Partnership Policy Paper No. 5/2013
Perencanaan dan Penganggaran Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat melalui Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa
bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia
bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia
Jl. Wolter Monginsidi No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 T: +62-21-7279-9566 F: +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://www.kemitraan.or.id Copyright November 2013 The Partnership for Governance Reform All rights reserved. Unless otherwise indicated, all materials on these pages are copyrighted by the Partnership for Governance Reform in Indonesia. All rights reserved. No part of these pages, either text or image may be used for any purpose other than personal use. Therefore, reproduction, modification, storage in a retrieval system or retransmission, in any form or by any means, electronic, mechanical or otherwise, for reasons other than personal use, is strictly prohibited without prior written permission.
iii
Perencanaan dan Penganggaran Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat melalui Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
iv
Pengantar
P
olicy Paper Perencanaan dan Penganggaran Bagi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia dilatar belakangi oleh masih rendahnya realisasi Hutan Kemasyarakatan (HKM), dan Hutan Desa (HD) secara nasional. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mengembangkan tindakan kolektif dan mengalokasikan anggaran untuk implementasi kebijakan tersebut. Karena tindakan kolektif dan alokasi anggaran terjadi melalui pembagian kewenangan, kelembagaan dan proses perencanaan, maka policy paper ini menganalisis perencanaan dan penganggaran dalam konteks kelembagaan hubungan pusat dan daerah. Dengan membahas aspek-aspek tersebut maka diharapkan studi ini menyumbang pada pemahaman mengenai hubungan antara realisasi pencapaian dengan perencanaan dan penganggaran serta faktorfaktor yang mempengaruhinya. Policy paper ini, merupakan versi ringkas dari studi yang dilakukan oleh Team Study Kemitraan yang terdiri dari Dr. Suhirman (koordinator/peneliti di tingkat pusat), Prof. Dr. Zulkifli Alamsyah, Dr. Ahmad Zaini, Ir. Anas Nikoyan, Msi, dan Ir. Sulaiman, dengan kontribusi pemikiran dari Team Program Kemitraan: Hasbi Berliani, Suwito, Lisken Situmorang, dan Martua Sirait.
Semoga rekomendasi yang kemukakan dalam policy paper ini dapat berguna dan dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan serta semua pihak yang terkait dengan upaya pengembangan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui Program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD). Jakarta, November 2013
Wicaksono Sarosa Executive Director
v
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif Konteks Permasalahan Critical Overview terhadap Pilihan Kebijakan Saat Ini
1 3 4
Kelembagaan Perencanaan HKm dan HD
4
Pembiayaan HKm dan HD
8
Kelemahan Kebijakan Saat Ini Rekomendasi Kebijakan Glossary of Terms Daftar Pustaka
12 14 18 19
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
2
Ringkasan Eksekutif
H
utan Kemasyarakat (HKm) dan Hutan Desa (HD) merupakan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mendukung pengelolaan hutan yang berpihak kepada masyarakat. Hal ini disebabkan kebijakan sebelumnya yang lebih berpihak kepada usaha skala besar tidak menampakkan hasil yang memuaskan, bahkan berdampak terhadap degradasi sumberdaya hutan, pemiskinan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan, dan konflik berkepanjangan (Kemitraan, 2012). HKm dan HD masuk dalam program prioritas pengembangan perhutanan sosial dengan sasaran meningkatkan pengelolaan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Tetapi, studi Kemitraan di tahun 2011 mencatat setelah 3 tahun ditetapkan baru sekitar 250.000 hektar hutan yang ditetapkan untuk dikelola melalui skema HKm dan HD, yang jauh dari target realisasinya, yaitu 500.000 hektar pertahun (Kemitraan 2011). Kendala utama pelaksanaan HKm dan HD adalah sulitnya mendapatkan lahan yang tidak berijin di mana masyarakatnya ada dan siap mengelola hutannya. Selain masalah di atas, studi mengenai perencanaan dan penganggaran Hkm dan HD menunjukkan bahwa rendahnya target pencapaian juga disebabkan beberapa hal. Pertama, pelaksanaan dan perluasan pengelolaan hutan berbasis masyarakat belum menjadi agenda prioritas dalam proses perencanaan dan alokasi anggaran di tingkat daerah. Berdasarkan PP 38/2007, urusan
kehutanan dikategorikan sebagai ‘urusan pilihan’. Hal ini menyebabkan daerah lebih mengutamakan ‘urusan wajib’ yang merupakan pelayanan dasar terutama ketika daerah dihadapkan pada situasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat terbatas. Kedua, implementasi perhutanan sosial melibatkan banyak pelaku/organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah dengan kewenangan yang beragam. Karena itu implementasi perhutanan sosial dihadapkan pada masalah koordinasi antar organisasi. Beberapa masalah mendasar yang harus diatasi dalam konteks hubungan antar organisasi adalah: 1. Ketidakpastian target pencapaian HKm dan HD antara pusat, provinsi dan kabupaten. Hal ini disebabkan tidak seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah enggan mencantumkan target pencapaian HKm dan HD sebagai konsekwensi dari urusan di bidang kehutanan yang bersifat pilihan. 2. Ketidakeratan hubungan antara organisasi pusat, organisasi pusat di daerah (BP DAS), Dinas (provinsi dan kabupaten), LSM pendamping dan komunitas dalam implementasi pencapaian target HKm dan HD. 3. Ketimpangan kemampuan keuangan dan alokasinya. Di satu sisi, pemerintah pusat yang memiliki komitmen pendanaan tidak dapat intervensi langsung pada tingkat komuntias. Sementara pemerintah daerah – terutama kabupaten yang bertanggung jawab dalam pengorganisasian komuntias- tidak menjadikan HKm dan HD sebagai prioritas. Kalaupun menjadikan program ini sebagai prioritas, mereka tidak memiliki pendanaan
