut menyebabkan pasar tradisional menjadi tetap eksis dan sebagai pilihan utama, terutama bagi ibu-ibu yang tidak sempat membuat alat-alat upacara dapat membeli keperluan alat-alat upacara tersebut di Pasar Badung. Disamping menyediakan berbagai keperluan, pasar tradisional seperti pasar Badung memberi kesempatan kerja yang sangat luas kepada masyarakat. Keberadaan pasar tradisional ini menjadi tumpuan masyarakat di Kota Denpasar dari berbagai kalangan yang ingin mengais rejeki dengan berjualan maupun menjadi buruh pasar. Pada pasar tradisional terlihat para pedagang sampai mengambil badan jalan untuk menjajakan dagangannya, hal seperti ini dapat dilihat pada pasar Badung terutama pada hari raya besar agama Hindu seperti Galungan, Kuningan dan hari-hari raya besar lainnya. Sebagai pasar umum dan tradisional, kegiatan di Pasar Badung melibatkan berbagai aktor pasar seperti pedagang, pembeli, pemasok barang dan juga tak tertinggal buruh pasar seperti perempuan tukang suun. Peran mereka tidak dapat dilepaskan terutama dalam masalah distribusi barang baik dari pemasok kepada
49
para pedagang, maupun dari pembeli yang sering menggunakan jasanya untuk membawa barang belanjaannya menuju tempat yang telah ditunjuk.
4.2.1 Perkembangan Pasar Badung Pasar Badung merupakan pasar tertua di Kota Denpasar, secara historis telah ada sejak zaman kerajaan Badung. Awalnya sekitar tahun 1907 pasar Badung terletak di kantor walikota sekarang (jalan Gajahmada). Kemudian dipindahkan ke barat (lokasi pasar Badung sekarang) oleh pemerintah Belanda. Lokasi pasar Badung sekarang merupakan bekas tempat kediaman orang-orang Jawa dan Madura. Karena tempat itu dijadikan lokasi pasar maka orang-orang Jawa dan Madura dialihkan kearah utara yaitu kampung Wonosari (Kampung Jawa sekarang yang berlokasi di Jalan Kartini). Saat itu pasar Badung memiliki bentuk dan keadaan masih sangat sederhana baik dari segi sarana maupun prasarana.
Pada masa kolonial pasar Badung mulai mengalami perubahan-
perubahan, bersamaan dengan dibukanya jalan-jalan dan jembatan di dalam lokasi pasar Badung di bangun los-los pasar untuk para pedagang, sedangkan tempattempat di sekitar pasar Badung yaitu di Jalan Gajah mada, Jalan Sulawesi, bermukim pedagang-pedagang Cina, Arab, dan India. Mereka membuka toko sebagai tempat berjualan, dan barang yang dijual adalah candu, perhiasan, tembakau dan lain-lainnya (Putra Agung, dkk, 1986:71). Ketika memasuki masa kemerdekaan dan sampai saat ini Pasar Badung mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat ditunjukkan dari aktivitas perdagangan yang berlangsung serta ditunjukkan oleh mobilitas ekonomi yang
50
cukup tinggi. Pasar Badung tidak mengenal lagi hari pasaran, aktivitas perdagangan berlangsung sepanjang hari bahkan pasar Badung membuka dua kali kesempatan bagi para pedagang maupun aktor pasar yang lain untuk mengais rejeki. Aktivitasnya dimulai Pukul 03.00 sampai Pukul 17.00 untuk pedagang yang berjualan di dalam los. Selanjutnya diisi oleh pedagang yang berjualan di pelataran pasar dari pukul 15.00 hingga pagi hari pukul 05.00.
4.2.2 Lokasi Pasar Badung merupakan pasar umum yang berdiri diatas tanah seluas 6.230 m2 dengaan luas bangunan 8.016,00 m2. Pasar Badung berada di wilayah Kelurahan Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat. Letaknya bersebelahan dengan Pasar Kumbasari, berada di sisi timur dan utara tukad (sungai) Badung. Pasar Badung dan Kumbasari dihubungkan tiga jembatan. Sebuah jembatan besar dalam lintasan Jl. Gajah Mada yang dilalui mobil, sepeda motor maupun pejalan kaki dan bisa tembus Jl Gunung Kawi. Dua jembatan lain dibangun khusus bagi para pejalan kaki, konsumen atau pedagang selebar 1 meter. Pengunjung dapat memasuki Pasar Badung melalui Jl. Gajah Mada (dari utara), di sebelah Barat Pos Pecalang dan Candi Bentar, Jalan Sulawesi (dari Timur dan Selatan), atau lewat jalan masuk Pasar Kumbasari dari Jalan Gunung Kawi.
4.2.3 Bentuk Bangunan Pasar
Tradisional
seperti
pasar
Badung
masih
tetap
digemari
pelanggannya, meski pasar modern seperti pasar Swalayan banyak dijumpai di
51
berbagai tempat pada pusat-pusat perkotaan. Pasar Badung masih menjadi pilihan utama berbelanja dari semua kalangan masyarakat baik pengusaha kelas atas, pegawai maupun masyarakat biasa seperti petani dan buruh. Pasar Badung menyediakan berbagai keperluan hidup mulai dari bahan pokok, alat-alat upacara sampai hasil kerajinan dan industri. Bentuk bangunan pasar Badung pada mulanya sampai tahun 1960an masih sangat sederhana, dalam arti masih berupa los dan beratap seng. Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang ditandai oleh pertumbuhan penduduk, membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan pasar yang semakin ramai. Sedikit demi sedikit diadakan perbaikan fisik pasar Badung dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan keperluan barang-barang konsumsi. Perbaikan fisik pasar Badung juga berkaitan dengan adanya musibah yang beberapa kali menimpa pasar Badung berupa kebakaran. Pada waktu pasar Badung masih menjadi tanggung jawab daerah tingkat II Badung, pasar Badung pernah mengalami kebakaran pada tahun 1963. Berkaitan dengan musibah tersebut pasar Badung direnovasi dan selanjutnya diadakan penataan toko-toko dan los yang ada disekitar pasar Badung. Dalam perjalanannya pasar Badung sebagai pasar umum, pada tahun 1977 kembali mengalami musibah kebakaran. Sejak itu pasar Badung direnovasi besarbesaran dan dibangun berlantai empat. Semua itu dilakukan untuk mengantisipasi semakin banyaknya pertambahan pedagang yang ingin mengais rejeki di pasar Badung. Bentuk bangunan Pasar Badung dengan arsitektur Bali tergolong bangunan monolit, berlantai 4, berdiri diatas lahan 6,230 m2, dengan luas lantai
52
8,016 m2. Gedung Induk memiliki 8 tangga; 6 di pojok-pojok gedung, 1 di tengah dan 1 di barat. Pasar Badung kini menampung banyak pedagang. Lantai I digunakan untuk pedagang canang, bunga, buah, sayur, dan jenis kue (bagian depan dan tengah), ikan, unggas, telur, dan daging (bagian belakang). Lantai II bagi pedagang beras, kacang, atau sembako. Lantai III (depan dan tengah) untuk pedagang kain, baju, pakaian dan perlengkapan upacara, serta bagian selatan atau belakang ditempati pedagang makanan dan minuman. Khusus lantai IV untuk kegiatan perkantoran PD Pasar Kota Denpasar, yang dilengkapi ruang aula, Dirut, Dirut I, Dirut II, Bagian umum, Keuangan, Tehnik, Pengawasan, Kebersihan dan Pertamanan, Koperasi, Pelayanan Kesehatan Reproduksi milik Yayasan Rama Sesana (YSR), Kepala unit Pasar Badung, Dharma wanita dan Toilet. Di tiga sudut bangunan (lantai bawah) ada tiga toilet publik yang terletak di barat laut, barat daya dan Tenggara. Rancangan arsitektur bangunan pasar Badung elegan dan holistik. Dan untuk menyiasati suasana gelap di beberapa sisi ruangan lantai II dan III ada gubahan dinding terbuka yang didukung oleh dua buah Void (lubang), salah satunya tembus ke lantai satu, sehingga sinar matahari dan udara segar dapat masuk. Seirama dengan majunya perkembangan Kota Denpasar, pasar Badung juga mengalami perkembangan yang pesat. Proses pertukaran barang sangat ramai, ditandai dengan banyaknya pedagang yang datang dari berbagai daerah di Bali. Dalam perkembangannya, kini pedagang dari luar Bali banyak yang memasok barangnya ke Kota Denpasar dan ke pasar Badung khususnya. Realita ini dapat dilihat dari proses distribusi barang yang masuk ke dalam pasar Badung.
53
Gambar 4.2 Mobil Pengangkut Barang Yang Masuk Ke Pasar Badung (Dok: Purawati, 2008)
Gambar diatas menerangkan lajunya proses distribusi barang ke pasar Badung. Demikian pula dengan perkembangan selanjutnya, sejak Bali membuka pariwisata sebagai upaya memajukan perekonomian masyarakat, Denpasar sebagai pusat pemerintahan mengalami peningkatan pertambahan penduduk. Kebutuhan akan beragam keperluan rumah tangga juga mulai beragam. Perkembangan ini berpengaruh terhadap mobilitas kehidupan Pasar Badung. Sejalan dengan pencanangan “ajeg Bali” dan Kota Denpasar sebagai kota budaya, pemerintah tingkat II Denpasar mengadakan pembenahan pada areal pasar Badung. Pembenahan di mulai dari tanggal 28 Maret 2002, di mana toko-toko yang ada di depan pura Desa Denpasar digusur dan diberi ganti rugi kepada pemiliknya. Selanjutnya pemerintah melaksanakan pembangunan gapura serta pembangunan tembok penyengker yang berasitektur tradisional Bali. Sejalan
54
dengan rampungnya pembangunan tersebut, kini pasar Badung menjadi pasar yang megah dengan tampilan arsitektur Bali. Bangunan Pasar Badung dengan gapura tersebut dapat dilihat seperti gambar dibawah ini :
Gambar 4.3 Pasar Badung Yang Monolit dan Elegan (Dok: Purawati, 2008)
4.2.4 Aktivitas di Pasar Badung Pasar merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi. Setiap masyarakat mempunyai sistem ekonomi yang terjalin sangat dekat dengan pola teknologi subsistensinya. Teknologi meliputi alat, teknik dan pengetahuan yang dimiliki para anggota masyarakat dan digunakan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi tidak mungkin ada tanpa teknologi,
dan
di
dalamnya
berisi
hubungan-hubungan
sosial
yang
mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam satu
55
masyarakat. Produksi adalah proses yang diorganisasi secara sosial dimana barang dan jasa diciptakan. Distribusi adalah proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat, sedangkan pertukaran barang dan jasa adalah proses perpindahan sesuatu yang berharga dengan memperoleh pengembalian sesuatu dengan yang lain. Pada Pasar Badung produksi barang biasanya diciptakan atau dihasilkan oleh pengusaha besar, pengusaha kecil ataupun oleh masyarakat umum, seperti petani yang memproduksi hasil pertanian yang dapat dipertukarkan. Aktivitas di Pasar Badung terutama dalam proses distribusi barang sangat berkaitan dengan permintaan pasar. Realitasnya terlihat pada perdagangan yang terjadi di pasar Badung. Kelancaran distribusi barang ke dan dari pasar Badung sangat ditunjang oleh peran para buruh pasar salah satunya seperti perempuan tukang suun. Proses distribusi barang Pasar Badung, membuka peluang kerja yang signifikan bagi buruh pasar seperti tukang suun. Dalam proses distribusi tersebut para buruh pasar atau perempuan tukang suun ada yang telah mempunyai langganan tetap seperti dari pemasok barang, pedagang, maupun pembeli dan ada juga yang masih mencari para pengguna jasanya. Bagi perempuan tukang suun yang mengangkut barang dagangan dari pemasok biasanya berat barang sudah dipatok oleh pemasok. Contohnya untuk mengangkut bawang merah. Biasanya pemasok sudah mengepak barang dagangannya dengan menggunakan karung plastik dan berat rata-rata sekitar 50 kg. Barang tersebut tidak bisa dibuka dan buruh pasar harus mampu mengangkut barang tersebut sampai ke pelanggan.
56
Aktivitas lainnya adalah membantu pembeli menjunjung barang belanjaannya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 4.4 Perempuan Tukang Suun Sedang Mengangkut Barang Pemasok (Dok: Purawati 2008)
Untuk kelancaran dan keamanan aktivitas Pasar Badung pengawasannya diatur oleh bagian pengawasan dan keamanan di bawah seksi keamanan dan ketertiban. Sedangkan untuk di luar areal pasar dibantu oleh pecalang desa Denpasar Barat. Dalam pemanfaatan fasilitas pasar yang tersedia para pedagang yang menempati kios dan los dikenai biaya atau pungutan-pungutan. Untuk biaya retribusi para pedagang yang menempati kios pada lantai I dikenai biaya retribusi sebesar Rp 4.500 per m2/bulan, kios lantai II Rp 3.000, dan lantai III Rp 1.800. Selanjutnya pedagang yang menempati los pada lantai I dikenai biaya retribusi Rp
57
1.500 per m2/bulan, Los lantai II Rp 1.050, dan Los lantai III Rp 750. (Sudiasta, 2008). 4.2.5 Karakteristik Pedagang di Pasar Badung Mengingat aktivitas perdagangan yang terjadi di pasar Badung berlangsung 24 jam dalam arti bahwa kegiatan di Pasar Badung tidak ada hentinya, maka aktivitas perdagangan dilakukan 2 kali yaitu Pasar pagi dan Pasar malam. Pada pasar pagi jumlah tempat yang dipakai berdagang berupa kios sebanyak 301 buah, los 1.367 buah, sedangkan jumlah pedagang yang menempati kios sebanyak 300 orang dan 1.367 orang menempati los. Untuk penyelenggaraan pasar pada malam hari diselenggarakan dari pukul 16.00 sampai pagi hari pukul 06.00 semua pedagang berjualan di pelataran sebanyak 356 orang. Para pedagang dipelataran ini biasanya menggelar dagangannya dengan menggunakan tenda– tenda kecil, menggunakan mobil, dan di alam terbuka tanpa tenda. Berkaitan dengan upaya pedagang memperoleh dagangan, ada pedagang yang membawa dagangan sendiri atau punya gudang di rumahnya, ada pula pedagang membeli dagangan langsung dari pemasok. Untuk menggelar dagangannya para pedagang di pelataran Pasar Badung sering menggunakan jasa tukang suun untuk mengangkut barang dagangannya dari mobil ke tempat pedagang menggelar dagangannya, dan ada pula pedagang mendapat dagangan langsung dari pemasok yang sudah berlangganan. Sebagian besar barang tersebut diangkut oleh tukang suun.
58
4.2.6 Kehadiran Perempuan Tukang suun di Pasar Badung Berkembangnya Kota Denpasar sebagai kota pariwisata, bisnis dan perdagangan,
menjadikan
Kota
Denpasar
mengalami
perkembangan
perekonomian yang sangat pesat. Akibat perkembangan tersebut mendorong semakin banyaknya penduduk pedesaan tertarik datang ke Kota Denpasar untuk mencari nafkah karena peluang kerja yang ada semakin terbuka. Peluang kerja yang ada di kota tidak semua dapat dimasuki oleh setiap orang dengan mudah termasuk perempuan, karena peluang kerja yang tersedia masih menuntut adanya persyaratan khusus. Penduduk desa yang ber-migrasi ke Kota Denpasar tidak semua memiliki ketrampilan yang memadai. Bagi mereka yang kurang memiliki skill (pendidikan), mereka melirik peluang kerja yang tidak memerlukan persyaratan khusus untuk dapat dimasuki seperti menjadi tukang suun di Pasar Badung. Perempuan yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung menawarkan jasanya untuk mengangkat atau nyuun barang belanjaan konsumen. Jasa ini kian marak karena penataan parkir yang cukup baik di sekitar areal pasar, justru menyebabkan jarak tempuh dari dan ke-tempat parkir jadi cukup jauh dari pasar. Demikian juga dengan struktur bangunan yang bertingkat memberi peluang bagi perempuan untuk menjajakan jasanya kepada konsumen untuk mengangkut barang. Dalam permasalahan waktu kehadiran mereka di tengah pasar sangat beragam, disesuaikan dengan kebutuhan dari para pengguna jasa atau disesuaikan dengan kewajiban mereka untuk melaksanakan tugas domestik. Tukang suun ini ada yang berangkat pagi hari pukul 03.00, pukul 04.00, pukul 07.00, atau pada sore hari pukul 14.00, bahkan ada yang hadir pada malam
59
hari pukul 22.00. Alasan kehadiran mereka secara beragam ke pasar Badung, disamping berkaitan dengan kebutuhan dan aktivitas pasar yang berlangsung selama dua puluh empat jam, juga sangat berkaitan dengan kesempatan yang mereka miliki. Kehadiran mereka di tengah pasar beragam diantaranya disebabkan karena perempuan tukang suun ini ada yang sudah punya langganan tetap, dan ada yang tidak memiliki langganan tetap. Bagi mereka yang punya langganan tetap, biasanya mereka akan datang ke pasar sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati dengan pengguna jasanya atau pelanggan. Tukang suun yang tidak punya langganan tetap, akan datang ke Pasar Badung sesuai dengan waktu dan kesempatan yang mereka miliki tanpa terikat waktu.
60
BAB V PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG PADA SEKTOR DOMESTIK DAN PUBLIK
5.1 Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung Pada Sektor Domestik Konstruksi gender yang telah melembaga dalam pranata keluarga dan masyarakat, berpengaruh terhadap status dan peran antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi ini melahirkan pembagian kerja dalam rumah tangga, perempuan mengerjakan pekerjaan dalam ranah domestik sedangkan laki-laki mengerjakan pekerjaan dalam ranah publik. Pola pembagian kerja tersebut telah tersosialisasi sejak anak masih kecil dan diterima perempuan, di mana kedudukan perempuan bersifat tradisional dan sebagaimana ditugaskan kepadanya bahwa perempuan adalah di rumah (Ollenburger,2006 :1). Hal senada diungkap pula oleh Budiman (1997) ruang domestik diporsikan sebagai wilayah perempuan. Realitas ini nampak dari penuturan Nyoman Darwini (48 tahun) sebagai tukang suun pasar Badung sebagai berikut berikut : “Tiyang sampun 15 tahun nyalanin pekaryan dados buruh nyuun ring Pasar. Karyan tiyang di jumah ambil tiyang sesampun tiyang teke uli Pasar. Yening tiyang kenyel pisan, istirahat tiyang ajebos, wusan nika wawu tiyang ngambil karyan tiyang di jumah, napi je seluir ipun; nyakan, ngaryanin sayur, maumbahan, nyampat, mebersih-bersih. Sami gegaen jumah tiyang ane ngambil”. (Saya sudah 15 tahun bekerja sebagai tukang suun. Semua Pekerjaan di rumah saya kerjakan sendiri setelah pulang dari Pasar, seperti memasak, membersihkan rumah dan mencuci), (Wawancara, 20 September 2008).
