PERANCANGAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SISTEM MANAJEMEN ALERGEN DALAM INDUSTRI PERISA DI PT.GIVAUDAN INDONESIA
IGNATIUS TRIJOKO PRIHANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir penyusunan rancangan standar prosedur operasi system manajemen alergen dalam industry perisa di PT. Givaudan Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Oktober 2012
Ignatius Trijoko Prihantoro NIM F252090155
ABSTRACT IGNATIUS TRIJOKO PRIHANTORO. Development of Standard Operating Procedure for Allergen Management System in Flavour Industry PT. Givaudan Indonesia, under direction of Harsi Dewantari Kusumaningrum and Darwin Kadarisman. Each year, millions of people have allergic reactions to food. Although most food allergies cause relatively mild and minor symptoms, some food allergies can cause severe reactions, and may even be life-threatening. There is no cure for food allergies. Strict avoidance of food allergens and early recognition and management of allergic reactions to food are important measures to prevent serious health consequences. Materials used in this study were secondary data from suppliers in regards with allergen information of material supplied to PT. Givaudan Indonesia based on Codex Alemanterius Commission WHO/FAO guidelines. There were 56 out of 964 materials used at PT. Givaudan Indonesia which had been identified as allergen. The allergen type in descending order were dairy (24), soybean (21), fish (11), crustacean (4), sulfites (3), egg (1) and cereal (1). Seven out of 56 materials had allergen combinations such as cereal and soybean; crustacean and soybean; dairy, fish and soybean; dairy and soybean; fish and soybean. These allergen information then furtherly studied at Focus Group Discussion was conducted to identify which processes need to monitor and control of the allergens. Focus Group Discussion members consists of related departments starts from Regulatory, Logistic, Production and Quality Control, led by Quality Assurance. Processed which had been identified as potential to have allergen contamination were purchasing, receiving material, materials storage, prebatching, production, finished good warehouse and distribution. Standard Operation Procedures were designed for each process on how to label, store, cleanse after production, packing and send to customer. The scope also cover the training and audit as well as customer communication. Keywords :Food allergens, Allergen, Focus Group Discussion, Standard Operating Procedures
RINGKASAN Setiap tahun, jutaan orang mengalami reaksi alergi terhadap makanan. Meskipun makanan merupakan penyebab alergi dengan gejala yang relatif kecil dan ringan namun untuk beberapa kasus yang terjadi makanan dapat pula menimbulkan reaksi alergi yang cukup parah bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa. Menghindar dari makanan yang mengandung alergen secara ketat dan mengetahui dan mempelajari secara dini dari reaksi alergen dari makanan merupakan langkah yang tepat untuk menghindari dari resiko yang parah terhadap bahaya alergi. Tuntutan jaminan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan persyaratan konsumen yang terus meningkat baik dari regulasi lokal maupun internasional, salah satu persyaratan dalam keamanan pangan yang saatini menjadi salah satu yang cukup penting adalah penanganan alergen. Alergi pangan telah berkembang menjadi masalah keamanan pangan nasional dan internasional Data informasi yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang berasal dari pemasok berkaitan dengan informasi alergen dari bahan baku yang dipasok ke PT.Givaudan Indonesia berdasarkan pedoman Codex Alemanterius Commission WHO/FAO. Penelitian ini bertujuan untuk (1)mengidentifikasi alergen pada bahan baku & bahan penolong yang digunakan dalam perisa bubuk,(2) menganalisa peluang terjadinya kontaminasi silang alergen pada proses pembuatan perisa bubuk,(3)menganalisa kebutuhan SPO (Standar Prosedur Operasi) terkait manajemen allergen, dan (4) merancang SPO sistem manajemen allergen. Rancangan Prosedur Standar Operasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk dan arahan kepada perusahaan dalam penanganan bahan alergen di industri perisa bubuk Sehingga diharapkan produsen perisa bubuk dapat memiliki prosedur standar dalam melakukan identifikasi, pemisahan bahan alergen dan memastikan tidak ada kontaminasi silang bahaya alergen pada perisa bubuk yang diproduksi. Perisa dalam penggunaanya sebagai bahan tambahan pangan di Indonesia telah memiliki persyaratan standar dalam bentuk SNI(Standar Nasional Indonesia) No.SNI 01-7152-2006 dikeluarkan oleh BSN(Badan Standarisasi Nasional).Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 67-62 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan, dan telah melalui rapat konsensus nasional tanggal 7 Oktober 2005. Metoda yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan melakukan penelusuran data sekunder berkaitan dengan kelengkapan informasi alergen untuk semua material dan bahan penolong yang digunakan dalam proses pembuatan perisa bubuk, melakukan peninjauan pada proses produksi perisa bubuk untuk menentukan titik kendali terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi alergen, dengan pendekatan analisa bahaya alergen menggunakan system HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point).