3
yang memadai. Selain masalah mendasar di atas, juga telah terjadi ‘penyempitan’ implementasi HKm dan HD dalam isu sektoral kehutanan saja. Padahal ‘pemberdayaan’ terutama pemberdayaan kelompok miskin merupakan isu bersama yang harus ditanggulangi oleh kelembagaan di tingkat pusat dan daerah. Dengan kata lain, isu ini bukan hanya tanggung jawab dinas kehutanan melainkan juga Bappeda, TKPKD dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). HKm dan HD juga seharusnya berkaitan dengan program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM-Mandiri Pedesaan dan kelembagaan yang mendukungnya seperti, Musyawarah Antar Desa (MAD) dan Badan Koordinasi Antar Desa (BKAD). Dari Studi yang telah dilaksanakan ini diketahui bahwa faktor kunci sukses program HKm dan HD adalah kemampuan pelaku dalam membuat kesepakatan bersama terutama pihak kementerian dengan para pemimpin di tingkat kabupaten, kerja-kerja kolaboratif secara terlembaga, dan pembagian peran yang jelas berdasarkan pada kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing aktor. Karena itu dalam jangka pendek pemerintah perlu meluncurkan program percepatan HKm dan HD dengan mengefektifkan kerja sama dan pendanaan. Skema yang direkomendasikan adalah:
3. Kementerian Kehutanan mendanai percepatan program melalui BPDAS sesuai dengan kesepakatan target pencadangan HKm dan HD yang akan dimanfaatkan kabupaten untuk memproses areal kerja dan IUP/HP sesuai dengan MOU. 4. Pendampingan di tingkat kabupaten dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang dibentuk dan merupakan peningkatan dari peran Forum Perhutanan Sosial. Kelompok kerja ini bersifat multistakeholder dengan anggota berasal dari pemerintah, komunitas, maupun LSM. 5. Untuk pendampingan di tingkat desa, ditunjuk pendamping lapangan HKm dan HD oleh Kelompok Kerja dan pendanaan berasal dari pemerintah pusat melalui BPDAS. 6. Kementerian memberikan penghargaan (award) kepada daerah yang berhasil menjalankan program sesuai target. Untuk jangka menengah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas perlu menjaga keberlanjutan program melalui perluasan isu, pelaku dan instrumen hukum yang lebih jelas untuk memandu para pelaku dalam mendukung HKm dan HD.
1. Kemenhut melalui Ditjen DAS PS membuat MOU langsung dengan Bupati dan Gubernur untuk percepatan HKm dan HD 2. Kementerian Kehutanan melakukan pendampingan dan pemantauan terhadap seluruh kegiatan, dari proses pengusulan areal kerja hingga verifikasi.
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
4
Konteks Permasalahan
K
ebijakan penguasaan hutan yang cenderung lebih berpihak kepada usaha skala besar telah mengakibatkan ketimpangan akses dan penguasaan sumber daya hutan yang berdampak pada pemiskinan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan serta konflik berkepanjangan dan kerusakan sumber daya hutan (Kemitraan, 2012). Kekeliruan kebijakan yang berpihak kepada usaha skala besar ini telah disadari pemerintah. Sejak tahun 1998 melalui SK Menhut no 47/1998 tentang KDTI, pemerintah telah memulai alokasi pemberian ijin pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan mengakomodasi pola-pola pengelolaan aslinya. Ini terus berkembang dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (SK Menhut 677/1998, SK Menhut 31/2001, dan Permenhut P.37/2007 yang telah dirubah dengan Permenhut P. 13/Menhut-II/2010) dan kebijakan Hutan Desa (Permenhut P.49/2008 yang telah diubah dengan Permenhut P. 14/ Menhut-II/2010). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui HKm dan HD tidak hanya berbicara mengenai produktivitas hutan dan cadangan karbon, tetapi isu utamanya justru adalah pemberdayaan masyarakat. Isu ‘pemberdayaan’ terutama kelompok miskin merupakan isu bersama yang harus ditanggulangi oleh kelembagaan di tingkat pusat dan daerah. HKm dan HD saat ini masuk dalam program prioritas pengembangan perhutanan sosial dengan sasaran meningkatkan pengelolaan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Prioritas terhadap kebijakan ini tidak cukup hanya di
tingkat pusat melalui Kementrian Kehutanan tetapi juga perlu diletakkan di tingkat daerah karena justru kabupaten yang lebih banyak berperan langsung dalam proses-proses pengajuan areal kerja di lapangan. Jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak, terutama dalam alokasi anggaran, akan sulit mencapai target HKm dan HD sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra Kementrian Kehutanan. Policy paper ini dimaksudkan untuk menyediakan alternatif kebijakan dalam rangka mendukung keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui HKm dan HD. Policy paper ini bersumber dari hasil penelitian dan kajian tentang perencanaan dan penganggaran bagi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. Studi kasus dipilih beberapa kabupaten di empat provinsi yang telah mencadangkan pengelolaan hutan oleh masyarakat cukup luas, yaitu Provinsi Jambi, Provinsi
5
Critical Overview terhadap Pilihan Kebijakan Saat Ini
Kelembagaan Perencanaan HKm dan HD
A
da dua jalur perencanaan pengelolaan hutan yaitu jalur perencanaan tata kelola ruang dan jalur perencanaan program dan anggaran. Jalur tata kelola ruang dapat
dirujuk dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam UU 26/2007 hutan adalah bagian yang tercakup dalam RTRWN/RTRW. Dengan demikian perencanaan tata kelola hutan diarahkan dalam RTRWN/RTRW. Adapun UU 41/1999 merupakan peraturan dasar kehutanan yang dalam konteks tata kelola ruang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Peraturan Pemerintah 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan. PP No. 6/2007 dan PP No. 44/2004 ini kemudian diturunkan dalam PerMenhut No. P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan.