60
61
Berdasarkan
penuturan
di atas
lingkungan
domestik
merupakan
lingkungan yang tidak pernah lepas dari kehidupan perempuan. Perempuan dikotakkan dalam ranah domestik dan tidak dapat melepaskan begitu saja tugas rumah tangga yang menjadi bagiannya. Ruang domestik menjadi tugas perempuan menyebabkan perempuan menjadi terpinggirkan, sebab kegiatan pada ruang domestik kurang bernilai. Untuk mengatasi hal ini perempuan harus terjun ke dunia publik. Keterlibatannya di dunia publik akan memperberat tugas-tugas perempuan. Fenomena ini sejalan dengan pendapat (Adiwati, 1999) menyatakan keterlibatan perempuan dalam kerja nafkah tidak dapat begitu saja melepaskan tugas
domestiknya
sehingga
tugas-tugas
perempuan
semakin
berat.
Keterlibatannya mencari nafkah di luar rumah sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan penyadaran terhadap potensi yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas-tugas domestiknya. Ketimpangan gender muncul, manakala perempuan dibebankan pada tugas-tugas rumah tangga, dan di pihak lain perempuan juga turut mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kondisi seperti ini menimbulkan beban ganda dalam kehidupan perempuan. Oleh sebab itu lahirnya ideologi feminisme adalah sebagai bentuk kesadaran perempuan untuk memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan. Gerakan perempuan membawa perkembangan pada teori feminis semakin
beragam
serta
mengalami
perubahan
secara
dramatis
sejak
kemunculannya. Seperti dikatakan Sagala dan Rozana (2007:41) feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan dasar pemikiran bahwa perempuan mengalami ketidak adilan karena jenis kelaminnya perempuan
62
pemikiran bahwa perempuan mengalami ketidak adilan karena jenis kelaminnya perempuan. Feminisme melihat dan menyadari adanya ketidak adilan sehingga mendorong mereka mengambil tindakan untuk mengubah kondisi melalui suatu perjuangan dengan merubah tatanan hubungan-hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Perubahan tersebut terlihat dari peran serta perempuan dalam aktivitas peningkatan pendapatan. Peran tersebut berawal dari keterlibatan perempuan di sektor pertanian. Perubahan masyarakat yang terjadi dewasa ini begitu cepat dan menyeluruh menyebabkan setiap perempuan semakin sadar akan peran yang harus dimainkan agar mereka mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut memberi peluang yang cukup luas bagi perempuan untuk turut berkiprah di luar rumah, sehingga batas ruang antara laki-laki dan perempuan menjadi kabur dan juga pembagian kerja secara seksual menjadi kabur. Fenomena itu dapat dilihat pada banyak perempuan yang menggeluti pekerjaan sebagai tukang suun. Bila dilihat, pekerjaan ini memerlukan kekuatan fisik di mana perempuan harus mampu menjunjung barang yang berat sehingga pekerjaan ini lebih cocok dikerjakan laki-laki. Namun bagi perempuan Bali, khususnya perempuan yang menggeluti pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung, jenis pekerjaan tersebut bukan merupakan suatu penghalang bagi mereka untuk memilih pekerjaan tersebut. Perempuan Bali mempunyai semangat kerja tinggi, yang dilandasi suatu pandangan untuk menjadi perempuan yang dihormati atau perempun luih mereka akan berusaha untuk mendapat pekerjaan agar
63
berpenghasilan sendiri. Dengan demikian perempuan akan lebih percaya diri, serta kurang berkeinginan untuk menadahkan tangan kepada suaminya, mereka akan berusaha mendapatkan pekerjaan, baik kasar ataupun halus, bahkan ada juga yang berkeinginan bekerja dengan mendapatkan upah secara langsung seperti menjadi tukang suun Pasar Badung. Keadaan ini sebagai sebuah penanda bahwa sejak dahulu perempuan Bali sudah mempunyai kemampuan menghadirkan dirinya untuk
sejajar
dengan
laki-laki.
Sesuai
dengan
pandangan
Feminisme
Poststrukturalis menegaskan bahwa seks/kelamin dan gender merupakan konstruksi sosial dan kultural tidak bisa dijelaskan secara biologis serta tidak bisa direduksi kepada fungsi-fungsi kapitalisme. Pendirian antiesensialisme melihat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah kategori yang universal, melainkan konstruksi diskursif (Barker, 2005:299). Berdasarkan pandangan di atas masyarakat Bali yang masih kental menganut budaya patriarkhi, menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi, sehingga beban rumah tangga masih tetap menjadi prioritas pekerjaan perempuan. Kondisi ini tidak berpengaruh banyak pada perempuan Bali, di mana mereka memandang kondisi ini sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja, sebab mereka telah memiliki kemampuan dan potensi untuk mengatur diri dan keluarga untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Sehubungan dengan tugas rumah tangga apabila laki-laki yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, mereka merasa risih dan malu. Oleh karena itu perlu ada perubahan hubungan– hubungan sosial di dalam keluarga antara suami dan istri yang menghendaki tumbuh kesadaran dari masing-masing pihak.
64
Fenomena seperti ini dihadapi pula oleh perempuan yang melakoni pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung. Perempuan tukang suun Pasar Badung berusaha dengan segala potensi yang dimiliki untuk menyelesaikan semua pekerjaan domestik yang menjadi tanggung jawabnya. Semua ini dilandasi oleh suatu kesadaran akan tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Dari penuturan Ni Nyoman Darwini di atas sangat jelas bahwa kegiatan rumah tangga masih didominasi oleh perempuan. Agar terbebas dari belenggu pekerjaan rumah tangga, perempuan mengatur dirinya sehingga tugas-tugas rumah tangga yang menjadi bebannya dapat terselesaikan. 5.1.1 Kegiatan Pengasuhan Anak Anak adalah karunia Tuhan dimana para orang tua bersuka cita atas kelahirannya. Tapi dilain pihak mengasuh anak merupakan salah satu kegiatan pada sektor domestik perempuan selain mengatur rumah tangga. Sebagai dambaan orang tua, anak adalah modal masa depan yang akan memelihara dan mempertahankan kehidupan keluarga baik fisik, mental dan sosial. Oleh sebab itu pembinaan dan pengembangan emosi anak yang optimal dibutuhkan untuk menyiapkan potensi manusia yang tanggguh dan berkualitas. Anak membutuhkan kemampuan untuk berfikir, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam menghadapi masa depan, untuk dapat mengambil keputusan yang benar. Peran orang tua dan keluarga sebagai unit sosial yang pertama dan utama, bertugas mensosialisasikan nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar dalam mempersiapkan kemampuan anak untuk menjadi generasi penerus. Kegiatan pengasuhan anak sebagai peran orang tua dan
65
keluarga mengiringi peran pendidikan formal dan informal sehingga kualitas anak yang terbentuk mampu menjadi sumber daya tangguh dan unggul. Kegiatan pengasuhan anak pada setiap keluarga biasanya berbeda-beda, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pola keluarga, serta bekerja atau tidaknya ibu dalam keluarga tersebut. Berdasar pada kondisi ekonomi keluarga dan pola hidup keluarga, ditemukan ada keluarga yang mengasuh anak-anaknya sendiri (keluarga inti), ada yang dipercayakan kepada pihak lain seperti orang tua, paman atau bibinya (keluarga luas), dan ada juga yang dipercayakan kepada institusi tertentu seperti lembaga penitipan anak (masyarakat). Dari pola pengasuhan tersebut, pola pengasuhan anak pada keluarga tukang suun Pasar Badung bervariasi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Seperti penuturan Ni Wayan Bawa berasal dari Tianyar Karangasem dan bertempat tinggal di jalan Gunung Agung Denpasar sebagai berikut: “Tiang medue kalih pianak kantun alit, yang pertama berusia 10 tahun, sane nomor kalih berusia 9 tahun. Tiang di Denpasar ajak peduanan, sebilang wai tiang sibuk ngaleh gae. Jam telu pagi tiang medagang sayur di pasar Anyar ngantos 11 siang. Kurenan tiang dados sopir nganter barang (ngirim barang) ke Restoran dan ke swalayan atau ke tempattempat sane lianan. Mulih saking Pasar, tiang istirahat ajebos. Selanturne membersih-bersih jumah, lan nyakan akedik. Yen ten memasak biasane tiang istirahat, seantukan jam 03.00 sanje tiang sampun ke Pasar Badung dados tukang suun ngantos jam 09.00 peteng. Yening ten wenten gae, tiang meblanja sayur anggen dagangan ring pasar Anyar. Tiang sareng kurenan tiange sami pada ngerereh pangupe jiwa ring Denpasar. Seantukan tiang sareng kalih mekuli, mangde pianak tiange wenten ngerunguang, pianak tiang buka kaliha tiang genahang ring jumah pelekadan ring desa sareng dadongne”. (Saya mempunyai dua orang anak yang masih kecil, karena saya sangat sibuk mencari nafkah berdua untuk membiayai kebutuhan keluarga maka anak-anak saya titipkan di rumah orang tua agar ada yang menjaganya), (wawancara, tgl 29 September 2008).
66
Dari pengakuan Ni Wayan Bawa menunjukkan bahwa keluarganya adalah keluarga kurang mampu yang menyebabkan dia menjadi seorang wanita pekerja keras, rela bangun pagi buta dan pulang pada malam hari untuk menafkahi keluarganya. Bahkan bila tidak ada orang yang memberi pekerjaan mengangkut barang, dia memanfaatkan waktunya untuk mencari barang dagangan. Konsekuensi logis dari pekerjaan yang dilakoninya ini, Ni Wayan Bawa tidak punya waktu yang cukup untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Solusi untuk mengatasi kondisi seperti ini Ni Wayan Bawa terpaksa menitipkan anaknya pada orang tuanya. Kondisi keluarga Ni wayan Bawa merupakan cerminan ekonomi keluarga kelas bawah yang sebagian besar menerapkan ekonomi subsisten. Menurut Raharjo (1999:67) ekonomi subsisten adalah mereka melakukan pekerjaan untuk nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan. Pada keluarga Ni Wayan Bawa, menunjukkan pola pengasuhan anak yang dipercayakan kepada pihak lain seperti pada orang tua. Pola ini menunjukkan anak merupakan beban bagi keluarga, jika anak tersebut tinggal bersama keluarga inti menyebabkan kegiatan yang dilakukan dalam mencari nafkah tidak seleluasa seperti yang dilakukannya. Keadaan tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan keluarga seperti kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah dan sewa rumah menjadi terhambat. Untuk itu Ni Wayan Bawa dan suami meninipkan anaknya kepada orang tuanya di kampung. Di samping pola pengasuhan anak oleh orang lain (keluarga), ada pula pola pengasuhan anak sendiri. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Nengah
67
Wenten (25 tahun) yang bekerja sebagai tukang suun
Pasar Badung dan
bertempat tinggal di Pakis Haji Denpasar. Nengah Wenten mempunyai seorang anak yang berumur lima tahun. Adapun penuturannya sebagai berikut : “Tiyang meburuh ring Pasar Badung wenten sampun kalih tahun. Tiyang meburuh ke pasar jam tiga semengan, tur mulih ring pasar jam pitu semeng. Sawireh malih jebosne kurenan tiyange mejalan mekuli seantukan ipun dados kuli bangunan. Seantukan tiyang ring Denpasar peduanan apang ade sane ngempu pianak tiyange, tiyang megilir mekuli”. (Saya bekerja sebagai buruh Pasar Badung jam tiga pagi sebab nanti jam tujuh suami saya yang bekerja. Supaya ada yang menjaga anak maka saya bekerja secara bergiliran), hasil wawancara (tanggal 30 September 2008). Dari penuturan Nengah Wenten tersebut, sangat jelas bahwa pengasuhan anak yang dilakukan oleh keluarga Nengah Wentan adalah pengasuhan sendiri. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu dan juga dipengaruhi oleh pola menetap bersifat neolokal yaitu pasangan suami istri yang bertempat tinggal terpisah dari orang tua. Keluarga Nengah Wenten merantau ke Denpasar karena di desanya sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya di kampung hanya ketegalan yang penghasilannya tidak cukup untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari sehingga Nengah Wenten dan suami mencoba migran ke Denpasar untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Manning (1985: 7) dorongan utama bermigrasi ke kota adalah untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik. Di Denpasar, peluang kerja yang dapat dimasuki Nengah Wenten dan suaminya sangat terbatas, alternatif pekerjaan yang dapat dipilih hanya sebagai buruh. Kondisi ini disebabkan karena mereka hanya memiliki modal tenaga kerja dengan pendidikan terakhir tamatan sekolah dasar. Untuk menyikapi potensi yang dimiliki, Nengah Wenten melirik pasar Badung sebagai tempat mencari nafkah
68
dan pekerjaan yang dapat dilakukan olehnya hanya sebagai tukang suun Pasar Badung sedangkan suaminya sebagai buruh bangunan. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, Nengah Wenten dan suami mengatur diri untuk mencari nafkah secara bergantian dengan tujuan agar pengasuhan anaknya dapat pula dilakukan secara bergantian pula. Bagi Nengah Wenten dan suaminya kelangsungan hidup keluarga merupakan tujuan utama. Keadaan ini menyebabkan Nengah Wenten rela untuk bangun pagi buta dan bekerja keras membanting tulang sebagai tukang suun. Kemudian datang dari bekerja masih tetap melaksanakan tugas rumah tangganya sebagai pengasuh anak. Pola pengasuhan anak dengan melakukan penitipan anak pada lembaga penitipan anak, tidak dilakukan oleh perempuan yang menekuni pekerjaan sebagai tukang suun. Dari informasi yang diperoleh dari semua informan menyatakan pola pengasuhan pada lembaga penitipan anak hanya sesuai dilakukan oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai pegawai kantoran, sedangkan mereka yang bekerja sebagai buruh tukang suun tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar biaya penitipan anak pada lembaga penitipan anak tersebut, untuk kebutuhan pokok saja masih kurang. Dari paparan di atas pola mengasuhan anak yang dilakukan oleh perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung berlaku pola pengasuhan bersama keluarga dan pengasuhan sendiri. Hal ini
berhubungan
dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga perempuan tukang suun Pasar Badung yang secara sosial ekonomi termasuk ekonomi kelas bawah sehingga sangat sulit untuk membayar tenaga lain untuk mengasuh anaknya dan
69
mereka juga terbebani oleh pola menetap neolokal artinya mereka tinggal di kota Denpasar sebagai migran dan jauh dari sanak saudara. Sehingga aktivitas yang dilakukan oleh perempuan tukang suun sangat beragam dan berat, disamping bekerja mencari nafkah mereka juga tetap terbebani oleh kerja domestik seperti pengasuhan anak dan kegiatan rumah tangga lainnya. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik dengan jalan mentransformasi hubungan sosial dalam rumah tangga baik isteri, suami dan keluarga untuk bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Menurut Feminis Pasca Strukturalis laki-laki dan perempuan juga harus dapat mengerkajan tugas-tugas rumah tangga, sehingga tidak ada lagi pandangan tentang perempuan sebagai jenis kedua yang berbeda juga inferior. Disamping itu alat-alat pendukung untuk mempermudah pekerjaan rumah tangga juga semakin banyak tersedia dipasaran. 5.1.2 Kegiatan Pengaturan Rumah Tangga Aktivitas mencari nafkah rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dalam struktur ekonomi kelas bawah merupakan kesatuan sosial ekonomi, karena dalam proses pemenuhan kebutuhan nafkah hidup dilakukan dari sejumlah anggota keluarga. Tenaga kerja tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak yang dianggap cukup mampu melaksanakan sesuatu yang menghasilkan. Keadaan ini diperkuat lagi oleh kehidupan masyarakat saat ini yang lebih terikat pada sistem ekonomi kapitalis, di mana segala sesuatu diukur dengan uang, sebagai konsekuensinya semua orang terikat pada uang. Hal ini mendorong baik orang tua maupun anak-anak selalu berpikir bagaimana cara memperoleh pekerjaan yang cepat mendatangkan uang. Agar kegiatan mencari
70
nafkah tidak terganggu oleh urusan pekerjaan rumah tangga, maka diperlukan upaya pengaturan tugas rumah tangga. Menurut Suratiyah (1990:60) anggota rumah tangga merupakan sumber daya yang dapat dikuasai dan dialokasikan untuk kegiatan dalam rumah tangga sehari-hari dan alokasi tersebut sangat tergantung dari kemampuan dan kebutuhan masing-masing keluarga. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa perempuan tukang suun Pasar Badung di samping dia berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga, dia juga berperan sebagai pencari nafkah. Untuk mengatasi penyelesaian tugas rumah tangga maka anggota rumah tangga juga dibebankan tugas rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci bahkan juga mengasuh anak. Sejalan dengan pandangan Feminis pascastrukturalis agar perempuan tidak terpinggirkan dalam rumah tangga maka dia harus bekerja keluar rumah, pekerjaan rumah tangga dapat menghambat perempuan bekerja nafkah, maka faktor tersebut harus dibagi-bagi pada semua anggota keluarga yang sudah mampu mengerjakannya seperti suami dan anak-anak yang sudah besar. Dari informasi yang diperoleh dari semua informan yang diteliti, diperoleh keterangan bahwa laki-laki (suami) dari perempuan tukang suun Pasar Badung melakoni pekerjaan yang beragam. Ada bekerja sebagai buruh bangunan, sopir, tukang kirim, dan tukang parkir. Sedangkan bagi anak-anak yang dianggap sudah mampu bekerja, ada yang bekerja sebagai penjaga toko. Agar aktivitas dalam mencari nafkah dapat terlaksana maka setiap keluarga perlu melakukan pengaturan rumah tangga baik menyangkut waktu kerja dan pembagian tugas dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan pekerjaan pengaturan rumah tangga
71
adalah mengelola pekerjaan rumah tangga agar kegiatan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan lain-lain tidak berbenturan dengan waktu kerja untuk mencari nafkah. Pengelolaan pekerjaan rumah tangga yang tidak baik sering menimbulkan pertengkaran. Pengaturan rumah tangga yang dilakukan perempuan tukang suun Pasar Badung sangat bervariasi tergantung dari pola keluarga, kemampuan dan waktu yang mereka miliki. Seperti penuturan Ni Nengah Sari (Umur 32 Tahun) yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung sebagai berikut : “Tiyang ke peken jam 07.00 pagi. Setondene tiyang ke peken, tiyang meragatang gegaen di jumah malu, suudan nike mare tiang ke peken. Di peken tiang ten medue langganan. Nike ngeranayang tiang bebas ke peken. Lamun nenten wenten order, atau tiyang sampun kenyel tiang mulih sekitar jam dua”. (Saya ke pasar pukul 7,00 setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga,karena saya tidak punya langganan tetap jadi saya bebas ke pasar dan pulang sekitar pukul 14.00 jika sudah tidak ada orderan atau saya sudah payah), (wawancara tanggal 2 Oktober 2008). Berdasarkan ungkapan di atas bahwa pola keluarga Ni Nengah Sari merupakan keluarga inti yang berasal dari Karangasem, mencoba memperbaiki kehidupannya dengan bermigran ke Denpasar, melakukan pekerjaan sebagi tukang suun Pasar Badung. Sebagai ibu rumah tangga atau isteri sudah tentu Ni Nengah Sari juga terikat oleh pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan seperti menyiapkan makanan untuk keluarga, mencuci, membersihkan rumah. Sebagai tukang suun Ni Nengah Sari tidak terikat oleh pelanggan maka Nengah Sari bebas memilih waktu untuk berangkat ke pasar. Disamping itu pasar Badung juga membuka kesempatan bagi pedagang untuk berdagang selama dua puluh empat jam, hal ini juga memberi kebebasan untuk tukang suun menjalani
72
kegiatannya. Dalam memilih waktu bekerja Ni Nengah Sari memilih jam tujuh pagi, sebab Ni Nengah Sari harus menyelesaikan tugas rumah tangga terlebih dahulu. Berbeda dengan informasi dari Made Sami, yang menuturkan sebagai berikut: “Tiyang memilih megae sore hari. Semengan tiyang meragatang gegaen tiyang jumah malu, sawireh kurenan tiyang mekuli dados ojek ten wenten ane ngajak pianak tur ngatehang kesekolah. Kanggeyang tiyang mekuli sore hari. Tiyang medue langganan dagang ke base, drika tiyang metulungan mukak dagangan wus nike wawu tiyang mekuli ane lianan atau keliling”. (Saya bekerja sore hari, karena paginya suaminya juga bekerja sebagai tukang ojek sehingga anaknya tidak ada yang menjaga dan mengantar ke sekolah. Disamping itu di pasar mereka juga sudah punya langganan dagang bumbu sehingga mereka membantu membuka dagangan dan setelah itu baru bekerja dengan berkeliling menjajakan jasanya), (Wawancara, 2 Oktober 2008). Dari penuturan tersebut menggambarkan bahwa aktivitas yang dilakukan perempuan tukang suun dalam melaksanakan kebutuhan mencari nafkah berkaitan dengan cara mereka mengatur penyelesaian tugas rumah tangga, juga tergantung pada kesepakatan yang dibuat bersama dengan pelanggan mereka. Seperti Made Sami memilih bekerja sebagai tukang suun pada sore hari. Pemilihan waktu ini berkaitan dengan tugas-tugas rumah tangga yang harus diselesaikan seperti memasak, membersihkan rumah, juga termasuk mengantar anaknya ke sekolah sebab suaminya juga bekerja sebagai tukang ojek. Ni Made Sami kebetulan sudah mempunyai langganan tetap yakni membantu pedagang bumbu menggelar dagangan. Kondisi di atas sesuai dengan pendapat Suratiyah dan Hariadi (1990:60) menyebutkan perempuan sebagai anggota rumah tangga selain harus mengalokasikan waktunya untuk melakukan segala kegiatan rumah tangga sehubungan dengan kedudukannya sebagai istri dan ibu rumah tangga, di samping
73
itu juga harus meluangkan waktunya untuk melakukan kegiatan mencari nafkah baik dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Bagi keluarga miskin seperti perempuan tukang suun Pasar Badung, anggota rumah tangga merupakan sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kegiatan mencari nafkah. Agar aktivitas dalam mencari nafkah tidak berbenturan dengan penyelesaian tugas rumah tangga maka pengalokasian waktu untuk menyelesaikan ke dua tugas tersebut dilakukan dengan jalan mentrasformasi hubungan-hubungan sosial dalam rumah tangga antara suami, isteri dan anak. Dengan perubahan-perubahan hubungan sosial dalam rumah tangga maka semua anggota keluarga mempunyai tugas yang sama untuk mengerjakan tugas tugas rumah tangga, hanya saja sangat tergantung dari waktu yang mereka miliki atau alokasi tersebut tergantung pada kemampuan dan kebutuhan masing-masing rumah tangga. Sejalan dengan pandangan Barker (2005:299) menyebutkan agar perempuan terbebas dari keterpinggiran maka perempuan harus bekerja dan harus sosialis menstranformasi masyarakat. Seperti penuturan Ni Sampun dari Batu Mas sebagai berikut : ”Tiyang sampun lebih dari 10 tahun bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Sedangkan suami tiyang megae tukang bangunan dan anak tiyang paling kelih megae di toko sepatu. Tiyang berangkat ke pasar Pukul 03.00 dan pulang pukul 09.00, sambil membeli lauk pauk untuk kepentingan keluarga. Masak nasi biasanya dilakukan oleh anak tiyang dibantu ayahnya. Tiyang bekerja nafkah rata-rata 6 jam sehari. Sisanya Tiyang gunakan untuk istirahat dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga” (Saya bekerja sebagai tukang suun sudah lebih dari 10 tahun. Saya berangkat ke pasar pukul 03.00 dan pulang pukul 09.00, saya bekerja kurang lebih 6 jam sehari dan sisa waktu yang saya miliki saya gunakan untuk istirahat dan mengerjakan tugas rumah tangga (wawancara:30 September 2008).
