PER RBANDIN NGAN ME ETODE PERAMA P ALAN INF FLASI: O ORDINAR RY LEAST T SQUAR RE (OLS), EXPON NENTIAL L SMOOT THING DA AN ARIM MA
FRISKA A ZEHAN N PHALU UPY
DEPARTE D EMEN ILM MU EKON NOMI FAKU ULTAS EK KONOMI DAN MA ANAJEME EN INSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2013 3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Metode Peramalan Inflasi: Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013 Friska Zehan Phalupy NIM H14090125
ABSTRAK FRISKA ZEHAN PHALUPY. Perbandingan Metode Peramalan Inflasi: Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis metode terbaik untuk meramalkan tingkat inflasi di Indonesia menggunakan beberapa metode peramalan time series, seperti Ordinary Least Square (OLS), exponential smoothing dan ARIMA. Penelitian ini menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK) dari bulan Agustus 1983 sampai Desember 2012 untuk menghitung tingkat inflasi, dan diperoleh perhitungan inflasi year on year dari bulan Agustus 1984 sampai Desember 2012. Agustus 1984 sampai Desember 2011 adalah data interval contoh yang digunakan untuk memperoleh hasil peramalan inflasi, sedangkan Januari 2012 sampai Desember 2012 digunakan sebagai data pembanding dengan hasil peramalan inflasi yang telah diperoleh sebelumnya. Berdasarkan hasil uji dari setiap metode dan hasil evaluasi menggunakan Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) sebagai perhitungan dari ketepatan prediksi peramalan, diperoleh bahwa metode ARIMA adalah metode terbaik untuk meramal tingkat inflasi karena memiliki nilai MAE, MSE dan MAPE terkecil. Kata kunci: Inflasi, Ordinary Least Square, Exponential Smoothing, ARIMA
ABSTRACT FRISKA ZEHAN PHALUPY. Comparative of Inflation Forecasting Method: Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing and ARIMA. Supervised by IMAN SUGEMA The purpose of this study is analyze the best method to forecast inflation in Indonesia using several method of time series forecasting, Ordinary Least Square (OLS), exponential smoothing and ARIMA. This study use Consumer Price Index (CPI) data from August 1983 to December 2012 to measure the level of inflation,and obtained the measure of year-on-year inflation from August 1984 to December 2012. August 1984 to December 2011 is the sample interval data that used to obtain the result of inflation forecasting, while January 2012 to December 2012 as a comparative data with the result of inflation forecasting which has been obtained before. Based on the test results of each method and the evaluation results using Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) and Mean Absolute Percentage Error (MAPE) as a measure of forecasting accuracy assessment, obtained that ARIMA method is the best method than others because it has the smallest value of MAE, MSE and MAPE. Keywords: Inflation, Ordinary Least Square, Exponential Smoothing, ARIMA
PERBANDINGAN METODE PERAMALAN INFLASI: ORDINARY LEAST SQUARE (OLS), EXPONENTIAL SMOOTHING DAN ARIMA
FRISKA ZEHAN PHALUPY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Perbandingan Metode Peramalan Inflasi: Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA : Friska Zehan : H14090125
Disetujui oleh
Dr.Ir. Iman Sugema, M.Ec Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga berhasil ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini ialah pemilihan metode terbaik untuk meramal tingkat inflasi, dengan judul Perbandingan Metode Peramalan Inflasi: Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan baik arahan dan motivasi kepada penulis, kepada Ibu Sahara, M.Si selaku dosen penguji utama dan kepada Ibu Ir. Dewi Ulfah, S.P selaku komisi pendidikan, atas kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat yang diberikan kepada penulis, serta kepada ka Ashfahanirrohimah, ka Ade Kholis dan ka Heni Hasanah selaku asisten dosen yang senantiasa memberikan masukan yang sangat bermanfaat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta adik tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada teman satu bimbingan Farhana, Yeni dan Lintang yang selalu kompak dan banyak membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada para sahabat terdekat yang selalu ada Maria Utari, Farhana Zahrotunnisa, Nadya Astrid, Nina Hanifa, Rezka Farah, teman kamar asrama 161 Tuhfah Amaliah, Annisa N Ramadhani, dan Asyrafina, teman-teman Pakuan Teguh Regency Bagas Purnama, Nisa Tuti, Meiyora, Puspita Mega, Adrian Godek, Jajang, Fahmi, Ardhi, Bronson, Bram, Taufik Tole dan Fuad yang selalu jadi tempat berbagi tawa, HIPOTESA FEM IPB 2011, teman TPB kelas A21 dan teman-teman KSS, serta rekan-rekan Ilmu Ekonomi angkatan 46 lainnya atas segala dukungan yang telah diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Friska Zehan Phalupy
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teori
3 3
Penelitian Terdahulu
18
Kerangka Pemikiran
19
METODE PENELITIAN
21
Jenis dan Sumber Data
21
Metode Analisis Data
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
23
Inflasi di Indonesia
23
Uji Stasioneritas Data
25
Pemilihan MetodeTerbaik
25
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Tabel Uji Statistik DW Penentuan Model ARIMA Tentatif untuk Data Musiman Hasil pengujian akar unit pada level Hasil Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Hasil Uji ARCH-LM model AR(5) Hasil Uji ARCH-LM model AR(5) GARCH (2.1) Perbandingan inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan dengan model AR(5) GARCH(2.1) 8 Perbandingan Inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan Single Exponential Smoothing 9 Hasil Uji ARCH-LM model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 10 Hasil Uji ARCH-LM model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) 11 Perbandingan Inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan dengan model ARIMA (2,0,0) )(2,0,0)12 GARCH (1,0) 12 Hasil uji seluruh metode
11 15 25 26 26 27 27 28 29 29 30 30
DAFTAR GAMBAR 1 Inflationary gap 2 Demand Pull Inflation 3 Cost Push Inflation 4 Kerangka pemikiran 5 Inflasi (year-on-year) 6 Perbandingan Hasil Peramalan Seluruh Metode
4 6 6 20 24 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Data yang Digunakan Plot ACF dan PACF Pemilihan Metode AR Terbaik Model AR(5) Pemilihan Model ARCH-GARCH Terbaik Pada AR(5) Model AR(5) GARCH (2,1) Hasil Peramalan AR(5) GARCH(2,1) Output Single Exponential Smoothing Kemungkinan Model Seasonal ARIMA Pemilihan Model ARCH-GARCH Terbaik Pada ARIMA(2,0,0)(2,0,0)12 Model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) Hasil Peramalan ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0)
36 43 44 44 45 46 47 48 49 50 51 52
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bank Indonesia selaku otoritas kebijakan moneter memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan tersebut sebagaimana tercantum dalam UU No.3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia yang berbunyi “tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan menstabilkan nilai rupiah”. Hal yang dimaksud dengan menjaga kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada tingkat inflasi. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan 2008). Inflasi merupakan permasalahan yang sering terjadi di beberapa negara, baik negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut terdapat dua hal penting, yaitu menyangkut definisi kenaikan harga yang terjadi secara terus menerus (a persistent upward movement) dan kenaikan harga terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (the general price level movement). Laju inflasi harus mencerminkan perubahan harga dari sejumlah barang dan jasa, maka pada umumnya laju inflasi dihitung menggunakan angka indeks yang tersusun dari beberapa indikator harga. Indikator harga yang paling sering digunakan sebagai acuan oleh pelaku ekonomi dalam melakukan keputusan ekonominya adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Terdapat sejumlah alasan mengapa IHK lebih banyak digunakan dibandingkan indikator harga lainnya, yaitu: (1) IHK dipublikasikan secara periodik dengan jangka waktu yang paling pendek (bulanan); (2) IHK mengukur kenaikan biaya hidup (cost of living) karena mencakup jenis barang dan jasa yang paling banyak dibeli dan dikonsumsi masyarakat. (Pohan 2008). Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat menurun, hal ini akan menyebabkan standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara lain menyebabkan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif, sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.1) Begitu besarnya pengaruh inflasi terhadap perekonomian, sehingga perlu dikendalikan untuk mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil. Disisi lain 1
www.bi.go.id, diakses pada tanggal 12 Maret 2013 pukul 20.00
2
terdapat ketidakpastian tingkat inflasi di masa depan yang menyebabkan investor cenderung melakukan investasi finansial jangka pendek yang bersifat spekulatif daripada melakukan investasi proyek riil yang bersifat produktif. Pentingnya kestabilan tingkat inflasi serta karena adanya ketidakpastian mengenai tingkat inflasi di masa depan menyebabkan perlunya dilakukan peramalan inflasi yang efektif dan rasional untuk dapat meramalkan tingkat inflasi di masa depan, sehingga nantinya dapat mempermudah pelaku ekonomi untuk membuat rencana keputusan ekonominya. Perumusan Masalah Inflasi memiliki efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi karena tingkat inflasi yang semakin tinggi akan menyebabkan tingginya ketidakpastian mengenai tingkat inflasi di masa depan (Ma 1998). Hal tersebut menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan ekonomi, karena ketidakpastian inflasi menimbulkan efek yang melemahkan aktifitas ekonomi. Hutabarat (2003) menyatakan bahwa model proyeksi inflasi menjadi dasar pijakan awal sebelum mempertimbangkan berbagai aspek lain dalam memutuskan kebijakan moneter. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana memperkirakan laju inflasi bulanan dengan akurat dan cepat. Berdasarkan latar belakang dan uraian yang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan mengenai penelitian yang dilakukan 1 Bagaimana perkembangan inflasi di Indonesia? 2 Bagaimana model peramalan inflasi menggunakan masing-masing metode peramalan time series? 3 Dari beberapa metode yang digunakan, metode mana yang terbaik untuk melakukan peramalan inflasi berdasarkan nilai ketepatan peramalan terkecil? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan penelitian ini adalah 1 Menganalisis perkembangan inflasi di Indonesia. 2 Menguji masing-masing metode peramalan time series yang digunakan untuk melakukan peramalan inflasi. 3 Mengetahui metode yang terbaik untuk melakukan peramalan inflasi Penelitian ini menggunakan tiga metode peramalan time series untuk meramalkan tingkat inflasi, yaitu Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA. Dari ketiga metode tersebut nantinya akan diperoleh metode terbaik untuk melakukan peramalan inflasi berdasarkan nilai terkecil dari pengukuran ketepatan peramalan yaitu Mean Square Error (MSE), Mean Absolute Error (MAE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Penelitian ini menggunakan data inflasi yang diperoleh dari perhitungan data Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan dari bulan Agustus 1983 sampai Desember 2012.
3
Manfaat Penelitian 1 2 3
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagi penulis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi wawasan baru mengenai pentingnya peramalan inflasi di Indonesia serta mengetahui metode terbaik yang dapat digunakan untuk meramalkan tingkat inflasi. Bagi pemerintah dan otoritas kebijakan moneter, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi informasi mengenai metode time series terbaik untuk meramal tingkat inflasi. Bagi kalangan akademisi, bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan menjadikan penelitian ini sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teori Inflasi Mankiw (2007) menyebutkan inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. Friedman dalam Miskhin (2008) menyatakan bahwa inflasi selalu dan dimana pun merupakan fenomena moneter. Ia menganggap bahwa sumber inflasi adalah tingkat pertumbuhan uang beredar yang tinggi, inflasi dapat dihindari hanya dengan mengurangi tingkat pertumbuhan uang beredar hingga tingkat yang rendah. Menurut Ackley dalam Sasana (2004), inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang-barang dan jasa secara umum. Kenaikan barang ini bukan hanya terjadi pada satu barang saja, namun dapat berdampak pada kenaikan harga barang lain. Oleh karena itu untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks harga yang meratarata harga komoditi yang berbeda-beda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut dikenal sebagai Indeks Harga Konsumen (IHK). Teori Inflasi Secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi yang masingmasing menyoroti aspek-aspek tertentu, yaitu: a. Teori Kuantitas Uang Kaum monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter yang terjadi karena adanya peningkatan jumlah uang beredar, sehingga menyebabkan kenaikan dalam pertumbuhan uang beredar dan dipercaya sebagai pemicu utama terjadinya inflasi. Tingkat harga yang berlaku (P) akan berubah secara proposional dengan perubahan uang yang beredar, dimana kecepatan transaksi (V) dan volume transaksi (T) akan dianggap konstan (Mankiw 2007). Hubungan diantara transaksi dan uang ditunjukan dalam persamaan berikut yang disebut persamaan kuantitas Uang x Perputaran = Harga x Transaksi M x V = P x T
4
Diasumsikan perputaran uang (V) adalah konstan. Oleh karena itu perubahan dalam kuantitas uang (M) harus menyebabkan perubahan yang proporsional dalam GDP nominal (PY), yaitu jika perputaran uang adalah tetap, kuantitas uang menentukan nilai mata uang dari output perekonomian. (Mankiw, 2007) b. Teori Keynes Menurut Keynes, inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan barang dan jasa yang lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu sendiri, dimana output dalam jangka panjang dianggap tetap karena seluruh kapasitas produksi telah dipergunakan (full employment) sehingga kurva AS vertikal. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia. Inflationary gap ini diawali dari adanya peningkatan pengeluaran total yang menyebabkan permintaan agregat demand sehingga kurva AD bergeser ke kanan. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta. Keadaan ini menggeser permintaan agregat bergerak naik melebihi keadaan output full employment. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kelebihan permintaan pada pasar barang dan jasa sehingga harga meningkat. Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor produksi, sehingga kuantitas permintaannya semakin meningkat. Kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi inilah yang menyebabkan terjadi inflasi dalam perekonomian. (Nopirin 2000). P AS P1 P0
E1 inflationary gap E0 AD1 AD0
Sumber: Mankiw, 2007
Y0
Y1
Y
Gambar 1 Inflationary gap Kalangan monetaris lebih menekankan terjadinya kenaikan permintaan agregat sebagai akibat dari kenaikan ekspansi jumlah uang yang beredar. Hal tersebut tidak disangkal oleh Keynes, namun ditambahkan bahwa kenaikan permintaan agregat bisa juga terjadi karena peningkatan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah serta ekpor netto. c. Teori Strukturalis Dasar pemikiran dari teori strukturalis adalah inflasi terjadi akibat adanya kendala struktural dalam perekonomian. Kaum strukturalis berpendapat bahwa penyebab inflasi di negara-negara berkembang adalah peningkatan harga komoditi pangan dan inflasi dari luar negeri. Inflasi di negara berkembang umumnya ditimbulkan oleh tekanan-tekanan, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi
5
terhadap struktur sosial dan ekonomi yang masih terbelakang. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian negara berkembang. Menurut teori ini penyebab terjadinya kekakuan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara berkembang adalah sebagai berikut: 1 Supply dari sektor pertanian tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2 Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang, baik bahan baku, input antara, maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan sektro industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3 Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibat dari timbulnya defisit anggaran belanja sehingga membutuhkan pinjaman luar negeri. Jika pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit anggaran dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Sumber Inflasi Penyebab timbulnya inflasi berasal dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation) dan sisi penawaran (Cost Pull Inflation ). a Demand Pull Inflation Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga. Pergeseran kurva dari D1 ke D2 disebabkan adanya kenaikan permintaan dari Q1 ke Q2 yang berdampak kepada kenaikan harga yaitu dari P1 ke P2. Jika permintaan terus meningkat, menyebabkan harga juga akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan kenaikan harga terus-menerus yang akan berdampak kepada terjadinya inflasi.