Pemerintah Pusat
Kerangka Hukum Perencanaan dan Penganggaran HKm dan HD Tata Kelola Ruang
Program dan Anggaran • UU 17/2003 • UU 25/2004 • PP 20/2004 RKP • PP 21/2004 RKA KL
UU 41/1999 26/2007
PP 6/2007
Pemerintah Daerah
PP 44/2004
Partnership Policy Paper No. 5/2013
Desentralisasi Program dan Anggaran • PP 58/2005: Keuangan Daerah • PP 8/2008: Perencanaan Daerah • Permendagri 13/2006 jo Permendagri 59/2007 • Permendagri 54/2010 • Peraturan Daerah
www.kemitraan.or.id
6
Di sisi lain, perencanaan program/kegiatan dan penganggaran merujuk pada jalur aturan yang berbeda yaitu UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kedua undang-undang ini mengatur perencanaan dan keuangan secara nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tetapi sesuai dengan prinsip desentralisasi, peraturan pelaksanaan untuk tingkat pusat berbeda dengan peraturan di tingkat daerah. Kerangka hukum mengenai perencanaan program/kegiatan pembangunan dan anggaran membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi, misi, kebijakan, program dan kegiatan sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah. Dengan demikian, ‘fragmentasi’ program, kegiatan dan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah sangat mungkin terjadi, terutama jika pusat tidak dapat memberikan ‘insentif’ yang riil untuk mendorong daerah menyesuaikan prioritas program dan kegiatan yang sesuai dengan pemerintah pusat. Hal ini disebabkan kerangka hukum hanya menegaskan agar ada ‘kesesuaian’ antara perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dengan daerah tetapi instrumen dan insentif untuk menjamin kesesuaian ini masih belum jelas. Perbedaan jalur perencanaan juga diwujudkan dengan dua jenis produk perencanaan yang berbeda yaitu produk perencanaan tata kelola ruang di satu sisi dan di sisi yang lain rencana program/kegiatan pembangunan dan alokasi anggaran. Meskipun hubungan antara keduanya harus terjadi, tetapi tidak ada instrumen yang secara eksplisit menghubungkan kedua jenis perencanaan tersebut. Hubungan antara dua dokumen nampaknya diserahkan kepada para penyusun
dokumen rencana. Berdasarkan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah, urusan kehutanan tidak termasuk ‘urusan wajib’ provinsi dan kabupaten, tetapi dikategorikan sebagai ‘urusan pilihan’. Artinya, kewenangan urusan kehutanan akan disesuaikan dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah bersangkutan1. Konsekuensinya daerah akan lebih mengutamakan ‘urusan wajib’ yang berupa pelayanan dasar dengan Standard Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan pemerintah. Situasi ini terjadi karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat terbatas, yang menyebabkan daerah harus lebih fokus dalam membiayai pelayanan dan program-program pembangunannya. Di sisi lain PP no. 6/2007 yang memuat pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan belum secara tegas menekankan kewajiban daerah. Pasal 88 PP No. 6/2007 menyatakan pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya memberikan fasilitasi yang meliputi pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses terhadap pasar. Bagaimana kewajiban ‘fasilitasi’ ini dilaksanakan berikut pendanaannya tidak begitu jelas. Pemerintah pusat sebenarnya telah menetapkan organisasi yang bertangung jawab dalam pelaksanaan HKm dan HD. Di tingkat pusat, organisasi untuk pelaksanaan HKm dan HD ada di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (Dirjen BPDAS PS) 1 PP 38/2007 pasal 6 ayat (3) dan ayat (4).
7
tepatnya dibawah Sub Direktorat HKm dan Sub Direktorat HD Direktorat Bina Perhutanan Sosial. Pemerintah pusat juga mendukung program HKm dan HD melalui kantor daerah yaitu Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Dalam struktur BPDAS, HKm dan HD menjadi tanggung jawab seksi kelembagaan atau seksi program. Kedua organisasi ini bertugas ‘memfasilitasi’ HKm dan HD di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, meskipun kata ‘memfasilitasi’ tampaknya masih difahami secara beragam oleh BPDAS. Studi di empat provinsi menunjukkan bahwa meskipun telah diberi anggaran yang cukup besar, BPDAS tidak aktif dalam medorong pengusulan HKm
dan HD dengan alasan tugas tersebut telah dilimpahkan kepada daerah.2 Pelaksanaan HKm dan HD di tingkat provinsi berada di bawah Dinas Kehutanan. Kasus di empat provinsi menunjukkan bahwa perhatian provinsi terhadap HKm dan HD tampak tidak begitu besar. Ini terbukti dengan tidak adanya seksi yang bertugas secara spesifik untuk itu. Salah satu penyebabnya adalah karena fungsi provinsi dalam HKm tidak begitu besar. Sedangkan untuk HD, meskipun penetapan HPHD dilakukan oleh Gubernur tetapi verifikasi areal kerja dan lembaga desa tetap dilakukan oleh kabupaten. 2 Hasil wawancara dengan Ketua dan Staf BPDAS dan BP2HP di Provinsi Jambi, Kalbar, NTB dan Sultra.
Kerangka Hukum Urusan dan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam HKm dan HD UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU 41/1999 tentang Kehutanan
PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
• Perda tentang Urusan Kabupaten/Kota • Perda tentang Organisasi Pemerintahan Daerah
• Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang telah diubah dengan Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010 dan turunannya. • Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa (HD) yang telah diubah dengan Permenhut No. P.14/ Menhut-II/2010 dan turunannya.
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
8
Di tingkat kabupaten, organisasi pelaksana HKm dan HD beragam. Hal ini disebabkan tidak seluruh kabupaten memiliki Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan biasanya digabung dengan dinas lain seperti Perkebunan, Pertanian bahkan Kelautan, sedangkan pelaksanaan HKm dan HD menjadi tanggung jawab salah satu seksi atau sub-seksi. Penempatan HKm dan HD di bawah Seksi atau sub-seksi menimbulkan persoalan lain, seperti keterbatasan sumber daya personal, pendanaan dan fokus seksi atau sub-seksi yang lebih banyak pada aspek fisik reboisasi dan rehabilitasi lahan. Merujuk pada PP 6/2007, sebenarnya ada peran penting dari organisasi yang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH bertanggung jawab dalam mendampingi masyarakat/desa/ kelompok dalam menyusun perencanaan bagi areal yang akan dimintakan untuk HKm dan HD.3 Meskipun berbagai perangkat kebijakan untuk KPH telah dikeluarkan, seperti fungsi, organisasi dan pendanaan, tetapi tidak ada satupun KPH di lokasi studi telah berjalan dengan efektif.4 Komponen terpenting dari HKm dan HD adalah masyarakat/desa pengusul areal kerja dan calon pemegang ijin/hak pengelolaan. Hal ini disebabkan konstruksi yang dibangun dalam mendapatkan areal kerja dan ijin adalah adanya inisiatif dari masyarakat/desa untuk mengelola hutanan. Untuk HKm organisasi terpenting 3 Lihat PP 6/2007 pasal 86 ayat (1). 4 Beberapa kebijakan penting mengenai KPH diantaranya: 1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.6/ Menhut-II/2009 Tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan, 2) Permendagri No. 61/2010 Tentang Pedoman Organisasi KPH Dan 3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.6/Menhut-II/2010 tentang NSPK KPH.
