SERI DOKUMEN KUNCI 3
LAPORAN PELAPOR KHUSUS PBB TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PERDAGANGAN PEREMPUAN, MIGRASI PEREMPUAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN: PENYEBAB DAN AKIBATNYA 29 Februari 2000
BEKERJA SAMA DENGAN
NEW ZEALAND OFFICIAL DEVELOPMENT ASSISTANCE
i
PUBLIKASI KOMNAS PEREMPUAN DICETAK DI INDONESIA Cetakan Pertama pada bulan Februari 2001 Cetakan Kedua pada bulan Juni 2003 Cetakan Ketiga pada bulan Mei 2006
ISBN : 979-95872-3-9
ALIH BAHASA > LBH APIK TATA BAHASA > KOMNAS PEREMPUAN TATA HALAMAN > DENATA PRINTING
ii
KATA PENGANTAR
Perdagangan perempuan sudah terjadi sejak lama, bahkan bukti tertulis tertua yang ditemukan menunjukkan bahwa praktek ini sudah berlangsung sejak abad VI di wilayah Romawi. Jumlah perempuan yang menjadi korban praktek ini pun tidak lagi terhitung. Dua tahun terakhir ini saja, lebih dari 8 juta perempuan diperdagangkan dan mengalami berbagai bentuk kekerasan, sejak proses perekrutan, waktu berangkat/dipindahkan, waktu bekerja, bahkan saat kembali ke daerah asalnya. Pada perkembangannya, perdagangan perempuan menjadi lebih kompleks. Perdagangan itu tidak lagi terbatas pada batas-batas wilayah negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangan pun berubah, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan sindikat-sindikat terorganisir yang seringkali memiliki kegiatan ilegal lainnya seperti penjualan obat-obat adiktif dan senjata. Tujuan perdagangan juga tidak lagi sebatas untuk prostitusi atau menjadi pekerja di tempat hiburan, tetapi juga sebagai buruh migran dan mempelai pengantin perempuan. Sementara itu, berbagai bentuk kekerasan harus dihadapi para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Kekerasan tersebut dilakukan baik oleh perekrut, pelanggan, suami/keluarga, maupun pemilik tempat kerja. Juga oleh negara dan masyarakat di daerah asal dan tujuan perdagangan tersebut. Kompleksitas perdagangan perempuan inilah yang disorot tajam dalam laporan tahun 2000 yang disusun oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Selain kemampuan memetakan kompleksitas permasalahan, kekuatan dari laporan ini juga bersumber pada kekayaan data dan ketegasan pelapor khusus untuk membentuk batasan definisi yang ekspansif mengenai
iii
perdagangan perempuan. Pelapor Khusus meyakini bahwa definisi perdagangan seharusnya mensyaratkan bahwa perpindahan kemudian menempatkan korban perdagangan pada lingkungan yang asing dimana ia terisolasi secara budaya, bahasa atau fisik, dan diingkarinya identitas hukum ataupun aksesnya pada keadilan. Selain itu, dengan memperhatikan urgensi wujud modern perdagangan perempuan, maka definisi perdagangan manusia pun berfokus pada “kerja paksa atau praktek seperti perbudakan”, daripada secara sempit hanya berfokus pada prostitusi atau eksploitasi seksual. Pelapor Khusus juga secara cermat melihat bagaimana negara tidak tanggap atas kompleksitas permasalahan perdagangan perempuan. akibatnya, lahir berbagai pengaturan berskala nasional dan internasional yang justru mendorong laju perdagangan perempuan. Hal ini terutama karena pengaturan tersebut tidak memperhatikan aspek HAM secara komprehensif, bahkan cenderung meletakkan korban-korban perdagangan sebagai pelaku kejahatan. Bagi perempuan, pengaturan tersebut menyebabkan mereka semakin rentan terhadap eksploitasi dan bentukbentuk kekerasan yang menyertai perdagangan ini. Apalagi karena mereka hampir tidak mungkin meminta perlindungan ketika tindak kekerasan terjadi atas dirinya karena khawatir justru dipersalahkan dan dipermalukan. Berkaitan dengan pengaturan untuk meminimalisir perdagangan perempuan, terdapat satu isu penting yang dapat digunakan sebagai sebuah contoh, yaitu prostitusi sebagai salah satu tujuan perdagangan perempuan. Ada dua pandangan yang berseberangan dalam melihat upaya yang perlu diambil negara dalam menghentikan perdagangan untuk prostitusi. Pandangan pertama melihat bahwa prostitusi hendaknya dilihat sebagai sebuah pekerjaan dan karenanya harus dilegalkan. Legalisasi ini akan menyebabkan perempuan yang bekerja di dalamnya dapat dilindungi secara hukum. Sebagai sebuah pekerjaan, maka tindak pemaksaan terhadap seseorang untuk menjadi pekerja seks dan tindak kekerasan yang terjadi dalam waktu kerja adalah tindakan kriminal, karenanya para pelaku tindak pemaksaan dan kekerasan tersebut - dan bukan para perempuan yang melakukan kerja seks - harus dihukum. Pandangan ini ditentang keras dengan dasar bahwa pelegalan prostitusi merupakan hal yang kontradiktif dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan. Tidak ada seorang perempuan pun yang “rela” bekerja sebagai pekerja seks, tetapi hanya karena
iv
kemiskinan dan posisi subordinatnya yang menyebabkan perempuan tidak memiliki pilihan lain. Karenanya, pelegalan prostitusi hanya akan membuka peluang mengeksploitasi kerentanan perempuan oleh industri seks, termasuk di dalamnya rumah bordil, usaha seks dan hiburan lainnya, turisme seks dan bahkan untuk kepentingan militer. Kedua pandangan ini perlu kita cermati betul. Apalagi karena dalam laporannya, Pelapor Khusus memperlihatkan dengan jelas bagaimana ketidakcermatan akan sangat mempengaruhi kondisi kehidupan perempuan yang sangat rentan kekerasan. Kita mungkin dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain yang mencoba membantu perempuan korban perdagangan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan pada saat bersamaan mencoba menghambat laju perdagangan perempuan. Caranya adalah dengan menjerat para pelaku perdagangan lewat produk hukum yang berpihak kepada korban, memberikan perlindungan dan dukungan bagi korban, serta melibatkan masyarakat dalam penanganannya. Contoh pengalaman ini pun antara lain dapat kita temukan dalam laporan ini. Laporan yang sarat informasi ini karenanya menjadi sangat penting bagi khalayak di Indonesia, bukan saja jajaran pemerintah dan para praktisi hukum tetapi juga bagi kelompok-kelompok yang selama ini melakukan advokasi hak korban, terutama perempuan, dan bahkan seluruh masyarakat. Hal ini terutama karena Indonesia adalah bukan pengecualian dalam hal perdagangan perempuan, melainkan salah satu negara asal yang diidentifikasikan oleh Pelapor Khusus. Dari hasil pemetaan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, setidaknya ada 7 bentuk perdagangan perempuan yang terjadi di Indonesia, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Perempuan-perempuan tersebut diperdagangkan sebagai pekerja domestik, pengemis, pengedar napza (obat adiktif ), pekerja nondomestik dengan kondisi kerja yang sangat buruk, pekerja seks, pemuas pedofil, bahkan sebagai pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional (laporan pemetaan Komnas Perempuan tahun 2001). Mengingat bahwa perdagangan perempuan adalah salah satu wujud pelanggaran HAM berat terhadap perempuan, Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBH APIK merasa perlu untuk menerjemahkan dan v
menerbitkan laporan ini sebagai salah satu dokumen kunci. Komnas Perempuan meluncurkan laporan ini dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia tanggal 8 Maret. Bagi Komnas Perempuan, peristiwa ini sekaligus merupakan tonggak penetapan tahun 2001-2002 sebagai “Tahun Keberpihakan pada Hak Korban”. Keberpihakan ini menjadi landasan dan semangat bagi kinerja Komnas Perempuan. Membaca dengan cermat laporan ini akan membawa kita bercermin kembali atas apa yang sudah kita lakukan bagi perempuan-perempuan korban tindak kekerasan, khususnya dalam kasus perdagangan perempuan. Semoga setelah itu, kita dapat bersama-sama melakukan upaya-upaya yang lebih efektif bagi para korban, perempuan-perempuan yang dipatahkan, untuk memperoleh hak-haknya sebagai manusia.
KOMNAS PEREMPUAN
vi
PENGANTAR CETAKAN KETIGA
Buku ini telah melalui dua kali cetak, edisi pertama, Februari 2001 dicetak sebanyak 2000 eksemplar dan edisi kedua, Juni 2003 dicetak sebanyak 1000 eksemplar. Buku ini ternyata diminati oleh berbagai kalangan yang peduli tentang isu perdagangan manusia/trafficking, baik aktivis, akademisi, media, maupun pemerintah. Catatan kami menunjukkan bahwa pada umumnya buku ini digunakan sebagai bahan rujukan tidak hanya untuk memahami persoalan perdagangan perempuan secara lebih mendalam, tetapi juga sebagai alat kajian dalam penelitian, penulisan skripsi, tesis, pembuatan artikel, dan juga sebagai bacaan utama dalam berbagai pelatihan/training yang mencakup beberapa tema besar, seperti: hak asasi manusia, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia dan penegakan hukum. Atas dasar tingginya permintaan publik terhadap buku inilah, Komnas Perempuan berbangga hati untuk membuat cetakan ketiga dari buku ini.
Jakarta, 19 Mei 2006 KOMNAS PEREMPUAN
vii
viii
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DEWAN EKONOMI DAN SOSIAL Distr TERBATAS E/CN.4/2000/68 29 Februari 2000 Asli: Bahasa Inggris
KOMISI HAK ASASI MANUSIA Sidang ke lima puluh enam Bagian 12(a) dari agenda sementara
PENGINTEGRASIAN HAK ASASI PEREMPUAN DAN PERSPEKTIF JENDER: TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Laporan Pelapor Khusus mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan akibatnya, Radhika Coomaraswamy, dalam perdagangan perempuan, migrasi perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan yang diajukan sesuai dengan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1997/44
GE.00-11334 (E)
ix
x
RINGKASAN EKSEKUTIF
Bidang pelaporan ini mencakup “migrasi suka rela sampai perdagangan perempuan: rangkaian perpindahan perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama perpindahan tersebut”. Laporan ini menguraikan secara rinci perkembangan posisi Pelapor Khusus dalam hal perdagangan manusia. Laporan ini menyertakan tinjauan kerja Pelapor Khusus yang dilakukan sepanjang tahun itu dalam kaitannya dengan perdagangan manusia. Laporan ini juga memberi kritik pada Konvensi 1949 untuk pemberantasan perdagangan manusia dan eksploitasi prostitusi terhadap yang lain. Laporan ini menyoroti kenyataan bahwa perempuan berpindah dan dipindahkan, baik dengan maupun tanpa persetujuan mereka, resmi maupun tidak resmi, untuk banyak alasan, termasuk alasan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Unsur yang membedakan perdagangan manusia dari bentuk-bentuk lain perpindahan itu adalah hakikat perdagangan manusia yang tanpa persetujuan. Ditekankan pula kebutuhan akan definisi yang jelas mengenai perdagangan manusia yang sejauh ini tidak ditemukan dalam hukum internasional. Untuk keperluan laporan ini, Pelapor Khusus menggunakan definisi perdagangan manusia berikut ini. Perdagangan manusia berarti perekrutan, transportasi, pembelian, penjualan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan manusia: (i) dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, paksaan, penipuan, pemaksaan dengan kekerasan (termasuk penyalahgunaan wewenang), atau diperbudak karena hutang, untuk tujuan; (ii) menempatkan atau menahan orang itu, baik dibayar maupun tidak, untuk kerja paksa atau praktek
xi
perbudakan, di masyarakat yang berbeda dengan saat orang tersebut menetap saat tindak yang digambarkan dalam (i) terjadi. Ditekankan bahwa perpindahan dan migrasi, disertai reaksi pemerintah dan upaya untuk membatasi perpindahan semacam itu melalui kebijakan imigrasi dan emigrasi serta eksploitasi dari upaya tersebut oleh para pedagang manusia, menempatkan perempuan dalam situasi tanpa perlindungan atau hanya dilindungi hukum secara marjinal. Perempuan migran ditempatkan oleh negara dalam situasi rentan terhadap kekerasan yang semakin parah karena tidak adanya perlindungan hukum independen yang diberikan bagi perempuan imigran, baik yang dilengkapi dokumen, maupun khususnya, mereka yang tidak dilengkapi dokumen. Dengan demikian, perempuan yang mencoba menggunakan kebebasan berpindah sering ditempatkan dalam posisi rentan berhadap-hadapan dengan perlindungan hak asasi mereka. Laporan ini menyoroti kepedulian Pelapor Khusus mengenai keterkaitan yang jelas terlihat antara pemberian proteksi, kebijakan anti-imigrasi, dan fenomena perdagangan manusia. Selanjutnya, laporan ini juga mengangkat kepedulian terhadap pendekatan hukum dan aturan yang sangat banyak digunakan oleh pemerintah untuk memerangi perdagangan manusia. Pendekatan semacam itu sering bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia dan dapat menciptakan atau memperburuk situasi yang ada yang menyebabkan atau memberi andil pada perdagangan perempuan. Laporan ini membahas akar penyebab migrasi dan perdagangan manusia. Tulisan ini menyoroti kenyataan bahwa tidak adanya hak yang diberikan kepada perempuan merupakan faktor penyebab utama pada akar migrasi maupun perdagangan perempuan. Kegagalan struktur ekonomi, politik, dan sosial yang ada untuk menyediakan kesempatan yang setara dan adil bagi perempuan untuk bekerja telah memberi andil pada feminisasi kemiskinan, yang pada gilirannya mengarah pada feminisasi migrasi, karena perempuan meninggalkan rumah mereka untuk mencari pilihan ekonomis yang layak. Selain itu, ketidakstabilan politik, militerisme, kerusuhan sipil, konflik bersenjata internal dan bencana alam juga memperburuk kerentanan perempuan dan mungkin mengakibatkan peningkatan perdagangan manusia. Tanggung jawab negara untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum tindak perdagangan perempuan dan menyediakan perlindungan bagi manusia yang diperdagangkan juga disoroti. Menurut
xii
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan sejumlah instrumen internasional dan regional yang telah disetujui oleh negara untuk dipatuhi, pemerintah bertanggung jawab untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangkan. Sebagai tambahan pada kewajiban dalam perjanjian tersebut, negara wajib bertindak secermat-cermatnya untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran hak asasi manusia serta memberikan penyembuhan dan ganti rugi kepada korban pelanggaran. Kewajiban ini berlaku baik pelanggaran yang pelakunya negara maupun bukan-negara. Terakhir, Pelapor Khusus membuat kesimpulan dan menguraikan beberapa rekomendasi yang berakar pada perlindungan dan perbaikan hak asasi perempuan.
xiii
xiv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
xi
I.
PENDAHULUAN
1
A. Bidang pelaporan - dari migrasi suka rela sampai perdagangan perempuan: rangkaian perpindahan perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama perpindahan tersebut
1
B. Perkembangan posisi Pelapor Khusus tentang perdagangan manusia
3
C. Definisi perdagangan manusia
5
PERDAGANGAN PEREMPUAN
11
A. Sejarah hukum internasional yang berkaitan dengan perdagangan manusia
11
B. Konvensi 1949 mengenai Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain: sebuah kritik
12
C. Definisi mutakhir Perdagangan Perempuan menurut hukum internasional
16
II.
xv
III.
PELANGGARAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PEREMPUAN SELAMA PERPINDAHAN
21
A. Kekerasan terhadap Perempuan
21
B. Praktek-praktek diskriminatif yang menyebabkan atau memberi andil pada kekerasan: pembatasan terhadap mobilitas, hukum kewarganegaraan, perlindungan setara, hak-hak buruh, dsb.
25
PERTANGGUNGJAWABAN UNTUK PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN
29
A. Tanggung jawab langsung Negara
30
B. Dengan cermat (due diligence)
30
KETIADAAN HAK DAN PENGINGKARAN KEBEBASAN: AKAR PERMASALAHAN PERDAGANGAN PEREMPUAN
33
DAMPAK HUKUM DAN KEBIJAKAN KEIMIGRASIAN T E R H A D A P PE R D AG A N G A N D A N M I G R A S I PEREMPUAN
39
VII. POLA MUTAKHIR PERDAGANGAN DAN MIGRASI PEREMPUAN
45
VIII. PENANGGULANGAN: DARI PENYELAMATAN DAN REHABILITASI SAMPAI HAK-HAK DAN GANTI RUGI
51
IV.
V.
VI.
IX.
A. Tanggapan Pemerintah
51
B. Tanggapan Non Pemerintah
63
REKOMENDASI
67
A. Di Tingkat Internasional
67
B. Di Tingkat Nasional
67
LAMPIRAN GAATW
xvi
75
I. PENDAHULUAN
A. Bidang pelaporan - dari migrasi suka rela sampai perdagangan perempuan: rangkaian perpindahan perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama perpindahan tersebut 1.
Perdagangan manusia harus dilihat di dalam konteks perpindahan dan migrasi internasional dan nasional yang terus meningkat sebagai akibat globalisasi ekonomi, feminisasi migrasi, konflik bersenjata, runtuh atau rekonfigurasi negara, dan transformasi batas-batas politik. Pelapor Khusus menyoroti kenyataan bahwa perdagangan perempuan merupakan sebuah komponen dari fenomena yang lebih luas dari perdagangan manusia, termasuk orang dewasa laki-laki maupun perempuan dan anak-anak. Walaupun demikian, ia ingin menyoroti karakter khusus perempuan dari banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama perdagangan tersebut berlangsung. Ia menyerukan kepada pemerintah-pemerintah untuk menanggapi pelanggaran hak asasi semacam itu melalui kebijakan yang didasarkan pada kesadaran jender.
2.
Walaupun ada pengakuan bahwa perdagangan manusia merupakan fenomena global yang tidak memandang usia dan jender, sesuai dengan mandat dan bidang keahliannya, Pelapor Khusus membatasi laporan ini pada perdagangan perempuan. Namun, definisi yang diusulkan dan analisis yang diberikan mengenai unsur-unsur inti, rute perdagangan, sebab dan akibat, dsb. tidaklah berdasarkan usia tertentu, dan dalam beberapa kasus, tidak pada jender tertentu pula. Dengan demikian ia berharap bahwa laporan ini dapat pula memberi
1
sumbangan untuk upaya-upaya memerangi perdagangan anak-anak. Pelapor Khusus berpendapat bahwa fenomena perdagangan anak-anak tetap memerlukan penanggulangan khusus sesuai dengan kebutuhan khusus anak, seperti juga yang khusus menurut jender. 3.
Perempuan berpindah dan dipindahkan, dengan atau tanpa persetujuan mereka, untuk berbagai alasan. Perdagangan perempuan harus dipahami berada di antara rangkaian gerak dan migrasi perempuan. Pelapor Khusus sangat yakin bahwa perempuan dan semua orang lainnya harus menikmati kemerdekaan bergerak. Perdagangan perempuan, seperti yang didefinisikan dan dipahami Pelapor Khusus, adalah secara khusus bentuk kekerasan dari hak gerak, yang karenanya harus dilarang. Namun demikian, Pelapor Khusus berpendapat bahwa perdagangan ini harus dicermati dalam konteks pelanggaran yang lebih luas yang dilakukan terhadap perempuan atas gerak dan migrasi mereka. Sementara pengalaman diperdagangkan dapat mempengaruhi tingkat atau derajat marjinalisasi atau pelanggaran yang dilakukan terhadap perempuan, perdagangan itu sendiri bukanlah satu-satunya penyebab pelanggaran hak asasi perempuan akibat perpindahan mereka di dalam satu negara maupun secara internasional. Perpindahan dan migrasi, diperparah oleh reaksi pemerintah dan upaya membatasi gerak individu melalui kebijakan imigrasi dan emigrasi, dan eksploitasi atas upaya-upaya pemerintah tersebut oleh para pedagang, menempatkan perempuan dalam situasi tanpa perlindungan atau hanya dilindungi hukum secara marjinal. Dengan begitu, perempuan yang berupaya menggunakan hak kebebasan bergerak sering ditempatkan dalam posisi rentan saat berhadap-hadapan dengan perlindungan hak asasi mereka.
4.