6
P
S
P3 P2 D3
P1
D2 D1 Sumber: Mankiw, 2007
Q1 Q2
Q3
Q
Gambar 2 Demand Pull Inflation b Cost Push Inflation Inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi akan menaikan harga dan turunnya produksi. S3 S2 P S1 P3 P2 P1 D
Sumber: Mankiw, 2007
Q1
Q2 Q3
Q
Gambar 3 Cost Push Inflation Penurunan produksi ditunjukan dengan pergeseran dari S1 ke S2 yang berdampak terhadap turunnya jumlah barang yang ditawarkan yaitu dari Q1 ke Q2. Hal ini akan menyebabkan harga barang hasil produksi meningkat yaitu dari P1 ke P2. Jika hal ini terus terjadi, maka akan mendorong kenaikan terus-menerus terhadap harga yang akan berdampak kepada terjadinya inflasi.
7
Indeks Harga Konsumen (IHK) Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan suatu indikator harga yang digunakan untuk melihat keberhasilan moneter dalam mengendalikan inflasi, karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibanding dengan indikator harga lainnya seperti Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan PDB Deflator. IHK merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur rata-rata perubahan harga secara umum dari sejumlah jenis barang dalam kurun waktu tertentu atau disebut juga dengan inflasi. Besarnya inflasi sangat tergantung pada besarnya kenaikan harga dan bobot barang dan jasa yang masuk dalam penghitungan inflasi tersebut. Penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokkan lagi menjadi 7 kelompok utama, yaitu:2 1 Bahan makanan 2 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 3 Perumahan 4 Sandang 5 Kesehatan 6 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 7 Transportasi dan Komunikasi Kelompok barang dan jasa diatas kemudian dikelompokkan kembali menjadi tiga kelompok besar, yaitu komoditi dalam kelompok inti, komoditi dalam administered prices serta komoditi dalam volatile prices. Penghitungan inflasi inti tidak selalu sama untuk setiap negara. inflasi inti di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah dikeluarkan bahan makanan yang harganya sangat berfluktuasi (volatile food) dan barang-barang yang harganya ditentukan oleh kebijakan pemerintah (administered prices). Berdasarkan jangka waktu perubahan harga dalam jangka waktu tertentu, inflasi dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 1 Inflasi Bulanan, yakni inflasi yang terjadi selama satu bulan tertentu. Dengan kata lain, inflasi bulanan merupakan presentase perubahan IHK bulan tertentu terhadap IHK bulan sebelumnya. Contoh: IHK bulan Juni 2011 sebesar 126,50% dan IHK bulan Juli 2011 sebesar 127,35%, maka inflasi bulan Juli 2011 adalah sebesar 0,67%. Yakni, presentase perubahan IHK bulan Juli 2011 terhadap IHK bulan Juni 2011 yang diformulasikan ke dalam rumus matematik adalah (127,35-126,50)/126,50x100%=0,67%. 2 Kumulatif/Tahun Kalender, yakni inflasi yang terjadi selama bulan Januari sampai dengan bulan tertentu. Misalkan inflasi kumulatif pada bulan Juli 2011 berarti inflasi Januari 2011 sampai Juli 2011. Dengan kata lain, inflasi tahun kalender merupakan presentase perubahan IHK bulan tertentu terhadap IHK bulan Desember tahun sebelumnya. Contoh: IHK bulan Juli 2011 sebesar 127,35, IHK Desember 2010 sebesar 125,17 maka inflasi kumulatif bulan Juli 2011 adalah(127,35%-125,17%)/125,17x100%=1,74%. 3 Year on Year (Y0Y), yakni inflasi yang terjadi selama setahun terakhir dari bulan tertentu tahun sebelumnya sampai dengan bulan yang sama tahun sekarang. Misalkan inflasi year on year pada bulan Juli, berarti inflasi bulan Juli 2011 terhadap inflasi bulan Juli 2010. Dengan kata lain, inflasi yoy merupakan presentase perubahan IHK bulan tertentu tahun sekarang 2
www.bps.go.id, diakses pada tanggal 7 Juni 2013 pukul 15.00
8
terhadap IHK bulan yang sama tahun sebelumnya. Contoh: IHK bulan Juli 2011 sebesar 127,35 dan IHK bulan Juli 2010 sebesar 121,74 maka inflasi yoy bulan Juli 2011 adalah (127,35-121,74)/121,74x100%=4,61%.3 Formulasi penghitungan IHK menggunakan rumus Modified Laspeyers adalah sebagai berikut: P ∑ ( ∑ki=1 ni P n-1 i -Q0i P n-1 i IHKt = ∑ki=1 P0i -Q0i dimana: IHKn = indeks periode ke-n = harga jenis barang i pada periode ke-n Pni P(n-1)i = harga jebis barang i pada periode ke-n-1 P(n-1_i.Q0i = nilai konsumsi jenis barang i pada periode ke-(n-1) P01.Q0i = nilai konsumsi jenis barang i pada tahun dasar k = jumlah jenis barang paket komoditas Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui dengan formulasi perhitungan laju inflasi sebagai berikut: IHKt -IHKt-1 πt = x100% IHKt-1 dimana: IHKt = IHK periode ke-t IHKt-1 = IHK periode sebelumnya Peramalan Peramalan adalah metode untuk memperkirakan suatu nilai di masa depan dengan menggunakan data masa lalu. Peramalan bukanlah suatu dugaan karena dugaan hanya mengestimasikan masa mendatang berdasarkan perkiraan, sedangkan peramalan menggunakan perhitungan matematis sebagai bahan pertimbangan. Menurut Subagyo (1986) peramalan bertujuan mendapatkan nilai yang bisa meminimumkan kesalahan meramal (forecast error) yang diukur berdasarkan nilai Mean Square Error (MSE), Mean Absolute Error (MSE) dan lain sebagainya. Henke dan Reitch (1995) menyatakan terdapat dua langkah dasar yang harus dilakukan dalam menghasilkan suatu peramalan yang akurat dan berguna. Langkah dasar yang pertama adalah pengumpulan data yang relevan dengan tujuan peramalan yang dimaksud dan menurut informasi yang dapat menghasilkan peramalan yang akurat. Langkah yang kedua adalah memilih metode peramalan yang tepat yang akan digunakan dalam mengolah informasi yang terkandung dalam data yang telah dikumpulkan. Jenis-jenis Metode Peramalan Menurut Assauri (1984) peramalan dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu peramalan dan dari sifat peramalan. Jika dilihat dari jangka waktu peramalan yang disusun, maka peramalan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:
3
www.bi.go.id, diakses pada tanggal 11 Mei 2013 pukul 10.00
9
a
Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun atau tiga semester. b Peramalan jangka pendek, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan dengan jangka waktu yang kurang dari satu setengah tahun atau tiga semester. Berdasarkan sifat ramalan yang telah disusun, maka peramalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang menggunakan model matematis dengan data masa lalu, tujuannya mempelajari apa yang telah terjadi di masa lalu untuk meramalkan nilai-nilai yang akan datang. Peramalan kuantitatif dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu: 1 Peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu yang disebut deret waktu (time series). Model data time series melakukan pendugaan masa depan berdasarkan nilai masa lalu dari suatu variabel untuk menemukan pola dalam deret data historis. 2 Peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhinya yang disebut model kausal/ sebab akibat. b Peramalan kualitatif, yaitu menggunakan faktor seperti intuisi, emosi, pengalaman. Hasil peramalan yang dibuat sangat tergantung pada orang yang membuatnya karena ditentukan berdasarkan pemikiran yang intuisi, pendapat dan pengetahuan serta pengalaman dari penyusunnya. Uji Stasioneritas Hal yang paling penting berkaitan dengan penelitian data time series adalah stasioneritas. Data time series dikatakan stasioner jika secara stokastik menunjukan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pola data tersebut. Data yang non stasioner akan menghasilkan regresi palsu atau suporious regression yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang tampak signifikan secara statistik, padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan. Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey Fuller, dasar uji stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut: Yt =ρYt-1 +εi (2.1) dimana ρ bernilai -1≤ρ≤0 yaitu koefisien autoregresif dan et adalah residual yang bersifat random dimana residualnya memiiki mean nol, varians konstan dan nonautokorelasi. Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan Yt memiliki ρ=1 maka dapat dikatakan variabel yang diuji memiliki akar unit. Jika suatu data memiliki data akar unit, maka data tersebut tidak stasioner. Dalam bentuk hipotesis dapat ditulis: H0:ρ=1 (series memiliki akar unit) H1:ρ≠1 (series tidak memiliki akar unit) Dengan menggunakan uji ADF (Augmented Dickey Fuller), suatu variabel dapat dilihat kestasionerannya. Jika koefisien ADF statistic lebih besar dari Critical Value McKinnon (1%, 5%, 10%) artinya terima H0 dimana series
10
memiliki akar unit dan dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut tidak stasioner. Jika variabel tidak stasioner pada level, maka dilanjutkan ke tahap uji derajat integrasi (integration test). Jika koefisien ADF statistic lebih kecil dari Critical Value Mckinnon (1%, 5%, 10%) artinya tolak H0 dimana series tidak memiliki akar unit dan dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut stasioner. Uji Lag Optimal Uji lag optimal harus mempertimbangkan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang disetimasi menjadi semakin banyak sehingga tidak efisien. Pengujian lag optimal dapat memanfaatkan beberapa kriteria informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQC). Penelitian ini menggunakan Schwarz Information Criterion (SIC) untuk menentukan lag optimal. SIC dihitung berdasarkan rumus ∑ ε2i k SIC= log + log n n n 2 dimana εi adalah kuadrat residual, k adalah jumlah peubah independen dan n menyatakan jumlah observasi. Panjang lag yang dipilih didasarkan pada nilai SIC yang minimum. Metode Peramalan Time Series a Analisis Ordinary Least Square (OLS) Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas. Terdapat dua bentuk model dalam analisis regresi, yaitu model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Model persamaan tunggal terbagi menjadi analisis regresi linear sederhana dan analisis regresi linear berganda. Analisis regresi sederhana adalah analisis regresi yang persamaannya linear dengan jumlah predictor hanya satu, sedangkan analisis regresi linear berganda adalah analisis regresi yang bentuk persamaannya linear dengan jumlah predictor lebih dari satu Ordinary Least Square (OLS) merupakan metode estimasi yang sering digunakan untuk mengestimasi fungsi regresi populasi dan fungsi regresi sampel. Kriteria dari OLS adalah “line of best fit” atau dengan kata lain jumlah kuadrat dari deviasi antara titik-titik observasi dengan garis regresi adalah minimum. Asumsi pada model regresi linear berganda, yaitu : 1 Residual menyebar normal, εi ~N(0,σ2 ) 2 Nilai harapan residual sama dengan nol E εi =0, dan ragam residual adalah konstan Var(εi)=σ2 3 Tidak ada korelasi antar galat atau antar sisaan saling bebas, Cov εi ,εj =0, dimana i≠j 4 Tidak ada korelasi yang tinggi bahkan sempurna antar peubah bebas dalam model
11
Asumsi-asumsi di atas disebut sebagai asumsi klasik model regresi linear (Classic Linear Regression Model/CLRM) oleh Gauss Markov. Apabila keempat asumsi tersebut dipenuhi, maka model tersebut dapat dikatakan BLUE (Best Linear Unbias Estimate). Jika terjadi pelanggaran, asumsi model tersebut tidak bisa dikatakan BLUE. (Gujarati 2006). Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah: 1 Autokorelasi Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dan ruang (Gujarati 2006). Akibat dari autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dan varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada semestinya sehingga menyebabkan R2 menjadi lebih tinggi. Mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam output eviews dan membandingkan DW statistik dengan DW tabel. Tabel 1 Tabel Uji Statistik DW Ada autokorelasi positif
2
Tidak dapat diputuskan
dL
dU
Tidak ada auokorelasi
4-dU
Tidak dapat diputuskan
Ada autokorelasi negatif
4-dL
4
Sumber: Gujarati, 2006
Selain membandingkan nilai DW-statistik dengan DW-tabel, autokorelasi juga dapat dideteksi dengan menggunakan BreucshGodfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis yang digunakan dalam uji Breush-Godfrey adalah H0 : tidak ada autokorelasi H1 : ada autokorelasi Jika nilai p-value kurang dari taraf nyata maka tolak H0, artinya model mengandung autokorelasi. Penelitian ini menggunakan BreucshGodfrey Serial Correlation LM Test.untuk mendeteksi apakah model mengandung autokorelasi atau tidak. 2 Multikolinearitas Multikolinearitas yaitu terdapatnya hubungan linier yang sempurna diantara variabel yang menjelaskan model regresi. Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat t-statistik dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Gujarati (2006) mengatakan bahwa multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa indikator sebagai berikut: a R2 sangat tinggi, tetapi sedikit rasio t yang signifikan b Korelasi berpasangan yang tinggi diantara variabel penjelas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan mengeluarkan satu atau lebih variabel dari model kolinear atau bisa dengan meningkatkan ukuran sample dengan mencari data tambahan.