Analisa bahaya (hazard analysis) ini perlu dilakukan untuk menentukan bahaya yang perlu dikendalikan yakni dengan cara melakukan identifikasi bahaya, mencari potensi dan frekuensi terjadinya bahaya tersebut, serta mengukur tingkat bahaya yang terjadi.Penetapan cara pengendalianini dengan membuat prosedur dalam penanganan material dari saat proses penerimaan bahan baku, penyimpanan sementara, penanganan saat produksi hingga pengiriman kepada pelanggan. Terdapat 56 dari 964 material yang digunakan di PT. Givaudan Indonesia telah diidentifikasi sebagai alergen. Berikut jenis alergen menurut jumlahnya: milk(24),soybean (21), fish (11), Crustacea (4), sulfite (3), egg (1), cereal (1). Terdapat 7 dari 56 material merupakan kombinasi alergen diantaranya: cereal dan soybean;crustacea dan soybean; dairy, fish, dan soybean; dairy dan soybean; fish dan soybean.Penanganan untuk bahan baku dan penolong yang memiliki lebih dari satu kategori alergen tidak berbeda dengan penanganan pada bahan alergen yang harus hanya memiliki satu alergen.Bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam industri perisa dapat mengandung alergen, disebabkan dari beberapa hal: asal bahan baku baku, komposisi bahan penyusunnya dan proses pembuatannya. Informasi alergen ini untuk selanjutnya dibawa ke dalam FGD (Focus Group Discussion) untuk mengidentifikasi proses mana yang perlu dimonitor dan dapat terjadi peluang kontaminasi silang alergen. FGD terdiri dari beberapa departemen terkait diantaranya: Regulatory, Produksi, Logistik, dan Quality Control dan berjalannya diskusi akan dipimpin oleh bagian Quality Management. Tahapan proses yang telah teridentifikasi memiliki potensi kontaminasi alergen adalah: proses pembelian, penerimaan, penyimpanan, batching, produksi, penyimpanan produk jadi dan distribusi. Penelitian ini telah menghasilkan 6 rancangan Standar Prosedur Operasi (SPO)yang telah mencakup semua tahapan proses produksi perisa bubukagar dapat memastikan potensi kontaminasi silang alergen dapat dikurangi dan dicegah. Rancangan SPO tersebut adalahPengadaan, penerimaan dan peyimpanan bahan baku & bahan penolong; Proses produksi perisa bubuk; Penyimpanan produk jadi perisa bubuk; Pengiriman produk jadi perisa bubuk ke pelanggan; Pelatihan; dan Kemampuan telusur. Rancangan SPO tersebut masih perlu dilakukan validasi dalam penerapan di lapangan untuk memastikan rancangan prosedur ini telah efektif dan dapat mencegah peluang terjadinya kontaminasi silang alergen dalam semua tahapan proses pembuatan perisa bubuk.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat kualitatif, sehingga seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi perlu dilakukan analisis lanjutan menggunakan pendekatan risiko yang didukung denganteknologi analisa untuk menghasilkan informasi dan data yang lebih kuantitatif.