74
Dari penuturan Ni Sampun di atas diperoleh keterangan bahwa di samping kedudukannya sebagai istri dan ibu rumah tangga dia juga berkedudukan sebagai pencari nafkah sebagai tukang suun untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya. Untuk bekerja nafkah Ni sampun menggunakan waktunya selama 6 jam sehari dan sisa waktu yang dimiliki digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang belum selesai dikerjakan oleh anggota keluarga yang lain. Dari ungkapan-ungkapan di atas diketahui bahwa pengaturan tugas rumah tangga perempuan tukang suun bervariasi seperti ada yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat mencari nafkah dan ada yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama dengan anggota rumah tangga hanya saja tugas-tugas rumah tangga yang belum selesai dikerjakan akan dituntaskan oleh anggota keluarga yang lain. Pengaturan tugas rumah sangat dipengaruhi oleh kemampuan perempuan mengatur diri dan keluarga untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. 5.1.3 Kegiatan Ranah Sosial Pada hakekatnya manusia adalah makhluk individu, sosial dan budaya. Sebagai mahkluk individu setiap orang berhak akan kebebasan untuk menentukan sikap dan pandangan untuk menyelesaikan tugas-tugas pribadinya. Disamping sebagai makhluk individu, manusia juga tidak lepas sebagai makhluk sosial. Dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial setiap orang tidak dapat menjalankan semua kehendaknya sesuai dengan keinginan pribadinya. Untuk itu setiap orang akan tunduk pada norma–norma yang mengatur hubungan individu dengan individu lain dalam sistem sosial.
75
Demikian pula yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Perempuan yang sudah menikah (menjadi istri) mereka tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan sosial dalam masyarakatnya, di Bali dikenal dengan istilah menyama braya. Kegiatan menyama braya meliputi kegiatan– kegiatan tolong menolong (bergotong royong) dalam kegiatan sosial seperti ngaben, odalan, perkawinan, mesangih, ngotonin, membangun rumah dan lainlain. Setiap sistem sosial mempunyai aturan yang dipakai dasar untuk mengatur anggotanya secara berbeda antara sistem sosial yang satu dengan sistem sosial lainnya. Dari aturan tersebut dapat ditemukan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut, anggota dari sistem sosial itu akan mengikuti sesuai dengan peraturan yang telah disepakati bersama. Namun dalam aplikasinya ada sistem sosial memberi kemudahan bagi anggotanya untuk tidak melakukan aktivitas secara fisik pada saat kegiatan dilaksanankan sesuai dengan peraturan atau perarem namun mereka dikenakan uang pengganti yang sering disebut pemopog atau ngoot terutama bagi mereka yang tidak bertempat tinggal di desa atau merantau. Hal tersebut diungkapkan oleh Nyoman Darwini (48 tahun) dari Karangasem yang bertempat tinggal di Denpasar sebagai berikut : “Tiang sampun suwe merantau di Denpasar, yening wenten ayah-ayahan di desa tiang anak wantah numbas manten ayah-ayahan. Biasanne tiang mopog tuah 125.000 anem bulan. Yening wenten karya ageng wawu nenten dados mogpog, sekadi ngaben massal utawi karya ngusaba”. (Saya sudah lama merantau di Denpasar. Jika ada upacara saya cukup membayar denda. Biasanya saya membayar denda sebesar Rp 125,000 setiap enam bulan. Jika ada upacara besar setiap warga diwajibkan pulang), (Wawancara tanggal 20 September 2008).
76
Dari ungkapan diatas menunjukkan bahwa peraturan yang berlaku pada suatu sistem sosial memiliki daya mengikat bagi anggotanya, namun ada sistem sosial yang memberi kemudahan atau memiliki daya mengikat dari peraturan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari anggotanya. Dalam melaksakan kegiatan dalam ranah sosial perempuan yang bekerja sebagai tukang suun tidak pernah mengalami masalah seperti yang dijelaskan di atas bahwa aktivitas pekerjaan sebagai tukang suun adalah pekerjaan di bidang informal di mana sektor informal tidak terikat sangat ketat oleh aturan-aturan kerja sehingga pelakunya dapat menyesesuaikan dengan kondisi pribadinya sehingga perempuan yang bekerja sebagai tukang suun dapat memadukan semua tugas-tugas dibidang sosial dengan kerja nafkah mereka. Hal ini sejalan dengan pandangan feminis pasca strukturalis agar perempuan terbebas dari keterpinggirannnya dalam rumah tangga maka dia berusaha untuk menjadi cerdas dalam arti mampu memahami kondisi yang ada dilingkungannya (Barker, 2005: 299). Bila di masyarakat terdapat piodalan, undangan perkawinan atau kerja sosial yang lain maka perempuan yang bekerja sebagai tukang suun dapat meninggalkan pekerjaannya. Di samping itu ada pula sistem sosial yang mengatur warganya, bagi mereka yang tidak bertempat tinggal dalam sistem sosial tersebut dalam arti mereka merantau dari desanya, mereka biasanya diberi kemudahan, di mana tugas yang seharusnya mereka wajib kerjakan biasanya dapat diganti dengan uang (denda) yang dikenal dengan istilah mopog dan dibayar pada waktu yang telah ditentukan misalnya pada hari Pemacekan Agung pada saat sangkep banjar.
77
5.2 Pergulatan Perempuan Tukang Suun Pasar Badung Pada Sektor Publik Pasar Badung merupakan pasar umum yang menyediakan berbagai keperluan rumah tangga sampai kepada alat-alat upacara sehingga Pasar Badung tetap eksis sebagai pilihan untuk berbelanja. Kondisi ini memberi kesempatan kerja yang sangat luas bagi masyarakat untuk mengais rejeki baik sebagai pedagang, buruh pasar seperti menjadi tukang suun maupun lainnya. Dengan mengacu kepada Pierre Bourdieu (dalam Brooks,2002) dalam memasuki dunia usaha manusia memerlukan modal intelektual, misalnya dalam bentuk ijasah. Demikian pula, dalam melakoni pekerjaan sebagai tukang suun juga memerlukan modal. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Tim Penyusun,1991:558) modal berarti (1) uang yang dipakai sebagai pokok untuk berdagang, (2) harta benda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan, dan (3) sesuatu yang dipergunakan sebagai dasar atau bekal untuk bekerja. Berdasarkan pengertian tersebut, modal tidak saja berupa uang, melainkan dapat berwujud bekal atau keterampilan seperti ijasah atau keahlian. Namun, mengingat bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung merupakan peluang kerja pada sektor informal. Sehingga menjadi tukang suun tidak memerlukan modal ijasah. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa alat yang mereka perlukan adalah keranjang, sunan, kekuatan fisik serta keterampilan menjunjung agar barang yang dijunjung tidak jatuh. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Wirosarjono (1985) sektor informal dapat dilihat dari ciri-ciri kegiatan ekonominya yaitu kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan dan bekerja di sektor
78
ekonomi marginal atau informal. Sethuraman yang dikutif Mustafa (2008:9) menyebutkan kebanyakan kegiatan sektor informal sifatnya masih subsisten oleh karena itu sektor informal dapat diartikan sebagai unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri. Seperti penuturan Ni Ketut Ngasti (45 Th) dari Peguyangan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung sebagai berikut : ”Tiyang nenten mesekolah, tiyang mesekolah tuah sekolah dasar, tiyang nenten medue geginan napi-napi. Tiyang wantah meburuh manten apang wenten anggen tiyang nutupin biya hidup, mererainan, mebraya”. (Saya hanya bersekolah pada tingkat sekolah dasar, dan saya tidak mempunyai pekerjaan, kecuali sebagai buruh tukang suun), (wawancara,12 oktober 2008). Dari ungkapan di atas dapat disimak bahwa tukang suun merupakan pekerjaan sektor informal, pelakunya adalah perempuan yang tidak memiliki pendidikan yang memadai, seperti Ni Ketut Ngasti hanya berpendikan sekolah dasar. Dengan bekal pendidikan yang minim maka Ni Ketut Ngasti tidak mampu bersaing untuk mendapatkaan pekerjaan yang lebih baik. Bahkan dari pengakuan Ni Ketut Ngasti mereka tidak mempunyai pekerjaan apa-apa. Sehingga mereka memilih menjadi tukang suun Pasar Badung untuk menutupi biaya hidup rumah tangganya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
79
Gambar 5.1 Perempuan Tukang Suun Pasar Badung (Dok: Purawati, 2008) Dari gambar di atas menunjukkan perempuan yang bekerja sebagai tukang suun kondisinya sangat marginal. Pendidikan merekapun sangat minim dengan rata-rata berpendidikan sekolah dasar sehingga tidak mampu dalam persaingan kerja. Oleh sebab itu mereka memilih pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung karena pekerjaan ini tidak menuntut persyaratan yang ketat. Kondisi ini terlihat dari penampilan mereka yang sederhana dan pekerjaan yang mereka lakukan seperti menjunjung keranjang yang kotor berisi beban berat, nyuun buah pisang satu keranjang besar ataupun barang-barang belanjaan konsumen lainnya, dilain tempat terlihat mereka duduk-duduk di pinggiran toko dengan handuk (kain sebagai alas nyuun) sambil menunggu pasokan barang yang datang. Keterlibatan perempuan menjadi tukang suun Pasar Badung cukup banyak. Dari informasi kepala pasar unit Badung, perempuan yang bekerja sebagai tukang suun jumlahnya sangat banyak. Mereka tidak terorganisasi secara formal,
80
kehadirannya di pasar tidak tetap artinya mereka akan bekerja sesuai dengan keinginannya dan mereka dapat berhenti sewaktu-waktu. Sejalan dengan pandangan Alisyahbana (2005) tukang suun Pasar Badung merupakan kumunitas miskin yang menganggap kegiatan sektor informal sebagai kegiatan yang bersifat temporer. Walaupun demikian kehadiran perempuan tukang suun Pasar Badung sangat dibutuhkan dalam proses distribusi barang. Selain hal tersebut keterampilan menjunjung barang (nyuun) sudah menjadi kebiasaan perempuan Bali, dan kebiasaan tersebut saat ini sudah mulai bergeser. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan perempuan yang berbelanja ke pasar lebih banyak mengemas barang belanjaannya menggunakan tas plastik sehingga mudah dijinjing. Kondisi tersebut diperkuat oleh ungkapan Suryani salah seorang ibu rumah tangga yang sedang berbelanja di Pasar Badung sebagai berikut : ”Saya tidak bisa menjunjung barang, lebih-lebih dengan beban yang berat. Kalau menjunjung kepala saya pusing. Sekarang orang berbelanja ke pasar sudah praktis. Di pasar sudah banyak tersedia kantong plastik. Bahkan para pedagang juga mengemas belanjaan konsumen dengan kantong plastik sehingga mudah dijinjing. Kalau berbelanja banyak saya lebih baik mengupahkan saja kepada tukang suun”, (Wawancara, 29 Oktober 2008). Dari ungkapan Suryani menggambarkan, pada saat ini ada pergeseran kebiasaan orang Bali, dari kebiasaan menjunjung bergeser menjadi kebiasaan menjinjing. Hal ini berkaitan dengan pergeseran sistem sosial budaya yang ada. Hal tersebut sejalan dengan pandangan (Soekanto,1986: 286) perubahan sosial adalah variasi dari cara-cara hidup yang disebabkan oleh perubahan kebudayaan material, ideologi dan difusi. Fenomena tersebut terlihat pada masyarakat yang terus berubah yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang diterapkan untuk membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Salah satu perubahan
81
tersebut tampak pada perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat yang eksplesit terlihat dari konsumsi mereka. Kebanyakan perempuan, bila ke pasar mengendarai sepeda motor sendiri. Perempuan yang pulang dari kantorpun ada yang langsung berbelanja ke pasar Badung sehingga mereka tidak mungkin membawa bakul atau keranjang sebab tidak praktis. Kebiasaan menjinjing ditambah gaya hidup yang selalu ingin tampak rapi tidak mau mengotori kepala atau rambutnya dengan benda-benda belanjaan. Dari penuturan Suryani jelas menunjukkan bahwa menjunjung walaupun merupakan kebiasaan orang Bali namun tidak semua orang mampu melakukan. Bagi mereka yang berbelanja cukup banyak, mereka tidak mau kerepotan membawa barang belanjaannya, untuk menyikapi hal tersebut biasanya mereka menggunakan jasa tukang suun. Kesempatan yang baik itu digunakan oleh perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Kehadirannya di tengah pasar
sangat
didukung oleh kegiatan Pasar Badung yang tidak pernah berhenti mulai dari pagi hingga pagi berikutnya. Dalam menjalankan usaha ini setiap perempuan tukang suun melakukan berbagai pergulatan atau perjuangan secara terus menerus seperti: (1) Persaingan dengan sesama Tukang suun, (2) Persaingan Dalam kehadiran di Tengah Pasar. 5.2.1 Persaingan Sesama Tukang Suun Pekerjaan sebagai tukang suun tidak mudah, disamping memerlukan tenaga yang prima juga menghadapi persaingan sesama tukang suun. Persaingan adalah sebuah proses sosial, di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang–bidang kehidupan
82
yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik dengan cara atau usaha-usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soekanto,1986:78). Persaingan sesama tukang suun terlihat dari berbagai cara yang dilakukan oleh perempuan tukang suun untuk memperebutkan lahan yang dapat memberikan keuntungan. Untuk mempertahankan tempat-tempat tersebut biasanya mereka membentuk persatuan kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok terjadi dengan sendirinya didasarkan atas interaksi yang mereka lakukan secara intensif. Anggota kelompok ini saling tergantung untuk mencapai hasil–hasil yang positif. Hubungan tersebut akan diteruskan atau diulangi di mana anggota-anggota mendapat ganjaran berupa material atau psikologi seperti rasa senang dan perasaan puas. Kelompok ini akan menempati tempat tertentu, sehingga setiap barang yang lewat melalui tempat itu maka kelompok tersebut yang akan menanganinya. Pola kerja yang mereka lakukan berupa bongkar muatan bersama dengan kelompoknya. Barang yang ada akan dibagi sesuai dengan jumlah kelompok dan dilakukan secara bergantian. Berat barang yang dijunjung sudah ditentukan berdasarkan pengepakkan dari pemasok. Bertahannya kelompok ini karena sifat sintalitas kelompok. Sintality adalah menyangkut tentang kepribadian kelompok. Hal ini sesuai dengan pengakuan Ni Nengah Sari : “Tiyang sampun sue megae dados buruh nyuun, tiang megae sareng timpal-timpal deriki. Sareng-sareng nuunin barang yening wenten rauh. Tiyang bagi sareng timpal tiyang, megiliran nyuun barang niki ke pelanggan”. (Saya sudah lama bekerja menjadi buruh tukang suun, saya bekerja bersama teman – teman di sini. Sama – sama menurunkan barang yang
83
datang. Saya bersama teman bergiliran menjunjung barang ke pelanggan) (Wawancara, 2 Oktober 2008). Pola lainnya, bagi mereka yang tidak mampu menjunjung barang yang berat mereka akan bekerja secara mandiri mencari pelanggan di sekitar areal Pasar. Mereka bersaing dengan temannya untuk mendapat pelanggan yang akan menggunakan jasanya. Strategi kerjanya adalah berkeliling di tengah pasar sambil mendekati para pengunjung pasar baik sebagai pemasok barang maupun konsumen. Mereka mendekati pengguna jasa dengan berkata, “Ibu atau bapak tiyang makta belanjaannya atau ibu bapak metumbasan tiyang ngiring” (Ibu atau Bapak saya bawakan belanjaannya atau Ibu Bapak berbelanja, saya temani). Sedangkan persaingan dengan buruh laki-laki tidak terlalu signifikan. Bahkan mereka menjalin kerja sama sebagai kesatuan kerja antara buruh laki dan perempuan. Keberadaan buruh laki-laki semakin berkurang jumlahnya. Biasanya mereka lebih banyak bertugas sebagai pembongkar muatan. Saat ini barangbarang yang datang dengan truk besar sudah mulai berkurang, sehingga pekerjaan bongkar barang menjadi sedikit dan ini menyebabkan laki-laki lebih banyak mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan lain seperti tukang parkir, ojek, sopir, dan buruh bangunan. 5.2.2 Persaingan dalam Kehadiran di Tengah Pasar. Persaingan lainnya yang dihadapi oleh buruh tukang suun yang terutama adalah keterampilan memperhitungkan waktu yang tepat untuk dapat hadir di tengah pasar. Keterampilan ini berhubungan dengan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pelanggan. Pelanggan merupakan bagian dari sistem pasar yang aktivitas baik sebagai pemasok barang maupun sebagai konsumen. Mereka
84
merupakan pemberi rejeki bagi buruh pasar dalam arti banyak sedikitnya upah yang didapat juga dipengaruhi oleh banyaknya para pelanggan yang dapat dilayani. Pelanggan dalam kaitan ini dapat dibedakan yaitu pelanggan tetap dan tidak tetap. Pelanggan tetap bisa berupa seorang konsumen atau pemasok apabila akan berbelanja atau menjual barang di Pasar Badung, maka buruh tertentu sudah siap untuk membantu atau mengantarkan barang dagangan atau belanjaannya ke tempat yang ditentukan. Sedangkan pelanggan tidak tetap adalah konsumen atau pemasok yang tidak tetap berbelanja atau berjualan di Pasar Badung dan pada kesempatan tersebut mereka akan mencari jasa tukang suun untuk mengantarkan barang dagangannya atau belanjaannya. mengantarkan barang dagangannya atau belanjaannya. Bagi buruh pasar untuk mendapatkan pelanggan ini mereka biasanya berusaha berkeliling sambil menawarkan jasanya kepada setiap orang yang datang berbelanja ke Pasar Badung. Dalam kondisi ini setiap tukang suun akan mengatur cara tertentu untuk memikat pembeli. Dari hasil observasi di lapangan diperoleh data tentang beberapa cara yang dilakukan perempuan tukang suun Pasar Badung untuk mendapatkan pelanggan seperti di bawah ini, ”Bapak metumbasan tiang ngiring ngih (Bapak berbelanja saya yang mengantar ya ), Ibu ten ngerereh buruh, ngiring tiang makta belanjaan ibu”. (Ibu tidak mencari buruh, biar saya membantu membawakan belanjaannya ).