12
3 Uji Kenormalan Regresi berganda menggunakan asumsi bahwa kumpulan datanya memiliki error term yang terdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai probablitas pada histogram-normality test. Jika nilai probability > α, maka error terms terdistribusi normal, sebaliknya jika nilai probability < α, maka error terms tidak terdistribusi normal. Gujarati (2006) menyatakan jika jumlah observasi diatas 100, maka uji normalitas dapat diabaikan. 4 Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah kondisi dimana nilai varian dari variabel independen tidak memiliki nilai yang sama atau nilai ragam error term bervariasi untuk setiap observasi (Gujarati 2006). Akibat adanya heteroskedastisitas adalah estimator OLS menjadi tidak efisien. Bagi data yang bersifat heteroscedastic perhitungan variannya lebih tepat jika menggunakan model ARCH-GARCH. Salah satu uji yang dapat digunakan dalam mendeteksi heteroskedastisitas atau efek ARCH adalah uji ARCH-LM dengan menggunakan hipotesis berikut: H0: tidak ada efek ARCH (homoskedastisitas) H1: ada efek ARCH (heteroskedastisitas) Jika nilai prob Chi-Squared kurang dari taraf nyata 5% maka tolak H0, sehingga dapat dikatakan bahwa model memiliki efek ARCH (heteroskedastisitas) sehingga perlu melanjutkan pada pemodelan ARCH-GARCH. b Metode Exponential Smoothing Teknik pemulusan eksponensial (exponential smoothing) adalah prosedur yang dapat merevisi secara kontinu hasil peramalan dengan informasi terbaru yaitu menggunakan bobot yang berbeda untuk data masa lalu dan bobot tersebut mempunyai ciri menurun secara eksponensial. Peramalan dilakukan dengan memberikan bobot yang lebih tinggi untuk data terbaru dan untuk data kurun waktu sebelumnya dibobot yang lebih rendah. Metode ini memerlukan adanya penentuan parameter tertentu dan nilai dari parameter ini terletak antara 0 dan 1. Diasumsikan nilai peramalan satu periode yang akan datang adalah pejumlahan dua komponen. Pertama adalah komponen hasil peramalan terakhir yaitu Yt. Kedua adalah komponen galat yang terjadi karena perubahan kondisi terbaru. Jika St adalah nilai yang akan datang dari hasil peramalan saat ini, St-1 adalah nilai sekarang dari hasil peramalan satu periode yang lalu. (Firdaus 2006). Beberapa metode yang termasuk dalam metode exponential smoothing, antara lain: 1 Pemulusan eksponensial tunggal (single exponential smoothing) digunakan pada data yang tidak mengandung tren maupun pola musiman. Rumus untuk single exponential smoothing adalah sebagai berikut: St =αYt +(1-α)St-1 dimana: St = nilai yang akan datang dari hasil peramalan saat ini = nilai sekarang dari hasil peramalan satu periode lalu St-1 Yt = hasil peramalan pada waktu t α = konstanta perataan antara 0 sampai 1
13
2
Hasil peramalan tergantung pada besarnya α dan penetapan Yt. Bila α semakin mendekati 0, berarti ramalan akan semakin mendekati nilai observasi sebelumnya. Nilai α yang besar biasanya tepat untuk peramalan yang menghendaki respon yang cepat. Pemulusan eksponensial ganda (double exponential smoothing) digunakan untuk menangani pola tren pada data. Rumus double exponential smoothing adalah sebagai berikut: Yt+p = At +Tt(p)
At = αYt + 1-α (At-1 +Tt-1 )
3
Tt = β At -At-1 +(1-β)Tt-1 dimana: Yt-p = nilai ramalan At = nilai pemulusan tunggal Tt = pemulusan tren α.β = konstanta dengan nilai antara 0 dan 1 Double Exponential smoothing pada metode Holt hanya bisa digunakan untuk data yang tidak mengandung faktor musiman. Jika data yang akan dianalisis merupakan data musiman maka diperlukan suatu metode pemulusan yang dapat menyelesaikan faktor musiman secara langsung. Pemulusan eksponensial tripel (triple exponential smoothing) digunakan untuk menangani pola tren dan pola musiman pada data. Metode tren dan musiman tiga parameter dari Winter, merupakan perluasan dari metode dua parameter dari Holt dengan tambahan satu persamaan untuk mengatasi pola musiman pada data. Rumus untuk tripel exponential smoothing adalah sebagai berikut: at = α Yt -Snt-1 + 1-α (at-1 +bt-1 ) bt = β at -at-1 + 1-β (bt-1 )
Snt = γ Yt -at + 1-γ (Snt-1 ) Yt+m = at +bt (m) +Snt-L+m dimana: at = Pemulusan terhadap data pada periode t bt = Pemulusan terhadap trend pada periode t = Pemulusan musiman It Snt = Pemulusan terhadap variasi musiman pada periode t Yt+m = Ramalan m periode ke depan setelah periode t L = Banyaknya periode dalam satu tahun m = Periode masa mendatang α,β,γ = Konstanta dengan nilai antara 0 dan 1 c Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Model Box-Jenkins (ARIMA) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu model autoregressive (AR), moving average (MA) dan model campuran autoregressive moving average (ARIMA) yang mempunyai karakteristik dari dua model pertama. Metode Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average (SARIMA) merupakan metode ARIMA yang digunakan untuk menyelesaikan time series musiman.
14
1) Autoregressive Model (AR) Bentuk umum model autoregressive dengan ordo p (AR(p)) atau model ARIMA (p,0,0) dinyatakan sebagai berikut: Z δ Z Z ε (2.2) dimana: Zt = observasi deret waktu yang stasioner δ, 1, 2 = konstanta dan koefisien model autoregressive Zt-p = observasi sebelumnya = residual peramalan acak untuk periode saat ini εt 2) Moving Average Model (MA) Bentuk umum model moving average ordo q (MA(q)) atau ARIMA (0,0,q). Persamaan moving average ditunjukan oleh Zt =μ+εt -θ1 εt-1 -θ2 εt-2 -…-θq εt-q (2.3) dimana: Zt = observasi deret waktu stasioner μ, 1, 2 = konstanta dan koefisien model moving average εt = residual white noise εt-1,εt-2 = residual lampau yang digunakan oleh model 3) Model ARIMA a. Proses ARMA Model ARMA merupakan gabungan dari model autoregressive dan moving average. Asumsi yang diterapkan adalah ketika deret waktu merupakan campuran dari fungsi autoregressive dan moving average, maka persamaan model ARMA (p,q) menjadi Zt =δ+ 1 Zt-1 + 2 Zt-2 +…+εt -θ1 εt-1 -θ2 εt-2 -… (2.4) dimana Zt dan at sama seperti sebelumnya, Zt adalah konstanta, dan adalah koefisien model. Zt dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q. b. Proses ARIMA Jika nonstasioneritas ditambahkan pada campuran proses ARMA, maka model umum ARIMA (p,d,q) terpenuhi, secara umum persamaan untuk model ARIMA (1,1,1) adalah (2.5) Zt = 1+ 1 Zt-1 + - 2 Zt-2 +…+ p Zt-p +a1 -θ1 at-1 Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot ACF dan PACF. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial. Plot yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masingmasing model memiliki pola yang khusus. Arti dari ARIMA (p,d,q) sendiri adalah model tersebut menggunakan p nilai lag dependen, d tingkat proses pembedaan dan q lag residual. Model ARIMA dilakukan pada data stasioner atau data yang differencing sehingga data telah stasioner. Secara umum model ARIMA dinotasikan sebagai berikut ARIMA(p,d,q)
15
dimana: p = orde model autoregressive q = orde model moving average d = banyaknya differencing 4) Model Seasonal ARIMA Prosedur penentuan model tentatif untuk ARIMA musiman didasarkan pada pola ACF dan PACF. Ringkasan penentuan model tentatif sebagai berikut:
Tabel 2 Penentuan Model ARIMA Tentatif untuk Data Musiman ACF Cut off setelah lag 1 atau 2; koefisien korelasi tidak signifikan pada lag-lag musiman Cut off setelah lag musiman L; koefisien korelasi tidak signifikan pada lag-lag non musiman Cut off setelah lag musiman L; koefisien korelasi yang signifikan pada lag non musiman ke 1 atau 2 Dying down
Dying down
Dying down
PACF Dying down
Model Non seasonal-moving average (q=1 atau 2)
Dying down
Seasonal-moving average (Q=1)
Dying down
Non seasonal-seasonal moving average (q=1 atau 2 ;Q=1)
Cut off setelah lag 1 atau 2; koefisien korelasi tidak signifikan pada lag-lag musiman Cut off setelah lag musiman L; koefisien korelasi tidak signifikan pada lag-lag non musiman Cut off setelah lag musiman L; koefisien korelasi yang signifikan pada lag non musiman ke 1 atau 2
Non seasonalautoregressive (p=1 atau 2) seasonal-autoregressive (P=1)
Non seasonal-seasonal autoregressive (p=1 atau 2;P=1)
Sumber: Firdaus (2006)
Secara umum model Seasonal ARIMA dinotasikan sebagai berikut ARIMA p,d,q (P,D,Q)s dimana: (p,d,q) = bagian tidak musiman dari model (P,D,Q) = bagian musiman dari model P = orde musiman untuk AR Q = orde musiman untuk MA D = banyaknya seasonal differencing = jumlah periode per musim s
16
5) Model ARCH-GARCH Engle (2001) mengemukakan bahwa ARCH-GARCH adalah model yang memperlakukan heteroskedastisitas sebagai varians yang akan dimodelkan, sehingga tidak hanya kekurangan dari kuadrat terkecil yang dikoreksi tetapi dapat menghitung varians dari error. Model ARCH-GARCH terdiri dari model rataan dan model ragam. Model ragam dapat berupa model ARMA, model regresi atau model konstanta. Model Autoregressive Conditional Heteroschedasticity dengan orde m atau ARCH(m) dinotasikan sebagai berikut εt ~ARCH(m). Persamaan ARCH(m) sering ditulis sebagai berikut ht =ξ+α1 ε2t-1 +α2 ε2t-2 +…+αm ε2t-m (2.6) dimana ht =E(εt |ε2t-1 ,ε2t-2 ,…) yang sering disebut sebagai ragam Model Generalized Autoregressive Heteroschedasticity dengan orde r dan orde m biasa dinotasikan sebagai εt ~GARCH(r,m) Persamaan GARCH(r,m) sering ditulis sebagai berikut: ht =K+δ1 ht-1 +δ2 ht-2 +…+δt ht-r +α1 ε2t-1 +α2 ε2t-2 +…+αm ε2t-m (2.7)