Bentuk-bentuk kekerasan yang jelas, termasuk, tetapi tidak terbatas pada perkosaan, penyiksaan, penghukuman semena-mena, perampasan kemerdekaan, kerja paksa dan perkawinan paksa, dilakukan terhadap perempuan yang mencoba menggunakan kebebasan bergerak. Lagi pula, kebijakan dan praktek diskriminatif dari pemerintah, khususnya yang mencoba mengekang gerak perempuan, membantu menciptakan iklim yang membuat pelanggaran semacam itu ditolerir secara resmi, kalaulah tidak dapat dikatakan didorong atau dalam beberapa kasus dilakukan oleh
2
aktor-aktor negara. Pelapor Khusus prihatin bahwa, dalam beberapa kasus, pemerintah yang dalam upaya mereka untuk menanggapi secara efektif pada semakin besarnya kepedulian internasional mengenai perdagangan manusia, dapat salah menangkap kebutuhan para korban dan, karena itu, membuat kebijakan dan praktek yang kemudian semakin mengabaikan hak-hak perempuan, khususnya kebebasan bergerak dan hak untuk mencari nafkah. Untuk alasan inilah Pelapor Khusus meyakini bahwa perdagangan manusia harus ditempatkan secara benar dalam konteks global gerak dan migrasi serta feminisasi gerak dan migrasi tersebut. Dengan demikian, dengan penekanan khusus pada perdagangan manusia, laporan ini hendak menyoroti pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia perempuan yang terjadi akibat gerak perempuan tersebut. B. Perkembangan posisi Pelapor Khusus tentang perdagangan manusia 1. Kerja Pelapor Khusus sebelumnya mengenai perdagangan manusia 5.
Seperti telah jelas dalam dua laporan mengenai perdagangan manusia sebelumnya, posisi Pelapor Khusus dalam hal perdagangan perempuan telah berkembang sejalan dengan perkembangan pemahamannya mengenai kerumitan perdagangan manusia. Perkembangan posisi Pelapor Khusus dapat dilihat dalam berbagai pandangan yang diungkapkan dalam laporan-laporannya sebelum ini. Laporan kali ini disusun berdasarkan laporan Pelapor Khusus sebelumnya, khususnya laporan-laporannya mengenai kekerasan di dalam komunitas (E/CN.4/1997/47), di mana ia menambahkan satu bagian mengenai perdagangan perempuan dan prostitusi paksa (paragraf 71(b) dan 119), dan laporan mengenai kunjungannya ke Polandia untuk permasalahan perdagangan dan prostitusi paksa (E/CN.4/1997/Add.1).
6.
Pelapor Khusus juga ingin menyebutkan kerja dan laporan dari Kelompok Kerja mengenai Bentuk-bentuk Perbudakan Kontemporer (Working Group on Contemporary Forms of Slavery) dan Pelapor Khusus mengenai penjualan anak-anak dalam permasalahan perdagangan manusia.
3
2. Tinjauan kerja yang dilakukan Pelapor Khusus sepanjang tahun 7.
Tahun ini, masyarakat internasional memulai banyak prakarsa dalam hal perdagangan manusia. Pelapor Khusus mengamati dengan seksama prakarsa semacam itu dan secara resmi telah melakukan intervensi dalam proses yang dilakukan. Secara khusus, Pelapor Khusus ingin memberi selamat kepada negara-negara anggota PBB atas upaya mereka untuk mengelaborasi protokol untuk mencegah, memberantas, dan menghukum perdagangan perempuan menjadi naskah konvensi internasional terhadap kejahatan terorganisasi transnasional. Namun, Pelapor Khusus, ingin mengungkapkan keprihatinannya bahwa instrumen internasional modern pertama mengenai perdagangan manusia itu dirinci dalam konteks pengendalian kejahatan, dan bukan difokuskan pada hak asasi manusia. Ia memandang hal ini sebagai kegagalan masyarakat hak asasi manusia internasional untuk memenuhi komitmennya dalam melindungi hak asasi manusia perempuan. Dalam pernyataan kepada Komite Ad Hoc Elaborasi Konvensi terhadap Kejahatan Transnasional dari Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Kriminal, ia menyoroti hubungan yang tak terpisahkan antara pencegahan serta penghapusan perdagangan manusia dan perlindungan hak asasi dari manusia yang diperdagangkan itu.
8.
Negara-negara anggota Asosiasi Asia Selatan untuk Kerjasama Regional (SAARC) telah menyusun naskah perjanjian regional pertama mengenai perdagangan manusia. Pelapor Khusus mengucapkan selamat kepada negara-negara SAARC atas prakarsa ini. Ia telah menyampaikan kepeduliannya kepada Kepala-kepala Negara SAARC bahwa konvensi SAARC seharusnya tidak bertentangan, baik dengan protokol perdagangan manusia tersebut di atas ataupun dengan kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Ia telah mendorong pemerintah-pemerintah SAARC untuk menahan diri dalam memfinalkan konvensi itu sampai protokol perdagangan manusia disetujui, guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik antar kedua instrumen internasional tersebut. Hanya saja, Pelapor Khusus menyesalkan bahwa akibat ketegangan regional, permasalahan perdagangan manusia dikesampingkan.
4
3. Tinjauan kerja/proyek PBB lainnya mengenai perdagangan manusia 9.
Untuk pertama kali, Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia telah mengidentifikasi perdagangan manusia sebagai salah satu tema prioritasnya. Pada tahun 1998, Komisi Tinggi menunjuk kelompok kerja mengenai perdagangan manusia dari dalam badan itu sendiri untuk mengidentifikasi peran yang paling efektif yang dapat diambil Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia untuk menghapuskan praktek tersebut. Sejak saat itu, Komisi Tinggi telah menyewa seorang tenaga khusus yang memusatkan perhatian pada perdagangan manusia, guna membantunya dalam memahami permasalahan perdagangan manusia yang kompleks, mengembangkan strategi untuk membahas perdagangan manusia dari perspektif hak asasi manusia dan mengikuti secara seksama perkembangan internasional mengenai perdagangan manusia. Komisi Tinggi melakukan intervensi tidak resmi baik terhadap proses-proses di Wina maupun SAARC. C. Definisi perdagangan manusia
10.
Pada saat ini, tidak ada definisi perdagangan manusia yang disepakati secara internasional. Istilah “perdagangan manusia” digunakan oleh berbagai pihak yang berbeda untuk menggambarkan rentangan kegiatan-kegiatan dari migrasi secara suka rela, difasilitasi, sampai eksploitasi prostitusi, dan perpindahan manusia karena diancam ataupun penggunaan kekuasaan, pemaksaan, kekerasan, dsb. untuk tujuan-tujuan eksploitasi tertentu. Semakin banyak kalangan yang mengakui bahwa karakterisasi historis perdagangan manusia sudah kadaluwarsa, definisinya buruk dan tidak tanggap terhadap kenyataan mutakhir dari perpindahan dan perdagangan manusia dan terhadap sifat alami dan luasnya perlakuan kejam yang inheren dan insidental dalam perdagangan manusia.1
1
Alison N. Stewart (Pelapor), International Human Rights Law Group, Laporan dari Roundtable on the Meaning of “Trafficking in Persons.” A Human Rights Perspective, Washington D.C., 1998.
5
11.
Daripada berpegang pada pemikiran kadaluwarsa tentang unsurunsur pembentuk perdagangan manusia, yang dapat ditelusuri kembali sampai awal abad ke-19, pemahaman baru perdagangan manusia terbentuk dari pemenuhan kebutuhan mutakhir dari manusia yang diperdagangkan pada umumnya, dan khususnya perempuan yang diperdagangkan. Definisi baru juga harus secara spesifik dibuat untuk melindungi dan memperbaiki hak asasi orang yang diperdagangkan, dengan penekanan khusus pada pelanggaran dan perlindungan khusus berbasis jender.
12.
Perdagangan manusia adalah sebuah konsep dinamis, parameternya secara tetap berubah untuk menanggapi perubahan keadaan ekonomi, sosial, dan politik. Walaupun tujuan perempuan diperdagangkan berubah dan cara-cara perempuan diperdagangkan di negara-negara asal dan tujuan perdagangan berubah, unsur-unsur pembentuknya adalah tetap. Inti dari semua definisi perdagangan manusia adalah adanya pengakuan bahwa perdagangan manusia tidak pernah berdasarkan persetujuan dari pihak yang diperdagangkan. Sifat perdagangan yang tanpa persetujuan inilah yang membedakannya dari bentuk-bentuk migrasi lainnya. Tidak adanya pernyataan persetujuan jangan dikacaukan dengan ketidaklegalan beberapa bentuk migrasi. Sementara semua perdagangan manusia adalah, atau seharusnya, tidak legal, semua migrasi ilegal belum tentu merupakan perdagangan manusia. Adalah penting untuk menahan diri untuk tidak meneropong secara bersama konsep perdagangan manusia dan migrasi ilegal. Inti dari perbedaan ini adalah keberadaan persetujuannya.
13.
Dokumentasi dan penelitian memperlihatkan bahwa perdagangan manusia muncul untuk berbagai tujuan eksploitatif tidak pernah disetujui sebelumnya oleh korban perdagangan tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kerja paksa dan/atau mengikat, termasuk di dalam perdagangan seks, perkawinan paksa, dan praktek seperti perbudakan lainnya. Hakikat tujuan tanpa persetujuan dan eksploitatif atau merendahkan itulah yang menjadi perhatian dari definisi tersebut. Dengan demikian, Pelapor Khusus meyakini adanya kebutuhan atas definisi perdagangan manusia yang luas, yang mencakup unsur-unsur yang biasa muncul dalam proses perdagangan
6
itu. Unsur-unsur yang biasa muncul adalah percaloan, diikuti oleh kondisi kerja atau hubungan yang eksploitatif atau merendahkan yang harus dihadapi oleh mereka yang diperdagangkan, diperburuk dengan ketiadaan persetujuan untuk sampai pada posisi itu. Struktur definisi perdagangan manusia harus membedakan perdagangan sebagai bentuk pelanggaran tersendiri dari bagian-bagian pembentuknya. Untuk tujuan laporan ini, Pelapor Khusus menggunakan definisi perdagangan manusia berikut ini. “Perdagangan manusia berarti perekrutan, transportasi, pembelian, penjualan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang: (i) dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, paksaan, penipuan, pemaksaan dengan kekerasan (termasuk penyalahgunaan wewenang), atau jeratan utang, untuk tujuan: (ii) menempatkan atau menahan orang tertentu, apakah dibayar atau tidak, dalam kerja paksa atau praktek seperti perbudakan, di dalam komunitas lain di luar tempat orang itu menetap pada saat tindakan yang digambarkan pada bagian (i) di atas.” 14.
Subbagian (i) dari definisi tersebut mencakup semua orang yang terlibat di dalam rantai perdagangan: mereka yang berada pada awal rantai, yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan, dan mereka yang berada pada akhir rantai, yang menerima atau membeli orang yang diperdagangkan, menahan orang yang diperdagangkan untuk kerja paksa dan mendapat keuntungan dari kerja tersebut. Mengkriminalkan semua bagian kegiatan dalam seluruh proses perdagangan ini akan memfasilitasi upaya-upaya baik untuk mencegah perdagangan manusia maupun untuk menghukum para pedagang.
15.
Pelapor Khusus meyakini bahwa definisi perdagangan seharusnya mensyaratkan gerak atau kepindahan tersebut adalah seperti menempatkan korban dalam lingkungan yang asing di mana ia terisolasi secara budaya, bahasa atau fisik dan diingkarinya identitas hukum ataupun aksesnya pada keadilan. Penempatan semacam itu
7
memperburuk marjinalisasi perempuan yang diperdagangkan dan karena itu meningkatkan resiko penyiksaan, kekerasan, eksploitasi, dominasi atau diskriminasi baik oleh para pedagang maupun oleh aparat negara seperti polisi, pengadilan, pejabat imigrasi, dsb. Walaupun penyeberangan batas geografis atau politik terkadang adalah salah satu aspek perdagangan manusia, unsur-unsur ini tidak selalu menjadi prasyarat yang harus selalu ada. Perdagangan manusia terjadi di dalam, dan juga melintasi, batas-batas negara. 16.
Walaupun banyak terjadi pelanggaran selama perdagangan, yang melanggar hukum nasional maupun internasional, adalah perpaduan dari kepindahan dan tujuan akhir yang dipaksakan yang membuat perdagangan manusia menjadi pelanggaran yang berbeda dari bagianbagian pembentuknya. Tanpa keterkaitan ini, perdagangan manusia tidak akan dapat dibedakan secara hukum dari kegiatan-kegiatan individual seperti penyelundupan dan kerja paksa atau praktek seperti perbudakan, ketika pada kenyataannya perdagangan justru berbeda secara substantif dari bagian-bagian pembentuknya. Pemindahan perdagangan manusia tidak terlepas dari tujuan akhir perdagangan. Perekrutan dan pemindahan dalam konteks perdagangan dilakukan dengan maksud menghadapkan korban pemindahan secara paksa pada pelanggaran tambahan dalam bentuk kerja paksa atau praktekpraktek seperti perbudakan lainnya.
17.
Untuk mengedepankan urgensi wujud modern perdagangan perempuan, definisi perdagangan manusia berfokus pada “kerja paksa atau praktek seperti perbudakan”, daripada secara sempit berfokus pada prostitusi atau eksploitasi seksual. Dokumentasi pola perdagangan manusia mengungkapkan bahwa perdagangan manusia dilakukan untuk banyak tujuan, termasuk tetapi tidak terbatas pada prostitusi atau pekerjaan seks lainnya, pekerjaan rumah tangga, buruh manual atau industri, dan perkawinan, adopsi atau hubungan dekat lainnya. Unsur-unsur yang biasa ditemukan di dalam semua pola perdagangan adalah: (i) ketiadaan persetujuan; (ii) pencaloan manusia; (iii) pemindahan; dan (iv) pekerjaan atau hubungan yang eksploitatif atau merendahkan. Dengan demikian, definisi perdagangan apa pun harus memasukkan unsur-unsur ini.
8
II. PERDAGANGAN PEREMPUAN
A. Sejarah hukum internasional yang berkaitan dengan perdagangan manusia 18.
Hukum internasional dalam kaitannya dengan perdagangan perempuan memiliki sejarah yang luas. Namun, sejarah ini diwarnai oleh serangkaian panjang instrumen-instrumen hukum yang tidak berguna sejak tahun 1904 ketika untuk pertama kali disetujuinya instrumen hukum internasional yang mengikat dalam bidang ini, yaitu Perjanjian Internasional untuk Memberantas Penjualan Budak Kulit Putih, disetujui. Secara historis, gerakan anti-perdagangan manusia memang didorong oleh ancaman yang dirasakan atas “puritas” atau kemurnian populasi perempuan tertentu, dalam hal ini adalah perempuan kulit putih. Perjanjian tersebut, yang lebih berfokus pada perlindungan korban daripada menghukum para pelaku, terbukti tidak efektif. Akibatnya, pada tahun 1910, Konvensi Internasional untuk Memberantas Perdagangan Budak Kulit Putih, disetujui dan mengikat 13 negara yang meratifikasinya.
19.
Kemudian, para penyusun naskah Perjanjian Liga Bangsa-bangsa menganggap perdagangan manusia sebagai sesuatu yang begitu penting sehingga mereka memasukkan “pengawasan umum atas pelaksanaan perjanjian dalam hal perdagangan perempuan dan anak-anak” di dalam mandat Liga. Dengan bantuan Liga Bangsa-bangsa, baik Konvensi Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada tahun 1921 maupun Konvensi Internasional Memberantas Perdagangan Perempuan Dewasa pada ta hun 1933, ditandatangani. Konvensi 1921 menyerukan penuntutan orang-orang yang
9
memperdagangkan anak-anak, memberi lisensi pada agen-agen tenaga kerja, dan memberi perlindungan bagi perempuan dan anak-anak yang berimigrasi atau beremigrasi. Konvensi 1933 menuntut Negaranegara terkait untuk menghukum orang-orang yang memperdagangkan perempuan dewasa, tanpa mempedulikan adanya persetujuan dari perempuan tersebut. 20.
Keempat konvensi mengenai perdagangan manusia ini akhirnya dikonsolidasikan oleh PBB pada tahun 1949 ke dalam Konvensi Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap orang lain (Konvensi 1949), yang tetap menjadi satu-satunya perjanjian internasional mengenai perdagangan manusia. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa perlindungan terhadap hak asasi orang-orang yang diperdagangkan terbatas pada Konvensi 1949. Negara berkewajiban untuk memberi perlindungan kepada orangorang yang diperdagangkan menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia; dan juga Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik; Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi Melawan Penyiksaan dan Kekejaman lainnya, Perlakuan atau Penghukuman yang tidak manusiawi atau Merendahkan; Konvensi Hak-hak Anak; Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (belum disepakati); Konvensi Perbudakan; Konvensi Tambahan mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak serta Institusi dan Praktek seperti Perbudakan; dan Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 29 mengenai Kerja Paksa dan No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa. B. Konvensi 1949 mengenai Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain: sebuah kritik
21.
10
Pendekatan perdagangan manusia diwarnai oleh perdebatan seputar prostitusi dan paradigma hukum yang dikembangkan untuk membahas prostitusi. Ada empat paradigma hukum yang utama untuk membahas prostitusi: (i) kriminalisasi; (ii) dekriminalisasi; (iii) legalisasi/regulasi; dan (iv) dekriminalisasi yang dipadukan dengan pendekatan hak asasi manusia. Kriminalisasi mengambil dua bentuk,
yaitu pelarangan dan toleransi. Kedua pendekatan kriminalisasi itu memandang pekerjaan seks sebagai kejahatan sosial yang seharusnya dihadapkan pada langkah penghukuman. Toleransi memperlakukan pekerjaan seks sebagai kejahatan yang diperlukan. Perundangundangan yang didasarkan pada perspektif ini umumnya tidak bersuara pada legalitas prostitusi itu sendiri. Saat bersamaan, ia menahan diri untuk tidak secara spesifik membuat pekerja seks menjadi sasaran. Sementara itu, pendekatan pelarangan mencoba menghapus prostitusi dengan mengkriminalisasikan semua tindakan dan pelaku, termasuk pekerja seks itu sendiri. Dekriminalisasi didasarkan pada pandangan bahwa pekerjaan seks sering merupakan pilihan pribadi, dan dengan demikian merupakan persoalan pribadi di antara orang dewasa yang melakukannya dengan kesadaran. Maka, hubungan antara pekerja seks dan mucikari, pemilik rumah bordil, pelanggan dan tuan tanah serta tindakan yang muncul dari hubungan semacam itu dipandang berada di luar bidang hukum kriminal. Dekriminalisasi hanya mencoba menghukum tindakan yang tidak menjadi kesepakatan sebelumnya. Legalisasi juga mencoba membahas prostitusi di luar bidang hukum kriminal. Sebaliknya, ia mencoba mengatur prostitusi melalui lokalisasi, lisensi dan, dalam kasus tertentu, pewajiban pemeriksaan kesehatan. Akhirnya, dekriminalisasi dengan pendekatan hak asasi manusia menyerukan perlindungan hak-hak hukum pekerja seks. Dengan demikian, ia menyerukan dekriminalisasi prostitusi dan tindakan-tindakan terkait, dan penerapan hak-hak asasi manusia dan hak-hak buruh yang ada pada pekerja seks dan kerja seks. 22.
Di antara paradigma ini, Konvensi 1949 untuk Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap orang lain, muncul dari perspektif pelarangan dan mencoba untuk mengkriminalkan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan prostitusi, walaupun bukan prostitusi itu sendiri. Konvensi 1949 telah terbukti tidak efektif dalam melindungi hak-hak perempuan yang diperdagangkan dan dalam memerangi perdagangan perempuan. Konvensi itu tidak menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Konvensi tersebut tidak memandang perempuan sebagai pelaku independen yang diberkahi hak dan nalar; melainkan Konvensi tersebut lebih melihatnya sebagai makhluk rentan yang membutuhkan perlindungan dari “kejahatan prostitusi”. Karena itu,
11
Konvensi 1949 hanya mampu sedikit melindungi perempuan dan memberi penyembuhan atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan akibat perdagangan tersebut, sehingga meningkatkan marjinalisasi dan kerentanan perempuan yang diperdagangkan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Lebih jauh, dengan membatasi definisi perdagangan perempuan pada perdagangan untuk prostitusi, Konvensi 1949 tidak berhasil memasukkan sejumlah besar perempuan di bawah perlindungannya. Dokumentasi memperlihatkan bahwa perdagangan dilakukan untuk banyak sekali tujuan, termasuk tetapi tidak terbatas pada prostitusi atau pekerjaan seks lainnya, pekerjaan domestik, buruh manual atau industri, dan perkawinan, diadopsi atau hubungan intim lainnya. 23.
