PERBAIKAN KONFIGURASI MESIN PADA PENGGILINGAN PADI KECIL UNTUK MENINGKATKAN RENDEMEN GILING PADI Uning Budiharti, Harsono dan Reni Juliana
ABSTRAK Sebagai mata rantai usaha pengolahan gabah menjadi beras dan perangkat suplai beras dalam sistem perekonomian masyarakat Indonesia, usaha penggilingan padi dituntut untuk memberikan kontribusi baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dalam penyediaan beras nasional. Oleh karena itu usaha penggilingan padi perlu dikembangkan dan ditingkatkan kinerjanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional. Kinerja penggilingan padi kecil (PPK) yang merupakan mayoritas dapat ditingkatkan kinerjanya melalui perbaikan konfigurasi mesinnya. Untuk itu dilakukan penelitian pada penggilingan padi kecil dengan penerapan konfigurasi mesin yang berbeda, yaitu konfigurasi Husker-Polisher (HP), Husker-Separator-Polisher (HSP) dan Cleaner-Husker-Separator-Polisher (CHSP). Rendemen dan kualitas beras giling yang dihasilkan oleh konfigurasi C-H-S-P lebih tinggi dibandingkan konfigurasi H-P dengan perbedaan komponen konfigurasi paddy cleaner (pembersih gabah) dan separator (pemisah beras pecah kulit dengan gabah tidak terkupas). Peningkatan ini dapat dicapai antara lain karena bahan baku gabah yang digiling lebih bersih dengan digunakannya grain cleaner. Pada konfigurasi yang menggunakan separator, tekanan roll karet pada husker pada proses pengupasan bisa dikurangi untuk mengurangi resiko beras patah sehingga walaupun jumlah gabah tidak terkupas menjadi lebih tinggi (bisa mencapai 30-40%) tetapi kemudian gabah tersebut dipisahkan oleh separator dan masuk kembali ke husker untuk proses pengupasan ulang. Dengan penambahan separator pada konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 0,9% dan penambahan alsin pembersih gabah (paddy cleaner) dan separator pada konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 1,9%. Peningkatan ini tentu lebih besar lagi, jika dibandingkan dengan rata-rata rendemen yang dihasilkan pada penggilingan padi kecil lainnya, yaitu hanya 61%. Apabila konfigurasi sederhana yang umumnya dimiliki oleh PPK yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 % dari keseluruhan industri penggilingan padi di Indonesia, disempurnakan dari Husker-Polisher menjadi Cleaner-HuskerPolisher atau Cleaner-Husker-Separator-Polisher, maka dengan peningkatan rendemen beras 0,9% - 1,9% secara kuantitatif dapat diamankan sekitar 450.000 – 950.000 ton beras. Analisis ini didasarkan pada studi ODA tahun 1995 bahwa 65% jumlah PPK tersebut menggiling 70% total kapasitas giling nasional. Kata kunci : perbaikan konfigurasi mesin, Penggilingan padi, Peningkatan rendemen giling
PENDAHULUAN Indikator keberhasilan sektor pertanian padi masih dipandang sebagai keberhasilan jumlah produksi, sehingga prioritas kebijakan pemerintah sampai saat ini masih berpatokan pada angka-angka pencapaian target-target produksi. Sehingga kesuksesan di sektor pertanian dinilai dengan tingkat produktivitas. Tentunya perhatian terhadap sektor hulu ini merupakan hal yang penting, akan tetapi sejatinya terdapat peluang penekanan kehilangan hasil pada proses pasca panen yang dapat dilakukan melalui penerapan teknologi. BPS menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,51 persen, dimana kehilangan saat pemanenan 9,52 persen, perontokan 4,78 persen, pengeringan 2,13 persen dan penggilingan 2,19 persen. Angka ini jika dikonversikan terhadap produksi padi nasional yang mencapai 54,34 juta ton setara lebih dari Rp15 triliun. Penekanan kehilangan hasil ini tentunya akan berdampak langsung pada peningkatan produksi akhir. Penggilingan padi sebagai mata rantai akhir dari proses produksi beras, mempunyai posisi yang stratesis untuk ditingkatkan kinerja dan efisiensinya sehingga dapat menyumbang pada peningkatan produksi beras. Hal ini mengingat rendemen giling dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara kuantitatif dari 70% pada akhir tahun 70 an menjadi 65% pada tahun 1985, 63,2 pada tahun 1999, dan pada tahun 2000 paling tinggi hanya 62%, bahkan kenyataan di lapang di bawah 60%. Sawit, 1999. Apabila setiap penurunan rendemen 1% kehilangan kuantitatif beras lebih dari 500.000 ton, maka angka ini bernilai kerugian devisa setara lebih dari 117,5 juta USD per tahun (asumsi produksi nasional 50 juta ton dan harga beras 235 USD/ton) (Kompas, 6 Agustus 2001). Kenyataan di lapang, terdapat perbedaan rendemen yang dihasilkan pada PPB, PPM dan PPK. Umumnya rendemen pada PPB dan PPM lebih tinggi dari PPK. Penelitian yang dilakukan BBPMP tahun 2003 menunjukkan adanya korelasi antara konfigurasi mesin dengan rendemen. Konfigurasi mesin pada PPB dan PPM lebih lengkap dari pada PPK. Hal penting yang merupakan hasil kajian pada kegiatan penelitian tsb adalah terdapat potensi peningkatan pendapatan pada penggilingan padi, dengan adanya perbaikan konfigurasi. Manfaat lain dengan penambahan komponen alsin tersebut ialah dicapainya peningkatan kualitas gabah yang akan digiling menjadi lebih memenuhi standar giling yang pada akhirnya
373
kualitas beras gilingnyapun juga akan meningkat. Hal ini mendorong penelitian dilanjutkan dengan fokus pada PPK untuk ditingkatkan kinerjanya melului perbaiakn konfigurasi mesinnya. RENDEMEN GILING BERAS, POTENSI DAN KONDISI AKTUAL DI LAPANG Menurut Thahir (2002), potensi aktual secara laboratoris pada kondisi ideal dari beberapa varietas unggul menunjukkan dalam 1 butir gabah mengandung sekitar 21 – 25% sekam dan 6 – 7% lapisan aleuron. Bahkan untuk varietas lokal jumlah sekam dan aleuronnya sebesar 29 – 33%. Dengan demikian rendemen beras pecah kulit (BPK) berkisar antara 75 – 79%, sedangkan beras putih (BP) 68 – 73% dari varitas unggul dan dari varietas lokal sebesar 67 – 71%. Hasil uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP) Serpong pada lebih dari 25 unit mesin rice milling unit (RMU) komersial menunjukkan data rendemen beras giling berkisar antara 64,12% – 67,92%. Penelitian yang dilakukan Munarso, dkk (1998) juga menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi di lapang dengan pengujian laboratorium sebagai mana disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Rendemen Beras Giling Menurut Alat Penggiling (Persen) Varietas
Alat Penggiling
IR - 64 60,14 60,12 57,56 62,96 60,69 64,87
1. Hutler 2. Rice Milling Unit (RMU) 3. Penggilingan Padi Kecil (PPK) 4. Penggilingan Padi Besar (PPB) Rata - rata Penggilingan Laboratorium Sumber : Munarso, et.al. (1998)
Rata -rata
Muncul 64,25 65,50 60,69 62,93 63,33 66,66
62,19 63,83 59,12 62,93 62,01 65,76
Variasi pada nilai rendemen ini juga ditemukan pada hasil penelitian yang dilakukan BBP Mekanisasi Pertanian tahun 2003 terhadap 87 industri penggilingan padi di JawaBarat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Responden yang terdiri dari penggilingan padi kecil (PPK) sebanyak 46 responden (52,9%), penggilingan padi skala menengah (PPM) 17 responden (19,5%) dan penggilingan padi skala besar sebanyak 24 responden (27,6%) seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan Rata-rata Kualitas Beras dan Rendemen Giling Berdasarkan Skala Usaha Skala Penggilingan Padi
Kualitas Gabah (%)
Kualitas Beras (%)
Rendemen
Jumlah Sample
KA (%)
Bernas
Hampa
Kepala
Patah
Menir
%
PP Kecil
46
13.70
93.10
6.70
74.25
14.99
14.57
55.71
7.96
PP Menengah
17
14.01
92.16
7.75
75.73
12.52
11.73
59.69
10.89
PP Besar 24 13.56 Sumber : Thahjohutomo, et.al (2003)
94.14
4.72
82.45
11.97
7.34
61.48
6.65
CV
Data di atas jika didasarkan pada susunan konfigurasi mesinnya menunjukkan perbedaan rendemen beras yang dihasilkan pada konfigurasi mesin yang berbeda, disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Pengelompokan Rata-rata Kualitas Beras dan Rendemen Giling Berdasarkan Konfigurasi Penggilingan Padi. Konfigurasi Husker–Polisher Cleaner–Husker-Polisher Husker–Separator– Polisher Husker–Polisher–Grader Cleaner–Husker–Separator-Polisher Cleaner–Husker-Separator–Polisher– Grader Dryer–Cleaner– Husker – Separator – Polisher- Grader Sumber : Thahjohutomo, et.al (2003)
Jumlah Sample 38 3 20 3 4
Kualitas Beras (%) KA (%) Kepala Patah 14.10 69.73 16.11 13.20 73.45 14.00 13.68 76.45 13.38 13.60 78.30 11.45 13.85 84.52 10.40
Menir 14.14 12.35 10.04 10.08 5.03
Rendemen % 56.72 59.13 61.52 62.38 64..34
CV 8.02 14.05 5.69 12.35 3.77
8
13.66
85.07
10.11
4.74
64.67
9.16
2
13.85
89.95
5.13
4.90
65.50
3.01
374
Dari data pada tabel 2 dan 3, menunjukkan bahwa susunan komponen mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas beras giling. Rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil (PPK) yang berkonfigurasi sederhana yaitu Husker-Polisher (H-P) rata rata sebesar hanya 55.71% dengan kualitas beras kepala 74.25% dan broken 14.99%. Sedangkan penggilingan padi skala menengah (PPM) dengan konfigurasi Cleaner-Husker-Separator-Polisher (C-H-S-P) menghasilkan rendemen, kualitas beras kepala, dan broken masing masing sebesar 59.69%, 75.73% dan 12.52%. Adapun penggilingan padi besar (PPB) yang memiliki konfigurasi Dryer – Cleaner – Husker – Separator – Polisher – Grader (D-C-H-S-P-G) menghasilkan rendemen 61.48% dengan kualitas beras kepala 82.45% dan broken 11.97%. Rendemen beras giling yang dicapai oleh industri penggilingan padi masih dibawah rendemen teoritis maupun hasil uji laboratorium; terutama rendemen yang dicapai oleh penggilingan padi berkonfigurasi sederhana. Fenomena yang cukup menarik yang ditemui pada beberapa tahun terakhir ini yang dapat ditemukan antara lain di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan NTT adalah berkembangnya usaha penggilingan padi bergerak atau RMU keliling. Dengan cara ini alsin berpindah tempat dari satu desa ke desa lain mendatangi konsumen yang memerlukan, hal ini akan memudahkan petani karena petani tidak perlu membawa hasil panennya ke penggilingan. Penelitian yang dilakukan BBPMP pada tahun 2001 di Jombang, Kediri, Mojokerto, Nganjuk dan Pasuruan, menunjukkan kisaran rendemen beras pada penggilingan padi bergerak dan stasioner. Data disajikan pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Perbandingan Kualitas Hasil Giling Penggilingan Padi (RMU) Stasioner Dan Penggilingan Padi (RMU) Keliling. No.
Parameter
RMU Stasioner (%)
RMU Keliling (%)
1.
Beras Utuh & Kepala
73,8
66,4
2.
Beras Patah
23,2
26,9
3.
Menir
3
6,7
4.
Rendemen giling
59 – 65
60 - 63
Sumber : Budiharti dan Harsono (2001)
Huller keliling ini mendapatkan sambutan yang cukup baik dari petani, karena memudahkan bagi mereka dalam mengolah hasil panennya. Petani tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi untuk membawa hasil panennya, dan biaya bawonnya pun rata-rata lebih rendah dari pada RMU stasioner, sebagai perbandingan untuk daerah Kediri, jika untuk RMU stasioner bawonnya sebesar 5-6 Kg beras untuk setiap 1 kwintal gabah, akan tetapi untuk RMU mobil dengan berat gabah yang sama , ongkosnya adalah sebesar 4 Kg. Respon masyarakat yang baik terhadap huller keliling ini mendorong pertumbuhan populasinya dengan cepat, sehingga RMU stasioner yang umumnya berkapasitas lebih besar menjadi terancam keberadaanya, karena petani lebih menyukai huller keliling ini. Sehingga di beberapa daerah tersebut terjadi penentangan yang cukup besar terhadap keberadaan huller keliling ini dari para pengusaha RMU stasioner. Usaha penggilingan padi di Indonesia diawali dengan mesin penggilingan padi berkapasitas besar. Seperti juga alsin lainnya, introduksi alsin penggilingan padi diadopsi langsung dari negara pengekspor. Kapasitas mesin penggilingan padi tersebut dikategorikan sebagai mesin penggilingan besar, yaitu 1,5 ton/jam. Namun seiring dengan semakin diterimanya alsin tersebut oleh masyarakat, maka tumbuhlah minat dalam usaha penggilingan padi kecil dan sedang (berkapasitas 0,7 ton/jam) oleh petani/pengusaha penggilingan kecil, karena investasi yang dikeluarkan lebih kecil. Kecenderungan berkembangnya populasi mesin penggilingan kecil jika tanpa usaha meningkatkan kinerjanya untuk menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, menjadi salah satu sebab dari kecenderungan penurunan rendemen giling secara nasional pada kurun 30 tahun terakhir. Jika hal ini berlangsung terus, maka dikhawatirkan dapat mengancam ketersediaan beras secara nasional.
PERBAIKAN KONFIGURASI MESIN PADA PENGGILINGAN PADI KECIL BBP Mekanisasi Pertanian melakukan penelitian mengenai perbaikan konfigurasi mesin pada penggilingan padi kecil untuk meningkatkan rendemen giling. Pengamatan meliputi pengamatan harian terhadap bahan baku, volume giling, rendemen giling dan kualitas beras hasil penggilingan. Disamping itu juga dilakukan pengujian secara periodik terhadap penggilingan padi tersebut dengan beberapa perlakuan konfigurasi yaitu Husker - Polisher (H-P), Husker – Separator – Polisher (H-S-P) dan Cleaner – Husker –
375
Separator – Polisher (C-H-S-P). Evaluasi dilakukan berdasarkan data-data hasil pengamatan dan pengujian yang ada. Lokasi penggilingan padi yang dipergunakan adalah penggilingan padi Cibinong (milik P. Ibrahim) dan penggilingan padi milik P. Mansyur, keduanya terdapat di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Konsumen pada kedua penggilingan padi tersebut beragam sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengamatan pada berbagai konfigurasi yang ada. Konsumen petani biasanya menghendaki proses pengupasan kulit (husker) dan pemolesan saja (polisher) tanpa separator sedangkan konsumen pedagang menghendaki adanya proses pemisahan (separator). Pada penggilingan padi Cibinong, pemrosesan beras berlangsung secara kontinyu, bahan berupa gabah diumpankan ke dalam mesin pemecah gabah, kemudian beras pecah kulit dari mesin pengupas gabah dibawa oleh elevator ke separator yang terletak di bagian atas pemecah gabah, gabah yang belum terkupas kembali turun ke pengupas gabah dan beras pecah kulit turun ke pemoles, selanjutnya beras dari pemoles ditampung. Kedua penggilingan padi tersebut mempunyai tata letak mesin yang hampir sama, yaitu separator diletakkan diatas mesin pengupas gabah dan pemoles. Yang membedakan adalah pada penggilinggan kedua tidak dilengkapi elevator, sehingga harus dikerjakan oleh operator. Dari kesebelas titik pengamatan pada lokasi survey yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; maka kedua penggilingan padi percontohan mempunyai rata-rata rendemen yang lebih tinggi yaitu 65 % dan 66 %, sedangkan pada penggilingan padi sederhana rata-rata rendemennya adalah 61,39 %. Dibawah ini disajikan hasil pengamatan selama tahun 2005 pada beberapa penggilingan padi di Jawa barat, tengah dan Timur. Tabel 5. Pengamatan Harian Rendemen dan Kualitas Beras pada beberapa konfigurasi penggilingan Tempat
Nama Responden
Rata-rata Rendemen
Proses Penggilingan
Varietas
Kualitas Gabah
Engkus
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher
Ciherang Ciherang Ciherang Ciherang
96 96 96 96.41
87.5 84.6 84 87.2
8.25 10.28 11.2 10.4
2.75 2.65 3.8 3.2
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher
IR-64
96.2
87.4
8.15
6.2
IR - 64 Ciherang
97.13 96 96 96 95.7 95 95
85 81.1 77.6 77.47 74 70.8 77
9.82 14 13.4 18.4 17.1 24.4 17.5
11 3.2 7.7 3.7 7.6 4 5
91
71
22.7
4.5
98.6
77.5
6.6
4.7
95 95 95 93
68.1 64.6 74 63.3
21.2 25 21 25.5
5.3 9.4 2.6 12.5
94.8 91.67 93.67
71 84.33 75.8
20 8 18
6.4 5.67 5.8
98 98 98
69.25 75.4 75.4
24 15.8
8 8.6
63.28
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher
Husker - Husker - Polisher-Polisher Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher Husker - Husker - Polisher-Polisher Husker - Husker - Polisher-Polisher
Ade
Cianjur
Mansyur
Ibrahim
Totong
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher
Husker - Husker -Separator* - Polisher-Polisher
67.22 66.27 65.33 65.66 64.76 65.66 61.94
(%) 2.4 5.67 6.2 7.2
97.5 94.8 94.8 97.2
Husker - Husker - Polisher-Polisher
63
Menir
(%) 7.4 13 8.15 8.55
Ciherang IR-64 IR-64 Ciherang
60
62
Patah
(%) 87.4 79 87.4 78
( % Gabah Isi)
Karawang
Kualitas Beras Sosoh Butir Utuh&Kepala
C-H-S-P H-S-P H-P
Husker - Polisher
Pepe Ciherang Ciherang
Husker - Polisher
Sari Wangi
Husker -Separator - Polisher-Blower Husker -Separator - Polisher
Husker - Polisher
Ciamis
Yanto
67.56
Jateng
Sumiyati Suripah Salmi Mudhofir
62.36 62 65.35 64.63
Makmur
60 60 61.2
Jatim
Terang Jaya I Terang Jaya II
Makmur Terang Jaya I Terang Jaya II
63
Paddy cleaner - RMU Husker - Husker - Polisher-Polisher Husker - Husker - Polisher-Polisher Husker - Husker -Separator - Polisher-Polisher-Blower Husker - Husker -Separator - Polisher-Polisher-Blower
Ciherang IR - 64 IR - 64 IR - 64 IR - 64
Husker - Polisher Husker - Polisher Husker - Polisher
Ciherang Ciherang Ciherang
Husker - Polisher Husker - Polisher Husker - Polisher Husker - Polisher
Memberamo
Rata-rata rendemen pada Penggilingan Padi Percontohan Rata-rata kualitas utuh dan kepala pada Penggilingan Padi Percontohan Rata-rata rendemen pada Penggilingan Padi Sederhana (konfigurasi HP) Rata-rata kualitas utuh dan kepala pada Penggilingan Padi Sederhana (konfigurasi HP)
65.80% 78% 61.40% 76%
376
Analisa Statistik terhadap rendemen dan kualitas beras menunjukkan perbedaan yang nyata antara konfigurasi sederhana (H-P) dengan konfigurasi lengkap (H-S-P dan C-H-S-P), pada tingkat kepercayaan untuk rendemen 95% dan 80% untuk kualitas beras. Analisa menggunakan Uji T Test. Pengamatan pada penggilingan milik H. Mansyur dimana dilakukan tiga macam uji dan pengamatan dengan konfigurasi mesin yang berbeda, yaitu konfigurasi HP, HSP dan CHSP. Rendemen dan kualitas beras giling yang dihasilkan oleh konfigurasi C-H-S-P lebih tinggi dibandingkan konfigurasi H-P dengan perbedaan komponen konfigurasi paddy cleaner (pembersih gabah) dan separator (pemisah beras pecah kulit dengan gabah tidak terkupas). Peningkatan ini dapat dicapai antara lain karena bahan baku gabah yang digiling lebih bersih dengan digunakannya grain cleaner. Pada konfigurasi yang menggunakan separator, tekanan roll karet pada husker pada proses pengupasan bisa dikurangi untuk mengurangi resiko beras patah sehingga walaupun jumlah gabah tidak terkupas menjadi lebih tinggi (bisa mencapai 30-40%) tetapi kemudian gabah tersebut dipisahkan oleh separator dan masuk kembali ke husker untuk proses pengupasan ulang. Dengan penambahan separator pada konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 0,9% dan penambahan alsin pembersih gabah (paddy cleaner) dan separator pada konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 1,9%. Peningkatan ini tentu lebih besar lagi, jika dibandingkan dengan ratarata rendemen yang dihasilkan pada penggilingan padi kecil lainnya, yaitu hanya 61%. Konfigurasi pada level penggilingan ini tentunya akan dapat tercapai karena faktor daya saing yang cukup kuat di pasar dimana kualitas merupakan pendorong utama dari pemakaian pre-cleaner dan separator. Apabila konfigurasi sederhana yang umumnya dimiliki oleh PPK yang jumlahnya mencapai lebih dari 65% dari keseluruhan industri penggilingan padi di Indonesia, disempurnakan dari Husker-Polisher menjadi Cleaner-Husker-Polisher atau Cleaner-Husker-Separator-Polisher, maka dengan peningkatan rendemen beras 0.9% - 1,9% secara kuantitatif dapat diamankan sekitar 450.000 – 950.000 ton beras. Analisis ini didasarkan pada studi ODA tahun 1995 bahwa 65% jumlah PPK tersebut menggiling 70% total kapasitas giling nasional. Faktor ini menjadi ladang pemberdayaan industri penggilingan skala kecil (PPK) yang konsumennya adalah petani kecil dan penderep. Kecuali memberikan bantuan kepada pemilik PPK, juga sekaligus memberikan peluang kepada penderep untuk memperoleh hasil giling lebih banyak dengan mutu yang lebih baik serta meningkatnya nilai tambah. Pada penggilingan percontohan, dimana dilakukan pengamatan pada tiga konfigurasi berbeda, yaitu HP; HSP dan CHSP terlihat bahwa penambahan separator maupun separator dan cleaner sekaligus pada proses pengolahan beras meningkatkan pendapatan.
KESIMPULAN – Rata rata rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang berkonfigurasi sederhana Husker-Polisher sebesar hanya 61,4% dengan beras kepala dan utuh 76%. Sedangkan rata rata rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil percontohan (pilot) dengan konfigurasi Husker-Separator-Polisher adalah sebesar 65,8%, dengan beras kepala dan utuh 78%. – Hasil uji pada penggilingan padi percontohan dengan tiga konfigurasi mesin berbeda juga menunjukkan bahwa konfigurasi mesin berpengaruh terhadap rendemen. Rata-rata rendemen yang dihasilkan pada konfigurasi Pengupas gabah-Pemoles beras (HP) adalah 65,3%, konfigurasi Pengupas gabah-SeparatorPemoles beras (HSP) adalah 66,3% dan Pembersih gabah-Pengupas gabah-Separator-Pemoles beras (CHSP) adalah 67,2%. Dengan persentase beras utuh dan kepala untuk masing-masing konfigurasi tersebut adalah 77,5%; 77,6% dan 81%. – Susunan komponen mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh nyata terhadap rendemen beras giling (tingkat kepercayaan 95%) dan berpengaruh pula pada kualitas beras giling (tingkat kepercayaan 80%).
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2002. Pengembangan Agribisnis Perberasan Berbasis Penggilingan Padi. Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Ditjen Bina Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta. Arifin B. 2001. Kebijakan Pertanian dan Pangan Era Transisi. Kompas 23 Agustus 2001, hal.28.Jakarta.
377
Balai Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. 2004. Restrukturisasi Penggilingan Padi di Indonesia. Seminar Peranan Litbang Mekanisasi untuk Mendapatkan Rendemen Giling dan Mutu Beras yang Tinggi. BBP Mekanisasi Pertanian Serpong, 14 Januari 2004. Budiharti, Uning. dan Harsono. 2001. RMU keliling, agribisnis baru pengolahan beras. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23 (5): 7−9. Handaka. 1981. Technical And Economic Evaluation Of Rice Milling in West Java. Paper Presented in International Seminar on Consequences of Small Farm Mechanization. Los Banos, Philippines. PERPADI. 2002. Pola Penanganan Pengolahan Hasil Tanaman Padi. Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Penggilingan Padi Dan Pengusaha Beras Indonesia (DPP PERPADI). Jakarta. Tjahjohutomo,Rudy., Harsono, A. Asari, Teguh W.W dan Uning Budiharti. 2004. Pengaruh Konfigurasi Penggilingan Padi Rakyat Terhadap Rendemen Dan Mutu Beras Giling. Laporan hasil penelitian TA 2003. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Serpong, Banten. Thahir R, 2002. Tijauan Penelitian Peningkatan Kualitas Beras Melalui Perbaikan Teknologi Penyosohan.Makalah disajikan sebagai Persyaratan Kenaikan Pangkat /golongan IV/c. Balai Besar Pengembangan Alsintan, Serpong. Thahir R, 2005. Peningkatan Kinerja Penggilingan Padi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
378
PENGEMBANGAN ALSIN PENGOLAHAN TEPUNG MAIZENA CARA BASAH (Corn Wet Milling System) SKALA KECIL Harsono, Uning Budiharti dan Suparlan
ABSTRAK Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstraknya dari biji jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah sebesar 8,2% dan tip cap sebesar 5,3%. Pada bagian endosperm yang horny granula patinya berbentuk anguler atau poligonal dengan ukuran 2 – 30 μ sedang pada bagian yang floury berbentuk bulat (sferis) dengan ukuran 2 – 30 μ. Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang digunakan untuk bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi dll, serta digunakan dalam industri farmasi. Namun demikian upaya pengolahan untuk memproduksi pati jagung belum banyak dilakukan di dalam negri, hal ini terkendala pada tingginya investasi untuk menyediakan mesin pengolahannya, serta perlu perlakuan khusus dalam pengolahan jagung. Di dalam biji jagung terdapat lembaga yang mengandung minyak, sehingga apabila lembaga tersebut tidak dipisahkan terlebih dahulu, maka produk olahan jagung (tepung, pati) akan cepat rusak (tengik) karena adanya proses oksidasi maupun karena pengaruh air. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi di Serpong, melakukan penelitian pengolahan jagung, yang dimulai tahun 2005 yaitu rancang bangun pemisah biji jagung. Kapasitas mesin 49,2 kg/jam. Tahun 2006 dilanjutkan dengan mesin pengolah pati jagung cara basah, yang terdiri dari penggiling, sentrifuse pemisah pati dan gluten, serta pengering pati. Kata kunci : pati jagung, tepung maizena,sumber karbohidrat, industri
PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas penting dalam industri pangan, kimia maupun industri manufaktur. Di Indonesia jagung juga merupakan makanan pokok utama yang memiliki kedudukan penting setelah beras. Usaha pengembangan jagung nasional harus didukung oleh industri pascapanen sehingga mampu menciptakan keuntungan yang sebenarnya secara bisnis. Salah satunya adalah dengan membuat produk olahan berbasis jagung yang mempunyai umur simpan yang lama. Hal ini disebabkan karena komposisi kimia jagung yang cukup lengkap mulai dari protein, karbohidrat dan lemak (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi Kimia Setiap 100 gram (KA 12% bb) No.
Komponen
1 Karbohidrat 2 Protein 3 Serat 4 Abu 5 Lemak 6 Air Sumber : http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/g1115.htm
Prosentase (gram) 74,5 9,0 1,0 1,1 3,4 12,0
Pengolahan jagung menjadi beberapa produk seperti : pati jagung, minyak jagung, pakan ternak dan lain-lain, akan memberikan nilai tambah pada komoditas jagung. Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstrak biji jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah sebesar 8,2% dan tip capsebesar 5,3%. Pada bagian endosperm yang horny granula patinya berbentuk anguler atau poligonal dengan ukuran 2 – 30 μ sedang pada bagian yang floury berbentuk bulat (sferis) dengan ukuran 2 – 30 μ. Namun demikian upaya diversifikasi olahan produk jagung belum banyak dilakukan masyarakat mengingat masih terbatasnya unit mesin pengolahan jagung yang berkembang dimasyarakat, karena diperlukan perlakuan khusus dalam pengolahan jagung. Di dalam biji jagung terdapat lembaga yang mengandung minyak, sehingga apabila lembaga tersebut tidak dipisahkan terlebih dahulu, maka produk olahan jagung (tepung, pati) akan cepat rusak (tengik) karena adanya proses oksidasi maupun karena pengaruh air. Untuk mendukung program diversifikasi produk olahan jagung, maka pada TA 2005 telah dibuat prototipe alsin pemisah lembaga biji jagung sebagai dasar bagi pembuatan produk yang lain. Dan sebagai kelanjutannya maka pada TA 2006 akan dibuat prototipe alsin pengolahan jagung menjadi tepung mayzena.
379
Dengan diolah menjadi tepung mayzena diharapkan akan memberikan nilai tambah pada jagung dan meningkatkan pendapatan petani jagung.
KOMPOSISI KIMIA JAGUNG Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang mempunyai batang berbentuk bulat, beruas-ruas dan tingginya antara 60 – 300 cm. Setiap biji jagung secara botanis adalah sebuah biji Caryopsis, biji kering yang mengandung sebuah benih tungggal yang menyatu dengan jaringan – jaringan dalam buahnya.
Gambar 1. Struktur Utama Biji Jagung
Gambar 1 menunjukkan, biji jagung terdiri atas 4 bagian utama yaitu pericarp, lembaga (germ), endosperm dan tin cap. Pericarp juga disebut sebagai kulit atau bran terletak di bagian luar dari biji jagung. Endosperm merupakan bagian yang terbesar, yaitu 82% dari berat biji jagung adalah bagian endosperm. Merupakan sumber energi dan protein untuk pertumbuhan benih jagung. Lembaga (Germ) adalah merupakan bagian dari biji jagung. Sekitar 25% dari lembaga adalah minyak jagung. Minyak jagung adalah bagian yang sangat berharga dari jagung asam linoleat.
METODOLOGI Metode yang digunakan dalam pengolahan jagung adalah cara penggilingan basah, yaitu suatu proses dimana biji jagung direndam dengan air sulfur, digiling dan dipisah-pisahkan unsur-unsurnya menjadi empat produk utama yaitu tepung pati, gluten (protein), fiber dan germ (lembaga/minyak). Skematis tahapan-tahapan dalam metoda penggilingan basah (gambar 2. CORN Cleaning Steeping
Milling
Separator
Germ
Slurry
Washing
Milling
Dewatering
Separator
Drying Gluten
Starch
Dst Washing
Dewatering
Draying
Corn Starch
Gambar 2. Struktur Proses Pengolahan Jagung Sistem Basah. (Sumber : http://www.pionir.com/media/industry select/about-industry select/wet_ milling_brochure.pdf.)
380
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengembangan mesin pengolahan jagung skala kecil ini diawali dengan penelitian pendahuluan untuk mengetahui proses yang paling optimum dalam pengolahan jagung menjadi tepung mayzena. Parameter yang diukur meliputi parameter sifat-sifat fisik dan kimia jagung, sifat bahan teknik, fabrikasi dan ekonomi. Parameter sifat fisik dan kimia jagung antara lain meliputi: bulk density, temperatur pengeringan, ukuran partikel slurry, kandungan kimia biji jagung, kekentalan slurry, tekanan uap atau suhu medium pemanas dan laju aliran udara pengering. Berdasarkan tahapan-tahapan di atas maka dibuat skema proses pengolahan seperti terlihat pada gambar 3 dan 4.
Gambar 3 . Proses Pemisahan Lembaga Biji Jagung
Gambar 4 . Proses Pembuatan Pati Jagung
381
TAHAPAN PROSES Tahap proses pengolahan jagung menjadi tepung mayzena (pati jagung), yang meliputi : cleaning (pembersihan), steeping (perendaman), germ separation (pemisahan lembaga jagung), penggilingan halus (fine grinding) dan penyaringan melalui saringan halus (screening); pemisahan starch dan gluten, dan pemurnian pati (starch refining). Perendaman Perendaman yg tepat sangat penting untuk memperoleh rendemen tepung dan kualitas tepung yang baik. Proses ini berfungsi untuk melunakkan lapisan pektin (kulit) sehingga dapat menyerap air dan melunakkan bagian endosperm yang bertujuan untuk mempermudah pelepasan lembaga (germ), membuatnya menjadi lebih lembab dari bagian endosperm, sehingga mudah dipisahkan. Disamping itu juga untuk melepas dan memperkuat kulit ari sehingga memungkinkan untuk lepas dengan bagian yang besar. Perendaman dilakukan pada aliran berlawanan arah yang kontinyu. jagung yang bersih direndam selama 30 sampai 48 jam agar ikatan protein dan patinya lepas. Perendaman jagung dilakukan pada suhu sekitar 50oC Ikatan gluten didlm jagung mulai melepas patinya. Selama perendaman beberapa parameter yang harus diperhatikan adalah suhu perendaman, waktu perendaman dan konsentrasi larutan sulfite.
Gambar 5. Unit perendaman biji jagung. Kapasitas tangki perendaman yang dirancang disesuaikan dengan kapasitas pemisahan alsin pemisah lembaga biji jagung. Dengan kapasitas alsin pemisah lembaga biji jagung sekitar 50 kg/jam, maka kapasitas perendaman dirancang sekitar 300 – 400 kg per proses. Sehingga jagung yang diperoleh dari satu kali proses perendaman dapat dipergunakan untuk produksi selama satu hari, dengan asumsi 8 jam kerja/hari. Penggilingan Penggilingan jagung dapat dilakukan dengan menggunakan disc mill. Umumnya digunakan penggilingan yang memiliki satu permukaan gilingan stasioner dan satu permukaan gilingan yang berputar. Jarak renggang antara dua permukaan gilingan harus diatur sedemikian rupa sehingga bagian lembaga jangan sampai ikut hancur. Apabila terjadi banyak lembaga yang tergiling akan menyebabkan kehilangan minyak yang umumnya diserap oleh gluten dan tidak dapat diperbaiki kembali. Parameter lain yang harus diperhatikan selama proses penggilingan adalam putaran (RPM) dari piringan penggiling.
Gambar 6.Unit Penggiling dan Screw Pembawa Hasil Gilingan
382
Pemisahan Lembaga Biji Jagung Tahap berikutnya adalah pemisahan antara lembaga jagung (germ) dan kulit ari jagung dengan slurry dan komponen-komponen biji jagung. Mengingat perbedaan berat jenis yang cukup besar dari masingmasing komponen yang akan dipisahkan, maka untuk memisahkannya dapat digunakan hydrocyclone (siklon yang menggunakan penggerak air). Parameter yang harus diperhatikan dalam perancangan hydrocyclone salah satunya adalah kecepatan aliran air (tekanan lairan bahan). Besar kecilnya kecepatan air yang masuk ke dalam hydrocyclone akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pemisahan. Slurry yang telah bersih dari germ dan kulit jagung harus digiling lagi agar benar-benar lembut. Penggilingan dilakukan dengan mengatur jarak kerapatan dari disc, dan untuk penggilingan yang kedua jaraknya lebih dirapatkan.
Gambar 7. Unit hidrosiklon
Gambar 8 : Alsin Pemisah Lembaga Biji Jagung
Spesifikasi Alsin Unit Perendaman - Tangki Perendaman * Diameter (mm) : 750 * Tinggi (mm) : 210 - Keseluruhan * Diameter : 830 *Tinggi : 307 i) Unit Penggilingan - Dimensi * Panjang (mm) : 890 * Lebar (mm) : 960 * tinggi (mm) : 950 * Motor penggerak: Motor listrik 3 phase, 3 HP * Tipe Penggiling : Disc mill (piringan) 8 inch. - Unit Pembawa/Pengepres * Diameter (mm): 162 * panjang (mm) : 610 * Motor Penggerak : Motor listrik ¾ HP, 1 phase ii) Unit Hidrosiklon * Diameter (mm): 200 * tinggi (mm) : 730 iii) Unit Pemanas Air * Diameter (mm) : 600 * Tinggi (mm) : 100 - Keseluruhan * Diameter (mm) : 800
* Tinggi (mm) : 1600 383
Pemisahan primer antara pati dan gluten Pati kasar (starch crude) terdiri atas pati, gluten (yang mengandung protein) dan bahan terlarut lainnya. Pemisahan awal dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan beratjenis antara pati dan gluten. Pemisahan antara pati dan protein dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan menggunakan meja/bak pengendapan, hydrocyclone, dan sentrifugator. Pemisahan protein dari pati dilakukan agar pati yang dihasilkan benar-benar bebas dari lemak sehingga masa simpannya lebih lama dan tidak bau tengik. Pemisahan dengan bak pengendapan hasilnya kurang begitu bagus karena kandungan proteinnya masih cukup tinggi. Cara ini umumnya dipakai oleh industri-industri kecil di pedesaan. Sedangkan pemisahan dengan hydrocyclone memberikan hasil yang cukup bagus, namun biayanya mahal, karena menggunakan beberapa tahap pemisahan. Cara ini banyak digunakan di industri-industri besar karena dinilai cukup efisien dan hasilnya cukup baik dan pengoperasiannya bisa kontinyu. Mengingat partikel protein memiliki kerapatan yang rendah (1,1 g/m3) dibandingkan dengan partikel pati (1,5 g/cm3) memungkinkan memisahkannya dengan cara sentrifugasi. Hasil gilingan jagung yang telah direndam dan dimasukkan ke dalam container/tabung akan membentuk endapan pati di bagian bawah dan lapisan kuning dari protein (gluten) pada bagian atas dalam waktu 10 menit. Secara skematis gambar design mesin pemisah pati dan protein dengan menggunakan system sentrifugasi adalah seperti pada gambar 8. Adapun komponen-komponen utamanya terdiri dari 1) tabung pemisah yang dilengkapi dengan saringan, 2) motor penggerak, dan 3) system transmisi (pulley dan belt). Beberapa parameter design yang harus diperhatikan dalam perancangan mesin sentrifugator adalah putaran poros dari tabung pemisah dan ukuran saringan pati. Untuk pemisahan pati dan protein diperlukan putaran poros dari tabung pemisah yang cukup tinggi.
Gambar 8. Gambar Sket Unit Sentrifus
Pengeringan pati Untuk pengeringan produk pati dapat dilakukan dengan cara tradisional atau dengan menggunakan pengering artifisial. Pengeringan secara alamiah dilakukan dengan menjemur pati di atas para-para dengan menggunakan panas dari sinar matahari. Sedangkan untuk pengeringan secara artificial dengan menggunakan mesin pengering tipe flash (flash dryer). Pengering tipe ini cocok untuk pengeringan bahan berbentuk partikel (pati). Mesin pengering pati yang dirancang BBPMP adalah mesin pengering tipe flash dryer. Mesin ini terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu bagian pemanas, bagian pengumpan (feeding), tabung pengeringan, siklon penampung dan kipas penghembus. Secara skematis dapat dilihat pada gambar 9.
384
Dari hopper penampung, pati diumpankan melaui screw conveyor ke dalam flash dryer and akan kering dalam udara panas. Pati kering yang dialirkan secara pneumatic ke dalam silo dan siap untuk disaring dan dikemas. Kadar air setelah pengeringan adalah 12-13%. Secara skematik mekanisme kerja pada flash dryer disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 9. Gambar Skematis Pengering Tipe Flash Dryer Parameter utama yang digunakan dalam disain pengering tipe flash dryer antara lain : ukuran (diameter) butiran, kadar air awal dan akhir bahan, temperatur udara, konduktivitas panas, kapasitas pengeringan yang diinginkan dan lain-lain. Berdasarkan parameter-parameter tersebut kemudian dihitung laju aliran panas yang dibutuhkan, diameter dan tinggi pengering.
KESIMPULAN 1) Telah dirancang mesin pengolahan jagung menjadi pati jagung (tepubg mayzena) skala kecil sistem basah. 2) Komponen-komponen utama mesin pengolahan jagung adalah bagian pemisah lembaga biji jagung, bagian pemisah pati dan protein (sentrifus) dan bagian pengeringan pati. 3) Bagian pemisah lembaga biji jagung telah selesai dibuat dan diuji dengan kapasitas 50 kg/jam.
DAFTAR PUSTAKA Anonim,2001, CornQuality for Industrial Uses, http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/g1115.htm Anonim, Beall Degerminators, http://www.bealldeg.com/ Anonim, Wet Milling Process, http://www. pionir.com/media/industry select/about-industry select/wet_ milling_brochure.pdf. Djauhari A., Adimesra J., Irlan S., Maize Production in Java Prospects for Improved Farm-Level Production Technology, CPGRT Center, Bogor. Haryadi, 2004, Ragam Pangan Pokok dan Pengolahannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta. Subandi, Inu G., Hermanto, 1998, JAGUNG Teknologi Produksi dan Pascapanen, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Syarif R, dan J Kumendong, 1997, Penanganan Panen dan PascaPanen Jagung Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Jagung Untuk Industri/Ekspor, Seminar Temu Teknis Badan Pengendali Bimas. Departemen Pertanian, Jakarta.
385
KELAYAKAN PAKET TEKNOLOGI USAHATANI DENGAN POLA TUMPANGSARI UBIKAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Nila Prasetiaswati dan Abdul Munip Staf Peneliti Balitkabi
ABSTRAK Untuk perbaikan komponen teknologi pemupukan dan pengelolaan tanaman ubi kayu spesifik lokasi lahan kering masam dilakukan penelitian teknologi tumpangsari baris ganda ubi kayu dan teknologi pemupukan ubi kayu pada musim tanam 2005/2006 di Kabupaten Lampung Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan secara ekonomi komponen teknologi usahatani serta efektivitas pola tumpangsari ubi kayu. Percobaan menggunakan Rancangan Percobaan Petak Terpisah dengan 3 ulangan, luas plot 5 m x 10 m. Petak utama menggunakan klon ubi kayu Malang 6, UJ-5, BIC 137 dan UJ-4. Sebagai anak petak menggunakan sistem baris ganda tumpangsari yaitu : (T1) Monokultur ubi kayu ( 100 cm x 100 cm); (T2). Tumpangsari ubi kayu + jagung (50 ; 200) x 80 cm; (T3). Tumpangsari ubi kayu + jagung + kacang tanah (60 ; 273) x 60 cm. Dosis pemupukan ubi kayu adalah 100 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha, jagung 200 kg Urea + 100 kgSP36 + 100 kg KCl/ha sedang pada kacang tanah 50 kg Urea/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil ubi kayu pada T1, T2 dan T3 berbeda secara significant. Masing-masing adalah 35, 5 t/ha, 42, 46 t/ha dan 39,49 t/ha, hasil ubi tertinggi pada teknologi T2 (tumpangsari ubi kayu + jagung). Pada pola tumpangsari T2, semua varietas (Malang 6, UJ 5, BIC 137 dan UJ 3) mempunyai B/C ratio lebih besar dari 1 (B/C ratio > 1), keuntungan yang dapat diperoleh berkisar antara Rp 5.715.400 – Rp 9.298.600. Keuntungan tertinggi pada T2 dengan ubi kayu Varietas/Klon Malang 6, dengan perolehan penerimaan ubi kayu sebesar Rp 13.046.800 dan jagung Rp 1.336.000 . Sedangkan teknologi T3 memberikan keuntungan sebesar Rp 10.193.600 (B/C ratio 1,5). Pada pola ini petani dapat memperoleh pendapatan dari jagung sebesar Rp 1.592.000 dan dari kacang tanah sebesar Rp 3.030.000, sedangkan pada varietas lain ( BIC 137 dan UJ 3) mempunyai B/C ratio <1. Dengan demikian polatanam tumpangsari dengan teknologi T2 paling layak untuk dikembangkan di daerah Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas/klon UJ3 dan UJ5 sangat layak untuk pola tanam tumpangsari, karena tipe tanaman yang tegak dan hasil produksi yang cukup tinggi Kata kunci : kelayakan ekonomi, paket teknologi, tumpangsari, ubi kayu
PENDAHULUAN Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) mempunyai kedudukan yang strategis dan potensinya besar sebagai penghasil bahan pangan karbohydrat dan juga merupakan bahan baku industri dan sebagai penghasil devisa negara melalui ekspor dalam bentuk gaplek maupuin dalam bentuk olahan lainnya. Dalam penerapan suatu teknologi sangat dipengaruhi oleh : (1) Faktor sosial ekonomi internal (tujuan berusahatani); (2) Faktor kondisi sosial ekonomi eksternal (pasar, masukan dan luaran, kelembagaan, dan kebijakan nasional dan regional; (3) Faktor kondisi alam (iklim, biologi dan tanah). Introduksi teknologi baru relatif sulit dilaksanakan, tidak jarang ditolak petani. Hal ini dapat disebabkan oleh : (1) Teknologi baru tidak dapat menyatu dengan kondisi petani; (2) adopsi teknologi baru dapat memberi kemungkinan meningkatnya pendapatan resiko dan juga adanya kegagalan (Byerlee dan Collinson, 1980 ; adjid, 1985). Oleh karena itu introduksi teknologi baru harus dikaji dalam dimensi tidak secara teknis saja, tetapi juga ekonomisnya agar dapat diadopsi petani. Lahan kering Alfisol sangat potensial untuk pengembangan ubi kayu. Tanah jenis ini mempunyai keunggulan sifat fisik yang bagus. Namun demikian tanah Alfisol umumnya miskin unsur hara , baik yang makro maupun yang mikro, dan hanya kaya akan unsur hara Ca dan kadang-kadang Mg ( Supardi, 1983). Di samping itu, lahan kering jenis Alfisol yang sudah lama dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan kandungan humusnya umumnya sudah rendah sampai sangat rendah (Sarief, 1986). Pada kondisi tersebut tanaman pangan termasuk ubi kayu sulit berproduksi secara optimal tanpa adanya pengelolaan tanah dan tanaman yang optimal. Bertanam ubi kayu sistem tumpangsari dengan komoditas legum seperti kacang tanah sangat baik untuk mempertahankan kadar humus dalam tanah, tingkat kesuburan tanah bahkan dapat meningkatkan kadar humus dalam tanah (CIAT, 1979) sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Bertanam secara tumpangsari mempunyai 2 tujuan yaitu mampu menghasilkan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk organik dan mampu mengahasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan petani sebagai tambahan selain ubi kayu (Ispandi dkk, 2003). Disampaikan juga oleh Karama (2003) bahwa agar pendapatan petani ubi kayu dapat meningkat, penanaman ubi kayu diarahkan secara tumpangsari dengan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan saling sinergik serta tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
386
Dilaporkan bahwa penelitian ubi kayu di tanah Ultisol Lampung yang ditanam secara tumpangsari dengan kacang tanah dapat menekan erosi tanah sebesar 22 % bila dibanding dengan pertanaman monokultur ubi kayu dan meningkatkan penggunaan tanah sebesar LER 1,62 % dan pendapatan kotor 30% lebih tinggi dibanding tanaman monokultur (Wargino dan Heriyani, 1996). Hasil penelitian Ispandi dkk.(2003), penelitian di lahan kering Alfisol Malang Selatan menunjukkan bahwa ubi kayu yang ditanam dengan pola tumpangsari ubi kayu + (jagung-kacang tanah) dapat menghasilkan umbi 54% lebih tinggi daripada yang ditanam dengan pola tanam ubi kayu + jagung, dimana setelah panen jagung, lahan bekas jagung dibiarkan kosong. Dari penelitian tersebut dapat dihasilkan 1455 kg kacang tanah polong kering selain hasil ubi kayu dan jagung. Hutagalung dan Suhaeti (2001) menyampaikan bahwa polatanam tumpangsari ubi kayu dan jagung di Lampung Timur dan Lampung Tengah dengan pemberian pupuk yang tepat serta penggunaan varietas unggul dapat menerima keuntungan sebesar Rp 2.354.325,00 (B/C ratio 0,9) dari modal Rp 2.777.425. Juga penelitian Wargiono (2003) menjelaskan bahwa penggunaan sistem tumpangsari ubi kayu + jagung + padi di Lampung pada luasan 0,38 ha dapat menyumbangkan kebutuhan pangan, yaitu beras selama 6-8 bulan dan 46 bulan dengan ubi kayu untuk sunbtitusi beras serta pendapatan Rp 729.000/8 bulan untuk petani dengan lima orang anggota keluarga. Dari hasil penelitian Ispandi (2002); Munip dan Ispandi (2004) menunjukkan bahwa teknologi budidaya tumpangsari dengan cara baris ganda (double row) ubi kayu dengan jagung atau kacang-kacangan dapat meningkatkan produktivitas ubi kayu disamping hasil tambahan dari tanaman tumpangsari. Beberapa hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa dengan perbaikan teknologi dan pola tanam dapat meningkatkan pendapatan. Diharapkan teknologi ubi kayu yang diperkenalkan dapat dan cepat diadopsi petani pada kondisi sosial ekonomi petani setempat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan secara ekonomi komponen teknologi usahatani pola tumpangsari ubi kayu.
METODOLOGI Lokasi pemeliharaan adalah di Kecamatan Punggur Lampung Tengah pada musim penghujan 2005/2006 (tanam Oktober 2005). Rancangan percobaan menggunakan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Luas plot 5 x 10 m2 dengan petak utama klon ubi kayu (Malang 6, UJ5, Big137 dan UJ-4). Tanaman sela jagung hibrida P12 ditanam bersama ubi kayu dalam areal 2 m diantara baris ganda ubi kayu. Setelah jagung dipanen kemudian ditanami dengan kacang tanah. Pemupukan ubi kayu diberikan dosis 100 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Sedangkan jagung dipupuk 200 kg urea + 100 kg SP 36 + 100 kg KCl/ha, dan kacang tanah hanya dipupuk 50 kg urea. Perlakuan sistem tanam tumpangsari sebagai berikut : (1) monokultur ubi kayu populasi 10.000 tanaman/ha jarak tanam 100cm x 100cm; (2) sistem tumpangsari baris ganda ubi kayu. Populasi 10.000 tanaman/ha jarak tanam (50; 200) x 80 cm, di antara baris ganda ubi kayu berjarak 200 cm ditanami 3 baris jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm 1 tanaman per lubang; (3) sistem tumpangsari baris ganda ubi kayu populasi 10.000 tanaman/ha jarak tanam ubi kayu (60 ; 273 cm) x 60 cm. Diantara baris ganda ubi kayu berjarak 273 cm ditanami 4 baris jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm 1 tanaman per lubang. Setelah jagung dipanen kemudian ditanami kacang tanah jarak tanam 40 cm x 20 cm 2 biji per lubang. Bersamaan dengan penelitian lapang, dilakukan pula penelitian usahatani pada petani koperator. Teknik penelitian dilakukan dengan wawancara dan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah disusun. Pemilihan petani dilakukan dengan teknik purposive sampling (5 petani koperator). Petani koperator sebagai pengguna teknologi yang diperkenalkan oleh Balitkabi. Pengamatan di tingkat petani, meliputi : gambaran umum usahatani ubi kayu serta respon petani terhadap teknologi yang diperkenalkan. Data yang terkumpul dievaluasi dengan cara ditabulasi dan metode analais yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis imbangan keuntungan dan biaya (B/C ratio)
HASIL DAN PEMBAHASAN a) Keragaan Komponen Teknologi Penelitian dilaksanakan pada awal musim penghujan 2005/2006 tanam awal bula Oktober 3006. pada pola sistem monokultur maupun tumpangsari populasi ubi kayu adalah sama yaitu 10.000 tanaman per hektar. Dengan sistem tanam baris ganda ubi kayu dalam pola tumpangsari dengan tanaman jagung maupun dengan tanaman kacang tanah memiliki ruamg pertumbuhan yang cukup luas baik pola tumpangsari baris
387
ganda jarak tanam (50 x 80 ) 200 cm (T2) maupun yang jarak (60 x 60 ) 273 cm (T3), sehingga memberikan hasil ubi kayu segar lebih tinggi dibanding monokultur. Dengan perlakuan seperti tersebut diatas, ditambah dengan pengelolaan tanah yang baik, Varietas Malang 6 dan UJ 3 pada T1 dapat menghasilkan umbi masing-masing 37.5 t/ha dan 38,4 t/ha.. Hasil umbi tersebut sudah sesuai dengan potensi hasil ubi kayu varietas unggul pada umumnya yaitu sekitar 35 t/ha (Balitkabi, 2005). Propinsi Lampung mencapai 299.000 ha dengan produktivitas 17,6 ton/ha dan produksi ubi kayu di Lampung pada tahun 2003 mencapai 4,98 juta ton sedangkan pada tahun 2004 hanya 4, 68 juta ton terjadi penurunan sekitar 6% (BPS, 2004). Hasil analisa statistik perlakuan T2 (ubi kayu + jagung) dan T3 (ubi kayu + jagung + kacang tanah) berbeda nyata pada hasil ubi (Tabel 1). Pada perlakuan T2 dan T3 dengan pola tumpangsari, Varietas Malang 6 dan UJ 3 dapat menghasilkan umbi yang cukup tinggi dibandingkan dengan varietas lain. Hasil umbi Varietas Malang 6 berkisar antara 47,2 – 50,18 t/ha dan Varietas UJ 3 berkisar antara 32,9 – 42,46 t/ha (Tabel 2). Tabel 1. Hasil Ubikayu Pada Komponen Teknologi Introduksi Berdasarkan Hasil Analisa Statistik di Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, 2005 Perlakuan Sistem Tanam Ubikayu Monokultur (T1) Jarak tanam (100 x 100) cm Tumpangsari Ubikayu + Jagung (T2) Jarak tanam 200 x (80 x 50) cm Tumpangsari Ubikayu + Jagung + Kacang tanah (T3) Jarak tanam 273 x (60 x 60) cm
Hasil ton/ha 35,5 b 42,46 a 39.49 ab
Tabel 2. Hasil Ubikayu, Jagung dan Kacang Tanah Pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, 2005
Varietas Malang 6 UJ 5 BIC 147 UJ 3 Jagung Kc.tanah
Monokultur Ubikayu (t/ha) 37.5 35.7 30.3 38.4 4.2 1.6
Sistem Tanam Tumpangsari Ubikayu + Tumpangsari Ubikayu+Jagung+Kacang Jagung (t/ha) Tanah (t/ha) Ubikayu Jagung Ubikayu Jagung Kc.Tanah 50.18 1.67 47.2 2.16 0.53 44.85 1.67 47.9 1.99 1.01 34.15 2.46 29.9 2.38 0.99 40.65 2.02 32.9 2.37 1.02
b) Penggunaan Input dan Teknologi Stek dan Benih Dalam kajian ini menggunakan dua varietas ubi kayu UJ-5 dan Malang-6 dan dua klon unggul harapan ubi kayu BIC-137. Pola tanam monokultur menggunakan dasar populasi tanaman 10.000 tanaman hektar atau identik dengan kebutuhan 10.000 stek/ha,juga pada pola tumpangsari pada saat tanam. Harga stek untuk bibit pada saat tanam Rp 20,00/stek. Varietas kacang tanah Lokal digunakan pada pola tumpangsari ubi kayu + jagung + kacang tanah dan Varietas jagung P12 digunakan pada pola tumpangsari ubi kayu + jagung. Harga benih kacang tanah pada saat tanam Rp 9.000/kg dan benih jagung Rp 35.000/kg Pupuk Tanaman ubi kayu untuk semua perlakuan dipupuk 200 kg Urea + 100 kg KCl + 100 kg SP36/ha. Kacang tanah tumpangsari dipupuk 50 kg Urea/ha dan 300 kg/ha kapur, dan tanaman jagung tumpangsari dipupuk 200 kg Urea + 100 kg SP-36/ha + 100 KCl. Harga pupuk kimia Urea, SP36, KCl dan kapur pada saat tanam masing-masing adalah Rp.1220/kg; Rp.1700,00/kg , Rp.2800,00/kg dan kapur Rp 380,00/kg Pestisida Perlakuan pemberantasan hama penyakit dilakukan apabila terdapat serangan. Pada percobaan yang dilaksanakan, tanaman jagung diserang oleh Heliothis armigera. Penyemprotan dilakukan sebanyak 2 kali pada tanaman jagung berumr 21 hst dan 42 hst. Pestisida yang digunakan adalah Regent. Sekali aplikasi
388
diperlukan 4 botol (100 cc)/ha dengan harga Rp 24.000/botol. Biaya yang diperlukan pestisida sebesar Rp 96.000/aplikasi/ha. c)
Kebutuhan Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada aktivitas penelitian ini meliputi : pengolahan tanah, pembuatan saluran drainase, tanam, pemupukan, pembubunan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan prosessing. Biaya tenaga kerja usahatani ubi kayu, jagung dan kacang tanah untuk semua kegiatan kecuali pengolahan tanah dan pengendalian hama sebesar Rp 20.000/orang (kegiatan dimulai jam 07.00- 11.00 dilanjutkan dari jam 12.00 – 14.00) dan upah pengolahan tanah sebesar Rp 240.000/ha dan pengendalian hama dilakukan mulai jam 07.00 – 11.00 sebesar Rp 15.000/orang. d) Analisa Kelayakan Komponen Teknologi Dari hasil penelitian tumpangsari ubi kayu + jagung pada varietas ubi kayu Malang 6 (B/C Ratio 1,8) dan UJ 5 (B/C Ratio 1,6), juga tumpangsari ubi kayu + jagung + kacang tanah pada varietas ubi kayu Malang 6 (B/C Ratio 1,1), UJ 3 (B/C Ratio 1,4) sangat layak untuk dikembangkan di Kecamatan Punggu, Lampung Tengah (Tabel 5). Biaya produksi pada T2 berkisar antara Rp 5.084.200 – Rp 5.131.600/ha, dengan keuntungan yang diperoleh petani berkisar antara 5.715.400 – Rp 9.298.600/ha, sedangkan biaya produksi terbesar pada perlakuan T3, yaitu sebesar Rp 6.892.600/ha, namun perlakuan ini dapat memberikan keuntungan tertinggi yaitu sebesar Rp 10.193.600 (B/C Ratio 1.5). Dari kedua pola tumpangsari tersebut dapat dilihat bahwa B/C Ratio dengan pola tanam tumpangsari ubi kayu + jagung lebih menguntungkan daripada pola teknologi T3. Teknologi T2 sangat layak untuk diterapkan dan dapat direkomendasikan kepada petani setampat. Hal yang sama disampaikan oleh Rozy dkk, (1990) bahwa secara ekonomi pola tumpangsari berbasis ubi kayu yang terbaik ialah ubi kayu + jagung. Tabel 3. Total Biaya Produksi Pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Punggur, Lampung Tengah, 2005 (Rp. 1000) Kegiatan
T1 Fisik
Nilai (Rp/ha)
T2 fisik
Nilai (Rp/ha)
T3 Fisik
Nilai (Rp/ha)
Naker (HOK/Ha) Persiapan lahan (Pasang) 2 240 2 240 3 Pembuatan drainase 2 40 2 40 2 Penanaman 10 200 22 440 38 Pemupukan 12 120 12 240 18 Pembubunan 10 200 6 120 6 Penyiangan 24 480 24 480 32 Pengendalian hama 0 0 6 90 6 Panen 32 640 56 1.120 88 Saprodi - Stek ubi kayu (stek) 10.000 200 10.000 200 10.000 -Benih Jagung (kg/ha) 16 560 14 -Benih Kc.Tanah (kg/ha) 42 Pupuk : -Urea 200 244 300 244 350 -SP-36 100 170 200 340 200 -KCl 100 280 200 560 200 -Kapur 300 Insektisida (cc/ha) 192 2.934 4.984* Biaya Produksi *) Biaya belum ditambahkan dengan biaya pemipilan jagung, dimana biaya pemipilan jagung Rp 6000/kw
400 40 760 360 120 640 90 1.760 200 490 378 305 340 560 114 84 6.763*
389
Tabel 4 . Penerimaan Petani Dari Tiga Pola Tanam Ubikayu Pada Perlakuan Teknologi Punggur, Lampung Tengah, 2005
Introduksi di Kecamatan
Ubikayu MK Tumpangsari Ubikayu + Jagung Tumpangsari Ubikayu + Jagung + Kc.tanah Varietas/Klon Penerimaan Biaya Penerimaan Penerimaan Biaya Penerimaan Penerimaan Penerimaan Biaya ubi kayu U.kayu Total U.kayu Jagung Total U.kayu Jagung Kc. Tanah Total (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)* (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) (Rp/ha)* Malang 6
9.750.000
2.934.000 13.046.800
1.336.000
5.084.200 12.272.000
1.728.000
1.590.000
6.892.600
UJ 5
9.282.000
2.934.000 11.661.000
1.338.400
5.084.380 12.454.000
1.592.000
3.030.000
6.882.400
BIC 137
7.878.000
2.934.000
8.879.000
1.968.000
5.131.600
7.774.000
1.904.000
2.970.000
6.905.800
UJ 3
9.984.000
2.934.000 10.569.000
1.616.000
5.105.200
8.554.000
1.896.000
3.060.000
6.905.200
*) Biaya telah ditambahkan dengan biaya pemipilan Rp 6000/kw Tabel 5.
Keuntungan dan B/C Ratio pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, 2005
Varietas/ Klon Ubikayu Malang 6 UJ 5 BIC 137 UJ 3
e)
Ubikayu monokultur Keuntungan B/C Ratio (Rp/ha) 6.816.000 6.348.000 4.944.000 7.050.000
Ubikayu + Jagung Keuntungan B/C Ratio (Rp/ha)
2,3 2,2 1,7 2,4
9.298.600 7.915.020 5.715.400 7.079.800
1,8 1,6 1,1 1,4
Ubikayu + Jagung +kc.tanah Keuntungan B/C Ratio (Rp/ha) 8.697.400 10.193.600 5.742.200 6.604.800
1,3 1,5 0,8 0,9
Respon Petani Terhadap Komponen Teknologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum petani koperator terkesan dan menanggapi secara baik terhadap komponen teknologi T2, dengan alasan: (a) penampakan tanaman sangat bagus; (b) Tanaman jagung dapat tumbuh dan produksi tinggi; (c) jarak tanam yang teratur dan adanya drainase sangat memudahkan perawatan tanaman; dan (d) Varietas UJ 3 dan UJ 5 mempunyai tipe yang bagus (tegak dan kanopi daun tidak melebar); (e) Biaya produksi masih dapat diusahakan oleh petani; (f) penjualan hasil panen jagung relatif mudah dan harga relatif stabil.
KESIMPULAN 1.
B/ C ratio T2 lebih tinggi daripada polatanam tumpangsari T3, sehingga pola tumpangsari ubi kayu dengan teknologi T2 sangat layak dikembangkan
2.
Tingginya hasil produksi dan tipe tanaman yang tegak Varietas/klon UJ3 dan UJ5 sangat layak untuk pola tanam tumpangsari.
3.
Pendapatan dari cara tanam ubi kayu secara monokultur, kurang menguntungkan karena hasil baru dapat dinikmati pada bulan ke 10
DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A.1985. Pola Partisipasi masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Pertanian Berencana : Kasus Usahatani Kelompok Hamparan dalam Intensifikasi Khusus (Insus) Padi : Suatu Survai di Jawa Barat. Disertasi Universitas Padjadjaran. Bandung Balitkabi. 2005. Diskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Indonesia. 154 h. BPS. 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta Byerlee Derek and M.Collinson. 1980. Procedures. CYMMYT. Mexico
Planning Technologies Appropriate to Farmers: Concepts and
CIAT (D.Franklin, G.Sandoval and P.Jun.1979). The Ideal Cassava Plant for Maximum Yield. Crop.Sci.19.271-279.
390
Hutagalung dan Suhaeti 2001. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. ISSN 0216-4427. Vol.23 No.5. Hal 16-17 Ispandi, A. 2002. Pengelolaan Ubikayu di Lahan Kering Alfisol Mendukung Agroindustri dan Optimasi Produktivitas Lahan. Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Dalam Jusuf M.., Soejitno J., Sudaryono., Arsyad D.M, Rahmianna A.A., Heriyanto, Marwoto, Tastra I.K., Adie M dan Hermanto. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 96-107 Ispandi, A., L J Santosa, E Ginting. 2003. Pemberdayaan Ubikayu Mendukung Ekonomi Keluarga Petani Di Pedesaan Lahan Kering Iklim Kering. Pemberdayaan Agribisnis Ubikayu Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Hartojo K.,Heriyanto, Sudaryono, Arsyad D.M., Suharsono, Tastra I K. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 147-160 Ispandi, A. dan A. Munip. 2004. Efektivitas Pupuk ZA, K dan Frekuensi Pemberian Pupuk K dalam Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Ubikayu di Lahan Kering Alfisol. Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. hal.368-383. Karama, S. 2003. Potensi, Tantangan Dan Kendala Ubikayu Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Jusuf M.., Soejitno J., Sudaryono., Arsyad D.M, Rahmianna A.A., Heriyanto, Marwoto, Tastra I.K., Adie M dan Hermanto. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 1-13 Rozy F., Y. Widodo and H. Hartoyo. 1990. On Farm Research of Cassava Intercropped With Maize. Root Crops Improvement In Indonesia. In Yudi Widodo and Sumarno. Malang-Indonesia. Page 17-20 Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. 591 hlm. Syarief, E.S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Jakarta. 157h. Wargiono, J. 2003. Pemupukan NPK Pada Ubikayu Dalam Sistem Tumpangsari pada Tanah Ultisol. Pemberdayaan Agribisnis Ubikayu Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Hartojo K.,Heriyanto, Sudaryono, Arsyad D.M., Suharsono, Tastra I K. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Hal 135-146
391
ANALISIS KELAYAKAN DAN KONTRIBUSI PENDAPATAN USAHATANI KOMODITAS TANAMAN PANGAN DAN PALAWIJA DI LAHAN KERING DATARAN RENDAH Jemmy Rinaldi, I Ketut Mahaputra dan I Made Rai Yasa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Potensi suatu komoditas seringkali dilihat dari potensi lahannya. Lahan kering biasanya sebagai objek masalah yang dihadapi petani dalam berusahatani. Kajian ini dilakukan di subak sawah Karya Sari Bumi di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali yang bertujuan untuk (1) mengetahui komoditas dominan yang diusahakan oleh petani, (2) mengetahui kelayakan finansial usahatani yang diusahakan dan (3) mengetahui berapa besar kontribusi pendapatan yang diusahakan dari beberapa komoditas dominan tersebut. Pengkajian menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Survei/wawancara dilakukan pada bulan April 2006 dengan jumlah petani responden sebagai peserta PRA sebanyak 40 orang. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui pendapatan dan kelayakan usahatani yaitu R/C ratio dan analisis kontribusi pendapatan usahatani. Berdasarkan hasil analisis, komoditas dominan yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi Desa Sanggalagit adalah Padi, kacang tanah dan jagung dengan rara-rata kepemilikan lahan petani sebesar 90 are. Komoditas kacang tanah mampu memberikan tingkat pendapatan tertinggi per tahun yaitu sebesar Rp. 2.380.000 dengan kontribusi pendapatan 63,64%. Sedangkan komoditas jagung tidak memberikan kontibusi terhadap pendapatan petani yang disebabkan ruginya usaha yang dilakukan petani yaitu sebesar Rp. 78.000 dengan luas areal pertanaman rata-rata sebesar 10 are. Hal ini disebabkan kurangnya air yang diperoleh pada saat berusahatani jagung yaitu pada musim kemarau. Tingkat kelayakan tertinggi komoditas dominan yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi Desa Sanggalangit yaitu komoditas kacang tanah dengan nilai R/C ratio sebesar 2,47. kemudian diikuti dengan komoitas padi dengan nilai R/C ratio sebesar 1,46. Sedangkan untuk komoditas jagung nilai R/C ratio sebesar 0,61. Kata kunci : kelayakan, kontribusi pendapatan, lahan kering, PRA
PENDAHULUAN Potensi lahan kering nasional yang pada tahun 1999 diperkirakan seluas 12,23 juta hektar (Zakaria dan Swastika, 2005) yang sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Propinsi Bali memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (218.119 ha) dari luas Propinsi Bali yaitu 563.286 ha, yang sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng). Rata-rata curah hujan untuk daerah ini berkisar antara 1.200 - 1.600 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek 3-4 bulan yang biasanya terjadi pada bulan November samapai bulan Februari (Suprapto, 2003). Lahan produktif (lahan sawah) semakin menyusut akibat beralih fungsi, sehingga perlu dicari alternatif lahan baru untuk pengembangan tanaman pangan antara lain dengan pemanfaatan lahan kering yang masih begitu luas (Mahaputra dan Adijaya, 2004). Lahan kering di Bali utara umumnya belum terkelola dengan optimal, sehingga pola tanam pada tanamanan pangan semusim seperti jagung dan kacang tanah dilakukan pada musim penghujan (Suprapto et al., 1999) Masalah kemiskinan di pedesaan lebih banyak dijumpai di wilayah yang berbasis lahan kering dan gejala kemiskinan tersebut disebabkan antara lain oleh daya dukung alam relatif kurang, prasarana ekonomi yang kurang merata dan kelembagaan belum menjangkau masyarakat setempat serta mutu sumberdaya manusia yang relatif masih rendah (Puslit Sosek Pertanian, 1993). Pada dasarnya tingkat kemiskinan mutu masyarakat erat hubungannya dengan kesenjangan kontribusi pendapatan masyarakat Dengan kata lain, kesenjangan kontribusi pendapatan diantara anggota masyarakat mempunyai korelasi positif dengan besarnya proporsi rumah tangga miskin di suatu komunitas. Kasryno dan Suryana (1992) mengatakan ada dua karakter desa miskin, yaitu terbatasnya aset produktif seperti lahan dan kapital serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Kedua karakteristik tersebut diduga merupakan kendala dalam mengaplikasikan suatu teknologi yang dapat berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan bagi masyarakat petani yang berpenghasilan rendah. Selama ini program pengembangan teknologi lahan kering relatif tertinggal dan bahkan kurang diprioritaskan dibanding lahan irigasi, sehingga menjadikan mereka semakin terpuruk dan akhirnya masuk kedalam perangkap kemiskinan. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan diatas maka perlu adanya teknologi baru untuk mengembangkan lahan kering dalam peningkatan pendapatan petani. Sebelum masuknya teknologi baru maka terlebih dahulu perlu mengetahui seberapa besar pendapatan yang diterima
392
petani dalam mengusahakan lahannya sebelum memulai masuknya teknologi baru sebagai data dasar indikataor peningkatan pendapatan.
METODOLOGI Kajian kelayakan dan kontribusi pendapatan usahatani tanaman pangan dan palawija dilakukan di subak sawah Karya Sari Bumi, Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Propinsi Bali. Pengkajian dilakukan dengan metode survei/wawancara menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan tujuan sebagai data dasar keadaan finasial petani secara parsial di daerah pengkajian. Survei/wawancara dilakukan pada bulan April 2006 dengan jumlah petani responden sebagai peserta PRA sebanyak 40 orang. Adapun data yang diperoleh adalah data input output usahatani yang dilakukan selam satu tahun yaitu tahun 2005. Analisis pendapatan digunakan rumus (Downey dan Erickson, 1985 dan Suratiyah, 1997). I =
(y . Py ) -
(Xi . Pxi )
Keterangan : I = Pendapatan (Rp/ha) Y = Output/hasil (kg) Pxi = Harga input (Rp) Py = output (Rp) Xi = input (i = 1,2,3….n) Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis anggaran parsial. Indikator analisis yang dipakai adalah R/C ratio (Return Cost Ratio). Soekartawi (1995) menyebutkan bahwa R/C ratio adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut : R a = C R = Py.Y C = FC + VC a = (Py.Y) / (FC +VC) Keterangan : R = C = Py = Y = FC = VC =
Penerimaan Biaya Harga output Output Biaya tetap (fixed cost) Biaya tidak tetap (variabel cost)
Jika : a > 1 maka dikatakan layak, a < 1 maka dikatakan tidak layak dan a = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi) Sedangkan analisis kontribusi pendapatan diperoleh dengan cara membandingkan antara pendapatan komoditas dengan pendapatan total usahatani dalam satu tahun dikalikan 100% yaitu dengan rumus : Pn x 100% TP Keterangan : Pn = Pendapatan komoditas n TP = Total pendapatan Usahatani
393
HASIL DAN PEMBAHASAN Komoditas Dominan Subak sawah Karya Sari Bumi mengusahakan komoditas tanaman pangan dan hortikultura. Sebagian besar petani mengusahakan komoditas padi, kacang tanah dan jagung. Rata-rata kepemilikan lahan di subak sawah Karya Sari Bumi yaitu sebesar 90 are dengan luas pertanaman padi 90 are, kacang tanah 90 are dan komoditas jagung seluas 10 are. Dalam hal ini komoditas jagung tidak diusahakan seluruh kepemilikan lahan sebab persediaan air pada penanaman jagung kurang yaitu pada musim kering. Usahatani Komoditas Padi Salah satu komoditas utama yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi adalah padi dengan luas areal pertanaman sebesar 90 are. Varietas padi yang diusahakan petani tersebut adalah IR 64 dan Ciherang dengan biaya benih per kg sebesar Rp. 4.000. Adapun analisa usahatani komoditas padi dengan luas areal 90 are di subak sawah Karya Sari Bumi disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Analisa Uasahatani Komoditas Padi dengan Luas Areal Rata-Rata 90 Are di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005 No I 1 2
3
II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 III 1 2 IV V VI
Uraian Biaya Sarana Produksi Benih (IR 64/Ciherang) (kg) Pupuk Urea (zak) SP36 (zak) KCl (zak) ZA (zak) Obat-obatan Decis (buah) Ali (bungkus) Total Biaya Saprodi Biaya Tenaga Kerja Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) Penyemaian Benih (HOK) Pencabutan Benih (kg) Penanaman (are) Pemupukan (HOK) Penyiangan (HOK Penyemprotan (HOK) Panen (beras) 10 : 1(kg) Slep (12%) (kg) Total Biaya Tenaga Kerja Produksi/Penerimaan Beras (kg) Dedak Total Penerimaan Usahatani Total Biaya Usahatani Pendapatan Usahatani R/C ratio
Volume
Harga/Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
60
4.000
240.000
4 1 1 2
65.000 85.000 100.000 65.000
260.000 85.000 100.000 130.000
2 2
55.000 6.000
110.000 12.000 937.000
20 1 60 90 2 1 3 170 204
20.000 20.000 4.000 4.500 20.000 20.000 20.000 2.600 2.600
400.000 20.000 240.000 405.000 40.000 20.000 60.000 442.000 530.400 2.157.400
1.700 140
2.600 800
4.420.000 112.000 4.532.000 3.094.400 1.437.600 1,46
Sumber : Data Primer diolah
Hasil analisis usahatani komoditas padi di subak sawah Karya Sari Bumi dengan luas areal 90 are memberikan gambaran bahwa komoditas padi yang diusahakan memperoleh pendapatan kotor sebesar Rp. 4.532.000,- dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 1.437.600,-. Usahatani Komoditas Kacang Tanah Komoditas tanaman pangan lainnya yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi adalah kacang tanah, yang dominan yang diusahakan setelah komoditas padi. Benih kacang tanah yang diusahakan petani adalah benih kacang tanah varietas lokal. Rata-rata petani mengusahakan kacang tanah dengan luas areal yang sama besar dengan luas areal pertanaman padi yaitu 90 are. Analisa usahatani komoditas kacang tanah di subak sawah Karya Sari Bumi disajikan dalam Tabel 2.
394
Tabel 2. Analisa Usahatani Komoditas Kacang Tanah dengan Luas Areal Pertanaman Rata-rata 90 are di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005 No I 1 2 II 1 2 3 4 5 6 III IV V VI
Uraian Biaya Sarana Produksi Benih (Lokal) (kg) Pupuk (kg) Total Biaya Saprodi Biaya Tenaga Kerja Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) Penanaman (ternak) (HOK) Penanaman (orang) (HOK) Pembumbunan (borongan) Pengairan (HOK) Panen (dijual borongan) Total Biaya Tenaga Kerja Produksi/Penerimaan (borongan) Total Biaya Usahatani Pendapatan Usahatani R/C ratio
Volume
Harga/Satuan (Rp)
100
8.000
Nilai (Rp) 800.000 800.000
10 6 6
20.000 20.000 20.000
9
20.000
200.000 120.000 120.000 200.000 180.000 820.000 4.000.000 1.620.000 2.380.000 2,47
Dari hasil analisa usahatani komoditas kacang tanah dengan luas areal pertanaman 90 are yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi menghasilkan pendapatan kotor usahatani sebesar Rp. 4.000.000,- dan menghasilkan keuntungan bersih sebesar Rp. 2.380.000,-. Komoditas kacang tanah ini masih lebih baik diusahakan dibandingkan dengan komoditas padi yang disebabkan hasil keuntungan bersih yang didapat lebih besar dari komoditas padi, walaupun dengan luas areal pertanaman yang sama. Usahatani Komoditas Jagung Selain komoditas padi dan kacang tanah, komoditas yang diusahakan petani di subak sawah Karya Sari Bumi adalah jagung. Rata-rata luas areal pertanaman komoditas jagung yang diusahakan petani adalah 10 are. Untuk komoditas jagung yang diusahakan luas areal pertanamannya jauh lebih kecil dibandingkan luas areal pertanaman padi dan kacang tanah yaitu 90 are. Hal ini disebabkan waktu penanaman untuk komoditas jagung yang diusahakan yaitu pada musim kering yang sudah tentu persediaan air yang dimiliki sangatlah kurang. Untuk mengetahui analisa usahatani jagung di subak sawah Karya Sari Bumi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Analisa Usahatani Komoditas Jagung dengan Luas Areal Pertanaman Rata-rata 10 Are di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005 No I 1 2 3 II 1 2 3 4 5 III IV V VI
Uraian Biaya Sarana Produksi Benih (Komposit/Lokal) (kg) Pupuk Urea (zak) Pupuk Kandang (karung) Total Biaya Saprodi Biaya Tenaga Kerja Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) Penanaman (ternak+orang) (HOK) Pembumbunan (HOK) Pengairan (HOK) Panen (HOK) Total Biaya Tenaga Kerja Produksi/Penerimaan (1000 tongkol) (kg) Total Biaya Usahatani Pendapatan Usahatani R/C ratio
Volume
Harga/Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
2,5 0,5 5
4.000 65.000 1.000
10.000 32.500 5.000 47.500
1 0,5 1 4 1,25
20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
83
1.500
20.000 10.000 20.000 80.000 25.000 155.000 124.500 202.500 (78.000) 0,61
Dari hasil analisa usahatani jagung dengan luas areal pertanaman rata-rata 10 are dihasilkan pendapatan kotor yang diperoleh sebesar Rp. 124.500,- dari hasil penjualan sebanyak 1.000 tongkol atau sebesar 83 kg dengan harga per kg sebesar Rp. 1.500. adapun dari hasil usahatani jagung tersebut ternyata usahatani tani mengalami kerugian sebesar Rp 78.000,-. Hal ini disebabkan masih rendahnya produksi yang dihalkan dan tingginya biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani jagung.
395
Kelayakan dan Kontribusi Pendapatan Usahatani Hasil analisis kelayakan usahatani yang diusahakan petani di subak sawah Karya Sari Bumi diperoleh kelayakan usahatani tertinggi pada komoditas kacang tanah dengan nilai R/C ratio sebesar 2,47 kemudian diikuti oleh komoditas padi dengan nilai 1,46. Dari nilai R/C ratio tersebut dinyatakan bahwa komoditas kacang tanah dan padi layak untuk diusahakan yang disebabkan nilai R/C ratio kedua komoditas tersebut lebih dari 1. Sedangkan untuk komoditas jagung yang diusahakan memperoleh nilai R/C ratio sebesar 0.61, dengan kata lain komoditas jagung tersebut tidak layak untuk diusahakan pada kondisi saat itu. Tabel 4. Analisa Usahatani Komoditas Tanaman Pangan di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005 No. 1 2 3 5 6
Uraian
Komoditas Kacang Tanah
Padi
Penerimaan Biaya sarana Produksi Biaya Tenaga Kerja Pendapatan R/C ratio
4.532.000 937.000 2.157.400 1.437.600 1,46
4.000.000 800.000 820.000 2.380.000 2,47
Jagung 124.500 47.500 155.000 (78.000) 0,61
Hasil analisis usahatani memberikan gambaran bahwa untuk komoditas kacang tanah menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 2.380.000,-. Sedangkan dari usahatani padi dengan keuntungan bersih yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 1.437.600. Lain halnya dengan komoditas jagung yang diusahakan mengalami kerugian sebesar Rp. 78.000 (Tabel 4). Untuk komoditas padi dan jagung berarti belum memberikan keuntungan yang optimal. Berdasarkan kondisi tersebut, tampak bahwa usahatani tanaman pangan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga relatif kecil, akan tetapi bagi mereka menjadi keharusan untuk mengusahakannya karena untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam rumah tangganya. Pendapatan usahatani di subak sawah Karya Sari Bumi relatif kecil, terbukti dari perolehan pandapatan dari usahataninya selama satu tahun yaitu sebesar Rp. 3.739.600,- (Tabel 5). Hal ini masih perlu diadakan pembinaan di tingkat petani dalam bentuk teknologi-teknologi baru untuk memperoleh pendapatan yang maksimum dalam mengusahakan usahatani tanaman pangan. Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Usahatani Tanaman Pangan di subak sawah karya sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005 No. 1 2 3
Sumber Pendapatan Padi Kacang Tanah Jagung Total Pendapatan
Luas/satuan
Pendapatan (Rp)
90 are 90 are 10 are
Kontribusi (%)
Rangking
38,44 63,64 (2,09) 100,00
II I III
1.437.600 2.380.000 (8.000) 3.739.600
Dari jumlah rata-rata kepemilikan lahan yaitu 90 are di subak sawah Karya Sari Bumi didapat kontribusi pendapatn tertinggi diperoleh pada usahatani kacang tanah. Adapun kontribusi pendapatan kacang tanah dengan luas areal pertanaman sebesar 90 are yaitu sebesar 63,64%. Kemudian diikuti dengan komoditas padi dan jagung sebesae 38,44% dan – 2,09% (Tabel 5 dan Gambar 1). Kontribusi Pendapatan Usahatani di Subak Sawah Karya Sari Bumi Tahun 2005
- 2,09% 38,44%
63,64%
Padi
Kacang Tanah
Jagung
Gambar 1. Kontribusi Pendapatan Usahatani Komoditas Tanaman Pangan di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005.
396
KESIMPULAN Usaha tani kacang tanah dan padi banyak diusahakan dengan nilai R/C ratio lebih besar dari 1 yaitu sebesar 2,47 dan 1,46. Sedangkan komoditas jagung nilai R/C ratio sebesar 0.61, tidak layak. Sedangkan kontribusi pendapatan komoditas kacang tanah yaitu sebesar 63,64%, kemudian diikuti dengan komoditas padi dan jagung sebesar 38,44% dan – 2,09% dari total pendapatan usahatani tanaman pangan dan palawija yang diusahakan dalam satu tahun yaitu sebesar Rp. 3.739.600,-. Pendapatan usahatani ini relatif kecil, diharapkan data dasar ini dapat dimanfaatkan sebagai indikator masuknya teknologi baru yang diperkenalkan dan data dasar untuk menilai peningkatan pendapatan setelah diberikan teknologi baru.
DAFTAR PUSTAKA Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh Rochidayat, Gonda S dan Alfonsus. Penerbit Erlangga. Jakarta. 516 hal. Kasryno, F. A. Suryana.1992. “Long Term Planning for Agricultural development Related to Provert Alleviation in Rural Areas”. dalam Zakaria dan Swastika. Keragaan Usahatani Petani Miskin pada Lahan Kering dan Sawah Tadah Hujan (Studi Kasus di Kabupaten Temanggung). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Mahaputra, I K. dan I N. Adijaya. 2004. Analisis Finansial Usahatani jagung dengan Irigasi Embung di Lahan Kering Kabupaten Buleleng. Prosiding Seminar Nasional ”Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Puslit Sosek Pertanian. 1993. Rangkuman Hasil Penelitian Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangannya. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Suprapto, I G.A.K. Sudaratmaja, K. Mahaputra dan M.A. Sinaga. 1999. Pengkajian Diversifikasi Tanaman pada Lahan Marginal. Laporan Akhir. IP2TP Denpasar, Bali. Suprapto, Adijaya, Rai Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Usahatani Agribisnis Tanaman dan Ternak di Lahan Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Zakaria, A.K. dan D.K.S. Swastika. 2005. Keragaan Usahatani Petani Miskin pada Lahan Kering dan Sawah Tadah Hujan (Studi Kasus di Kabupaten Temanggung). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
397
ANALISIS STRATEGI PEMBERDAYAAN PETANI DALAM PRIMATANI LAHAN SAWAH IRIGASI SIPAREPARE Moehar Daniel, Nieldalina dan Vivi Aryati BPTP Sumatera Utara
ABSTRAK Salah satu masalah yang menonjol dalam adopsi teknologi adalah kualitas sumberdaya petani. Kualitas tersebut cukup menentukan proses transfer teknologi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengintroduksikan Prima Tani, yang inti kegiatannya pemberdayaan petani. Untuk mengetahui efektivitas strategi pemberdayaan oleh Prima Tani tersebut dilakukan penelitian di lokasi Prima Tani lahan sawah irigasi Siparepare. Analisis dilakukan dengan menggunakan model Regresi Linear Berganda, dari 30 sampel petani yang dikumpulkan secara Systematic Random Sampling. Analisis statistik menunjukan bahwa secara simultan kegiatan pelatihan, magang, pembelajaran lapang, diskusi dan konsultasi serta penyebaran media informasi, memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani. Tetapi secara parsial tidak satupun variabel tersebut yang berpengaruh. Secara visual diakui bahwa metode pelatihan, magang dan pembelajaran lapang cukup disukai dan dianggap petani dapat meningkatkan kemampuan mereka. Sementara metode diskusi dan penyebaran media informasi kurang direspon oleh masyarakat karena dianggap terlalu teoritis dan sulit dipahami. Kata Kkunci : strategi, pemberdayaan petani, primatani
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan pembangunan ekonomi nasional meletakan pembangunan pertanian sebagai langkah awal yang mendasar bagi pertumbuhan industri. Dimana diharapkan dengan sektor pertanian yang tangguh dapat menunjang perkembangan industri yang kuat. Dengan demikian keberhasilan sektor industri sangat tergantung pada keberhasilan pembangunan pertanian. Tetapi ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor ini tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kemajuan dan hasil pembangunan lebih banyak diterima dan dinikmati oleh pengusaha atau konglomerat yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional. Kalau kita bijak, nampak pasti bahwa kepincangan tersebut lebih banyak disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani dan atau masyarakat golongan bawah. Petani termasuk pengusaha kecil sering dihadapi dengan kondisi yang tidak menguntungkan bagi usaha mereka, terutama mengenai masalah harga dan sistem pemasaran. Mereka yang hanya menguasai modal kecil selalu menjadi korban pengusaha yang lebih besar yang lebih menguasai aset dan sistem pemasaran. Kondisi ini berkembang karena lemahnya lembaga petani. Walaupun mereka sudah berhimpun dalam suatu lembaga, katakan kelompok tani atau koperasi pertanian, tetapi lembaga tersebut tidak punya kekuatan untuk bernegosiasi atau mengatasi keadaan yang dihadapi. Kenyataan ini menyebabkan lambatnya perkembangan sektor pertanian dan sektor industri kecil. Lemahnya posisi tawar petani merupakan suatu gejala yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat lemahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kelompok yang dilakukan. Pengembangan lembaga dan pemberdayaan masyarakat selama ini dilakukan lebih banyak untuk kepentingan pembangunan, bukan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga yang dibentuk bukan berdasarkan “kemauan dan kebutuhan” petani, tetapi lebih mengarah pada kebutuhan administrasi proyek. Seiring dengan itu, proses pemberdayaan masyarakat juga tidak dilakukan sesuai dengan tujuan pengembangan kelembagaan. Sehingga masyarakat merasa tidak punya kepentingan dengan apa yang dilakukan, sekalipun namanya adalah pembangunan. Akar masalahnya adalah kelembagaan petani. Faktor apa yang menyebabkan kelembagaan petani tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam memperjuangkan nasib dan kebutuhan anggotanya. Apakah karena proses pembentukan lembaganya atau karena ketidak mampuan (rendahnya kualitas sumberdaya manusia) pengurus lembaga tersebut, atau karena sebab lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian mendasar, untuk lebih dulu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerima sesuatu yang berdampak pada kualitas dan kemampuannya, metode apa yang lebih mudah diterima dan metode mana yang kurang disukai petani. Kajian dilakukan sejalan dengan pengembangan model agribisnis pedesaan dengan basis kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam program Prima Tani.
398
BAHAN DAN METODA Lokasi dan Waktu. Penelitian dilakukan di Desa Siparepare Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara, bulan Juli tahun 2006. Desa Siparepare, tepatnya dusun VI merupakan daerah percontohan penerapan Prima Tani lahan sawah irigasi 2005-2009. Metode Penelitian dan Penarikan Sampel. Objek penelitian adalah program pelaksanaan Prima Tani. Dimana proses pemberdayaan masyarakat merupakan dasar dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Jumlah sampel sebanyak 30 KK petani dari 60 KK populasi dusun. Penarikan sampel dilakukan secara acak sistimatis. Disamping melalui kuesioner, data juga dilengkapi dengan informasi dari para pemuka masyarakat, aparat dusun dan desa serta petugas terkait. Analisis Data. Analisis diawali dengan tabulasi data, dilanjutkan dengan analisis Regresi Linear Berganda. Untuk kelayakan analisis statistik, sebaran data yang lebih banyak bersifat kualitatif dikuantifikasi sesuai dengan metode yang berlaku.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Dusun VI, merupakan salah satu dari 6 dusun dalam wilayah Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan. Dibanding dengan dusun-dusun lainnya, secara sosial dan ekonomi masyarakat dusun VI masih tertinggal. Atas dasar itu dusun VI dijadikan sebagai fokus kegiatan Prima Tani. Luas sawah irigasi yang terbentang dalam wilayah ini lebih kurang 82 ha dan sebagian dikuasai oleh penduduk dusun lainnya. Kondisi Masyarakat Jumlah populasi 358 jiwa yang terhimpun dalam 62 KK. Tingkat pendidikan mayoritas kepala keluarga hanya Sekolah Dasar. Rataan penguasaan lahan sekitar 0,4 ha, dengan tingkat pendapatan Rp 900.000/KK/ bulan. Sumber utama pendapatan diperoleh dari usahatani padi sawah irigasi, usaha lahan pekarangan dan mocok-mocok (kerja serabutan). Infrastruktur. Letak wilayah lebih kurang 200 meter dari jalan utama Lintas Sumatera, bisa dimasuki kendaraan bermotor. Jalan penghubung merupakan benteng irigasi terdiri dari tanah yang dipadatkan. Akses dari dan keluar cukup lancar. Pasar tradisional setempat berjarak lebih kurang 2 km. Kegiatan Prima tani Kegiatan Prima Tani mulai dilakukan bulan Mei tahun 2005. Diawali dengan penelusuran wilayah melalui PRA dan Base Line Survey, dilanjutkan dengan sosialisasi program. Kegiatan utama yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat melalui pembenahan kelembagaan, pengenalan dan pembimbingan penerapan teknologi spesifik, pengembangan industri pedesaan dan fasilitasi pemasaran produk yang dihasilkan. Proses pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan pelatihan, pembelajaran lapang, diskusi, magang dan penyebaran informasi melalui media cetak dan media proyeksi. Disamping itu petani dan pengurus lembaga yang sudah dibenahi juga diajak ikut serta dalam kegiatan seminar, lokakarya, pertemuanpertemuan menyangkut pengembangan program Prima Tani, fasilitasi ke instansi dan pengusaha terkait, serta pertemuan resmi dengan para pejabat atau pengambil keputusan terkait. Dalam penelitian ini, faktor yang diuji masih terbatas pada 5 kegiatan pertama sesuai urutan. Pelatihan. Pelatihan diberikan secara bertahap sesuai dengan kronologis pelaksanaan kegiatan di lapang, dilakukan dalam kelas, saung petani, dirumah atau halaman petani dan di warung setempat. Materi yang diberikan menyangkut komponen teknologi spesifik lokasi (menyangkut komoditas potensial yang akan dikembangkan), teknologi pengolahan hasil pertanian, struktur dan organisasi pertanian dan kelembagaan, strategi pemasaran dan kerjasama serta materi lain yang disesuaikan dengan perhatian dan permintaan petani. Tenaga pelatih terdiri dari para peneliti dan penyuluh BPTP, dosen Perguruan Tinggi, tenaga ahli dari Balai Penelitian yang bersangkutan (Balitpa, Balitnak, Balitsa, Balitbu, Balitkabi, Balai Buah Tlekung, BB Pasca Panen, dan Tim Teknis Prima Tani Pusat), aparat Dinas terkait, pedagang dan pengusaha alat, bahan dan produk pertanian serta narasumber lainnya. Magang. Untuk mempercepat proses peningkatan sumberdaya manusia petani, sebagian petani juga dikirim magang ke beberapa sumber ilmu pengetahuan. Pengiriman yang sudah berjalan antara lain ke Balitsa Lembang untuk mendalami usahatani dan pembibitan cabai dan ke KP Pasar Miring untuk penangkaran benih padi. Kegiatan ini akan dilanjutkan ke beberapa daerah lain sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran.
399
Pembelajaran Lapang. Proses pembelajaran lapang dilakukan secara rutin sesuai dengan perkembangan tanaman dan kondisi lapang. Dalam hal ini, penyuluh lapang juga memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru dari para narasumber yang didatangkan. Diskusi dan Konsultasi. Kegiatan ini sebenarnya hampir sama dengan kegiatan Pembelajaran lapang, bedanya kegiatan ini dilakukan tidak langsung di lapang, hanya berkumpul di pondok dan membahas tentang teori tanpa praktek. Media cetak dan Terproyeksi. Prima Tani juga memberikan media sebagai bahan informasi, baik secara tercetak seperti brosur-brosur, maupun terproyeksi. Materi yang diberikan menyangkut teknologi, sistem pembangunan pertanian, produk-produk baru dalam pertanian dan lainnya yang diperkirakan akan bermanfaat bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia petani. Analisis Strategi Pemberdayaan Dari kelima strategi pemberdayaan diatas, analisis statistik menunjukan bahwa secara parsial tidak satupun yang berpengaruh nyata (t hitung < t tabel), terhadap peningkatan kualitas sumberdaya petani. Tetapi diantaranya ada tiga kegiatan yang banyak diminati petani yaitu, pelatihan, magang dan pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta media cetak dan media terproyeksi kurang disukai. Berbagai alasan dikemukan petani, tetapi hanya sebagian kecil yang bisa diambil sebagai bahan kesimpulan. Hal ini terjadi karena jawaban petani sering kurang beralasan dan nampak bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu masih sangat rendah. Dari pengujian statistik (Tabel 1), nampaknya proses pelatihan yang dilakukan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Kondisi ini ditunjukan oleh angka koefisien regresi yang memberikan pengaruh sebesar 53,90 %. Walaupun tidak nyata secara statistik namun secara visual dan kenyataan lapang, kegiatan ini diakui petani bisa diterima dan bermanfaat bagi mereka. Kegiatan Pelatihan yang diberikan tidak hanya disukai oleh petani karena “proses” nya tetapi juga karena bisa memberikan sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu dianggap cukup bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan guna peningkatan pendapatan. Jelas bahwa dalam proses pelatihan, tidak hanya caranya saja yang harus diperhatikan, tetapi juga materi dan penguasaan oleh personal yang memberikan. Bila materinya dibutuhkan tetapi cara dan personalnya kurang menarik bisa menyebabkan kegiatan tidak efektif. Diperkirakan bagian inilah yang menyebabkan belum terjadinya proses penyerapan yang maksimal. Gambaran ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat kedepan. Dalam kegiatan magang, proses peningkatan kualitas sumberdaya petani terjadi karena bertambahnya pengetahuan dan keterampilan baru ditempat yang baru. Proses integrasi dengan personal lain yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan lebih dalam suatu kegiatan penerapan teknologi, secara mudah dapat diserap petani. Petani bisa membandingkan apa yang dilakukannya selama ini dengan apa yang diperolehnya dan dilakukannya pada waktu magang. Mereka juga memperoleh pengetahuan untuk menganalisis dan mendalami suatu proses kegiatan yang dijalankannya. Jadi merupakan suatu yang lumrah bila kegiatan magang lebih diminati. Disamping itu juga bisa dipahami bahwa perubahan suasana lingkungan bisa memberikan nuansa baru bagi petani untuk lebih mudah menerima pengetahuan. Kepercayaan pada personal pembimbing atau mitra tidak kalah pengaruhnya pada proses peningkatan penerimaan petani. Tetapi dalam hal ini, angka statistik menunjukan pengaruh magang hanya sebesar 38,96 % terhadap peningkatan kualitas sumberdaya petani. Bila dibandingkan dengan kegiatan pelatihan, secara teoritis seharusnya kegiatan magang memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih efektif. Karena mereka memperoleh wawasan baru dari lingkungan baru yang selama ini belum diperolehnya. Disamping itu, proses magang jauh lebih lama dan lebih terfokus pada suatu pengetahuan dan keterampilan. Tetapi bila ditinjau lebih jauh, kenyataan ini bisa diterima karena jumlah petani yang ikut magang masih sedikit dibanding dengan yang ikut kegiatan pelatihan. Dan kegiatan pelatihan juga lebih sering dilakukan serta materi yang diterima juga lebih banyak. Jadi wajar kalau hasil analisis menunjukan pengaruh pelatihan lebih besar dibanding pengaruh magang. Proses pembelajaran lapang nampaknya juga lebih efektif dibandingkan dengan kegiatan magang. Sebenarnya proses pembelajaran lapang sama halnya dengan kegiatan pelatihan. Mereka yang pernah mengalami lebih banyak, dilakukan lebih sering, serta materi yang diberikan juga bervariasi. Jadi peningkatan pengetahuan yang terjadi wajar saja lebih tinggi dari magang, walau hanya baru sebesar 43,76 %. Paling tidak kondisi ini bisa jadi pedoman bagi pelaksana pembangunan lainnya dalam memilih metode dan pendekatan yang dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kualitas sumberdaya petani. Kegiatan diskusi dan konsultasi, wajar saja kalau kurang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumberdaya petani. Anehnya, angka statistik menunjukan bahwa pengaruh kegiatan ini malah negatif (-1,06), dengan arti menurunkan kualitas sumberdaya petani. Sebenarnya secara lahiriah bukan penurunan kualitas
400
yang terjadi tetapi kondisi ini terjadi karena sebagian besar petani tidak atau kurang menyukai proses diskusi dan konsultasi. Proses ini lebih terarah pada mengatasi suatu masalah yang lebih banyak sifatnya berdasarkan pengalaman pribadi. Dan sering juga pengalaman pribadi seseorang itu tidak dialami oleh petani lainnya. Disamping itu, proses diskusi juga merupakan suatu kegiatan yang membosankan bagi petani, karena lebih banyak membahas tentang teori. Teori dan cara penyampaiannya juga sering tidak dimengerti petani, membuat mereka jenuh dan sulit menerima, sehingga proses tersebut menjadi sesuatu yang membosankan. Perlu jadi perhatian, dalam melakukan diskusi dengan petani harus diingat kata-kata yang dikeluarkan, istilah yang dipakai dan proses dari teori yang disampaikan, apakah bisa dipahami dan diterima petani. Biasanya kelemahan ini sering dilakukan oleh aparat dan peneliti yang jarang melakukan kegiatan bersama petani. Sama halnya dengan kegiatan penyebaran media baik tercetak maupun terproyeksi. Apalagi kalau media tersebut bukan dibuat oleh penyuluh. Para peneliti dan aparat pembangunan sering menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sepele. Pada hal penggunaan bahasa, istilah dan proses dari suatu teori atau teknologi merupakan kunci bagi tujuan media yang diberikan. Dalam penelitian ini, pengaruh negatif media (-5,60) lebih besar dibandingkan dengan pengaruh diskusi dan konsultasi. Kenyataan menunjukan bahwa media yang diberikan dalam kegiatan Prima Tani di Siparepare belum tepat dan membutuhkan perbaikan yang menyeluruh. Seharusnya media yang diberikan lebih selektif bahasa dan materinya, serta diberikan menyeluruh ke semua lapisan masyarakat. Disadari memang bahwa media yang diberikan lebih banyak menyangkut hal-hal yang belum dilakukan pada kegiatan Prima Tani, sehingga manfaatnya bagi peningkatan kualitas masyarakat menjadi tidak efektif. Suatu hal yang sangat menarik dari hasil analisis statistik adalah besaran koefisien diterminasi. Walaupun secara keseluruhan kelima faktor yang diuji berpengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat, tetapi masih banyak faktor lain yang bisa memberikan pengaruh yang lebih efektif. Angka koefisien diterminasi (0,64) tersebut menunjukan bahwa masih ada faktor lain yang tidak diuji yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani. Kenyataan ini juga menunjukan bahwa model yang diestimasi belum sempurna dan harus mengikutkan beberapa variabel lainnya. Variabel lain yang diperkirakan berpengaruh tersebut seperti kegiatan fasilitasi, mediasi, seminar dan lokakarya, pertemuan-pertemuan dan lainnya seperti yang disebutkan sebelumnya. Tabel 1. No.
Koefisien Regresi Strategi Pemberdayaan Petani dalam Prima Tani Lahan sawah irigasi Siparepare, tahun 2006. Variabel
1. Konstanta/intercept 2. X1 Pelatihan 3. X2 Magang 4. X3 Pembelajaran lapang 5. X4 Diskusi dan Konsultasi 6. X5 Media Adjustet R Square = 0,559599 R Square = 0,63553
Koefisien Regresi 0,281202 0,539017 0,038961 0,437561 (0,010573) (0,055977) F hitung = 8,369818 F tabel = 2,53
t hitung 0,58966 1,973025 0,226947 1,997392 (0,051194) (0,431322)
Dari pengamatan visual dan gambaran kondisi lapang saat ini telah nampak terjadi perubahanperubahan pada kualitas sumberdaya petani. Petani yang sebelumnya sulit untuk diajak berkumpul, sekarang sudah mudah, bahkan sudah antusias dengan kegiatan bersama atau berkumpul. Petani yang tadinya tidak menerapkan teknologi secara baik dan tepat sekarang sudah mulai menerapkan teknologi sesuai dengan petunjuk dan bimbingan, bahkan saat ini mereka sering bertanya sebelum melakukan sesuatu untuk memastikan apakan cara yang mereka lakuka sudah benar. Disamping itu petani sekarang sudah mulai mencatat semua aktivitas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, baik yang merupakan kegiatan penerapan teknologi maupun kegiatan pertemuan kelembagaan, dan kegiatan sosial. Kegiatan pencatatan usahatani diarahkan untuk mendidik petani menjadi “petani profesional”. Suatu perkembangan nyata yang sangat menggembirakan adalah sebagian petani sudah bisa membuat proposal untuk pengembangan usahanya melalui kelembagaan, sebagian lain juga sudah terbiasa melakukan negosiasi dan perjanjian kerjasama dengan pengusaha baik dalam pengadaan sarana produksi maupun dalam proses pemasaran produk yang dihasilkan.
401
KESIMPULAN Proses pemberdayaan yang berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya petani adalah pelatihan, magang dan pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta penyebaran media cetak dan media terproyeksi kurang diminati. Tetapi secara keseluruhan kelima faktor tersebut saling mengisi dan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani. Agar penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan pertanian, kedepan harus dikaji lebih dalam peran faktor lain yang lebih efektif, sehingga diperoleh suatu paket metode yang benar-benar tepat dan bisa direkomendasikan secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA Adiwijoyo S, 2005. Reformasi Bidang Pertanian. Penerbit Pakar. Jakarta Husein Sawit dkk. 1994. Peningkatan Kualitas Sumberdaya manusia dalam Pembangunan Pertanian. PERHEPI. Bogor. Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta Kurniawaty, 25 Maret 2004. Strategi Pengembangan SDM. www.pikiranrakyat.com Moehar Daniel, 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. ____________dkk, 2005. Brosur Penerapan dan BPTP Sumatra Utara. Medan
Prima Tani. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Asahan
Soetrisno L, 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sutomo Greg, 1997. Kekalahan Manusia Petani. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
402
PERAN TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MH. Togatorop dan Wayan Sudana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor
ABSTRAK Suatu pengkajian telah dilakukan untuk mengetahui peran serta komponen ternak sebagai salah satu komponen usahatani padi untuk peningkatan pendapatan petani yang bersangkutan. Pengkajian ini dilakukan di Desa Parakan dan Karangjaya, Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Desa Tolai dan Tindaki, Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan teknik wawancara yang menggunakan kuesioner terstruktur dengan 30 orang responden untuk masing-masing desa contoh. Responden dipilih secara acak, sedangkan desa dan kelompok tani dipilih secara sengaja, yaitu yang berada di sekitar program Prima Tani. Data yang dikumpulkan kemudian diedit dan ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan financial. Hasil yang diperoleh, antara lain: Tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri di Desa Tolai dan Tindaki (daerah transmigrasi) lebih tinggi daripada di Desa Parakan dan Karangjaya (daerah non transmigrasi). Tani tanaman pangan masih dominan diusahakan petani responden di masing-masing desa contoh yang terpilih. Penguasaan ternak di Desa Parakan dan Karangjaya yang telah diusahakan petani didominasi ayam buras diikuti itik dan entok, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki ternak babi dan diikuti ayam buras. Lahan sawah irigasi, ternyata 59% petani responden dengan rata-rata penguasaan 0,40 ha sudah status milik di Desa Parakan dan Karangjaya, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki jauh lebih tinggi, yaitu 91% petani responden dengan penguasaan rata-rata 1,47 ha. Kontribusi pendapatan dari ternak di Desa Tolai dan Tindaki 9,36% lebih tinggi daripada di Desa Parakan dan Karangjaya hanya 1,16%. Hal ini kemungkinan sebagai akibat penguasaan ternak yang dominan adalah ayam buras dan babi serta pemeliharaan sangat ekstensif, sedangkan pemilikan ternak besar tidak ada. Pendapatan dari ternak ini cukup berperan dalam peningkatan pendapatan petani daripada hanya mengandalkan tanaman pangan (padi dan palawija), yaitu untuk Desa Parakan dan Karangjaya serta Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut hanya 57,20% dan 43,94% dari seluruh pendapatan yang diterima petani responden. Kata kunci : ternak, komponen, usahatani, pendapatan
PENDAHULUAN Perkembangan luas panen padi sawah secara nasional selama kurun waktu 1995 hingga 2003 menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan dengan indikator pertumbuhan rata-rata per tahun hanya 0,96 persen dan diikuti perkembangan produksi 1,2 persen pertahunnya (BPS, 2004). Padahal kalau dilihat dari aspek konsumsi beras secara nasional di kota maupun di desa adalah cukup tinggi, yakni sekitar 97-100 persen. Selanjutnya rata-rata konsumsi beras masyarakat per kapita menunjukkan kenaikan dari 108,89 kg pada tahun 1996 mejadi 120,97 kg pada tahun 1999 (BPS, 2000) Selanjutnya pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini menunjukkan perlambatan baik di sentra produksi beras di Jawa maupun di luar Jawa. Irawan dkk (2003), melaporkan melambatnya laju produksi padi ini, disebabkan melambatnya laju pertumbuhan produktivitas per satuan luas lahan. Surono (2001) mengatakan bahwa produksi padi pada prinsipnya ditentukan oleh dua variabel, yaitu luas panen dan hasil per hektar (produktivitas). Di samping itu laju peningkatan mutu inovasi teknologi usahatani padi oleh petani yang lambat dan terjadi degradasi kesuburan lahan sawah karena menurunnya kandungan bahan organic dalam tanah serta punahnya mikroorganisme pembentuk unsur N. Dengan demikian keberadaan ternak dalam usahatani padi ini sangat membantu untuk memperbaiki struktur kesuburan dan dapat menahan penyerapan air melalui pupuk kandang dari ternak. Di sisi lain keberadaan ternak sebagai komponen dalam usahatani padi yang dikelola petani bersangkutan dapat memberikan kontribusi peningkatan penerimaannya dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani tersebut. Dengan demikian tujuan dari pengkajian yang dimanifestasikan dalam tulisan ini untuk mengetahui sejauhmana peran ternak sebagai komponen usahatani padi dalam peningkatan pendapatan petani.
METODE PENGKAJIAN Pengkajian dilakukan dengan metode survei dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Lokasi penelitian adalah di wilayah pengembangan program Prima Tani, yakni lahan sawah irigasi di Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Tengah.
403
Teknik pengambilan sampel responden (petani) 30 orang dilakukan secara acak, sedangkan desa dan kelompok tani dipilih “purpossive” (secara sengaja), yaitu disekitar Program Prima Tani. Desa terpilih adalah Desa Parakan dan Desa Karangjaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Provinsi Sulawesi Tengah adalah Desa Tolai dan Desa Tindaki Kabupaten Parigi Moutong. Data yang di kumpulkan adalah data primer (petani) dan sekunder, antara lain: karakteristik petani, pemilikan asset pertanian, teknologi pertanian yang dilakukan, produktivitas usahatani, pendapatan petani. Semua data yang dikumpulkan di edit dan ditabulasi ke dalam tabel analisis yang dipersiapkan. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif dan financial.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Karakteristik Responden
a.
Umur, Pendidikan, dan Potensi Tenaga Kerja Keluarga
Kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang dalam hal ini petani responden merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan dalam proses produksi usaha tani yang dikelolanya. Kondisi umur, pendidikan dari responden sangat mempengaruhi kualitasnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Anggota Keluarga Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Parigi Moutong Sulawesi Selatan, Tahun 2005 Uraian Umur (th) a. Kepala keluarga b. Isteri 2. Pendidikan (th) a. Kepala keluarga b. Isteri 3. Rataan jumlah anggota keluarga (jiwa) 4. Jumlah anggota keluarga produktif (15-64 th) / jiwa 5. Rasio beban tanggungan Sumber data : Data Primer (Diolah)
Desa contoh Parakan dan Karangjaya Tolai dan Tindaki Kabupaten Kabupaten Karawang Parigi Moutong
1.
45,23 37,65
40,18 35,60
4,10 3,75 5,19
8,59 6,79 5,94
2,54
3,13
2,96
1,11
Dari data yang disajikan pada Tabel 1, ternyata rata-rata umur kepala keluarga (KK) dan isteri responden di Desa Parakan dan Karangjaya berturut-turut 45,23 tahun dan 37,65 tahun lebih tinggi daripada di Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 40,18 tahun dan 35,60 tahun. Lain halnya dengan rata-rata pendidikan dilihat dari lamanya mengikuti pendidikan tersebut, yaitu untuk KK dan isteri responden di Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 8,59 tahun dan 6,97 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendidikan bagi KK dan isteri di Desa Parakan dan Karangjaya berturut-turut 4,10 tahun dan 3,75 tahun. Data ini menggambarkan kualitas responden relatif lebih baik / tinggi di Desa Tolai dan Tindaki daripada responden di Desa Parakan dan Karangjaya. Rataan jumlah anggota keluarga responden di Desa Parakan dan Karangjaya (5,19) hampir sama dengan rata-rata jumlah anggota keluarga di Desa Tolai dan Tindaki (5,94). Sedangkan jumlah anggota keluarga yang produktif di Desa Parakan dan Karangjaya lebih rendah (2,54) daripada di Desa Tolai dan Tindaki (3,13) (Tabel 1). b. Sumber Mata Pencaharian Di desa contoh pengkajian baik kepala keluarga dan isteri mempunyai mata pencaharian utama dan sampingan (Tabel 2). Sektor pertanian terutama. Tanaman pangan masih menjadi mata pencaharian utama KK responden baik di Desa Parakan dan Karangjaya, yakni 93,33 persen maupun responden di Desa Tolai dan Tindaki 95 Persen (Tabel 2).