untuk nilai K= 1-δ1 -δ2 -…-δt ξ d Metode Dekomposisi Dekomposisi adalah teknik peramalan yang bertujuan umtuk memisahkan komponen-komponen pembentuk pola data dari variabel ekonomi atau bisnis yaitu tren, variasi musiman, siklus dan unsur acak. Secara umum teknik dekomposisi dibagi atas dua macam, yaitu dekomposisi aditif dan dekomposisi multiplikatif. Jika diasumsikan komponen siklikal tidak ada, prosedur yang dilakukan dalam metode dekomposisi ini terdiri dari tiga tahapan utama. Pertama memisahkan komponen tren dari data. Kedua memisahkan komponen musiman dari data. Ketiga mengestimasi persamaan tren dari data yang sudah dihilangkan komponen musimannya. Model dekomposisi dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut (2.8) Yt =f(St ,Tt ,Ct ,Et ) dalam hal ini S,T,C dan E adalah keempat komponen data yang telah disebutkan sebelumnya. Hubungan fungsional antar keempat komponen diatas dapat bersifat aditif (St+Tt+Ct+Et) atau multiplikatif (StxTtxCtxEt). Model dekomposisi aditif dipilih jika gelombang-gelombang kecil (swing) dari variasi musiman bersifat konstan sepanjang waktu. Sebaliknya dekomposisi multiplikatif dipilih jika swing dari variasi musiman meningkat secara proporsional dengan bertambahnya waktu. e Metode Tren Peramalan tren umum dilakukan karena data ekonomi dan bisnis yang sering mengandung tren, baik tren yang meningkat maupun tren menurun. Bentuk dari persamaan trend selain persamaan regresi juga model tren kuadratik yaitu sebagai berikut Yt =at +b1t T +b2t (T)2 +εt (2.9) serta model tren kubik dengan persamaan sebagai berikut Yt =at +b1t T +b2t (T)2 +εt . (2.10) Selain beberapa model linear tersebut, analisis tren juga dapat dilakukan dengan bentuk persamaan yang lain yang diebut dengan model trend curvelinear. Persamaan curvelinear diperlukan antara lain bila:
17
1 2 3
Plot data sepanjang waktu menunjukan kurva yang tidak linear Koefisien determinasi kecil Terdapat indikasi bahwa series mengandung autokorelasi
Perhitungan Ketepatan Metode Peramalan Penggunaan metode peramalan tergantung pada pola data yang akan dianalisis. Jika metode yang digunakan sudah dianggap benar untuk melakukan peramalan, maka pemilihan metode peramalan terbaik didasarkan pada tingkat kesalahan prediksi (Santoso 2009). Tidak ada metode peramalan yang dapat dengan tepat meramalkan keadaan data di masa yang akan datang. Oleh karena itu, setiap metode peramalan pasti menghasilkan kesalahan. Jika tingkat kesalahan yang dihasilkan semakin kecil, maka peramalan akan semakin mendekati tepat. Alat ukur yang digunakan untuk menghitung kesalahan prediksi antara lain: 1 Mean Squared Error (MSE) Digunakan untuk mengevaluasi metode peramalan dengan mengkuadratkan masing-masing error atau kesalahan, kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah observasi. Pendekatan ini mengukur kesalahan peramalan yang besar karena kesalahan-kesalahan tersebut dikuadratkan. Berikut adalah rumus untuk menghitung MSE: n 1 2 MSE= (Zt -Żt ) n t=1
2 Mean Absolute Error (MAE) Digunakan untuk mengukur ketepatan ramalan dengan merata-rata kesalahan dugaan (nilai absolute masing-masing kesalahan). Berikut adalah rumus untuk menghitung MAE: n 1 |Zt -Żt | MAE= n t=1
3 Mean Abosolute Percentage Error (MAPE) Dihitung dengan menggunakan kesalahan absolute pada tiap periode debagi dengan nilai aktual untuk periode tersebut. Berikut adalah rumus untuk menghitung MAPE: 100% MAPE= n
n
t=1
Zt -Żt Zt
dimana Zt = Nilai inflasi aktual Żt = Nilai inflasi peramalan Fungsi ketiga ukuran ketepatan peramalan adalah sebagai berikut: a Membandingkan ketepatan dua atau lebih metode yang berbeda b Sebagai alat ukur apakah teknik yang diambil dapat dipercaya atau tidak c Membantu mencari sebuah metode yang terbaik Selain indikator ketepatan peramalan diatas, terdapat beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknik peramalan terbaik, yaitu sederhana atau tidaknya model (parsimonious), mudah tidaknya diterapkan dan ketersediaan biaya merupakan faktor lain yang harus diperhitungkan (Firdaus 2006).
18
Penelitian Terdahulu Penelitan yang dilakukan oleh Akhter (2013) bertujuan untuk meramalkan inflasi jangka pendek di Bangladesh menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan dari Januari 2000 sampai Desember 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah ARIMA musiman. Model ARIMA (1,1,1)(1,0,1)12 dipilih menjadi model terbaik dan hasil estimasi dari model tersebut menunjukan pola meningkat dan tingginya tingkat inflasi selama tahun 2013. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan bahwa Bank Bangladesh harus merencanakan kebijakan ekonomi yang tepat untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan inflasi. Kusmanto (2010) melakukan penelitian yang bertujuan mengevaluasi metode ARIMA musiman (SARIMA) dan Triple Exponential Smoothing (TES) dari data indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kriteria evaluasi dan pemilihan metode yang terbaik berdasarkan pada nilai Mean Square Error (MSE) terkecil. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh model terbaik untuk Arima musiman adalah model ARIMA (1,1,1)(1,0,1)3. Model terbaik dipilih karena memiliki nilai MSE sebesar 9,15 yang lebih kecil dari model lainnya. Sedangkan untuk model TES diperoleh tiga koefisien, yaitu koefisien pemulusan taraf (level), tren dan musiman yang terbaik adalah TES (0.118,0.35,0.015) dengan nilai MSE, MAD dan MAPE yang terkecil. Dari hasil evaluasi dengan menggunakan MSE pada kedua metode tersebut, diperoleh metode SARIMA lebih akurat dari TES karena memiliki nilai MSE yang kecil. Pada analisis model diperoleh bahwa model ARIMA (1,1,1)(1,0,1)3 baik dan akurat untuk peramalan data IHSG. Penelitian yang dilakukan oleh Salam (2006) bertujuan memilih metode terbaik untuk meramalkan tingkat inflasi di Pakistan menggunakan metode ARIMA. Data yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Juli 1993 sampai Juni 2004. Model ARIMA terbaik dipilih berdasarkan kriteria Akaike Info Criterion (AIC), Schawrz Info Criterion (SIC), Root Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) terkecil. Hasil evaluasi berdasarkan kriteria tersebut diperoleh model AR(1) sebagai model terbaik untuk meramalkan tingkat inflasi di Pakistan dibandingkan dengan estimasi model ARIMA lainnya Qizhi et al. (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis metode peramalan inflasi terbaik di USA menggunakan enam metode peramalan inflasi yaitu Ordinary Least Square, Median Least Square, exponential smoothing, ARIMA, ARIMA-GARCH dan neural network. Data yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) USA dari bulan Januari 1990 sampai bulan April 2011, dimana metode peramalan terbaik diperoleh dari nilai Mean Square Error (MSE) terkecil. Dari hasil evaluasi berdasarkan nilai MSE terkecil, diperoleh metode terbaik untuk meramal tingkat inflasi di USA adalah ARIMAGARCH. Penelitian yang dilakukan Qizhi et al. (2012) adalah penelitian yang paling mendekati penelitian yang telah dilakukan penulis, namun terdapat perbedaan dalam beberapa aspek. Pertama, metode peramalan yang digunakan hanya Ordinary Least Square (OLS), exponential smoothing dan ARIMA. Hal ini disebabkan keterbatasan referensi dan jurnal pendukung, serta keterbatasan waktu penelitian yang dilakukan penulis. Kedua, periode penelitian dari bulan Agustus
19
1983 sampai Desember 2012. Ketiga, penilaian ketepatan metode peramalan tidak hanya menggunakan ukuran Mean Square Error tetapi juga menggunakan ukuran Mean Absolute Error dan Mean Absolute Percentage Error. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian lebih akurat terhadap pemilihan metode terbaik karena tidak hanya melihat dari satu penilaian ketepatan peramalan saja.
Kerangka Pemikiran Mengacu pada tujuan dari penelitian yang sebelumnya telah dijabarkan, berikut adalah beberapa tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu pentingnya menjaga kestabilan inflasi serta adanya ketidakpastian tingkat inflasi di masa depan menyebabkan perlunya adanya metode peramalan inflasi yang tepat dan akurat. Peramalan inflasi dilakukan menggunakan beberapa metode peramalan time series, yaitu Ordinary Least Square (OLS), exponential smoothing dan ARIMA, dimana dari masing-masing metode akan diperoleh model terbaik berdasarkan kriteria nilai Schwarz Info Criterion (SIC) terkecil. Tahap selanjutnya adalah memilih model terbaik dari beberapa model yang telah diperoleh dari ketiga metode peramalan time series tersebut. Model terbaik dipilih berdasarkan nilai terkecil dari Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) sebagai ukuran ketepatan peramalan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi kebijakan bagi para otoritas kebijakan moneter dalam melakukan peramalan tingkat inflasi di masa depan. Kerangka pemikiran operasional akan dijelaskan pada Gambar 4.
20
Adanya ketidakpastian tingkat inflasi di masa depan
Pentingnya kestabilan inflasi
Perlunya metode peramalan inflasi yang tepat dan akurat
Permasalahan : 1. Bagaimana model terbaik peramalan inflasi pada masing-masing metode peramalan time series? 2. Dari beberapa model yang diperoleh, model mana yang terbaik untuk melakukan peramalan inflasi berdasarkan nilai Mean Square Error dan Mean Absolute Error terkecil?
Metode peramalan time series
Ordinary Least Square (OLS)
Exponential smoothing
ARIMA
Model peramalan dari masing-masing metode
Model peramalan terbaik berdasarkan nilai Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) terkecil
Rekomendasi kebijakan: metode peramalan inflasi terbaik digunakan sebagai metode dalam melakukan peramalan tingkat inflasi mendatang
Gambar 4 Kerangka pemikiran
21
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series. Data-data tersebut diperoleh dari CEIC Macroeconomic, Industry and Financial Time Series Databased for Global Emerging and Developed Market yaitu berupa data Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan dari Agustus 1983 sampai Desember 2012 berdasarkan Survey Biaya Hidup (SBH) di 66 kota. Data IHK tersebut terdiri dari beberapa tahun dasar, yaitu tahun dasar 1983, 1996, 2002 dan 2007 yang kemudian tahun dasar data IHKnya dijadikan sama, yaitu menjadi tahun dasar 2007. Selanjutnya berdasarkan IHK tahun dasar 2007 tersebut akan diperoleh inflasi year on year yang merupakan presentase perubahan IHK bulan tertentu tahun sekarang terhadap IHK bulan yang sama tahun sebelumnya. Proses pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews versi 6.0. Data tingkat inflasi dari bulan Agustus 1984 sampai Desember 2011 digunakan sebagai data contoh (sample) yang akan diolah menggunakan software dan nantinya akan diperoleh model peramalan dari data tersebut. Data tingkat inflasi bulan Januari 2012 sampai Desember 2012 menjadi data pembanding yang digunakan untuk menguji kemampuan dari hasil olahan model peramalan.
Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju perkembangan inflasi di Indonesia selama periode penelitian. Analisis Ekonometrika Analisis ekonometrika adalah analisis yang menggunakan model statistik dalam menjelaskan perilaku ekonomi (Juanda 2009). Penelitian ini akan menggunakan tiga metode peramalan time series yaitu Ordinary Least Square (OLS), Exponential Smoothing dan ARIMA. Pemilihan ketiga metode tersebut didasarkan kepada keterbatasan waktu dan informasi yang diperoleh peneliti, sehingga tidak menggunakan metode peramalan time series lainnya. Analisis empiris dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilai peramalan inflasi dari masing-masing metode peramalan time series yang digunakan. a
Ordinary Least Square (OLS) Model analisis regresi yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi sederhana dimana variabel penjelas hanya berjumlah satu, yaitu inflasi periode sebelumnya. Model persamaan yang terbentuk adalah sebagai berikut:
22
πt =β0 +β1 πt-1 +μ dimana: πt = inflasi periode selanjutnya πt-1 = inflasi periode sebelumnya β0,β1 = koefisien estimasi μ = error
(3.1)
b
Exponential Smoothing Metode exponential smoothing terdiri dari single exponential smoothing yang digunakan pada data yang tidak mengandung tren maupun pola musiman, double exponential smoothing dimana data mengandung tren tetapi tidak mengandung unsur musiman dan tripel exponential smoothing dimana data memiliki tren dan unsur musiman. Jika pada data tidak menunjukan adanya tren, maka menggunakan metode single exponential smoothing, dimana formulasi untuk metode single exponential smoothing adalah sebagai berikut πt =αYt +(1-α)πt-1 (3.2) dimana: πt = nilai inflasi yang akan datang dari hasil peramalan inflasi saat ini πt-1 = nilai inflasi sekarang dari hasil peramalan inflasi satu periode lalu Yt = hasil peramalan inflasi pada waktu t α = konstanta perataan antara 0 sampai 1 Jika data yang digunakan mengandung unsur trend maka perlu dilakukan proses smoothing sebanyak dua kali (double) untuk mengatasi trend pada data, sehingga formulasi untuk metode double exponential smoothing adalah sebagai berikut At =αYt + 1-α (At-1 +Tt-1 ) (3.3) Tt =β At -At-1 +(1-β)Tt-1 kemudian dari persamaan (3.3) dan persamaan (3.4) Yt+p =At +Tt(p) dimana: Yt-p = nilai ramalan At = nilai pemulusan tunggal Tt = pemulusan trend α.β = konstanta dengan nilai antara 0 dan 1 c
(3.4) (3.5)
ARIMA Model Box-Jenkins dibagi menjadi 3 kelompok yaitu model Autoreggressive (AR) dengan ordo p dan model Moving Average (MA) dengan ordo q serta model ARMA yang merupakan gabungan dari model AR dan MA. model AR ditulis dalam persamaan sebagai berikut: πt =δ+ 1 πt-1 + 2 πt-2 +…+εt (3.6) sedangkan model MA ditulis dalam persamaan sebagai berikut: πt =μ+εt -θ1 εt-1 -θ2 εt-2 -…-θq εt-q (3.7) dari persamaan (3.6) dan (3.7) maka persamaan model ARMA(p,q) menjadi πt =δ+ 1 πt-1 + 2 πt-2 +…+εt -θ1 εt-1 -θ2 εt-2 -… (3.8)
23
dimana πt = nilai inflasi saat ini dari deret stasioner πt-1 πt-2 = nilai inflasi periode sebelumnya dari deret stasioner εt-1 εt-2 = residual peramalan periode sebelumnya dari deret stasioner εt = residual peramalan acak untuk periode saat ini δ, 1 , 2 ,…,θ1 ,θ2 ,… = konstanta dan koefisien-koefisien model Jika data yang digunakan tidak stasioner pada model ARMA, sehingga perlu dilakukan proses pembedaan (differencing), baik pembedaan pertama maupun kedua. Model umum dari ARIMA ditulis dalam bentuk ARIMA(p,d,q) Jika data secara nyata mengandung musiman maka diebut model seasonal ARIMA (SARIMA). Prosedur yang dilakukan sama seperti model ARIMA, perbedaannya terletak pada proses pembedaan serta identifikasi perilaku ACF dan PACF yang dalam hal ini mengandung unsur musiman. Model umum SARIMA ditulis dalam bentuk ARIMA p,d,q (P,D,Q)s
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Laju inflasi di Indonesia telah mengalami dinamika dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan ekonomi sejak awal kemerdekaan Indonesia. Hatta (2008) menyatakan bahwa inflasi di negara berkembang dapat bersumber dari beberapa faktor antara lain defisit anggaran belanja pemerintah, faktor permintaan dan penawaran serta ekspektasi. Inflasi di Indonesia secara umum dapat disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor baik sisi permintaan, penawaran maupun ekspektasi. Kontribusi masing-masing faktor yang memengaruhi inflasi tersebut tidak selalu sama setiap waktu. Faktor yang memengaruhi laju inflasi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh depresiasi mata uang domestik. Fakor lain yang memengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi permintaan adalah permintaan musiman, seperti menjelang hari besar keagamaan. Berdasarkan sisi penawaran, inflasi yang terjadi di Indonesia diakibatkan karena meningkatnya biaya input dan meningkatnya biaya upah pekerja. Faktor lain yang memengaruhi inflasi dari sisi penawaran adalah kebijakan yang diambil oleh instansi selain Bank Indonesia, seperti kebijakan penghapusan subsidi pemerintah pada tahun 2005 dan 2008 terutama terkait dengan kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Inflasi di Indonesia juga dipengaruhi ekspektasi masyarakat dalam pembentukan harga dan upah. Berdasarkan survey yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2008, masyarakat Indonesia cenderung bersifat forward looking.
24
Pelaku usaha sektor finansial maupun masyarakat umum dalam melakukan keputusan ekonominya didasarkan pada perkiraan ekonomi dan perkiraan inflasi ke depan. Oleh karena itu, kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan memengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap perkiraan inflasi ke depan. Kenaikan harga minyak dunia yang terjadi sekitar tahun 1974 telah menyebabkan kenaikan pada tingkat inflasi. Meningkatnya harga minyak dunia tersebut berdampak pada meningkatnya penerimaan pemerintah, menyebabkan jumlah uang beredar meningkat dan mendorong kenaikan tingkat harga. Pemerintah melakukan kebijakan kredit selektif agar jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 1984 menyebabkan terjadinya peningkatan inflasi, akan tetapi secara umum sekitar tahun 1984 sampai 1996 laju inflasi menunjukan kecenderungan yang menurun.
Inflasi (%)
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% -10%
Inflasi
Tahun Sumber: CEIC, 2012 (diolah)
Gambar 5 Inflasi (year-on-year) Berdasarkan gambar 5 dari tahun 1984 sampai 1997 inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit, akan tetapi pada tahun 1998 terjadi peningkatan inflasi yang mencapai dua digit yaitu sebesar 77.63%. Hal ini terjadi akibat krisis di sektor moneter karena terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dengan dollar, sehingga menyebabkan tingginya tingkat inflasi (Hatta 2008). Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami perbaikan, hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi menjadi 2,01% pada tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002 kembali meningkat pada level dua digit yaitu sebesar 12,55%. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi tingginya inflasi pada tahun 2001, seperti melemahnya nilai tukar rupiah pasca krisis moneter tahun 1998. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya impor dan biaya produksi sehingga meningkatkan inflasi. Disamping itu inflasi tahun 2001 juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah menaikkan upah minimum pegawai
25
swasta dan kenaikan gaji pegawai negeri yang berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan uang beredar di masyarakat, sehingga meningkatkan permintaan agregat dan berdampak pada kenaikan inflasi. Tahun 2005 inflasi kembali mengalami peningkatan sebesar 17.11%, faktor yang memengaruhi tingginya inflasi tahun 2005 adalah meningkatnya harga minyak dunia yang diikuti dengan peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Laju inflasi pada tahun 2008 juga mengalami peningkatan yang disebabkan adanya krisis keuangan global, kenaikan harga minyak dunia serta kenaikan harga pangan dunia.4
Uji Stasioneritas Data Data yang digunakan adalah inflasi year on year dari Agustus 1984 sampai Desember 2012, yang diperoleh dari perhitungan data Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Agustus 1983 sampai Desember 2012, dimana IHK menggunakan tahun dasar 2007 (lampiran 1). Hasil uji Augmented Dickey Fuller (ADF) menunjukan bahwa variabel inflasi yang diuji pada masing-masing kriteria stasioneritas memiliki probabilitas lebih kecil dari taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa data telah stasioner pada level.
Tabel 3 Hasil pengujian akar unit pada level AIC
SIC
HQC
Modified Akaike 0.0017
0.0017 0.0000 0.0000 Sumber: Hasil output Eviews 6.0 Keterangan: *) Nilai Kritis MacKinnon dengan probabilitas 5%
Modified Schwarz 0.0004
Pemilihan Metode Terbaik Ordinary Least Square Berdasarkan plot Autocorrelation Function (ACF) yang menunjukan pola dying down dan plot Partial Autocorrelation (PACF) yang menunjukan pola cut off (lampiran 2), diketahui bahwa model OLS adalah Autoreggressive (AR). Selanjutnya dilakukan pencarian model AR terbaik melalui proses trial and error berdasarkan nilai Schwarz Info Criterion (SIC) terkecil (lampiran 3) dan diperoleh model terbaik yaitu AR(5) dengan nilai SIC sebesar -5.348502 (lampiran 4). Langkah selanjutnya adalah uji kriteria ekonometrika pada model AR(5), diperoleh hasil dari setiap kriteria ekonometrika sebagai berikut: a Normalitas Menurut Gujarati (2006) jika jumlah observasi diatas 100, maka uji normalitas dapat diabaikan. Jumlah observasi pada penelitian ini berjumlah 341, sehingga tidak dilakukan uji normalitas.
4
www.bps.go.id, diakses pada tanggal 22 Maret 2013 pukul 16.00
26
b Multikolineritas Uji multikolinearitas tidak dilakukan karena jumlah variabel bebas hanya ada satu, sehingga tidak ada hubungan antar variabel bebas. c Autokorelasi Model dikatakan bebas dari autokorelasi jika nilai Prob. Chi-squared nya lebih besar daripada taraf nyata 5%. Tabel 4 Hasil Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.204965 0.419764
Prob. F(2,316) Prob. Chi-Square(2)
0.8148 0.8107
Sumber: hasil output Eviews 6.0
Berdasarkan hasil uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM,diperoleh nilai Prob. Chi-squared sebesar 0.8107 lebih besar dari taraf nyata 5% sehingga model dikatakan tidak mengandung autokorelasi. d Heteroskedastisitas Mendeteksi heteroskedastisitas dilakukan melalui uji ARCH-LM dengan kriteria ujinya adalah jika Prob Chi-square nya lebih kecil dari taraf nyata 5% maka model mengalami masalah heteroskedastisitas. Tabel 5 Hasil Uji ARCH-LM model AR(5) Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
91.47332 71.82159
Prob. F(1,325) Prob. Chi-Square(1)
0.0000 0.0000
Sumber: hasil output Eviews 6.0
Berdasarkan hasil uji dari model AR(5) diketahui bahwa Probabilitas Chisquared adalah sebesar 0,000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka dapat dikatakan bahwa model AR(5) mengalami masalah heteroskedastisitas. Oleh karena itu model AR(5) tidak dapat digunakan dan diatasi dengan metode ARCH-GARCH. Langkah selanjutnya dilakukan pencarian model ARCH-GARCH melalui proses trial and error berdasarkan nilai SIC terkecil (lampiran 5) dan diperoleh model terbaik yaitu AR(5) GARCH (2,1) dengan nilai SIC -5.929628 (lampiran 6). Model AR(5) GARCH (2,1) dapat ditulis dalam persamaan πt =0.065156+1.234194πt-1 -0.358486πt-2 -0.040764πt-3 +0.230078πt-4 -0.1198073πt-5 (4.1) dengan ragam sisaan σ2t =0.00000618+1.43629ε2t-1 -1.113111ε2t-2 +0.796199σ2t-1 (4.2) kemudian model diuji kembali apakah masih mengandung masalah heteroskedastisitas menggunakan uji ARCH-LM.