Konvensi 1949 tidak berhasil mendefinisikan perdagangan perempuan dan hanya berfokus pada perdagangan untuk tujuan prostitusi. Sesuai artikel 1, Pihak-pihak Konvensi bersepakat untuk menghukum siapa pun yang memberi kepuasan pada nafsu orang lain: (1) membeli, memikat atau mengajak orang lain, untuk tujuan prostitusi, walaupun dengan persetujuan dari orang tersebut; (2) mengeksploitasi prostitusi orang lain, walaupun dengan persetujuan dari orang itu. Dengan demikian, menurut perjanjian itu, perdagangan manusia bukanlah pelanggaran yang nyata dan yang diakui; perjanjian tersebut menyamakan perdagangan manusia dengan eksploitasi prostitusi. Walaupun Konvensi mewajibkan negara-negara terkait untuk melakukan upaya-upaya yang tidak ditentukan untuk memberi bantuan sosial, medis, serta hukum untuk mengakhiri prostitusi dan merehabilitasi perempuan, untuk mencabut undang-undang pendaftaran pekerja seks dan untuk menyediakan kerjasama internasional sampai tingkat tertentu, konvensi itu tidak membahas penyebab atau situasi-situasi yang menyebabkan terjadinya perdagangan perempuan.2
24.
Khususnya, Konvensi 1949 tidak melarang prostitusi itu sendiri. Konvensi itu lebih mencoba menghapuskan prostitusi dengan
2
Lokakarya Internasional mengenai Migrasi Internasional dan Perdagangan Perempuan, Chiang Mai, 17-21 Oktober 1994, yang diselenggarakan oleh Foundation for Women, Thailand.
12
mengarahkan sasaran dan menghukum pihak ketiga yang terlibat dalam prostitusi. Dengan melakukan itu, konvensi ini sangat berbeda dari hukum nasional dalam hal penuntutannya. Meskipun demikian, konvensi ini tidak melarang negara menuntut pekerja seks selain pihak ketiga. Walaupun dalam kenyataannya, menjadikan pihak ketiga sebagai sasaran akan terlihat seolah-olah melindungi pekerja seks dari penjatuhan hukuman, penerapan hukum nasional semacam itu membuktikan bahwa perempuanlah yang menanggung beban kriminalisasi, bahkan ketika hukum dibuat hanya atau terutama ditujukan bagi penjual, mucikari, dan pelanggan prostitusi. Sebagai contoh, hal ini telah dilaporkan terjadi di India ini, dimana pemberlakuan Immoral Traffic (Prevention) Act, yang tidak membuat prostitusi itu sendiri ilegal tetapi mengarahkan sasaran pada permintaan, penggodaan, pembelian, mengambil penghasilan dari prostitusi, pemilikan rumah bordil, menahan orang di tempat prostitusi dipraktekkan, dsb., justru tampaknya memojokkan para pekerja seks. 25.
Konvensi 1949 mengizinkan negara untuk menghukum perempuan yang terlibat dalam perdagangan perempuan internasional dengan melakukan pengusiran terhadap mereka. Menurut artikel 19(2), negara terkait diminta untuk melakukan repatriasi orang-orang yang diacu pada artikel 18 yang ingin direpatriasikan atau yang mungkin dituntut oleh orang-orang yang berwewenang atas mereka atau yang pengusirannya diperintahkan sesuai dengan hukum. Menurut bagian terakhir klausul ini, perempuan yang diperdagangkan, yang tidak memiliki tempat izin menetap resmi di suatu negara, cenderung dideportasi. Dalam proses deportasi, perempuan yang diperdagangkan mungkin harus menghadapi penahanan (untuk perlindungan atau penghukuman) dan/atau “rehabilitasi” paksa.
26.
Konvensi tersebut, yang sudah disepakati oleh 69 negara, memiliki mekanisme pelaksanaan yang lemah. Walaupun Konvensi ini menuntut negara-negara terkait untuk membuat laporan setiap tahun kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai implementasi Konvensi tersebut di tingkat nasional, tidak ada badan perjanjian independen yang dibentuk untuk memantau implementasi dan pelaksanaan perjanjian itu. Kurang dari separuh dari 69 negara yang melapor.
13
Sejak 1974, Kelompok Kerja untuk Bentuk-bentuk Perbudakan Kontemporer, yang diberi mandat di bawah Sub-Komisi untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, telah meninjau tindakan negara-negara dalam hal perdagangan manusia.3 Walaupun Kelompok Kerja ini memiliki kemampuan untuk menerima dan mempublikasikan pencermatannya tentang perdagangan perempuan, ia tidak memiliki mandat yang kuat untuk menindaklanjuti laporan tersebut. C. Definisi mutakhir Perdagangan Perempuan menurut hukum internasional 27.
Walaupun tidak ada definisi koheren, semakin banyak instrumeninstrumen internasional, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Statuta Roma mengenai Pengadilan Kriminal Internasional, telah memasukkan pula pelarangan terhadap perdagangan manusia. Konferensi Dunia untuk Hak-hak Asasi Manusia dan Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan juga membahas perdagangan manusia di dalam dokumen konferensi mereka. Sayangnya, instrumen-instrumen ini tidak memberi sumbangan kepada pengembangan definisi yang jelas mengenai perdagangan perempuan itu sendiri.
28.
Artikel 6 dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menyatakan: “Negara akan mengambil langkahlangkah yang sesuai, termasuk perundang-undangan, untuk memberantas semua bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi perempuan.” Menurut travaux prparatoires (sejarah perundangan perjanjian tersebut), timbul perdebatan mengenai apakah artikel 6 seharusnya menyerukan negara-negara untuk memerangi prostitusi itu sendiri atau hanya eksploitasi prostitusi. Usulan yang diajukan oleh Maroko untuk menghapus segala bentuk prostitusi kemudian ditolak dan penekanan diletakkan pada perdagangan perempuan dan eksploitasi prostitusi. Walaupun sejarah
3
Keputusan Dewan Ekonomi dan Sosial 16 (LVI) tanggal 17 Mei 1974.
14
ini memberi kita pemahaman mengenai perspektif penyusun naskah, naskah ini juga tidak berhasil memberikan sebuah definisi mengenai perdagangan perempuan atau, dalam hal ini, unsur-unsur pembentuk “eksploitasi prostitusi.” Rekomendasi Umum No. 19 dari Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan secara lebih dalam mendefinisikan parameter eksploitasi prostitusi. Menurut Rekomendasi Umum No. 19: 29.
Kemiskinan dan pengangguran meningkatkan kesempatan perdagangan perempuan. Selain bentuk-bentuk perdagangan yang sudah ada, terdapat bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang baru, seperti pariwisata seks, perekrutan pekerja rumah tangga dari negara yang sedang berkembang untuk bekerja di negara-negara maju, dan perkawinan yang terorganisir antara perempuan dari negara-negara berkembang dengan orang yang berkewarganegaraan asing. Praktekpraktek ini tidak sejalan dengan kesempatan kesetaraan hak perempuan dan penghormatan atas hak-hak dan martabat mereka. Praktek-praktek tersebut menempatkan perempuan pada situasi khusus dengan resiko kekerasan dan penyiksaan.
30.
Menurut definisi kekerasan terhadap perempuan yang dinyatakan dalam artikel 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, “Kekerasan terhadap perempuan yang seharusnya dipahami mencakup, tetapi tidak terbatas pada, hal berikut: ...(b) Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan, penyiksaan seksual, pelecehan seksual, dan intimidasi di tempat kerja, di lembaga pendidikan dan di tempat-tempat lainnya, perdagangan perempuan serta prostitusi paksa.”
31.
Statuta Roma mengenai Pengadilan Kriminal Internasional memasukkan perbudakan (artikel 7.1(c)) dalam daftar kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut artikel 7.2(c), “perbudakan” berarti menggunakan sebagian atau seluruh kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan terhadap seseorang dan termasuk penggunaan kekuasaan semacam itu dalam proses perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Hal ini memperlihatkan
15
adanya pendekatan modern dalam mengaitkan perdagangan manusia dengan praktek-praktek seperti perbudakan. 32.
Dokumen-dokumen yang dihasilkan di Konferensi Hak Asasi Manusia se-Dunia (1993) dan Konferensi Perempuan se-Dunia yang ke-4 (1995), menyerukan negara-negara untuk memerangi perdagangan perempuan, tetapi tidak berhasil memberikan definisi yang memadai terhadap istilah tersebut. Dalam Deklarasi dan Program Aksi di Wina, Konferensi Hak Asasi Manusia se-Dunia menekankan pentingnya berjuang menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan publik maupun privat. Deklarasi tersebut membahas permasalahan “perdagangan perempuan secara internasional” sebagai bentuk kekerasan berbasis jender dan menyerukan penghapusannya melalui kerja sama internasional seperti dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial serta melalui perundang-undangan nasional.4 Sementara Strategi Menatap Ke depan dari Konferensi Perempuan se-Dunia yang ke-3 (1985) hanya membahas perdagangan perempuan untuk prostitusi dan prostitusi paksa.5 Platform Aksi Beijing menggambarkan pemahaman yang lebih luas mengenai perdagangan perempuan. Platform Aksi Beijing menyerukan pemerintah-pemerintah untuk mengambil langkahlangkah yang cocok untuk menghadapi faktor-faktor akar, termasuk faktor-faktor eksternal, yang mendorong perdagangan perempuan dan anak perempuan untuk prostitusi dan bentuk-bentuk komersialisasi seks lainnya, perkawinan paksa, dan kerja paksa guna menghapus perdagangan perempuan, termasuk dengan memperkuat perundang-undangan yang ada dengan landasan pemberian perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan dan untuk menghukum para pelaku kejahatan itu, baik melalui penanggulangan kriminal maupun sipil.6
33.
Sidang Umum, Dewan Ekonomi dan Sosial, Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi Status Perempuan, semuanya telah memberikan
4
Deklarasi Wina dan Program Aksi, A/CONF.157/23, disetujui pada 25 Juni 1993. Strategi Menatap Ke depan, paragraf 290 dan 291, Nairobi, 1985. 6 Konferensi Perempuan se-Dunia ke-4, Beijing, 1995, Platform untuk Aksi, A/CONF, 177/20, Tujuan Strategis D3, paragraf 130b. 5
16
resolusi mengenai perdagangan perempuan. Namun, tak satupun dari resolusi-resolusi tersebut, mendefinisikan perdagangan perempuan. Resolusi-resolusi itu mencakup: Resolusi Sidang Umum 50/167 tanggal 22 Desember 1995; Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1995/25 tanggal 3 Maret 1996; Resolusi Komisi Status Perempuan 39/6 tanggal 29 Maret 1995 dan 40/4 tanggal 22 Maret 1996, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1996/24 tanggal 19 April 1996; Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1997/19 tanggal 11 April 1997 yang disetujui tanpa pemungutan suara; Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 1998/20 tanggal 28 Juli 1998; Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1998/30 tanggal 17 April 1998 dan 1999/40 tanggal 26 April 1999. 34.
Walaupun instrumen internasional yang ada sudah bertumpuk, tidak ditemukan definisi perdagangan manusia yang jelas atau disepakati bersama. Sebuah asumsi pemahaman bersama mengenai perdagangan perempuan sepertinya telah dibuat oleh masyarakat internasional. Karena keterkaitan tradisionalnya dengan perdebatan mengenai prostitusi seperti dijelaskan di atas, definisi perdagangan manusia menjadi sebuah permasalahan yang akan selalu diperdebatkan. Namun, berbagai pihak yang terlibat perdebatan semakin mencoba untuk menyamakan perbedaan-perbedaan mereka dan mencoba membangun konsensus demi melindungi hak asasi manusia perempuan yang diperdagangkan.
17
18
III. PELANGGARAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PEREMPUAN SELAMA PERPINDAHAN
A. Kekerasan terhadap Perempuan 35.
Karena tidak adanya perlindungan hukum independen yang disediakan baik untuk perempuan imigran dilengkapi dokumen, dan khususnya, yang tidak dilengkapi dokumen, diperburuk oleh marjinalisasi sosial dan budaya perempuan imigran, para perempuan imigran ditempatkan oleh negara pada situasi yang semakin membuat mereka rentan terhadap kekerasan. Perempuan berpindah dan dipindahkan, dengan maupun tanpa persetujuan mereka, secara legal maupun tidak legal, untuk begitu banyak alasan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Gerak perempuan semakin dibatasi oleh hambatan hukum yang dibuat negara dan dengan demikian perempuan dan gerak/perpindahan mereka semakin dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
36.
Global Survival Network mengidentifikasi empat jenis situasi yang mengakibatkan perempuan dan anak perempuan terlibat dalam perdagangan seks.7 Penelitian Pelapor Khusus sendiri mengusulkan bahwa tipologi ini dapat pula diterapkan pada bentuk-bentuk kerja yang lain yang menyebabkan perempuan bermigrasi atau diperdagangkan. Kelompok pertama mencakup perempuan yang
7
Testimoni oleh Steven R. Galster, Direktur Global Survival Network, di hadapan Komisi Keamanan dan Kerja sama di Eropa, Komisi Helsinki, 28 Juni 1999.
19
ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Perempuan tersebut tidak tahu sama sekali ke mana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan mereka lakukan. Kelompok kedua terdiri atas perempuan yang diberitahu separuh kebenaran oleh orang yang merekrut mereka mengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan kemudian dipaksa bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak mereka setujui dan mereka hanya mempunyai sedikit atau tidak ada sama sekali pilihan lainnya. Baik gerak maupun kekuasaan mereka untuk mengubah situasi mereka sangat dibatasi oleh jeratan hutang dan penyitaan dokumen perjalanan atau paspor mereka. Kelompok ketiga adalah perempuan yang mendapat informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan. Walaupun mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya pilihan ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan, dan karena itu mempercayakan kendali pada pedagang yang mengeksploitasi kerentanan ekonomi dan hukum mereka untuk keuntungan uang, sementara mereka dipertahankan, sering berlawanan dengan keinginan mereka, dalam jeratan hutang. Kelompok keempat terdiri atas perempuan yang mendapat informasi sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan, tidak keberatan untuk mengerjakannya, memiliki kendali atas keuangan mereka dan secara relatif gerakannya tidak terbatas. Kelompok keempat adalah satu-satunya dari keempat situasi di atas yang tidak dapat digolongkan sebagai perdagangan perempuan. 37.
20
Tipologi-tipologi ini menyoroti perubahan hakikat pengalaman perempuan yang berpindah dan dipindahkan. Status perempuan sering kali tidak tetap: posisi mereka dapat berubah diantara keempat kategori itu. Sepanjang perpindahan mereka, terlepas dari bagaimana, mengapa atau di mana mereka pindah, perempuan dihadapkan pada begitu banyak bentuk kekerasan. Kerentanan perempuan atas pelanggaran hak-hak mereka serta kekerasan terhadap mereka meningkat seiring dengan semakin termarjinalisasikannya mereka. Dengan demikian, perempuan yang diperdagangkan, menurut hakikat definisi perdagangan yang diusulkan di atas, cenderung mengalami kekerasan, khususnya dalam suasana impunitas terhadap pelanggaran yang dilakukan para pedagang ini dan ketiadaan hakhak, penanggulangan, dan ganti rugi yang diberikan kepada orangorang yang diperdagangkan.
38.
Seperti dibahas di atas, ciri-ciri yang membedakan antara perdagangan dan migrasi yang difasilitasi adalah sifat perdagangan yang tidak disertai dengan adanya persetujuan. Kekerasan dan ancaman kekerasan merupakan bentuk-bentuk paksaan dengan kekerasan yang biasa muncul - mungkin yang paling biasa - yang digunakan terhadap perempuan yang diperdagangkan. Khususnya, perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual sering digunakan untuk mematahkan perempuan yang diperdagangkan secara fisik, mental, dan emosional serta untuk mendapatkan kerelaan yang dipaksakan dalam situasi kerja paksa dan praktek seperti perbudakan lainnya. Perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual digunakan sebagai senjata terhadap perempuan migran terlepas dari sifat pekerjaan yang harus mereka lakukan. Namun, bentukbentuk kekerasan seksual paling banyak digunakan untuk “mengkondisikan” perempuan sebagai pekerjaan seks paksaan.
39.
Baik terkurung di dalam tempat bekerja dengan gaji rendah atau di dalam pabrik atau di dalam rumah bordil, perempuan migran dan perempuan yang diperdagangkan seringkali dihadapkan pada perampasan kebebasan secara paksa dan semena-mena oleh pelaku bukan-negara maupun negara. Gerak perempuan dengan jelas dihalangi oleh kunci, jeruji, dan rantai atau yang tidak terlalu menyolok mata (tapi tidak kurang efektifnya) dibatasi dengan penyitaan paspor dan dokumen perjalanan mereka, cerita-cerita penahanan dan deportasi, ancaman pembalasan terhadap anggota keluarga mereka, atau ancaman bahwa jenis pekerjaan mereka akan diungkapkan kepada keluarga dan anggota masyarakat, serta kekerasan fisik. Para pedagang menggunakan hukum dan ancaman deportasi, untuk keuntungan mereka. “Untuk membuat korban mereka tidak berdaya secara psikologis dan mencegah mereka melarikan diri, sering mereka mengancam perempuan dengan deportasi. Karena deportasi berarti resiko bagi keluarga perempuan karena masih adanya lilitan hutang penyelundupan, dipermalukan di depan umum serta diasingkan oleh masyarakat karena pengungkapan kegiatan perempuan itu, dan kemungkinan untuk terus menjadi korban, menyebabkan ancaman ini menjadi sangat efektif.”8 Sejumlah penasihat hukum
8
Nora Demleitner, The Law at the Crossroad; the Legal Construction of Migrants Trafficked into Prostitution, hal. 12.
21
menyamakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang diperdagangkan dengan penyiksaan dan perlakuan kejam atau tidak manusiawi yang melanggar Konvensi melawan Penyiksaan dan Kekejaman lain, Perlakuan atau Hukuman tidak Manusiawi atau Menghinakan. 40.
Satu aspek dari definisi perdagangan manusia yang digunakan oleh Pelapor Khusus adalah kenyataan bahwa korban-korban perdagangan berakhir dalam situasi kerja paksa atau praktek-praktek perbudakan yang dipaksakan dan merupakan kekerasan pada hak mereka. Perempuan merupakan persentase tertinggi dalam melakukan pekerjaan tanpa ketrampilan yang diupah, termasuk pekerjaan ban berjalan, membersihkan, memasak, dan mengasuh, baik di rumahrumah pribadi sebagai pembantu rumah tangga maupun di restoran dan hotel, atau sebagai penghibur dan pekerja seks. 9 Pekerjaanpekerjaan ini biasanya merupakan pekerjaan berupah paling rendah, sedikit di antaranya yang mendapat perlindungan kerja, hak-hak buruh atau keamanan kerja. Selain itu, ketiadaan atau tidak memadainya hukum dan standar kerja, serta sifat pekerjaan yang ilegal atau semi-legal menjadi dasar bagi terciptanya kondisi pekerjaan yang dipaksakan, merendahkan, dan eksploitatif, yang merentang dari perlakuan menghina, upah rendah, dan jam kerja yang ekstrim, sampai kerja dengan ikatan atau kerja paksa.
41.
Dalam hal migrasi internasional untuk perkawinan, izin menetap resmi sering dikaitkan dengan kelanjutan sponsor suami. Akibatnya, perempuan yang masuk ke pasar perkawinan baik karena pilihan sendiri maupun karena penipuan, dipaksa atau diancam, ditempatkan pada posisi rentan di mata hukum. Banyak istri imigran dihadapkan pada kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perkosaan dalam perkawinan, tetapi hanya memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali akses pada penanggulangan hukum. Usaha untuk mencari bantuan polisi atau petugas hukum dapat membuat mereka berhadapan langsung dengan deportasi, yang sering kali tidak diinginkan oleh
9
Marjan Wijers dan Lin Lap-Chew, Trafficking in Women, Forced Labour and Slavery-like Practices in Marriage, Domestic Labour and Prostitution, STV 1997, hal. 45.
22
perempuan-perempuan itu. Jadi, tidak adanya mekanisme formal untuk ganti rugi memperkuat dan melegitimasi situasi perempuan yang menghadapi penghinaan dan pemaksaan dalam rumah tangganya. Namun, semakin banyak negara seperti Amerika Serikat yang membuat pengecualian hukum untuk perempuan imigran yang mendapat penyiksaan, sehingga mereka bisa mendapatkan atau mempertahankan status izin menetap resmi mereka terlepas dari kelanjutan sponsor suami mereka. B. Praktek-praktek diskriminatif yang menyebabkan atau memberi andil pada kekerasan: pembatasan terhadap mobilitas, hukum kewarganegaraan, perlindungan setara, hak-hak buruh, dsb. 42.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional dan pemerintah-pemerintah secara konsisten mengungkapkan kepedulian mereka mengenai perdagangan perempuan. 10 Pelapor Khusus menyambut baik kecenderungan ini dan mendorong pemerintahpemerintah dalam upaya mereka mencari jalan dan cara untuk melindungi dan memperbaiki hak asasi manusia orang-orang yang diperdagangkan dan memerangi perdagangan manusia. Namun, sementara pemerintah-pemerintah berupaya keras untuk mencari jalan dan cara untuk memerangi perdagangan manusia, mereka (khususnya pemerintah-pemerintah di negara Utara) secara bersama telah mengambil langkah untuk memperkuat perbatasan mereka terhadap ancaman yang nyata dari imigrasi terbuka. Kebijakan demikian dapat menimbulkan konflik dengan strategi memerangi perdagangan dan melindungi hak-hak orang yang diperdagangkan secara efektif. Pelapor Khusus mendesak pemerintah-pemerintah untuk memastikan hukum imigrasi sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional.