404
Tabel 2. Jenis Pekerjaan Utama dan Sampingan Petani Responden di desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Tahun 2005
Jenis Pekerjaan
Desa Contoh (%) Parakan dan Karangjaya Kabupaten Tolai dan Tindaki Kabupaten Parigi Karawang Moutong Kepala Keluarga Isteri Kepala Keluarga Isteri Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan
1. Tanaman Pangan 93,33 2. Hortikultura 3. Peternakan 4. Perkebunan 5. Buruh pertanian 6. Perdagangan 7. Jasa 3,33 8. Buruh non tani 1,67 9. Lain-lain 1,67 Sumber : Data primer (Diolah)
1,67 3,33 1,67 31,67 8,33 10,00 6,67 -
55,00 1,67 5,00 13,33 3,33 1,67 20,00
6,67 23,33 3,33 3,33 61,67
95,00 5,00
3,13 3,13 42,19 18,75 3,13 3,13 1,56 24,98
63,33 5,00 3,33 28,34
4,76 19,05 12,70 1,59 61,90
Hal ini menunjukkan produksi tanaman pangan (beras) bagi petani masih dominan sebagai sumber kalori dan protein. Hasil ini sejalan dengan laporan Irawan (2004), ternyata secara nasional sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras. Pekerjaan sampingan responden ternyata buruh tani menjadi pilihannya baik KK maupun isteri di Desa Parakan dan Karangjaya berturut-turut 31,67 persen dan 23,33 persen, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki 18,75 persen dan 12,70 persen (Tabel 2). Sektor jasa, baik KK maupun isteri responden di Desa Parakan dan Karangjaya menjadi pilihan utama, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki hanya isteri yang memilih pekerjaaan utama dan sektor jasa tersebut bagi KK responden hanya sebagai sampingan saja. 2.
Penguasaan lahan
Lahan adalah aset produktif dan sumberdaya utama (land based resource) bagi petani dalam usaha taninya. Penguasaan lahan responden pada pengkajian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.
Luas penguasaan lahan petani responden berdasarkan status di desa contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Tahun 2005
Jenis lahan Sawah iriasi Ladang/ tegalan Kebun
Desa Contoh (%) Parakan dan Karangjaya Kabupaten Tolai dan Tindaki Kabupaten Parigi Karawang Moutong Milik Sewa Sakap Gadai Milik Sewa Sakap Gadai
luas (ha) 0,40 Petani (%) 59 luas (ha) 0,02 Petani (%) 15 luas (ha) 0,01 Petani (%) 10 Kolam luas (ha) Petani (%) Sumber : Data primer (Diolah).
-
0,82 21 0,15 2 -
0,53 20 0,10 2 0,01 2 -
1,47 91 0,79 72 0,04 5
3,0 2 -
1,31 7 -
-
Tabel 3 menunjukkan penguasaan lahan sawah irigasi sebagian besar status milik (59 persen) dengan rata-rata pemilikan 0,40 ha di Desa Parakan dan Karangjaya lebih rendah daripada di Desa Tolai dan Tindaki status milik 91 persen dengan rata-rata pemilikan 1,47 ha. Petani yang tidak memiliki sawah irigasi di Desa Parakan dan Karangjaya 41 persen, selanjutnya di Desa Tolai dan Tindaki hanya 9 persen. Petani yang tidak memiliki ini mendapatkan lahan untuk dikelola melalui sewa, sakap dan gadai (Tabel 3). Mengacu kepemilikan luas lahan ini, petani tidak akan dapat menggantungkan sebagai sumber pendapatan satu-satunya dari usaha tani padi, sehingga banyak petani berupaya mencari tambahan pendapatan, antara lain sebagai buruh tani, beternak, bekerja di sektor jasa, dan sektor perdagangan. Selanjutnya kalau dari aspek pengelompokan kelas pemilikan luasan sawah irigasi di lokasi pengkajian disajikan pada Tabel 4.
405
Tabel 4. Persentase Pemilikan Lahan Sawah Petani Responden Berdasarkan Kelas Luasan di Desa Contoh Kabupaten Jawa Barat dan Parigi Mountong Sulawesi Tengah, Tahun 2005 Kelas Luasan (ha)
Desa Contoh (%) Parakan dan Karangjaya Tolai dan Tindaki
1. < 0,25 2. 0,25 – 0,49 3. 0,50 – 0,99 4. > 1,00 Sumber : Data primer (Diolah).
20 26 29 25
2 3 27 68
Penyebaran petani responden menurut pengelompokan pemilikan luasan lahan di Desa Parakan dan Karangjaya adalah hampir sama di empat kelas luasan, walaupun petani responden memiliki lahan kelas 0,50 – 0,99 ha tertinggi (29 persen) dibandingkan dengan kelas lainnya. Lain halnya di Desa Tolai dan Tindaki, ternyata petani responden memiliki luas >1 ha paling dominan (68 persen) diikuti luas pemilikan 0,50 – 0,99 ha (27 persen); 0,25 – 0,49 ha (3 persen); dan pemilikan <0,25 ha hanya 2 persen (Tabel 4). Sedangkan distribusi luas penguasaan lahan oleh petani responden berdasarkan jenis lahan di Desa Parakan dan Karangjaya, tertinggi sawah irigasi 95 persen, diikuti ladang/tegalan 3 persen dan kebun 3 persen. Selanjutnya di Desa Tolai dan Tindaki penguasaan petani responden menurut jenis lahan sawah irigasi, kebun, dan kolam berturut-turut 68 persen, 31 persen dan 1 persen. 3.
Keragaan Teknologi Usahatani Padi
Teknologi usahatani dalam pengkajian ini meliputi aspek pola tanam, varietas, teknik tanam, kualifikasi benih, dan penggunaan jenis pupuk. Keragaan teknologi usahatani padi merupakan salah satu indikator tingkat pengetahuan dan intensitas pengelolaan lahan padi yang dilakukan oleh petani. Selanjutnya petani responden di Desa Parakan dan Karangjaya menerapkan teknik pola tanam padi – padi – bera 66 persen; padi – padi – palawija 17 persen; padi – padi – sayuran 12 persen, dan 5 persen menerapkan pola tanam padi – bera – bera. Dengan pola tanam seperti di atas, memberikan kesempatan perbaikan keadaan fisik kimia tanah (recovery) untuk mencegah kondisi “soil fatique”, sehingga produktivitas lahan bias tetap terpelihara (Sitorus, 2004). Lain halnya dengan petani responden di Desa Tolai dan Tindaki, melakukan teknik pola tanam padi – padi – bera sepanjang tahun 100 persen, disebabkan penyediaan air irigasi yang mendukung. Teknologi usahatani yang telah dilakukan petani responden di desa contoh pengkajian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Petani Responden Yang Melakukan Teknologi Usahatani di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Montong, Tahun 2005. No 1.
Teknologi
Desa contoh (%) Desa Parakan dan Karangjaya Desa Tolai dan Tindaki Kabupaten Karawang Kabupaten Parigi Moutong
Varietas : a. Unggul 98 b. Lokal 2 2. Teknik tanam : a. Tabela 2 b. Tapin 98 3. Kualifikasi benih : a. Berlabel 100 b. Tidak berlabel 4. Penggunaan pupuk : a. Satu jenis : MH 8 MK 9 b. Dua jenis : MH 46 MK 48 c. Tiga jenis : MH 31 MK 32 d. Empat jenis : MH 15 MK 11 Sumber : Data primer (Diolah), MH = Musim hujan, MK = Musim kemarau, Tapin = Tanam pindah
32 68 13 87 10 90 36 49 43 33 18 13 3 5
406
Petani responden, baik di Desa Parakan dan Karangjaya maupun di Desa Tolai dan Tindaki sudah melakukan teknologi usahatani padi seperti penggunaan varietas unggul, benih berkualifikasi, pupuk, dan teknik tanam (Tabel 5). Di Desa Parakan dan Karangjaya 100 persen petani responden menggunakan benih berkualifikasi, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki hanya 10 persen dan 90 persen menggunakan benih tidak berlabel, kemungkinan kebiasaan petani dan atau kurangnya penyuluhan ke petani serta sumber benih yang kurang. Berdasarkan peta status fosfat dan kalium tanah lokasi dengan status fosfat dan kalium sedang memerlukan pemupukan fosfat dan kalium berturut-turut 75 kg/ha dan 50 kg/ha untuk memperoleh hasil padi optimum (Sofyan, 2004). Adyana dan Suhaeti (2000) rendahnya adopsi teknologi disebabkan faktor, antara lain (1) teknologi kurang sesuai dengan kebutuhan petani dan (2) keterbatasan modal petani sehingga mengakibatkan rendahnya akses petani terhadap input produksi. 4.
Pemeliharaan Ternak
Kenyataan menunjukkan, ternak merupakan aset penting bagi petani, antara lain: (1) sebagai tabungan hidup (pendapatan), (2) sumber tenaga kerja, (3) alat transportasi, dan (4) sumber protein hewani. Keberadaan ternak bagi petani responden sudah sangat dirasakan baik yang mempunyai lahan sempit sebagai tambahan pendapatan, maupun sebagai pengelolaan lahan sawah. Sebagai tabungan, ternak merupakan suatu aset produktif karena setiap saat dapat dijual untuk keperluan keluarga. Pemilikan ternak di desa contoh pengkajian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Pemilikan Ternak Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Moutong, Tahun 2005 Jenis ternak 1. Sapi potong 2. Domba 3. Ayam ras a. Petelur b. Pedaging 4. Ayam buras 5. Itik 6. Entok 7. Babi Sumber : Data primer (Diolah)
Desa contoh Kabupaten Karawang Kabupaten Parigi Moutong Rataan (ekor) Persentase petani Rataan (ekor) Persentase petani 6
13
2 -
7 -
9 15 13 -
63 18 18 -
24 800 22 32 6 6
5 2 58 8 2 85
Petani responden di Desa Parakan dan Karangjaya tidak ada yang memiliki ternak ruminansia besar (sapi, kerbau), hanya memiliki ruminansia kecil domba dengan rata-rata pemilikan 6 ekor dari 13 persen petani yang memiliki. Sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki petani rata-rata pemilikan 2 ekor sapi potong dari 7 persen petani yang memiliki (Tabel 6). Selanjutnya di Desa Parakan dan Karangjaya, dan Tolai dan Tindaki yang dominan dipelihara petani responden adalah ayam buras dengan rata-rata pemilikan berturutturut rata-rata pemilikan 9 ekor dan 22 ekor dari 63 persen dan 58 persen petani yang memiliki. Sedangkan ternak itik dan entok juga dipelihara petani responden di desa contoh pengkajian. Ternak ayam ras (petelur dan pedaging) hanya di Desa Tolai dan Tindaki dipelihara petani responden (Tabel 6). Integrasi ternak ke dalam usahatani padi sangat diperlukan, karena dampaknya sangat penting terhadap pemeliharaan siklus bahan organic tanah melalui rantai pakannya yang pada akhirnya pemeliharaan produktivitas lahan. Di Desa Tolai dan Tindaki petani responden yang memiliki dan memelihara sapi dan babi menghasilkan bahan organik yang cukup banyak untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dalam banyak hal, pupuk kandang (kotoran babi) sangat cocok untuk pemupukan sayur-sayuran dataran rendah, sehingga mempunyai nilai ekonomi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Setyorini et al., (2004) melaporkan pupuk kandang sebagai sumber hara akan memberi manfaat bagi tanaman dengan pemberian sekitar 5 – 10 ton per hektar. 5.
Pendapatan Rumahtangga
Mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, ternyata distribusi pendapatan, salah satu indikator yang perlu diperhatikan. Distribusi pendapatan petani responden di desa contoh pengkajian disajikan pada Tabel 7.
407
Tabel 7. Pendapatan Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Moutong, Tahun 2005
Uraian
Pertanian a. Padi + palawija b. Hortikultura c. Perkebunan d. Peternakan e. Perikanan 2. Buruh pertanian 3. Buruh non pertanian Sumber : data primer (diolah)
Desa Contoh Desa Parakan dan Karangjaya Desa Tolai dan Tindaki Kabupaten Karawang Kabupaten Parigi Moutong Rp (x 1000) (%) Rp (x 1000) (%)
1.
7.248 1.389 45 147 925 2.918
57,20 10,96 0,36 1,16 7,30 23,02
6.075 8 4.622 1.295 232 706 889
43,94 0,06 33,43 9,36 1,68 5,10 6,43
Rataan pendapatan dari subsektor pangan (padi + palawija) masih dominan yang diperoleh petani responden baik di Desa Parakan dan Karangjaya, maupun di Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 57,20 persen dan 43,97 persen. Selanjutnya diikuti sebagai buruh non pertanian (23,02 persen) dan hortikultura (10,96 persen) di Desa Parakan dan Karangjaya, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki diikuti pendapatan dari perkebunan (33,43 persen) dan 9,36 persen dari peternakan (Tabel 7). Rendahnya pendapatan dari subsektor peternakan ini sejalan dengan pemilikan ternak di kedua desa contoh pengkajian adalah dominan ternak ayam buras (Tabel 6), dan pemeliharaan yang sangat intensif. Walaupun demikian masih memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani responden, dan sangat diharapkan daripada hanya mengandalkan pendapatan hanya dari tanaman pangan, walupun budidaya intensif masih kurang produktif.
KESIMPULAN Berdasarkan analisis tersebut di atas disimpulkan bahwa. 1.
Tani tanaman pangan merupakan mata pencaharian utama petani responden di Desa Parakan dan Karangjaya, serta Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 93,3 persen dan 95,0 persen.
2.
Penguasaan lahan sawah irigasi di Desa Parakan dan Karangjaya 59 persen petani responden sudah status milik dengan rata-rata pemilikan 0,40 hektar. Sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki 91 persen status milik dengan rata-rata pemilikan 1,47 hektar.
3.
Kontribusi pendapatan dari ternak di Desa Tolai dan Tindaki 9,36 persen lebih rendah daripada di Desa Parakan dan Karangjaya 1,16 persen. Hal ini sejalan atau kemungkinan sebagai akibat pemilikan ternak di kedua desa contoh dominan ternak non ruminansia (babi dan ayam buras) disamping pemeliharaannya masih sangat ekstensif.
4.
Keberadaan ternak sebagai komponen usahatani sangat diharapkan untuk kontribusi penerimaan (pendapatan) petani disamping sebagai sumber pupuk kandang (organik) dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah melalui perbaikan tekstur tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. dan R.N. Suhaeti. 2000. Survei pendasaran pengembangan teknologi spesifik lokasi. Lembaga Penelitian IPB – Badan Litbang Pertanian, Bogor Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia Dalam Susenas 2000, Jakarta Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia Dalam F. Kasrino, E. Pasandaran dan A.M. Fagi. Penyunting. Ekonomi padi dan beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta Irawan, B., B.Winarso, I. Sadikin, dan G.S. Hardono. 2003. Analisis faktor penyebab perlambatan produksi komoditas tanaman utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor Irawan, B. 2004. Dinamika produktivitas dan kualitas budidaya padi sawah. Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor
Pusat Penelitian dan
408
Setyorini, D., L.R. Widowati dan S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hata tanah sawah intensifikasi. Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hal 137 – 168. Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. PT. Tarsito, Bandung Sofyan, A., Nurjaya dan A. Kasrino. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hal. 83 – 114 Surono, S. 2001. Perkembangan produksi dan kebutuhan impor beras serta kebijakan pemerintah untuk melindungi petani. Dalam A. Suryana dan Sudi Mardyanto. Penyunting Bunga Ramapi Ekonomi Beras. LPEM – FE UI, Jakarta. Hal. 41 – 58
409
STRUKTUR KEMISKINAN WILAYAH DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI DALAM KERANGKA MEMPERTAHANKAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN: Suatu Upaya ke Arah Pemberdayaan Potensi Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Iwan Setiajie Anugrah 1), Yohanes Geli Bulu dan Sri Hastuti S 2) 1) Staf Peneliti PSE-KP dan BB-Pengkajian Bogor 2) Staf Peneliti BPTP Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Pembangunan dan kemiskinan, merupakan sisi ”mata uang” yang senantiasa berjalan bersama dalam kontek sebuah upaya perbaikan atau bagian dari suatu ketertinggalan dan ketidaksanggupan memenuhi kebutuhan hidup. Kemiskinan berdasarkan pendekatan system, mengisyaratkan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan demografi yang senantiasa masih diperlukan upaya pemberdayaan potensi, khususnya bagi upaya pemenuhan kebutuhan pangan. Bertitik tolak dari pendekatan sistem tersebut, maka materi tulisan ini secara deskriptif akan diarahkan pada situasi dan gambaran, bagaimana rumahtangga petani di beberapa wilayah miskin Provinsi Nusa Tenggara Barat, dalam upaya mempertahankan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Informasi yang mendukung kearah tersebut, adalah berdasarkan materi hasil kegiatan penelitian PFI3P di beberapa lokasi kemiskinan NTB. Secara umum, pola pengeluaran pada sebagian besar lokasi wilayah miskin di NTB, adalah untuk pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu mencapai rata-rata diatas 50 persen, dimana persentase untuk pemenuhan kebutuhan pangan beras dan lauk pauk/sayuran menunjukkan porsi yang cukup besar dari pengeluaran pangan lainnya. Upaya konkrit pemerintah dalam pembangunan pertanian, melalui pemasyarakatan inovasi teknologi di NTB terus dilakukan, salahsatunya adalah dengan upaya PFI3P yang diarahkan selain bagi perbaikan usaha sektor pertanian juga ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan petani pelaku di dalamnya. Melalui program kegiatan yang dilakukan dalam PFI3P juga, setidaknya dapat mendorong bagi pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga serta peningkatan daya beli petani untuk pemenuhan kebutuhan hidup secara keseluruhan. Kata kunci : kemiskinan wilayah, konsumsi pangan, pemberdayaan potensi, inovasi teknologi
PENDAHULUAN Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang paling tidak ”bersahabat” untuk diperdengarkan bagi siapapun, karena secara realistis kemiskinan menunjukkan ketidakcukupan bagi komunitas yang merasakannya. Namun demikian, tidak jarang kemiskinan menjadi sebuah komoditas bagi sebagian komunitas lain untuk mendapat keuntungan dengan cara mengekploitasi kemiskinan, melalui sebuah upaya pembenaran situasional dengan berbagai argumen teoritis didalamnya dan semata-mata untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan. Secara teoritis, bahasan tentang kemiskinan telah banyak disampaikan oleh para pemerhati dan ilmuwan yang melakukan pendalaman kajian pada permasalahan kemiskinan, hingga muncul berbagai konsep dan pandangan serta upaya untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Salahsatu konsep budaya kemiskinan yang disampaikan seorang antropolog Oscar Lewis dalam Rajab (2004), memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Konsep tersebut memberikan pengertian bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang serta papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial ekonominya. Sumberdaya material yang dimiliki dan dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan mengenai sebabsebab kemiskinan, yaitu system approach, decision- making model dan structural approach. Berdasarkan pada pendekatan sistem (system approach), akar kemiskinan lebih diakibatkan dengan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan atau pedalaman, sehingga perlu dilakukan intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar dalam mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumberdaya ekonomi, sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi, selain juga harus diupayakan untuk membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi publik yang memungkinkan daerah yang bersangkutan menjadi terbuka, sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa, serta diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk (Lewis dalam Rajab, 2004).
410
Keterkaitan kemiskinan, seperti dalam uraian diatas dengan tujuan penulisan makalah ini, adalah untuk membuat suatu alur berfikir dari kondisi aktual yang ada di masing-masing lokasi kajian PFI3P (kasus di Lombok Timur, NTB) secara geografis, ekologi, teknologi serta aspek sosial ekonomi dengan upaya pemberdayaan wilayah, baik tujuan pencapaian produksi, pemenuhan kebutuhan pangan maupun melalui introduksi sarana dan inovasi teknologi pertanian yang pada akhirnya menjadi upaya bagi perbaikan ekonomi wilayah secara keseluruhan, juga secara bertahap menjadi penghela bagi peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani didalamnya.
METODOLOGI Penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan data dan informasi dari laporan hasil kegiatan baseline survey yang dilakukan oleh Tim dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, di beberapa desa di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Desa Korleko, Suangi, Selebung Ketangga, Sambelia serta Sembalun Lawang) tahun 2003 – 2004. Sedangkan informasi mengenai dampak (teknis, maupun sosial dan ekonomi) dengan adanya upaya pemberdayaan melalui inovasi yang dilakukan dengan kegiatan PFI3P di beberapa lokasi wilayah miskin tersebut, disampaikan berdasarkan hasil laporan pelaksanaan kegiatan Evaluasi Partisipatif Terhadap Perbaikan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi yang dilakukan oleh Tim dari BPTP NTB tahun 2005. Penyampaian materi dilakukan secara deskriptif serta melalui analisis tabulasi sederhana untuk memudahkan pembahasan materi yang disampaikan. Selain menyampaikan data primer hasil kegiatan baseline survey serta evaluasi, materi dalam tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan dan informasi sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber yang relevan dengan topik yang akan menjadi pokok bahasan.
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH Sampai saat ini, sektor pertanian masih memegang peranan cukup penting dalam struktur perekonomian Kabupaten Lombok Timur, serta Propinsi NTB secara umum. Potensi pertanian yang ada di Kabupaten Lombok Timur, telah memberikan konstribusi yang cukup besar di dalam proses pembangunan perekonomian secara keseluruhan. Data BPS (2002) menunjukkan bahwa konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Lombok Timur mencapai 40,68 persen dari seluruh sektor perekonomian, diatas kontribusi sektor perdagangan serta jasa-jasa. (Tabel 1). Tabel 1. PDRB Kabupaten Lombok Timur Berdasarkan Sektor Ekonomi (Atas Dasar Harga Berlaku) , 2002 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Ekonomi
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Perseroan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002.
(Rp 000)
%
863.567.610 70.485.747 139.276.245 3.316.594 164.726.176 360.652.701 132.680.194 37.503.616 350.717.886 2.122.926.769
40,68 3,32 6,56 0,16 7,76 16,99 6,25 1,77 16,52 100,00
Besarnya konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB tersebut, tidak terlepas dari peran serta sektor pertanian yang juga cukup dominan di beberapa kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Lombok Timur itu sendiri. Secara umum potensi sektor pertanian di beberapa kecamatan contoh, memberikan kontribusi yang cukup penting bagi pencapaian PDRB Kabupaten Lombok Timur, dengan persentase yang cukup besar diantara lapangan usaha yang ada, yaitu berkisar antara 29,32 hingga 64,54 persen (Tabel 2).
411
Tabel 2.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Peranan dan Konstribusi Sektor Pertanian di Beberapa Kecamatan Contoh Terhadap PDRB di Kabupaten Lombok Timur (Berdasarkan Harga Berlaku), 2002 Lapangan Usaha
Sakra
Pertanian 32,05 Pertambangan dan Penggalian 2,22 Industri 9,19 Listrik dan Gas 0,76 Bangunan 6,22 Perdagangan, Hotel dan Restoran 17,04 Pengangkutan dan Komunikasi 8,34 Keuangan, Perseroan dan Jasa 2,19 Perusahaan 9. Jasa-jasa 21,99 Jumlah 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002.
Sambelia
Kabupaten Lombok Timur
62,44 2,16 0,33 0,03 6,92 18,78 0,37
64,54 4,24 1,04 0,16 11,41 2,43 0,81
40,68 3,32 6,56 0,16 7,76 16,99 6,25
2,26
0,95
0,81
1,77
24,70 100,00
8,02 100,00
9,28 100,00
16,52 100,00
Keruak
Labuhan Haji
53,45 3,86 4,03 0,18 8,88 1,19 4,13
29,32 5,06 7,22 0,17 7,41 16,45 7,40
1,17 11,12 100,00
Sembalun
Pada Tabel 2, terlihat bahwa peran sektor pertanian di Kecamatan Sambelia, Sembalun maupun Kecamatan Keruak, menunjukkan persentase yang cukup potensial, masing-masing 64,54 persen, 62,44 persen serta 53,45 persen, diatas persentase konstribusi sektor pertanian Kabupaten secara keseluruhan. Namun demikian, besarnya konstribusi sektor petanian yang dihasilkan oleh sebagian besar masyarakat yang ada di wilayah tersebut, belum menjadikan sumber ekonomi yang dapat mendorong kearah kesejahteraan rumahtangga petani secara keseluruhan. Sebaliknya beberapa desa yang termasuk di dalamnya masih berada pada wilayah kemiskinan, dengan kondisi agroekosistem yang relatif masih belum dapat diusahakan secara optimal dengan segala keterbatasan yang ada.
KARAKTERISTIK KEMISKINAN Ketidakpastian yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan, sebenarnya bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan itu sendiri dan bukan pada indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada faktor-faktor penyebab seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, berbagai ilmuwan dan pemerintahan cenderung memberikan penjelasan yang berbeda satu sama lain, sehingga rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun berbeda. Dengan demikian, tentunya implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan kemiskinan pun akan berbeda. Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (2003), menunjukkan bahwa standar yang menjadi dasar garis kemiskinan di NTB, adalah jumlah pendapatan sebesar Rp 112 960 per kapita per bulan, atau standar pendapatan Rp 122 411/kap/bln untuk daerah perkotaan dan Rp 94 588/kap/bln di daerah pedesaan. Dengan standar yang ditentukan tersebut, maka jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB hingga tahun 2003, mencapai 1 054 700 jiwa yang sebagian besar berada di pedesaan dan lebih banyak dari kaum perempuan (Tabel 3). Karakteristik kemiskinan berdasarkan pendidikan di NTB, sebagian berada pada golongan masyarakat dengan pendidikan setaraf Pra Sekolah Dasar (65,66 %), kemudian tamatan SD dan SLTP (30,85 %). Dari jumlah penduduk miskin yang ada di NTB secara keseluruhan, terlihat bahwa berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, sebagian besar (73,94 %) penduduk miskin adalah yang bekerja di sektor pertanian dan hanya 21,31 persen yang bekerja di non pertanian (Tabel 3). Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, manakala sektor potensial yang memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian daerah maupun nasional belum merupakan sumber penghidupan yang layak bagi para pelaku di dalamnya. Relatif rendahnya pendapatan, nilai tukar hasil pertanian serta keterbatasan aksessibilitas wilayah dengan sarana prasarana pertanian secara keseluruhan, menjadi latar belakang pendorong terjadinya kemiskinan di beberapa wilayah NTB serta lokasi kajian PFI3P.
412
Tabel 3. Karakteristik Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Indonesia, 2003 No
Karakteristik Kemiskinan
Nusa Tenggara Barat
1.
Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) 112.960 Perkotaan 122.411 Pedesaan 94.588 2. Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) 1.054.700 Perkotaan 486.000 Pedesaan 568.800 3. Berdasarkan Jenis Kelamin (jiwa) 1.054.800 Laki-laki 500.000 Perempuan 554.800 4. Berdasarkan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan (%) < Sekolah Dasar 65.66 Tamat SD/SLTP 30.85 SLTA+ 3.49 5. Berdasarkan Usia Kerja (15 Tahun keatas) dan Status Bekerja (%) Tidak Bekerja 4.75 Bekerja di Sektor Informal 82.81 Bekerja di Sektor Formal 12.44 Bekerja di Sektor Pertanian 73.94 Bekerja Bukan di Sektor Petanian 21.31 6. Pengeluaran Untuk Makanan (%) 68.75 Perkotaan 64.46 Pedesaan 71.78 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku I : Provinsi. Badan Pusat Statistik 2003
Indonesia 118.554 138.803 105.889 37.339.400 12.263.700 25.075.700 37.339.400 18.811.700 18.527.700
60.63 54.47 68.11
Secara nasional juga mengisyaratkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sumber kemiskinan bagi para pelaku di dalamnya, sekalipun secara nasional juga sektor pertanian merupakan sumber lapangan pekerjaan dan penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Data BPS (Tabel Lampiran 1) menunjukkan bahwa secara nasional, kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia di seluruh provinsi yang ada, juga bekerja di sektor pertanian. Kondisi mikro menunjukkan bahwa hampir di seluruh kabupaten yang ada di NTB, kondisi persentase kemiskinan dialami oleh sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian, yaitu antara 60,44 hingga 86,15 persen, kecuali di Kota Mataram (Tabel 4). Tabel 4.
No
Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kabupaten dan Sektor Pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2003 Kabupaten
Tidak Bekerja
Bekerja di Sektor Pertanian
Bekerja bukan/diluar Sektor Pertanian
1. Lombok Barat 11,36 60,44 2. Lombok Tengah 2,69 80,69 3. Lombok Timur 0,65 75,68 4. Sumbawa 2,77 83,33 5. Dompu 0,72 83,05 6. Bima 2,08 86,15 7. Kota Mataram 31,44 6,67 Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2 : Kabupaten. Badan Pusat Statistik 2003
28,20 16,62 23,67 13,90 16,23 11,77 61,89
Secara faktual, kemiskinan sangat erat kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pokok, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga. Data BPS (2003) juga memberikan gambaran bahwa secara nasional, penduduk miskin di seluruh provinsi yang ada, sebagian besar mengalokasikan pendapatan rumahtangga untuk pengeluaran makanan, baik penduduk yang berada di perkotaan maupun yang tinggal di pedesaan (Tabel Lampiran 2). Namun demikian, data secara umum tentang persentase pengeluaran penduduk miskin pedesaan untuk makanan cenderung lebih besar dibandingkan dengan yang dilakukan oleh penduduk di perkotaan, kecuali untuk provinsi DKI Jakarta.
STRUKTUR PENDAPATAN DAN PENGELUARAN
413
Sesuai dengan karakteristik agroekosistem Nusa Tenggara Barat secara keseluruhan, sebagian besar kondisi wilayah Kabupaten Lombok Timur merupakan lahan kering dengan tingkat kesuburan dan curah hujan yang rendah. Luas areal lahan kering mencapai 115 219 hektar atau sekitar 71,76 persen dari total luas wilayah. Sementara luas wilayah lahan sawah hanya mencapai 28,24 persen atau 45 336 hektar (BPS, 2002). Berdasarkan kondisi bio fisik dan agroekosistem pada setiap desa contoh, komoditas yang diusahakan di Desa Sambelia, Suangi dan Korleko lebih banyak dengan palawija jagung selain padi, serta komoditas perkebunan maupun sayuran dataran rendah. Di Desa Selebung Ketangga padi serta tembakau sedangkan komoditas yang diusahakan di Desa Sembalun Lawang lebih ke arah sayuran dataran tinggi, seperti kubis, kentang, bawang putih, petsai, tomat, cabe serta jenis sayuran lainnya, selain bertanam padi. Namun demikian, sumber pendapatan utama rumahtangga di lima wilayah kajian, sebagian besar berasal dari kegiatan on farm, kemudian non –farm serta off-farm (Tabel 5). Tabel 5 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun di Desa Contoh PFI3P, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 2004 (%) Sumber Pendapatan
Sambelia
73,60 1. On Farm - Padi 32,97 - Palawija 26,56 - Hortikultura 0,24 - Peternakan 10,15 - Perkebunan 3,68 - Perikanan 5,24 2. Off-Farm - Buruh Tani 5,24 - Menyewakan Alsintan 21,16 3. Non-Farm - Industri - Dagang 3,80 - Pertukangan 1,27 - Transportasi 4,25 - PNS/TNI/POLRI/dll 4,57 - Mengambil di alam 1,52 - Pemberian 5,75 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer Tim PSE -Bogor
Suangi
Korleko
Selebung Ketangga
Sembalun Lawang
Rataan
57,30 14,34 4,68 4,61 15,32 18,35 5,82 5,45 0,37 36,88 9,76 7,65 1,93 17,54 100,00
53,24 11,56 16,86 8,03 2,39 14,41 4,80 4,80 41,95 15,25 3,45 7,08 10,45 5,72 100,00
61,30 28,93 2,02 0,37 3,62 26,12 0,24 5,20 5,20 33,50 9,78 5,40 0,46 12,63 5,23 100,00
59,30 8,82 3,80 22,48 18,60 5,60 2,60 2,60 38,10 5,53 15,30 2,11 15,16 100,00
60,95 19,32 10,78 7,15 10,02 13,63 0,24 4,73 4,66 0,37 34,32 5,53 11,03 4,40 4,86 6,38 5,99 9,88 100,00
Tabel 6. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Per Tahun di Desa Contoh PFI3P, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 2004 (%) Jenis Pengeluaran
Sambelia
56,60 1. Pangan - Beras 20,53 - Kopi/teh/gula/dll 5,63 - Lauk Pauk/Sayuran 24,09 - Rokok/Tembakau 5,43 - Lainnya 0,92 43,39 2. Non-Pangan - Sabun/dll 5,12 - Pendidikan 12,50 - Pakaian 4,31 - Kesehatan 2,47 - Rekreasi 0,25 - Sosial 2,69 - Perbaikan Rumah 7,00 - Listrik/BBM 9,07 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer Tim PSE-Bogor
Suangi
Korleko
Selebung Ketangga
67,17 30,73 6,86 19,61 6,62 3,35 32,84 5,81 8,04 5,85 1,92 0,45 4,92 2,14 3,70 100,00
58,41 21,70 4,67 19,15 11,26 1,63 41,59 3,34 10,67 5,97 3,81 0,27 3,26 4,42 9,85 100,00
54,81 19,46 7,28 18,16 6,68 3,23 45,19 3,20 12,26 5,13 3,46 0,27 4,73 5,49 10,65 100,00
Sembalun Lawang
Rataan
60,47 16,98 5,94 25,35 8,95 3,25 39,53 6,19 11,47 6,25 2,37 0,34 5,35 1,94 5,62 100,00
59,49 21,88 6,08 21,27 7,79 2,48 40,51 4,73 10,99 5,50 2,81 0,32 4,19 4,20 7,78 100,00
Kemiskinan pada dasarnya erat kaitannya dengan bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga, sebagai kebutuhan dasarnya. Data pada Tabel 6 berikut, memberikan gambaran bahwa pengeluaran rumahtangga pada lima wilayah miskin, sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
414
pangan. Kebutuhan pangan utama dimaksud, adalah rata-rata untuk konsumsi beras maupun lauk pauk/ sayuran. Sementara pengeluaran untuk non pangan sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan pendidikan rumahtangga. Dari gambaran di atas, menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan para petani (sebagai responden) untuk memenuhi kebutuhan pangan, dilakukan berasal dari hasil pertanian yang diusahakan sendiri maupun dari hasil pembelian. Adanya keterbatasan usahatani yang dilakukan, terkait dengan kondisi keterbatasan sumberdaya alam (SDA), kemudian sistem usahatani dengan penerapan inovasi teknologi yang masih terbatas pada varietas bermutu/baru, teknologi pemupukan berimbang, pengolahan tanah, pengendalian HPT serta teknologi panen dan pasca panen, dimungkinkan berpengaruh pada capaian produktivitas. Disisi lain terjadinya fluktuasi harga serta kondisi sistem pemasaran komoditas pertanian komersial yang diusahakan rumahtangga petani, menjadikan nilai tukar maupun pendapatan yang diterima relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga secara optimal.
PEMBERDAYAAN POTENSI DAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN Upaya pemerintah untuk menggulangi masalah kemiskinan wilayah secara umum, terus dilakukan. Berbagai program pengentasan wilayah miskin telah banyak dilakukan di berbagai daerah, baik yang bersifat jangka pendek maupun yang berkesinambungan, sesuai dengan kondisi kemiskinan di masing-masing lokasi program yang diberikan. Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Kabupaten Lombok Timur (2004), mencatat bahwa permasalahan utama yang menyebabkan kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur, antara lain : (1) Jumlah penduduk dan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, (2) Kondisi alam yang kurang mendukung, (3) Terbatasnya lapangan kerja, (4) Penguasaan ketrampilan dasar/pengantar kerja masih rendah, (5) Terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi masyarakat, (6) Terbatasnya tenaga pendamping (motivator), (7) Kemauan dan kemampuan untuk mandiri masih rendah, karena terbiasa menerima bantuan/subsidi. Dengan latar belakang kemiskinan tersebut, KPK juga mengidentifikasi bahwa upaya pemerintah kearah pemberdayaan telah dilakukan, melalui program/proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Dalam Rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) serta Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (PFI3P). Kegiatan yang sama secara nasional juga masuk di Kabupaten Lombok Timur, antara lain Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT), Program Penyediaan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Pembangunan Jalan Poros Desa (P2JPD) maupun program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan yang terbaru adalah Program Dana Konpensasi Kenaikan Harga BBM, melalui BTL. Filosofi dasar Program PFI3P sebagai salahsatu bagian dari upaya pemberdayaan yang dilakukan secara partisipatif dan berkesinambungan selama 5 tahun, melalui inovasi pembangunan pertanian kearah peningkatan pendapatan petani, pada dasarnya diharapkan dapat meningkatkan tarap hidup petani (kwalitas hidup). Dalam Panduan Teknis Bappeda Kabupaten Lombok Timur (2003) juga dijelaskan bahwa sasaran program PFI3P yang secara paralel dilakukan di lima kabupaten contoh di Indonesia (Temanggung dan Blora di Jateng, Lombok Timur di NTB, Ende di NTT serta Kabupaten Donggala di Sulteng) pada tahun 2003, adalah (1) memberdayakan petani miskin agar dapat mengadopsi inovasi produksi pertanian dan metode pemasaran, termasuk inovasi pasca panen seperti agribisnis yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas serta keuntungan di bidang pertanian, (2) memberdayakan petani miskin agar dapat mengidentifikasi dan melaksankan pembangunan prasarana dan sarana umum di tingkat desa, sehingga dapat melakukan inovasi dalam produktivitas, pemasaran dan agribisnis di bidang pertanian. Kegiatan dilakukan selama lima tahun, meliputi 4 komponen pelaksanaan, (1) pemberdayaan petani miskin, (2) pengembangan sumber informasi di tingkat nasional dan daerah, (3) pengembangan inovasi pertanian serta (4) manajemen proyek. Secara umum, ruang lingkup kegiatan PFI3P dalam kaitan dengan pemberdayaan petani lebih mengarah pada pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pertanian di masing-masing wilayah miskin. Kegiatan yang dilakukan, meliputi, (1) Jalan usahatani untuk mendukung Agribisnis, (2) Irigasi kecil, (3) Embung rakyat, (4) Pasar desa, (5) Gudang/sarana produksi, (6) Pengadaan pupuk organik, serta (7) Pelatihan-pelatihan petani. Sementara dalam kegiatan pengembangan sumber informasi (nasional dan daerah), meliputi (1) Pembangunan pusat informasi pertanian lokal, (2) Penyediaan informasi pasar, (3) Penyediaan informasi teknologi pertanian yang bisa diakses petani untuk kegiatan usahatani. Implementasi kegiatan tersebut direalisasikan melalui berbagai program pelaksanaan yang disesuaikan untuk di masing-masing lokasi.
415
Kegiatan PFI3P 2003 di lima desa Kabupaten Lombok Timur, telah berjalan pada tahap ke III, dengan segala perubahan yang terjadi di dalamnya. Untuk mengetahui perubahan dan dampak teknis, sosial dan ekonomi melalui upaya pembangunan sarana pertanian PFI3P di masing-masing desa contoh, secara umum sebagaimana dilaporkan melalui hasil evaluasi Tim BPTP NTB (2005), seperti pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Dampak Teknis, Sosial dan Ekonomi dari Introduksi Kegiatan PFI3P di Lima Desa Contoh Nusa Tenggara Barat, 2005 Komponen Intoduksi Saluran Irigasi
Jalan Usahatani
Aspek Teknis
Aspek Sosial
peningkatan Indeks Pertanaman, pola tanam, variasi tanaman, perluasan areal tanam, produktivitas, efisiensi penggunaan air irigasi dan lebih teratur serta percepatan tanam arus inovasi dan waktu tempuh lebih cepat dan lancar, peningkatan peluang usaha non pertanian serta alternatif transportasi
Peningkatan aktivitas pasar menjadi setiap hari, usahatani lebih mengarah ke komersial, membuka lapangan kerja bagi perempuan di pasar Inovasi Penyampaian informasi teknologi usahatani yang bisa diadopsi petani lebih lancar serta punumbuhan kegiatan partisipatif lain Sumber : Data hasil evaluasi Tim BPTP, NTB 2005
Aspek Ekonomi
Peningkatan kerjasama kelompoktani dalam pemeliharaan saluran irigasi, berkurangnya konflik dan pencurian air
Peningkatan pendapatan dan keuntungan keluarga dari usahatani
Komunikasi teknologi, mobilisasi, akses informasi teknologi dan pasar relatif lancar serta lebih cepat diterima, terjalinnya bentuk kemitraan
Penurunan biaya transportasi, peningkatan penerimaan petani, diversifikasi pendapatan non pertanian, rantai pasar pendek dan volume yang dipasarkan meningkat, waktu pemasaran lebih cepat, peningkatan harga tanah
Pasar
-
-
-
-
KESIMPULAN 1.
Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya merupakan permasalahan individual maupun lokal, tetapi telah menjadi persoalan secara nasional yang membutuhkan perhatian di dalam pelaksanaan pembangunan negara secara nasional. Adanya ketidakpastian dan silang pendapat yang berkaitan dengan acuan dalam menjelaskan konsep kemiskinan yang tidak berdasarkan pada faktor-faktor utama penyebab kemiskinan dari berbagai kepentingan serta pengambil kebijakan, telah menimbulkan perbedaan rekomendasi serta menyebabkan perbedaan implikasi dari program penanggulangan kemiskinan.
2.
Secara umum, kemiskinan wilayah yang dialami di lokasi PFI3P Kabupaten Lombok Timur, lebih disebabkan oleh keterbatasan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan maupun sarana prasarana serta aksessibilitas yang mendukung pembangunan pertanian yang dilakukan oleh sebagian besar rumahtangga petani. Kondisi kemiskinan juga tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan pokok rumahtangga terhadap pangan, khususnya beras sebagai konsumsi utama serta jenis pangan lainnya di lokasi PFI3P maupun di tingkat Nasional.
3.
Upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta sumberdaya manusia, sebagai pelaku pembangunan pertanian di wilayah miskin telah dilakukan melalui kegiatan inovasi teknologi yang diintroduksikan PFI3P dan secara nyata telah mendorong pada perubahan. Melalui introduksi inovasi teknologi yang diselaraskan dengan pola partisipatif di dalam pelaksanaannya di lokasi PFI3P, secara bertahap membawa perubahan bagi pembangunan pertanian wilayah, serta para petani pelaku di dalamnya. Sehingga jumlah angka kemiskinan di sektor pertanian Kabupaten Lombok Timur maupun NTB secara perlahan dapat berkurang.
4.
Konsistensi dan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pemerataan inovasi teknologi bagi setiap lokasi yang dapat menggerakan partisipasi masyarakat setempat, merupakan modal yang cukup besar
416
untuk melakukan pembangunan wilayah secara lebih cepat, dengan mengedepankan tujuan upaya pengentasan kemiskinan di dalamnya. Program bantuan semata-mata hanya merupakan bagian kecil sebagai alat untuk memfasilitasi motivasi yang ditunjukkan oleh masyarakat secara partisipatif. 5.
Perang kata-kata dan silang pendapat yang mempermasalahkan kemiskinan di tingkat ”elite” beberapa waktu ini, tanpa dilakukan dengan tindakan dan niat yang kongkrit, tidak ada artinya. Sementara kemiskinan tetap berlangsung, sehingga ”yang miskin akan semakin miskin”.
DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003. Panduan Teknis dan Aplikasi Metode PRA Program PFI3P Kabupaten Lombok Timur. BPS dan Bappeda Propinsi NTB. 2003. Perkembangan Nilai Tukar Petani Triwulan I tahun 2003 BPS Kabupaten Lombok Timur. 2002. Pendapatan Regional. Lombok Timur Dalam Angka 2002. Hendayana, R dan K Puspadi. 2004. Mobilisasi Petani Miskin di Wilayah Agroekosistem Marjinal Melalui Wahana Kelompok Usaha Bersama Menuju Kemandirian. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram, tanggal 31 Agustus – 1 September 2004. PSE Bogor. Iqbal, M, I.S.Anugrah, DKS Swastika. 2004. Socio-Economic Baseline Survey For Poor Farmers‟ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) In East Lombok, West Nusa Tenggara. Kerjasama Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor. Irawan P.B dan H. Romdiati. 2000. dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya Untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, di Jakarta 29 Februari – 2 Maret 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kasryno, F. Erwidodo, E. Pasandaran, IW. Rusastra, A.M. Fagi dan T Pranadji. 2003. Pemikiran Mengenai Visi Pembangunan Pertanian Indonesia 2020 dan Implikasinya Bagi Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Prosiding Arah dan Kebijaksanaan Program dan Strategi Operasional Litbang Pertanian: Visi Penelitian dan Pengembangan Pertanian Menuju 2020. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lombok Timur 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lombok Timur Puspadi, dkk. 2005. Laporan Evaluasi Partisipatif Dengan Teknik PRA Perbaikan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi di Lombok Timur. BPTP NTB Rajab, Budi. 2004. Akar Kemiskinan dan Penanggulangannya. Harian Pikiran Rakyat, edisi Sabtu 30 Oktober 2004. Bandung Saptana dan V. Darwis. 2004. Keefektifan Koordinasi Kelembagaan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah. Monograph Series No. 25 Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya Dalam Pembangunan Pertanian. PSE, Bogor. Simatupang P., D.K.S. Swastika, M. Iqbal dan I.S.Nugrah 2005. Pemberdayaan Petani Miskin Melalui Inovasi Teknologi Pertanian di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram, tanggal 31 Agustus – 1 September 2004. PSE Bogor. Sumardi, M. dan Hans D Evers.1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. CV. Rajawali, Jakarta
417
MENINGKATNYA INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN OLEH PETANI MISKIN
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANA
Mobilisasi Kelompok
Pengembangan Kelembagaan
1. Membentuk kelompok tani 2. Meningkatkan peran serta perempuan dan petani miskin dalam kelompok tani 3. Menyediakan fasilitator 4. Menumbuhkan proses partisipatif dalam pengambilan keputusan
1. Membentuk VPIC yang berfungsi sebagai badan di tingkat desa 2. Membentuk PIVF di tingkat kecamatan 3. Membentuk DCC sebagai forum untuk dukungan teknis investasi desa 4. memformalkan ketiga kelembagaan diatas dalam struktur administratif kabupaten
Investasi Desa
1. Memanfaatkan kelompok tani dalam proses partisipatif untuk investasi desa mendukung inovasi 2. Membangun kemitraan antara kelompok tani dengan swasta untuk investasi dan adopsi inovasi 3. Mengusulkan biaya investasi desa
MENINGKATNYA AKSES INFORMASI
Pengembangan Website Pertanian Nasional dan Pengembangan Pusat Informasi Lokal
1. Meningkatkan ruang lingkup sistem informasi harga pasar untuk memenuhi kebutuhan di 4 propinsi PFI3P pada tahun ke empat 2. Menyediakan informasi harga pasar secara umum di tingkat produsen dan pasar 3. Mengembangan sistem informasi secara nasional setelah proyek berakhir 4. Memutakhirkan informasi pertanian secara reguler dan dapat dioperasikan pada tahun ke 4. 5. Membangun website informasi pertanian dan agribisnis 6. Memanfaatkan website pertanian untuk kegiatan bisnis pada tahun kedua setelah website operasional. 7. Membangun pusat-pusat informasi di tingkat kabupaten dan dapat operasional pada tahun ketiga
GOAL
REORIENTASI PENELITIAN PERTANIAN LAHAN MARGINAL
MANFAAT
Pengembangan dan Diseminasi Inovasi Pertanian
LUARAN
1. Melaksanakan outreach program untuk penyebaran teknologi tepat guna 2. Melaksanakan program penelitian spesifik untuk lahan marginal 3. Mengembangkan metode produksi dan pemasaran pertanian 4. Menyelenggarakan kegiatan diseminasi hasil litkaji
INPUT/ KEGIATAN
418
KAJIAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS OPERASIONAL JARINGAN IRIGASI MENDUKUNG PRODUKTIVITAS USAHATANI PADI SAWAH Yovita Anggita Dewi dan Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.. Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor
ABSTRAK Salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani padi di lahan sawah adalah adanya jaringan irigasi yang efisien dan efektif. Makalah bertujuan untuk membahas operasional jaringan irigasi terutama menyangkut tingkat efisiensi dan efektivitasnya dalam mendukung produktivitas usahatani padi sawah. Makalah dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian di Daerah Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, tahun 2003. Pengumpulan data dilakukan melalui survey terhadap 75 orang petani anggota perkumpulan pemakai air (P3A) yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dalam hal ini indikator efisiensi dilihat dari Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR) sedangkan efektivitasnya ditunjukkan oleh indeks luas (IA) lahan yang terairi. Hasil pengkajian menunjukkan: (a) Daerah irigasi Pengasih mempunyai luas jaringan sekitar 2120 ha, meliputi 30 desa dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha); (b) Jumlah kelompok P3A terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan GP3A Pengasih Barat dengan luas jaringan masing-masing 716 ha dan 1404 ha; (c) Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di wilayah tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masingmasing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003; (d) Tingkat efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk ditingkatkan kembali melalui upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani pengelola irigasi melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap diperlukan. Kata kunci: jaringan irigasi, efisiensi, efektivitas, P3A, produktivitas, usahatani padi.
PENDAHULUAN Usaha peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi, pada dasarnya dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain ekstensifikasi, intensifikasi dan rehabilitasi, namun upaya tersebut memerlukan waktu yang panjang. Menurut Saptana, dkk., (2001), dalam jangka pendek pilihan yang layak untuk meningkatkan produktivitas usahatani adalah melalui intensifikasi dengan meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya. Pada usahatani padi sawah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui alokasi air irigasi secara efektif dan efisien. Perlunya alokasi sumberdaya air (irigasi) pada lahan sawah terkait dengan kinerja pengelolaan air irigasi pada level usahatani yang masih jauh dari optimal, bahkan cenderung masih boros, sementara itu kehilangan air yang terjadi di saluran irigasi juga sulit di tekan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama rendahnya realisasi areal tanam dan panen padi pada MK I dan terlebih pada MK II, yang bermuara pada rendahnya perolehan produksi (Fagi, 2002; Pasandaran dan Hermanto, 1995; Pusposutardjo, 1995). Dari hasil penelitian Saptana dkk (2001) terungkap bahwa salah satu simpul kritis dalam pengelolaan air irigasi mencakup 8 aspek, salah satunya adalah sistem jaringan irigasi. Keberadaan jaringan irigasi dalam hubungannya dengan upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan khususnya padi sawah telah menjadi pembahasan berbagai pakar pertanian. Mereka menelaahnya dari berbagai segi baik teknis maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek teknis, pembahasan irigasi telah dikemukakan antara lain oleh Ismindarwati (1983), Arief (1996), sedangkan dari aspek sosial ekonomi dan kelembagaan antara lain dibahas oleh Pasandaran (1995), Sumaryanto (2001), Saptana, dkk (2001), Purwoto, dkk (1998). Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang diperbaharui dengan PP. No.20 /2006 Tentang Irigasi. Makalah ini akan melengkapi informasi kajian jaringan irigasi yang telah ada, dengan lebih memfokuskan bahasan pada aspek efisiensi dan efektivitas operasional jaringan irigasi dalam mendukung produktivitas usahatani padi sawah, kasus di jaringan Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta.
419
METODOLOGI PENGKAJIAN Pendekatan Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta bangunan pelengkapnya. Menurut Purwoto (1998) dan Sumaryanto (2001), dalam sepuluh tahun terakhir ini di wilayahwilayah yang semula didesain sebagai lahan beririgasi teknis dan semi teknis telah terjadi penurunan kapasitas lahan irigasi, karena degradasi sumber air irigasi dan menurunnya kinerja jaringan irigasi. Degradasi sumber air irigasi berupa menurunnya stabilitas debit air sungai, sedangkan menurunnya kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh rusaknya saluran-saluran tersier dan tidak berfungsinya saluran tersebut akibat elevasi dan dasar saluran lebih tinggi dari permukaan air di saluran sekunder. Disamping itu ditengarai oleh Arief (1996), bahwa menurunnya kapasitas lahan irigasi bisa juga disebabkan karena rancang bangun jaringan irigasi yang kurang baik. Di dalam pengelolaan jaringan irigasi ini, terdapat tiga kegiatan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Ismindarwati, 1983). Selanjutnya Kast dan Rosenweig (1985), mengemukakan bahwa tolok ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas. Dalam hal ini efisiensi teknis diukur dari tiga indikator yaitu Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR). Sedangkan efektivitas ditunjukkan oleh indeks luas areal (IA). Data dan Sumber Data Pembahasan didasarkan atas data primer yang dikumpulkan melalui survey terhadap 75 orang petani dari beberapa Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menggunakan kuesioner semi terstruktur. Lokasi pengkajian adalah di sekitar daerah irigasi Pengasih, yang secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Untuk memperkaya bahasan, digunakan pula data hasil wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa informan kunci, serta informasi hasil penelusuran pustaka. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. (a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR) dengan rumusan sebagai berikut: Pasok Air Irigasi (a.1)
PIA
=
Liter/Detik/Ha Luas Lahan Terairi Pasok Irigasi Total
(a.2)
PIR/RIS
=
Liter/Detik/Ha Kebutuhan Air Tanaman Total Pasok Air
(a.3)
PAR/RWS =
Liter/Detik/Ha Kebutuhan Air Tanaman
Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka pengelolaan irigasi semakin efisien. (b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut: Luas Areal Terairi IA
=
X 100 % Luas Rancangan
Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.
420
HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Daerah Irigasi Pengasih Secara administratif Daerah Irigasi (DI) Pengasih termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kulonprogo, berada dalam pengamatan pengairan Wates, Cabang Dinas Pekerjaan Umum II (Tengah). Luas areal yang diairi (=oncoran, Jawa) DI Pengasih mencapai 2120 ha, meliputi 30 desa di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha). Pengelolaan air irigasi di level petani dalam DI Pengasih dilakukan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), yang terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan Pengasih Barat dengan luas masing-masing 716 ha dan 1404 ha. Sumber air yang digunakan berasal dari air Bendung Pengasih yang disadap melalui saluran primer sampai pintu bagi sekunder dan kemudian didistribusikan melalui dua buah saluran sekunder. Saluran sekunder pertama berada di Kedundang untuk wilayah Gabungan Pengasih Barat dan kedua, saluran sekunder Cangkring untuk Gabungan Pengasih Timur. Panjang saluran seluruhnya mencapai 27,01 km dengan jumlah bangunan 377 buah. Dilihat dari kondisinya, dari total panjang saluran itu hanya sekitar 50% saja yang baik. Sisanya tergolong sedang dan bahkan kondisinya jelek. Adapun mengenai bangunan, sebagian besar (78%) kondisinya tergolong baik dan yang sedang serta jelek tidak lebih dari 22%. Secara lebih terinci datanya disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Keadaan Saluran dan Bangunan dalam Jaringan Irigasi Pengasih di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta 2003 Komponen Jaringan Irigasi Saluran
Bangunan
Kriteria Panjang Baik Sedang Jelek Jumlah Baik Sedang Jelek
Ukuran 27,1 km 51,12 % 46,05 % 2,84 % 377 unit 77,97 % 21,47 % 0,57 %
Sumber : Data penelusuran jaringan, (2003)
Keberadaan DI Pengasih di Kulonprogo cukup strategis disamping Daerah Irigasi lainnya (DI Papah), karena dapat memfasilitasi kebutuhan pengairan hampir 50 % wilayah pesawahan di Kulonprogo. Dengan efektifnya operasional jaringan di DI Pengasih, dapat menghindari terjadinya kekeringan di sekitar 2120 hektar persawahan. Jika rata-rata produktivitas sawah di Pengasih mencapai 54,26 kw/ha, maka kinerja DI Pengasih dapat menyelamatkan produksi padi sekitar 11,5 ribu ton padi di Kabupaten Kulonprogo. Efisiensi Pengelolaan Jaringan Irigasi Sebagimana telah dikemukakan, efisiensi pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nilai koefisien PIA, PIR dan PAR. PIA menunjukkan nisbah antara pasok irigasi dengan luas lahan terairi, dalam hal ini semakin kecil nilai PIA maka efisiensi manajemen akan semakin besar. Sementara itu PIR atau disebut juga Relative Irrigation Supply (RIS) menunjukkan nisbah antara pasok irigasi total dengan kebutuhan air tanaman, dan PAR atau Relative Water Supply (RWS) merupakan nisbah total pasok air (irigasi ditambah curah hujan efektif) terhadap kebutuhan air tanaman. PIR dan PAR biasa juga dipakai untuk mengukur kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya air dalam kegiatan suatu sistem irigasi. Selisih antara PAR dan PIR merupakan curah hujan yang dapat digunakan tanaman. Apabila curah hujan tinggi dan nilai PIR juga tinggi maka fenomena ini menunjukkan bahwa petani belum mampu untuk mengelola sumberdaya secara sepadan. Semakin kecil nilai PIR dan PAR menunjukkan bahwa efisiensi manajemen irigasi semakin bagus. Dari hasil analisis data lapangan diketahui nilai efisiensi pengelolaan jaringan irigasi di DI Pengasih dari tahun 2002 ke tahun 2003 mengalami penurunan. Data pada Tabel 2 menunjukkan, nilai PIA, PIR dan PAR pada tahun 2003 relatif lebih besar dari tahun sebelumnya, yang berarti terjadi penurunan kadar efisiensi dalam pengelolaan jaringan irigasi.
421
Tabel 2. Nilai efisiensi Pengelolaan Irigasi di Pengasih Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, 2004 Indikator dan parameter
Kisaran nilai (l/dt/ha) 2002
2003
Pasok Irigasi per Area (PIA)
0,92
1,68
Pasok Irigasi Relatif (PIR)
1,33
2,44
Pasok Air Relatif (PAR).
1,33
2,44
Sumber: Data Primer diolah
Menurunnya nilai efisiensi tersebut antara lain karena pola perilaku petani daerah hulu yang ”menimbun” air. Perilaku petani tersebut mengakibatkan petani di daerah hilir mengalami kekurangan air sehingga pembagian air di daerah hulu dan hilir tidak merata, terutama di musim kemarau. Selain itu kecilnya luas kepemilikan lahan rata-rata sekitar 0,02 ha menyulitkan pengurus untuk membagi air sesuai kebutuhan air tanaman sehingga kurang efisien. Berkurangnya nilai efisiensi juga disebabkan adanya kerusakan jaringan sehingga tidak dapat menyalurkan dan membagi air dengan baik. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah perlunya pendampingan dari petugas pengairan untuk membantu pengelola dalam memperhitungkan kebutuhan air tanaman berdasarkan debit tersedia sehingga pemberian air ke petak-petak tersier lebih merata dan adil. Efektivitas Pengelolaan Jaringan Irigasi Efektifitas pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nisbah antara luas areal terairi terhadap luas rancangan. Dalam hal ini semakin tinggi nisbah tersebut semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi. Dengan pemahaman seperti itu, di lapangan diidentifikasi rasio atau nisbah luas areal terairi terhadap rancangan luas areal mencapai 91% (0,91). Artinya dari seluruh target areal yang akan diairi hanya ada sekitar 9% saja yang tidak terairi. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (89%), efektifitas pengelolaan air ini mengalami peningkatan sekitar 2%. Terjadinya peningkatan indeks luas areal (IA) di DI Pengasih diduga selain karena adanya penambahan luas sawah baru, juga dapat diartikan bahwa irigasi yang dikelola secara efektif mampu mengairi areal sawah sesuai dengan yang diharapkan. Peran Irigasi Terhadap Produktivitas Usahatani Padi Sawah Di dalam teknologi usahatani terutama padi sawah, peran irigasi sangat strategis. Namun perannya tersebut akan tergantung juga pada dukungan teknologi lainnya seperti penggunaan benih unggul bermutu tinggi, pengolahan tanah yang sempurna, pemupukan yang berimbang dan pengendalian hama-penyakit. Dengan demikian peran irigasi bukan satu-satunya unsur teknologi yang bisa mendukung peningkatan produktivitas. Terjadinya interaksi kegiatan irigasi dengan teknologi lainnya dalam mendukung produktivitas usahatani, menyebabkan peran irigasi tersebut tidak secara eksplisit dapat diidentifikasi dampaknya terhadap peningkatan produksi. Hal tersebut, secara empiris di lapangan ditunjukkan oleh keragaan perolehan produktivitas usahatani padi. Dalam periode tahun 2002 – 2003, perolehan produksi padi per hektar rata-rata terjadi peningkatan relatif kecil yakni dari 5,68 ton per hektar pada tahun 2002 menjadi 5,70 ton per hektar pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 0,02 ton per hektar. Disisi lain dari analisis irigasi ditunjukkan bahwa dalam peride tersebut terjadi penurunan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara meningkatnya produktivitas usahatani padi dengan penurunan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi. Peningkatan produktivitas usahatani, sejalan dengan meningkatnya efektivitas pengelolaan air, namun hal ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut keterkaitannya. Persepsi Anggota P3A Terhadap Pengelolaan Irigasi Pemahaman tentang persepsi anggota P3A terhadap pengelolaan irigasi diperlukan untuk mengukur sejauhmana tingkat kepuasannya terhadap kinerja pengelolaan irigasi yang dilakkan pengurus P3A. Dalam hal ini yang diungkap adalah kepuasan anggota terhadap beberapa aspek pengelolaan irigasi antara lain dalam hal kecukupan pemberian air, ketepatan waktu dan keadilan yang dilakukan pengelola. Hasil identifikasi di lapangan terungkap bahwa persepsi anggota P3A terhadap aspek-aspek pengelolaan air irigasi ini menunjukkan masih relatif rendah. Kenyataan tersebut ditunjukkan secara faktual berdasarkan jawaban yang terungkap. Terhadap aspek kecukupan air, misalnya, hanya sekitar 50,13 %
422
anggota P3A yang menyatakan tingkat kecukupan baik. Demikian juga terhadap aspek ketepatan waktu dan keadilan yang dilakukan pengelola, kurang dari 50 % anggota memberikan respon yang positif. Anggota P3A yang menyatakan pengaturan air irigasi tepat hanya dinyatakan oleh sekitar 48,8% dan keadilan dalam pengelolaan air dinyatakan oleh sekitar 43,53 %. Berdasarkan informasi tersebut, untuk sementara dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja pengelolaan air oleh P3A masih perlu ditingkatkan lagi. Masih rendahnya kinerja pengelola yang ditinjau dari derajat kepuasan anggota antar alain disebabkan kurangnya kepekaan, pengetahuan dan keterampilan pengelola P3A dalam memahami/mengikuti dinamika iklim sehingga cenderung menetapkan jadwal pola tanam yang relatif rutin. Hal itu dilakukan karena etani mengasumsikan bahwa secara kuantitas, sumberdaya air selalu cukup dan memenuhi persyaratan. Kenyataannya sering terjadi ketidak cukupan, ketidak tepatan, ketidak adilan dalam pembagian air. Akibatnya petani gagal panen sehingga produktivitas usahatani menurun. Salah satu solusi yang disarankan adalah perlunya menyusun pola tanam yang berbasis pada kondisi dinamika iklim, antara lain meliputi keragaan bulan basah dan bulan kering.
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di wilayah pengkajian menunjukkan penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-masing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003.
2.
Peningkatan produktivitas usahatani tidak sejalan dengan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi, tetapi sejalan dengan efektifitas operasional jaringan irigasi.
3.
Tingkat efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk ditingkatkan melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Arif, S.S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancang bangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman (Crop Diversification): Studi Kasus di Daerah Irigasi (DI) Cikuesik, Cirebon. Fagi, A.M., S. Partohardjono, dan E. Ananto. 2002. Strategi Pembaharuan Kebutuhan Pangan Beras 2010. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sukamandi 4 – 7 Maret 2002. Balai Penelitian Padi. Sukamandi. Jawa Barat. Ismindarwati, 1983. Pokok Pekerjaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Irigasi dalam Penuntun Kursus E&P. DPU. PLAV. Jakarta. Kast, F.E. dan J.E. Rosenweig, 1985. Organization and Manajement, A System and Contingency Approach. Fourth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. New York. Pasandaran, E. dan Hermanto.1995. Pengelolaan Sistem Irigasi Hemat Air dalam Rangka Mempertahankan Swasembada Beras. dalam Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis, Pengelolaan, dan Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung. Purwoto, Adreng P. et.al. 1998. Perubahan Manajemen Sumberdaya Air dan Investasi Menunjang Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Kerjasama The Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Saptana, Sumaryanto, Hendiarto, R.S. Rivai, Sunarsih, A. Murtiningsih dan V. Siagian. 2001. Rekayasa Optimalisasi Alokasi Air Irrigáis Dalam Rangka Peningkatan Produkai Pangan dan Pendapatan Petani. Buletin AgroEkonomi, Vol 1 No 3 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Saptana, Hendiarto, Sunarsih dan Sumaryanto. 2001. Tinjauan Historis dan Persepktif Pengembangan Kelembagaan Irrigáis di Era Otonomi Daerah. FAE Vol 19, No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
423
Sumaryanto, 1999. Keswadayaan Petani Dalam Mengelola Sumberdaya Air Untuk Irigasi FAE Vol. 17 No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Sumaryanto dan T. Sudaryanto, 2001. Perubahan Paradigma Pendayagunaan sumberdaya Air dan Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan. FAE. Volume 19, No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Pusposutardjo, S., 1995. Efisiensi Air Irigasi di Saluran dan Petak (Sawah). ). dalam Ganjar Kurnia (Ed.). 1995. Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis, Pengelolaan, dan Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung.
424
KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN TERHADAP UPAYA PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN KERING MARGINAL Herman Supriadi dan Handewi P. Saliem Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRAK Pembangunan pertanian di lahan kering marginal masih sangat terbatas dan upaya untuk itu masih banyak menghadapi kendala sosial ekonomi dari masyarakat setempat. Infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan terbatasnya keterlibatan petani untuk mendapatkan akses pasar, informasi, kredit, kemitraan usaha, transportasi dan usaha rumah tangga. Rendahnya produktivitas lahan berkolerasi dengan rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pemilikan permodalan dan kapabilitas petani dalam mengelola lahannya. Kondisi sosial ekonomi yang lemah tersebut membuat petani cenderung melakukan praktek yang kurang ramah lingkungan seperti sistem tanam tebas bakar, jerami dibuang atau dibakar, pemupukan tidak berimbang, pestisida berlebihan, bertanam di lahan berlereng, dan penebangan kayu hutan secara liar. Dampak negatif baik secara biofosik maupun sosial ekonomi akibat praktek usahatani yang merusak tersebut perlu diantisipasi semua pihak. Pemerintah perlu lebih mengefektifkan sosialisasi terpadu mengenai dampak kerusakan lahan dan mengajak masyarakat mengendalikan laju kerusakan lahan. Pembangunan infrastruktur pedesaan merupakan pemicu perkembangan sosial ekonomi masyarakat di lahan kering marginal.
Kata kunci : implikasi kebijakan, pembangunan pertanian, lahan kering
PENDAHULUAN Salah satu ekosistem yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah lahan kering yang menurut Irsal Las dkk (1991) luasnya mencapai 99.3 juta ha beriklim basah (51.7 % total lahan) dan 19.3 juta ha beriklim kering (10% total lahan). Menurut Sujadi (1984) lahan kering meliputi areal 48.3 juta ha dan 29.7% luas daratan Indonesia, sedang Partohardjono (1988) hanya mengemukakan sekitar 20 juta ha. Kenyataan bahwa walaupun luas, tapi pembangunan pertanian di lahan kering marginal masih terbatas karena pemerintah cenderung mengutamakan pengembangan pertanian di lahan sawah irigasi. Karakteristik ekosistem lahan kering marginal tidak sekedar kondisi lahan yang rapuh dan tidak subur, tetapi kondisi masyarakat pun cukup memprihatinkan dimana diwilayah ini terdapat kantong-kantong kemiskinan (Badan Litbang Pertanian, 2004). Selanjutnya kemiskinan berpengaruh kepada penerimaan teknologi dan pengelolaan lahan. Dengan alasan kemiskinan petani terpaksa melakukan kegiatan yang merusak kelestarian lahan, seperti pembakaran jerami padi habis panen, sistem tebas bakar untuk pembukaan lahan, penggunaan pestisida berlebihan, pemupukan tidak berimbang, budidaya tanaman semusim di lahan berlereng tajam, menebang kayu hutan untuk bangunan dan bahan bakar secara liar dan sebagainya. Karena keterbatasan modal petani cendrung memilih cara termurah, praktis dan tercepat dalam usahataninya. Kalau hal ini dibiarkan terus menerus, produktivitas semakin menurun, kerusakan lahan semakin parah, adopsi teknologi semakin sulit dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lahan kering marginal semakin memprihatinkan (Titilola, 1990). Pembangunan pertanian yang bertumpu pada petani kecil merupakan suatu hal yang mendesak untuk segera diwujudkan melalui program yang terpatu, partisipatif dan berorientasi agribisnis (Abinowo, 2000 dan FAO, 1994). Maksud penulisan makalah adalah untuk melihat hubungan antara kondisi sosial ekonomi petani lahan kering marginal dengan kapabilitasnya yang terbatas untuk mengelola lahan dan dampaknya terhadap produktivitas, pendapatan dan keberlanjutan usahatani. Data mengenai kondisi sosial ekonomi pentani di lahan kering marginal dalam hal ini diambil dari hasil survei pendasaran sosial ekonomi didaerah Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (P4MI). Selanjutnya strategi yang diperlukan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk pengembangan lahan kering marginal juga dibahas dalam makalah ini.
METODOLOGI PENELITIAN Analisis dilakukan dengan menggunakan data survai pendasaran proyek P4MI. Survai pendasaran untuk mengindentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat petani dilahan kering telah dilakukan di lima kabupaten yaitu : Temanggung dan Blora (Jawa Tengah), Lombok Timur (Nusat Tenggara Barat), Ende (Nusa Tenggara Timur) dan Donggala (Sulawesi Tengah) dalam tahun 2004. Tiap kabupaten dipilih lima desa contoh dan tiap desa di wawancara sebanyak 30 petani menggunakan kuesioner terstruktur. Diskusi
425
kelompok dengan menggunakan pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal) dilakukan di tiap desa untuk menampung informasi kebijakan dan kondisi umum. Luas bangunan rumah berkisar antara 42-95 m2 dengan dinding rumah sebagian besar tembok ( + 58%) di Temanggung, Lombok Timur dan Donggala, sedang di Blora kebanyakan papan kayu dan di Ende terbuat dari bambu. Alas rumah sebagian besar dari semen kecuali di Blora masih dominan tanah. Di semua lokasi P4MI yang dominasi lahan kering sudah menggunakan penerangan listrik dari PLN yang mana menunjukkan keberhasilan program listrik masuk desa.
KERAGAAN UMUM WILAYAH LAHAN KERING Kondisi Biofisik Lahan kering marginal secara biofisik dikenal rapuh (fragile) dengan tingkat kesuburan rendah dan resiko kegagalan usahatani cukup tinggi. Di Indonesia ekosistem lahan kering dibagi menjadi lahan kering iklim basah (curah hujan > 2000 mm/tahun) dan lahan kering iklim kering (curah hujan < 2000 mm/tahun). Lahan kering iklim basah yang didominasi jenis podsolik merah kuning (Ultisol dan Inceptisol) tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian jaya, sedang lahan kering iklim kering yang didominasi oleh Regosol tersebar di Indonesia bagian timur seperti di Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sulawesi. Produktivitas lahan kering marginal relatif rendah yang umumnya karena tingkat kesuburan rendah seperti kandungan hara, bahan organik tanah, pH dan kapasitas tukar kation yang rendah. Ketersediaan air umumnya terbatas terutama yang beriklim kering dengan bulan hujan hanya + 3 bulan basah ( > 100 mm/bulan). Pada lahan kering sering terjadi banjir pada musim hujan tetapi kekeringan pada musim kemarau. Profil Kemiskinan Krisis ekonomi dan kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang berkepanjangan terutama bagi masyarakat di lahan kering marginal. Tidak mengherankan kalau kantong-kantong kemiskinan terdapat diwilayah lahan kering marginal yang tersebar luas di Indonesia. Terdapat peningkatan secara tajam jumlah penduduk miskin di Indonesia dari 22.5 juta jiwa (11.3%) pada tahun 1996 menjadi 48 juta jiwa (23.4%) tahun 1999 (Irawan dan Romdiati, 2000), setelah masa krisis jumlah penduduk miskin menurun menjadi 37.3 juta jiwa pada tahun 2003. Perkembangan angka kemiskinan di lima kabupaten miskin yang didominasi lahan kering marginal di Indonesia (termasuk lokasi P4MI) menunjukkan kecenderungan yang sama dengan tingkat nasional (Swastika dkk, 2004). Di Jawa Tengah persentase penduduk miskin menurun sebelum krisis, yaitu dari 15.8% (1993) menjadi 13.9% (tahun 1999), dan pada masa krisis melonjak menjadi 28.5% kemudian pada tahun 2003 menurun menjadi 21.8%. di Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Kabupaten Lombok Timur angka kemiskinan sebelum krisis sebanyak 17.6% (tahun 1996) meningkat drastis menjadi 33% (tahun 1999) dan masih tinggi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 26.3%. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) persisnya di Kabupaten Ende jumlah penduduk miskin sebelum krisis adalah 20.6% (tahun 1996) meningkat menjadi 46.7% (tahun 1999) dan pada tahun 2003 menurun lagi menjadi 28.6%. Angka kemiskinan di Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) pada sebelum krisis adalah 8.2% (tahun 1996) meningkat menjadi 28.7% (tahun 1999) dan menurun lagi menjadi 23.0% pada tahun 2003. Infrastruktur Kondisi sarana dan prasarana (infrastruktur) yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran sistem usahatani di lahan kering marginal antara lain : jalan antar desa, jalan usahatani, saluran irigasi, pasar, bendungan sarana perkreditan, sistem informasi dan kelembagaan pendukung lainnya. Secara umum kondisi jalan desa dan jalan usahatani di wilayah lahan kering marginal termasuk masih memprihatinkan, sebagian besar jalan desa belum diaspal sedang jalan usahatani belum ada. Di Kabupaten Donggala yang wilayahnya sebagian adalah perbukitan, ada beberapa desa yang terisolir, dan tidak ada akses jalan dari desa ke kota sehingga harus berjalan kaki + 4 jam ke kota. Belum tersedianya jalan usahatani sangat menyulitkan bagi petani untuk mengangkut hasil pertanian ke pasar, kalaupun ada jasa pengangkutan tentunya biayanya sangat mahal. Disinilah tengkulak dan perantara mengambil keuntungan dalam mengangkut dan menjual hasil pertanian petani. Masalah banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau perlu mendapat perhatian utama dilahan kering agar bisa dilakukan pemanenan air pada musim hujan untuk dimanfaatkan waktu musim kemarau. Bangunan bendungan, check dam, saluran irigasi, embung dan sumur pompa yang masih langka dilahan kering marginal perlu diprioritaskan dalam pengembangan pertanian. Ketersediaan air sementara pada musim kemarau tergantung pada infrastruktur tersebut diatas.
426
Kondisi lahan kering marginal yang masih terisolir membuat perkembangan pasar lambat, sarana perkreditan sangat terbatas, sistem informasi belum jalan dan lemahnya kelembagaan pendukung. Kesemuanya ini membuat semakin tidak sejahteranya masyarakat petani diwilayah marginal.
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI LAHAN KERING Karakteristik Rumah Tangga Secara umum petani contih berusia rata-rata diatas 45 tahun dengan tingkat pendidikan 7-8 tahun atau setingkat dengan kelas 1 – 2 SMP. Tingkat pendidikan anak rata-rata lebih tinggi, ada yang sudah mencapai sarjana, tetapi kurang berminat untuk terjun ke usahatani. Pekerjaan utama kepala keluarga adalah petani ( > 90%) diikuti oleh pekerjaan luar usahatani dan sebagai buruh tani. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan mereka disektor pertanian, dan kecilnya kesempatan kerja di luar pertanian. Kondisi rumah sebagai tempat tinggal dapat dijadikan indikator tingkat kemiskinan penduduk. Secara umum luas pekarangan petani dilahan kering marginal relatif sempit berkisar 45-391 m2 sehingga kecil kemungkinan untuk usaha pertanian. Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Rata-rata luas penguasaan lahan di lima kabupaten miskin dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagian besar lahan yang diusahakan adalah lahan tegalan atau ladang untuk tanam padi gogo dan palawija, dengan rata-rata penguasaan per petani berkisar 0.34 ha di Temanggung sampai 0.69 ha di Blora. Kecuali itu masih terdapat lahan tadah hujan dengan penguasaan berkisar 0.22 ha di Ende sampai 0.69 ha di Blora. Tabel 1. Rataan Penguasaan Lahan Usaha di Empat Kabupaten Penelitian P4MI. NTB Lombok Timur (Ha) Tegalan/ladang 0,34 0,45 Tadah hujan 0,5 0,45 Kebun 0,89 Sawah 0,5 0,64 Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004. Jenis Lahan
Jawa Tengah Temanggung Blora
NTT Ende
Sulteng Donggala
0,45 0,11 0,63 0,22
0,91 0,67 1,06 0,51
Pola usahatani di lahan kering marginal umumnya berupa tumpang sari atau campuran antara padi gogo atau jagung dengan kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan sayuran (kacang panjang, cabai, tomat dan lainnya). Jenis komoditi disesuaikan dengan iklim dan permintaan pasar, seperti di Temanggung terdapat sayuran dataran tinggi dan di NTB ada pengusahaan tanaman tembakau rakyat. Tabel 2 menyajikan tingkat adopsi teknologi petani di wilayah lahan kering untuk usahatani padi dan jagung. Tabel 2. Tingkat Penerapan Teknologi di Lima Kabupaten Penelitian P4MI Uraian 1. Padi Benih Pupuk - Urea - SP 36 -
KCl
Prod.
Jawa Tengah Temanggung Blora IR 64 34-49 210-273 77-89 (65%) 50 (5%) 44 (MP) 3,5 (MK)
NTB Lombok Timur IR 64
NTT Ende lokal
Sulteng Donggala 40-80
-
250 rendah
tanpa tanpa
50-150 40-130
-
jarang
tanpa
4-60
-
4,2
2. Jagung Benih 20-30 Pupuk - Urea 150-183 anjuran - SP 36 40-87 rendah - KCl jarang Prod. 1,81 3,8 Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004.
5-3 Lokal
Tanpa Tanpa Tanpa 1,5
427
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Secara umum sumber pendapatan rumah tangga petani di lima kabupaten contoh adalah usahatani sendiri (on farm), kemudian dari sektor bukan pertanian (non farm) dan kontribusi terkecil dari luar usahatani sendiri seperti berburuh tani (off farm) Tabel 3. Tabel 3. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga di Lima Kabupaten Penelitian P4MI Sumber pendapatan dan pengeluaran On farm Off farm Non farm Total Pengeluaran total (juta RP)
Jawa Tengah Temanggung Blora 72,5 3,9 23,6 100
57 3 4,0 100
NTB Lombok Timur
NTT Ende
Sulteng Donggala
60,9 4,7 34,3 100
48,9 1,5 49,6 100
65,51 4,06 30,42 100
6,46
6,35
52,1
57,7
5,18
Pengeluaran Pangan (%) 54 750 59,5 Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004.
Berbeda dengan kabupaten lainnya, sumber utama pendapatan di Kabupaten Ende berasal dari non farm, yaitu mencapai 49,6% dari total pendapatan. Usahatani sendiri memberi kontribusi pendapatan sebesar 48,9% dan usaha off farm hanya 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani dilahan kering marginal NTT belum menjadi tumpuan hidup yang utama, dan untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga petani mencari kegiatan non pertanian sebagai kuli, dagang dan jasa. Pendapatan utama di empat kabupaten lainnya berkisar (57-72,5)% dari on farm, sedang non farm berkisar (23-40)% dari off farm hanya (3,0 – 4,7)%. Tingginya kontribusi on farm dalam struktur pendapatan rumah tangga di lima kabupaten yang didominasi lahan kering marginal menunjukkan bahwa sektor pertanian berperan penting bagi perekonomian masyarakat. Kurangnya kontribusi on farm terhadap pandapatan di Kabupaten Ende disebabkan karena agroekosistemnya berbeda dengan empat kabupaten lain, dimana pola curah hujannya hanya + 3 bulan basah per tahun. Dengan kondisi iklim yang kering seperti itu komoditas pangan yang bisa ditanami terbatas hanya satu musim tanam, sehingga pendapatan usahatani juga terbatas dan banyak waktu tersedia untuk usaha non farm. Petani lahan kering iklimmm kering seperti di Ende dan Donggala kurang intensif dalam usaha tanaman pangan karena keterbatasan air dan modal, sebaliknya mereka lebih mengharapkan usaha perkebunan (tanaman tahunan). Tanaman perkebunan ternyata lebih banyak memberikan kontribusi pendapatan dibandingkan tanaman pangan semusim. Pengeluaran rumah tangga petani di lima kabupaten contoh berkisar Rp. 5,18 juta sampai Rp. 6,46 juta per tahun dimana pengeluaran terbesar (52.1-57,7)% untuk pangan. Pengeluaran pangan terbesar adalah untuk makanan pokok beras, jagung dan ubi kayu, sedang untuk non beras terutama pengeluaran untuk pendidikan. Tingginya proporsi pengeluaran untuk pangan pokok (beras dan jagung) merupakan cerminan dari kondisi masyarakat miskin. Walaupun miskin mereka masih menganggap pendidikan anak adalah penting.
DAMPAK KEMISKINAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN Kenyataan menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat tani di lahan kering marginal yang relatif kurang beruntung, sangat berpengaruh terhadap kemampuannya mengelola lahan. Pengelolaan lahan kering marginal memerlukan input tinggi dan waktu yang lama untuk bisa mereklamasi menjadi lahan yang subur, sedangkan kapabilitas petani umumnya diwilayah ini sangat terbatas dalam hal modal dan penguasaan teknologi. Dengan alasan keterbatasan modal dan pengetahuan tersebut banyak petani menerapkan usahatani yang kurang produktif bahkan tidak ramah lingkungan. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini kegiatan-kegiatan yang sudah membudaya dan tidak disadari merusak kelestarian lahan yaitu : budaya pembukaan lahan (persiapan tanam) dengan sistem tebas bakar, budaya membersihkan jerami habis panen dengan membakar, pemberian pupuk seadanya (tidak berimbang). Penanaman dilahan yang berlereng tajam, penggunaan herbisida untuk membasmi rumput/semak belukar secara berlebihan, penebangan kayu hutan secara liar untuk bahan bakar atau bangunan dan banyak kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tampaknya sedearhana tetapi dampaknya jelas akan lebih membuat kondisi lahan semakin rusak tidak produktif lagi. Petani melakukan hal itu karena
428
menganggap sudah sesuai dengan kemampuannya yang terbatas, mereka inginkan hasil yang didapat dengan cepat, murah hemat tenaga.. Disisi lain pihak pemerintah belum ada perhatian yang serius terhadap kegiatan usahatani yang bertentangan dengan kaedah konservasi tersebut. Setiap menjelang musim tanam petani dari berbagai penjuru menerapkan sistem tebas bakar yang membuat polusi udara dimana-mana, bahkan hutanpun sering ikut terbakar. Begitu juga terhadap jerami padi yang setiap panen dibakar, bahkan ada yang dijual kepada penampung untuk diekspor dan pemerintah belum bisa mencegah secara efektif. Krisis moneter yang berkepanjangan dan mahalnya bahan bakar minyak, juga membawa dampak yang luar biasa di masyarakat. Penduduk yang tidak sanggup membeli minyak beralih menggunakan bahan bakar kayu yang diperoleh dari hutan sekitarnya. Penggundulan hutan sudah terasa akibatnya di Sukabumi Selatan, dimana mata air di musim kemarau tidak lagi mencukupi kebutuhan untuk rumah tangga, apalagi untuk usahatani. Kemampuan petani untuk membeli pupuk yang relatif mahal juga berakibat kepada pemupukan yang tidak berimbang dan tidak mencukupi, sedangkan tanah tidak istirahat dibudidayakan. Akibatnya lahan semakin kurus, semakin tidak produktif dan semakin rendah tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani lahan kering marginal (Diperta, 2004).
PENGEMBANGAN LAHAN KERING MARGINAL Berdasarkan sifat-sifat fisik lahan kering marginal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani yang relatif kurang beruntung, disimpulkan bahwa kedua kondisi (fisik dan sosial ekonomi) dapat saling mempengaruhi dan membawa dampak positif maupun negatif bagi pengembangan usahatani (Gambar 1). Disamping itu kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) secara langsung maupun tidak langsung bisa memperbaiki ataupun memperlemah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Nyata atau tidak nyata kebijakan pemerintah akan tetap berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya umpan balik dari masyarakat sering tidak efektif mempengaruhi kebijakan karena pendekatan ”top down” dan masih kurang berpihaknya pemerintah terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin. Fakta menunjukkan, masyarakat miskin di lahan kering marginal umumnya mempunyai kapabilitas yang lemah (terutama modal), terdapat budaya usahatani yang tidak disadari merusak lingkungan (terutama sistem tebas bakar) dan adopsi teknologi rendah. Ketiga hal tersebut merupakan faktor penentu yang paling berkaitan dan membawa dampak negatif terhadap pengembangan lahan, yang pada akhirnya akan menciptakan lahan kritis dan tidak produktif. Kalau sudah begitu usahatani apapun akan gagal dan lahan perlu direklamasi. Kondisi sosial ekonomi masyarakat juga memungkinkan untuk berbuat yang berdampak positf terhadap reklamasi dan kelestarian lahan yaitu : apabila masyarakat sudah diberdayakan, sudah menyadari pentingnya konservasi lahan dan air serta dapat mengadopsi inovasi teknologi usahatani yang produkti. Kalau ketiga hal tersebut bisa dijalankan maka jaminannya adalah usahatani produktif yang berkelanjutan. Sayangnya untuk mendapatkan dampak positif dari kondisi sosial-ekonomi yang masih terbatas perlu perjuangan keras baik dari masyarakat sendiri maupun pemerintah. Upaya pengembangan agribisnis dilahan kering marginal bukannya tidak mungkin, tetapi banyak faktor yang harus diperhatikan (Gambar 2). Sistem produksi berkelanjutan di lahan kering marginal hendaknya mengarah kepada peningkatan nilai tambah dengan pengolahan hasil dan pemasaran untuk betulbetul bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani miskin. Untuk mencapai itu faktor lingkungan (biofisik dan sosial ekonomi) haruslah menunjang kepada sistem produksi yang berkelanjutan. Faktor biofisik yang menunjang antara lain kesesuaian iklim dengan komoditas, konservasi tanah dan air serta infrastruktur pedesaan (jalan usahatani). Kondisi sosial ekonomi yang diperlukan meliputi dukungan kebijakan pemerintah, fasilitas perkreditan, kelompok tani yang mandiri, keamanan dan pasar (saprodi, hasil maupun jasa tenaga kerja). Berbagai sistem yang menunjang sangat diperlukan bagi pengembangan agribisnis dilahan kering marginal yaitu : sistem penyuluhan yang efektif, kemitaraan usaha, lembaga pendukung agribisnis hulu maupun hilir, ketersediaan inovasi teknologi dan sistem informasi (harga pasar, teknologi dan kebijakan). Revitalisasi sistem penyuluhan perlu segera diwujudkan agar upaya pembudayaan petani khususnya di lahan marginal bisa sukses. Dalam hal ini sistem penyuluhan tidak hanya menyangkut PPL (Penyuluh Pertanian Lapang) saja tetapi semua instansi terkait. Kemitraan dalam bentuk jasa keuangan, permodalahan saprodi, tenaga kerja dan alsintan sangat diperlukan bagi petani di lahan marginal yang umumnya tinggal didaerah terisolir dan akses informasi/usaha
429
terbatas, lembaga pendukung agribisnis hilir seperti eksportir juga bisa diminta perannya membantu petani kecil.
Usahatani gagal
Lahan kritis tidak produktif Memperbaikii/memperlemah
Dampak negatif Kondisi Lahan Kering
Kondisi sosial ekonomi
Dampak positif
Usahatani berkelanjutan
Reklamasi dan kelestarian lahan
Kebijakan Pemerintah
Umpan balik
Pemerdayaan Konservasi Adposi inovasi teknologi baik
Gambar 1. Pengembangan Agribisnis Lahan Kering Marjinal
BIOFISIK Kesesuaian iklim Konsrv tanah & air
INOVASI TEKNOLOGI Layak teknis, ekonomi, sosial dan budaya
SISTEM PRODUKSI BERKELANJUTAN
SOSIAL EKONOMI Dukungan kebijakan Fasilitas permodalan Kelp. tani mandiri Keamanan lingk. Pasar input-outputtenaga kerja
SISTEM PENYULUHAN
SISTEM INFORMASI Harga dan pasar Teknologi Kebijakan
PENGOLAHAN HASIL DAN PEMASARAN
KEMITRAAN Jasa permodalan Saprodi Tenaga kerja -alsin
PENINGKATAN PENDAPATAN & KESEJAHTERAAN
LEMBAGA PENDUKUNG AGRIBISNIS HILIR
Gambar 2. :Hubungan antara kondisi sosek petani –tingkat pengelolaan lahan kering marjinal – kebijakan pemerintah
Peran lembaga penelitian dalam menyediakan teknologi tepat guna perlu ditingkatkan. Teknologi introduksi harus sudah layak secara teknis, sosial dan ekonomis sebalum dikembangkan. Perlu juga melihat adanya teknologi petani asli (indigenous technology) untuk diintegrasikan dengan teknologi hasil penelitian. Sistem informasi harus juga dibangunbaik mengenai harga dan pasar, teknologi baru maupun kebijakankebijakan menyangkut pembangunan pertanian agar petani tidak buta dalam berbisnis. Semua faktor penentu diatas mengandung resiko yang bisa membuat kegagalan pengembangan khususnya di lahan kering marginal perlu sekali menganalisis faktor resiko sebelum program aksi pengembangan (Anderson and Dillon, 1992). Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk pengembangan pertanian dilahan kering marginal adalah :
430
1.
Pembangunan sarana prasarana (infra struktur) pedesaan sebagai tahap awal pembangunan karena ini jelas dampak positifnya terhadap perkembangan kondisi sosial ekonomi wilayah.
2.
Peningkatan produktivitas alahan kering marginal dengan teknologi yang ramah lingkungan dan konsistensi pemerintah untuk mencegah praktek usahatani yang menyalahi kaedah konservasi.
3.
Membuka keterisolasian masyarakat dengan membangun sistem informasi harga, pasar dan teknologi/pengetahuan serta upaya pemberdayaan.
4.
Membuka peluang pasar dengan kemitraan, perbaikan kualitas produk dan pengolahan hasil pertanian.
KESIMPULAN Kondisi masyarakat petani di lahan kering marginal cukup memprihatinkan dilihat dari keterbatasan aset (rumah tangga, lahan usaha, ternak dan peralatan pertanian yang dimiliki), pengetahuan dan ketrampilan usaha, akses (informasi dan pasar), dan infrastruktur (jalan usahatani, gudang, pasar dan bangunan pertanian). Kondisi sosial ekonomi yang masih memprihatinkan menjadi penyebab kurangnya kemampuan petani dalam upaya melestarikan lahan, bahkan tanpa disengaja malah meningkatkan marginalisasi lahan.Pemerintah belum sepenuhnya menaruh pertanian terhadap kondisi dan upaya pembangunan pertanian di lahan kering marginal. Rendahnya produktivitas lahan kering marginal berkorelasi dengan rendahnya tingkat pendapatan, pemilikan aset (rumah tangga dan pertanian) dan kemampuan mengelola lahan. Sosialisasi dan antisipasi terhadap marginalisasi lahan kering belum secara efektif dan terpadu dilakukan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani dilahan kering marginal menjadi kendala dalam upaya pengembangan pertanian. Pembangunan infrastruktur pedesaan merupakan pemicu perkembangan sosial ekonomi masyarakat dilahan kering marginal.
IMPLIKASI KEBIJAKAN Kondisi masyarakat petani dilahan kering marginal yang memprihatinkan hendaknya dapat dipahami dan menjadi dasar pemerintah untuk meningkatkan keberpihakannya dengan program aksi pembangunan pertanian secara taerpadu dan partisipatif. Masyarakat petani lahan kering marginal perlu ditingkatkan motivasi dan pemberdayaannya agar bertanggung jawab langsung terhadap upaya pelestarian lahan. Reklamasi lahan kering marginal perlu di intensifkan melalui pengembangan usahatani integrasi tanaman – ternak agar produktivitas lahan meningkat. Sosialisasi secara partisipatif terpadu dan rutine oleh instansi terkait mengenai kerusakan lahan dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan. Antisipasi terhadap timbulnya pelanggaranpelanggaran oleh masyarakat ataupun pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebabkan rusaknya kelestarian lahan, perlu dilakukan dengan monitoring secara rutine dan adanya peraturan/larangan yang mengandung sangsi tegas. Setiap program pengembangan pertanian hendaknya dirancang bersama masyarakat sejak awal agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan rasa memiliki. Salah satu cara untuk mempercepat perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di lahan kering marginal adalah pembangunan infrastruktur pedesaan, termasuk jalan untuk akses ke kota, jalan usahatani, check dam, embung, jembatan penghubung, pasar, pergudangan, bengkel dan kios pertanian dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Abinowo, U. 2000. Model Pertanian Masa Depan. Solusi Alternatif Menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu. SPAT-Pasuruan. Anderson, J.R. and J.L. Diloon. 1992. Risk Analysis in Dryland Farming Systems Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Badan Litbang Pertanian, 2004. Laporan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P3MI). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Dinas Pertanian. 2004. Programer Tahun 2004 Cabang Dinas Pertanian Ngawen. Kabupaten Blora.
431
FAO. 1994. Farming System Development. A Participatory Approach to Helping Small-Scale Farmers. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Makarim A.K., Hidayat A, Karama A.S. dan Manwan B. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di Indonesia. Puslitbang Tanaman Pangan. Partohardjono. S., J.S. Adiningsih dan I.G. Ismail. 1998. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Beriklim Basah Melalui Teknologi Usahatani. Dalam : Sistem Usahatani di lima Agro-ekosistem. Puslitbang Tanaman Pangan Sujadi M. 1994. Masalah Kesuburan Tanah Podsolik Merah Kuning dan Kemungkinan Pemecahannya. Dalam : Prosiding Pertemuan Teknis. Pendidikan Pola Usahatani Menunjang Tranmigrasi. Badan Litbang Pertanian. Swastika.D.K.S., Irawan B.m Supriadi H, Basuno E, Hastuti E.L., R.N. Suhaeti, M. Iqbal, IS. Anugerah, I. Sadikin dan A.K., Zakaria. 2004. Laporan Survai Pendasaran Sosial Ekonomi, di Daerah P4MI, Puslibang Sosek.Pertanian.. Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowlede System into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In: Studies in Technology and Social Change. No. 17. IOWA Sate University Research Foundation.
432
SEKENARIO SISTEM ROTASI TANAMAN BERBASIS PADI-TEMBAKAU VIRGINIA YANG DAPAT MEMPERTAHANKAN PRODUKTIVITAS TANAH DI PULAU LOMBOK Suwardji, Mulyati, Putu Silawibawa, dan Sutriono Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jalan Pendidikan No. 37 Mataram, NTB 83125 Telp/Fak. 628143 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan lahan secara intensif dan terus menerus untuk tanaman padi-tembakau virginia di Pulau Lombok telah terbukti dapat menurunkan produktivitas lahan dan mengancam ketahanan pangan di wilayah ini. Hasil analisis 35 contoh tanah yang diambil dari lahan pertanian yang ditanami padi-tembakau secara terus menerus selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa 27 contoh tanah mempunyai status bahan organik sangat rendah (< 1%) dan sisanya 8 contoh tanah mempunyai status bahan organik rendah (1-1,5%) (Hendro dan Suwardji, 2002). Untuk mengatasi masalah menurunnya produktivitas lahan pertanian yang dikelola secara intensif berbasis padi-tembakau virginia, sekenario sistem rotasi tanaman berbasis krotalaria (Crotalaria juncea) dikembangkan melalui penelitian jangka panjang yang telah dimulai tahun 2003 pada tanah ordo Inceptisol di Puyung Lombok Tengah. Percobaan lapangan menggunakan rancangan acak lengkap berblok dilakukan dengan perlakuan (a) sistem rotasi tanaman (4 sistem rotasi) yaitu : (a1) padi-tembakau virginia-bero, (a2) padi-tembakau virginia-jagung, (a3) padi-tembakau virginia-krotalaria, dan (a4) padi-tembakau virginia-campuran krotalaria dan jagung, dan (b) dosis pemupukan yang meliputi : (b1) tanpa pemberian pupuk, (b2) dosis pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi dan (b3) dosis pemberian pupuk rekomendasi (300 Kg KNO3 dan 150 Kg TSP). Selanjutnya setiap kombinasi perlakukan diulang 4 kali sehingga diperolah 4 x 3x 4= 48 plot percobaan. Masing masing plot dibuat petakan permanen dengan galengan pembatas 40 cm dengan sekitar 10 x 10 m disesuaikan kondisi petak, dan untuk masing-masing blok diberi pembatas petakan pembatas 10 m sehingga untuk percobaan lapangan diperlukan lahan kurang lebih 1 hektar dengan kondisi awal yang relatif homogen. Hasil penelitian tahun pertama dari hasil penelitian jangka panjang (2003-2006) menunjukkan bahwa sistem rotasi tanaman padi-tembakaukrotalaria juncea telah mampu meningkatkan produktivitas lahan secara nyata. Pada tahun ke 1 produksi gabah kering pada sistem rotasi tanaman padi-tembakau-krotalaria secara setatistik lebih tinggi (6067 kg) dibandingkan dengan sistem rotasi tanaman yang lain seperti sistem rotasi tanaman padi-tembakau-bero (5647 kg). Hasil tembakau virginia juga meningkat secara nyata pada sistem rotasi berbasis krotalaria (1674 kg/ha) dibandingkan dengan sistem rotasi paditembakau virginia-bero (1514 kg/ha). Peningkatan hasil padi gabah kering dan tembakau yan cukup tinggi pada tahun pertama menunjukkan bahwa sistem rotasi yang dikembangkan dalam jangka panjang dapat mempertahankan produktivitas lahan dan merupakan sistem pertanian yang berkelanjutan. Kata kunci : sistem rotasi, padi, tembakau virginia, mempertahankan produktivitas tanah.
PENDAHULUAN Tembakau Virginia termasuk salah satu komoditi pertanian strategis untuk Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan usaha tani tembakau virginia merupakan usaha tani yang sangat intensif dengan masukan tinggi (high input) pada lahan yang tersebar luas di Pulau Lombok khususnya Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Sebagai gambaran pentingnya usaha tani komoditas, Pulau Lombok merupakan penghasil tembakau Virginia berkualitas tinggi yang mempunyai peran penting dalam memasok kebutuhan tembakau Virginia Indonesia sejak tahun 1968. Pada tahun 2002 Pulau Lombok memasok 25.000 ton (59%) dari kebutuhan tembakau Virginia Indonesia (Dinas Perkebunan NTB, 2001) Ektensifikasi dan intensifikasi usaha tani tembakau Virginia sangat meningkat pesat antara tahun 1997-2002 dan tahun 2001 luas tanam meningkat hampir dua kali lipat (mencapai 14 000 ha) dari areal lahan potensial yang diperkirakan mencapai 26.000 Ha di Pulau Lombok. Dari tahun 1990 sampai 2000 produktivitas meningkat tajam dari 1,54 ton/ha meningkat menjadi 2 ton/ha (Disbun NTB, 2001). Namun pada musim tanam tahun 2001 telah mualai diamati terjadinya gejala penurunan produksi tembakau yang cukup berarti. Hasil catatan lapangan (farm record) dari PT. Sadhana Arifnusa menunjukkan bahwa di beberapa tempat tampak adanya serangan jamur akar. Hasil evaluasi dan refleksi program kerja mitra petani PT. Sadhana Arifnusa yang dilakukan setiap tahun menunjukkan bahwa serangan jamur akar diduga kuat terkait dengan penurunan produktivitas tanah khususnya terjadinya penurunan pH tanah. Hasil pengukuran pH tanah dari 25 contoh tanah yang diambil dari lokasi terjadinya serangan jamur akar tersebut menunjukkan adanya penurunan pH tanah yang cukup berarti dari pH tanah yang rata-rata sebelumnya sekitar 6-6,5 menjadi rata-rata 4,7-5,6 (Hendro dan Suwardji, 2002). Untuk melihat adanya indikasi penurunan produktivits tanah, telah juga dilakukan pengambilan 35 contoh tanah dari lahan petani tembakau yang mempunyai kemitraan dengan PT. Sadhana Arifnusa. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa 27
433
dari 35 contoh tanah yang diambil mempunyai status bahan organik yang sangat rendah < 1% dan sisanya termasuk katagori rendah (1-1,5%) (Hendro dan Suwardji, 2002). Untuk mengatasi adanya gejala penurunan produktivitas tanah yang disebabkan karena menurunnya kadar bahan organik tanah pada lahan termbakau petani mitranya, PT. Sadhana Arifnusa telah memprogramkan pembenihan bibit Crotalaria juncea bekerjasama dengan Sekolah Menengah Kejuruan di Kecamatan Kediri, Lombok Barat untuk pengadaan biji sebagai bibit. Pada akhir tahun 2002, SMK Kediri telah mampu menyediakan bibit sebanyak 500 kg biji Crotalaria juncea. Sejak tahun tahun 2003 perusahaan telah memprogramkan penanaman pupuk hijau setelah akhir tanam tembakau tahun 2003 (bulan SeptemberOktober 2003) pada sebagian petani mitra kerjanya sebagai uji coba ditingkat lapangan. Disamping itu upaya diversifikasi usaha tani yang terus dikembangkan oleh perusahaan untuk menerapkan sistim rotasi tanaman dengan penanaman jagung setelah tembakau akan mempercepat pengurasan C-organik tanah dan upaya memasukan pupuk hijau dalam sistim rotasi yang ada perlu mendapat kajian yang mendalam. Tujuan penelitian jangka panjang adalah untuk mencari alternatif peningkatan produktiviatas tanah pada sitim pertanian internsif berbasis padi-tembakau virginia di Pulau Lombok melalui sistim rotasi tanaman menggunakan pupuk hijau (Crotalaria juncea). Untuk mengevaluasi pengaruh rotasi tanaman terhadap perubahan produktivitas tanah dan hasil tanaman memerlukan waktu untuk beberapa tahun. Penelitian ini juga diarahkan untuk mengevaluasi pengaruh rotasi tanaman terhadap perubahan kualitas tanah dan mengkaji metode yang sederhana untuk penilaian keberlanjutan sistem pertanian yang diuji dengan menggunakan indek pengelolaan karbon (carbon management index). Pada tahun pertama dalam penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh rotasi tanaman dan dosis pemberian pupuk anorganik terhadap hasil dan kualitas hasil padi dan tembakau virginia serta pola mineralisasi nitrogen di dalam tanah. Disamping itu juga di lakukan analisis beberapa sifat-sifat tanah terpilih yang penting untuk penilaian kualitas tanah sebagai data dasar untuk penilaian keberlanjutan (sustainabiliity) sistem rotasi tanaman yang diuji. Hasil yang dilaporkan dalam tulisan ini adalah sebagian hasil penelitian jangka panjang khususnya pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap peningkatan produktivitas tanah dan hasil tanaman padi dan tembakau virginia setelah 1 tahun pelaksanaan penelitian lapangan.
METODE PENELITIAN Penelitian tahun pertama (2003-2004) dilakukan pada lahan milik PT. Sadhana Arifnusa di Kecamatan Puyung Lombok Tengah mulai dari tanggal 10 Oktober 2003 sampai 20 Oktober 2004. Dalam penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap berblok dengan faktor-faktor sebagai berikut : Faktor pertama: Rotasi Tanaman (R) R1. R2. R3. R4.
: Padi-Tembakau-Bero : Padi-Tembakau-Jagung : Padi-Tembakau-Pupuk hijau (Crotalaria juncea)* : Padi-Tembakau-(Jagung + Pupuk Hijau)**
* ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm yang telah dilaporkan menghasilkan biomasa tertinggi (30-40 ton/ha) di daerah ini (Hidayat dkk., 2001). ** ditanam berselang-seling (intercropping) antara jagung dan pupuk hijau. Faktor kedua : Dosis Pemberian Pupuk Tanaman Padi dan Tembakau P0 P1 P2
: Tanpa dipupuk : ½ dosis rekomendasi (150 Kg KNO3 + 100 Kg TSP) : Dosis rekomendasi (300 kg KNO3 + 200 Kg TSP)
Dari ketiga faktor tersebut akan diperoleh (4 x 3 x 4 ulangan), sehingga diperoleh 48 plot dan masing-masing plot dibuat seluas sekitar 100 m2 yang menyesuaikan dengan kondisi lahan. Masing-masing plot dibatasi oleh galengan permanen yang sekaligus sebagai pembatas (barier) perlakuan. Diantara blok dibatasi barier petak dengan luasan yang relatif sama dengan plot sehingga secara keseluruhan diperlukan lahan sekitar 1 hektar. Varietas padi yang ditanaman adalah C4 dan varietas tembakau yang ditanaman adalah Bra-01. Pembenihan, penanaman, pemupukan dan perawatan tanaman mengikuti cara-cara yang umum digunakan oleh petani sesuai dengan petunjuk teknis yang standar dari PT. Sadhana Arifnusa (Eko Hendro, 2001).
434
Untuk memperoleh data dasar karakteristik tanah (baseline data), contoh tanah dari kedalaman 0-20 cm akan diambil secara komposit dari 20 titik pada luasan tanah yang digunakan untuk percobaan. Sifat-sifat tanah yang akan dianalisis meliputi : tekstur tanah (Metode Pipet), kurva karakteristik lengas tanah (Metode pF-meter), pH (Metode Elektrode gelas), kadar bahan organik total dengan cara pemkararan (Blair dkk, 1995;1998), kadar C-organik labil dan C-organik tidak labil (Blair dkk, 1998), kapasitas pertukaran kation (Hidayat, 1978), kadar N,P,K total dan tersedia (Hidayat, 1978), respirasi tanah. (Anderson, 1982). Parameter hasil dan kualitas hasil tanaman padi yang di amati meliputi : hasil gabah kering/ha, berat 1000 butir, kadar protein total beras. Sedangkan parameter hasil dan kualitas hasil untuk tanaman tembakau meliputi hasil daun kering oven/ha, kualitas hasil menurut standar yang dinilai oleh professional grader.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Sifat-Karakteristik Tanah
Untuk mengetahui secara mendalam sifat dan karakteristik tanah tanah yang digunakan untuk penelitian, telah dipelajari karakteristik profil tanah di lokasi penelitian yang masuk dalam sub-grup Typic Humipropept . Sedangkan analisis berbagai sifat-sifat tanah terpilih yang dianggap penting terkait dengan tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat-sifat Fisika, Kimia dan Biologi Tanah Pada Kedalaman (0-20 cm) Yang Digunakan Untuk Penelitian No 1
2
3
4
5 6 7 8
9 10 11
Jenis Analisis Kadar lengas tanah/soil moisture pF0 pF1 pF2 pF2,54 pF4,2 Tekstur tanah pasir/sand debu/silt klei/clay Kemasaman tanah/soil pH pH H2O pH KCl Bahan organik/organic matter C N C/N N-tersedia/available N P-tersedia/available P K-tersedia/available K KPK/cation exchange capacity Ca Mg K Na Kejenuhan basa/base saturation Biomasa/soil biomass Kecepatan respirasi dengan kecepatan pelepasan CO2/ CO2 evolution
Nilai Terukur
Satuan
57,33 55,37 38,86 32,63 22,33
% Vol % Vol % Vol % Vol % Vol
49,01 40,33 10.,66
% % %
5,48 4,75 0,78 0,12 4,58 0,16 6,35 24 27,11 17,75 5,15 1,39 1,27 94,26 Rendah 112
Keterangan/ harkat
air tersedia tanaman 10,30 %
geluh (loam)
agak masam
% %
kadar bahan organik redah
% ppm ppm me/100g me/100g me/100g me/100g me/100g %
rendah-sedang rendah-sedang tinggi sedang
mg C/kg
rendah
Tinggi
Lokasi penelitian merupakan daerah persawahan yang datar sebagai salah satu sentra utama produksi padi dan tembakau virginia. Lokasi ini dipilih karena dari data analisis awal kandungan bahan organik tanah yang tersidik berharkat sangat rendah (< 1%) dan telah digunakan untuk penanaman rotasi tanaman padi-tembakau dan bero selama lebih dari 7 tahun. Pemanfaatan lahan yang sangat intensif dengan sistem rotasi tanaman yang kurang tepat diperkirakan menjadi penyebab utama pengurasan bahan organik tanah. Disamping itu sifat tanah yang bertekstur sedang (loam) dengan drainase baik dan kondisi lengas tanah yang relatif lembab sepanjang tahun dengan kondisi suhu udara yang relatif panas memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kecepatan oksidasi bahan organik yang relatif cepat.
435
Secara keseluruhan, data analisis sifat dan karakteristik tanah menunjukkan bahwa tanah yang digunakan sebagai lokasi penelitian mempunyai permasalahan kesuburan kimia dan biologi dengan beberapa kendala kesuburan fisik. Jika sistem rotasi yang diuji dapat mencapai sasaran yang diharapkan maka dapat meningkatkan efisiensi usaha tani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan produktivitas tanah. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama 3-4 tahun, peningkatan produktivitas tanah akan mampu mengurangi kebutuhan pupuk anorganik secara bertahap dan pada akhirnya pupuk anorganik hanya ditambahkan berdasarkan kekurangannya dari hasil pendauran hara in situ. Sistem rotasi tanaman yang diuji diharapkan merupakan sistem budidaya yang ramah lingkungan yang mendekati sistem alam dan mudah dipraktekkan oleh petani serta dari segi biaya murah. 2.