Kata kunci : keamanan pangan, bahaya alergen, focus group discussion.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERANCANGAN STANDAR PROSEDUR OPERASI SISTEM MANAJEMEN ALERGEN DALAM INDUSTRI PERISA DI PT.GIVAUDAN INDONESIA
IGNATIUS TRIJOKO PRIHANTORO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Prof. Dr.Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS
Judul Tugas Akhir Nama NIM
: Perancangan Standar Prosedur Operasi Sistem Manajemen Alergen dalam Industri Perisa di PT.Givaudan Indonesia : Ignatius Trijoko Prihantoro : F252090155
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Darwin Kadarisman, MS Anggota
Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan
Profesi Teknologi Pangan
Sekolah Pascasarjana-IPB
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 7 Agustus 2012
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah Perancangan Standar Prosedur Operasi Sistem Manajemen Alergen Dalam Industri Perisa di PT. Givaudan Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, Bapak Ir. Darwin Kadarisman, MS selaku pembimbing, dan Ibu Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku Ketua Program Studi serta Manajemen dan staf tempat penulis bekerja yang telah banyak memberi saran dan membantu selama pengumpulan data dalam penyelesaian tesis ni. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak, orang tua dan seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2012
Ignatius Trijoko Prihantoro
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 30 Januari 1972 dari ayah Yohanes Daldiri Alisaputro dan ibu Anastasia Suparsi. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri 31 Jakarta dan melajutkan ke Akademi Kimia Analisis Bogor lulus dan pada tahun 1994, setelah itu melanjutkan ke Fakultas Ekonomi,Universitas Indonesia, Jurusan manajemen dan lulus pada tahun 1999, Pada tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Pascasarjana IPB. Penulis pertama kali bekerja sebagai QC Technician di PT. Supra Ferbindo Farma tahun 1994. Pada tahun 1995 penulis diterima bekerja di PT. Quest International Indonesia sebagai QC Supervisor sampai akhirnya Quest International diakuisisi oleh Givaudan pada tahun 2007. Penulis melanjutkan karirnya di PT. Givaudan Indonesia dengan jabatan saat ini sebagai Quality Management Manager untuk Indonesia.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………… i DAFTAR TABEL……………………………………………………………… iii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… iv DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… v PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1 Latar Belakang Penelitian……………………………………………………1 Tujuan Penelitian…………………………………………………………… 2 Manfaat Penelitian………………………………………………………….. 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………… 3 Perisa………………………………………………………………………... 3 Bahan Baku Perisa………………………………………………………….. 4 Pembuatan Perisa……………………………………………………………5 Persyaratan Mutu Perisa dalam Produk Pangan Indonesia..……………….. 6 Alergi Makanan…………………………………………………………….. 7 Mekanisme Terjadinya Alergi dari Makanan………………………………. 8 Peraturan Internasional Mengenai Alergen ………………………………… 10 HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)………………………… 11 METODOLOGI………………………………………………………………… 15 Waktu dan Tempat………………………………………………………….. 15 Bahan………………………………………………………………………... 15 Pendekatan Penelitian……………………………………………………….. 15 Pelaksanaan Penelitian……………………………………………………… 16 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………… 19 Alergen Pada Bahan Baku dan Bahan Penolong…………………………… 19 Peluang Kontaminasi Silang Alergen Pada Proses Pembuatan Perisa Bubuk 21 Kebutuhan Standar Prosedur Operasi………………………………............ 28 Pembuatan Standar Prosedur Operasi Manajemen Alergen………………… 31 Rekomendasi untuk Perusahaan dan Industri Perisa Bubuk………………... 34 SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………... 35 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………........ 36
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 6