adalah kelompok tani HKm sedangkan untuk HD adalah Kepala Desa dan Lembaga Desa. Dalam prakteknya organisasi ini tidak dapat bekerja sendiri, karena ada masalah dengan informasi, kapasitas pengorganisasian dan pendanaan. Karena itu di hampir semua lokasi studi, pengusulan HKm dan HD melibatkan organisasi pendamping yang berasal dari LSM. LSM pendamping masyarakat biasanya merupakan bagian dari jaringan LSM Nasional dan Internasional yang memiliki perhatian dalam perhutanan sosial. Karena itu LSM pendamping di tingkat lokal mendapatkan sumber pendanaan baik melalui LSM Nasional maupun LSM dan Mitra Pembangunan Internasional. Organisasi untuk implementasi HKm dan HD yang terfragmentasi di tingkat pusat, provinsi, daerah dan komunitas memunculkan persoalan koordinasi antar organisasi. Sampai saat ini tidak ada pelembagaan koordinasi diantara berbagai organisasi yang seharusnya mendukung HKm dan HD. Kebutuhan akan koordinasi antara lembaga-lembaga yang terlibat dalam HKm dan HD tercermin dalam prosedur untuk mendapatkan HKm dan HD. Ada dua hal penting berkaitan dengan penetapan areal kerja dan ijin yang melibatkan daerah yaitu: 1) permohonan penetapan areal kerja dan 2) mendapatkan ijin dari bupati untuk kelompok tani HKm dan dari gubernur untuk lembaga pengelola HD. Kebijakan HKm dan HD—meskipun tidak secara spesifik—telah diinternalisasi dalam organisasi pemerintah daerah baik kegiatan/ fungsi maupun organisasinya. Tetapi dalam praktek terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan BPDAS terhadap “fungsi fasilitasi”
9
untuk mendampingi kelompok/desa dalam memperoleh areal kerja HKm dan HD. Merujuk pada peraturan menteri, untuk mendapatkan HKm dan HD masyarakat harus merencanakan pengelolaan areal kerja yang dimohon, termasuk peta dan kesiapan kelompok. Di satu sisi, BPDAS menganggap tugas tersebut melekat pada Kabupaten sesuai dengan prinsip desentralisasi. Di sisi lain, kabupaten menganggap HKm dan HD adalah prioritas program pemerintah pusat yang pendanaan dan sumber daya personilnya seharusnya berasal dari pusat baik secara langsung maupun melalui BPDAS. Dalam situasi seperti itu, peran LSM pendamping menjadi sangat penting. LSM—dengan keterampilan dan sumber pendanaan yang dimilikinya—memiliki keluwesan untuk berhubungan baik dengan masyarakat, dinas kabupaten dan provinsi, maupun dengan BPDAS. Dalam konteks jaringan kerja, LSM jadinya bisa dilihat sebagai aktor yang dapat merekatkan hubungan-hubungan antar lembaga yang biasanya lebih formal dan kaku. Dengan kata lain peran LSM sangat penting baik pada tahap mengusulan penetapan areal kerja maupun pada tahap memperoleh ijin HKm dan HD. Yang perlu diperhatikan, LSM pendamping dengan sumber daya pendanaan dari luar tidak akan dapat berkelanjutan dalam mendampingi proses ini. Diperlukan kerja sama langsung antara LSM pendamping dengan pemerintah.
Pembiayaan HKm dan HD Pembiayaan HKm dan HD bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kelompok
Partnership Policy Paper No. 5/2013
masyarakat/desa pemohon areal kerja. Selain itu, beberapa LSM pendamping juga mendukung pendanaan yang bersumber dari lembaga-lembaga mitra pembangunan internasional. Pembiayaan HKm dan HD yang berasal dari APBN dilakukan dengan skema yang berbedabeda untuk tiap tingkat pemerintahan yaitu melalui kantor pusat (Direktorat PS), belanja kantor pusat di daerah (BPDAS), dekonsentrasi kepada Gubernur untuk kegiatan ‘non-fisik’ dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk kegiatan yang bersifat fisik. Dari skema tersebut nampak meskipun pemerintah pusat telah mengalokasikan dana dengan skema yang cukup beragam, ada kendala dalam dukungan pendanaan pusat ke daerah. Kebutuhan dukungan pendanaan terutama adalah untuk pemerintah kabupaten, karena kabupaten yang langsung mendampingi proses-proses pengajuan areal kerja di lapangan. Kegiatan pendampingan, termasuk pendampingan kelompok dan penyusunan peta, dalam nomenklatur pendanaan dikategorikan sebagai kegiatan non-fisik yang tidak boleh didanai dengan DAK yang peruntukannya untuk pembangunan fisik (bangunan, bibit dll). Sementara skema pendanaan pusat untuk kegiatan non-fisik hanya mungkin dilakukan melalui dana dekonsentrasi. Tetapi dana ini hanya dapat diberikan kepada Gubernur sebagai wakil pusat di daerah . Alokasi anggaran untuk perhutanan sosial untuk mendanai HKm dan HD berfluktuasi tiap tahun dengan alokasi terendah 17, 89 milyar pada tahun 2011 (atau 0,59% dari total anggaran BP DAS PS) dan tertinggi tahun 2010 sebesar 37, 59 milyar (atau 4,11%