43.
Dalam hal perdagangan perempuan, pemerintah-pemerintah banyak sekali memakai pendekatan hukum dan aturan, disertai dengan kebijakan anti-imigrasi yang kuat. Pendekatan macam itu sering tidak
10
Ibid.
23
sejalan dengan perlindungan hak asasi manusia. Lebih dari itu, sementara banyak kebijakan pemerintah terinspirasi oleh maksud baik, mereka sering menciptakan atau memperburuk situasi yang ada yang menyebabkan atau memberi andil pada perdagangan perempuan. Kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek, baik yang secara jelas maupun yang sanksinya mendiskriminasi ataupun mendorong pendiskriminasian terhadap perempuan, cenderung mempertinggi peluang perempuan diperdagangkan. 44.
Walaupun pada kenyataannya perempuan yang diperdagangkan umumnya pada perempuan migran tanpa dilengkapi dokumen sering menjadi korban kejahatan, mereka sering dianggap dan diperlakukan sebagai penjahat di negara-negara tujuan. Media, sering kali didorong oleh kebijakan resmi anti-imigrasi dari negara, menciptakan dan menyebarkan citra imigran sebagai penjahat. Persepsi semacam itu disebabkan oleh pertemuan antara rasisme dan kebencian terhadap hal asing (xenophobia), yang semakin banyak ditemukan secara implisit di dalam kebijakan resmi negara-negara maju. Stereotipe semacam itu mendorong marjinalisasi dan memperburuk kerentanan imigran yang tidak dilengkapi dokumen. Lebih lagi, melebihi semua resiko yang juga menjadi beban di pundak teman sebangsa mereka yang laki-laki, migran perempuan menghadapi ancaman terhadap integritas tubuh mereka karena terus selalu ada resiko tambahan penyiksaan seksual oleh para pelaku penyelundupan, migran laki-laki dan bahkan polisi maupun pejabat imigrasi. Namun, bahkan bila mereka dijadikan korban, para perempuan migran tanpa dilengkapi dokumen ini terus digolongkan sebagai penjahat karena status keimigrasian mereka dan tertuduh dalam pelanggaran yang mungkin telah mereka lakukan.11
45.
Penahanan 53 perempuan yang diperdagangkan pada Desember 1998 di Toronto menampilkan masalah pendekatan pelaksanaan hukum. Perempuan-perempuan tersebut, yang dilaporkan berasal dari Asia dan dijual ke Kanada sekitar $ 16.000-$25.000 (Dolar Kanada), kemudian dipaksa bekerja untuk hutang sebesar sekitar $ 40.000.
11
Nora Demleitner, op.cit, hal. 9.
24
Walaupun ada operasi satu tahun yang dimaksudkan untuk mencari pelaku-pelaku di balik operasi tersebut, perempuan-perempuan tersebut tetap ditahan dan dituntut berkaitan dengan prostitusi. Beberapa perempuan juga menghadapi tuntutan di bawah Hukum Imigrasi. Uang jaminan untuk masing-masing perempuan ini ditetapkan sebesar $1.500. Perempuan-perempuan tersebut menggambarkan keadaan kerja paksa dan perbudakan seksual, serta para pedagang yang berkuasa dengan menahan mereka secara paksa. Meskipun demikian, pelaksana hukum bersikap ragu-ragu untuk menamakan operasi tersebut perbudakan seksual karena adanya “kontrak”, di mana dokumen perjalanan para perempuan tersebut disita, gerakan mereka dibatasi dan mereka dipaksa bekerja untuk melunasi hutang mereka dengan melakukan sekitar 400-500 kerja seks. Karena sejumlah dari para perempuan tersebut telah menyepakati untuk bermigrasi untuk bekerja dalam usaha seks, pelaksana hukum menyimpulkan bahwa “mereka mengetahui secara tepat apa yang mereka hadapi.” 46.
Secara khusus, Pelapor Khusus mengkhawatirkan bahwa banyak pemerintah menyamakan migrasi ilegal, khususnya migrasi ilegal untuk prostitusi, dengan perdagangan perempuan. Migrasi ilegal bukanlah perdagangan itu sendiri, walaupun perdagangan mungkin dilakukan dengan imigrasi ilegal. Serupa dengan hal itu, penyelundupan manusia yang tidak resmi tidaklah serta-merta sama dengan perdagangan manusia, walaupun mungkin ada pedagang yang menyelundupkan korban-korban melintasi perbatasan. Dalam hal tertentu, pembedaannya mungkin sangat tipis. Namun, dalam menyusun kebijakan untuk menghadapi perdagangan perempuan, adalah penting untuk melakukan pembedaan itu. Hukum dan kebijakan tentang keimigrasian yang dirancang untuk memerangi atau melarang migrasi ilegal atau penyelundupan migran dapat menyebabkan atau memberi andil pada perdagangan akibat pengurangan akses untuk mengambil langkah-langkah legal oleh pihak-pihak yang diperdagangkan. Adalah penting bagi pemerintahpemerintah untuk memastikan bahwa hukum semacam itu sejalan dengan kewajiban dan maksud mereka untuk memerangi perdagangan manusia.
25
47.
Pemerintah dari banyak negara telah memberi tanggapan pada seruan untuk memerangi perdagangan perempuan dengan membatasi hak atas kebebasan berpindah dan mobilitas perempuan. Menurut laporan, Nepal dan Rumania adalah dua negara semacam itu. Pelapor Khusus merasa terganggu dengan meningkatnya penggunaan “profil” potensial menjadi korban. Pemprofilan korban potensial mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan, bukan saja didasarkan pada jenis kelamin mereka, tetapi juga pada status ekonomi dan perkawinan mereka.
48.
Menurut laporan-laporan, pada tahun 1998 di Braila, Rumania, pekerja seks dipanggil ke kantor polisi setempat, di mana paspor mereka kemudian disita. Dilaporkan bahwa para perempuan tersebut diberitahu bahwa penolakan atas dokumen perjalanan mereka dilakukan untuk melindungi reputasi internasional Rumania. Banyak perempuan yang dengan persetujuan mereka sengaja bermigrasi untuk menjadi pekerja seks di Turki, tetapi sebelumnya tidak terlibat dalam kerja seks di Rumania. Para perempuan itu juga diancam dengan penahanan dan pengurungan untuk banyak pelanggaran yang dikarang-karang yang berhubungan dengan pekerjaan seks domestik, dan juga dengan acaman pengungkapan di hadapan masyarakat dan keluarga mereka.
26
IV. PERTANGGUNGJAWABAN UNTUK PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI PEREMPUAN
49.
Pelapor Khusus ingin menyoroti kasus yang menjadi preseden yang, menurut laporan-laporan, telah berhasil dituntut di Amerika Serikat oleh Departemen Kehakiman di Washington D.C. dan kantor kejaksaan AS di Florida Selatan terhadap 15 anggota keluarga Cadena, yang memperdagangkan perempuan dari Meksiko ke Amerika Serikat. Pimpinan komplotan itu mengaku bersalah atas tuntutan bahwa ia mengepalai sebuah kelompok yang memperdagangkan paling sedikit 23 perempuan masuk ke Amerika Serikat. Para perempuan tersebut dilaporkan diimingi-imingi janji bahwa mereka akan dipekerjakan sebagai pengasuh anak dan pembantu rumah tangga di Amerika Serikat, tetapi kemudian dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja seks. Para perempuan tersebut diduga keras ditahan secara paksa dalam kondisi seperti perbudakan. Mereka dimasukkan dalam ruang tanpa jendela dan tidak diberi uang. Mereka dipaksa untuk bekerja sampai mereka melunasi ongkos penyelundupan sebesar $ 2.000. Para pedagang mengancam akan membalas kepada keluarga perempuanperempuan tersebut jika mereka mencoba melarikan diri. Sebagai tambahan hukuman penjara sampai 15 tahun, pihak-pihak yang dijatuhi hukuman diperintahkan untuk membayar ganti rugi kepada para perempuan tersebut sebesar $ 1 juta.
27
A. Tanggung jawab langsung Negara 50.
Negara secara langsung bertanggung jawab untuk tindakan salah seorang dari aparaturnya, walaupun tindakan semacam itu dilakukan di luar jangkauan kapasitas resmi aparatur negara. Negara juga bertanggung jawab untuk tindakan pelaku bukan-negara yang dilakukan atas nama negara. Dengan demikian, dalam konteks perdagangan manusia, negara bertanggung jawab untuk tindakantindakan yang dilakukan oleh aparatnya sendiri, apakah mereka pejabat imigrasi, pengawas perbatasan atau polisi. “Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangkan sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia se-Dunia dan ratifikasi atau penerimaan sejumlah instrumen internasional dan regional.” 12 Perlindungan demikian ditemukan dalam Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik; Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Perlakuan atau Hukuman Tidak Manusiawi atau Menghinakan; Konvensi Hak-hak Anak; Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarga Mereka (masih belum berkekuatan); Konvensi Perbudakan; Konvensi Tambahan mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktek-praktek serupa dengan Perbudakan; serta Konvensi Organisasi Buruh Internasional no. 29 mengenai Kerja Paksa dan No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa. B. Dengan cermat (due diligence)
51.
12
Dalam penelitian selama dua tahun, Global Survival Network menemukan kasus-kasus di mana polisi terlibat aktif dalam perdagangan manusia. Namun, skenario yang lebih umum adalah bahwa polisi dengan sadar menutup mata terhadap perdagangan manusia dan dengan demikian gagal dalam tugas mereka untuk
Global Alliance Against Traffic in Women, Foundation Against Trafficking in Women and International Human Rights Law Group, Human Rights Standards for the Treatment of Trafficked Persons, Januari 1999.
28
memberi perlindungan kepada korban-korban perdagangan. “Instrumen internasional hak asasi manusia membebankan tanggung jawab kepada negara untuk menghormati dan memastikan penghormatan terhadap hukum hak asasi manusia, termasuk upayaupaya untuk mencegah dan menginvestigasi pelanggaranpelanggaran, untuk mengambil tindakan yang sesuai terhadap pelaku pelanggaran dan memberikan penanggulangan dan ganti rugi kepada mereka yang telah terluka sebagai akibat dari pelanggaran tersebut.”13 Kewajiban-kewajiban tersebut tergabung membentuk kewajiban negara untuk melaksanakan perlakuan yang secermat-cermatnya/tepat untuk “mencegah, menginvestigasi, dan menghukum setiap pelanggaran hak-hak yang diakui oleh Konvensi, dan lebih jauh, jika memungkinkan mencoba mengembalikan hak yang dilanggar dan memberikan kompensasi atas akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran itu.”14 52.
Sebagai tambahan, seperti yang ditekankan dalam instrumen internasional itu sendiri, standar perlakuan yang tepat, contohnya dalam kasus Velasquez-Rodriques, telah diterima secara luas sebagai langkah penerimaan tanggung jawab negara untuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pelaku bukan-negara. Pelapor Khusus ingin menyoroti, sebagai tambahan dari laporan-laporan sebelumnya, penekanan yang telah diberikan pada standar perlakuan yang tepat, antara lain, dalam laporan-laporan oleh Pelapor Khusus lainnya, termasuk Pelapor Khusus mengenai Penyiksaan, mengenai hal di luar hukum, eksekusi semena-mena, dan mengenai penggunaan tentara bayaran sebagai cara melanggar hak asasi manusia dan menghalangi pelaksanaan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri; laporan-laporan oleh perwakilan-perwakilan Sekretariat Jenderal, termasuk Perwakilan mengenai pengungsi dalam negeri; oleh badan-badan perjanjian seperti Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; oleh pertemuan-pertemuan kelompok pakar seperti pertemuan tentang penahanan anak dan
13
Ibid. Kasus Velasquez-Rodriquez, Judgment of 29 July 1988, Inter-Am. Ct.H.sR. (Ser.C) No.4 paragraf 167. 1988.
14
29
remaja; dalam bentuk resolusi dan deklarasi, khususnya mengenai kekerasan terhadap perempuan, dan tulisan-tulisan oleh wartawan.15 53.
15
Perlakuan yang cermat mensyaratkan lebih dari sekedar diundangkannya pelarangan legal formal. Langkah-langkah negara harus secara efektif mencegah tindakan-tindakan semacam itu. Pencegahan efektif, investigasi yang tepat dan tuntas, yang hasilnya adalah penuntutan terhadap pihak-pihak yang bersalah dan kompensasi untuk korban, harus dilakukan. Untuk tunduk kepada standar perlakuan yang cermat, negara harus bertindak dengan itikad baik. Sejalan dengan hal itu, Pengadilan Inter-American menekankan bahwa negara harus menggunakan semua cara yang sifatnya hukum, politik, administratif, dan budaya yang dapat memperbaiki perlindungan hak asasi manusia, dan memastikan bahwa pelanggaran apapun dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan ilegal, yang dengan demikian, dapat membawa pada penghukuman mereka yang bertanggung jawab dan kewajiban untuk memberi ganti rugi kepada para korban karena kerugiannya.16 Komisi Eropa juga menggariskan bahwa Konvensi Eropa dimaksudkan bukan untuk menjamin hakhak yang teoretis atau dibuat-buat, tetapi hak-hak yang praktis dan efektif. 17 Pelapor Khusus, dalam laporan tahun 1999 tentang kekerasan dalam rumah tangga (E.CN.4/1999/68), menyebutkan satu per satu daftar pertimbangan dalam menilai pencapaian negara berdasarkan standar perlakuan yang cermat.
Untuk tinjauan secara menyeluruh mengenai hal itu, lihat John Cerone “State accountability for the acts of non-state actors: the trafficking of women for the purpose of sex industry work,” 1999, naskah tidak diterbitkan mengenai arsip Pelapor Khusus. 16 Cerone, hal. 59, mengutip kasus Velasquez-Rodriquez, paragraf 175. 17 Ibid., paragraf 58, mengutip Atico V.Italy, series A, 37 ECTHR 16.
30
V. KETIADAAN HAK DAN PENGINGKARAN KEBEBASAN: AKAR PERMASALAHAN PERDAGANGAN PEREMPUAN 54.
Akar penyebab migrasi dan perdagangan perempuan sangat tumpang tindih. Ketiadaan hak-hak yang seharusnya menjadi milik perempuan merupakan faktor penyebab utama pada akar migrasi perempuan maupun perdagangan perempuan. Sementara hak-hak semacam itu pasti termaktub dalam undang-undang, hukum, dan kebijakan, bagaimanapun kewarganegaraan penuh perempuan tetap saja terus ditolak karena pemerintah gagal melindungi dan memperbaiki hakhak perempuan. Di dalam rumah, masyarakat, dan struktur negara, perempuan didiskriminasikan pada berbagai tingkat yang saling bersilangan. Ungkapan yang paling ekstrim dan jelas dari diskriminasi semacam itu adalah kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan. Kekerasan adalah alat yang menyebabkan struktur diskriminatif menjadi lebih kokoh dan bentuk-bentuk diskriminasi yang lebih kompleks dan halus (tidak teramati dengan jelas) yang dialami perempuan setiap hari menjadi lebih kuat. Dengan ketidakberhasilan melindungi dan memperbaiki hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial perempuan, pemerintah-pemerintah menciptakan situasi yang menyuburkan perdagangan perempuan.
55.
Diskriminasi berdasarkan gender ini saling bersilangan dengan diskriminasi berdasarkan bentuk-bentuk “yang lain”, seperti ras, suku bangsa, agama dan status ekonomi, yang memaksa sebagian besar perempuan dunia masuk ke dalam situasi marjinalisasi berlipat dua bahkan berlipat tiga. Perempuan bukan saja didiskriminasikan karena 31
keperempuanannya, tetapi karena merupakan bagian dari suku bangsa, ras atau bahasa minoritas, dan sebagai perempuan minoritas menurut suku bangsa, ras, atau bahasa. Karena diskriminasi yang didasarkan pada kesukubangsaan, ras, agama, dsb. melekat dalam struktur negara dan sosial, diskriminasi semacam itu mengurangi hakhak dan penanggulangan yang tersedia bagi perempuan dan sekaligus meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan penyiksaan, termasuk perdagangan perempuan. Sebagai contoh, perempuan Rohingya, bagian utara Negara Bagian Arakan, Myanmar, menjadi tanpa kewarganegaraan karena dalam kenyataannya Myanmar menolak kewarganegaraan Rohingya. Karena status mereka yang tak berdokumen, mereka tak dapat berpindah dengan bebas melintasi perbatasan. Karena alasan tersebut, orang Rohingya mengandalkan migrasi yang difasilitasi. Perempuan-perempuan itu, secara khusus, menjadi korban para pedagang yang memangsa di tengah kesulitan mereka. 56.
Kegagalan negara dalam menjamin hak-hak perempuan menyebabkan terjadinya eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap perempuan baik di rumah tangga dan dalam masyarakat, maupun di dalam perekonomian lokal, nasional, dan global. Struktur ekonomi, politik, dan sosial serta model-model pembangunan yang muncul dari struktur semacam itu telah merusak perempuan. Hal-hal tersebut telah gagal dalam upayanya memberikan hak-hak ekonomi dan sosial yang dasar bagi semua orang, khususnya bagi perempuan, dan telah semakin menguratakarkan pembagian berdasar jenis kelamin dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan migrasi. Hak-hak dasar dari persentase yang besar sekali penduduk dunia, di mana sebagian besar adalah perempuan, seperti pangan, tempat berlindung, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan berkelanjutan serta kedamaian telah diingkari.
57.
Perdagangan perempuan berkembang di banyak negara yang belum maju karena kerentanan yang mencuat dari ketiadaan akses bagi perempuan pada sumber daya, kemiskinan dan diskriminasi jender dipertahankan lewat kolusi pasar, negara, masyarakat dan keluarga. Struktur keluarga tradisional, yang didasarkan pada dipertahankannya peran seks tradisional dan pembagian kerja yang dihasilkan oleh
32
peran-peran semacam itu (bagi perempuan, mengurus rumah, mengasuh, dan kerja-kerja subsisten tanpa upah atau dengan upah rendah), mendukung sistem perdagangan perempuan. Lebih lanjut, struktur sosial yang feodal dan eksploitatif semakin memunculkan konsumerisme dan sistem distribusi sumber daya yang tidak adil, berdasarkan jender, kasta, dan kelas sosial di banyak negara, seperti Nepal dan Bangladesh. Hal ini pada gilirannya mensahkan diskriminasi terhadap perempuan di tingkat masyarakat, seperti yang digambarkan oleh pembagian upah buruh dan gaji yang tidak setara, hak kewarganegaraan dan hak-hak waris; serta di keluarga melalui diistimewakannya anak laki-laki dan yang berakibat pada praktek diskriminatif terhadap anak perempuan yang dilakukan sepanjang siklus hidup mereka.18 Diistimewakannya anak laki-laki dan budaya mengistimewakan laki-laki menghilangkan akses anak perempuan dan perempuan dewasa pada pendidikan dasar dan menengah dan akibatnya, jumlah perempuan buta huruf tetap tinggi. Tambahan lagi, adanya praktek-praktek agama serta adat istiadat tertentu, diperkuat oleh kebijakan pemerintah, semakin membuat diskriminasi berurat berakar dan absah serta terus-menerus menghidupkan siklus penindasan terhadap perempuan. 58.
Ketidakadaan pemilikan perempuan atas hak dan kebebasan diperburuk oleh faktor-faktor eksternal seperti jurang yang terus melebar antara negara kaya dan miskin, dan di dalam negaranegara itu, antara masyarakat kaya dan miskin. Ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik yang ada di antara kota dan desa, mayoritas dan minoritas, serta antara maju dan berkembang, semakin menghasilkan ketidakstabilan politik dalam negeri maupun internasional dan meledaknya kekerasan seperti yang kita saksikan di Albania tahun 1997 dan di Indonesia tahun 1998, di mana selama hal tersebut terjadi, perempuan menjadi sasaran bentuk-bentuk kekerasan khusus, seperti pemerkosaan. Gagalnya struktur ekonomi, politik, dan sosial yang ada untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil pada perempuan untuk bekerja telah memberi andil pada berlangsungnya feminisasi kemiskinan,
18
Lihat Laporan Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, E/CN.4/1996/53, 5 Februari 1996, untuk analisis siklus hidup mengenai kekerasan terhadap perempuan yang lebih rinci.
33
yang pada gilirannya menghasilkan feminisasi migrasi, ketika perempuan terpaksa meninggalkan rumah untuk mencari pilihan ekonomi yang layak. 59.