Hasil dan Kualitas Hasil Tanaman Padi Tahun Pertama
Rotasi tanaman berbasis krotalaria diharapkan dapat mengatasi penurunan produktivitas tanah akibat pengurasan bahan organik yang telah terjadi selama ini. Disamping itu rotasi berbasis krotalaria diharapkan mampu memberikan kontribusi penambahan N langsung ke dalam tanah baik oleh penambatan N dan masukan biomasa yang dikembalikan ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi penambahan pupuk anorganik N secara bertahap. Sedangkan rotasi tanaman dengan memasukkan jagung diharapkan adanya diversifikasi hasil pertanian yang dapat memberikan nilai tambah dalam usaha tani serta meningkatkan ketersediaan pakan ternak yang memadai pada sistem pengemukan sapi yang telah dikembangkan selama ini. Praktek petani yang umum dilakukan untuk sistem rotasi tanaman yang ada di Pulau Lombok adalah padi-tembakau virginia- bero seperti pada gambar berikut: Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
--------------- Padi ---------------------------Tembakau virginia---------------Penggemukan sapi-------------
----Bero/Kosong---
Sistem rotasi tanaman yang dipraktekkan petani dijadikan sebagai dasar pembanding, dengan sistem rotasi yang dikembangkan dan diuji yaitu : padi-tembakau-jagung, padi-tembakau-krotalaria, padi-tembakaukrotalaria/jagung. Data pengaruh sistem rotasi tanaman dan pemupukan anorganik terhdap hasil gabah kering tanaman padi (kg/Ha) dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum pada penelitian tahun pertama ini tidak diharapkan hasil yang spektakuler tentang pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap hasil padi dan tembakau. Hal ini berdasarkan pengalaman bahwa pengaruh rotasi tanaman terhadap hasil biasanya baru dapat diamati setelah beberapa tahun diterapkan secara terus menerus. Tabel 2. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman dan Dosis Pemupukan Anorganik Terhadap Hasil Gabah Kering Padi (kg/Ha) Perlakuan
R1 a (1)
R2
R3
5784 a (2)
5647
P1
5580 a (1)
5650 a(1)
5876 a (2)
6067 b(3)
P2
b (1)
b (2)
b(1)
5716 a(1)
5346
5828
R4
a(2)
Po
5718
5686
a(1)
5655
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05 (1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rotasi tanaman berpengaruh secara nyata terhadap hasil gabah kering. Rotasi tanaman berbasis krotalaria dan krotalaria/jagung meningkatkan hasil gabah kering secara nyata utamanya pada perlakuan tanpa pemupukan dan pemupukan dengan separoh dosis rekomendasi. Sedangkan untuk perlakuan pemupukan dengan dosis rekomendasi, rotasi tanaman tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Yang sangat menarik dari hasil penelitian tahun pertama ini, ternyata perlaukan dosis pemupukan tidak berpengaruh secara nyata pada hasil pada sistim rotasi padi-tembakau virginia – bero yang selama ini dipraktekkan petani. Alasan yang menyebabkan tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan dosis pupuk tersebut belum dapat dimengerti secara baik, namum boleh jadi karena kondisi kesuburan tanah yang tidak memberikan kondisi akar tanaman untuk mampu menyerap unsur hara yang tersedia di dalam tanah. Selanjutnya perlakuan dosis pemupukan rekomendasi justru menghasilkan hasil gabah kering yang lebih
436
rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan dan dosis pemupukan separoh rekomendasi pada sistim rotasi tanaman padi-tembakau virginia-jagung, tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria, tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria. Alasan yang menyebabkan terjadinya hal ini belum dimengerti secara baik, namum mungkin disebabkan kondisi ketidak seimbangan unsur hara (nutient imbalance) yang ada dalam tanah yang mempengaruhi penyerapan unsur hara sehingga menekan hasil gabah kering. Yang menarik dari data Tabel 2, sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria dan paditembakau virginia-krotalaria/jagung tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi menghasilkan berat gabah kering yang relatif tinggi (R3P0, R3P1, R4P0, dan R4P1 dengan hasil berturut turut 5822, 5876, 5784 dan 6067 kg/Ha) dibandingkan dengan sistem rotasi tanaman R1 dan R2 dan kombinasinya dengan dosis pemberian pupuk yang lain. Sedangkan hasil gabah kering tertinggi diperoleh pada perlakuan sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria/jagung (6067 kg/Ha) kombinasinya dengan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi. Dari hasil yang diamati tersebut di atas jelaslah bahwa masukan pupuk hijau krotalaria mungkin mampu memberikan tambahan bahan organik segar yang dapat menciptakan kondisi baik di dalam tanah yang salah satunya dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dan juga mungkin menciptakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya kesimbangan unsur hara serta proses pendauran hara ataupun senyawa lain di dalam tanah. Untuk mempelajari lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi di dalam tanah di dalam tanah maka penelitian tahun berikutnya diarahkan untuk mempelajari pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap status unsur hara , efisiensi pemupukan N dan P dan hasil dan kualitas hasil tanaman padi dan tembakau virginia. Dari hasil penelitian salah satu mahaiswa S1 yang saat ini sedang berjalan adalah diperolehnya informasi kontribusi krotalaria terhadap besarnya penambatan N di dalam tanah yang dilakukan di lapangan pada jenis tanah yang sama. Sedangkan salah satu mahasiswa yang lain sedang meneliti, pengaruh pembenaman biomasa krotalaria terhadap status N dan P di dalam tanah pada jenis tanah yang sama di rumah kaca. Jika kedua informasi ini dapat diperoleh diharapkan akan melengkapi data dasar untuk melakukan uji status dan efisiensi pemupukan anorganik untuk tanaman padi dan tembakau virginia yang akan dilakukan tahun depan. Untuk melihat pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji terhdap kualitas hasil gabah yang dihasilkan telah dilakukan penimbangan terhadap berat 1000 butir gabah untuk masing-masing plot (Tabel 3). Sedangkan pengaruh rotasi tanaman terhadap kadar protein kasar beras sedang dianalisis di laboratorium dan akan dilaporkan kemudian. Tabel 3. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman terhadap Berat 1000 butir Gabah Kering (g) Perlakuan
R1 a (1)
R2 25.9
a(1)
R3 26,1
R4
a(1)
25,6a (1)
Po
26,7
P1l
26,8a (1)
26,2a(1)
26,7a (1)
26,3a(1)
P2
26,5a (1)
25,5a (1)
225,7a(1)
26,1a(1)
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05 (1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Dari data Tabel 3 menunjukkan bahwa sistem rotasi tanaman tidak menunjukan adanya pengaruh yang nyata terhdap berat 1000 butir gabah kering. Adanya pengaruh rotasi tanaman yang diuji terhdap berat gabah kering yang terjadi nampaknya belum menghasilkan perubahan yang nyata pada kualitas gabah kering yang dihasilkan. Manifestasi adanya pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji terhadap hasil gabah kering terhadap kualitas hasil gabah kering mungkin memerlukan waktu penerapan sistem rotasi tanaman yang lebih lama. Yang lebih penting dalam kaitannya dengan kualitas beras diharapkan adanya perubahan kualitas yang menyangkut kadar protein dan asam-asam amino esensial. Untuk penelitian selanjutnya penilaian kualitas hendaknya diarahkan pada kandungan protein esensial seperti lysin dan sistein. 3.
Hasil dan Kualitas Hasil Tembakau Virginia pada Tahun Pertama
Secara umum pada tahun 2004 terjadi penurunan produksi tembakau yang cukup besar karena adanya hujan kiriman yang terjadi pada awal bulan Juni 2004. Hujan yang terjadi selama 4-6 hari berturutturut pada awal bulan Juni 2004 tersebut untuk wilayah Pulau Lombok, telah menyebabkan penurunan produksi daun tembakau virginia. Dari hasil catatan produksi tembakau virginia tahun ini terhadap mitra petani PT. Sadhana Arifnusa, adanya kiriman hujan tersebut telah menurunkan produksi berkisar antara 20-
437
30%. Penurunan hasil produksi daun tembakau virginia ini disebabkan adanya genangan air yang terjadi untuk beberapa hari dan adanya peningkatan serangan hama ulat. Untuk petani tembakau disekitar lokasi penelitian juga mengalami penurunan hasil yang sama dengan petani tembakau virginia Lombok pada umumnya. Sebagai salah satu contoh hasil catatan paroduksi tembakau virginia petani besar Mamiek Ihsan dengan luas lahannya yang telah dikelola selama lebih dari 10 tahun, pada tahun ini telah terjadi penurunan produksi daun basah dari 50 ton menjadi 38 ton. Demikian juga terjadi pada lahan penelitian. Menurut teknisi lapangan PT. Sadhana Arifnusi lokasi penelitian biasnya menghasilkan daun tembakau kering sekitar 2 ton/Ha. Namum karena adanya hujan kiriman yang terjdi di awal Juni menyebabkan penurunan hasil tembakau yang mencapai 22%. Pencatatan hasil panen daun tembakau secara bertahap dari masing-masing plot percobaan diperoleh total hasil tembakau kering yang disajikan pada Tabel 4. Data hasil daun tembakau virginia kering oven pada tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum hasil yang diperoleh kurang dari 2 ton /Ha. Hasil terendah tercatat pada perlakuan kombinasi sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-bero dan pemupukan dosis rekomendasi (R1P2) dengan hasil 1466 kg/Ha dan hasil tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan sistem rotasi tanaman krotalaria- padi-tembakau virginia dan kombinasinya dengan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi dengan hasil 1674 kg/Ha. Tabel 4. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman terhadap Hasil Daun Tembakau Kering (kg/Ha) Perlakuan
R1 a (1)
Po
1514
P1
1553 a (1)
P2
a (1)
1466
R2 1647
R3
a(1)
1616 a(1) 14920
b (1)
R4
a(2)
1475 a (2)
1674 b (2)
1517 a(1)
b(1)
1426 b(1)
1451 1531
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05 (1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Secara umum sistem rotasi tanaman yang diuji belum menunjukakan pengaruh yang nyata terhadap hasil berat kering tembakau virginia pada ketiga level perlakuan pemberian pupuk yang diuji. Adanya beberapa hasil daun tembakau yang tidak konsisten dengan kombinasi perlakuan yang diuji boleh jadi karena adanya faktor kerusakan akibat hujan yang mungkin mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hasil untuk masing-masing plot dan serangan ulat yang diamati terjadi secara cukup berat pada musim tanam tembakau virginia tahun ini. Namun dari data yang ada pada Tabel 4 dapat terlihat bahwa pengaruh rotasi tanaman terlihat menunjukkan beda yang nyata untuk perlakuan sistim rotasi padi-tembakau virginiakrotalaria dengan kombinasinya dengan perlakuan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi dibandingkan dengan sistem rotasi tanaman yang lain dengan kombinasi perlakuan pemberian pupuk yang lain. Ada perbedaan yang mendasar hasil tanaman tembakau virginia dengan hasil gabah kering tanaman padi, terutama untuk kombinasi sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria/jagung yang menunjukkan hasil yang relarif sama dengan perlakuan padi-tembakau virginia-bero dan sistim rotasi paditembakau virginia-jagung. Tidak konsistennya hasil pengaruh perlakuan sistem rotasi tanaman yang diuji pada tanaman padi dan tembakau semata-mata mungkin disebabkan karena kerusakan tembakau karena musim dan serangan hama yang terjadi sangat berat pada tahun 2004. Yang menarik dari data hasil daun temabakau virginia kering yuang diperoleh mempunyai kecendurungan yang sama dengan hasil gabah kering padi terutama untuk kombinasi perlakuan semua sistem rotsi yang diuji dengan pemupukan dosis rekomendasi. Pada kombinasi sistem rotasi yang diuji dengan perlakuan pupuk dosis rekomendasi menghasilkan daun tembakau kering yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan tanaman tembakau terhadap kerusakan karena pengaruh iklim yang buruk dan hama lebih peka pada dosis pemberian pupuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi. Hasil daun tembakau kering tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan sistim rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria dengan kombinasinya dengan perlakuan separoh dosis pemerian pupuk (R3P1).
438
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitin yang dilakukan pada tahun pertama dapat di simpulkan beberapa hal sebagai berikut: Secara umum tanah yang digunakan untuk lokasi penelitian mempunyai permasalahan kesuburan kimia dan biologi dengan berbagai kendala kesuburan fisik yang ada diantaranya tektur tanah, pH tanah agak masam, bahan organik rendah, mempunyai kadar N dan P rendah dan aktivitas biologi tanah yang rendah. Pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji dalam penelitian jangka panjang sudah mulai tampak pada hasil gabah kering padi tetapi belum tampak pada kualitas hasil gabah kering. Sistem rotasi tanaman berbasis krotalaria mampu meningkatkan hasil tanaman padi secara nyata dan hal ini diduga karena meningkatnya produktivitas tanah akibat meningkatkan masukan bahan organik segar dan pasokan tambahan N dari krotalaria. Hasil gabah kering padi tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R3P1 (6067 kg/Ha). Sistim rotasi tanaman berbasis krotalaria dalam jangka panjang diperkirakan mampu mengurangi kebutuhan pupuk organik secara nyata. Data tahun pertama menunjukkan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi telah memadai dan menghasilkan hasil tertinggi dibandingkan dengan dosis menurut rekomendasi. Hasil tanaman tembakau lebih bervariasi disebabkan karena adanya kerusakan akibat hujan dan hama. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa sistem rotasi berbasis krotalaria menghasilkan hasil tembakau terbaik (1674 kg/ha) dengan pemberian pupuk hanya separoh dosis rekomendasi yang dipraktekkan petani dibandingkan dengan perlakukan sistem rotasi tanaman yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Adams WE., Moris H.D. dan Dawson, R.N. (1970). Effect of cropping systems and nitrogen levels on corn yield in the southern Piedmon Region. Agronomy Journal, 62:655-659. Anderson, J.M. dan Ingram, J.S.I. (1989). Tropical soil biology and fertility: a handbook of Methods.CAB International. Boppi, C.P., E. Hendro, dan Suwardji (2001). Analisis kelayakan usaha tani jagung setelah musim tembakau petani mitra PT. Sadhana Arifnusi di Kabupaten Lombok Timur. Bremner, J.M. (1965). Nitrogen availability indexes. In Black (Ed.). Methods of soil analysis. Part 2. pp. 1324-1345. ASA, Madison. Brown, S., Anderson, J.M., Woomer, P.L., Swift, M.J. and Barrios, E. (1994). Soil biological processes in tropical ecosystems. In: The biological management of tropical soil fertility. Woomer and Swift (Eds). John Wiley and Sons. pp.15-46. Campbell, C.A., Bienderbeck, V.O., Zentner, R.P. dan Lafond, G.P. (1991). Effect of crop rotations and cultural practices on soil organic matter, and microbial biomass and respiration on a think Black Chernozem. Canadian Journal Soil Sciece, 71: 363-377. Dinas Perkebunan Propinsi NTB (2001). Pokok permasalahan dalam pengembangan tembakau Virginia Indonesia (ITV) di Pulau Lombok. Makalah Lokakarya Agribisnis Tembakau 6-7 Nov 2001, BALITAS-Malang. FAO (1994). Green manuring forsoil productivity improvement. World Soil Research Report No. 76. FAO Rome, 123 halaman. Hamblin, A.P. (1985). Influence of soil structure on water movement, crop root growth, and water uptake. Advances in Agronomy, 38:95-158. Hidayat, E. Hendro, Suwardji (2001). Kajian pendahuluan penggunaan Crotalaria Juncea untuk meningkatkan produktivitas tanah pada lahan tembakau di Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Intern Report PT. Sadhana Arifnusa. Hendro, E. (2001). Petunjuk Teknis Budidaya Padi dan Tembakau Virginia Untuk Mitra PT. Sadhana Arifnusa. 45 Halaman. Hendro, E. dan Suwardji (2002). Evaluasi produktivitas tanah pada lahan tembakau milik petani mitra PT. Sadhana Arifnusa. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Hidayat, A. (1978). Methods of soil chemical analysis. Japan International Coorperation Agency (JICA) in the frame work of the Indonesia-Japan Joint Food Crop Research, Bogor.
439
Jensen, E.S. (1994). Mineralisation-imobilisation of nitrogen in soil amended with low C/N ratio plant residue with different paricle sizes. Soil Biol. Biochem., 26: 519-521. Lal, R. and Stewart, B.A. (1992). Need for land restoration. Advances in Soil Science. Volume 17 : 1-11. Spurgeion, W.I. dan Grimson, P.H. (1965). Inlfuence of cropping systems on the soil properties and crop production. Mississippi State University Experimental Station. Buletin 710 halaman 20. Stanford, G. dan Smith, S.J. (1972). Nitrogen mineralisation potential of soils. Soil Science Society of America Proceeding, 36: 465-472. Suwardji dan Eberbach, P. (1996). Effect of long-term tillage practices on the physical properties of a Red Kandosol. Australian and New Zealand National Soil Conference, Melbourne 1-4 July 1996. pp. 247-249. Suwardji dan Eberbach, P. (1998). Seasonal Changes of Physical Properties of an Oxic Paleustalf After 16 Years of Direct Drilling or Conventional Cultivation. Soil and Tillage Rerearch, 49 (1998): 65-77. Suwardji (2004). Mencari skenario pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan di Propinsi NTB. Makalah utama dalam Seminar Nasional Pengembangan Lahan Marginal Untuk Peningkatan Kesejahteraan Petani Miskin. Matram 31 Agustus –1 September 2004. Utomo, M. (1986). Role of legume cover crops in no-tillage and conventional tillage corn production. Ph.D. Thesis, University of Kentacky, Lexington. Villachica, H., Silva, J.E., Peres, J.R., and Da Rocha, C.M.C. (1996). Sustainable agricultural systems in the humid tropics of South America. In.Sustainable Agricultural Systems. (Eds. Edwards dkk.).Soil and Water Conservation Society, Iowa. pp. 391-437.
440
SISTEM PEMASARAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS PERTANIAN LAHAN KERING DI NUSA TENGGARA BARAT Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Sri Hastuti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK Pengembangan ternak kambing di NTB dalam upaya peningkatan produksi belum dilakukan secara maksimal. Populasi ternak kambing di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal karena pertumbuhan populasi ternak kambing yang relatif lambat yang disebabkan oleh penerapan teknologi yang rendah. Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem pemasaran ternak kambing. Menganalisis alur dan efesiensi pemasaran ternak kambing untuk mendukung usaha agribisnis serta ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2005 – April 2006 di tiga kabupaten di pulau Lombok yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Data primer dikumpulkan melalui wawancara pada responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kambing potong di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal, nasional maupun internasional. Ditinjau dari aspek ekonomi, usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Berdasarkan analisis marjin bahwa peternak menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76% dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten yang menunjukkan bahwa pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing. Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten (17,61%) lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran blantik (6,63%) yang disebabkan oleh: (1) blantik umumnya tidak melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya pemasaran dapat ditekan; dan (2) blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten. Kata kunci: sistem pemasaran, ternak kambing, usaha agribisnis, pertanian lahan kering.
PENDAHULUAN Potensi wilayah NTB yang sebagian besar merupakan lahan kering mempunyai peluang yang sangat besar untuk pengembangan ternak kambing yang berorientasi agribisnis. Ternak kambing merupakan salah satu komoditi peternakan yang efesien, mudah dipelihara dan cepat menghasilkan, sehingga sangat relevan untuk dikembangkan pada petani kecil di wilayah pertanian lahan kering. Akan tetapi belum di dukung oleh kebijakan pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah-wialayh tertentu yang berpeluang sebagai kawasan pengembangan komoditas peternakan yang berorientasi agribisnis. Ternak kambing mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kehidupan sebagian besar masyarakat petani di pedesaan sehingga diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas ternak. Ternak kambing mempunyai peranan pada tiga aspek utama yaitu aspek biologis, ekonomi dan sosial budaya masyarakat yang memungkinkan pengembangan ternak kambing (Sutama, 2004). Beberapa masalah utama dalam pengembangan ternak kambing yaitu usaha pemeliharaan masih berupa usaha sampingan, penerapan teknologi rendah, keterbatasan bibit yang berkualitas, keterbatasan pakan pada musim kemarau dan keterbatasan tenaga kerja keluarga serta semakin menyempitnya lahan untuk pengembalaan khususnya di pulau Lombok (Bulu, et al, 2004b). Upaya pengembangan ternak kambing di Nusa Tenggara Barat (NTB) terutama pada wilayah lahan kering selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga, juga diharapkan mampu menggerakkan sistem produksi dan pemasaran yang berkelanjutan dalam sistem dan usaha agribisnis. Konsumsi daging kambing penduduk NTB terutama pada hari-hari raya mengalami peningkatan. Jumlah ternak kambing yang di potong antara tahun 2003 – 2005 mengalami peningkatan yaitu mencapai 3.330 ekor (30,93%), belum termasuk ternak yang di potong pada hari raya yang tidak tercatat (BPS, 2005).
441
12 10.032
10.765
10
600,000 500,000
7.435 8
400,000
6.654
6
300,000
4.741
4
200,000
2
100,000
0
0 2001
2002
2003 Jmlh pemotongan
2004
2005
Harga kambing
Gambar 1. Perkembangan jumlah pemotongan dan harga ternak kambing di NTB, 2001 - 2005
Prospek pasar ternak kambing baik pasar lokal, nasional maupun internasional dengan tingkat harga yang semakin meningkat setiap tahun maka akan mendorong sistem produksi dan pemsaran yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem pemasaran ternak kambing untuk mendukung pengembangan ternak dan usaha agribisnis di wilayah pertanian lahan kering.
MOTODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan survei. Penelitian dilakukan di pulau Lombok yang meliputi 6 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, 3 kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah dan 2 kecamatan di Kabupaten Lombok Barat. Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan sentra produksi ternak kambing atau memiliki populasi ternak kambing terbanyak. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari – Desember 2005. Pemilihan responden ditentukan secara purposif. Populasi responden yang menjadi sasaran penelitian meliputi petani/peternak, blantik, pedagang pengumpul kecamatan, jagal, pedagang antarpulau, pedagang daging, pasar hewan dan rumah makan atau restoran. Data primer diperoleh melalui pengamatan, pencatatan, dan wawancara secara mendalam dengan responden dan informan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Sedangkan data sekunder dikumpulkan pada instansi-instansi terkait. Data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara kualitatif dan deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Produksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (95%) petani yang memelihara ternak kambing masih merupakan usaha sampingan dengan jumlah kambing yang dipelihara berkisar 5 – 6 ekor per rumah tangga. Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Pemeliharaan kambing oleh petani belum didukung oleh penerapan teknologi yang memadai dan umumnya ternak kambing dominan digembalakan tanpa dukungan pemberian pakan yang berkualitas (Bulu, et al. 2004a). Meningkatnya kematian ternak pada musim hujan juga dipengaruhi oleh bentuk dan model kandang yang dibangun petani yang cenderung tertutup dengan pagar berlapis sehingga raltif lembab dan sulit dibersihkan. Model kandang tertutup dengan pagar berlapis dapat ditemukan di sejumlah kecamatan di wilayah Lombok bagian Selatan yang dikategorikan mempunyai tingkat kerawanan sosial tinggi. Dengan demikian masalah-masalah kerawanan sosial yang terjadi pada suatu wilayah dan komunitas masyarakat merupakan hambatan sosial dan hambatan psikologi yang dialami peternak dalam penerapan teknologi dan pengembangan ternak kambing. Kondisi sosial yang kurang aman untuk usaha peternakan menyebabkan peternak cenderung berspekulasi dan bahkan enggan untuk memilih usaha tersebut.
442
Aspek Ekonomi Secara umum peternak menyadari bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak kambing yang dilakukan selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga. Namun sampai dengan saat ini usaha ternak kambing belum dilakukan sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga yang disebabkan oleh keterbatasan modal dan manajemen usaha yang masih rendah. Bulu, et al, 2005a, menggambarkan bahwa pendapatan usaha pangan sebesar 78,9% dan pendapatan usaha ternak kambing sebesar 48,4% digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sedangkan jumlah modal yang digunakan untuk usaha ternak kambing dari kedua sumber pendapatan tersebut adalah masing-masing 5,4% dan 5,6%. Hal ini menunjukkan bahwa petani lebih memprioritaskan ketahanan pangan rumah tangga sehingga modal yang dialokasikan untuk usaha ternak kambing relatif terbatas. Ditinjau dari aspek ekonomi bahwa usaha pembibitan ternak kambing dengan jumlah induk yang dipelihara sebanyak 7 ekor relatif menguntungkan dengan tambahan keuntungan yang diperoleh selama 14 – 15 bulan sebesar Rp 1.703.863,- atau Rp 113.600,/bulan (Bulu, et al, 2005c). Kelembagaan Pemasaran Ternak Kambing Pedagang yang biasa membeli kambing baik di petani maupun di pasar hewan meliputi blantik, pedagang pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, jagal dan rumah makan. Penjualan kambing sebagian besar dilakukan di pasar hewan namun ada juga yang dijual di rumah atau tempat penampungan ternak. Selain penjualan kambing di pasar-pasar hewan di pulau Lombok juga melayani permintaan kambing dari pulau Sumbawa, Madura dan permintaan bibit oleh proyek-proyek pemerintah. Ukuran kambing yang dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar atau konsumen. Para pedagang kambing tidak mempunyai modal yang besar guna menunjang kegiatan pemasaran. Untuk memperlancar sistem pemasaran para pedagang menciptakan hubungan sosial dalam pemasaran kambing. Pedagang pengumpul kecamatan membeli kambing kepada pengumpul desa (blantik) dan pengumpul kabupaten kepada pengumpul kecamatan dengan sistem panjar atau bayar dibelakang (di bayar lunas setelah kambing terjual berkisar 3 – 6 hari). Selain itu jika para pedagang pengumpul yang memebeli kambing di rumah-rumah petani bertemu di satu kandang petani maka hanya satu orang yang melakukan tawar-menawar hingga mencapai harga yang disepakati. Tindakan pedagang pengumpul tersebut adalah untuk menciptakan harga bersama guna menghindari persaingan penentuan harga ternak pada saat proses tawar menawar. Untuk menjaga hubungan sosial diantara mereka maka ternak kambing yang dibeli oleh satu orang pedagang dijual bersama-sama dan keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan di bagi rata dengan jumlah pedagang yang pada saat itu bertemu pada satu kandang petani. Demikian pula pembelian dan pebayaran yang dilakukan oleh rumah makan juga menggunakan pendekatan hubungan sosial. Pembayaran dengan sistem panjar sudah berlangsung selama ± 30 tahun dan selama ini sistem tersebut belum pernah menghambat kegiatan pembelian dan penjualan ternak kambing. Hubungan sosial dalam pemasaran ternak kambing yang masuk dalam sistem ekonomi menunjukkan bahwa dalam kegiatan bisnis hasil pertanian tidak selamanya berlaku hubungan ekonomi murni. Keterpaduan antara perilaku ekonomi dan sosial tentu mempunyai kelemahan-kelemahan bila ditinjau dari berbagai aspek. Bila perilaku ekonomi lebih dominan dari perilaku sosial maka tidak akan mempengaruhi sistem ekonomi di suatu wilayah. Hubungan sosial antara pedagang pengumpul dalam pemasaran ternak kambing tidak ada nilai-nilai dan aturan-aturan baku yang harus disepakati dan ditaati di antara pedagang. Hubungan sosial lain yang dibangun adalah pembagian jata dalam pengadaan ternak kambing diantara beberapa pedagang pengumpul. Jika salah satu pedagang menerima pengadaan ternak kambing dari pihak lain (pemerintah atau pengusaha) dalam jumlah besar, maka dalam pengadaan ternak dibagi kepada beberapa pedagang pengumpul. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pengadaan dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati. BaiklBlantik maupun pedagang pengumpul selalu memelihara hubungan baik dengan para makelar pasar (tukang pemegang tali ternak) dalam proses tawar menawar di pasar hewan. Hubungan sosial yang diciptakan antara pedagang pengumpul adalah untuk membangun keharmonisan diantara mereka untuk tetap berlaku jujur, saling menghargai dan saling percaya. Sistem Pemasaran Ternak Kambing Pengembangan usaha ternak kambing yang berorientasi agribisnis perlu mempertimbangkan sistem produksi dan jaringan pemasaran serta kemampuan daya serap pasar per kawasan. Skala usaha pemeliharaan ternak kambing bagi peternak merupakan bagian terpenting yang perlu diperhatikan untuk mendukung keberlanjutan usaha agribisnis ternak kambing di lahan kering.
443
Penjualan ternak kambing dilakukan oleh petani/peternak pada waktu-waktu tertentu yaitu untuk memenuhi kebutuhan mendesak (untuk modal usahatani, biaya anak sekolah, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari) dan menunggu harga kambing mahal menjelang hari raya Qurban. Tempat penjualan ternak kambing oleh petani umumnya dilakukan dirumah dimana blantik atau pedagang pengumpul mendatangi petani/peternak. Harga umumnya ditentukan oleh pembeli namun melalui proses tawar menawar. Cara untuk menentukan harga adalah dengan ditaksir berdasarkan ukuran, umur, penampilan, warna bulu dan jenis ternak kambing. Cara penentuan harga kambing dengan ditimbang hidup belum ada. Namun baik petani/peternak maupun pedagang lebih menyukai penentuan harga kambing dengan cara ditaksir. Cara tersebut lebih menguntungkan bagi penjual dibandingkan bila ditimbang hidup. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang kepada petani umumnya dilakukan secara tunai. Jenis dan ukuran kambing yang dijual maupun yang diminta pasar bervariasi mulai dari anak lepas sapih, kambing muda, dan kambing dewasa serta jenis kelamin ternak. Semua ukuran kambing yang dijual petani dapat di beli pedagang karena mempunyai peluang pasar yang sama. Pembelian kambing untuk bibit dan penggemukan umumnya dilakukan petani pada sesama peternak, namun ada juga yang membeli di pasar hewan maupun pada pedagang pengumpul. Jika petani membeli di pedagang pengumpul maupun di pasar hewan harganya lebih mahal dibandingkan jika membeli pada sesama peternak. Tingkat harga ternak kambing berdasarkan kualitas ternak, biasanya kambing peranakan PE harganya lebih mahal dibanding dengan kambing lokal (kacang). Perkembangan harga kambing yang di beli petani pada sesama peternak dari semua ukuran kambing seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata Jumlah Pembelian dan Penjualan, Harga Beli dan Jual Ternak Kambing oleh Petani di NTB, 2005 (Rp/ekor) Uraian
Volume beli (ekor)
Jantan dewasa Betina dewasa Jantan muda Betina muda Anak lepas sapih Sumber: Data primer diolah
1 2,5 1 2 2
Volume Jual (ekor)
Harga Beli (Rp)
Harga Jual (Rp)
1 2,5 1 2 2
400.000 250.000 150.000 125.000 100.000
450.000 300.000 175.000 137.500 125.000
Jumlah pembelian dan penjualan kambing antara beberapa pedagang relatif berbeda, hal ini disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki. Menjelang hari raya Qurban (Lebaran Haji) jumlah pembelian dan penjualan kambing relatif meningkat karena meningkatnya permintaan kambing potong. Meningkatnya permintaan ternak potong pada musim-musim tertentu (hari raya Qurban) diharapkan dapat membangkitkan minat peternak untuk memelihara ternak kambing. Rata-rata jumlah pembelian dan penjualan kambing berdasar ukuran dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Rata-rata Pembelian Kambing oleh pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang Blantik Pengumpul kecamatan Pengumpul kabupaten Jagal/Rumah makan Jumlah Sumber: Data primer diolah
Jumlah Pembelian pada hari biasa (ekor/bulan) Jantan Induk Jantan Betina besar dewasa muda muda 3,0 8,2 50,5 4,0 65,7
2,3 10,4 65,75 3,5 82,6
1,3 6,0 35,75 10,5 53,6
2,0 6,4 20,5 10,0 38,9
Jumlah Pembelian menjelang hari Qurban (ekor/bulan) Jantan Induk Jantan Betina besar dewasa muda muda 34,7 253 422,8 13,2 723,7
19,8 175,0 309,0 10,3 514,1
23,5 225,9 184,0 20,7 454,1
3,0 9,2 12,4 15,6 123,0
Khusus untuk pembelian dan penjualan ternak kambing potong menjelang hari raya Qurban hanya berlaku selama satu bulan. Setelah hari raya jumlah permintaan kambing potong dan harga mengalami penurunan kembali sampai mendekati harga normal. Harga kambing di pulau Sumbawa relatif lebih mahal di bandingkan di pulau Lombok disebabkan oleh populasi kambing potong yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal. Untuk memnuhi kebutuhan kambing potong pada hari raya Qurban di pulau Sumbawa maka harus di pasok dari NTT berkisar 3000 – 5000 ekor per tahun.
444
Tabel 3. Rata-Rata Penjualan Kambing oleh Pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang
Jumlah penjualan pada hari biasa (ekor/bulan) Jantan Induk Jantan Betina besar dewasa muda muda
Blantik 3,0 Pengumpul kecamatan 7,6 Pengumpul kabupaten 49,0 Jagal/Rumah makan*) 2,0 Jumlah 61,6 Keterangan: *) Jumlah pemotongan Sumber: Data primer diolah
2,3 33,1 65,75 2,5 103,6
1,3 35,3 35,75 7,5 79,8
2,0 35,3 20,5 5,0 62,8
Jumlah penjualan menjelang hari Qurban (ekor/bulan) Jantan Induk Jantan Betina besar dewasa muda muda 32,7 250,0 420,8 13,0 716.5
16,8 173 307,9 10,0 507,7
20,5 223,9 182,7 20,0 447,1
2,0 8,9 12,0 17,0 39,9
Perkembangan harga kambing yang dipasarkan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan jumlah permintaan melebihi populasi kambing potong yang tersedia terutama peningkatan harga terjadi menjelang hari raya Qurban. Dengan demikian dapat diduga bahwa ternak kambing mempunyai keunggulan kompetitif terhadap komoditas tanaman pangan serta mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga petani/peternak di wilayah lahan kering. Untuk meningkatkan tambahan perolehan pendapatan petani lahan kering maka salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan usaha ternak kambing secara terpadu dengan usahatani pangan dan palawija. Tabel 4. Perkembangan Harga Kambing di Pulau Lombok, 2006 (Rp/ekor) Uraian
Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2005 Hari Biasa Hari Raya
Jantan besar 500.000,00 Induk besar 350.000,00 Jantan muda 250.000,00 Betina muda 200.000,00 Anak lepas sapih 150.000,00 Sumber: Data primer diolah Keterangan: Informasi Harga diperoleh di pasar hewan
750.000,00 500.000,00 350.000,00 275.000,00 -
Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2006 Hari Biasa Hari Raya 550.000,00 400.000,00 325.000,000 250.000,00 150.000,000
850.000,00 550.000,00 400.000,00 325.000,00 -
Marjin dan Alur Pemasaran Ternak Kambing Blantik umumnya membeli ternak kambing secara langsung di petani dan di pasar hewan maupun pasar umum. Penjualan kambing sebagian besar dilakukan di pasar-pasar hewan dan tempat penampungan ternak. Ukuran kambing yang dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Tingkat harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani termasuk peternak dalam melakukan produksi. Tingkat harga diantaranya dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pemasaran komoditas bersangkutan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran. Analisis marjin pemasaran dalam tulisan ini difokuskan hanya sampai pada harga jual kambing pada tingkat pedagang pengumpul kabupaten (tidak termasuk pemasaran daging kambing). Satuan analisis selama sebulan, rata-rata harga dan volume pemasaran per bulan sudah memperhitungkan pemasaran pada musim permintaan tinggi (hari raya Qurban). Dari Tabel 5 dapat diperoleh informasi bahwa peternak menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76 % dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten. Total marjin pemasaran sebesar 24,24 % didistribusikan sebagai biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran masing-masing sebesar 3,40 % dan 20,84 %. Komponen utama biaya pemasaran adalah biaya angkutan (1,25 %) dan biaya tidak resmi atau biaya untuk makelar (0,97 %). Berdasarkan analisis marjin pemasaran, besaran pangsa harga peternak (75,76 %) lebih tinggi daripada pangsa marjin pemasaran (24,24 %) menunjukkan bahwa pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing. Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten sebesar (17,61 % ) lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran blantik (6,63 %). Penyebab dari perbedaan marjin pemasaran tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, pada umumnya blantik tidak melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya pemasaran dapat ditekan. Kedua, profit marjin yang diterima blantik lebih kecil (5,51 %) dibandingkan profit marjin yang diterima pedagang pengumpul
445
kabupaten (15,33 %) karena blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten. Tabel 5. Marjin Pemasaran Kambing dari Peternak Sampai Pedagang Pengumpul Kabupaten di Pulau Lombok, 2005 No.
Uraian
Harga/Biaya (Rp)
Persentase1) (%)
Harga jual peternak2)
416.667 75,76 Blantik 1. Harga beli2) 416.667 75,76 2. Biaya pemasaran2) : 6.166 1,12 a. Biaya pembelian 1.667 0,30 – Transpor pembelian 1.000 0,18 – Tenaga kerja pembelian 667 0,12 b. Biaya penjualan 4.499 0,82 – Transpor penjualan 909 0,17 – Konsumsi 1.000 0,18 – Retribusi 1.000 0,18 – Makelar 1.590 0,29 3. Keuntungan blantik2) 30.292 5,51 4. Marjin pemasaran2) 36.458 6,63 5. Harga jual blantik2) 453.125 82,39 Pedagang pengumpul kabupaten 1. Harga beli2) 453.125 82,39 2. Biaya pemasaran2) : 12.545 2,28 a. Biaya pembelian 4.614 0,84 – Transpor pembelian 2.210 0,40 – Tenaga kerja pembelian 1.066 0,19 – Pakan 1.338 0,24 b. Biaya penjualan 7.931 1,44 – Transpor penjualan 2.748 0,50 – Konsumsi 523 0,10 – Retribusi 928 0,17 – Makelar 3.732 0,68 3. Keuntungan pengumpul kabupaten2) 84.330 15,33 4. Marjin pemasaran2) 96.875 17,61 5. Harga jual/harga beli PAP dan konsumen2) 550.000 100,00 Rata-rata volume pemasaran/bulan3) 765 Total keuntungan pedagang/bulan4) 87.685.830 Sumber : Data primer diolah Keterangan : 1) Persentase dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten/harga beli pedagang antar pulau dan konsumen 2) Per ekor kambing 3) Satuan volume pemasaran adalah ekor 4) Total keuntungan blantik dan pedagang pengumpul kabupaten selama sebulan
Pemasaran ternak kambing di Pulau Lombok relatif lancar dengan harga bersaing dan menguntungkan bagi petani/peternak maupun pelaku pasar itu sendiri. Blantik dan pedagang pengumpul masih sangat diperlukan oleh petani karena mempunyai peranan dalam memperlancar dan mempercepat proses dan sistem pemasaran ternak kambing. Penentuan harga kambing lebih dominan hasil kesepakatan antara pembeli dan penjual setelah melalui proses tawar menawar hingga mencapai kesepakatan harga yang dikehendaki. Sebelum ternak di jual para petani selalu mencari informasi perkembangan harga dan volume pembelian ternak kambing di pasarpasar hewan di pulau Lombok, pedagang pengumpul dan sesama peternak yang telah menjual ternaknya. Keadaan ini dapat memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar dengan pedagang pengumpul yang bersaing untuk membeli ternak kambing. Dengan demikian akan berdampak pada terbentuknya tingkat harga kambing yang menguntungkan bagi petani/peternak. Rumah makan/restoran lebih dominan membeli kambing hidup kepada pedagang pengumpul dan memotong sendiri sehingga tidak membeli daging pada jagal. Jagal lebih dominan menjual daging kepada pedagang daging, pedagang sate dan rumah tangga dengan harga berkisar Rp 26.000 – Rp 30.000/kg.
446
Pasar Umum Pengumpul Kecamatan
Petani/ Peternak
Pasar Hewan Blantik
Pengumpul kabupaten
Jagal
Konsumen Bibit/Bakala n Restoran/ Rumah makan
Pedagan g daging
Pedagang sate/Gule Rumah Tangga
Gambar 2. Alur pemasaran ternak kambing di pulau Lombok, 2005
KESIMPULAN 1.
Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Produksi dan pemasaran ternak kambing khususnya di pulau Lombok mempunyai prospek yang cukup baik karena tingginya permintaan ternak potong dengan harga bersaing.
2.
Untuk menjamin kontinyuitas produksi dan pemasaran ternak kambing diperlukan dukungan antara lain: (1) penerapan teknologi pemeliharaan; (2) pemberdayaan kelembagaan; (3) kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan ternak kambing pada sentra-sentra produksi di wilayah lahan kering.
3.
Secara ekonomi bahwa usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani lahan kering.
4.
Harga yang diterima peternak sebesar Rp 416.667/ekor kambing, merupakan 75,76% dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten yang dinilai memberikan motif yang cukup memadai bagi pengembangan agribisnis di lapangan
5.
Pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2004, Mataram. Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2005. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2005, Mataram. Bulu Y.G., Mashur, W.R., Sasongko., dan A. Muzani, 2004b. Peluang Pengembangan Ternak Kambing Mendukung Agribisnis dan Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong “ Kebutuhan Innováis Teknologi Mendukung Agribisnis yang Berdayasaing”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Bulu, Y.G., WR Sasongko, Sri Hastuti, Wildan Arif, dan Awaludin, 2005b. Laporan Survei Pemasaran Ternak Kambing di Pulau Lombok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. (Tidak dipublikasikan).
447
Bulu, Y.G., WR Sasongko., Arif Surahman, H.H. Marawali dan Mashur, 2004a. Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Sistem Usahatani Ternak Kambing di Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur. Prosiding Seminar Nasional “Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan Dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering”. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor. Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan K. Puspadi, 2005c. Model Kelembagaan Pengembangan Ternak Kambing pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timar. Prosiding Seminar Nasional “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan Di Lahan Marginal” Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB dengan Pusat Penelitian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian. Bogor. Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan Mashur, 2005d. Rekomendasi Sistem Usahatani Ternak Kambing pada Lahan Kering di Lombok Timar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang Pertanian. Mataram. Sutama, I Ketut, 2004. Teknologi Reproduksi Ternak Kambing. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, BPTP Nusa Tenggara Barat, Tanggal 2 Maret 2004 di Mataram.
448
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN JARAK PAGAR (JATHROPA CURCAS) PADA EKOSISTEM LAHAN KERING SKALA PEDESAAN Elita Rahmarestia, FX Lilik TM, Mardison, Agung Hendriadi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
ABSTRAK Indonesia, khususnya bagian timur, mempunyai ekosistem lahan kering yang pada saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pada lahan seperti ini, jarak pagar dapat dikembangkan secara tumpang sari. Pengembangan agroindustri jarak pagar pada skala pedesaan diarahkan pada penyediaan minyak jarak mentah (CJCO). Selain untuk meningkatkan pendapatan petani, diharapkan dapat terciptanya penyediaan energi mandiri, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pasokan bahan bakar nasional. Pada makalah ini, akan dibahas konsep pengembangan agroindustri minyak jarak skala pedesaan di mana jarak pagar ditanam oleh petani pada lahan perkebunan secara tumpang sari, sedangkan proses pengolahan menjadi minyak jarak mentah (CJCO) dilakukan pada skala kelompok tani. Pada skala pengolahan 100 kg biji per jam dengan rendemen 30%, biaya investasi mesin sebesar Rp 50 juta, maka diharapkan pada umur ekonomi 4 tahun telah mencapai payback periode. Kata kunci : agroindustri, jarak pagar, minyak jarak mentah
PENDAHULUAN Upaya mendorong pemanfaatan biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang kian terbatas cadangannya sedang gencar dilakukan. Seiring dengan menurunnya cadangan minyak bumi dan harga yang terus meningkat, pencarian sumber-sumber energi alternatif terbarukan gencar dilaksanakan. Penggunaan minyak nabati sebagai pengganti BBM telah diketahui sejak lama. Salah satu sumber tanaman potensial yang saat ini sedang gencar dikembangkan sebagai bahan bakar nabati adalah jarak pagar (Jatropha curcas). Jarak pagar gencar dikembangkan sebagai tanaman sumber pengganti bahan bakar saat ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya tanaman ini dapat tumbuh dengan baik walaupun hasilnya tidak optimum pada kondisi minim pemupukan dan ditanam lahan marjinal. Selain itu, pada saat ini jarak pagar belum dimanfaatkan untuk bahan baku pangan atau bahan industri, sehingga tidak dikhawatirkan kompetisi penggunaannya dengan sector industri atau pangan. Pada makalah ini akan dibahas konsep pengembangan agroindustri minyak jarak yang berbasis industri kecil pedesaan. Pengembangan agroindustri minyak jarak diharapkan dapat memberikan kontribusi pasokan bahan bakar minimal untuk memenuhi kebutuhan pedesaan. Sehingga diharapkan dapat terciptanya kemandirian produksi bahan bakar, sehingga dapat mengurangi biaya produksi pertanian yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani.
KONSEP AGROINDUSTRI MINYAK JARAK SKALA PEDESAAN Konsep agroindustri minyak jarak skala pedesaan yang akan dikembangkan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : -
Pasokan biji jarak berasal dari petani perorangan
-
Pengolahan minyak jarak mentah (crude jathropa curcas, CJCO) berada pada skala kelompok tani
-
Penggunaan CJCO sebagai pengganti minyak bakar di tingkat pedesaan dengan cara penggunaan langsung atau dicampur dengan BBM
-
Apabila memungkinkan CJCO dapat diolah menjadi biodiesel dapat dimanfaatkan untuk motor-motor penggerak diesel di pedesaan
Pada skala kelompok tani unit pengolahan minyak jarak mentah diharapakan dapat menghasilkan minyak jarak dengan kapasitas pengolahan biji 0.5 ton/hari. Konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut :
449
PRODUKSI BIJI JARAK PAGAR DI TINGKAT PETANI Jarak pagar akan tumbuh dan berproduksi optimal jika ditanam di lahan kering dataran rendah yang beriklim kering, dengan ketinggian 0 -500 dpl, curah hujan 300 -1 000 mm/tahun dan temperature lebih dari 20oC. Jarak pagar dapat tumbuh pada lahan marginal namun mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Namun demikian, produksi optimal akan diperoleh jika pada musim kemarau disiram dengan baik dan menggunakan dosis pupuk yang tepat (Prihandana dan Hendroko, 2006). Tanaman jarak pagar mempunyai produkstivitas yang rendah pada awal panen (0.5- 1 ton/ha) dan meningkat secara bertahap sampai dengan tahun ke-5 (5 -10 ton/ha). Dengan demikian disarankan agar tanaman jarak pagar dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain seperti jagung, cabai rawit, kacang tanah dan lain-lain agar memberikan keuntungan selama jarak pagar belum menghasilkan (berproduksi). Jarak tanam yang direkomendasikan untuk jarak pagar adalah 200 x 200 cm atau 300 x 300 cm. Jika di antara empat tanaman jarak pagar ditanam tanaman lain seperti tanaman di atas, maka dalam satu hektar dapat ditanam 2050-2500 tanaman jarak pagar. Dengan demikian produksi buah jarak per pohon rata-rata dapat diasumsikan 0.3 kg/pohon pada tahun pertama sampai dengan 4 kg/pohon pada tahun ke-5. Apabila harga jual biji jarak Rp 1000/kg untuk mecapai harga minyak mentah yang dapat bersaing dengan harga BBM, maka pendapatan perpohon Rp 300 pada tahun ke-1 sampai Rp 4000 pada tahun ke-5, atau dalam satu hektar (2500 batang pohon), pendapatan yang diperoleh Rp 750.000 – Rp 4.000.000. Pendapatan yang cukup kecil jika dibandingkan dengan harga jagung atau cabai yang produktivitas dan harga jual per kg-nya lebih tinggi. Dengan demikian selama harga jual biji masih cukup murah, maka sebaiknya tanaman jarak pagar di tingkat petani sebaiknya dibudidayakan sebagai tanaman penyelang atau sebagai pagar hidup. Apabila biji jarak digunakan untuk pengolahan minyak skala kelompok tani dengan kapasitas 0.5 ton biji per hari, jika jumlah hari kerja per tahun 260 hari, maka dibutuhkan sekitar 32500 pohon jarak yang produktifitasnya rata-rata 4 kg biji/tahun. Jika seorang petani rata-rata mempunyai 2500 batang pohon, maka sekitar 13 petani dapat bergabung dalam suatu kelompok tani untuk melakukan usaha prosesing lanjutan, pengolahan biji menjadi CJCO.
450
PENGOLAHAN BIJI JARAK MENJADI MINYAK JARAK PADA SKALA KELOMPOK TANI Ekstraksi biji jarak menjadi minyak jarak mentah dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan cara kempa, dengan menggunakan screw press atau dengan menggunakan piston press. Pengepresan dengan menggunakan screw press memungkinkan kapasitas pengolahan yang lebih besar serta proses pengolahan berjalan secara kontinyu. Berikut proses pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak seperti pada diagram berikut :
Buah Jarak Matang
Kulit Buah Jarak
Proses Pemecah Buah Jarak
Biji Jarak
Ampas inti biji
Inti Biji (kernel) di press dengan screw
Minyak kotor
Penyaringan & deguming
Minyak Jarak (CJCO)
Proses Transesterifikasi
Biodiesel Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak.
Untuk memenuhi kebutuhan prosesing minyak jarak, maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian mengembangkan paket unit pengolahan prosesing minyak jarak (CJCO) yang terdiri dari : 1.
Unit alsin pengupas buah jarak menjadi biji jarak
2.
Unit alsin pengepres biji jarak (modifikasi tipe China)
3.
Unit alsin filtrasi
451
Spesifikasi unit alsin tersebut adalah : Tabel 1. Spesifikasi Unit Alsin Pengolahan Biji Jarak Menjadi Minyak Jarak Kasar (CJCO) Nama alat / mesin Model Kapasitas Penggerak Sistem transmisi Energi Putaran Hasil pemrosesan
Pengupas kulit buah jarak
Pengepres biji jarak
Rol ganda (adjustable) dan Expeller tipe screw blower 100 kg/jam 100 kg/jam Mesin diesel 8.5 HP (1 unit) V-belt dan puli, gear, V-belt dan puli, gear sprocket dan rantai Bahan bakar solar Bahan bakar solar 80-90 rpm 30 rpm 60-80% terkupas, tergantung Rendemen percobaan kekeringan kulit buah 27%, tergantung varietas
Penyaring minyak kasar Saringan dengan tekanan pompa 100 liter/jam Motor listrik 1.1 kw (listrik skala rumah tangga)
Unit alsin ini digerakkan oleh mesin diesel 8.5 HP sebanyak 1 unit yang dapat bekerja untuk menggerakkan alsin pengupas kulit buah dan screw press secara bergantian.
Gambar 3. Unit alsin pengupas buah (kiri) dan pengepres biji (kanan).
Mesin pengepres (screw press) yang digunakan merupakan alsin pengepress biji-bijian, terutama kacang tanah yang telah dikembangkan di China. Untuk dapat berfungsi mengepress biji jarak, pada kegiatan di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP) sampai dengan saat ini dilakukan modifikasi pada bagian ulir pengepres dan ring.
452
Gambar 4. Unit alsin filtrasi minyak jarak.
Pengujian pengepresan biji jarak telah dilakukan, salah satunya dengan menggunakan biji jarak yang berasal dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB, di mana hasil uji laboratorium didapatkan hasil seperti pada Tabel 2. Penampakan minyak jarak hasil pengepresan tergantung pada jenis biji. Pada gambar 5, minyak jarak pada 2 gelas ukur bagian kiri, biji yang dipress berasal dari NTB sedangkan 1 gelas ukur pada bagian kanan, biji yang dipress berasal dari Lampung. Selain itu rendemen minyak jarak juga bergantung pada jenis biji, selain tingkat kematangan. Pengujian terakhir yang telah dilakukan di BBPMP pada saat ini memperlihatkan bahwa biji jarak yang berasal dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB mempunyai rendemen minyak yang cukup tinggi yaitu mencapai 27%.
Gambar 5. Penampakan minyak jarak tergantung jenis/varietas biji. Tabel 2. Sifat Fisik Minyak Jarak Hasil Pengepresan Biji Jarak dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB Jenis Analisis
-
1. Viscositas 2. Kadar air 3. Densitas 4. Sulphur 5. Kadar abu 6. Kadar asam 7. Nilai kalor CJCO
-
Ampas press
Metode
Hasil
Satuan
R/S Reometri Gravimetri Gravimetri Spektrofotometri Gravimetri Titrasi
2765 1,05 0,91 1.586 0,13 6,12
cPoise % g/ml ppm % -
Perhitungan dari analisis proximate lengkap Kalorimeter bomb
6016
kkal/kg
4327
kkal/kg
453
KESIMPULAN -
Pengembangan agroindustri jarak pagar skala kecil pedesaan direkomendasikan berada pada tingkat kelompok tani.
-
Satu kelompok tani terdiri dari 13-15 anggota dengan kepemilikan pohon rata-rata 2500 batang atau seluas 1 Ha.
-
Penanaman jarak di tingkat petani sebaiknya dilakukan dengan cara tumpangsari dengan sayuran atau palawija.
PUSTAKA Rama Prihandana & R Hendroko. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Agro Media Pustaka. Jakarta. Erliza Hambali dkk. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta. Hasnam & Zainal Mahmud. 2006. Panduan umum perbenihan jarak pagar (jatropha curcas L). Pusat Penelitian Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Zainal Mahmud, A Arivin Rivaie & david allorerung. 2006. Petunjuk teknis budidaya jarak pagar (jatropha curcas L). Pusat Penelitian Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Budiono Sugiri. 2005. Teknologi pengepresan biji jarak pagar (jatropha curcas L) yang efektif. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar, 22 desember 2005, Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, LPM-IPB. Bogor.
454
Lampiran 1: Analisis Ekonomi Mesin Kapasitas 500 kg/hari Rendemen minyak/biji jarak
30
Produksi minyak jarak/hari
150
liter
39000
liter
Produksi minyak jarak/tahun Uraian 1. Pengupas kulit biji jarak 2. Pengepres biji jarak 3. Filter press Jumlah 4. Buah jarak 5. Operator 6. Bahan bakar alsin 7. Lain-lain Jumlah
%
Investment cost 12.750.000 27.000.000 10.250.000 50.000.000
Operasional cost
Pendapatan
Keuntungan
Harga jual
159.900.000
4.100
130.000.000 10.400.000 7.020.000 1.742.000 149.162.000
Simple payback periode
10.738.000 4,7
tahun
Asumsi : - Harga biji jarak Rp. 1000/kg - Upah operator Rp/ 20.000/hari (Jumlah operator 2) - Satu kali proses 100 kg (raw material) - Satu kali operasi alat dan mesin 5 jam
455
METODE PERBAIKAN DISAIN POMPA IRIGASI UNTUK MENDUKUNG PERBAIKAN MUTU PRODUK LOKAL
1)
Agung Prabowo 1) dan Affifuddin 2) Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. 2) CV. Pabrik Mesin Guntur, Jl. Kol. Sugiono 14, Malang ABSTRAK
Pompa irigasi yang biasa digunakan oleh petani di Indonesia umumnya jenis sentrifugal dengan poros horisontal. Pompa tersebut digunakan untuk mengairi lahan pertanian untuk tanaman pangan maupun hortikultura. Jumlah pompa irigasi di Indonesia meningkat cukup pesat baik yang disuplai dari dalam negeri maupun import. Dalam rangka pengawasan mutu pompa irigasi tersebut, maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan) mempunyai tugas melakukan pengujian kinerja pompa irigasi yang beredar di Indonesia. Dari hasil uji laboratorium terhadap pompa tersebut, menunjukkan bahwa unjuk kerja pompa irigasi sentrifugal buatan lokal hanya mencapai efisiensi 45% – 65%. Untuk meningkatkan keragaan kerja tersebut maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian melakukan perbaikan disain impeller dan casing dari pompa sentrifugal. Metode perbaikan disain tersebut telah dilakukan dengan mengacu teori-teori Addisson, Churh dan Stepanoff. Pabrikasi dilakukan bekerjasama dengan CV. Pabrik Mesin Guntur, Malang, sebagai salah satu produsen lokal pompa irigasi di Indonesia. Prototipe pompa yang dihasilkan adalah AP-S100 (Alsin Pompa Sentrifugal diameter 100 mm), dengan dimensi sebagai berikut: panjang 388,49 mm; lebar 274 mm; tinggi 275,89 mm dan bobot 28 kg. Hasil uji terhadap prototipe pompa tersebut mengindikasikan keunggulan dibandingkan keragaan pompa lokal yang ada dipasaran saat ini. Efisensi meningkat 10,67% - 16,14%, debit 6,29% – 12,14% dan tinggi total 12,08% - 34,86%. Pompa AP-S100 ini mampu menghemat energi potensial yang digunakan untuk memompa sejumlah unit volume air sebesar 1,08% - 4,17% kJ/m³ Kata kunci : perbaikan mutu, disain, pompa irigasi
PENDAHULUAN Banyak macam pompa air yang digunakan untuk keperluan irigasi pertanian. Salah satunya adalah pompa sentrifugal. Pompa irigasi ini dipakai untuk memompa air dari sungai maupun sumur-sumur dangkal. Mayoritas pompa irigasi sentrifugal yang digunakan oleh petani adalah berukuran kecil (diameter 50 mm) dan medium (diameter 100 mm). Sekitar 56,8% petani menggunakan pompa berukuran kecil dan 32.4% petani menggunakan pompa berukuran sedang [1]. Para petani menggunakan sumber air dari aquifer dangkal untuk irigasi pompa disamping penggunaan sumber air dari sungai-sungai yang ada untuk mensuplai irigasi saat musim kering. Pompa-pompa tersebut mengairi sekitar 120.000 hektar di Jawa. Salah satu fungsi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan) adalah melaksanakan pengujian dalam rangka standarisasi, sertifikasi dan pengawasan penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Adapun kegiatan tersebut meliputi: (a) pengawasan mutu alsintan melalui pelaksanaan pengujian fungsional dan verifikasi semua alsintan baik produksi dalam negeri maupun luar negeri dengan mengacu pada prosedur dan cara uji yang telah ditetapkan secara nasional (SNI) dan regional (Regional Network for Agricultural Machinery); (b) meninjau dan mengajukan standarisasi yang meliputi standard komponen, prosedur dan sandi uji serta persyaratan minimum kinerja alsintan; (c) menerbitkan laporan uji dan rekomendasi teknis yang mengacu pada standard dan prosedur sandi uji serta persyaratan minimum kinerja alsintan. Pengukuran kinerja pompa irigasi sentrifugal melalui kegiatan pengujian yang merupakan salah satu tugas pokok BBP Mektan telah dilakukan sejak tahun 1993. Dalam periode tahun 1993 - 2005 prototipe pompa irigasi sentrifugal buatan lokal maupun import yang telah diuji oleh BBP Mektan sebanyak 85 buah. Hasil uji pompa-pompa tersebut, baik yang berukuran kecil maupun sedang mencapai efisiensi 45 % - 59 % pada titik pengoperasian terbaiknya. Banyak prosedur yang digunakan dalam mendisain sebuah pompa sentrifugal. Setiap pabrik pompa melakukan pendekatan tersendiri, meskipun masing-masing prosedur itu mempunyai metode perhitungan yang sedikit berbeda tetapi semua prinsip-prinsipnya adalah sama. Semua perusahaan pompa mempunyai pembatasan-pembatasan parameter disain yang biasa mereka gunakan untuk memenuhi syarat-syarat persaingan bisnis dalam hal biaya produksi. Biaya produksi pabrikasi pompa adalah tergantung pada jumlah dan variasi dari disain komponennya. Semakin banyak dan semakin rumit disain komponennya maka biaya produksi yang dikeluarkan akan semakin membengkak. Didalam mengejar persaingan dagang, banyak perusahan pompa lokal mengabaikan persyaratan disain unjuk kerja pompa. Mereka hanya mencontoh blue print dari pompa import kemudian dipabrikasi dengan modifikasi beberapa komponennya dengan maksud
456
mengurangi biaya produksi tanpa menghiraukan batasan-batasan disain dari pompa tersebut. Beberapa “modifikasi” yang biasa mereka lakukan antara lain adalah: mengurangi jumlah sudu impeller, memperkecil diameter luar impeller, memperkecil diameter poros pompa, mengurangi ketebalan dinding casing pompa, menggunakan bearing yang berharga murah, dsb. Faktor-faktor utama penentu kinerja dari sebuah pompa sentrifugal adalah disain impeller dan disain casingnya. Dalam mendisain sebuah impeller, diperlukan konstanta-konstanta disain yang secara langsung berhubungan dengan target total head dan debit pada titik pengoperasian terbaiknya. Penggunaan konstanta disain yang tepat untuk impeller dapat meminimalkan losses yang terjadi di impeller. Prosentase losses di impeller mencapai 2% - 10% dari total debit yang dihasilkan pompa [5]. Total head yang dihasilkan oleh sebuah impeller tergantung pada permukaan dari sudu dan tidak hanya tergantung pada besaran sudut keluaran impeller saja.Untuk mengurangi losses yang terjadi di impeller dapat dilakukan dengan cara memperhalus permukaan impeller dan mengatur sudut sudu-sudu impeller sehingga mengurangi friksi pada bagian permukaan dan belakang impeller [6]. Untuk mengatasi beberapa permasalahan tersebut diatas, maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian bekerja sama dengan CV. Pabrik Mesin Guntur, Malang telah melakukan metode perbaikan disain, pabrikasi, dan pengujian pompa irigasi sentrifugal model AP-S100 (Alsin Pompa Sentrifugal diameter 100 mm) untuk irigasi air tanah.
DASAR TEORI Pompa sentrifugal adalah salah satu anggota kelompok Variable Displacement Pump. Sifat dari variable displacement pump adalah volume air per menit yang dihantarkan tidak sama dengan volume air yang dihisap setiap menitnya. Hal ini disebabkan adanya losses pada komponen-komponen utamanya seperti: impeler, casing dan mechanical seals. Losses yang terjadi di impeler dan casing dapat diakibatkan oleh disain geometri impeler dan geometri casingnya. Sedangkan losses pada mechanical seals dapat dikurangi dengan penggunaan seal yang lebih berkualitas dan pemasangan yang presisi. Prosentase losses di impeler mencapai 2% – 10% dari total debit yang dihantarkan pompa [6]. Penurunan efisiensi yang diakibatkan oleh disefisiensi disain casing mencapai 4,7% [8]. Penggunaan mechanical seal yang berkualitas baik dapat mengurangi kebocoran pada bagian-bagian yang berputar, sehingga menjadi hanya 10 cc/menit – 40 cc/menit [9]. Dengan adanya acuan seperti disebutkan diatas, maka terbuka peluang untuk meningkatkan unjuk kerjanya dengan cara memodifikasi salah satu atau semua komponen utama pompa sentrifugal tersebut. Disain impeler ditentukan oleh bentuk geometri dari impeler, antara lain meliputi: kecepatan spesifik, diameter dalam dan luar impeler, sudut dalam dan luar kipas (vane), lebar celah pemasukan dan pengeluaran impeler, ketebalan kipas dan jumlah kipas. Kecepatan aliran fluida yang mengalir melalui sebuah impeler yang berotasi, antara lain: u adalah kecepatan dari sebuah titik pada impeler relatif terhadap bidang dasar, V adalah kecepatan absolut partikel fluida yang mengalir melalui impeler relatif terhadap bidang dasar dan v adalah kecepatan fluida relatif terhadap impeler [6]. Hubungan antara kecepatankecepatan tersebut dapat dilihat pada Gb. 1.
Gambar 1. Diagram kecepatan pada sebuah impeler [6].
Sudut antara V dan u disebut . Sudut antara v dan perpanjangan u adalah . Gb. 2 memperlihatkan diagram vektor dari kecepatan di inlet dan outlet sebuat impeler. V r adalah komponen radial dari kecepatan absolut V. Vu adalah komponen tangensial dari V atau sama dengan V cos .
457
Gambar 2. Diagram vektor dari kecepatan fluida yang mengalir di inlet dan outlet sebuah impeler [6].
Beberapa persamaan dasar untuk bentuk geometri sebuah impeler, antara lain [8] : u1 u2 D2 Vr1 Vr2
= = = = =
( D1 n) / 60 Ku (2gH)0.5 (60 u2) / ( n) Km1 (2gH)0.5 Km2 (2gH)0.5
… (1) … (2) … (3) … (4) … (5)
Dimana : D1 : diameter inlet dari impeler (m) D2 : diameter outlet dari impeler (m) H : tinggi total (m) Ku : konstanta kecepatan Km1 : konstanta debit pada bagian inlet Km2 : konstanta debit pada bagian outlet n : kecepatan rotasi poros pompa (rpm) Vr1 : kecepatan relatif fluida pada bagian inlet (m/det) Vr2 : kecepatan relatif fluida pada bagian outlet (m/det) Persamaan dasar untuk menentukan lebar celah pada bagian inlet dan outlet sebuah impeler [3] : Q‟ / 60 … (6)
b2 = (Dave
- Z Su) Vr2 … (7)
b1D1 = b2D2 Su = S2 / sin
… (8)
2
Dimana: b1 : lebar celah pada bagian inlet impeler (m) b2 : lebar celah pada bagian outlet impeler (m) Q‟ : debit efektif pada efisiensi volumetric (m3/det) Dave : diameter rata-rata pada ujung pengeluaran impeler (m) Z : jumlah kipas S2 : ketebalan kipas (mm) Pompa sentrifugal memiliki dua tipe casing yaitu: volute (spiral) dan diffuser. Casing melakukan fungsi secara efektif mengkonversi gaya sentrifugal yang dihasilkan oleh impeler menjadi tekanan. Casing tipe volute didesain menyerupai spiral yang mana luas permukaannya semakin membesar kearah lubang pengeluaran. Perubahan luas area tersebut mampu menurunkan kecepatan sehingga tekanannya menjadi meningkat. Umumnya pompa tipe single stage memiliki casing tipe volute. Casing tipe diffuser memiliki kipas pengarah aliran air pada sekeliling impelernya. Tekanan air selalu meningkat saat melewati difuser sebab secara progresif meningkat luas area antara kipas-kipasnya dalam arah alirannya.
MATERI DAN METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Evaluasi pendahuluan dilakukan terhadap pompa irigasi sentrifugal buatan lokal yang umum digunakan oleh petani. Evaluasi awal dilakukan untuk mengetahui unjuk kerja pompa dan mengidentifikasi disefisiensi disain impelernya. Evaluasi ini dilakukan dengan menguji pompa tersebut pada berbagai tinggi hisap statis dan berbagai variasi kecepatan rotasi.
458
Perbaikan disain ditujukan untuk meningkatkan total head, debit dan efisiensi pompa. Metode yang digunakan dalam perbaikan disain impeler pompa tersebut adalah mengacu kepada metode yang diberikan oleh Stepanoff, Addison dan Church. Gambar disain impeler dikerjakan dengan bantuan AutoCAD agar mudah melakukan modifikasi secara tepat dan akurat serta mampu ditampilkan secara tiga dimensi. Setelah pabrikasi, pompa kembali dievaluasi ulang dengan kondisi uji seperti evaluasi awal. Unjuk kerja pompa sebelum dan setelah perbaikan disain dibandingkan dan perbedaan tersebut dianalisa secara statistik. Pengukuran unjuk kerja pompa irigasi dilakukan di laboratorium pompa BBP Mektan, Serpong. Intrumen uji yang dipakai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Instrumen Untuk Pengujian Kinerja Pompa Irigasi. No
Nama Alat
Kegunaan
1 2 3 4 5 6 7
Pressure gauge Vacuum gauge Digital tachometer Electromagnetic Flowmeter Motor listrik 22 kW Torque meter tipe TP-20KMAB Bak ukur tipe V-Notch
8 9 10
Varispeed inverter 30 kVa tipe VS-616G5. Dynamic Strain amplifier tipe DPM-601B Digital multi meter YEM-2506A
Ketelitian
Mengukur tekanan air Mengukur tekanan hisap Mengukur rpm Mengukur debit air Memutar poros pompa Mengukur torsi poros pompa Mengukur debit air pompa Ukuran 2 – 4 inch Mengubah putaran motor listrik Menguatkan tegangan Mengukur tegangan listrik slip ring torque meter
0,05 kg/cm2 0,05 kg/cm2 1 rpm 0,5 Nm 0,5 mm 1 rpm 1 mV 1 mV
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji dan evaluasi dari prototipe pompa sentrifugal AP-S100 menunjukkan keunggulan terhadap pompa lokal yang ada dipasaran. Hasil uji unjuk kerja pompa tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Unjuk Kerja Maksimum Antara Pompa Lokal dan Prototipe Pompa AP-S100. Putaran Poros (rpm) 2000
2100
2250
2300
Model pompa Debit (m³ /mnt) Tinggi total (m) GTO 4-1 AP-S100 Perbedaan (%) GTO 4-1 AP-S100 Perbedaan (%) GTO 4-1 AP-S100 Perbedaan (%) GTO 4-1 AP-S100 Perbedaan (%)
1,43 1,52 6,29 1,47 1,60 8,55 1,51 1,69 12,14 1,45 1,62 11,65
11,7 16,57 41,62 15,98 17,91 12,08 15,69 21,16 34,86 17,09 22,87 33,82
Daya poros (kW) 4,24 5,74 35,38 5,88 6,25 6,29 7,50 8,06 7,47 7,66 8,46 10,44
Efisiensi (%) 64,41 71,34 10,76 65,25 72,21 10,67 61,95 71,95 16,14 63,50 71,55 12,68
Energi potensial (kJ/m³) 177,9 226,6 27,36 239,3 234,4 -2,08 298,6 286,2 -4,17 316,7 313,3 -1,08
Hasil uji pendahuluan terhadap pompa sentrifugal buatan lokal pada putaran poros 2000 rpm, 2100 rpm, 2250 rpm dan 2300 rpm menunjukkan efisiensi tertinggi sebesar 65,25% pada debit 1,47 m3/mnt, total head 15,98 m dan daya poros 5,88 kW pada putaran poros 2100 rpm. Prototipe pompa AP-S100 memiliki keunggulan dibandingkan pompa buatan lokal yang diuji. Debitnya menunjukkan peningkatan 6,29 % sampai 12,14%. Peningkatan yang terbesar dicapai pada putaran 2250 rpm. Faktor yang mempengaruhi peningkatan debit antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu diameter dalam impeller (D1), diameter luar impeller (D2), kecepatan peripheral pada bagian inlet impeller (u1) dan kecepatan peripheral pada bagian outlet impeller (u2). Bila D1 semakin besar, maka aliran air yang masuk ke impeller akan meningkat. Demikian pula bila D2 semakin besar, maka impeller mampu menampung dan melempar air dalam jumlah yang lebih besar. Peningkatan kecepatan peripheral u 2
459
cenderung mengurangi sudut kipas bagian outlet ( peningkatan debit.
2).
Semakin kecil
2,
maka semakin cepat terjadinya
Prototipe pompa AP-S100 memberikan tinggi total yang lebih tinggi dibandingkan pompa lokal yang telah diuji. Peningkatan tinggi total berkisar antara 12,08% sampai 41,62%. Peningkatan maksimum tinggi total dicapai adalah pada putaran 2000 rpm. Perubahan tinggi total disebabkan oleh perubahan kecepatan peripheral u2, kecepatan relative pada outlet (Vr2) dan diameter dalam impeller (D1).
Gambar 1. Prototipe pompa sentrifugal AP-S100.
Prototipe pompa AP-S100 dengan impeller bersudu 6 buah memperlihatkan peningkatan yang signifikan dalam hal daya poros yang digunakan. Hal ini disebabkan terjadi penambahan sebuah sudu dibandingkan pompa lokal dengan jumlah sudu 5 buah, sehingga bobot impeller prototipe pompa AP-S100 lebih berat. Berat total impeller prototipe pompa AP-S100 adalah 2,84 kg, atau 33% lebih berat dibandingkan impeller pompa lokal. Peningkatan daya input tersebut berkisar antara 6,29% sampai 35,38%. Peningkatan daya input pompa AP-S100 juga disebabkan oleh peningkatan jumlah air per satuan waktu yang harus dilempar oleh impellernya.
(a). Impeller pompa lokal
(b). Impeller pompa AP-S100
Gambar 2. Perbedaan disain impeller antara pompa lokal dan AP-S100.
Efisensi maksimum yang mampu dicapai oleh pompa AP-S100 adalah 72,21% pada putaran 2100 rpm, dengan debit 1,60 m³/mnt, tinggi total 17,91 m dan daya poros 6,25 kW. Sedangkan pompa lokal mencapai efisiensi maksimum 65.25% pada debit 1.47 m³/mnt, tinggi total 15,98 m dan daya poros 5,88 kW. Peningkatan efisiensi pompa AP-S100 dibandingkan pompa lokal adalah berkisar antara 10,67% - 16,14%. Perbandingan energi potensial antara pompa lokal dengan pompa AP-S100 menunjukkan perbedaan yang signifikan. Energi potensial adalah energi yang diperlukan untuk memompa sejumlah unit volume air. Energi potensial pompa AP-S100 meningkat secara proporsional terhadap peningkatan debit yang dihasilkannya. Terjadi penurunan energi yang diperlukan oleh pompa AP-S100 dibandingkan pompa lokal. Penurunan energi potensial tersebut berkisar 1,08% - 4,17%.
460
KESIMPULAN Dengan mengacu pada metode disain yang benar, maka unjuk kerja dari pompa lokal dapat ditingkatkan. Hal ini dibuktikan dengan unjuk kerja prototipe pompa AP-S100, sebagai hasil dari perbaikan disain pompa lokal, mampu meningkatkan efisiensi sebesar 10.67% - 16.14%, debit 62.29% - 12.14 %, tinggi total 12.08% – 34.86% dan menghemat energi potensial sebesar 1.08% - 4.17%. Untuk lebih mengurangi energi potensial pompa, perlu dicari alternatif lain bahan material untuk impeller agar lebih ringan, sehingga daya poros yang diperlukan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA Agung Prabowo, Agung Hendriadi, MJ. Tjaturetna B, dan Novi Sulistyosari, 2003. Perbaikan Disain dan Pengembangan Pompa irigasi Sentrifugal Buatan Lokal Untuk Meningkatkan Unjuk Kerjanya. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian dan Perekayasaan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (Unpublished). Serpong. Agung Prabowo, Agung Hendriadi, Novi Sulistyosari, Hari Gunardi dan Affifudin, 2003. Metode Perbaikan Disain Pompa Sentrifugal Diterapkan Untuk Pompa Buatan Lokal. Temu Ilmiah Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor, 16 Desember 2003. Anderson, H. H., 1964. Centrifugal Pump. Trade and Technical Press Ltd. Crown House Morden Surrey England. BSN ,1998. Prosedur dan Cara Uji Pompa Air Sentrifugal Untuk Irigasi. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta BSN, 1998. Unjuk Kerja Pompa Air Sentrifugal Untuk Irigasi. Standar Nasional Indonesia. Badan Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta Church, A. H. 1972. Centrifugal Pumps and Blowers. Robert E. Krieger Publishing Company. Huntingtin, New York, USA. Ludwig, G., Meschkat, S. and Stoffel, B. 2000. Design Factors Affecting Pump Efficiency. Darmstadt University of Technology. Magdalenenstrabe 4, D-64289 Darmstadt, Germany. Stepanoff, A. J. 1957. Centrifugal and Axial Flow Pump. John Wiley and Sons. Inc., New York, USA. Torishima Pump. 1999. Hand Book. Torishima Pump MFG. Co., Ltd. Japan.
461
Lampiran 1. Skema Fasilitas Uji Pompa di BBP Mektan, Serpong.
462
Lampiran 2. Instalasi Pengujian Pompa di BBP Mektan, Serpong
463
DAMPAK KENAIKAN BBM TERHADAP USAHATANI PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA Sugeng Widodo, Sri Budhy Lestari dan Nur Hidayat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Terjadinya kenaikan harga BBM pada 1 Maret 2005 sekitar 20-30% dan diikuti kenaikan kedua harga BBM pada bulan Oktober 2005 sebesar 100%, berakibat pada kenaikan harga pupuk, obat-obatan, bibit dan sarana pendukung usahatani lainnya, sedangkan dari sisi kebutuhan tenaga kerja akan semakin sulit karena juga akan diikuti dengan kenaikan upah tenaga kerja. Dari sisi pengeluaran akan mengalami peningkatan, namun dari sisi penerimaan petani dari usahatani masih diragukan, hal ini berkaitan dengan tidak seimbangnya kenaikan biaya input terhadap harga output dimana hasil pertanian bersifat rentan terhadap fluktuasi harga, produksi dan penurunan nilai tukar rupiah/daya beli masyarakat. Lokasi penelitian dilakukan pada lahan sawah irigasi teknis di Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman. Alasan lokasi survai, daerah ini merupakan sentra padi di DIY. Penelitian dilakukan pada awal kenaikan BBM I (Maret 2005) dan kenaikan BBM II (Oktober 2005). Analisis dilakukan secara diskriptif pada dua tahap dampak kenaikan BBM I dan II (before and after). Jumlah responden adalah 30 terpilih secara simple random sampling. Hasil akhir pengumpulan data berupa gambaran lengkap permasalahan yang disajikan dalam bentuk tabel data dan variabel yang dianalisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil analisis : Dari sisi profil dan karakteristik: umur responden masih tergolong usia produktif dengan rerata 45,80 s.d. 60,75; sedangkan jumlah tanggungan keluarga (KK) antara 3,50 s.d. 4,10; tingkat pendidikan antara 6,65 s.d. 9,80. Dari sisi biaya usahatani padi : akibat kenaikan BBM tahap I maupun tahap II terjadi kenaikan biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan) sebesar 5,93% s.d. 12,98% dan biaya lainnya (tenaga kerja luar keluarga dan mesin) (11,61% s.d. 18,04%). Hubungan kenaikan BBM terhadap kelayakan usahatani padi. Sebelum kenaikan BBM pendapatan Rp 666.325/MT/1000 m², rasio RC 1,21. Setelah kenaikan BBM I (periode Maret 2005) pendapatan turun 2,11% dan rasio RC menjadi 1.19; pada kenaikan BBM II (Oktober 2005) pendapatan meningkat sebesar 32,80% dengan rasio RC 1,47. Kesimpulannya, bahwa kenaikan BBM tidak signifikan terhadap penurunan pendapatan, namun justru meningkat dari sisi pendapatan dan kelayakan usahatani padi. Hal ini terjadi karena peningkatan biaya input lebih rendah daripada kenaikan harga output gabah. Kata Kunci : Dampak, Padi sawah, Kenaikan BBM, Pendapatan dan Kelayakan Usahatani
PENDAHULUAN Kenaikan BBM yang telah dilakukan oleh pemerintah pada tanggal 1 Maret 2005 cukup melemahkan daya beli masyarakat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat tani. Namun aspek psikologis secara umum ternyata berdampak tidak langsung pada harga-harga kebutuhan hidup lainnya, dan ini berimbas pula terhadap usaha pertanian secara umum dan secara khusus pada masyarakat tani yang bersifat gurem (petani subsisten). Belum pulihnya kondisi masyarakat, ternyata diikuti dengan kenaikan BBM tahap ke dua yaitu pada bulan Oktober 2005, hal ini telah memukul semua sektor termasuk didalamnya sektor pertanian. Pada dampak kenaikan BBM I (periode Maret 2005) harga gabah kering di DIY naik sekitar 7 (tujuh) persen dari harga Rp 1.300/kg menjadi Rp 1.400/kg (Anonimus, 2005 dalam Kompas edisi 9 Maret 2005). Keuntungan tidak langsung bagi petani adalah harga jual lebih baik. Bagaimanapun bahwa petani di DIY selain sebagai produsen juga sekaligus sebagai konsumen dengan membeli beras dengan harga sesuai pasar. Meski terjadi kenaikan harga gabah, belum tentu membuat petani beruntung, karena petani sekaligus juga sebagai konsumen/mengkonsumsi beras, dan ini disertai dengan kenaikan barang-barang lainnya sudah naik terlebih dahulu, bahkan nilai kenaikan barang kebutuhan pokok melebihi kenaikan harga gabah. Kenaikan harga gabah bervariasi antara 200-300/kg di DIY dan Jateng (Anonimus, 2005 dalam Kompas, 9, 10 dan 12 Maret 2005). Kenaikan harga gabah selain didorong adanya kenaikan BBM juga diduga bahwa adanya perbaikan kualitas hasil panen. Sejalan dengan program pemeritah pada tanggal 2 Maret 2005 telah menerbitkan Impres No 2/2005 tentang perberasan dengan pembelian harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 1.330/kg di penggilingan; harga gabah kering giling (GKG) Rp 1.740/kg di penggilingan dan harga beras Rp 2.790/kg di penggilingan (Anonimus dalam Kompas, 14 Maret 2005). Sayangnya kebijakan pemerintah ini secara umum kurang berjalan sesuai dilapang. Kenyataan bahwa harga gabah dan beras di tingkat petani selalu dibawah ketentuan harga dasar (floor price) ini gabah dan beras oleh pemerintah. Berdasarkan Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2004 untuk beras rakyat miskin (raskin) 25,93%, kredit usaha kecil 9,89% (BPS, 2004). Dalam Susenas 2004, jumlah penduduk yang berada pada garis
464
kemiskinan dengan pengeluaran Rp 122.775 per kapita per bulan sebanyak 36,14 juta (16,66%), sedangkan penduduk yang berada di atas garis kemiskinan namun rentan menjadi miskin ada 22 juta orang. Hasil studi Oktaviani (2005), tentang kemiskinan, terhadap kompensasi BBM tahun 2001-2003 walaupun telah dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi dana efektif, tepat sasaran tetap tidak akan mengurangi masyarakat miskin, daya beli masyarakat tetap menurun karena pendapatan hanya meningkat 0,6 persen, sedangkan kenaikan inflasi 2,80 s.d. 3,02 persen. Pada saat ini (akhir tahun 2005) tampaknya kecenderungan harga beras berkisar antara Rp 4.000 s.d. Rp 4.500,-/kg kualitas standar/sedang. Begitu pula harga gabah GKP mengalami kenaikan dari Rp 1.200/kg GKP menjadi Rp 1.750 – Rp 2.000,-/kg, dan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga dasar gabah menjadi Rp 1.750 GKP kualitas baik akan memberikan insentif bagi petani padi (Anonimus, 2005 dalam Kompas edisi 12 Januari 2006). Tampaknya dampak kenaikan BBM ternyata berdampak pada kenaikan harga gabah yang cukup signifikan, masalahnya adalah sebagian besar pemilikan lahan di Yogyakarta sempit, sehingga dampak kenaikan harga gabah belum sebanding dengan nilai tukar uang. Kondisi pertanian tanaman pangan dan hortikultura di beberapa kabupaten di Prop. D.I.Yogyakarta tahun 2002 dan 2003 menunjukkan bahwa terjadi penyempitan lahan. Pada tahun 2003 dengan luas lahan 318.580 hektar dimana 18,4% atau 58.608 hektar merupakan sawah untuk padi, palawija dan hortikultura (Dinas Pertanian Prop.DIY, 2003). Kendala yang dihadapi dalam pembangunan pertanian di D.I.Yogyakarta tahun 2004 adalah penurunan lahan 0,42%/tahun, kualitas dan kontinuitas produk, produktivitas lahan dan tanaman, usahatani masih berskala kecil, terbatasnya tenaga kerja produktif dan lemahnya kelembagaan petani (Anonimus, 2003). Dengan pemilikan lahan sawah yang relatif sempit di DIY antara 300 s.d. 1200 m² secara ekonomis kurang menguntungkan untuk usahatani padi, maka dengan adanya kenaikan harga BBM diduga akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dan pengurangan biaya input untuk usahatani padi dan akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas di lahan sawah.
METODOLOGI Lokasi Penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, dengan alasan bahwa lokasi adalah salah satu sentra di DIY. Penelitian dilakukan pada bulan April s.d. Desember 2005. Metode penelitian secara survai dengan pendekatan 2 (dua) periode selang waktu kenaikan harga BBM I (April 2005) dan kenaikan BBM II (Oktober 2005). Penentuan responden secara acak (random sampling) sebanyak 30 orang, dengan stratifikasi adalah: petani pemilik lahan dan penggarap dan petani penyakap/sewa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil dan Karakteristik Umur responden antara 45,80 s.d. 60,75 tahun,, menurut Suryabroto (1984) umur produktif seorang petani berkisar 15 – 60 tahun. Dari sisi tanggungan keluarga yang menjadi tanggungan responden rerata antara 3,50 s.d. 4,10 jiwa. Tanggungan keluarga yang relatif sedikit, dapat diharapkan dalam kesejahteraan petani menjadi lebih baik dan beban tanggungan yang dihadapai dalam menghidupi keluarganya menjadi lebih ringan. Tabel 1. Karakteristik Responden di Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman.Tahun 2005. No
Karakteristik
1 Umur (tahun) 2 Tingkat pendidikan (tahun) 3 Jumlah tanggungan keluarga (jiwa) 4 Presentase Produktif (%) Sumber : Data Primer, 2005
Nilai 45,80- 60,75 9,67 3,50 37,50
Latar belakang pendidikan seseorang relatif dapat menentukan orang tersebut dalam proses pengambilan keputusan. Petani sebagai pelaksana juga bertindak sebagai sebagai manajer dalam usahanya, sehingga mau tidak mau petani selalu dihadapkan pada proses pengambilan keputusan. Pada umumnya, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seorang petani dia akan semakin mudah menerima dan mengadopsi teknologi baru, dan sebaliknya dengan semakin rendah tingkat pendidikan maka petani tersebut semakin sulit menerima dan mengadopsi teknologi baru yang diperkenalkan dari pihak luar.
465
Trend Penggunaan Sarana Produksi (Benih Padi, Pupuk Urea, SP 36) (1) Penggunaan Bibit Varietas padi sawah dominan adalah IR 64 (> 70%), sebagian yang berkembang adalah varietas Bondoyudo, Fatmawati, Ciherang, dan Sintanur. Kebutuhan benih padi antara 50-80 kg/ha, atau rerata sebesar 64,50 kg/ha. Penggunaan benih padi ternyata masih boros, hal ini terjadi karena masih belum tersosialisasinya rekomendasi teknologi ditingkat lapang dan karena penguasaan lahan usaha sawah relatif sempit antara 500 – 2500 m², maka ada kecenderungan boros dan tidak terasa bagi petani nilainya, Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan, penggunaan benih padi dengan teknologi ICM (Integrated Crop Management) hanya 20-25 kg/ha (Mudjisihono et al., 2002, 2004). Hasil survai, bahwa benih padi tidak berpengaruh terhadap dampak kenaikan BBM. Artinya bahwa, penggunaan benih tetap yaitu pada awal sebelum BBM naik, kenaikan BBM I dan II adalah 64,50 kg/ha. (2) Penggunaan Pupuk Urea Penggunaan urea oleh petani lima tahun terakhir ini dilakukan bervariasi, antara 200-800 kg/ha. Ketergantungan dengan pupuk urea sangat tinggi, secara umum takaran yang diberikan sudah melebihi batas ambang atau rekomendasi secara Nasional maupun rekomendasi spesifik wilayah DIY yang dianjurkan. Pada saat awal atau sebelum ada kenaikan BBM penggunaan urea berkisar antara 220-800 kg/ha dengan rerata penggunaan ureanya adalah 331,01 kg/ha. Namun setelah terjadi kenaikan BBM I (periode Maret 2005) maka ada kecenderungan penggunaan input pupuk urea menjadi berkisar antara 200-440 kg/ha dengan rerata penggunaan urea sebesar 290,94 kg/ha atau terjadi penurunan sebesar 12,11% (Gambar 1 dan 2)
Takara Urea (kg/ha)
Penggunaaan Urea Di Kecamatan Moyudan Kab Sleman. 2005 1000 800
Sebelum BBM Naik
600
Kenaikan BBM I
400 200
Kenaikan BBM II
0 1
3
5
7
9
11
Gambar 1. Takaran Penggunaan Urea
Pada saat terjadi kenaikan BBM II (periode Oktober 2005), dimana kenaikan harga BBM hampir dua kali lipat, cukup berpengaruh terhadap penggunaan pupuk urea, hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan urea berkisar antara 200-500 kg/ha atau rerata sebesar 282,22 kg/ha atau mengalami penurunan sebesar 14.74% sebelum BBM naik.
Takaran Urea (kg/ha)
Rata -Rata Penggunaan Urea (kg/ha) Untuk Padi Lahan Sawah di Kecamatan Moyudan. 2005
350,00
331,01
290,94
282,22
300,00 250,00
1
Sebelum BBM Naik
331,01
Kenaikan BBM I
290,94
Kenaikan BBM II
282,22
Gambar 2. Rerata Penggunaan Urea
466
(3) Penggunaan Pupuk SP 36 Pada saat sebelum terjadi kenaikan BBM penggunaan pupuk SP36 bervariasai antara 0 – 190,91 kg/ha dengan rerata penggunaannya sebesar 114,68 kg/ha. Penggunaan pupuk SP 36 dengan takaran tersebut secara umum termasuk sesuai rekomendasi baik secara Nasional maupun wilayah DIY. Pada kenaikan BBM I, rerata penggunaan SP 36 menjadi 106,78 kg/ha atau menurun sebesar 7,90 %, namun masih dalam batas anjuran rekomendasi. Takaran Penggunaaan SP 36 (kg/ha) Di Kecamatan Moyudan Kab Sleman. 2005
Takara SP 36 (kg/ha)
250,00 200,00
Sebelum BBM Naik
150,00
Kenaikan BBM I
100,00
Kenaikan BBM II
50,00 0,00 1
3
5
7
9 11
Gambar 3. Takaran Penggunaan Pupuk SP36 Rata-Rata Penggunaan SP 36 (Kg/Ha) di Kec. Moyudan Kab Sleman. Tahun 2005 114,68 106,78 91,09 Takaran SP 36 (kg/ha)
120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
1 Sebelum BBM Naik
114,68
Kenaikan BBM I
106,78
Kenaikan BBM II
91,09
Gambar 4. Rerata Penggunaan SP 36
Pada kenaikkan BBM II rerata penggunaan SP 36 menjadi 91,09 kg/ha atau menurun sebesar 23,59%. Penurunan takaran penggunaan pupuk SP 36 disebabkan adanya kenaikan harga SP 36 sekitar 20-30%. Dalam kaitannya dengan daya dukung lahan dan efisiensi, penurunan penggunaan SP 36 belum tentu menurunkan produksi dan kualitas gabah. Serangkaian hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Mudjisihono, et al. (2002; 2004) di sebagian besar lahan sawah di DIY penggunaan SP 36 di bawah 100 kg/ha; dan sebagian wilayah DIY tidak respon terhadap pemupukan P. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian oleh tim Puslittanak dan Balitpa selama 5 tahun terakhir, bahwa sebagian besar sawah irigasi di Pulau Jawa sudah jenuh oleh P; oleh sebab itu diperlukan penurunan penggunaan pupuk P selain efisien dari sisi biaya input juga mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk kimia.
ANALISIS USAHATANI Analisis kelayakan finansial pada penelitian ini dihitung pada 3 (tiga) musim tanam yaitu sebelum BBM naik (MH I), kenaikan BBM I (MK) dan BBM II (MH). Hasil analisis disajikan pada Tabel 2 Hasil analisis usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM menunjukkan bahwa, biaya ekplisit yang dikeluarkan untuk sarana poduksi (bibit, pupuk dan obat-obatan) dan biaya lainnya yaitu tenaga kerja luar keluarga dan biaya penyusutan sebesar Rp 419.551/MT/1.628 m² atau setara dengan Rp 2.577.095/ha (Tabel 2.).
467
Tabel 2. Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah Sebelum Kenaikan BBM di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MH Tahun 2005 per 1628 m² (n=30) No
Uraian
Biaya Ekplisit Saprodi 1. Bibit 2. Pupuk (Urea, SP36, KCl, pupuk kandang dll) 3. Pestisida II Lain-Lain+TK Luar 1. Olah lahan/traktor 2. Menanam 3. Panen 4. Menyiang 1 dan 2 5. Lain-lain 6. Penyusutan B Biaya Implisit III Tenaga Kerja 1. Persemaian 2. Persiapan Lahan/meratakan 3. Penanaman 4. Pemeliharaan - Penyiangan 1+ppk - Penyiangan 2 5. Panen 6. Pasca Panen IV Sewa lahan C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT D PENERIMAAN E PENDAPATAN (D-A) F KEUNTUNGAN (D-C) G RASIO RC (D/C) Sumber: Data Primer 2005
Vol/1628 m2
Sat
Harga/sat (Rp)
A I
10,50 -
kg
(2.750-3.000)
borong borong borong borong
60.000 50.000 48.840 65.120 20.000 16.500
1,00 3,26 1,63
HOK HOK HOK
15.000 15.000 15.000
4,17 3,53 6,40 1,06 1
HOK HOK HOK HOK musim
15.000 15.000 15.000 15.000 162.800
944,24
kg
1.150
Nilai (Rp) 419.551 161.191 28.216 121.225 11.750 258.360 60.000 50.000 48.840 65.120 20.000 14.400 478.385 315.585 15.000 48.840 24.420 62.505 52.980 95.970 15.870 162.800 897.936 1.085.876 666.325 187.940 1,21
Biaya implisit yang dikeluarkan merupakan tenaga kerja keluarga sebesar Rp 478.385/1.628 m². Penerimaan hasil gabah yang merupakan perkalian antara output (gabah) dengan harga berlaku Rp 1.150/kg GKP adalah Rp 1.085.876, maka pendapatan yang diperoleh petani sebelum terjadi kenaikan BBM adalah Rp 666.325/1.628 m²/MT. Apabila semua faktor biaya diperhitungkan (eksplisit+implisit) maka keuntungan yang diperoleh adalah Rp 187.940/1.628 m²/MT (Tabel 2). Berdasarkan kelayakan usahatani dengan melihat nilai Ratio Revenue Cost (R/C) > yaitu 1,21 atau >1,0 artinya bahwa usahatani padi sebelum terjadi kenaikan BBM adalah layak. Pada saat terjadi kenaikan BBM I (April 2005), terjadi kenaikan biaya ekplisit saprodi dan tenaga kerja; biaya ekplisit menjadi Rp 441.747 (Tabel 3). Biaya implisit sebesar Rp 478.385/MT, dan penerimaan hasil gabah adalah Rp 1.094.016/MT. Setelah terjadi kenaikan BBM I pendapatan hasil usahatani padi menjadi Rp 652.269, dengan keuntungan sebesar Rp 173.884/MT. Artinya pada saat terjadi kenaikan BBM I pendapatan dan keuntungan menurun sebesar 2,11% dan 7,48%. Dari sisi kelayakan usahatani padi dengan melihat nilai indikator Revenue Cost memberikan hasil sebesar 1,19 menurun dibandingkan sebelum kenaikan BBM Terjadi kenaikan BBM II (Periode Oktober 2005), usahatani padi ada kecenderungan peningkatan pendapatan, keuntungan dan peningkatan nilai rasio RC, hasil analisis disajikan dalam Tabel 4.
468
Tabel 3. Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah Setelah Kenaikan BBM I Di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MK Tahun 2005 per 1.628 m² (n=30) No
Uraian
Vol/1628 m²
Biaya Ekplisit Saprodi 1 Bibit 2 Pupuk (Urea, SP36, KCl, Pupuk kandang) 3 Pestisida II Lain-Lain+TK Luar 1 Olah lahan/traktor 2 Menanam 3 Panen 4 Menyiang 1 dan 2 5 Lain-lain 6 Penyusutan B Biaya Implisit III Tenaga Kerja 1 Persemaian 2 Persiapan Lahan/meratakan 3 Penanaman 4 Pemeliharaan Penyiangan 1+ppk Penyiangan 2 5 Panen 6 Pasca Panen IV Sewa lahan C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT D PENERIMAAN E PENDAPATAN (D-A) F KEUNTUNGAN (D-C) G RASIO RC (D/C) Sumber: Data Primer 2005
Sat
Harga/sat (Rp)
A I
10,67
kg
(2.750-3.000)
borong borong borong borong
90.000 50.000 48.840 65.120 20.000 16.500
1,00 3,26 1,63
HOK HOK HOK
15.000 15.000 15.000
4,17 3,53 6,40 1,06 1
HOK HOK HOK HOK musim
15.000 15.000 15.000 15.000 162.800
911,68
kg
1.200
Nilai (Rp) 441.747 153.387 32.583 108.179,17 12.625 288.360 90.000 50.000 48.840 65.120 20000 14400 478.385 315.585 15.000 48.840 24.420 62.505 52.980 95.970 15.870 162.800 920.132 1.094.016 652.269 173.884 1,19
Tabel 4. Analisis Usahatani Padi di Lahan Sawah Setelah Kenaikan BBM II di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MH Tahun 2005. Per 1.628 m² (n=30) No
Uraian
Biaya Ekplisit Saprodi 1 Bibit 2 Pupuk (Urea, SP 36, KCl, Phonska, Pupuk kandang, dll) 3 Pestisida II Lain-Lain+TK Luar 1 Olah lahan/traktor 2 Menanam 2 Panen 3 Menyiang 1 dan 2 4 Lain-lain 5 Penyusutan B Biaya Implisit III Tenaga Kerja 1 Persemaian 2 Persiapan Lahan/meratakan 3 Penanaman 4 Pemeliharaan Penyiangan 1+ppk Penyiangan 2 5 Panen 6 Pasca Panen IV Sewa lahan C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT D PENERIMAAN E PENDAPATAN (D-A) F KEUNTUNGAN (D-C) G RASIO RC (D/C) Sumber: Data Primer 2005
Vol/1628 m²
Sat
Harga/sat (Rp)
A I
10,67 -
kg
borong borong borong borong
(2.750-3.500)
120.000 50.000 48.840 65.120 30.000 21.000
1,00 3,26 1,63
HOK HOK HOK
15.000 15.000 15.000
4,17 3,53 6,40 1,06 1
HOK HOK HOK HOK musim
15.000 15.000 15.000 15.000 200.000
879,12
kg
1.700
Nilai Rp 502.989 168.029 37.417 112.445,8 18.166 334.960 120.000 50.000 48.840 65.120 30000 21000 515.585 315.585 15.000 48.840 24.420 62.505 52.980 95.970 15.870 200.000 1.018.574 1.494.504 991.515 475.930 1,47
469
Biaya ekplisit mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 502.989, dengan biaya implisit sebesar Rp 515.585/MT. Penerimaan mengalami kenaikan sebesar 27,34% atau menjadi Rp 1.494.504/MT. Walaupun produksi menurun 5-10% namun karena harga gabah meningkat sebesar 32,35% dari Rp 1.150/kg GKP menjadi Rp 1.700/kg GKP namun penerimaan kotor meningkat dibandingkan dengan sebelum terjadi kenaikan BBM. Begitu pula dari sisi pendapatan dan keuntungan juga mengalami kenaikan menjadi Rp 991.515 dan Rp 475.930 atau terjadi kenaikan pendapatan dan keuntungan sebesar masing-masing sebesar 32,80% dan 60,52% dibandingkan sebelum terjadi kenaikan BBM. Dilihat dari sisi rasio RC juga meningkat menjadi 1,47 artinya layak dengan nilai indikator RC >1,0. Implikasi dari hasil analisis ini adalah terjadinya kenaikan harga BBM II (periode Oktober 2005), khususnya usahatani padi sawah di Kecamatan Moyudan adalah tidak signifikan terhadap pendapatan, keuntungan dan kelayakan usahataninya; hal sebaliknya kenaikan BBM II justru memberikan peningkatan pendapatan, keuntungan dan kelayakan.
KESIMPULAN (1)
Umur responden masih tergolong usia produktif dengan rerata 45,80 s.d. 60,75, sedangkan jumlah tanggungan keluarga (KK) antara 3,50 s.d. 4,10, dari sisi tingkat pendidikan antara 6,65 s.d. 9,80.
(2)
Dampak kenaikan BBM tahap I maupun tahap II terjadi kenaikan biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan) sebesar 5,93% s.d. 12,98% dan biaya lainnya (tenaga kerja luar keluarga dan mesin) (11,61% s.d. 18,04%)
(3)
Sebelum kenaikan BBM pendapatan Rp 666.325/MT/1000 m², rasio RC 1.21; Setelah kenaikan BBM I (periode Maret 2005) pendapatan turun 2,11% dan rasio RC menjadi 1.19; pada kenaikan BBM II (Oktober 2005) pendapatan meningkat sebesar 32,80% dengan rasio RC 1,47.
(4)
Kenaikan BBM tidak signifikan terhadap penurunan pendapatan, namun justru meningkat dari sisi pendapatan dan kelayakan usahatani padi. Hal ini terjadi karena peningkatan biaya input lebih rendah daripada kenaikan harga output gabah.
PUSTAKA Anonimus. 2003. Kebijakan Pembangunan Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004. Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Anonimus. 2005. BBM Naik, Harga Gabah Kering di DIY dan Jateng Naik Sekitar 7 persen. Dalam harian Surat Kabar Kompas. Ed. 9 Maret 2005. Anonimus. 2005. Dampak Kenaikan Harga BBM. Dalam Surat Kabar Kompas. Ed 10, 11 dan 12 Maret. 2005 BPS. 2004. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik D.I.Yogyakarta. 2004. Yogyakarta Dalam Angka 2004-2005. Badan Pusat Statistik Prop. D.I.Yogyakarta. Dinas Pertanian Prop. D.I.Yogyakarta. 2003. Kebijakan Pembangunan Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004. Disampaikan dalam Rakorbang Deptan di Surabaya Tahun 2003 Dinas Pertanian Provinsi DIY. 2004. Renstra Tahun 2004-2008 (Draft). Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 14 hal. Mudjisihono, A. Setyono, A. Guswara, T. Santoso, Reki Hendrata dan Sugeng Widodo. 2002. Laporan Hasil Pengkajian Penelitian dan Pengembangan SUT Padi Berdasar Integrated Crop Resources Management (ICM) di Lahan Irigasi DIY. Mudjisihono, R., Agus Setyono, Iwan Juliardi, Reki Hendrata, Teguh Santosa, D. Riyanto, Arlyna B.P, Sugeng Widodo, Sarjono, T.K. Nugroho, Mahargono K dan M. Mustofa. 2004. Laporan Hasil Pengkajian Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Dataran Rendah D.I.Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. unpublished.82 Hal. Oktaviani, 2005. Model Keseimbangan Umum (computable general equilibrium/CGE). Tim Indonesia Bangkit dalam Harian Surat kabar Kompas Ed. 14 Maret 2005.
470
MODEL KELEMBAGAAN PEMASARAN CABE MERAH DI LAHAN PESISIR KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Hano Hanafi, Subagiyo dan Sinung Rustijarno Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Berbagai permasalahan dan kendala yang sering dihadapi dalam usahatani cabe merah khususnya di wilayah lahan pesisir antara lain posisi tawar (bargaining power) petani yang lemah dalam penentuan harga. Konsekuensinya, petani sebagai produsen kurang antusias dalam melakukan usaha budidaya pertanian. Model kelembagaan pasar lelang yang dirintis petani dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif pemasaran komoditas hasil pertanian untuk meningkatkan daya tawar petani. Tujuan penelitian adalah mendapatkan alternatif model pemasaran cabe merah melalui sistem lelang. Metode penelitian menggunakan cara survai pada bulan April-Juni 2006, penentuan lokasi dilaksanakan secara purposif di Kelompok Tani Gisik Pranaji, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, analisis dilakukan secara deskriptif. Data meliputi aspek kinerja kelembagaan pasar lelang, jumlah produksi dan luas areal tanam serta jangkauan pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota mencapai 75 orang, rata-rata luas areal tanam cabe merah berkisar 2500 m² – 3000 m²/petani, sistem lelang cabe merah dilakukan dengan sistem tertutup yakni mencari harga tertinggi dari pedagang dan volume transaksi mencapai 2 kuintal – 2 ton per hari, jangkauan pasar antara lain Purworejo, Kebumen, Semarang, Jakarta dan Batam. Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem pemasaran komoditas pertanian yang mengarah pada terwujudnya stasiun terminal agribisnis (STA), kelemahan yang ditemui adalah sistem pembayaran tidak dilakukan secara tunai (tunda). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan akses kelembagaan permodalan. Kata kunci: kelembagaan pemasaran, cabe merah, lahan pesisir
PENDAHULUAN Perbaikan struktur ekonomi masyarakat pasca krisis ekonomi sudah saatnya di imlementasikan dalam kegiatan riil di tingkat petani maupun para pelaku agribisnis secara komprehensif. Hal ini cukup beralasan mengingat bahwa selama krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, sektor pertanian khususnya kegiatan agribisnis telah mampu bertahan dengan pertumbuhan yang positif. Namun demikian, kondisi pertumbuhan yang positif tersebut secara faktual belum diikuti oleh perbaikan ekonomi bagi pelaku agribisnis di dalamnya maupun pelaku kegiatan pertanian secara keseluruhan (Anugrah, 2004). Pertumbuhan positif sektor pertanian belum menjadi kondisi nyata di tingkat petani. Tingkat kesejahteraan petani terus menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik di dalamnya, sekaligus menjadi bagian dan dilema dari sebuah kegiatan agribisnis di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan kegiatan agribisnis selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan pelaku agribisnis lainnya di sektor hilir (Arifin, 2001 dalam Anugrah, 2004). Apriantono (2004) menyatakan bahwa kunci suksesnya pembangunan pertanian tidak hanya terletak pada sisi produksi maupun pemasaran. Lebih dari itu, aspek sumber daya manusia (SDM) memegang peranan utama sekaligus penentu keberhasilan pembangunan tersebut. Disamping penguatan SDM di perdesaan, diperlukan pengembangan kelembagaan usahatani yang mendorong petani untuk berkelompok, mendirikan lembaga keuangan untuk pertanian seperti koperasi atau lembaga lain yang dapat menggerakkan kegiatan agribisnis pedesaan. Selanjutnya Anugrah (2004), menyatakan bahwa fenomena lain menunjukkan bahwa jaminan pasar merupakan prasyarat utama yang menentukan tingkat keunggulan suatu komoditas, termasuk di dalamnya indikasi tentang daya tampung dan potensi pengembangan pasar, tingkat efisiensi distribusi, kesesuaian agroekosistem, ketersediaan dan peluang pengembangan teknologi pertanian. Lemahnya posisi rebut tawar petani serta semakin banyaknya produksi pesaing dari impor komoditas yang sama di pasar dalam negeri, menuntut upaya peningkatan efisiensi pemasaran dengan mengembangkan infrastruktur pemasaran. Dalam upaya peningkatan produktivitas dan daya saing pemasaran komoditas hortikultura sayuran khususnya cabe merah, melalui kelembagaan kelompok tani di Desa Bugel dan Pleret, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo telah berupaya melaksanakan kegiatan pemasaran dengan model sistem pasar lelang. Kegiatan model sistem pasar lelang ini sudah berlangsung sejak tahun 2004, hal ini mengingat kondisi perekonomian dalam bargaining harga dan posisi rebut tawar yang dirasakan petani produsen selalu berada di pihak yang lemah. Selama ini petani produsen cabe merah di daerah pesisir Kabupaten Kulon Progo, nasibnya selalu kalah dalam penentuan harga oleh pihak pembeli setempat maupun dari luar kota, sehingga
471
harga di tingkat petani terjadi sangat beragam. Pada waktu panen raya, kondisi harga komoditas secara otomatis akan jatuh dan terpaksa petani menjual hasil panennya dengan harga yang sangat rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan alternatif model pemasaran cabe merah melalui sistem lelang.
METODE PENELITIAN Metode penelitian menggunakan survai (Singarimbun dan Effendie, 1989) pada bulan April-Juni 2006, penentuan lokasi dilaksanakan secara purposif di Kelompok Tani Gisik Pranaji, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, analisis dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1995). Data yang dikumpulkan meliputi aspek kinerja kelembagaan pasar lelang, jumlah produksi dan luas areal tanam serta jangkauan pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Terbentuknya kelembagaan model pasar lelang berawal dari berkembangnya pola pikir masyarakat tani khususnya anggota kelompok tani di wilayah pesisir pantai Selatan Kabupaten Kulon Progo. Secara struktural petani sudah membentuk kelembagaan berupa organisasi kelompok tani dengan kelengkapan sarana dan prasarana penunjang seperti gudang penampung hasil pertanian yang dibangun oleh Pemda Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pertanian. Segala fasilitas sarana dan prasarana yang dibangun bertujuan untuk membangun sekaligus menunjang kelembagaan pasca panen dan pemasaran dalam memproduksi berbagai komoditas pertanian agar dapat tersalurkan dengan baik sehingga dapat merubah tingkat penghasilan petani. Jumlah anggota pada tahun 2005 mencapai 75 orang dengan rata-rata luas areal tanam cabe merah berkisar 2500 m² – 3000 m²/petani. Keuntungan dari pasar lelang antara lain petani memperoleh harga komoditas yang sesuai dengan perkembangan pasar dan harga tidak dipermainkan oleh pedagang serta dapat menghidupkan dinamika kelembagaan kelompok tani melalui pemasukan dana hasil lelang. Dalam kesepakatan ditentukan antara penjual dan pembeli dikenakan biaya sebesar Rp 100/kg yakni untuk panitia lelang Rp 50 dan pemasukan kas kelompok tani Rp 50. Kelembagaan pasar lelang cabe merah di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo merupakan suatu infrastruktur pasar yang pada awalnya berdiri atas inisiatif petani untuk memperbaiki harga komoditas cabe merah. Kelembagaan ini tidak saja merupakan tempat transaksi jual beli, namun juga merupakan wadah yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pelaku agribisnis. Kegiatan pasar lelang bukan hanya memasarkan komoditas pertanian saja tetapi dilakukan juga kegiatan seperti sarana dan prasarana pengemasan, sortasi dan grading di tempat lelang. Kegiatan pasar lelang cabe merah di Kulon Progo sudah berlangsung sejak tahun 2004 dan cukup berkembang, sehingga pedagang sayuran dari luar kota sengaja datang untuk berbisnis di wilayah ini. Berikut ini disajikan hasil pelelangan cabe merah di kelompok tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel tahun 2004 (Tabel 1). Tabel 1. Frekuensi, Volume dan Nilai Penjualan Lelang Komoditas Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel Tahun 2004 Bulan
Frekuensi (kali)
Juni Juli Agustus September Oktober November Jumlah Rerata Sumber: Data primer, diolah
3 31 30 30 31 25 150 25
Volume (kg) 922 18.510 13.801 22.552 45.222 32.898 133.905 22.317
Nilai (Rp) 9.824,850 143.786.695 60.677.995 46.385.635 100.970.755 57.870.875 419.516.805 69.919.468
Rerata harga (Rp) 10.661,80 7.768,05 4.396,64 2.056,83 2.232,78 1.759,10 28.875 4.813
Kontribusi kas (Rp) 92.150 1.851.000 1.380.100 2.255.200 4.522.200 3.289.800 13.390.450 2.231.742
Panen cabe merah berlangsung sampai enam bulan yaitu mulai bulan Juni sampai dengan November pada periode musim tahun 2004. Volume penjualan mencapai 133.905 kg dengan nilai penjualan Rp 419.516.805. Harga rata-rata cabe merah selama pelelangan tahun 2004 mencapai Rp 4.813 dengan jumlah pedagang pengumpul yang mengikuti lelang sebanyak 7 orang. Jika dilihat dari capaian produksi
472
panen cenderung mengalami kenaikan setiap periode panen dan puncaknya dicapai pada bulan Oktober 2004 sebesar 45.222 kg dengan perolehan nilai jual sebesar Rp 100.970.755 dengan harga rata-rata Rp 2.232,78. Tingkat spekulasi dan strategi petani mulai berkembang baik untuk mengantisipasi perubahan harga, terbukti mereka sudah mampu mensiasati kebutuhan konsumen pada bulan-bulan tertentu (Juni-Juli) karena pasokan produk terbatas sehingga harga jual cabe tinggi mencapai Rp 10.661,80/kg, namun dalam periode tertentu untuk mengantisipasi kebutuhan pada hari-hari besar yakni seperti Hari Raya, Natal dan tahun baru harga cenderung turun karena pasokan produk yang berlimpah. Pengembangan kelembagaan kelompok lelang dilakukan dengan cara menyisihkan sebagian hasil lelang untuk kas kelompok, tiap 1 kg cabe yang dilelang dipotong Rp 100 untuk kas dan jasa pengurus. Pemasukan untuk kas dan jasa pengurus pada tahun 2004 sebanyak Rp 13.390.450 dengan rata-rata tiap lelang menghasilkan pemasukan Rp 2.231.742. Harga terendah cabe merah pada lelang bulan November 2004 dengan harga Rp 1.200/kg, sedangkan harga tertinggi tercapai pada bulan Juni sebesar Rp 11.760/kg (Tabel 2). Perbedaan ini diduga disebabkan pasokan produk di pasaran, pada saat kuantitas produk terbatas di pasar maka harga jual tinggi, sebaliknya pada saat produk berlimpah harga produk rendah. Tabel 2. Kisaran Harga Tertinggi dan Terendah Lelang Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel Tahun 2004 Kisaran Harga (Rp)
Bulan Juni Juli Agustus September Oktober November Sumer: Data primer, diolah.
Minimum
Maksimum
9.500 4.200 3.015 1.200 1.715 1.050
11.300 11.760 6.700 3.710 3.035 3.625
Hasil pelelangan cabe merah di kelompok tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel tahun 2005 (Tabel 3) Tabel 3. Frekuensi, Volume dan Nilai Penjualan Lelang Komoditas Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel Tahun 2005 Bulan
Frekuensi (kali)
Juni Juli Agustus September Jumlah Rerata Sumer: Data primer, diolah.