www.kemitraan.or.id
10
dari total anggaran BP DAS PS). Proporsi anggaran yang kecil untuk alokasi di Direktorat Perhutanan Sosial dibanding direktorat lain di Ditjen DAS PS menunjukkan bahwa di tingkat Kementerian sendiri alokasi lebih dititikberatkan untuk hal-hal yang lebih bersifat fisik terutama reboisasi dan rehabilitasi lahan. Alokasi anggaran Kementerian Kehutanan di kantor pusat juga diikuti dengan alokasi yang cukup besar di kantor daerah melalui BPDAS. Alokasi anggaran BPDAS untuk mendukung perhutanan sosial (HKm + HD) rata-rata di atas 1,5 milyar pertahun. Alokasi ini juga diikuti dengan dana dekonsentasi kepada gubernur rata-rata 300 juta per tahun Komitmen dan dukungan pendanaan oleh pemerintah pusat tampaknya tidak diikuti dengan komitmen pendanaan di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten lokasi studi kasus. Tidak ada Pos khusus untuk HKm dan HD. Pendanaan HKm dan HD di tingkat provinsi dan kabupaten masuk dalam alokasi untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan (RHL). Alokasi anggaran untuk perhutanan sosial kadang muncul sebagai sub kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan, tetapi kadang juga tidak muncul. Kalaupun muncul alokasi anggaran tidak lebih dari 250 juta (untuk Provinsi Kalbar). Bahkan untuk provinsi di luar Kalimantar Barat anggaran tidak pernah melebihi 175 juta dan rata-rata berkisar pada 100 juta. Kecilnya alokasi anggaran di tingkat provinsi dan kabupaten terutama disebabkan oleh: 1. HKm dan HD tidak masuk dalam program/ kegiatan prioritas di daerah. Kalaupun masuk sebagai program, targetnya tidak ditetapkan secara jelas. Ini menyebabkan usul alokasi anggaran untuk HKm dan
HD dihapus oleh Dinas ketika dinas mendapatkan Pagu Indikatif dari Bappeda dan TAPD. Ini berarti, dari segi prioritas, HKm dan HD sudah kalah di tingkat dinas. 2. Anggaran untuk HKm dan HD di tingkat daerah masuk dalam reboisasi dan rehabilitasi lahan. Kegiatan fasilitasi HKm dan HD bersifat non-fisik dengan capaian yang seringkali tidak dapat didefiniskan dengan jelas. Ini berbeda dengan kegiatan fisik yang outputnya lebih terukur. Hal ini menyebabkan dinas lebih memilih kegiatan fisik agar capaian dapat disampaikan kepada pemeriksa keuangan secara terukur. 3. Kalaupun usulan dari dinas kehutanan masuk dalam RKA, seringkali usulan dihapus di tingkat DPRD. Hal ini karena ada pandangan dari pihak DPRD bahwa alokasi untuk urusan pilihan harus berdampak langsung pada peningkatan PAD. Alokasi HKm dan HD tidak dapat dijelaskan kontribusinya secara langsung terhadap PAD. Hal ini menyebabkan DPRD kemudian mencoret usulan untuk alokasi HKm dan HD. Selain dari pemerintah, alokasi untuk implementasi HKm dan HD juga berasal dari masyarakat. Masyarakat menghimpun dana dari iuran anggota kelompok atau anggota koperasi. Salah satu masalah mendasar dari alokasi anggaran HKm dan HD adalah besaran biaya/ ha yang seharusnya dialokasikan untuk mendukung implementasi HKm dan HD.5 Informasi ini penting sebagai dasar bagi organisasi dalam mengalokasikan kebutuhan pendanaan untuk mencapai target yang diharapkan. Selain itu, informasi ini juga butuh
11
sebagai dasar bagi kebutuhan berbagi beban pendanaan diantara organisasi. Berdasarkan perhitungan lapangan di Yogyakarta, NTB dan Lampung, Kemitraan menyimpulkan bahwa kebutuhan untuk implementasi perhutanan sosial adalah Rp. 600.000/ha. Dengan perhitungan ini maka jika ingin mencapai target perhutanan sosial, maka total alokasi dana yang dibutuhkan adalah biaya/ha dikali dengan target pencapaian. Sayang sampai saat ini perhitungan tersebut belum menjadi rujukan baik pihak kementerian maupun pemerintah daerah.