34
Globalisasi mungkin berakibat mengerikan bagi hak asasi manusia pada umumnya dan hak asasi manusia perempuan pada khususnya, dalam hal mengikisnya hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya atas nama pembangunan dan restrukturisasi dan stabilitas ekonomi tingkat makro. Di negara-negara Selatan, program penyesuaian struktural telah menghasilkan peningkatan kemiskinan, khususnya bagi perempuan, pengungsian dan perselisihan internal yang merupakan hasil dari ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh devaluasi mata uang suatu negara, meningkatnya hutang dan ketergantungan pada investasi asing langsung. Krisis di negaranegara ASEAN adalah sebuah indikator bahwa kebijakan globalisasi dapat menciptakan bencana jika tidak dikelola secara tepat. Krisis ekonomi di Asia Timur telah menyebabkan banyak perempuan diperdagangkan karena hendak lari dari kemiskinan yang tiba-tiba menghantam. Di beberapa negara, kebijakan dan praktek-praktek pembangunan telah membuat pengungsian penduduk lokal dalam skala besar. Proyek waduk Lembah Narmada di India, yang diprotes oleh ribuan penduduk desa di Lembah Narmada yang akan diungsikan karena proyek tersebut, adalah sebuah contoh kemampuan “pembangunan” dalam menciptakan ketidakstabilan. Ketidakstabilan dan pengungsian paksa penduduk meningkatkan kerentanan mereka pada eksploitasi dan penyalahgunaan kekuasaan melalui perdagangan manusia dan kerja paksa. Ketidakstabilan politik, militerisme, kerusuhan sipil, konflik bersenjata internal dan bencana alam juga memperburuk kerentanan perempuan dan dapat berakibat pada peningkatan perdagangan perempuan. Menurut berbagai laporan, baru-baru ini, jaringan perdagangan perempuan bermunculan dengan semakin banyaknya perempuan Kosovo yang direkrut selama berlangsungnya perang di Kosovo dan eksodus pengungsi akibat perang itu. Pelapor Khusus secara khusus khawatir mengenai laporan-laporan keterlibatan pemelihara perdamaian PBB dalam kekerasan terhadap perempuan dan menyerukan kepada PBB untuk mengambil langkah-langkah pencegahan kekerasan tersebut serta untuk menghukum ketika hal itu terjadi. PBB akan kehilangan
kekuatan moralnya jika tidak berhasil memberi tanggapan ketika mereka yang berada di dalam sistem PBB melanggar hak asasi manusia. 60.
Dengan tidak adanya langkah-langkah yang kuat untuk melindungi dan memperbaiki hak-hak perempuan, perdagangan manusia tumbuh subur. Ketika perempuan tidak memiliki hak atau ketika hak tersebut diinjak-injak oleh kebijakan dan praktek dari pemerintah, termasuk kebijakan yang melepaskan kekuatan tradisional negara kepada entitas korporasi non-negara, kelompok yang rentan secara sosial, termasuk perempuan, dibuat menjadi semakin rentan. Dalam kondisi ketiadaan kesempatan yang setara dalam pendidikan, tempat berlindung, pangan, pekerjaan, beban perempuan akibat kerja rumah tangga dan reproduktif yang tanpa upah, akses pada struktur kekuatan resmi negara, dan kebebasan dari kekerasan, maka perempuan akan terus diperdagangkan. Kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek yang semakin mengurangi hak-hak dan kebebasan perempuan, seperti yang membatasi gerakan perempuan dan pembatasan cara-cara imigrasi yang aman dan legal, hanya akan membuat perdagangan perempuan semakin berurat berakar. Karena itu, tanggung jawab akan adanya dan kelanjutan perdagangan perempuan tepat berada pada negara. Negara adalah penanggung jawab utama dalam melindungi dan memperbaiki hak-hak dan kebebasan semua perempuan.
35
36
VI. DAMPAK HUKUM DAN KEBIJAKAN KEIMIGRASIAN TERHADAP PERDAGANGAN DAN MIGRASI PEREMPUAN 61.
Pelapor Khusus merasa khawatir oleh keterkaitan yang jelas antara kebijakan proteksionis, anti-imigrasi dan fenomena perdagangan manusia. Kebijakan keimigrasian yang bersifat membatasi dan eksklusif, ketika dipadukan dengan efek konflik, globalisasi dan strategi pembangunan neoliberal yaitu berupa ketidakstabilan yang mengakibatkan meningkatnya aliran buruh migran legal dan ilegal, merupakan faktor penyebab yang penting dalam keberlanjutan dan prevalensi perdagangan perempuan. Kebijakan anti-imigrasi membantu dan menunjang para pedagang. Dokumentasi mencatat bahwa kebijakan eksklusif yang tidak lentur, yang dikukuhkan lewat penghukuman keras yang bersifat pidana dan deportasi untuk pelanggarnya, secara langsung membantu para pedagang. Ketersediaan pekerjaan migran yang legal, yang diatur oleh peraturan pemerintah dan penelitian yang cermat, mengurangi kepercayaan kepada pihak ketiga oleh mereka yang mencoba bermigrasi untuk bekerja. Ekonomi perdagangan - yang muncul dari perpaduan persediaan, permintaan, dan ilegalitas - cenderung kurang berkembang dalam situasi di mana tersedia kesempatan legal untuk pekerjaan migran. Negara-negara industri, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia semakin memberikan pembatasan pada imigrasi legal yang berjangka panjang. Rezim anti-imigrasi yang kuat semakin khas di negara-negara ini dan memperoleh dukungan dari pemerintah-pemerintah sebagai sebuah komponen kebijakan rasional dari proteksionisme dan penangkalan yang mencuat dari 37
kepentingan ekonomi. Misalnya, sejak akhir Perang Dingin dan berjayanya penguasa demokratis di Eropa Timur, Eropa Barat telah memberi tanggapan dengan mengetatkan perbatasan. Migrasi orang Eropa dari Timur ke Barat dilihat sebagai sebuah ancaman baik bagi keamanan dalam negeri maupun kesatuan Eropa. Akibatnya, pembatasan pada imigrasi meningkat, dan dengan pembatasan itu, perdagangan manusia dilaporkan meningkat. 62.
Pelintasan perbatasan secara ilegal semakin dikenai hukuman keras baik untuk pihak ketiga yang memfasilitasi perlintasan secara sembunyi-sembunyi dan bagi imigran tanpa dokumen yang migrasinya difasilitasi lewat cara-cara ilegal. Hukuman untuk masuk secara ilegal mulai dari enam bulan penjara di Denmark, Belanda, Norwegia dan Inggris, satu tahun penjara di Belgia, Prancis, dan Jerman, sampai dua tahun penjara di Kanada dan Italia. Kebijakan anti-imigrasi yang ketat, yang mengurangi kesempatan migrasi legal dan karenanya mendorong para migran untuk berpaling pada pihak ketiga untuk mendapat bantuan dalam bermigrasi dan mengandalkan janji-janji palsu migrasi legal, menghasilkan jumlah pelanggan yang terus menerus membesar bagi semakin banyaknya jaringan rahasia penyelundup imigran. Lebih dari itu, kebijakan demikian memberi dampak kuat pada kondisi hidup dan kerja para pekerja migran, meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan, penyiksaan, dan pengawasan oleh jaringan kriminal.19
63.
Semakin banyak dan sering kali menjadi pembenaran sebagai tanggapan atas perdagangan manusia, negara-negara asal membentuk kebijakan-kebijakan yang membatasi gerak perempuan. Sejumlah negara, termasuk Myanmar dan Polandia, secara resmi telah mengeluarkan larangan untuk meninggalkan negara itu tanpa izin. Undang-Undang Keimigrasian dan Tenaga Kerja di Myanmar, misalnya, melarang penduduknya meninggalkan negara itu tanpa perizinan yang sebenar-benarnya. Dengan demikian, orang-orang yang diperdagangkan dari Myanmar atau Polandia menghadapi hukuman dari dua sisi: di negara tujuan dan di negara asal mereka ketika mereka pulang atau dipulangkan.
19
Wijers dan Lap Chew, op.cit., hal. 143
38
64.
Banyak sekali perempuan migran tidak diizinkan untuk bekerja secara legal dalam sektor seks. Dengan demikian, status keimigrasian pekerja seks migran umumnya tanpa dokumen, sehingga menyebabkan mereka semakin rentan terhadap kekerasan, penyiksaan, dan pengawasan oleh para pedagang. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Turki, Cyprus, dan Uganda, secara resmi melarang orang-orang yang terlibat atau hidup dari proses prostitusi untuk memasuki negara itu dan menghadapkan orang-orang semacam itu pada penangkapan, penahanan (terkadang untuk waktu yang diperpanjang) dan deportasi jika mereka betul-betul berhasil memasuki negara itu. Sementara sejumlah negara seperti Swiss, Belgia, dan Jepang, menyediakan visa khusus untuk penghibur atau artis untuk pekerjaan seks, sedikit negara, termasuk Suriname, Aruba, dan Curaao, secara terbuka memberikan izin kerja bagi pekerja seks asing.
65.
Sebagai satu aspek dari kebijakan keimigrasian, banyak negara Utara telah memperkenalkan hukum untuk memerangi perkawinan purapura antara warga negara dan bukan warga negara. Hukum macam itu berakibat pada semakin tingginya ongkos dan dengan demikian berarti semakin besar kerentanan perempuan dalam mencoba memasuki pasar perkawinan. Hukuman yang dihubungkan dengan perkawinan pura-pura ini meningkatkan kerentanan perempuan imigran terhadap kekerasan di dalam rumah tangga karena status keimigrasian resmi mereka sering bergantung pada kelanjutan hubungan perkawinan, dengan demikian meningkatkan perbedaan kekuatan antara suami yang warga negara dengan istri yang imigran. Negara-negara seperti Amerika Serikat semakin banyak memperkenalkan pengecualian untuk persyaratan pensponsoran dalam kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga terhadap perempuan imigran.
66.
Di beberapa negara, imigran tanpa dokumen disyaratkan untuk membiayai pengeluaran yang berhubungan dengan deportasi mereka, dan karenanya mereka merana di dalam fasilitas tahanan imigrasi atau penjara - terkadang ditahan di sel umum bersama para narapidana lainnya - sampai mereka mampu mendapatkan dana yang cukup. Jadi, imigran tanpa dokumen mungkin dihadapkan pada kekerasan penahanan. Kasus-kasus pemerkosaan dalam penahanan
39
dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual terhadap perempuan imigran tanpa dokumen yang ditahan untuk deportasi telah dilaporkan. Karena marjinalisasi ganda itu, pekerja seks imigran tanpa dokumen pada khususnya menjadi rentan terhadap perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual dan perbuatan tak senonoh lainnya.20 67.
20
Di kebanyakan negara tujuan, deportasi masih menjadi mekanisme utama dalam berurusan dengan imigran tanpa dokumen, termasuk orang-orang yang diperdagangkan. Umumnya, aparat pemerintah di negara-negara tujuan tidak berhasil membedakan kelompokkelompok imigran tanpa dokumen, memperlakukan korban perdagangan sama seperti pelaku kejahatan. Lebih lanjut, negaranegara tujuan jarang menerima tanggung jawab keterlibatan mereka dalam perdagangan, walaupun kenyataannya mereka juga tidak berhasil bertindak dengan secermat-cermatnya untuk melindungi dan memperbaiki hak asasi manusia di wilayah mereka. Sebaliknya, mereka hanya mencoba membebaskan wilayah mereka dari imigran tanpa dokumen. Sejumlah perempuan yang diperdagangkan ingin kembali ke negara asal mereka untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan kekerasan. Namun, perempuan yang lain takut akan stigmatisasi, penolakan oleh keluarga mereka, penuntutan oleh pemerintah atau balas dendam para pedagang jika mereka kembali. Tetapi, harapan perempuan yang diperdagangkan jarang sekali dipertimbangkan. Terlepas dari harapannya, deportasi adalah jalan keluar resmi yang dipilih negara. “Deportasi berimplikasi bukan saja pada kembalinya perempuan ke keadaan yang hendak ditinggalkan oleh perempuan itu dulunya, tetapi sering kali juga pada intimidasi dan ancaman oleh operasi penyelundupan, baik karena perempuan itu berhutang uang kepada para pedagang untuk perjalanan mereka yang gagal atau karena mereka memberi kesaksian atau dianggap telah memberikan informasi mengenai para pelaku penyelundupan itu.”21
Lihat, Laporan Pelapor Khusus terhadap Kekerasan terhadap perempuan, E/CN.4/1996/53, 5 Februari 1996, untuk analisis siklus hidup yang lebih rinci mengenai kekerasan terhadap perempuan. 21 Demleitnet, op.cit., hal. 27
40
VII. POLA MUTAKHIR PERDAGANGAN DAN MIGRASI PEREMPUAN
68.
Rute perdagangan manusia mengikuti perjalanan migrasi: perpindahan secara tradisional bergerak dari Selatan ke Utara. Namun, kecenderungan modern memperlihatkan bahwa perdagangan juga terjadi di dalam wilayah-wilayah maupun di dalam negara-negara. Seperti rute migrasi, rute perdagangan dan negara asal, transit dan tujuan bisa dengan cepat berubah karena perubahan politik dan ekonomi. Pelapor Khusus ingin menyoroti negara-negara berikut, yang menjadi perhatiannya sebagai negara asal dan/atau negara tujuan. Namun, ia ingin menunjukkan bahwa ini bukanlah daftar lengkap dari negara-negara atau wilayah-wilayah asal atau tujuan.
69.
Negara atau wilayah asal: Afghanistan, Albania, Bangladesh, Belarusia, Bulgaria, Kamboja, Cina, Colombia, Kroasia, Hongaria, India, Indonesia, Yamaica, Kosovo, Latvia, Lithuania, Meksiko, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Polandia, Rusia, Rumania, Slovakia, Thailand, Ukraina, negara-negara bekas Uni Soviet, Vietnam.
70.
Negara atau wilayah tujuan: Austria, Australia, Belgia, Canada, Cina (termasuk Hong Kong dan Macao), Cyprus, Dubai, Republik Federasi Yugoslavia, Yunani, Jerman, Hongaria, India, Israel, Italia, Jepang, Malaysia, Belanda, Pakistan, Polandia, Saudi Arabia, Singapura, Spanyol, Swiss, Taiwan, Thailand, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Emirat Arab.
71.
Namun, perdagangan ini tidak selalu melibatkan pelintasan perbatasan internasional. Perdagangan internal terjadi di sebagian besar negara41
negara atau wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, perdagangan tidaklah stagnan. Rute perdagangan terus saja berubah. 72.
Sudah banyak dan terus saja ada yang ditulis mengenai perdagangan dan migrasi perempuan. Sentimen anti-imigrasi yang timbultenggelam dari negara-negara industri maju, pemerintah-pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan media mengungkapkan semakin banyaknya perempuan yang diperdagangkan.22 Sekretariat Negara Amerika Serikat baru-baru ini menyatakan bahwa 50.000 perempuan dilaporkan diperdagangkan ke Amerika Serikat setiap tahun. 23 Organisasi Internasional untuk Migrasi menyebutkan sekitar 500.000 perempuan diperdagangkan ke Eropa Barat saja. PBB memperkirakan bahwa 4 juta orang diperdagangkan setiap tahun. Namun, angkaangka itu tidak dapat dipercaya. Karena sifat perdagangan yang rahasia, statistik yang dapat dipercaya sulit, kalau bisa dikatakan tidak mungkin, untuk dikumpulkan. Selain itu, ketiadaan definisi yang jelas mengenai perdagangan perempuan memberikan keterbatasan dalam pengumpulan angka-angka atau statistik. Sering, baik sumber pemerintah maupun bukan-pemerintah memperlakukan imigran tanpa dokumen sebagai satu kategori yang tidak membedakan apakah imigran itu diselundupkan atau diperdagangkan.
73.
Walaupun dokumentasi menyatakan bahwa perdagangan perempuan adalah betul-betul fenomena global, perhatian dan sumber daya pemerintah dan bukan-pemerintah yang diberikan untuk mengurusi perdagangan jelas beragam, bukan hanya dari negara ke negara, tetapi juga dari wilayah ke wilayah. Sementara ada banyak organisasi dan proyek yang mengurus masalah perdagangan tersebut di Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Utara, dan Barat, serta semakin banyak dilakukan di Eropa Timur, tetapi sedikit sekali informasi tersedia dari Afrika dan Amerika Selatan. Yang menarik, di kedua wilayah tersebut, penekanan lebih besar tampaknya diberikan kepada migrasi daripada perdagangan perempuan. Juga wacananya tampak lebih
22
Demleitner, op.cit., hal.5, mengutip Giovanna Campani, “Trafficking for sexual exploitation and the sex business in the new context of international migration: the case of Italy” dalam South European Society and Politics, 3:230-322. 23 Ibid., hal. 6.
42
terfokus pada ekonomi daripada kekerasan. Hal ini bisa diperhitungkan sebagai perbedaan yang ada. 74.
Informasi mengenai perdagangan yang paling tersedia adalah di Asia. Ada rute perjalanan yang dicatat dengan baik di dalam Asia Selatan, dari Bangladesh, Nepal dan Pakistan ke India, dan secara luas di dalam India, khususnya di kota-kota Calcutta dan Bombay. Situasi politik di Myanmar telah memberi andil pada aliran perdagangan, khususnya perempuan suku Karen. Ada juga perdagangan yang luas dari Asia Selatan ke Timur Tengah, khususnya melalui pekerjaan rumah tangga. Demikian juga perdagangan di dalam dan dari Asia Tenggara sudah banyak dicatat. Menurut Pemerintah Filipina, sumber terbesar mata uang asing adalah dari pekerja migran di luar negeri. Pada 1995, ada 4.2 juga orang Filipina bekerja di luar negeri. Perdagangan perempuan terjadi di dalam dan ke Cina dari negaranegara yang berbatasan dengannya untuk tujuan perkawinan paksa. Menurut informasi, perempuan-perempuan dari Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) dijual untuk menjalani perkawinan paksa dengan petani dan buruh Cina di seluruh negeri itu. Dilaporkan, yang lainnya dijual pada tempat hiburan karaoke dan rumah bordil. Meningkatnya tingkat kemiskinan dan menurunnya tingkat pekerjaan dikatakan turut memberi andil dalam peningkatan perdagangan perempuan dari Republik Demokrasi Rakyat Korea ke Cina.
75.
Informasi mengenai perdagangan dari, di dalam, dan di seluruh Afrika masih sangat kurang. Namun, semakin banyak jaringan perdagangan di dalam Afrika yang terungkap. Pelapor Khusus mencatat kebutuhan mendesak untuk melakukan penelitian dan dokumentasi mengenai perdagangan dari dan di dalam Afrika. Menurut laporan-laporan yang ada, perempuan di Mauritania diperdagangkan di dalam negeri antara kelompok-kelompok etnik.24 Sebanyak 25.000 perempuan Kenya dilaporkan hidup dalam keadaan tidak manusiawi dan direndahkan di Timur Tengah sebagai akibat dari perdagangan ini. Dengan
24
Jyoti Kanic, Global Survibal Network, “Trafficking in Women,” di dalam Foreign Policy in Focus, vol. 3, No. 30, October 1998, hal. 1.
43
pengangguran yang begitu tinggi di dalam negara mereka sendiri, perempuan Kenya semakin banyak mencoba bermigrasi untuk mendapat kesempatan kerja di luar negeri. Walaupun banyak yang mampu mendapatkan pekerjaan yang sah dengan bantuan badan tenaga kerja asing yang resmi, banyak yang lainnya berpaling pada badan tenaga kerja palsu dan berakhir dengan keadaan kerja paksa yang mirip perbudakan. Perempuan dari ras, suku bangsa, dan agama minoritas di Sudan, khususnya Nuba, dilaporkan diperdagangkan dan dijual ke perbudakan. Pelapor Khusus ingin menyoroti kesimpulan Pelapor Khusus mengenai situasi hak asasi manusia di Sudan dalam hal penculikan orang, terutama perempuan dan anakanak yang merupakan anggota ras, suku bangsa, dan agama minoritas dari Sudan bagian Selatan, yaitu Pegunungan Nuba dan wilayah perbukitan Ingassema, dihadapkan pada perdagangan budak, termasuk perdagangan dan penjualan anak dan perempuan, perbudakan, penghambaan, kerja paksa dan praktek-praktek serupa yang terjadi dengan sepengetahuan Pemerintah Sudan.25 76.