9 28 31 30 98 24,5
Volume (kg) 3.400,5 23.886 19.965 11.694 58.945 14.736
Nilai (Rp) 18.719.475 210.614.657 230.859.402 74.651.358 534.844.892 133.711.223
Rerata harga (Rp)
Kontribusi kas (Rp)
5.504,92 8.817,49 11.563,50 6.383,73 32.270 8.067
340.050 2.388.600 1.996.450 1.169.400 5.894.500 1.473.625
Panen cabe merah berlangsung sampai empat bulan yaitu mulai bulan Juni sampai dengan September pada periode musim tahun 2005 dengan frekuensi lelang selama 98 kali, menurun dari tahun 2004 sebanyak 150 kali. Jumlah pedagang pengumpul yang mengikuti lelang 10 orang, naik dari tahun 2004 sebanyak 7 orang. Volume penjualan mencapai 58.945 kg dengan nilai penjualan Rp 534.844.892, naik dari tahun 2004 dengan harga rata-rata cabe merah selama pelelangan mencapai Rp 8.067, lebih tinggi dari tahun 2004. Pemasukan untuk kas dan jasa pengurus pada tahun 2005 sebanyak Rp 5.894.500 dengan rata-rata tiap lelang menghasilkan pemasukan Rp 1.473.625 untuk kas kelompok dan jasa pengurus, lebih rendah karena volume produk yang terjual lebih sedikit dibanding tahun 2004. Harga terendah cabe merah pada lelang bulan September dengan harga Rp 2.720/kg, sedangkan harga tertinggi tercapai pada bulan Agustus sebesar Rp 15.200/kg (Tabel 4).
473
Tabel 4. Kisaran Harga Tertinggi dan Terendah Lelang Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel Tahun 2005 Bulan Juni Juli Agustus September Sumer: Data primer, diolah
Kisaran Harga (Rp) Minimum
Maksimum
3.210 5.540 3.000 2.720
5.500 11.565 15.200 13.150
Proses pelelangan pada dasarnya baru pada tahap pelaksanaan mempertemukan petani dengan para pedagang di pasar lelang. Petani secara individu atau petani yang diwakili oleh ketua kelompok tani membawa sampel komoditas cabe merah yang akan ditawarkan dan telah memenuhi kriteria termasuk grading kelas dan kualitas kepada panitia lelang. Penetapan harga sesuai dengan informasi harga terakhir yang dipantau oleh panitia pasar lelang sebelumnya dari harga yang berlaku di pasar induk ataupun pasar lokal. Selanjutnya para pengurus pasar lelang menawarkan kepada calon pembeli, diantaranya para pedagang lokal maupun pedagang besar dari luar seperti dari pasar induk Yogyakarta, Magelang, Temanggung, Kebumen maupun Semarang dengan sistem lelang tertutup yakni dengan mengumpulkan tawaran harga tertinggi dari pedagang dengan cara ditutup. Menurut Syahyuti (2004) pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial pokok, yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki paradigma, ideologi, nilai, norma, rule of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Tiga pilar yang dimaksud adalah pemerintah, komunitas dan pasar. Ketiganya direpresentasikan menjadi kekuatan politik, sosial dan ekonomi. Masing-masing memiliki peran tersendiri yang harus dijalankan secara ideal dan membentuk konfigurasi kekuatan ketiganya dalam membangun suatu sistem sosial. Dengan terbentuknya kelembagaan pasar lelang di tingkat kelompok tani, secara lambat laun terjadi perubahan sistem nilai sosial petani yang baik dan mampu memperbaiki struktur harga komoditas hortikultura seperti cabe merah. Dampak positif yang terjadi dari kelembagaan pasar lelang antara lain petani dapat menentukan harga yang layak, tingkat dinamika kelompok semakin tinggi, dapat menambah modal kelompok dan dapat meningkatkan akses komunikasi antar pelaku pasar baik pedagang lokal maupun pedagang dari luar kota. Model kelembagaan pasar lelang yang dilakukan petani merupakan kearifan lokal petani dalam upaya mewujudkan sistem bisnis yang lebih adil, fair dan transparan, sejalan dengan pendapat Prakosa (2002) yang menyatakan bahwa misi pembangunan pertanian diantaranya adalah memberdayakan masyarakat pertanian menuju wiraswasta agribisnis yang mandiri, maju dan sejahtera. Selanjutnya Prakosa (2002) menyatakan bahwa, ada dua fokus kebijaksanaan yang dapat ditempuh dalam pengembangan sektor pertanian yaitu 1) Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada kemampuan produksi, keragaman sumberdaya bahan pangan serta kelembagaan dan budaya lokal; dan 2) Mengembangkan agribisnis yang berorientasi global dengan membangun keunggulan kompetitif produk-produk daerah berdasarkan kompetensi dan keunggulan komparatif sumberdaya alam dan sumberdaya manusia daerah yang bersangkutan. Kebijaksanaan pengembangan agribisnis ditujukan dalam rangka menempatkan sektor pertanian dengan wawasan agribisnis sebagai poros penggerak perekonomian lokal, wilayah dan nasional. Pengembangan agribisnis dengan memposisikan petani sebagai wiraswasta agribisnis merupakan perwujudan dari pengembangan ekonomi rakyat. Pengembangan agribisnis pedesaan dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat dapat dilakukan melalui alternatif model pengembangan kelembagaan lelang komoditas yang mempertemukan penjual dan pembeli dengan penawaran kuantitas produk yang lebih besar dan kualitas produk yang telah diketahui. Dinamika harga dan aktivitas kelompok berkembang sesuai dinamika pasar. Berdasarkan hasil lelang cabe merah tahun 2004 dan 2005, pada tahun 2005 kuantitas penjualan menurun, tetapi nilai komoditas lebih tinggi terlihat dari rerata harga cabe merah hasil lelang lebih tinggi dari tahun sebelumnya, artinya daya tawar petani menjadi lebih kuat, harga terendah dan tertinggi lelang komoditas juga yang lebih baik dibanding tahun 2004. Meskipun demikian, pendapatan untuk kas kelompok dan jasa pengurus menurun dibanding sebelumnya karena volume produk yang dilelang lebih sedikit, alternatif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan volume komoditas yang dilelang dengan meningkatkan areal penanaman dan produktivitas tanaman. Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem pemasaran komoditas pertanian yang mengarah pada terwujudnya Stasiun Terminal Agribisnis (STA), kelemahan yang ditemui adalah sistem pembayaran tidak secara tunai (tunda). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan
474
dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan akses kelembagaan permodalan.
KESIMPULAN 1.
Kelembagaan pasar lelang merupakan suatu infrastruktur pasar, berfungsi sebagai tempat transaksi, jual beli sekaligus tempat kepentingan pelaku agribisnis.
2.
Pasar lelang merupakan struktur kelembagaan yang cukup penting di masa yang akan datang, dalam upaya mendorong pemasaran komoditas pertanian yang dihasilkan di berbagai wilayah yang semakin beragam, sekaligus menjadi kelembagaan pertanian yang dapat memberikan jaminan kepastian harga produk pertanian yang dipasarkan petani sebagai produsen, sehingga harga yang diterima dapat menguntungkan petani.
3.
Pasar lelang dapat menciptakan berbagai kegiatan di tingkat petani termasuk pemberdayaan petani melalui kelembagaan kelompok tani, dinamika kelompok, perbaikan pasar komoditas pertanian, menambah income (kas kelompok) sekaligus tambahan penghasilan pengurus atau panitia pasar lelang dan terjalinnya kelembagaan jaringan pasar yang baik dengan pedagang lokal maupun luar kota.
4.
Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem pemasaran komoditas pertanian yang mengarah pada terwujudnya stasiun terminal agribisnis (STA). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan akses kelembagaan permodalan.
DAFTAR PUSTAKA Anugrah, I.W. 2004. Pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA) dan Pasar Lelang Komoditas Pertanian dan Permasalahannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. FAE,Volume 22, No. 2, Desember 2004. Apriantono, A. 2004. Rujukan Profesional Agribisnis. Percaturan Pasar Domestik pada Peralihan Tahun. Majalah Hortikultura, Vol. 3. No.12. Kerlinger, N. Fred., 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nazir. 1995. Metode Penelitian. Ghalia. Indonesia Prakosa, M. 2002. Pendekatan Corporate Farming dalam Pembangunan Agribisnis. Analisis Kebijaksanaan: Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph Series No.22. Singarimbun, M. dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta. Syahyuti, 2004. Model kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian Di Lahan Lebak, Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
475
ANALISIS NERACA AIR LAHAN KERING PADA IKLIM KERING UNTUK MENDUKUNG POLA TANAM Sarjiman dan Mulyadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DI Yogyakarta
ABSTRAK Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia. Analisis ini membahas hubungan ketiga faktor tersebut untuk menurunkan resiko gagal panen di lahan kering. Survei lapang dan pengumpulan data dilakukan pada tahun 2005 di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunngkidul, D I Y. Analisis neraca air lahan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather. Hasil analisis menunjukkan bahwa musim tanam mulai bulan Nopember sampai April dan defisit air mulai bulan Mei sampai Oktober, sedangkan surplus air terjadi bulan Januari sampai Maret. Kata kunci: neraca air tanaman, lahan kering, pola tanam.
PENDAHULUAN Inventarisasi berbagai potensi alam termasuk faktor pembatas yang mungkin ada untuk menentukan kemampuan wilayah dan berbagai komoditas serta teknologi yang akan diterapkan merupakan tahapan perencanaan pembangunan pertanian. Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun pada kondisi tertentu dianggap sebagai faktor pembatas. Unsur iklim seperti curah hujan, suhu dan kelembaban sering menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat atas, karena sifatnya permanen dan sulit dimodifikasi, akibatnya dapat menutup peluang untuk pengembangan bagi komoditas tertentu (Sibuea dan Pramudia,1992). Penggunaan perhitungan neraca air lahan yang sekali gus menyajikan periode musim hujan atau kemarau, diharapkan dapat mencegah kesalahan yang mungkin terjadi dalam penetapan pola tanam (Abujamin, 2000). Lahan kering ditandai adanya sumber air untuk pertanian berasal dari curah hujan saja, sedangkan iklim kering dibatasi adanya jumlah curah hujan per tahun kurang dari 2000 mm. Sebaran dan tinggi hujan di lahan kering sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia. Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan salah satu model pola tanam. Paper ini membahas hasil analisis neraca air lahan untuk mendukung pola tanam di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul sebagai wilayah kering di Yogyakarta.
METODOLOGI PENELITIAN Survei pengumpulan data iklim dari stasiun pengamatan di kantor pengairan Kecamatan Semin meliputi temperatur rerata bulanan, curah hujan bulanan lebih dari 10 tahun dan pengambilan contoh tanah untuk analisis fisika di lboratorium tanah. Analisis fisika tanah berupa kadar air tanah kapasitas lapang dan titk layu permanen. Analisis neraca air lahan agroklimat untuk keperluan tanaman pertanian dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu neraca air umum, neraca air lahan dan neraca air tanaman (Abujamin 2000). Analisis neraca air menggunakan sistem tatabuku di Kecamatan Semin berdasarkan kadar air tanah (KAT) lebih kecil dari kapasitas lapang untuk setiap APWL (accumulation of point water loss) untuk tanah dengan nilai kapasitas lapang sebesar 300 mm/m. Langkah analisis data berdasarkan model neraca air dengan prinsip masukan (M) sama dengan pengeluaran (K). Asumsinya bahwa sumber air adalah murni curah hujan, kedalaman tanah hingga 100 cm homogen, evapotranspirasi (ETP) merupakan nilai maksimum lahan tanaman pertanian dan keluaran fungsi air hujan untuk ETP, meningkatkan kadar air tanah dan sisanya sebagai air bawah tanah ataupun aliran permukaan (run off). Prosedur analisis mengikuti persamaan sebagai berikut : M = K .......................................................................................................... (1) CH = ETP+S CH ........................................................................................... (2) CH = ETP+dKAT+S ...................................................................................... (3) S = CH-ETP-dKAT ..................................................................................... (4)
476
ETP ETP dasar ETA ETA
= (x/12)(Y/30)*ETP dasar ........................................................................ (5) = 16(10T/I)ª ............................................................................................. (6) = CH + |dKAT|; (jika CH>ETP) ............................................................... (7) = ETP; (Jika CH<ETP) ............................................................................ (8)
Di mana M = masukan, K = keluar, CH = curah hujan (mm/bulan), ETP = evapotranspirasi(mm/bulan), S = Surplus Surplus air dapat berupa genangan atau air perkolasi dKAT = perubahan kadar air tanah. Penentuan pola tanam berdasarkan periode tanam tersedia sesuai kebutuhan air dan iklim bagi tanaman (Pramudia dan Santosa, 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN Air merupakan bahan alami yang secara mutlak diperlukan tanaman dalam jumlah cukup dan pada saat yang tepat. Kelebihan ataupun kekurangan air mudah menimbulkan bencana. Tanaman yang mengalami kekeringan akan berdampak penurunan kualitas ataupun gagal panen. Kelebihan air dapat menimbulkan pencucian hara, erosi ataupun banjir yang memungkinkan gagal panen. Hasil analisis neraca air pada Tebel 1 menunjukkan bahwa total hujan selama setahun sebesar 1372 mm, dipergunakan untuk keperluan evapotranspirasi aktual (ETA) sebesar 1783 mm, sehingga terjadi defisit air sebsar 411 mm/tahun. Sebaran defisit air terjadi mulai bulan Mei sampai Oktober. Pada periode tersebut merupakan periode musim kemarau. Musim demikian memasuki kegiatan panen musim kedua dan dilanjutkan persiapan tanam untuk musim hujan berikutnya. Sistem olah tanah di lahan kering Gunungkidul lebih efisien dilakukan pada musim kemarau, karena tanah tidak melekat pada mata bajak dan pada kondisi lahan kosong/bero. Adanya defisit air pada periode tersebut petani peternak mengalami degradasi kekurangan pakan. Untuk mengatasi kekurangan pakan ternak, mereka mendatangkan pakan dari luar daerah atau menanam tanaman sela yang mempunyai perakaran dalam, seperti turi, lamtoro ataupun tanaman tahan kering seperti rumput setaria. Rerumputan ini umumnya bertahan sampai bulan Juni sedangkan tanaman turi bertahan sampai bulan Oktober. Pola tanam di lahan kering ini merupakan inovasi dan modifikasi manusia terhadap tekanan sumber daya iklim di lahan kering. Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai lebih dari 50 mm. Petani secara serempak menanam baik monokultur maupun tumpangsari. Persiapan lahan dilakukan pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun tidak terdapat kekosongan. Panen ubi kayu dilakukan pada musim kemarau dengan memanfaatkan sinar matahari untuk penjemuran gaplek dan pengolahan tanah. Limbah ubi kayu juga dimanfaatkan untuk menambah kebutuhan pakan ternak. Curah Hujan Curah hujan pada peluang 50% terlampaui menurut sebaran normal (Gambar 1) menunjukkan bahwa tiap bulan hampir ada hujan, meskipun demikian hujan yang jatuh tidak mencukupi untuk evapotranspirasi aktual (ETA). Berdasarkan sebaran hujan maka daerah Semin termasuk iklim D-3 ( 3 bulan basah dan 6 bulan kering berurutan). Rekomendasi Oldeman hanya satu kali tanam padi atau palawija dalam setahun. Berdasarkan analisis neraca air lahan ternyata dapat ditanam dua kali (Gambar 2). Penanaman dua kali melalui modifikasi penyesuaian ketersediaan kadar air tanah dan curah hujan serta kebutuhan air bagi tanamaan. Tinggi hujan di bawah evapotranspirasi merupakan bulan kering (musim kemarau). Evapotranspirasi aktual mengikuti sebaran hujan, karena kejadian transpirasi berkaitan dengan ketersediaan air tanah pada daerah perakaran. Jika terjadi penurunan kadar air tanah maka terjadi tahanan untuk proses evapotranspirasi. Selain itu pada musim kering kerapatan tanaman sudah berkurang atau sudah panen, dengan demikian transpirasi juga berkurang. Surplus sebesar 264 mm/tahun merupakan jumlah hujan dikurangi jumlah evapotranspirasi terjadi pada bulan Januari sampai Maret (Gambar 1). Surplus tersebut sebagian berbentuk aliran permukaan dan masuk ke sungai. Sebaliknya defisit kadar air tanah terjadi pada bulan Mei sampai Nopember (Gambar 2). Defisit terjadi karena jumlah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi potensiil, meskipun demikian cadangan air dalam tanah memungkinkan untuk kebutuhan tanaman, selama kadar air tanah pada kapasitas lapang. Kadar air tanah (KAT) di wilayah yang mempunyai musim kering akan mengalami penurunan. Air tanah dimanfaatkan untuk evapotranspirasi (ETA) maka apabila air tanah tidak disuplai oleh hujan akan mengalami defisit dan kondisi demikian disebut musim kemarau. Hasil analisis neraca air lahan periode defisit dimulai bulan Mei dan berakhir bulan Nopember.
477
mm
300
Ch rerata
ETP
ETA
250 200 150 100 50 0 Jan Feb M ar
Apr M ay Jun
Jul
Aug Sep Oct Nov Dec
Gambar 1: Neraca air lahan di Semin, Gunungkidul, Yogyakarta
Gora
Sawah
Bero dan olah tanah
TS - 1
TS - 2
Ubi kayu - olah tanah
TS - 1
Gambar 2: Neraca air dan alternatip pola tanam
478
Tabel 1. Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Menggunakan Sistem Tatabuku dengan Kadar Air Tanah Pada Kapasitas Lapang 300 mm/meter, Titik Layu Permanen 250 mm/meter, pada Peluang Hujan 50% Terlampaui
T (°C) CH (mm) I a ETP Dasar x/12 y/30 ETP (mm) CH-ETP APWL KAT d KAT ETA DEF S
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
26,80 254,26 12,70 3,94 139,11 1,04 1,03 149,50 104,76
27,50 244,55 13,21 3,94 154,08 1,03 0,93 148,12 96,43
27,80 229,05 13,43 3,94 160,85 1,00 1,03 166,21 62,84
300,00 0,00 148,12 0,00 96,43
300,00 0,00 166,21 0,00 62,84
27,60 70,77 13,28 3,94 156,31 0,99 1,03 159,91 -89,14 -123,14 198,00 -70,00 140,77 19,14 -19,14
27,60 47,91 13,28 3,94 156,31 0,98 1,00 153,19 -105,28 -228,42 139,00 -59,00 106,91 46,28 -46,28
25,80 27,46 11,99 3,94 119,65 0,98 1,03 121,16 -93,70 -322,12 102,00 -37,00 64,46 56,70 -56,70
26,00 4,76 12,13 3,94 123,37 0,98 1,03 124,93 -120,16 -442,29 68,00 -34,00 38,76 86,16 -86,16
27,00 15,18 12,85 3,94 143,27 1,00 1,00 143,27 -128,09 -570,38 44,00 -24,00 39,18 104,09 -104,09
27,50 73,11 13,21 3,94 154,08 1,02 1,03 162,40 -89,29 -659,67 32,00 -12,00 85,11 77,29 -77,29
27,70 138,74 13,36 3,94 158,57 1,03 1,00 163,33 -24,58 -684,25 30,00 -2,00 140,74 22,58 -22,58
26,60 145,27 12,56 3,94 135,04 0,98 1,03 136,75 8,52
300,00 0,00 149,50 0,00 104,76
27,60 120,92 13,28 3,94 156,31 0,99 1,00 154,75 -33,83 -34,00 268,00 -32,00 152,92 1,83 -1,83
300,00 270,00 136,75 0,00 -261,48
Tahunan 27,13 1371,97 155,30 47,33 1756,95 12,02 12,17 1783,51 -411,54 -3064,26 2081,00 0,00 1369,43 414,08 -411,54
Keterangan : I = indek panas bulanan; a = konstanta panas; x = panjang hari; y = jumlah hari dalam sebulan; ETP dasar = evapotrnspirasi potensiia dasar, CH = curah hujan, APWL= accumulation of potential water loss; KAT = kadar air tanah; dKAT = perubahan KAT; ETA = evapotrnspirasi aktual; DEF = defisit, S=surplus Rumus pendugaan ETA adalah : I = (T/5)1.514; I = i total Januari sampai Desember; a = 675 x 10-9 x I3 – 771 x 10-7 x I2 + 17922 x 10-5 x I + 49239 x 10-5; ETP dasar = 16(10T/I)ª dalam mm/bln; ETP = (x/12)(y/30)(ETP dasar); x = panjang hari(jam); y = jumlah hari dalam sebulan.
479
Pola Tanam Jumlah curah hujan 1372 mm/tahun mempunyai 3 bulan basah dan 6 bulan kering berurutan dan termasuk zone agroklimat D-3 Oldeman) sehingga direkomendasikan satu kali tanam per tahun. Hasil analisis neraca air lahan dapat bertanam dua kali per tahun, dengan modifikasi pola tanam Gogo rancah(gora) dan semai padi di luar lahan dan ditanam umur semai 17 hari. Pola tanam terpilih ada dua model, yaitu gogorancah(Gora) dilanjutkan sistem sawah dan selanjutnya bero dan persiapan gogo rancah lagi. Model kedua sistem tumpangsari (TS) maupun monokultur jagung. Rekayasa pola tanam merupakan hasil interaksi kebutuhan manusia terhadap ketersediaan dan potensiil sumber daya alam. Selama ini pola tanam yang dikembangkan oleh petani di Semin, Gunungkidul secara tumpangsari. Penaman dimulai pertengahan bulan Oktober sampai Nopember (tergantung tinggi hujan di atas 50 mm selama 10 hari). Berdasarkan analisis neraca air lahan (Gambar 2) penanaman pada musim pertama akan panen pada akhir bulan Januari, selanjutnya musim tanam ke dua dimulai bulan Februari dan panen awal bulan Mei. Pola tanam monokultur pada komoditas jagung dewasa ini mulai berkembang di lahan kering. Hasil analisis usahatani di lokasi Semin menunjukkan bahwa sistem monokultur jagung memberikan keuntungan sebesar Rp 223.000/1000 m². Sistem monokultur lebih diminati petani karena sistem budidayanya lebih seragam selain itu pemahaman dan pengamatan faktor iklim sudah mulai berkembang sesuai dengan komoditas yang diminati.
KESIMPULAN 1.
Surplus air hujan terjadi bulan Januari sampai Maret, dan defisit kadar air tanah dari kapasitas lapang terjadi pada bulam April sampai November.
2.
Pola tanam sistem monokultur atau gogo rancah dimulai bulan Oktober dan sistem sawah dimulai bulan Februari, selanjutnya bero dan persiapan tanam untuk musim berikutnya.
3.
Pola tanam sistem tumpangsari mulai bulan Oktober atau awal Nopember dengan komoditas ubi kayu, jagung, kacang tanah atau gogo pada musim tanam ke-I dan musim tanam ke-II mulai bulan Februari sistem sisipan tanaman pangan di antara ubi kayu dipanen bulan Mei, ubi kayu dipanen bulan Agustus.
DAFTAR PUSTAKA Abujamin A A. 2000. Penentuan penghitungan neraca air Agroklimat. Makalah disampaikan pada program pelatihan peningkatan dalam bidang Agroklimatologi Kerja sama antara Badan Litbang Pertanian, Deptan dan FMIPA-IPB. Bogor. 31 Agustus – 2 Nopember 2000. Tidak diterbitkan. 28 halaman Sibuea L H dan Pramudia A. 1992. Penggunaan Neraca air tanah di Pulau Timor Bagian Barat dan penggunaan untuk evaluasi tingkat kesesuaian lahan dengan studi kasus di daerah Besikama. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 512 – 521 Pramudia A dan Santosa I. 1992. Analisis periode tanam kedelai di daearah Semi-Arit Tropik. Stui kasus di daerah Segaranten Kabupaten Sukabumi. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 397-412
480
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SALAK PONDOH ORGANIK DI DESA MERDIKOREJO KECAMATAN TEMPEL KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sinung Rustijarno, Wiendarti I.W. dan Setyorini W. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Kecamatan Tempel merupakan salah satu sentra produksi salak pondoh di Kabupaten Sleman yang mampu memasok kebutuhan buah salak untuk pasar di dalam maupun luar Yogyakarta. Salak pondoh merupakan komoditas unggulan di Provinsi DIY. Tujuan pengkajian adalah mengetahui potensi dan peluang pengembangan usaha salak pondoh organik dengan pendekatan agribisnis. Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis Duri Kencana, Trumpon, Merdikorejo, Tempel, Sleman pada bulan April-Juni 2006. Metode yang digunakan adalah survai dan observasi lapang, analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota 89 orang, luas areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata 4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (rata-rata 1.192 rumpun/orang). Teknologi budidaya dan manajemen usaha diarahkan menggunakan pedoman budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan labelisasi produk serta menjalin kerjasama dengan mitra usaha. Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan dengan pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya alam dan perbaikan teknologi produksi menuju sertifikasi produk Prima 2. Kata kunci : pengembangan, agribisnis, salak pondoh, organik
PENDAHULUAN Salak merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang disukai dan memiliki prospek yang baik untuk diusahakan sebagai salah satu komoditas andalan dalam pengembangan agribisnis buah-buahan. Pada beberapa daerah, komoditas ini telah menjadi sumber pendapatan utama bagi petani dan juga telah diarahkan sebagai komoditas ekspor. Namun pada kenyataannya, produksi dan mutu buah salak Indonesia belum dapat diandalkan untuk menjadi primadona buah nasional. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh sistem pengelolaan kebun, cara budidaya, panen dan pasca panen yang belum sesuai dengan kaidah-kaidah budidaya yang baik dan benar. Di lain pihak, pada saat ini konsumen menuntut standar mutu produk prima dengan keamanan konsumsi yang terjamin. Kondisi ini perlu segera diantisipasi oleh produsen salak dengan cara menerapkan kaidah-kaidah budidaya yang baik dan benar, untuk menjamin mutu buah dan kemanan pangan Minat bagi pengembangan produk pertanian organik dengan menggunakan pendekatan konsep LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture) mulai berkembang di Indonesia selama dekade terakhir. Konsep tersebut berkembang dengan diterapkan teknologi pertanian organik pada berbagai komoditas pertanian termasuk tanaman buah-buahan. Berdasarkan data yang diperoleh, kondisi agribisnis buah-buahan di Indonesia mengalami peningkatan dalam jumlah produksi maupun ketersediaannya. Sasaran produksi buah-buahan tahun 2004 sebesar 13,94 juta ton dengan prognosa produksi 14,37 juta ton; sasaran produksi tahun 2005 sebesar 16,10 ton dan tahun sebesar 16,17 juta ton. Kualitas produk juga mengalami peningkatan dengan dipasarkannya buah-buahan di supermarket atau fruit shop. Meskipun demikian tingkat konsumsi buah masih rendah yaitu sebesar 30 kg/kap/th. Hal ini disebabkan karena secara umum tanaman buah belum dikelola secara optimal khususnya komoditas salak (Thamrin, 2005). Produksi tanaman buah-buahan di Kabupaten Sleman didominasi oleh tanaman salak terutama salak pondoh. Populasi tanaman salak pondoh menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 1999 populasi tanaman salak pondoh mencapai 2.378.305 rumpun, meningkat menjadi 2.940.943 rumpun dari total populasi salak sebanyak 3.508.407 rumpun pada tahun 2002. Kecamatan Tempel merupakan salah satu sentra produksi salak pondoh di Kabupaten Sleman yang mampu memasok kebutuhan buah salak untuk pasar di dalam maupun luar Yogyakarta. Salak pondoh merupakan komoditas unggulan di Provinsi DIY (Anonim, 2003). Dalam rangka menghasilkan salak sesuai dengan standar mutu, dibutuhkan suatu perencanaan proses produksi yang menjamin diperolehnya buah sesuai dengan standard mutu yang ditetapkan. Proses produksi tersebut meliputi suatu serangkaian norma produksi yang baik atau sering disebut dengan GAP (Good Agricultural Practice) SPO (Standard Procedure Operational) salak. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah Provinsi DIY telah mengambil kebijakan untuk menempatkan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan untuk memberdayakan masyarakat di pedesaan (Anonim, 2004). Kecamatan Tempel adalah salah satu sentra komoditas salak pondoh di Kabupaten Sleman
481
Provinsi DIY yang potensial untuk dikembangkan. Tulisan ini bertujuan mengetahui potensi dan peluang pengembangan usaha salak pondoh organik dengan pendekatan agribisnis.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis Duri Kencana, Dusun Salam Trumpon, Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman pada bulan April-Juni 2006. Metode yang digunakan adalah survai (Singarimbun dan Effendie, 1989).dan observasi lapang, analisis data dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1988). Data yang dikumpulkan meliputi sub sistem agribisnis (hulu, produksi, hilir dan kelembagaan penunjang). Aktivitas diagnosis meliputi review data sekunder, wawancara terstruktur dengan informan kunci dan kelompok tani serta observasi langsung di lapangan untuk mendapatkan gambaran usaha budidaya yang dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sumberdaya Pertanian. Lahan pertanian baik berupa sawah maupun tegalan mendominasi luas lahan fungsional yang ada di wilayah pengkajian. Luas lahan wilayah sebesar 42,475 ha terdiri dari 32,217 ha areal pekarangan dan 10,258 ha lahan sawah. tanah berpasir (tekstur kasar dan porous/baras). Ketinggian wilayah 500-700 m dari permukaan laut dan termasuk dataran medium. Curah hujan cukup tinggi sehingga ketersediaan air cukup baik. Jenis komoditas dominan yang diusahakan adalah salak pondoh dengan tiga varietas yaitu Salak Pondoh Super, Salak Pondoh Hitam dan Salak Pondoh Manggala, diselingi jenis lain yaitu salak pondoh Gading, Nglumut. Ayu dan Madu. Luas lahan yang digunakan untuk areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata 4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (rata-rata 1.192 rumpun/orang). Karakteristik Sumberdaya Manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota Klinik sebanyak 89 orang. Sebaran umur relatif beragam, petani yang mempunyai umur kurang dari 15 tahun sebesar 0%, petani yang berumur 15-64 tahun 85% dan petani yang mempunyai umur diatas 64 tahun 15%. Tingkat pendidikan petani yang tamat SD (30%); SMP (20%); SMA (40%) dan Perguruan Tinggi (10%). Mata pencaharian utama adalah sebagai petani (85%), pegawai negeri (10 %), swasta (5%). Ditinjau dari aspek usia rata-rata petani 47,55 tahun yang masuk kisaran produktif dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, dimungkinkan dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik perubahan secara individu maupun kelompok. Sistem Agribisnis Salak Pondoh. Sistem agribisnis dibedakan menjadi kelembagaan agribisnis hulu, usaha/produksi dan hilir. Kelembagaan agribisnis Klinik Teknologi Pertanian (Klinttan) Duri Kencana Sleman ditunjukkan pada Tabel 1.
482
Tabel 1. Kelembagaan Agribisnis Usaha Budidaya Salak Pondoh Klinik Teknologi Pertanian (Klinttan) Duri Kencana Sleman, D.I. Yogyakarta, 2006. No
Kegiatan
1.
Agribisnis hulu
Uraian a)
Bibit Sumber bibit berasal dari pembibitan oleh anggota sendiri Jenis bibit adalah : salak pondoh super, jenis lainnya salak manggala dan hitam
b)
Pupuk Pupuk berasal dari pupuk bokashi dan kotoran kambing Sumber pupuk bokashi bersertifikasi berasal dari perusahaan swasta; pupuk kambing dari daerah luar (Purworejo)
c) 2.
Agribisnis usaha
Obat-obatan Sumber penyedia obat dari anggota (biopestisida/agensia hayati) a) Lahan Lahan di kawasan budidaya salak status milik sendiri Luas areal lahan untuk budidaya salak 34,99 ha dengan rata-rata kepemlikian lahan 4.373,75 m2/orang Pengolahan lahan dilakukan dengan alat berat (Beck hoe) karena kondisi tanah keras, berbatu dan efisiensi tenaga b)
Skala Usaha Skala usaha 1.192 rumpun setiap anggota kelompok dengan jumlah populasi tanaman 106.050 rumpun
c)
Pembibitan Sistem pembibitan salak dilakukan dengan cara cangkok Media cangkok menggunakan tanah menggunakan wadah dari botol minuman kemasan atau botol infus
d)
Pemupukan Dosis pupuk yang diberikan 10 kg/tanaman diberikan pada enam bulan pertama setelah tanam. Frekuensi pemberian pupuk selanjutnya satu kali setahun, dengan dosis 10 kg/tanaman,
e)
3.
Agribisnis hilir
Penyakit Penanggulangan hama penyakit dilaksanakan secara preventif dan kuratif Langkah preventif dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan Pencegahan dan pengendalian hama penyakit ditangani sendiri dengan menggunakan cara mekanis dan biopestisida a) Panen dan Pasca Panen Panen dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Panen raya biasanya jatuh pada bulan Desember-Januari, panen sedang pada bulan Mei-Juni sedangkan panen kecil pada bulan Maret-April. Pemanenan dilaksanakan oleh pemilik lahan dan atau tenaga kerja luar keluarga b)
Pemasaran Pemasaran dilakukan langsung oleh anggota di rumah atau pedagang pengumpul Jaringan pemasaran meliputi pasar lokal dan luar wilayah
c)
Jaringan kelembagaan Jaringan kerjasama kelompok antara lain dengan BPTP Yogyakarta, PT Telkom, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pariwisata, Travel Biro Hubungan kerjasama dilakukan secara koordinatif dalam bentuk kerjasama Bentuk kemitraan kelompok antara lain : penelitian dan pengkajian, kredit lunak, sertifikasi produk, diseminasi teknologi dan lain-lain. Pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM yang telah dilakukan antara lain Sekolah Lapang Hama Penyakit Tanaman (SLPHT), SPO-GAP, komputer dan internet
483
Pengembangan kelembagaan yang dilakukan meliputi: (1) kelembagaan pemasaran (produk salak organik, target pasar); (2) kelembagaan petani/internal (pertemuan kelompok, arisan, pengajian), narasumber teknologi; (3) kelembagaan penelitian (pengaruh pupuk, pemangkasan pelepah, sistem pengairan pipa (SIP) dengan dinas, BPTP, direktorat tanaman buah, kelembagaan keuangan (BUMN, swasta, dinas) dan; (4) Kelembagaan kemitraan dalam pengkajian dengan instansi terkait (BPTP, Dinas, Direktorat) dan permodalan (Telkom, swasta) Sistem agribisnis salak pondoh Klinttan Duri Kencana tercantum dalam Gambar 1.
Teknologi : Alsintan, Pupuk, Pestisida alami, bibit, pengairan, permodalan dst
Pestisida alami
Pemupukan Bibit
SDA, SDM Loka l
Modal
Pengolaha Distribusi
Hilir
ON FARM
Hulu
Pupuk organik
HPT Pengairan
Alsintan
Sertifikasi mutu
Budidaya
VISI
Promosi
PERTANIAN ORGANIK Jasa pendukung : Pemasaran, perkreditan, litbang
Gambar 1. Sistem agribisnis salak pondoh Klinttan Duri Kencana Trumpon Sleman, D.I. Yogyakarta, 2006
Diseminasi Teknologi. Diseminasi teknologi dilakukan oleh kelompok Klinttan Duri Kencana dengan melakukan penyebarluasan teknologi kepada pengunjung yang datang ke lokasi budidaya salak pondoh. Kunjungan tamu selama periode Januari-April 2006 (Gambar 2) mencapai 618 orang dengan komposisi menurut jenis profesi adalah petani sebanyak 7 orang (1,13%), swasta sebanyak 72 orang (11,65%), mahasiswa/pelajar sebanyak 417 orang (67,48%) dan dinas/instansi sebanyak 122 orang (19,74%). Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana Tahun 2006 417
500 400
Petani
300
Swasta
Orang
122
200 100
72
Mhsw/ pelajar Dinas/instansi
7
0 2006
Gambar 2.
Kunjungan tamu berdasarkan profesi tamu Klinttan Duri Kencana Sleman, D.I. Yogyakarta, Januari-April 2006
Berdasarkan asal tamu yang berkunjung ke Klinttan Duri Kencana, selama periode Januari-April 2006 tercatat sebanyak 615 orang (99,51%) berasal dari dalam negeri dan 3 orang (0,49%) dari luar negeri
484
(Gambar 3). Tujuan kunjungan tamu antara lain (1) mengetahui sistem budidaya salak pondoh organik; (2) wisata agro; (3) studi banding; (4) penelitian dan pengkajian; (5) bantuan permodalan/perkreditan; (6) kerjasama pemasaran dan; (7) pelatihan/magang. Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana Tahun 2006
615 700 600 500 Luar Negeri
400
Dalam negeri
300 200 100
3
0 2006
Gambar 3. Kunjungan tamu berdasarkan asal tamu Klinttan Duri Kencana Sleman , D.I. Yogyakarta, Januari-April 2006
Pemanfaatan lahan untuk budidaya salak perlu memperhatikan aspek budidaya pertanian berkelanjutan dengan memperhatikan aspek keruangan dan pelestarian lingkungan antara lain penggunaan pupuk organik, pengembalian seresah ke tanah, pola distribusi air yang memadai dan aspek konversi lahan untuk peruntukkan lain. Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat membawa dampak yang sangat luas bagi keseimbangan lingkungan. Kandungan bahan organik tanah sangat berpengaruh terhadap kapasitas memegang air di dalam tanah (water holding capasity). Jika kandungan bahan organik rendah maka akan mengakibatkan daya menahan air di dalam tanah menjadi rendah sehingga potensi cadangan air di wilayah tersebut akan mengalami penurunan, yang akan berakibat terhadap kelangsungan budidaya tanaman salak karena salak memerlukan pasokan air yang cukup banyak dan kelembaban yang tinggi (Thamrin et al., 2004). Rendahnya kandungan bahan organik tanah dapat pula menurunkan stabilitas agregat tanah. Penurunan stabilitas agregat tanah dapat meningkatkan erosi tanah yang akan membawa implikasi yang luas dan sangat buruk terhadap kualitas lingkungan. Banjir di daerah hilir dan kekeringan di daerah hulu disebabkan oleh kandungan bahan organik yang rendah, stabilitas agregat tanah yang rendah dan erosi air yang tinggi karena air di daerah hulu tidak dapat ditahan oleh tanah. Konversi lahan untuk peruntukkan non pertanian dapat dilakukan untuk lahan-lahan yang tidak produktif sehingga aspek ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga. Teknologi budidaya dan manajemen usaha salak pondoh diarahkan menuju produk organik dengan menggunakan pedoman budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan labelisasi produk serta menjalin kerjasama dengan mitra usaha. Salak Sleman merupakan satu-satunya contoh penerapan SPO salak yaitu pada Kelompok Tani Salak Pondoh (KLINTTAN) Duri Kencana dan telah mendapatkan sertifikat klasifikasi mutu salak pondoh Prima 3. Strategi pengembangan usaha agribisnis dapat dioptimalkan dengan melakukan pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya alam dan perbaikan teknologi produksi menuju sertifikasi produk Prima 2.
KESIMPULAN Praktek usahatani salak pondoh di lokasi pengkajian sudah berkembang maju. Potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan sangat mendukung berkembangnya agribisnis salak pondoh. Kelembagaan kelompok tani menunjukkan bahwa jumlah petani anggota Klinik sebanyak 89 orang, luas areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata 4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (ratarata 1.192 rumpun/orang). Teknologi budidaya dan manajemen usaha diarahkan menggunakan pedoman budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan labelisasi produk serta menjalin kerjasama dengan mitra usaha. Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan dengan pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya alam dan perbaikan teknologi produksi menuju sertifikasi produk Prima 2.
485
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Penentuan Komoditas Unggulan Nasional di Propinsi dan Spesifik Daerah. Tim Asistensi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Anonim. 2004. Sambutan Gubernur DIY pada Seminar Nasional Hasil-hasil penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian 28 Agustus 2004. Proc. Seminar Nasional Penerapan dan inovasi Teknologi dalam Agribisnis sebaga\i upaya Pemberdayaan Rumahtangga Tani. Yogyakarta. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Singarimbun, M. dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Thamrin, M., B. Sudaryanto, R. Kaliky. 2004. Laporan Pemanfaatan Pelepah Salak Sebagai Bahan Baku Kertas Seni. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman. Yogyakarta. Thamrin, M. 2005. Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Good Agricultural Practises (GAP) Pada Budidaya Salak Pondoh. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Peningkatan Mutu Salak Melalui Penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Good Agricultural Practises (GAP). Denpasar 6-9 Juni 2005.
486
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN PADA HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI DESA BLEBERAN KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Wiendarti Indri W., Setyorini Widyayanti dan Sinung Rustijarno Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah dataran tinggi dengan tipe lahan kering beriklim kering. Komoditas dominan yang diusahakan di kawasan hutan kemasyarakatan adalah tanaman pangan (jagung, ubi kayu, dan kacang tanah). Tujuan pengkajian adalah mengetahui potensi dan peluang pengembangan usahatani tanaman pangan sebagai tanaman sela hutan jati dengan pendekatan agribisnis. Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal”, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul pada bulan Januari – April 2006. Metode yang digunakan adalah survai dan observasi lapang, analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota 167 orang, meningkat 76%, luas areal HKm 135 ha dari semula 40 ha (naik 66%). Teknologi budidaya (on farm) diarahkan menuju pola integrasi tanaman-ternak dengan pemanfaatan pupuk organik dari ternak sapi. Diseminasi teknologi terlihat dari frekuensi kunjungan tamu pada tahun 2005 mencapai 100 orang dan periode JanuariApril 2006 sebanyak 77 orang atau naik 287% dalam periode yang sama. Pengembangan agribisnis off farm diarahkan menuju agroindustrial pedesaan melalui pengolahan/pasca panen produk pertanian. Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, pengembangan kelembagaan petani, optimalisasi potensi sumberdaya alam, perbaikan pemasaran, kelembagaan permodalan dan perbaikan teknologi produksi. Kata kunci : pengembangan, agribisnis, hutan kemasyarakatan
PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan wilayah seluas 318.580 ha terdiri dari lahan sawah, tegal, pekarangan dan hutan serta terbagi menjadi wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten di wilayah DIY memiliki wilayah seluas 1.485,32 km² merupakan daerah dataran tinggi kapur dengan tipe lahan kering beriklim kering. Bertambahnya jumlah penduduk dan kondisi lahan kritis yang miskin unsur hara tanaman, serta meningkatnya kebutuhan hidup terhadap kebutuhan pangan telah mendorong masyarakat tani di kawasan hutan Gunungkidul untuk memanfaatkan hutan kemasyarakatan (HKm) untuk bercocoktanam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut lembaran daerah Gunungkidul (2003), pemanfaatan hutan kemasyarakatan dengan mengelola hutan negara diperkenankan dengan tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan dan tetap menjaga kelestarian ekosistem didalamnya (Septiaji dan Fuadi, 2004). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan kemasyarakatan diantaranya dengan menanam tanaman pangan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pokok (tanaman jati, mahoni, sengon). Luas hutan kemasyarakatan yang telah dimanfaatkan di Kabupaten Gunungkidul hingga tahun 2005 mencapai 4.000 ha dan saat ini telah dikelola oleh 35 kelompok tani dengan jumlah anggota resmi sebanyak 6.000 orang. Komoditas pertanian yang telah diusahakan di kawsan hutan adalah tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, ubi kayu dan kacang tanah yang ditumpangsarikan diantara tanaman jati muda berumur kurang dari 1 tahun dengan menggunakan teknologi anjuran spesifik lokasi hasil pengkajian BPTP. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui potensi dan peluang pengembangan tanaman pangan sebagai tanaman sela hutan jati dengan pendekatan agribsinis.
METODOLOGI Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal” di dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DIY yang termasuk dalam wilayah kawasan hutan kemasyarakatan. Pengkajian ini menggunakan metode survai (Singarimbun dan Effendie, 1989) dan observasi lapang, yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2006. Jumlah sampel sebanyak 30 responden anggota klinik yang ditentukan dengan metode acak sederhana (sample random method). Data yang terkumpul selanjutnya di analisis secara komprehensif dari permasalahan yang dihadapi, analisis data dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1995).
487
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Karakteristik Sumberdaya Pertanian
Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal” berada di kawasan hutan kemasyarakatan petak 86 RPH Menggoran, BDH Playen dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Gunungkidul (Anonimous, 2005). Topografi lahan di kawasan hutan kemasyarakatan berkisar antara daerah datar sampai berlereng dengan kemiringan 0 – 15% sampai dengan kemiringan 30 – 40%. Ketebalan lapisan tanah umumnya relatif tipis rata-rata sekitar 15 cm, dan di daerah puncak bukit lebih didominasi dengan batu kapur, sehingga tanaman pangan tidak dapat tumbuh dengan baik (Hanafi et al., 2005). Pada saat sebelum tahun 1999, wilayah hutan ini masih dalam kondisi baik dan ditumbuhi pepohonan jati yang siap panen. Pada tahun 1999 – 2000 telah terjadi penebangan hutan besar-besaran di wilayah hutan negara sehingga banyak yang menjadi gundul yang berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar karena tidak lagi dapat merumput, menggembala, mencari kayu bakar dan keberadaan sumber air yang menurun jumlah dan volume debitnya. Sejak tahun 2002, KT ”Tani Manunggal” mengajukan ijin menggunakan lahan HKm untuk bercocok tanam dan telah mengelola lahan sela tersebut dengan tanaman pokok padi, jagung dan kacang tanah dengan teknologi tradisional atau seadanya. Ijin penggunaan lahan sementara telah dikeluarkan dari Bupati Gunungkidul pada tahun 2003. Introduksi teknologi tumpangsari spesifik lokasi dilakukan sejak tahun 2003 dan melalui wadah Klinik Teknologi dan Agribisnis pada tahun 2004, usaha pengembangan tanaman panagan dengan memanfaatkan lahan hutan kemasyarakatan terus dilakukan. Kawasan hutan kemasyarakatan Bleberan hingga saat ini telah dikelola dengan cukup baik. Hal ini terlihat dengan terus bertambahnya luas areal pengelolaan hutan kemasyarakatan dari 40 ha menjadi 200 ha atau meningkat sebesar 80%, (Tabel 1). Pertambahan luas areal pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut terjadi karena bertambah pula jumlah anggota kelompok dari keanggotaan semula 40 orang menjadi 167 orang atau meningkat 76%. Bertambahnya jumlah anggota menunjukkan kesadaran warga tani untuk berkelompok dengan tujuan memecahkan permasalahan usahatani yang mereka hadapi secara bersama-sama. Melalui kelompok disepakati untuk lebih mengoptimalkan fungsi hutan kemasyarakatan dengan menanam tanaman pangan (jagung, ubi kayu, dan kacang tanah) diantara tanaman jati muda dengan menggunakan teknologi yang dianjurkan. Dengan demikian diperoleh dua keuntungan yaitu terjaganya fungsi hutan kemasyarakatan dan terpenuhinya kebutuhan pangan warga dikitar hutan kemasyarakatan. Tabel 1. Peningkatan Luas Areal Pengelolaan HKm dan Jumlah Keanggotaan Klinik ”Tani Manunggal” Dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Playen, Gunungkidul, 2005.
2.
Tahun
Lokasi
Jumlah anggota
Luas areal (ha)
1997 2002 2003 2004 2005
Menggoran II Menggoran II Menggoran II Menggoran II Menggoran II
40 97 100 157 167
40 40 135 200
Karakteristik Sumberdaya Manusia
Menurut tingkat pendidikan (Gambar 1), anggota Klinik ”Tani Manunggal” penggarap hutan kemasyarakatan terdiri dari 60% berpendidikan sekolah dasar (SD), 10% berpendidikan menengah (SLTP), 27% berpendidikan SLTA dan 3% berpendidikan Sarjana. Walaupun tingkat pendidikan anggota relatif rendah, namun pengelolaan hutan kemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh pengaruh figur/sosok pimpinan yang kharismatis yang dihormati oleh anggota diantaranya karena berpendidikan paling tinggi (sarjana), kemampuannya dalam memimpin dan kebiasaan saling tolong menolong dan bergotongroyong yang erat sebagai kearifan lokal, sehingga setiap kebijakan dan keputusan selalu dikomunikasi bersama, dapat diterima dan disepakati bersama. Sebaran umur anggota relatif beragam yaitu terdiri dari 20% berusia 23 – 37 tahun, 67% berusia 38 – 51 tahun dan 13 % berusia 52 – 65 tahun. Melihat sebaran umur yang sangat beragam anggota Klinik Tani Manunggal penggarap hutan kemasyarakatan didominasi oleh anggota berumur cukup produktif (38 – 51 tahun). Sebaran usia tersebut masih cukup produktif dan mampu menerima inovasi teknologi dengan bertanggungjawab, sehingga masih dimungkinkan untuk melakukan introduksi teknologi dan upaya pengembangan usahatasni bidang pertanian ke arah industri pedesaan.
488
kategori pendidikan
kategori umur sangat tua ; 13%
muda; 20%
cukup tua; 67%
SLTA 27%
Sarjana 3%
SLTP 10%
SD 60%
Gambar 1. Grafik keragaman karakteristik responden yang diamati di Desa Bleberan, Pasyem, Gunung Kidul, 2005
Sumberdaya manusia yang cukup potensial dan belum sama sekali tersentuh dan dimanfaatkan selama ini adalah potensi para ibu-ibu petani (istri petani). Pemberdayaan perempuan dilakukan melalui pembentukan kelompok perempuan bidang usaha pemasaran hasil pengolahan pangan non beras. Usia ibuibu yang relatif muda dalam kelompok perempuan ini (20 – 40 tahun) sangat potensial untuk mendapatkan bimbingan dalam upaya meningkatkan nilai tambah komersial produk pertanian hasil usaha pertanian. Peranan kelompok perempuan ini sangat penting dalam mengembangkan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga. 3.
Strategi Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan
Dalam pengembagan agribisnis tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan hutan kemasyarakatan, organisasi klinik teknologi dan agribisnis menerapkan beberapa strategi pengembangan a) Meningkatkan kapasitas koperasi yang telah dirintis dengan legalitas (berbadan hukum) dengan unit usaha : Unit Sarana Produksi, Unit Simpan Pinjam, Unit usaha Peternakan dan Pertanian, Unit Usaha Industri Kecil Embrio koperasi yang telah ada, dipercepat untuk menjadi berbadan hukum dengan organisasi yang ditetapkan sesuai kebutuhan. Melalui koperasi yang telah berbadan hukum ini akhirnya bisa mendapat bantuan modal untuk simpan pinjam sebesar 50 juta rupiah dari Dinas Perekonomian Pemda Gunungkidul. Mendapat kepercayaan dari berbagai pihak (swasta) untuk memasarkan hasil dan kemudahan mendapat sarana produksi. b) Peningkatan kapasitas SDM dengan pelatihan dan kunjungan/magan Peningkatan kapasitas SDM selain untuk meningkatakan kemampuan berorganisasi memperkuat unit koperasi dan mengelola kelompok, juga pelatihan teknis seperti SLPHT dalam pembuatan biopestisida, pelatihan dan kunjungan ke unit industri pengolahan bahan produk pertanian untuk meningkatkan nilai tambah komersial bahan pangan bagi perempuan tani dalam pengembangan industri kecil, kunjungan ke unit pengolahan pupuk organik bagi petani unit usaha pupuk. c)
Penggunaan teknologi anjuran spesifik lokasi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan dan pengolahan hasil panen Penggunaan teknologi pola-tanam tumpangsari tanaman pangan-jati muda Teknologi pola-tanam tumpangsari untuk mendapatkan pola tanam yang produktif diarahkan menuju pola integrasi tanaman-ternak dengan memanfaatkan pupuk organik dari kotoran ternak sapi yang telah diolah terlebih dahulu dan penggunaan benih berkualitas. Teknologi pola-tanam tumpangsari yang dianjurkan adalah tumpangsari jagung - kacang tanah - ubi kayu - jati muda umur 1 tahun. Usahatani tanaman pangan pola tumpangsari dilakukan pada awal musim hujan dengan menanam benih pada saat menjelang hujan turun (tanam ngawu-awu). Penanaman diawali dengan penanaman singkong, kemudian penanaman benih jagung dengan jarak tanam 75 x 45cm, kemudian benih kacang tanah dengan jarak tanam 20 x 20 cm ditanam di sela-sela tanaman jagung. Pada tahun 2004 pola tumpangsari yang dilakukan dengan menggunakan benih jagung P-11 dengan sumbangan hasil tumpangsari yang diberikan sebesar 1,5 ton/ha. Kacang tanah varietas lokal dengan memanfaatkan lahan 2/3 bagian dengan hasil rata-rata yang disumbangkan dari pola tumpangsari inisebesar 1,5 ton/ha. Sumbangan dari ubi kayu sebesar rata-rata 3 ton/ha. Demikian juga pada tahun 2005 pola penanaman tumpangsari jagung - kacang
489
tanah dan ubi kayu juga tetap dilakukan dengan menggunakan jagung varietas BISMA dan P-11. Pada tahun 2005, produksi jagung varietas BISMA mencapai 7 ton bobot basah dari luasan 2 ha. Penggunaan teknologi pembuatan pupuk organik dan bio-pestisida Berdasarkan hasil survai, jumlah ternak sapi yang dimiliki oleh kelompok berjumlah 333 ekor sapi yang masing-masing terdiri dari keturuanan Simental, Peranakan Ongole (PO) dan Limosin dan 5 ekor kambing. Masing-masing anggota rata-rata memiliki 2 ekor sapi potong. Petani anggota Klinik ”Tani Manunggal” sebagian masih memelihara ternak sapinya untuk mencukupi kebutuhan usahatani di hutan kemasyarakatan sebagai penyedia pupuk kandang. Teknologi pembuatan pupuk organik telah sangat dikuasai kelompok namun baru diterapkan oleh sebagian anggotanya yang telah memahami pentingnya kualitas dan efisiensi penggunaan pupuk. Selain teknologi pengolahan pupuk organik, anggota klinik telah pula dilatih menerapkan teknologi pembuatan Bio-pestisida untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan kembali menggunakan pestisda alami dalam pengembangan usaha agribisnis tanaman pangan. Penggunaan teknologi pembuatan Complete Feed Mengingat daerah Gunungkidul merupakan lahan kering, salah satu permasalahan yang harus diatasi adalah pemenuhan kebutuhan pakan ternak di musim kemarau. Introduksi teknologi pembuatan Complete Feed yang telah dilakukan sejak tahun 2003 melalui kegiatan pengkajian dengan memanfaatkan limbah panen tanaman pangan seperti tongkol jagung, kulit kacang tanah, maupun kulit dan batang singkong telah diterapkan dan dikembangkan oleh anggota klinik untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi pada musim kemarau. Pakan lengkap ini mampu mengatasi permasalahan petani dan dalam perkembangannya, selain digunakan sendiri, pembuatan Complete Feed ini menjadi usaha komersial yang diperdagangkan pula oleh Klinik. Penggunaan teknologi pengolahan/pasca panen hasil pertanian Pengelolaan hutan kemasyarakatan di dusun Menggoran II, Desa Bleberan dengan pola tanam tumpangsari tanaman pangan dengan tanaman jati mampu memberikan hasil produksi melimpah. Produksi hasil pertanian baik kacang tanah, jagung, dan ubi kayu yang melimpah sebagian diolah sebagai bahan olahan pangan non beras untuk meningkatkan nilai tambah komersial. Melalui wadah organisasi klinik, teknologi pengolahan pasca panen produk pertanian diberikan kepada ibu-ibu dalam mengembangkan usaha agribisnis off farm yang mengarah pada agroindustrial pedesaan. Kegiatan ini mampu menarik 16 orang ibu-ibu yang berinisiatif memberdayakan peran perempuan untuk melakukan suatu kegiatan yang produktif yang dapat menambah pendapatan keluarga dengan membentuk kelompok usaha industri rumah tangga. Produk olahan pangan yang telah dihasilkan dan dipasarkan antara lain : keripik singkong, keripik ubi, peyek, enting-enting kacang tanah, dan emping jagung. Pada pertengahan tahun 2005 kegiatan ini mampu menarik anggota baru hingga mencapai 20 orang dan awal tahun 2006 kelompok ini bertambah menjadi 23 orang ibu-ibu (naik 42%). Produk-produk olahan tersebut mempunyai potensi yang cukup baik untuk dijual ke pasaran. Permintaan produksi olahan pangan terus meningkat dari waktu ke waktu. Pemasaran dilakukan di pasar lokal, tradisional desa, kecamatan dan dalam wadah temu usaha lintas klinik di tingkat provinsi. d) Menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak Berdasarkan hasil survai, organisasi klinik telah melakukan jalinan kerjasama pemasaran dengan berbagai pihak. Kerjasama banyak dilakukan melalui media temu usaha dan kunjungan/studi banding baik yang datang ke lokasi maupun pada saat melakukan studi banding keluar. Diantaranya dengan PT. Pusri dan Bulog untuk memasarkan produk jagung. Kerjasama dilakukan dengan swasta dalam penyediaan sarana produksi untuk unit usaha saprodi. Sebagaimana tim pembina dalam struktur organisasi, organisasi klinik juga telah memanfaatkan berbagai kelembagaan yang ada untuk mengembangkan organisasi dan kegiatannya. Dari kelembagaan permodalan, diperoleh bantuan pinjaman modal dari dinas Sosial Gunungkidul untuk pengembangan sapi potong sebanyak 8 paket masing-masing paket bernilai Rp 3.500.000,-. Diperolehnya pinjaman modal dari Dinas perekonomian Gunungkidul sebanyak Rp 50.000.000,- untuk pengembangan simpan pinjam di unit koperasi. e)
Penyebaran informasi teknologi dan produk pertanian Penyebaran informasi teknologi juga menjadi salah satu peluang keberhasilan klinik Tani Manunggal. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengamatan secara deskriptif diketahui bahwa
490
frekuensi kunjungan tamu periode tahun 2005 hingga awal 2006 meningkat tajam. Kunjungan tamu diantaranya berasal dari 10,2% dinas baik dari luar pulau Jawa, 35% dinas dari pulau Jawa, 0,56% berasal dari Pusat Penelitian Pertanian (Puslitan), 1,13%dari Direktorat Jenderal Pertanian, 0,56% dari BPTP luar Yogyakarta, 11,29% swasta, 9,04% mahasiswa dan 1,13% petani. Pada tahun 2005 kunjungan tamu ke Klinik Tani Manunggal mencapai 100 orang dan pada awal tahun 2006 periode Januari hingga April kunjungan tamu mencapai 77 orang atau mengalami peningkatan sebesar 87%. Tamu yang berkunjung ke Klinik Tani Manunggal biasanya bertujuan untuk mengetahui kondisi ataupun keberhasilan teknologi pertanian di lahan kering, studi banding, maupun mengikuti pelatihan pengelolaan dan modal kelembagaan hutan kemasyarakatan. Selain kunjungan tamu, klinik telah pula dipercaya sebagai fasilitator pelatihan bagi kelompok tani kehutananan se-Gunungkidul. Klinik diminta untuk mengajarkan mengenai berbagai teknologi anjuran yang diterapkan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan penanaman tanaman pangan yang telah diterapkan di kawasan hutan dengan pola tumpangsari dan pengelolaan hutannya. Sekitar 35 kelompok atau 350 orang petani telah dilatih mengenai berbagai teknologi anjuran yang telah dikuasai oleh seluruh anggota klinik, antara lain pembuatan Complete Feed, pola integrasi ternak-tanaman dengan pola tanam tumpangsari tanaman pangan – tanaman jati dan penanganan atau pengolahan pasca panen hasil pertanian.
KESIMPULAN 1.
Pemanfaatan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraannya. Klinik Tani Manunggal yang sebagian besar anggotanya adalah petani penggarap hutan kemasyarakatan sangat antusias dalam mengusahakan pertanian di hutan kemasyarakatan.
2.
Beberapa kemajuan yang diperoleh diantaranya adalah bertambahnya keanggotaan kelompok sebesar 76% dari jumlah awal 40 orang menjadi 167 orang. Luas aeral hutan kemasyarkatan meningkat sebesar 80% (dari 40 ha - 200 ha), dan peningkatan kemampuan perempuan tani dalam pengelolaan pasca panen produk usahatani, dan penggunaan teknologi anjuran spesifik lokasi. Adopsi teknologi mencakup pengelolaan tumpangsari tanaman jagung, ubi kayu dan kacang tanah yang hasil panennya dikembangkan menjadi usaha agribisnis industri pedesaan seperti pembuatan complete feed, pupuk organik, biopestisida, maupun pengolahan produk menjadi produk bahan pangan non beras. Kemajuan diikuti pula oleh kemampuan menyebarluaskan informasi pertanian kepada tiap tamu yang berkunjung.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2005. Pengembangan Koperasi dengan Unit Usaha Kecil Dalam Pengelolaam HKm BPS, 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Stasistik Yogyakarta. Hanafi, H. Soeharsono, dan Kurnianita, 2005. Pengembangan Kelembagaan Dan Perubahan Sosial Petani Di Kawasan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional BPTP Yogyakarta – LIPI – UGM. Implementasi Hasil Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta 10 September 2005. Nazir, 1995. Metode Penelitian. Ghalia. Indonesia. Septiaji, D. dan F. Fuadi, 2004. HKm Meretas Jalan. Konsorsium Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (KPHKm) Kabupaten Gunungkidul. Singarimbun dan S. Effendie, 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
491
KERAGAAN KONVERSI LAHAN SAWAH UNTUK SALAK PONDOH DI KECAMATAN TEMPEL KABUPATEN SLEMAN Setyorini Widyayanti, Rahima Kaliky dan M.Thamrin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Salak pondoh telah mendominasi penggunaan lahan pertanian produktif di Kecamatan Tempel Kabupaten Sleman. Tujuan penelitian untuk mengetahui keragaan populasi salak pondoh dan alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke salak pondoh di Kecamatan Tempel. Penelitian dilakukan di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel pada bulan Agustus-September 2005, dengan metode survai. Penentuan lokasi dan sampel petani dengan metode acak sederhana (random sampling), jumlah responden sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan, luas panen salak pondoh di kecamtan Tempel pada tahun 1999 adalah 473.493 rumpun, dan pada tahun 2004 menjadi 1.612.250 rumpun. Kondisi ini mengakibatkan terjadi pergeseran alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke hortikultura (salak pondoh) sebesar 1.56% dimana pada tahun 1999 luas lahan Kecamatan Tempel seluas 1753 ha dan pada tahun 2004 menjadi 1.721 ha. Kata kunci : konversi, lahan sawah, salak pondoh
PENDAHULUAN Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki wilayah seluas 3.185,80 km² yang terbagi dalam empat wilayah kabupaten dan satu wilayah kota. Salah satu kabupaten diantaranya adalah Sleman. Kabupaten Sleman meliputi wilayah seluas 574,82 km² yang membentang mulai 107° 15‟ 03” sampai dengan 100° 29‟ 30” Bujur Timur, dan 7° 34‟ 51” sampai 7° 47‟ 03” Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Klaten disebelah timur, Kabupaten Bantul di sebelah selatan serta Kabupaten Kulonprogo di sebelah barat (BPS, 2002). Berdasarkan letak topografinya Kabupaten Sleman berada pada ketinggian 100 sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kabupaten Sleman bagian selatan merupakan daerah dataran rendah, sementara wilayah Kabupaten Sleman bagian utara merupakan daerah perbukitan dengan batas akhir lereng Gunung Merapi yang merupakan kawasan yang memiliki kesuburan tanah tinggi dan kaya akan sumberdaya air (Anonimus, 2005). Karenanya wilayah lereng Gunung Merapi sangat sesuai untuk budidaya pertanian baik tanaman pangan maupun hortikultura, salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan adalah salak pondoh. Tanaman buah salak pondoh (Sallacca zallaca L. „Pondoh‟) (Purnomo, 2001) merupakan tanaman buah yang menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi wilayah Kabupaten Sleman. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS DIY, pada periode tahun 2003 – 2004 produksi salak di DIY mengalami peningkatan signifikan sebesar 55.8%. Terbukti dari jumlah rumpun salak sebesar 3.933.050 rumpun pada tahun 2003 yang mampu menghasilkan 310,461 ton menjadi 4.651.545 rumpun pada tahun 2004 dengan hasil produksi sebesar 702,71 ton. Jumlah populasi dan produksi salak di DIY dalam 5 tahun terakhir seperti terlihat pada grafik berikut:
Populasi dan produksi salak DIY 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 1999
2000
2001
2002
Populasi (rumpun)
2003
2004
Produksi ( kw)
Gambar 1. Grafik Populasi dan Produksi Salak di Sleman
492
Populasi salak pondoh yang terus meningkat dari tahun ke tahun diduga akan mempengaruhi penggunaan lahan sawah dan pekarangan di Kabupaten Sleman. Berdasarkan data BPS tahun 2004, distribusi lahan wilayah Kabupaten Sleman terdiri dari lahan sawah 23.255 hektar, tegal 6.417 hektar, pekarangan seluas 18.956 hektar dan lahan non pertanian 8.854 hektar. Karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan populasi salak pondoh dan alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke salak pondoh di Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survai dan pengamatan langsung, yang dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan September 2005 di Desa Trumpon, Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, DIY. Penentuan lokasi secara purposive dengan pertimbangan desa tersebut merupakan sentra produksi salak pondoh dan merupakan desa binaan Klinik Teknologi Pertanian-BPTP Yogyakarta. Sedangkan jumlah sampel sebanyak 20 responden ditentukan dengan metode acak sederhana (sample random). Data yang terkumpul selanjutnya di analisis secara komprehensif dari permasalahan yang dihadapi, analisis data dilakukan secara deskriptif (Singarimbun dan Sofyan, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu faktor keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh peningkatan pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan bidang pertanian bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesempatan berusaha di wilayah pedesaan. Upaya tersebut akan berhasil apabila mendapatkan dukungan dari pemerintah serta mendapatkan dukungan teknis, sosio-budaya-ekonomi serta faktor-faktor biofisik daerah. Salah satu faktor biofisik yang dapat mendukung keberhasilan adalah faktor sumber daya lahan dan air yang dapat menentukan peningkatan kualitas produksi komoditas pangan daerah (Abdurahman et.al, 1999). Potensi sumber daya lahan di Kabupaten Sleman yang memiliki luas 57.482 hektar terbagi menjadi lahan sawah 23.255 hektar, tegal 6.417 hektar, pekarangan seluas 18.956 hektar dan lahan non pertanian seluas 8.854 hektar. Lahan sawah masih dibedakan menjadi sawah irigasi teknis dan sawah irigasi semi teknis (Suharto et.al, 2002). Lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Sleman memiliki luas 9.960 hektar dan sawah irigasi semiteknis seluas 8.665 hektar (BPS, 2004). Tanaman salak merupakan salah satu jenis tanaman buah yang disukai sehingga mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan. Jenis tanaman salak- bermacam-macam, seperti salak pondoh, salak swaru, salak nglumut, salak gula batu (jenis asal Bali), dan lain-lain (warintek-Menristek 2004). Di Kabupaten Sleman, selain salak pondoh turut pula dikembangkan jenis tanaman salak lain seperti jenis salak biasa dan salak Gading. Namun populasinya relatif kecil dibandingkan salak pondoh seperti dilihat pada Tabel 1 yang memperlihatkan populasi, jumlah produksi, dan rerata produksi berbagai jenis salak di Kabupaten Sleman. Tabel 1. Populasi, Produksi, Rerata Produksi Berbagai Jenis Salak di Kabupaten Sleman. Jenis Salak Salak Pondoh
Uraian
2000
luas panen (rumpun) 2.759.618 produksi (kw) 242.831,38 rerata prod (kg/rumpun) 8,80 Salak Gading luas panen (rumpun) 9.466 produksi (kw) 732,67 rerata prod (kg/rumpun) 7,74 Salak Biasa luas panen (rumpun) 563.441 produksi (kw) 41.175,00 rerata prod (kg/rumpun) 7,31 Jumlah luas panen (rumpun) 3.332.525 produksi (kw) 284.739 rerata prod (kg/urmpun) 8 Sumber : BPS, Sleman Dalam Angka,2003 dan 2004 (diolah)
2001 2.305.716 203.386,00 7,61 9.458 763,00 7,45 548.304 38.564 5,72 2.863.478 242.713 7
Tahun 2002
2003
2.940.943 3.191.896 256.887 266.938 8,73 8,36 12.582 17.002 1.015,37 1.379 8,07 8,11 554.882 399.499 40.074,48 32.552 7,22 8,15 3.508.407 3.608.397 297.977 300.869 8 8
2004 3.976.011 360.727 9,7 17.002 17.002 9,77 523.499 523.499 9 4.516.512 408.251 10
493
Peningkatan populasi salak pondoh akan selalu mempengaruhi kondisi lahan pertanian di Kabupaten Sleman. Artinya semakin tinggi populasi salak pondoh, maka semakin tinggi pula luas lahan yang dipergunakan. Sebagai komoditas unggulan daerah, berbagai upaya akan dilakukan untuk terus mendongkrak atau mengoptimalkan produksi salak pondoh. Salah satunya dengan pengembangan dan pemanfaatan potensi lahan yang ada di Kabupaten Sleman. Pemanfaatan potensi lahan untuk tanaman salak pondoh menggunakan lahan persawahan tidak hanya sekedar wacana. Pada beberapa sentra produksi salak pondoh telah terjadi fenomena alih guna lahan pertanian dari lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh seperti di Kecamatan Tempel. Pada tahun 2000 luas sawah di Kecamatan Tempel adalah 1.748 ha. Kondisi ini mengalami perubahan pada tahun 2004 dimana areal luas lahan sawah menjadi 1.721 ha. Di lain pihak populasi salak pondoh di Kecamatan Tempel pada tahun 2000 sebesar 475.715 rumpun yang meningkat menjadi 1.612.250 rumpun pada tahun 2004. Keadaan ini membuktikan bahwa telah terjadi konversi lahan di Kecamatan Tempel dari lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh dalam kurun waktu 5 tahun sebesar 1,5%. Peningkatan dan penurunan luas lahan salak pondoh dan lahan sawah seperti terlihat pada grafik 3. L.Panen salak pondoh (rumpun)
L. Lahan padi (ha) 1750
1800000 1612250
1600000
1748 1745
1400000
1740 1200000 1049590
1000000
1735
951033
800000
1730 1728
600000 475715
400000
1727
1725 415744
1723 1721
1720
200000 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
L.Panen salak pondoh (rumpun)
2005
1715 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
L. Lahan padi (ha)
Sumber : BPS, yang diolah Gambar 2. Peningkatan luas salak pondoh dan penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Sleman
Peningkatan alih penggunaan lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh selain dipengaruhi oleh anggapan petani yang memandang tanaman salak pondoh lebih memberikan keuntungan baik secara financial juga dianggap menguntungkan dari segi konservasi lingkungan yang berhubungan dengan fungsi lahan sekitar lereng Gunung Merapi sebagai daerah penyangga (buffer zone) tata air bagi sebagian besar wilayah DIY (BPTP, 2003). Pergeseran guna lahan terlihat sangat jelas seperti pada kasus di Desa Trumpon, Merdikorejo, Tempel, Sleman. Berdasarkan hasil penelitian, lahan sawah yang dimiliki oleh responden yang juga merupakan anggota Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Duri Kencana”, seluas 64.810 m². Namun lahan sawah seluas 62.510 m² atau sekitar 3,67%-nya telah beralih guna menjadi lahan tanaman salak pondoh seperti terlihat dalam Tabel 2.
494
Tabel 2. Prosentase Alih Guna Lahan Pada Contoh Kasus Desa Trumpon, Merdikorejo Tempel, Sleman. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Responden
H. Musrin Bsc. Suyatno Hartono Juwandi Jumiran Eko Suwarno Setyo Widodo Slamet Priyanto Amirudin Nuryadi Hadi Suwanto Witanto Rahmat Subani Suradi Suhardji Suyadi Jamidin Suroso Harja suseno Hadi Siswoyo Jumlah Prosentase (%) Sumber : data primer
Luas Kepemilikan Lahan Sawah (m²)
Luas Pemilikan Lahan Sawah Menjadi Tanaman Salak Pondoh (m²)
8.000 700 6.160 1.800 4.000 6.500 1.000 2.600 500 800 12.000 1.000 5.000 2.000 4.300 3.000 350 1.500 600 3.000 64.810
6.500 700 6.160 1.800 3.700 6.000 1.000 2.600 500 800 12.000 1.000 5.000 2.000 4.300 3.000 350 1.500 600 3.000 62.510 3,67
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha salak pondoh merupakan komoditas yang paling banyak dikembangkan.
KESIMPULAN Areal tanaman salak pondoh di Kabupaten Sleman berkembang sangat cepat, bahkan setiap tahun luas lahan tanaman salak pondoh terus meningkat sehingga merambah penggunaan lahan sawah. Hasil pengamatan menunjukkan di Kecamatan Tempel pergeseran guna lahan sawah menjadi tanaman salak mencapai 1,5% bahkan penelitian khusus di Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman menunjukkan bahwa 3,67 % dari luas lahan sawah yang ada telah beralih guna menjadi tanaman salak pondoh.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., Irsal L., A.Hidayat dan E.Pasandaran., 1999. Optimalisasi Sumberdaya Lahan dan Air untuk Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan. Simposium. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Penelitian Tanaman Pangan. Bogor 22-24 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Anonimus, 2005. Laporan Akhir (Final Report) Pelaksanaan Feasibility Study Pemanfaatan Limbah Salak (Pelepah Daun Salak Untuk Kertas Seni). Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Sleman dengan BPTP Yogyakarta. Tahun 2005.(unpublish). BPS, 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. BPTP, 2003. Teknologi Produksi Salak Pondoh Sepanjang Tahun. September 2003. Agdex 299/28. BPTP Yogyakarta. BPS, 2004. Kabupaten Sleman Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Sleman. Purnomo, H., 2001. Budidaya Salak Pondoh. Aneka Ilmu Semarang. Singarimbun dan Sofyan, ED., 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
495
Suharto et al., (2002. Peluang Pengembangan Lahan Sawah di Daerah Kutai Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Tanggal 6 – 7 Agustus 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Warintek-Menritek, 2004. Teknologi Tepat Guna tentang Budidaya Pertanian Salak.
496
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN UBIKAYU DI DUSUN KARANGPOH SEMIN GUNUNGKIDUL SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TANI LAHAN KERING DATARAN RENDAH BERIKLIM KERING Heni Purwaningsih, Subagiyo, Murwati, dan Supriadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Ubikayu merupakan komoditas utama penghasil karbohidrat setelah padi dan jagung yang cukup potensial di Kabupaten Gunungkidul sehingga merupakan komoditas unggulan daerah. Telah dilakukan pengkajian pada bulan oktober sampai desember 2005 pada kelompok wanita tani Ngudi Rejeki di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul tentang diversifikasi pengolahan ubi kayu. Tujuan penelitian ini adalah mengatasi rendahnya harga ubi kayu saat panen raya serta produk-produk hasil olahan ubi kayu yang memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai upaya penumbuhan home industry di pedesaan. Metode penelitian yang digunakan adalah pelatihan, pengamatan langsung dan survai terstruktur dengan pendekatan PRA (Participatory Rural appraisal). Analisis data secara deskritif dan pengambilan sampel secara purposive sampling pada kelompok wanita tani Ngudi Rejeki. Hasil penelitin menunjukkan bahwa varietas ubi kayu lokal yang banyak disukai masyarakat adalah mentega dan ketan, sedangkan produk-pproduk olahan yang telah diushakan kelompok wanita tani Ngudi Rejeki adalah sawut, tepung ubi kayu, kue-kue kering (kue pita jahe dan kue kacang), brownis dan emping ubi kayu. Produk yang banyak disukai dan mudah dalam pemasaran adalah emping ubi kayu. Usahatani ubi kayu di Kabupaten Gunungkidul mempunyai nilai B/C 2,24; berarti bahwa komoditas ini layak dikembangkan di Gunungkidul. Kata kunci: diversifikasi, produk olahan, ubi kayu
PENDAHULUAN Ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Heni, et al., 2006). Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui penganekaragaman pangan, yaitu suatu proses pengembangan produk pangan yang tidak bergantung kepada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan beraneka ragam bahan pangan. Pengembangan tersebut mencakup aspek produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan di tingkat rumahtangga. Beranekaragamnya pangan yang tersedia sangat ditentukan oleh produksi dan perkembangan teknologi pangan yang dapat menghasilkan berbagai produk pangan. Adanya kesadaran masyarakat tentang konsumsi pangan yang berimbang dan daya beli untuk mengakses pangan akan mendorong upaya penganekaragaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena itu pertambahan penduduk yang cukup tinggi, peningkatan pendapatan perkapita, perubahan pola konsumsi masyarakat menuntut penyediaan dan keragaman pangan yang meningkat pula. Hal ini berarti bahwa diversifikasi pangan sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan swasembada pangan. Diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip beragam, bergizi, berimbang. Diversifikasi pangan perlu dukungan ketersediaan teknologi pengolahan yang relatif mudah dan murah untuk dapat diterapkan di masyarakat. Selain itu ketersediaan teknologi pengolahan berbagai produk pangan dari bahan lokal, seperi umbi-umbian (ubi kayu) akan memberikan peluang bagi pertumbuhan dan pengembangan agroindustri khususnya di daerah-daerah sentra produksi. Hal ini diharapkan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas tanaman pangan non beras, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Salah satu alternatif diversifikasi pangan pada bahan pangan lokal adalah ubi kayu. Ubikayu segar memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah pada saat panen raya, karena itu perlu suatu upaya meningkatkan nilai tambah (added value) dari ubi kayu dengan mengolah menjadi bernekaragam produk. Ubikayu (Manihot esculenta crantz) merupakan komoditas utama penghasil karbohidrat setelah Padi dan Jagung, yang cukup potensial di Kabupaten Gunungkidul. Gunungkidul memiliki ketinggian tempat ± 150 - 500 m di atas permukaan laut, suhu udara 26°-28°C, curah hujan 1.528 mm/tahun dengan bulan basah tiga bulan, bulan kering enam bulan dan potensi masa tanam enam bulan. Keadaan alam yang demikian maka Gunungkidul sangat potensial untuk budidaya tanaman ubi kayu. Ubikayu di Gunungkidul sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan industri maupun komoditas ekspor (Prajitno et al., 2006). Luas panen ubi kayu di Gunungkidul mencapai 48.848 ha, produktivitasnya 11,9 ton/ha. Tanaman ubi kayu menghasilkan umbi basah yang mengandung 60% air, 25 – 35% pati, protein, mineral, serat dan sedikit unsur kalium serta fosfat. Ubi keringnya terdiri dari 11% air, 88,1% bahan kering, 3,6% protein, 1,7% mineral
497
1,6% serat, 0,2% kalium dan 0,1% fosfat (Blumenschein, M.R.P dan Blumenschein, A., 1989). Tanaman ubi kayu memiliki ciri khusus adanya kandungan asam sianida (HCN) terutama pada ubi dan sebagian pada daun. Ubikayu yang rasanya manis mengidikasikan adanya kandungan HCN yang rendah, sedangkan ubi kayu pahit menunjukkan adanya kandungan HCN tinggi (> 50 ppm) (CIAT, 1983). Tinggi rendahnya kandungan HCN pada ubi kayu tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuh ubi kayu (Soemarjo P., 1992). Ubikayu yang dinikmati secara langsung tanpa melalui sentuhan proses teknologi pasca panen, pada umumnya mengesankan adanya penilaian sosial yang negatif. Oleh karena itu lebih baik apabila di Gunungkidul dibangun suatu industri tiwul instan yang mampu merubah produk olahan yang diharapkan mampu mendongkrak kesan nilai sosial yang rendah apabila mengkonsumsi ubi kayu. Namun demikian apabila terwujud adanya keanekaragaman industri, maka bahan baku dalam bentuk ubi kayu akan meningkat dan lebih penting lagi kontinuitas penyediaan ubi kayu semakin dibutuhkan. Untuk ini di Gunungkidul memiliki lahan cukup luas bahkan lahan keringnya terluas di DIY yang dapat ditanami ubi kayu. Di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kabupaten Gunungkidul, sebagian besar petani memiliki tanaman ubi kayu. Varietas ubi kayu yang ditanam adalah ketan, mentega, menilo, jerapah, kapuk, papah abang, dan kirik. Varietas tersebut memiliki produktivitas yang cukup tinggi, sehingga pada saat panen raya produksi melimpah dan harga jual rendah. Selama ini produk ubi kayu diolah secara tradisional dalam bentuk gaplek dengan harga jual relatif rendah dan sebagian digunakan sebagai tambahan pakan ternak. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan suatu usaha guna meningkatkan nilai ekonominya .
METODOLOGI Penelitian dilakukan pada Bulan Oktober 2005 di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan survai, pendekatan dengan PRA. Analisis data secara diskriptif. Pengambilan sampel secara purposive sampling pada kelompok wanita tani Ngudi Rejeki.
HASIL DAN PEMBAHASAN Petani di Desa Karangpoh pada umumnya berusahatani ubi kayu dengan teknik budidaya yang masih sederhana. Panen dilakukan sesuai dengan varietas yang ditanam yaitu antara 6-8 bulan. Untuk menyesuaikan dengan tenaga kerja sebaiknya tidak dilakukan bersama, hal ini untuk menghindari penurunan mutu apabila tidak segera ditangani. Produktivitas dan rendemen masing-masing varietas lokal terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rendemen Ubikayu Varietas Lokal Varietas lokal Papah Abang Kirik Mentega Menilo Ketan Jerapah Kapuk Sumber : Data primer 2004
Berat per biji (kg)
Rendemen gaplek (%)
0,44 0,22 0,31 0,26 0,32 0,17 0,29
27,27 36,36 25,00 45,45 25,93 42,86 30,77
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang memiliki berat perbiji paling tinggi adalah varietas lokal papah abang dan ketan. Sedangkan rendemen tertinggi adalah varietas menilo dan jerapah, tetapi berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap ke tujuh varietas tersebut yang paling disukai oleh konsumen adalah varietas mentega dan ketan, kedua varietas ini memiliki rasa yang enak. Pada umumnya petani di Kabupaten Gunungkidul memanfaatkan kedua varietas lokal tersebut untuk dikonsumsi dan varietas lainnya digunakan untuk pakan ternak. Pada musim panen raya varietas lokal mentega dan ketan memiliki harga jual yang rendah sehingga banyak petani yang merasa tidak mendapatkan keuntungan dari usahataninya. Berdasarkan hal tersebut maka kelompok wanita tani Ngudi Rejeki membuat diversifikasi produk olahan dari ubi kayu. Produk tersebut antara lain: sawut, tepung ubi kayu, kue-kue kering (kue pita jahe dan kue kacang), brownis dan emping ubi kayu.
498
Berdasarkan hasil PRA di Dusun Karangpoh, produk olahan yang dapat dikembangkan menjadi produk yang berpeluang dijadikan home industri adalah emping ubi kayu. Teknologi pembuatan emping ubi kayu sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh kelompok wanita tani di dusun tersebut, selain itu bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan emping ini sangat mudah didapat di dusun tersebut dan peralatan yang digunakan dapat diusahakan sendiri. Teknologi Pengolahan Ubikayu Teknologi pengolahan ubi kayu yang telah dilakukan di Dusun Semin, Desa Semin, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul antara lain: 1) Pembuatan Sawut Ubikayu Pengolahan ubi kayu menjadi sawut dan tepung merupakan salah satu alternatif dalam upaya memperpanjang masa simpan, selain dibuat gaplek. Selama ini masyarakat Gunungkidul menyimpan hasil panen ubi kayu dengan membuat gaplek. Daya simpan gaplek hanya tiga bulan. Cara pembuatan cukup sederhana (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sawut memiliki daya simpan 6-12 bulan. Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut dengan penyawut
Dikeringkan
Sawut
Gambar 1. Diagram alir proses pembuat sawut
2) Tepung Ubikayu Tepung ubi kayu adalah salah satu produk olahan ubi kayu segar yang merupakan bahan setengah jadi. Tepung ubi kayu memiliki daya simpan yang cukup lama yaitu 6-8 bulan, sehingga pembuatan tepung merupakan salah satu alternatif penanganan ubi kayu segar pada saat panen raya. Selain daya simpan yang cukup lama, dengan pembuatan tepung akan meningkatkan nilai ekonomi ubi kayu, dimana harga tepung ubi kayu per kg mencapai Rp. 4.000. Proses pembuatan tepung ubi kayu sangat mudah dan sederhana seperti pada Gambar 2. Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut
Dikeringkan
Digiling
Diayak (60-80 mesh)
Tepung ubikyu
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi kayu
499
3) Kue Kering dan Emping Ubikayu Tepung ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan kudapan/makanan ringan. Kudapan yang telah diproduksi oleh kelompok tani Ngudi Rejeki antara lain adalah kue kacang dan pita jahe. Proses pembuatan kue kacang dan pita jahe seperti pada Gambar 3 dan 4. – 50 g margarin – 100 g gula halus – 20 g jahe parut – 1 btr kuning telur – 75 g ubikayu – 75 g terigu – ¼ sendok teh – garam halus
Dikocok
semua bahan dimasukkan
Dicampur hingga kalis
Dicetak
Dioven
Kue pita jahe Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan kue pita jahe
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Dipotong-potong
Dikukus
Dihaluskan
Dicetak dan dikeringkan
Emping ubikayu Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan emping ubi kayu
Selain kue kering, kelompok tani Ngudi Rejeki juga telah mengolah ubi kayu segar menjadi emping ubi kayu. Pembuatan emping ubi kayu ini sangat mudah dengan peralatan yang cukup sederhana sehingga
500
banyak diminati masyarakat. Selain untuk konsumsi sendiri, emping ini telah dipasarkan di daerah sekitar dengan keuntungan yang cukup tinggi. Pemasaran emping ini lebih mudah dibandingkan dengan produkproduk olahan ubi kayu yang lainnya. Pada umumnya, hampir sebagian besar masyarakat Gunungkidul membudidayakan tanaman ubi kayu, baik di pekarangan rumah maupun di tegalan. Tanaman ubi kayu ini selain dimanfaatkan umbinya, daun dan batang juga dimanfaatkan. Daun ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk makanan ternak, begitu pula kulit umbi, sedangkan batang pohon dimanfaatkan untuk kayu bakar. Berdasarkan hasil analisa usaha tani, ternyata budidaya ubi kayu masih memberikan keuntungan yang cukup untuk petani di Gunungkidul. Analisa usahatani tanaman ubi kayu seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Analisa Usahatani Ubikayu di Kabupaten Gunungkidul per 1 ha Uraian A. Biaya Produksi 1. Sarana produksi - Bibit ubi kayu - Pupuk NPK - Pupuk kandang 2. Tenaga kerja - Membajak - Menggaru - Tanam - Menyiang - Pemupukan - Panen - Angkutan - Mengupas Jumlah B. Produksi C. Keuntungan B/C Sumber : Data primer 2005
Volume
Harga satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
3.300 stek 200 kg 734 kg
15 1.750 50
49.500 350.000 36.700
3,33 HKT 1,7 HKT 20 HKP 33,4 HKP 10 HKP 50 HKP (Borongan) 80 HKW
20.000 10.000 5.000 5.000 5.000 5.000 150.000 2.500
18,06 ton B-A
250
66.600 17.000 100.000 167.000 50.000 250.000 150.000 200.000 1.436.800 4.650.000 3.213.200 2,24
KESIMPULAN Ubikayu layak dibudidayakan di Gunungkidul dengan nilai B/C 2,24. Hasil olahan ubi kayu dapat memperpanjang masa simpan ubi kayu segar yang sifatnya mudah rusak. Untuk meningkatkan nilai tambah/ added value ubi kayu perlu diolah menjadi berbagai macam produk olahan (diversifikasi olahan). Diversifikasi olahan yang banyak disukai masyarakat Gunungkidul adalah emping ubi kayu karena mudah dalam pembuatannya serta mudah dalam pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA Blumenschein, M.R.P. dan Blumenschein, A. 1989. Pengolahan dan penyiapan masakan dari ubi kayu. Departemen Pertanian p 1-2. CIAT, 1987. Global cassava research and development. The cassava economy of Asia : Adapting to Economic Change. CIAT 30 pp. Heni P., T.F. Djaafar dan S. Rahayu. 2006. Diversifikasi Teknologi Pengolahan Jagung untuk Menunjang Agroindustri di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Prajitno al KS dan H. Purwaningsih. 2006. Produktivitas Beberapa Varietas Ubikayu di9 Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. AGROS. Vol.8 Fakultas Pertanian Universitas Janabadra. Soemarjo Poespodarsono. 1992. Pemuliaan Ubikayu. Simposium Pemuliaan Tanaman I Komda Jatim.
501
KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI TERNAK DAN SAYURAN DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI I Ketut Kariada, I G.A.K. Sudaratmaja dan I.B. Aribawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Paper ini bertujuan untuk membahas berbagai informasi yang terkait dengan potensi, tantangan serta peluang yang diperoleh dari hasil survei dengan metodologi PRA dalam rangka melakukan pengkajian technologi spesifik lokasi. PRA ini dilakukan di dusun Pemuteran Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti Tabanan. Wilayah ini diklasifikasin sebagai salah satu Farming Systems Zone (FSZ) lahan kering dataran tinggi beriklim basah. Baturiti merupakan sentra sayuran dan ternak. Berdasarkan data-data yang diperoleh dalam PRA, maka ditemukan selain pengelolaan usaha tani sayuran petani juga memiliki ternak sapi Bali. Beberapa permasalahan dalam budidaya sayuran adalah semakin menurunnya produksi yang diduga diakibatkan oleh pengaruh residu dari pemanfaatan input-input pertanian kimiawi secara intensif. Sementara pada aspek ternak sapi Bali, penerapan technologi pakan dan kesehatan ternak adalah konvensional. Disarankan agar menerapkan teknologi sayuran yang ramah lingkungan serta memperbaiki teknologi pakan ternak dan kesehatannya. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian sistem usaha tani integrasi ternak dan sayuran dalam jangka waktu tertentu dengan melibatkan peran serta para petani. Sementara analisis dari 11 komoditi sayuran utama yang ada di Pemuteran, diperoleh informasi bahwa usaha tani yang memberikan keuntungan terbaik adalah 3 jenis dengan urutan ranking dari kentang, bawang pray (bawang daun) dan wortel sementara 8 jenis komoditi sayuran lainnya diusahakan menurut keperluan. Untuk ternak sapi selain diperoleh produksi ternaknya juga dihasilkan pupuk organik dari limbah kotoran ternak yang diperoses menjadi pupuk kascing. Kata kunci : PRA, FSZ, integrasi, potensi, masalah, sayuran, ternak.
PENDAHULUAN Lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti mempunyai berbagai permasalahan bila ditinjau dari aspek fisik, kimia dan biologi. Masalah utama yang dihadapi adalah tanah berpasir dengan kesuburan sedang, tofografi bergelombang sampai berbukit-bukit dan tingkat kelembaban (kabut) yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan pengelolaan yang intensif. Berdasarkan data AEZ skala 1:100.000 (Trisnawati, 2000) bahwa Baturiti termasuk zona kelas lahan IIax, IIbx, dan sedikit IVbx. Kelas lahan ini memiliki ketinggian >700 m dpl, mempunyai suhu isothermic kelerengan berkisar >15° - 40°. Jenis tanah typic eutrudepts, lithic eutrudepts, typic udorthents, typic hidrudant, typic hapludants, dan typic udivitrants yang mempunyai drainase baik. Total pengelolaan lahan untuk sayuran dataran tinggi dan tanaman pangan yang telah diusahakan di daerah Baturiti berkisar 800 Ha. Jenis-jenis sayuran yang dikembangkan seperti cabai, kubis, kentang, wortel, jagung, kacang tanah. Komoditas lainnya adalah ternak yang meliputi sapi 14.780 ekor dengan rata-rata kepemilikan 3 ekor/KK dan ternak kecil lainnya. Dengan adanya pengembangan ternak sapi potong maka terdapat peluang untuk memproduksi pupuk organik yang diterapkan terpadu pada sayuran untuk memberdayakan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Oleh karenaitu pendekatan holistik dengan menata sumberdaya saling memberikan manfaat dalam suatu sistem produksi akan dapat memberikan tingkat efisiensi yang tinggi dan menguntungkan (Petheram, 1989, Ismail, Kusnadi, dan Supriadi, 1985; Ismail, 1990). Komponen kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai komponen sistem produksi tersebut (Kariada, et. al., 2002). Raiyasa, et. al. (2001) mengatakan komoditas sayuran yang diusahakan antara lain buncis, cabai (paperika), tomat, sawi putih, brokoli, wartel dan lainnya. Rata-rata luas kepemilikan berkisar 50 are dengan permasalahan yang dijumpai dalam budidaya sayuran antara lain terjadinya penurunan produksi yang cukup nyata misalnya tomat dari produksi awal 5 kg per tanaman menjadi 3.7 kg per tanaman. Dampak residu dari input-input kimiawi diduga sebagai faktor dominan yang mengakibatkan penurunan produksi ini. Hasil PRA menyarankan agar pertanian organik perlu diperkenalkan untuk mengantisipasi dampak yang lebih serius terhadap kerusakan tanah dan air di lahan petani. Paket teknologi perbaikan kualitas dan produksi sayuran dengan menggunakan pupuk organik kascing diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani dengan adanya perbaikan produksi tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menggali berbagai potensi, peluang serta tantangan yang terkait dengan upaya pengembangan sistim usaha tani integrasi ternak dan sayuran (crops – livestock systems/CLS) di dusun Pemuteran Desa Candikuning Kecamatan Baturiti Tabanan.
502
BAHAN DAN METODE Beberapa pendekatan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan ini antara lain pendekatan berdasarkan Agroecological Zone (AEZ) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Pendekatan AEZ menjabarkan aspekaspek sumberdaya berdasarkan zona-zona agroekologi yang menyangkut sumberdaya tanah (fisik) maupun biologinya. Studi di Dusun Pemuteran, Desa Candikuning Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan ditetapkan 6 metode pendekatan meliputi : 1.
Elaborasi Peta/Situasi Wilayah.
2.
Penetapan Ranking Masalah.
3.
Studi Kalender Musiman.
4.
Pembuatan Diagram Ven/Kelembagaan.
5.
Studi Kalender Harian.
6.
Analisis Sosial Ekonomi/Pendapatan dan Peranan Gender (Pria dan Wanita).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pelaksanaan PRA ini maka dapat dilakukan analisis-analisis terhadap berbagai potensi dan kendala yang ada yang selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan berbagai prioritas pengkajian yang bersifat spesifik lokasi. 1.
Elaborasi Peta/Situasi Wilayah
Topografi wilayah Dusun Pemuteran yang terdiri atas wilayah lereng bukit Catu, berdasarkan penilaian dan pengamatan masyarakat dikatakan wilayah di bagian bawah memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan telah terjadi erosi pada lahan yang berada di lereng sehingga terjadi pengendapan unsur hara di bagian bawah yang menyebabkan lahan di bagian bawah dikatakan lebih subur. Rata-rata pemilikan lahan petani di Dusun Pemuteran adalah 0,5 Ha dengan variasi terendah 0,25 Ha dan yang terluas 2,0 Ha. Pemilikan sapi 2 ekor/petani dengan kisaran pemilikan 1-7 ekor. Tingkat kesuburan lahan dirasakan menurun dibandingkan 10 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan eksploitasi lahan yang sangat intensif dengan masukan input saprodi kimiawi yang relatif tinggi. Menurut pendapat petani setempat, bila hendak menerapkan sistem integrasi tanaman ternak secara konsekwen (sapi-sayuran) untuk lahan 1 Ha diperlukan 7-8 ekor sapi. Sementara ini antara luas lahan dan pemilikan ternak sapi masih dianggap kurang, sehingga kekurangan tersebut harus di beli dari luar berupa kotoran ayam. Berdasarkan perhitungan petani untuk tiap 0,5 Ha lahan diperlukan pupuk kandang sebanyak 3,5 ton/tahun. Apabila keperluan tersebut dinilai dengan uang, akan diperlukan tambahan biaya Rp. 3.500.000/tahun. Apabila petani memiliki 7 ekor sapi, maka dalam setahun diperlukan tambahan pupuk kandang hanya 1,5 ton, berarti terjadi penghematan pembelian pupuk kandang 2,0 ton (senilai Rp. 2.000.000). 2.
Penetapan Ranking Masalah
Sejalan dengan topik penelitian yang meliputi dua komoditas (sapi dan sayuran), maka dicoba untuk menggali permasalahan dari kedua komoditas tersebut. Petani mencatat ada 5 kegiatan dalam usahatani sapi meliputi : air, pakan, harga/pemasaran, bibit dan kesehatan ternak. Sementara pada sayuran juga tercatat beberapa kegiatan mulai dari pengolahan tanah, tanam sampai dengan panen dan pemasaran. Dari hasil analisis diperoleh perangkat masalah sebagai berikut : Tabel 1. Perangkat Masalah Komoditas Sapi dan Sayuran di Dusun Pemuteran Baturiti. Komoditas 1)
Sapi
Peringkat Masalah 1) 2) 3) 4) 5)
Harga Bibit Kesehatan Air di MK Pakan di MK.
Komoditas B.
Sayuran
Peringkat Masalah 1) 2) 3)
Harga Air di MK Hama/Penyakit.
Sumber : data primer diolah
503
Berdasarkan Tabel 1 di atas ternyata pada kedua komoditas saat ini sama-sama menghadapi permasalahan berkaitan dengan harga, air untuk sapi dan sayuran serta hama/penyakit pada sayuran dan ketersediaan ternak pada sapi. Anonim (2000) tentang data-data monografi wilayah menunjukkan bahwa curah hujan di dusun Pemuteran Baturiti pada musim kemarau adalah rendah selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga Nopember. Dampak yang ditimbulkannya adalah banyak petani menjual ternaknya pada bulan-bulan tersebut walaupun belum siap dijual dengan alasan kesulitan pakan baik yang bersumber dari rumputrumputan (HMT) maupun dari limbah sayuran. Untuk mengantisipasi kesulitan air, selama ini petani diharapkan menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk kebutuhan sapi, mengoptimalkan hijauan maupun sayuran yang berasal dari limpasan curah hujan. Tabel 2. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di Baturiti Tabanan Selama 5 Tahun (1998 -2002) Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 Rataan
Total curah hujan (mm) Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Total
378 316 993 613 151 490
580 402 851 218 738 558
483 441 982 377 340 525
318 563 344 293 380
153 103 411 111 54,6 166
152 65,9 83,8 91,9 15,1 82
161 109 34,2 21 23,1 70
57 65,5 94,9 10,1 25,8 51
345 11,2 10,2 13,7 42,1 84
222 495 178 88,3 197
480 661 630 4 176 390
399 369 107 101 508 297
3728 3602,4 4374,9 1993,1 2366,9 3213
Rata-rata Curah Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan mm/bln 600
558 490
525
500
390
380
400
297
300
197
166
200
82
100
70
84
51
0
Bulan
Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 3 berikut. Nampak bahwa para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran serta memelihara ternak sapi potong pada bulan-bulan kering tersebut. Hal ini mengindikasikan pentingnya menyimpan air dalam embung. Tabel 3. Rata-rata Hari Hujan Per Bulan di Baturiti Selama 5 Tahun (1998 - 2002). Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 Rerata
Total hari hujan (hari/bulan) Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Total
16 19 18 20 24 19
20 20 21 26 15 20
20 20 23 16 19 20
15 20 12 18 16
11 6 19 13 8 11
13 8 12 18 5 11
11 9 6 4 9 8
8 8 5 7 6 7
11 6 2 13 9 8
16 14 10 14 0 11
18 18 21 7 17 16
11 22 12 19 21 17
170 170 149 169 151 162
Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan Jml Hari Hujan / 20 bulan 15 10
19 20 20
16 17
16 11 11
11 8
7
8
5 0 Bulan
504
Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa penampungan air limpasan hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan tanaman hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya penampuangan air yang dibuat. Menurut hasil penelitian Suprapto dkk., (1999) di Desa Patas Buleleng bahwa dengan menggunakan air embung yang tersedia, maka petani dapat menanam berbagai jenis sumber karbohidrat seperti jagung, sayuran, padi gogo, kacang tanah dan lain-lainnya yang berkisar 0,25 - 0,30 ha per petani tergantung dari volume air yang ditampung dalam embung untuk musim kemarau di lahan kering. Berdasarkan hal tersebut, air embung yang tersedia akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi apabila dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti tanaman-tanaman sayuran (bawang, kentang, cabai, semangka dan lainnya) serta sebagai sumber air minum untuk ternak. Embung adalah suatu istilah untuk bangunan bak penampung air di daerah lahan kering dengan sumber air dari mata air maupun air hujan yang selanjutnya digunakan dalam musim kemarau untuk kebutuhan minum, peningkatan produktivitas lahan, intensitas tanam komoditas tanaman dan ternak serta meningkatkan aktivitas kerja petani (Syamsiah, dkk. 1994; Retno, 1996). Selain itu peran embung juga akan memberikan kondisi positif untuk lingkungan disekitar embung karena adanya resapan atau limpasan air. Oleh karena itu air yang ditampung dalam embung akan memberikan nilai tambah yang cukup baik. Embung memiliki peran penting karena berfungsi sebagai depot air yang bisa dimanfaatkan pada saat tanaman membutuhkan air, selain juga bermanfaat untuk ternak dan kebutuhan sehari-hari. Melihat besarnya manfaat embung maka pengembangan teknologi embung pada daerah-daerah lahan kering di Baturiti sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah tersebut. Guna menunjang kebutuhan air untuk pengelolaan sayuran maka disarankan agar membangun embung-embung skala rumah tangga sehingga mampu menjaga daya dukung lahan. 3.
Studi Kalender Musiman
Pembagian musim yang jelas antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) memberi respon yang berbeda pada perilaku petani dalam mengelola usahataninya. Gambaran umum tentang Kalender Musiman petani di Dusun Pemuteran seperti Tabel 4. Tabel 4. Kalender Musiman Petani di Dusun Pemuteran Baturiti Tabanan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Uraian Hujan Olah Tanah Tanam Panen Jual Sapi Sakit Agak Kritis
4 +
5
6
+
7
8
9
Bulan 10 +
11 +
12
1
2
3
Memperhatikan Tabel dan juga uraian elaborasi wilayah memang terlihat kegiatan usahatani petani di Dusun Pemuteran sangat intensif, terlihat dari aktivitas pengolahan tanah, tanam dan panen hampir terjadi sepanjang tahun. Namun demikian di musim kemarau karena ada kendala air, intensitas tanam relatif berkurang sehingga terjadi krisis sayuran pada bulan Mei sampai Juli. Sementara penjualan termak untuk mendapat harga yang layak dilakukan sekitar bulan September sd. Desember berkaitan dengan hari raya (Lebaran, Natal dan Tahun Baru). Disamping itu pada musim pancaroba (peralihan musim) petani banyak menderita sakit. 4.
Diagram Ven/Kelembagaan
Studi kelembagan petani dan lembaga lain di pedesaan memberi gambaran adanya interaksi lembaga satu dengan yang lain dimana hal ini secara relatif berpengaruh terhadap kinerja lembaga yang diamati. Di Dusun Pemuteran dan wlayah Desa Candikuning tercatat 9 jenis kelembagaan. Dengan memposisikan kelompok petani ternak ”Kanti Sembada” sebagai fokus kajian, maka dicoba untuk menggambarkan posisi kelembagaan lain dalam bentuk diagram Ven/Kelembagaan seperti Gambar 1 beriku.
Koperasi Buana Pala Kerti
Kelompok Tani Buana Pala Kerti Klp Tani Kanti Sembada
Pedagang Pengumpu l
Gambar 1. Diagram Ven kelembagaan Kelompok Tani Kanti Sembada Baturiti
505
Melihat Gambar 1, sebenarnya kelompok tani Kanti Sembada adalah bagian dari kelompok tani Buana Pala Kerta dan sekaligus juga menjadi anggota Koperasi Buana Pala Kerta. Sedangkan kelembagaan lain adalah penunjang dimana keanggotaannya ada yang berimpit (menjangkau) kelompok ternak Kanti Sembada atau kelompok tersebut secara fungsional dilayani oleh kelembagaan penunjang tersebut. 5.
Kalender Harian
Berikut digambarkan kalender harian petani (pria) di Dusun Pemuteran Baturiti, sebagai cerminan aktivitas harian seorang petani dalam mengelola usahataninya Tabel 5). Tabel 5. Secara Garis Besar Aktivitas Harian Petani di Daerah Pengkajian: No
Kegiatan/Aktivitas
Jumlah (Jam)
1. 2.
Tidur Bekerja di kebun
3.
Aktivitas lain Jumlah
9 jam (pk. 21.00 – 06.00) 7 jam (pk. 07.00 – 11.00 dan 13.00 – 16.00) 8 jam 24 jam
Pola umum pembiayaan aktivitas harian seseorang adalah 8 jam tidur, 8 jam bekerja dan 8 jam aktivitas lain. Disini terlihat porsi jam tidur melebihi dari pola normal dan sebaliknya aktivitas bekerja kurang dari biasanya. Hal ini berkaitan dengan iklim di Dusun Pemuteran yang termasuk dataran tinggi sehingga menyebabkan tidur enak sehingga mengurangi porsi untuk aktivitas kerja. 6.
Analisis Sosial Ekonomi/Pendapatan dan Peran Gender
Dari 11 jenis komoditas sayuran dominan (wortel, pry, kentang, kubis, sawi, cabai, tomat, buncis, jagung, lobak dan selada) terdapat 3 komoditas dominan yang diatur penanamannya dalam satu pola tanam setehan. Adapun komoditas tersebut adalah : kentang, wortel dan pry. Dalam pola tanam kentang dan wortel mampu ditanam 2 kali dan pry 3 kali dalam setahun. Adapun hasil analisis ekonomi ketiga komoditas tersebut seperti Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisis Ekonomi Komoditas Sayuran Utama di Dusun Pemuteran Baturiti Tabanan No
Uraian
Komoditas Kentang
1. Saprodi 4.333.300 2. Tenaga Kerja 630.000 3. Produksi 7.500.0001) 4. Keuntungan 2.537.000 * Untuk 2 siklus kecuali pry 3 siklus 5.074.000 Produksi : 1) = 3 ton (20 Are), 2) = 2 ton (20 Are), 3) = 1,5 ton (10 Are)
Wortel
Pry
335.000 640.000 2.000.0002) 1.035.000 2.070.000
400.000 770.000 3.000.0003) 1.800.000 5.400.000
Total keuntungan untuk setahun pola tanam dengan 3 komoditas utama seluas 50 are = Rp. 12.544.000. Sementara peran Gender untuk komoditas sayuran 60% : 40% (pria dan wanita) untuk pengolahan tanah, tanam dan panen masing-masing 50% : 50%. Sementara analisis untuk komoditas sapi disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Analisis Ekonomi Komoditas Sapi Penggemukan di Dusun Pemuteran. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bibit sapi Bali Pakan yang dibeli (Dedak + mineral) Penyusutan Kandang Obat-obatan Total Biaya Harga Jual Keuntungan
Rp. 2.000.000 (200 kg) Rp. 508.000 (8 bulan) Rp. 66.600 (8 bulan) Rp. 32.000 (8 bulan) Rp. 2.606.600 Rp. 3.500.000 Rp. 893.400 (8 bulan).
Nilai jual dan keuntungan adalah dalam kondisi harga jual pada tahun 2003 ini dinilai oleh petani sangat rendah. Disamping itu dalam perhitungan ini belum disertakan nilai pupuk kandang yang dihasilkan yang telah diproses menjadi pupuk organik kascing.
506
KESIMPULAN DAN SARAN Sesuai hasil studi PRA maka maka terdapat berbagai potensi serta tantangan dalam upaya mengintroduksikan berbagai teknologi rakitan spesifik lokasi. Kondisi wilayah yang berbukit dengan struktur tanah lempung berpasir membutuhkan penanganan konservasi. Faktor kesulitan yang tertinggi adalah adanya keterbatasan air terutama pada musin kemarau sehingga dalam pengkajian ini perlu melakukan penanganan konservasi air melalui pengembangan embung. Sementara pada komoditi ternak dan sayuran, harga merupakan factor yang sulit diprediksi. Dari aspek kelembagaan maka terdapat interaksi antara berbagai pihak yang sesungguhnya dapat menguatkan kelembagaan bila ditangani dengan baik. Dari komoditi sayuran yang dikembangkan, terdapat 3 komoditas utama sayuran yang secara terus menerus diusahakan yaitu kentang, wortel dan bawang prey yang memberikan pendapatan baik namun permasalahan budidaya juga masih ada terkait dengan penyakit. Sementara pada aspek ternak terdapat potensi untuk mengintroduksikan teknologi pakan dan kesehatan ternak. Dalam kegiatan ini disarankan agar mengintroduksikan teknologi integrasi ternak sapi potong pada usaha tani sayuran secara holistic di lahan kering dataran tinggi beriklim basah Baturiti Tabanan sehingga mampu memberikan peningkatan efisiensi usaha tani dan keuntungan petani.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. Data Monografi Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti Tabanan, Bali. Ismail, Kusnadi, dan Supriadi, 1985. Integrated Crops Livestock Farming Systems. Proyek Pengembangan Lahan Batumarta Sumatera Selatan. Badan Litbang Pertanian Ismail. 1990. Hasil Penelitian Pengembangan Usaha Tani Terpadu di Lahan Transmigrasi Batumarta. Badan Litbang Pertanian deptan. Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan I.G. Pastika. 2002. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali. Raiyasa, I.M., AANB Kamandalu, K. Mahaputra dan N. Arya. 2001. PRA dusun Titigalar, Desa Bangli Kec. Baturiti, Tabanan. Retno, I.G. 1996. Embung : sumber air lahan kering. Seri usaha tani lahan kering. BPTP Ungaran. Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 1999. Laporan akhir penelitian sistem usahatani diversifikasi lahan marginal. IP2TP Denpasar. Bali Syamsiah, I., P. Wardana, Z. Arifin, dan AM. Fagi. Embung : kolam penampungan air serba guna. Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian Bogor. Trisnawati, W. 2000. Laporan AEZ Prop. Bali. Proyek PAATP IP2TP Denpasar.
507
PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen DI KABUPATEN TABANAN Suharyanto, Rubiyo dan Jemmy Rinaldy Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan salah satu hama utama tanaman kakao, dimana pada tingkat serangan berat kehilangan hasil dapat mencapai 80 persen. Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani. Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan yang merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dan juga merupakan daerah terserang PBK. Data primer didapat dengan wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan menggunakan kuisioner. Variabel yang digunakan untuk mengetahui perilaku petani dalam pengendalian PBK anntara lain ; kultur teknis, panen sering, sanitasi, penyarungan buah dan penyemprotan insektisida. Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK berkisar antara 8,13 – 53,14%. Perilaku petani terhadap hama PBK tergolong kategori sedang, dengan nilai skor 10,64. Panen sering, sanitasi lingkungan, pemangkasan perlu ditingkatkan untuk pengendalian PBK. Namun demikian upaya yang dilakukan petani seperti sarungisasi, pemangkasan sudah dilakukan walaupun belum optimal. Kata kunci : pengetahuan, sikap, perilaku, penggerek buah kakao (PBK).
PENDAHULUAN Kakao merupakan salah satu komoditas utama yang diandalkan subsektor perkebunan di Bali yang mengalami perkembangan cukup pesat. Pada tahun 2000 luas areal kakao 6.564 ha dengan produksi 4.424.367 ton, tetapi pada tahun 2004 luas areal mencapai 8.769 ha dengan produksi mencapai 6.123.869 ton. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dengan luas areal 3.149 hektar dengan produksi mencapai 2.273.860 ton dimana hampir keseluruhan merupakan perkebunan rakyat. Usahatani kakao di Kabupaten Tabanan sampai saat ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 425.214 orang atau 17.094 KK (Anonim, 2004a). Perbaikan harga beberapa tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bias dinikmati oleh petani kakao di Indonesia, karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao (PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Indonesia termasuk juga Bali. Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK jika tidak ingin megikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah memasuki ambang kepunahan (Herman, 2004). Tanaman kakao merupakan inang berbagai spesies serangga, salah satu diantaranya adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella terutama pada pola tanam monokultur karena terjadinya perubahan keseimbangan alami. Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 sepanjang pantai utara Jawa tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan di Jawa (Roesmanto, 1991). PBK merupakan hama kakao yang sangat berbahaya dan sekarang menimbulkan permasalahan internasional terutama upaya pencegahan meluasnya areal serangan dan teknologi pengelolaannya. Penggerek buah kakao mempunyai potensi merusak yang cukup besar dan hingga sekarang masih sulit untuk dikendalikan. Kerusakan akibat serangan PBK dapat menurunkan produksi hingga 80 persen biji kakao kering (Wardoyo, 1980; Atmawilata, 1993). Saat ini, penyebaran hama PBK hampir menyeluruh di provinsi penghasil kakao termasuk Bali (Anonim, 2004b). PBK merupakan hama yang paling penting karena sulit dideteksi keberadaannya dan sulit dikendalikan, karena selama stadium larva berada dalam buah kakao. Mengingat semakin luasnya penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya, maka perlu segera diupayakan metode penanggulangan yang efektif dan efisien. Strategi pengelolaan PBK di Indonesia berpedoman pada konsep PHT. Teknik pengelolaan PBK yang digunakan didasarkan pada keadaan serangan PBK, yaitu daerah bebas serangan, daerah serangan terbatas dan daerah serangan luas, serta melihat kondisi pertumbuhan dan umur tanaman kakao (Sulistyowati, 1997).