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
12
Kelemahan Kebijakan Saat Ini
P
ersoalan utama terhambatnya implementasi perhutanan sosial pada dasarnya adalah masalah koordinasi antar organisasi (interorganizational coordination). Ini mencakup kejelasan kewenangan, target yang harus dicapai, jaringan hubungan kerja dan ketimpangan kemampuan dan alokasi sumber daya. Beberapa masalah mendasar yang harus diatasi agar implementasi program perhutanan dapat berjalan dengan baik adalah: 1. Ketidakpastian target pencapaian HKm, HD dan HTR antara pusat, provinsi dan kabupaten terjadi karena perbedaan perspektif mengenai kewenangan pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Dalam perspektif pemerintah pusat, pengelolaan hutan adalah urusan wajib yang menjadi program prioritas. Sedangkan dari sisi daerah, bidang kehutanan adalah urusan pilihan yang program prioritasnya ditentukan berdasarkan pada potensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki setelah memenuhi urusan wajib. Dengan pandangan seperti ini maka daerah tidak menetapkan target pencapaian HKm dan HD dalam dokumen perencanaan mereka. Perbedaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan motivasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pencapaian target. Situasi ini dipersulit dengan ketidakjelasan peran pusat dan daerah dalam HKm dan HD yang membuka peluang terjadinya saling lempar tanggung jawab antara pemerintah
pusat dan daerah. 2. Ketidakeratan hubungan antara organisasi pusat, organisasi pusat di daerah (BP DAS), Dinas (provinsi dan kabupaten), LSM pendamping dan komunitas dalam pencapaian target HKm dan HD. Hal disebabkan simpul penghubung antara organisasi masih bersifat cair –berupa forum- yang lebih berorientasi pada kegiatan ‘sosialisasi’ ketimbang mengembangkan keputusan dan tindakan kolektif berdasarkan pada kewenangan dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing organisasi. 3. Ketimpangan kemampuan keuangan dan alokasinya. Di satu sisi pemerintah pusat memiliki sumber daya keuangan yang memadai, tetapi dalam konteks desentralisasi tidak dapat berperan terlalu jauh di tingkat komunitas. Di sisi lain, pemerintah daerah yang bertangggung jawab dalam memberdayakan komunitas tidak memiliki sumber daya –baik personal maupun pendanaan- untuk melakukan kegiatan tersebut. Dukungan personal dan pendanaan terutama diperlukan untuk mendukung pengajuan areal kerja dan pengurusan ijin untuk HKm dan HD. Selain masalah mendasar tadi, tampaknya ada isu lain yang juga harus mulai diatasi yaitu ‘penyempitan’ isu implementasi HKm dan HD ke dalam isu sektoral kehutanan saja. Padahal isu ‘pemberdayaan’ terutama pemberdayaan kelompok miskin merupakan isu bersama yang harus ditanggulangi oleh kelembagaan di tingkat pusat dan daerah. Isu ini bukan hanya tanggung jawab dinas kehutanan melainkan juga Bappeda, TKPKD dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dalam konteks komunitas ini juga berkaitan dengan
13
program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM-Mandiri Pedesaan dan kelembagaan yang mendukungnya seperti, Musyawarah Antar Desa dan Badan Koordinasi Antar Desa. Dengan kata lain, pengajuan HKm dan HD seharusnya dapat juga menjadi program prioritas di tingkat komunitas yang pendanaan berasal dari PNPM-Mandiri Pedesaan melalui skema Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Meskipun demikian, dari studi kasus di 4 provinsi, implementasi HKm dan HD dapat berjalan dengan baik manakala:
melalui iuran. Kemampuan memobilisasi ini berhubungan dengan kesadaran komunitas akan manfaat yang akan mereka peroleh melalui HKm dan HD. 6. Ada kolaborasi yang erat diantara aktoraktor yang telibat dalam implementasi HKm dan HD. Studi kasus di seluruh lokasi menunjukkan bahwa keberhasilan dalam penetapan areal kerja dan ijin usaha pengelolaan hanya dapat dicapai manakala para pelaku dapat bekerja secara erat.
1. Ada kemauan yang kuat dari pemimpin daerah, dalam hal ini Bupati dan Gubernur yang langsung memerintahkan dinas serta mengontrol dinas untuk dapat menjalankan HKm dan HD. 2. Ada dukungan dan sikap pro-aktif dari dinas di tingkat kabupaten dan provinsi terhadap inisiatif yang keluar berasal dari masyarakat dan LSM. 3. Ada LSM pendamping yang bekerja baik di tingkat komunitas maupun di tingkat kabupaten untuk memobilisasi masyarakat, memberikan pendampingan teknis, melakukan advokasi ke tingkat kabupaten dan provinsi. 4. Ada pendamping lapangan baik yang didukung oleh LSM Pendamping maupun pemerintah (BPDAS atau Dinas). Pendamping lapangan ini berfungsi untuk memobilisasi organisasi dan sumber daya komunitas sekaligus juga menjadi penghubung kepentingan komunitas dengan pihak luar. 5. Ada komunitas yang sanggup memobilisasi diri baik secara organisasi dalam bentuk kelompok maupun koperasi maupun Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
14
Rekomendasi Kebijakan
A
lokasi anggaran menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi kinerja kementerian dan pemerintah daerah dalam implementasi HKm dan HD. Dengan kata lain, jika dialokasikan dengan hati-hati dan desain kelembagaan yang tepat, maka pemerintah pusat melalui kementrian kehutanan dapat menggunakan instrumen anggaran dalam mendorong pencapaian HKm dan HD. Selain masalah alokasi, studi ini juga menunjukkan bahwa kunci sukses program HKm dan HD nampaknya ada pada kemampuan pelaku dalam membuat kesepakatan bersama terutama kementerian dengan para pemimpin di tingkat kabupaten, kerja-kerja kolaboratif secara terlembaga, dan pembagian peran yang jelas berdasarkan pada kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh masing masing pihak. Berdasarkan pada kesimpulan tersebut maka untuk mendorong percepatan implementasi Hkm dan HD dalam jangka pendek pemerintah perlu meluncurkan program percepatan HKm dan HD dengan mengefektifkan kerja sama dengan skema: 1. Kemenhut –melalui Ditjen DAS PS -membuat MOU langsung dengan Bupati (di tingkat kabupaten) dan Gubernur (di tingkat provinsi) untuk percepatan HKm dan HD melalui: • Revitalisasi dokumen perencanaan daerah di bidang kehutanan, terutama untuk menyesuaikan target daerah dalam HKm dan HD dengan target nasional. • Peningkatan jumlah dan kapasitas SDM