27
Tabel 6 Hasil Uji ARCH-LM model AR(5) GARCH (2,1) Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
0.425639 0.427718
Prob. F(1,322) Prob. Chi-Square(1)
0.5146 0.5131
Sumber: hasil output Eviews 6.0
Berdasarkan uji ARCH-LM pada model AR(5) GARCH (2,1) diperoleh Prob. Chi-squared nya sebesar 0.5131 lebih besar dari taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah heteroskedastisitas telah teratasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses peramalan dari model AR(5) GARCH (2,1), sehingga diperoleh hasil peramalan dari model tersebut (lampiran 7). Tabel 6 menunjukan nilai inflasi hasil peramalan yang dibandingkan dengan nilai inflasi aktual tahun 2012, dari hasil perbandingan tersebut diperoleh nilai MAE sebesar 1.38%, MSE sebesar 0.02382% dan MAPE sebesar 31.83% Tabel 7 Perbandingan inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan dengan model AR(5) GARCH(2,1)
Mean Absolute Error
Mean Square Error
Mean Absolute Percentange Error
Tahun
Inflasi Aktual
1/2012
3.65%
0.039884978
0.003381692
1.14358E-05
0.0926
2/2012
3.56%
0.043654821
0.008070446
6.51321E-05
0.2268
3/2012
3.97%
0.047497828
0.007831029
6.1325E-05
0.1974
4/2012
4.50%
0.050515005
0.005472828
2.99518E-05
0.1215
5/2012
4.45%
0.053877209
0.009365644
8.77153E-05
0.2104
6/2012
4.53%
0.057262736
0.011966293
0.000143192
0.2642
7/2012
4.56%
0.060250325
0.014628024
0.000213979
0.3206
8/2012
4.58%
0.062519857
0.016697545
0.000278808
0.3644
9/2012
4.31%
0.064287831
0.021150272
0.000447334
0.4903
10/2012
4.61%
0.065647447
0.019585617
0.000383596
0.4252
11/2012
4.32%
0.066615964
0.023420423
0.000548516
0.5422
12/2012
4.30%
0.067182238
0.024229425
0.000587065
0.5641
1.38%
0.02382%
31.83%
Peramalan
sumber: Data diolah penulis
Exponential Smoothing Penelitian ini menggunakan single exponential smoothing karena data tidak mengandung tren dan pola musiman yang terjadi pada lag ke-13 dan lag ke-26 pada plot correlogram tidak terjadi secara berkelanjutan pada periode selanjutnya,
28
sehingga unsur musiman pada data dapat diabaikan. Langkah selanjutnya dilakukan proses penghalusan (smoothing) dan diperoleh nilai estimasi α=0.99 (lampiran 8). Berdasarkan nilai estimasi yang diperoleh dari hasil proses penghalusan (smoothing), langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk meramalkan tingkat inflasi. Pada software Eviews 6.0 dapat langsung diperoleh hasil peramalan inflasi tahun 2012 tanpa perlu dihitung secara manual menggunakan rumus single exponential smoothing. Tabel 7 menunjukan nilai hasil peramalan yang dibandingkan dengan inflasi aktual tahun 2012 dan didapatkan nilai MAE sebesar 0.55%, MSE sebesar 0.00358% dan MAPE sebesar 12.48%. \ Tabel 8 Perbandingan Inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan Single Exponential Smoothing
Peramalan
Mean Absolute Error
Mean Square Error
Mean Absolute Percentange Error
3.65%
0.037903603
0.001400317
1.96089E-06
0.038361385
2/2012
3.56%
0.037903603
0.002319228
5.37882E-06
0.065175466
3/2012
3.97%
0.037903603
0.001763196
3.10886E-06
0.044450176
4/2012
4.50%
0.037903603
0.007138575
5.09592E-05
0.158486446
5/2012
4.45%
0.037903603
0.006607962
4.36652E-05
0.148454954
6/2012
4.53%
0.037903603
0.00739284
5.46541E-05
0.163210167
7/2012
4.56%
0.037903603
0.007718698
5.95783E-05
0.169186953
8/2012
4.58%
0.037903603
0.007918709
6.2706E-05
0.172813397
9/2012
4.31%
0.037903603
0.005233956
2.73943E-05
0.121331771
10/2012
4.61%
0.037903603
0.008158227
6.65567E-05
0.177114703
11/2012
4.32%
0.037903603
0.005291938
2.80046E-05
0.122511219
12/2012
4.30%
0.037903603
0.005049211
2.54945E-05
0.117552504
0.55%
0.00358%
12.48%
Tahun
Inflasi Aktual
1/2012
Sumber: Data diolah penulis
Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) Unsur musiman terdapat pada plot PACF, terlihat dari adanya siklus berulang setiap 12 periode selama 2 kali yaitu pada lag ke-13 dan lag ke-26, sehingga perlu dilakukan proses seasonal adjustment menggunakan census X12 pada software Eviews 6 untuk menghapus pergerakan siklus musiman dari series. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh dari plot ACF dan PACF serta setelah melalui proses seasonal adjustment, terdapat beberapa kemungkinan model seasonal ARIMA (lampiran 9). Model seasonal AR yang terpilih adalah ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 karena semua lagnya signifikan dimana t-hitung lebih
29
besar dari t-tabel. Setelah mendapatkan model seasonal ARIMA yang tepat, perlu dilakukan uji apakah model seasonal ARIMA yang diperoleh tersebut memiliki ragam sisaan yang konstan atau tidak. Jika model menghasilkan ragam yang tidak konstan artinya model tersebut masih memiliki masalah heteroskedastisitas. Langkah yang dilakukan untuk mengecek masalah tersebut adalah dengan uji heteroskedastisitas yaitu uji ARCH-LM. Tabel 9 Hasil Uji ARCH-LM model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
3.564632 7.033414
Prob. F(2,300) Prob. Chi-Square(2)
0.0295 0.0297
Sumber: Hasil olahan Eviews 6.0
Berdasarkan hasil uji ARCH-LM, model seasonal ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 memiliki Prob. Chi-squared sebesar 0,0295 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5%, sehingga dapat dikatakan bahwa model seasonal ARIMA mengalami masalah heteroskedastisitas. Oleh karena itu model tidak dapat digunakan dan harus diatasi dengan metode ARCH-GARCH. Selanjutnya dilakukan proses pencarian ARCH-GARCH terbaik melalui proses trial and error berdasarkan nilai SIC terkecil (lampiran 10) dan diperoleh model terbaik yaitu seasonal ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) dengan nilai SIC -6.17449 (lampiran 11). Kemudian model diuji kembali apakah masih mengandung masalah heteroskedastisitas menggunakan uji ARCH-LM. Tabel 10 Hasil Uji ARCH-LM model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
0.010818 0.010890
Prob. F(1,301) Prob. Chi-Square(1)
0.9172 0.9169
Sumber: Hasil olahan Eviews 6.0
Berdasarkan uji ARCH-LM pada model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) diperoleh probabilitas Chi-squared nya sebesar 0.9169 lebih besar dari taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah heteroskedastisitas telah teratasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan peramalan berdasarkan metode ARIMA (2,0,0) )(2,0,0)12 GARCH (1,0), dimana data yang akan diramal adalah dari Januari 2012 sampai Desember 2012 (lampiran 12). Tabel 10 menunjukan nilai hasil peramalan dibandingkan dengan tingkat inflasi aktual tahun 2012 dan didapatkan nilai MAE sebesar 0.43%, MSE sebesar 0.00245% dan MAPE sebesar 9.68%.
30
Tabel 11 Perbandingan Inflasi Aktual dengan Inflasi Peramalan dengan model ARIMA (2,0,0) )(2,0,0)12 GARCH (1,0)
Peramalan
Mean Absolute Error
Mean Square Error
Mean Absolute Percentange Error
3.65%
0.034776274
0.001727012
2.98257E-06
0.047311139
2/2012
3.56%
0.035275251
0.000309123
9.55572E-08
0.008687051
3/2012
3.97%
0.037141872
0.002524927
6.37526E-06
0.063653409
4/2012
4.50%
0.03827816
0.006764017
4.57519E-05
0.150170749
5/2012
4.45%
0.038224085
0.00628748
3.95324E-05
0.141254983
6/2012
4.53%
0.037870185
0.007426257
5.51493E-05
0.163947914
7/2012
4.56%
0.039673601
0.0059487
3.5387E-05
0.13039018
8/2012
4.58%
0.037569702
0.00825261
6.81056E-05
0.180100262
9/2012
4.31%
0.040199734
0.002937826
8.63082E-06
0.068103656
10/2012
4.61%
0.041398488
0.004663342
2.17468E-05
0.101240919
11/2012
4.32%
0.04076312
0.002432421
5.91667E-06
0.056311846
12/2012
4.30%
0.040774157
0.002178657
4.74654E-06
0.050722093
0.43%
0.00245%
9.68%
Tahun
Inflasi Aktual
1/2012
Sumber: Data diolah penulis
Ringkasan keseluruhan metode yang telah dilakukan disajikan pada tabel 12 dan gambar 6. Tabel 12 Hasil uji seluruh metode Model AR(5) GARCH (2,1) Single Exponential Smoothing ARIMA(2,0,0)(2,0,0)12GARCH (1,0) Sumber: Hasil output Eviews 6.0
MAE 1.28% 0.55% 0.43%
MSE 0.02382% 0.00358% 0.00245%
MAPE 31.83% 12.48% 9.68%
Berdasarkan ringkasan pada tabel tersebut menunjukan bahwa model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) merupakan metode terbaik untuk melakukan peramalan inflasi, terlihat dari nilai Mean Square Error (MSE), Mean Absolute Error (MAE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) terkecil yaitu sebesar 0.43%, 0.00245% dan 9.68%.
31
Sumber: Hasil olahan software Microsoft 2007
Gambar 6 Perbandingan Hasil Peramalan Seluruh Metode Berdasarkan gambar 6 terlihat hasil peramalan menggunakan masingmasing metode yang kemudian dibandingkan dengan nilai inflasi aktual pada tahun 2012. Hasil peramalan dengan menggunakan metode OLS cenderung overestimate atau nilai peramalannya lebih besar daripada nilai aktualnya. Hasil peramalan menggunakan metode exponential smoothing dan ARIMA cenderung underestimate atau nilai peramalannya lebih kecil daripada nilai aktualnya. Akan tetapi hasil peramalan menggunakan metode ARIMA lebih mendekati nilai inflasi aktual dibandingkan dengan metode exponential smoothing, terlihat dari garis hasil peramalan ARIMA yang jaraknya paling mendekati garis nilai inflasi aktual. Hasil dari penelitian yang dilakukan sama dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Qizhi et al (2012) yang menganalisis metode peramalan inflasi terbaik di USA, dimana metode peramalan terbaik yang diperoleh adalah metode ARIMA-GARCH yang dievaluasi berdasarkan nilai ketepatan perhitungan peramalan yaitu Mean Square Error (MSE) terkecil.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai perbandingan metode peramalan inflasi terbaik menggunakan tiga metode peramalan time series, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut: 1 Berdasarkan hasil uji masing-masing metode, model terbaik untuk OLS adalah ARCH-GARCH (2,1) karena memiliki nilai SC terkecil yaitu sebesar -5.929628. Metode exponential smoothing yang digunakan adalah single exponential smoothing dengan nilai estimasi parameter (α) yaitu sebesar 0.99. Sedangkan untuk metode ARIMA, model terbaik adalah
32
2
ARIMA(2.0.0)(2.0.0)12 GARCH(1.0) karena memiliki nilai SIC terkecil yaitu sebesar -6.17449. Berdasarkan hasil evaluasi menggunakan ukuran penilaian ketepatan metode peramalan yaitu Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) diperoleh metode ARIMA lebih baik dari OLS dan exponential smoothing dalam melakukan peramalan inflasi karena memiliki nilai pengukuran ketepatan peramalan yang lebih kecil. Sehingga metode ARIMA merupakan metode terbaik untuk meramalkan tingkat inflasi.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka disarankan kebijakan sebagai berikut: 1 Bagi para pelaku ekonomi, khususnya Bank Indonesia selaku otoritas kebijakan moneter, temuan empiris ini mempunyai implikasi penting bagi panduan arah kebijakan moneter terkait adanya ketidakpastian mengenai tingkat inflasi ke depan. Ketidakpastian inflasi tersebut menyebabkan perlunya dilakukan peramalan inflasi yang efektif dan rasional. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model ARIMA(2,0,0)(2,0,0)12 GARCH(1,0) merupakan metode terbaik untuk meramalkan tingkat inflasi. Diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai metode untuk melakukan peramalan tingkat inflasi, sehingga akan diperoleh peramalan tingkat inflasi masa depan dan diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian mengenai tingkat inflasi itu sendiri. 2 Penelitian ini hanya menggunakan tiga metode peramalan time series yaitu Ordinary Least Square (OLS), exponential smoothing dan ARIMA. Bagi penelitian selanjutnya dapat membandingkan hasil dari metode peramalan time series lainnya untuk memperkaya hasil penelitian sehingga hasil peramalan yang diperoleh akan lebih akurat. Selain itu metode peramalan time series dapat dibandingkan dengan metode peramalan kausal (sebab akibat) dimana metode ini dapat mengidentifikasi variabel-variabel lain yang dapat digunakan untuk meramalkan tingkat inflasi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Akhter Tahsina. 2013. Short-Term Forecasting Inflation of Inflation in Bangladesh with Seasonal ARIMA Processes. Munich Personal RePec Archive No. 43729. Assauri S. 1984. Teknik dan Metode Peramalan. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Engle R. 2001. GARCH 101: The Use of ARCH-GARCH Model in Applied Econometrics. Journal of Economic Perspectives. 15(4): 157-168. Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam: ARIMA,SARIMA dan ARCHGARCH. Bogor (ID): IPB Pr.
33
Gujarati DN. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika edisi ketiga jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. Hatta M. 2008. Telaah Singkat Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam. Jurnal Ekonomi Ideologis. Henry Ma. 1998. Inflation, Uncertainty and Growth in Colombia. International Monetary Fund Working Paper. 98: 161 Hutabarat AR. 2003. Suku Bunga SBI dan Proyeksi Inflasi. Jakarta (ID): Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Henke E dan Reitch G. 1995. Bussiness Forecasting 6thed. New Jersey (US): Pretince Hall. Juanda B. 2009. Ekometrika Pemodelan dan Pendugaan.Bogor (ID): IPB Pr. Kusmanto Hadi. 2010. Analisis Perbandingan Peramalan Metode Seasonal Autoregressive Integrated Moving Average dan Triple Exponential Smoothing. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi Edisi Keenam. Iman N [penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga Miskhin F S. 2008. The Economics of Money, Banking and Financial Buku 2. Soelistianingsih dan Yulianita [penerjemah]. Jakarta (ID): Salemba Empat. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter Buku II. Yogyakarta (ID): BPFE. Pohan Aulia. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di Indonesia. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Salam MA. Forecasting Inflation in Developing Nations: The Case of Pakistan. International Research Journal of Finance and Economics. 3: 138-159. Sasana Hadi. 2004. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dan Filiphina. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. 11:207-220. Subagyo Pangestu. 1986. Forecasting: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta (ID): BPFE UGM. Qizhi He, Hong Shen, Zhongwen Tong. 2012. Investigation of Inflation Forecasting. Applied Mathematics and Information Sciences 6. 3:649-655. .