Halaman Jenis Pangan dan Senyawa Alergen Utama Terkait dalam Reaksi Alergi Makanan ………………………………………………………………… 9 Peraturan Internasional Mengenai Alergen……………………………….10 Kategori Alergen Berdasarkan Codex Alimentarius ALINORM 97/22… 10 Tahapan Aplikasi HACCP……………………………………………….. 11 Matrik Penilaian Bahaya antara Peluang dan Keakutan Terjadinya Bahaya ....................................................................................................... 13 Kebutuhan Standar Prosedur Operasi pada Pengendalian Alergen Dalam Proses Pembuatan Perisa Bubuk……………………………......... 27 Rancangan Standar Prosedur Operasi pada Pengendalian Alergen Dalam Proses Pembuatan Perisa Bubuk……………………………..…... 32
DAFTAR GAMBAR
iii
Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Mekanisme Terjadinya Alergi Makanan……………………… 8 Diagram Pohon Keputusan CCP………………………………. 12 Diagram Alur Pelaksanaan Penelitian…………………………. 15 Distribusi Bahan Baku Hasil Kategorisasi Alergen Berdasarkan FAO/WHO.…………………………………………………….. 18 Gambar 5 Distribusi Bahan Baku dan Bahan Penolong Yang Memiliki Lebih dari Satu Kategori Alergen……………………………… 19 Gambar 6 Diagram Alir Rantai Proses Pembuatan Perisa Bubuk………… 20 Gambar 7 Label Raw Material dengan Informasi Alergen………………...22
DAFTAR LAMPIRAN
iv
Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15
Analisis Bahaya Kontaminasi Alergen Dalam Proses Pembuatan Perisa Bubuk…………………………………... 38 Lembar Kuesioner Pemasok Bahan Baku……………….....48 Lembar Pencatatan Proses Pembersihan di Area Produksi Perisa Bubuk……………………………………………….. 51 Lembar Pencatatan Proses Produksi Perisa Bubuk………… 52 Instruksi Kerja Untuk Proses Validasi Pembersihan Alergen .............................................................................................. 53 Standar Prosedur Operasi Untuk Personal Hygiene………. 56 Contoh Daftar Bahan Baku Dari Hasil Pengelompokan Jenis Alergen……………………………………………………...59 Instruksi Kerja Proses Pembersihan Blender……………… 60 Instruksi Kerja Proses Produksi Perisa Bubuk……………. 64 Rancangan SPO Pengadaan, Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Baku ………………………………………………... 68 Rancangan SPO Proses Produksi Perisa Bubuk…………… 71 Rancangan SPO Penyimpanan Produk Jadi Perisa Bubuk… 74 Rancangan SPO Pengiriman Produk Jadi Perisa Bubuk ke Pelanggan………………………………………………… 77 Rancangan SPO Pelatihan Sistem Manajemen Alergen…… 80 Rancangan SPO Kemampuan Telusur…………………… 84
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
Perisa merupakan salah satu produk yang dikenal sebagai bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (UU RI No. 7 tentang Pangan, 1996). Produk ini banyak digunakan pada bahan makanan olahan dengan tujuan memberikan rasa. Perisa adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat, dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavor, dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan tidak diperlakukan sebagai bahan pangan (BSN2006). Bumbu (seasoning) adalah campuran dua jenis atau lebih rempah baik utuh maupun bubuk atau lumatan atau ekstrak rempah untuk menguatkan flavor makanan dan ditambahkan pada saat pengolahan baik di industri pangan maupun di rumah tangga (BPOM 2006). Penggunaan perisa yang cukup luas dalam pengolahan dari makanan ringan yang diproduksi skala rumah tangga seperti kripik, kacang, hingga mie instant yang diproduksi secara modern, hal ini yang mendorong tumbuhnya industri perisa di Indonesia. Beberapa faktor yang akan mempengaruhi tumbuhnya industri perisa antara lain: mutu, teknologi pengolahan, penyediaan bahan baku yang menjamin keamanan konsumen, tingkat pendapatan masyarakat. Tuntutan jaminan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan persyaratan konsumen yang terus meningkat baik dari regulasi lokal maupun internasional,
salah satu persyaratan dalam keamanan pangan yang saatini
menjadi salah satu yang cukup pangan
penting adalah penanganan alergen.
Alergi
telah berkembang menjadi masalah keamanan pangan nasional dan
internasional. Tahun 2007, tercatat 5% anak anak dibawah umur 12 tahun dan 1 % orang dewasa di USA menderita alergi pangan. Demikian pula di UK, alergi pangan diderita oleh 2% dewasa dan 8% anak-anak(IFST 2005).Menyadari permasalah tersebut lembaga-lembaga pangan
dunia mulai membuat regulasi
untuk produk yang dipasarkan di area wewenangnya.