85
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 5.2 Perempuan Tukang Suun Sedang Berkeliling Mencari Pelanggan
Gambar 5.3 Perempuan Tukang Suun Mendekati Konsumen
(Dok: Purawati, 2008) Gambar 5.2 menggambarkan cara yang dilakukan perempuan tukang suun untuk mendapatkan pelanggan dengan berkeliling di tengah areal Pasar Badung. Sedangkan gambar 5.3 menggambarkan perempuan tukang suun mendekati para pengunjung pasar seraya menjajakan jasanya dengan berkata “saya bantu pak membawakan barang belanjaannya”. Persaingan hadir di tengah pasar untuk
mendapat pelanggan juga
berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Tugas rumah tangga merupakan tugas rutin yang harus diselesaikan. Pengaturan tugas rumah tangga yang baik dapat membantu perempuan tukang suun memperlancar kehadirannya di tengah Pasar. Kehadiran perempuan di sektor publik, sangat berkaitan dengan kondisi kehidupan rumah tangganya terutama bagaimana perempuan akan mengatur dirinya barkaitan dengan tugas-tugas rumah tangga. Suratiyah (1997) mengatakan agar pekerjaan wanita di luar sektor domestik tidak berpengaruh pada pekerjaan rumah tangganya
86
yang penuh dengan rutinitas yang tak habis-habisnya, maka untuk menyiasati kondisi ini semua anggota keluaga dituntut turut bertanggung jawab. Meski demikian dalam pembagian pekerjaan rumah tangga perempuan tetap mendapat beban yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil penelitian Sajogyo(1983) di mana curahan tenaga kerja perempuan jauh lebih tinggi dari pria dalam pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu pengaturan tugas rumah tangga sangat pnting bagi perempuan bila dia ingin terlibat dalam dunia publik. Pengaturan tugas rumah tangga bagi perempuan tukang suun sangat bervariasi seperti dijelaskan di atas ada yang menyelesaikan dulu tugas rumah tangga baru bekerja mencari nafkah, ada pula kerja rumah tangga dikerjakan setelah datang dari kerja nafkah. bahkan tukang suun kadang-kadang membawa tugas rumah tangga ke tempat bekerja seperti membuat sarana upacara seperti membawa jejahitan dan dikerjakan di pasar saat tidak ada pelanggan menggunakan jasanya. Waktu luang tersebut dimanfatkan oleh Ni Ketut Ngasti metuasan untuk sarana upacara. Adapun penuturannya sebagai berikut : ”Tiyang sai makta busung lakar anggon tiyang sampian nuras. Tiyang liu nelahang canang anggon sai-sai. Apang di jumah bedikan jemak tiyang, jejahitan canange gae tiyang di pasar yening ten wenten gae”. (Saya sering membawa janur untuk saya pakai sampian nuras. Saya banyak menghabiskan canang untuk sebari-hari. Supaya dirumah sedikit saya kerjakan, maka jejahitan canangnya saya kerjakan di pasar jika saya tidak ada kerjaan), (Wawancara, 25 0ktober 2008). Ungkapan di atas menggambarkan pergulatan yang dilakukan perempuan dalam menyelesaikan tugas domestik untuk mempercepat kesempatan untuk hadir di tengah pasar dalam mengais rejeki dan kehadirannya di tengah pasar tidak
87
mengganggu tugas rumah tangga. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 5.4 Perempuan TukangSuun Sedang Menuas Sampian Nuras (Dok: Purawati, 2008)
Gambar di atas menggambarkan tentang kehadiran perempuan tukang suun di tengah pasar sangat bertalian dengan cara-cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan tugas rumah tangga agar tidak berbenturan dengan tugas mecari nafkah. Gambar di atas menunjukkan perempuan sedang metuasan canang untuk alat upacara. Dalam mempercepat kehadiran perempuan bekerja di luar rumah juga disebabkan oleh perubahan fungsi-fungsi keluarga. Fungsi-fungsi suatu lembaga adalah tipe-tipe aktivitas yang secara berbeda dapat ditunjukkan. Secara historis keluarga telah menghilangkan berbagai fungsi-fungsi karakteristiknya dalam melayani anggota-anggotanya dan masyarakat. Peningkatan fungsi aktivitas diluar rumah ditandai oleh menurunnya fungsi tradisional tertentu dalam keluarga (Khaeruddin, 49). Kemajuan teknologi dewasa ini seperti adanya alat-alat rumah tangga serba elektronik seperti rice cooker, magic jar, seterika listrik, kulkas, mesin cuci dan lain-lain, membantu memperingan pekerjaan rumah tangga dan
88
dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan praktis. Kehadiran alat-alat tersebut memperingan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga dan mempercepat mereka dapat melakukan aktivitasnya ke tengah pasar. Seperti diungkapkan oleh Ngasti : “Saya menggunakan majic com untuk memasak nasi, dengan alat tersebut saya tidak perlu repot-repot cukup cuci beras dan saya cuk ke listrik beberapa jam kemudian nasi sudah matang dengan demikian saya tidak perlu menunggu waktu masak dan pekerjaan lain dapat saya kerjakan seperti ke pasar untuk bekerja dan lauk pauknya kadang-kadang saya beli yang sudah matang. Di pasar telah tersedia berbagai makanan yang sudah matang saya tinggal memilih saja” (Wawancara, 25 Oktober 2008). Dari ungkapan tersebut
diperoleh keterangan bahwa keringanan perempuan
menyelesaikan tugas rumah tangga sangat ditunjang oleh kehadiran alat elektronik Fenomena di atas sesuai dengan pendapat Atmaja (2000) menyatakan teknologi memberikan kenyamanan ,keefisienan dan keefektifan manusia dalam mengelola lingkungan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
89
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG
Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sering digunakan untuk membedakan peran yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki stereotip yang berkembang di tengah masyarakat sebagai makhluk yang lemah lembut, halus, dan tidak kuat, sehingga layak bekerja dalam sektor domestik, sebaliknya laki-laki dipandang sebagai makhluk yang lebih agresif dan kuat sehingga cocok bekerja pada bidang publik. Pembagian kerja secara seksual menyebabkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Dilihat dari sudut pandang budaya, diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan oleh kondisi fisik biologis melainkan lebih disebabkan oleh faktor budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologi dan selanjutnya terinstitusionalisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang telah melembaga dalam masyarakat dipandang sebagai hal yang bersifat kodrat, sehingga perempuan menerima pekerjaan domestik sebagai kodrat kaum perempuan. Pandangan masyarakat terhadap perempuan seperti tersebut di atas sudah tentu mempengaruhi aktifitas kehidupan sehari-hari dan memberi dampak bagi hubungan
kerja
antara pria dan wanita.
Umumnya orang melakukan
pengelompokan kerja bagi pekerjaan pria dan wanita, dan membuat dikotomi sehingga ada kerja produksi dan kerja reproduksi. Kerja produksi adalah kerja
89
90
yang menghasilkan sesuatu baik barang, jasa atau uang untuk kelangsungan hidup keluarga. Jenis pekerjaan ini diperuntukkan bagi laki-laki. Kerja reproduksi adalah kerja yang ditujukan untuk kelestarian sistem atau struktur sosial. Kerja reproduksi merupakan kerja yang tidak langsung menghasilkan sesuatu, namun kerja tersebut sangat potensial dan dapat mempengaruhi kerja produktif. Jenis pekerjaan ini diperuntukkan bagi perempuan. Perkembangan kemajuan teknologi memperlihatkan perubahan yang signifikan terhadap munculnya berbagai jenis pekerjaan, jumlah upah, serta sikap sosial perempuan terhadap kerja yang menyebabkan terjadinya perubahan di dalam masyarakat dan pola berfikir masyarakat itu sendiri. Faktor perubahan tersebut mendorong perempuan menjadi aktif yang menyebabkan mereka ikut terlibat ke dalam buruh upahan, termasuk juga tanggung jawab keluarga, pola konsumsi, persiapan pendidikan serta kesempatan kerja. Perempuan dianggap tidak tabu lagi untuk keluar dari lingkungan rumah, bekerja di luar lingkungan keluarganya, untuk mendapatkan tambahan penghasilan juga untuk memenuhi keinginan akan kebutuhan yang bersifat sekunder seperti penampilan, kebutuhan barang elektronik dan lain sebagainya. Kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bagi perempuan dapat diperoleh melalui sektor formal dan informal. Keterlibatan perempuan dalam sektor informal merupakan kegiatan yang ideal bagi kaum perempuan karena kegiatan tersebut dapat memadukan tugas rumah tangga dengan tugas pencari nafkah (Abdullah, 2001:182). Pasar Badung sebagai pasar tradisional terbesar di Denpasar, menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Semenjak Bali menjadi pusat pariwisata
91
Indonesia bagian tengah, perkembangan kota Denpasar berkembang sangat pesat. Bersamaan dengan perkembangan kota tersebut, Pasar Badung juga berkembang serta turut memberi andil dalam memenuhi tuntutan pariwisata. Kondisi ini membuka peluang kerja yang sangat luas bagi masyarakat termasuk perempuan, yang diantaranya ada yang menggeluti pekerjaan sebagai tukang suun dengan memberi jasa kepada para pengguna jasa atau konsumen. Untuk memahami sifat partisipasi perempuan dalam organisasi yang bersifat produktif, maka kendala yang dihadapi perempuan perlu diakui. Kendala yang dihadapi perempuan dalam partisipasinya adalah pekerjaan rumah tangga. Ketika perempuan juga harus menghasilkan pendapatan untuk menghidupi keluarga, akan memperpanjang jam kerja mereka. Terjunnya perempuan ke pasar kerja memungkinkan perempuan memuaskan kebutuhan konsumsi harian rumah tangga dan memungkinkan pula mereka memenuhi kewajiban sosial terhadap warga desa seperti ada upacara adat perkawinan, kelahiran bayi, dan lainnya. Dengan demikian untuk mengetahui faktor pendorong pergulatan perempuan sebagai tukang suun Pasar Badung diuraikan dibawah ini.
6.1 Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan motivasi yang kuat mengapa perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Motivasi berarti alasan atau dorongan (Daryanto, 1997:440). Motivasi berarti niat, dorongan dasar untuk berbuat sesuatu, kalau ada yang kuat belajar, pasti ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai hasil yang baik (Badudu-Zain, 1996:909). Motivasi berarti dorongan
92
yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan sikap dengan tujuan tertentu (Partanto, 1994:120). Motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu tersebut untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai tujuan yang diinginkan (Suryobroto, 1984). Begitu pula dengan kegiatan perempuan sebagai tukang suun, segala aktivitas yang dilakukannya selalu didasari oleh beberapa motif yang mendorong mereka melakukan aktivitas tersebut. Secara konseptual motivasi berkaitan erat dengan prestasi atau hasil yang dicapai. Orang yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja umumnya akan memperoleh prestasi kerja yang lebih baik, sebaliknya hasil pekerjaan seringkali tidak maksimal jika tidak dilandasi oleh motivasi yang kuat. Kondisi tersebut nampak jelas pada sosok seorang tukang suun yang rela bekerja berat meski imbalan yang diperoleh tidak terlalu besar. Seperti gambar di bawah ini :
6.1 Gambar Perempuan Tukang Suun Sedang Mengangkut Barang Belanjaan Konsumen ( Dok: Purawati, 2008) Gambar di atas memperlihatkan pergulatan perempuan tukang suun di mana mereka tidak perduli dengan beban yang harus dijunjung dan mereka tidak pernah
93
berhenti berusaha mencari pelanggan yang bersedia menggunakan jasanya. Semua pekerjaan ini dilakukan karena termotivasi oleh faktor ekonomi untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarganya. Seperti penuturan Ni Wayan Bawa berasal dari Tianyar Karangasem dan bertempat tinggal di jalan Gunung Agung Denpasar menuturkan sebagai berikut, “Jam 3 semeng tiang medagang sayur di Pasar Anyar ngantos jam 11 siang. Kurenan tiang dados sopir nganter barang (ngirim barang) ke restoran lan ke swalayan atau ke tempat-tempat sane lianan. Mulih saking pasar, tiang istirahat ajebos. Selanturne mebersih-bersih jumah, lan nyakan akedik. Yen ten memasak biasane tiang istirahat. Santukan jam 3 sanje tiang sampun ring Pasar Badung megae dados tukang suun ngantos jam 9 peteng. Sami kekaryan sane ambil tiyang anggen ngidupin keluaga, napi malih keluarga tiyang ten meduwe napi Tiang sareng kurenan tiange sami pada ngerereh pangupe jiwa ring Denpasar” (Jam 3 pagi saya berjualan sayur di pasar Anyar sampai jam 11 siang. Suami saya bekerja sebagai sopir pengirim barang ke restoran dan swalayan atau ke tempat lain. Selanjutnya, tiang membersihkan rumah, memasak sedikit, biasanya jika tidak memasak saya istirahat sebentar. Selanjutnya, jam 3 sore saya bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung sampai jam 9 malam. Semua hasil pekerjaan saya dipakai untuk menghidupi keluarga apalagi keluarga saya tidak memiliki apa-apa. Saya dan suami bersma-sama mencari penghidupan di Denpasar), (Wawancara,tgl 29 September 2008). Dari pengakuan Ni Wayan Bawa menunjukkan bahwa keluarganya adalah keluarga kurang mampu dan menyebabkan dia menjadi seorang pekerja keras, yang rela bangun pagi, dan pulang pada malam hari untuk menafkahi keluarganya. Motivasi yang dimiliki Ni Wayan Bawa memberikan gambaran motivasi para perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung, bahwa aktivitas yang dilakukannya dipengaruhi oleh faktor ekonomi keluarganya. Di mana ekonomi keluarga Wayan Bawa merupakan ekonomi yang kurang mampu sehingga kerja yang dilakukan lebih bersifat subsistensi, yakni semua penghasilan habis dipergunakan untuk konsumsi terutama untuk memenuhi kebutuhan
94
keluarga, kewajiban sosial dan menanggung biaya hidup dan pendidikan dua orang anaknya yang masih duduk di sekolah dasar yang tinggal bersama orang tuanya (nenek) di kampung halamannya (Karangasem). Menurut Raharjo (1999: 67) ekonomi subsisten adalah mereka melakukan pekerjaan untuk nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan. Selain hal di atas faktor ekonomi yang mendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat yang semakin maju yang menyebabkan kebutuhan hidup manusia juga semakin meningkat. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ini sudah tentu memerlukan biaya yang diperoleh dengan bekerja agar berpenghasilan. Tuntutan akan berbagai kebutuhan hidup seperti pendidikan, kesehatan, dan keinginan memiliki barangbarang elektronik tidak dapat diabaikan, begitu pula pengaruh dari gaya hidup modern yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu termasuk perempuan mendorong setiap individu berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya baik primer maupun sekunder.
Hal ini mendorong perempuan untuk
meningkatkan peran produktifnya dengan cara mengisi peluang dan kesempatan yang ada di ranah publik salah satunya sebagai tukang suun
Pasar Badung.