34
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Friska Zehan Phalupy, lahir pada tanggal 4 September 1991 di Jakarta. Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Saefudin dan Ibu Yoyom Maryam. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1995 di bangku Taman Kanak-Kanak Islam Al-Hidayah. Kemudian pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Budi Mulia Ciledug. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan ke sekolah menengah pertama SMP Negeri 3 Tangerang dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Tangerang dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan berhasil diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kampus. Penulis pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) paduan suara IPB, yaitu AgriaSwara Forixandria pada tahun 2010, dalam organisasi internal penulis pernah menjabat sebagai staff informasi dan hubungan internal (Information and Internal Relationship) HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) FEM IPB pada periode 2010-2011. Pada periode selanjutnya yaitu 2011-2012 penulis menjabat sebagai Ketua Divisi hubungan internal HIPOTESA FEM IPB. Selain itu penulis sering mengikuti berbagai kepanitiaan program kerja baik yang diadakan dalam lingkup himpunan profesi mau pun dalam lingkup fakultas yang diselenggarakan oleh BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa). Selain aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa, penulis pernah beberapa mengikuti kegiatan lomba karya tulis, lolos dalam Program Kreatifitas Mahasiswa yang dibiayai oleh Dikti tahun 2012 dengan judul “Analisis Accessories Use Penggunaan Lahan sebagai Dampak Perubahan Gaya Hidup: Studi Kasus Kawasan Taman Kencana, Bogor”. Penulis pernah melakukan magang kerja di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Juli 2012 dan menjadi salah satu mahasiswa penerima program beasiswa yang diselenggarakan oleh Bank BCA tahun 2012. Saat ini penulis aktif tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Ekonomi angkatan pertama program fast track.
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1 Data yang Digunakan Tahun 1983M8
Indeks Harga Konsumen 9.316007669
1983M9
9.391846662
1985M11
10.74476012
5.06%
1983M10
9.390492394
1985M12
10.78538815
4.38%
1983M11
9.417577748
1986M1
10.92216919
5.20%
1983M12
9.474456993
1986M2
10.99936245
6.48%
1984M1
9.798126979
1986M3
10.95060881
5.78%
1984M2
9.960639105
1986M4
10.96279722
3.31%
1984M3
9.982307389
1986M5
11.1022868
4.25%
1984M4
10.11367136
1986M6
11.12801788
3.57%
1984M5
10.17867621
1986M7
11.10499533
3.48%
1984M6
10.2084701
1986M8
11.12530935
3.74%
1984M7
10.2463896
1986M9
11.43814519
6.82%
1984M8
10.23013838
9.81%
1986M10
11.66972497
8.90%
1984M9
10.22065851
8.82%
1986M11
11.73472982
9.21%
1984M10
10.22336704
8.87%
1986M12
11.77264932
9.15%
1984M11
10.22742985
8.60%
1987M1
11.81327735
8.16%
1984M12
10.33306273
9.06%
1987M2
11.98662362
8.98%
1985M1
10.38181637
5.96%
1987M3
11.95276693
9.15%
1985M2
10.33035419
3.71%
1987M4
11.96360107
9.13%
1985M3
10.35202248
3.70%
1987M5
12.18570097
9.76%
1985M4
10.61204188
4.93%
1987M6
12.2222662
9.83%
1985M5
10.64996138
4.63%
1987M7
12.26966557
10.49%
1985M6
10.74476012
5.25%
1987M8
12.33602469
10.88%
1985M7
10.73121744
4.73%
1987M9
12.42269783
8.61%
1985M8
10.7244461
4.83%
1987M10
12.59333556
7.91%
1985M9
10.70819489
4.77%
1987M11
12.8140812
9.20%
Inflasi year on year*
Tahun 1985M10
Indeks Harga Konsumen 10.7163205
Inflasi year on year* 4.82%
37
1987M12
12.86148057
9.25%
1990M4
14.83600291
5.43%
1988M1
12.90481714
9.24%
1990M5
14.92267604
5.37%
1988M2
12.97253052
8.23%
1990M6
15.11498206
6.97%
1988M3
12.98065613
8.60%
1990M7
15.44948619
8.84%
1988M4
13.0741006
9.28%
1990M8
15.54022213
9.38%
1988M5
13.19463043
8.28%
1990M9
15.62012392
9.70%
1988M6
13.2460926
8.38%
1990M10
15.78128178
10.01%
1988M7
13.39235352
9.15%
1990M11
15.83274395
9.83%
1988M8
13.44787849
9.01%
1990M12
15.84222383
9.93%
1988M9
13.44110715
8.20%
1991M1
15.96275366
9.77%
1988M10
13.4939236
7.15%
1991M2
16.01015303
9.02%
1988M11
13.55215711
5.76%
1991M3
16.0155701
9.48%
1988M12
13.58059673
5.59%
1991M4
16.31892607
10.00%
1989M1
13.64966438
5.77%
1991M5
16.34871996
9.56%
1989M2
13.82165638
6.55%
1991M6
16.42049615
8.64%
1989M3
13.85415881
6.73%
1991M7
16.73062345
8.29%
1989M4
14.07219591
7.63%
1991M8
17.04887637
9.71%
1989M5
14.16157758
7.33%
1991M9
17.06919039
9.28%
1989M6
14.13042943
6.68%
1991M10
17.19920009
8.98%
1989M7
14.19408001
5.99%
1991M11
17.38202623
9.79%
1989M8
14.20762269
5.65%
1991M12
17.41588292
9.93%
1989M9
14.23877084
5.93%
1992M1
17.49307618
9.59%
1989M10
14.34575799
6.31%
1992M2
17.53776702
9.54%
1989M11
14.41617992
6.38%
1992M3
17.65152551
10.21%
1989M12
14.41076284
6.11%
1992M4
17.81403763
9.16%
1990M1
14.54212681
6.54%
1992M5
17.83299738
9.08%
1990M2
14.68567919
6.25%
1992M6
17.94811014
9.30%
1990M3
14.62879995
5.59%
1992M7
17.98873817
7.52%
38
1992M8
18.01717779
5.68%
1994M12
22.09758644
9.64%
1992M9
18.05238875
5.76%
1995M1
22.35354304
9.54%
1992M10
18.12687348
5.39%
1995M2
22.64606487
9.05%
1992M11
18.17291858
4.55%
1995M3
22.77607457
8.92%
1992M12
18.29344841
5.04%
1995M4
23.16068661
10.49%
1993M1
18.82838416
7.63%
1995M5
23.27444509
10.46%
1993M2
19.21028766
9.54%
1995M6
23.31236459
10.50%
1993M3
19.49603815
10.45%
1995M7
23.47758525
9.78%
1993M4
19.52447777
9.60%
1995M8
23.55206998
9.16%
1993M5
19.55156312
9.64%
1995M9
23.64145165
8.99%
1993M6
19.59896249
9.20%
1995M10
23.79312963
8.72%
1993M7
19.73032646
9.68%
1995M11
23.89334544
8.69%
1993M8
19.79262278
9.85%
1995M12
24.08294292
8.98%
1993M9
19.84814775
9.95%
1996M1
24.9210865
11.49%
1993M10
19.96596905
10.15%
1996M2
25.24979401
11.50%
1993M11
20.04857938
10.32%
1996M3
25.08291174
10.13%
1993M12
20.15556653
10.18%
1996M4
25.1562388
8.62%
1994M1
20.40746032
8.39%
1996M5
25.31806403
8.78%
1994M2
20.76634127
8.10%
1996M6
25.12842508
7.79%
1994M3
20.91124792
7.26%
1996M7
25.30542144
7.79%
1994M4
20.96135582
7.36%
1996M8
25.29530736
7.40%
1994M5
21.07105151
7.77%
1996M9
25.34082071
7.19%
1994M6
21.09678259
7.64%
1996M10
25.44449
6.94%
1994M7
21.38524162
8.39%
1996M11
25.54563077
6.92%
1994M8
21.57619337
9.01%
1996M12
25.63412895
6.44%
1994M9
21.69130613
9.29%
1996M1
26.11707614
4.80%
1994M10
21.88496641
9.61%
1997M1
26.31430065
4.22%
1994M11
21.98382795
9.65%
1997M2
26.29660101
4.84%
39
1997M3
26.40279882
4.96%
1999M7
51.00276337
13.36%
1997M4
26.45589773
4.49%
1999M8
50.51475914
5.58%
1997M5
26.43314106
5.19%
1999M9
50.16582347
1.08%
1997M6
26.64553668
5.30%
1999M10
50.19363718
1.42%
1997M7
23.55206998
9.16%
1999M11
50.31753463
1.58%
1997M8
26.88574602
6.29%
1999M12
51.1898738
2.01%
1997M9
27.17905426
7.25%
2000M1
51.86498846
0.35%
1997M10
27.43949175
7.84%
2000M2
51.90291625
-0.84%
1997M11
27.78084186
8.75%
2000M3
51.66776395
-1.10%
1997M12
28.26631757
10.27%
2000M4
51.95601516
0.15%
1998M1
30.12225076
15.34%
2000M5
52.393449
1.27%
1998M2
33.87204492
28.72%
2000M6
52.65388649
2.14%
1998M3
35.66729364
35.63%
2000M7
53.32900115
4.56%
1998M4
37.33358788
41.40%
2000M8
53.60208124
6.11%
1998M5
39.27549072
48.46%
2000M9
53.57173901
6.79%
1998M6
41.21486505
55.92%
2000M10
54.19375476
7.97%
1998M7
44.99247293
68.86%
2000M11
54.90679721
9.12%
1998M8
47.84464273
77.96%
2000M12
55.97383237
9.35%
1998M9
49.62977737
82.60%
2001M1
56.15841428
8.28%
1998M10
49.49323733
80.37%
2001M2
56.64894703
9.14%
1998M11
49.53622216
78.31%
2001M3
57.15465089
10.62%
1998M12
50.18352311
77.54%
2001M4
57.41508838
10.51%
1999M1
51.68293507
71.58%
2001M5
58.06238933
10.82%
1999M2
52.34287861
54.53%
2001M6
59.03081224
12.11%
1999M3
52.24173784
46.47%
2001M7
60.28495782
13.04%
1999M4
51.88015958
38.96%
2001M8
60.15853186
12.23%
1999M5
51.73603397
31.73%
2001M9
60.54286679
13.01%
1999M6
51.54892354
25.07%
2001M10
60.95248693
12.47%
40
2001M11
61.99423689
12.91%
2004M3
73.44195572
5.11%
2001M12
62.99805906
12.55%
2004M4
74.15762216
5.92%
2002M1
64.24431658
14.40%
2004M5
74.81364974
6.47%
2002M2
65.01299536
14.76%
2004M6
75.17148296
6.83%
2002M3
65.19853851
14.07%
2004M7
75.46305077
7.20%
2002M4
65.05938115
13.31%
2004M8
75.52931618
6.67%
2002M5
65.57625136
12.94%
2004M9
75.54256927
6.27%
2002M6
65.77504759
11.42%
2004M10
75.9666679
6.22%
2002M7
66.23890547
9.88%
2004M11
76.6425751
6.18%
2002M8
66.47746095
10.50%
2004M12
77.43776004
6.40%
2002M9
66.84854726
10.42%
2005M1
78.54439241
7.32%
2002M10
67.16662124
10.20%
2005M2
78.41186159
7.15%
2002M11
68.39915789
10.33%
2005M3
79.90945989
8.81%
2002M12
69.20759591
9.86%
2005M4
80.18114808
8.12%
2003M1
69.82386424
8.68%
2005M5
80.34681161
7.40%
2003M2
69.95639507
7.60%
2005M6
80.75103062
7.42%
2003M3
69.87025003
7.17%
2005M7
81.38055203
7.84%
2003M4
70.01603394
7.62%
2005M8
81.82453029
8.33%
2003M5
70.2678425
7.15%
2005M9
82.38778629
9.06%
2003M6
70.36724062
6.98%
2005M10
89.55770383
17.89%
2003M7
70.39374678
6.27%
2005M11
90.73060161
18.38%
2003M8
70.80459233
6.51%
2005M12
90.69084237
17.11%
2003M9
71.08290706
6.33%
2006M1
91.92337902
17.03%
2003M10
71.52025878
6.48%
2006M2
92.46012886
17.92%
2003M11
72.1829129
5.53%
2006M3
92.48663502
15.74%
2003M12
72.7793016
5.16%
2006M4
92.53302081
15.40%
2004M1
73.19014715
4.82%
2006M5
92.87760095
15.60%
2004M2
73.17689407
4.60%
2006M6
93.29507304
15.53%
41
2006M7
93.71254514
15.15%
2008M11
113.9
11.68%
2006M8
94.01736603
14.90%
2008M12
113.86
11.06%
2006M9
94.37519925
14.55%
2009M1
113.78
9.17%
2006M10
95.19026382
6.29%
2009M2
114.02
8.60%
2006M11
95.51496433
5.27%
2009M3
114.27
7.92%
2006M12
96.67460904
6.60%
2009M4
113.92
7.31%
2007M1
98.26
6.89%
2009M5
113.97
6.04%
2007M2
98.68
6.73%
2009M6
114.1
3.65%
2007M3
98.86
6.89%
2009M7
114.61
2.71%
2007M4
98.84
6.82%