daerah yang bertanggung jawab dalam memproses HKm dan HD. • Pendampingan permohonan areal kerja dan IUPHKm/HPHD 2. Kementerian Kehutanan melakukan pendampingan dan pemantauan terhadap seluruh kegiatan, terutama dalam: • Menyusun skema program dan petunjuk pelaksanaan bagi BPDAS dan Balai Planologi dalam menyukseskan program, terutama dalam penggunaan anggaran. • Melakukan pemantauan terhadap ketercapaian program, sekaligus menyelesaikan persoalan program yang membutuhkan pendampingan langsung dari pusat. • Melakukan verifikasi terhadap lokasi yang akan dimintakan areal kerja. 3. Kementrian Kehutanan mendanai percepatan program melalui BPDAS untuk HKm dan HD sesuai dengan kesepakatan target pencadangan HKm dan HD yang akan dimanfaatkan kabupaten untuk memproses areal kerja dan IUPHKm/HPHD sesuai dengan MOU. Besar dana dihitung berdasarkan kebutuhan untuk memfasilitasi persiapan masyarakat dan pengusulan, verifikasi, dan penetapan areal kerja. Jika dimungkinkan, kabupaten memberikan share dana dengan skeman Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) sebesar 10% dari total dana yang berasal dari pusat, seperti yang biasa dilakukan daerah terhadap dana DAK dan PNPM-Mandiri. 4. Pendampingan di tingkat kabupaten dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang dibentuk dan
15
merupakan peningkatan dari peran Forum Perhutanan Sosial. Kelompok kerja ini bersifat multistakeholder yang terdiri atas: personil dari BPDAS/BP2HP, Balai Planologi, personil dari Dinas Provinsi, personil dari Dinas Kabupaten, dan LSM pendamping yang memiliki pengalaman dalam memproses HKm dan HD. Pendanaan untuk kelompok kerja berasal dari pusat dan APBD. Tugas kelompok kerja terutama adalah mengidentifikasi lahan yang dapat diajukan untuk areal kerja HKm dan HD; membuat peta calon areal kerja; menyusun rencana pengelolaan calon areal kerja; mempersiapkan kelompok/lembaga desa/ koperasi; dan memproses dan memverifikasi IUPHKm/HPHD. 5. Untuk pendampingan di tingkat desa, ditunjuk pendamping lapangan HKm dan HD oleh Kelompok Kerja dan pendanaan berasal dari pusat melalui BPDAS. 6. Kementerian memberikan penghargaan (award) kepada daerah yang berhasil menjalankan program sesuai target. Skema program dapat dilihat dalam gambar 4. Untuk jangka menengah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas perlu meningkatkan keberlanjutan program melalui perluasan isu, pelaku serta perangkat hukum dan pedoman yang dapat memandu para pelaku dalam mendukung HKm dan HD. Berapa program/kegiatan yang perlu dilakukan adalah: Di tingkat pusat: 1. Kemenhut menyusun pedoman tentang peran BPDAS dalam mendukung Forum Perhutanan Sosial dan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (termasuk peran dan dukungan pendanaan dari Partnership Policy Paper No. 5/2013
BPDAS) 2. Kemenhut perlu mengantisipasi kebijakan nasional untuk menghilangkan dana dekonsentrasi dan diintegrasikan ke dalam dana DAK. Ini peluang karena pemerintah pusat bisa mentransfer langsung DAK kepada Kabupaten untuk percepatan pengusulan PAK dan IUPHKm/HPHD. 3. Mempromosikan dan mendorong skema program pemberdayaan masyarakat melalui HKm dan HD menjadi bagian dari strategi dan program pemberdayaan masyarakat/ desa dalam rangka pengurangan kemiskinan. Sebagai implikasinya HKm dan HD juga menjadi strategi dan program di kementerian lainnya di tingkat pusat dan dinas/badan lain di daerah. Instrument yang bisa digunakan adalah: • SKB/SEB Kemenhut dengan Kementerian lainnya (terutama Menteri Dalam Negeri, MenkoKesra, Menteri Koperasi). • Mengintegrasikan skema HKm dan HD ke dalam dokumen MP3KI dan dokumen Kementerian lainnya. 4. Kementerian perlu menyusun PTO PNPM Kehutanan dengan memasukan komponen HKm dan HD sebagai komponen utama/ prioritas dalam penyusunan program/ kegiatan komunitas dan kabupaten yang dapat didanai oleh PNPM Mandiri Kehutanan. Di tingkat daerah: 1. Melembagakan koordinasi dan asistensi di tingkat Provinsi antara BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, LSM dan TKPKD. Salah
www.kemitraan.or.id
16
satu pelembagaan yang penting adalah meningkatkan kegiatan dan peran Forum Perhutanan Sosial yang diperkuat dengan pembentukan “Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial” dengan anggota yang diperluas. Kegiatan Forum dan Kelompk Kerja didukung dengan pendanaan dari BPDAS dan Dana Dekonsetrasi. 2. Memberikan insentif kepada daerah, berupa dukungan fasilitasi dan pendanaan untuk mengiternalisasikan areal dan target HKm dan HD ke dalam dokumen daerah: • Mengintegrasikan HKm dan HD dalam RTRW dalam bab Tata Ruang Kawasan
Perdesaan, termasuk di dalam matriks programnya. • Bantuan untuk memasukan program dan target HKm dan HD ke dalam RPJMD, Renstra dan Renja SKPD. • Menjadikan HKm dan HD masuk sebagai program untuk mengatasi kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, yang menjadi prioritas dalam dokumen rencana penanggulangan kemiskinan. 3. Memberikan pelatihan kepada penyuluh lapangan di bidang kehutanan untuk melakukan tugas-tugas pemberdayaan.
Gambar Skema Percepatan Implementasi HKm dan HD Direktorat Jenderal DAS PS dan Direktorat Jenderal Planologi Pendanaan
Dekonsentrasi
MoU
Kelompok Kerja Percepatan HKm HD di tingkat Kabupaten
BPDAS
Dinas Provinsi
Bupati / Dinas Kabupaten
KPH
LSM Pendamping
BPMD
Pendanaan Kelompok Kerja Percepatan HKm HD di tingkat komunitas Pendamping
Kelompok/Desa/Koperasi
17
Di tingkat komunitas: 1. Pendanaan untuk kegiatan di tingkat komunitas dapat dikembangkan melalui skema PNPM Mandiri Perdesaan atau PNPM Mandiri Kehutanan. 2. Memberdayakan program dan lembagalembaga dalam PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Intergrasi seperti Musyawarah Antar Desa (MAD) dan Badan Koordinasi Antar Desa (BAKD) untuk memasukan HKm dan HD sebagai program prioritas dan jaringan untuk memproses usulan areal kerja. 3. Mobilisasi dana di tingkat komunitas (kelompok/lembaga desa) secara mandiri melalui iuran dan kerja sama dengan sektor swasta.
daerah, terutama kabupaten juga harus menjadi komitmen. Kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini juga mengangkat isu ‘pemberdayaan masyarakat’. Dengan demikian, implementasi kebijakan ini bukan hanya tanggung jawab sektor kehutananan melainkan juga tanggung jawab bersama yang harus ditanggulangi oleh kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, seperti Bappeda, TKPKD, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, serta lembaga-lembaga di tingkat komunitas. Jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak, terutama dalam instrumen anggaran, akan sulit mencapai target HKm dan HD sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra Kementrian Kehutanan.
Kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui HKm dan HD merupakan salah satu bentuk inovasi dan terobosan baru dalam pengembangan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin. Kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi penanggulangan kemiskinan di daerah yang berbasis sektor kehutanan, mengurangi konflik pengelolaan hutan, sekaligus mengurangi kerusakan sumber daya hutan. Namun, keberhasilan program ini memerlukan komitmen dan dukungan dari berbagai pihak, baik di level pusat maupun daerah. Prioritas terhadap kebijakan ini tidak cukup hanya di tingkat pusat (Kementrian Kehutanan) tetapi juga perlu diletakkan di tingkat daerah karena justru kabupaten yang lebih banyak berperan langsung dalam prosesproses pengajuan areal kerja di lapangan. Selain itu komitmen dukungan pendanaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah
Partnership Policy Paper No. 5/2013
www.kemitraan.or.id
18
Glossary of Terms
AK APBD APBN Bappeda Bappenas BKAD BPD BPDAS Bupati DAK DAU DDUB Dekon HD HKm HPHD IUPHKM
Areal Kerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Koordinasi Antar Desa Badan Permusyawaratan Desa Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Kepala Daerah Kabupaten Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum Dana Daerah Urusan Bersama Dana Dekonsentrasi Hutan Desa Hutan Kemasyarakatan Hak Pengelolaan Hutan Desa Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Kepmenhut Keputusan Menteri Kehutanan K/L Kementerian/Lembaga KPH Kuasa Pengelolaan Hutan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MoU Memorandum of Understanding/Surat Kesepakatan MP3KI Master Plan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia PAD Pendapatan Asli Daerah PAK Penetapan Areal Kerja Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri Permenhut Peraturan Menteri Kehutanan PNPM Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri PP Peraturan Pemerintah PS Perhutanan Sosial PTO Petunjuk Teknis Operasional Renja K/L Rencana Kerja Kementerian/Lembaga
Renstra K/L Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Renja-SKPD Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Renstra-SKPD Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA Rencana Kerja dan Anggaran RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKU Rencana Kerja Umum RKT Rencana Kerja Tahunan RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah RTRWN Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional SEB Surat Edaran Bersama SKB Surat Keputusan Bersama SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah TKPKD Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
19
Daftar Pustaka Buku dan Paper 1. Anonim, 2002a. Social Forestry. URL: http://edugreen. teri.res.in/explore /forestry/social.htm. 2. Anonim. 2002b. Social Forestry: Refleksi Kehutanan Pasca Reformasi. Workshop Social Forestry, 10 September, Cimacan, Bogor. 3. Asian Development Bank. 2002. Gender in Forestry: When Mother Nature Suffers, Women Suffer Too. URL: http://www.adb.org/Document/ Events/2002/ ForestryStrategy/Gender_Torres.pdf. 4. Awang, S.A., 2000. Hutan Desa: Peluang, Strategi dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat, Volume 3 (November). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 19-32. 5. Cernea, M.M. 1988. Unit-unit Alternatif Organisasi Sosial untuk Mendukung Strategi Penghutanan Kembali. Dalam: Cernea, M.M. (ed.) Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Alih bahasa oleh Teku, B.B. Universitas Indonesia Press, Jakarta: 341-378. 6. Foresta, H. dan G. Michon, 2000. Agroforestri Indonesia: Beda Sistem Beda Pendekatan. Dalam: Foresta, H., A. Kusworo., G. Michon., dan W.A. Djatmiko, (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan- Agroforestri Khas Indonesia-Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan. International Centre for Research in Agroforestry, Institut de Recherche Pour Le Développment dan Ford Foundation, Indonesia. pp 1-18. 7. Kemitraan. 2011. Mendorong Percepatan Hutan Kemasyarakatan, Policy Brief, Jakarta. 8. Munggoro, D.W., dan A. Aliadi., 1999. Community Forestry dalam Konteks Perubahan Institusi Kehutanan. Dalam: Aliadi, A., (ed.) Kembalikan Hutan kepada Rakyat. Penerbit Pustaka Latin, Bogor: 29-42. 9. Nguyen. 2001. Social Forestry: Terminology Forum. URL: http://www.socialforestry.org.un/forum/sfforum/ english/term01.htm 10. Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR), 1999. Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Kasus Desa Kedung Keris, Gunung Kidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian, Ford Foundation dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Partnership Policy Paper No. 5/2013
Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. 11. Vermaulen, S. 2002. Memahami Komuniti Forestri: Lima Hal Pokok yang Perlu Dipertimbangkan. Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 5 Tahun V, (April). Pustaka Latin, Bogor: 29-37. 12. Wahyuni, E.S. 2002. Konsep Jenis Kelamin dan Gender. Makalah Pelatihan Analisis Gender dengan GAD, 20-21 Nopember. Departemen Kehutanan, Jakarta. 13. Sumber: Artikel pada Jurnal Hutan Rakyat, Pusat Kajian Hutan Rakyat (Center For Community Forestry Studies) Fakultas Kehutanan UGM, Volume V No. 3 Tahun 2003, Halaman 1- 16. Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 4. Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 8. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 9. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 10. PerMenhut No. P.37/Menhut-II/ 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang telah diubah dengan Permenhut P. 13/Menhut-II/2010 dan turunannya. 11. PerMenhut No.P.49/Menhut-II/ 2008 tentang Hutan Desa (HD) yang telah diubah dengan Permenhut P. 14/Menhut-II/2010 dan turunannya 12. PerMenhut No. P.23/Menhut-II/2007 yang dirubah oleh P. 55/Menhut-II/2011 tentang tata cara permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR
www.kemitraan.or.id
Jl. Wolter Monginsidi No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 T: +62-21-7279-9566 F: +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://www.kemitraan.or.id