Seperti pengakuan Sujani (35 tahun), sebagai berikut : Tiyang megae dados tukang suun mangde maan pipis anggen tiyang nyekolahang pianak tiyang bantas teked SMA .Nyanan apang pianak tiyang polih gegaen ane luhungan kidik. Di samping nika tiyang dot masih nyidayang meli TV anggen hiburan anak tiyang di jumah, apang ten pianak tiyang ke pisage manten (Wawancara tgl. 30 September 2008). Dari informasi tersebut dapat diperoleh keterangan keterlibatan Sujani sebagai tukang suun tidak lain karena faktor ekonomi, karena Sujani ingin agar anaknya
95
mampu menyelesaikan pendidikan paling tidak sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas dengan harapan agar anaknya mampu mencari pekerjaan yang lebih baik dari dirinya. Jika anaknya kelak sudah mendapatkan pekerjaan yang layak maka kondisi keluarga akan menjadi lebih baik dan dihargai oleh orangorang di sekitarnya. Selain hal itu penghasilan yang dia dapatkan sebagai tukang suun sebagian digunakan pula untuk membayar kredit beberapa barang elektronik, seperti: televisi, radio, dan juga membayar cicilan sepeda motor. Manusia bekerja juga dalam rangka memuaskan libidonya untuk memiliki barang-barang berharga yang bisa menyimbolkan status sosial tertentu. Kemampuan ilmu dan teknologi menciptakan aneka kebutuhan hidup manusia, telah mengantarkan manusia ke dalam kehidupan ekonomi berkelimpahan akan barang dan jasa. Bahkan, berkat ekonomi keberlimpahan, manusia telah masuk ke dalam pusaran ekonomi libido, yakni sistem ekonomi yang cenderung melepas katup nafsu kepuasan, dan membuka pintu bagi produksi obyek sebagai agen kepuasan (Pilliang, 1998:15). Aktivitas perempuan tidak akan berhenti pada pemenuhan ekonomi rumah tangga, kegiatan akan terus meningkat bersamaan dengan obsesi untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Menurut (Suratiyah, dalam Abdullah (ed), 1997:230) perempuan bekerja didorong oleh keinginan untuk memiliki uang sendiri, supaya bisa mengambil keputusan sendiri dalam menggunakan uang tanpa harus minta persetujuan dari suami. Uang adalah alat untuk membeli apa yang kita butuhkan dan inginkan. Kalau kita mempunyai sumber uang, kita mempunyai kemandirian dan kebebasan tertentu yang tidak kita miliki kalau tidak ada uang
96
(Van Vuuren, 1988:111). Hal ini seperti ungkapan Darwini (48 tahun) yang kedua anaknya sudah menikah sehingga penghasilan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk membeli beberapa barang berharga terutama perhiasan emas yang dapat dia pakai ketika ada kegiatan upacara di kampungnya dan terkadang juga memberikan bantuan dana kepada keluarga asalnya tanpa menggerogoti kantong suaminya (wawancara tgl. 20 September 2008). Apa yang dilakukan oleh Darwini merupakan potret kemandirian perempuan Bali dalam mempertahankan eksistensi diri. Bekerja bagi perempuan Bali adalah suatu keharusan, sehingga memiliki kebebasan dalam menggunakan uang.
6.2 Faktor Status Sosial Masyarakat sebagai suatu sistem sosial selalu mencerminkan konsepkonsep tindakan sosial, pola interaksi, struktur sosial dan nilai-nilai atau normanorma yang kesemuanya terintegrasi kedalam satu sistem sosial Keluarga dan kekerabatan atau pola-pola sosiokultural mengatur pelaksanaan perkawinan reproduksi (Sanderson, 2000). Sistem ini sangat bervariasi dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Batas-batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan. Umumnya dikenal tiga prinsip keturunan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal. Pada masyarakat Bali, sistem kekerabatan yang dianut adalah sistem kekerabatan patrilineal, di mana pada sistem ini laki-laki menempati posisi yang lebih tinggi dan secara hukum adat sebagai pewaris harta kekayaan keluarga,
97
sedangkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dan tidak berstatus sebagai pewaris harta keluarga kecuali jika perempuan berstatus sebagai stana rajeg. Perempuan hanya mempunyai hak sebagai pemakai hak harta orang tua atau suaminya. Sebagai konsekuensi dari kedudukannya hanya sebagai pemakai hak waris orang tua atau suaminya, perempuan terdorong untuk berusaha berpenghasilan sendiri sehingga mereka terjun kedunia publik (nafkah). Terjunnya perempuan ke ranah publik akan memungkinkan perempuan memperoleh sumber daya pribadi berupa penghasilan yang nantinya dapat merubah posisinya di dalam keluarga. Sebagai seorang perempuan yang pada mulanya dipandang hanya bisa meminta belas kasihan dari suami menjadi bergeser dan ini juga secara sosial akan merubah pandangan individu di sekitarnya. Perempuan akan dipandang lebih berarti, jika tidak bergantung sepenuhnya secara ekonomi pada suami. Keterlibatan perempuan ke dunia nafkah, tidak berarti mereka dapat melepaskan segala kewajiban pada sektor domestik dan kegiatan domestik pada dasarnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan perempuan untuk bekerja (Abdullah, 2001). Kondisi ini menyebabkan perempuan dalam memilih pekerjaan akan memadukan antara kerja nafkah dengan kerja rumah tangga. Menurut Hart (dikutip oleh Criss Manning, 1985:75), sektor informal sebagai bagian angkatan kerja di kota yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisasi. Sektor ini banyak dilirik oleh masyarakat yang hidup di perkotaan. Dalam kegiatannya, sektor informal mempunyai ciri padat karya, tingkat produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, pekerja keluarga, gampang keluar masuk usaha dan merupakan usaha sendiri. Pekerja pada sektor informal
98
kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat bawah dan mereka hidup di kota. Seperti perempuan yang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung, mereka dipandang sebagai pekerja marginal, terpinggirkan, dan menempati pekerjaan pada lapisan masyarakat bawah. Seperti informasi bapak Ketut Sudiasta (wawancara tgl. 25 September 2008) mengatakan bahwa tukang suun yang ada di Pasar Badung tidak ada yang mengorganisir secara formal, mereka bekerja di Pasar Badung atas kemauan sendiri, tidak ada dari pihak pasar secara resmi mengorganisir mereka. Berdasarkan pengamatan jumlah tukang suun yang beroperasi di Pasar Badung cukup banyak Pendapat ini sejalan dengan penuturan seorang pembeli yang sedang berbelanja di Pasar Badung dan berstatus sebagai ibu rumah tangga. Ketut Sukarmiati yang sering menggunakan jasa tukang suun : “Tiyang berbelanja hari ini sangat banyak, tiyang tidak mau kerepotan membawa barang belanjaan yang berat sehingga tiyang menggunakan jasa tukang suun. Ibu tukang suun ini bersedia mengikuti tiyang berbelanja berkeliling membawa barang belanjaan tiyang yang berat dan kotor seperti ikan, daging, sayur, buah-buahan dan lain sebagainya” (Wawancara 18 September 2008). Demikian juga penuturan Ni Made Lemuh seorang pedagang sayur pada los I di Pasar Badung : “Tiyang sampun punya langganan tukang suun untuk mengangkut dagangan tiyang kepelanggan-pelanggan ataupun barang dagangan yang tiyang beli dari pemasok, tiyang tidak perlu lagi repot harus berulang membawa barang dagangan tiyang sendiri” (saya sudah punya pelanggan tukang suun untuk membantu saya mengatur barang dagangan), (Wawancara, 18 September 2008). Dari penuturan tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai tukang suun menempati posisi sebagai pekerja lapisan bawah, akan tetapi sangat membantu dalam proses distribusi barang-barang di Pasar Badung, dan tenaga
99
tukang suun sangat dibutuhkan karena sebagian pengguna jasanya merasa enggan untuk membawa barang belanjaannya yang dianggap berat ataupun kotor seperti ayam, daging, ikan, sayur, maupun buah-buahan yang diperlukan. Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam struktur subordinat dalam berbagai kegiatan, telah menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Wilayah perempuan yang berkisar sekitar tugas-tugas rumah tangga seringkali tidak dihargai atau dianggap tidak bernilai ekonomi. Tugas rumah tangga bagi perempuan merupakan suatu titah, perempuan adalah ratu rumah tangga (Budiman, dalam Abdullah (ed), 1997:151). Keadaan ini menyebabkan status perempuan semakin terpinggirkan. Paradigma ini memotivasi perempuan Bali untuk bekerja, dengan bekerja mereka akan memperoleh penghasilan sendiri dengaan demikian mereka akan mampu merubah status sosialnya menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak melakukan kerja nafkah. Karena itulah, perempuan Bali selalu merasa terdorong untuk menekuni pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, mereka tidak mau bila hidupnya berkutat di sekitar dapur. Seperti penuturan Ibu Darwini (48 tahun) (wawancara tgl. 20 September 2008) yang anak-anaknya sudah besar, bahkan ada yang telah berkeluarga. “saya bekerja untuk mencari nafkah.agar tidak dipandang sebelah mata oleh suami, walaupun keperluan rumah tangga sudah ditanggung oleh suami saya. Apalagi sekarang kedua anak kami sudah bekerja sehingga kebutuhan keluarga tidak terlalu besar. Walaupun kebutuhan keluarga sudah terpenuhi tetapi saya merasa tidak nyaman (tidak enak) kalau tidak ikut bekerja. Alasan utama saya bekarja sebagai tukang suun agar tidak selalu meminta uang untuk keperluan sendiri dan juga agar dapat keluar rumah (pang maan pesu), rasanya bosan kalau di rumah terus” (Wawancara, 20 September 2008).
100
Apa yang diungkapkan oleh Ibu Darwini di atas, merupakan salah satu model perjuangan perempuan untuk keluar dari sektor domestik. Perempuan merasa tidak tenang jika hanya tinggal di lingkungan tempat tinggalnya, mereka lebih senang keluar rumah dan bertemu dengan teman-teman seprofesi di pasar (Abdullah, 2001:143). Penghargaan masyarakat terhadap perempuan pekerja sangat tinggi. Dalam memilih pekerjaan, kaum perempuan juga merasa tersubordinasi oleh sistem pembagian kerja secara seksual. Menurut (Saptari, 1997; Sanderson, 2000), pembagian kerja seksual adalah pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin. Meskipun sekarang ini banyak kaum perempuan yang berkecimpung dalam dunia nafkah (publik) tetapi mereka tidak bisa melepaskan diri dari beban kerja domestik, mereka boleh bekerja nafkah jika tugas-tugas rumah tangga dapat pula diselesaikan. Karena itulah, kaum perempuan dalam memilih jenis pekerjaan tidak memisahkan dirinya dari ruang keluarga atau pekerjaan yang dapat memadukan tugas reproduktif dengan tugas produktif. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai tukang suun. Bagi mereka bekerja sebagai tukang suun dapat dilakukan setelah menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden menyatakan faktor inilah yang menjadi salah satu alasan mereka memilih pekerjaan sebagai tukang suun.
101
6.3 Faktor Etos Kerja Globalisasi memberi dampak pada perubahan struktur sosial masyarakat yakni beralihnya struktur perekonomian masyarakat dari agraris menjadi perekonomian industri dan jasa. Sektor industri dan jasa membuka peluang kerja yang beragam di kota dan menjadi daya tarik orang untuk datang ke kota. Umumnya pendatang yang datang ke kota berbekal pengetahuan dan skill yang kurang memadai sehingga dalam perebutan kesempatan kerja mereka mendapat pekerjaan kelas ke dua seperti menjadi buruh atau pekerjaan kasar lainnya. Salah satu dari jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai tukang suun Pasar Badung. Pekerjaan ini banyak digeluti karena pekerjaan tersebut dapat memadukan kerja domestik dengan kerja nafkah. Disamping itu, perkembangan perekonomian Denpasar yang sangat maju menyebabkan Pasar Badung sebagai pasar tradisional juga mengalami perkembangan yang pesat. Aktivitas di Pasar Badung berlangsung selama dua puluh empat jam dan ini menyebabkan perempuan yang bekerja sebagai tukang suun memiliki suatu keyakinan bila mengadu nasib di Pasar Badung tentu akan dapat membantu ekonomi keluarganya. Kondisi ini menjadi etos kerja yang memotivasi perempuan untuk bekerja sebagai tukang suun. Seperti yang diungkapkan oleh Sujani sebagai berikut : “Tiyang sampun mekelo dados tukang suun deriki, tiyang yakin asal kayun ke pasar anak wenten dogen ngorain megae batak ngalih pipis sepuluh ribu pasti polih nika ngeranayang tiyang demen ke pasar dari pada nongos manten jumah sire ngemaang pipis, napi malih masan rerainan ten kuangan gae di pasar”. (Saya sudah lama bekerja sebagai tukang suun ,jika mau bekerja gampang cari uang .apalagi musim hari raya), ( Wawancara, 22 Oktober 2008 ).
102
Dari ungkapan di atas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di sektor publik sebagai tukang suun Pasar Badung dimotivasi oleh etos kerja berupa keyakinan yang ada pada dirinya bahwa uang pasti dia dapatkan asal mau, yakin, ulet dan disertai semangat yang tinggi untuk bekerja. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Tasmara (2007) etos kerja merupakan totalitas kepribadian serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak dan meraih hasil yang optimal. Berdasar pada etos kerja yang dimiliki perempuan yang bekerja sebagai tukang suun akan melahirkan semangat kerja yang tinggi dalam menjalankan aktivitasnya. Pada keluarga lapisan bawah sering kali proses pemenuhan kebutuhan menuntut ke ikut sertaan setiap anggota keluarga termasuk perempuan. Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi yang ditandai oleh peningkatan dalam jumlah perempuan yang terlibat pekerjaan diluar rumah dan peningkatan dalam jumlah bidang pekerjaan yang dimasuki perempuan. Keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi memberi sumbangan yang besar pada pendapatan keluarga. Terbukanya peluang kerja yang dapat dimasuki perempuan, maka perempuan berusaha merekonstruksi diri yang akan menjadi kekuatan penting untuk memahami diri dalam rangka mentransformasi kehidupan dan keluarganya menjadi lebih baik. Masuknya perempuan ke dunia publik akan memperberat tugas-tugas perempuan. Perempuan turut berkewajiban memenuhi kebutuhan makanan untuk keluarganya karena perempuan berperan dalam tugas domestik Untuk menyelesaikan semua tugas tersebut perempuan harus memiliki etos kerja
103
atau semangat kerja yang tinggi dalam memotivasi setiap tindakannya. Semangat kerja merupakan modal dasar untuk keberhasilan seseorang (Alma, 2001). Identitas gender yang selalu bertumpu pada hubungan laki-laki dan perempuan yang asimetris tentang sikap atau perilaku yang dianggap pantas dan tidak pantas bagi laki-laki dan perempuan. Pandangan tentang peran yang pantas dan tidak pantas bagi perempuan dan laki-laki sering digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku dalam masyarakat, (Sadli dan Patmonodewo, dalam Ihromi(ed), 1995: 73). Bagi perempuan Bali, pandangan yang baik sebagai perempuan dijuluki dengan luh luih sedangkan sebaliknya luh luu sebagai sebutan perempuan kurang baik. Agar mampu menjadi perempuan baik, seorang perempuaan akan menjaga martabatnya dengan baik, melalui usaha-usaha yang bersumber dalam dirinya seperti berusaha bekerja agar berpenghasilan sendiri, tidak merengek-rengek minta dikasihani atau dengan istilah mampu bertanggung jawab atas diri pribadi. Terjunnya perempuan ke setor publik sebagai tukang suun merupakan sebuah rekonstruksi diri bagi diri perempuan agar dapat mendatangkan penghasilan sendiri. Dengan penghasilan yang diperoleh akan memberikan status yang lebih baik dalam arti dalam setiap kesempatan akan lebih diperhitungkan. Sebaliknya, jika sebagai perempuan hanya mengandalkan pendapatan suami akan dipandang sebelah mata oleh orang tua atau mertua, lebih-lebih bila keluarga dimana perempuan itu menjadi istri memiliki status ekonomi kurang mampu. Bilamana sang menantu berasal dari keluarga tak mampu serta sebagai istri hanya meminta penghasilan suami akan dipandang rendah baik oleh suami maupun orang tuanya.
104
Bahkan perempuan sering akan dikata-katai “medem dogen gaene sing ngelah keneh abedik monto kurenane sing ngoyong-ngoyong ngaliyang iya gae apang ade amaha” (tidur saja kerjanya, tak punya hati dan perasaan sedangkan suaminya sibuk mencarikan nafkah). Untuk dapat menunjukkan jati diri sebagai istri maka etos kerja yang dimiliki sebagai motivasi perempuan untuk bekerja sebagai tukang suun dan untuk menjauhkan diri dari tudingan perempuan pemalas. Etos kerja yang lain yang mendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat terutama menyangkut pergeseran pada cara-cara manusia beradaptasi dengan lingkungan. Perempuan yang bekerja sebagai tukang suun berdomisili di daerah perkotaan. Hidup di perkotaan sangat berbeda dengan pola hidup di pedesaan. Di daerah pedesaan umumnya orang hidup dari pertanian ataupun berladang, namun bila tinggal di perkotaan maka cara hidupnya juga berubah dari petani akan menjadi pekerja pada sektor industri dan jasa. Hal ini sudah jelas terjadi pergeseran dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup. Keterlibatan perempuan menjadi tukang suun sangat dimungkinkan oleh kondisi Pasar Badung bila dilihat dari keseharian kehidupan Pasar Badung yang sangat ramai. Pedagang dari berbagai daerah di Bali bahkan dari luar Bali juga banyak berdatangan untuk menjual hasil produksinya di Pasar Badung. Kondisi ini tidak saja pada hari-hari raya agama Hindu namun setiap hari. Kegiatan di Pasar Badung yang selalu ramai ini membuka peluang kerja bagi perempuan sebagai tukang suun. Kondisi ini juga
105
memotivasi semangat kerja yang tinggi bagi perempuan untuk bekerja sebagai tukang suun. Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 6.2 Peluang Kerja Sebagai Tukang Suun Di Pasar Badung (Dok: Purawati, 2008) Gambar di atas menunjukkan keramaian aktivitas yang terjadi di Pasar Badung. Keadaan ini merupakan lahan yang sangat baik untuk mengais rejeki sebagai buruh pasar yang mendorong lahirnya etos kerja yang tinggi serta ditambah dengan pergeseran gaya hidup orang kota di mana bila mereka berbelanja ke pasar kebanyakan menggunakan mobil, dan sepeda motor sehingga untuk membawa barang belanjaan mereka cukup menggunakan kantong plastik, memberikan kesempatan sangat banyak kepada tukang suun untuk membantu para konsumen untuk menggunakan jasanya membawa barang belanjaannya sampai mereka
106
selesai berbelanja dan serta mengantarkan barang tersebut sampai di tempat parkir.