508
Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi kakao di Kabupaten Tabanan dan juga merupakan lokasi yang terserang hama penggerek buah kakao (PBK). Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Juli 2006 melalui wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan menggunakan kuisioner. Penentuan responden dilakukan melalui random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani, pengetahuan, sikap dan perilaku petani selama ini dalam hal pengelolaan hama penggerek buah kakao (PBK). Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk mengetahui tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK diukur dalam skor yang meliputi (1) kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (2) panen sering; (3) sanitasi (4) penyarungan buah dan (5) penyemprotan insektisida. Adapun nilai skor yang digunakan adalah: (1) hampir tidak pernah; (2) kadangkadang; dan (3) sering. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor total Tingkat Perilaku Petani dalam pengendalian PBK dikategorikan menjadi tiga kelas, yaitu tingkat perilaku penerapan rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian menggunakan rumus interval (Dajan, 1996): J I K Dimana : I = Interval kelas J = Jarak antara skor maksimum dan skor minimum K = Banyaknya kelas yang digunakan Tabel 1. Deskripsi Strategi Pengendalian Hama PBK dan Skala Penilaiannya di Kec. Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006 No 1 2
3 4
5
Strategi pengendalian Kultur teknis, meliputi pangkasan pemeliharaan, pangkasan produksi, pemupukan dan pohon penaung. Panen sering, dilakukan terhadap buah masak, masak fisiologis, dan buah terserang PBK. Interval panen 5-7 hari. Buah langsung dibelah dan diambil bijinya pada hari yang sama. Sanitasi, pembenaman kulit buah dan plasenta dengan kedalaman sekitar 20 cm. Penyarungan buah dilakukan pada umur 3 bulan yang diperkirakan panjang 8-10 cm, menggunakan kantong p;lastik,kertas, koran atau kertas semen. Penyemprotan insektisida dilakukan terutama jika serangan PBK dengan criteria berat sudah mencapai 30%, dengan bahan aktif golongan piretroid sintetik, pada buah kakao berumur 3 bulan atau panjang sekitar 8-10 cm. Total skala
Pilihan jabawan responden Tinggi
Sedang
Rendah
Sering
Kadangkadang Kadangkadang
Hampir tidak pernah Hampir tidak pernah
Kadangkadang Kadangkadang
Hampir tidak pernah Hampir tidak pernah
Sering
Kadangkadang
Hampir tidak pernah
11,7-15,0
8,4-11,6
5,0-8,3
Sering
Sering Sering
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi dan Petani Responden Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg merupakan salah satu sentra produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Tabanan dengan ketinggian antara 600 – 700 mdpl. Sebagian besar (>80%) lokasi penelitian merupakan daerah berbukit dengan topografi kemiringan yang sangat bervariasi. Komoditas perkebunan merupakan andalan utama mata pencaharian bagi masyarakatnya, dengan komoditas utama
509
kelapa, kakao, kopi dan cengkeh. Dalam melakukan usahatani perkebunan umumnya petani menerapkannya dengan pola tumpangsari atau diversivikasi dengan beberapa tanaman perkebunan dalam satu hamparan dengan berbagai pola tumpangsari. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dna efisiensi produksi. Secara umum rata-rata umur petani responden adalah 39,77 dengan kisaran 17 – 79 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam yang berarti masih terdapat generasi muda yang berminat pada bidang pertanian khususnya perkebunan, walaupun umur petani didominasi usia diatas 40 tahun. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi. Luas lahan pengusahaan berkisar antara 0,35 – 7,92 dengan rata-rata pengusahaan 2,36 hektar yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Populasi tanaman dominan adalah tanaman kakao (1.064,94), kopi robusta (351,48), cengkeh (109,94) dan kelapa (94,63) (Tabel 2). Sedangkan komoditas lain yang juga ditanam adalah pisang, durian, manggis, panili dan lain-lain. Dengan menanam berbagai macam tanaman dalam satu areal, konsekuensinya adalah produktivitas masing-masing tanaman tidak akan maksimal tentunya, namun disisi lain dapat mengurangi kegagalan usaha. Hasil analisis tingkat serangan PBK di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK masuk dalam kategori sedang dengan tingkat serangan berkisar antara 8,13 – 53,14 persen. Namun demikian tingkat serangan ini akan dengan cepat meningkat dan menyebar ke wilayah lain apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian, hal ini didukung oleh kondisi kebun yang kurang terawat dan lembab sehingga mempercepat penyebaran hama PBK. Tabel 2. Karakteristik Lokasi dan Petani Responden di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006. Karakteristik
Minimum
Maksimum
Rata-rata
1. Umur responden (th) 2. Pendidikan 3. Luas Lahan (ha) a. Kakao – Populasi (phn) – Produksi (kg) – Produktivitas (kg/ha) b. Kelapa – Populasi (btr) – Produksi (btr) – Produktivitas (btr/ha) c. Kopi – Populasi (phn) – Produksi (kg) – Produktivitas (kg/ha) d. Cengkeh – Populasi (phn) – Produksi (kg) – Produktivitas (kg/ha)
17 0 0,35
79 17 7,92
39,77 5,84 2,36
100,00 125,00 80,65
3750,00 4688,00 917,43
1064,94 1324,93 546,47
5,00 75,00 55,97
500,00 7500,00 1584,51
94,63 1419,44 594,98
10,00 13,00 14,44
1500,00 1875,00 1086,96
351,48 420,20 200,87
10,00 62,00 30,10
515,00 3193,00 930,00
109,94 681,62 284,49
Pengembangan kakao pada umumnya menghadapi kendala laju peningkatan biaya produksi yang jauh lebih cepat daripada laju kenaikan harga produk, resiko serangan hama, penyakit dan musim yang terkadang tidak mendukung produksi. Konsekuensinya adala pekebun harus menyesuaikan penggunaan faktor input pada tingkat yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum. Hal ini beresiko menurunkan kesehatan tanaman dan tingkat produksi. Resiko kegagalan panen akan lebih besar apabila pola usaha yang diterapkan adalah monokultur, yaitu pola usaha yang hanya mengandalkan hasil kakao dari unit yang diusahakannya. Diversifikasi usahatani tanaman perkebunan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani perkebunan karena dapat mengurangi resiko kegagalan usaha apabila hanya menanam satu jenis tanaman saja. Dimana fluktuasi harga produksi tanaman perkebunan dapat disiasati dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman perkebunan dengan mengatur pola tanamnya dan yang terpenting tidak berkompetisi satu sama lainnya dalam kompetisi hara maupun cahaya. Dalam melakukan diversifikasi horizontal adalah cukup luas, karena tanaman ini toleran penaungan (Prabowo, 1997; Suharyanto et al., 2004).
510
Bioekologi Hama PBK dan Gejala Kerusakan Serangga dewasa hama PBK berupa ngengat (moth), berukuran kecil (panjang 7 mm), dan termasuk ordo Lepidoptera. Ngengat berwarna cuklat dengan pola zig zag berwarna putih sepanjang sayap depan. Ukuran antenna lebih panjang dari tubuhnya dan mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu di cabang-cabag horizontal. Ngengat betina meletakkan telur hanya pada permukaan buah kakao. Buah kakao yang disukai adalah yang mempunyai alur dalam dan panjangnya lebih dari 9 cm. Lama hidup ngengat betina 5 – 8 hari dan setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 – 200 butir. Telur berbentuk oval dengan panjang 0,45 – 0,50 mm, lebar 0,25 – 0,30 mm, pipih dan berwarna orange pada saat diletakkan. Larva stadium telur antara 2 – 7 hari (Sulistyowati, 1997). Larva yang baru menetas berwarna putih transparan dengan panjang 1 mm. Larva langsung menggerek ke dalam buah dengan memakan kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Lama stadium larva 14 –18 hari, terdiri atas 4 – 6 instar (Ooi et al., 1987). Pada pertumbuhan penuh panjangnya mencapai 12 mm berwarna putih kotor sampai hijau muda. Menjelang berkepompong larva membuat lubang keluar (diameter 1 mm) pada kulit buah. Sebelum menjadi kepompong larva membentuk kokon. Kepompong dapat melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting, kotak atau karung tempat buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen. Kokon berbentuk oval berwarna putih kekuningan, pupa berwarna coklat, lama stadium kepompong 5 – 8 hari. Lebih lanjut Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang PBK umumnya menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga. Buah yang terserang dapat berkembang secara normal sampai masak, tetapi pada saat dibelah akan tampak biji yang saling melekat dan berwarna kehitaman. Serangan PBK yang terjadi pada saat buah masih muda akan mengakibatkan kerusakan yang cukup berat karena biji kakao melekat kuat pada kulit buah dan biji saling melekat satu sama lain. Biji tidak berkembang sehingga ukurannya menjadi kecil dan tidak bernas (keriput), sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitasnya. Hasil survai oleh Puslit Kopi dan Kakao menunjukkan bahwa serangan PBK menyebabkan kehilangan produksi hingga 80%. Pengetahuan Petani Terhadap PBK Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tergolong dalam kategori sedang (46,67%), rendah (40%) dan tinggi (13,33%). Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan sekolah dasar (63%). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal pengendalian hama PBK adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama PBK beserta dampak kerugian apabila tanaman kakao sampai terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan prinsip PHT. Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006. No
Klasifikasi/skor
1.
Rendah ( 5.0 - 8.3 )
2. 3.
Rata-Rata Skor
Jumlah Petani
Persentase (%)
6.74
12
40.00
Sedang ( 8.4 - 11.6 )
9.63
14
46.67
Tinggi ( 11.7 - 15.0 )
13.96
4
13.33
30
100.00
Jumlah
Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan mnyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada
511
apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap pengendalian PBK, maka dapat mendorong untuk melakukan pengendalian PBKpada usahataninya. Sikap Petani Terhadap Hama PBK Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian hama PBK masing-masing bersikap positif/setuju (30%), netral/ragu-ragu (50%) dan negatif/tidak setuju (20%). Hal ini mengindikasikan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap metode pengendalian hama PBK yang selama ini mereka ketahui. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai dengan praktek lapang mutlak untuk dilakukan guna untuk lebih meyakonkan petani bahwa metode pengendalian PBK dengan pendekatan PBK sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan PBK walaupun tidak sampai menghilangkan sama sekali, karena seperti diketahui hama PBK sangat mudah sekali sangat mudah sekali untuk menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain. Tabel 4. Pendapat Responden terhadap Sikapnya dalam Melakukan Pengendalian Hama PBK, di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan 2006. No
Klasifikasi/skor
1. 2. 3.
Negatif ( 5.0 - 8.3 ) Netral ( 8.4 - 11.6 ) Positif ( 11.7 - 15.0 ) Jumlah
Rata-Rata Skor 7,34 10,26 12,82
Jumlah Petani 9 15 6 30
Persentase (%) 30,00 50,00 20,00 100,00
Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Perilaku Petani dalam Pengendalian PBK Tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan, rata-rata termasuk dalam kategori sedang (63,33%) dengan nilai skor 10.64 (Tabel 5). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan petani dalam halpengendalian hamam PBK yang didominasi dalam kategori sedang (46,67%). Sesungguhnya sudah hampir semua petani responden telah mengetahui beberapa metode dalampengendalian hama PBK yang umumnya didapat dari Petugas Penyuluh Lapangan melalui kegiatan SLPHT. Salah satu diantaranya adalah sarungisasi buah kakao, yang berarti memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka. Dengan penyelubungan buah tersebut, hama tidak bias meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah akan terhindar dari geretan larva. Namun karena pada tahun ini produksi kakao rendah selain disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, juga tak lain karena perubahan iklim (musim hujan panjang) sehingga petani menelantarkan dan kurang merawat kebun kakaonya. Tabel 5. Perilaku Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006. No
Klasifikasi/skor
1. 2. 3.
Rendah ( 5.0 - 8.3 ) Sedang ( 8.4 - 11.6 ) Tinggi ( 11.7 - 15.0 ) Jumlah
Rata-Rata Skor 8.12 10.64 14.04
Jumlah Petani 8 19 3 30
Persentase (%) 26.67 63.33 10.00 100.00
Selanjutnya Soekartawi (1988) mengatakan, perilaku penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko,
512
fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain: kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi. Sedangkan untuk mencegah meluasnya serangan PBK ke wilayah lain menurut Sjafaruddin et al (2000), diperlukan upaya penyuluhan yang intensif mengenai berbagai aspek tentang hama PBK. Selain itu sistem tataniaga dan pemasaran yang melibatkan pedagang pengumpul pada berbagai tingkatan merupakan vektor penyebaran PBK, sehingga perlu diwaspadai untuk mencegah meluasnya serangan ke wilayah lain.
KESIMPULAN DAN SARAN 1) Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK umumnya termasuk dalam kategori sedang (46,67%). Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang umumnya hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sikap petani rata-rata (50%) bersikap netral dalam pengendalian hama PBK dengan rata-rata nilai skor 10,64. Sedangkan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK masuk dalam kategori sedang (63,33%) dan hanya 10% saja yang termasuk dalam kategori tingkat perilaku tinggi. 2) Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama PBK, dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama PBK. 3) Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK hal yang perlu diperhatikan adalah mengintensifkan sosialisasi/penyuluhan tentang metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan PHT disertai dengan praktek lapang atau disertai dengan pengujian langsung di lapangan, agar petani dapat langsung melihat hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Anonim. 2004a. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Denpasar Anonim. 2004b. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.. 328 hal. Atmawilata, O. 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Suatu Ancaman Terhadap Kelestarian Perkebunan Kakao di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. No. 15. Azwar, Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II . Penerbit LP3ES. Jakarta. Herman. 2004. Kakao Indonesia Dikancah Perkakaoan Dunia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. 6 hal. Ooi, P,A,C., L.G. Chan, K.C. Khoo., C.H. Teoh., Md.J.Mamat, C.T. Ho and G.S. Lim 1987. Introduction to the cocoa pod borer. P.1-6. In P,A,C. Ooi, , L.G. Chan, Khoo K.C., Teoh C.H., Md.J.Mamat, Ho C.T. and Lim G.S. (Eds). Management of Cocoa Pod Borer. The Malaysian Plant Protection Society, Kuala Lumpur. Prabowo, A.A. 1997. Diversifikasi Pada Perkebunan Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. 13(3), hal 165 – 184. Roesmanto, J. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. hal 165 . Sjafaruddin, M., G. Kartono., R. Djamaluddin., Rubiyo, E. Sutisna dan D. Sahara. 2000. Status dan Upaya Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 122 – 129.
513
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-press). Jakarta. 137 hal. Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol 2 No.1. Januari 2002. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 31 – 34. Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2004. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154. Sulistyowati, E. 1997. Prospek Pemanfaatan Tanaman Tahan Dalam Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia .Jember. 13(3), hal 204 - 212. Wardoyo. 1990. The Cocoa Pod Borer A Major Hidrance to Cocoa Development. Indonesian Agricultural Research Development Journal. Jakarta. 2(1) : 1-4.
514
STRUKTUR PASAR BEBERAPA KOMODITAS HORTIKULTURA DI KABUPATEN BULELENG Suharyanto, Jemmy Rinaldi dan Rubiyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK Kabupaten Buleleng merupakan salah satu sentra produksi komoditas hortikultura di Provinsi Bali, baik untuk dataran rendah, medium maupun dataran tinggi. Selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, hampir sebagian besar produk hortikultura dipasarkan ke luar Kabupaten Buleleng. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan integrasi pasar hortikultura di Kabupaten Buleleng melalui analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar produsen dan konsumen. Data yang digunakan merupakan data time series bulanan ditingkat produsen dan konsumen periode 20032005. Data dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata margin pemasaran antara produsen dan konsumen tertinggi pada komoditas anggur dan bawang putih masing-masing Rp. 3.479,09 dan Rp. 3.389,86. Integrasi pasar yang terjadi pada komoditas hortikultura adalah tidak sempurna atau bukan pasar persaingan sempurna dan mengarah pada struktur pasar oligopsoni dengan nilai koefisien korelasi (r) <1. Demikian halnya dengan nilai elastisitas transmisi harga yang kecil (<1) mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk antara pasar produsen dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar persaingan. Kata kunci : struktur pasar, hortikultura, transmisi harga.
PENDAHULUAN Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah 1.365,88 Km2 (24,25% dari luas Provinsi Bali) yang memiliko tofografi sangat bervariasi mulai dari dataran rendah, perbukitan dan pegunungan dan sekitar 31,5 persen dari luas wilayahnya merupakan lahan kering. Sektor pertanian di Kabupaten Buleleng merupakan sektor basis (LQ >1), yang berarti memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sector lainnya selain itu sector pertanian juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB (29,55%). Komoditas unggulan subsektor hortikultura antara lain anggur, rambutan, mangga, pisang, durian, sayuran dan tanaman hias (bunga). Namun demikian yang masih menjadi kendala di sector pertanian secara umum antara lain kualitas, posisi tawar petani dan akses pasar yang masih rendah selain itu juga penanganan pasca panen produk yang belum optimal (Anonim, 2006). Komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditi yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar yang cukup baik. Pengembangan agribisnis memerlukan dukungan lembaga pelayanan penunjang agribisnis seperti lembaga keuangan, lembaga penyedia sarana pertanian, lembaga penyedia jasa alsintan, informasi pasar, kelembagaan pemasaran dan sebagainya (Anonim, 2003). Dalam kaitannya dengan pemasaran, harga produk ditingkat produsen yang berfluktuasi secara tajam tidak menguntungkan bagi petani karena hal itu menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh dari kegiatan usahataninya. Resiko usaha yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga produk yang dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi penawaran, dan sebaliknya. Karena volume permintaan relatif konstan dalam jangka pendek maka fluktuasi harga jamgka pendek dapat dikatakan merupakan akibat dari ketidakmampuan produsen dalam mengatur penawarannya yang sesuai dengan kebutuhan permintaan (Hastuti, 2004). Spektrum komoditas hortikultura yang dapat dikembangkan di setiap kabupaten produsen hortikultura umumnya relatif luas. Begitu pula halnya dengan kebutuhan konsumsi sayuran dan buah di setiap kabupaten yang sangat beragam menurut jenis komoditas, kualitas dan segmen pasar. Pada masa otonomi daerah setiap kabupaten memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannnya, termasuk pemilihan komoditas yang akan dikembangkan di kabupaten yang bersangkutan. Permasalahannya adalah haruskah setiap kabupaten mengembangkan seluruh jenis komoditas hortikultura yang dibutuhkan di kabupaten yang bersangkutan (Irawan, 2003). Kajian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan integrasi pasar hortikultura di Kabupaten Buleleng melalui analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar
515
METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data time series harga bulanan komoditas hortikultura ditingkat produsen dan konsumen periode 2003-2005 yang bersumber dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng. Data dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif melalui analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar produsen dan konsumen serta margin pemasaran. Analisis data dilakukan berdasarkan ketersediaan data komoditas baik ditingkat produsen maupun konsumen. Analisis margin pemasaran dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi dari pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran. Secara teoritis margin pemasaran merupakan selisih antara harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen (Tomek and Robinson, 1990). Untuk mengetahui hubungan atau besarnya pengaruh perubahan harga ditingkat produsen dengan ditingkat konsumen digunakan analisis integrasi pasar dengan menggunakan analisis korelasi model Gujarati (1999) sebagai berikut :
Pf
b1
b0
b1Pr
n Pri Pfi ( Pri )( Pfi ) {n Pr i 2 ( Pr i )2}{nPfi2 Pfi )2}
Keterangan : b1 : Koefisien korelasi Pr : Harga rata-rata tingkat pengecer Pf : Harga rata-rata tingkat petani b0 : Intersept n : Jumlah sampel Jika koefisien korelasi (b1) = 1, artinya terjadi integrasi harga secara sempurna antar pasar tingkat petani dengan pasar tingkat konsumen sehingga pasarnya bersaing sempurna, dan dapat dikatakan bahwa pemasarannya efisien. Jika koefisien korelasi (b1) 1, tidak terjadi integrasi harga secara sempurna sehingga pasarnya bukan pasar persaingan sempurna dan pemasarannya tidak efisien. Jika b1 <1, maka pasarnya mengarah ke monopsoni dan jika b1 >1, pasarnya mengarah ke monopoli. Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui penampakan pasar antara pasar tingkat produsen dan pasar tingkat konsumen, digunakan model regresi sederhana (Azzaino, 1982). Pf =
b0 + b1 Pr
ditransformasikan dalam bentuk linier menjadi :
ln Pf = ln b0 + b1 ln Pr dimana : b0 b1 Pr Pf
: intersept : koefisien elastisitas transmisi harga : Harga rata-rata tingkat pengecer : Harga rata-rata tingkat petani
Nilai koefisien regresi b1 menggambarkan besarnya elastisitas transmisi harga antara harga ditingkat petani dengan harga ditingkat konsumen. Jika = 1, berarti perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen hanya dibedakan oleh margin pemasaran yang tetap. Jika > 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produsen. Jika < 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih kecil dibanding tingkat produsen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi, Harga dan Margin Pemasaran Produksi hortikultura umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu seperti halnya untuk komoditas sayuran banyak dihasilkan dari daerah Buleleng selatan yang memiliki tofografi pegunungan/ dataran tinggi sedangkandaerah Buleleng utara dengan tofografi dataran rendah cenderung sebagai daerah produsen buah-buahan tropis seperti anggur dan mangga. Kondisi demikian merupakan suatu proses historis yang secara umum melibatkan aspek agroklimat dan kondisi social ekonomi daerah bersangkutan. Sifat hortikultura yang berorientasi pasar menyebabkan petani hortikultura, terutama sayuran lebih kreatif dibandingkan petani tanaman pangan lainnya. Kondisi demikian menyebabkan petani sayuran pada umumnya lebih mandiri dalam mengadopsi dan mengembangkan teknologi usahatani yang dibutuhkan.
516
Kemandirian tersebut memang sangat berguna jika didukung dengan wawasan pengetahuan yang luas dan informasi yang akurat. Tabel 1. Produksi, Harga dan Margin Pemasaran Beberapa Komoditass Hortikultura di Kabupaten Buleleng, 2005. Komoditas
Produksi (ton)
Harga Produsen (Pf) (Rp)
Kubis 6.070 928.65 Tomat 126 1353.12 Bawang merah 322 4573.62 Bawang putih 147 5082.77 Kentang 3530 1885.12 Cabai Merah 736 5801.46 Wortel 1585 1422.58 Pisang 19.534 2205.17 Pepaya 1.185 1392.88 Anggur 10.032 2573.78 Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Buleleng 2005 .
Harga Konsumen (Pr) (Rp)
Margin (Rp)
1722.34 2488.32 7171.04 8472.63 3441.83 7566.93 2643.47 5145.29 3049.24 6052.87
793.69 1135.20 2597.43 3389.86 1556.72 1765.46 1220.89 2240.17 1656.36 3479.09
Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa margin pemasaran komoditi hortikultura sangat bervariasi, dimana margin tertinggi terdapat pada anggur, bawang putih dan pisang. Besar kecilnya margin pemasaran suatu komoditas tentunnya sangat dipengaruhi oleh harga output komoditi, waktu, biaya dan saluran pemasaran yang terjadi. Irawan (2003) meyatakan bahwa kondisi harga produk hortikultura yang berfluktuatif terjadi akibat kurangnya penawaran dibandingkan permintaan. Fluktuasi tersebut umumnnya disebabkan oleh disinkronisasi perencanaan produksi antar daerah produsen. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang, karena petani memiliki posisi tawar yang lemah. Oleh karena itu dapat dipahami jika keuntungan pedagang dalam pemasaran hortikultura relatif tinggi berkisar antara 14 –50 persen dari harga ditingkat konsumen.
(Rp/Kg)
16000
Kubis
14000
Tomat
12000
B Merah
10000
B Putih Kentang
8000
C Merah
6000
Wortel
4000
Pisang Pepaya
2000
Anggur 0 Jan Feb Mar Apr
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des (Jan-Des 2005)
Gambar 1. Perkembangan harga komoditas hortikultura ditingkat produsen di Kabupaten Buleleng, 2005. 16000
Kubis Tomat
12000
B Merah
10000
B Putih
(Rp/Kg)
14000
Kentang 8000 C Merah 6000
Wortel
4000
Pisang
2000
Pepaya Anggur
0 Jan Feb Mar Apr
Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des (Jan-Des 2005)
Gambar 2. Perkembangan harga komoditas hortikultura ditingkat konsumen di Kabupaten Buleleng, 2005.
517
Preferensi konsumen dalam membeli produk hortikultura, terutama sayur dan buah, secara umum lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memiliki nilai gizi yang lebih baik. Namun produk hortikultura pada umumnya justru relatif cepat mengalami kebusukan, karena itu setelah dipanen produk hortikultura memerlukan penanganan secara cepat untuk disalurkan pada konsumen. Jika tidak, maka akan terjadi penurunan harga akibat akibat penurunan kesegaran atau mutu produk yang dijual. Oleh karena itulah harga sayuran ditingkat petani sangat fluktuatif dalam jangka waktu yang sangat pendek, harian atau antara pagi dan sore hari akibat penurunan kualitas produk yang dipasarkan. Untuk mengurangi resiko penerimaan akibat fluktuasi harga dan kegagalan panen, maka ditingkat petani komoditas sayuran umumnya diusahakan secara tumpang sari. Pola usahatani demikian menyebabkan OPT sayuran umumnya lebih beragam, sehingga petani pada umumnya menggunakan pestisida secara inensif yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi usahatani. Struktur dan Integrasi Pasar Secara konseptual pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan social yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif ditingkat desa hingga nasional. Dalam kehidupan sector pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil pertanian, dimana mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri, misalnya timbulnya pedagang kaki tangan dan pedagang komisioner (Syahyuti, 2004). Salah satu karakteristik komoditi pertanian yang sangat penting dalam mempelajari struktur pasar adalah sifat homogen dan massal. Sifat homogen mengindikasikan bahwa konsumen tidak bias mengindikasi sumber-sumber penawaran disubstitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Sifat massal memberikan indikasi bahwa jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan seorang produsen dianggap sangat kecil dibandingkan jumlah komoditi total yang dipasarkan, sehingga produsen pertanian secara individual tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar dan bertindak sebagai penerima harga (price taker). Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar : (1) jumlah dan besar penjual dan pembeli, apakah penjual relatif banyak sehingga tidak terdapat seorang penjual pun yang dapat mempengaruhi harga; (2) keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk tersebut homogen, berbeda corak ataukah produk tersebut unik sehingga tidak ada penjual lain yang dapat mensubstitusiikan produk yang dijual tersebut; (3) kemudahan keluar dan masuk pasar; (4) pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar (Sudiyono, 2001). Hasil analisis korelasi harga ditingkat petani dengan harga ditingkat pengecer diperoleh nilai koefisien korelasi (r) yang positif dan lebih kecil dari 1. Koefisien korelasi ini juga menunjukkan adanya hubungan linier antara harga ditingkat petani (Pf) dengan harga ditingkat pengecer (Pr) dengan tingkat keeratan sebesar koefisien korelasinya. Dengan nilai r <1, berarti kedua pasar berintegrasi tidak sempurna. Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara harga ditingkat petani dan konsumen adalah lemah dimana jika terjadi kenaikan harga satu-satuan ditingkat konsumen akan diikuti dengan kenaikan harga yang kurang dari satu ditingkat produsen, sehingga dapat dikatakan bahwa integrasi pasarnya adalah tidak sempurna atau bukan pasar persaingan. Dengan korelasi yang lemah, integrasi pasar yang tidak sempurna maka struktur pasar yang terbentuk bukan merupakan pasar persaingan sempurna dan mengarah ke pasar oligopsoni. Dapat dikatakan secara umum bahwa sistem pemasaran yang terbentuk tidak efisien. Sedangkan untuk menentukan struktur pasarnya secara spesifik dapat dilakukan melalui analisis struktur pasar secara kualitatif. Tabel 2. Analisis Integrasi Pasar Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Buleleng, 2003 - 2005 Komoditas Kubis Tomat Bawang merah Bawang putih Kentang Cabai Merah Wortel Pisang Pepaya Anggur
Koefisien Korelasi (r) 0.728 0.923 0.758 0.598 0.466 0.587 0.180 0.571 0.509 0.541
Kriteria / Struktur Pasar Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni) Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
518
Sebagaimana dinyatakan oleh Hutabarat dan Rahmanto (2004) petani-petani hortikultura umumnya tidak memiliki informasi yang memadai tentang keadaan pasar dan teknologi pascapanen dan pengolahannya untuk menampung kelebihan pasokan sehingga pada saat berikutnya mereka menyesuaikan penyesuaian produksi. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi pedagang-pedagang apapun bentuknya, untuk menguji kekuatannya. Dengan kekuatan seperti itu mereka dapat menekan harga yang mereka bayarkan kepada petani serendah mungkin, karena petani jumlahnya relatif banyak dan mereka tidak bersatu, sehingga pasarnya tidak bersaing sempurna melainkan bersifat persaingan oligopsoni. Ciri-ciri dari pasar seperti ini adalah beranekaragamnya mutu produk dan langkanya informasi lengkap, tetapi ciri yang paling utama yang membedakannya dari bentuk-bentuk pasar yang lain adalah besarnya proporsi komoditas yang dibeli oleh hanya beberapa pedagang besar. Karena jumlah pedagang besarnya sangat sedikit, maka terciptalah keadaan saling ketergantungan diantara mereka. Dari uraian tentang struktur pasar hortikiultura secara umum dapat ditunjukkan bahwa struktur pasar ditingkat produsen atau petani cenderung oligopsoni dimana terdapat banyak petani yang menjual berbagai macam komoditas sayuran maupun buah-buahan. Pedagang lebih menguasai informasi mengenai harga, biaya dan kondisi pasar jika dibandingkan dengan petani. Dari keadaan umum struktur pasar hortikultura yang tergambar diatas dapat dikatakan bahwa struktur pasarnya berada dalam pasar persaingan tidak sempurna. Irawan (2003) menyatakan bahwa pasar produk hortikultura membentuk segmen-segmen pasar spesifik menurut daerah dan kelompok konsumen akibat jenis komoditas dan preferensi konsumen yang beragam. Besarnya volume permintaan pada setiap segmen pasar seharusnya menjadi acuan bagi petani dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya. Dengan kata lain informasi tentang segmen pasar yangmenyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Namun informasi ini pada umumnya masih sulit diperoleh petani karena belum ada lembaga tertentu yang mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada petani. Analisis elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui persentasi perubahan harga ditingkat produsen akibat perubahan harga ditingkat konsumen. Sudiyono (2001) menyatakan bahwa pada umumnya nilai elastisitas transmisi ini lebih kecil daripada satu, artinya volume dan harga input konstan maka perubahan nisbi harga ditingkat pengecer tidak akan melebihi perubahan nisbi harga ditingkat petani. Selain menunjukkan besarnya perubahan harga ditingkat petani dan pengecer, nilai elastisitas transmisi harga juga dapat menyatakan tingkat kompetisi suatu pasar, penampakan atau struktur pasar yang terbentuk. Nilai elastisitas transmisi harga (η) lebih kecil dari satu mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk antara pasar petani dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar persaingan. Dari hasil analisis regresi sederhana diperoleh koefisien regresi/dugaan parameter komoditas kubis sebesar 0.532, nilai koefisien regresi ini menunjukkan nilai elastisitas transmisi harga. Dan diperoleh nilai elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et<1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% ditingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0.532% ditingkat petani atau dapat juga diartikan bahwa perubahan harga ditingkat produsen sebesar 53.2% dipengaruhi oleh perubahan harga ditingkat konsumen. Demikian pula halnya dengan hasil analisis beberapa komoditas hortikultura lainnya menunjukkan Et < 1. Tabel 3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Buleleng 2003 - 2005 Komoditas
Dugaan Parameter
Kubis 0.532 Tomat 0.550 Bawang merah 0.587 Bawang putih 0.463 Kentang 0.500 Cabai Merah 0.524 Wortel 0.258 Pisang 0.760 Pepaya 0.678 Anggur 0.392 Keterangan : * = Significan pada taraf 5%
Koefisien Determinasi (R2)
F Hit
Stat D-W
0.53 0.85 0.58 0.36 0.22 0.35 0.32 0.33 0.26 0.30
38.38* 195.52* 46.05* 18.94* 9.45* 17.91* 11.40* 16.43* 11.91* 14.10*
2.20 2.10 1.26 1.49 2.17 1.34 2.18 1.75 1.75 1.79
519
Akibat posisi tawar petani yang lemah, terkait dengan berbagai kendala yang dihadapi, maka proses transmisi harga tersebut bersifat asimetri dimana penurunan harga konsumen diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya kenaikan harga diteruskan secara lambat dan tidak sempurna. Konsekuensinya adalah petani seringkali mengalami tekanan harga dan ketidakpastian pendapatan petani relatif tinggi akibat fluktuasi harga yang tinggi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Irawan (2003) tidak adanya hubungan langsung secara institusional diantara pelaku agribisnis menyebabkan kaitan fungsional yang harmonis tidak terbentuk dan setiap pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan saling tergantung untuk dapat mengembangkan usahanya. Struktur agribisnis yang demikian menyebabkan terbentuknya margin ganda akibat rantai pemasaran yang panjang sehingga ongkos produksi yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, sementara masalah transmisi harga dan informasi pasar yang tidak sempurna tidak dapat dihindari akibat tidak adanya kesetaraan posisi tawar, terutama antara petani dan pedagang. Lebih lanjut Syahyuti (1998) mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan posisi tawar petani dapat dilakukan melalui reduksi perilaku pedagang yang merugikan petani dengan penetapan standar kualitas, peningkatan keterjangkauan petani terhadap informasi pasar, dan penigkatan penyediaan infrastruktur. Hal ini dapat meningkatkatkan posisi tawar petani dalam hal penentuan nilai barang dan penentuan harga. Sementara untuk mereduksi perilaku pedagang yang merugikan petani dalam cara pembayaran dapat digunakan pendekatan kemitraan dengan kontrak kerja yang jelas. Namun alternatif lain untuk mengurangi perilaku pedagang yang merugikan petani adalah dengan melibatkan petani secara langsung dalam pemasaran, yaitu apabila pelaku pemasaran adalah lembaga petani itu sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Struktur pasar beberapa komoditas hortikultura di Kabupaten Buleleng umumnya bukan pasar persaingan sempurna atau mengarah pada monopsoni. Dengan beberapa karakteristik yang melekat pada produk hortikultura seperti perishable, diproduksi secara masal dan homogen, maka yang perlu untuk diupayakan adalah penanganan panen dan pasca panen.
2.
Untuk menghindari fluktuasi harga yang sangat tinggi pada komoditas hortikultura maka informasi pasar tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Dengan dukungan teknologi, keterampilan dan sarana pendukung lainnya pedaganglah yang menjadi penentu mutu produk petani. Faktor-faktor ini merupakan indikator kekuatan oligopsoni pedagang. Karena mereka yang menjadi penentu harga produk tersebut, sementara petani hanya menjadi penerima saja.
3.
Perlunya membangun jaringan informasi komoditas hortikultura utama dan menyebarluaskannya ke masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, yang mencakup volume produk yang keluar masuk wilayah. Pencatatan dan penyebarluasan informasi harga yang saat ini berjalan perlu ditingkatkan, sehingga minimal meliputi harga pada saat puncak dan lesunya transaksi komoditas setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA Anonin. 2006. Kebijakan Pembangunan Pertanian Pemerintah Kabupaten Buleleng (Strategi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering). Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantapan dan Sinkronisasi Primatani, 12-13 Juli 2006. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Bappeda. Anonim. 2005. Laporan Informasi Pasar 2003-2005. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng. Anonim. 2003. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Azzaino, Z. 1982. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Departemen Pertanian Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarno Zain. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hastuti, E.L. 2004. Kelembagaan Pemasaran dan Kemitraan Komoditi Sayuran. Jurnal Social Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 116 – 123.
520
Hutabarat, B dan B. Rahmanto. 2004.Dimensi Oligopsonistik Pasar Domestik Cabai Merah. Jurnal Social Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 45 – 56. Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 21 No. 1, Juli 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 67 – 82. Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press). Malang. 249 hal. Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 16 No. 1, Juli 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 42 – 53. Syahyuti. 2004. Pemerintah, Pasar dan Komunitas : Faktor Utama Dalam Pengembangan Agribisnis di Pedesaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 22 No. 1, Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 54 – 62. Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices (Third Edition). Cornell University Press. Ithaca and London.
521
ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBUATAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) CARA FERMENTASI Ni Pt. Sutami, Dian Adi A. Elisabeth, dan Ni Wayan Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Kelapa memegang peranan sangat penting dan strategis bagi masyarakat Bali, baik secara ekonomis, sosial, maupun budaya, bahkan religi. ”Kelapa dalam bali” adalah jenis kelapa dalam lokal yang memiliki kandungan minyak tinggi dan digunakan oleh masyarakat Bali sebagai bahan pengolahan minyak kelapa secara tradisional, yang disebut ”minyak kelentik” atau ”minyak tandusan”. Introduksi teknologi pembuatan minyak kelapa murni dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah bagi produk kelapa sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani kelapa melalui peningkatan nilai jual minyak kelapa yang diproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung analisis finansial dari pengolahan minyak kelapa murni, meliputi analisis kelayakan usaha (R/C ratio), titik impas harga, dan titik impas produksi. Pembuatan minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) telah dilakukan di sentra produksi kelapa di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006. Hasil analisis kelayakan finansial dengan R/C ratio sebesar 1,21 menunjukkan bahwa usaha pembuatan minyak kelapa murni ini layak untuk diusahakan. Pengolahan minyak kelapa murni menghasilkan dua jenis produk, yaitu minyak kelapa murni dan minyak kelentik. Produktivitasnya berturut-turut 6,38 liter dan 9,12 liter per 100 butir kelapa. Titik impas harga minyak kelapa murni Rp 13.403,08 per liter dan titik impas produksinya 2,85 liter; sementara titik impas harga minyak kelentik Rp 13.456,10 per liter dan titik impas produksinya 18,31 liter. Kata kunci : minyak kelapa murni, virgin coconut oil (VCO), analisis finansial
PENDAHULUAN Kelapa (Cocos nucifera L.) sebagai salah satu kekayaan hayati Indonesia telah berabad-abad dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik sebagai sumber makanan, obatobatan, industri dan lain-lain. Hasil-hasil produk kelapa di Indonesia secara umum masih bertumpu pada minyak kelapa, padahal kelapa merupakan tanaman yang serbaguna. Tanaman kelapa memiliki keragaman produk yang tinggi, karena dari daun sampai akar memiliki manfaat dan nilai sosial ekonomi. Bagi masyarakat Bali, kelapa merupakan komoditas strategis karena selain sebagai sumber pendapatan juga memiliki peranan sosial dan kultural. Akan tetapi saat ini, keadaan perkelapaan di Bali kurang menguntungkan terutama bila ditinjau dari produktivitas tanaman dan harga jual. Harga jual butiran kelapa masih rendah berkisar antara Rp 700 – 1000 per butir. Produktivitas tanaman kelapa per hektar di Bali tidak pernah melampaui 1,2 ton ekuivalen kopra/ha/th. Hal ini jauh di bawah produktivitas tanaman kelapa yang dipelihara secara intensif yang dapat mencapai jumlah 2,5 – 3 ton ekuivalen kopra/ha/th (APCC, 2004). Statistik Perkebunan Bali (2004) menyebutkan bahwa tanaman kelapa di Bali memiliki areal seluas 73.785 hektar atau kurang lebih 46,7 persen dari total luas areal perkebunan di Bali dengan jumlah total produksi sebesar 76.000 ton. Olahan kelapa yang selama ini dikenal dan populer di masyarakat adalah minyak kelapa cara tradisional atau minyak kelentik. Minyak ini sering digunakan sebagai penyubur dan penghitam rambut, serta pelancar proses kelahiran. Akan tetapi minyak kelentik tidak tahan simpan. Dengan introduksi teknologi dihasilkan minyak yang tahan simpan lebih lama, yang disebut dengan nama VCO. VCO atau virgin coconut oil (dalam bahasa Indonesia disebut sebagai minyak kelapa murni) merupakan produk modern buah kelapa yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf kesehatan, mengobati dan bahkan dimanfaatkan dalam bidang kecantikan atau kosmetika. Walaupun sebagai produk modern, pengembangan minyak VCO tetap berkaitan dengan akar budaya masyarakat yang menggantungkan hidup pada tanaman kelapa. Teknologi pengolahan kelapa menjadi VCO sangat mudah dan murah karena menggunakan bahan dan alat yang dapat dijumpai pada setiap tingkat rumah tangga. Teknologi pengolahan ini juga sederhana sehingga mudah untuk diaplikasikan, bahkan oleh petani kelapa yang hanya memiliki pengetahuan pengolahan terbatas. Minyak VCO dibuat dengan menggunakan bahan baku kelapa segar berupa santan atau parutan kelapa yang diproses dengan perlakuan mekanis dan panas yang minimal. Cara ini dimaksudkan untuk mempertahankan struktur bahan kimia tanaman yang terjadi secara alami. Ciri-ciri minyak kelapa murni ini adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa (Syah, 2005). Salah satu cara pembuatan minyak kelapa murni yang banyak dilakukan saat ini adalah dengan fermentasi. Proses fermentasi dimaksud untuk dapat mengekstrak minyak dari dalam santan. Untuk itu perlu
522
terlebih dahulu mengatur kondisi awal sehingga proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan air kelapa dalam santan kental sebelum fermentasi berlangsung. Dengan demikian diharapkan ekstraksi minyak dalam santan dapat terjadi secara optimal. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pendapatan dan kelayakan usaha dalam proses pengolahan VCO cara fermentasi. Dengan adanya berbagai produk olahan dari kelapa, implementasinya akan membawa perkembangan industri komoditas kelapa, peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya disamping mengembalikan citra Indonesia sebagai ”negeri nyiur melambai”.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006. Bahan yang dipergunakan kelapa tua (maksimal berumur 12 bulan) 100 butir. Penelitian mengamati fermentasi dengan menggunakan air kelapa untuk memperoleh data jumlah produksi minyak VCO dan minyak kelentik. Data diperoleh di petani dengan cara melihat langsung proses pembuatannya. Analisis data dilakukan dengan analisis kelayakan usaha (R/C ratio) dan analisis titik impas harga dan produksi. Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam menerapkan suatu teknologi. Sebagai tolak ukur adalah nisbah penerimaan dan biaya atau R/C ratio. Apabila R/C ratio > 1, maka usaha layak secara finansial (Rahmanto, Bambang, et. al., 1998). Secara sederhana dapat ditulis : R R/C ratio = C R = Py.Y C = FC + VC R/C ratio = {(Py.Y) / (FC +VC)} Keterangan : R = Penerimaan C = Biaya Py = Harga output Y = Output FC = Biaya tetap (fixed cost) VC = Biaya tidak tetap (variabel cost) Jika R/C ratio > 1 maka dikatakan layak, Jika R/C ratio < 1 maka dikatakan tidak layak dan Jika R/C ratio = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi) Analisis Titik Impas Harga dan Produksi Analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP) dipakai untuk membandingkan kemampuan suatu teknologi dalam mentolerir penurunan produksi atau harga sampai batas dimana penerapan teknologi tersebut masih memberikan tingkat keuntungan normal. Semakin besar nisbah produksi aktual dan harga aktual terhadap produksi minimal atau harga minimal pada tingkat keuntungan normal menunjukkan tehnologi tersebut dari segi produktivitas relatif terhadap usahatani yang dikorbankan (Hermanto, 1989).
523
Secara matematis nilai TIP dan TIH ditulis sebagai berikut : B TIP = Hp B TIH = P Keterangan : TIP = Titik Impas Produksi TIH = Titik Impas Harga B = Biaya Hp = Harga output P = Produksi
HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya-biaya dalam Proses Pengolahan Biaya proses pembuatan minyak kelapa murni mencakup biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan alat. Untuk biaya tenaga kerja, selain mencakup ongkos parut kelapa, juga melibatkan upah tenaga kerja untuk setiap aktivitas yang dilakukan selama proses pembuatan minyak kelapa murni, meliputi memeras santan dan merebus air untuk air hangat (air perasan santan), mengangkat santan kental atau krim yang diperoleh, mengangkat minyak kelapa murni yang diperoleh, menyaring minyak kelapa murni (termasuk mengemasnya), serta menggoreng blondo sebagai hasil samping pengolahan minyak kelapa murni untuk mendapatkan minyak kelentik. Total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah 4,25 HOK atau sebesar Rp 105.000,00 (Tabel 1). Tabel 1. Analisis Kelayakan Usaha untuk 100 Butir Kelapa Uraian Biaya Proses 1. Biaya sarana produksi a. Kelapa b. Bahan bakar Total biaya sarana produksi (a + b) 2. Biaya tenaga kerja a. Ongkos parut kelapa b. Peras santan + rebus air Angkat krim Angkat VCO Saring VCO Goreng blondo Total biaya tenaga kerja (a + b) 3. Biaya penyusutan alat Alat-alat pembuat VCO (kekuatan 15 tahun) 4. Total biaya proses Penerimaan 1. Minyak Kelapa Murni 2. Minyak Kelentik 3. Total penerimaan Pendapatan R/C Ratio Sumber : data primer diolah
Jumlah
100 butir 1 liter
Harga Satuan
Nilai
1.000 3.000
100.000 3.000 103.000
200 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
20.000 40.000 5.000 10.000 20.000 10.000 105.000
3,3 jam
171,23
565,07 208.565,07
6,38 liter 9,12 liter
30.000 6.700
191.400 61.104 252.504 43.938,93 1,21
100 2 0,25 0,5 1 0.5
butir HOK HOK HOK HOK HOK
Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha pembuatan minyak kelapa murni, tingkat pendapatan yang diterima adalah Rp 43.938,93 per 100 butir kelapa (Tabel 1). Secara efisiensi ekonomis, diperoleh nilai R/C (return cost) ratio sebesar 1,21 (R/C ratio >1), atau yang berarti bahwa teknologi pengolahann minyak kelapa murni ini layak untuk diusahakan.
524
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan minyak kelapa murni untuk masing-masing produk yang dihasilkan selama proses, yaitu minyak kelapa murni sebagai produk utama dan minyak goreng atau minyak kelentik sebagai produk sampingannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis Biaya per Jenis Produk dalam Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni Jenis Produk Minyak Kelapa Murni Minyak Kelentik Sumber : data primer diolah
Total Biaya Produksi (Rp)
Produksi (liter)
Persentase Produksi (%)
Biaya/Jenis Produk (Rp)
208.565,07 208.565,07
6,38 9,12
41,16 58,84
85.511.67 122.719.68
Berdasarkan hasil perhitungan biaya per jenis produk didapatkan bahwa biaya untuk pembuatan minyak kelapa murni adalah Rp 85.511.67, sementara biaya untuk pembuatan minyak kelentik adalah Rp 122.719.68. Biaya produksi minyak kelentik yang lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa murni disebabkan oleh produksi minyak kelentik yang lebih besar dibandingkan dengan minyak kelapa murni, yaitu dengan kapasitas masing-masing 41,6 persen untuk minyak kelapa murni dan 58,84 persen untuk minyak kelentik (Tabel 2). Titik impas harga adalah nilai yang menunjukkan harga minimal yang harus dicapai pada tingkat produktivitas aktual agar usahatani tidak mengalami kerugian; sementara titik impas produksi adalah nilai yang menunjukkan produksi minimal dimana usaha dapat memberikan keuntungan normal. Hasil perhitungan titik impas harga dan titik impas produksi dari masing-masing produk minyak kelapa murni dan minyak kelentik disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Titik Impas Harga dan Titik Impas Produksi dalam Pengolahan Minyak Kelapa Murni Jenis Produk Minyak Kelapa Murni Minyak Kelentik Sumber : data primer diolah
Biaya Produksi (Rp)
Produksi (liter)
Harga Pasar (Rp/liter)
Titik Impas Harga (Rp)
Titik Impas Produksi (liter)
85.511.67 122.719.68
6,38 9,12
30.000 6.700
13.403,08 13.456,10
2,85 18.31
Hasil perhitungan titik impas harga menunjukkan bahwa titik impas harga untuk produk minyak kelapa murni yang dibuat selama penelitian adalah sebesar Rp 13.403,08 per liter. Nilai ini jauh dibawah harga pasaran minyak kelapa murni yang berlaku saat ini, yaitu Rp 30.000,00 per liter. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat produktivitas aktual yang dicapai oleh petani, usaha pengolahan minyak kelapa murni secara finansial menguntungkan. Lain halnya dengan produk minyak kelentik, yang memiliki titik impas harga sebesar Rp 13.456,10 per liter. Nilai titik impas harga ini mencapai dua kali lipat harga minyak kelentik di pasaran, yaitu Rp 6.700, 00 per liter; atau berarti bahwa secara finansial usaha pembuatan minyak kelentik ini tidak menguntungkan. Namun, secara keseluruhan, proses pembuatan minyak kelapa murni dengan hasil samping berupa minyak kelentik layak untuk diusahakan. Sementara, hasil perhitungan titik impas produksi menunjukkan bahwa produktivitas minimal dari kedua jenis produk agar tidak mengalami kerugian masing-masing sebesar 2,85 liter untuk minyak kelapa murni dan 18,31 liter untuk minyak kelentik. Bila produktivitas kedua jenis produk tersebut lebih rendah daripada angka-angka tersebut, maka usaha pembuatan minyak kelapa murni akan mengalami kerugian. Produksi minyak kelentik sebagai hasil samping dalam proses pembuatan minyak kelapa murni sebenarnya masih jauh di bawah angka titik impas produksi, yaitu 9,12 liter (Tabel 3). Namun, secara keseluruhan, proses pembuatan minyak kelapa murni tetap menguntungkan dan layak diusahakan karena keuntungan yang lebih tinggi dapat diperoleh dari produk minyak kelapa murni sebagai produk utama, yang produksinya mencapai 6,38 liter per 100 butir kelapa, jauh di atas nilai titik impas produksinya.
KESIMPULAN Hasil analisis kelayakan finansial dengan R/C ratio sebesar 1,21 menunjukkan bahwa usaha pembuatan minyak kelapa murni ini layak untuk diusahakan. Pengolahan minyak kelapa murni ini menghasilkan dua jenis produk, yaitu minyak kelapa murni dan minyak kelentik sebagai produk samping, dengan produktivitas berturut-turut 6,38 liter dan 9,12 liter per 100 butir kelapa. Titik impas harga minyak kelapa murni adalah Rp 13.403,08 per liter dan titik impas produksinya 2,85 liter; sementara titik impas harga minyak kelentik adalah Rp 13.456,10 per liter dan titik impas produksinya 18,31 liter.
525
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. Statistik Perkebunan Bali. Bappeda Propinsi Bali. Alam Syah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil, Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta. APCC. 2004. World Coconut Industries : Past, Present, Future. Makalah disampaikan dalam Coconut World Meeting, 14 – 15 April 2004. Bali. Hermanto, F. 1989. Ilmu Usahatani.Penebar Swadaya. Jakarta. Rahmanto, B dan Made Oka Adnyana, 1988. Potensi SUTPA dalam Meningkatkan Kemampuan Daya Saing Komoditas Pangan di Jawa Tengah. Prosiding Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
526
DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHATANI KOPI Rubiyo dan Suharyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari penerapan teknologi rehabilitasi tanaman kopi robusta menjadi arabika dan dampaknya terhadap struktur biaya dan pendapatan usahatani kopi. Penelitian dilakukan di Desa Kembangsari, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang merupakan daerah sentra produksi kopi dengan ketinggian >1000 mdpl. Pengumpulan data dilakukan melalui survey melibatkan 25 orang petani responden yang menjadi koperator sejak pengkajian tahun 2002, dengan rata-rata populasi 300 tanaman kopi per petani dengan rata-rata luas lahan 0,75 hektar. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dan hasilnya menunjukkan bahwa: (a) penerapan teknologi sambung samping dalam usahatani kopi meningkatkan biaya input hingga 69,93%; (b) produktivitas usahatani per hektar meningkat sekitar 59,16%; (c) dampak teknologi terhadap pendapatan petani dipengaruhi oleh tingkat harga output yang berlaku; (d) untuk meningkatkan efektivitas penerapan teknologi usahatani perlu diawali sosialisasi yang lebih intensif dan melibatkan pihak Pemerintah Daerah setempat. Kata kunci : kopi, teknologi, struktur biaya, pendapatan usahatani.
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan baku industri, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan wilayah. Dari luas areal 1.302 juta hektar pada tahun 2005, sebagian besar (95,96%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dan sisanya (4,04%) diusahakan dalam bentuk perkebunan besar. Posisi tersebut menunjukkan bahwa peranan petani dalam perkembangan perekonomian nasional masih cukup dominan. Pertanaman kopi yang diusahakan sebagian besar berupa kopi Robusta seluas 1.191.557 ha (91,5%) dan kopi Arabika seluas 110.486 ha (8,95%) (Anonim, 2006). Bali merupakan salah satu produsen kopi di Indonesia yang cukup besar dan memiliki peluang untuk mengembangkan kopi spesial, karena kopi Bali sudah memiliki nama di pasaran. Kecamatan Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu sentra produksi kopi khususnya kopi robusta dengan luas areal sekitar 4.155 hektar kopi arabika dan 350 hektar kopi robusta (Anonim, 2004), dengan ketinggian diatas 1000 mdpl merupakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan kopi arabika. Permasalahannya adalah petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara campuran dua jenis tanaman kopi yaitu kopi robusta dan arabika. Kopi robusta umumnya sudah lebih tua dan perolehan harga lebih rendah dibandingkan kopi arabika yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Mengingat agroekosistem ini sesuai untuk kopi arabika maka apabila kopi robusta dapat direhabilitasi menjadi arabika diperlukan teknologi yang kompatibel, tidak hanya bagi kelestarian lingkungan namun juga kesinambungan pendapatan petani mengingat kopi merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mempercepat langkah konversi adalah dengan cara penyambungan kopi Robusta di lapangan. Teknologi ini lebih diarahkan untuk diterapkan ditingkat petani yang umumnya kemampuan modalnya sangat terbatas (Nur dan Sudjatmiko, 1994). Perbaikan teknologi hasil penelitian dan pengembangan untuk memecahkan masalah aktual di lapangan selain merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional juga sangat diperlukan untuk membantu produsen dalam merespon perubahan lingkungan termasuk peningkatan produktivitas dan pendapatan. Teknologi baru yang efisien memberi peluang bagi petani produsen untuk memproduksi lebih banyak dengan korbanan lebih sedikit terutama sasaran inovasi baru dengan kebutuhan lebih spesifik (Hendayana, 2003). Dengan dasar hal tersebut makalah bertujuan untuk mengukur dampak penerapan teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi arabika dengan teknik sambung terhadap perubahan struktur biaya dan pendapatan usahatani kopi.
527
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian terhadap dampak penerapan teknologi difokuskan pada pengkajian ex-post dengan pendekatan yang digunakan before and after. Penelitian dilakukan di Bali khususnya di wilayah agroekosistem lahan kering dataran tinggi beriklim kering yakni di Kabupaten Bangli, tepatnya di Desa Kembangsari Kecamatan Kintamani. Penentuan petani responden dilakukan secara purposive didasarkan atas statusnya sebagai petani koperator pengkajian rehabilitasi kopi robusta menjadi arabika yang dimulai sejak tahun 2002 yaitu sebanyak 25 petani yang menerapkan teknologi introduksi. Teknik penyambungan di lapangan dengan menggunakan metode siwingan, yaitu dengan memangkas separuh bagian tajuk kopi Robusta di atas sambungan. Kopi Arabika varietas S 795 digunakan sebagai batang atas. Metode ini selain dapat mendorong pertumbuhan sambungan lebih sehat juga masih dapat diharapkan diperoleh hasil panen kopi Robusta hingga 55%. Peningkatan produksi suatu komoditas (J) sebagai dampak teknologi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematika sebagai berikut (Hendayana, 2003) : J =
Y x t x A
dimana :
J
= Y = t = A =
peningkatan produksi (ton) peningkatan hasil (t/ha) tingkat adopsi teknologi introduksi (hamparan atau jumlah petani) total area tanam yang menerapkan teknologi introduksi
Biaya yang dikeluarkan petani sebagai konsekuensi mengadopsi teknologi baru dapat didefinisikan sebagai peningkatan biaya per unit yang diperlukan untuk peningkatan produksi (J). Penghitungannya dapat menggunakan formula sebagai berikut : I =
C x ( t/Y )
dimana :I
=
C = t = Y =
biaya tambahan per unit hasil yang diperlukan untukmendapatkan peningkatan produksi sebanyak J (Rp/kg) biaya mengadopsi per unit area karena petani beralih ke teknologi baru (Rp/ha) tingkat adopsi teknologi baru dalam hektar atau jumlah petani rata-rata hasil (kg/ha)
Dampak penerapan teknologi baru terhadap pendapatan rumah tangga tani dapat didekati dengan menggunakan analisis usahatani dengan membandingkan antara rata-rata pendapatan usahatani sebelum dan sesudah menerapkan teknologi baru dengan pendekatan partial budgeting analysis. Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) dapat digunakan untuk mengukur kelayakan teknologi baru/introduksi dibandingkan dengan teknologi petani (FAO, 2003; Swastika, 2004; Malian, 2004) yang dapat diformulasikan sebagai berikut : Penerimaan kotor (I) - Penerimaan kotor (P) MBCR = Total biaya (I) - Total biaya (P) dimana : I = Teknologi introduksi P = Teknologi petani Secara teoritis, keputusan mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika MBCR >1. Artinya, tambahan penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologibaru harus lebih besar daripada tambahan biaya (Malian, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Teknologi terhadap Struktur Tenaga Kerja Tenaga kerja pada usahatani kopi cukup signifikan berkontribusi terhadap struktur biaya usahatani, terutama pada saat panen dimana pemanenan dilakukan secara bertahap. Secara normatif peningkatan pendapatan usahatani secara teoritis dapat terjadi melalui peningkatan produksi, atau pengurangan biaya input. Sehubungan dengan hal itu untuk mengetahui dampak penerapan teknologi oleh petani pendekatannya akan dilakukan melalui telaahan terhadap (a) perubahan struktur tenaga kerja, (b) struktur biaya usahatani, (c) perubahan produksi dan (d) perubahan pendapatan petani.
528
Perubahan struktur biaya tenaga kerja pada introduksi teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi arabika dengan teknik sambung secara keseluruhan cenderung meningkat (27,18%) dibandingkan sebelum petani menerapkan teknologi. Perbedaan mendasar antar sebelum penerapan teknologi dan sesudah terlihat dari biaya pemangkasan dan biaya panen. Hal ini terjadi karena pada usahatani kopi robusta yang biasa dilakukan petani, pemangkasan tidak begitu diperhatikan sedangkan pada kopi robusta (setelah penerapan teknologi) pemangkasan merupakan hal yang sangat penting karena selain untuk membentuk kanopi sekaligus untuk sanitasi lingkungan. Begitu juga dengan panen, pada kopi robusta pemanenan dilakukan hanya sekali tanpa seleksi buah sedangkan pada kopi robusta pemanenan dapat dilakukan hingga empat kali secara bertahap dengan memanen kopi gelondong merah. Sedangkan untuk biaya tenaga kerja yang lainnya umumnya relatif hampir sama seperti pemupukan, penjemuran, dan pengolahan. Tabel 1 Dampak Teknologi Tehadap Perubahan Struktur Biaya Tenaga Kerja Pada Usahatani Kopi di Kec. Kintamani, Bangli, 2006 (Rp/ha) Uraian – – – – –
Pemupukan Pemangkasan Panen Penjemuran Pengolahan Total
Setelah Rataan
Sebelum (%)
797.126,75 470.250,00 1.148.073,25 303.937,50 81.050,00 2.800.437,50
28,46 16,79 41,00 10,85 2,89 100,00
Rataan
(%)
660.231,00 306.801,00 915.651,00 235.224,00 84.051,00 2.201.958,00
29,98 13,93 41,58 10,68 3,82 100,00
Untuk melihat perubahan biaya tenaga kerja dan struktur tenaga kerja akibat introduksi teknologi juga tercermin pada nilai jumlah satuan HOK (hari orang kerja) karena biaya tenaga kerja merupakan hasil perkalian antara jumlah HOK dengan tingkat upah yang berlaku.Perubahan HOK dalam kegiatan ini secara terinci ditampilkan dalam Tabel 2. Tampak bahwa teknologi introduksi ternyata meningkatkan jumlah HOK sebesar 27,18% dibandingkan jika sebelum menerapkan teknologi introduksi. Berdasarkan proporsi HOK dari kedua jenis teknologi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar terdapat pada kegiatan panen, pemupukan dan diikuti dengan pemangkasan. Tabel 2. Dampak Komponen Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Tenaga Kerja Pada Usahatani Kopi di Kec. Kintamani, Bangli, 2006 (120 kg/ha) Uraian – – – – –
Pemupukan Pemangkasan Panen Penjemuran Pengolahan Total
Setelah Rataan 31,89 18,81 45,92 12,16 3,24 112,02
Sebelum (%) 28,46 16,79 41,00 10,85 2,89 100,00
Rataan 26,41 12,27 36,63 9,41 3,36 88,08
(%) 29,98 13,93 41,58 10,68 3,82 100,00
Dampak Teknologi Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Adapun pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dampak teknologi terhadap tingkat produktivitas dan pendapatan dilakukan terhadap jenis kegiatan pengkajian, sehingga akan diperoleh gambaran yang realistis dari tampak teknologi pengkajian yang bersangkutan. Dalam analisis ini yang dikaji adalah petani koperator sebelum introduksi teknologi dan setelah menjadi petani koperator (setelah menerapkan teknologi introduksi). Harapannya adalah selisih antara dua kegiatan itu positif karena hal itu artinya teknologi berdampak positif. Namun bila kenyataannya negatif, artinya teknologi introduksi menyebabkan terjadinya penurunan pada aspek yang dikaji. Harapannya yang bernilai negatif ini hanya terjadi pada komponen input dan tidak pada komponen output. Dalam kegiatan pengkajian ini biaya input saprodi yang terlihat terjadi perubahan peningkatan hanya pada penggunan pupuk kandang sebesar 54,08% dibandingkan dengan sebelum penerapan teknologi anjuran. Sedangkan total biaya perubahan penggunaan saprodi meningkat sebesar 69,93% dibandingkan sebelum menerapkan teknologi introduksi. Dengan tambahan biaya usahatani sebesar itu, tingkat produktivitas usahataninya mengalami peningkatan dari 784.48 kg per hektar menjadi 1.248,65 kg/hektar atau meningkat sekitar 464,17 kg/hektar (59,17%). Meskipun demikian, karena faktor harga output yang diperoleh petani koperator setelah menerapkan teknologi introduksi (kopi Arabika) lebih tinggi dari harga yang diterima sebelum menerapkan tenologi introduksi, maka dari sisi nilai pendapatan kotornya masih relatif lebih tinggi. Pendapatan kotor
529
setelah menerapkan teknologi introduksi meningkat dari sekitar Rp 8,24 juta menjadi 19,97 juta dalam satu hektar atau sekitar 142,54%. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dampak teknologi terhadap pendapatan petani dipengaruhi oleh tingkat harga output yang berlaku. Untuk melihat dampak teknologi terhadap produksi dapat dihitung dari perkalian selisih produksi dikalikan areal dampak. Sedangkan areal dampak yang diperoleh dari perkalian jumlah adopter dengan ratarata luas kepemilikan lahan per adopter. Dalam introduksi teknologi ini jumlah adopter ada 25 orang, dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,75 hektar sehingga total areal dampaknya adalah sekitar 18,75 hektar. Dengan demikian dampak teknologi introduksi terhadap produksi adalah sebesar 8.703,19 kg. Selanjutnya dampak teknologi terhadap pendapatan dapat dihitung dari perkalian tambahan produktivitas dengan tingkat harga per kg yang berlaku yakni sekitar Rp 16.000 yaitu sebesar Rp 7.426.720. Selanjutnya dengan mengalikan total areal dampak dengan pendapatan yaitu 18,75 ha dikalikan dengan Rp 7.426.720 maka hasilnya mencerminkan pendapatan wilayah. Hasil perkalian areal dampak dengan pendapatan menghasilkan nilai Rp 139.251.000. Selain diperoleh gambaran dampak teknologi terhadap produktivitas, produksi dan pendapatan, dengan analisis ini dapat pula diketahui informasi lainnya seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Dampak Teknologi Terhadap Produktivitas, Pendapatan dan Biaya Adopsi Teknik Rehabilitasi Kopi Robusta Menjadi Kopi Arabika di Kec. Kintamani, Bangli, 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Uraian Jumlah petani koperator (orang) Rata-rata luas lahan kopi (ha) Total areal dampak (ha) Produktivitas sesudah menjadi petani koperator (kg/ha) Produktivitas sebelum menjadi petani koperator (kg/ha) Selisih produktivitas (kg) Persentase peningkatan hasil (%) Dampak terhadap produksi (kg) Dampak terhadap pendapatan (Rp) Dampak terhadap pendapatan wilayah (Rp) Perubahan pendapatan kotor (Rp) Perubahan biaya (Rp/ha) Perubahan biaya per unit (Rp/kg) Marginal Benefit Cost Ratio Biaya adopsi per ha (Rp) Rasio biaya terhadap harga
Volume 25,00 0,75 18,75 1.248,65 784,48 464,17 59,17 8.703,19 7.426.720,00 139.251.000,00 11.741.360,00 1.832.363,42 3.947,61 6,41 4.452.455,82 0,01
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa penerapan inovasi teknologi usahatani kopi melalui rehabilitasi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung di wilayah kajian menghasilkan tambahan keuntungan bagi petani sebesar Rp 9.908.997 per hektar per tahun. Nilai MBCR (marginal benefit cost ratio) dari penerapan inovasi teknologi introduksi tersebut sebesar 6,41 yang berarti setiap tambahan biaya dalam menerapkan inovasi teknologi introduksi sebesar Rp 1.000 dapat meningkatkan penerimaan sebesar Rp 6.410. Hal ini berarti penerapan inovasi teknologi introduksi uahatani kopi sangat layak untuk dikembangkan ke wilayah yang lebih luas. Informasi lain yang diperoleh adanya besaran nilai biaya adopsi yang harus dikeluarkan petani. Biaya adopsi mencerminkan besarnya biaya yang dikeluarkan petani untuk menerapkan teknologi. Logikanya nilai biaya adopsi ini harus lebih rendah dari tingkat perolehan pendapatan, sehingga pendapatan usahatani dapat menutup biaya tersebut. Besarnya biaya adopsi sangat erat kaitannya dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi itu sendiri. Selain biaya adopsi, informasi yang juga penting adalah didapatkannya rasio harga dengan biaya usahatani. Rasio ini mencerminkan besarnya besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam setiap satuan harga output yang berlaku. Nilai rasio biaya terhadap harga ini berkisar antara 0 sampai 1, semakin kecil rasio biaya terhadap harga semakin baik teknologi yang diintroduksikan, yang tentunya akan meningkatkan pendapatan petani.
530
KESIMPULAN DAN 1.
Penerapan teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung memberikan dampak perubahan tidak saja pada aspek produksi dan pendapatan petani, akan tetapi juga memberikan dampak pada struktur biaya usahatani termasuk struktur tenaga kerja.
2.
Penerapan teknologi telah meningkatkan biaya input usahatani hingga 69,93% sementara itu terhadap produktivitas usahatani peningkatannya relatif rendah yakni sekitar 59,17%. Namun demikian pendapatan usahatani meningkat dari Rp 5.616.947,60 menjadi Rp 15.525.944,18 atau sekitar 142,54% karena faktor harga output yang kondusif, dimana harga kopi Arabika jauh lebih mahal dibandingkan kopi Robusta.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Denpasar. Anonim. 2006. Arah Kebijakan Pengembangan Kopi di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Simposium Kopi 2006. Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 8 hal. FAO. 2003. Farming System Development; A General Guideline. FAO. Rome. Hendayana, R. 2003. Dampak Penerapan Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi. Working Paper. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 14 hal. Malian, A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November – 9 Desember 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Nur, A.M. dan D.A. Sudjatmiko. 1994. Kajian Pendahuluan Konversi Kopi Robusta ke Arabika dengan Teknik Penyambungan di Lapangan. Pelita Perkebunan. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol. 10 No.1. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember. Hal 36 – 42. Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 7 Nomor 1. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 90 – 103.
531
ANALISIS USAHATANI SKALA RUMAH TANGGA TERHADAP PRODUK OLAHAN SARI BUAH DAN SIROP BUAH JERUK SIAM W. Trisnawati dan Jemmy Renaldi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Jeruk siam (citrus nobilis var. microcarpa) merupakan anggota jeruk keprok yang berasal dari Siam (Muangthai). Jeruk siam saat ini banyak diminati, sekitar 60% konsumen lebih menyukai jeruk siam dibandingkan jenis jeruk lainnya. Pada saat musim panen raya produksi biasanya melimpah sehingga harga rendah, bila hal ini tidak diatasi maka banyak buah yang tidak termanfaatkan dengan baik. Untuk mencegah terbuangnya bahan segar dapat diatasi dengan pengolahan produk, diantaranya produk olahan sari buah dan sirop buah jeruk. Desa Selulung Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli merupakan salah satu sentra pengembangan jeruk siam di Bali. Proses pengolahan dilakukan di lahan petani pada bulan Maret sampai Desember 2005. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pengolahan buah jeruk menjadi produk sari buah dan sirop sehingga dapat memberikan nilai lebih pada petani bila dibandingkan dijual segar terutama pada musim panen raya. Data dianalisa secara deskritif dengan melihat analisis usahatani, apakah layak untuk diusahakan. Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk sebesar Rp 56.511,81. Dengan titik impas harga sebesar Rp 594,86/240 ml, sehingga Harga layak jual minimum sebesar Rp 773,32 dan B/C ratio 1,30. Sedangkan biaya yang dikeluarkan pada proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk sebesar Rp 63.786,81. Titik impas harga sebesar Rp 5.315,57/600 ml, sedangkan harga layak jual minimum sebesar Rp. 6.910,24/600 ml dan B/C ratio 1.30. Kata kunci : jeruk siam, produk olahan dan usahatani
PENDAHULUAN Buah merupakan komoditi pertanian yang mudah rusak, tidak dapat disimpan lama cepat membusuk dan mudah diserang hama maupun penyakit. Demikian pula halnya dengan buah jeruk akan cepat rusak bila tidak mendapat penanganan yang baik mulai dari petik sampai tiba dikonsumen (Sudjarwanto, 1993). Pada saat musim panen raya distribusi pemasaran buah-buahan memerlukan waktu yang relatif lama dari produsen ke konsumen. Untuk penanganan buah jeruk alternatif yang bisa dilakukan untuk mengendalikan kerusakan dan mengatasi kelebihan produksi adalah dengan melakukan pengolahan pada buah. Dengan mengolahnya menjadi berbagai macam produk maka daya simpan menjadi lebih lama dan jangkauan pemasarannya lebih luas. Hal ini memungkinkan pada saat bukan musimnya kita masih dapat menikmati cita rasa buah sesuai dengan cita rasa buah segarnya. Jeruk adalah buah yang paling disukai oleh orang Indonesia, konsumsi buah jeruk perkapita tahun 1999 sebesar 1,20 kg/tahun lebih tinggi dibanding mangga (0,26 kg/tahun), nenas (0,68 kg/tahun) salak (0,73 kg/tahun) dan durian (0,16 kg/tahun). Di negara-negara berkembang konsumsi jeruk mencapai 6,9 kg/kapita pertahun, pada negara-negara maju mencapai 32,6 kg/kapita/tahun (Anonim, 2004). Buah jeruk mengandung vitamin C yang cukup tinggi dan dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun sebagai olahan (juice). Setiap 100 gram bagian yang dapat dimakan buah jeruk mengandung energi 28,00 kal, protein 0,5 gram, lemak 0,1 gram, karbohidrat, 7,20 gram dan 50-100 gram vitaminC. Pengolahan sari buah jeruk merupakan salah satu bentuk olahan, yang merupakan larutan inti daging buah yang diencerkan, sehingga memiliki cita rasa yang sama dengan buah aslinya (Satuhu, 1993). Proses pengolahan produk sari buah umumnya masih dilakukan secara sederhana. Sari buah yang dihasilkan masih bersifat keruh dan mengandung endapan, akibat tingginya kadar pektin buah. Berdasarkan tingkat kekeruhan maka dikenal dua jenis sari buah, yaitu sari buah jernih dan sari buah keruh. Dimana sari buah jeruk termasuk golongan sari buah keruh karena mengandung kadar pektin yang tinggi (Astawan, 1991). Disamping itu buah jeruk bisa juga diolah menjadi sirop. Sirop adalah minuman ringan berupa larutan kental. Penggunaan sirop tidak bisa langsung diminum tetapi harus diencerkan terlebih dahulu, ini disebabkan karena sirop memiliki kandungan gula yang tinggi yakni sekitar 65% (Satuhu, 1993). Pemanfaatan buah jeruk siam menjadi produk olahan, terutama pada saat musim panen raya diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani sehingga tidak ada jeruk yang terbuang karena harga yang jatuh bila terjadi over produksi.
532
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pengolahan buah jeruk menjadi produk sari buah dan sirop sehingga dapat memberikan nilai lebih pada petani bila dibandingkan dijual segar terutama pada musim panen raya.
METODOLOGI Tanaman jeruk yang dipakai pada penelitian ini adalah jenis jeruk siam. Sentra tanaman jeruk di Bali adalah di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pelaksanaan kegiatan dilakukan mulai bulan Maret sampai Desember 2005, sedangkan puncak panen raya pada bulan Agustus-Oktober. Pengembangan penanganan jeruk siam difokuskan pada upaya pengolahan produk pada skala rumah tangga (home industri). Model pengolahan jeruk siam dengan mengumpulkan jeruk petani apkir dijadikan sebagai bahan baku untuk dijadikan produk olahan sari buah dan sirop. Metode Analisis Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis usahatani. Analisis usahatani digunakan untuk melihat tingkat penerimaan, pengeluaran biaya produksi dan tingkat pendapatan dalam hal ini proses pengolahan dikerjakan secara berkelompok, sehingga diperoleh nilai kelayakan usahatani. Data dianalisis secara dekstriktif, analisis pendapatan dan analisis BCR. Analisis pendapatan digunakan rumus : (Downey dan Erickson 1985; dan Suratiyah 1995) π = Σ (γ . P γ) - Σ (Xi. Pxi) dimana : π Y Pxi Pγ XI
= = = = =
pendapatan output Harga input Harga output Jumlah input (I = 1,2,……n)
Benefit Cost Ratio (BCR) dengan menggunakan persamaan (Kadariah, et.al., 1978 dan Soetrisno, 1982) BPV BCR = CPV dimana : BCR BPV CPV BCR BCR BCR
= = = > > <
Ratio penerimaan terhadap biaya Total penerimaan dalam rupiah pada tingkat nilai sekarang Total biaya dalam rupiah pada nilai sekarang 1 dianggap layak 1 Inpas 1 tidak layak
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Sari Buah Jeruk Siam
Biaya produksi usaha pengolahan sari buah jeruk terdiri dari biaya bahan, biaya penyusutan alat dan biaya tenaga kerja (Tabel 1). Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk yang termasuk dalam grade D dan E yaitu sebesar Rp 56.511,81. Adapun biaya tersebut terdiri dari biaya bahan sebesar Rp 46.275, biaya penyusutan alat sebesar Rp 236,81 dan biaya tenaga kerja Rp 10.000. Dari total biaya proses pengolahan sari buah tersebut didapat bahwa variabel yang sangat mempengaruhi besarnya biaya pada proses pengolahan tersebut adalah biaya sarana produksi yaitu biaya gula sebesar Rp 18.000 atau 3,6 kg/20 kg jeruk matang. Titik Impas Harga, Harga Layak Jual Minimum dan B/C ratio Sari Buah Jeruk Titik impas harga menunjukkan harga minimum yang harus dicapai (pada tingkat produktivitas aktual), agar usaha tidak mengalami kerugian. Hasil analisis titik impas pada produk setengah jadi cokelat ditunjukkan pada Tabel 1.
533
Hasil analisis titik impas harga dari produk sari buah jeruk menunjukkan bahwa dalam 1 gelas atau dengan kapasitas 240 ml memperoleh nilai titik impas harga sari buah jeruk sebesar Rp 594,86. Adapun harga layak jual minimum untuk produk sari buah jeruk di Desa Selulung, Kintamani, Bangli didapat yaitu Rp 773,32. Dengan B/C ratio sebesar 1,30 (>1) yang meupakan syarat kelayakan bahwa suatu usaha bisa dikatakan menguntungkan. Dengan demikian produk sari buah jeruk yang diusahakan dapat bersaing di tingkat pasar sebab harga di pasar cukup tinggi yaitu sebesar Rp. 1.000/gelas. Dengan demikian produk olahan sari buah jeruk yang dilakukan petani sangatlah layak jika diusahakan. Tabel 1. Analisis Biaya Produksi Usaha Pengolahan Sari Buah Jeruk di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali Tahun 2005 No
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga per Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
I
Biaya Bahan Buah Jeruk 20 kg 500,00 10.000,00 Asam sitrat 0,25 bungkus 700,00 175,00 Gula pasir 3,6 kg 5.000,00 18.000,00 Air 18 liter 100,00 1.800,00 Gelas 95 buah 140,00 13.300,00 Minyak tanah 1 liter 3.000,00 3.000,00 Total Biaya Bahan 46.275,00 II Biaya Penyusutan 1 Timbangan 1 buah 50.000,00 69,44 2 Pisau 1 buah 2.500,00 3,47 3 pemeras jeruk 1 buah 5.000,00 6,94 4 panci 1 buah 20.000,00 27,78 5 saringan 1 buah 5.000,00 41,67 6 gelas ukur 1 buah 10.000,00 13,89 7 kompor gas 1 buah 30.000,00 41,67 8 sendok 1 buah 3.000,00 4,17 9 waskom 1 buah 20.000,00 27,78 Total Biaya Penyusutan 236,81 III Biaya Tenaga Kerja 1 Proses Pengolahan 0,5 HOK 20.000,00 10.000,00 Total Biaya Tenaga kerja 10.000,00 IV Total Biaya 56.511,81 V Produksi 23 Liter 95 gelas VI BEP Harga (IV : V) 1 gelas 594,86 VII Harga Layak Jual 1 gelas 773,32 VIII Penerimaan 95 gelas 73.465,40 IX B/C ratio 1.30 Keterangan : - Kekuatan alat pada proses pengolahan sari buah adalah 3 tahun kecuali saringan hanya 6 bulan. - Kapasitas 1 gelas sari buah jeruk sebesar 240 ml. - Produksi Sari jeruk dari 20 kg jeruk matang adalah 6 liter 1 2 3 4 5 6
2.
Sirop Buah Jeruk Siam
Biaya produksi usaha pengolahan sirop buah jeruk terdiri dari biaya bahan, penyusutan alat dan biaya tenaga kerja (Tabel 2). Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sirop jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk (grade D dan E) sebesar Rp 63.786,81. Adapun biaya tersebut terdiri dari biaya bahan sebesar Rp 53.550, biaya penyusutan alat sebesar Rp 236,81 dan biaya tenaga kerja Rp 10.000. Dari total biaya proses pengolahan sari buah tersebut, dimana biaya variabel yang sangat mempengaruhi besarnya biaya pada proses pengolahan tersebut adalah biaya sarana produksi yaitu biaya gula sebesar Rp 30.000 atau 6 kg/20 kg jeruk matang.
534
Tabel 2. Analisis Biaya Produksi Usaha Pengolahan Sirop Buah Jeruk di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali Tahun 2005 No
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga per Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
I
Biaya Bahan Buah Jeruk Asam sitrat 0,25 bungkus 700,00 175,00 Gula pasir 6 kg 5.000,00 30.000,00 Botol 12 buah 850,00 10.200,00 Minyak tanah 1 liter 3.000,00 3.000,00 Total Biaya Bahan 53.550,00 II Biaya Penyusutan 1 Timbangan 1 buah 50.000,00 69,44 2 Pisau 1 buah 2.500,00 3,47 3 pemeras jeruk 1 buah 5.000,00 6,94 4 panci 1 buah 20.000,00 27,78 5 saringan 1 buah 5.000,00 41,67 6 gelas ukur 1 buah 10.000,00 13,89 7 kompor gas 1 buah 30.000,00 41,67 8 sendok 1 buah 3.000,00 4,17 9 waskom 1 buah 20.000,00 27,78 Total Biaya Penyusutan 236,81 III Biaya Tenaga Kerja 1 Proses Pengolahan 0,5 HOK 20.000,00 10.000,00 Total Biaya Tenaga kerja 10.000,00 IV Total Biaya 63.786,81 V Produksi 7 Liter 12 botol VI BEP Harga (IV : V) 1 botol 5.315,57 VII Harga Layak Jual 1 Botol 6.910,24 VIII Penerimaan 12 Botol 82.922,88 IX B/C ratio 1,30 Keterangan : - Kekuatan alat pada proses pengolahan sari buah adalah 3 tahun kecuali saringan hanya 6 bulan. - Kapasitas 1 botol sari buah jeruk sebesar 600 ml. - Produksi Sari jeruk dari 20 kg jeruk matang adalah 6 liter 1 2 3 4 5
Titik Impas Harga, Harga Layak Jual Minimum dan B/C Ratio Sirop Buah Jeruk Titik impas harga menunjukkan harga minimum yang harus dicapai (pada tingkat produktivitas aktual), agar usaha tidak mengalami kerugian. Hasil analisis titik impas harga dari produk sirop jeruk menunjukkan bahwa dalam 1 botol atau dengan kapasitas 600 ml memperoleh nilai titik impas harga sirop jeruk sebesar Rp 5.315,57. Adapun harga layak jual miniman untuk produk sari buah jeruk adalah Rp 6.910,24, dengan B/C ratio 1,30 (>1). Dengan demikian produk sirop jeruk yang diusahakan masyarakat tani dapat bersaing ditingkat pasar
KESIMPULAN Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk sebesar Rp 56.511,81. Dengan titik impas harga sebesar Rp 594,86/240 ml, Harga layak jual minimum sebesar Rp 773,32 dan B/C ratio 1.30 Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk yang termasuk didalam grade D dan E yaitu sebesar Rp 63.786,81. Titik impas harga sebesar Rp 5.315,57/ 600 ml, sedangkan harga layak jual minimum sebesar Rp. 6.910,24/600 ml dan B/C ratio 1,30
535
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1987. Bercocok Tanam Jeruk Siam di Kecamatan Tebas Kalimantan Barat. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian Kalimantan Barat Astawan, M dan Mita Wahyuni. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi, LPEE UI. Jakarta Sudjarwanto, T. 1993. Penanganan Pasca Panen Buah-Buahan. Kumpulan Kliping Panen dan Peluang Bisnis Buah. Pusat Informasi Pertanian Trubus. Satuhu, S. 1993. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya Suratiyah, Ken. 1997. Analisis Usahatani (Tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
536
ANALISIS KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG DENGAN IRIGASI EMBUNG PADA MUSIM HUJAN DAN MUSIM KERING DI KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG I Ketut Mahaputra, I Nyoman Adijaya dan Ni Wayan Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Propinsi Bali yang memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (± 218.119 ha) dari luas Propinsi Bali yaitu 563.286 ha, sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng). Luas lahan kritis/marginal yang berpotensi rawan air sebesar 154.153 ha. Rata-rata curah hujan untuk daerah ini berkisar antara 1.200 – 1.400 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek ± 4 bulan yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Februari. Periode hujan yang pendek sangat menghalangi petani dalam meningkatkan produktivitas usaha taninya, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan yang diperoleh petani. Salah satu alternatif dikembangkan pada lahan marginal adalah pemakaian bak penampung air (embung) dalam kegiatan usahatani pokok yaitu komoditas jagung. Analisis ini dilakukan pada pengkajian yang dilaksanakan di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Data yang digunakan adalah data musim penghujan dan musim kering tahun 2005 yang diperoleh dari 35 petani lahan marginal yang mengusahakan tanaman jagung mengunakan sistem irigasi embung. Analisis usahatani dilakukan pada masing-masing musim serta dilanjutkan dengan uji beda rata-rata (t-test) untuk produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan petani. Hasil analisis menunjukkan produktivitas tenaga kerja berbeda secara signifikan dengan rata-rata untuk musim penghujan sebesar 41,33 HOK/kg dan musim kering sebesar 45,44 HOK/kg. Rata-rata keuntungan diperoleh dari usahatani jagung per hektar pada musim hujan sebesar Rp 1.290.871 dan musim kering sebesar Rp 1.757.069 dengan t-hitung -5,56 yang berarti keuntungan pada musim penghujan lebih rendah dan berbeda sangat signifikan dengan musim kering. Kata kunci : usahatani jagung, musim hujan, musim kering dan irigasi embung
PENDAHULUAN Salah satu masalah nasional yang dihadapi pada dewasa ini adalah masalah ketersediaan pangan. Jagung merupakan komoditi yang penting dan strategis disamping beras, jagung disamping sebagai bahan pangan alternatif juga merupakan sumber kebutuhan pakan ternak. Pada daerah pengkajian tanaman jagung diusahakan pada saat musim penghujan dan awal musim kering. Luas lahan potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar (Arsana, 2004) terdiri atas lahan sawah dan dan lahan kering. Usahatani jagung di lahan kering umumnya sebagai bahan kebutuhan pokok pengganti beras ataupun dicampur dengan beras seperti pada Kabupaten Buleleng, Karang Asem dan Kabupaten Klungkung (Nusa Penida). Selain sebagai bahan pangan dan pakan ternak, jagung juga diusahakan untuk hijauan pakan ternak terutama pada saat musim kemarau, karena keterbatasan air tanaman jagung dipanen sebelum berproduksi untuk persediaan pakan musim kemarau. Kebutuhan air dalam pertanian sampai saat ini masih mengandalkan ketersediaan air langsung dari curah hujan. Belum ada cara yang efektif untuk mengendalikan kehilangan air yang terjadi dalam sistim air tanah-tanaman. Kebutuhan air bagi pertanian tanaman pangan tidak hanya menentukan produktivitas tanaman, tetapi juga terhadap intensitas dan luas tanaman potensial setiap wilayah. Pada umumnya berbagai komoditas terutama pangan (padi dan jagung) merupakan tanaman yang sangat peka terhadap ketersediaan air, sehingga berbagai kegiatan pertanian disuatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan iklim setempat. Iklim berhubungan dengan lingkungan fisik dari atmosfir, baik secara makro maupun mikro disekitar tanaman, dimana variasinya dicirikan oleh berbagai unsur. Salah satu unsur iklim yang terpenting adalah curah hujan (Rantung, 1988). Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang penting artinya bagi pertanian di daerah tropis. Curah hujan disini diartikan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah selama periode waktu tertentu dan diukur pada suatu ketinggian tertentu. Pengukuran dilakukan dalam satuan millimeter (Masinambow, 1991) Teknologi irigasi merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya peningkatan produksi pertanian, khususnya pada petani lahan kering. Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang irigasi, maka teknologi embung merupakan pilihan yang dilakukan oleh petani lahan kering di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng yang mana dalam perkembangannya pengelolaan air embung (water reservoir) sebagai sarana irigasi terutama pada saat tanaman membutuhkan air baik saat musim hujan dan musim kemarau, sangat berperan dalam menjaga produktivitas tanaman.
537
Pada saat musim hujan seolah permasalahan lahan kering dapat teratasi dengan berbagai usahatani yang dilakukan petani. Produksi secara umum pada saat musim hujan merupakan panen raya bagi sebagian masyarakat, sedangkan musim kering identik dengan musim paceklik/gagal panen. Adanya pemecahan masalah air di lahan kering dengan teknologi irigasi embung, maka perlu kiranya dilihat manfaat yang dapat diberikan terutama untuk usahatani jagung di daerah penelitian.
METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai suatu obyek (Suparmoko, 1998). Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Buleleng Kecamatan Gerokgak yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Pengambilan petani sampel dilakukan secara simple random sampling, Sampel dalam penelitian ditetapkan sebanyak 70 orang petani pemilik embung. Produktivitas lahan dinyatakan dalam satuan kg/ha dan keuntungan per hektar mengunakan pendekatan keuntungan dengan rumus : Π = TR – TC. Keterangan : Π = keuntungan; TR = jumlah penerimaan (Total Revenue);TC = jumlah biaya (TIC + TEC); TEC = total biaya eksplisit; TIC = total biaya implisit
PEMBAHASAN Tanah yang baik untuk jagung adalah tanah yang berstruktur gembur dan subur karena pertumbuhannya memerlukan keadaan aerasi dan drainase yang baik. Pada lahan kering yang dicirikan dengan kurangnya unsur hara maka sangat diperlukan adanya pemupukan serta pengelolaan yang baik dalam meningkatkan produktivitas. Dalam proses pemupukan sangat diperlukan tersedianya air di dalam melarutkan zat makanan tersebut serta mengangkut unsur-unsur makanan dari akar ke daun. Kebutuhan air untuk tanaman pada lahan kering secara umum masih ketergantungan terhadap air hujan. Pada awal musim kering petani di daerah penelitian mengusahakan tanaman jagung dengan harapan tertumpu pada sisa-sisa curah hujan yang terjadi. Untuk petani yang tidak memiliki embung, ketidakpastian terhadap hasil produksi akibat ketidakpastian curah hujan menjadi kendala dalam aktivitas usahataninya. Faktor cuaca yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan terutama untuk pertanian lahan kering, suhu udara maksimum dan minimum, serta radiasi. Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling bervariasi, terutama di daerah tropis. Didaerah tropika basah, curah hujan lebih sering melampaui evaporasinya dalam setahun, sehingga ada saat berlebih air yang dapat menimbulkan banjir dan adakalanya terjadi kekeringan. Pada daerah-daerah yang rendah atau cekungan keadaan basah dapat terjadi sepanjang tahun karena mendapat air dari hulu (Irianto, dkk., 2000) Pada daerah tropis fluktuasi udara umumnya tidak terlalu berpengaruh terhadap pola tanam khususnya tanaman semusim. Untuk budidaya sepanjang tahun sangat tergantung dari ketersediaan air (Budi. dkk. 2003). Kecamatan Gerokgak pada tahun 2003 mengalami penurunan jumlah curah hujan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rata-rata curah hujan dan hari hujan tertinggi pada tahun 2003 terdapat pada bulan Januari dan Februari, dengan masing-masing hari hujan adalah 14 dan 22, rata-rata curah hujan adalah 296,5 dan 384,5 mm (BBPP, 2004). Keadaan iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson dari data curah hujan periode 10 tahun terakhir (1999 - 2003) seperti pada Tabel 1, didapatkan besaran nilai Q = 1,43 yang merupakan perbandingan bulan kering dengan bulan basah.
538
Tabel 1. Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering di Kecamatan Gerokgak Periode Tahun 1994 – 2003. Tahun
Bulan Basah
Bulan Lembab
Bulan Kering
1 1 1 1 1 2 7 0,7
7 6 7 7 7 5 5 8 7 7 66 6,6
1994 4 1995 5 1996 5 1997 4 1998 5 1999 6 2000 6 2001 2 2002 5 2003 4 Total 46 Rerata 4,6 Sumber : BBPP Desa Patas Kecamatan Gerokgak
Dengan demikian iklim dilokasi penelitian termasuk tipe iklim E yang berarti daerah tersebut beriklim agak kering, mempunyai jumlah curah hujan relatif rendah dan jumlah bulan kering yang relatif cukup banyak. Keadaan seperti tersebut merupakan kendala yang cukup serius dalam melakukan aktivitas usaha tani. Terlebih lagi jika pada lahan yang tanpa didukung adanya sarana irigasi memadai, sehingga iklim khususnya keadaan hujan (air dan pengairan), mempunyai pengaruh besar atas: jenis tanaman, tehnik bercocok tanam, kuantitas dan kualitas produk, susunan pekarangan, pergiliran atau rotasi tanaman (Tohir, 1983). Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah dan pembagian curah hujan itu tidak selalu cocok dengan jumlah dan pembagian air yang diperlukan oleh tanaman. Ada kalanya jumlah curah hujan pada suatu waktu melebihi jumlah yang diperlukan, tetapi pada waktu yang lain justru sangat kekurangan air. Ketidak serasian antara antara jumlah air hujan yang datang dan air yang diperlukan oleh tanaman memaksa kita untuk melakukan pengaturan penyimpanan air hujan sebaik mungkin. Adanya irigasi sangat berperan terhadap pemakaian teknologi dalam pertanian seperti varietas unggul, pemupukan yang sangat responsif terhadap ketersediaan air dan juga petani lebih leluasa untuk mengembangkan usaha tani yang dilakukan dalam upaya peningkatan produksi. Irigasi embung yang dimaksudkan disini adalah penampungan air baik itu air hujan ataupun sumber-sumber air kecil dalam lubang-lubang sumur atau bak-bak penampung air yang dialirkan untuk usahatani. Tehnik pemanenan air hujan (water harvesting) atau sumber mata air melalui teknologi embung merupakan alternatif yang dapat dilaksanakan pada lahan kering ataupun daerah perbukitan kritis. Produktivitas Jagung Luas tanam rata-rata untuk usaha tani jagung, pada musim hujan keseluruhan lebih tinggi dari musim kemarau. Produktivitas pada masing-masing musim tanam terlihat lebih tinggi yaitu pada musim kemarau (4.130,6 kg/ha) dar pada musim hujan (3.753,6 kg/ha). Lebih lengkapnya, luas tanam dan produktivitas jagung didaerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Luas Tanam dan Produktivitas Usaha Tani Jagung Di Desa Patas Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Tahun 2005 Uraian Luas (ha) Produksi (kg) Produktivitas (kg/ha) Produktivitas Tenaga Kerja (kg/hok) t-hit Produktivitas Tenaga Kerja t-tabel α (0,01) Sumber : Analisis Data Primer
Musim Hujan
Musim Kering
0,656 2443,6 3753,6 41,33 2,62*** 2,390
0,263 1065,14 4130,6 45,44
Keterangan : *** = Signifikan pada tingkat kesalahan 1% Musim hujan yang tidak menentu merupakan kendala rendahnya produktivitas jagung pada musim penghujan. Kelebihan atau kekurangan air pada tanaman tidak dapat terkontrol mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu, terutama pada saat pembungaan dan pembentukan tongkol. Demikian halnya dengan waktu pengolahan lahan dan pemupukan dilakukan sangat tergantung keadaan curah hujan yang
539
terjadi, pemberian pupuk menjadi tidak tepat saat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya. Disamping itu kondisi yang lembab menyebabkan terjadinya serangan hama penyakit tanaman yang lebih tinggi. Pada kondisi kemarau, terlihat produktivitas jagung meningkat dibandingkan musim hujan, pada musim ini tanaman mendapat sinar matahari penuh untuk proses fotositesa dan petani dapat mengatur air dari embung sesuai keperluan tanaman, sehingga berbagai proses fisiologi tanaman berjalan sesuai harapan petani. Peningkatan produktivitas dengan adanya irigasi akan diikuti dengan peningkatan pendapatan bersih petani walaupun dengan biaya yang meningkat pula, apalagi jika diusahakan untuk tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Dampak positif pengembangan irigasi sangat dirasakan terutama bagi petani miskin yang mengakibatkan adanya pergeseran dari pertanian tadah hujan menjadi pertanian dengan pengairan (Koppen, 2002). Produktivitas Tenaga Kerja Setelah adanya embung, kebutuhan air untuk aktivitas usaha tani mulai dapat terpenuhi. Sejalan dengan itu terjadi perubahan pergiliran tanaman yaitu jagung – jagung/sayur – sayur, serta meningkatnya intensitas tanam dalam satu tahun. Perubahan pergiliran tanaman berpengaruh terhadap produksi dan merupakan suatu peluang kesempatan kerja pada daerah penelitian. Produktivitas tenaga kerja dalam hal ini dinyatakan hasil produksi setelah per satuan hari orang kerja (hok). Untuk tenaga kerja ternak, tenaga kerja wanita dan anak-anak dikonversi menjadi hari kerja setara pria. Rata-rata produktivitas tenaga kerja irigasi embung dan tadah hujan pada masing-masing musim tanam disajikan dalam Tabel 2. Produktivitas tenaga kerja pada lahan irigasi embung untuk musim kering ternyata lebih tinggi dari musim hujan dan berbeda sangat nyata pada tingkat kesalahan 1%. Hal ini berarti pada musim kering dapat memberikan kesempatan kerja lebih tinggi dari musim hujan yang memberikan selisih 4,11 kg per hok. Perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut disebabkan karena produksi jagung pada musim kering lebih tinggi dari musim hujan. Keuntungan Finansial Usaha Tani Jagung Pendapatan bersih atau keuntungan dalam hal ini merupakan penerimaan yang dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan petani termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Penyusutan pada pemakaian irigasi embung yang dibagi rata dalam tiga musim. Biaya sewa lahan per hektar berkisar antara Rp 500.000 yang biasanya digunakan untuk tanaman tembakau. Khusus untuk tanaman jagung, sewa menyewa jarang terjadi pada lahan petani sehingga nilai tersebut dipakai acuan untuk nilai sewa lahan pada penelitian ini. Tabel 3, menunjukkan penggunaan sarana produksi meliputi benih, pupuk, pestisida pada musim hujan nilainya lebih tinggi dari musim kemarau, namun demikian tenaga kerja yang digunakan pada usahatani jagung untuk musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan. Penggunaan tenaga kerja yang lebih banyak terutama untuk tenaga pengairan. Sistim pemberian air dengan mengunakan pipa atau selang yang dialirkan pada lahan secara berpindah-pindah, sehingga diperlukan tenaga kerja untuk penyiraman agar lahan secara merata mendapat pengairan. Biaya lain yang cukup besar yaitu biaya penyusutan, bunga modal tetap dan sewa lahan. Meningkatnya biaya produksi dimbangi dengan peningkatan produksi jagung per satuan luas yang lebih tinggi pula, sehingga keuntungan yang diperoleh petani pada musim kering menjadi lebih tinggi. Keuntungan merupakan penerimaan total dikurangi dengan tenaga kerja kerja dalam keluarga yang diperhitungkan, bunga dari modal tetap dan sewa lahan. Akibat dari pengurangan beberapa variabel biaya tersebut menyebabkan bertambah besar biaya yang harus diperhitungkan. Dari Tabel 3 terlihat pada musim hujan untuk usahatani jagung dengan pemakaian irigasi embung menerima keuntungan yang lebih rendah sebesar Rp 466.197 dari musim kemarau. Hal ini terlihat pula dengan diperolehnya nilai t-hitung sebesar 5,56 yang dengan jelas sangat berbeda dengan keuntungan usahatani jagung dengan irigasi embung di musim kering
540
Tabel 3. Analisis Usahatani Jagung per Hektar Musim Kering dan Musim Hujan di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Tahun 2005 No
Uraian
Musim Hujan Jumlah
(Rp)
Saprodi 1 Benih (kg) 23,27 69.801 2 Urea (kg) 111,99 134.388 3 SP 36 (kg) 31,74 53.965 4 KCL (kg) 24,93 47.366 5 Pukan (kg) 572,83 85.925 6 Pestisida 23.695 Jumlah 415.141 II Tenaga Kerja 91,19 1.823.872 III Biaya lainnya 1 Pajak 6.870 2 Bunga biaya luar 27.540 3 Iuran-iuran 4.029 4 Penyusutan 146.778 5 Sewa lahan 500.000 6 Pemeliharaan 25.000 7 Bunga Modal 264.200 Jumlah 974.416 IV Total Biaya 3.213.429 V Produksi (kg) 3.753,58 4.504.301 VII Keuntungan 1.290.871 t - hitung Keuntungan - 5,56*** t –tabel (α = 0,01) 2,390 t - tabel (α = 0,05) 1,671 Sumber : Analisis Data Primer Keterangan : *** : Signifikan pada tingkat kesalahan 1%
Musim Kering Jumlah
(Rp)
22,38 107,11 33,11 26,67 475,31 -
67.147 128.529 56.293 50.671 71.296 19.573 393.508 1.831.701
I
91,59
4.130,58
6.870 27.540 4.029 146.778 500.000 25.000 264.200 974.416 3.199.625 4.956.694 1.757.069
KESIMPULAN 1.
Produktivitas jagung dengan rigasi embung untuk musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, demikian halnya dengan produktivitas tenaga kerja musim kemarau yang lebih tinggi dan berbeda sangat nyata pada tingkat kesalahan 1% dibandingkan pada saat musim penghujan.
2.
Keuntungan diperoleh petani pada usahatani jagung di musim hujan (Rp 1.290.871) lebih rendah dari keuntungan diperoleh dari usahatani jagung di musim kering (Rp 1.757.069). Perbedaan tersebut sangat nyata pada tingkat kesalahan 1%.
DAFTAR PUSTAKA Arsana, 2004. Uji Multilokasi Jagung dan Kacang Tanah. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Budi. S, Rubiyo, Evi. L, Daryono. 2003. Identifikasi Daerah Perkiraan Musim (DPM) Pulau Bali dan Aplikasinya Untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Kerjasama Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bali. Irianto. G, Amien. L, Surmaini. E, (2000) Keragaman Iklim Sebagai Peluang Diversifikasi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Masinambow, E. 1991. Perencanaan Pola Tanam Lahan Kering Bedasarkan Curah Hujan dan Neraca Air di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis S2. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Rantung, J.L. 1988. Analisis Pola Sebaran Hujan Bulanan dan Kaitannya dengan Pola Tanam Palawija di Beberapa Daerah Sulawesi Utara. Tesis S2 IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
541
Suparmoko. 1998. Metode Penelitian Praktis. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta Tohir, K. A. 1983. Seuntai Pengetahuan Tentang Usaha tani Indonesia. Edisi Pertama. Penerbit PT Bina Aksara. Jakarta. Van Koppen. B, R. Parthasarathy, and C. Safiliou. 2002. Poverty Dimensions of Irrigation Management Transfer in Large Scale Canal Irrigation in Andra Pradesh and Gujarat, India. Research Report 61. Colombo. Srilanka. International Water Management Institute. http://www.cgiar.org/iwmi/pubs/pub061/Report61.pdf
542
KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PANGAN PADA LAHAN LEBAK DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI KALIMANTAN SELATAN (Kasus di Desa Banyu Tajun Dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara) Rismarini Zuraida1) Zahirotul Hikmah 1) dan Yohanes GB2) 1) Peneliti pada BPTP Kalimantan Selatan 2) Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah penduduk, sedangkan pengelolaan sumberdaya yang tersedia belum optimal. Untuk itu dilakukan penelitian di Desa Baju Tajun Dalam (lahan lebak) Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Mei 2006. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan yang difokuskan pada permasalahan, hambatan dan peluang pengembangan usahatani dan kontribusi tanaman pangan terhadap pendapatan di lahan rawa lebak. Metode pengumpulan data yaitu dengan metode PRA (Participatory Rural Appraisal), dan di lengkapi data dari instansi terkait dan kepustakaan. Lahan rawa lebak yang cukup luas tersedia di Kalimantan Selatan merupakan salah satu alternatif dalam pengembangan usahatani guna memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan rawa lebak yang cukup potensial untuk dikembangkan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis finansial. Hasil penelitian menunjukan bahwa teknologi budidaya yang dilaksanakan di tingkat petani sangat sederhana. Usahatani dominan adalah padi, ubi alabio dan tanaman hortikultura (sawo). Padi ditanam di daerah lebih rendah dan ubi alabio ditanam di daerah yang lebih tinggi yaitu pada galang-galangan. Padi yang diusahakan petani berkisar antara 0,5 - 2 hektar, dengan produktivitas mencapai 4,1 ton/ha dan pendapatan bersih yang diterima petani mencapai Rp 2.277.000 dengan nilai R/C 1,79. Untuk usahatani ubi alabio di usahakan petani sangat terbatas berkisar 0,015 – 0,25 hektar dengan pendapatan bersih per hektar mencapai Rp 15.400.000.dengan nilai R/C 2,05. Pendapatan bersih per hektar dari buah sawo sebesar Rp 1.000.000. Jadi kontribusi usahatani tanaman pangan terhadap pendapatan usahatani yang ada sangat besar (94,64%). Dilihat dari potensi yang ada, usahatani pangan terutama ubi alabio mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan serta dapat mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Kata kunci : usahatani pangan, lahan lebak, pendapatan, ketahanan pangan
PENDAHULUAN Semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kalimantan Selatan, kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat, sementara itu penyediaan bahan pangan semakin terbatas karena belum optimalnya pengelolaan sumberdaya lahan. Lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan cukup luas yaitu mencapai 600.000 ha, dan baru 75.359 ha (Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1989). Lahan rawa lebak sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan peternakan. Tujuan utama dalam pengembangan usahatani tanaman pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan masyarakat. Ditijau dari aspek agroekosistem, lahan rawa lebak memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan tanaman pangan dan buah-buahan serta mempunyai prospek terhadap penumbuhan ekonomi local. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sentuhan inovasi teknologi dan pengembangan kelembagaan untuk memanfaatkan sumberdaya lahan yang potensial. Pemerintah daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara telah melakukan berbagai upaya dalam pengembangan usaha pertanian pada lahan rawa lebak. Saat ini luas lahan rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian/perkebunan berkisar 86% dari total lahan yang ada (BPTP Kal Sel, 1997).
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian di lakukan di Desa Banyu Tajun Dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara provinsi Kalimantan Selatan dari bulan Mei 2006. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan yang difokoskan pada permasalahan, hambatan dan peluang pengembangan usahatani di lahan rawa lebak. Metode pengumpulan data yaitu dengan metode PRA (Participatory Rural Apprisial), disertai wawancara dengan beberapa kelompok tani (Focus Group Discussion), sedangkan data sekunder merupakan data penunjang yang dikumpulkan dari instansi terkait dan kepustakaan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis biaya dan pendapatan).
543
Metode PRA (Participatory Rural Appraisal) adalah metode penelitian partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam penelitian untuk menilai potensi dan masalah di pedesaan. Metode partisipatif ini berorientasi pada proses pembelajaran dan melibatkan sebanyak mungkin berbagai kalangan masyarakat (Chambers, 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Lebak Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang spesifik yaitu adanya genangan air (water logged) dengan ketinggian air dapat mencapai 200 cm pada musim hujan yang terjadi antara bulan Januari – Maret, dan mengalami kekeringan pada saat musim kemarau yang terjadi antara bulan Juli – Sepetember. Di Desa Banyu Tajun Dalam penggenangan airnya tidak merata, sangat tergantung pada hidrotopografi lebak itu sendiri, pola hujan dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang hidrotopografinya lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan yang lebih pendek, sedangkan yang lebih rendah mempunyai jangka waktu penggenangan yang lebih panjang. Sesuai dengan kondisi hidrotopografi tersebut, lahan rawa lebak dibedakan atas lebak dangkal/pematang, lebak tengahan dan lebak dalam. Lebak dangkal mempunyai hidrografi relatif cukup tinggi dengan genangan air di musim hujan kurang dari 50 cm selama 3 bulan, lebak tengahan mempunyai topografi lebih rendah dengan genangan air di musim hujan antara 50-100 cm dalam waktu 3-6 bulan. Lebak dalam mempunyai topografi paling rendah dengan genangan air lebih dari 100 cm dalam waktu lebih dari 5 bulan (Susanto, 1987). Genangan air di lahan rawa lebak dipengaruhi oleh curahan hujan di hulu sungai yang meluapinya maupun curahan air hujan di daerah sekitarnya, tetapi tidak dipengaruhi oleh arus pasang surut daerah sekitarnya (Direktorat Rawa, 1986). Meningkatnya curah hujan akan diikuti dengan meluapnya air di lahan rawa lebak, dan menurunnya curah hujan akan diikuti pula dengan menyusutnya air di lahan rawa lebak tersebut (Anwarhan, 1989). Pembagian lahan rawa lebak di Desa Sungai Janjam didasarkan pada tinggi dan lamanya genangan air, hal ini merupakan acuan dalam pemanfaatannya, yaitu (1) Watun I = lebak pematang dengan tinggi genangan air 50 cm, (2) Watun II = lebak tengahan dengan tinggi genangan air 50 -100 cm, (3) Watun III = lebak dalam dengan tinggi genangan air 100 cm. Kedatangan air di musim hujan di lahan rawa lebak sukar diprediksi, tetapi secara tradisional masyarakat setempat mengetahuinya dengan melihat gejala alam, yaitu mendengar suara binatang yang ada di sekitar lingkungannya atau dengan melihat munculnya bintang di langit pada malam hari. Jika ada bintang biduk (bintang tujuh, istilah penduduk setempat), maka air diperkirakan akan banyak dan sekaligus untuk memperkirakan waktu tanam. Berdasarkan jenis tanahnya, tanah di Desa Sungai Janjam didominasi oleh dua jenis tanah, yaitu gambut (histosol) dan alluvial endapan sungai dengan lapisan pirit pada bagian bawahnya atau berasosiasi dengan gambut dengan tingkat kemasaman tanah cukup tinggi (pH 5). Setiap musim hujan terjadi endapan lumpur kiriman dari daerah hulu dan terjadi perkayaan hara tanah. Oleh sebab itu setiap terjadi musim hujan akan berpengaruh terhadap kondisi hara tanah di lahan rawa lebak. Profil Usahatani Padi dan Ubi Alabio di Lahan Petani Petani di lahan lebak mengusahakan berbagai tanaman, baik secara tumpang sari maupun monokultur. Pada musim hujan petani bertanam padi. Sedangkan pada musim kemarau petani menanam sayur-sayuran seperti terong dan labu/waluh. Luas usahatani yang diusahakan sangat bervariasi dan sangat bergantung kepada ketersedian sumberdaya yang dimiliki petani. Secara umum luas usahatani yang diusahakan petani berkisar antara 0,75 ha sampai 2 ha per keluarga. Penanaman terong dan labu/waluh dilaksanakan musim kemarau yaitu pada bulan Mei sampai Juni. Apabila musim hujan tiba pertanaman terong dan labu/waluh sudah berakhir, dimulai dengan penanaman padi.
544
1.
Teknologi Budidaya Padi di Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab. Hulu Sungai Tengah, 2006
Varietas
Lokal dan Unggul (Siam, Ciherang, IR 66)
Penyiapan lahan
Tanah diolah manual sampai siap tanam
Bahan amelioran dan pupuk
Urea :( 25-50 kg); SP 36 :( 25 – 50 kg); KCL: ( 0 – 25 kg)
Benih
25 - 40 kg/ha
Cara dan jarak tanam
20 x 20 cm
Cara pemupukan
Pupuk P dan K diberikan pada umur 15 HST, dan pupuk N diberikan pada umur 30 HST secara disebar.
Pemeliharaan
Penyiangan secara manual (mencabut gulma), dilakukan dua kali, yaitu umur 30 dan 50 HST. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimia (penanggulangan bila ada gejala).
Penen dan pascapanen
Pada umur 110 HST secara manual (harit), gabah dijemur/dikeringkan dengan panas sinar matahari selama 4 hari sampai kering.
Teknologi budidaya padi ditingkat petani yang selama ini diterapkan petani di lahan sawah adalah sangat sederhana sekali, yaitu belum dilaksanakannya penggunaan benih bermutu seperti seleksi benih. Benih yang digunakan petani berasal dari tanaman padi tahun sebelumnya. Bibit yang digunakan untuk ditanam berumur antara 20 sampai dengan 30 hari setelah semai dengan jumlah bibit sekitar 3-5 bibit/lubang dan jarak tanam sekitar 20 x 20 cm (tetapi kurang teratur). Pemupukan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan anjuran. Hanya diberikan sekedarnya saja karena keterbatasan modal. Selama ini harga pupuk, dan obat-obatan cukup mahal pada tingkat petani. Pemeliharaan tanaman dalam hal ini penyiangan dilakukan umumnya hanya 1 kali secara manual. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan kalau ada gejala serangan. Karena terbatasnya tenaga kerja untuk panen, biasanya hanya tenaga kerja dalam keluarga yang bekerja. Maka masih banyak petani yang menumpuk hasil panen di sawah, setelah selesai panen seluruhnya baru proses perontokan padi dilaksanakan. Perontokan padi pada umumnya memakai treser dan sebagian kecil masih ada dengan cara di injak-injak. 2.