25
Menurut laporan-laporan, ribuan pekerja rumah tangga dibawa ke Amerika Serikat oleh diplomat asing dan pegawai organisasi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), PBB, dan Bank Dunia dan kemudian dieksploitasi dan dihadapkan pada penyalahgunaan kekuasaan. Menurut hukum keimigrasian Amerika Serikat, diplomat asing, pegawai kedutaan, dan pejabat organisasi seperti Bank Dunia, IMF, dan PBB boleh membawa pekerja rumah tangga pribadi dengan visa A-3 atau G-5. Walaupun ribuan pekerja ini, yang sebagian besar perempuan, seharusnya dilindungi oleh hukum perburuhan dan dibayar dengan upah minimum, kelalaian telah terjadi. Akibatnya, sejumlah perempuan tersebut dihadapkan pada kondisi kerja paksa atau praktek-praktek seperti perbudakan. Dalam kasus-kasus tertentu, para majikan dilaporkan menyita paspor pegawainya, meminta pelayanan tanpa batas waktu dengan sedikit atau tanpa upah, membatasi kontak dengan pekerja rumah tangga lainnya, membatasi gerakan pekerja dan menyiksa para pekerja itu
“Situation of human rights in the Sudan,” Report to the Commission on Human Rights, E/CN.4/ 1996/62, hal. 1.
44
secara fisik. Karena status keimigrasian legal para pekerja rumah tangga itu bergantung pada kontraknya, pekerja itu bisa mengalami deportasi jika ia mencoba melarikan diri dari situasi itu. Pada tahun 1999, Kejaksaan Agung Amerika Serikat membentuk “satuan tugas tentang eksploitasi pekerja” untuk menginvestigasi dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Dari upaya itu ditemukan bahwa program visa, yang membuat status legal imigran bergantung pada status pekerjaan mereka dengan majikan tertentu membuat para pekerja terperangkap dalam situasi pekerja perbudakan berkepanjangan. Sebuah kelompok advokasi baru di Washington D.C., Campaign for Migrant Domestic Worker’s Rights, mencoba meminta pertanggungjawaban Bank Dunia dan IMF, karena organisasi tersebut membantu memfasilitasi proses membawa pekerja rumah tangga ke dalam negara itu. Mereka bekerja agar Bank Dunia bersedia membantu para pekerja rumah tangga memahami hak-hak mereka dan untuk mensponsori program pemantauan dengan biaya $ 350.000 per tahun yang mensyaratkan para anggota staf untuk menyerahkan salinan kontrak, formulir pajak, dan bukti pembayaran upah. Sementara Bank Dunia telah menyatakan keinginannya untuk membahas usulan ini, IMF dilaporkan menolak membahas permohonan kelompok itu. 77.
Ketidakstabilan Eropa Timur setelah runtuhnya Tembok Berlin telah berakibat pada meningkatnya perdagangan perempuan dari Eropa Timur dan negara bekas Uni Soviet. Situasi konflik bersenjata di Balkan juga telah memberi andil pada peningkatan perdagangan di wilayah itu. Menurut laporan-laporan dari LSM seperti Southall Black Sisters dan Keighley Women’s Domestic Violence Forum, perkawinan paksa, yang mencoba mengendalikan kebebasan dan seksualitas perempuan muda, sedang meningkat pada masyarakat-masyarakat Asia di Inggris. Perkawinan macam itu harus dibedakan dari perkawinan hasil perjodohan yang disetujui, yang terus saja menjadi norma di banyak bagian dari penyebaran orang Asia. Di Austria, pada tahun 1998, polisi mengungkap komplotan perdagangan perempuan, yang berbuntut pada penahanan sejumlah 18 pedagang. Dua puluh perempuan dilaporkan dibebaskan, banyak di antara mereka kembali ke rumah mereka. Namun, sejumlah korban tetap tinggal di Wina untuk memberi kesaksian melawan para pedagang perempuan tersebut.
45
46
VIII. PENANGGULANGAN: DARI PENYELAMATAN DAN REHABILITASI SAMPAI HAK-HAK DAN GANTI RUGI A. Tanggapan Pemerintah 78.
“Jika dan pada saat kita masuk ke agenda politik atau pembangunan, kita terperangkap dalam praktek diskursif dan proyek praktis yang bertujuan menyelamatkan, merehabilitasi, memperbaiki, mendisiplinkan, mengawasi atau menjadi polisi bagi diri kita. Organisasi karitas cenderung menyelamatkan kita dan menempatkan kita di tempat tinggal yang ‘aman’, organisasi yang berperspektif pembangunan cenderung ‘merehabilitasi’ kita lewat kegiatan peningkatan pendapatan yang sangat kecil, dan polisi tampaknya cenderung melakukan operasi secara teratur di tempat kita atas nama pengawasan perdagangan ‘imoral’. Bahkan ketika kita diberi kesan tidak terlalu negatif atau bahkan simpatik di dalam wacana dominan, kita tidak dibebaskan dari stigmatisasi atau peminggiran sosial. Sebagai korban tidak berdaya yang disiksa tanpa sumber daya, kita dipandang sebagai obyek belas kasihan. Kalau tidak, kita tampil sebagai tokoh yang mengorbankan diri sendiri dan mendukung karakter yang diciptakan dalam sastra populer dan bioskop, dengan tak henti-hentinya siap mengorbankan pendapatan kita, pelanggan kita, cara-cara kita yang ‘penuh dosa’, dan pada akhirnya hidup kita untuk memastikan kebaikan pahlawan atau masyarakat yang kita wakilkan itu. Dalam kedua kasus itu kita ditolak untuk mendapatkan hak politik sebagai warga negara resmi atau pekerja yang sah, dan dibuang ke pinggiran masyarakat dan sejarah.”26
26
Sex Workers; Manifesto, Konferensi Nasional Pekerja Seks di India yang pertama, 14-16 November 1997, Calcutta.
47
79.
Masyarakat internasional sejak awal tahun 1900-an telah menggolongkan perdagangan perempuan sebagai penyiksaan serius terhadap perempuan. Bersama bergeraknya waktu, pemikiran mengenai perdagangan telah berubah, begitu pula strategi yang dipakai untuk mengurus masalah perdagangan ini. Langkah-langkah menghukum, mencegah, menyelamatkan, dan merehabilitasi, semuanya digunakan untuk memerangi perdagangan tersebut. Namun, terlepas dari cara-cara ganti rugi yang digunakan, ada satu hal yang tetap - ketiadaan kemauan politik untuk menjamin hak asasi perempuan yang diperdagangkan. Pelapor Khusus ingin menyatakan kepeduliannya pada ketiadaan kemauan politik yang jelas, di negara asal, transit, dan tujuan, untuk memberikan perlindungan hukum kepada perempuan yang diperdagangkan. Bukan saja negara gagal mengembangkan mekanisme pencegahan dan ganti rugi yang tepat untuk korban perdagangan, tetapi juga tidak berhasil menggunakan hukum yang ada - misalnya hukum yang mengatur hal penyerangan, perkosaan, penculikan, dan pemerasan untuk menuntut para pedagang itu.27
80.
Penanggulangan atau strategi apa pun yang diusulkan untuk memerangi perdagangan dan memberikan bantuan kepada korbankorban perdagangan harus dinilai dalam batasan apakah dan bagaimana hal itu mengedepankan dan memberikan perlindungan untuk hak asasi manusia perempuan. Telah diperlihatkan bahwa bahkan mekanisme pencegahan yang tampaknya tidak berbahaya, seperti misalnya kampanye lewat pendidikan, dapat menjadi masalah ketika mekanisme tersebut mendorong ketiadaan mobilisasi perempuan atau penguatan stereotipe yang melemahkan perempuan. Sementara kampanye anti-perdagangan hanya dapat memperingatkan perempuan mengenai bahaya potensial terjadinya perdagangan, kampanye ini kemudian dapat membantu pembatasan kebebasan gerak perempuan.
81.
Metode penyelamatan dan rehabilitasi pekerja seks yang dilakukan secara paksa, seperti yang dilaporkan dilakukan di India dan
27
Wijers dan Law-Chew, op.cit., hal. 152.
48
Bangladesh, sangat dikritik oleh pemerhati hak-hak asasi manusia perempuan, yang melaporkan bahwa praktek-praktek semacam itu memaksa, seringkali dengan kekerasan dan dengan demikian, dalam beberapa kasus melanggar hak asasi manusia perempuan. Pada bulan Juli 1999, polisi di Bangladesh mengambil tindakan keras terhadap industri seks, dengan paksa membubarkan perempuan yang bekerja di daerah prostitusi Tan Bazar dan Nimtali di Dhaka. Menurut laporan-laporan, perempuan-perempuan tersebut diberi pilihan apakah dengan suka rela menyerahkan diri kepada “rehabilitasi” pemerintah atau dilarang melanjutkan bisnis mereka di Tan Bazar dan Nimtali. Setelah pembersihan polisi pada 24 Juli dini hari itu, banyak perempuan melarikan diri. Yang lainnya dengan paksa dibawa ke panti tuna wisma, tempat mereka dilaporkan dihadapkan pada penyiksaan fisik dan seksual. Menurut laporan, tindakan keras itu diawali dengan terbunuhnya seorang pekerja seks berusia 22 tahun, Jesmin, pada 1 Juli 1999. Pada tanggal 30 Juli, sekelompok pemuda tak dikenal menembaki para pemprotes yang sedang berdemonstrasi menuntut pelanggar hak asasi manusia perempuan Tan Bazar dan Nimtali. Menurut para pengamat, polisi tidak berhasil ikut campur (dalam peristiwa itu). 82.
Sebuah kelompok di India mempertanyakan dari mana, di sebuah negara dengan pengangguran yang luar biasa banyaknya, datangya tekanan untuk memindahkan jutaan perempuan dan laki-laki yang sudah terlibat dalam pekerjaan yang mendatangkan penghasilan untuk menyokong diri mereka sendiri dan keluarga luas mereka. Jika para pekerja lain yang terlibat dalam pekerjaan eksploitatif yang hampir serupa dapat bekerja di dalam struktur profesi mereka untuk memperbaiki kondisi pekerjaan mereka, mengapa pekerja seks tidak bisa tetap di dalam industri seks dan menuntut perbaikan dalam hidup dan pekerjaan mereka?28
83.
Salah satu tanggapan yang semakin banyak digunakan oleh negaranegara tujuan adalah melakukan pembatasan pada kebijakan
28
Sex Workers; Manifesto, Konferensi Nasional Pekerja Seks di India yang pertama, 14-16 November 1997, Calcutta.
49
keimigrasian yang sebelumnya terbuka. Sebagai contoh, sebuah negara yang telah memberikan visa bagi penari, model, dan penari telanjang, yang dianggap beresiko tinggi untuk dipaksa masuk ke dalam pekerjaan seks, mungkin mensyaratkan bahwa perempuan semacam itu haruslah penari telanjang profesional. Persyaratan demikian membatasi kelompok perempuan yang dapat meminta visa tersebut. Namun, hal itu tidak ada manfaatnya sama sekali untuk mengurangi jumlah perempuan yang mencoba bermigrasi dan sebaliknya dapat menyerahkan perempuan yang ingin bekerja sebagai penari telanjang, tetapi bukan penari telanjang profesional, ke tangan para pedagang. Dengan cara ini, reformasi hukum tertentu dapat menciptakan kesempatan baru bagi perdagangan dan dapat menjadi kontraproduktif bagi perempuan. 84.
29
“Langkah-langkah untuk memberikan perlindungan bukan saja bermasalah karena reaksi dari para pedagang, tetapi juga karena sifat paternalistik langkah-langkah itu yang menyebabkan perempuan semakin dirugikan. Sebagai contoh, penghapusan kategori visa untuk penari akan membatasi kesempatan perempuan untuk bermigrasi secara legal, dan membuat semakin banyak dari mereka jatuh ke tangan para pedagang. Akhirnya, Pemerintah mungkin merasakan bahwa pembatasan masuk ke negara tersebut melepaskan mereka dari tanggung jawab terhadap orang-orang yang diperdagangkan ke negara lainnya.”29 Dilaporkan bahwa di Jerman, persyaratan visa khusus diberlakukan untuk warga negara Filipina dan Thailand, karena jumlah perempuan yang masuk tidak seimbang. Pembatasan itu umumnya tidak membatasi perdagangan atau kerja paksa. Sebaliknya, hal itu lebih membuat perempuan semakin mengandalkan cara-cara di luar hukum untuk migrasi, dan biaya untuk dapat bermigrasi semacam itu. Selain itu, penargetan kepada perempuan dengan kewarganegaraan tertentu juga turut menstigmatisasi bahwa perempuan dari negara-negara tertentu memiliki kemungkinan besar untuk menjadi pekerja seks atau migran tanpa dokumen dan akibatnya meningkatkan pola diskriminasi terhadap perempuan
Demleitner, op.cit., hal.22, mengutip Caldwell, Gillian, Steven Galster, dan Nadia Steinzor, Crime and Servitude: An Expos of the Traffic in Women for Prostitution from the Newly Independent States, Global Survival Network, 1997.
50
migran. Menurut laporan, perempuan Thai berusia antara 18 dan 40 tahun yang tiba di Hong Kong untuk pertama kali secara rutin dihentikan oleh imigrasi untuk mempertanyakan keterlibatan mereka dalam prostitusi. 85.
Walaupun sifat perdagangan yang sembunyi-sembunyi membatasi kemampuan korban untuk mencari bantuan ketika diperlukan, diketahui bahwa penemuan negara tentang keberadaan perempuan yang diperdagangkan itu tidaklah memastikan bahwa hak-hak perempuan itu akan dilindungi. Bahkan pada saat negara menuntutnya sebagai kasus kriminal, tak ada jaminan perlindungan atau penuntutan hukum. Seperti dalam kasus perkosaan, perempuan yang diperdagangkan untuk kerja seksual dapat dipaksa untuk membuktikan mereka tidak memberikan persetujuan untuk bekerja dalam bidang seks. Jadi, perempuan yang sebelumnya telah bekerja sebagai pekerja seks sebelum diperdagangkan mungkin ditolak haknya untuk memperoleh perlindungan. Banyak sekali kejadian dimana hukum terus dipenuhi dengan pertimbangan moral. Dengan demikian, mungkin satu-satunya kelompok perempuan yang diperdagangkan yang akan diberi perlindungan adalah mereka yang cocok dengan stereotipe perawan muda “yang diculik di jalan oleh penjahat tak bermoral, diberi obat bius, dibawa menyeberangi perbatasan internasional, diperkosa, dan kemudian dirantai di ranjang atau paling tidak dipukuli babak belur supaya terlibat dalam hubungan seks untuk uang, yang dibayarkan kepada orang yang menangkapnya.”30 Baik media lokal maupun internasional cenderung memperkuat gambaran mengenai korban perdagangan yang cocok tersebut yaitu sosok gadis muda perawan yang dihadapkan pada kekerasan dan kekejaman yang luar biasa.
86.
Segera setelah diketahui oleh negara, jarang terjadi laki-laki dan perempuan yang diperdagangkan diizinkan untuk tetap berada di negara penerima, baik untuk perlindungan diri maupun untuk menuntut ganti rugi hukum. Deportasi terus didorong untuk dilakukan baik oleh negara tujuan maupun negara asal sebagai
30
Ibid., hal. 23.
51
tanggapan atas perdagangan manusia. Deportasi sering dilakukan tanpa koordinasi dan tanpa mencoba untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia perempuan. Sebagai contoh, menurut laporan, pada September 1997 polisi Kanada, dengan kerja sama polisi Amerika Serikat, menggerebek rumah bordil di San Jos, California dan Toronto. Perempuan-perempuan yang ditahan di sana dan yang dipaksa untuk bekerja dalam situasi jeratan hutang berhadapan dengan tuntutan aparat Kanada akan keterlibatan mereka dalam pekerjaan seks dan hidup di rumah mesum. Dengan desakan pejabat kedutaan Thailand, dua dari perempuan itu mengaku, sehingga mereka bisa kembali ke Thailand. Mereka yang tidak mengaku tetap di Kanada menunggu persidangan. Walaupun Kedutaan Thailand di Ottawa mengeluarkan Sertifikat Identitas bagi para perempuan itu, ketika tiba di Bangkok dilaporkan bahwa para perempuan itu ditahan oleh pejabat imigrasi Thailand karena Sertifikat Identitas mereka menunjukkan bahwa mereka telah tiba di Kanada dengan paspor palsu. 87.
52
Pada tahun 1997 dilaporkan bahwa lebih dari 200 perempuan dideportasi ke Lithuania dari negara-negara Barat karena status mereka yang tanpa dokumen atau bekerja secara ilegal. Dari jumlah tersebut, 28 di antaranya dilaporkan telah dipaksa bekerja sebagai pelacur. Menurut laporan, Israel adalah tujuan perdagangan perempuan dari negara-negara bekas Uni Sovyet, khususnya Rusia. Walaupun sejumlah dari perempuan itu sadar bahwa mereka bermigrasi untuk kerja seks, dilaporkan bahwa pada saat perekrutan mereka ditipu tentang kondisi dan syarat-syarat pekerjaan. Segera setelah tiba di Israel, mereka dikabarkan ditahan dalam kondisi perbudakan yang sebenarnya. Banyak perempuan bertahan hidup di penjara-penjara Israel, setelah mereka ditangkap dalam penggerebekan, karena mereka tidak mampu membayar biaya deportasi mereka. Israel tidak akan membayar ongkos deportasi pekerja tanpa dokumen. Perempuan-perempuan itu juga dilaporkan hidup dalam ketakutan terhadap pimpinan komplotan pedagang. Rasa takut inilah yang membuat komplotan tersebut bisa secara penuh terus mengendalikan perempuan, yang begitu takut melapor pada polisi untuk memperoleh bantuan. Lebih lanjut, dilaporkan juga bahwa, sementara perempuan yang diperdagangkan sering
ditahan sebagai pekerja ilegal, para pedagang jarang ditahan. Menurut informasi yang diperoleh, Israel tidak memiliki hukum yang secara khusus mengatur perdagangan atau penjualan manusia. Menurut laporan, dalam periode tiga tahun, Israel mendeportasi sekitar 1500 perempuan Rusia dan Ukraina yang diperdagangkan. 88.
Ada kebutuhan untuk berdalih dari paradigma penyelamatan, rehabilitasi, dan deportasi pada pendekatan yang dirancang untuk melindungi dan memperbaiki hak asasi manusia perempuan, baik di negara asal maupun negara tujuan. Walaupun beberapa perempuan mungkin menjadi trauma karena pengalaman mereka dan mungkin, secara kasus per kasus, ingin mendapatkan pelayanan konseling dan pendukungan, apabila berlebihan akan bukan menjadi “rehabilitasi” yang dibutuhkan oleh para perempuan itu. Sebaliknya, mereka mungkin membutuhkan dukungan dan penghasilan yang berkelanjutan. Pelapor Khusus menyerukan pemerintah-pemerintah untuk meninggalkan pendekatan paternalistik yang mencoba “melindungi” perempuan-perempuan tak berdosa dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih holistik yang mencoba melindungi dan memperbaiki hak asasi manusia semua perempuan, termasuk hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial mereka. 1. Tanggapan Pemerintah: beberapa contoh
89.
Program-program untuk memerangi perdagangan dan menanggapi kebutuhan orang-orang yang diperdagangkan sering terbatas pada pemberian informasi kepada perempuan mengenai resiko migrasi ilegal. Terkadang cap khusus dipakai dalam paspor untuk memberi tanda bahwa perempuan itu telah bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau dalam prostitusi. Hal ini kemudian dapat digunakan untuk mempersulit perempuan itu ketika ia mencoba menggunakan kebebasannya untuk berpindah atau melakukan perjalanan ke negara lain. Langkah perlindungan lainnya mencakup: penyebaran selektif ke negara-negara tujuan dengan hukum dan mekanisme perlindungan khusus bagi pekerja migran, kesepakatan bilateral atau multilateral mengenai pekerja migran; membuat daftar hitam majikan asing yang tidak menjalankan kewajiban dalam kontrak mereka; pelatihan; pemeriksaan pra-kualifikasi; dan penyimpanan sejumlah uang dari para majikan asing oleh pihak ketiga
53
dalam mata uang negara asal untuk membiayai tuntutan terhadap majikan atau penyelenggara. 90.