2
PT. Givaudan Indonesia yang merupakan salah satu industri pembuatan perisa menyadari pentingnya penerapan manajemen alergen dalam aspek keamanan pangan. Perusahaan ini memiliki visi menjadi perusahaan penghasil perisa terbaik serta menghasilkan
produk yang bermutu dan aman
melalui
inovasi, pengelolaan sumber daya manusia, pemahaman terhadap pelanggan serta ramah lingkungan. Sejak tahun 2011 perusahaan memfokuskan pada penerapan manajemen alergen untuk pengolahan perisa bubuk dengan proses pencampuran kering.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1)mengidentifikasi alergen pada bahan baku & bahan penolong yang digunakan dalam perisa bubuk,(2) menganalisa peluang terjadinya
kontaminasi
silang
alergen
pada
proses
pembuatan
perisa
bubuk,(3)menganalisa kebutuhan SPO (Standar Prosedur Operasi) terkait manajemen allergen, dan (4) merancang SPO sistem manajemen alergen.
Manfaat Penelitian
Rancangan Prosedur Standar Operasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk dan arahan kepada perusahaan dalam penanganan bahan alergen di industri perisa bubuk.
TINJAUAN PUSTAKA Perisa
Perisa didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk sifat atau bentuk pangan (UU RI No. 7 1996). Perisa dapat didefinisikan sebagai sensasi yang komplek terhadap rasa dan aroma bahan pangan yang berperan penting dalam penerimaan terhadap bahan pangan (Heath 1986). Sementara menurut Fennema (1985) perisa merupakan gabungan persepsi yang diterima oleh indra kita yaitu bau, rasa, penampakan pada saat
mengkonsumsi makanan. Menurut
Vishweshwarair dan Moushigion (1992) penggunaan perisa pada bahan makanan ditujukan untuk: memperbaikirasa makanan yang lemah, mengganti rasa yang hilang
selama
pengolahan,
memodifikasi
profil
rasa
yang
telah
ada,
menyeragamkan rasa pada perisa alami yang bervariasi sementara ketersediaan yang terbatas, dan menekan biaya produksi agar lebih ekonomis. CAC (2008) mendefinisikan perisa sebagai karakteristik dari suatu bahan saat dikonsumsi, diterima oleh indera perasa dan pembau, juga merupakan respon dari reseptor di dalam mulut saat diterima dan diterjemahkan oleh otak sebagai persepsi perisa tertentu Menurut CAC (2008) flavor dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah senyawa kimia spesifik diperoleh melalui proses sintesis kimia sehingga disebut sebagai senyawa perisa sintetik maupun diperoleh dari alam seperti tumbuhan atau hewan, disebut sebagai senyawa perisa alami. Kelompok kedua adalah kompleks perisa alami, diperoleh melalui proses fisik yang secara tidak sengaja dan tidak dapat dihindarkan menghasilkan perubahan struktur kimia (contoh: distilasi dan ekstraksi dengan pelarut pengekstrak), atau karena proses enzimatis dan mikrobiologis suatu tanaman atau hewan. Contoh kompleks perisa alami adalah minyak atsiri, esen, ekstrak, hidrolisat protein, distilat, hasil pemanasan, sangrai atau enzimolisis. Kelompok ketiga adalah perisa asap, yaitu campuran kompleks dari komponen asap yang diperolah melalui pirolisis kayu yang terkendali, kemudian terhadap asap tersebut dilakukan distilasi dengan
4
pengekstrak cair, dikondensasi untuk menghasilkan fase cair. Komponen utama dari perisa asap adalah senyawa asam karboksilat, gugus karbonil dan gugus fenol. Berdasarkan karakteristiknya perisa dibagi menjadi dua bagian besar yaitu sweet dan savoury. Perisasweet merupakan perisa yang diidentikkan dengan perisa buah-buahan seperti jeruk, strawberry, nanas, pisang, mangga, apel, melon, anggur, dairy (susu, krim, keju, mentega, yogurt), kacang-kacangan (kacang tanah, hazelnut, almond), vanilla, mint. Adapun perisasavoury diidentikkan dengan perisa gurih atau “asin” dibagi menjadi kelompok daging (ayam, sapi, babi), saus dan rempah yang terdiri dari kelompok campuran (barbeque, teriyaki, soto), kelompok tunggal (bawang bombay, bawang putih, jahe, kayumanis), kelompok yang dimasak (asap, panggang, oriental, kecap), dairy (keju, mentega), seafood (ikan, udang, kepiting), sayur-sayuran (jamur, wortel, kentang) dan telur (Givaudan 2011).