Teknologi Budidaya Ubi Alabio
Penanaman ubi alabio di lahan lebak di laksanakan pada musim kemarau, makin panjang masa musim kemarau, makin luas lahan rawa yang di tanami. Persiapan lahan pada bulan Mei dan penanaman dilakukan antara bulan Juni-Juli tergantung pada ketinggian air (tipologi lebak). Pada lebak pematang/dangkal tanam dilakukan lebih awal, hal ini dikarenakan penurunan air lebih cepat. Panen dilakukan pada bulan Nopember-Desember setelah umur tanaman 6-7 bulan dan biasanya dilakukan apabila air sudah mulai meningkat mencapai lahan tanaman, sehingga pencabutan umbi dapat lebih mudah. Ubi alabio dapat bertahan dalam tanah sampai 2 tahun. Ubi alabio dibudidayakan dengan umbinya, yang sebelum ditanam disemaikan pada tempat khusus dengan alas dan penutup dedaunan. Umbi untuk bibit terdiri dari potong-potongan sekitar 3 x 4 x 5 cm, kemudian dicampur abu dapur atau sejenisnya, setelah 25-30 hari akan muncul tunas, dan bibit siap ditanam. Penanaman dilakukan dengan jarak antara 1 x 1meter dengan jumlah bibit 2-3/lubang dengan kedalaman 5 cm, setelah tanam diberikan lapisan mulsa dari jerami padi. Pada saat tanaman mulai merambat disediakan turus (tonggak) kayu untuk memanjat bagi tanaman dengan ketinggian antara 1,5 - 2 meter. Pada umur 3-4 minggu batang mulai menjalar dan diarahkan untuk melilit ke tiang turus. Dalam budidaya ubi alabio petani yang melakukan pemupukan hanya sebagian kecil saja. Pupuk biasa diberikan pada sekitar lobang tanaman/turus pada umur 1 bulan. Ubi alabio yang dibudidayakan dilebak merupakan varietas lokal yang diidentifikasikan berdasarkan bentuk, warna dan rasa yakni ubi alabio yang dagingnya berwarna putih yang banyak disenangi petani dan ubi alabio jenis lokal lainnya yang warnanya merah/violet kurang disenangi karena mempunyai lender dan warna merah dapat melarut apabila diolah dan direbus.
545
Analisis Finansial Usahatani Suatu komoditas pertanian layak untuk dikembangkan tidak hanya dari segi peningkatan produktivitas saja, tapi juga aspek kelayakan ekonomi usahatani. Hasil penelitian pengembangan sistem usahatani di Desa Banyu Tajun Dalam yang sebagian besar adalah komoditas utama tanaman pangan yakni padi dan ubi. Untuk usahatani padi diusahakan dengan luas berkisar 0,5 – 1,5 hektar, tapi untuk usahatani ubi alabio hanya berkisar 0,05 - 0,25 hektar per keluarga. Hal ini di karenakan terbatasnya luas surjan- surjan yang ada (tanah pematang). Hasil analisis finansial untuk usahatani padi dan ubi alabio ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Analisis Finansial Usahatani Padi pada Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam Kab. Hulu Sungai Tengah, 2006 (Rp/ha). Uraian
Jumlah
1. 2.
Penerimaan (ton) Biaya : - Benih (kg) - Pupuk (kg) Urea SP 36 KCL - Obat-obatan (liter) - Tenaga Kerja : Pengolahan tanah Tanam Pemupukan Pemeliharaan /penyiangan Panen Total Biaya 3. Pendapatan (1-2) 4. R/C ratio Sumber : data primer diolah
Harga(Rp)
Nilai (Rp)
4,1
1.250.000
5.125.000
40
5.000
200.000
50 25 25 5
1.500 1.600 1.750 10.000
75.000 40.000 43.000 50.000
30 25 2 20 20
30.000 20.000 20.000 20.000 30.000
900.000 500.000 40.000 400.000 600.000 2.848.000 2.277.000 1,79
Produktivitas padi di lahan lebak mencapai 4,1 ton/ha, penerimaan sebesar Rp5.125.000. Total biaya yang di keluarkan sebesar Rp 2.848.000,- yang terdiri dari benih,pupuk dan obat-obatan serta tenaga kerja. Pendapatan/keuntungan yang di terima petani yaitu selisih antara penerimaan daan total biaya sebesar Rp2.277.000. Dengan R/C ratio 1,79 ( R/C ratio > 1) ini berarti layak diusahakan (Soekartawi, 1995), Artinya dari setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 1,79. Tabel 2. Analisis Finansial Usahatani Ubi Alabio di Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab. Hulu Sugai Tengah, 2006 (Rp/ha) No 1 2
Uraian
Penerimaan (Kg) Biaya: Bibit Tonggak/turus (buah) Tenaga kerja : Pembibitan Pengolahan tanah Tanam Pemeliharaan/penyiangan Panen Total biaya 3 Pendapatan (1-2) 4 R/C ratio Sumber : data primer diolah
Jumlah
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
15.000
2.000
30.000.000
2.200 8.000
2.500 500
5.500.000 4.000.000
5 90 30 40 45
20.000 30.000 20.000 20.000 20.000
100.000 2.700.000 600.000 800.000 900.000 14.600.000 15.400.000 2,05
Ubi alabio biasa di tanam pada daerah-daerah yang lebih tinggi atau daerah seperti galangan/tabukan dan luasannya yang terbatas berkisar 0,05 - 0,25 hektar per keluarga. Hasil analisis finansial ubi alabio menunjukan bahwa produktivitas mencapai 15 ton/ha dengan penerimaan kotor sebesar Rp 30.000.000/ha. Total biaya yang dikeluarkan petani sebesar Rp 14.600.000/ha. Jadi pendapatan yang diterima mencapai Rp 15.400.000/ha dengan nilai R/C ratio sebesar 2,05. ( R/C ratio > 1) (Tabel 2).
546
Kontribusi Usahatani Terhadap Pendapatan Usahatani Komoditas dominan yang diusahakan petani yaitu padi, ubi alabio, dan tanaman buah-buahan seperti sawo yang merupakan sumber pendapatan utama petani. Kontribusi terbesar dari pendapatan usahatani petani berasal dari usahatani ubi alabio (82,45%) diikuti usahatani padi (12,19%), sehingga sebagian besar pendapatan usahatani bersumber dari usahatani tanaman pangan (Tabel 3). Usahatani ubi alabio merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, namun komoditas tersebut belum diusahakan dalam skala besar karena keterebatasn tenaga kerja dan modal. Harga jual dari ubi alabio yang isi umbinya berwarna putih mencapai Rp 2000/kg, sehingga mempunyai prospek yang cukup besar untuk penumbuhan kegiatan agribisnis di wilayah lahan lebak. Komoditas ubi alabio mempunyai peranan yang cukup besar terhadap ketahanan pangan rumah tangga, karena hasil panen dapat di simpan dalam waktu beberapa bulan untuk persediaan pangan keluarga. Tabel 3. Kontribusi Usahatani Tanaman Pangan terhadap Pendapatan Usahatani di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab. Hulu Sungai Tengah, 2006 (Rp/ha) Komoditas
Penerimaan (Rp)
Padi 30.000.000 Ubi alabio 5.125.000 Sawo 1.500.000 Total Pendapatan Sumber : data primer diolah
Biaya (Rp) 2.848.000 14.600.000 500.000
Pendapatan (Rp) 2.277.000 15.400.000 1.000.000 8.677.000
Kontribusi terhadap pendapatan (%) 12,19 82,45 5,36 100,00
Prospek Pengembangan Tanaman Pangan Usahatani di lahan lebak khususnya di Desa Banyu Tajun Dalam mempunyai prospek untuk dikembangkan karena menguntungkan jika dilihat dari R/C ratio. Produksi dan produktivitas tanaman pangan terutama padi sawah masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan penerapan dan pemanfaatan teknologi produksi seperti panggunaan benih unggul pemupukan, pemeliharaan dan penanganan pasca panen. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan untuk memperoleh rekomendasi teknologi spesifik sesuai dengan kondisi agroekosistem. Meskipun potensi lahan lebak cukup besar untuk dikembangkan, namun sementara ini petani di Desa Banyu Tajun Dalam sering dihadapkan pada masalah social ekonomi yang kurang mendukung, yaitu masalah keterbatasan modal usaha dan posisi yang lemah dalam pemasaran hasil. Selai itu kerterbatasan dalam jangkauan pemasaran, sehingga harga jual cenderung menurun yang dapat mempengaruhi pendapatan petani. Untuk mengatasi permaslahan klasik yang dihadapi petani maka sangat perlu dilakukan perubahan-perubahan dalam pemberdayaan petani melaui penumbuhan dan pengembangan yang berorientasi pada system dan usaha agribisnis. Dengan keterbatasan modal usaha dan pemasaran, maka komitmen pemerintah atau pihak swasta untuk bermitra dengan petani setempat dalam upaya pengembangan sistem dan usaha agribisnis di lahan rawa lebak sangat diperlukan sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil melalui penerapan teknologi, jaminan pemasaran hasil, serta untuk mengingkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1.
Lahan rawa lebak belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani untuk pengembangan usahatani. Tingkat penerapan teknologi produksi pada usahatani tanaman pangan pada lahan rawa lebak relatif rendah.
2.
Produktivitas padi mencapai 4,1 ton/ha dengan penerimaan kontor sebesar Rp 5.125.000 dengan nilai R/C ratio 1,79
3.
Produktivitas ubi alabio mencapai 15 ton/ha, peneriman kotor sebesar Rp 30.000.000 dengan nilai R/C ratio 2,05
4.
Kontribusi pendapatan usahatani petani sebagaian besar sebesar 94,64% berasal dari usahatani tanaman pangan (usahatani padi dan ubi alabio).
547
DAFTAR PUSTAKA Anwarhan, H. 1989. Bercocok Tanam Padi Pasang Surut dan Rawa, 511 – 578. Dalam: M. Ismunadji, M .Syam, Yuswadi (eds) Padi Buku 2. Puslibangtan. Bogor. Balai Pengkaajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 1997. Laporan Tahunan. Banjarbaru. Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pemprov.Kalimantan Selatan. 2000. Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pemprov.Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta. Susanto, S. 1987. Pemikiran Kearah Konsepsi Pengembangan Pengairan dalam Rangka Pengembangan Lebak. Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak, Fakultas Pertanian UNSTRI.
548
ANATOMI KETAHANAN PANGAN PADA RUMAH TANGGA MISKIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN INOVASI PERTANIAN Rachmat Hendayana dan Yovita Anggita Dewi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian ABSTRAK Petani miskin dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, dan satu sama lain saling berinteraksi. Hal ini memberi makna bahwa pemberdayaan petani miskin merupakan subjek yang sangat luas. Makalah bertujuan mengungkap anatomi ketahanan pangan pada penduduk miskin dan implikasinya terhadap kebijakan inovasi pertanian. Makalah dikembangkan dari hasil baseline study di NTB tahun 2005. Pengumpulan data/informasi menggunakan metode survai melibatkan 60 orang responden yang terpilih secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dan hasilnya menunjukkan: (1). Ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia (pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses terhadap sumber informasi terkendala; (2) Sebagian besar rumah tangga (69,9 %) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki cadangan pangan (stok) yang cukup; (3) Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan derajat ketahanan pangan dan mendorong terjadinya pauperisma; (4) Kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual. Kata kunci: Ketahanan pangan, kemiskinan, inovasi teknologi, kelembagaan
PENDAHULUAN Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan dua fenomena yang saling terkait, bahkan dapat dipandang memiliki hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kondisi ketahanan pangan yang rentan menjadi sumber kemiskinan, sebaliknya karena miskin maka ia tidak memiliki ketahanan pangan. Oleh karena itu petani miskin dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, karena satu sama lain saling berinteraksi. Pakpahan (1999) mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan suatu resultante iterasi dan interaksi antara teknologi, sumberdaya alam dan kapital, sumberdaya manusia dan kelembagaan/ kebijaksanaan. Kemiskinan dapat dipandang sebagai akibat (endogenous variable) atau juga sebab (exogenous variable) dari sesuatu. Petani menjadi miskin karena penguasaan sumberdaya alam dan kapital yang rendah, tidak akses terhadap informasi dan kurang bahkan tidak akses terhadap teknologi. Kondisi tersebut membawa dampak terhadap kemampuannya menyediakan pangan menjadi terbatas untuk kebutuhan hidupnya, sehingga tidak memiliki cadangan pangan yang cukup untuk menyambung hidupnya. Akibatnya ketahanan pangan rumah tangga ini menjadi rentan. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Adapun yang dimaksud pangan menurut UU. No. 7/1996 Tentang Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Mengingat ketahanan pangan dalam bahasan ini akan diinteraksikan dengan inovasi pertanian, maka pengertian pangan dibatasi hanya pada padi/beras sebagai makanan pokok penduduk sehingga terjadi simplifikasi di dalam membuat interpretasinya. Oleh karena itu permasalahan yang muncul dalam konteks ketahanan pangan rumah tangga miskin dan inovasi pertanian ini adalah: (a) bagaimanakan kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin itu?, (b) sejauhmanakah peran inovasi pertanian mampu mendorong terjadinya penyediaan pangan sehingga mampu menciptakan ketahanan pangan di rumah tangga miskin? Dan persoalan berikutnya kebijakan inovasi pertanian seperti apa yang relevan diintroduksikan pada rumah tangga miskin? Sehubungan dengan persoalan itu, makalah bertujuan: (a) membedah kondisi ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, melalui penelusuran kondisi sumberdaya manusia, akses terhadap pemilikan sumberdaya lahan dan aksesnya terhadap teknologi, dan (b) membahas peran inovasi pertanian dalam konteks ketahanan pangan, dan (c) merumuskan kebijakan inovasi pertanian yang diperlukan untuk
549
mengatasi permasalahan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin. Melalui hasil bahasan ini diharapkan akan dapat memberikan masukan berharga bagi pemerintah daerah setempat terkait dengan pengembangan kebijakan pembangunan masyarakat di pedesaan.
METODE PENGKAJIAN Pendekatan Menurut Salim (2004) ketahanan pangan tidak hanya pada tingkat nasional atau regional tetapi juga pada tingkat rumah tangga dan individu. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga itu menurut Suhardjo (1996) dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: (a) Tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikanan; (b) Penurunan produksi pangan; (c) Tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga; (d) Proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total; (e) Fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; (f) Perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya, peminjaman); (g) Keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan (h) Status gizi. Disamping itu terdapat pakar lain yan mengukur ketahanan pangan dengan menggunakan angka indeks ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, kondisi keamanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, Bahkan secara sederhana menurut Suryana dkk., (1996), aspek yang dapat dijadikan indikator ketahanan pangan adalah kemampuan untuk melakukan stok pangan. Ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional (Suryana, 2001; Simatupang dkk., 1999). Bahkan ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan bermutu, mustahil akan dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika isu ketahanan pangan ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan operasional pembangunan pertanian dalam periode Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong Royong (1999-2004), hingga sekarang dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004–2009) (Salim, 2004). Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa. Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa (Hardinsyah et al., 1999). Menurut Soekirman (2000) isu ketahanan pangan telah mengemuka sejak tahun 1970-an, ketika terjadi krisis pangan global. Dalam pemahaman ketahanan pangan ini yan penting adalah bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumah tangga atau individu (Braun et al., 1992). Dalam hubungan dengan ketersediaan pangan, secara diagramatik disajikan dalam Gambar 1. Terkait dengan fakta tersebut, bahasan difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga. - Sanitasi Pangan - Bhn Tamb. Pangan - Rekayasa Genetika dan Iradiasi - Kemasan - Jaminan Mutu - Pangan Tercemar Pemerintah 1. Desa 2. Kabupaten 3. Provinsi 4. Pusat
Prod. Pangan Dalam Negeri
Cadangan Pangan
Aman
Ketersediaan Pangan
Merata
Terjangkau
Masyarakat
Distribusi
Pengendalian harga
Pemasukan Gambar 1. Bagan Alir Ketersediaan Pangan
Data dan Sumber Data
550
Makalah dikembangkan dari hasil baseline study di NTB tahun 2005 yang difokuskan di dua desa yakni Desa Kalabeso dan Tarusa Kecamatan Bener Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data/informasi menggunakan metode survai melibatkan 60 orang yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana. Data yang dikumpulkan meliputi antara lain karakteristik rumah tangga, kondisi wilayah, askes rumah tangga terhadap sumberdaya lahan dan aset lainnya serta struktur pengeluaran rumah tangga. Untuk memperkaya bahasan ditampilkan pula data sekunder yang dikumpulkan dari beberapa instansi terkait yang relevan, utamanya menyangkut keragaan wilayah, dan kondisi umum penduduk di wilayah pengkajian Analisis Data Data yang terkumpul dipilah menurut karakteristiknya. Untuk data kualitatif analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif, sedangkan terhadap data kuantitatif analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan memanfaatkan beberapa parameter statistik sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin. Ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia (pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses terhadap sumber informasi terkendala. Hasil wawancara dengan responden diketahui hanya sekitar 56,7% saja rumah tangga yang akses terhadap lahan sawah dengan kisaran antara 0,20 – 0,32 hektar dan rumah tangga yang memiliki ladang ada sekitar 11,7 persen dengan luas antara 0,25 – 0,80. Disamping luasannya yang relatif sempit, kondisi tempatnya juga mayoritas (65 %) merupakan lahan miring, serta kurang subur (marjinal). Aset berharga lain selain tanah yang dimiliki rumah tangga di lokasi pengkajian adalah ternak. Selain sebagai sumber pendapatan, keberadaan ternak juga menjadi sumber tenaga kerja dalam mengelola usahatani. Namun demikian seperti halnya terhadap lahan, tidak semua rumah tangga yang memiliki ternak. Jumlah rumah tangga yan gmemiliki sapi, kerbau dan kuda ada sekitar 28% dengan rataan pemilikan 2,5 ekor sapi, 2,2 ekor kerbau dan kuda sebanyak 1,4 ekor. Rumah tangga yang memiliki ayam buras tercatat 57% responden dengan jumlah pemilikan rata-rata sebanyak 16,1 ekor per rumah tangga. Karakteristik rumah tangga seperti ini besar andilnya terhadap menurunnya derajat ketahanan pangan rumah tangga. Kondisi rumah tangga dengan penguasaan aset lahan yang terbatas, memaksa seluruh anggota keluarga untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil identifikasi di lapangan diketahui hampir setiap rumah tangga yang rata-rata memiliki anggota keluarga antara 4 – 8 jiwa, semuanya menjadi pencari kerja. Tidak terkecuali bagi anggota keluarga yang masih di bawah usia kerja (< 15 tahun) maupun yang sudah berusia senja (> 55 tahun). Dari data Tabel 1 terdapat sekitar 7,75 % anggota keluarga di bawah usia kerja yang bekerja dan 3,87 % penduduk usia lanjut yang masih bekerja. Tetapi disisi lain ada juga anggota rumah tangga yang tergolong usia produktif (> 15 tahun dan < 55 tahun) tetapi tidak bekerja. Tabel 1. Struktur Anggota Rumah Tangga Petani Menurut Kelompok Umur Kegiatan, dan Jenis Kelamin, 2005 Kelompok usia < 15 tahun: a. Bekerja b. Tidak bekerja 2. 15 – 55 tahun: a. Bekerja b. Tidak bekerja 3. > 55 tahun: a. Bekerja b. Tidak bekerja Sumber: Data Primer, 2005.
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Jiwa
(%)
Jiwa
(%)
Jiwa
(%)
0,21 1,16
(3,70) (20,42)
0,23 1,27
(4,05) (22,36)
0,44 2,43
(7,75) (42,78)
1,08 0,11
(19,01) (1,94)
0,67 0,38
(11,79) (6,69)
1,75 0,49
(30,81) (8,63)
0,10 0,09
(1,74) (1,58)
0,12 0,26
(2,11) (4,58)
0,22 0,35
(3,87) (6,16)
1.
Indikator kemiskinan yang lainnya di lokasi pengkajian tercermin dari kondisi perumahan penduduk, yang sebagian besar berlantai tanah dan beratap alang-alang.
551
Jika kita coba analisis ketahanan pangan atas dasar persediaan pangan yang dihasilkan dari lahan usahataninya yang relatif sempit, diperoleh gambaran sebagai berikut: Tingkat produktivitas padi sawah dan padi ladang di wilayah NTB tercatat sekitar 47,5 kw dan 24,19 kw per hektar (BPS, 2003). Jika pemilikan lahan sawah dan ladang kisarannya hanya 0,20 – 0,32 hektar per RT, maka jumlah produksi yang diperoleh berkisar antara 9,5 kw padi sawah dan 7,7 kw padi ladang, sehingga total 17,2 kw dalam satu musim (4 bulan). Dengan asumsi sebesar 30 % dijual untuk keperluan modal usahatani berikutnya, maka ketersediaan riel pangan yang ada adalah sebesar 5,6 kw padi/musim/RT atau setara 392 kg beras per musim. Artinya dalam sebulan hanya tersedia 98 kg beras. Jumlah persediaan beras itu kemudian diperhitungkan dengan kebutuhan makan sekeluarga yang beranggotakan 6 orang (ayah, ibu dan 4 orang anak), dengan asumsi setiap orang 15 kg per bulan, maka beras yang tersedia itu hanya mampu untuk makan keluarga selama satu bulan saja. Pada bulan berikutnya, diperlukan tambahan (masukan) dari yang lainnya. Sehubungan dengan kondisi keterbatasan itu, sebagian besar rumah tangga (69,9 %) mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki cadangan pangan (stok) yang cukup. Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan derajat ketahanan pangan dan mendorong terjadinya pauperism. Peran Inovasi Pertanian dalam Ketahanan Pangan Relatif kecilnya penguasaan lahan oleh rumah tangga miskin di satu sisi dan kekurangan modal di sisi lain, menyebabkan kondisi rumah tangga sulit untuk keluar dari cekaman kemiskinan. Oleh karena itu di dalam mengatasi permasalahan individu rumah tangga petani, pendekatan yang relevan adalah secara kelompok. Dengan demikian yang dimaksud unit usahatani tidak lagi dalam satuan individu tetapi menjadi suatu kawasan atau hamparan, tanpa menghilangkan claim individu. Artinya peran individu tetap akan muncul dalam mengimplementasikan inovasi pertanian, meskipun pendekatan pembinaan dilakukan secara hamparan. Melalui pendekatan hamparan usahatani, dapat dilakukan introduksi inovasi atau renovasi teknologi. Sedangkan untuk memperlancar adopsi inovasi teknologi itu dapat dilakukan inisiasi kelembagaan pendukungnya, mulai kelembagaan input, output, jasa keuangan pedesaan dan kelembagaan lainnya yang relevan. Inovasi teknologi yang diperlukan meliputi semua teknologi mulai pra panen hingga pasca panen, antara lain penggunaan benih tanaman yang unggul, pengolahan tanah, pengendalian hama penyakit, dan pemanfaatan pupuk anorganik secara lengkap dan berimbang serta memanfaatkan pupuk organik. Guna mendukung adopsi inovasi teknologi tersebut, di dalam inisiasi kelembagaan yang diutamakan adalah untuk mendukung penyediaan modal usahatani. Oleh karena itu prioritasnya ditujukan untuk menginisiasi terbentuknya kelembagaan keuangan mikro yang menyediakan skim kredit lunak tanpa agunan yang mengakomodasi karakteristik rumah tangga miskin. Dalam hal pelajaran dari daerah Nanggung di Bogor dan Sumatera Selatan yang menginisiasi lembaga keuangan mikro yang mereplikasi pola Grameen Bank, dapat juga dicobakan di wilayah miskin ini. Untuk mengimplementasikan kelembagaan jasa keuangan pedesaan ini tentu diperlukan “seed capital” yang memadai serta diikuti dengan pendampingan yang intensif dan terus menerus oleh petugas yang kompeten. Kebijakan Inovasi Pertanian Keberhasilan introduksi inovasi pertanian tidak hanya ditentukan oleh karakteristik rumah tangga petani, akan tetapi juga ditentukan oleh sifat dari inovasi pertanian itu sendiri. Oleh karena itu dalam merancang bangun inovasi, hendaknya mempertimbangkan sifat inovasi seperti telah dijelaskan Rogers & Schoemaker, yaitu : (a) inovasi yang diintroduksikan harus mempunyai keunggulan relatif (comparative advantage) dibandingkan dengan teknologi yang selama ini digunakan petani atau teknologi petani; (b) inovasi tersebut memiliki kompatibilitas yang tinggi. Artinya inovasi yang diintroduksikan memiliki derajat kesesuaian dengan kondisi petani setempat; (c) inovasi mudah diterapkan petani, dalam arti inovsi itu tidak memiliki tingkat kerumitan yang membuat petani sulit untuk mengikutinya; (d) inovasi yang dintroduksikan harus dapat diuji coba (triabilitas). Dalam hal ini petani mampu mencoba inovasi itu tanpa menimpulkan resiko kegagalan; (e) inovasi harus memiliki sifat mudah diamati (observasibilitas). Perubahan yang tampak
552
sebagai dampak menerapkan inovasi itu mudah diamati perkembangannya, sehingga lebih meyakinkan petani. Dengan memperhatikan sifat-sifat inovasi tersebut diharapkan petani akan mau dan mampu mengadopsi inovasi yang diintroduksikan, sehingga terjadi perbaikan kinerja usahataninya yang dicirikan antar alain dengan terjadinya peningkatan produktivitas usahatani. Pada gilirannya jika produktivitas usahatani meningkat, tentunya akan memberikan sumbangan positip terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Untuk mempercepat adopsi inovasi teknologi, faktor aksesibilitas wilayah perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini diperlukan adanya program perbaikan dan peningkatan infrastruktur perhubungan antara desa, sehingga petani akan memiliki akses yang baik terhadap sumber informasi dan sumber teknologi. Dari sisi sumberdaya manusia, diperlukan juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui penyelenggaraan kursus tani atau magang dan sekolah lapang, sehingga kemampuan dirinya dapat berkembang dan mampu mendayagunakan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya. Terakhir kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual.
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia (pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses terhadap sumber informasi terkendala
2.
Sebagian besar rumah tangga (69,9 %) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki cadangan pangan (stok) yang cukup
3.
Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan derajat ketahana pangan dan mendorong terjadinya pauperisma
4.
Kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual
DAFTAR PUSTAKA Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L.P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concept, Policy, and Programme. International Food Policy Research Institute,. Washington, D.C. Hardinsyah, Hartoyo, D. Briawan, C.M. Daviriani dan B. Setiawan. 1999. Membangun Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi Yang Tangguh dalam Thaha, R. et al. (eds) Pembangunan Gizi dan Pangan dalam Perspektif Kemandirian Lokal PERGIZI PANGAN Indonesia dan Center for Regional Resource Development and Cummunity Empowerment, Bogor Pakpahan, A., H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa‟at. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Saliem, H.P., 2004. Indikator Penentu, Karakteristik, Dan Kelembagaan Jaringan Deteksi DiniTentang Kerawanan Pangan. Icaserd Working Paper No. 46. No. Dok.058.46.04.04. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161.Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm.Paper Presented on International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. CASER. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Departemen Pertanian bekerjasama dengan UNICEF. Yogyakarta
553
Suryana, A ., IW Rusastra dan SH Suhartini. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumah tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga, Yogyakarta, 26 – 30 Mei 1996 Suryana, A. 2001.Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Departemen Pertanian. Jakarta 29 Maret. 2001 Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm. Paper Presented on International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. CASER. Soekirman. 2000 . Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah disampaikan pada Seminar Pra WKNPG VI di Bulog. Jakarta 26 – 27 Juni UU. No. 7/1996 Tentang Pangan
554
PERBAIKAN TEKNOLOGI INDIGENOUS UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN MARGINAL Herman Supriadi1) dan Arif Suharman2) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Bar 1)
ABSTRAK Teknologi indigenous mempunyai peranan besar dalam pengembangan pertanian di lahan marginal. Pengenalan teknologi baru banyak mengundang kritik dari masyarakat, sedang teknologi asli petani (indigenous technology) sering ditampilkan secara optimis sebagai alternatif yang jelas. Kekuatan dan kelemahan dari kedua macam teknologi tersebut perlu diperhatikan secara serius untuk dapat memformulasikan suatu teknologi yang diterima petani. Beberapa contoh penggunaan teknologi introduksi dan teknologi asli di lahan marginal akan didiskusikan dalam makalah ini. Berdasarkan situasi tersebut maka perlu interaksi yang lebih efektif dan kreatif antara teknologi introduksi dan teknologi asli untuk mencari petunjuk dan ide yang lebih maju. Tulisan ini juga menekankan pentingnya hubungan kerjasama yang lebih erat antara ilmuwan teknis dan sosial dengan masyarakat yang mempunyai inisiatif lokal untuk merevitalisasi pertanian dan sistem penelelolaan sumber daya. Kata kunci: pertanian, teknologi ”indigenous ”, lahan marginal
PENDAHULUAN Suksesnya pembangunan pertanian sangat bergantung bagaimana ilmu dan teknologi maju dapat diadopsi oleh masyarakat petani. Indonesia sebagai negara sedang berkembang telah banyak menyerap teknologi dari negara-negara maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik tetapi sebagain lainnya kurang sesuai dengan kondisi yang ada (Titilola, 1990), mengingatkan bahwa transfer teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan. Dalam hal ini program pengembangan inovasi teknologi harus betul-betul sesuai dengan kendala spesifik seperti kondisi sosial dan lingkungan. Aplikasi teknologi yang tidak memperhatikan kondisi sosial dan hanya memperhatikan faktor ekologi malah merusak lingkungan (De Walt, 1994). Teknologi introduksi hasil penelitian telah banyak disosialisasikan dan diuji kembangkan melalui program-program pembangunan pertanian di Indonesia seperti pengembangan Tabela (Tanam Benih Langsung) padi, Crop Animal Systems (CAS), Integrated Swamps Development Project (ISDP), Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar (PLG), Sistem Usahatani Pasang Surut (SUTPA), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P3MI) dan lainnya. Semua program mengintroduksikan teknologi untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani. Teknologi yang diintroduksikan sudah melalui pengujian secara laboratorium, kebun percobaan atau di lahan petani (on farm research) dan dihitung kelayakan ekonominya sebelum dikembangkan ke masyarakat luas (FAO, 1994). Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa banyak teknologi introduksi yang belum diadopsi petani secara berkelanjutan (De Walt, 1994). Sebaliknya di masyarakat petani sendiri sebetulnya sudah ada teknologi asli atau indigenous teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya setempat (Warren, 1992, dan Adnyana dkk. 2000). Pentingnya teknologi indigenous dikekmukakan oleh Titilola (1990) bahwa hanya satu hal yang bisa membantu upaya peningkatan pendapatan petani yaitu dengan pemahaman terhadap sistem pengetahuan lokal dan struktur kelembagaannya yang ada. Teknologi indigenous sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan yang berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat. Masyarakat dengan mudah menerapkan teknologi asli karena input relatif rendah, resiko kecil dan cukup ramah lingkungan, sedfangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi, resiko besar dan sering tidak ramah lingkungan (De Walt, 1994). Terdapat semacam kesenjangan antara kedua sumber teknologi tersebut, antara kemampuan petani yang terbatas dan kebutuhan input tinggi dari teknologi introduksi. Hal inilah yang menghambat proses adopsi teknologi hasil penelitian. Maksud penulisan makalah dalam hal ini adalah memantapkan suatu kerangka kerja untuk lebih efektif dan kreatif interaksi antara teknologi indigenous dan teknologi hasil penelitian, kekuatan dan kelemahan dari kedua sumber teknologi tersebut akan dibahas dengan beberapa contoh. Diskusi juga akan mengarah kepada pentingnya kerjasma yang erat antara ilmuwan (teknis dan sosial ekonomi) dengan petani untuk mengembangkan sistem pengelolaan pertanian dan sumberdaya alamnya.
555
KARAKTERISTIK TEKNOLOGI MENURUT SUMBERNYA Teknologi introduksi maupun indigenous masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dilihat dai pandangan fenomena umum, penggunaan sumberdaya dan keluarannya (Tabel 1). Fenomena umum menyatakan bahwa teknologi introduksi bersifat khusus dan parsial, didapatkan berdasarkan hasil percobaan dan bersifat tetap walaupun ditransfer. Teknologi indigenous bersifat umum dan menyeluruh (holistik) berdasarkan observasi masyarakat dan bisa berubah-ubah tapi menetap (tidak berpindah). Sumber daya yang digunakan pada teknologi introduksi tergantung sumber daya luar, input relatif tinggi, pemanfaatan lahan intensif, adaptasi pada kondisi khusus, hemat tenaga kerja (efisien) dan sering menghadapi resiko pasar yang merugikan. Sebaliknya pada teknologi indigenous umumnya sumber daya cukup dari lokal, input yang digunakan relatif rendah pemanfaatan lahan secara ektensif, memiliki adaptasi yang luas, membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan resiko lingkungan kelihatan lebih dominan. Pada teknologi introduksi penggunaan input energi (seperti bahan bakar dan listrik) cukup tinggi sehingga dalam hal ini produktivitasnya rendah. Tabel 1. Kekuatan dan Kelemahan Teknologi Menurut Sumbernya Teknologi Introduksi – – –
Khusus dan parsial Berdasarkan hasil percobaan Bersifat tetap tapi bisa ditransfer
– – – – –
Input tinggi Lahan intensif Adaptasi khusus Hemat tenaga kerja Menghadapi resiko pasar
– – – – –
Teknologi “Indigenous” Fenomena Umum – Umum dan holistik – Berdasarkan observasi – Bisa berubah-ubah tapi menetap
Tergantung sumber daya luar – Sumber daya lokal – Input rendah – Lahan ektensif – Adaptasi luas – Tenaga kerja lebih banyak – Resiko lingkungan dominan Keluaran Produktivitas rendah terhadap input energi – Produktivitas rendah terhadap tenaga kerja Terpisah dengan budaya – Menyatu dengan budaya Tujuan akhir keuntungan – Tujuan akhir mencukupi pangan Potensi degradasi tinggi – Potensi degradasi rendah Sering tidak berkelanjutan – Berkelanjutan dalam batas tertentu
Teknologi introduksi terpisah dengan budaya sedang pada indigenous sudah menyatu dengan budaya setempat. Tujuan akhir penggunaan teknologi introduksi adalah untuk mendaptkan keuntungan semaksimal mungkin, tetapi pada indigenous adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga (subsisten). Potensi untuk terjadinya degradasi cukup tinggi pada teknologi introduksi sesuai dengan perkembangannya, tetapi pada indigenous potensi degradasi cukup rendah. Teknologi introduksi sering menghasilkan sesuatu yang tidak berkelanjutan karena prosesnya dari perencanaan sampai pelaksanaan kurang partisipatif (FAO, 1994 dan Abinowo, 2000).
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI HASIL PENELITIAN Teknologi introduksi yang sudah merupakan hasil penelitian juga tidak lepas dari kelemahankelemahan disamping kelebihannya apabila sudah diuji kembangkan dilahan petani. Kelemahan utama teknologi introduksi adalah belum atau kurang teruji kelayakan sosialnya. Kebanyakan teknologi hasil penelitian baru teruji secara teknis dan ekonomis pada skala terbatas (kebun percobaan dan laboratorium). Kalaupun dilakukan dilahan petani tetapi masih sistem pengelolaan seperti kebun percobaan atau belum mencerminkan kondisi petani sepenuhnya. Dalam bahasan ini beberapa program pengembangan pertanian yang menggunakan teknologi introduksi bisa diambil sebagai contoh kasus seperti : 1) Program Pengembangan Tabela dan 2) Pengembangan terpadu lahan Pasang Surut. Program Nasional Pengembangan Tabela Sistem tanam benih langsung (tabela) untuk padi merupakan hasil paduan antara sistem tanam sebar langsung (teknologi asli nenek moyang) dengan komponen teknologi budidaya padi secara intensif.
556
Pengembangan tabela pertama kali dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) Bogor bekerjasama dengan kelompok tani di Kecamatan Binong, Subang Jawa Barat tahun 1993. Keberhasilan sistem tabela dalam peningkatan produktivitas selama 3 musim tanam berlanjut dengan adanya program pengembangan tabela secara nasional tahun 1995 di hampir semua propinsi melalui BalaiBalai Pengkajian Teknologi Tabela juga dicoba kembangkan dilahan margainal sawah tadah hujan di Sukabumi Selatan, lahan gambut di Kalimantan Tengah dan pasang surut di Sumatera Selatan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sistem tabela bisa dikatakan layak secara teknis dan ekonomis. Sistem ini sangat menghemat tenaga dan hasilnya pun meningkat dengan polulasi tinggi, sehingga pendapatan petani meningkat antara lain : Fakta menunjukkan bahwa paling lama 3 musim tanam. Sistem ini bertahan selanjutnya tidak digunakan lagi oleh petani dihampir semua propinsi. Hanya di propinsi dan ekosistem tertentu tabela masih berkembang seperti di Pasir Pangarayan Kabupaten Rokan Hulu, beberapa wilayah di lahan pasang surut Sumatera Selatan dan kelompok kecil di Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem tabela secara sosial masih banyak tantangannya, seperti halnya di Subang, pemilik lahan menerima baik sistem tabela tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menentukan sistem tanam padi adalah kelompokkelompok borongan buruh tanam. Sistem tabela yang hemat tenaga (8 HOK/Ha untuk tanam) tentu saja mendapat tantangan dari kelompok-kelompok buruh tanam yang tetap menghendaki sistem tanam pindah yang padat kerja (40 HOK/Ha). Selain itu sistem tabela yang menghendaki tanam serempak memerlukan periode pengolahan lahan yang pendek, dan ini merugikan bagi penyewa traktor setempat (Supriadi, H. dan A.H.Malian, 1995). Berbeda kondisinya dengan pengembangan tabela di Riau yang langsung diadopsi oleh petani di Pasir Pangarayan. Ternyata sistem ini sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja dan modal yang terbatas, serta tidak ada pengaruh sistem borongan tanam seperti di Subang. Integrasi tanaman-ternak sudah berkembang diwilayah ini sehingga pengolahan tanah bisa dengan bajak sapi. Pengembangan Terpadu Lahan Pasang Surut Program pengembangan lahan pasang surut yang dimulai sejak tahun 1985 sampai tahun 2000 dibiayai oleh ISDP (Integrated Swamps Development Project). Lokasi pengembangan terdapat di 4 propinsi yaitu Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Kalimantan Barat. Program terpadu ini melibatkan berbagai institusi seperti Badan Litbang Pertanian, Ditjen Lingkup Deptan, Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri. Teknologi usahatani yang diintroduksikan antara lain sistem raenasi, reklamasi lahan, pola tanam dan mekanisasi pertanian. Teknologi tersebut sudah melalui pengujian (layak teknis dan ekonomis) dan dalam proses pengembangan petani didampingi terus (Damardjati dkk, 2000). Kenyataan adopsi teknologi umumnya hanya sampai batas berakhirnya proyek, sehingga setelah proyek berakhir teknologi tidak sepenuhnya diadopsi bahkan banyak yang kembali pada sistem tradisional. Terdapat beberapa kendala yang belum dapat dikuasai petani, sementara antar instansi terkait juga belum baik koordinasinya terutama dalam operasional. Teknologi introduksi membutuhkan biaya tinggi sementaa pasar tidak menjanjikan dan infrastruktur tidak memadai. Sebagai aconatoh sistem drainse ”one way flow system” (sistem aliran satu arah) belum dapat dikelola sendiri oleh petani karena berbagai keterbatasan. Demikian juga teknologi reklamasi lahan yang dilakukan petani hanya pada waktu ada intervensi proyek, dengan alasan biaya tinggi untuk pengadaan amelioran. Alat dan mesin pertanian juga sebagian besar tidak berlanjut karena kesulitan biaya perawatan disamping kurang sesuai kebutuhan. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi introduksi perlu mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan petani kalaupun harus menggunakan input biaya tinggi pemerintah harus memberikan subsidi sampai petani dapat betul-betul mandiri.
BEBERAPA KASUS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDIGENOUS Dalam praktek usahatani untuk komoditi apapun secara spesifik lokasi terdapat penerapan teknologi indigenous yang sudah memberdaya di masyarakat. Dalam hal ini sebgai bahan diskusi banyak contoh harus dapat dikemukakan menyangkut sistem pengolahan tanah, tanam, pembibitan,pengendalian OPT (Organisma Pengganggu Tanaman), panen dan pasca panen. Pengolahan Tanah Minimum Contoh pengolahan tanah yang berasal dari teknologi idigenous dan sudah membudaya di masyarakat adalah budidaya dengan minimum dan tanpa pengolahan tanah. Tehnik ini biasanya dilakukan di lahan yang tekstur tanahnya gembur berpasir atau berlereng tajam. Petani sudah menyadari bahwa pada
557
kondisi demikian tidak perlu dan tidak banyak gunanya kalau lahan diolah sempurna. Pengolahan tanah yang berlebihan bahkan akan meningkatkan erosivitas air hujan tinggi.. Pengolahan tanah secara minimum yang dikenal dengan Sistem Walik Jerami (SWJ) banyak dijumpai di Kabupaten Subang dan Indramayu, Jawa Barat. Jerami dari padi musim hujan, setelah panen dihamparkan merata di atas petakan sawah pada kondisi macak-macak. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara menggiring beberapa ekor sapi peliharaan terjun ke sawah menginjak-injak jerami supaya terbenam dalam lumpur sawah. Selanjutnya jerami dibiarkan membusuk menjadi humus selama lebih kurang 1 bulan, baru setelah itu ditanami bibit padi untuk musim kemarau. Dengan cara ini memperpendek waktu antara panen padi pertama ke tanam padi kedua dan juga efisiensi tenaga dan biaya. Teknologi pengolahan tanah secara minimun dan pembenaman jerami atau gulma yang tumbuh juga diterapkan oleh petani di lahan rawa pasang surut seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Riau dan Kalimantan Tengah. Khususnya pada tipologi lahan potensial. Proses penambahan bahan organik di lahan yang asam lebih lambat dari lahan dengan kemasaman rendah seperti di lahan potensial. Sistem tebas bakar untuk persiapan tanam tanpa olah tanah banyak dipraktekkan oleh petani ladang berpindah di wilayah Jambi. Hal ini memungkinkan karena pemilikan lahan per petani lebih dari satu persil dan tenaga kerja taerbatas. Penanaman pada persil tertentu dilakukan 1-3 tahun sekali. Rotasi dilakukan pada persil-persil yang dimiliki. Dengan cara ini petani tidak mengeluarkan biaya untuk persiapan lahan dan setelah lahan diberakan sekian lama diharapkan subur kembali sehingga petani tidak lagi memberikan pupuk. Kelemahan dari sistem ini tentu saja kondisi lahan semakin berkurang kesuburannya dan dampak pembakaran sangat merusak lingkungan. Persemaian Padi di Lahan Lebak Karakteristik lahan lebak adalah seringnya lahan tergenang air sehingga tanam padi menunggu air surut. Sementara itu persemaian dilakukan diluar lahan yang masih tergenang, bisa dipekarangan, dipinggi jalan dan bahkan pada persemaian terapung diatas air. Cara-cara persemaian tersebut sudah biasa dilakukan petani secara turun temurun. Khusus persemaian terapung biasanya petani menggunakan batang pisang untuk alas persemaian dan diikat pada batang pohon agar tidak hanyut. Tehnik persemaian yang dilakukan petani sudah sangat sesuai dengan kondisi yang ada, hanya untuk meningkatkan produktivitas diperlukan perbaikan varietas dan sentuhan teknologi budidaya. Sistem Tanam Dilahan Kering dan Basah Beberapa sistem tanam telah menjadi budaya masyarakat diwilayah tertentu, cara tanam dengan tugal dan cara tanam sebar langsung. Cara tanam dengan tugal sampai sekarang masih dilakukan oleh petani lahan kering, sedang cara tanam sebar langsung bisa dilakukan dilahan kering maupun basah. Sesuai dengan aslinya tuga dibuat dari sebatang kayu bulat yang diruncingkan dibagian bawah untuk membuat lubang tempat benih ditanam. Cara ini memang praktis tapi memakan waktu lama. Hasil penelitian telah merancang alat tanam sistem roda yang sekaligus bisa membuat lubang, memasukkan benih dan menutup, tetapi sejauh ini petani masih lebih suka menggunakan tugal kayu yang lebih ringan. Cara tanam sebar langsung dilahan kering sampai sekarang masih banyak dilakukan petani diluar Jawa dikombinasikan dengan sistem pembukaan lahan tebas bakar. Cara ini sangat efisien tetapi tanpa disadari merusak kelestarian lahan dan produktivitas relatif rendah. Pada lahan sawah, teknik sebar langsung juga dilakukan petani pada awalnya kemudian dengan perkembangan teknologi beralih ke sistem tandur jajar dan menggunakan persemaian. Pada wilayah tertentu saja teknik sebar langsung masih dilakukan petani seperti di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Tanpa dikombinasikan dengan teknologi baru seperti varietas unggul, pemupukan berimbang, pengendalian OPT dan pengaturan irigasi produktivitas padi dengan teknologi indigenous masih rendah. Pola Tanam Sawit Dupa Sistem sawit dupa yang mempunyai arti satu kali miwit (tanam bibit) dua kali panen merupakan teknologi asli dari masyarakat di lahan gambut Kalimantan Tengah. Dalam sistem ini areal tanam dibagi menjadi dua bagian yaitu 1/3 bagian ditanami varietas padi umur panjang (+ 6 bulan) dan 2/3 bagian ditengah ditanami varietaas padi umur pendek (+ 3 ½ bulan) dalam waktu yang bersamaan. Setelah padi genjah dipanen, anakan dari padi umur panjang dipisah-pisah dan ditanamkan pada bekas padi yang dipanen, sehingga seluruh areal tertanami padi umur panjang. Pertimbangan menggunakan dua jenis padi dan dua kali panen dimaksudkan untuk mengurangi resiko kegagalan akibat pasang surutnya air yang tidak menentu dan serangan hama/penyakit. Produktivitas
558
padi dengan sistem ini relatif masih rendah karena menggunakan varietas lokal dan tehnik budidaya yang kurang memadai. Akan tetapi diakui bahwa sistem sawit dupa berhasi.. meningkatkan indek pertanaman sehingga dicanangkan oleh pemerintah daerah sebagai program pengembangan. Dalam hal ini peran teknologi introduksi diperlukan terutama dalam perbaikan varietas, pemupukan berimbang, sistem drainasi dan pengendalian terpadu OPT agar sistem yang sudah membudaya ini lebih produktif. Pengendalian OPT untuk Padi Sawah. Petani selalu menghadapi masalah OPT, dan petani juga selalu berupaya sesuai dengan kemampuan untuk menanggulangainya. Berdasarkan pengamatan dan coba-coba petani sering mendapatkan cara yang efisien dan efektif mengendalikan OPT. Sebagai contoh petani di Lampung berhasil mengatasi hama tikus dengan menggunakan karbit. Butiran karbit dimasukkan kedalam lubang aktif tikus lalu disiram air secukupnya dan segera lubang ditutup dengan lumpur. Gas karbit karena siraman air akan memenuhi loronglorong lubang dan mematikan tikus-tikus yang terjebak didalamnya. Petani ditempat lain berhasil mengurangi populasi tikus dengan perangkap bubu yang dipasang pada jalan masuknya tikus. Di Kalimantan Tengah petani menanam jenis yang disukai tikus sekeliling tanaman utama untuk melindungi tanaman yang diharapkan bisa dipanen. Hasil penelitian telah banyak memodifikasikan teknik yang sudah dimiliki petani untuk lebih meningkatkan efektivitas pengendalian. Petani juga ada yang berhasil memadukan pengetahuan indigenous dengan teknologi introduksi seperti pada penanggulangan walang sangit menggunakan umpan. Umpan bisa dibuat dari belahan buah nangka mateng yang ditaruh dibeberapa tempat. Biasanya walang sangit akan mengerumuni buah nangka tersebut, dengan demikian mempermudah petani dalam pengendaliannya. Bisa dengan jaring ataupun disemprot insektisida. Kepiting bakar juga sering dipakai sebagai umpan yang menarik serangga hama. Panen dan Pasca Panen Padi dan Palawija Petani tradisional biasa memakai ani-ani untuk panen padi yang kebetulan varietas lokal tanamannya tinggi. Penggunaan ani-ani memerlukan waktu lama tetapi menjamin sebagian besar jerami tidak terangkut keluar lahan dan kembali ke sawah. Pemakaian ani-ani memudahkan petani menyeleksi gabah untuk pengadaan benih yang berkualitas. Disamping itu hasil panen dengan ani-ani bisa lebih mudah diangkut, dijemur atau disimpan dalam lumbung. Hasil panen dengan teknologi sabit gerigi menurut hasil penelitian jauh lebih cepat, tetapi susah penggunaannya untuk varietas yang tanamannya tinggi, dan setelah disabit harus segera dirontokkan karena kalau terlalu lama tertimbun bisa terinfeksi jamur. Cara petani dalam memanen jagung dilakukan dengan terlebih dahulu memangkas semua daun sehingga tinggal tongkol dan batang yang masih tegak. Ini dilakukan agar tongkol jagung kena sinar matahari dan cepat kering. Setelah kering tongkol baru dipanen dan dirontokkan.
KARAKTERISTIK PADUAN TEKNOLOGI INTRODUKSI DAN “INDIGENOUS” Berdasarkan kekuatan dan kemahan dari masing-masing teknologi introduksi dan indigenous (Tabel 1) dapat dirumuskan suatu kerangka kerja yang produktif dengan mengintegrasikan unsur-unsur positif dari kedua sumber teknologi tersebut (Tabel 2). Fenomena umum menunjukkan bahwa teknologi yang efektif dan mudah diterima oleh masyarakat hendaknya bersifat holistik dan umum, merupakan hasil observasi maupun percobaan dan sifatnya dinamis atau sewaktku-waktu dapat berubah sesuai kondisi yang ada. Sifat holistik dan umum merupakan sifat dari teknologi indigenous yang mudah diterima oleh masyarakat umum, tidak khusus atau parsial seperti teknologi hasil penelitian teknologi produktif tidak hanya berdasarkan percobaan tetapi juga observasi yang bisa dilakukan oleh petani juga. Berdasarkan kemampuan dan kebutuhan teknologi produktif bisa berubah atau dinamis. Berdasarkan penggunaan sumberdaya teknologi produktif hendaknya mengutamakan sumberdaya lokal, input rendah, kebutuhan tenaga kerja tidak terlalu berat, lahan intensif, resiko iklim dan pasar rendah serta adaptasi luas. Keterbatasn modal ditingkat petani menghendaki teknologi yang murah, sehingga perlu mengutamakan apa yang tersedia diwilayahnya (sumberdaya lokal) dan menghindari adanya komponen impor yang mahal. Walaupun harapannnya kepada produksi yang tinggi, tetapi untuk petani kecil harga input hendaknya rendah dan t erjangkau dan teknologi sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja. Lahan makin perlu intensif dengan teknologi yang produktif, tidak menjadikan lahan yang terbengkalai atau ekstensif. Hal yang penting juga adalah lahan teknologi produkti hendaknya mempunyai toleransi terhadap iklim (resiko karena
559
iklim kecil) dan juga pengaruh pasar. Teknologi produktif harus mempunyai adaptasi yang luas sehingga mudah dikembangkan ke wilayah lain. Teknologi produktif hendaknya mengarah kepada keluaran yang meningkatkan produktivitas terhadap tenaga kerja dan input sesuai dengan budaya setempat, menunjang ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan secara tidak langsung serta dapat berkelanjutan. Tabel 2. Panduan yang Efektif Antara Teknologi Introduksi dan Indigenous. Fenomena Umum -
Bersifat holistik dan umum Gabungan observasi dan percobaan Dapat berubah dan dinamis
Penggunaan Sumber Daya -
Mengutamakan sumber daya lokal Input rendah (tambahan hanya untuk hal mendesak) Lahan intensif Membutuhkan tenaga tetapi tidak berat Resiko iklim dan pasar rendah Adaptasi luas
Keluaran -
Produktivitas terhadap tenaga kerja dan energi tinggi Sesuai dengan budaya Ketahanan pangan dan kesejahteraan Keberlanjutan
KESIMPULAN 1.
Teknologi introduksi maupun indigenous sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan untuk pengembangan pertanian.
2.
Teknologi introduksi kurang memperhatikan aspek sosial-budaya dan partisipatif.
3.
Teknologi indigenous sudah menyatu dengan budaya dan partisipatif tetapi kurang memperhatikan segi keuntungan.
4.
Paduan antara teknologi introduksi dan indigenous akan menghasilkan teknoogi yang mudah diadopsi petani.
5.
Integrasi antara ilmuwan sosial dan teknis akan meningkatkan kreativitas bersama untuk efektivitas pengembangan inovasi pertanian.
SARAN 1.
Kekuatan dan kelemahan yang ada pada kedua jenis teknologi (introduksi dan indigenous) membuka peluang untuk memadukan dan mendapatkan teknologi yang lebih baik dan siap dikembangkan.
2.
Pendekatan partisipatif dan perhatian yang lebih pada aspek sosial dan budaya akan meningkatkan efektivitas adopsi.
3.
Teknologi “indigenous” perlu terus dihidupkan dan dikembangkan bersama masyarakat untuk lebih produktif dan menguntungkan.
4.
Paduan teknologi introduksi dan indigenous bisa dilakukan dengan mempertahankan kekuatan yang ada dan menghindari kelemahan.
5.
Ilmuwan (sosial dan teknis) harus bekerjasama dalam setiap program pengembangan inovasi pertanian dalam batas tujuan yang sama walaupun pandangan berbeda.
560
DAFTAR PUSTAKA Abinowo. U. 2000. Model Pertanian Masa Depan. Solusi Alternatif menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu. SPAT-Pasuruan. Adnyana,M.D., dan E. Basuno, 2000. Improvisasi Indigenous Technology Dalam Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. Damardjati, D.S., I.G. Ismail dan T. Alihamsyah, 2000. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. De Walt,B.R. 1994. Using indigenous knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies Dixon.J.M., M. Hall, J.B. Hardaker an vs Wyas : 1994. Farm and Community Information use for Agricultural Programes and Policies. FAO. Rome. FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small-scale Farmers. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Malian, A.H., A. Supriatna dan H. Supriadi. 1994. Kelayakan Ekonomi Budidaya Padu Sebar Langsung di Pantai Utara Jawa Barat. Dalam : Sistem Usahatani Berbasis Tanaman Pangan. Risalah Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Tanaman Pangan. Supriadi, H, dan A.H. Malian, 1995. Kelayakan Agronomis Teknologi Budidaya Padi Sebar Langsung di Lahan Sawah Irigasi. Dalam : Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. Supriadi, H. dan S. Purba. 2000. Ketersediaan dan Kendala Adopsi Teknologi Usahatani Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Puslitbang Tanaman Pangan. Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation. Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
561
PERAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN DALAM PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Handewi P.S. Rachman Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk membahas peran inovasi teknologi pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan nasional. Pembahasan dilakukan melalui kajian pustaka dilengkapi dengan data dan informasi yang bersumber dari berbagai hasil penelitian. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumahtangga, aman dikonsumsi dengan harga terjangkau. Ketahanan pangan mencakup komponen (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan. Inovasi teknologi pertanian berperan dalam meningkatkan produktivitas pangan, diversifikasi jenis dan kualitas pangan, penciptaan nilai tambah, kesempatan kerja, dan menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan teknologi tepat guna efisiensi produksi dapat ditingkatkan sehingga meningkatkan daya saing produk pangan di dalam negeri dan di pasar internasional. Pengembangan teknologi juga mencakup aspek rekayasa kelembagaan, yang mendorong berkembangnya kelembagaan agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan di pedesaan. Pada gilirannya pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian berperan dalam pemantapan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan ketersediaan jenis, jumlah dan mutu pangan, peningkatan nilai tambah dan pendapatan serta akses dan konsumsi pangan. Kata kunci: inovasi teknologi pertanian, ketahanan pangan
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program utama nasional sejak satu dasawarsa yang lalu. Hal ini terkait dengan komitmen negara sebagai salah satu penandatangan kesepakatan dalam MDGs (Millennium Development Goals) dan sejalan Deklarasi Roma dalam World Food Summit tahun 1996 yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015. Terkait dengan masalah itu, isu penanggulangan kemiskinan yang telah diluncurkan sejak awal 1990 an juga masih menjadi agenda penting dalam pembangunan nasional. Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka pembangunan nasional tersebut berimplikasi bahwa pengkajian ketahanan pangan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1995). Ketersediaan pangan di tingkat nasional yang cukup tidak menjamin adanya ketahanan pangan di tingkat wilayah dan tingkat rumah tangga/individu. Studi Saliem,et al. (2001) menunjukkan walaupun ketahanan pangan di tingkat regional (propinsi) tergolong tahan pangan terjamin namun di propinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumahtangga yang tergolong rawan pangan dengan proporsi yang tinggi. Kajian pustaka yang dilakukan Rusastra et al (2004) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan rumahtangga dengan dilakukannya diversifikasi usahatani yang mengikuti pola tanam introduksi. Berbeda dengan temuan tersebut, studi yang dilakukan oleh Rachmat dan Hutabarat (1988) di pedesaan lahan sawah di Kabupaten Nganjuk dan Ngawi, Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan melakukan diversifikasi usahatani melalui pengaturan pola tanam dan pergiliran tanaman padi dan palawija (dibanding pola tanam padi, padi, padi) tidak menjamin petani di daerah tersebut dapat meningkatkan pendapatan maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini karena pengusahaan tanaman padi menghasilkan pendapatan yang lebih baik dan usahatani palawija membutuhkan tenaga kerja yang lebih sedikit dibanding padi dan pengusahaannya lebih bertujuan untuk optimasi penggunaan lahan serta tidak diusahakan secara intensif (tanpa pemupukan dan pemeliharaan seadanya). Di sisi lain, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan tidak terlepas dengan upaya peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini disebabkan karena tingkat pendapatan rumahtangga sebagai proksi dari daya beli merupakan salah satu faktor kunci bagi rumahtangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Selain itu tingkat pendapatan juga merupakan salah indikator kunci bagi penetapan batas garis kemiskinan. Bagi rumahtangga pertanian, salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan pendapatan adalah melalui penerapan dan adopsi teknologi pertanian. Melalui adopsi teknologi pertanian mulai dari
562
kegiatan hulu sampai hilir diharapkan mampu meningkatkan produktivitas usahatani, nilai tambah produk dan pendapatan petani. Tulisan ini bertujuan untuk membahas peran inovasi teknologi pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan nasional. Setelah memaparkan latar belakang permasalahan, pembahasan diikuti dengan metoda penelitian, konsep dan peran strategis ketahanan pangan, peran inovasi teknologi pertanian dalam peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan, dan dibagian akhir disampaikan kesimpulan dan implikasi kebijakan.
METODA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan Bab I Pasal 1 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah: ”terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”. Sesuai definisi tersebut maka ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup di tingkat rumahtangga merupakan syarat keharusan untuk tercapainya ketahanan pangan, namun itu saja belum cukup. Syarat keharusan tersebut perlu diikuti dengan syarat kecukupan, dalam hal ini adalah pangan tersebut harus bermutu, aman, merata dan terjangkau (Rachman, H.P.S. et al, 2005). Bermutu dan aman terkait dengan aspek keamanan pangan; merata mengandung implikasi perlu tersedia di setiap tempat/daerah dan waktu; dan terjangkau terkait dengan akses dan daya beli rumahtangga terhadap pangan yang dibutuhkan. Pemenuhan ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga dapat berasal dari produksi sendiri, pembelian, dan atau transfer atau pemberian dari pihak lain. Bagi rumahtangga pertanian (khususnya petani tanaman pangan), ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga dapat berasal dari salah satu atau kombinasi dari ketiga sumber tersebut. Dalam hal demikian peningkatan produksi usahatani tanaman pangan melalui penerapan dan adopsi teknologi pertanian di bidang budidaya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan produksi pangan serta pada gilirannya dapat meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan rumahtangga. Peningkatan ketersediaan pangan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Peningkatan ketersediaan secara langsung apabila pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga berasal dari hasil produksi sendiri, sementara secara tidak langsung apabila hasil produksi dijual, pendapatan rumahtangga meningkat dan daya beli serta akses terhadap pangan meningkat. Ketersediaan pangan melalui penerapan teknologi pertanian disamping dapat meningkatkan jumlah produksi juga jenis dan ragam komoditas pangan yang dihasilkan. Dari aspek peningkatan mutu, aman, merata dan terjangkau, terkait dengan berbagai aspek teknologi penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran produk pangan. Pangan dengan mutu yang baik dan aman untuk dikonsumsi dapat dihasilkan dari pengusahaan, pengolahan dan penanganan hasil produksi pangan secara baik. Dalam hal ini penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya lahan dan air serta produksi ramah lingkungan (pemupukan berimbang), penerapan PHT (pengelolaan hama terpadu), dan penggunaan teknologi pengolahan hasil yang baik diharapkan dapat diperoleh produk pangan dengan mutu yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Adopsi teknologi pertanian ramah lingkungan diharapkan mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta usahatani secara berkelanjutan. Pengertian ”merata dan terjangkau” tidak terkait langsung dengan penerapan teknologi pertanian, namun lebih berkaitan dengan masalah efisiensi dalam pemasaran dan distribusi produk pangan serta kebijakan yang terkait dengan harga pangan. Dalam hal demikian perakitan teknologi dan rekayasa kelembagaan pertanian berperan penting mendukung tercapainya syarat kecukupan tercapainya ketahanan pangan. Namun demikian, secara tidak langsung perbaikan dalam efisiensi pemasaran dan distribusi pangan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani serta akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat meningkatkan ketahanan pangan. Uraian tentang keterkaitan penerapan inovasi teknologi pertanian dan ketahanan pangan tersebut secara diagramatis dapat dilihat pada Gambar 1. Metoda Analisis Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaitkan kerangka teoritis dan fenomena empiris yang ada berdasar kajian terhadap berbagai hasil penelitian dan kajian. Analisis tersebut diperkaya dengan pembahasan bersumber dari pengetahuan, pemahaman dan pengalaman penulis dalam melakukan penelitian yang terkait dengan ketahanan pangan.
563
Data dan Sumbernya Jenis data yang digunakan dalam analisis adalah data sekunder dan bersumber dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelaahan dilakukan melalui kajian pustaka yang relevan.
Ketahanan Pangan (global, nasional, regional, lokal, rumahtangga)
Akses terhadap pangan (fisik, ekonomi)
Ketersediaan pangan
Produksi jenis, jumlah, kualitas produk pertanian
Pendapatan/daya beli rumahtangga
Distribusi dan konsumsi pangan
Diversifikasi pangan produksi dan konsumsi
Keamanan pangan
Inovasi Teknologi Pertanian Tek. Budidaya Tek. Pengel. Sb. Daya Lahan & Air Tek. Rekayasa Alsintan Tek. Panen dan Pasca Panen Tek. Pengolahan Hasil Tek. & Rekayasa Kelembagaan Pertanian
Gambar 1. Keterkaitan Inovasi Teknologi Pertanian dan Ketahanan Pangan
KONSEP DAN PERAN STRATEGIS KETAHANAN PANGAN
Konsep ketahanan pangan pada tahun 1970an lebih banyak membahas ketersediaan (pasokan) pangan pada tingkat nasional dan global (Foster, 1992; Maxwell dan Frankenberger, 1992). Pada tahun 1980an, ketika krisis pangan sudah mereda kasus kelaparan ternyata masih cenderung meningkat (Foster, 1992; Soekirman, 2000). Kelaparan yang masih terjadi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumahtangga atau individu (Braun et al, 1992). Seiring dengan hal itu fokus analisis ketahanan pangan kemudian bergeser dari perhatian terhadap ketersediaan pangan secara nasional atau global menjadi perhatian kepada kelompok (individu) penduduk yang mengalami kelaparan (Foster, 1992). Dari fenomena tersebut diperoleh pengetahuan bahwa terdapat faktor internal yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumahtangga atau individu. Ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan menurut Braun et al (1992) merupakan dua determinan penting dari ketahanan pangan. Namun demikian, ketersediaan pangan saja tidak dapat menjamin
564
akses terhadap pangan. Akses terhadap pangan mencakup dimensi fisik dan ekonomi. Akses fisik terkait dengan faktor penguasaan produksi pangan di tingkat rumahtangga. Adapun, faktor daya beli pangan adalah refleksi dari kemampuan akses ekonomi (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Braun et al, 1992). Dalam konteks cakupan atau satuan analisis, Soehardjo (1996) berpendapat bahwa konsep ketahanan pangan dapat diterapkan pada berbagai tingkatan: global, nasional hingga tingkat rumahtangga atau individu. Disebutkan pula bahwa situasi ketahanan pangan antar tingkatan tersebut dapat saling dukung. Sementara itu Hardinsyah et al (1998) berpendapat bahwa karena tidak setiap rumahtangga atau individu mempunyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya pemilikan lahan pertanian, untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga, dibutuhkan dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal dan nasional. Sementara itu, Simatupang (1999) lebih melihat hubungan antara ketahanan pangan di tingkat global, nasional, lokal hingga rumahtangga atau individu sebagai suatu sistem hirarkis (hierarchial system). Di Indonesia, pengertian ketahanan pangan telah dibakukan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah: ”terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”. Dalam tataran operasional, Departemen Pertanian (2005) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumahtangga, aman dikonsumsi dengan harga terjangkau. Ketahanan pangan mencakup komponen (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan. Pentingnya ketahanan pangan ditunjukkan oleh Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (2001) yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris bahwa tidak satupun negara yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan. Untuk Indonesia, perekonomian beras terbukti secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an. Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini karena di samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumahtangga/individu sangat ditentukan pula oleh akses mereka untuk mendapat pangan tersebut. Dalam hal ini tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhadap pangan. Selain itu, di tingkat pengambil kebijakan, kejadian rawan pangan antara lain terkait dengan masalah kebijakan stabilitas harga pangan dan manajemen atau pengelolaan cadangan/stok pangan. Hermanto (2002) menunjukkan bahwa adanya gejolak harga pangan (beras) berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan menghambat rumahtangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Di tingkat produsen (petani), gejolak harga dan turunnya harga gabah pada saat panen raya berdampak menurunkan pendapatan petani yang dapat diartikan pula menurunkan daya beli petani. Dengan demikian ketidakstabilan harga beras berdampak pula terhadap daya beli dan akses terhadap pangan pada petani (khususnya yang berstatus net-consumer). Oleh karena itu kebijakan stabilisasi harga (beras) merupakan salah satu faktor penentu tercapainya ketahanan pangan.
INOVASI TEKNOLOGI DAN KETAHANAN PANGAN Peran inovasi teknologi pertanian terkait dengan upaya peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan hasil perikanan sebagai sumber bahan pangan. Secara teoritis, penerapan inovasi teknologi budidaya seperti penggunaan bibit unggul, pengelolaan sumberdaya lahan yang baik, pemupukan yang tepat, dsb. akan dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatan usahatani. Hasil penelitian Puslibangtanak (2005) menunjukkan bahwa penerapan teknologi pemupukan melalui pengayaan P-alam 1 ton/ha + 2 ton pupuk kandang pada tanah Oxitols dan Ultisols dapat meningkatkan produksi jagung antara 30 – 90 persen; peningkatan pendapatan usahatani sebesar 90 – 170 persen dengan tingkat R/C rasio yang lebih tinggi. Penerapan teknologi penggunaan pupuk organik dengan tidak menggunakan bahan kimia sintesis tetapi dengan menggunakan pupuk kandang dan hijauan titonia dengan kombinasi masing-masing 20 kg + 30 kg/bedeng dengan ukuran 1 x 8 meter pada tanaman sayuran akan diperoleh berbagai keuntungan. Diantara berbagai keuntungan tersebut adalah (1) meningkatkan dan menjaga produktivitas pertanian jangka panjang serta memelihara sumberdaya alam dan lingkungan; (2) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari pertanian; (3) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani; (4) menghasilkan sayuran yang sehat dan bergizi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat; dan (5) meningkatkan pendapatan petani (Puslitbangtanak, 2005).
565
Sementara itu, Jafsah (2005) menunjukkan bahwa peluang peningkatan indeks pertanaman (IP) dari kondisi aktual antara 1.21 – 1.92 ke arah IP yang potensial dapat dilakukan yaitu antara 1.70 – 2.67 dapat meningkatkan produksi padi nasional sebesar 0.93 juta ton, jagung 0.65 juta ton dan kedelai 0.37 juta ton/tahun. Fakta tersebut merupakan tantangan bagi sektor pertanian untuk dapat direalisasikan. Apabila peluang tersebut dapat direalisasikan maka ketersedian bahan pangan akan meningkat, produksi dan pendapatan petani sebagai pelaku usahatani juga akan meningkat. Dalam hal demikian, Badan Litbang Pertanian, utamanya BPTP dpat berperan dalam melakukan sosialisasi, advokasi, dan diseminasi teknologi yang dapat diadopsi petani dalam upaya meningkatkan IP, dan pada gilirannya akan meningkatkan produksi dan pendapatan rumahtangga petani. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan inovasi teknologi pertanian di bidang usahatani pertanian mampu meningkatkan produksi, ketersediaan pangan dan pendapatan rumahtangga petani. Peningkatan pendapatan petani secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan daya beli dan akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Dalam kerangka sistem ketahanan pangan hierarkhis, tercapainya ketahanan pangan ditingkat rumahtangga merupakan syarat keharusan yang dapat diartikan pula dapat dicapainya ketahanan pangan di tingkat nasional.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga merupakan syarat keharusan tercapainya ketahanan pangan di tingkat nasional. Dengan demikian peningkatan ketahanan pangan rumahtangga akan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Peningkatan ketahanan pangan rumahtangga dapat dilakukan melalui peningkatan ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi pertanian sebagai sumber bahan pangan dan atau dengan peningkatan pendapatan dan daya beli untuk akses dan konsumsi terhadap pangan yang dibutuhkan. Peningkatan produksi, ketersediaan pangan dan pendapatan rumahtangga (khususnya rumahtangga petani) dapat dilakukan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian. Inovasi teknologi pertanian mencakup teknologi budidaya, pengelolaan sumberdaya lahan dan air, teknologi panen dan pasca panen, pengolahan, pemasaran dan rekayasa kelembagaan pertanian. Studi empiris membuktikan bahwa melalui penerapan inovasi teknologi pertanian maka produktivitas, produksi, dan pendapatan usahatani dapat ditingkatkan dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Peningkatan pendapatan rumahtangga akan meningkatkan akses dan konsumsi serta ketahanan pangan rumahtangga yang selanjutnya berperan dalam upaya memantapkan ketahanan pangan nasional. Implikasi Kebijakan Advokasi, sosialisasi dan diseminasi dari inovasi teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh lembaga penelitian termasuk Badan Litbang Pertanian merupakan salah satu strategi yang perlu mendapat perhatian utama dalam upaya meningkatkan produktivitas, produksi, ketersediaan dan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Untuk memacu adopsi terhadap inovasi teknologi pertanian oleh pengguna, maka dalam merakit teknologi tersebut perlu mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, dan akseptabilitas dari calon pengguna. Sesuai dengan mandat yang ada, maka BPTP memegang peran utama dan strategis dalam upaya pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Untuk itu, pemantapan kerjasama, koordinasi dan sinergitas dengan semua lembaga terkait baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi salah satu kunci keberhasilan.
DAFTAR PUSTAKA Amang, B. dan M. H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran Orde Baru dan Orde Reformasi. (Edisi Kedua: Direvisi dan Diperluas). Penerbit IPB Press, Bogor Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L.P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concept, Policy, and Programme. International Food Policy Research Institute,. Washington, D.C. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005 - 2009. Departemen Pertanian. Jakarta.
566
Foster, Phillips. 1992. The World Food Problem: Tackling the Causes of Undernutrition in the Third World. Lynne Riener Publisher. Boulder. Hafsah, J. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Dalam Program Kemandirian Pangan dalam Subagyono, K. et al. 2005 (Penyunting) Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Bogor, 14 – 15 September 2004. Buku I. Puslitbangtanak. Bogor. Hardinsyah, D. Briawan, S. Madanijah, C.M. Dwiriani, S.M. Atmodjo dan Y. Heryatno. 1998. Kajian Kelembagaan Untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Kerjasama Pusat Kebijakan Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dengan Unicef dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian Hermanto. 2002. Perspektif Implementasi Kebijakan Stabilisasi Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakarya Ketahanan Pangan Pasca Bulog. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Petanian, Jakarta, 22 November Maxwell, A. And Ir. Frankenbeyer. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurement A Technical Review. Joint Sponsored by United Nation Childrens Fund and International Fund for Agricultural Development. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah di Indonesia 1905 – 2005. Mengoptimalkan Sumberdaya Lahan Nasional untuk Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat. Puslibangtanak. Bogor. Rachman, H.P.S, A. Purwoto, dan G.S. Hardono. 2005. Kebijakan Pengelolaan Cadangan Pangan pada Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Forum Agro Ekonomi Vol.23. No. 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Rachmat, M dan B. Hutabarat. 1988. Tingkat Penerapan Diversifikasi Usahatani dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja. Forum Agro Ekonomi. No. 2 (6): 23-32. Rusastra, I.W, H.P. Saliem, Supriyati, dan Saptana. 2004. Prospek Pengembangan Pola Tanam dan Diversifikasi Tanaman Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi, No. 1 (22): 27-53. Saliem, H.P. M. Ariani, Y. Marisa, T.B. Purwantini dan E.M. Lokollo. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Simatupang, P. 1999. Towards Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm. International Seminar Agricultural Sector During Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction. 17 – 18 February 1999. Centre for Agro-Socio economic Research, AARD. Bogor Soekirman. 2000. Beberapa Catatan Mengenai Konsep Ketahanan Pangan. Makalah disajikan pada Round Table Keahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, 26 Juni 2000. Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No.21 Vol.V. Bulog. Jakarta Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Departemen Pertanian bekerjasama dengan UNICEF. Jogyakarta, 26-30 Mei
567
ARAHAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN LAHAN KERING DI SUMBAWA BARAT, NTB Moh. Nazam1), A. Suriadi1) dan Marwan Hendrisman2) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanah Bogor
1)
ABSTRAK Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) memiliki sumberdaya lahan kering cukup luas dan belum dimanfaatkan secara optimal. Hasil interpretasi foto udara dan Citra Landset, wilayah KSB berdasarkan tingkat kelerengan terdiri atas lima zona agroekologi, yaitu zona I (kelerengan >40%) dengan luas 134.322 ha (76,46%) dari luas wilayah, zona II dengan kelerengan 15-40% seluas 7.074 ha (4,03%), zona III dengan kelerengan 8-15% dengan luas 3.836 ha (2,18%), zona IV dengan kelerengan <8% dengan luas 26.644 ha (15,17%) dan zona non pertanian seluas 3.795 ha (2,16%). KSB memiliki lahan kering cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,53%) adalah hutan lahan kering. Lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sistem pertanian seluas 15.430 ha (9,21%) dari luas lahan kering, terdapat pada zona III-DEF seluas 1.953 ha, zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha. Pada zona III-DEF diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan seperti jambu mete, mangga, kopi, srikaya, jeruk sebagai tanaman penguat dan tanaman pangan seperti jagung, padi gogo, cabe, ubi jalar, bawang merah sebagai pengisi lorong. Pada zona IV-DEF dan IV-DFE diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan dan atau tanaman pangan secara monokultur atau sebagai tanaman sela diantara tanaman tahunan. Kata kunci : arahan, sistem pertanian, zona agroekologi
PENDAHULUAN Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas pangan guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat. Lahan produktif irigasi teknis yang selama ini menjadi tumpuan harapan masyarakat, luasannya semakin berkurang sebagai akibat berlanjutnya konversi lahan ke penggunaan non pertanian, seperti perluasan pemukiman, pengembangan industri, jalan dan lain-lain. Disisi lain penyediaan air untuk pertanian mulai berkurang, karena semakin berkurangnya sumber mata air dan meningkatnya kebutuhan air untuk keperluan penduduk dan industri. Hasil evaluasi lahan dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), memiliki lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah hutan lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%) adalah lahan kering non pertanian (pekarangan, pemukiman, jalan,) dan hanya 15.430 ha (9,21%) adalah lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan sistem pertanian (Nazam et al., 2005). Lahan kering yang sangat luas di KSB berpotensi untuk diusahakan untuk berbagai komoditas unggulan dan andalan pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Namun sampai saat ini potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena berbagai kendala, baik ketersediaan air yang terbatas, kondisi fisika dan kimia tanah yang kurang menguntungkan, maupun kendala sosial-ekonomi dan kelembagaan yang sangat kompleks. Agar wilayah lahan kering yang ada dapat diberdayakan bagi pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan lahan kering yang sesuai dengan kemampuan agroekosistemnya. Keragaman agroekosistem (biofisik, agrokilimat, sosial budaya) dapat dimanfaatkan sebagai dasar pewilayahan komoditas pertanian maupun arahan pengembangan sistem pertanian yang tepat dan berkelanjutan. Konsep dasar ZAE adalah penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam tersebut ke dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las et al., 1990). Pembagian wilayah ke dalam zone-zone berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik iklim, terrain, dan tanah, akan memberikan keragaan tanaman yang tidak berbeda secara nyata (FAO, 1996). Data dan informasi potensi sumberdaya lahan dalam piranti yang jelas dan akurat sangat diperlukan untuk menyusun arahan pengembangan komoditas pertanian baik oleh petani, dinas/instansi pemerintah maupun para investor secara efektif, efisien dan berwawasan lingkungan. Kesesuaian komoditas maupun sistem pertanian yang dikembangkan yang sesuai dengan kondisi biofisik dan agroklimat akan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.
568
Peta arahan pewilayahan komoditas pertanian pada skala 1:50.000 dapat dimanfaatkan untuk menyusun arahan pengembangan sistem pertanian yang lebih operasional pada tingkat perencanaan Kabupaten. Arahan pewilayahan komoditas pertanian yang disusun selain mempertimbangkan kondisi biofisik dan agroklimat wilayah, juga mempertimbangkan peluang investasi, aksesibilitas, sosial ekonomi dan budaya setempat, juga mempertimbangkan penggunaan lahan saat ini (present land use), sehingga arahan yang dihasilkan adalah yang sesuai secara fisik maupun ekonomi. Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi para petani, perencana, investor dan pihak yang terkait dalam: (1) perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang efektif dan berkelanjutan; (2) pemilihan komoditas yang sesuai; (3) penetapan kawasan pengembangan komoditas pertanian; dan (4) pemilihan inovasi teknologi yang dibutuhkan.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah data dan informasi hasil pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di KSB (Nazam et al., 2005). Pemanfaatan dan pendayagunaan data dan informasi tersebut dilakukan dengan pendekatan desk study. Evaluasi lahan dilakukan dengan membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman (Djaenuddin et al., 2003), perhitungannya menggunakan program Automated Land Evaluation System (ALES) model Rossiter dan Van Wambeke (1997) yang menghasilkan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Kelas kesesuaian lahan secara fisik menurut Djaenudin et al, (2003) dibedakan atas 4 kelas, yaitu kelas S1 (sangat sesuai) artinya tanpa atau sedikit pembatas untuk penggunaannya; S2 (cukup sesuai) artinya tingkat pembatas sedang untuk penggunaannya; S3 (sesuai marjinal) artinya tingkat pembatas berat untuk penggunaanya dan N (tidak sesuai) artinya penggunaannya tidak memungkinkan. Hasil evaluasi lahan secara fisik dengan asumsi penerapan input sedang, dan dilengkapi dengan analisis ekonomi yang mempertimbangkan aksesibilitas, pasar, komoditas unggulan, dan kelayakan ekonomi, dengan menggunakan program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) model Bachri et al.(2002) menghasilkan arahan pewilayahan komoditas dan pengembangan sistem pertanian yang sesuai baik secara fisik maupun ekonomi dan berkelanjutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Secara geografis KSB terletak antara 116°42‟-117°05‟ BT dan 08°30‟-09°07‟ LS. Berdasarkan hasil interpretasi foto udara dan citra landsat, KSB mempunyai luas wilayah 175.671 ha, terdiri atas lahan kering seluas 163.672 ha (93,17%). Dari luas lahan kering tersebut, sebagian besar (88,25%) adalah hutan lahan kering, seluas 3.795 ha (2,32%) lahan non pertanian (pekarangan, jalan, dll) dan hanya 15.430 ha (9,43%) merupakan lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan pertanian. KSB termasuk daerah beriklim tropis yang memiliki pola curah hujan IA dan IIA dan tergolong tipe hujan C dan D. Tergolong tipe iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan bulan-bulan terkering <60 mm selama 6-9 bulan, suhu udara rata-rata bulan terdingin >18°C dan terpanas >22°C dengan curah hujan tahunan <2.500 mm. Suhu tahunan berkisar antara 21,7°C-34°C. Landform atau fisiografi wilayah KSB dikelompokkan ke dalam enam group yaitu grup Aluvial (A), Marin (M), Volkan (V), Tektonik/Struktural (T) Karst (K) dan Aneka Bentuk (X) yang menghasilkan 44 satuan unit lahan. Landform paling dominan adalah grup vulkan (77,72%), aluvial (11,03%), karst (4,41%), marin (2,94%), aneka (2,15%) dan tektonik (1,75%). Tanah-tanah di KSB dapat diklasifikasikan ke dalam empat ordo, yaitu Entisols, Alfisol, Inceptisol, dan Vertisol. Ke empat ordo tersebut menurunkan 12 grup dan 18 subgrup. Secara geologi termasuk jalur vulkanik busur api Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, BaliNusa Tenggara, sampai seputar laut Banda. Berdasarkan formasi tersebut KSB diperkirakan memiliki potensi galian tambang cukup besar. Formasi geologi terdiri atas satuan breksi-tuf (Tmv), disusul batuan terobosan (Tmi), endapan permukaan (Qal), batugamping (Tml), batuan sedimen (Ql), dan batugamping koral (Tmcl). Aksesibilitas cukup lancar baik melalui darat, laut maupun udara. Pada umumnya semua desa dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat, bahkan Desa Mantar di Kecamatan Seteluk yang berada di puncak bukit Mantar pada ketinggian 640 m dpl, kecuali Desa Aik Kangkung dan Telonang di Kecamatan Sekongkang yang belum memiliki jembatan penghubung. Jarak ibukota kabupaten (Taliwang) dengan kota
569
kecamatan terjauh Sekongkang adalah (30 km), Jereweh (16 km), Seteluk (25 km); yang terdekat adalah Brang Rea (5 km). Di KSB terdapat beberapa pelabuhan laut yang menghubungkan P. Lombok dengan P. Sumbawa, antara lain pelabuhan Pototano di Kecamatan Seteluk. Terdapat dua unit pelabuhan khusus milik swasta, yaitu milik PT NNT (Newmount Nusa Tenggara) dan PT BPM (Bumi Pasir Mandiri) berlokasi di Benete, Kecamatan Jereweh. Sedangkan dua unit yang tidak aktif adalah Labuhan Lalar dan Kertasari di Kecamatan Taliwang. Pelabuhan Pototano beroperasi selama 24 jam dengan 7 unit kapal penumpang. Setiap hari beroperasi 32 trip dengan kapasitas angkut 10.000 orang/hari. Transportasi udara sejak tahun 2004 telah dibuka penerbangan untuk umum setiap hari dengan jenis pesawat Twin Other melalui Bandara Tropical Airstrip yang berlokasi di Sekongkang. Perusahaan tambang yang berlokasi di KSB banyak berperan dalam pengembangan infrastruktur. KSB dilayani 2 Stasiun Telepon Otomat (STO) yaitu di Taliwang dan Jereweh. Sedangkan masyarakat Kecamatan Seteluk dilayani STO yang berlokasi di Alas, Kabupaten Sumbawa. Jumlah sambungan telepon sebanyak 1.087 SST (satuan sambungan telepon) sedangkan kapasitas terpasang sebanyak 1.562 SST (BPS 2004). Untuk menjangkau daerah yang terisolasi sebagian menggunakan Teknologi Rural dan Teknologi Link. Tipe Penggunaan Lahan Di KSB terdapat beberapa tipe penggunaan lahan (TPL) khususnya lahan kering yang spesifik. Pada lahan tegalan pola tanam yang diterapkan adalah padi gogo-kacang hijau atau jagung/kacang tanahkacang tanah. Pola pengusahaan lahan perkebunan adalah dengan menerapkan pola kebun campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman musiman. Tanaman tahunan yang umum diusahakan adalah mangga, pisang, jambu mete, kelapa, sedangkan tanaman semusim yang biasa diusahakan di antara tanaman tahunan adalah padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman tahunan seperti tanaman industri (kelapa, kakao, kopi), tanaman hortikultura (mangga, manggis, rambutan, durian, pisang) yang masingmasing dinilai sebagai tanaman tunggal walaupun kenyataan di lapangan umumnya diusahakan sebagai kebun campuran sehingga diprediksi keuntungan TPL komoditas tahunan tersebut akan lebih besar, karena adanya tanaman campuran yang tidak diperhitungkan. Di sebagian wilayah lahan kering dijumpai komoditas jagung, kacang hijau dan padi gogo yang ditanam pada musim hujan dengan menerapkan input sedang. Di sebagian lahan kering dijumpai komoditas sayuran yang diusahakan dengan menerapkan input rendah sampai sedang. Input dan output untuk TPL tanaman tahunan (perkebunan), yaitu kelapa, jambu mete dan kopi, dengan menerapkan input rendah sampai sedang. Berdasarkan hasil analisis usahatani dengan program ALES yang mendasarkan perhitungan yang dikemukakan Rossiter and Wambeke (1997) dalam program ALES versi 4.65d menganalisis faktor ekonomi menggunakan formulasi Gross margin (GM), dan Benefit - Cost Rasio (B/C) menunjukkan bahwa tanaman semusim yang diusahakan di lahan kering memberikan nilai RCR lebih besar dari 1, yang berarti usahatani tersebut secara ekonomi menguntungkan, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator Kelayakan Usahatani Tanaman Semusim dengan Kondisi Produksi Optimal pada Lahan Kering di KSB, 2005. Jenis tanaman (JT)
Tipologi lahan (TL)
Biaya Produksi (Rp/ha) (BP)
Penerimaan (Rp/ha) (REV)
RCR
Padi gogo
DEF
1.332.994
2.132.790
1,60
Jagung
DEF/DFE/WR4
1.326.000
3.600.000
2,71
Kacang tanah
DEF
1.388.889
3.500.000
2,52
Cabe merah
Dha/Wri
5.350.000
21.000.000
Standar
3,93 > 1,10
Sumber : Nazam et al., 2005.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan komoditas tanaman semusim yang diusahakan memberikan keuntungan dan layak diusahakan dengan nilai RCR lebih besar dari 1. Padi gogo, banyak dijumpai pada wilayah perbukitan hampir di semua wilayah Kecamatan. Jagung dan kacang tanah banyak dijumpai di Kecamatan Seteluk. Kacang hijau dan kedelai banyak dijumpai di Brangrea dan jereweh. Tanaman semusim lainnya yang banyak ditanam di KSB seperti ubi kayu, ubi jalar belum memberikan tingkat keuntungan yang layak, karena akses ke pasar sangat sulit, terutama di Desa Telonang, sehingga hasil ubi kayu yang diperoleh
570
hanya untuk dikonsumsi sendiri. Demikian halnya dengan hasil-hasil tanaman semusim lainnya, seperti ubi jalar, labu, dan lain-lain. Sedangkan hasil analisis finansial beberapa komoditas tanaman tahunan dengan indikator NPV, IRR dan B/C, seperti dtunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Indikator Kelayakan Investasi Usahatani Kelapa, Mangga dan Kopi (Rerata Tahun/Ha) dengan Kondisi Produksi Optimal pada Lahan Kering di KSB, 2005 Jenis tanaman
Tipologi lahan (TL)
Periode Analisis (thn)
Investasi (Rp/ha)
NPV (Rp) (i=15%)
IRR (%)
BCR (i=15%)
Kelapa
Dep
10
49.148.000,00
12.301.712,22
41,03
2,48
Mangga
Dhp
5
29.162.500,00
44.513.900,62
49,06
7,47
Kopi
Dep
5
12.135.000,00
21.694.245,61
34,08
Nilai standar
>0
1,25 > 1,0
Sumber : Nazam et al., 2005.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 2), memperlihatkan bahwa komoditas kelapa, mangga dan kopi yang diusahakan di KSB, secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPV positif, nilai IRR lebih besar dari suku bunga bank yang berlaku dan B/C ratio lebih besar dari satu. Buah kelapa yang dipasarkan dalam bentuk butir gelondong maupun dalam bentuk kopra sudah biasa dilakukan di KSB dengan tujuan P. Lombok maupun ke Bali dan Jawa. Para pedagang perantara (broker) membeli buah kelapa dari petani dengan cara tebasan (borongan) per tahun dengan nilai antara Rp. 500.000 – 1.000.000/tahun. Mangga umumnya ditanam sebagai tanaman pekarangan dan diusahakan bukan untuk tujuan komersial. Namun demikian usaha komersial budidaya mangga telah berhasil dilakukan oleh petani di Kecamatan Sekongkang. Hasil wawancara dengan petani di Kecamatan Sekongkang menunjukkan bahwa usaha budidaya mangga yang telah digeluti selama 6 tahun cukup menguntungkan. Mangga dijual di tempat (pembeli datang sendiri) baik untuk keperluan konsumsi sendiri maupun sebagai pedagang perantara. Selama ini belum ada masalah dalam pemasaran. Lokasi penanaman mangga juga dinilai sangat strategis, yaitu dekat dengan industri tambang emas Newmont. Kopi telah diusahakan di Dusun Rongis, Desa Bangket Monteh pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Usaha ini belum diusahakan secara baik, hal ini terlihat dari cara pemeliharaan tanaman yang kurang baik. Produktivitasnya juga rendah disamping harga yang diterima oleh petani juga belum memadai karena aksesibilitas jalan raya kurang baik, namun demikian demikian usaha masih layak kembangkan. Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian Karakteristik lahan, seperti landform, relief, litologi, landuse, dan hidrologi, (atribut lahan) mempunyai kaitan erat dengan kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Evaluasi lahan telah dilakukan terhadap komoditas pertanian lahan kering baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan yang perhitungannya menggunakan program Automated Land Evaluation System (ALES) model Rossiter dan Van Wambeke (1997) menghasilkan kelas kesesuaian lahan untuk setiap komoditas pertanian sangat bervariasi, seperti ditunjukkan padaTabel 3. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komoditas tanaman pangan pada umumnya sangat sesuai diusahakan di KSB, demikian pula tanaman hortikultura, kecuali sawo dan manggis pada kelas cukup sesuai. Setiap satuan lahan yang dinilai, mungkin sesuai untuk lebih dari satu komoditas pertanian, oleh karena itu untuk memilih jenis komoditas pertanian yang akan dikembangkan di suatu wilayah, perlu dipertimbangkan kelas kesesuaian lahan, komoditas andalan/unggulan daerah atau terpilih, tenaga kerja, peluang pasar, dan aksesibilitas, terutama sarana dan prasarana transportasi. Kelas kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) artinya penggunaan lahan untuk komoditas yang bersangkutan tanpa atau sedikit pembatas; S2 (cukup sesuai) artinya tingkat pembatas sedang untuk penggunaannya; S3 (sesuai marjinal) artinya tingkat pembatas berat untuk penggunaanya dan N (tidak sesuai) artinya penggunaannya tidak memungkinkan (Djaenudin et al.,2003). Parameter-parameter tanah yang menjadi faktor pembatas adalah kondisi terrain (lereng, torehan, keadaan batuan di permukaan dan kemungkinan bahaya banjir); media perakaran (kedalaman efektif, tekstur, drainase, struktur tanah, density dan kemasakan tanah), dan beberapa sifat kimia tanah yaitu reaksi tanah, adanya bahan sulfidik, dan kandungan bahan organik.
571
Tabel 3. Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian untuk Lahan Kering di KSB, 2005 Komoditas
S1
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 Ha % Ha 6.035 3,54 11.554 11.589 6,60 6.596 19.899 11,33 6.478 16.569 9,43 7.007 19.438 11,06 6.938 2.858 1,63 8.140 27.483 15,64 961 20.398 11,61 7.179 24.062 13,70 4.195 16.330 9,30 3.152 24.062 13.70 3.152 12.387 7,06 8.139 16.330 9,30 3.152 5.590 3,18 143.607 17.292 9,84 4.195 5.590 3,18 143.607
Ha % % 1. Padi gogo 11.245 6,40 6,58 2. Kacang hijau 8.410 4,79 3,74 3. Kacang tanah 219 0,12 3,69 4. Jagung 5.259 2,99 3,99 5. Kedelai 219 0,12 3,95 6. Mangga 16.944 9,65 4,63 7. Pisang 773 0,44 0,55 8. Jeruk 679 0,39 4,09 9. Sawo 0 0 2,39 10. Durian 7.731 4,40 1,79 11. Manggis 0 0 1,79 12. Kakao 7.731 4,40 4,63 13. Kopi Robusta 7.731 4,40 1,79 14. Jambu Mete 9.780 5,57 81,75 15. Kelapa 7.731 4,40 2,39 16. Jarak pagar 9.780 5,57 81,75 Sumber : Nazam et al.,2005. Keterangan : S1 = Sangat Sesuai; S2 = Cukup Sesuai, S3 = Sesuai Marginal dan N = Tidak Sesuai
N Ha 140.476 142.715 142.714 140.475 142.715 141.368 140.093 141.054 141.053 142.097 142.096 141.053 142.097 10.333 140.092 10.333
% 79,96 81,25 81,24 79,97 81.25 80,47 79,75 80,29 80,29 80,89 80,89 80,30 80,89 5,88 79,75 5,88
Tingkatan kendala setiap karakteristik lahan berbeda menurut nilainya. Misalnya pH 3,0 mempunyai tingkat kendala lebih tinggi daripada pH 5,5. Pada lahan dengan pH tanah 3,0 dapat langsung diputuskan sebagai lahan yang tidak sesuai (N) sehingga tidak perlu dipertimbangkan karakteristik lahan lainnya. Sedangkan pada lahan dengan pH tanah 5,5 masih tergantung pada karakteristik lahan lainnya, misalnya kedalaman tanah. Apabila pada lahan tersebut (pH 5,5) mempunyai kedalaman tanah tergolong dangkal, kelas kesesuaiannya diputuskan sebagai lahan tidak sesuai (N) dan tidak diperlukan informasi karakteristik lahan lainnya. Sedangkan lahan dengan pH tanah 5,5 dan tergolong tanah dalam, diputuskan sebagai lahan sesuai (S). Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Lahan Kering Untuk menyusun peta arahan pewilayahan komoditas pertanian diperlukan data hasil evaluasi lahan, data peluang investasi dan data prioritas tanaman. Data hasil evaluasi lahan adalah data berupa tabel kesesuaian lahan fisik masing-masing tipe penggunaan lahan (LUT) pada setiap satuan peta. Data peluang investasi adalah parameter ekonomi setiap tanaman yang diusahakan pada tipologi lahan tertentu dengan indikator R/C, NPV, IRR dan BCR. Data prioritas tanaman adalah jenis tanaman yang diunggulkan/diprioritaskan untuk dikembangkan yang diperoleh berdasarkan pertimbangan dan kebijakan pemda setempat. Selain itu diperlukan juga data penggunaan lahan saat ini (present land use) sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam pewilayahan komoditas, sehingga diperoleh pewilayahan komoditas pertanian yang secara fisik sesuai dan secara ekonomi layak dikembangkan. Hasil evaluasi lahan dengan asumsi penerapan masukan sedang, dengan menggunakan program Modul Pewilayahan Komoditas/MPK (Bachri et al., 2002); wilayah KSB terdiri atas 5 zona agroekologi berdasarkan relief (kelerengan), yaitu zona I (kelerengan > 40%); zona II (kelerengan 15-40%); zona III (kelerengan 8-15%), zona IV (kelerengan 0-8%) dan zona non pertanian. Dari 5 zona tersebut ditetapkan 13 arahan pewilayahan komoditas pertanian dan 4 arahan pengembangan sistem pertanian, seperti pada Tabel 4. Berdasarkan zona agroekologi (Tabel 4), terlihat bahwa KSB memiliki lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah hutan lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%) adalah lahan kering non pertanian (pekarangan, pemukiman, jalan, rawa, dll) dan hanya 15.430 ha (9,21%) adalah lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan sistem pertanian. Lahan kering untuk pengembangan sistem pertanian terdapat pada zona III-DEF seluas 1.953 ha, zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha. Sedangkan zona lainnya merupakan zona untuk kawasan konservasi (hutan lahan kering dan basah) seluas 148.242 ha terdapat pada zona I-DJ, II-DJ, III-DJ, IV-DJ, dan IV-WJ,, lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) seluas 9.780 ha terdapat pada zona IV-WR2 dan IV-WR4, dataran estuarin (pertambakan) seluas 1.559 ha terdapat pada zona IV-WIB dan grup aneka berupa lereng curam, tebing, kota/pemukiman, danau dan pulau-pulau seluas 3.795 ha.
572
Tabel 4. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian di KSB, 2005 Kode
Komoditas
Sistem Pertanian
No. Satuan Lahan
Luas Ha
%
I-DJ II-DJ III-DJ III-DEF
Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 30, 37 134.322 76,46 Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 24, 25, 34 7.074 4,03 Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 29, 39 1.883 1,07 Mangga, jambu mete, srikaya, Pertanian lahan kering tan. 10, 23 1.953 1,11 kopi, jagung, padigogo, cabe, tahunan/ hortikul dan tan. pangan bawang merah, ubi jalar sistem lorong IV-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 21 206 0,12 IV-DEF Mangga, jeruk, jambu mete, Pertanian lahan kering tanaman 1, 18, 20, 4.714 2,68 kelapa srikaya, kopi, jagung, padi tahunan/ hortikultura dan tan. 27 gogo, cabe, bawang merah, ubi pangan jalar IV-DFE Jagung, padi gogo, cabe, bawang Pertanian lahan kering tanaman 7-9, 19, 28, 8.763 4,99 merah, ubi jalar, mangga, jeruk, pangan dan tanaman tahunan/ 38 jambu mete, kelapa, srikaya, kopi hortikultura IV-WR2 Padi sawah, jagung, kedelai, kac. Pertanian lahan basah tan. pangan 3, 4, 11 5.628 3,20 hijau, cabe, baw merah, ubi jalar (2 kali padi + palawija) IV-WR4 Padi sawah, jagung, kedelai, kac Pertanian lahan basah tan. pangan 2, 5, 6, 22, 4.152 2,36 hijau, cabe, bw merah, ubi jalar (1 kali padi + palawija) 26 IV-WIB Dataran lakustrin Endapan liat 12, 15, 16 1.559 0,89 IV-WJ Kawasan Konservasi Hutan lahan basah 13, 17 660 0,38 IV-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 14 962 0,55 NP Grup aneka (lereng curam, tebing, Non pertanian 40-44 3.795 2,16 kota/pemukiman, danau dan pulau Kabupaten Sumbawa Barat 175.671 100,00 Sumber : Nazam et al. (2005). Keterangan: I-IV = zone AEZ; W = lahan basah, D = lahan kering ; E = tan. perkebunan; R = padi sawah; H = hrotikultura sayuran; F = tan. pangan; J = hutan; I = ikan; B = pasangsurut.
Arahan pengembangan sistem pertanian pada lahan kering bertujuan selain untuk konservasi agar lahan dapat didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan lainnya. Teknologi yang dapat dikembangkan pada sistem pertanian lahan kering antara lain melalui (a) peningkatan efisiensi penggunaan air hujan melalui pengelolaan tanah dan tanaman, (b) mengembangkan teknologi pemanenan air (Development of Water harvesting technology for dryland farming), (c) mengembangkan budidaya olah tanah konservasi untuk lahan kerinng, (d) mengembangkan sistim pengelolaan unsur hara dan bahan organik yang berkelanjutan pada pertanian lahan kering, (e) mengembangkan alternatif model pengelolaan pertanian lahan kering yang berkelanjutan Zona III-DEF memiliki kelerengan antara 8-15% diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan seperti jambu mete, mangga, kopi, srikaya, dan jeruk. Tanaman tahunan berfungsi sebagai tanaman penguat untuk mencegah terjadinya longsor maupun erosi tanah. Sedangkan tanaman pangan seperti jagung, padi gogo, cabe, ubi jalar, bawang merah ditanam di antara tanaman tahunan sebagai pengisi lorong dengan pengolahan tanah ringan atau tanpa olah tanah. Zona IV-DEF dan IV-DFE dengan kelerengan 0-8% diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan dan atau tanaman pangan secara monokultur atau campuran, dimana tanaman pangan ditanam sebagai tanaman sela di antara tanaman tahunan. Untuk memanfaatkan curah hujan yang sangat singkat maka dianjurkan pola tanam yang dikembangkan adalah sistem relay antara jagung kacang hijau atau jagung, kacang tanah, atau dapat pula dikembangkan tumpang sari antara jagung dan padi gogo. Lahan kering untuk pengembangan sistem pertanian tersebar hampir di setiap kecamatan yang terdapat di KSB, yang terluas di Kecamatan Seteluk, Jereweh dan Sekongkang, seperti terlihat pada peta pewilayahan komoditas pertanian KSB (Gambar 2)
573
Gambar 1. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian KSB, 2005
KESIMPULAN DAN SARAN KSB memiliki lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah hutan lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%) adalah lahan kering non pertanian (pekarangan, pemukiman, jalan, rawa, dll) dan hanya 15.430 ha (9,21%) adalah lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan sistem pertanian, yaitu terdapat pada zona III-DEF seluas 1.953 ha, zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha. Arahan sistem pertanian yang dikembangkan adalah : (a) pada zona III-DEF diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan sebagai tanaman penguat dan tanaman pangan sebagai pengisi lorong, (b) pada zona IV-DEF dan IV-DFE diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan dan atau tanaman pangan secara monokultur. Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan secara efektif dan berkelanjutan, pemilihan komoditas yang sesuai, penetapan kawasan pengembangan komoditas dan pemilihan inovasi teknologi pertanian yang sesuai baik oleh para perencana maupun investor.
DAFTAR PUSTAKA Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK). Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. FAO. 1996. Agro-Ecological Zoning Guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan Agroekologi Utama Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus, Pus/03/90.Bogor. Nazam, M., A. Suriadi, Hendra S., Prisdiminggo, Adi P., Marwan H. 2005. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala 1:50.000 KSB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.2005. Mataram. Rossister, D, And Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System. User‟s Manual Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York.
574
KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PANGAN UNGGULAN DAN ARAHAN PENGEMBANGANNYA DI SUMBAWA BARAT NTB Moh. Nazam, Prisdiminggo dan Awaludin Hippi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Kelayakan usahatani tanaman pangan unggulan dan arahan pengembangannya di Sumbawa Barat dianalisis dengan memanfaatkan data dan informasi hasil survei sosial ekonomi dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Komoditas unggulan ditentukan berdasarkan atas posisi strategis komoditas, peluang pengembangan, kebijakan daerah dan kesesuaian komoditas dengan kondisi biofisik dan agroklimat dan sosial masyarakat di KSB. Hasil analisis usahatani diketahui bahwa RC ratio padi sawah dua kali setahun adalah 2,52; padi sawah tadah hujan satu kali setahun dengan nilai RC ratio 2,04; padi gogo 1,60; jagung 2,71; kacang hijau 2,53; kedelai 4,87; dan kacang tanah 2,52. Komoditas tanaman pangan tersebut layak dikembangkan di KSB dengan RC ratio lebih besar 1. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian dengan penerapan input sedang, maka terdapat 2 (dua) arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan di KSB, yaitu : (a) pengembangan sistem pertanian lahan kering seluas 15.430 ha pada tipologi lahan dan zona agroekologi III-DEF, IV-DEF, dan IV-DFE; dan (b) pengembangan sistem pertanian lahan basah seluas 9.780 ha pada tipologi lahan dan zona agroekologi WR2 dan WR4. Arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian yang telah dihasilkan diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam penyusunan tata ruang pertanian di KSB. Kata kunci : usahatani, tanaman pangan, arahan pengembangan
PENDAHULUAN Program ketahanan pangan merupakan salah satu program utama pembangunan pertanian lima tahun ke depan guna menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Pembangunan ketahanan pangan diarahkan agar kekuatan ekonomi domestik mampu menyediakan pangan bagi seluruh penduduk dari produksi dalam negeri. Kebutuhan pangan akan terus meningkat dalam jumlah, kualitas, keragaman dan keamanan sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan penduduk yang terus berkembang. Peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Peningkatan produksi melalui intensifikasi dapat dilakukan dengan menerapkan inovasi teknologi pertanian unggulan pada lahan sawah irigasi teknis. Sedangkan peningkatan produksi melalui ekstensifikasi selain ditempuh melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) juga dapat ditempuh melalui perluasan areal pertanian baru baik pada lahan sawah maupun lahan kering dan pemanfaatan lahan tidur. Tantangan dalam pengembangan ketahanan pangan adalah semakin terbatasnya kapasitas produksi akibat berlanjutnya konversi lahan pertanian terutama lahan sawah irigasi ke penggunaan non pertanian, menurunnya kesuburan tanah akibat meningkatnya intensitas usahatani dan degradasi lahan, serta semakin terbatas dan ketidakpastian pasokan air untuk produksi pangan karena bersaing dengan sektor industri dan pemukiman, serta perilaku iklim yang semakin tidak pasti akibat pemanasan global. Selain itu pola penggunaan lahan sangat terkait dengan tingkat kepadatan penduduk. Di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura berkembang dengan pesat, sedangkan di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah cendrung berkembang usahatani perkebunan tanaman tahunan karena kebutuhan tenaga kerja relatif lebih sedikit. Kondisi demikian telah mengakibatkan adanya ketimpangan penggunaan lahan antara tanaman pangan di satu pihak dan tanaman tahunan di pihak lain. Sumbawa Barat yang merupakan Kabupaten termuda di Nusa Tenggara Barat, memiliki potensi pengembangan tanaman pangan yang cukup luas, baik pada lahan sawah, tegalan, ladang, dan lahan perkebunan. Berdasarkan hasil interpretasi foto udara dan citra landsat TM, lahan pertanian di KSB seluas 25.210 ha (14,34%) dari luas wilayah, terdiri atas lahan sawah seluas 9.780 ha (38,79%) dan lahan kering (tegalan, ladang, kebun) seluas 15.430 ha (61,21%). Sumberdaya tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam menopang perekonomian KSB, karena merupakan penyerap tenaga kerja terbesar. Tercatat sekitar 72,74% penduduk usia produktif bekerja di sektor pertanian yang sebagian besar bekerja pada sub sektor pertanian dan perkebunan (63,92%), perikanan (5,10%), peternakan (1,89%), dan kehutanan (1,83%).
575
Disisi lain penghapusan subsidi pupuk, secara langsung telah meningkatkan biaya produksi terutama usahatani tanaman pangan yang sudah terbiasa dengan penggunaan pupuk yang berakibat pada penurunan pendapatan usahatani. Untuk meningkatkan pendapatan petani, selain ditempuh melalui peningkatan produktivitas usahatani dengan menerapkan teknologi unggulan yang sesuai, juga dapat ditempuh melalui peningkatan efisiensi usahatani dengan merasionalisasi penggunaan sarana produksi, seperti penggunaan benih dan pupuk. Para petanipun harus didorong agar mampu memperhitungkan penggunaan sarana produksi secara tepat baik dalam jumlah, jenis, mutu dan saat tepat. Di lain pihak untuk mengantisipasi adanya ketimpangan dalam penggunaan lahan antara tanaman pangan dan perkebunan, maka dalam penyusunan tata ruang pertanian, perlu dipertimbangkan arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, sosial ekonomi dan pilihan prioritas komoditas yang akan dikembangkan.
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah data dan informasi hasil survei sosial ekonomi komoditas pertanian untuk pewilayakan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di KSB (Nazam et al., 2005). Penentuan responden dan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan petunjuk teknis pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Balai Penelitian Tanah, 2001). Kelayakan usahatani diperhitungkan berdasarkan pendekatan return cost ratio (RC ratio) (Soekartawi, 1995). Penentuan komoditas unggulan didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditas tersebut memiliki posisi strategis dan potensi pengembangan yang cukup besar berdasarkan arah kebijakan Pemda setempat. Arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi lahan untuk komoditas tanaman pangan dengan asumsi penerapan masukan sedang dengan mempertimbangkan hasil analisis usahatani, aksesibilitas, dan pasar, dengan menggunakan program Modul Pewilayahan Komoditas/ MPK (Bachri et al., 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelayakan dan Keragaan Usahatani Tanaman Pangan di KSB Hasil analisis kelayakan usahatani padi sawah 2 kali setahun, padi tadah hujan, padi gogo, jagung, kacang hijau, kedelai dan kacang tanah di KSB disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kelayakan Usahatani Tanaman Pangan di KSB, 2005 Jenis Tanaman (JT)
Tipologi Lahan (TL)
Padi sawah 2 x WR2 Padi tadah hujan WR4 Padi gogo DFE Jagung DEF Kacang hijau WR2 Kedelai WR2 Kacang tanah DEF Standar Sumber : Diolah dari Nazam et al., 2005
a.
Biaya Produksi (Rp/ha) (BP)
Penerimaan (Rp/ha) (REV)
5.837.600 2.148.472 1.332.994 1.326.000 586.013 745.000 1.388.889
14.710.752 4.384.490 2.132.790 3.600.000 1.485.000 3.625.000 3.500.000
RC ratio 2,52 2,04 1,60 2,71 2,53 4,87 2,52 > 1,10
Padi Sawah 2 Kali Setahun
Padi sawah yang ditanam 2 kali setahun diusahakan pada lahan irigasi teknis yaitu pada tipologi lahan (TL) basah (zona IV-WR2), di wilayah Kecamatan Taliwang dan Brangrea. Sumber air utama berasal dari Bendungan Kalimantong I yang terletak di Desa Mura Kecamatan Taliwang dan Kalimantong II di Desa Bangket Monteh, Kecamatan Brangrea. Varietas padi yang umum ditanam adalah varietas Ciherang, IR-64 dan Widas. Benih berlabel dibeli di kios saprodi terdekat dengan harga rata-rata Rp.3.000/kg. Waktu tanam musim hujan (MH) dimulai pada bulan Nopember dan panen pada bulan Februari atau Maret. Pada umumnya pengolahan lahan menggunakan traktor dengan biaya rata-rata Rp.666.000/ha sampai siap tanam. Padi ditanam secara tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Rata-rata penggunaan pupuk adalah Urea 216,7 kg/ha, Za 50 kg/ha dan SP-36 50 kg/ha. Penyiangan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Upah
576
tenaga kerja harian berkisar antara Rp.17.500-20.000/HOK. Para petani juga biasa menggunakan pupuk organik maupun obat-obatan cair/padat. Total biaya yang dikeluarkan untuk 2 kali musim tanam mencapai Rp.5.837.600/ha. Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 5,833 t/ha gabah kering panen (GKP). Total penerimaan sebesar Rp.14.710.752/ ha dengan RC ratio 2,52. Produktivitas dan efisiensi usahatani masih dapat ditingkatkan dengan mengurangi penggunaan benih dari 60 kg/ha menjadi 20-25 kg/ha dan penggunaan varietas unggul baru, seperti Cigeulis yang sudah mulai berkembang di Sumbawa Barat dan padi tipe baru (PTB) Gilirang dan Fatmawati. b. Padi Sawah Tadah Hujan Padi sawah tadah hujan diusahakan 1 kali setahun pada lahan irigasi terbatas atau sawah tadah hujan yaitu pada TL basah (zona IV-WR4, tersebar di Kecamatan Seteluk, Jereweh, dan Sekongkang. Varietas padi yang umum ditanam adalah varietas Ciherang, IR-64 dan Widas. Benih berlabel dibeli di kios-kios terdekat dengan harga rata-rata Rp.3.000/kg. Sebagian petani masih meggunakan benih sendiri hasil panen tahun sebelumnya. Waktu tanam musim hujan (MH) dimulai pada bulan Nopember dan panen pada bulan Februari atau Maret. Pengolahan lahan pada umumnya menggunakan traktor atau cangkul dengan rata-rata biaya Rp.666.000/ha. Padi ditanam dengan sistem tandur dengan jarak tanam tidak teratur. Kebutuhan benih sekitar 60 – 80 kg/ha. Penggunaan pupuk tergantung kemampuan petani dan ketersediaan pupuk yaitu rata-rata Urea 200-250 kg/ha dan SP-36 50-100 kg/ha. Penyiangan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Upah tenaga kerja harian rata-rata antara Rp.15.000-20.000/HOK. Total biaya rata-rata Rp.2.148.472/ha. Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 3,466 t/ha gabah kering panen (GKP). Total penerimaan sebesar Rp.4.384.490/ha dengan RC ratio 2,04. Produktivitas dan efisiensi usahatani masih berpeluang untuk ditingkatkan dengan penggunaan benih unggul baru, seperti padi tipe baru (PTB) Gilirang dan Fatmawati dengan potensi hasil 6-10 t/ha. c.