6.4 Faktor Rendahnya Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting yang memungkinkan seseorang mencapai status sosial yang lebih tinggi di masyarakat. Pendidikan melahirkan emansipasi perempuan yang mendorong perempuan untuk melepaskan diri dari peranan yang terbatas menurut sistem kekerabatan serta untuk mendapat pengakuan status baru dalam keluarga maupun masyarakat luas. Pendidikan merupakan sistem pengajaran kultural dan intelektual, tidak saja meliputi pendidikan formal sekolah dasar, menengah dan tinggi melainkan juga pendidikan non formal dan pendidikan informal dalam keluarga. Pendidikan yang dilaksanakan sudah tentu arahnya menuju manusia yang memilki sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mampu berkiprah baik diarena lokal, nasional dan internasional. Konstruksi gender yang telah melembaga dalam pranata keluarga dan masyarakat, berpengaruh terhadap status dan peran antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi ini juga melahirkan pandangan yang berbeda tentang penilaian terhadap anak. Anak laki-laki memperoleh perhatian yang lebih tinggi, karena menurut pandangan orang Bali, anak laki-laki adalah sebagai penerus keluarga. Pandangan ini juga berdampak pada kesempatan memperoleh pendidikan. Biasanya orang tua mendahulukan pendidikan anak laki-lakinya dari
107
pada anak perempuan, walaupun akhir-akhir ini pandangan tersebut sudah mulai mengalami pergeseran. Pendidikan yang dimiliki akan berpengaruh pada pemilihan kesempatan kerja yang tersedia di masyarakat. Umumnya peluang kerja yang ada di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sektor formal dan sektor informal. Pada sektor informal setiap orang dapat memasukinya, karena bidang ini tidak terlalu banyak menuntut persyaratan. Ciri dari sektor informal adalah sangat mudah dimasuki karena tidak memerlukan keterampilan yang tinggi, bersandar pada sumber daya lokal dan berbentuk usaha sendiri sedangkan pada sektor formal berlaku sebaliknya (Criss Manning,1985 :75). Untuk mempertahankan hidup bagi mereka yang tidak tertampung pada sektor formal mereka akan memasuki pekerjaan pada sektor informal seperti perempuan yang menekuni pekerjaan sebagai tukang suun. Pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung memang tidak menuntut persyaratan yang ketat. Bagi mereka asal mau bekerja, memiliki kekuatan fisik untuk mengangkut barang, serta terampil menjunjung merupakan modal kerja bagi pekerjaan sebagai tukang suun. Dari hasil wawancara dengan 10 responden perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung, menyatakan bahwa dirinya hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Dengan latar belakang rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki mereka tetap berusaha untuk dapat berkiprah dalam dunia nafkah, maka pilihan mereka tertuju pada sektor informal sebagai tukang suun. Seperti dituturkan oleh Sari (umur 32 tahun) yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung sebagai berikut :
108
“Tiyang ten madue pendidikan. Tiyang wantah tamat Sekolah Dasar. Nika ngeranayang tiyang memilih gegaen dados tukang suun. Tiyang ke peken jam 07.00 pagi. Setondene tiyang ke peken, tiyang meragatang gegaen di jumah malu, suudan nika mare tiyang ke peken. Di peken tiyang ten madue langganan, nika ngranayang tiyang bebas ke peken. Lamun nenten wenten order, atau tiyang sampun kenyel tiyang mulih sekitar jam dua”. (Saya tidak berpendidikan, Saya hanya tamat sekolah dasar.Itu yang menyebabkan saya memilih pekerjaan tukang suun Saya ke pasar pukul 07.00 pagi. Sebelum kepasar saya menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu, setelah selesai baru saya berangkat ke pasar. Dipasar saya tidak punya langganan, jadi saya bebas. Jika tidak ada orderan atau saya sudah payah , saya pulang pukul 14.00), (Wawancara, 2 Oktober 2008). Ungkapan diatas menunjukkan Sari tidak memiliki latar belakang pendidikan memadai. Dia hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimilki Sari mendorong mereka bekerja sebagai tukang suun untuk mendapatkan biaya bagi kehidupan keluarganya, dan kelangsungan pendidikan anaknya yang sudah duduk dibangku Sekolah Dasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Todaro (2003, 370) menyatakan sektor informal mampu menyediakan sumber pendapatan bagi penduduk miskin. Keterbatasan pendidikan yang dimiliki mendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
109
BAB VII MAKNA PERGULATAN PEREMPUAN TUKANG SUUN PASAR BADUNG
Bali sebagai daerah tujuan wisata mancanegara berpengaruh besar terhadap perkembangan perekonomian masyarakat. Pengaruh tersebut terlihat pada pergeseran pola mata pencaharian masyarakat dari agraris ke bidang industri dan jasa. Kegiatan pariwisata membuka peluang kerja sangat luas bagi masyarakat termasuk kaum perempuan. Keterlibatan perempuan di sektor publik menandakan adanya pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan serta menyebabkan peran sektor publik bukan hanya milik laki-laki lagi tetapi juga milik perempuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Feminisme Pascastrukturalisme menyatakan bahwa seks atau kelamin dan gender merupakan konstruksi sosial dan kultural yang tidak bisa dijelaskan secara biologis dan tidak bisa direduksi kepada fungsi-fungsi kapitalisme (Barker, 2005:295). Keterlibatan perempuan di sektor publik merupakan potret kemandirian perempuan dalam mempertahankan eksistensi diri. Bekerja adalah keharusan dan memiliki kekayaaan sendiri adalah tujuan utamanya (Artadi,1993). Dengan terciptanya kemandirian ekonomi, ruang gerak perempuan akan semakin terbuka, mereka akan merasa lebih aman dan nyaman, percaya diri, serta kehadirannya dalam masyarakat dan keluarga lebih diperhitungkan Untuk itu Sumber daya pribadi berupa pemilikan finansial dapat dijadikan sumber untuk menciptakan keharmonisan keluarga.
109
110
Dalam menciptakan kemandirian ekonomi perempuan tidak memilih-milih pekerjaan, bahkan mereka tidak mempedulikan kondisinya sendiri, mereka bekerja sekuat tenaga dengan harapan mendapat imbalan berupa upah sesegera mungkin seperti menekuni pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung. Dengan demikian perempuan akan dapat melepaskan diri sebagai mahluk nomor dua serta akan lebih dihargai dalam masyarakat dan keluarga. Untuk mampu mewujudkan harapannya perempuan melakukan pergulatan secara terus menerus. Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilinial menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan serta laki-laki memiliki kedudukan sebagai pewaris hak kekayaan keluarga dan orang tua, sedangkan perempuan hanya memiliki hak sebagai pemakai hak orang tua atau suami. Menurut Astiti (2004) anak laki-laki memiliki nilai yang lebih tinggi dalam keluarga karena mereka adalah penerus keturunan dan disamping itu anak laki-laki mempunyai tanggung jawab penuh secara ekonomi, sosial dan religius terhadap keluarganya. Sedangkan sebaliknya, bila anak perempuan menikah mereka tidak memiliki hak apa-apa dan mereka merupakan bagian dari anggota keluarga suaminya. Kondisi ini berpengaruh terhadap tumbuhnya kesadaran pada diri perempuan, sebagai bentuk motivasi internal atau rasa jengah agar berpenghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sendiri. Perubahan masyarakat yang terjadi sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa perubahan pandangan masyarakat dalam menatap masa depan dan hal ini berpengaruh pula pada perubahan pandangan
111
perempuan terhadap kerja. Untuk memahami makna pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung akan diungkap di bawah ini.
7.1 Makna Kesejahteraan Manusia adalah mahluk esparans (Fromm,1996). Artinya apapun yang dilakukan selalu disertai dengan suatu harapan yakni harapan menjadi lebih baik atau sejahtera. Keterlibatan perempuan sebagai tukang suun Pasar Badung merupakan suatu aktivitas yang dilakukan perempuan dengan suatu harapan agar dapat merubah ekonomi keluarga. Menurut Horton (1996: 274), salah satu dari fungsi keluarga sebagai kesatuan sosial terkecil adalah fungsi ekonomi. Untuk menjalankan fungsi ekonomi, aktivitas yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dari keadaan di dalam rumah, seperti umur anak, penghasilan suami dan juga masalah sosial dan budaya masyarakat dimana keluarga tersebut menjadi bagiannya. Seperti penuturan Ni Nengah Wenten sebagai berikut : ”Kurenen tiyang wantah dados buruh bangunan, pengasilanne wantah Rp 40.000 per hari ten cukup anggen tiyang biaya hidup sewai-wai, napi malih pianak tiyang kari cenik wenten manten tagiha, tonden malih mayah ayahan-ayahan di desa. Nika ngeranayang tiyang megae dados tukang suun. Sewai-wai tiyang polih upah nyuun Rp 25.000 sampai Rp 40.000 . Upah nika langsung anggen tiyang numbas lauk-pauk, gagapan pianak. Sukat nika tiyang merasa tenang” Suami saya seorang buruh bangunan. Penghasilannya hanya Rp 40.000 per hari. Penghasilan tersebut tidak cukup untuk membeli keperluan seharihari, belum lagi untuk keperluan di desa. Karena hal tersebut saya harus bekerja .Penghasilan saya perhari Rp 25.000 sampai Rp 40.000 Sejak saya bekerja saya merasa lebih tenang, ( Wawancara, 30 September, 2008). Dari informasi di atas diperoleh keterangan bahwa keterlibatan Nengah Wenten sebagai tukang suun disebabkan oleh pendapatan suaminya tidak cukup
112
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Pada keluarga batih usaha ekonomi untuk mempertahankan eksistensi biasanya dilakukan secara mandiri. Seperti yang terlihat pada kehidupan perempuan tukang suun Pasar Badung. Perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung adalah migran yang berasal dari beberapa daerah di Bali dan menetap di Denpasar serta memiliki latar belakang ekonomi kelas bawah. Berlatar belakang ekonomi yang rendah, keterlibatan perempuan (istri) dalam bidang ekonomi sangat membantu dalam menambah penghasilan keluarga dan bermakna untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Seperti penuturan Made Sujani (35 tahun) yang berasal dari Buleleng sebagai berikut : “Sedurung tiyang sareng megae keluargan tiyange setata kuangan manten, anggen hidup sehari-hari sampun meweh pisan. Napi malih tiyang joh teken matua ten wenten tongos nyilih wiadin ngidih. Sesukat tiyang sareng megae, kondisi ekonomi keluarga tiyang semakin membaik.Angen keperluan sehari-hari sampun meresidayang tiyang numbas pedidi uli pegaen tiyang nyuun ring pasar” (Sebelum saya bekerja keluarga saya selalu dalam keadaan kekurangan,untuk hidup sehari-hari saja sudah susah aplagi saya jauh dari keluarga sehingga sulit meminta ataupun meminjam namun sejak saya bekerja sebagai tukang suun di pasar badung saya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa minta dengan suami (Wawancara,22 Oktober 2008). Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa keterlibatan perempuan di sektor publik sangat membantu upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga Made Sujani dalam kondisi yang selalu kekurangan sehingga dengan keterlibatannya sebagai tukang suun memberi sumbangan ekonomi yang sangat berarti bagi kesejahteraan keluarga. Dalam sehari Made Sujani memperoleh penghasilan rata-rata Rp 20.000 sampai Rp 30.000. Penghasilan ini digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari seperti lauk pauk. Dengan demikian
113
kehadirannya sebagai tukang suun dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga dibandingkan sebelum mereka bekerja.Fenomena tersebut sejalan dengan hasil penelitian Abdulah yang menyatakan arti keterlibatan perempuan dalam kerajinan dapat dinilai dari peran suami bagi ekonomi rumah tangga di mana dorongan mereka bekerja disebabkan oleh tekanan ekonomi, penghasilan suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga sehingga keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi mampu menyumbangkan uang tunai dari pekerjaan yang dilakukan. Demikian pula penuturan Wayan Bawa berasal dari Tianyar Karangasem dan bertempat tinggal di jalan Gunung Agung Denpasar, mengungkapkan : “Tiang medagang sayur di Pasar Anyar jam 3 pagi ngantos 11 siang. Kurenan tiang dados sopir nganter barang (ngirim barang) ke restoran dan swalayan atau ke tempat-tempat sane lianan. Mulih saking pasar, tiang istirahat ajebos. Selanturne mebersih-bersih jumah, lan nyakan a kidik. Yen ten memasak biasane tiang istirahat, seantukan jam 3 sanje tiang sampun ke Pasar Badung meburuh dados tukang suun ngantos jam 9 peteng. Yening ten wenten gae, tiang meblanja sayur anggen dagangan ring pasar anyar. Tiang sareng kurenan tiange sami pade ngerereh pangupa jiwa ring Denpasar, pianak tiyang kingsanan tiyang sareng orang tua di kampung”. (Saya berjualan sayur di Pasar Anyar jam 3 pagi sampai jam 11 siang. Sedangkan suami saya menjadi sopir yang bertugas mengirim barang ke restoran dan swalayan. Pulang dari pasar saya istirahat sebentar, kemudian membersihkan rumah dan memasak. Jam 3 sore saya kembali ke Pasar Badung menjadi tukang suun. Demikian saya dan suami mencari penghidupan di Denpasar dan terpaksa saya menitipkan anak pada orang tua di kampung.(Wawancara, tgl 29 September 2008). Dari pengakuan Wayan Bawa menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarganya yang rendah menjadi motivasi penyebab dia menjadi perempuan tukang suun, yang rela bangun pagi buta dan pulang pada malam hari untuk menafkahi keluarganya. Motivasi yang dimiliki Wayan Bawa memberikan
114
gambaran bahwa para tukang suun ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dalam menjalankan aktivitas sebagai tukang suun untuk memperbaiki kesejahteraan keluarga. Fenomena tersebut sejalan dengan pendapat Ken Suratiyah (dalam Abdullah, 1997: 220) bagi perempuan dalam rumah tangga miskin bekerja bukan merupakan tawaran, tetapi suatu strategi untuk menopang kebutuhan ekonomi, apalagi bagi rumah tangga yang tidak memiliki akses tanah. Dengan adanya perubahan masyarakat, sebagai pengaruh dari proses globalisasi membuka peluang kerja yang cukup beragam dalam masyarakat. Sejalan dengan perubahan yang terjadi, perempuan juga memiliki peluang untuk masuk kedunia kerja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki seperti menjadi tukang suun Pasar Badung. Keterlibatan perempuan sebagai tukang suun Pasar Badung merupakan pekerjaan di sektor informal. Sebagai pekerja sektor informal, pekerjaan yang mereka lakukan cukup komplek, meliputi aktivitas membantu pedagang menggelar dagangan, berkeliling mengikuti pemakai jasanya berbelanja disekitar Pasar Badung, menunggu proses belanja pengguna jasa mereka serta harus tetap menjaga keseimbangan barang yang mereka suun di kepala, tak jarang juga masih disertai dengan menjinjing tas belanjaan, melewati lorong sempit penuh sesak dengan orang lain yang juga berada di pasar, harus berhati-hati membawa barang agar tidak rusak, berserakan, misalnya minyak goreng yang tumpah, telur yang pecah. Pekerjaan ini tentu menuntut kondisi fisik yang cukup kuat serta memerlukan pergulatan, perjuangan dan usaha dengan penuh konsentrasi, sehingga pemakai jasa menjadi senang dan puas serta tenang berbelanja.
115
Seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 7.1 Perempuan Tukang suun Mengikuti Pembeli Berbelanja (Dok Purawati,2008) Dari gambar di atas terlihat perempuan tukang suun sedang mengikuti konsumen berbelanja. Di mana ibu yang menggunakan jasanya sedang sibuk melihat-lihat barang yang akan di beli selanjutnya. Keterlibatan perempuan dalam bidang produktif menandakan terjadi pergeseran pembagian kerja dalam rumah tangga. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat (Kebayantini, 2003) yang menyatakan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi menggambarkan telah terjadi pergeseran pembagian kerja secara seksual, sehingga batas-batas antara wilayah laki-laki dan perempuan menjadi kabur. Kondisi ini menandakan bahwa pencari nafkah bukan lagi monopoli laki-laki, hal ini terlihat dari keterlibatan perempuan dalam pekerjaan nafkah baik sebagai pekerja kasar seperti tukang suun di pasar-pasar maupun
116
pekerja kasar lainnya seperti angkut pasir, tukang labor rumah maupun sebagai pekerja profesional seperti dokter, manager maupun yang lainnya. Hal tersebut menjadi penting karena mampu membangun kepercayaan diri feminis untuk menyadari dirinya serta keluarga dan masyarakat. Terjunnya perempuan dalam kerja nafkah sebagai tukang suun Pasar Badung secara ekonomi mampu memperoleh kemandirian ekonomi. Dengan modal ekonomi yang dimiliki kehidupan perempuan lebih sejahtera Pendapatan yang mereka peroleh dapat digunakan untuk membeli keperluan rumah tangga sehari-hari dan juga sisanya dapat digunakan untuk membeli barang sederhana seperti pakaian, perabot rumah tangga sedangkan untuk keperluan rumah tangga yang bersifat sekunder selalu meminta persetujuan dengan suami. Seperti yang diungkapkan oleh Made Sujani 35 tahun sebagai berikut : “Dulu sebelum saya bekerja sebagai tukang suun bila ingin berbelanja masih menunggu suami, namun sekarang sejak saya bekerja sebagai tukang suun untuk memenuhi keperluan sehari-hari saya sering mengambil keputusan sendiri, karena menurut saya penghasilan yang saya peroleh cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun untuk keperluan yang besar, misalnya membeli barang–barang yang agak mahal atau untuk biaya pendidikan, saya selalu minta persetujuan suami. Pendapatan saya sebagai tukang suun tidak tentu. Walaupun begitu saya tetap bersyukur karena sudah ada pekerjaan yang saya ambil setiap hari” (wawancara tgl. 22 Oktober 2008). Dari informasi di atas diperoleh keterangan bahwa penghasilan pribadi akan membuat perempuan mandiri secara ekonomi dan secara langsung memberi kebebasan dalam pengelolaannya. Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat utama bagi gerak pembebasan tubuh perempuan (Shirley Lie, 2005). Selain hal di atas, arus globalisasi yang berlangsung secara cepat berpengaruh terhadap perekonomian dunia. Dalam era global terpaan informasi
117
melalui kemajuan teknologi seperti televisi sangat memungkinkan seseorang untuk mengadopsi nilai-nilai pengetahuan dan kebiasaan di luar lingkungan sosialnya. Menurut Abdullah (2006) budaya global mempengaruhi setiap orang tidak terkecuali perempuan, turut merespon pengaruh tersebut serta membawa “pasar” menjadi kekuatan yang dominan. Kondisi ini pula sebagai pendorong perempuan untuk bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Seperti penuturan Wayan Karsani (38 tahun) perempuan tukang suun Pasar Badung sebagai berikut : “Mangkin gumi suba maju, magenepan ade, anak nanjang barang masih liu. Ento ngeranayang tiyang meled ngelah barang-barang. Nika ngeranayang tiyang berusaha megae dadi tukang suun Pasar Badung apang tiyang nyidang meli barang-barang nika mekadi tv, sepeda motor”. (Sekarang dunia sudah maju,segalanya serba ada, orang menawarkan barang juga banyak. Itu yang menyebabkan saya berkeinginan memiliki barang-barang tersebut. Untuk itu saya berusaha bekerja dengan giat sebagai tukang suun Pasar Badung), (wawancara 20 September 2008). Demikian juga penuturan Ni Wayan Sari dia bekerja mati-matian sebagai tukang suun : “Mangde side akidik sareng mengikuti jaman seperti berusaha nyekolahang pianak, tiyang sampun ten nawang huruf mangde pianak tiyang tatas uning kedik Disamping nika mangde ten keuluk-uluk oleh anak lianan. Nika meled tiyang berusaha apang pianak tiyang mangde mesekolah” (Supaya dapat mengikuti jaman seperti berupaya supaya anak bersekolah yang lebih tinggi itu yang mendorong saya bekerja keras), (Wawancara 20 September 2008). Dari penuturan tersebut menggambarkan bahwa untuk dapat bertahan atau beradaptasi dengan perubahan masyarakat, seseorang akan berusaha untuk dapat bekerja. Disamping itu sistem ekonomi dunia yang dipengaruhi oleh iklim globalisasi menyebabkan makin kuatnya pengaruh sistem kapitalisme global yang ditandai oleh komodikasi hawa nafsu (Atmaja, 2004). Pasar Badung sebagai pasar
118
tradisional menjadi pilihan bagi warganya untuk mengadu nasib untuk mencari pengupa jiwa baik sebagai pedagang, buruh pasar maupun yang lainnya. Dengan demikian makna yang diperoleh menekuni pekerjaan ini terutama berkenaan dengan masalah kesejahteraan yaitu pendapatan yang mereka peroleh sebagai tukang suun memberikan kontribusi bagi perekonomian keluarga sehingga kesejahteraan keluarganya meningkat. Arjani (2000) mengemukakan bahwa kelompok-kelompok usaha yang bergerak pada sektor informal sering memiliki makna ekonomi sebagai alat untuk mendapatkan penghasilan bagi penunjang kesejahteraan keluarganya. Keterlibatan perempuan di luar rumah menandakan bahwa perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah hidupnya, dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai istri, tetapi sebagai pekerja dan wanita karier, (Abdullah, dalam Abdullah (ed) 1997). Keluarnya perempuan dari sektor domestik ke sektor publik sebagai dampak
perubahan
masyarakat
merupakan
sebuah
fenomena
yang
mengindikasikan adanya sebuah usaha merekonstruksi diri untuk mendapat pengakuan dari lingkungan. Demikian pula pergulatan yang dilakukan oleh perempuan yang bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. Keterlibatannya di bidang nafkah adalah untuk memperbaiki ekonomi keluarga, disamping itu perempuan juga ingin memenuhi kebutuhan yang lain seperti penampilan, keinginan akan barang-barang elektronik, seperti magic jar, kompor gas, seterika, dan kebutuhan akan barang-barang lainnya yang lebih bersifat sekunder. Semua keberadaan barang tersebut sebagai dampak dari kemajuan masyarakat. Promosi
119
barang melalui iklan-iklan yang ditayangkan media massa sangat mempengaruhi masyarakat terlebih kaum perempuan akan kemewahan. Semua hal di atas akan mendorong perempuan untuk merekonstruksi dirinya bahwa sebagai seorang perempuan disamping berusaha membantu perekonomian keluarga untuk mensejahterakan keluarga, dan juga ingin untuk mengaktualisasikan potensinya dan sekaligus mendapatkan penghasilan untuk memperbaiki kualitas hidup pribadinya.