Bahan Baku Perisa
Industri perisa memegang peranan yang penting dalam industri pangan. Kemajuan dan perkembangan industri ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan industri pangan pada umumnya, dimana kebutuhan perisa dari tahun ke tahun semakin meningkat seirama dengan perkembangan industri pangan. Komponen perisa dalam pangan dalam jumlah yang jumlah sangat kecil keberadaannya baik yang secara alami dalam bahan pangan dan juga ada yang secara sengaja ditambahkan dengan maksud memperkuat perisa alami. Beberapa persyaratan perisa alami untuk dapat ditambahkan dalam bahan pangan: (1) stabil dalam pemanasan pada media aqueous; (2) larut sempurna dalam air; (3) terdispersi secara merata pada fase air, minyak, matriks koloid bahan pangan;(4) dapat diproduksi dengan profil aroma dan citasa yang diterima;(5) unik; (6) stabil selama penyimpanan(Ashurt1991).Pembuatan senyawa perisa dengan metoda sederhana seperti distilasi dan ekstraksi minyak atsiri sudah diperkenalkan oleh bangsa Arab sejak jaman sebelum sejarah Kristen. Sejarah produksi minyak atsiri secara skala industri dimulai pada setengah abad yang lalu. Senyawa kimia
5
aromatik yang penting dikenal pada abad ke-19 dan mulai saat itu pertama kali dilakukan suatu usaha untuk mengisolasi senyawa-senyawa kimia dari sumber alami yang kemudian diikuti dengan sintesis menjadi senyawa kimia aromatik lainnya. Beberapa senyawa kimia aromatik rintisan pertama yang sangat penting saat itu adalah metil salisilat [1843]1, sinamat aldehida [1856]1, benzaldehida [1863]1 dan vanillin [1872]1 yang merupakan prekursor dari proses sintesis senyawa kimia aromatik lainnya. Industri perisa dan aroma pertama kali berkembang di Eropa, menyebar ke Amerika Serikat dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia (Erich & Herta 1998). Teknologi tradisional lainnya yang digunakan untuk menghasilkan senyawa perisa atau kompleks perisa adalah pengeringan, pirolisis, pemanggangan dan fermentasi (Arctander 2003). Dalam formulasi senyawa-senyawa perisa, sering pula ditambahkan bahan bukan perisa lainnya seperti bahan tambahan pangan dan bahan pangan yang diperlukan selama proses produksi, penyimpanan dan penanganan. Bahan ini berfungsi sebagai zat pembantu proses pelarutan atau dispersi perisa di dalam produk pangan. Penggunaan bahan bukan perisa sebaiknya diminimasi sampai batas yang paling mungkin untuk mencapai fungsi teknologinya dan harus mengikuti standar bahan tambahan pangan untuk produk pangan (CAC 2008). Proses pencampuran senyawa-senyawa perisa, kompleks perisa maupun bahan bukan perisa dilakukan dengan teknik pencampuran. Industri pangan saat ini menginginkan agar perisa masih memiliki rasa dan aroma yang segar dan otentik sekaligus mempunyai umur simpan yang panjang dan stabil, maka dikembangkanlah teknologi spray drying. Teknologi ini mengubah sifat fisik perisa cair menjadi bubuk dengan menggunakan pembawa yang melindungi senyawa-senyawa perisa tersebut dari pengaruh lingkungan luar (Fellow 2009). Spray drying konvensional digunakan untuk melindungi senyawa perisa yang tidak mudah teroksidasi. Teknologi enkapsulasi dengan penambahan lapisan (coating)digunakan untuk melindungi senyawa perisa yang mudah menguap dan teroksidasi. Saat ini dikembangkan pula teknologi multistage drying (MSD) untuk meningkatkan sifat flowability dan kelarutan serta mencegah penggumpalan. 1
Tahun pertama ditemukan
6
Pembuatan Perisa
Proses produksi dalam industri perisa adalah proses pencampuran bahanbahan perisa dengan komposisi yang tertentu untuk menghasilkan jenis perisa yang diharapkan, penentuan komposisi ini diserahkan kepada seorang flavorist. Bahan baku didatangkan dari dalam negeri ataupun harus diimpor dari negara lain. Dalam industri perisa dikenal kategorisasi sebagai perisa sweet dan savory. Perisa sweet biasanya diaplikasikan pada untuk industri minuman khususnya sirup, sari buah, permen, krem pengisi dan es krim. Berdasarkan produk jadi, perisa savory dibagi menjadi 3 kategori.Kategori pertama adalah, snack, meliputi snack dusting , extruded snack, expanded snacks, noodles, dan crackers,dengan jenis perisa yang digunakan adalah perisa chicken, beef, onion dan roasted corn. Kategori kedua adalahProcessed conviniencemeals/soups,meliputi soups,ramen noodles soups, instant noodle/seasonings, stew/meat sauces. Jenis perisa yang digunakan antara lain chicken, beef, fried garlic, fried onion, shrimp. Kategori ketiga adalahSpecialities, meliputi semua produk-produk yang telah disebutkan diatas namun perisa yang digunakan bertujuan untuk mencampur, memperkuat atau mempertajam perisa yang telah ada. Jenis perisa yang digunakan chicken, seafood, beef dan lain-lain (Winarno 2002).