Padi gogo
Padi gogo ditanam 1 kali setahun pada lahan tegalan atau perbukitan yaitu pada TL kering (IV-DEF, IV-DFE dan III-DEF), tersebar di Kecamatan Seteluk, Jereweh, Brangrea dan Sekongkang. Varietas padi yang umum ditanam adalah varietas IR-64 dan lokal. Benih umumnya tanpa label dan banyak disediakan sendiri dari hasil panen tahun sebelumnya. Waktu tanam MH dimulai pada bulan Nopember-Desember dan panen pada bulan Maret-April. Persiapan lahan meliputi pembersihan dengan cara dibakar dan tanpa olah tanah. Benih ditanam dengan cara ditugal atau disebar. Kebutuhan benih dapat mencapai 100–120 kg/ha. Pada umumnya tidak dilakukan pemupukan, atau pemupukan seadanya, penyiangan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Upah tenaga kerja harian rata-rata antara Rp.15.000 -20.000/HOK. Total biaya ratarata Rp.1.332.994/ha. Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 1,686 t/ha GKP. Total penerimaan sebesar Rp. 2.132.790/ha dengan RC ratio 1,60. Produktivitas dan pendapatan usahatani masih berpeluang untuk ditingkatkan dengan menerapkan teknologi anjuran, seperti penggunaan benih unggul bermutu, pemeliharaan yang baik dan mengurangi takaran penggunaan benih. d. Jagung Jagung merupakan komoditas yang banyak diusahakan di KSB, baik pada lahan kering maupun lahan sawah. Wilayah yang merupakan sentra jagung di KSB adalah wilayah Kecamatan Seteluk, dan Sekongkang. Hasil wawancara dengan petani di Dusun Kokar Lian, Desa Pototano, Kecamatan Seteluk, menunjukkan bahwa varietas jagung yang ditanam umumnya varietas lokal dan sebagian kecil varietas jagung hibrida. Benih jagung hibrida dibeli di Lombok atau menggunakan benih yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Kebutuhan benih 20 kg/ha dengan harga rata-rata Rp.5.000/kg. Waktu tanam pada awal musim hujan atau sekitar bulan Nopember-Desember dan panen pada bulan Februari atau Maret. Persiapan lahan meliputi pembersihan dan pengolahan tanah dengan traktor dengan biaya Rp.600.000/ha. Jagung ditanam secara ditugal dengan jarak 30 x 40 cm. Pemupukan dengan Urea 300 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Penyiangan dilakukan dengan cangkul sambil penggemburan tanah. Total biaya produksi mencapai Rp.1.326.000/ha. Produksi yang dapat dicapai rata-rata 4,8 t/ha jagung pipil. Pemasaran langsung ke tengkulak dengan harga Rp.1.000/kg diterima di lokasi. Hasil analisis usahatani diperoleh total penerimaan sebesar Rp. 3.600.000/ha dengan RC ratio 2,71. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas jagung selain ditempuh melalui perbaikan teknologi produksi, juga dapat ditempuh melalui perluasan areal tanam dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lahan yang sesuai berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Hasil penelitian Balitsereal menunjukkan perbaikan teknologi produksi jagung dengan pendekatan pemeliharaan tanaman terpadu (PTT), produktivitas jagung dapat mencapai 7 – 9 t/ha (Saenong dan Subandi, 2002). Hasil kajian di Sambelia Lombok Timur produksi jagung varietas Lamuru dapat mencapai 5,45 t/ha jagung pipilan (Awaludin et al., 2004).
577
e.
Kacang hijau
Kacang hijau banyak ditanam pada lahan sawah irigasi setelah padi musim tanam kemarau I (MKI) untuk memanfaatkan sisa air yang terbatas dari sumber air. Pada umumnya diusahakan oleh petani di wilayah Kecamatan Taliwang dan Brangrea. Varietas kacang hijau yang umum ditanam adalah varietas Samsik. Benih umumnya dibeli di pasar terdekat dengan harga Rp.6.000-6.500/kg dengan kebutuhan benih rata-rata 8,4 kg/ha. Waktu tanam pada bulan September setelah padi kedua dan panen pada bulan Nopember. Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan dari rumput dan jerami dengan cara dibakar. Penanaman dilakukan dengan cara disebar. Pemupukan biasanya menggunakan pupuk cair, seperti gandasil D dan B. Penyiangan dilakukan secara manual dengan sabit. Total biaya produksi rata-rata Rp.586.013/ha. Produktivitas rata-rata dapat mencapai 360 kg/ha biji kering. Total penerimaan Rp.1.485.000/ha dengan RC ratio 2,53. Produktivitas dan pendapatan petani masih berpeluang ditingkatkan dengan penerapan teknologi anjuran, penggunaan benih unggul bermutu, seperti Murai, Perkutut, Kenari dengan potensi hasil 1,5 – 1,64 t/ha. f.
Kedelai
Kedelai banyak diusahakan di Kecamatan Taliwang, Brangrea dan Jereweh, yaitu pada lahan sawah irigasi maupun tadah hujan setelah padi. Pada lahan sawah irigasi ditanam pada bulan Juni setelah padi MH. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Desa Beru, Kecamatan Brangrea menunjukkan bahwa kedelai ditanam dengan cara ditugal, jarak tanam 20 x 20 cm. Persiapan tanam meliputi pembersihan lahan, selanjutnya ditugal kemudian ditutup mulsa jerami. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyemprotan dengan pupuk cair sampurna D dan B pada umur 7 HST dan 49 HST. Total biaya yang dikeluarkan rata-rata Rp.745.000/ha. Produksi yang dapat dicapai 1,25 t/ha dijual dalam bentuk biji kering dengan harga jual di tingkat petani Rp.2.900/kg. Total penerimaan sebesar Rp.3.625.000/ha dengan RC ratio 4,87. Produktivitas kedelai masih dapat ditingkatkan mencapai 1,8 – 2,16 t/ha dengan menerapkan paket teknologi anjuran Menurut Adisarwanto dan Wudianto (1999), untuk meningkatkan produktivitas kedelai selain dengan menerapkan teknologi yang telah akrab dengan petani, seperti pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, pengairan dan kegiatan pemeliharaan lainnya, beberapa teknologi baru yang telah terbukti dapat meningkatkan produksi maupun kualitas hasil adalah penggunaan benih unggul, penggunaan mulsa jerami, inokulasi rhizobium, pemberian PPC dan ZPT serta perlakuan benih. Varietas kedelai yang dianjurkan ditanam pada lahan sawah antara lain wilis, lokon, kerinci, merbabu, tidar, merapi (biji hitam), panderman dan ijen dengan potensi hasil 2,4 t/ha. g.
Kacang tanah
Kacang tanah banyak diusahakan di Dusun Kokar Lian, Desa Pototano, Kecamatan Seteluk. Kacang tanah ditanam pada lahan kering/tegalan, waktu tanam biasanya pada MH sekitar bulan Nopember-Desember, tergantung keadaan hujan dan panen pada bulan Maret. Varietas yang umum ditanam adalah varietas Bima dan kacang lokal. Persiapan lahan meliputi pembersihan dan penngolahan dengan tenaga manusia. Penanaman dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan dan pembumbunan. Produktivitas kacang tanah yang dapat dicapai adalah 1,6 t/ha kacang gelondongan (polong). Kacang tanah dijual dalam bentuk gelondongan dengan harga Rp.3.125/kg di tingkat petani. Tengkulak biasanya datang membeli langsung di petani. Berdasarkan hasil analisis usahatani diperoleh total pengeluaran sebesar Rp.1.388.889/ha dan total penerimaan sebesar Rp.3.500.000,-/ha dengan RC ratio 2,52. Produktivitas dan pendapatan petani masih dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi anjuran, seperti pengolahan lahan yang baik, pemupukan, pengendalian gulma, penggunaan benih unggul bermutu, seperti Bima dengan potensi hasil 1,6 – 2,5 t/ha, varietas Turangga (1,4 – 3,6 t/ha), Panter (2,6 t/ha), dan lain lain. Tipe Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan observasi lapangan menunjukkan bahwa di wilayah KSB terdapat beberapa tipe penggunaan lahan (TPL) yang spesifik. Lahan sawah umumnya terletak di dataran aluvial, dataran volkan, dan lereng volkan. Lahan sawah irigasi ada yang ditanami padi 2 kali setahun dan ada juga yang ditanami padi 1 kali setahun. Sawah tadah hujan umumnya ditanami padi sekali setahun, dan pada MK I ditanami palawija, seperti kacang hijau dan kedelai. Berdasarkan sebaran hujan dan ketersediaan air dapat ditentukan pola tanam yang sesuai di KSB. Pada lahan sawah irigasi pola tanam yang sesuai adalah padi-padi-palawija atau padi-padi-tanaman semusim lainnya. Pada lahan sawah tadah hujan pola tanam yang sesuai adalah padi-palawija-bera. Pada lahan tegalan pola tanam yang sesuai adalah padi gogo-kacang hijau atau jagung/kacang tanah-kacang tanah (Gambar 1 a,b,c).
578
Komoditas
Bulan 10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6
7
8
9
6
7
8
9
Padi Kacang Hijau Kedelai Tan.semusim lain Gambar 1 a. Pola tanam lahan sawah irigasi di KSB, 2005 Komoditas
Bulan 10
11
12
1
2
3
4
5
Padi Kacang Hijau Kedelai Tan.semusim lain Bera Gambar 1 b. Pola tanam lahan sawah tadah hujan di KSB, 2005 Komoditas
Bulan 10
11
12
1
2
3
4
5
1) Padi Gogo - Kc. Hijau 2) Jagung// Kc. Tanah 3) Jagung/ Kc. Hijau 4) Jagung// Kedelai Kc. Tanah Bera Gambar 1 c. Pola tanam lahan kering di KSB, 2005
Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan kelayakan usahatani komoditas pertanian di KSB, diperoleh komoditas pertanian tanaman pangan unggulan, yaitu padi sawah, padi gogo, kacang hijau, jagung, kedelai dan kacang tanah. Dengan asumsi penerapan masukan sedang dan dilengkapi dengan analisis ekonomi yang mempertimbangkan aksesibilitas, pasar, komoditas unggulan, dan kelayakan ekonomi, dengan menggunakan program Modul Pewilayahan Komoditas/MPK (Bachri et al., 2002), dapat dihasilkan 5 arahan pewilayahan komoditas pertanian tanaman pangan sesuai dengan zona agroekologinya dan 2 arahan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan (Tabel 2). Berdasarkan data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa ke 5 arahan pewilayahan komoditas pertanian tanaman pangan di KSB teridiri atas zona III-DEF, zona IV-DEF, IV-DFE, IV-WR2 dan IV-WR4 dengan 2 arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan, yaitu : 1.
Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering, meliputi : (a) pengembangan sistem pertanian lahan kering tanaman pangan di antara tanaman tahunan perkebunan atau hortikultura yang diusahakan dengan sistem lorong pada zona III-DEF. Wilayah ini memiliki kelerengan 8-15% sehingga dianjurkan penerapan sistem teras, pengolahan tanah ringan (minimum tillage) dan menggunakan mulsa sehingga dapat mengurangi erosi. Jenis tanaman pangan yang sesuai untuk diusahakan adalah padi gogo, jagung dan kacang hijau. (b) pengembangan sistem pertanian lahan kering tanaman pangan di antara tanaman perkebunan/hortikultura pada zona IV-DEF yaitu pada satuan lahan 1, 18, 20, dan 27. Wilayah ini memiliki kelerengan <8%, sehingga tidak diperlukan penterasan. Pengolahan tanah ringan dan penggunaan mulsa untuk mengurangi penguapan. Jenis tanaman pangan yang sesuai untuk diusahakan adalah padi gogo dan jagung. (c) pengembangan sistem pertanian lahan kering tanaman pangan dan perkebunan/hortikultura pada zona IV-DFE yaitu pada satuan lahan 7-9, 19, 28, dan 38. Wilayah ini termasuk wilayah datar dengan kelerengan <8%. Jenis tanaman pangan yang sesuai untuk diusahakan adalah padi gogo dan jagung.
579
Tabel 2. Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Tanaman Pangan Unggulan di KSB, 2005 Kode
Komoditas
Sistem Pertanian
III-DEF
No. Satuan Lahan
Luas Ha
Mangga, jambu mete, srikaya, kopi, Pertanian lahan kering tan. 10, 23 1.953 jagung, padigogo, cabe, bawang tahunan/ hortikul dan tan. merah, ubi jalar pangan sistem lorong IV-DEF Mangga, jeruk, jambu mete, kelapa Pertanian lahan kering tanaman 1, 18, 20, 27 4.714 srikaya, kopi, jagung, padi gogo, tahunan/ hortikultura dan tan. cabe, bawang merah, ubi jalar pangan IV-DFE Jagung, padi gogo, cabe, bawang Pertanian lahan kering tanaman 7-9, 19, 28, 38 8.763 merah, ubi jalar, mangga, jeruk, pangan dan tanaman tahunan/ jambu mete, kelapa, srikaya, kopi hortikultura IV-WR2 Padi sawah, jagung, kedelai, Pertanian lahan basah tanaman 3, 4, 11 5.628 kacang hijau, cabe, bawang merah, pangan (2 kali padi + palawija) ubi jalar IV-WR4 Padi sawah, jagung, kedelai, Pertanian lahan basah tanaman 2, 5, 6, 22, 26 4.152 kacang hijau, cabe, bawang merah, pangan (1 kali padi + palawija) ubi jalar Jumlah 25.210 Sumber : Diolah dari Nazam et al., 2005 Keterangan : III dan IV = zone AEZ; W = lahan basah, D = lahan kering ; E = tanaman tahunan perkebunan/ hortikultura; R = padi sawah; dan F = tanaman pangan.
2.
% 1,11
2,68
4,99
3,20
2,36
14,34
Pengembangan sistem pertanian lahan basah, meliputi : (a) pengembangan sistem pertanian lahan basah tanaman pangan pada zona IV-WR2 yaitu pada satuan lahan 3, 4, dan 11. Wilayah ini umumnya adalah sawah irigasi teknis dengan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Jenis palawija yang diusahakan adalah kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan jagung; (b) pengembangan pertanian lahan basah tanaman pangan pada zona IV-WR4 yaitu pada satuan lahan 2, 5, 6, 22. Wilayah ini adalah sawah dengan irigasi terbatas, diusahakan 1 kali padi dan 1 atau 2 kali palawija. Jenis palawija yang diusahakan adalah kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan jagung.
KESIMPULAN DAN SARAN Komoditas tanaman pangan unggulan, seperti padi, jagung, kacang hijau, kedelai dan kacang tanah memberikan keuntungan usahatani dan layak dikembangkan di KSB. Produktivitas dan pendapatan usahatani untuk tanaman pangan masih dapat ditingkatkan melalui penerapan paket teknologi unggulan, seperti penggunaan benih unggul bermutu, rasionalisasi penggunaan pupuk dan benih serta perbaikan teknologi pasca panen. Terdapat 2 (dua) arahan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan unggulan di KSB, yaitu : (a) pengembangan sistem pertanian tanaman pangan lahan kering dengan memadukan antara tanaman pangan dengan tanaman tahunan perkebunan atau hortikultura pada zona III-DEF, zona IV-DEF dan zona IV-DFE; dan (b) pengembangan sistem pertanian tanaman pangan lahan basah pada zona IV-WR2 dan zona IV-WR4 dengan pola tanam padi-padi palawija atau padi-palawija bera atau padi palawija/tanaman musiman lain. Untuk mengantisipasi adanya ketimpangan dalam penggunaan lahan antara tanaman pangan dan perkebunan, maka dalam menyusun tata ruang pertanian, perlu dipertimbangkan arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, sosial ekonomi dan pilihan prioritas komoditas yang akan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T., dan R. Wudianto., 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya.1999. Jakarta. Awaludin H, Kunto K, A. Suriadi, Y. Alfian H, dan Mashur. 2004. Kajian peningkatan produktivitas lahan kering berbasis jagung melalui penerapan teknologi spesifik lokasi di Kabupaten Lombok Timur. Laporan Proyek Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK). Versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
580
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor. Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor. Nazam, M., A. Suriadi, Hendra S., Prisdiminggo, Adi P., Marwan H. 2005. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala 1:50.000 KSB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.2005. Mataram. Rossister, D, And Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System. User‟s Manual Version 4.6. Cornell University, Ithaca, New York. Saenong S., dan Subandi. 2002. Konsep PTT pada Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada pembinaan Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 21 – 22 Desember 2002. Soekartawi. 1995. Dasar Penyusunan Evaluasi Proyek. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.
581
PERANAN INDUSTRI PENGOLAHAN KRIPIK SINGKONG DALAM MENGGERAKKAN PEREKONOMIAN PEDESAAN Kasus di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur Sri Hastuti, Ulyatu Fitrotin, dan Prisdiminggo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Desa Padamara merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kategori miskin di Kabupaten Lombok Timur. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani (34%) dan buruh tani (60%), yang berimplikasi pada pendapatan rumahtangga sebagian besar penduduk relatif rendah. Singkong termasuk komoditas tanaman pangan bernilai ekonomi rendah, sehingga proses pengolahan singkong akan memberi nilai tambah komoditas ini. Dengan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia yang ada dan ketersediaan bahan baku di daerah sekitarnya, salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga adalah melalui industri pengolahan kripik singkong. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha pengolahan kripik singkong dan peranan industri pengolahan kripik singkong dalam perekonomian pedesaan. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006 di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara intensif pada industri pengolahan kripik singkong. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Analisis menunjukkan bahwa usaha pengolahan kripik singkong mempunyai prospek untuk dikembangkan. Pengolahan kripik singkong layak dilakukan dengan nilai B/C ratio sebesar 0,62. Dilihat dari pertumbuhan ekonomi daerah, industri pengolahan kripik singkong telah memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan baik dalam penyediaan bahan baku, proses produksi maupun pemasaran. Peningkatan pendapatan rumahtangga dari pengolahan kripik singkong sebesar Rp 2.064.375 per bulan, disamping itu mampu meningkatkan pendapatan lembaga pelaku pemasaran seperti tukang ojek dan kios makanan. Kata kunci : singkong, pengolahan, kelayakan usaha, pendapatan
PENDAHULUAN Jumlah penduduk miskin di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.054.700 jiwa (BPS, 2003). Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebagian besar berada di pedesaan (54 %) dan lebih banyak penduduk wanita (52%). Di wilayah Propinsi NTB, Kabupaten Lombok Timur merupakan salah daerah dengan persentase penduduk miskin relatif tinggi. Berdasarkan data dan informasi kemiskinan BPS tahun 2003, kemiskinan dialami oleh sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian (68 %). Bahkan persentase penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian di Kabupaten Lombok Timur mencapai 75 persen, lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata propinsi. Desa Padamara, Kecamatan Sukamulia merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kategori miskin di Kabupaten Lombok Timur. Sebagian besar penduduk Desa Padamara bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani (34%) maupun buruh tani (60%). Hal ini berimplikasi pada pendapatan rumahtangga sebagian besar penduduk relatif rendah. Areal tanam singkong di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2004 seluas 1166 ha dengan produksi 13.553 ton (BPS Kabupaten Lombok Timur, 2004). Produksi singkong Kabupaten Lombok Timur dominan dihasilkan dari Kecamatan Pringgasela dan Labuhan Haji. Singkong termasuk komoditas tanaman pangan bernilai ekonomi rendah, proses pengolahan singkong akan memberi nilai tambah komoditas ini. Dengan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia yang ada dan ketersediaan bahan baku singkong di daerah sekitarnya, salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga adalah melalui industri pengolahan kripik singkong. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha pengolahan kripik singkong dan peranan industri pengolahan kripik singkong dalam perekonomian pedesaan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006 di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara intensif pada industri pengolahan kripik singkong. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis finansial menggunakan kriteria B/C ratio dan Break Event Point (BEP) (Sudana, et al, 1999 dan Swastika, 2004).
582
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Industri Pengolahan Kripik Singkong Industri pengolahan singkong yang sudah berkembang di beberapa wilayah di Propinsi NTB termasuk di Lombok Timur adalah industri kripik singkong. Pada umumnya industri kripik singkong dikelola sebagai industri rumahtangga. Sampai saat ini belum tersedia data yang pasti tentang perkembangan jumlah dan produksi industri kripik singkong di NTB. Salah satu industri kripik singkong berada di Desa Padamara yang mulai beroperasi sejak tahun 2003. Usaha pembuatan kripik singkong berdiri atas inisiatif sendiri dan dikelola oleh kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 8 orang. Dalam proses produksinya, anggota kelompok tersebut juga berperan sebagai tenaga kerja. Sejak mulai berproduksi, industri kripik singkong di Desa Padamara sudah pernah memperoleh pembinaan dari instansi terkait. Fasilitas alat pengolah yang digunakan masih sederhana, kecuali alat perajang singkong yang dioperasikan dengan energi listrik. Ketersediaan Bahan Baku Sumber pengadaan bahan baku singkong diperoleh dari pasar terdekat di luar kecamatan. Bahan baku singkong dibeli dari pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai pemasok tetap (langganan). Dilihat dari kontinuitas bahan baku, ketersediaan singkong fluktuatif sesuai dengan musimnya. Ada waktu-waktu tertentu dimana produksi singkong berlimpah dan ada saat dimana produksi singkong kurang. Pada musim hujan yaitu antara bulan November sampai Maret, ketersediaan singkong di pasar cukup banyak. Dengan mulai turunnya hujan pada bulan November, petani mulai melakukan panen singkong dan mempersiapkan lahannya untuk komoditas utama di musim hujan. Kondisi ini berlangsung sampai dengan bulan Maret. Sementara itu pada bulan April dan Mei, produksi singkong mulai berkurang. Pada bulan Juni sampai Oktober, ketersediaan singkong relatif sedikit. Dalam ekonomi berlaku hukum dimana pada saat suplai tinggi maka harga yang berlaku akan rendah, dan sebaliknya. Hukum ekonomi ini berlaku juga untuk komoditi singkong, pada bulan-bulan produksi singkong berlimpah akan menyebabkan harga singkong turun sampai mencapai Rp 10.000/karung. Harga Singkong tertinggi yaitu Rp 25.000/karung terjadi pada bulan Juni – Oktober. Dengan demikian harga singkong dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan singkong di pasaran. Analisa Kelayakan Pengolahan Kripik Singkong Kapasitas produksi pengolahan kripik singkong rata-rata 10 karung bahan baku per 5 hari, atau sekitar 500 kg singkong. Dalam satu tahun, produksi singkong dilakukan selama 9 bulan, 3 bulan yaitu bulan Agustus – Oktober tidak berproduksi. Hal ini disebabkan pada bulan Agustus – Oktober sedang musim panen tembakau dan semua tenaga kerja termasuk pembuat kripik singkong ikut bekerja sebagai buruh rajang tembakau. Upah buruh rajang tembakau relatif tinggi yaitu Rp 40.000/HOK, sehingga tenaga kerja lebih tertarik bekrja sebagai buruh rajang tembakau. Tabel 1 memperlihatkan analisa biaya dan keuntungan pengolahan kripik singkong selaam satu bulan di Desa Padamara. Dalam sekali proses produksi dibutuhkan 50 karung bahan baku singkong untuk menghasilkan 120 bal kripik singkong, dalam satu bulan rata-rata dilakukan 5 kali proses produksi. Biaya pengolahan kripik singkong terdiri dari penyusutan alat dan biaya variabel. Total biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan Rp 3.335.625 (Tabel 1). Pangsa biaya terbesar pembelian bahan yang mencapai 56 persen. Total pendapatn yang diperoleh Rp 5.400.000. Dengan demikian usaha pengolahan kripik singkong memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.064.375/bulan. Usaha kripik singkong menguntungkan dan layak dilakukan dengan nilai B/C sebesar 0,62. Untuk melihat kemampuan usaha dalam mengembalikan atau menutupi seluruh modal yang diinvestasikan digunakan ukuran ekonomi Pay Back Period. Dalam analisa ini diperoleh nilai Pay Back Period 1,62 artinya untuk dapat menutup kembali biaya yang investasi yang dikeluarkan adalah 1,62 periode produksi. Untuk mengukur kemampuan modal dalam menghasilkan keuntungan bersih digunakan Rate of Return on Investment (ROI). Nilai ROI yang diperoleh dalam usaha pengolahan kripik singkong 61,89 persen, artinya setiap Rp 100.000 modal yang diinvestasikan menhasilkan keuntungan bersih sebesar Rp 61.890.
583
Tabel 1. Biaya dan Keuntungan Pengolahan Kripik Singkong per Bulan di Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur, 2006 No I.
II.
Uraian
Harga/sat uan (Rp)
Nilai (Rp)
Satuan
Volume
Penyusutan Alat Perajang singkong Bak Tenggok Wajan Saringan minyak Plastik karung Pisau Tungku tanah
Buah Buah Buah Buah Buah Lembar Buah Buah
1 4 2 3 2 2 3 1
21.667 625 833 1.458 417 1.250 417 8.333
21.667 2.500 1.667 4.375 833 2.500 1.250 8.333 43.125
0,40 0,05 0,03 0,08 0,02 0,05 0,02 0,15 0,80
Biaya Variabel 1. Bahan : Singkong Minyak goreng Garam Margarin Plastik pengemas Plastik bal Logo Kayu bakar
Karung Liter Bungkus Bungkus Pak Pak Lembar Ikat
10 300 5 15 20 5 375 100
10.000 4.900 1.000 6.000 13.500 28.000 100 5.000
500.000 1.470.000 5.000 90.000 270.000 140.000 37.500 500.000 3.012.500
9,26 27,22 0,09 1,67 5,00 2,59 0,69 9,26 55,79
HOK HOK HOK HOK
10 5 5 20
7.000 7.000 7.000 7.000
Bal
600
9.000
70.000 35.000 35.000 140.000 280.000 3.292.500 3.335.625 5.400.000 2.064.375 0,62 1,62 61,89
1,30 0,65 0,65 2,59 5,19 60,97 61,77 100,00 38,23
2. Tenaga Kerja : Mengupas Merajang Menggoreng Pengemasan JumlahBiaya Variabel Total biaya Produksi Keuntungan B/C Ratio Payback period ROI Sumber : Data primer diolah, 2006 III. IV.
Persen
Titik impas (BEP) dicapai pada saat keuntungan sama dengan nol atau total biaya sama dengan total penerimaan atau nilai produksi. Analisis titik impas dapat dilakukan untuk mengetahui titik impas produksi maupun titik impas harga. Hasil analisis diperoleh titik impas produksi sebesar 370 bal/bulan, sedangkan titik impas harga sebesar Rp 5.559/bal. Artinya pada tingkat harga kripik singkong Rp 9000/bal, selama produksi berada di atas 370 bal/bulan maka usaha kripik singkong layak dilakukan. Sebaliknya pada tingkat produksi 600 bal/bulan, selama harga berada di atas Rp 5.559/bal maka usaha pengolahan kripik singkong layak dilakukan. Aspek Pemasaran Pemasaran kripik singkong dari Desa Padamara masih terbatas pada pemasaran dalam desa dan daerah di luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Lembaga yang terlibat dalam pemasaran kripik singkong adalah agen penyalur dalam hal ini dilakukan oleh tukang ojek dan kios pengecer. Tukang ojek sebagai penyalur masing-masing mempunyai wilayah pemasaran dan pengecer langganan. Kegiatan ini merupakan pekerjaan sampingan tukang ojek dan memberikan pendapatan tambahan. Rantai pemasaran kripik singkong dari produsen ke konsumen relatif pendek (Gambar 1). Dari gambar ini ditunjukkan bahwa produsen menjual kripik kepada kios melalui penyalur, dan selanjutnya kios menjual kripik kepada konsumen. Produsen kripik singkong
Penyalur / tukang ojek
Kios / pengecer
Konsumen
Gambar 1. Rantai Pemasaran Kripik Singkong dari Produsen di Desa Padamara sampai Konsumen di Kabupaten Lombok Timur, 2006
584
Marjin pemasaran merupakan salah satu indikator untuk menelaah efisiensi pemasaran. Satuan transaksi yang digunakan dalam analisa marjin pemasaran seperti disajikan dalam Tabel 2 adalah bal. Harga yang diterima produsen sebesar Rp 9.000/bal kripik atau 60 persen dari harga konsumen. Total marjin pemasaran sebesar 40 persen merupakan biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran masingmasing sebesar 0,67 persen dan 39,33 persen. Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa pemasaran kripik singkong efisien terlihat pangsa harga produsen (60%) yang lebih tinggi dibandingkan pangsa marjin pemasaran (40%). Tabel 2. Marjin Pemasaran Kripik Singkong dari Produsen sampai Konsumen di Kabupaten Lombok Timur, 2006 No.
1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Harga jual produsen2) Penyalur/tukang ojek Harga beli Biaya pemasaran Keuntungan penyalur Marjin pemasaran Harga jual
Kios makanan/pengecer 2) 1. Harga beli 2. Biaya pemasaran 3. Keuntungan pengumpul kabupaten 4. Marjin pemasaran 5. Harga jual/harga beli konsumen Volume pemasaran/bulan3) Total keuntungan pedagang/bulan4) Sumber : Data primer diolah, 2006 Keterangan : 1. Persentase dari harga jual pengecer/harga beli konsumen 2. Per bal kripik singkong 3. Satuan volume pemasaran adalah bal 4. Total keuntungan penyalur dan pengecer selama sebulan
Harga/Biaya (Rp)
Persentase1) (%)
9.000
60,00
9.000 100 900 1.000 10.000
60,00 0,67 6,00 6,67 66,67
10.000 0 5.000 5.000 15.000 600 3.540.000
66,67 0,00 33,33 33,33 100,00
Fungsi Industri Pengolahan Rantai agribisnis terdiri dari beberapa komponen berupa sub-sistem yang saling terkait dan merupakan suatu kesatuan yang satu sama lain saling mempengaruhi. Salah satu sub-sistem tersebut adalah pengolahan hasil. Sebagai bagian dari sistem agribisnis, pengolahan hasil secara langsung terkait dengan subsistem produksi, sub-sistem pemasaran dan sub-sistem jasa angkutan. Adanya industri pengolahan akan menggerakkan sub-sistem terkait tersebut dan secara tidak langsung menggerakkan sub-sistem lainnya seperti sub-sistem saprodi. Sebaliknya keberadaan industri pengolahan tergantung kepada sub-sistem yang lain. Industri pengolahan khususnya pengolahan kripik singkong mempunyai peran dalam penyediaan lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun wilayah. Tenaga kerja yang terserap dalam pengolahan singkong mulai dari petani, ibu rumahtangga, pedagang makanan dan kios makanan. Pendapatan yang diperoleh produsen, tukang ojek dan kios makanan per bulan dari industri kripik singkong masing-masing sebesar Rp 2.064.375; Rp 3.000.000 dan Rp 540.000.
KESIMPULAN 1.
Dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan potensi sumber daya manusia yang ada, usaha pengolahan kripik singkong layak dilakukan
2.
Dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi daerah, industri pengolahan kripik singkong telah memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan baik dalam penyediaan bahan baku, proses produksi maupun pemasaran.
3.
Peningkatan pendapatan rumahtangga dari pengolahan kripik singkong sebesar Rp 2.064.375 per bulan. Disamping itu industri pengolahan mampu meningkatkan pendapatan lembaga pelaku pemasaran seperti tukang ojek dan kios makanan.
585
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Lombok Timur. 2004. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka. BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Dinas Pertanian Kab. Lombok Timur, Selong Swastika, D.K.S. 2004. Metode Analisis dalam Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. JPPTP Vol. 7 No.1, Januari 2004. PSE. Bogor. Sudana, I.W., D.K.S. Swastika, Nyak Ilham dan Rita Nur Suhaeti. 1999. Metodologi Penelitian dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
586
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SINGKONG TERPADU SKALA RUMAH TANGGA DI PEDESAAN Ulyatu Fitrotin, Sri Hastuti dan Arief Surahman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Singkong merupakan salah satu komoditi yang murah dan banyak terdapat di pedesaan. Pengolahan singkong secara terpadu merupakan salah satu upaya memanfaatkan seluruh bagian dari umbi singkong tanpa ada yang terbuang dan mengoptimalkan setiap tahapan proses pengolahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Pengkajian ini diterapkan pada industri kripik singkong skala rumah tangga di pedesaan. Lokasi pengkajian bertempat di Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur dari bulan Februari hingga Juli 2006. Rancangan pengkajian yang digunakan adalah with and without yaitu membandingkan antara petani yang menggunakan sentuhan teknologi (kooperator) dengan yang tidak menggunkaan sentuhan teknologi (non kooperator), uji organoleptik dibandingkan dengan uji t dan untuk mengetahui kelayakan ekonomis teknologi yang dikaji menggunakan analisis B/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa umbi singkong yang diolah menjadi kripik singkong dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp. 2.064.375,- per bulan dengan B/C ratio 0,64. Industri rumah tangga ini menghasilkan limbah (hasil samping) berupa kulit singkong, potongan kecil singkong, dan endapan pati singkong. Dengan introduksi teknologi, hasil samping tersebut diolah lebih lanjut seperti kulit singkong digunakan sebagai campuran pakan ternak, potongan kecil singkong dibuat menjadi jajanan seperti lentho dan endapan pati menjadi tepung tapioka yang lebih berkualitas. Dari hasil pengolahan lanjut potongan kecil singkong dan endapan pati singkong dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp. 98.750,- per bulan (4,78%) dan kulit singkong yang dihasilkan memiliki potensi menekan biaya pakan ternak. Kata kunci: teknologi pengolahan, terpadu, singkong, hasil samping
PENDAHULUAN Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan pangan potensial masa depan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Sejak dulu hingga sekarang singkong berperan cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai industri makanan. Singkong merupakan salah satu tanaman yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kodisi tanah dan tidak memerlukan perawatan yang khusus. Singkong merupakan salah satu komoditi yang banyak dijumpai di daerah tertinggal seperti di Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur. Harga per kg singkong relatif rendah berkisar antara Rp. 200,- hingga Rp. 500,- per kg (BPS, 2004). Upaya pengolahan lanjut singkong diperlukan untuk menunjang program diversifikasi pangan dan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas sehingga derajat komoditas serta pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan pun ikut terangkat. Pengolahan singkong secara terpadu pada industri kripik singkong skala rumah tangga merupakan salah satu upaya mengoptimalkan setiap tahapan proses pengolahan singkong dan pemanfaatan hasil samping yang timbul dari industri tersebut untuk meningkatkan nilai tambah singkong. Di Desa Padamara umumnya sngkong diolah menjadi singkong rebus, singkong goreng dan kripik singkong. Pembuatan kripik singkong banyak diminati karena proses pembuatannya mudah dan membutuhkan alat yang sederhana. Hal ini menyebabkan kripik singkong cocok digunakan sebagai usaha industri skala rumah tangga di pedesaan. Penanganan singkong setelah pemanenan akan berpengaruh terhadap kualitas singkong yang dihasilkan. Singkong akan berubah warna menjadi coklat kebiruan bila tidak segera diolah setelah pengupasan. Warna coklat terjadi karena adanya aktifitas enzim poliphenolase yang terdapat dalam umbi. Reaksi akan dipercepat bila berkontaminasi dengan O 2 dan umbi dalam keadaan terluka akibat pemotongan (Wargiono, 1979). Pencoklatan ini akan menyebabkan warna kripik yang dihasilkan tidak menarik. Berdasarkan survey awal diketahui bahwa pembuatan kripik singkong di lokasi pengkajian belum optimal dalam pemanfaatan setiap tahapan proses sehingga hasil yang dicapai tidak optimal, kripik singkong yang dihasilkan warnanya kurang memuaskan, kripik mudah menurun kerenyahannya dan hasil samping yang berupa kulit singkong hanya ditumpuk dalam bentuk onggokan yang semakin lama semakin menumpuk. Dengan introduksi teknologi yang disesuaikan dengan kondisi pedesaan yang serba terbatas modal dan sumberdaya manusianya diharapkan ada peningkatan tambahan pendapatan dari pengolahann singkong secara terpadu yang memperhatikan pengoptimalan setiap tahapan proses dan pemanfaatan hasil samping sehingga dapat menambah pendapatan keluarga tani.
587
Tujuan dari kegiatan ini adalah : (1) Meningkatkan informasi tentang pengolahan singkong secara terpadu untuk mengoptimalkan pendapatan yang diperoleh; dan (2) Mengembangkan teknologi pengolahan hasil samping dari industri rumah tangga kripik singkong di pedesaan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di desa Padamara Kabupaten Lombok Timur dari Bulan Pebruari hingga Juli 2006. Rancangan pengkajian yang digunakan adalah with and withaout yang membandingkan antara petani yang menggunakan sentuhan teknologi (kooperator) dengan yang tidak menggunakan sentuhan teknologi (non kooperator). Penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah melakukan pengamatan aktivitas pembuatan kripik singkong dengan wawancara, pengamatan jenis dan pengukuran jumlah hasil samping dari industri rumah tangga kripik singkong. Tahap kedua adalah kegiatan transfer teknologi melalui pelatihan dan praktek pengolahan lanjut hasil samping industri rumah tangga kripik singkong. Uji organoleptik untuk warna, rasa dan tekstur dibandingkan dengan uji t dan untuk mengetahui kelayakan ekonomis teknologi yang dikaji menggunakan analisis B/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pembuatan Kripik Singkong
Pembuatan kripik singkong skala rumah tangga pada Kelompok Wanita Tani Kooperator menghasilkan hasil samping berupa potongan kecil singkong dan endapan pati singkong yang tidak dihasilkan pada Kelompok Wanita Tani Non Koopertaor. Hal ini disebabkan pada Kelompok Wanita Tani Non Kooperator menggunakan pisau atau parut gobet saat perajangan singkong sehingga singkong dapat dipotong hingga ujung. Sedangkan Kelompok Wanita Tani Kooperator menggunakan alat perajang singkong dengan tenaga listrik. Alat tersebut dapat merajang dengan kemampuan yang lebih besar dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit. Dari alat tersebut akan dihasilkan potongan kecil singkong, sebab bila singkong yang tersisa dipaksakan ke dalam alat perajang maka jari tangan yang terpotong. Perbandingan karakteristik tahapan pengolahan pembuatan kripik singkong antara petani kooperator dan non kooperator disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Tahap Pembuatan Kripik Singkong Antara Petani Kooperator dan Non Kooperator di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006. Proses
Wanita Tani Kooperator Hasil samping Produk
Wanita Tani Non Kooperator Proses Hasil samping Produk
Pengupasan
Kulit singkong
Campuran pakan ternak
Pengupasan
Kulit singkong
-
Pengirisan dengan alat
Potongan kecil singkong
Jajan lentho
Pengirisan dengan pisau
-
-
Perendaman dalam air
Endapan pati singkong
Tepung singkong
-
-
-
Penggorengan
-
-
Penggorengan
-
-
Penirisan
-
-
Penirisan
-
-
Pendinginan
-
-
Pendinginan
-
-
Penggaraman
-
-
Penggaraman
-
-
Pengemasan
-
-
Pengemasan
-
-
Setelah diangkat dari penggorengan kripik singkong ditiriskan. Penirisan dilakukan untuk mengurangi kadar minyak kripik singkong. Pengemasan dilakukan bila kripik telah benar-benar kering dari minyak. Minyak yang berlebih dalam pengemasan akan mempercepat ketengikan dan kripik mudah menurun kerenyahannya. Tahapan yang paling banyak menyita waktu adalah pengemasan kripik singkong dalam bungkusan kecil ukuran 14 cm x 14 cm. Selanjutnya ukuran kecil sebanyak 30 bungkus dikemas lagi dalam plastik yang lebih besar, kemasan tersebut dinamakan ”1 bal”. Pengemasan bertujuan untuk menghindari kontak kripik singkong dengan oksigen yang dapat mempercepat terjadinya reaksi oksidasi yang berakibat pada ketengikan, dan menghindari kontak dengan udara yang berakibat pada menurunnya kerenyahan kripik singkong (Buckle, 1987). Pengemasan dilakukan ibu-ibu setelah memasak dalam waktu senggang. Hal ini menyebabkan satu kali produksi membutuhkan waktu 6 hari.
588
2.
Uji Organoleptik Kripik Singkong
Pengujian kripik singkong dilakukan melalui pengamatan dengan uji organoleptik oleh 30 panelis terhadap warna, tekstur dan rasa. Secara keseluruhan kripik singkong yang disukai konsumen adalah berwarna kuning kecoklatan cerah, rasa yang seimbang (tidak terlalu manis atau asin) dan tekstur yang renyah. Tabel 2. Hasil uji Organoleptik Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006. Parameter
Penghasil Kripik Singkong Kooperator Non Kooperator
Warna
Tekstur
Rasa
Keseluruhan
2,11
3,08
2,33
2,50
*
3,08
2,42
2,75
2.75
Catatan : 1. sangat disukai; 2. disukai; 3. agak disukai; 4. tidak suka; 5. sangat tidak suka
Kripik singkong yang dihasilkan oleh Kelompok Wanita Tani Kooperator dengan Kelompok Wanita Tani Non Kooperator menunjukkan tidak adanya perbedaan pada parameter tekstur dan rasa. Namun pada parameter warna, kripik singkong yang dihasilkan oleh Kelompok Wanita Tani Kooperator cenderung lebih disukai. Hal ini disebabkan karena Kelompok Wanita Tani Non Kooperator biasanya langsung menggoreng irisan singkong yang dihasilkan atau menumpuk irisan tersebut hingga banyak baru menggorengnya. Penumpukan irisan tersebut akan mengakibatkan pencoklatan pada singkong yang disebabkan oleh aktivitas enzim poliphenolase yang bereaksi dengan oksigen. Konversi senyawa fenolat ini akan membentuk melanin (melanoidin) yang akan mengakibatkan pencoklatan (Susanto dan Saneto, 1994). Reaksi pencoklatan dapat mengakibatkan perubahan kenampakan, dan citra rasa sehingga diperlukan usaha untuk menghambat pencoklatan (Friedman, 1996). Pencoklatan dapat dihambat dengan blanching, menghindari kontak dengan oksigen (Foote,1985) dengan pengemasan atau perendaman dalam air dan penggaraman (Astawan dan Mita, 1991). 3.
Hasil Samping Pembuatan Kripik Singkong
Berdasarkan hasil pengamatan, pembuatan kripik singkong skala rumah tangga yang menggunakan alat perajang singkong dengan tenaga listrik biasanya merajang singkong 5 karung per hari. Berat rata-rata singkong perkarung adalah 50 kg. Setiap produksi membutuhkan 10 karung singkong.. Setiap tahap dalam pembuatan kripik singkong menghasilkan hasil samping sebagai berikut. Tabel 3. Berbagai Jenis Hasil Samping dari Industri Rumah Tangga Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006 Jenis Hasil Samping
Dalam 1 kali produksi (kg)
Dalam 1 bulan (5 X)
Kulit singkong
90
450 kg
Potongan singkong
2,6
13
5
25
Tepung tapioka
4.
Teknologi Pengolahaan Hasil Samping Industri Singkong.
4.1. Kulit Singkong Sebagai Campuran Pakan Ternak. Kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak. Untuk menurunkan kadar HCN pada kulit ubi kayu, sebaiknya kulit tersebut dijemur terlebih dahulu hingga kering atau ditumbuk dijadikan tepung. Hasil penelitian di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa pemberian kulit ubi kayu pahit sebanyak 60 % dalam ransum ternak domba berumur 18 bulan selama 100 hari dapat menaikkan berat badan harian 91 gram / ekor, dan tidak mengakibatkan keracunan. Sudaryanto (1989) menambahkan bahwa limbah ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients = TDN) tinggi, dan kandungan nutrisi tersedia dalam jumlah memadai seperti disajikan pada tabel berikut: Tabel 4. Kandungan Energi (TDN) dan Nutrisi dalam Limbah Ubi Kayu di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006 Bahan
Bahan kering
Protein
TDN
Serat kasar
Lemak
Ca
P
Daun
23,53
21,45
61
25,71
9,72
0,72
0,59
Kulit
17,45
8,11
74,73
15,20
1,29
0,63
0,22
Onggok
85,50
1,51
82,67
0,25
1,03
0,47
0,01
589
Transfer teknologi melalui pelatihan pembuatan tepung dari kulit singkong telah dilaksanakan namun belum dapat diterapkan ke peternak karena sebagian besar adalah peternak kambing dan bukan peternak domba. 4.2. Potongan Kecil Singkong Sebagai Camilan Bila permintaan kripik singkong meningkat terutama saat musim penghujan maka potongan kecil singkong yang dihasilkan akan lebih banyak. Potongan singkong tersebut tidak dapat disimpan, sehingga sebaiknya langsung diolah untuk menghindari kerusakan. Selanjutnya potongan tersebut dibuat menjadi makanan ringan yang biasa dikenal dengan nama ”lentho”. Proses pembuatan jajan lentho adalah sebagai berikut (Rukmana, 1997): (a). Parut ubi yang telah dikupas hingga menjadi adonan halus; (b). Rebus kacang merah hingga empuk; (c). Campurkan bumbu yang terdiri dari bawang putih yang telah dihaluskan, masako, bawang daun dan garam. Setelah itu masukkan kacang merah, campur dan aduk hingga merata; (d). Bentuk bulatan-bulatan, goreng hingga matang. Biasanya jajanan ini dijual di Sekolah Dasar dan dititipkan di kios-kios terdekat. Tabel 5. Analisa Ekonomi Jajan Lentho per Siklus Produksi di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006 Uraian
Volume
Harga satuan (Rp)
Biaya (Rp)
1 liter
4.900
4.900
Kacang merah
1 ons
1.000
1.000
Daun bawang
1 ikat
200
200
Minyak tanah
½ liter
1.250
1.250
Kelapa
¼ butir
500
Minyak goreng
Jumlah Harga Jual
500 7.850
63
Penerimaan Keuntungan
200 12.600 4.750
4.3. Perbaikan Kualitas Tepung Tapioka Perendaman irisan singkong dalam air bertujuan untuk mencegah pencoklatan irisan singkong. Adanya air akan menghambat kontak enzim poliphenolase dengan oksigen yang akan mempercepat reaksi pencoklatan (Eksin, 1990). Setelah direndam irisan singkong ditiriskan. Air rendaman bekas irisan singkong dibiarkan selama 24 jam. Karrena perbedaan gaya berat partikel tepung akan mengendap di bawah. Endapan ini dikenal dengan tepung singkong. Derajat putih tepung singkong dapat diperbaiki dengan mengganti air rendaman dengan air baru yang bersih 2 hingga 3 kali (Rukmana, 1997). Bila air tidak diganti maka tepung yang dihasilkan tidak bersih dan agak kecoklatan. Dalam setiap produksi akan terkumpul 5 kg tepung tapioka. Tepung tapioka yang beredar di pasar harganya Rp. 6.000,- per kg. Tepung hasil samping dari industri kripik singkong ini laku Rp. 3.000,- per kg. Sehingga petani mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp. 3.000,- x 25 kg = Rp. 75.000,- (Tabel 6). Adanya pengolahan lanjut hasil samping dari pembuatan kripik singkong skala rumah tangga Kelompok Wanita Tani Kooperator mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp. 98.750,- atau sebesar 4,78 % dari pendapatan semula.
590
Tabel 6. Analisa Kelayakan Pembuatan Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006. Uraian
Satuan
Volume
Harga satuan (Rp)
Biaya
1. Biaya Tetap Alat Perajang singkong Bak Tenggok Wajan Saringan minyak Plastik karung Pisau Tungku tanah
Buah Buah Buah Buah Buah Lembar Buah Buah
1 4 2 3 2 2 3 1
21.667 625 833 1.458 417 1.250 417 8.333
21.667 2.500 1.667 4.375 833 2.500 1.250 8.333 43.125
2. Biaya Variabel Bahan Singkong Minyak goreng Garam Margarine Plastic pengemas Plastic bal Logo Kayu
Karung Liter Bungkus Kg Pak Pak Lembar Ikat
10 60 1 3 4 1 75 20
10.000 4.900 1.000 6.000 13.500 28.000 100 5.000
500.000 1.470.000 5.000 90.000 270.000 140.000 37.500 500.000 3.012.500
Tenaga Kerja Mengupas Merajang Menggoreng Pengemasan
HOK HOK HOK HOK
2 1 1 4
7.000 7.000 7.000 7.000
70.000 35.000 35.000 140.000 280.000 3.292.500
Jumlah Biaya Variabel 3. Total Biaya Bal 600 9.000 5.400.000 4. Produksi Pendapatan 2.064.375 B/C ratio 0.64 Total pendapatan 2.163.125*) * Produk tambahan yang dihasilkan industri kripik singkong ini adalah potongan singkong dengan nilai Rp. 23.750,- dan tepung tapioka dengan nilai Rp. 75.000,-, sehingga total pendapatan menjadi Rp. 2.163.125,-
KESIMPULAN 1.
Pengolahan singkong secara terpadu dapat meningkatkan pendapatan Kelompok Wanita Tani sebesar Rp. 98.750 atau 4,78%.
2.
Perendaman irisan singkong dalam air garam atau air saja dapat menekan pencoklatan irisan singkong sehingga dihasilkan kripik singkong dengan warna yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. dan M. Wahyuni, 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademica Pressindo. Jakarta BPS, 2004. Statistik Harga Produsen dan Nilai Tukar Petani Propinsi Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat statistik Nusa Tenggara Barat. Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and M. Wooton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono J. Penerbit UI Press, Jakarta. Eskin, N.A.M. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press. NewYork. Foote, C.S. 1985. Chemistry of Reactive O2 Species, Chemical Changes in Food During Processing, Ed Thomas, AVI Publishing C. New York.
591
Friedman, M. 1996. Food Browning and Its Prevention : an Overview. J. Agric Food Chem., 44 (3) : 631 – 653. Rahmat Rukmana, 1997. Ubi Kayu Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Sudaryanto, 1989. Kulit Ubi sebagai Bahan Pakan Ternak. dalam Warta Litbang Pertanian. No. 3 vol. XI. Mei1 1989. Departemen Pertanian. Susanto dan Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Bina Ilmu. Surabaya. Wargiono, J. 1979. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanam. Lembaga Pusat Penelitian. Bogor.
592
KINERJA EKONOMI USAHATANI DAN PEMASARAN JAGUNG DI DESA SONGGAJAH KECAMATAN KEMPO KABUPATEN DOMPU NTB I Putu Cakra Putra A. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai ±1,8 juta ha atau 83,25% dari luas wilayah (BPS, 2002). Di Kabupaten Dompu, potensi lahan kering untuk pertanian sangat luas. Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan petani di lahan kering. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kering dataran rendah di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu. Penentuan lokasi dan kelompok tani binaan menggunakan metode purposive sampling (secara sengaja). Pengkajian usahatani jagung dilaksanakan tahun 2006 pada daerah Desa Songgajah Kecamatan Kempo. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung di Desa Songgajah dan melihat saluran pemasaran yang paling efisien. Parameter yang digunakan R/C, MBCR, TIP, TIH dilanjutkan dengan analisis sensitivitas dan analisis efisiensi pemasaran. Hasil pengkajian menunjukkan: a). penggunaan benih bersertifikat dan pupuk urea menghasilkan keuntungan petani sebesar Rp 1.795.167 dengan nilai B/C 1,73; b) TIH Rp 330,10/kg atau TIP 1.155,37 kg/ha; c). survival technology usahatani jagung masih mampu bertahan dalam kondisi peningkatan harga input tidak lebih dari 15 persen dan penurunan harga produk jagung tidak lebih dari 25 persen. Saluran pemasaran jagung dari petani ke padagang lokal dan MAJ tingkat efiisensinya sama. Kata kunci : kelayakan usahatani, pemasaran, jagung, Songgajah,
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai ±1,8 juta ha atau 83,25% dari luas wilayah (BPS, 2002). Di Dompu, potensi lahan kering untuk pertanian sangat luas. Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan petani di lahan kering pada musim hujan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung nasional, memberi peluang agribisnis jagung melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Pada tahun 2000 kebutuhan jagung di NTB sebesar 50.766 ton, dimana untuk benih sebesar 803 ton, dan selebihnya untuk pakan ternak dan bahan pangan. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 31.217 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar 2,057 ton/ha (Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004). Disadari bahwa pengembangan lahan kering dalam meningkatkan produktivitas jagung menghadapi banyak kendala antara lain berkaitan dengan sifat tanah poros, sehingga tanah cepat kering walaupun curah hujan cukup, proses pemupukan tidak dilakukan oleh petani Desa Songgajah, serta tidak digunakan benih bersertifikat/hibrida. Komoditas jagung di NTB banyak dipasarkan ke luar daerah terutama Jawa dan Bali yang digunakan untuk bahan baku pakan ternak, namun masih banyak yang belum dapat terpenuhi akibat kurangnya produksi ditingkat petani. Namun dari segi pemasaran hasil, petani selalu berada pada posisi tawar yang rendah, dimana harga ditentukan oleh pedagang pengumpul di desa. Oleh karena itu dalam pengembangannya secara komersial perlu dikemas dalam suatu sistem dan usaha agribisnis. Untuk meningkatkan pendapatan petani perlu dilakukan perbaikan teknologi baik dari segi pemupukan maupun penggunaan benih bersertifikat. Serta menganalisis saluran pemasaran yang paling efisien dalam tataniaga jagung untuk meningkatkan pendapatan petani. Sehingga dianggap perlu melakukan penelitian ini untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung dan saluran pemasarannya di Desa Songgajah.
TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung di Desa Songgajah dan untuk menganalisis saluran pemasaran yang paling efisien dalam tataniaga jagung di Desa Songgajah.
593
METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan pada lahan kering dataran rendah di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Lokasi kajian merupakan merupakan wilayah program Prima tani di Kabupaten Dompu. Penentuan lokasi dan kelompok tani binaan menggunakan metoda purposive sampling (secara sengaja). Penelitian berlangsung dari bulan Maret sampai April 2006. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dengan petani 60 orang di Desa Songgajah dan pedagang pengumpul di Desa Songgajah 4 orang maupun di tingkat Kecamatan Kempo 3 Kabupaten Dompu. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait di daerah Kabupaten Dompu. Untuk menjawab tujuan penelitian, alat analisis yang digunakan revenue cost ratio (R/C), Analisis Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH). Analisis sensitivitas dengan menerapkan beberapa skenario perubahan harga input dan output usahatani. Saluran dan marjin pemasaran pada setiap lembaga pemarasan juga dianalisis dengan analisis efisiensi pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Prospek Pengembangan Jagung di Dompu Jagung merupakan tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan ternak dan bahan baku industri. Kedepan jagung akan mempunyai peranan peranan yang semakin strategis dilihat dari pertimbangan agribisnis dan penyedia atau peningkatan ketahanan pangan di NTB. Tabel 1. Luas Panen (Ha) Jagung 5 Tahun Terakhir Propinsi NTB Tahun 1999 S/D 2003 No
Kabupaten
1 2 3 4 5 6 7 8
Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Kota Mataram Kota Bima Total Sumber: BPS Propinsi NTB
1999
2000
Tahun 2001
2002
2003
5.880 2.159 9.749 9.218 829 7.892 12 0 35.738
5.905 2.597 7.336 7.491 1.481 7.128 10 0 31.948
3.560 2.028 6.584 5.026 2.750 4.107 14 0 24.069
4.800 1.606 7.222 7.638 1.947 5.623 11 0 28.847
5.225 2.045 8.686 8.407 2.264 4.455 7 128 31.217
Pada Tabel 1. Luas panen jagung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini merupakan peluang bagi peningkatan produksi jagung di NTB. Dengan luas panen jagung yang terus meningkat menandakan potensi lahan kering yang ada di NTB khususnya dompu sudah mulai dimanfaatkan sehingga menjadi sumber pendapatan bagi petani. Tabel 2. Produksi Jagung Per Ton 5 Tahun Terakhir Propinsi NTB Tahun 1999 S/D 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kabupaten
Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Kota Mataram Kota Bima Total Sumber BPS Propinsi NTB
1999
2000
Tahun 2001
2002
2003
10.562 3.739 19.508 20.167 1.485 15.515 24 0 71.000
11.159 4.736 15.804 16.632 2.938 15.573 21 0 66.563
6.549 3.681 13.272 10.673 5.109 8.345 28 0 47.657
8.572 2.919 14.750 16.307 3.615 11.597 25 0 57.785
9.807 3.879 18.389 18.008 4.425 9.434 16 270 64.228
Pada Tabel 2. Produksi jagung di NTB meningkat hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat petani akan kegunaan jagung yang tidak hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk kebutuhan pakan ternak, dan teknologi yang tidak terlalu sulit diterapkan oleh petani, serta harga jagung yang cukup tinggi.
594
Struktur Biaya dan Penerimaan Usahatani 1.
Analisis kelayakan usahatani jagung
Komponen pembiayaan usahatani jagung dalam pola petani sebelum primatani dan sesudah prima tani, pada dasarnnya sama yakni terdiri dari biaya untuk pembelian input benih, pupuk dan obat-obatan. Perbedaan yang ada terdapat pada volume dan kualitas input, yang akhirnya membedakan struktur pembiayaan dan penerimaan usahatani antara pola petani dan pola introduksi. Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Jagung di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu tahun 2006 Jenis biaya
Jumlah (Kg)
Harga satuan (RP)
1. Benih jagung C7 8 30.000 2. Pupuk urea 50 1.080 3. Pupuk SP-36 4. Pupuk organic Total 5. Biaya tenaga kerja: HOK Upah/HOK (Rp) Pengolahan tanah 2 20.000 Penanaman 8 20.000 Jenis biaya Jumlah (Kg) Harga satuan (RP) Pemupukan 6 20.000 Penyiangan 4 20.000 Panen dan angkut 10 20.000 Pemipilan * 10 5.000 Total 6. Biaya bahan: Jumlah Sabit (bh) 4 Terpal untuk jemur (lbr) 1 Cangkul (bh) 2 Total 7. Sewa alsintan perkarung @ Rp 7000 Total Total Biaya suluruhnya 3.150 kg pipilan Rp 900/kg Pendapatan Keuntungan B/C Sumber : data primer yang diolah 2006 Ket. = Tenaga Kerja dalam keluarga diperhitungkan dalam analisis usahatani ini.
Nilai (Rp) 240.000 54.000
294.000 Biaya Tk (Rp/HOK) 40.000 160.000 Nilai (Rp) 120.000 80.000 200.000 50.000 650.000 Penyusutan/ 3 bulan 1.833 5.000 1.500 8.333 87.500 95.833 1.039.833 2.835.000 1.795.167 1,73
Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa keuntungan dari usahatani jagung sebesar Rp 1.795.167/ha per musim tanam dengan B/C sebesar 1,73 artinya setiap tambahan input dalam usahatani itu sebesar Rp 1.000 akan dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.730, ini menandakan usaha tani jagung memberi peluang yang cukup tinggi sebagai tambahan sumber pendapatan untuk petani. 2.
Produksi Impas dan Harga Impas Jagung ditingkat petani
Analisis TIH (Titik Impas Harga) dan TIP (Titik Impas Produksi) dalam usahatani jagung dilakukan untuk mengetahui hubungan antara biaya, penerimaan dan volume produksi. Titk impas dari keduanya merupakan titik perpotongan antara total penerimaan dengan total biaya, dimana saat itu keuntungan sama dengan nol. Tabel 4. Analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP) Uraian Total Biaya (Rp) Produksi (kg/ha) Harga aktual (Rp/kg) TIP (Kg/ha) TIH (Rp/kg)
Usaha tani Jagung 1.039.833 3.150 900 1.155,37 330,10
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4. produksi dan harga impas jagung sebesar 1.155,37 kg/ha dan Rp 330,10/kg. Nilai impas itu keduanya berada di bawah nilai produksi dan harga aktual, artinya usahatani jagung memberikan nilai tambah.
595
3.
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat survival teknologi atau keberlanjutan penerapan teknologi introduksi jika terjadi perubahan harga, baik harga input maupun harga output atau keduanya. Di dalam analisis ini, ditampilkan tiga skenario sebagai berikut (a) Harga semua input tidak meningkat, harga produk jagung menurun 25 persen; (b) Harga semua input meningkat 15 persen, harga produk jagung menurun 25 persen dan (c) Harga semua input meningkat 25 persen, harga produk jagung menurun 25 persen. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5. pada skenario 1 walaupun terjadi penurunan R/C namun petani tidak mengalami kerugian karena masih lebih besar dari 1,8. pada skenario 2 R/C hanya kurang 0.03 dari 1.8 dan skenario 3 R/C lebih kecil dari 1,8 artinya pendapatan petani relatif rendah. Meski nilai R/C lebih dari angka 1 akan tetapi karena resiko usahatani itu mencapai 80 persen maka standar minimum dari nilai R/C seharusnya 1,8. Tabel 5. Sensitivitas Pendapatan Petani. Uraian Total Biaya (Rp) Produksi (kg/ha) Harga jagung (Rp/kg) Penerimaan Keuntungan R/C B/C
Awal
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
1.039.833 3.150 900 2.835.000 1.795.167 2,72 1,73
1.039.833 3.150 675 2.126.250 1.086.417 2,04 1,04
1.195.807,95 3.150 675 2.126.250 930.442,05 1,77 0,77
1.299.791.25 3.150 675 2.126.250 826.458,75 1,63 0,63
Gambaran Pemasaran Jagung di Kecamatan Kempo Jenis jagung yang diperjualbelikan adalah jagung pipilan dengan varietas C7, lamuru, jaya 1, A4, turunan bisi 2, rendemen 15% harga rata-rata Rp 900 /kg saat musim panen raya bulan Maret s.d. April, sedangkan saat bulan Juni harga jagung pipilan di Desa Songgajah meningkat menjadi Rp 1.300/kg s.d. Rp 1.400/kg , Tidak ada petani yang menjual jagung dalam bentuk tongkol. Motivasi petani dalam menanam jagung adalah teknologi budidaya jagung yang mudah, pemasaran yang mudah dan harga yang tinggi. Petani di Desa Songgajah dalam penentuan waktu jual jagung cendrung menjual jagung dengan alasan harga jual bagus, dimana menjual jagung dalam bentuk pipilan agar harganya bisa lebih tinggi. Lokasi penjualan jagung oleh petani dilakukan di rumah petani, karena setelah panen yang dilakukan petani jagung disimpan dirumah untuk dilakukan proses pemipilan dengan cara manual yaitu diparut dan sebagian besar petani menggunakan mesin pipil baik dari lembaga pasca panen maupun mesin lokal (swasta). Dalam hal penetuan harga jual petani memiliki kemampuan untuk bernegosiasi tentang harga dengan pengusaha, karena informasi pasar harga jagung di luar daerah seperti daerah Bali telah diketahui oleh masyarakat. Analisis Saluran dan Marjin Pemasaran 1.
Marjin Pemasaran
Margin pemasaran berbeda-beda tergantung saluran pemasaran jagung yang ada di Songgajah. Marjin pemasaran jagung tergantung pada tingkat harga jagung yang berlaku dipasaran, dimana pergerakan harga jagung sangat dinamis, maksudnya harga jagung dapat berubah sewaktu-waktu sesuai permintaan dan penawaran jagung dipasaran. Untuk melihat efisiensi pemasaran yaitu membagi biaya pemasaran dengan harga jual jagung (Soekartawi, 1993). Tabel 5. Rata-Rata Biaya Pemasaran, Harga Beli, Harga Jual Margin, Pada Masing-Masing Saluran Pemasaran di Songgajah NTB, 2005 Saluran Pemasaran
Kegiatan Pemasaran
Pedagang lokal di Songgajah Beli pipilan Pedagang MAJ di Songgajah Beli pipilan Pedagang + MAJ di kecamatan Beli pipilan Sumber : hasil olah data primer 2006
Harga Beli Rp 900 Rp 900 Rp 850
Biaya Rp 320 Rp 320 Rp 320
Harga Jual Rp 1250 Rp 1250 Rp 1250
Margin Rp 30 Rp 30 Rp 80
Pada Tabel 5. Margin pemasaran masing-masing saluran pemasaran di Songgajah Rp 30/kg untuk diluar Songgajah wilayah Kecamatan Kempo margin Rp 80/kg. Bahwa pedagang lokal & pedagang propinsi
596
MAJ (Masyarakat Agribisnis Jagung) bersaing dalam pembelian jagung pipil di Desa Songgajah dengan harga beli di petani sebesar Rp 900/kg. Sedangkan harga diluar Desa Songgajah wilayah Kecamatan Kempo pedagang lokal dan MAJ membeli jagung pipil sebesar Rp 800 sampai 850/kg. Pedagang jagung membeli lebih murah di luar Desa Songgajah untuk menghindari kerugian yang besar akibat pembelian jagung di Desa Songgajah yang harganya lebih tinggi dibandingkan harga pasar jagung pada umumnya. Persaingan ini terjadi karena pedagang lokal tidak rela Pedagang MAJ (Masyarakat Agribisnis Jagung) di propinsi NTB masuk ke Desa Songgajah melalui program prima tani BPTP NTB, tanpa melalui pedagang lokal. Dalam jangka pendek terlihat petani diuntungkan dengan harga yang bersaing, namun untuk tahun berikutnya tidak ada kemitraan bagi petani, yang ada hanya proses jual beli jagung semata. Harga jual jagung pipil di lombok sebesar Rp 1.250/kg sedangkan di Bali Rp 1.400/kg sehingga sebagian besar pedagang lokal langsung menjual jagung ke Bali. Penjualan ke surabaya terjadi apabila harga jagung di lombok dan Bali bergerak menurun, secara tiba-tiba. Efisiensi pemasaran merupakan perbandingan biaya yang dikeluarkan petani saat menjual jagung dengan harga jual jagung pipil oleh petani. Efisiensi pemasaran ke pedagang lokal maupun ke pedagang MAJ sebesar 0% karena petani tidak mengeluarkan biaya karung sebesar Rp 20/kg, dimana biaya tersebut ditanggung pedagang, sehingga petani menerima harga jagung pipil bersih yang nilainya sama sebesar Rp 900/kg. Tingkat efisiensi pemasaran jagung dari petani ke pedagang lokal dan ke pedagang MAJ sama besarnya, artinya kepada siapapun petani menjual jagungnya tidak mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. 2.
Saluran Pemasaran jagung Saluran pemasaran jagung di Kecamatan Kempo dapat dilihat pada gambar 1. sebagai berikut :
Petani
Pengumpul Lokal
Pedagang lombok
Peternak Bali
Pedagang Surabaya
Pedagang MAJ propinsi Gambar 1. Saluran Pamasaran jagung di Kecamatan Kempo Dompu
Sistem pembayaran jagung adalah pembayaran tunai tanpa panjar, tunai dengan panjar. Untuk menjaga keberlangsungan kerjasama antar pedagang, dilakukan suatu strategi yaitu strategi panjar yang besarnya berbeda-beda sesuai kebutuhan akan jagung, dimana pedagang memberikan panjar (uang muka) kepada petani yang sifatnya mengikat tetapi dengan harga jagung yang yelah disepakati oleh petani dengan pedagang. Sistem ijon juga terdapat di Desa Songgajah yaitu pedagang memberi pinjaman kepada petani untuk biaya produksi ataupun kebutuhan sehari-hari, dengan syarat petani harus menjual jagung ke pedagang tersebut, dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang.
KESIMPULAN 1.
Penggunaan benih bersertifikat dan pupuk urea menghasilkan keuntungan petani sebesar Rp 1.795.167 dengan nilai B/C 1,73.
2.
TIH Rp 330.10/kg dan TIP 1.155.37 kg/ha.
3.
Survival technology usahatani jagung masih mampu bertahan dalam kondisi peningkatan harga input tidak lebih dari 15 persen dan penurunan harga produk jagung tidak lebih dari 25 persen
4.
Saluran pemasaran petani ke pedagang lokal dan pedagang MAJ tingkat efisiensinya sama.
597
UCAPAN TERIMAKASIH 1. 2. 3. 4.
Ir. Irianto Basuki sebagai penanggung jawab laboratorium Prima Tani Ir. Muzani sebagai penanggung jawab Prima Tani Kabupaten Dompu Alidin sebagai tenaga teknis lapangan Lalu Jaswadi MSc. Penanggung jawab teknis komoditi jagung Prima Tani Dompu
DAFTAR PUSTAKA BPS NTB, 2002. NTB Dalam Angka. Mataram BPS NTB, 2003. NTB Dalam Angka. Mataram Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004, Statisik Komoditi Pertanian. Mataram Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES. Nazir, 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekartawi, 1993. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian. Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada
598
KEUNTUNGAN USAHATANI KOMODITAS UTAMA DI NTB Irianto Basuki 1), Sri Hastuti2) , I. M. Wisnu W.2) , Dwi Praptomo S 1). 1) Penyuluh pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Petanian NTB
ABSTRAK Di Nusa Tenggara Barat terdapat beberapa komoditas unggulan yang menjadi primadona pembagunan pertanian. Beberapa komoditas unggulan tersebut sudah diusahakan secara luas oleh petani dan melibatkan sejumlah besar petani. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diterima petani dari usahatani komoditas unggulan, dan untuk mengetahui effisiensi usahatani komoditas unggulan pada taraf teknologi petani. Pengkajian ini menggunakan pendekatan metode survai dan dilakukan pada tahun 2004. Lokasi survai adalah kabupaten yang menjadi sentra komoditas unggulan. Dari setiap kabupaten ditentukan kecamatan dan desa yang menajdi sentra komoditas unggulan. Petani responden ditentukan dengan cara purposive sampling. Petani responden adalah petani yang melakukan usahatani berbasis komoditas unggulan. Petani responden kemudian dipilahkan menjadi tiga strata berdasarkan luas penguasaan lahan yaitu sempit, sedang dan luas dan untuk peternakan dipilahkan menjadi tiga strata berdasarkan jumlah pemilikan ternak yang sedikit, sedang dan banyak. Jumlah petani responden dari setiap komoditas utama ditentukan sebanyak 15. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari dinas instansi terkait dan data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan petani responden. Data primer selanjutnya dianalisa dengan analisa biaya dan pendapatan untuk menentukan keuntungan petani dan analisas Rate Cost Ratio untuk menentukan effisiensi usaha komoditas unggulan. Hasil kaijan menunjukkan bahwa tingkat keuntungan usahatani padi sawah MKI Rp. 2.212.793/ha (R/C 1,78), padi sawah MH Rp. 2.966.687/ha (R/C 1,99), padi ladang Rp. 2.821.997/ha (R/C 3,01) , jagung Rp. 865.621/ha (R/C 3,62), kacang hijau Rp. 341.058/ha (R/C 1,54), bawang merah MKI Rp. 11.278.455/ha (R/C 1,63) bawang merah MKII Rp. 4.800.126/ha (R/C 1,78) , manggis Rp. 8.486.221 (R/C 4,26), mangga Rp. 4.411.060 (R/C 5,06), pisang Rp. -157.338 (R/C 1,06), kopi Rp. 3.027.897/ha (R/C 9,36), jambu mete Rp. 247.685/ha (R/C 1,25), kakao Rp. 3.872.685.2/ha (R/C 3,61), vanilli Rp 752.201,-/ha (R/C 1,32), tembakau Rp. -529.199 /ha (R/C 1,04), sapi potong Rp. 817.867 (R/C 2,01), kerbau Rp. 8.424.266,- (R/C 2,04), kambing Rp. 1.852.224 (R/C 2,55) ayam Buras Rp. 725.671,- (R/C 1,53), dan itik Rp. 3.874.010 (R/C 2,92), Pada umumnya efisiensi usahatani komoditas unggulan yang diusahakan petani di NTB menunjukkan nilai efisiensi (R/C) yang cukup bagus kecuali pisang dan tembakau. Kata kunci : keuntungan , usahatani, komoditas unggulan
PENDAHULUAN Salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yaitu dari pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selama tahun 2002-2003 laju pertumbuhan sektor pertanian mencapai 3,02 persen per tahun. Pada umumnya sub sektor penyusun sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang positif yaitu berkisar antara 2,52 - 4,75 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada subsektor kehutanan dan terendah terjadi pada subsektor tanaman bahan makanan. Gambaran struktur kesempatan kerja di Propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa kesempatan kerja terbesar yang tersedia di NTB terdapat di sektor pertanian. Dari total angkatan kerja yang bekerja, sebesar 57,5 persen bekerja di sektor pertanian. Meskipun pangsa sektor pertanian terhadap PDRB sekitar 24% (dibawah sektor pertambangan), namun sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja relatif besar. Dilihat dari peranan sektor pertanian di NTB melalui PDRB dan tenaga kerja yang terlibat, ternyata peranan sektor ini masih sangat besar yaitu sekitar 40% dari PDRB , dan lebih dari 50% tenaga kerja yang terlibat di sektor ini Oleh karena itu sangat wajar apabila kebijakan pembangunan di NTB masih bertumpu pada sektor pertanian. Permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di NTB sekarang ini masih cukup banyak selain yang telah disebutkan sebelumnya, diantaranya adalah masalah penurunan produksi dan populasi ternak, rendahnya nilai tukar petani, kesempatan kerja, regenerasi petani, masalah iklim dan dan kekeringan, teknologi dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya. Dari seluruh komoditas pertanian yang diusahakan petani di NTB tercatat 74 jenis komoditas terdiri dari sayuran 16 jenis, buah-buahan 18 jenis, padi palawija 8 jenis, perkebunan 18 jenis dan peternakan 14 jenis. Uraian berbagai jenis tersebut adalah: sayuran terdiri dari bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, kacang merah, cabe besar, kacang panjang, sawi, tomat, terong, bayan, lobak, labu siam, kangkung, cabe kecil, ketimun; buah-buahan terdiri dari belimbing, jeruk, mangga, sirsat, alpokad, mangga, rambutan, duku/langsat, durian, pepaya, sawo, jambu biji, jambu air, jambu bol pisang, nenas, salak, nangka; padi
599
palawija terdiri dari padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, kacang hijau; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa, kopi, mete, cengkeh, kakao, pinang, kapuk, asam, vanilli, kemiri, lontar, aren, tebu, tembakau rakyat, tembakau virginia, wijen, jarak dan empon-empon dan peternakan terdiri dari kuda, sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, ayam buras itik/entog/angsa, kelinci, puyuh, merpati kalkun. (BPSNTB 2004). Ditinjau dari sisi keberadaan komoditas unggulan menurut hasil kajian BPTP NTB 2003, prioritas komoditas unggulan NTB adalah sebagai berikut: tanaman pangan meliputi padi ladang, kacang hijau, padi sawah, kacang tanah dan jagung; sayuran meliputi kentang, kacang-kacangan, bawang merah, cabai; buahbuahan meliputi jeruk keprok, manggis, mangga, rambutan, durian; tanaman perkebunan meliputi jambu mete, vannili, tembakau virgina, kopi, kakao, wijen; peternakan meliputi sapi, ayam buras, kerbau, kambing dan itik. Selanjunya ditinjau dari pelaku usahatani dari komoditas utama tersebut perlu diketahui sejauh mana komoditas yang disuahakan tersebut mempunyai suatu nilai keuntungan, sehingga para pelaku tersebut mempunyai peluang mengusahakan lebih lanjut dalam skala yang lebih besar.
METODOLOGI Lokasi pengkajian adalah di wilayah pembangunan pertanian NTB yang meliputi seluruh kabupten/kota yang terdapat di pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 hingga Desember 2004. Pengkajian ini menggunakan pendekatan metode survai. Lokasi survai adalah kabupaten diwilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menjadi sentra komoditas unggulan Dari setiap kabupaten ditentukan kecamatan dan desa yang menajdi sentra komoditas unggulan. Petani responden ditentukan dengan cara purposive sampling. Petani responden adalah petani yang melakukan usahatani berbasis komoditas unggulan dari setiap sub sektor yang ada yaitu tanaman pangan (padi sawah, padi ladang, jagung dan kacang hijau), tanaman hortikultura (bawang merah, manggis, mangga dan pisang), tanaman perkebunan (kopi, mete, kakao, vanili dan tembakau), peternakan (sapi potong, kerbau, kambing, ayam buras dan itik) dan dari perikanan yaitu kerapu dan rumput laut. Petani responden dipilahkan menjadi tiga strata berdasarkan luas penguasaan lahan yaitu sempit, sedang dan luas dan untuk peternakan menjadi tiga strata berdasarkan jumlah pemilikan ternak yaitu sedikit, sedang dan banyak. Jumlah petani sampel dari setiap komoditas utama ditentukan sebanyak 15 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Tanaman Pangan dan Hortikultura
Padi sawah Produktivitas padi sawah yang dicapai petani sekitar 50 kw/ha per musim. Tingkat produksi pada musim kemarau sama dengan rata-rata produksi padi Kabupaten Lombok Barat tahun 2003, namun lebih tinggi dibandingkan dengan data produksi BPS tahun 2003 untuk Propinsi NTB yaitu 46 kw/ha. Produktivitas padi yang ditanama pada MK I 2004 dan MH 2003/2004 masing-masing 48 kw/ha dan 56 kw/ha. Tabel 1 menunjukkan bahwa struktur biaya dan penerimaan per hektar bervariasi pada setiap musim. Biaya usahatani yang dikeluarkan pada musim kemarau sekitar 56 persen dari total penerimaan usahatanai dan biaya usahatani yang dikeluarkan pada musim hujan 50 persen dari total penerimaan usahatani. Biaya usahatani terbesar yang dikeluarkan adalah untuk biaya tenaga kerja yaitu mencapai 32 persen dari total penerimaan usahatani pada musim kemarau dan 29 persen dari total penerimaan usahatani pada musim hujan. Pendapatan bersih atau keuntungan usahatani padi sawah per hektar pada musim kemarau sekitar 2,2 juta rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,78 dan keuntungan bersih pada musim hujan sekitar 3 juta rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,99. Berdasarkan nilai R/C yang diperoleh usahatani padi yang ditanam pada kedua musim tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi sawah cukup menguntungkan untuk diusahakan karena memiliki nilai R/C lebih dari 1 (satu).
600
Tabel 1. Keuntungan Usahatatani Komoditas Tanaman Pangan dan Hortikultura di NTB, 2004 No 1
2 3 4 5
6 7 8
Komoditas Padi sawah MKI MH Padi ladang Jagung Kc. Hijau Bwg merah MKI MKII Manggis Mangga Pisang
Saprodi
Biaya (Rp) Tenaga Biaya Kerja Lain
Total Biaya
Nilai Produksi (Rp)
Keuntungan (Rp)
R/C
729.422 685.884 313.511 729.689 157.507
1.634.711 1.740.374 1.018.632 664.746 378.530
487.122 574.401 69.965 103.870 91.458
2.851.255 3.000.660 1.402.108 1.498.305 627.495
5.064.048 5.967.347 4.224.105 2.363.927 968.553
2.212.793 2.966.687 2.821.997 865.621 341.058
1.78 1.99 3.01 1,58 1.54
11.599.783 4.745.842 1.102.816 558.902 2.007.338
5.974.080 1.307.368 1.372.924 445.896 761.558
298.184 83.505 123.754 81.654 86.753
17.872.047 6.136.716 2.599.493 1.086.452 2.855.649
29.150.502 10.936.842 11.085.714 5.497.512 2.698.312
11.278.455 4.800.126 8.486.221 4.411.060 -157.338
1.63 1.78 4.26 5.06 -1.06
Padi Ladang Produktivitas padi ladang petani mencapai 29 kw/ha, lebih tinggi dari rata-rata produktivitas padi ladang Propinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tahun 2003 (24 kw/ha). Dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa diantara biaya produksi yang terdiri dari biaya saprodi, tenaga kerja dan biaya lain, biaya tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar yang dikeluarkan petani yaitu mencapi 73 persen dari biaya produksi. Komponen biaya tenaga kerja terbesar yang dikeluarkan yaitu untuk biaya panen yang nilainya melebihi biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi untuk benih yang dikeluarkan petani relatif kecil karena sebagian besar petani menggunakan benih sendiri atau benih tidak berlabel sehingga harganya murah. Pendapatan kotor atau nilai produksi yang diperoleh pada tingkat produksi tersebut diatas yang diukur dengan harga berlaku pada saat itu adalah sebesar Rp 4,2 juta. Di lain pihak biaya produksi yang dikeluarkan petani sebesar Rp 1,4 juta maka dengan demikian keuntungan bersih yang diterima petani sebesar Rp. 2,8 juta/ha. Tingkat keuntungan dari usahatani padi ladang relatif cukup besar yaitu mencapai 66,8 persen dari pendapatan kotor dan nilai R/C yang dicapai yaitu sebesar 3,01 maka usahatani padi ladang di Kabupaten Sumbawa khususnya di Kecamatan Labangka menguntungkan untuk diusahakan. Jagung Produktivitas jagung yang dicapai pada MH 2003/2004 sekitar 46 kw/ha atau lebih tinggi dari angka produktivitas jagung (21 kw/ha) yang dilaporkan BPS tahun 2003. Harga jual yang diterima petani pada saat itu sebesar Rp 516/kg maka dengan tingkat produksi tersebut diatas (46 kw/ha), penerimaan petani kotor atau nilai produksi yang diterima petani sebesar 2,4 juta rupiah. Nilai produksi sebesar 2,4 juta rupiah diperoleh melalui pengeluaran berupa biaya produksi sekitar Rp 1,5 juta atau 63 persen dari penerimaan kotor. Dari biaya produksi yang dikeluarkan, komponen biaya sarana produksi merupakan komponen biaya produksi terbesar yang dikeluarkan atau 33 persen dari nilai produksi yang diterima petani dan sebagian besar biaya saprodi tersebut dipergunakan untuk membeli pupuk. Komponen biaya produksi lainnya yang cukup besar dikeluarkan petani adalah untuk biaya tenaga kerja atau mencapai sekitar 28 persen dari penerimaan kotor, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biaya saprodi (31%). Nilai produksi dikurangi biaya produksi merupakan keuntungan bersih petani, maka dengan demikian keuntungan bersih yang diterima petani dari usahatani jagung sekitar Rp. 900 ribu/ha dan dengan nilai R/C mencapai 1,54 maka usahatani jagung cukup menguntungkan untuk diusahakan petani. Kacang Hijau Produktivitas kacang hijau yang dihasilkan petani mencapai sekitar 4 kw/ha jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produksi di Kabupaten Sumbawa dan Propinsi NTB pada tahun 2003 (7,5 Kw/Ha). Pada tingkat produksi ini penerimaan kotor petani sekitar Rp 968 ribu yang dihasilkan melalui pengeluaran berupa biaya produksi yang per hektarnya mencapai Rp 627 ribu, maka dengan demikian keuntungan bersih yang diterima petani sebesar Rp 341 ribu/ha. Meskipun secara kuantitatif keuntungan bersih yang diterima petani relatif kecil (35 % dari penerimaan kotor), tetapi bila dilihat dari nilai R/C yang dicapai yaitu 1,54 maka usahatani kacang hijau pada taraf teknologi yang diterapkan petani cukup menguntungkan untuk diusahakan. Dari hasil analisis yang dilakukan, diketahui bahwa komponen terbesar dari biaya produksi kacang hijau adalah untuk biaya tenaga kerja yaitu mencapai 39 persen dari total penerimaan, sedangkan untuk biaya
601
sarana produksi hanya mencapai 25% dari total penerimaan. Komponen biaya tenaga kerja yang cukup besar yang dikeluarkan petani adalah untuk biaya panen dan penanganan pasca panen, sedangkan biaya saprodi yang cukup besar dikeluarkan petani adalah untuk pembelian pestisida guna mengendalikan hama dan penyakit dan biaya pembelian herbisida untuk mengendalikan gulma karena penanaman kacang hijau yang umum dilakukan petani adalah secara TOT. Bawang merah Produktivitas bawang merah petani responden berkisar antara 1.290 kw/ha sampai 1.417 kw/ha. Produksi pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada musim hujan. Produksi bawang merah pada musim hujan lebih rendah karena jumlah petani yang menanam lebih sedikit disamping diusahakan pada areal yang tidak terlalu luas. Tujuan petani menanam bawang merah pada musim hujan untuk benih dan mendapatkan harga tinggi, tetapi resiko penanaman pada musim hujan cukup tinggi sehingga hasil produksi yang diterima petani cenderung rendah. Hal ini terbukti dari hasil analisis biaya dan pendapatan dimana penerimaan usahatani bawang merah yang diusahakan pada MK I jauh lebih tinggi (Rp. 29 juta) dibandingkan dengan penerimaan usahatani bawang merah yang diusahakan pada MH (Rp. 11 juta). Ditinjau dari struktur pembiayaan, jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani bawah merah yang menanam pada MK I (Rp. 18 juta/ha) lebih besar dibandingkan petani yang menanam pada MH (6 juta/ha). Sebagian besar dari biaya produksi tersebut dikeluarkan untuk pembelian bibit dan sarana produksi pestisida. Keuntungan bersih adalah nilai produksi dikurangi biaya produksi, dengan demikian maka keuntungan bersih petani yang menanam bawang merah pada MK I sekitar Rp. 11 juta/ha dan ini lebih besar dari keuntungan bersih yang diterima petani yang menanam bawang merah pada MH yaitu sekitar Rp. 5 juta/ha, tetapi bila ditinjau dari nilai R/C atau efisiensi usahataninya, petani bawang merah yang menanam pada MK I memiliki nila R/C lebih rendah (1,63) dibandingkan petani yang menanam bawang merah pada MH (R/C 1,78). Perbedaan nilai R/C tersebut dipengaruhi oleh faktor harga dimana harga bawang merah yang ditanam pada MH lebih tinggi karena untuk bibit dibandingkan harga bawang merah yang ditanam pada MK I. Manggis Manggis sebagai tanaman tahunan memerlukan tenggang waktu yang cukup lama mulai dari penanaman bibit sampai dengan tanaman menghasilkan, sehingga sebagian besar biaya yang dikeluarkan merupakan biaya yang diinvestasikan. Dalam kajian ini perhitungan keuntungan tanaman manggis dilakukan pada tanaman manggis umur produktif sehingga biaya yang dikeluarkan hanya berupa biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan yaitu berupa biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi dan biaya lainnya. Biaya pemeliharaan yang cukup besar dalam usahatani manggis adalah biaya untuk tenaga kerja yang dikeluarkan dalam bentuk upah untuk melakukan pemupukan, penyiangan dan panen (Rp. 1.372.924) kemudian biaya sarana produksi (Rp. 1.102.816) yaitu untuk pembelian pupuk dan pestisida serta biaya lainnya yaitu untuk pembayaran pajak dan lainnya (Rp. 123.754,-). Jadi dengan demikan maka biaya pemeliharaan yang dikeluarkan petani selama setahun sebesar Rp. 2.599.493,- Biaya produksi yang dikeluarkan tersebut menghasilkan nilai produksi sebesar Rp. 11.085.714 maka keuntungan bersih yang diterima petani dalam jangka waktu 1 tahun sebesar Rp. 8.486.221 dengan nilai R/C sebesar 4,26. Ditinjau dari keuntungan bersih dan nilai R/C yang dicapai dan peluang pasarnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka usahatani manggis cukup layak untuk dikembangkan. Pedagang pengumpul manggis di Desa Batumekar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat telah berhasil menembus pasar luar negeri. Mangga Daerah produsen mangga yang cukup terkenal di Kabupaten Lombok Barat adalah Kecamatan Bayan. Agroekosistem yang cukup mendukung dengan iklimnya yang kering menghasilkan buah mangga dengan rasa manis. Mangga yang berasal dari kecamatan ini mampu bersaing di pasar nasional dengan mangga Probolinggo dari Jawa Timur. Di pasar, konsumen sulit membedakan manggga Bayan dan mangga yang berasal dari Probolinggo.. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap mangga yang berada pada umur produktif mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 4.411.060 per tahun. Keuntungan tersebut diperoleh dari nilai produksi sebesar Rp. 5.497.512 melalui pengorbanan berupa biaya produksi sebesar Rp. 1.086.452. Dari data tersebut diperoleh nilai R/C usahatani mangga sebesar 5,06 dan ini berarti bahwa usahatani mangga memiliki tingkat effisiensi yang cukup tinggi. Pisang Dari informasi yang diperoleh, tanaman pisang di lokasi pengkajian baru mulai berbuah antara satu sampai dua kali sehingga belum berada pada produksi puncak. Pada fase pertumbuhan tanaman tersebut
602
masih memerlukan input yang cukup besar, sementara disatu sisi hasil produksi yang dihasilkan belum maksimal sehingga dalam analisa ini usahatani pisang belum mampu memberikan keuntungan kepada petani. Dari Tabel 1 diketahui bahwa biaya produksi yang dikeluarkan selama satu tahun sebesar Rp. 2.855.649 dimana biaya yang dikeluarkan tersebut sebagian besar berupa biaya untuk pembelian sarana produksi (Rp. 2.007.338) sedangkan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan lebih rendah yaitu sebesar Rp. 761.558. Dilain pihak nilai produksi yang dapat dicapai oleh petani yang bergerak pada usahatani pisang hanya sebesar Rp. 2.698.312 selama setahun dengan demikian maka petani pisang mengalami kerugian sebesar Rp. 157.338. Interpretasi terhadap besarnya biaya sarana produksi yang dikeluarkan mengindikasikan bahwa sebagian besar petani sedang melakukan peremajaan tanaman pisang. Pengamatan yang dilakukan saat survai pada beberapa kebun pisang petani, rata-rata kondisi pisang yang ada dikebun petani masih dalam masa pertumbuhan. Peremajaan ini dilakukan karena sebagian besar pisang yang dimiliki petani terserang penyakit darah pisang. 2.
Tanaman Perkebunan
Kopi Total penerimaan usahatani kopi di lokasi penelitian sebesar Rp 3,4 juta per hektar per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil yaitu Rp 360 ribu atau 10,70 persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu sekitar Rp 240 ribu atau 7,05 persen dari penerimaan kotor. Dalam usahatani kopi ini, petani tidak melakukan pemupukan dan pemberantasan hama penyakit tanaman. Sehingga biaya produksi hanya dikeluarkan untuk bibit dan tenaga kerja. Dengan biaya yang relatif kecil dibandingkan penerimaan maka nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang diperoleh sebesar 9,35. Dengan nilai R/C jauh lebih besar dari satu berarti usahatani kopi setelah mencapai usia produktif sangat menguntungkan Table 2. Keuntungan usahatatani komoditas tanaman Perkebunan di NTB, 2004 Biaya (Rp) No 1 2 3 4 5
Komoditas Kopi Mete Kakao Vannili Tembakau
Saprodi
Tenaga Kerja
39.175 81.019 2.953.18.9 406.250 3.513.527
239.113 879.630 11.433.12.8 1.890.960 326.639
Biaya Lain 84.536 45.525 457.81.9 44.786 326.639
Total Biaya
Nilai Produksi (Rp)
Keuntungan (Rp)
R/C
362.825 1.006.173 14.844.13.6 2.341.996 12.505.045
3.390.722 1.253.858 53.570.98.8 3.094.196 11.975.845
3.027.897 247.685 38.726.85.2 752.201 -529.199
9.35 1.25 3.61 1.32 -1.04
Mete Total penerimaan usahatani jambu mete dalam satu tahun sebesar Rp 1,25 juta per hektar. Dari jumlah tersebut, sebesar 80,25 persen merupakan biaya produksi dan diantaranya 70,15 persen merupakan biaya tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh selama setahun dari usahatani jambu mete mencapai sekitar 250 ribu rupiah per hektar tanaman kelapa. Nilai R/C lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa usahatani tersebut menguntungkan. Dilihat dari besaran keuntungan yang diperoleh, pendapatan dari usahatani jambu mete tersebut tidak cukup besar apabila digunakan sebagai satu-satunya sumber pendapatan rumahtangga. Kakao Rata-rata produksi kakao yang dihasilkan petani selama setahun 7,48 Kw/Ha. Biasanya petani menjual kakao dalam bentuk biji kering, dengan harga jual yang diterima pada waktu panen Rp 4754/kg. Dengan tingkat produksi yang dicapai dan tingkat harga yang diterima tersebut diperoleh penerimaan setahun sebesar 5,4 juta rupiah per hektar. Total biaya produksi usahatani kakao usia produktif mencapai 27,71 persen dari penerimaan yang diperoleh. Meskipun tanaman kakao sudah berproduksi, tetap memerlukan pemeliharaan seperti pemupukan, dan pembersihan. Dari total biaya yang dikeluarkan, komponen biaya terbesar untuk tenaga kerja (21,34%).
603
Keuntungan yang diperoleh petani dari satu hektar tanaman kakao sekitar Rp 3,9 juta dalam waktu satu tahun. Setelah mencapai usia produktif, usahatani kakao sangat menguntungkan. Hal ini terlihat dari imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang nilainya jauh di atas satu yaitu 3,61. Vanili Total penerimaan usahatani vanili di lokasi penelitian sebesar Rp 3,1 juta per hektar per tahun. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,3 juta atau 75,69 persen dari penerimaan kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu 1,9 juta atau 61,11 persen dari penerimaan kotor. Dalam usahatani vanili, petani tidak melakukan pemupukan sehingga biaya produksi hanya dikeluarkan untuk bibit dan tenaga kerja. Biaya lain dalam biaya tenaga kerja usahatani vanili relatif besar yaitu mencapai 53,47 persen dari penerimaan. Biaya lain tersebut diantaranya biaya untuk penyerbukan dan upah pejaga kebun. Seperti diketahui vanili memerlukan penangan khusus dalam proses reproduksi. Penyerbukan dilakukan dengan bantuan manusia dan hal ini memerlukan keahlian khusus. Oleh karena itu untuk kegiatan penyerbukan tersebut memerlukan biaya yang besar. Tanaman vanili termasuk komoditas ekspor yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga jika tidak dijaga maka keamanan kebun rawan pencurian. Nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang diperoleh sebesar 1,52. Dengan nilai R/C lebih besar dari satu berarti usahatani vanili menguntungkan. Besarnya keuntungan yang dicapai petani dalam satu tahun sekitar 600 ribu rupiah per hektar. Nilai ini relatif kecil apabila usaha tersebut merupakan satu-satunya sumber pendapatan rumahtangga tanpa ada sumber pendapatan lain. Tembakau Komponen biaya terbesar merupakan biaya tenaga kerja, biaya tenaga kerja per hektar lahan tembakau mencapai 72,35 persen dari penerimaan usahatani. Kegiatan dalam usahatani tembakau adalah persemaian, pengolahan tanah, pembuatan bedengan, pembuatan lubang tanam, penanaman, penyiraman, pemupukan, penyemprotan, penggemburan, toping (pemangkasan pucuk), nyuli (pemetikan daun suli), panen dan pasca panen. Biaya tenaga kerja sebagian besar merupakan biaya pasca panen dan penyiraman. Faktor pemupukan sangat menentukan mutu daun tembakau yang dihasilkan. Pengeluaran saprodi terbesar untuk pembelian pupuk (23,78% dari penerimaan). 3.
Peternakan
Tabel 3: Keuntungan Usahatatani Komoditas Peternakan di NTB, 2004 No 1 2 3 4 5
Jenis Ternak Sapi potong Kerbau Kambing Ayam Buras Itik
Total Biaya (input) 805.867 8.075.401 1.194.314 1.367.471 2.014.866
Nilai Produksi (Rp)(total Out put) 1.623.733 16.499.667 3.046.538 2.093.142 5.888.877
Keuntungan (Rp) 817.867 8.424.266 1.852.224 725.671 3.874.010
R/C 2,01 2,04 2,55 1,53 2,92
Sapi Potong Biaya yang dikeluarkan untuk penggemukan sapi antara lain untuk pembelian sapi bakalan, penyusutan kandang, pakan dan obat-obatan. Sementara itu biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan dalam analisa karena tenaga kerja yang digunakan semuanya merupakan tenaga kerja keluarga. Total biaya usaha penggemukan sapi potong dengan skala usaha satu ekor memerlukan biaya Rp 805 ribu. Dengan biaya tersebut selama enam bulan penerimaan mencapai Rp 1,623 juta sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 818 ribu atau 50 persen dari total penerimaan. Usaha ternak ini sangat menguntungkan dilihat dari nilai R/C sebesar 2,01. Dengan tingkat keuntungan ini usaha ternak sapi dapat dikatakan sebagai pekerjaan sampingan. Apabila usaha penggemukan sapi akan dijadikan sebagai sumber pendapatan utama keluarga maka skala usaha ternak perlu ditambah. Kerbau Dengan waktu pemeliharaan sekitar satu tahun, masing-masing induk kerbau rata-rata melahirkan satu ekor anak sehingga jumlah anak yang dilahirkan 2,6 ekor. Output lain yang diperoleh dari usaha ternak kerbau adalah jasa tenaga kerja. Dengan demikian dalam waktu tersebut penerimaan petani dari nilai ternak dan jasa tenaga kerja mencapai Rp 16,499 juta.
604
Untuk menghasilkan penerimaan sebesar Rp 16,499 juta selama setahun diperlukan biaya sebesar Rp 8,075 juta. Komponen biya terbesar merupakan biaya pembelian induk kerbau yang mencapai 43,33 persen dari total penerimaan. Dengan struktur penerimaan dan biaya tersebut maka keuntungan petani kerbau mencapai Rp 8,424 juta dan R/C 2,04. Pada tingkat skala usaha seperti yang dilakukan petani di Kabupaten Lombok Tengah, usaha ternak kerbau dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama keluarga. Kambing Dari hasil analisa yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha ternak kambing pembibitan yang dilakukan peternak di Kota Mataram sangat menguntungkan. Dalam waktu satu tahun induk dapat berproduksi dua kali dengan jumlah anak rata-rata dua ekor. Sehingga pada akhir analisa jumlah anak lepas sapih sebanyak 6,2 ekor dan jumlah induk menjadi 5 ekor. Total output yang diperoleh petani selama setahun mencapai Rp 3,046 juta. Input produksi terdiri dari biaya pembelian pejantan dan induk, kandang dan obat-obatan. Semua kegiatan pemeliharaan kambing dilakukan oleh anggota keluarga termasuk mencari pakan sehingga biaya pakan dan tenaga kerja tidak diperhitungkan. Total input usaha ternak kambing sebesar Rp 1,194 juta atau 39,20 persen dari penerimaan. Dengan struktur biaya dan penerimaan tersebut maka keuntungan usaha ternak kambing selama setahun sebesar Rp 1,852 juta. Usaha tersebut menguntungkan dilihat dari nilai R/C sebesar 2,55. Ayam Buras Input produksi yang diperlukan dalam usaha ternak ayam buras antara lain bibit, kandang, pakan, obat-obatan, dan tenaga kerja. Usaha ternak ayam buras yang dilakukan peternak di Kabupaten Lombok Barat sudah relatif intensif dilihat dari jenis dan jumlah input yang digunakan. Ternak sudah dikandangkan, pakan yang diberikan terdiri dari jagung, konsentrat dan dedak, sementara itu pemeliharaan kesehatan juga dilakukan dilihat dari besarnya pengeluaran untuk obat-obatan. Total biaya produksi usaha ternak ayam buras selama setahun mencapai Rp 1,367 juta atau 65,33 persen dari total penerimaan. Biaya terbesar merupakan biaya bibit (28%) dan pakan (27%). Produk utama yang dihasilkan dalam usaha ternak ayam buras adalah telur konsumsi. Disamping telur konsumsi, usaha ternak melakukan pembibitan untuk regenerasi induk yang sudah afkir. Hasil analisa menunjukkan penerimaan usaha ternak ayam selama setahun sekitar Rp 2,093 juta, sehingga keuntungan yang diperoleh mencapai Rp 726 ribu rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,53. Itik Hasil analisa usaha menunjukkan bahwa biaya produksi selama setahun yaitu Rp 2,015 juta. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya lain Rp 859 ribu (14,59 % dari penerimaan) dan biaya pakan Rp 626 ribu (10,64 % dari penerimaan). Penerimaan selama setahun dari itik jantan, induk, telur dan limbah sebesar Rp 5,889 juta sehingga keuntungan usaha sebesar Rp 3,874 juta.
KESIMPULAN 1.
Tingkat keuntungan usahatani padi sawah MKI Rp 2.212.793/ha (R/C 1,78), padi sawah MH Rp 2.966.687/ha (R/C 1.99), padi ladang Rp 2.821.997/ha (R/C 3,01), jagung Rp. 865.621/ha (R/C 3,62), kacang hijau Rp 341058/ha (R/C 1,54), bawang merah MKI Rp 11.278.455/ha (R/C 1,63), bawang werah MKII Rp 4.800.126/ha (R/C 1,78), manggis Rp 8.486.221 (R/C 4,26), mangga Rp 4.411.060 (R/C 5,06), pisang Rp -157.338 (R/C 1,06), kopi Rp 3.027.897/ha (R/C 9,36), mete Rp 247.685/ha (R/C 1,25), kakao Rp 3.872.685,2/ha (R/C 3,61, vanilli Rp 752.201/ha (R/C 1,32), tembakau Rp -529.199/ha (R/C 1,04), sapi potong Rp 817.867 (R/C 2,01), kerbau Rp 8.424.266 (R/C 2,04), kambing Rp 1.852.224 (R/C 2,55), ayam buras Rp 725.671 (R/C 1,53), itik Rp 3.874.010,- (R/C 2,92).
2.
Komoditas yang menguntungkan dengan nilai R/C lebih dari 1,5 mempunyai peluang bagi petani untuk dikembangkan.
PUSTAKA. BPTP NTB. 2003. Komoditas Unggulan Propinsi Nusa Tenggara Barat. BPTB . NTB. Mataram.
605
PENGARUH POLA TUMPANGSARI TERHADAP EROSI TANAH PADA LAHAN KERING BERBASIS JAMBU METE DI NTB Ahmad Suriadi, Sudarto dan M. Nazam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Sebagian besar jambu mete di NTB di tanam di lahan kering yang dicirikan dengan kesuburan yang rendah dimana kandungan bahan organik tanah rendah, agregat tanah kurang mantap, peka terhadap erosi dan kandungan hara utama (N,P, dan K) relatif rendah, tekstur tanah pasiran sehingga kurang mampu menahan air dan lapisan tanah (solum) pada umumnya dangkal. Pengkajian pengaruh pola tumpangsari terhadap erosi tanah di lahan kering berbasis jambu mete telah dilakukan pada lahan mete petani dengan jarak tanam 8 x 8 m melalui on farm research di Amor-Amor Kecamatan Kayangan Lombok Barat. Pola tumpangsari yang diaplikasikan pada lahan pertanaman jambu mete adalah padi+jagung+ubi kayu dan kacang tanah+jagung+ubi kayu. Drum telah dipasang untuk menampung tanah yang terbawa erosi pada masing-masing petak sampai awal musim kemarau untuk menampung tanah yang terbawa air dan selanjutnya dihitung laju erosi pertahun. Pola tumpangsari tersebut juga diaplikasikan pada lahan petani tanpa tanaman jambu mete. Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis of variance. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kedua pola tumpangsari tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tanah yang tererosi pada lahan kering berbasis jambu mete, meskipun jumlah tanah yang tererosi cenderung lebih banyak pada pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu dibandingkan dengan pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Sebaliknya jumlah tanah yang tererosi pada lahan tanpa jambu mete lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang tererosi pada lahan jambu mete. Demikian juga jumlah tanah yang tererosi pada pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan pola kacang tanah+jagung+ubi kayu pada lahan tanpa tanaman jambu mete. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada non kooperator dengan B/C ratio berturutturut 0,67; 1,3; 0,27 dan 0,55 untuk padi+jagung+ubi kayu (kooperator), kacang tanah+jagung+ubi kayu (koooperator), padi+jagung+ubi kayu (nonkooperator) dan kacang tanah+jagung+ubi kayu (nonkooperator). B/C ratio sistem tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang lain, sedangkan B/C ratio yang paling rendah adalah tumpangsari jagung+padi nonkooperator. Implikasi dari kegiatan ini adalah bahwa petani sebaiknya memanfaatkan lahan pertanaman jambu mete dengan pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu untuk menekan jumlah tanah yang tererosi dan meningkatkan keuntungan usahatani. Kata kunci: erosi, lahan kering, tumpangsari, lahan jambu mete.
PENDAHULUAN Vegetasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam penekanan erosi tanah. Pada hutan rimba, hampir tidak terjadi erosi tanah dan kalaupun ada kehilangan tanah tidak jauh berbeda dengan kecepatan pembentukan tanah. Sebaliknya tanah yang tanpa vegetasi hampir selalu terjadi erosi dan kehilangan tanah jauh lebih besar daripada tanah yang terbentuk. Salah satu masalah yang perlu diatasi dalam pemanfaatan lahan kering dan lahan marginal seperti pada tanaman jambu mete adalah penurunan produktivitas tanah (degradasi) akibat penurunan kandungan bahan organik, solum tanah yang dangkal, banyak singkapan batu dipermukaan tanah dan tingkat erosi telah lanjut (Notohadiprawiro, 1988). Proses terjadinya degradasi dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan dapat terjadi dalam waktu yang cukup singkat (tahunan) terutama disebabkan oleh adanya musim kemarau dan musim penghujan. Degradasi yang terjadi dalam waktu yang cukup pendek disebabkan oleh cara pengelolaan tanah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Keadaan tersebut secara langsung dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah (Fauck, 1977). Thorne dan Thorne (1978) mengemukakan bahwa ada 5 praktek pengelolaan lahan yang dapat mengurangi laju erosi yaitu (1) vegetasi, (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek sisa rotasi tanaman dan (5) praktik pendukung mekanik. Disamping itu, kombinasi kanopi dan sisa tanaman mampu melindungi permukaan tanah dari daya perusak butir hujan dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yang secara nyata dapat meningkatkan laju infiltrasi dan mengurangi laju erosi. Pengolahan tanah dan pergiliran tanaman sangat menentukan dalam kesukesan konservasi tanah di lahan kering. Pengolahan tanah seperlunya (minimum tillage) dan menerapkan pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau maupun sistem tumpangsari merupakan beberapa contoh teknik konservasi tanah dan air. Irianto et al. 1986 mengemukakan bahwa pengolahan tanah sepertlunya disertai dengan pemberian mulsa mampu menahan laju erosi pada tanah ultisols berlereng.
606
Kemampuan menekan erosi dalam sistem usahatani tanaman pangan sangat bervariasi dan tergantung pola tanam yang diterapkan. Pada pola tanam monokultur, kemampuan menekan erosi masih cukup rendah. Hal ini ditandai dengan masih tingginya nilai faktor tanaman (faktor C) dari persamaan umum erosi yaitu Universal Soil loss Equation (USLE). Nilai C berkisar dari 0 sampai 1; semakin tinggi nilai C,maka semakin kecil peranan tanaman dalam menekan erosi. Abdurahman et al. (1984) melaporkan nilai C untuk tanaman jagung, padi gogo, kacang tanah, kedelai dan kacang jogo berturut-turut adalah 0,64; 0,56; 0,45; 0,40 dan 0,16. Pola tanam tumpangsari bila ditinjau dari segi konservasi tanah tampaknya mempunyai efektivitas yang lebih tinggi daipada monokultur. Sukmana dan Erfandi, (1988) mengemukakan bahwa sistem tanam lorong (alley cropping) atau tumpangsari merupakan teknik yang dapat menahan laju aliran permukaan dan mengurasi erosi tanah. Pada tanaman tumpangsari, penutupan tanah oleh vegetasi lebih rapat dan waktunya lebih lama sehingga erosi diharapkan akan lebih kecil. Walaupun demikian, masih perlu diteliti sejauhmana kemampuan dan efektivitas pola tanam tumpangsari dapat mengurangi erosi. Tulisan ini mengungkapkan hasil pnelitian yang sedang dilakukan di Lombok Barat dengan tujuan untuk mengetahui dan menunjukkan sejauhmana pengaruh sistem tumpangsari terhadap erosi tanah pada lahan pertanaman jambu mete di lahan kering.
METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di lahan petani (on farm research) seluas 5 ha di Amor-Amor, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Barat, di bawah bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan petani sebagai petani peserta (petani kooperator) dan petani non peserta (nonkooperator). Untuk mengetahui keunggulan teknologi ini, maka hasil penelitan ini dibandingkan dengan hasil yang diperoleh petani nonkooperator. Rancangan percobaan yang digunakan adalah racangan acak kelompok yang diulang sebanyak minimal 3 kali. Perlakuan kombinasi antara lahan mete dan tanpa mete dengan beberapa pola tumpangsari telah diterapkan pada percobaan ini. Beberapa petani yang mempunyai lahan dengan kemiringan sekitar 5% dipilih dan dibuat petak percobaan berukuran 10m x 3m. Panjang petak searah lereng dan lebarnya memotong lereng. Perlakuan yang diterapkan pada lahan petani kooperator yang pada lahannya telah ada tanaman jambu mete dengan jarak tanam 8 x 8 m adalah tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu dan padi+jagung+ubi kayu. Lahan petani tersebut di bagi 2 bagian yaitu sebagian lahan pertanaman jambu mete digunakan untuk perlakuan tumpangsari padi+jaung+ubi kayu dan sebagiannya lagi untuk tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Tanam dilakukan dengan sistem tugal dengan arah sebisa mungkin barisannya membujur dari timur – barat. Tanaman jagung menggunakan jarak tanam 150 x 30 cm, ubi kayu 150 x 30 cm, padi 20 x 20 cm dan kacang tanah 20 x 20 cm. Varietas tanaman yang digunakan meliputi: jagung bersari bebas varietas Lamuru, padi varietas Widas, kacang tanah varietas lokal dan ubi kayu varietas lokal. Pada lahan petani nonkooperator yang tidak ada tanaman mete juga diperlakukan dengan perlakuan yang sama dengan petani kooperator. Pada bagian bawah setiap petak ditempatkan bak penampung (drum) yang digunakan untuk menampung tanah yang tererosi dan air runoff. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa sifat tanah, curah hujan, prosentase aliran permukaan dan erosi, produksi tanaman dan analisis usahatani. Sifat tanah awal ditentukan dengan mengambil contoh tanah secara komposit pada dua kedalaman yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm. Pemasangan penangkar hujan (Ombrometer tipe observatorium) di lokasi penelitian bertujuan untuk mengukur curah hujan setiap hari pada pukul 07.00 wita apabila ada hujan pada hari sebelumnya. Pengukuran aliran permukaan dan tanah tererosi yang tertampung dalam bak penampung dari masing-masing petak dilakukan setiap pukul 07.00 wita apabila terjadi hujan pada hari sebelumnya. Air aliran permukaan diukur setelah tanah tererosi mengendap dan sampel tanah tererosi ditimbang. Contoh tanah basah yang tertampung pada bak yang dipasang pada setiap petak diambil untuk ditentukan bobot tanah keringnya. Erosi dan aliran permukaan diukur dengan menggunakan metode pengukuran erosi sistem petak kecil (Lembaga Penelitian Tanah, 1975). Produksi tanaman ditentukan dengan mengambil sampel pada setiap petak. Analisis usahatani dilakukan dengan menggunakan analisis B/C ratio (Anonim, 1988). Pengamatan produksi ubi kayu pada setiap perlakuan tidak diamati karena ubi kayu masih belum bisa dipanen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa sifat fisik dan kimia tanah di lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa tekstur tanah lokasi percobaan tergolong lempung pada lapisan atas dan lempung berpasir pada lapisan bawahnya dengan kandungan pasir lebih besar dari 50% sedangkan liatnya
607
(clay) sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut cukup porus disamping aggregat yang cukup lemah dan agak lepas-lepas. Kemasaman tanah (pH) tergolong netral, kandungan bahan organik tergolong rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah, kandungan N total sangat rendah dan kapasitas tukar kation tergolong rendah pada kedua lapisan sedangkan kejenuhan basa tergolong sedang. Kandungan P2O5 dan K2O dengan ekstrak HCl 25% tergolong sangat tinggi pada kedua lapisan. Hal ini mungkin disebabkan bahwa dilokasi tersebut telah terjadi pemupukan yang cukup berat dan intensif terhadap posphat. Tabel 1. Beberapa Sifat Tanah di Lokasi Penelitian Kedalaman
Tekstur (%)
BD
Kadar air (% vol)
pH
N total
C Org C/N
(cm)
pasir
debu
liat
Kelas tekstur
g/cc
Klp
Tlp
AT
H2O
%
%
0 - 20
38
53
9
loam
1.15
30.4
9.1
21.3
6.32
0.12
1.31
11
20 - 40
73
22
5
Sandy Loam
1.11
25.8
8.4
17.4
6.61
0.11
1.04
9
Kedalaman
Nilai Tukar Kation
(cm)
(me/100 gram) Ca
Mg
JLH
K
Na
KTK
me/100 gram
Kejenuhan basa (%)
P2O5
K2O
HCl 25% (mg/100g)
0 - 20
6.8
2.2
1
0.3
10.3
16.9
62
168
127
20 – 40
7.5
2.5
1.5
0.3
11.8
19.7
60
172
147
Kemampuan tanah memegang air sangat ditentukan proporsi liat (clay) dan kandungan bahan organik tanah. Kemampuan tanah memegang air pada lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bawah. Hal ini karena pada lokasi tersebut, proporsi liat pada lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bawah tanah. Demikian juga kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bawah, walaupun perberdaannya tidak besar.