31
Beberapa hukum negara tertentu terus mendefinisikan perdagangan hanya dalam batasan prostitusi. Yang lainnya tidak berhasil membedakan antara perpindahan dengan persetujuan dan tanpa persetujuan, walaupun pada kenyataannya kedua bentuk perpindahan ini hadir secara bersamaan. Di Paraguay contohnya, menurut informasi yang disampaikan kepada Divisi untuk Kemajuan Perempuan (Division for the Advancement of Women) oleh Misi Tetap Paraguay kepada PBB tahun 1997, “dalam kasus-kasus niaga, perdagangan dan pemindahan perempuan dewasa dari satu negara ke negara lain untuk melakukan prostitusi, bahkan dengan persetujuannya, dan mengenai perekrutan dengan tujuan ini, hukumannya adalah penjara dari empat sampai delapan tahun” (penekanan ditambahkan). Serupa dengan itu, artikel IX, paragraf 1 dari Undang-Undang Pidana Polandia melepaskan isu persetujuan. Namun, beberapa negara semakin maju dalam mengakui perdagangan dalam segala bentuknya. Pelapor Khusus didorong untuk mencatat bahwa Austria, pada tahun 1996, mengamandemen undang-undang hukum pidananya, memperluas ketetapannya untuk mencakup perdagangan manusia untuk tujuan selain eksploitasi seksual. Menurut pasal 104a Undang-Undang Hukum Pidana, “barang siapa yang dengan pemalsuan identitas untuk dapat menetap sebagai orang asing di sebuah negara atau melakukan kegiatan hukum di dalamnya, membujuk orang lain untuk masuk ke sebuah negara secara ilegal dan membayar atau berjanji untuk membayarnya untuk tindakannya itu akan dikenakan hukuman penjara sampai 3 tahun.” Selain itu, ayat 2 dari pasal yang sama secara hukum melarang seseorang untuk dapat masuk ke negara lain secara ilegal untuk tujuan eksploitasi orang tersebut. Ketetapan tersebut memungkinkan untuk memperberat hukuman ketika kejahatan dilakukan secara profesional atau oleh organisasi kriminal.31
Dilaporkan oleh Republik Austria mengenai implementasi resolusi Sidang Umum 51/65 mengenai Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Migran, Juli 1997, hal. 2.
54
91.
Dilaporkan, di Amerika Serikat sebuah perdebatan tentang perdagangan manusia sedang berlangsung antara berbagai pihak sebagai upaya untuk memasukkan isu tersebut dalam konteks hukum baru mengenai perdagangan manusia. Dua rancangan undangundang - resolusi Wellstone dan RUU Smith-Gejdeson - keduanya sedang dalam proses diundangkan. Salah satu perbedaan utama antara keduanya adalah tentang definisi perdagangan. Resolusi Wellstone mendefinisikan perdagangan secara luas termasuk kerja paksa, sementara RUU Smith-Gejdeson mendefinisikan perdagangan manusia hanya dalam batasan pekerjaan seks. Pada tahun 1998, Presiden Clinton mengeluarkan Memorandum Eksekutif mengenai Langkah-langkah Memerangi Perdagangan Manusia. Langkahlangkah itu mencakup kampanye kesadaran masyarakat, produksi dan distribusi brosur kepada pencari visa di Rusia, Polandia, dan Ukraina tentang perdagangan manusia, dan mensponsori konferensikonferensi di luar negeri. Walaupun perlindungan, konseling hukum dan pelayanan lain untuk korban perdagangan diidam-idamkan untuk ada dalam strategi memerangi perdagangan, menurut laporan, program semacam itu belum diimplementasikan. Dalam banyak kasus, korban-korban perdagangan ditangkap dalam penggerebekan oleh Dinas Imigrasi dan Naturalisasi (INS). Dalam kasus semacam itu, dan bertentangan dengan pernyataan kebijakan yang ada, korban sering dideportasi atau ditahan dalam fasilitas penahanan INS atau penjara setempat.
92.
Pemerintah Kanada, dalam mematuhi Sekretaris Jenderal menyangkut resolusi 51/66 mengenai perdagangan perempuan dan anak perempuan, menyatakan bahwa “pemberian visa pengunjung yang selektif tetap menjadi cara utama dalam mencegah orang untuk masuk secara ilegal,” menerapkan pendekatan anti-imigrasi untuk mengatasi perdagangan manusia. Selain itu, walaupun menyatakan secara khusus bahwa masih adanya kekurangan peraturan mengenai perdagangan manusia, pemerintah menunjuk pada Undang-undang Imigrasi yang melarang orang untuk masuk secara ilegal dan membantu orang lain untuk masuk secara ilegal sebagai hal yang bermanfaat dalam memerangi perdagangan manusia. Mengacu pada ketundukan itu (terhadap resolusi tersebut-terj), Kanada mungkin menunda dihapuskannya penuntutan hukum terhadap orang-orang yang
55
membantu pelaksanaan pekerjaan “penyelundup manusia.” Sementara menekankan keseriusan perdagangan manusia sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, Kanada secara bersamaan tampaknya mengandalkan pendekatan anti-imigrasi yang mengacaukan penyelundupan orang asing dengan perdagangan manusia. 93.
Menurut informasi yang diterima Divisi untuk Kemajuan Perempuan dari Cyprus, pejabat Kepolisian Bagian Orang Asing dan Imigrasi bertanggung jawab memberi tahu perempuan yang masuk ke negara itu sebagai artis pertunjukan atau pembantu rumah tangga mengenai hak-hak dan kewajiban mereka, dan juga untuk memberikan informasi mengenai mekanisme perlindungan terhadap penyiksaan, eksploitasi, dan usaha penjeblosan ke dalam prostitusi.
94.
Di Belgia, orang-orang yang diperdagangkan diberi “masa istirahat” 45 hari yang bisa mereka pakai untuk memutuskan apakah akan menuntut para pedagang tersebut. Izin tinggal sementara selama tiga bulan, yang memberi hak pada korban-korban perdagangan untuk mendapat bantuan sosial jika mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, diberikan kepada perempuan yang memutuskan untuk melanjutkan kasus. Izin ini dapat diperpanjang untuk enam bulan berikutnya jika sidang pengadilan berlanjut lebih dari tiga bulan. Selain itu, Pemerintah Belgia telah mendanai pembangunan tempat berlindung di Brussels dan Lige bagi korban-korban perdagangan.
95.
Irlandia telah menyelenggarakan sebuah program yang memungkinkan pencari-suaka untuk mendapatkan izin bekerja secara legal sementara kasus mereka masih dalam penundaan. Izin tersebut dapat dikeluarkan untuk pencari-suaka, juga untuk orang-orang yang datang ke Irlandia dari negara-negara di luar Uni Eropa dan Eropa Timur untuk bekerja. Kementrian Kehakiman dilaporkan menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan langkah-langkah anti-perdagangan yang serupa dengan izin kerja bagi para pencari-suaka tersebut.
96.
Di Denmark, hukum baru yang melegalisasi prostitusi orang dewasa mulai berlaku pada 1 Juli 1999. Hukum ini menyebabkan usaha membeli seks dari siapa saja di bawah usia 18 tahun menjadi ilegal;
56
pelanggaran atasnya dapat dihukum maksimum dua tahun penjara. Dilaporkan bahwa Denmark telah secara bersamaan meningkatkan upayanya untuk mencegah eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur, untuk membantu perempuan yang ingin meninggalkan perdagangan seks dan untuk menghentikan perdagangan perempuan untuk tujuan kerja paksa seksual. 97.
Negara-negara asal, seperti Filipina, semakin meningkatkan penyusunan langkah-langkah yang mencoba menjamin perempuan migran sudah dibekali dengan lebih baik untuk melakukan migrasi secara internasional melalui pengembangan keterampilan. Persyaratan bahwa pekerja migran harus dapat berbicara, menulis, dan membaca dalam bahasa Inggris, persyaratan usia minimal dan registrasi digunakan oleh negara-negara asal dalam strategi anti-perdagangan manusia mereka. Di Filipina, persyaratan semacam itu tergantung pada jenis kerja dan negara tujuan perempuan itu melakukan perjalanan. Bagi pekerja domestik, usia minimal biasanya 25 tahun, kecuali bagi mereka yang akan pergi ke Saudi Arabia dan Bahrain, harus berusia 30 tahun. Namun, usia minimal bagi pekerja di bidang hiburan adalah 21 tahun. Dalam banyak kasus, kebijakan semacam itu diperkuat melalui badan pemerintah khusus yang didirikan untuk menangani para pekerja migran. Dalam kasus lain, pemerintah-pemerintah menggunakan multi-agensi untuk mengurusi perdagangan manusia. Meksiko, Filipina, Austria, Cyprus, Kolombia, dan Jerman, misalnya, semuanya menggunakan tanggapan multi-agensi untuk memerangi perdagangan manusia. 2. Tanggapan secara bilateral, multilateral, dan regional
98.
Pelapor Khusus ingin memuji Uni Eropa atas upayanya memerangi perdagangan manusia melalui program aksi regional yang peka terhadap korban yang memadukan kebijakan hukum dan kebijakan kesempatan setara Eropa dalam “Deklarasi Denhaag mengenai Masalah Perdagangan Perempuan.” Deklarasi tersebut dilaporkan menjadi pernyataan politik bersama dari negara-negara anggota Uni Eropa dan bermaksud untuk ditindaklanjuti dengan pembuatan pedoman Eropa untuk langkahlangkah efektif dalam mencegah dan memerangi perdagangan perempuan. Deklarasi itu, yang diterima dengan konsensus, menyerukan negara-negara anggota untuk, antara lain: (i) menyediakan atau mencari
57
kemungkinan tersediakannya pelapor-pelapor nasional yang akan mengumpulkan, melaporkan kepada pemerintah dan saling bertukar informasi tentang skala perdagangan dan juga langkah-langkah yang diambil untuk mencegah atau memerangi perdagangan; (ii) melakukan kampanye informasi di negara-negara asal dan tujuan yang berfokus diri pada pencegahan perdagangan perempuan; (iii) mengakui bahwa perempuan yang diperdagangkan adalah korban kejahatan sehingga mereka tidak diperlakukan semata-mata hanya sebagai imigran ilegal dan dideportasi; (iv) memberikan waktu pada korban perdagangan untuk berpikir dan memberi dukungan sebelum mereka melaporkan kejahatan atau setuju menjadi saksi dalam penuntutan kejahatan itu, dan untuk memudahkan proses ini dengan melengkapi perempuan yang diperdagangkan dengan bantuan hukum, keuangan, dan kesehatan; (v) memberikan status menetap sementara kepada perempuan yang diperdagangkan dan perlindungan selama proses kriminal, bila perlu; (vi) melatih polisi dan aparat hukum mengenai sifat dan ciri perdagangan perempuan; dan (vii) bekerja, di dalam kerangka kerja sama pengembangan, untuk memperbaiki status ekonomi dan sosial para perempuan di negara asal. 99.
Pada tahun 1998, Pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa melakukan kampanye informasi untuk memerangi perdagangan perempuan lewat Eropa tengah dan negara-negara bekas Uni Soviet yang baru merdeka, khususnya Ukraina dan Polandia. Kampanye ini mengarahkan sasaran pada korban-korban potensial guna memperingatkan mereka mengenai metode yang digunakan para pedagang dan memberikan informasi kepada aparat perbatasan dan konsuler setempat untuk membantu mereka mengenali dan mencegah perdagangan perempuan dari negara ketiga masuk ke wilayah mereka lewat diskusi kelompok, pesan layanan masyarakat, penyebaran poster, pamflet, serta artikel majalah dan surat kabar.
100. Pelapor Khusus didorong untuk mencatat pembentukan Kelompok Konsultasi Regional mengenai Migrasi, yang terdiri atas Belize, Kanada, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Hondura, Meksiko, Nicaragua, Panama, dan Amerika Serikat, dan mendorong masingmasing pemerintah untuk menjamin bahwa bagian dari rencana aksi mereka mengenai hak asasi manusia, dan juga instrumen-instrumen
58
internasional hak asasi manusia, diberikan kekuatan penuh dalam masalah migran secara umum, di mana perempuan merupakan persentase yang besar. Pelapor Khusus juga mendorong masingmasing Pemerintah untuk menjamin diberlakukannya perlindungan khusus jender dalam melindungi hak asasi, baik perempuan migran maupun perempuan yang diperdagangkan. B. Tanggapan Non Pemerintah 101. Migrasi perempuan dan perdagangan perempuan telah menjadi prioritas gerakan perempuan internasional sedunia. Organisasiorganisasi perempuan berada di garis terdepan dalam melakukan lobi dan pengembangan kebijakan yang berhubungan dengan migrasi dan perdagangan perempuan. Mereka juga telah mengembangkan program-program untuk memenuhi kebutuhan perempuan yang kembali atau dipulangkan, untuk membantu mereka kembali berbaur di dalam masyarakat. Namun, dalam sejumlah kasus, organisasi perempuan mengacu pada persepsi dan stereotipe yang sama seperti mereka yang cenderung memberikan pertimbangan yang salah dalam kebijakan pemerintah mengenai perkiraan korban yang pantas, khususnya dalam kasus perdagangan perempuan. Sejumlah organisasi perempuan juga dipenuhi dengan aturan moral untuk “menyelamatkan” perempuan tak berdosa. Jadi, beberapa program dibentuk lebih pada pandangan bahwa perempuan perlu “diselamatkan dan direhabilitasi,” daripada pemberian dukungan dan hak-hak mereka. Namun, organisasi-organisasi lain mengambil pendekatan yang lebih jelas mendukung hak-hak dengan mencoba membantu perempuan dalam proses pemberdayaan dan kemandirian. 102. Sebagai contoh, Foundation for Women dan Global Alliance against Trafficking in Women membantu memfasilitasi repatriasi suka rela dari 23 perempuan dan anak perempuan Myanmar dan Thailand yang diperdagangkan ke Bangkok. Upaya ini mengisyaratkan adanya koordinasi dengan banyak penguasa, pemerintah maupun bukanpemerintah, untuk menjamin bahwa perempuan dan anak perempuan tersebut diperlakukan sebagai orang-orang yang diperdagangkan daripada sekedar imigran ilegal. Dilaporkan bahwa perempuanperempuan dan anak perempuan tersebut sudah berbaur kembali di
59
desa mereka dan sedang mengembangkan proyek peningkatan penghasilan. 103. Pelapor Khusus didorong untuk mencatat sebuah kecenderungan pembangunan tempat berlindung yang khusus disesuaikan untuk bekerja dengan orang-orang yang diperdagangkan. Salamon Alapitvany dan Ildikok Memorial Civil Rights Institute membangun pusat istirahat darurat di Hongaria untuk “pekerja seks yang mencari relokasi dan pengalihan dari kerja paksa atau perdagangan.” Perempuan yang diacu ke pusat itu mendapat istirahat 30 hari secara langsung, selama itu mereka dapat meminta waktu perpanjangan 90 hari untuk tetap berada di Hongaria. Dilaporkan bahwa tempat perlindungan bagi perempuan yang diperdagangkan yang pertama baru-baru ini dibuka di Amerika Serikat oleh Coalition Against Slavery and Trafficking. Tempat tersebut memberikan tempat berlindung dan layanan lainnya bagi orang-orang yang diperdagangkan. 104. Jaringan GABRIELA - sebuah organisasi solidaritas perempuan multietnik, multi-ras Amerika Serikat-Filipina yang berpusat di Amerika Serikat - telah bekerja untuk isu perdagangan sejak lama. Badan itu baru-baru ini meluncurkan ‘Kampanye Mawar Ungu’. Kampanye ini mencoba meningkatkan kepedulian mengenai kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan dengan meminta perseorangan, khususnya laki-laki, untuk membuat komitmen melawan perdagangan perempuan dan menghindari menjadi pelanggan perdagangan seks: orang-orang diminta untuk menandatangani kartu yang menyatakan hal di atas dan diberi peniti mawar ungu sebagai pelambang dari ikrar ini. 105. Dalam menghadapi praktek-praktek pelanggaran yang terkait dengan migrasi dan kerja paksa, LSM-LSM telah menggunakan hukum dengan cara-cara yang inovatif. Pada Januari 1999, tiga tuntutan hukum diajukan - yang pertama dari jenis ini - yang mencoba menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan AS bertanggung jawab secara hukum untuk perlakuan yang keliru terhadap pekerja di pabrikpabrik milik asing yang berada di tanah Amerika Serikat. Menurut laporan, perusahaan-perusahaan itu, termasuk di dalamnya The Gap, Tommy Hilfiger, The Limited, J.C. Penny, May Company, Sears dan
60
Wal-Mart, diduga terlibat dalam konspirasi pemerasan dan telah memanfaatkan buruh kontrak, sebagian besar perempuan muda Asia, untuk menghasilkan pakaian di pulau Saipan, yang merupakan bagian dari Persemakmuran Amerika Serikat di Kepulauan Mariana Utara. Dua tuntutan kelompok diajukan di pengadilan federal atas nama 50.000 pekerja dari Cina, Filipina, Bangladesh, dan Thailand, dan satu tuntutan hukum diajukan di pengadilan negara bagian California oleh empat kelompok buruh dan hak asasi, Sweatshop Watch, Global Exchange, Asian Law Caucus, dan UNITE, yang menuduh para pengusaha ritel dan manufaktur menggunakan iklan yang menyesatkan dan memperdagangkan produk “barang-barang panas” yang diproduksi dengan melanggar hukum perburuhan Amerika Serikat. Tuntutan hukum itu menuntut lebih dari 1 milyar dolar untuk kerusakan, pengeluaran keuntungan, dan upah yang tidak dibayar. 106. Organisasi non-pemerintah menjadi penolong dalam upaya menciptakan standar nasional dan internasional baru mengenai migrasi dan perdagangan manusia. Salah satu produk yang paling patut dicatat dari proses kerja sama oleh Global Alliance against Traffic in Women, Foundation against Trafficking in Women, dan International Human Rights Law Group adalah Standar Hak Asasi Manusia untuk Perlakuan terhadap Orang-orang yang Diperdagangkan (Januari 1999). “Standar tersebut ditarik dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia dan norma-norma hukum internasional yang diakui secara formal. Standar tersebut ditujukan untuk melindungi dan memperbaiki penghormatan terhadap hak asasi manusia dari setiap individu yang menjadi korban dari perdagangan, termasuk mereka yang dihadapkan pada pelayanan paksa, kerja paksa dan/atau praktekpraktek seperti perbudakan lainnya.” 32 Pelapor Khusus ingin mendorong pemerintah-pemerintah untuk menggunakan Standar Hak Asasi Manusia ini dalam menciptakan kebijakan dan hukum baru. Ia ingin mendorong masyarakat internasional untuk melakukan hal yang sama.
32
Global Alliance against Traffic in Women, the Foundation against Trafficking in Women and the International Human Rights Law Group, Human Rights Standards for the Treatment of Trafficked Persons, Januari 1999, hal. 1.
61
62
IX. REKOMENDASI
A. Di Tingkat Internasional 107. Protokol mengenai perdagangan manusia untuk naskah konvensi internasional terhadap kejahatan transnasional terorganisir seharusnya menjamin standar hak asasi manusia tentang perdagangan perempuan secara tegas, karena adalah tidak mungkin untuk memerangi perdagangan tanpa memberikan perlindungan kepada para korban perdagangan. 108. Negara-negara seharusnya mengadopsi persetujuan bilateral dan multilateral yang memperbolehkan migrasi perempuan buruh yang legal. 108. Negara-negara seharusnya menjamin dukungan untuk pelembagaan aturan hukum di negara yang sekarang berada dalam transisi, dalam situasi konflik bersenjata atau di bawah rezim militer. 110. Organisasi non-pemerintah seharusnya diberi status pengamat di pertemuan-pertemuan Kepala Negara di forum-forum regional, seperti SAARC, ASEAN, OAU, dan OAS. B. Di Tingkat Nasional 111. Langkah-langkah yang dirancang untuk membatasi masuknya perempuan secara legal ke negara-negara tujuan sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati terhadap kerugian yang bisa ditimbulkan ketika bersinggungan dengan imigran potensial dan
63
perempuan. Secara khusus, langkah-langkah yang dirancang untuk melindungi perempuan dengan membatasi akses mereka pada migrasi legal atau meningkatkan persyaratan yang berkaitan dengan migrasi itu seharusnya dinilai dalam batasan peluang dampak diskriminatif dan peluang untuk meningkatkan kecenderungan dihadapkannya perempuan pada perdagangan manusia. 112. Program-program pemerintah dan upaya internasional dalam hal perdagangan manusia seharusnya dikembangkan dalam kerja sama dengan organisasi non-pemerintah. Lebih lanjut, organisasi pemerintah dan lembaga bantuan internasional seharusnya memberikan dukungan keuangan kepada organisasi non-pemerintah yang bekerja dalam isu perdagangan manusia. 113. Langkah-langkah pemerintah dan upaya internasional untuk menangani perdagangan perempuan harus lebih berfokus pada pelanggaran hak asasi dan hak-hak buruh dari perempuan yang terlibat, daripada memperlakukan korban-korban perdagangan sebagai penjahat atau migran ilegal. 114. Langkah-langkah pemerintah untuk mengatasi perdagangan perempuan harus berfokus pada perbaikan hak asasi perempuan yang terlibat dan tidak boleh meneruskan marjinalisasi, kriminalisasi, stigmatisasi atau mengucilkan mereka, yang menyebabkan mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran lainnya. 115. Badan-badan pemerintahan yang terkait harus mengumpulkan dan mempublikasikan data mengenai: (a) Upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus perdagangan ke dalam, ke luar, dan di dalam negara mereka; (b) Keberhasilan atau kesulitan yang dirasakan dalam mempromosikan kerja sama antarlembaga, kerja sama di antara penguasa setempat dan nasional, dan kerja sama organisasi non-pemerintah; (c) Perlakuan dan pelayanan yang diberikan kepada korban-korban perdagangan; (d) Disposisi kasus-kasus perdagangan dalam sistim peradilan kriminal;
64
(e) Pengaruh langkah-langkah pemerintah secara hukum dan administratif pada korban-korban perdagangan dan pada pengurangan perdagangan. 116. Korban-korban perdagangan harus dijamin: (a) Kebebasan dari penyiksaan atau pelecehan oleh mereka yang berada di posisi penguasa; (b) Perawatan kesehatan dan psikologis yang memadai, rahasia, dan dapat dijangkau oleh negara atau, jika tidak ada badan negara yang memadai, oleh badan swasta yang dibiayai oleh negara; (c) Layanan tes HIV yang betul-betul dijaga kerahasiaannya seharusnya diberikan hanya jika diminta oleh orang yang bersangkutan, dan setiap dan semua tes HIV harus dilengkapi dengan konseling pra-tes dan pasca-tes yang sesuai. (d) Akses pada penerjemah yang mampu dan ahli selama semua proses berjalan, dan tersedianya semua dokumen dan catatan mengenai korban perdagangan dan/atau kerja paksa atau praktek-praktek seperti perbudakan; (e) Bantuan hukum secara cuma-cuma; (f ) Peluang hukum untuk kompensasi dan ganti rugi atas kerugian ekonomi, fisik, dan psikologis yang mereka derita akibat perdagangan dan pelanggaran terkait. 117. Sejarah pribadi, “karakter” yang diduga atau pekerjaan sekarang atau sebelumnya dari korban tidak boleh digunakan untuk melawan korban tersebut maupun digunakan sebagai alasan untuk mendiskualifikasi tuntutan korban atau untuk memutuskan untuk tidak menuntut para pelanggar. Sebagai contoh, para pelanggar harus dilarang untuk menggunakan pembelaan bahwa korban adalah, atau pada suatu saat pernah, pekerja seks atau pembantu rumah tangga. 118. Sejarah korban yang pernah diperdagangkan dan/atau dihadapkan dengan kerja paksa dan praktek-praktek perbudakan tidak boleh menjadi catatan publik atau pribadi dan tidak boleh digunakan melawan korban, keluarga atau teman-temannya dengan cara apa pun, khususnya dalam kaitan dengan hak akan kebebasan melakukan perjalanan, perkawinan, dan mencari pekerjaan yang menghasilkan.