2009M8
115.25
2.75%
2007M5
98.95
6.54%
2009M9
116.46
2.83%
2007M6
99.14
6.26%
2009M10
116.68
2.57%
2007M7
99.72
6.41%
2009M11
116.65
2.41%
2007M8
100.28
6.66%
2009M12
117.03
2.78%
2007M9
100.99
7.01%
2010M1
118.01
3.72%
2007M10
101.78
6.92%
2010M2
118.36
3.81%
2007M11
101.99
6.78%
2010M3
118.19
3.43%
2007M12
102.52
6.05%
2010M4
118.37
3.91%
2008M1
104.22
6.07%
2010M5
118.71
4.16%
2008M2
104.99
6.39%
2010M6
119.86
5.05%
2008M3
105.88
7.10%
2010M7
121.74
6.22%
2008M4
106.16
7.41%
2010M8
122.67
6.44%
2008M5
107.48
8.62%
2010M9
123.21
5.80%
2008M6
110.08
11.03%
2010M10
123.29
5.67%
2008M7
111.59
11.90%
2010M11
124.03
6.33%
2008M8
112.16
11.85%
2010M12
125.17
6.96%
2008M9
113.25
12.14%
2011M1
126.29
7.02%
2008M10
113.76
11.77%
2011M2
126.46
6.84%
42
2011M3
126.05
6.65%
2012M7
133.16
4.56%
2011M4
125.66
6.16%
2012M8
134.43
4.58%
2011M5
125.81
5.98%
2012M9
134.45
4.31%
2011M6
126.5
5.54%
2012M10
134.67
4.61%
2011M7
127.35
4.61%
2012M11
134.76
4.32%
2011M8
128.54
4.79%
2012M12
135.49
4.30%
2011M9
128.89
4.61%
2011M10
128.74
4.42%
2011M11
129.18
4.15%
2011M12
129.91
3.79%
2012M1
130.9
3.65%
2012M2
130.96
3.56%
2012M3
131.05
3.97%
2012M4
131.32
4.50%
2012M5
131.41
4.45%
2012M6
132.23
4.53%
Sumber: CEIC, 2012 Keterangan: *)inflasi year on year diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut π=
IHKt -IHKt-1 x100% IHKt-1
dimana IHKt = IHK bulan tertentu tahun sekarang IHKt-1 = IHK bulan yang sama tahun sebelumnya
43
Lampiran 2 Plot ACF dan PACF Autocorrelation .|******* .|******* .|******| .|******| .|***** | .|**** | .|*** | .|** | .|** | .|* | .|. | .|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | *|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. |
Partial Correlation .|******* *****|. | *|. | **|. | *|. | .|. | .|. | .|* | .|* | .|. | .|. | .|. | .|** | **|. | .|. | *|. | .|. | .|. | .|. | .|* | .|* | *|. | .|. | .|. | .|* | *|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|. | .|* | .|. | .|. | *|. | .|. |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
AC
PAC
0.980 0.933 0.867 0.784 0.686 0.577 0.463 0.350 0.243 0.144 0.054 -0.023 -0.081 -0.124 -0.156 -0.178 -0.191 -0.194 -0.191 -0.181 -0.167 -0.150 -0.131 -0.110 -0.088 -0.066 -0.046 -0.028 -0.010 0.007 0.021 0.034 0.043 0.052 0.058 0.063
0.980 -0.695 -0.112 -0.205 -0.156 -0.050 0.066 0.087 0.112 -0.005 -0.029 0.060 0.237 -0.272 -0.060 -0.094 -0.041 0.018 0.066 0.102 0.090 -0.085 0.014 0.002 0.097 -0.156 -0.046 -0.023 0.057 0.010 0.038 0.078 0.009 -0.006 -0.083 0.019
Q-Stat 318.93 608.94 859.93 1065.7 1223.8 1336.0 1408.6 1450.2 1470.3 1477.3 1478.4 1478.5 1480.8 1486.1 1494.6 1505.6 1518.2 1531.5 1544.3 1555.9 1565.7 1573.7 1579.7 1584.0 1586.8 1588.4 1589.1 1589.4 1589.4 1589.5 1589.6 1590.0 1590.7 1591.7 1593.0 1594.5
Prob 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
44
Lampiran 3 Pemilihan model AR terbaik LAG AR (1)
SIC -4.64364
LAG AR (7)
SIC -5.32562
AR (2)
-5.33165
AR (8)
-5.31446
AR (3)
-5.32017
AR (9)
-5.30843
AR (4)
-5.34515
AR (10)
-5.2875
AR (5)
-5.3485
AR (11)
-5.26825
AR (6)
-5.34251
AR (12)
-5.2524
Lampiran 4 Model AR(5) Dependent Variable: TINGKAT_INFLASI Method: Least Squares Date: 05/11/13 Time: 22:04 Sample (adjusted): 1985M01 2011M12 Included observations: 324 after adjustments Convergence achieved after 3 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AR(1) AR(2) AR(3) AR(4) AR(5)
0.102622 1.560743 -0.635938 0.146425 0.031185 -0.153250
0.017449 0.055401 0.103530 0.109157 0.103480 0.055393
5.881366 28.17198 -6.142545 1.341410 0.301361 -2.766591
0.0000 0.0000 0.0000 0.1807 0.7633 0.0060
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.982496 0.982221 0.015965 0.081050 883.7996 3569.873 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.103294 0.119731 -5.418516 -5.348502 -5.390570 1.992358
45
Lampiran 5 Pemilihan Model ARCH-GARCH terbaik pada AR(5) LAG 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2,0
SIC -5.57829 -5.64621 -5.72616 -5.56729 -5.61853 -5.52989 -5.44653 -5.54454 -5.42489 -6.17449 -6.06794 -5.6435 -5.24278 -5.13333 -6.07703 -5.02963 -4.67308 -4.62218 -4.58376 -6.15345
LAG 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6 2,7 2,8 2,9 3,0 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9 4,0
SIC -6.14952 -4.89004 -4.7463 -5.16322 -5.37039 -5.93185 -5.51633 -5.84403 -5.67631 -6.13655 -6.10825 -5.73513 -5.26611 -5.09342 -5.20085 -5.04387 -4.42487 -5.35359 -5.02512 -5.910735
46
Lampiran 6 Model AR (5) GARCH (2,1) Dependent Variable: TINGKAT_INFLASI Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 05/12/13 Time: 09:13 Sample (adjusted): 1985M01 2011M12 Included observations: 324 after adjustments Convergence achieved after 114 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(7) + C(8)*RESID(-1)^2 + C(9)*RESID(-2)^2 + C(10)*GARCH(1) Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C AR(1) AR(2) AR(3) AR(4) AR(5)
0.065156 1.234194 -0.358486 -0.040764 0.230078 -0.198073
0.003590 0.066291 0.098632 0.081663 0.061136 0.034798
18.14820 18.61781 -3.634590 -0.499175 3.763416 -5.692108
0.0000 0.0000 0.0003 0.6177 0.0002 0.0000
2.394229 7.829618 -5.906095 10.24870
0.0167 0.0000 0.0000 0.0000
Variance Equation C RESID(-1)^2 RESID(-2)^2 GARCH(-1)
6.18E-06 1.436298 -1.113111 0.796199
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.968942 0.968052 0.021401 0.143811 989.5034 1088.461 0.000000
2.58E-06 0.183444 0.188468 0.077688
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.103294 0.119731 -6.046317 -5.929628 -5.999741 0.842590
47
Lampiran 7 Hasil peramalan AR(5) GARCH (2,1)
.6
Forecast: TINGKAT_INFO Actual: TINGKAT_INFLASI Forecast sample: 2012M01 2012M12 Included observations: 12
.4
.2
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
.0
-.2
-.4 2012Q1
2012Q2
2012Q3
TINGKAT_INFO
2012Q4
± 2 S.E.
.012 .010 .008 .006 .004 .002 .000 2012Q1
2012Q2
2012Q3
Forecast of Variance
2012Q4
0.015430 0.013816 31.82625 0.153933 0.801813 0.130144 0.068043
48
Lampiran 8 Output Single Exponential Smoothing Date: 05/12/13 Time: 14:38 Sample: 1984M08 2011M12 Included observations: 329 Method: Single Exponential Original Series: TINGKAT_INFLASI Forecast Series: TINGKASM Parameters: Alpha Sum of Squared Residuals Root Mean Squared Error End of Period Levels:
0.9990 0.180520 0.023424 Mean
0.037904
49
Lampiran 9 Kemungkinan Model seasonal ARIMA Model ARIMA
Estimasi Parameter
Standard Error
t‐hitung
t‐tabel |α/2, n‐k|
Ket*
(5,0,0)(2,0,0)12
1.6327
0.05341
30.53922
> |1.96|
Signifikan
‐0.7133
0.10242
‐6.92638
> |1.96|
Signifikan
0.2058
0.10879
1.85495
< |1.96|
Tidak signifikan
‐0.0905
0.10271
‐0.88112
< |1.96|
Tidak signifikan
‐0.0402
0.05376
‐0.74777
< |1.96|
Tidak signifikan
(4,0,0)(2,0,0)12
1.6373
0.05278
31.02122
> |1.96|
Signifikan
‐0.7186
0.10171
‐7.06519
> |1.96|
Signifikan
0.12907
0.10163
1.269999
< |1.96|
Tidak signifikan
‐0.1564
0.05278
‐2.96324
< |1.96|
Tidak signifikan
(3,0,0)(2,0,0)12
1.6415
0.05342
30.72819
< |1.96|
Tidak signifikan
‐0.6205
0.09748
‐6.36541
>|1.96|
Signifikan
‐0.0272
0.05358
‐0.50765
< |1.96|
Signifikan
(2,0,0)(2,0,0)12
1.6597
0.03968
41.82712
>|1.96|
Signifikan
‐0.6658
0.03971
‐16.7666
> |1.96|
Signifikan
keterangan: *) signifikan jika t-hitung > t-tabel
50
Lampiran 10
LAG
SIC ‐5.57829
LAG
SIC ‐6.14952
LAG
0,2
‐5.64621
2,2
‐4.89004
4,2
‐5.44904
0,3
‐5.72616
2,3
‐4.7463
4,3
‐4.79866
0,4
‐5.56729
2,4
‐5.16322
4,4
‐4.83641
0,5
‐5.61853
2,5
‐5.37039
4,5
‐4.70214
0,6
‐5.52989
2,6
‐5.93185
4,6
‐5.42722
0,7
‐5.44653
2,7
‐5.51633
4,7
‐3.95678
0,8
‐5.54454
2,8
‐5.84403
4,8
‐5.26758
0,9
‐5.42489
2,9
‐5.67631
4,9
‐4.73902
1,0
‐6.17449
3,0
‐6.13655
5,0
‐6.09691
1,1
‐6.06794
3,1
‐6.10825
5,1
‐5.70166
1,2
‐5.6435
3,2
‐5.73513
5,2
‐4.94008
1,3
‐5.24278
3,3
‐5.26611
5,3
‐5.31403
1,4
‐5.13333
3,4
‐5.09342
5,4
‐4.17261
1,5
‐6.07703
3,5
‐5.20085
5,5
‐4.66917
1,6
‐5.02963
3,6
‐5.04387
5,6
‐4.75434
1,7
‐4.67308
3,7
‐4.42487
5,7
‐5.39225
1,8
‐4.62218
3,8
‐5.35359
5,8
‐4.81117
1,9
‐4.58376
3,9
‐5.02512
5,9
‐5.81665
2,0
‐6.15345
4,0
‐6.06414
6,0
-5.826666
0,1
Pemilihan Model ARCH-GARCH terbaik pada ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12
2,1
4,1
SIC ‐6.06108
51
Lampiran 11 Model ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) Dependent Variable: TINGKAT_INFLASI Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 06/12/13 Time: 19:33 Sample (adjusted): 1986M10 2011M12 Included observations: 303 after adjustments Convergence achieved after 113 iterations Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GARCH = C(6) + C(7)*RESID(-1)^2 Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C AR(1) AR(2) SAR(12) SAR(24)
0.040271 1.234521 -0.262634 -0.605943 -0.295175
0.008149 0.038770 0.038490 0.017673 0.019503
4.941918 31.84215 -6.823410 -34.28614 -15.13453
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6.288286 7.733248
0.0000 0.0000
Variance Equation C RESID(-1)^2
2.56E-05 2.530337
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.980600 0.980207 0.017284 0.088428 955.4327 2493.646 0.000000
4.08E-06 0.327202
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.107172 0.122855 -6.260282 -6.174486 -6.225958 0.977165
52
Lampiran 12 Hasil Peramalan ARIMA (2,0,0)(2,0,0)12 GARCH (1,0) 4
Forecast: TINGKAT_INF Actual: TINGKAT_INFLASI Forecast sample: 2012M01 2012M12 Included observations: 12
2
Root Mean Squared Error Mean Absolute Error Mean Abs. Percent Error Theil Inequality Coefficient Bias Proportion Variance Proportion Covariance Proportion
0
-2
-4 2012Q1
2012Q2 TINGKAT_INF
2012Q3
2012Q4
± 2 S.E.
1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 2012Q1
2012Q2
2012Q3
Forecast of Variance
2012Q4
0.004947 0.004288 9.685992 0.060719 0.751334 0.080451 0.168215