Curah hujan (mm)
Distribusi dan curah hujan bulanan di lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 1. Menurut Oldemen et al (1980), bulan yang curah hujannya lebih dari 200 mm/bulan digolongkan ke dalam bulan basah. Walaupun data curah hujan yang diperoleh kurang dari 1 tahun (Nopember – Mei), dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa bulan basah ( CH >200 mm/bulan) hanya terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Januari, Februari dan Maret. Sebagian besar petani dilokasi penelitian melaksanakan penanaman tanaman semusim pada akhir bulan Desember. Hal ini dapat dipahami karena pada akhir bulan Desember jumlah curah hujan sudah cukup untuk melakukan penugalan. Mirza (1995) menyatakan curah hujan 60 mm per dasarian itu diperlukan untuk menopang kebutuhan evapotranspirasi pada periode pertumbuhan awal tanaman semusim. 500 400 300 200 100 0 Nop
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Bulan (2005/2006) Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan dilokasi penelitian
Pengaruh pola tanam terhadap erosi dan aliran permukaan. Jumlah tanah yang tererosi dan prosentase aliran permukaan yang terjadi selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Pengaruh pola tumpangsari terhadap erosi tanah tidak menunjukan perbedaan yang nyata baik pada lahan pertanaman jambu mete maupun lahan tanpa jambu mete. Namun demikian, pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mampu menekan erosi yang terjadi dibandingkan dengan pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada kedua lahan pertanaman. Hal ini terjadi karena berhubungan dengan tajuk tanaman. Tajuk tanaman kacang tanah lebih luas dibandingkan dengan tajuk tanaman padi. Disamping itu, tanaman kacang tanah lebih pendek dibandingkan tanaman padi. Hal ini menyebabkan laju
608
erosi lebih rendah pada tanaman kacang tanah dibandingkan pada padi. Hasil penelitian Abdurahman et al. (1985) juga menunjukkan bahwa pola tanam tunggal maupun tumpang gilir dapat memperlambat laju erosi. Demikian juga hasil penelitian Langdale et al. (1992) menunjukkan bahwa akumulasi residu tanaman pangan selama 5 tahun sebanyak 20 ton/ha dapat menurunkan leju erosi dari 25,4 ton/ha menjadi <0,1 ton/ha, bahkan erosi tidak menurun lagi walaupun jumlah akumulasi residu tanaman bertambah.
50
Erosi (ton/ha)
40
Aliran permukaan (%)* b
30
b
20
a a
10
a
ab
bc
c
0 KcJ M Keterangan:
PJM
KcNM
PJNM
* Aliran permukaan (%) yaitu jumlah air yang tertampung selama musim hujan dibagi total curah hujan dilokasi penelitian. KcJM, PJM dan NM = Tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu, Padi+jagung+ubi kayu pada lahan jambu mete dan pada lahan tanpa tanaman mete.
Gambar 2. Jumlah tanah tererosi dan prosentase aliran permukaan pada berbagai pola tumpangsari di Amor-Amor
Pengaruh tanaman mete terhadap erosi tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Tanaman mete berpengaruh nyata terhadap jumlah erosi yang terjadi pada lahan tersebut. Walaupun jumlah erosi yang terjadi masih lebih besar dari batas ambang toleransi yaitu 13.46 ton/ha (Thompson, 1987), namun jumlah tanah yang tererosi pada lahan mete untuk setiap perlakuan tumpangsari lebih kecil dibandingkan dengan jumlah erosi pada lahan tanpa tanaman jambu mete. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tanaman jambu mete dilahan akan mampu menekan laju erosi yang terjadi. Pola aliran permukaan tidak jauh berbeda dengan pola erosi (Gambar 2). Total curah hujan selama pengamatan erosi adalah 1433,1 mm. Prosentase aliaran permukaan yang paling tinggi diperoleh pada pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada lahan tanpa tanaman jambu mete, sedangkan prosentase aliran pemukaan yang terkecil terjadi pada pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Dengan demikian, kombinasi antara tanaman jambu dan kacang tanah yang ditanam pada pertanaman jambu mete mampu menekan aliran permukaan dengan cukup signifikan. Produksi Tanaman Produksi tanaman pada berbagai pola tumpangsari yang diaplikasikan pada lahan pertanaman jambu mete dan tanpa lahan jambu mete dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi jagung dan kacang tanah pada lahan pertanaman jambu mete lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tanaman tersebut pada lahan tanpa jambu mete. Namun produksi padi lebih tinggi pada petani nonkoperator dibandingkan dengan petani kooperator. Secara umum, hal ini berhubungan dengan teknologi budidaya yang berbeda pada petani kooperator dan petani non koperator. Petani kooperator menerapkan sistem usahatani yang dianjurkan (pemupukan) sedangkan petani nonkooperator menerapkan sistem usahatani sesuai dengan caranya sendiri. Tabel 2. Rata-rata Produksi Tanaman Pada Berbagai Pola Tumpangsari Pada Lahan Pertanaman Jambu Mete dan Tanpa Lahan Jambu Mete Uraian Lahan mete (kooperator) Padi+jagung+ubi kayu Kc.Tanah+jagung+ubi kayu Tanpa mete (nonkooperator) Padi+jagung+ubi kayu Kc.Tanah+jagung+ubi kayu CV (%)
Padi
Jagung
Kacang tanah
Kg/ha 759a
833b 12,5
2804b 2711b
572b
1583a 1500a 21,2
450a 11,2
609
Analisis usahatani Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian mengenai paket teknologi sistem tumpangsari, maka tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mendapat respon positif dibandingkan dengan tumpangsari padi+jagung+ubi kayu. Hal ini dapat dipahami karena tumpangsari kacang tanah+jagung+ ubi kayu memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan paket yang lain. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis usahatani yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Usahatani Kooperator dan Nonkooperator di Amor-Amor Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat Uraian Biaya sarana produksi Biaya tenaga kerja Total biaya produksi Produksi (kg/ha) Jagung Padi Kc. Tanah Nilai Produksi (Rp/ha) Jagung (Rp 1000/kg) Padi (Rp. 1250/kg) Kc. Tanah (3500/kg) Keuntungan bersih B/C ratio
Kooperator Kc tanah+ Padi+ Jagung Jagung 1.155.000 1.205.000 1.096.111 1.117.778 2.251.111 2.322.778 2.804 759 3.753.056 2.804.444 948.611 1.501.944 0,67
2.711 572 4.713.889 2.711.111 2.002.778 2.391.111 1,03
Non Kooperator Kc tanah+ Padi+ Jagung Jagung 935.000 960.000 1.133.333 1.021.667 2.068.333 1.981.667 1.583 833 2.625.000 1.583.333 1.041.667 556.667 0,27
1.500 450 3.075.000 1.500.000 1.575.000 1.093.333 0,55
Tabel di atas menunjukkan analisis usahatani tanaman semusim yang ditanam pada lahan pertanaman jambu mete. Secara umum, sistem tumpangsari kooperator lebih baik dibandingkan dengan sistem tumpangsari non kooperator. Produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada non kooperator. Keadaan tersebut diperkuat oleh nilai B/C ratio petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan petani nonkooperator. Keuntungan bersih yang diperoleh petani kooperator pada pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan petani nonkooperator pada sistem tumpangsari yang sama. Sedangkan keuntungan bersih petani kooperator hampir 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan petani nonkooperator pada sistem tumpangsari kacang hijau+jagung. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya nilai keuntungan bersih dan B/C ratio tumpangsari yang lakukan oleh petani kooperator dibandingkan petani nonkooperator. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh sumberdaya agroklimat yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman padi dibandingkan dengan tanaman kacang tanah. Kondisi iklim lokasi penelitian untuk tahun ini cukup baik dengan curah hujan yang cukup lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi baik. Sistem tumpangsari nonkooperator memberikan hasil yang paling rendah dibandingkan dengan sistem monokulture maupun sistem tumpangsari kooperator. Hal ini disebabkan karena petani tidak memperhatikan kualitas benih (terutama benih jagung) yang digunakan. Benih jagung yang dipakai adalah benih hibrida turunan yang dipanen tahun sebelumnya yang sudah jelas produktifitasnya rendah. Demikian juga dalam hal pemupukan, petani nonkooperator tidak melakukan pemupukan sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Takaran pupuk yang diberikan ke dalam tanah sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan petani nonkoperator dalam membeli pupuk dan sarana produksi yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan: 2) Meskipun pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mampu menekan laju erosi yang terjadi dibandingkan dengan pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada kedua lahan pertanaman, namun pengaruhnya tidak menunjukan perbedaan yang nyata baik pada lahan pertanaman jambu mete maupun lahan tanpa jambu mete. Tanaman mete berpengaruh nyata terhadap jumlah erosi yang terjadi pada tanah.
610
3) kombinasi antara tanaman jambu dan tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu yang ditanam pada pertanaman jambu mete mampu menekan aliran permukaan dengan cukup signifikan.
4) Produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada non kooperator. B/C ratio sistem tumpangsari jagung+kacang tanah lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang lain. Sedangkan B/C ratio yang paling rendah adalah pada sistem tumpangsari jagung+padi nonkooperator . Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka sebaiknya lahan pertanaman mete dapat dimanfaatkan untuk usahatani tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Hal ini disamping sistem tersebut mampu menekan laju erosi yang cukup signifikan, juga mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan dan meningkatkan pendapatan usahatani.
DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, A., S. Abujamin dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usahatani konservasi. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 3:7 – 12 Anonim. 1988. Analisis ushatani pola tanam. Modul Pelatihan pada Proyek P3NT. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Fauck, R. 1977. Influences of Agriculture Practice on Soil Degradation. In Asessing Soil Degadation. FAO. Soil Bulletin. 34. 12-13p. Roma Thorne, D.W. and M.D. Thorne. 1978. Soil Water and Crop Production. AVI. Publishing Company, Inc. West Port. Connecticut. Irianto, G., Suwardjo dan I. Juarsah. 1986. Peranan pengelolaan tanah dan sisa tanaman terhadap erosi dan hasil jagung pada Ultisol Lampung. Dalam Pertemuan Teknis Penelitian Tanah . PPT. Balitbang. Deptan. Bogor. Langdale, G.W., W.C. Mills and A.W. Thomas. 1992. Use of conservation tillage to retard erosive effects of large storm. J. Soil and Water Cons. 47:257-260 Lembaga Penelitian Tanah. 1975. Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Eros Sistem Petak Kecil. Dok. LPT. 12/1975 Mirza, M. 1995. Kemungkinan penggunaan curah hujan untuk penetuan saat tanam padi di sawah tadah hujan. (hal 24 - 35). Prosiding dalam Seminar Sehari “Pemamfaatan Sumberdaya Iklim Dalam Pengembangan Pertanian Yang Efisien” Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) NTB dan Fakultas Pertanian Univeresitas Mataram. Notohadiprawiro, T.. 1988. Pembaharuan pandangan terhadap kedudukan lahan kering dalam pembangunan pertanian pangan yang terlanjutkan. Seminar Fakultas Pertanian UNISRI, Surakarta. Oldeman, R.L., L. Irsal, and Muladi (1980). The agro-climatic maps of Kalimantan, Maluku, Sukmana, S. dan D. Erfandi. 1988. Penelitian pengelolaan lahan berombak di Kuamang Kuning Jambi. Dalam Hasil Penelitian Pola Usahatani Terpadu di Daerah Transmigrasi Kuamang Kuning Jambi. PPK-PBLN-Puslittan. Bogor. Thompson, L.M. 1987. Soil and Soil Fertility. Mc. Grow-Hill Book Coy Inc. New York
611
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN KERING DI KEBUN KELAPA DENGAN USAHATANI PISANG Kasus di Sambelia Kabupaten Lombok Timur Prisdiminggo, Sri Hastuti S dan Bq. Tri Ratna Erawati Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Sebagian besar wilayah Sambelia didominasi oleh lahan kering dengan iklim tergolong kedalam tipe D3 dengan bulan basah antara 3 – 4 bulan dan bulan kering antara 8 – 9 bulan. Salah satu tanaman tahunan yang ditanam di lahan kering Sambelia adalah komoditas kelapa, hal ini mengingat letak Sambelia yang berada di pinggir pantai sehingga sesuai dengan syarat tumbuh pohon kelapa. Pada umumnya pohon kelapa ditanam dengan pola kebun monokultur dan rata-rata sudah berumur 25 tahun, sedangkan peremajaan belum dilakukan. Sejak gelar teknologi pisang oleh BPTP NTB yang dilaksanakan pada tahun 2003-2004, komoditas pisang mulai berkembang di Sambelia yang umumnya diusahakan dalam bentuk kebun monokultur. Namun demikian terdapat beberapa petani yang memanfaatkan lahan kering di bawah pohon kelapa dengan tanaman pisang. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis biaya dan keuntungan usahatani pisang di bawah pohon kelapa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2006 di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dengan beberapa petani. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan kriteria investasi Net B/C dan NPV. Dengan memperhitungkan umur produktif kelapa sampai umur 40 tahun maka diperoleh NPV dengan discount faktor 14 persen sebesar Rp 226.179.020/ ha/masa umur tanaman atau keuntungan usahatani tumpangsari kelapa pisang sebesar Rp 18.848.252/ha/tahun. Pola usahatani pisang di bawah pohon kelapa memperoleh net B/C sebesar 7,95. Dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa pengembangan pisang di Sambelia melalui optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa layak dilakukan yang ditunjukkan oleh kriteria investasi NPV > 0, dan Net B/C > 1. Kata kunci : kelapa, pisang, kelayakan, usahatani
PENDAHULUAN Sebagian besar wilayah Sambelia didominasi oleh lahan kering dengan iklim tergolong kedalam tipe D3 dengan bulan basah antara 3 – 4 bulan dan bulan kering antara 8 – 9 bulan (Puspadi, et. al, 2004). Salah satu tanaman tahunan yang ditanam di lahan kering Sambelia adalah komoditas kelapa, hal ini mengingat letak Sambelia yang berada di pinggir pantai sehingga sesuai dengan syarat tumbuh pohon kelapa. Pada umumnya pohon kelapa ditanam dengan pola kebun monokultur dan rata-rata sudah berumur 25 tahun, sedangkan peremajaan belum dilakukan. Sejak gelar teknologi pisang oleh BPTP NTB yang dilaksanakan pada tahun 2003-2004, komoditas pisang mulai berkembang di Sambelia yang umumnya diusahakan dalam bentuk kebun monokultur. Luas areal pisang di Sambelia saat ini sudah mencapai 250 Ha (Erawati, 2005). Dari hasil analisa yang dilakukan, pendapatan dari usahatani pisang yang diusahakan dalam kebun monokultur dapat mencapai Rp 28 juta/ha/ tahun atau rata-rata Rp 2,3 juta/bulan. Produksi pisang Nusa Tenggara Barat khususnya dari Kabupaten Lombok Timur selama ini untuk memenuhi permintaan pasar lokal (Pulau Lombok) dan permintaan luar daerah (Pulau Bali). Permintaan pisang baik dari Pulau Lombok maupun Bali cenderung meningkat. Areal tanaman kelapa di Sambelia pada tahun 2004 seluas 2.141 ha atau sekitar 14 persen dari luas areal kelapa di Kabupaten Lombok Timur (BPS Lombok Timur, 2004). Lahan di bawah pohon kelapa pada umumnya dibiarkan kosong dan ditumbuhi rumput dan semak-semak. Melihat keberhasilan usahatani pisang di Sambelia, beberapa petani kelapa mulai mencoba memanfaatan lahan di bawah kebunnya dengan tanaman pisang. Prospek permintaan pisang yang terus meningkat, kurangnya suplai pisang dan potensi lahan kering di dibawah tegalan kebun kelapa merupakan peluang untuk pengembangan pisang di Kabupaten Lombok Timur. Namun pertanyaannya, apakah optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa dengan usahatani pisang ini layak dilakukan dan menguntungkan? Artikel ini bertujuan menganalisis biaya dan keuntungan usahatani pisang di bawah tegalan pohon kelapa.
612
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2006 di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dengan beberapa petani. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan kriteria investasi Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Net Present Value (NPV) (Kadariah, et. al, 1978 dan Gittinger, 1986). Net B/C adalah suatu ukuran kelayakan investasi dengan membagi arus penerimaan (benefit) dan arus biaya (cost) selama umur produksi yang telah didiscount dengan tingkat bunga yang berlaku, NPV merupakan perbedaan antara penerimaan (benefit) dengan biaya selama umur investasi yang telah didiscount.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Usahatani Luas pengusahaan kelapa oleh petani di Sambelia rata-rata sekitar 1 ha. Komoditas kelapa pada umumnya diusahakan dengan pola kebun monokultur, beberapa ditanam dalam kebun campuran dengan tanaman tahunan lainnya atau ditanam di pekarangan. Kelapa yang dikelola petani pada kebun monokultur ditanam dengan jarak tanam 8 x 8 meter. Pada umumnya pola pemeliharaan tanaman kelapa kurang intensif. Setelah kelapa ditanam dan berproduksi, pemeliharaan yang dilakukan hanya sebatas pada sedikit pemupukan (pada umumnya tidak dipupuk) dan pemangkasan dahan yang sudah kuning atau kering yang dilakukan pada saat panen setiap bulan atau dua bulan sekali. Lahan di bawah pohon biasanya kelapa dibiarkan tidak dibersihkan sehingga ditumbuhi rumput dan semak-semak. Pohon kelapa yang tumbuh di Sambelia pada saat ini rata-rata sudah berumur 25 tahun. Menurut informasi yang diperoleh, umur produktif kelapa dapat mencapai 40 tahun. Hal ini berarti umur produktif kelapa di Sambelia masih tersisa sekitar 15 tahun. Pemasaran kelapa relatif mudah, pedagang pengumpul secara rutin datang untuk membeli kelapa yang sudah siap dipanen dari petani. Untuk panen dan pemasaran kelapa, petani tidak mengeluarkan biaya sama sekali. Pembeli atau pedagang pengumpul membeli kelapa yang masih di pohon dan biaya panen ditanggung oleh pembeli. Permasalahan yang dirasakan oleh petani dalam pemasaran kelapa adalah rendahnya harga kelapa. Penanaman pisang diantara pohon kelapa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penjarangan dan tanpa penjarangan pohon kelapa, namun demikian cara pertama lebih banyak diterapkan oleh petani. Sebelum pisang ditanam, dilakukan penjarangan pohon kelapa yaitu setiap dua baris pohon kelapa dikurangi satu baris sehingga terdapat cukup ruang untuk menanam pisang. Jarak tanam pisang dalam satu baris sekitar 4 meter. Jenis pisang yang banyak diusahakan petani di Sambelia adalah pisang susu, raja, ketip, kepok dan kapal. Diantara jenis pisang ini pisang susu dan pisang raja yang paling mahal harganya. Tahap pertama dalam penanaman pisang dimulai dengan pembersihan lahan, diikuti dengan pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk kandang, penanaman dan pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi pemupukan, pemangkasan, penyiangan dan pengairan. Pemberian pupuk dilakukan 2 kali dalam setahun, sedangkan pengairan dilakukan pada musim kemarau sekali sebulan. Dari literatur yang ada dan pengalaman petani di Sambelia, umur produktif pisang 3 tahun. Setelah itu tanaman pisang harus diremajakan kembali. Pisang setelah berumur 8-9 bulan mulai berbuah dan dipanen. Panen pertama sebanyak satu tandan/rumpun. Panen kedua dilakukan 3-4 bulan setelah panen pertama, sehingga pada tahun pertama produksi pisang baru satu tandan/rumpum. Tahun kedua merupakan puncak produksi, panen pisang setiap bulan rata-rata satu tandan/rumpun. Sementara itu untuk tahun ketiga produksi pisang mulai menurun dan rata-rata panen setiap dua bulan sekali sebanyak satu tandan/rumpun. Seperti halnya pemasaran kelapa, pemasaran pisang di Sambelia relatif mudah. Pedagang pengumpul setiap hari keliling desa untuk membeli pisang yang sudah siap panen. Biasanya panen dilakukan oleh pedagang pengumpul sehingga petani tidak mengeluarkan biaya panen. Harga jual pisang di tingkat petani berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 25.000 per tandan tergantung dari jenis dan besar kecilnya pisang. Jenis pisang yang paling murah antara lain pisang kapal dan yang harganya tinggi yaitu pisang susu, raja dan kepok. Berdasarkan sisa umur produktif kelapa dan umur produktif pisang, analisa usaha dalam tulisan ini dilakukan selama 12 tahun (Tabel Lampiran 1 dan 2). Rata-rata produksi dan pendapatan usahatani kelapa monokultur dan tumpangsari kelapa/pisang per hektar per tahun disajikan pada Tabel 1.
613
Tabel 1. Analisa Usahatani Monokultur Kelapa dan Tumpangsari Kelapa/Pisang per Hektar per tahun di Sambelia, 2006
No.
Uraian
Populasi : - Kelapa - Pisang 2. Produksi : - Kelapa - Pisang - Bibit pisang 3. Penerimaan1) : - Kelapa - Pisang - Bibit pisang Total penerimaan 4. Biaya1) 5. Pendapatan1) 6. Net B/C Keterangan : 1) df 14 %
Satuan
Monokultur Kelapa
Tumpangsari Kelapa/Pisang
1.
Pohon Rumpun Butir Tandan Pohon Rp Rp Rp Rp Rp Rp
126 -
73 500
3.545 -
4.363 3.167 3.000
1.006.183 1.006.183 354.140 652.043 2,84
1.029.144 19.535.689 994.863 21.559.696 2.711.444 18.848.252 7,95
Analisa Biaya dan Keuntungan Analisa usahatani monokultur kelapa dan tumpangsari kelapa/pisang selama 12 tahun disesuaikan dengan sisa umur tanaman kelapa. Meskipun pada umumnya pola pemeliharaan kelapa sangat sederhana, namun untuk keperluan tulisan ini analisa usahatani kelapa dilakukan untuk kebun kelapa dengan pola pemeliharaan semi intensif artinya sudah dilakukan pemupukan dan penyiangan meskipun belum sesuai dengan teknologi rekomendasi. Rata-rata kelapa yang dianalisa sudah berumur 25 tahun, sehingga dalam analisa tidak ada input bibit. Komponen biaya usahatani kelapa terdiri dari biaya saprodi, alat, biaya lain dan biaya tenaga kerja. Biaya saprodi merupakan biaya pupuk (pupuk kimia) dan pestisida, biaya alat umumnya dikeluarkan setiap 5 tahun sekali sesuai dengan umur ekonomis alat, sedangkan biaya lain berupa pajak bumi. Tenaga kerja hanya digunakan untuk penyiangan dan pemupukan, biaya tenaga kerja panen dikeluarkan oleh pembeli. Seperti halnya usahatani kelapa, komponen biaya usahatani tumpangsari kelapa/pisang terdiri dari biaya saprodi, alat, biaya lain dan tenaga kerja. Bedanya komponen penyusun biaya usahatani tumpangsari kelapa/pisang lebih banyak karena pemeliharaan kebun kelapa lebih intensif setelah ada tanaman pisang. Saprodi usahatani kelapa/pisang terdiri dari bibit (setiap 3 tahun sekali), pupuk (pupuk kandang dan pupuk kimia), dan herbisida. Alat yang digunakan selain cangkul, sabit dan batu asah, adalah mesin pompa air untuk penyiraman pada musim kemarau. Biaya lainnya terdiri dari pajak bumi dan biaya bahan bakar untuk mesin air. Biaya tenaga kerja digunakan untuk persiapan lahan, pembuatan lubang, penanaman, pemupukan, pengairan, penyiangan dan pemangkasan. Secara teoritis pendapatan bersih usahatani dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) produksi per hektar, (2) harga jual, dan (3) biaya produksi. Pada usahatani kelapa, komponen biaya relatif kecil, dengan demikian keuntungan petani sangat ditentukan oleh tingkat produksi dan harga jual. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pada kondisi awal yaitu pola tanam monokultur kelapa, jumlah populasi kelapa rata-rata 126 pohon/ha dengan produksi rata-rata 3545 butir/ha/tahun. Setelah dilakukan penjarangan dan ditumpangsarikan dengan pisang, populasi kelapa menjadi 73 pohon/ha dan produksi kelapa meningkat menjadi 4363 butir/ha/tahun. Berarti terjadi peningkatan produktivitas kelapa dari 28 butir/pohon/tahun menjadi 60 butir/pohon/tahun. Peningkatan produktivitas kelapa ini sebagai dampak dari pemeliharaan kebun yang lebih intensif melalui pemupukan, penggemburan tanah dan pengairan. Dengan peningkatan produktivitas kelapa, pada tingkat harga yang relatif sama maka penerimaan petani dari usahatani kelapa akan meningkat. Penerimaan petani rata-rata dari kebun kelapa sebanyak Rp 1.006.183/ha/tahun, biaya yang dikeluarkan Rp 354.140/ha/tahun sehingga pendapatan petani kelapa Rp 652.043/ha/tahun. Setelah dilakukan penanaman pisang, produksi kebun kelapa bertambah menjadi kelapa, pisang dan bibit pisang. Perubahan pola tanam ini meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan, tetapi juga sekaligus meningkatkan penerimaan dan pendapatan petani. Jumlah penerimaan usahatani kelapa/pisang rata-rata Rp 21.559.696/ha/tahun, biaya yang dikeluarkan Rp 2.711.444/ha/tahun dan pendapatan (NPV) Rp 18.179.218/ ha/tahun atau Rp 1.570.688/ha/bulan, nilai net B/C 7,95.
614
Perubahan pola tanam dari monokultur kelapa menjadi tumpangsari kelapa/pisang mempunyai potensi untuk meningkatkan pendapatan wilayah. Dengan areal kelapa di Kecamatan Sambelia seluas 2.141 ha, dan apabila perubahan pola tanam dilakukan pada setengah dari luas areal tersebut, maka potensi peningkatan pendapatan wilayah mencapai sekitar Rp 20,2 milyar/tahun.
KESIMPULAN 1.
Perubahan pola tanam dari monokultur kelapa menjadi tumpangsari pisang meningkatkan produktivitas kelapa dan meningkatkan pendapatan petani.
2.
Optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa layak dilakukan yang ditunjukkan oleh kriteria investasi NPV > 0, dan Net B/C > 1.
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Lombok Timur. 2004. Lombok Timur Dalam Angka. Erawati, B.T.R. 2005. Success Story : Gelar Teknologi Budidaya Pisang Sebagai Metode Efektif Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin di Lahan Marginal (Kasus Desa Labu Pandan, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur). Makalah tidak dipublikasikan. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerjemah : Slamet Suseno dan Komet Mangiri. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. LPEM-FE Universitas Indonesia. Jakarta. Puspadi, K., Yohanes, G.B., I.M. Wisnu, Prisdiminggo, Sri Hastuti, Sasongko, W.R., Kukuh Wahyu, Arief Surahman. 2004. Laporan PRA : Analisis Agro-Ekosistem Lahan Kering Untuk Perbaikan Pendapatan Petani Miskin. Buku I. BPTP NTB.
615
Lampiran 1. Arus Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kelapa Monokultur di Sambelia, 2006 Uraian
Satuan
Tahun 1
2
3
4
A. Biaya: 1. Bahan-bahan - Cangkul Rp/ha 60000 0 0 0 - Parang Rp/ha 20000 0 0 0 - Batu asah Rp/ha 10000 10000 10000 10000 - Urea 95455 95455 95455 95455 - KCl 181818 181818 181818 181818 - Herbisida 190909 190909 190909 190909 - Pajak 62000 62000 62000 62000 2. Tenaga kerja Rp/ha 177273 177273 177273 177273 3. Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 Total biaya Rp/ha 797455 717455 717455 717455 B. Penerimaan 1. Kelapa Rp/ha 2127273 2127273 2127273 2127273 2. Sisa tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 Total Penerimaan Rp/ha 2127273 2127273 2127273 2127273 C. Keuntungan Rp/ha 1329818 1409818 1409818 1409818 D. Discount Factor (14%) 0,14 0,87719 0,76947 0,67497 0,59208 E. Present Value 1. PV(Benefit) Rp/ha 1866029 1636867 1435848 1259516 2. PV(Cost ) Rp/ha 699522 552058 484261 424791 3. NPV Rp/ha 1166507 1084809 951587 834726 Penghitungan Tambahan Modal Kerja a) Biaya operasional Rp/ha 620182 540182 540182 540182 b) Tambahan biaya operasional Rp/ha -80000 0 0 0 c) Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 Keterangan: a) Semua pengeluaran b) Penambahan negatif berarti tidak ada penambahan modal kerja c) Penulisan kembali b) dengan mengganti yang negatif menjadi nol.
Ringkasan : 1. PV(B) 2. PV(C ) 3. NPV 4. BCR
5
6
7
8
9
10
11
12
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
60000 20000 10000 95455 181818 190909 62000 177273
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
60000 20000 10000 95455 181818 190909 62000 177273
0 0 10000 95455 181818 190909 62000 177273
80000 797455
0 797455
0 717455
0 717455
0 717455
80000 797455
0 797455
0 717455
2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 0 0 0 0 0 0 0 160000 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2287273 1329818 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1569818 0,51937 0,45559 0,39964 0,35056 0,30751 0,26974 0,23662 0,20756 1104839 414173 690666
969157 363310 605847
850138 286722 563416
745735 251510 494225
654153 220623 433530
573819 215108 358710
503350 188692 314658
474744 148914 325830
540182
620182
540182
540182
540182
540182
620182
540182
80000
-80000
0
0
0
80000
-80000
0
80000
0
0
0
0
80000
0
0
Rp/ha 12074195 4249683 7824511 2,84
616
Lampiran 2. Arus Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Tumpangsari Kelapa/Pisang di Sambelia, 2006 Uraian
Satuan
Tahun 1
2
3
4
A. Input: 1. Bahan, alat, lainnya - Urea Rp/ha 160500 160500 160500 160500 - Pupuk kandang Rp/ha 2238636 2238636 2238636 2238636 - KCl Rp/ha 363636 363636 363636 363636 - Herbisida 190909 0 0 190909 - Pengairan 147273 147273 147273 147273 - Pajak 62000 62000 62000 62000 - Bibit Rp/ha 640909 0 0 0 - Cangkul Rp/ha 60000 0 0 0 - Parang Rp/ha 20000 0 0 0 - Batu asah Rp/ha 10000 10000 10000 10000 - Mesin air Rp/ha 1500000 0 0 0 2. Tenaga Kerja Rp/ha 670455 329545 329545 670455 3. Keuntungan "usaha kelapa" Rp/ha 1329818 1409818 1409818 1409818 4. Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 531818 0 Total Biaya Rp/ha 7394136 4721409 5253227 5253227 B. Output: 1. Kelapa Rp/ha 2181818 2181818 2181818 2181818 2. Pisang Rp/ha 6772727 81272727 40636364 6772727 3. Bibit pisang 0 3390000 3390000 0 4. Sisa tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 Total Penerimaan Rp/ha 8954545 86844545 46208182 8954545 C. Keuntungan (incremental) Rp/ha 1560409 82123136 40954955 3701318 D. Discount Factor (14%) 0 0,87719 0,76947 0,67497 0,59208 E. Present Value 1. PV(B) Rp/ha 7854864 66824058 31189207 5301810 2. PV(C ) Rp/ha 6486085 3632971 3545779 3110332 3. NPV Rp/ha 1368780 63191087 27643428 2191477 Penghitungan Tambahan Modal Kerja a) Biaya operasional Rp/ha 6064318 3311591 3311591 3843409 b)Tambahan biaya operasional Rp/ha 2752727 0 531818 -531818 c)Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 531818 0 Keterangan : a) Semua pengeluaran b) Tambahan negatif berarti tidak ada tambahan modal kerja c) Penulisan kembali b) dengan mengganti yang negatif menjadi nol. Ringkasan :
1. PV(B) 2. PV(C ) 3. NPV 4. BCR
5
6
7
8
9
10
11
12
160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 0 0 190909 0 0 190909 0 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 60000 0 0 0 0 60000 0 0 20000 0 0 0 0 20000 0 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 0 1500000 0 0 0 1500000 0 0 329545 329545 670455 329545 329545 670455 329545 329545 1329818 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1569818 1580000 0 0 0 1840909 0 0 0 6221409 6221409 5253227 4721409 6562318 6482318 4912318 4881409 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 81272727 40636364 6772727 81272727 40636364 6772727 81272727 40636364 3390000 3390000 0 3390000 3390000 0 3390000 3390000 0 0 0 0 0 0 0 2904545 86844545 46208182 8954545 86844545 46208182 8954545 86844545 49112727 80623136 39986773 3701318 82123136 39645864 2472227 81932227 44231318 0,51937
0,45559 0,39964
0,35056
0,30751 0,26974
0,23662
0,20756
45104336 21051826 3578571 30444142 14209383 2415433 20548929 10193794 3231205 2834390 2099386 1655133 2017965 1748565 1162340 1013181 41873131 18217436 1479185 28789009 12191418 666868 19386589 9180613 3311591 4891591 3843409 3311591 3311591 5152500 3582500 3311591 1580000 -1048182 -531818 0 1840909 1570000 -270909 -3285591 1580000
0
0
0 1840909
0
0
Rp/ha
258716351 32537331 226179020 7,95
617
0
PENINGKATAN INTENSITAS TANAM PADA LAHAN KERING DENGAN POLA TANAM YANG TEPAT UNTUK MENGURANGI RESIKO KEGAGALAN PANEN DI NUSA TENGGARA BARAT Muhammad Zairin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominan type iklim D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan komoditas yang sesuai dengan agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam tumpangsari (intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan dalam memanfaatkan lahan kering di NTB. Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok untuk ketiga faktor tersebut diperlukan strategi: (1) memanfaatkan curah hujan dengan komoditas yang cocok yang dapat ditanam dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam), (2) pemilihan komoditas yang cocok, dan (3) penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi iklim dan tanah yang ada. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan pola tumpangsari dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan meningkatkan produksi 2-3 kali dibanding dengan pola monokultur. Disamping itu dengan pola tumpan gilir dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali menjadi dua kali. Hasil yang dicapai di Lombok Timur pada pola (jagung + kacang hijau/kacang hijau), diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha, kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha. Sedangkan di Labangka Kabupaten Sumbawa tumpang gilir ( Jagung /kacang hijau), jagung Bisma memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal: 0,95 t/ha, meningkatkan pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha, B/C ratio 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha, B/C 1,89. Hasil yang dicapai ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul baru Lamuru yang tahan kering, berumur genjah (95 hari) dengan hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP NTB, 2004). Dengan demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga pendapatan petani pada lahan kering meningkat 2-3 kali lipat. Kata kunci: lahan kering, tumpangsari, intensitas tanam, produktivitas, NTB.
PENDAHULUAN Seiring dengan semakin meningkatnya pembangunan dan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah lahan sawah yang beralih fungsi tiap tahunnya di Indonesia mencapai puluhan ribu hektar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan sulit mengandalkan lahan sawah yang tingkat produktivitasnya mengalami stagnasi, sehingga mengharuskan pemanfaatan lahan kering dan lahan tadah hujan secara optimal. Kebutuhan serealia (padi, kedelai dan jagung) dalam periode 1988 – 2000 akan mencapai 142% (Balitkabi, 1997). Berdasarkan arahan tataruang penggunaan lahan untuk tanaman semusim di Indonesia luasnya mencapai 24.526.100 ha, tanaman tahunan 50.936.639 ha dan peternakan 503.952 ha (Puslitbangtanak, 2001). Pemberdayaan lahan kering mempunyai alasan yakni: (1) wilayah lahan kering cukup luas; (2) dapat mencukupi sebagian besar komoditi andalan; (3) mempunyai potensi keanekaragaman komoditi yang lebih besar; dan (4) teknologi lahan kering cukup tersedia (Utomo, 2002). Potensi lahan kering di luar Jawa cukup besar mencapai 35,5 juta hektar untuk jagung dan kedelai dengan hambatan ringan sampai sedang. Sedang untuk areal untuk pengembangan palawija dan padi gogo mencapai sekitar 5,1 juta hektar. Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan luas wilayah seluruhnya 2.015.315 ha yang terdiri dari Pulau Lombok seluas 470.010 ha dan Pulau Sumbawa 1.545.305 ha. Luas lahan kering di NTB 1.814.340 ha, sebagian besar terletak di P. Sumbawa dan beberapa tempat di Pulau Lombok (Bappeda Propinsi NTB, 2003). Berdasarkan faktor iklim/curah hujan serta bulan basah dan kering Oldeman (1980) membagi tipe iklim NTB menjadi beberapa tipe yaitu type C3, D3, dan D4. Pulau Sumbawa yang didominasi oleh tipe iklim D3 dan D4, Sumbawa Barat termasuk tipe iklim C3 (4-5 bulan basah dan bulan kering lebih dari 6 bulan). Musim hujan dimulai bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret kadang-kadang hujan turun agak terlambat yaitu pada bulan Desember. Kendala dalam pemanfaatan lahan kering antara lain ketersediaan air terbatas, kesuburan tanah sangat rendah dan priode musim hujan pendek dan tidak menentu. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dengan hasil rendah. Utomo (2002) menyatakan bahwa (1) lahan kering sangat tergantung pada iklim; (2) topografi umumnya tidak datar; (3) lapisan olah tanah dangkal; (4) rentan
618
degradasi (erosi); (5) sistem Usaha tani beragam; (6) pertanian ekstensif; (7) etnis beragam; (8) terpencil karena imfrastruktur buruk; (9) penduduk umumnya relatif miskin; (10) status kepemilikan rumit; dan (11) intervensi pemerintah dalam hal penyuluhan dan kredit kurang Menurut Ma‟shum (1997) pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominasi type iklim D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan komoditas yang sesuai dengan agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam tumpangsari (intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan dalam memanfaatkan lahan kering di NTB. Pemilihan Komoditas dan Pola Tanam Untuk tanaman pangan utama yang menjadi dasar pola usahatani adalah jagung (Maize based Cropping System), (Balitkabi, 1993). Varietas jagung yang dianjurkan adalah yang berumur genjah dan tahan kering adalah Lamuru atau varietas unggul lain. Demikian pula kacang hijau yang mempunyai potensi hasil tinggi seperti Kenari atau Murai yang merupakan varietas yang berumur genjah dan beradaptasi dengan baik di NTB. Pemilihan varietas dan jenis tanaman kacang hijau sebagai tanaman yang ditumpangsarikan atau disisip pada tanaman basis jagung karena memiliki beberapa kelebihan. Menurut Kasno (1990) kelebihan tersebut adalah dari agronomis dan ekonomis yaitu tahan terhadap kekeringan, berumur genjah (dapat dipanen pada umur 55 - 60 hst), cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah, hama dan penyakit relatif sedikit, tumbuh baik di tanah yang kurang subur atau pada sembarang, jenis tanah yang drainasenya kurang baik, cara budidaya mudah, resiko kegagalan panen scara total kecil dan harga jual relatif tinggi dibanding kacang-kacangan lainnya. Tanaman pangan yang banyak diusahakan di lahan kering di NTB adalah kacang hijau seluas 47.114 ha, diantaranya 36.862 ha terdapat di Sumbawa dengan produksi 0,76 t/ha, dan jagung luas arealnya 31.217 ha, 8.407 ha diantaranya terdapat di Sumbawa dengan produksi yang dicapai 2,0 t/ha (BPS, 2003). Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai berkurang (Februari - Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Februari - Nopember). Kondisi alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk) dengan tingkat pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani lahan kering sebagian besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997). Pengaturan pola tanam secara tumpang sari atau relay kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dan memberikan kepastian panen pada lahan kering. Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok untuk ketiga faktor tersebut diperlukan strategi. Strategi pertama adalah memanfaatkan curah hujan, hari hujan serta periode hujan selama musim hujan (Nopember - Maret) dengan komoditas yang cocok yang dapat ditanam dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam ). Strategi kedua adalah pemilihan komoditas yang cocok. Keberhasilan produksi tanaman di lahan kering sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim curah hujan (intensitas, frekuensi). Jadi selain penanaman yang dilakukan di suatu lokasi perlu ditinjau dari segi pencapaian produktivitas yang ditentukan oleh kondisi iklim, tanah (Pariera, 1983 dalam Wangiyana, 1995). Strategi ketiga adalah penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi dengan iklim dan tanah yang ada. Pemilihan varietas yang berumur genjah dan cara tanam tumpang sisip/gilir memungkinkan untuk tanam dua kali setahun Pemanfaatan Lahan Kering Dalam pemberdayaan atau pemanfaatan lahan kering tidak mudah karena mempunyai beberapa kendala baik aspek teknis, sosial ekonomi, kelembagaan dan aspek lainnya yang turut mempengaruhi keberhasilan pengembangan suatu wilayah untuk pertanian. 1.
Aspek Teknis
Strategi peningkatan produksi tanaman pangan pada lahan kering dengan memperhatikan keadaan lahan, topografi, jarak dari pusat konsumen dan sarana angkutan, maka strategi penanaman tanaman pangan tidak perlu seragam untuk semua wilayah (Bahar, 1987)
619
a.
Menanam tanaman yang sesuai dengan lingkungan tumbuh dan dikenal oleh masyarakat tani karena: (1) lebih mudah melakukan perbaikan cara budidayanya karena lingkungan telah banyak membantu kita, masyarakat sudah mengenal; (2) perlu diperhatikan, pengaruh komoditi yang dipilih terhadap kelestarian lingkungan, apabila dianggap perlu dapat dilakukan perbaikan atau penyesuaian, sehingga tercipta konservasi lahan dan air; (3) bentuk panen dan daya simpan, dijadikan dasar penentu komoditi yang ditanam di lokasi yang jauh dari pusat pemasaran dan atau sarana angkutan yang mahal. Hasil panen yang tidak tahan lama disimpan ditanam dekat pusat konsumen.
b.
Mengatur pola tanam untuk memperkecil resiko kegagalan panen, akibat cekaman lingkungan biotik dan abiotik pada lokasi tertentu, misalnya dengan pola tumpangsari atau tumpang gilir, memilih tanaman yang toleran terhadap kurang hujan sehingga akan memperbesar peluang panen dan mengatur perubahan cara tanam, cara pengolahan tanah, dan waktu tanam (misalnya sistim gogo rancah).
c.
Menanam tanaman yang memenuhi persyaratan no.1 dan 2 yang ditujukan untuk pasar: (1) komoditi yang ditanam harus berskala ekonomi besar, yang ada kepastian pembelinya; (2) seringkali terjadi hasil panen melimpah harga turun karena tidak ada jaminan pasar; (3) perubahan bentuk dapat meningkatkan nilai komoditi, bahkan dapat disimpan lebih lama akan berperan mempertahankan tingkat harga yang wajar.
d.
Memasukan komponen ternak ke dalam pola tanaman pangan akan memperbesar pendapatan petani, pemanfaatan limbah hasil pertanian untuk pakan ternak. Limbah dijadikan kompos untuk kesuburan tanah, proses pemanfaatan limbah memperluas lapangan kerja dan memberi tambahan pendapatan.
Dalam konsep pertanian yang tangguh dan produksi yang lumintu (sustainable) untuk menjawab tantangan masa kini maupun yang akan datang, maka pengembangan suatu wilayah pertanian harus memperhatikan tiga gatra secara terpadu (Darwis dan Satari, 1978 dalam Wahid., et al, 1993), yaitu: (1) gatra produktivitas: setiap paket teknologi yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi dan karakteristik bio-fisik (agroekosistem); (2) gatra ekonomi: layak dan menguntungkan tanpa mengabaikan azas kemertaan; dan (3) berwawasan ekonomi lingkungan: setiap input dan teknologi yang diterapkan tidak terganggu kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan sumberdaya. Ketiga gatra dan konsep di atas sangat relevan dalam pengembangan lahan kering di NTB sebagai salah satu Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan karateristik lahan yang beragam dan relatif sensitif serta kondisi sosial ekonomi yang memerlukan penanganan lebih dan spesifik pula. Dalam kaitan ini konsep pendekatan ekoregion dan lokal spesifik lebih tepat untuk diterapkan (Las., et al., 1992), yaitu dengan melakukan 3 pendekatan beruntun terhadap 3 gatra yakni: (1) potensi dan karateristik bio-fisik (iklim, tanah, dan genetik); (2) sosial ekonomi (internal dan ekternal) dan sistem usahatani tradisional dan eksisting; (3) konservasi dan kelestarian sumberdaya pertanian. Pengelolaan tanaman harus diawali dengan pemilihan komoditi yang berprospek pasar dan cocok untuk kawasan tertentu dan dikelola dengan sistem pertanian berkelanjutan (Utomo, 2002) pada lahan kering diantaranya pergiliran tanaman, tanaman sela, tumpangsari (multiple cropiping). Selanjutnya dikataakan bahwa dalam pengelolaan lahan kering yang menjadi pokok adalah: (1) pertanian (dalam arti luas termasuk tanaman pangan) harus lebih produktif dan efisien; (2) terjadinya proses biologi in situ harus lebih berperan; dan (3) daur ulang hara internal lebih diprioritaskan. 2.
Aspek Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Pada lahan kering beberapa aspek sosial ekonomi yang ditemukan, penguasan lahan relatif sempit (0,5 ha) dan belum bersertifikat, disamping itu adanya perladangan berpindah sehingga terjadi lahan kritis yang menyulitkan pengelolaan lahan kering. Pendidikan petani relatif rendah sehingga berpengaruh terhadap penyerapan/adopsi teknologi yang rendah pula. Dari aspek ekonomi modal petani rendah bahkan tidak mempunyai modal usahatani (Baharudin, 2005). Untuk penyampaian informasi atau inovasi baru diperlukan dukungan lembaga penyuluhan untuk menyampaikan informasi/teknologi dari lembaga penelitian kepada petani (Baharudin, 2005). Di NTB keadaan ini sekarang sangat memprihatikan karena penyuluh pertanian kurang berfungsi secara optimal bahkan di beberapa kabupaten fungsi penyuluhan sudah tidak berjalan sebagai mana biasanya. Disamping itu kelembagaan yang cukup berperan dalam pengembangan lahan kering adalah: (1) lembaga agribisnis/pertanian; (2) lembaga industri, perdagangan dan keuangan; (3) lembaga koperasi dan PKM;, (4) lembaga pendidikan dan sosial-kemasyarakatan; (5) kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah; dan (6) lembaga hubungan kemasyarakatan (Bappeda Propinsi NTB, 2003).
620
3.
Aspek Dukungan Penelitian
Pembangunan pada umumnya tidak terlepas dari iptek sebagai pedoman yang memberikan arahan untuk merencanakan dan mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan sesuai dengan perioritas yang telah disusun. (Gunadi, 2002) menyatakan bahwa pembangunan di bidang iptek memiliki dua dimensi, yakni sebagai sarana untuk mendukung pembangunan nasional dan sebagai sasaran pembangunan, yang dipadukan dalam pembangunan nasional yang bertumpu pada Sistim Inovasi Nasional (SIN) yang mencakup pilar-pilar utama seperti sumberdaya manusia, teknologi dan modal. Fokus utama dalam interaksi tersebut adalah kegiatan-kegiatan seperti adopsi, adaptasi teknologi baru, inovasi, dan difusi teknologi, perekayasaan, dan invensi baru yang kesemuanya diarahkan untuk menjadikan iptek sebagai tiang utama dalam menumbuhkan daya saing industri dan masyarakat secara keseluruhan. Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara khususs memfokuskan pembangunan iptek nasional melalui empat strategi, yaitu: (1) peningkatan iptek dunia usaha; (2) diseminasi informasi teknologi; (3) peningkatan kapasitas pengembangan kemampuan sumberdaya iptek; dan (4) peningkatan kemandirian dan keunggulan iptek. Sumber daya buatan yang sangat diperlukan dalam pengembangan lahan kering di NTB: (1) prasarana pengairan/irigasi; (2) sarana dan prasarana agribisnis pertanian; (3) teknologi produksi pertanian; (4) sarana dan prasarana industri, perdagangan dan keuangan; (5) Sarana dan prasarana listrik dan air bersih; (6) sarana dan prasarana perhubungan, komunikasi dan pariwisata; (7) sarana dan prasarana Aparatur Pemerintah. 4.
Dukungan dan Kebijakan Pola Tanam
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam lahan kering di propinsi Nusa Tenggara Barat (Samodra, 2002): (1) mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi; (2) meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan; (3) mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kempentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang; (4) menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Keuntungan menerapkan pola tanam tumpangsari (intercropping) atau multi cropping (Bahar, 1987) adalah: (1) mengurangi resiko kegagalan produksi/panen; (2) peningkatan produksi secara keseluruhan, penggunaan tenaga kerja lebih efisien dgn tersebar kegiatan sepanjang tahun; (3) efisiensi penggunaan. tanah,air dan sinar matahari sbg sumber daya alam; (4) pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan karena adanya tanaman sepanjang tahun; (5) mencegah sistim pertanian berpindah-pindah, (6) pengendalian gulma (dengan pola tanam tidak memberi kesempatan tumbuhnya gulma; dan (7) memperbaiki gizi keluarga petani yang diperoleh dari berbagai tanaman. Dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan kering di NTB, perlu dilakukan penerapan pola tanam yang tepat, salah satunya adalah dengan pola relay planting (Sub Base Sandubaya Badan Litbang, 1989). Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai berkurang (Februari - Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Aprili - Nopember). Kondisi alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk) dengan tingkat pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani lahan kering sebagian besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997). Pengaturan pola tanam secara tumpang gilir kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam. Hasil penelitian yang telah dicapai di Lombok Timur pada pola (Jagung + kacang hijau/kacang hijau), jarak tanam jagung (200 x40 cm) dan kacang hijau pertama dan kedua (40 x 20 cm). Jagung dipupuk dengan 250 kg, 100 kg TSP dan KCl 50 kg/ha, kacang hijau pertama dan kedua dipupuk dengan:50-50-50 kg/ha. Diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha, kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha menggunakan varietas Walet (Zairin, M., dkk, 1994). Di Labangka Kabupaten Sumbawa pada MH.1997/1998 tumpang gilir (Jagung/kacang hijau). Jagung Bisma memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal:0,95 t/ha, meningkatkan
621
pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha, B/C 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha, B/C 1,89. Hasil kajian tahun 1998/1999 dengan relay kacang hijau pada jagung, pendapatan petani Rp. 1.359.800 dan total pendapatan setahun mencapai Rp. 2.274.014 dibanding petani tanpa relay Rp. 558.674. Hasil yang dicapai ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul baru Lamuru yang tahan kering, berumur genjah (100 hari) dengan potensi hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP NTB, 2004). Dengan demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga pendapatan petani pada lahan kering meningkat 3-4 kali lipat. Rendahnya produksi yang dicapai petani karena teknologi budidaya yang belum baik, menggunakan varietas lokal, serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan yang cukup banyak permintaannya diperlukan suatu teknologi baru, diantaranya perbaikan teknologi budidaya, jarak tanam, varietas unggul baru yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi guna meningkatkan produksi dan pendapatan petani, melalui penerapan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat setempat (spesifik lokasi).
409,8 373
400 300
237,5
363
251
200
114,5 119,2
100
Okt Pola tanam 1 Monokultur 2
Pola tanam Tumpang sisip
Nop
Des
Jan
Feb
Mart
Apr
Mei
Juni
Jagung
Bero
Bero
Kacang hijau
Juli
Agst
Bero
Jagung Kacang hijau
Gambar 1:
Hubungan curah hujan dan pemanfaatan intensitas tanam monokultur dan intensitas tanam tumpang sisip di Labangka Sumbawa, MH 1997/1998.
Hasil kegiatan merupakan review dari tiga tahap pengkajian yaitu pada tahun 1994 di P. Lombok , pada tahun 1997 dan pada tahun 1998, kedua terakhir di lokasi Labangka Kecamatan Plampang Sumbawa. Hasil kajian di Lombok Timur menunjukkan bahwa tanaman kacang hijau varietas Walet yang ditanam relay dengan jagung mencapai produksi 0,85 t/ha sedangkan yang ditanam dengan tumpang sari produksi hanya mencapai 0,35 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tumpang sisip lebih tinggi dibandingkan tumpangsari (Zairin dkk, 1994). Hasil kajian tahun 1997 di Labangka dan Empang Sumbawa memberikan hasil bahwa produksi kacang hijau 0,9 t/ha (varietas Samsik) jagung Bisma 3,75 t/ha keuntungan petani Rp. 3.798.922,- B/C: 2,26. Sedangkan pada intensitas tanam sekali tanaman jagung diperoleh pendapatan bersih Rp. 783.922, B/C 1,89, dan pada intensitas tanam sekali kacang hijau diperoleh produksi 0,4 t/ha, dengan pendapatan bersih Rp. 1.158.000, B/C 1,64 (Wahid, dkk. 1998). Hasil kajian tahun 1998 memberikan hasil seperti Tabel 3 berikut ini.
622
Tabel 3. Analisa Usahatani Jagung Komposit Bisma Monokultur, dan Tumpang Sisip Kacang Hijau di Dalam dan Luar Hamparan Pengkajian (UHP & LUHP) pada MH 98/99. No 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Produksi t/ha Penerimaan Rp/ha Total biaya Rp/ha Keuntungan Rp/ha R/C
UHP Tumpang sisip Jagung Bisma Kacang Hijau 2,045 5,8 1.738.250 1.750.800 821.036 394.000 917.214 1.356.800 2,1 1,3
LUHP Monokultur Jagung Bisma 1.553 1.320.050 761.376 558.674 1,7
Produksi jagung pada sistem tumpang sisip memberikan hasil 2,04 t/ha dengan keuntungan Rp. 917.214/ha, R/C 2,1. Disamping itu produksi kacang hijau yang diperoleh adalah 0,58 t/ha dengan keuntungan Rp. 1.356.800,- R/C 1,3. Pada sistem tumpang sari ini pendapatan petani setahun dapat mencapai (Rp. 917.214 + Rp. 1.356.800) = Rp. 2.274.014. Sedangkan dibandingkan petani monokultur jagung dengan intensitas sekali setahun hanya memperoleh hasil 1,5 t/ha, keuntungan Rp. 558.674, R/C : 1,7. Dengan demikian pendapatan petani dengan cara tumpang sisip meningkat Rp. 1.715.340 (307%). (Peningkatan pendapatan ini dipacu dari kacang hijau).
KESIMPULAN 1.
Mengurangi resiko kegagalan produksi/panen.
2.
Menerapkan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat setempat (spesifik lokasi).
3.
Meningkatkan produksi secara keseluruhan, dan menguntungkan petani.
4.
Penggunaan tenaga kerja, penggunaan tanah, air dan sinar matahari sebagai sumberdaya alam lebih efisien, dan pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan kerena adanya tanaman sepanjang tahun.
5.
Secara lingkungan dapat memperbaiki struktur tanah dan mengingkatnya aktivitas biologi tanah.
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian, 1993. Hasil-hasil Penelitian pada Lahan Kering Beriklim di Propinsi NTB. Proyek P3NT Sub Base Sandubaya Lombok NTB Bahar, F (1987). Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian Baharuddin, AB (1997) Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Kering NTB. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Perbaikan Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997 Baharuddin, 2005. Pengelolaan Lahan Kering. Bahan Kuliah semerter I Program Magister Pengelolaan Sumbedaya Lahan Kering. Fakutas Pertanian Balittan Malang, 1993. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Balitkabi, 1997. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. BPS, 2003. NTB Dalam Angka Kerjasama, Bappeda Propinsi NTB dengan BPS Propinsi NTB Bappeda Propinsi Nusa Tenggara Barat (2003). Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi NTB (2003-2007). BTP NTB, 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Lombok Timur. Laporan tahunan, BPTP NTB Gani, J. A., M.Zairin dan I. Basuki, 1999. Tumpang Gilir (Relay Planting) Jagung dengan Kacang Hijau pada Lahan kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Badan Litbang Pertanian. Kanwil Pertanian Propinsi NTB (2000). Rekomendasi Teknologi Pertanian . Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, IP2TP Mataram, Kasno, A., 1990. Adaptasi Galur-galur Harapan Kacang Hijau pada Lahan Sawah. Perbaikan Teknologi Tanaman Pangan Risalah lahan kering Mataram. 11-13 September 1990. Balittan Malang.
623
Las,I., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. A.Syarifuddin Karam dan I. Manwan, 1990. Peta Akroekologi Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Indonesia, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Ma‟shum, M (1997). Kemangkusan (Efficiency) Pemupukan di Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997. Oldeman, L, B, Irsal Las, and Muladi (1980). The Agroclimat Map of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, Bali, West and East Nusa Tenggara. Central Research Institute for agriculture Indonesia. Puslitbangtanak, 2001. Atlas Arahan Tataruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian. Samodra, N. 2000. Kebijakan Pengelolaan Lahan Kering di Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB,2000 Utomo, 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama pada Seminar Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di mataram, 27-28 Mei 2002. Wahid P., I. Las dan K. Dwiyanto (1993). Konsep Dasar Pendekatan Pengembangan Lahan Kering Berwawasan Lingkungan di Kawasan Timur Indonesia. Lokakarya, Status dan pengembangan lahan kering di Indonesia. Badan Litang Pertanian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara . Mataram, 16-18 Nopember 1993. Wahid, A.S, I. Basuki, Wirajaswadi, L. (1999) Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Jagung di Lahan Kering. (IPPTP Mataram) Wangiyana, W. (1995). Pewilayahan Komoditas Tanaman Berdasarkan Kondisi Iklim : Suatu Tinjauan Permasalahan dan Prospek Jangka Panjangnya. Makalah disampaikan pada Seminar. Pemanfaatan Sumberdaya Iklim dalam Pengembangan Pertanian yang Efisien di Mataram. 30 Nopember 1995. Zairin, M., K. Kumoro, A. S. Wahid, Sudarto dan M.Y. Maamun. (1994). Evaluasi Pola Tanam Ladang dan Lahan Petani di Desa Labuhan Lombok dan Pringgabaya Lombok Timur. Proyek P3NT Sub. Base Sandubaya Lombok NTB.
624
OPTIMALISASI PAKET TEKNOLOGI SISTEM BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN JAMBU METE DI DESA SONGGAJAH KABUPATEN DOMPU Sudarto dan A. Suriadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Pengkajian telah dilaksanakan di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu mulai bulan Nopember 2005 sampai dengan bulan Mei 2006, melibatkan 10 KK dengan luas areal 5 ha. Pengkajian dilaksanakan langsung pada lahan milik petani (on farm research) dan dikelola oleh petani. Pelaksanaan pengkajian melibatkan secara aktif petani dari mulai perencanaan sampai kegiatan berakhir dengan bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan yang digunakan adalah Zero One Relationship Approach yaitu mengelompokan petani menjadi dua kelompok yaitu petani kooperator dan non kooperator. Pengelompokan ini dimasudkan untuk mempermudah dalam mengevaluasi paket teknolgi yang diintroduksikan. Paket teknologi yang diintroduksikan adalah tumpangsari jagung + kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani jagung monokultur dan/atau kacang tanah monokultur. Jarak tanam yang digunakan adalah jagung 150 x 30 cm dan diantara baris jagung ditanam kacang tanah dengan jarak tanam 40 x 10 cm. Data yang dikumpulkan meliputi data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah biji/tongkol (untuk tanaman jagung); jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong (untuk kacang tanah). Data-data yang telah terkumpul ditabuler dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data sosial ekonomi dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu farm record keeping (FRK) kemudian dihitung dengan dianalisis B/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator dan non kooperator terdapat perbedaan, yaitu 220 cm dan 223 cm, serta tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji per tongkol 504 biji dan 511 biji. Produksi yang dihasilkan jagung pipil sebesar 3.891 kg/ha dan kacang tanah 308 kg/ha gelondong kering, sedang petani non kooperator dengan usahatani jagung monokultur menghasilkan 4.575 kg/ha dan kacang tanah monokultur 975 kg/ha gelondong kering. Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425,- B/C ratio 0,58 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250,- dan Rp. 1.392.500 B/C ratio 0,47 dan 0,68. Kata kunci : sistem budidaya, jambu mete, on farm reseach
PENDAHULUAN Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering seluas 216,758 ha dan lahan kering tersebut termasuk wilayah pengembangan tanaman jambu mete (BPS, 2004). Luas lahan tanaman jambu mete di Dompu seluas 12.964 ha (23,38 %) dari luas perkebunan jambu mete di NTB yaitu 55. 440,16 ha (Disbun, 2004). Umur tanaman saat ini mencapai 9 tahun dengan rata-rata produksi yang dihasilkan 759,55 kg gelondong /ha, masih dibawah hasil penelitian yaitu 1000 kg gelondong/ha (Abdullah, 1999). Petani jambu mete dalam upaya peningkatan tambahan pendapatan dengan memanfaatkan lahan diantara jambu metenya dengan menanam tanaman jagung, padi atau kacang tanah. Tata pertanamannya kebanyakan secara monokultur dan biasanya dikerjakan dengan tidak mengikuti teknologi anjuran sehingga pendapatan yang diperoleh selain dari jambu mete hanya bersumber dari satu jenis komoditas saja. Masalah yang dihadapi petani lahan kering sangat komplek, selain faktor modal, penguasaan teknologi juga faktor lingkungan. Untuk meningkatkan pendapatan, paket teknologi sistem budidaya khususnya pengembangan tata tanam dengan input rendah merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan peningkatan hasil. Zubachtirodin et a.l (2005) menyatakan kendala yang umum dijumpai pada lahan marginal antara lain rendahnya kesuburan tanah dan tanaman sering nmengalami kekeringan. Peningkatan produktivitas lahan secara efisien sangat diperlukan. Penanaman lebih dari satu jenis komoditi, teknologinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi resiko kompetitif antar tanaman. Tata tanam yang diintroduksikan adalah tumpangsari tumpangsari jagung+kacang tanah. Pengaturan jarak tanam, benih/lubang, dan pemeliharaan lainnya merupakan paket komponen teknologi yang dianjurkan. Sastrosoedirdjo (1984) menganjurkan untuk lahan kering dengan usahatani menetap perlu dikembangkan pola usahatani terpadu antara tanaman pangan, perkebunan, ternak dan tanaman penghasil kayu atau hijauan. Jenis tanaman yang diintroduksikan merupakan jenis tanaman yang tahan naungan, tahan kekeringan dan dapat ditanam diantara barisan tanaman jambu mete. Pada umumnya tanaman sela ditanam diantara jambu mete baik secara monokultur maupun tumpangsari dengan jarak 50-150 cm dari pangkal tanaman jambu mete.
625
METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan pada agroekosistem lahan kering pada perkebunan jambu mete di Desa Songgajah, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu pada tahun 2006. Paket teknologi yang diintroduksikan adalah tumpangsari jagung+kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani jagung monokultur dan/atau kacang tanah monokultur. Pengkajian dilaksanakan langsung pada lahan milik petani (on farm research) dan dikelola oleh petani. Pelaksanaan pengkajian melibatkan secara aktif petani dari mulai perencanaan sampai kegiatan berakhir dengan bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan yang digunakan adalah Zero One Relationship Approach yaitu mengelompokan petani menjadi dua kelompok yaitu petani kooperator dan non kooperator. Pengelompokan ini dimasudkan untuk mempermudah dalam mengevaluasi paket teknolgi yang diintroduksikan. Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2005 yang diawali dengan pembersihan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan menggunakan bajak yang ditarik dengan ternak sapi. Penanaman dilakukan apabila curah hujan selama 2 dasarian sudah lebih dari 50 mm (Mirza, 1995). Jarak tanam yang digunakan adalah jagung 150 x 30 cm dan diantara baris jagung ditanam kacang tanah dengan jarak tanam 40 x 10 cm. Penanaman secara tugal, dengan jumlah biji jagung : 1-2 biji/lubang, kacang tanah 2-3 biji/lubang dan padi 5 biji/lubang, dilakukan pemupukan, dosis pupuk yang diberikan 300 urea, 100 SP-36 dan 75 KCl. Pemberian pupuk dilakukan dua kali yaitu pada umur 7-10 hari (saat tanaman muncul dipermukaan tanah) diberikan pupuk dasar berupa 1/3 dosis pupuk urea dan semua SP-36 dan KCl. Ketiganya dicampur kemudian ditugalkan dekat lubang tanaman (± 10 cm dari lubang tanaman), kemudian pemupukan kedua yaitu sisa urea (2/3 dosis) diberikan pada umur 28-35 hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan paling sedikit dua kali selama pertumbuhannyayaitu pada umur 21 hst dan 45 hst atau tergantung pada pertumbuhan gulma. Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan konsep PHT, apabila tingkat serangan telah mencapai ambang ekonomi tindakan penyemprotan dengan insektisida baru dilakukan. Panen dilakukan setelah buah telah mencukupi syarat umur panen. Teknologi budidaya pada petani pembanding (non kooperator) selalu dilakukan monitoring oleh petugas lapang. Pada tanaman jambu mete selain dilakukan pemangkasan pemeliharaan juga dilakukan pemupukan. Dosis pupuk yang diberikan 300 gr/pohon urea, 150 gr/pohon SP-36 dan 150 gr/pohon KCl. Waktu pemberian pupuk pada awal musim hujan dan akhir musim hujan dengan dosis yang sama. Cara pemberiannya yaitu dengan membuat parit keliling selebar kanopi dengan kedalaman 25 cm. Data yang dikumpulkan meliputi data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah biji/tongkol (untuk tanaman jagung); jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong, (untuk kacang tanah). Data-data yang telah terkumpul ditabuler dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data sosial ekonomi dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu farm record keeping (FRK) kemudian dihitung dengan dianalisis B/C rasio.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Desa Songgajah termasuk dalam wilayah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu yang merupakan desa program transmigrasi pada tahun 1996 dengan jumlah bangunan rumah sekitar 140 unit. Penduduknya berasal dari Lombok, Bali dan Jawa, masing – masing kepala keluarga mendapat satu unit rumah dan pekarangan seluas 0,50 ha dan lahan usahatani satu seluas 1,0 ha. Lahan pekarangan didominasi dengan tanaman jambu mete dengan jarak tanam 8 x 8 m. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kegiatan pokoknya adalah bertani dengan mengerjakan lahan pekarangan maupun lahan usahatani satu. Tanaman yang biasa diusahakan adalah tanaman jagung, padi, kacang tanah dan palawija lainnya. Topografi bervariasi dari datar sampai berbukit, namun disekitar bangunan rumah didominasi oleh topografi datar sedangan lahan usahatani sebagian topografinya berbukit. Iklim diwilayah ini tergolong tipe D3 dengan 3-4 bulan basah dan 8-9 bulan kering. Mulai turun hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember sampai dengan Maret, bulan April dan seterusnya hujan curah hujan sudah sedikit. Melihat keadaan seperti ini, petani lahan kering sangat bergantung pada hujan sehingga petani biasanya mempercepat waktu tanamnya. Kondisi curah hujan dan distribusi hujan pada lokasi pengkajian dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
626
250
Curah hujan (mm)
200
150
100
50
0 Nop
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Bulan
Sumber : Data primer (penangkar curah hujan Desa Songgajah, Dompu) Gambar 1. Data curah hujan (mm/bulan) Desa Songgajah, Dompu tahun 2005/2006
Gambar 1 terlihat bahwa curah hujan tertinggi pada bulan Desember yaitu sekitar 215 mm, dengan jumlah hari hujan yang terbanyak yaitu sekitar 22 hari, sehingga pada awal bulan tersebut petani sudah banyak yang melakukan penanaman. Selama pertumbuhannya curah hujan mencukupi sehingga tanaman dapat tumbuh optimal dan pada masa-masa kritis air yang dibutuhkan oleh tanaman terpenuhi. Curah hujan pada bulan-bulan berikutnya jumlahnya mulai menurun (bulan Januari dan seterusnya) akan tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman walaupun jumlah curah hujan pada bulan Februari lebih kecil dibanding bulan Maret. Pada bulan April hujan yang turun sudah jarang bahkan pada lokasi pengkajian hanya terjadi satu kali hujan dengan jumlah curah hujan 3 mm. 25
Jml. hari hujan
20 15 10 5 0 Nop
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Bulan Sumber : Data primer (penangkar curah hujan Desa Songgajah, Dompu) Gambar 2. Jumlah hari hujan bulanan Desa Songgajah, Dompu tahun 2005/2006
1) Aspek agronomi Tanaman semusim Selama pertumbuhannya tanaman dapat tumbuh dengan optimal, hal ini karena didukung dengan kondisi iklim dan lingkungan yang baik sehingga performance tanaman secara agronomis juga terlihat baik (Tabel 1).
627
Tabel 1. Keragaan Agronomi Tanaman, Teknologi Inofasi dan Teknologi Petani pada Sistem Budidaya Jambu Mete di Desa Songgajah Kab. Dompu, 2005 - 2006 No.
Parameter
1. Tinggi tanaman (cm) 2. Tinggi letak tongkol (cm) 3. Jumlah biji/tongkol 4. Jumlah polong/tanaman 5. Jumlah biji/polong 6. Produksi (kg/ha) Sumber : Data primer diolah.
Teknologi introduksi (sistem tumpangsari) Jagung Kc. tanah 220 120 504 3.891
22,3 3,0 308
Teknologi petani (sistem monokultur) Jagung Kc. tanah 223 121 511 4.575
24,7 3,0 975
Tabel di atas terlihat bahwa tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator dan non kooperator terdapat perbedaan. Petani kooperator tinggi tanaman jagung mencapai 220 cm dan non kooperator 223 cm, tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji per tongkol juga terdapat perbedaan, petani kooperator mencapai 504 biji dan petani non kooperator 511 biji. Hal ini disebabkan karena ada persaingan antar tanaman dengan tata tanam tumpangsari dalam kebutuhan hara tanaman jika dibanding dengan tata tanam monokultur, sehingga berpengaruh terhadap komponen hasil. Produksi yang dihasilkan memperlihatkan bahwa petani kooperator mampu menghasilkan jagung pipil sebesar 3.891 kg/ha dan kacang tanah 308 kg/ha gelondong kering, sedang petani non kooperator dengan usahatani jagung monokultur menghasilkan jagung pipil 4.575 kg/ha dan kacang tanah monoultur 975 kg/ha gelondong kering. Tanaman jambu mete Tanaman jambu mete dengan perlakukan pemeliharaan (pemangkasan dan pemupukan) secara agronomi menunjukkan pertumbuhan yang baik, hal ini ditandai dengan performance warna daun yang hijau tua, jumlah tunas yang tumbuh. Dilain pihak, pada petani non kooperator yang tidak melakukan teknologi pemeliharaan (pemupukan) warna daun jambu mete terlihat agak menguning. Sementra ini data produksi belum dapat disajikan. 2) Aspek Ekonomis Analisa ekonomi pada petani kooperator yang menerapkan tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah dan petani non kooperator dengan tata tanam monokultur jagung atau kacang tanah monokultur disajikan pada Tabel 2. Biaya sarana produksi yang dikeluarkan pada tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah sebesar Rp. 1.672.500,- lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator dengan tata tanam jagung monokultur dan/atau kacang tanah monokultur yaitu sebesar Rp. 1.522.500,- dan Rp. 785.000,-. Tabel 2. Analisis Usahatani Petani Kooperator dan Non Kooperator Pada Sistem Budidaya Jambu Mete di Desa Songgajah Kab. Dompu, 2005 - 2006 Uraian
Petani kooperator Jagung+Kc. tanah
Produksi (kg/ha) 3.981+ 308 Biaya sarana produksi (Rp/ha) 1.672.500 Biaya tenaga kerja (Rp/ha) 1.104.000 Total biaya (Rp/ha) 2.276.500 Hasil kotor (Rp/ha) 4.384.925 Keuntungan (Rp/ha) 1.608.425 B/C ratio 0,58 R/C ratio 1,93 Sumber : Data primer diolah. Harga jagung Rp. 850,-/kg dan kacang tanah Rp. 3.500/kg.
Petani non kooperator Jagung Kc. tanah 4.575 1.522.500 1.110.000 2.632.500 3.888.750 1.256.250 0,47 1,47
975 785.000 1.235.000 2.020.000 3.412.500 1.392.500 0,68 1,68
Biaya tenaga kerja petani kooperator lebih kecil jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu masing-masing sebesar Rp. 1.104.000 dan Rp. 1.110.000 untuk jagung monokultur serta Rp. 1.235.000 untuk kacang tanah monokultur. Besarnya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani non kooperator disebabkan pada tata tanam monokultur diduga masih terdapat rongga sinar matahari yang masuk ke dalam
628
media tumbuh dan hal ini akan merangsang pertumbuhan gulma sehingga menambah biaya kegiatan penyiangan. Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425, B/C ratio 0,58 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250 dan Rp. 1.392.500, B/C ratio 0,47 dan 0,68.
KESIMPULAN 1.
Tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator dan non kooperator terdapat perbedaan. Petani kooperator tinggi tanaman jagung mencapai 220 cm dan non kooperator 223 cm, tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji per tongkol juga terdapat perbedaan, petani kooperator mencapai 504 biji dan petani non kooperator 511 biji.
2.
Biaya sarana produksi yang dikeluarkan pada tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah sebesar Rp. 1.672.500 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator dengan tata tanam jagung monokultur dan/atau kacang tanah monokultur yaitu sebesar Rp. 1.522.500 dan Rp. 785.000. Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250 dan Rp. 1.392.500. Dari keuntungan yang diperoleh tersebut, tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah cukup prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut selama faktor-faktor internal dan eksternal mendukung.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. 1999. Analisa Usahatani Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. BPS. 2004. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram. Disbun. 2004. Data Statistik Perkebunan Nusa Tenggara Barat Tahun 2004. Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Mirza, M. 1995. Kemungkinan Penggunaan Curah Hujan untuk Penentuan Saat Tanam Padi di Sawah Tadah Hujan. Prosiding Seminar Sehari”Pemanfaatan Sumberdaya Iklim Dalam Pengembangan Pertanian Yang Efisien” Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) NTB kerjasama dengan Fakultas Pertanian UNRAM. p : 24-35. Sastrisoedirdjo, S. 1984. Peningkatan Peranan Bahan Organik Dalam Usahatani Lahan Kering. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Zubachtirodin, A. Buntan, Sania S.Subandi dan A. Hipi. 2005. Rasionalisasi Pemupukan N, P dan K Untuk Tanaman Jagung Pada Lahan Kering Beriklim Kering di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional ”Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal”, Mataram, tanggal 30-31 Agustus 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. BADAN Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
629
PROSPEK UBIKAYU SEBAGAI BAHAN DASAR INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN KEBUMEN Nur Hidayat, Sinung R, Rahima Kaliky dan Sugeng Widodo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Tanaman ubi kayu di Kabupaten Kebumen dibudidayakan pada lahan-lahan kering/marjinal dengan tingkat penerapan teknologi yang rendah bahkan nyaris tanpa sentuhan teknologi. Hasil produksi ubi kayu di Kabupaten Kebumen umumnya dijual dalam bentuk segar, sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan nilai tambah ubi melalui pengembangan agroindustri ubi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi ubi kayu dan prospek pasar tepung tapioka di Kabupaten Kebumen. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei, lokasi penelitian di Desa Sawangan Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan sentra produk ubi kayu dan tapioka. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni – Agustus 2003. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kebumen. pertanaman ubi kayu relatif luas dan petani lahan kering relatif telah akrab dengan usaha budidaya ubi kayu, sehingga produksi bahan baku memungkinkan untuk dikembangkan. Usaha industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat/petani di Kabupaten Kebumen dalam skala rumahtangga dengan kapasitas rata-rata 100 kg ubi kayu/hari. Keberadaan industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang dihasilkan oleh pengrajin setempat (tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku menunjukkan terbukanya peluang pasar bagi tepung tapioka lokal seperti industri krupuk, soun, dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas. Kata kunci : ubi kayu, home industri, tepung tapioka
PENDAHULUAN Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz sin. M. utilissima Poh) dikenal juga dengan nama singkong, telo puhung, telo jendral, bodin dan sebagainya. Tanaman ubi kayu di Kabupaten Kebumen dibudidayakan pada lahan kering/marjinal dengan tingkat penerapan teknologi yang rendah, nyaris tanpa sentuhan teknologi, karena jarang sekali diberi pupuk oleh petani. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat produktivitas ubi kayu rendah dimana pada tahun 2002 produktivitas ubi kayu di Kabupaten Kebumemen 16,20 ton/Ha (BPS Kab.Kebumen, 2002). Sementara produktivas ubi kayu varietas Valengka secara umum mencapai 20 ton/ha dan varietas Aldira mencapai 35 ton/ha. Ubi kayu dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, antara lain sebagai bahan baku industri rumah tangga yaitu tapioka, ceriping, slondok/lanting atau dibuat oyek untuk stok pangan keluarga. Jenis ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku tepung tapioka oleh pengrajin lokal adalah jenis Lambong. Jenis ubi kayu ini oleh petani juga digunakan sebagai bahan pembuatan oyek untuk cadangan pangan pada musim kemarau Berdasarkan Properda Jawa Tengah 2001-2005, pembangunan sektor pertanian antara lain ditempuh melalui program pengembangan agribisnis. Sasaran yang ingin dicapai adalah memperbesar nilai tambah ekonomi yang dihasilkan dari sumberdaya yang dimiliki rakyat daerah dan memperbesar nilai tambah ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat daerah melalui pemberdayaan organisasi ekonomi rakyat lokal (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2001). Program pengembangan agribisnis (termasuk agroindustri) merupakan strategi pendekatan memacu kegiatan ekonomi yang berbasis pada bisnis dan industri pangan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan Properda tersebut, Pemda Kabupaten Kebumen memiliki rencana untuk mengembangkan industri tepung tapioka. Luas panen ubi kayu di Kabupaten Kebumen relatif luas dengan trend berfluktuatif. Pada tahun 1993 luas panen ubi kayu mencapai 16.978 ha dengan produksi 283.761 ton, tahun 1997 turun menjadi 10.804 ha dan produksi 284.360 ton, kemudian tahun 2002 meningkat menjadi 10.840 ha namun produksinya menurun menjadi 172.369 ton (Kebumen Dalam Angka, 1998,2002). Hasil produksi ubi kayu di Kabupaten Kebumen umumnya dijual dalam bentuk segar, sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan nilai tambah ubi kayu yang dapat diterima masyarakat petani atau masyarakat pedesaan pada umumnya, melalui pengembangan agroindustri ubi kayu. Untuk itu diperlukan introduksi teknologi guna pengolahan raw material tersebut menjadi barang jadi atau barang setengah jadi seperti tepung tapioka, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah (value added) bagi petani ubi
630
kayu. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya dan prospek pasar tepung tapioka di Kabupaten Kebumen.
METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei, dengan lokasi penelitian di Desa Sawangan Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produk ubi kayu dan tapioka. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juni – Agustus 2003. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh diperoleh dengan cara wawancara terstruktur pada petani petani ubi kayu dan pengrajin tepung tapioka sedang data sekunder dihimpun dari BPS serta instansi terkait. Data yang terhimpun, ditabulasi kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif meliputi analisis frekuensi dan tabulasi silang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi dan Produksi Ubi Kayu Tingkat produktivitas ubi kayu selain dipengaruhi oleh sistem budidaya, juga dipengaruhi oleh jenis/varietas tanaman tersebut(Rukmana, 1997). Potensi hasil dan sifat penting beberapa varietas ubi kayu disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Potensi Hasil dan Sifat-Sifat Penting Beberapa Varietas Ubi Kayu No.
Varietas
1. Valengka 2. Bogor 3. SPP 4. Muara 5. Mentega 6. Aldira-1 7. Aldira-2 8. Malang-1 9. Malang-2 Sumber : Rukmana, 1997. Keterangan: -) tidak ada data
Produksi (ton/Ha)
Kandungan Pati (%)
HCN (mg)
20 40 20-25 40 20 20-35 20-35 36,5 31,5
30,9 27,0 26,9 26,0 45,2 40,8 32-36 32-36
39 100 150 100 32 27,5 123,7 -
Rasa Enak (manis) Pahit Amat pahit Pahit Enak (manis) Enak (manis) Pahit Enak (manis) Enak (manis)
Berdasarkan wawancara dengan para petani ubi kayu di Kecamatan Karang Gayam dan Alian diperoleh informasi bahwa jenis ubi kayu yang umumnya dibudidayakan di Kabupaten Kebumen ada tiga jenis yaitu: 1.
Valengka; (rasa manis, rendah)
biasanya untuk bahan baku getuk, menurut petani, jenis ini kadar patinya
2.
Lambong (istilah lokal), rasa ubi pahit, biasanya digunakan untuk bahan baku pembuatan oyek sebagai cadangan pangan musim kemarau dan bahan baku tapioka karena kadar patinya lebih tinggi dibanding jenis yang lain.
3.
Tikal (istilah lokal), rasa ubi manis, kadar pati rendah, ubi rebus kurang lunak.
Ketiga jenis ubi kayu tersebut memiliki kandungan pati (rendemen) berbeda-beda. Hasil pengujian laboratorium Pasca Panen BPTP Yogyakarta terhadap sampel ketiga jenis ubi kayu tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Laboratorium Kandungan Pati Jenis Ubi Kayu di Kabupaten Kebumen No.
Varietas
1. Valengka 2. Lambong 3. Tikal Sumber : BPTP Yogyakarta.
Kandungan Pati (%)
Rasa
14,38 18,62 17,28
Manis Pahit Manis
631
Industri Tepung Tapioka a) Embrio Usaha Produksi Tapioka Kabupaten Kebumen telah memiliki sentra pembuatan tepung tapioka skala rumah tangga. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Kebumen, terdapat 34 unit usaha tepung tapioka skala rumah tangga. Namun demikian, berdasarkan informasi di lapangan, lebih dari 100 KK pernah menekuni usaha pembuatan tepung tapioka, utamanya di Kecamatan Alian dan Sadang. b) Profil Usaha Tepung Tapioka Di Kabupaten Kebumen umumnya usaha tepung tapioka dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga. Dalam proses pembuatan tepung tapioka, pemarutan ubi kayu tidak dilakukan sendiri, tetapi dilakukan oleh koordinator yang memiliki unit usaha pemarutan ubi kayu. Setiap kwintal ubi kayu dikenakan biaya Rp 2000,- Walaupun demikian, apabila tersedia waktu luang para pengrajin secara manual memarut sendiri ubi kayu. Setiap unit usaha (KK) rata-rata mampu mengolah 1 kwintal ubi kayu dan menghasilkan 25-35 kg tapioka basah atau 15-21 kg kering setiap kali pemrosesan. Produktivitas yang rendah tersebut menunjukkan bahwa rendemen bahan baku yang digunakan (ubi kayu jenis lambong) termasuk rendah dan kurang tepat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka. Hasil uji laboratorium menunjukkan hasil yang sama, bahwa ubi kayu yang dibudidayakan di Kebumen semuanya memiliki kadar pati yang rendah.Varietas lambong memiliki kadar pati 18,62%, Valengka 14,38%, dan tikal 17,28%. Kondisi tersebut berbeda dengan industri tapioka yang telah berjalan di Kabupaten Pati. Varietas ubi kayu yang digunakan adalah Aldira, yang memiliki kadar pati 45,2%. Konsumen tepung tapioka produk industri rumah tangga ini adalah para pengrajin krupuk dan soun. Para pengrajin menjual produk tepung tapioka ke pasar setiap 2-3 hari sekali. Karena kapasitas produksinya rendah (sekitar 15-21 kg/hari), para produsen menjual hasil produksinya langsung kepada konsumen (terutama para pengrajin kerupuk, soun, dll). Harga jual tapioka basah sekitar Rp1.000 - 1.250/kg, sedangkan harga tapioka kering mencapai Rp 2.000 – 2.250/kg. Sementara harga eceran tepung tapioka kualitas super (produksi Lampung) dapat mencapai Rp 3.000,-/kg. Produk samping usaha tapioka adalah kambangan (tepung kasar), ampas (onggok) dan kulit ketela. Setiap 1 kwintal bahan baku dapat diperoleh kambangan sekitar 5 kg, onggok sekitar 20 kg dan kulit sekitar 25 kg. Harga kambangan Rp 500/kg dan harga ampas Rp 200/kg. Sedangkan kulit ketela biasanya dipakai sendiri untuk pakan ternak. Masalah yang dihadapi oleh pengrajin, pada musim kemarau harga ubi kayu cenderung tinggi. Walaupun pertanaman ubi kayu relatif luas, namun petani biasanya enggan memanen karena kondisi tanah kering. Pada musim kemarau petani memanen ubi kayu sebatas untuk keperluan pangan keluarga. Akibatnya pada musim kemarau harga eceran ubi kayu cukup tinggi mencapai Rp 500/kg. Karena masalah tersebut sebagian unit usaha tepung tapioka menghentikan aktivitasnya pada musim kemarau, kecuali para pengrajin kerupuk yang memproduksi tapioka sendiri untuk keperluan bahan baku pembuatan kerupuk. Menurut pengrajin agar usaha tepung tapioka memberi keuntungan yang layak harga ubi kayu yang ideal adalah Rp 250/kg. Dalam kenyataannya pada musim kemarau harga ubi kayu mencapai Rp 500/kg. Potensi Pasar Tepung Tapioka a) Jenis-jenis industri yang membutuhkan tepung tapioka Kebutuhan tepung tapioka di Kabupaten Kebumen diperkirakan cukup tinggi karena terdapat banyak industri makanan skala rumah tangga yang memerlukan bahan baku berupa tepung tapioka baik sebagai bahan pokok atau bahan campuran, seperti: pengrajin kerupuk, soun, mie basah, jenang lot dan roti kering/basah. Disamping itu limbah tapioka seperti kulit ubi kayu dan ampas tapioka (onggok) juga dibutuhkan untuk pakan ternak yang relatif berkembang di Kabupaten Kebumen. b) Perkiraan Kebutuhan dan Peluang Pasar Tepung Tapioka di Kabupaten Kebumen Angka kebutuhan riil tepung tapioka pada setiap industri makanan belum dapat disajikan, namun demikian gambaran bahan baku yang dibutuhkan pada setiap industri makanan dapat dilihat pada Tabel 3. Kebutuhan tepung tapioka terbesar diperkirakan pada industri kerupuk, roti kering dan soun. Apabila dibandingkan antara permintaan dan penawaran tepung tapioka dengan hasil produksi tepung tapioka di Kabupaten Kebumen, kontribusi produksi lokal tepung tapioka masih sangat rendah untuk pemenuhan kebutuhan industri makanan yang ada.
632
Selain dari pasokan lokal, kebutuhan tepung tapioka di Kebumen dipasok dari Lampung untuk kualitas super (putih bersih) dan dari Kabupaten Banjarnegara serta dari Kabupaten Gunungkidul untuk kualitas biasa (sedikit kemerahan). Tapioka kualitas super utamanya diperlukan industri roti kering baik sebagai komponen utama atau campuran. Jenis roti kering lokal, seperti kue boluemprit membutuhkan tepung tapioka super sebagai bahan utama. Sedangkan tapioka kualitas biasa digunakan sebagai bahan utama pembuatan kerupuk dan soun. Tabel 3. Jenis-jenis Industri Yang Menggunakan Bahan Baku Tepung Tapioka Jenis Industri Roti kering/ basah 2) Kerupuk 1) So‟un 1) Mie Basah 1) Jenang Lot 2)
Jumlah Unit Usaha
Jumlah Tenaga kerja
Bahan Baku/ tahun
Bahan Campuran
Kapasitas Produksi/Tahun
56 111 38 2 30
210 618 121 10 135
200 ton 10.000 ton 38 ton 12,9 ton 2,5 ton
23 ton 0 0,15 ton 0,3 ton 0,5 ton
300 ton 15.000 ton 40 ton 10,9 ton 3 ton
Keterangan: 1). Tepung tapioka sbg bhn pokok. 2). Tepung tapioka sbg bhn campuran Di Kabupaten Kebumen pertanaman ubi kayu relatif luas dan petani lahan kering relatif telah akrab dengan usaha budidaya ubi kayu, sehingga produksi bahan baku memungkinkan untuk dikembangkan. Keberadaan unit-unit usaha pengrajin tepung tapioka menunjukkan bahwa di Kabupaten Kebumen telah ada embrio pengembangan industri tepung tapioka dengan kapasitas olah bahan baku 100 kg/hari. Keberadaan beraneka industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang dihasilkan oleh pengrajin setempat (tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku menunjukkan terbukanya peluang pasar bagi tepung tapioka lokal seperti industri krupuk, soun, dan lain sebagainya. Pengembangan industri tapioka di Kabupaten kebumen cukup difokuskan pada produk tapioka yang sesuai dengan pasar lokal, yaitu kualitas sedang melalui pengembangan unsur-unsur penunjang untuk menciptakan kepastian usaha bagi pengrajin skala rumah tangga. Dengan menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal pengrajin tapioka yang telah ada dengan tingkat kapasitas olah ± 100 kg/hari dapat memberikan manfaat berupa : – Sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru Sebagaimana disebutkan dalam bab pendahuluan, untuk keluar dari krisis ekonomi diperlukan penciptaan sumber-sumber pertumbuhan baru, antara lain melalui pengembangan agroindustri. Program pengembangan agroindustri di wilayah pedesaan memiliki landasan yang kuat berupa basis bahan baku dan tenaga kerja murah, sehingga ketahanannya terhadap krisis akibat perubahan lingkungan global dapat diandalkan. Krisis ekonomi akibat globalisasi memberi pelajaran betapa rapuhnya bangunan ekonomi nasional karena mengandalkan pada industri yang menggantungkan pada pasokan bahan baku impor. – Membuka peluang usaha, menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan Menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal home industri tapioka yang telah ada membuka peluang usaha bagi masyarakat di pedesaan dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam membangun daerahnya. Berkembangnya home industri tapioka akan menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat. – Mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan Pengembangan ekonomi kerakyatan dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu: pertama, pendekatan kegiatan ekonomi dari pelaku ekonomi skala kecil. Berdasarkan pendekatan ini, pemberdayaan ekonomi rakyat adalah pemberdayaan pelaku ekonomi skala kecil. Kedua, pendekatan sistem ekonomi, yaitu demokrasi ekonomi atau sistem pembangunan yang demokratis atau pembangunan partisipatif. Berdasarkan pendekatan ini pemberdayaan ekonomi mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi (Fachri Yasin, et al, 2001). Usaha home industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat Kebumen dalam skala rumahtangga, sehingga telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan sebagian rumah tangga di pedesaan. Untuk meningkatkan produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas.
633
KESIMPULAN Usaha industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat/petani di Kabupaten Kebumen dalam skala rumahtangga dengan kapasitas rata-rata 100 kg ubi kayu/hari, sehingga telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga di pedesaan. Industri tepung tapioka di Kabupaten Kebumen mempunyai peluang pasar dan prospek untuk dikembangkan; hal ini mengingat keberadaan industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang dihasilkan oleh pengrajin setempat (tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku untuk industri krupuk, soun dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas.
DAFTAR PUSTAKA Anwar.A.,1999. Reposisi Peran Sektor Pertanian dalam Abad XXI. Makalah disampaikan pada: Pertemuan Tim Ahli Bimas dan Tim Teknis Bimas Regional di Jawa Tengah. Semarang, 5-8 Oktober 1999. Anonim, 1999. Undang-Undang Otonomi Daerah,1999. Restu Agung. BPS. Kabupaten Kebumen Dalam Angka, 1993-2002. Bappeda Propinsi Jawa tengah, 2001. Properda Jawa Tengah 2001-2005 Kerlinger.F.N., 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mubyarto, 1993. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan. Jakarta. Pemda Kebumen, 2002. Produk dan Peluang Investasi di Kabupaten Kebumen. (Publikasi Pemda Kebumen dalam bentuk Folder). Pemerintah Kab. Kebumen, 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 18 Tahun 2002. Tentang Rencana Strategis Pembangunan Daerah Kab. Kebumen Tahun 2002-2005. Purba, 1997. Analisis Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Analysis) Rineka Cipta. Jakarta. Reijntjes.C, Bertus.H, Waters.B.,1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius Yogyakarta. Rukmana.R.,1997. Ubi Kayu Budi Daya dan PascaPanen. Kanisius. Yogyakarta. Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan,2002. Profil Potensi Agribisnis Perikanan dan Kelautan Kab. Kebumen Propinsi Jawa Tengah. Sub Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Ketahanan Pangan. Dinas Peranian Kab. Kebumen. Profil Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kebumen Tahun 2001. Zainal.M.R.,A.Z.Fachri Yasin, Zulkarnaen, D.Bakce, D.Karya, Noviandri, Zulkarnaini, Sumardi Suriatna, E.H.Halim, I.M.Adnan, 2001. Petani Usaha Kecil dan Koperasi Berwawasan Ekonomi Kerakyatan. Universitas Riau Press Pekanbaru.
634
KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI LAHAN KERING (Kasus Ketahanan pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur) I M. Wisnu W., Yohanes G. Bulu, dan Ketut Puspadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Tujuan utama petani berusahatani adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga petani dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor agroekosistem dan iklim, perubahan orientasi dan manajemen usahatani. Penyediaan pangan melalui lumbung oleh masyarakat NTB khususnya di pulau Lombok tidak lagi difungsikan akibatnya ketahanan pangan keluarga menjadi lemah. Lembaga lain yang berfungsi mendukung ketahanan pangan di lahan kering belum ada. Perubahan perilaku masyarakat petani disebabkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat. Hal tersebut mendorong petani melakukan perubahan orientasi dan tujuan pada pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial tanpa melalui perencanaan yang baik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam posisi sulit petani cenderung mengatasi kekurangan pangan rumah tangga melalui sistem ijon. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 di beberapa desa lahan kering di dua wilayah agroekosistem yaitu wilayah lahan kering dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui pemahaman dinamika petani lahan kering. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering baik di wilayah lahan kering dataran rendah maupun dataran tinggi relatif lemah. Lembaga ketahanan pangan pedesaan lahan kering yang mendukung ketahanan pangan rumah tangga petani belum ada menyebabkan sistem ijon pada kantong-kantong kemiskinan wilayah lahan kering. Untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat tani di wilayah lahan kering maka perlu menumbuhkan kelembagaan ketahanan pangan untuk mengatasi kekurangan pangan pada musim-musim tertentu serta strategi perencanaan usahatani di lahan kering. Kata kunci: Kelembagaan, penyediaan pangan, rumah tangga, dan lahan kering.
PENDAHULUAN Bertani bukan lagi sekedar untuk hidup, tetapi sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan yang baik dengan menggunakan seluruh kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan. Untuk dapat bertahan, lahan pertanian harus dikelola secara efisien. Rumah tangga yang merupakan lembaga terkecil di pedesaan memilki kemampuan yang terbatas untuk merencanakan usahatani dan ketahanan pangan rumah tangga. Lembaga (institusi) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas (Koentjaraningrat, 1990). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Menurut Roucek dan Warren (1962), lembaga adalah pola aktivitas yang terbentuk untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan mempengaruhi sub sistem lain. Johnson (1985) dalam Pakpahan (1989), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian. Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang digolongkan kedalam kategori miskin. Hal ini terbukti dari banyaknya desa-desa di kabupaten ini yang mendapat bantuan dari proyek Poor Farmer. Sebagian besar desa tersebut tersebar pada agroekosistem lahan kering. Lahan kering menurut Soil Survey Staffs (1998), adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Utomo (2002) dalam Suwardji, dkk., (2003) mendifinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Dari pengertian tersebut, jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: sawah tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Jenis
635
penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan basah mencakup sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, pemukiman/perkampungan, perikanan, danau, rawa dan waduk/embung. Ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering relatif menyebabkan kemiskinan. Sayogyo (1983) dalam Pudjiwati Sayogyo (1995), membuat suatu standar kemiskinan, yaitu setara 480 kg beras/kapita/tahun untuk penduduk pedesaan dengan sebutan “nyaris miskin”, maka pendapatan di atas standar itu digolongkan “kecukupan”. Bappenas (1994) mendifinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat tersebut ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah, lemah kemauan untuk maju, rendah sumber daya manusia, lemah nilai tukar hasil produksi, rendah produktivitas, modal usaha yang rendah, rendah pendapatan, terbatas kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Sayogyo (1996) memberikan batasan pendapatan perkapita untuk menggolongkan masyarakat ke dalam kategori miskin. Kemiskinan adalah suatu konsep yang relatif, sehingga kemiskinan sangat kontekstual. Untuk memecahkan masalah kemiskinan, pertama-tama haruslah menemukan di mana akar permasalahan itu terletak, disamping akar permasalahan itu sendiri (Verhagen, 1996). Mendapatkan akar permasalahan memerlukan kedisiplinan berpikir sistem. Permasalahan-permasalahan sistem aktivitas manusia tidak berstruktur, sehingga kondisi ini menuntut pendekatan yang lain untuk memahaminya (Checkland, 1998). Intervensi simtomatik bersifat jangka pendek dan memecahkan akar permasalahan berdampak jangka panjang (Senge, 1996). Ketahanan pangan rumah tangga yang lemah telah menyebabkan kemiskinan di Lombok Timur. Lemahnya ketahanan pangan, salah satunya, disebabkan oleh tidak tersedianya suatu lembaga ketahanan pangan di pedesaan.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan kelembagaan pedesaan terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Lombok Timur dari bulan Januari – Desember 2005. Lokasi kajian di kabupaten Lombok Timur ditetapkan dengan metode purposive cluster sampling. Kecamatan dan desa lokasi kajian diklasifikasikan berdasarkan tiga wilayah agroekosistem yaitu; agroekosistem lahan kering dataran rendah, lahan kering dataran tinggi, dan lahan tadah hujan. Pengumpulan data mengikuti teknik PRA yakni dengan partisipasi petani untuk memberikan informasi dan dengan bantuan fasilitator. Pengumpulan data mengacu pada prinsip-prinsip Participatory Ruaral Appraisal (PRA). Pengumpulan data menggunakan pendekatan focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan mengumpulkan sejumlah orang yang dijadikan sebagai informan dan dilakukan wawancara mendalam secara individu pada responden dan informan. Untuk mendapatkan pemahaman tentang dinamika petani miskin di lahan kering/marginal, maka kegiatan ini mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan bentuk kuantitatif menunjang kualitatif (Brannen, 1997). Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif melalui proses kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari, 1998). Unit analisis dalam kegiatan penelitian adalah individu, rumah tangga dan sistem.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Lahan Kering Sistem usahatani lahan kering umumnya cukup komplek. Berbagai usaha dilakukan petani mulai dari on farm, of farm dan non farm. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan petani guna memenuhi kebutuhan hidup selama satu tahun dan memanfaatkan waktu luang yang tersisa setelah musim tanam selesai. Kegiatan on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri. Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm dan non farm. Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan
636
umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan. Keterbatasan jenis komoditas tanaman pangan yang dapat diusahakan karena faktor pembatas curah hujan yang tidak menentu menyebabkan petani tidak banyak mengusahakan tanaman yang banyak memerlukan air. Akhirnya pilihan komoditas yang ditanam bukan pada padi untuk mendukung ketahanan pangan tetapi pada komoditas-komoditas yang relatif hemat air seperti misalnya dari sektor tanaman pangan yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sektor perkebunan yaitu tembakau, jambu mete, cengkeh, vanili, kopi dan coklat. Kegiatan petani pada musim hujan dilahan kering teralokasi dalam satu waktu tertentu sehingga sering terjadi kekurangan tenaga kerja. Kegiatan harus dilakukan dengan cepat dan waktu yang tepat untuk mengatisipasi keterbatasan curah hujan akibatnya petani sering melakukan satu dua pekerjaan dalam wkatu yang bersamaan. Kegiatan penyiangan biasanya langsung diikuti dengan kegiatan pemupukan. Keterlambatan dalam melakukan pemupukan berakibat pada kemungkinan menghadapi resiko tidak mendapatkan air dalam jangka waktu yang cukup lama karena hujan yang tidak kunjung turun maka akibat yang ditimbulkan lebih lanjut adalah pemupukan menjadi tidak efektif dan gulma yang segera tumbuh menjadi saingan tanaman pokok dalam memanfaatkan pupuk yang diberikan. Lebih lanjut hal ini menyebabkan posisi tawar tenaga kerja menjadi tinggi pada saat-saat tertentu sehingga biaya produksi di lahan kering menjadi relatif tinggi. Sistem kelembagaan pertanian di lahan kering belum berkembang dan memperlihatkan dinamika kerja yang dikehendaki, petani umumnya belum tergabung dalam kelompoktani yang aktif. Lembaga finansial, lembaga alsintan, lembaga sarana produksi, lembaga pasca panen dan lembaga pengolahan hasil umumnya belum terbentuk di lahan kering. Kelembagaan penyuluhan dalam menangani lahan kering tidak sebaik yang dilakukan dalam menangani lahan sawah irigasi sehingga informasi terknologi yang diperoleh petani lahan kering relatif sangat terbatas. Perilaku Ketahanan Pangan Beberapa desa lahan kering di wilayah Lombok Timur bagian selatan mempunyai pola ketahanan pangan rumah tangga lebih baik dibandingkan dengan masyarakat desa yang terletak di bagian utara kabupaten. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan agroekosistem antara kedua wilayah tersebut. Lombok Timur bagian selatan didominasi oleh agroekosistem sawah tadah hujan sedangkan bagian utara agroekosistemnya berupa lahan kering dataran tinggi. Perbedaan tersebut membawa konsekwensi pada jenis komoditas yang diusahakan. Komoditas yang diusahakan pada sawah tadah hujan yang terletak di bagian selatan kabupaten pada umumnya padi dan tembakau dengan pola tanam padi-tembakau-bera, sedangkan dibagian utara komoditas dominan yang diusahakan yaitu dari sektor tanaman pangan antara lain bawang merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sub sektor tanaman perkebunan terdiri dari: jambu mete, vanili, coklat, kopi dan cengkeh. Masih diusahakannya padi di sawah tadah hujan dengan dukungan air embung yang berasal dari hujan di bagian selatan kabupaten merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketahanan pangan diwilayah ini lebih baik dibandingkan dengan ketahanan pangan wilayah bagian utara kabupaten. Introduksi tanaman tembakau yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan yang tinggi pula berkembang pesat di wilayah bagian selatan sehingga menghilangkan kesempatan petani menanam padi pada MK I maupun pada MK II, akibatnya stock pangan petani menjadi berkurang. Hasil padi yang ditanam pada musim hujan hanya sebagian kecil disimpan petani untuk cadangan pangannya dan sebagian besar hasil produksi dijual guna mendapatkan modal untuk persiapan penanaman tembakau. Sama halnya dengan dibagian utara kabupaten, komoditas dominan yang diusahakan pada musim hujan sebagian besar terdiri dari tanaman sayuran yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan tinggi sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mengusahakannya dan akibatnya padi sebagai makanan pokok dalam rangka ketahanan pangan dikesampingkan petani di kedua bagian kabupaten tersebut. Kegagalan dalam berusahatani karena kelebihan maupun kekurangan curah hujan sudah menjadi hal yang lumrah di kedua bagian kabupaten ini. Hujan yang turun lebih awal dari biasanya dibagian selatan kabupaten terutama pada saat menjelang panen tembakau akan merusak kualitas daun tembakau oven, akibatnya, harga yang diterima rendah sehingga petani mengalami kerugian dalam jumlah yang cukup besar. Demikian pula halnya dengan tanaman yang diusahakan dibagian utara kabupaten, yaitu: bawang merah, tomat, cabe, kentang dan kol sangat riskan pada resiko kegagalan yang disebabkan oleh kelebihan maupun kekurangan hujan karena ketergantungan pada curah hujan sehingga mengakibatkan kerugian pada petani dalam jumlah cukup besar.
637
Kerugian yang dialami petani biasanya cukup besar karena biaya yang dipergunakan dalam proses produksi cukup besar. Kondisi menjadi lebih memprihatinkan karena sebagian biaya produksi tersebut diperoleh melalui modal pinjaman baik dari pengelola untuk petani yang mengusahakan tembakau dibagian selatan kebupaten maupun dari pinjaman tetangga untuk petani sayuran dibagian selatan kabupaten. Dalam kondisi terbelit hutang maka berbagai upaya dilakukan petani untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangganya. Salah satu upaya pemecahan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kondisi seperti tersebut di atas adalah menjual ternak untuk membeli beras. Ternak yang dipandang sebagai usaha sampingan dan dipelihara secara tidak intensif menjadi sangat penting artinya disamping sebagai ternak kerja maka dalam kondisi rawan pangan rumah tangga menjadi tabungan hidup. Ternak besar dijual untuk memenuhi kebutuhan uang yang cukup besar sedangkan ternak kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli beras. Ternak yang umum dipelihara petani antara lain sapi, kambing dan ayam. Upaya lain yang dilakukan petani adalah beralih melakukan kegiatan off farm yaitu bekerja sebagai buruhtani menjadi sangat penting artinya dalam rangka ketahanan pangan keluarga. Kegiatan berburuhtani tidak saja dilakukan antar agroekosistem dalam satu desa yaitu petani yang berasal dari daerah lahan kering menjadi buruhtani di daerah lahan sawah irigasi, tetapi sampai keluar desa, kecamatan dan kabupaten dalam satu pulau dan luar pulau bahkan keluar propinsi. Pekerjaan yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh panen padi dengan imbalan upah dalam bentuk hasil panen padi. Padi yang diterima dari bekerja sebagai buruhtani disimpan untuk menjaga ketahanan pangan keluarga. Kegiatan lain dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yaitu melakukan pekerjaan di luar pertanian (non farm) sebagai buruh bangunan/tukang, tukang ojek, kusir cidomo, kerajinan, bakulan hasil pertanian membuat batu bata dan TKI. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian disamping karena kegagalan panen juga secara umum disebabkan oleh faktor ekonomi rumah tangga sebagai akibat dari keterbatasan lahan pertanian dan kurangnya lapangan pekerjaan serta peluang untuk mengembangkan usaha dengan kekuatan modal sendiri yang sangat terbatas. Disamping itu tidak dapat dipungkiri tingkat upah yang tinggi di luar negeri menjadi daya tarik tersendiri bagi petani dengan harapan nantinya cepat membayar hutang yang ditinggalkan sebagai akibat kegagalan panen di daerah asal. TKI yang bekerja di luar negeri tidak semuanya berhasil beberapa orang justru membawa permasalahan seperti tidak bisa menutup hutang yang dipinjam untuk berangkat ke luar negeri. Sedangkan bagi yang berhasil sudah mampu mengirim uang untuk biaya hidup kelurga yang ditinggal atau untuk membangun rumah dan membeli tanah sawah. Kenyataan yang terjadi saat ini yaitu sebagian besar penghasilan TKI digunakan untuk membangun rumah dan kawin tetapi hanya sebagian kecil yang mengalokasikan pendapatannya untuk usaha-usaha yang bersifat produktif dibidang pertanian maupun usaha lainnya. Harapan lain petani dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangganya adalah melakukan pinjaman pada tetangga, bahkan pinjaman dalam bentuk ijon-pun tidak segan-segan diterima petani dari para pelepas uang. Jaminan untuk menadapat pinjaman ijon biasanya tanaman vanili, coklat, kopi dalam kondisi sedang berbunga atau berbuah muda, akibatnya, sudah tentu maka harga yang diterima petani menjadi sangat rendah. Anak sapi yang masih berada dalam kandungan diijonkan petani di desa Sajang untuk memperoleh uang dalam rangka ketahanan pangan rumah tangga Pengeluaran untuk pangan meliputi beras, lauk pauk, makanan kecil, minyak goreng, gula, kopi, teh dan lain-lain, sedangkan pengeluaran non pangan meliputi penerangan, sabun, odol, alat rumah tangga, pakaian, transportasi, pendidikan, rokok/tembakau, perbaikan rumah dan pajak bumi dan bangunan. Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari 50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005) tentang pola pendapatan dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang merupakan desa lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan mencapai 54,27 % artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.
638
Dalam Usahatani
Luar Pertanian
Luar Usahatani
Pemasukan rumah tangga
Pendapatan Rumah tangga
Pengeluaran untuk pangan (51,86 %)
Pengeluaran non pangan (48,14 %)
Gambar 1. Pemasukan dan pengeluaran rumah tangga petani miskin desa lahan kering di Lombok Timur
KESIMPULAN 1.
Komoditas yang diusahakan petani relatif terbatas karena faktor pembatas iklim dan curah hujan
2.
Ketahanan pangan petani di lahan kering dipenuhi melalui kegiatan on farm, of farm dan non farm
3.
Kesinambungan pendapatan dalam satu tahun dan antisipasi terhadap resiko kegagalan dilakukan dengan pola tumpangsari.
4.
Kegiatan petani dimusim hujan cukup padat, dilakukan dengan cepat dan pada waktu yang tepat sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja
5.
Sistem kelembagan pertanian dilahan kering belum memperlihatkan kinerja yang baik terutama lembaga keuangan dengan skim kredit khusus untu usaha pertanian
DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Jakarta. Roucek dan Warren, 1962. Sosiology Intriduction. Little Field Adams & Co, Paterson. Pujiwati Sayogyo, 1995. Sumberdaya Manusia dan Kecukupan Pangan dan Gizi dalam Pudjiwati Sayogyo. Sosiologi Pembangunan, BKKBN. Jakarta Brannen J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuktah Arfawi, Imam Safei, Noorhaidi penerjemah. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Terjemahan dari: Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Checkland Peter. 1998. Systems Thinking, System Practice. John Wiley & Sons Chichester, New York, Brisbane, Toronto. Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Verhagen Koenraad. 1996. Pengembangan Keswadayaan. Pengalaman LSM di Tiga Negara. Makmur Keliat, penerjemah; Tanudi penyunting. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Terjemahan dari: Self Helf Promotion (A Challenge to the NGO Community). Senge Peter M. 1996. Disiplin Kelima. Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar Nunuk Adriani penerjemah, Lyndon Saputra editor. Binarupa Aksara, Jakarta. Terjemahan dari: Fith Discipline.
639
Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Pakpahan A., 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Jawa Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sri Hastuti Suhartini, Kukuh Wahyu W, dan Ketut Puspadi, 2005. Pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam Prosiding Seminar Naisonal Pemasyaraktan Inovasi Teknologi dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Pusat Analissi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
640