7.2 Makna Rekreasi Untuk Melepas Rasa Jenuh Dalam Rumah Munurut Selo Sumarjan perubahan sosial adalah segala perubahanperubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Pelly dan Menanti, 1984:189). Gillin dan Gillin (dikutip oleh Soekanto, 1986:286) mengatakan perubahan sosial adalah variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya penemuanpemenuan baru dalam masyarakat. Perubahan–perubahan sosial yang terjadi memberi pengaruh terhadap pergeseran pandangan perempuan untuk memaknai hidupnya. Secara ideal masyarakat memandang bahwa perempuan memang bertugas atau berkewajiban sebagai ibu rumah tangga. Walaupun sebagai ibu rumah tangga, namun bukan berarti perempuan hanya berhak untuk mengurus kegiatan rumah tangga saja.
120
Bilamana hal tersebut sampai terjadi, maka perempuan sudah tentu akan merasa terisolasi yang mengarah terjadinya rasa jenuh dan kebosanan. Untuk itu, perempuan perlu juga bekerja keluar rumah untuk dapat mengatasi rasa jenuh dan membosankan. Seperti yang dituturkan oleh Made Darwini sebagai berikut : “Med tiyang jumah, gegaen jumah lamun jemak nak ten telah telah. Ade dogen ane konden mejemak. Buine gegaen jumah tusing ade ajinne. Adenan tiyang ke peken. Disamping maan ngorte ajak timpal, irage masih maam pipis”. (Bosan saya di rumah. Pekerjaan rumah tangga tak ada habis-habisnya. Oleh sebab itu lebih baik saya ke pasar, di samping dapat ngobrol juga dapat uang), (Wawancara, 22 0ktober 2008). Dari penuturan Darwini bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung dapat melepas rasa jenuh di dalam rumah dan bisa pula bersosialisasi dengan temanteman. Wilayah perempuan yang berkisar pada tugas rumah tangga dan kegiatan sosial sering kali tidak dihargai dan dianggap tidak bernilai ekonomi sehingga sering sangat membosankan. Karena itulah perempuan selalu terdorong untuk menekuni pekerjaan yang menghasilkan uang, mereka tidak mau hanya berkutat dalam rumah dengan urusan dapur dan bersih-bersih. Hal ini sejalan dengan pandangan Suryani (1993: 223) latar belakang perempuan bekerja adalah mengisi waktu agar terbebas dari lingkungan keluarga. Hal ini memberi gambaran bahwa perempuan tukang suun Pasar Badung sebagai anggota masyarakat telah mampu mengaktulisasikan dirinya. Dengan bekerja mereka mampu menghasilkan uang dan dapat menggunakan jerih payahnya untuk membeli keperluan dirinya seperti pakaian, alat kosmetika sehingga mereka tidak merasa jenuh dan bosan. Hal ini juga ditunjang oleh kemajuan masyarakat di mana segala kebutuhan hidup dari yang mahal sampai yang murah banyak tersedia dan mudah untuk didapat.
121
Adanya perubahan ini memotivasi perempuan keluar dari rumah, melakukan pekerjaan dan sekaligus melakukan rekreasi untuk menghilangkan rasa jenuh dan membosankan di rumah.
7.3 Makna Psikologi Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam struktur subordinat dalam berbagai kegiatan, telah menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Abdullah (2001: 111) mengatakan bahwa struktur yang timpang yang menempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan perempuan pada ujung yang lain dalam satu garis vertikal, telah membedakan wilayah ekspresi dimana perempuan dan laki-laki terlibat. Perempuan meski dalam realitasnya menerima apa yang telah digariskan oleh sistem sosialnya, namun belakangan ini sejalan dengan perkembangan masyarakat dimana kebutuhan perempuan juga mulai meningkat sehingga perempuan mulai memperjuangkan dan mencari pengakuan lingkungan dengan keluar dari dunia domestiknya menuju ranah publik dengan bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan mengikuti pandangan Fromm (1996) manusia adalah mahluk esparans, yang artinya apapun yang dilakukan manusia disertai suatu pengharapan yaitu harapan yang lebih baik atau sejahtera. Keterlibatan perempuan dalam bidang publik memberi kesempatan pada perempuan untuk berpenghasilan sendiri. Dengan penghasilan tersebut secara psikologis dapat menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi diri perempuan. Seperti penuturan Ketut Ngasti sebagai berikut :
122
“Sukat tiyang dados tukang suun tiyang mangkin nyidayang ngasilang akidik nanging ngarayang tiyang agak tenang mekrana ada ane cagerang tiyang anggon sewai-wai ten malih ngatiyang kurenan .Dipekene ngendahang ade anak tepukin ada ane ngelah ada masih ane tuara .ane luwung liyu ane jelek masih liyu ento masih ngeranayang irage tenang.lamun jumah dogen kaden raga paling jeleke ento ngeranang sing tenang”. (Sejak bekerja sebagai tukang suun saya mampu berpenghasilan walau sedikit, namun membuat saya tenang, karena untuk keperluan sehari-hari tidak lagi meminta dari suami. Disamping itu dipasar banyak ditemukan berbagai macam pengalaman ada yang kaya dan yang miskin itu juga menyebabkan tukang suun menjadi tenang dibandingkan bila dirumah saja tidak tau apa-apa sehingga menjadi sering risau), (Wawancara, 30 September 2008). Ungkapan yang senada juga dikemukakan oleh Sampun sebagai berikut : ”Sukat tiyang dados tukang suun tiyang merasa aman mangkin . Sesepi – sepi pekene batak anggon numbas keperluan sehari-hari pasti maan manten nike ngeranyang tiyang selalu berusaha apang polih dogen megae kepekene”. (Sejak menjadi tukang suun saya merasa aman. Sesepi-sepi di pasar untuk biaya hidup sehari-hari pasti dapat. Itu yang menyebabkan saya berusaha agar dapat kepasar), (Wawancara, 2 Oktober 2008). Dari ungkapan-ungkapan di atas dapat diperoleh suatu gambaran bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia nafkah memberi kepercayaan pada dirinya yakni secara psikologis merasa lebih aman dan nyaman serta lebih yakin akan tindakan yang dapat dilakukan selanjutnya. Dalam masyarakat, umumnya pembagian kerja didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Pembagian kerja seksual bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tersebut, ada sejumlah pekerjaan yang secara konsisten diperuntukkan hanya bagi kaum lakilaki dan lainnya secara konsisten diperuntukkan hanya bagi kaum perempuan (Sanderson, 2000:395). Dalam realitasnya pandangan tersebut tidak selalu benar karena banyak perempuan yang mengerjakan pekerjaan yang selama ini di klaim
123
milik laki-laki seperti perempuan yang bekerja sebagai tukang suun. Menurut Sadli (1997: 47) perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan yang tidak berbeda di luar perbedaan sex yang mereka miliki. Keterlibatan perempuan dalam bidang produktif seperti menjadi tukang suun
tentu saja membawa dampak terhadap fungsi reproduktif perempuan,
khususnya menyangkut peran sebagai istri dan ibu. Fungsi reproduktif tidak dapat ditinggalkan begitu saja sehingga dapat menganggu keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan di atas ditempuh beberapa cara, seperti membagi pekerjaan rumah tangga dengan suami dan anak-anak, atau memanfaatkan bantuan keluarga luas. Pola kerja ini menunjukkan ada saling pengertian dan tolong menolong diantara anggota rumah tangga Dukungan ini diperlukan, karena kehidupan rumah tangga adalah kehidupan sosial yang tidak terlepas dari pengaruh kelompok (Murniati, 2004: 221-222). Pola kerja seperti di atas dapat dilihat pada keluarga Nengah Wenten (25 tahun). Nengah Wenten dan suaminya memulai hidup dengan merantau ke Denpasar dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Mereka mempunyai seorang anak yang berumur 5 tahun. Nengah Wenten dalam menyelesaikan tugas rumah tangganya dilakukan secara bersama-sama dengan suaminya. Pada pagi hari jam 3 Ibu Nengah Wenten berangkat bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung hingga jam 7 pagi sedangkan jam 8.00 suaminya yang berangkat bekerja sebagai buruh bangunan. Untuk pekerjaan rumah tangga seperti memasak nasi dikerjakan oleh suaminya sedangkan memasak lauk pauknya dikerjakan oleh
124
istrinya setelah datang dari pasar dan juga pekerjaan lain seperti mencuci, membuat banten, menjaga anak. Namun demikian, tidak sedikit perempuan (istri) yang memikul beban sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Sementara istri bekerja mencari nafkah maka beberapa pekerjaan rumah tangga diselesaikan sebelum mereka meninggalkan rumah. Bagi yang belum sempat menyelesaikan maka pekerjaan tersebut ditunda dan baru dikerjakan setelah pulang dari mencari nafkah sebagai tukang suun Pasar Badung. Dari fenomen ini terlihat bahwa istri tetap diharuskan melaksanakan pekerjaan domestik meskipun dia juga harus bekerja di luar rumah mencari nafkah. Kondisi tersebut secara psikologis tidak terlalu menjadi beban bagi perempuan. hal tersebut sesuai dengan pandangan Suryani bekerja adalah dharma sehingga sesuatu yang dikerjakan tidak merupakan beban bagi perempuan. Perempuan Bali terkenal sebagai perempuan ulet, tabah dan tegar dalam menghadapi ujian hidup. Dengan demikian beban kerja lebih berat pada istri sering terjadi pada kehidupan perempuan Bali. Kondisi yang terjadi pada prinsip pembagian kerja lebih berat pada istri seperti di atas memperlihatkan dominasi budaya patriarkhi yang sangat besar. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras serta harus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda (Fakih, 1999; Muthali’in, 2001). Pola kerja seperti ini nampak pada keluarga Nengah Sari, juga pada keluarga Made Sami di mana pada kedua keluarga ini nampak
125
jelas bahwa beban kerja rumah tangga lebih banyak dikerjakan oleh perempuan sebelum ibu tersebut bekerja pada bidang publik yakni ke pasar mereka akan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu. Pembagian kerja di atas juga menunjukkan bahwa pembagian kerja yang sexist masih berlaku pada sebagian besar keluarga tukang suun. Kondisi ini disebabkan karena budaya patrilineal yang memposisikan laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada perempuan masih sangat kental di masyarakat, dimana tidak dijumpai pembagian kerja dengan beban berat pada suami dalam keluarga responden. Keadaan ini sekaligus memperkuat posisi perempuan di sektor domestik, keberhasilan di dunia
publik
harus diikuti
pula keberhasilan mereka
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dari pembagian kerja tersebut, hal terpenting dapat dilihat bahwa peran perempuan semakin meluas, tidak hanya di wilayah reproduksi, tetapi juga di bidang produksi yang secara budaya diklaim sebagai dunia laki-laki. Disamping itu keluarnya perempuan dari sektor domestik ke sektor publik untuk mencari nafkah tambahan, ikut memberi sumbangan ekonomi ke dalam keluarga, dan secara psikologis akan mampu memberi keyakinan pada diri perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Berkaitan dengan masalah pengambilan keputusan, keluarga sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan melalui ikatan perkawinan dan membentuk satu rumah tangga, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri. Pengambilan keputusan oleh istri sendiri sangat nampak pada bidang pengeluaran kebutuhan sehari-hari. Seluruh responden mengatakan keputusan
126
yang berkaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari dan kebutuhan sarana upacara yang tidak terlalu besar masih dikuasai oleh istri. Jumlah uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya merekalah yang tahu, jika uang yang diberikan oleh sang suami tidak cukup maka istrilah yang kerapkali menanggung resiko mencari tambahannya, bahkan hampir seluruh responden menyatakan jika jumlah uang yang dibutuhkan tidak cukup maka mereka-lah (istri) yang bertugas untuk menutupinya sehingga roda keluarga tetap bisa berjalan. Begitu pula dalam pembelian alat-alat rumah tangga yang harganya tidak terlalu mahal sepenuhnya diputuskan oleh sang istri tanpa menunggu persetujuan suami. Sebaliknya, masalah pembelian pembelian alat-alat rumah tangga yang berskala besar, seperti sepeda motor, produk elektronik dan barang berharga lainnya, responden selalu membicarakan pembelian tersebut dengan sang suami. seperti yang dilakukan oleh ibu Sujani (35 Tahun), sebagai berikut : “Untuk biaya kebutuhan sehari-hari biasanya saya putuskan sendiri tanpa menunggu persetujuan suami, namun untuk keperluan yang lain yang lebih besar, seperti membeli barang yang agak mahal, pendidikan anak selalu meminta persetujuan suami, hal ini disebabkan saya takut kalau terjadi apa-apa supaya tidak disalahkan” (Wawancara, tanggal 22 Oktober 2008). Dari informasi tersebut terlihat bahwa perempuan hanya berani mengambil keputusan dalam sekala kecil seperti keputusan pememenuhan kebutuhan seharihari ,hal ini disebabkan penghasilan perempuan bekerja nafkah sangat kecil yaitu rata-rata Rp 25.000 sampai Rp 40.000 per hari.
127
Refleksi Berdasarkan hasil paparan di atas dapat dinyatakan bahwa konstruksi gender yang telah melembaga dalam pranata masyarakat dan keluarga berpengaruh terhadap status dan peran yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi ini melahirkan pembagian kerja secara dikotomi dalam rumah tangga, dimana perempuan mengerjakan pekerjaan dalam ranah domestik sedangkan laki-laki mengerjakan pekerjaan di ranah publik. Seiring perkembangan masyarakat, arus globalisasi melanda dunia maka terjadi pergeseran-pergeseran dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari. Salah satu bentuk pergeseran tersebut berkaitan dengan mata pencaharian di mana masyarakat dulunya bekerja sebagai petani bergeser ke mata pencaharian pada bidang industri dan jasa. Sektor tersebut membuka peluangan kerja yang semakin luas di masyarakat, termasuk memberi perluasan kesempatan pada perempuan ikut terlibat di dalam sektor publik. Keterlibatan perempuan di lingkungan publik sangat dipengaruhi oleh bagaimana perempuan mampu menyelesaikan tugas-tugas domestiknya. Dalam mempertahankan keberadaan keluarganya, perempuan tukang suun Pasar Badung melakukan pengaturan diri dalam menyelesaikan pekerjaan dalam rumah tangga. Bilamana pekerjaan tersebut tidak terselesaikan dengan baik akan menggangu keseimbangan keluarga. Untuk itu dalam menyelesaiakan tugas tersebut perempuan tukang suun Pasar Badung dibantu oleh suami dan ada pula dibantu oleh keluarga luas seperti mertua, ipar dan saudara yang lain. Namun secara umum pekerjaan rumah tangga lebih banyak diselesaikan oleh istri.
128
Ketimpangan gender sering muncul di mana perempuan sering memikul beban ganda. Terutama bagi perempuan yang berasal dari kalangan ekonomi lemah seperti perempuan tukang suun Pasar Badung. Beban ganda tersebut tidak terlalu mengganggu kehidupan keluarga karena perempuan telah mampu merekonstruksi diri dengan
mengatur diri agar mampu menyelesaikan tugas
rumah tangganya dengan baik. Keterlibatan perempuan di sektor publik memberi sumbangan ekonomi dan bermakna untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga. Secara pribadi bahwa dari penghasilan yang diperoleh dapat membantu dirinya untuk menumbuhkan rasa aman dan nyaman serta lebih percaya diri dalam mengambil keputusan, yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari rumah tangganya, serta posisinya di dalam keluarga lebih dihargai, tidak lagi dikata-katai oleh anggota keluarga yang lain. Penghasilan yang diperoleh juga mampu membangun kesejahteraan keluarganya di mana pada mulanya sebelum dia bekerja keluarganya selalu megalami kekurangan biaya hidup sehari-hari dan akhirnya setelah mereka bekerja sebagai tukang suun kekurangan biaya tersebut dapat dapat ditutupi. Dengan demikian pergulatan perempuan tukang suun
Pasar Badung
merupakan sebuah dekonstruksi feminis untuk memperjuangkan diri agar memperoleh posisi yang lebih baik serta memiliki daya tawar yang memadai sesuai dengan potensi yang dimiliki.