65
119. Negara yang di bawah yurisdiksinya terjadi perdagangan dan/atau kerja paksa serta praktek-praktek seperti perbudakan lainnya harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin kemungkinan para korban untuk mengajukan tuntutan kriminal dan/ atau aksi sipil untuk kompensasi terhadap para pelaku kejahatan, jika mereka memilih untuk melakukannya. 120. Pemerintah-pemerintah harus mengimplementasi penghentian deportasi dan memberi kesempatan permohonan izin tinggal permanen, perlindungan saksi dan bantuan relokasi bagi korbankorban perdagangan. 121. Pemerintah-pemerintah sebaiknya mengimplementasi denda yang diperkirakan dari kegiatan kriminal yang dihasilkan dari perdagangan, menyisihkan dana untuk memberi kompensasi untuk korban-korban perdagangan. 122. Dengan berkonsultasi dengan organisasi non-pemerintah yang berkaitan, badan-badan pemerintah yang terkait harus: (a) Mengembangkan kurikulum dan menyelenggarakan pelatihan bagi aparat pemerintah terkait, termasuk pejabat kantor imigrasi dan urusan konsuler, bea cukai, penjaga perbatasan dan pelayanan migrasi, dan perwakilan Kementerian Luar Negeri, menyangkut prevalensi dan resiko diperdagangkan, dan hak-hak korban. Pelatihan aparat semacam itu tidak boleh berakhir dengan terciptanya “profil” yang menghalangi perempuan untuk menerima visa untuk pergi ke luar negeri; (b) Mengembangkan kampanye kesadaran dan pendidikan menyangkut perdagangan yang dilakukan melalui media massa dan program-program pendidikan komunitas; (c) Menyebarluaskan materi yang menggambarkan peluang resiko diperdagangkan, termasuk: informasi tentang hak-hak korban di negara-negara asing, termasuk hak-hak hukum dan sipil di bidang perburuhan dan perkawinan dan bagi korban kejahatan, dan nama-nama organisasi pendukung dan advokasi di negaranegara asal, tujuan, dan transit; (d) Mengambil langkah-langkah untuk menjamin perempuan memiliki kesempatan ekonomi yang layak untuk membiayai
66
(e)
(f )
(g)
(h)
(i)
diri sendiri dan keluarga yang tergantung pada mereka di negara asal; Tunduk pada resolusi Sidang Umum PBB 49/165 tentang kekerasan terhadap perempuan pekerja migran, tanggal 23 Desember 1994, dan seharusnya menandatangani, meratifikasi, dan melaksanakan Konvensi Internasional 1990 mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya; Menerima dan mengimplementasi garis pedoman yang mengakui penyiksaan berkaitan dengan gender sebagai dasar bagi perempuan untuk menuntut status pengungsi, selain menandatangani dan meratifikasi Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan Protokol 1967, dan mengimplementasi Pedoman UNHCR 1991 tentang Perlindungan Perempuan Pengungsi; Menjamin bahwa semua perundangan perdagangan manusia peka jender dan memberikan perlindungan bagi hak-hak asasi manusia perempuan dan melawan penyiksaan yang dilakukan khusus terhadap perempuan; Memberikan pelatihan bagi diplomat dan pegawai layanan asing mengenai perdagangan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan akibat perdagangan; Mendirikan pusat-pusat informasi perburuhan untuk menyediakan informasi mutakhir dan praktis mengenai semua aspek migrasi perburuhan.
Catatan: Pelapor Khusus harus berterima kasih kepada Lisa Kois untuk penelitian dan panduannya. Ia juga berterima kasih kepada Janie Chuang untuk bantuan penelitiannya mengenai isu perdagangan manusia, khususnya dalam hubungan dengan proses Wina. Ia juga ingin berterima kasih kepada Aditi Menon, John Cerone, Nora V. Demleitner, Ann Jordan, Ratna Kapur, Ali Miller, Asia-Pacific Women, Law and Development, Global Survival Network, dan Deborah Anker dan Harvard Law School Program, khususnya Mimi Liu dan Tamar Tezer, untuk bantuan mereka.
67
68
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KOMNAS PEREMPUAN)
Didirikan pada tanggal 15 Oktober 1998 melalui Keputusan Presiden No. 181/1998 sebagai reaksi atas gelombang protes masyarakat, khususnya perempuan Indonesia yang terhimpun dalam Mayarakat Anti Kekerasan. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan organisasi, Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005 kemudian diterbitkan. Kelompok ini menuntut pemerintah untuk menyatakan permintaan maaf serta upaya konkrit berupa investigasi dan pengadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyerangan seksual dan perkosaan pada Kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota di Indonesia. KOMNAS PEREMPUAN adalah lembaga independen dan berwewenang penuh atas segala kegiatan yang dilakukan untuk mempromosikan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. KOMNAS PEREMPUAN berwewenang menerbitkan dan menyebarluaskan laporanlaporannya kepada masyarakat dan mempunyai otoritas melakukan penggalangan dana secara mandiri untuk melaksanakan programprogramnya. KOMNAS PEREMPUAN berprinsip bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia dan bahwa pendekatan yang peka jender dalam kerja perlindungan hak asasi manusia adalah sebuah kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, KOMNAS PEREMPUAN mengadakan kerja sama dengan berbagai organisasi dan tidak terbatas pada organisasi-organisasi pembela hak perempuan, dalam maupun luar negeri.
69
Untuk melaksanakan misinya, KOMNAS PEREMPUAN melakukan upaya-upaya (1) meningkatkan pemahaman masyarakat tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan lewat publikasi dan dialog-dialog strategis; (2) pengembangan kondisi yang mendukung penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan melalui langkah-langkah advokasi perubahan hukum dan kebijakan; (3) penguatan kapasitas pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan penanganan dampak kekerasan melalui jaringan nasional, regional, dan internasional. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program kerja yang antara lain (1) pemetaan kekerasan terhadap perempuan yang hasilnya akan rutin diterbitkan; (2) pelayanan bagi survivors dengan memfasilitasi proses belajar kolektif peningkatan pelayanan bagi perempuan korban tindak kekerasan; (3) pengembangan kerangka sistem perlindungan dan dukungan yang komprehensif dan efektif bagi saksi dan korban dalam sistem peradilan Indonesia; (4) revisi peraturan perundang-undangan yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan; serta (5) penyebaran wacana lewat diskusi dan penerbitan berbagai dokumen dan informasi.
70
PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN PELAPOR KHUSUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN, MENGENAI PERDAGANGAN PEREMPUAN, MIGRASI PEREMPUAN DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Oleh Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) Untuk Konsultasi Regional Asia Pasifik dengan Pelapor Khusus PBB mengenai Kekerasan terhadap Perempuan 19-20 Agustus 2000, Colombo, Sri Lanka Pendahuluan GAATW ingin mengucapkan selamat kepada Pelapor Khusus mengenai Kekerasan terhadap Perempuan, Radhika Coomaraswamy, untuk laporan 2000-nya mengenai perdagangan perempuan.1 Laporan tersebut adalah sebuah dokumen yang komprehensif dan jelas dalam analisisnya mengenai masalah perdagangan perempuan. Laporan itu secara akurat membeberkan kenyataan perdagangan dan migrasi perempuan. Coomaraswamy membuat pengamatan penting bahwa perdagangan bukanlah untuk dikacaukan dengan eksploitasi seksual atau migrasi tanpa dokumen. Menangani perdagangan dari perspektif hak asasi manusia, “perdagangan harus dilihat dalam konteks pelanggaran yang lebih luas yang dilakukan terhadap perempuan selama perpindahan dan migrasi mereka.”2 1 2
Selanjutnya disebut ‘Laporan’. E/CN.4/2000/68 Para 3.
71
Bagi GAATW, aspek penting Laporan itu adalah identifikasinya mengenai bagaimana konsep dan gagasan perdagangan telah berubah secara dramatis selama seratus tahun terakhir. Jika kita sungguh-sungguh dalam melihat perdagangan sebagai pelanggaran hak asasi, dan memandang perdagangan melalui perspektif hak asasi, penting untuk mempertimbangkan perdagangan dalam konteks mutakhirnya. Hal ini berarti menerima definisi perdagangan yang luas dan ekspansif seperti diusulkan oleh Pelapor Khusus, yang memfokuskan pada unsur-unsur perdagangan yang dapat diidentifikasi dengan jelas. GAATW ingin menyoroti sejumlah aspek laporan Pelapor Khusus yang kami rasakan memiliki makna khusus dan berharga secara lebih dekat. Aspek-aspek ini adalah definisi perdagangan, hakikatnya yang tanpa persetujuan, dan kritik terhadap Konvensi Perdagangan 1949. Definisi Perdagangan Coomaraswamy mencatat dalam laporannya bahwa definisi perdagangan yang ekspansif diperlukan, yang mencakup unsur-unsur umum seperti: i) ketiadaan persetujuan ii) percaloan manusia iii) transpor iv) kondisi eksploitatif dan merendahkan dari pekerjaan atau hubungan3 GAATW juga melihat perdagangan dicirikan oleh perpindahan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, dengan adanya penipuan, pemaksaan atau jeratan hutang yang ditambah dengan perbudakan, kerja paksa atau penghambaan di tempat tujuan itu. Pelbagai bidang dari PBB dan organisasi internasional lainnya juga menerima definisi dengan nada serupa seperti yang diusulkan oleh Coomaraswamy dalam laporan ini. Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Organisasi untuk Keamanan dan
3
id. Paragraf 18.
72
Kerja sama di Eropa (OSCE) semuanya menerima definisi perdagangan yang mengakuinya sebagai masalah hak asasi manusia yang melibatkan kerja paksa, penghambaan atau perbudakan dan bukan masalah yang terbatas pada prostitusi. Sebagai contoh, dalam pernyataan bersama yang disiapkan OHCHR, UNICEF, dan IOM mengenai Draf Protokol Anti-Perdagangan yang sekarang tengah dinegosiasikan di Komisi Kejahatan PBB di Wina, OHCHR, UNICEF, dan IOM mendukung definisi perdagangan ini: “perekrutan, transportasi, pemindahan, atau menyembunyikan atau menerima siapa pun dengan ancaman atau penggunaan pemaksaan atau dengan penculikan, penggelapan, penipuan, paksaan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan perbudakan, kerja paksa (termasuk kerja dengan ikatan atau jeratan hutang) dan penghambaan”.4 Jelas dalam konteks saat ini, perdagangan manusia tidak lagi terbatas pada perdagangan untuk eksploitasi seksual, atau dicirikan oleh eksploitasi seksual. Jenis bisnis atau layanan yang menjadi tujuan seseorang diperdagangkan tidak menyatakan bahwa perdagangan sudah terjadi. Orang diperdagangkan ke pelbagai jenis pekerjaan dan situasi: kerja paksa di rumah tangga, pekerja manual atu industrial di sektor formal atau informal, perkawinan paksa atau hubungan jenis lainnya, tetapi mereka selalu diperdagangkan ke dalam kerja paksa, penghambaan atau kondisi seperti perbudakan. Hakikat perdagangan yang tanpa persetujuan Di sepanjang laporannya, Pelapor Khusus menekankan hakikat perdagangan yang tanpa persetujuan. GAATW ingin menjelaskan hal ini lebih lanjut seperti ketika muncul di perdebatan yang lalu dan sekarang bahwa sementara orang masih menganggap hal ini sebagai isu persetujuan. Sikap GAATW, seperti yang ditunjukkan oleh laporan Coomaraswamy, adalah bahwa ‘perdagangan dengan persetujuan’ adalah batasan yang kontradiktif.
4
A/AC.254/27 8 Februari 2000.
73
Sementara yang lain mengusulkan definisi perdagangan “dengan atau tanpa persetujuan” dengan dasar bahwa, jika perdagangan diidentifikasi oleh hakikatnya yang tanpa persetujuan, lalu ketiadaan persetujuan adalah sesuatu yang akan perlu dibuktikan guna mendapatkan penuntutan yang berhasil terhadap para pedagang. Namun, jika perdagangan dicirikan oleh kerja paksa atau praktek seperti perbudakan (seperti direkomendasi dalam definisi perdagangan yang tercantum dalam Laporan), lalu persetujuan tidak pernah bisa dipakai sebagai pembelaan untuk kerja paksa atau praktek seperti perbudakan. Segera setelah bukti kerja paksa atau praktek seperti perbudakan sudah terlihat, pembelaan dari ‘persetujuan’ sudah tidak berarti. Investigasi yang ditangani dengan kurang baik, kurangnya pengumpulan bukti serta penuntut yang kurang terlatih adalah penyebab penuntutan yang gagal, dan aspek inilah yang perlu ditangani sehingga para penuntut dapat berhasil membuktikan kondisi kerja paksa atau praktek seperti perbudakan. Laporan Coomaraswamy mencatat bahwa Negara bertugas untuk bertindak dengan secermat-cermatnya (with due diligence); due diligence mensyaratkan “investigas tepat dan tuntas, yang hasilnya adalah penuntutan pihak-pihak bersalah dan kompensasi bagi korban”.5 Masalah saat ini adalah kekurangan Pemerintah dalam “bukan saja membangun mekanisme yang sesuai untuk pencegahan dan ganti rugi bagi orang-orang yang diperdagangkan, tetapi juga negara gagal menggunakan hukumhukum yang ada seperti hukum perkosaan, penculikan dan pemerasan untuk menuntut para pedagang”. GAATW menyetujui sepenuhnya analisis Pelapor Khusus dalam hal ini. Kritik terhadap Konvensi 1949 untuk Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap yang lain GAATW ingin memuji Pelapor Khusus terutama mengenai kritiknya terhadap Konvensi Perdagangan Manusia 1949. Sejak lama, GAATW telah melakukan kampanye untuk peninjauan dan penggantian Konvensi ini dengan alasan bahwa konvensi tersebut tidak memiliki definisi mengenai perdagangan manusia, konvensi tersebut melihat perdagangan manusia dalam konteks prostitusi dan bukan untuk tujuan lainnya, tidak
5
supra catatan 2 di Paragraf 53.
74
membedakan antara prostitusi suka rela dan paksa dan tujuannya bukanlah untuk melindungi hak asasi manusia-manusia yang diperdagangkan, tetapi lebih pada memberantas prostitusi dalam segala bentuknya. Kami senang Pelapor Khusus memperlihatkan kekurangan di dalam Konvensi ini dan bahwa ia mencatat ketidakefektivan Konvensi baik dalam hal kegagalannya dalam “melindungi hak-hak perempuan yang diperdagangkan maupun dalam memerangi perdagangan.”6. Lebih lanjut, Laporan itu mengemukakan dampak negatif hukum dan kebijakan yang didasarkan pada Konvensi 1949, dalam arti peningkatan kriminalisasi pekerja seks, yang diperdagangkan atau sebaliknya, walaupun kenyataannya Konvensi tidak melarang prostitusi itu sendiri. Pengaruh pendekatan Konvensi 1949 adalah bahwa ia mendorong industri seks sembunyi-sembunyi, sehingga perempuan yang masih berada di dalam industri seks (diperdagangkan atau tidak) semakin berada dalam posisi rentan daripada sebaliknya karena ketidaklegalan industri itu. Kejadian-kejadian pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan di dalam industri seks cenderung meningkat ketimbang menurun di bawah hukum dan kebijakan yang mengikuti pendekatan Konvensi 1949. Masalah utama lainnya dengan posisi penghapusan Konvensi 1949 adalah bahwa ia tidak memberikan ruang untuk mendengar suara-suara perempuan di dalam industri seks. Lebih banyak pekerjaan harus dilakukan dengan perempuan dalam prostitusi untuk menentukan tingkat paksaan yang terlibat dalam industri seks. Rekomendasi dan Kesimpulan GAATW gembira untuk mendukung rekomendasi dari Laporan Pelapor Khusus. Rekomendasi adalah langkah praktis, yang menangani kenyataan situasi perdagangan sambil memberikan peran yang jelas bagi Negara-negara untuk dijalankan dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia dalam perdagangan dan dalam melindungi dan memperbaiki hak asasi manusia perempuan yang diperdagangkan. Hal ini tercermin dalam keperluan akan kesempatan yang lebih bagi migrasi kerja legal bagi perempuan dan dalam rekomendasi Coomaraswamy menyatakan bidang-bidang tertentu tempat Negara harus memenuhi kewajibannya untuk memberi pelayanan khusus
6
id. di Paragraf 22.
75
dan mendukung korban-korban yang diperdagangkan. Bidang yang memberikan bantuan sambil melindungi hak asasi perempuan yang diperdagangkan sangatlah penting dan sangat perlu untuk segera diimplementasi. Dalam hubungan dengan Konvensi Perdagangan 1949, GAATW juga ingin merekomendasikan untuk dilakukan lebih banyak penelitian mengenai dampak hukum dan kebijakan yang didasarkan pada Konvensi 1949 mengenai perempuan migran, perempuan yang diperdagangkan serta pekerja seks di sejumlah negara. Kami harap Pelapor Khusus akan tertarik untuk mendukung proyek penelitian semacam itu yang didasarkan pda kritik terhadap Konvensi 1949 dalam laporannya. GAATW senang untuk mengatakan bahwa Pelapor Khusus telah mendorong pemerintah-pemerintah dan masyarakat internasional untuk menggunakan Standar Hak Asasi Manusia untuk Perlakuan terhadap Orang-orang yang diperdangkan. 7, yang diluncurkan tahun 1999 oleh GAATW, Foundation Against Trafficking in Women dan International Human Rights Law Group. Standar didasarkan pada instrumen hak asasi manusia yang ada serta norma-norma hukum internasional. Standar tersebut adalah rekomendasi praktis mengenai bagaimana pelaku pemerintah dan bukan-pemerintah dapat mengambil langkah efektif terhadap perdagangan yang memberi perlindungan terbaik pada hak-hak orang yang diperdagangkan. GAATW memiliki rencana untuk implementasi Standar Hak Asasi Manusia selanjutnya pada tingkat nasional dan internasional, yang dengan sangat bahagia akan segera kami bicarakan dengan Pelapor Khusus. Sekali lagi kami mengucapkan selamat pada Pelapor Khusus atas kerja baiknya dalam hal kekerasan terhadap perempuan, khususnya menyangkut isu perdagangan perempuan dan migrasi perempuan seperti diilustrasikan dalam Laporan terakhirnya.
7
id. di Paragraf 106.
76