129
BAB VIII PENUTUP
8.1 Simpulan Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, bahwa proses globalisasi mempengaruhi perekonomian dunia membuka peluang kerja yang luas bagi masyarakat termasuk perempuan. Peluang kerja yang ada di dalam masyarakat tidak dapat dimasuki dengan mudah oleh setiap perempuan. Keterbatasan tersebut disebabkan oleh budaya patriarkhi yang berlaku secara universal. Budaya patriarkhi menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih penting dalam menentukan keputusan yang menyangkut kebebasan perempuan terjun ke dunia publik. Oleh sebab itu keterlibatan perempuan dalam dunia publik akan menjadi lebih terbatas dan secara ekonomi menyebabkan perempuan tidak memiliki sumber ekonomi sehingga menyebabkan perempuan memiliki posisi lebih lemah. Demikian pula sektor publik akan memperberat tugas-tugas perempuan sehingga perempuan sering memikul beban ganda bahkan triple role. Untuk mengatasi hal tersebut perempuan melakukan pergulatan dengan menekuni pekerjaan sebagai tukang suun Pasar Badung. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab di atas maka simpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sektor domestik dan publik. Sektor domestik merupakan sektor yang tidak dapat dilepaskan
129
130
perempuan karena hal tersebut berhubungan dengan kedudukan perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga. Untuk mengatasi tugas domestik,
perempuan melakukan pergulatan
dengan mengatur diri dan keluarga, membagi pekerjaan domestik dengan anggota keluarga atau mengerjakan tugas domestik secara bergantian dengan suami yang meliputi pengasuhan anak, mengelola tugas rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sektor publik. Keterlibatan perempuan pada sektor publik dapat membantu perekonomian keluarga. Agar kegiatan sektor publik tidak berbenturan dengan tugas domestik, perempuan memadukan tugas-tugas domestik dan publik dengan jalan mengatur penyelesaian tugas domestik dan publik, di mana tugas domestik dikerjakan sebelum terjun kedunia publik atau sebaliknya Adapun pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung pada sektor publik meliputi (1) persaingan dengan sesama tukang suun untuk mendapatkan pelanggan atau pengguna jasa dengan menempati tempat yang strategis dengan membentuk kelompok-kelompok kecil maupun berkeliling di tengah pasar untuk menjajakan jasa, (2) Ketepatan memilih waktu hadir ke tengah pasar juga membantu dalam memperoleh pelanggan atau pengguna jasa yang lebih banyak. Untuk hal tersebut dilakukan upaya
mempercepat penyelesaian tugas-tugas
rumah tangga dengan mempergunakan kemajuan teknologi berupa alat-alat elektronik seperti memasak dengan majic com.
131
2. Faktor–faktor yang mendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung meliputi; (1) Faktor ekonomi berkaitan dengan upaya pemenuhan ekonomi keluarga sebab kondisi ekonomi perempuan tukang suun Pasar Badung merupakan ekonomi kelas bawah mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, (2) Faktor status sosial juga sebagai pendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung, yaitu kerena perempuan ditugaskan pada sektor domestik sering kali pekerjaan tersebut kurang memiliki nilai ekonomi dan menyebabkan perempuan kurang memiliki sumber daya ekonomi sehingga kondisi ini menyebabkan perempuan memiliki posisi yang lemah kurang bernilai dan dihargai. Untuk melepaskan diri dari tudingan tersebut, mereka terdorong untuk bekerja ke sektor publik agar berpenghasilan sendiri, (3) Sedangkan faktor etos kerja yang mendorong perempuan bekerja sebagai tukang suun adalah untuk menghilangkan tudingan perempuan pemalas, yang selalu meminta pada suami dan juga budaya patriarkhi menempatkan laki-laki sebagai pewaris harta kekayaan orang tua, budaya ini menimbulkan rasa jengah yang mendorong perempuan untuk bekerja sebagai tukang suun Pasar Badung. 3. Makna yang diperoleh dari pergulatan perempuan tukang suun Pasar Badung, meliputi (1) Makna kesejahteraan, karena keterlibatan perempuan sebagai tukang suun mampu membantu ekonomi keluarga, (2) Makna psikologis, yakni pendapatan yang diperoleh sebagai tukang suun dapat membangun rasa aman dan nyaman serta perempuan memiliki keyakinan untuk mengambil keputusan sendiri walaupun masih terbatas pada keputusan dalam sekup
132
keluarga kecil. (3) Makna rekreasi untuk menghilangkan rasa jenuh dalam rumah tangga berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga yang tak pernah habis-habisnya dan juga kurang bernilai sehingga menyebabkan perempuan merasana jenuh dan bosan di rumah.
8.2 Saran. Dari hasil penelitian ini ada hal yang perlu mendapat perhatian dari pihak yang terkait maupun dari diri pribadi perempuan yang melakoni pekerjaan sebagai tukang suun sebagai berikut : 1. Pergulatan yang dilakukan perempuan yang melakoni pekerjaan sebagai tukang suun merupakan sebuah rekonstruksi yang dilakukan perempuan bahwa kerja keras itu bukan hanya mampu dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan pun mampu melakukannya. Bekaitan dengan pekerjaan sebagai tukang suun sangat berisiko terhadap kesehatan perempuan maka bagi instansi terkait seperti dinas kesehatan, dinas sosial hendaknya dapat memberi pembinaan atau sosialisasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut. 2. Bagi pengguna jasa, mereka hendaknya berpikir dan jangan terlalu memaksa seseorang untuk mengangkut barang di atas kapasitan kemampuan seseorang. 3. Bagi tukang suun secara pribadi disarankan agar jangan terlalu tergiur dengan uang sehingga melakukan aktivitas melebihi kemampuan yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan kerja.
133
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan,1997. “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan”. Dalam Irwan Abdullah (ed) Sangkan Paran Gender :Yogyakarta: Pustaka Pelajar. --------------, 2001.Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Terawang Press --------------, 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adiwati,1999. Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan Ditinjau Dari Persepektif Perempuan. Dinamika Kebudayaan Vol 01 No2 Januari 1999Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Agung,A.A. Gde Putra dkk ,1986 Sejarah Kota Denpasar 1945-1979.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan .Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi Dan dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta. Aksara.Marzuki.1987.Metodelogi Riset.Yogyakarta : Bagian Penerbitan Fakultas EkonomiUniversitas Islam Indonesia Alisjahbana,2005. Sisi Gelap Perkembanagan Kota. Yogyakarta. LaksBang Pressindo. Anonim. Peraturan Daerah No2 Tahun 2001 Tentang Perusahaan Daerah Pasar Kota Denpasar. Bagian Hukum Setda Kota Denpasar Arjani,Ni Luh,2000.”KUB dan Peranannya dalam Penyebaran Tenaga Kerja Wanita di Pedesaan”: Dalam Majalah Kembang Rampai Wanita Bali Denpasar: PSW UNUD --------------, 2006 “Perempuan dan Kemiskinan di Bali” IBG Pujaastawa(ed) Wacana Antropologi Kusumanjali iuntuk Drs Iwayan Geriya,Pustaka l Larasan Denpasar.. Astiti, Tjok Istri Putra. 1986. “Perubahan Ekonomi Rumah Tangga Dan Status Sosial Wanita Dalam Masyarakat Bali Yang Patrilineal”. (Tesis tidak diterbitkan pada Program Pascasarjana IPB Bogor). --------------, 2004.Nilai Anak dalam Kehidupan Keluarga Orang Bali (dalam TO Ihromi ( Penyunting) Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. Atmaja,dkk.2004. Pemulung Jalanan Di kota Singaraja.Buleleng. Bali.(Mencari Nafkah di bawah Baying-bayang Dualisme Kultural) Fakultas Ilmu Pengtahuan Sosial IKIP Singaraja.
134
--------------, 2006.Perlawanan Perempuan Sebagai Kaum Terpinggirkan Dalam Keluarga Dan Masyarakat.Makalah Matrikulasi Program S2 UNUD Atmaja, I Gst Gede Agung. 2002. Keterpaksaan Dalam Kesearaamn Gender. Jurnal Studi Jender Srikandi VOL 2. No 2 PSW UNUD. Bhasin, K, 2002. Memahami Gender (Penerjemah Moh. Zuki Hussei). Jakarta: Teplok Press. Boserup, Ester,1984. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi: Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Brook,Ann.2004 Posfeminisme&Cultural Komprehensif.Bandung :Jalasutra.
Studies,
Sebuah
Pengantar
Budiman, Arief,1982. Pembagian Kerja Secara Seksual, sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita dalam Masyarakat: Jakarta: PT Gramedia. -------------, 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta Gramedia. Budiman, Kris,1997 ”Perempuan Di Rumah Tangga-(Ber) Tangga” Dalam Irwan Abdullah (ed) Sangkan Paran Gender.Yogyakarta pustaka Pelajar. Craib, Ian, 1994. Teori-teori sosial Modern Dari parson Sampai Habermas (Paul S. Baut dan T.Effendi Penerjemah) Jakarta. CV Rajawali. Damsar .2002 Sosiologi Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Fakih, M, 1996. Menggeser konsepsi Gender Dan Transformasi sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. -------------, 2003. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Featherstone, Mike, 2001. Posmodernisme dan Budaya Konsumen, (Penerjemah Mizbah Zulfa Elizabeth), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Fromm, E.1987. Memiliki dan menjadi tentang dua Modus Eksistensi (Penerjemah F. Sosilohardjo). Jakarta: LP3ES. Gandarsih, Mulyowati RS .1986 “Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman”. Buletin Antropologi Volume II: 24-29. Goode, William, J, 2004. Sosiologi Keluarga (Sahat Simamora Penerjemah) Jakarta Bina Aksara.
135
Griya, S.Swarsi.2006. Propil pendidikan Wanita Dari Masa Ke Masa. Jurnal Studi Jender 2006. Vol VI. No 1 Th 2006. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana. -------------, 2002. Propil Tenaga Kerja Wanita Indonesia. Jurnal Studi Jender Srikandi. Vol 2. No.2 PSW UNUD Handayani, Trisakti dan Sugiarti , 2002. Konsep dan Tehnik Penelitian Gender. Surya Dharma Malang: UMM Press. Imron, Ali. 1996. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya. Kaplan, David dan Albert A Manners, 2000. Teori Budaya ( Landung Simatupang Penerjemah ) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartodirdjo,S.1994. Metode Penggunaan Bahan Dokumen dalam Koentjaraningrat(ed) Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kebayantini,2003,Wanita Pekerja Pada Ukiran Kayu Di Desa Batan Nyuh, Marga, Tabanan.Jurnal Studi Jender Srikandi.Vol III.No2 .Th 2003. Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana. -------------, 2000. Kehidupan Buruh Bangunan Di Desa Abiantuwung Majalah Kembang Rampai Wanita Bali Denpasar: PSW UNUD. -------------, 2003. Propil Pekerja Wanita Pada Pabrik Tempat Lilin di Tabanan. Jurnal Studi Jender Srikandi Vol 1. PSW UNUD. Lauer, Robbeth H,1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta. Manning,criss.1985. Urbanisasi Pengangguran Dan Sektor Informal di Kota. Jakarta.Gramedia Mardalis,1999. Metode Penelitian: Suatu pendekatan Proposal. Jakarta. Bumi Aksara. Marzuki.1983 Metodelogi Risert.Yogyakarta.Bagian Ekonomi Univrsitas Islam Indonesia.
Penerbitan
Fakultas
Megawangi, Ratna, 1999.Membiarkan Berbeda?.Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung Mizan. Moleong,Lexy J,1991. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
136
Murniati, A Nunuk Prasetya,1993. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, Dan Keluarga. Magelang: Yayasan Indonesia Tera. --------------, 1993. Dinamika Gerakan Perempuan. Yogyakarta : Tiara Wacana Muthali’in ,Achmad.2001. Bias Gender Muhamadiyah universityPress.
Dalam
Pendidikan.
Surakarta.
Naya Sujana, I Nyoman “Manusia Bali di Persimpangan Jalan, Dalam Pitana (ed) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali Denpasar: Bali Post. Namawi.H.Hadari, 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Ollenburger,JC.Dan H.A Moore.1996. Sosiologi Wanita (Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana Penerjemah).Jakarta Rineka Cipta. Pelly,Usman dan Asih Menanti.1994. Teori-teori Sosual Dan Budaya.Jakarta : Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Dan Kebudayaan Pilliang, Yasraf Amir,1998. Dunia Yang Dilipat Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung : Mizan. Poerwadarminta,WJS.1982.Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta : PN. Balai Pustaka. Rahardjo.1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian Gajahmada University Press. Ritzer,George.2000. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. Rajawali. Sadli, Saparinah,1997. Gender, Hukum dan Ekonomi, Surabaya. Sagala.Valentina Dan Rosanan.2007. Pergulatan feminisme dan Ham, . Bandung.Institut Perempuan. Sanderson,SK,2000. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Farid Wajidi dan S Menno Penerjemah). Jakarta:Rajawali Pers. Shirley Lie.2005. Pembebasan Tubuh Perempuan, Gugatan Etis Simone de Beauvoir Terhadap Budaya Patriarkhat. Jakarta : Grasindo.
137
Sudarta,Wayan . 2002. Pola Pekerjaan Nafkah Wanita Rumah Tangga Petani Lapisan Bawah Di Pedesaan. Jurnal Studi Jender Srikandi Vol 2.No 2 . PSW UNUD. Sudemen .1999 .Peran Wanita Dalam Kewirahusahaan Serta Pengaruhnya Terhadap Perubahan SosialBudaya Masyarakat pegunungan Di Bali(Studi kasus di Desa Batur Utara ,Kec Kintamani ,Dati II Bangli.(Tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Pasc Sarjana UNUD) Suhanaji,Waspodo TS.2004 Modernisasi dan Globalisasi. Insan Cendikiawan. Sujiti.2004.Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembuatan Dan Penjualan CanangSari DiPasar Badung Denpasar( Tesis tidak diterbitkan pada program Pascasarjana UNUD) Sumartono.1996.Peralihan Status Sosial Elit di Pedesaan.Surabaya :Program Pasca Sarjana Universitas Erlangga. Suryani, Luh Ketut.1993. Peran Ganda Wanita Bali Hindu, Jakarta : Cita Budaya dengan Suara Karya. -------------, 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: Bali Post. Van Vuuren .1988. Wanita dan Karier( AG Lunandi Penerjemah.) Yogyakarta Kanisius Wedari.2006. Perubahan Identitas Perempuan Bali Dalam Usaha Batu Bata Di Desa Keramas .Sebuah Kajian Budaya.( Tesis tidak diterbitkan pada Program Pasca Sarjana UNUD).
138
DAFTAR INFORMAN
NO
NAMA
PEKERJAAN
ASAL
ALAMAT
1
Ni Wayan Bawa
Tukang Suun
Tianyar
Jln. Gunung Agung
2
Ni Nengah Wenten
Tukang Suun
Karangasem
Tanjung Bungkak
3
Ni Nyoman Darwini
Tukang Suun
Karangasem
Batumas
4
Ni Wayan Karsani
Tukang Suun
Darmasaba
Darmasaba
5
Ni Nengah Sari
Tukang Suun
Karangasem
Jln. Gunung Agung
6
Ni Ketut Ngasti
Tukang Suun
Peguyangan
Peguyangan
7
Ni Nengah Sami
Tukang Suun
Angantelu
Tonja
8
Ni Kadek Sujani
Tukang Suun
Buleleng
Yang Batu
9
Ni Nyoman Ririg
Tukang Suun
Kelungkung
Yang Batu
10
Ibu Sampun
Tukang Suun
Gianyar
Batumas
11
Ni Made Lemuh
Pedagang
Denpasar
Panjer
12
Sukarmiati
Pembeli
Denpasar
Jln. Ahmad Yani
13
Suryani
Pembeli
Denpasar
Jln. Hayam Wuruk
14
Ketut Sudiasta
Kepala Pasar
Denpasar
Denpasar
Denpasar
Denpasar
Unit Badung 15
Suciti
Pegawai Pasar
139
PEDOMAN WAWANCARA
A.
Pertanyaan Tentang Gambaran Umum Penelitian. 1. Ibu berasal darimana, dan mengapa ibu memilih Kota Denpasar? 2. Di Denpasar tinggal bersama siapa? 3. Suami ibu bekerja dimana? 4. Berapa jumlah anggota keluarga ibu? 5. Apa yang ibu kerjakan selama tinggal di Denpasar?
B.
Pertanyaan Tentang Pergulatan Perempuan Tukang suun di Sektor Domestik dan Publik. 1. Sejak kapan ibu bekerja sebagai tukang suun? 2. Mengapa ibu bekerja sebagai tukang suun? 3. Siapa yang mengantar ibu kepasar? 4. Jam berapa ibu kepasar, dan pulang jam berapa? 5. Bila ibu kepasar siapa yang mengurus anak-anak dirumah? 6. Bagaimana cara ibu mengurus pekerjaan rumah tangga? 7. Bila ibu tidak dapat mengerjakan tugas rumah tangga, apakah suami ibu bersedia mengerjakan tugas-tugas tersebut, dan jenis pekerjaan apa saja yang dikerjakan oleh suami ibu? 8. Bila ibu sedang bekerja apakah pernah mendapat gangguan dari para preman pasar?
C.
Pertanyaan Tentang Faktor-Faktor Pendorong Perempuan Bekerja Sebagai Tukang suun. 1. Apa ibu tidak malu bekerja sebagai tukang suun? 2. Apa suami ibu memberi ijin kepada ibu untuk bekerja sebagai tukang suun? 3. Apa suami ibu tidak menyarankan untuk bekerja yang lain? 4. Apa ibu tidak merasa berat dengan pekerjaan yang ibu lakoni? 5. Berapa penghasilan yang ibu peroleh sehari?
140
6. Apakah hasil yang ibu peroleh cukup untuk memenuhi kebutuhan ibu dan keluarga? 7. Untuk apa saja hasil yang ibu peroleh?
D.
Pertanyaan Tentang Makna Pergulatan Perempuan Tukang suun. 1. Sebelum ibu bekerja bagaimana situasi keluarga ibu? 2. Setelah bekerja apakah ada perubahan yang ibu rasakan /? 3. Bagaimana pandangan suami dan keluarganya terhadap diri ibu sebelum dan sesudah bekerja? 4. Adakah dari penghasilan tersebut, ibu gunakan untuk kepentingan pribadi? 5. Bila ibu ingin berbelanja, ibu meminta ijin kepada suami?