Persyaratan Mutu Perisa dalam Produk Pangan di Indonesia
Perisa dalam penggunaanya sebagai bahan tambahan pangan di Indonesia telah memiliki persyaratan standar dalam bentuk SNI(Standar Nasional Indonesia) No.SNI
01-7152-2006
dikeluarkan
oleh
BSN(Badan
Standarisasi
Nasional).Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 67-62 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan, dan telah melalui rapat konsensus nasional tanggal 7 Oktober 2005. Tujuan penyusunan standar perisa, persyaratan dan penggunaannya dalam produk makanan adalah (1) memberikan pedoman penggunaan perisa bagi industri perisa dan industri pangan, (2) memberikan perlindungan kepada
7
konsumen terhadap dampak merugikan akibat penyalahgunaan penggunaan perisa, (3) memberikan jaminan mutu produk pangan, sehingga dapat meningkatkan daya saing, dan(4) mendukung perkembangan industri pangan. Ruang lingkup dari standar tersebut meliputi : acuan normatif, istilah dan definisi, jenis perisa, pengelompokan perisa, penggunaan perisa, ajudan perisa, larangan dan ketentuan label. Berkaitan dengan keamanan pangan masalah alergen tidak secara spesifik dibahas dalam standar ini.Namun dalam penggunaanya material perisa harus mengikuti aturan international JECFA (Joint FAO/WHO Expert Commitee on Food Additive), berkaitan dengan jenis dan jumlah yang diperbolehkan untuk digunakan dalam produk pangan.
Alergi Makanan
Joanne & Mimi (2004) mengatakan alergi makanan adalah bagian dari terminologi
yang
lebih
luas,
yaitu
hipersensitivitas
makanan
(food
hypersensitivity), yang diterjemahkan sebagai semua reaksi tak terduga yang timbul berkaitan dengan makanan, dan dapat dibedakan atas alergi makanan dan intoleransi makanan.Alergi makanan (food allergy), reaksinya berhubungan dengan mekanisme imunologis, dan diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), ataupun non IgE.Intoleransi makanan (food intolerance) tidak diperantarai oleh mekanisme imunologis. Intoleransi terjadi akibat bahan-bahan yang terkandung dalam makanan seperti toksin/racun (misalnya histamin pada keracunan makanan laut/ikan), atau penggunaannya secara farmakologis (misalnya tiramin dalam keju atau anggur merah). Reaksi ini terjadi pada orang yang sangat sehat sekalipun, jika mengkonsumsi bahan makanan tersebut dalam dosis besar, hal ini berbeda dengan alergi makanan yang dapat terjadi meskipun dosis makanan cukup kecil. Kemungkinan lain penyebab intoleransi makanan adalah adanya penyakit metabolisme bawaan (misalnya defisiensi enzim laktase yang menyebabkan intoleransi laktosa) Alergi makanan lebih banyak terjadi pada anak-anak, dibandingkan dengan orang dewasa. Alergi makanan yang diperantarai oleh IgE terjadi pada 6% anak di bawah 3 tahun, dan 2% pada dewasa. Anak dengan penyakit alergi (atopi)
8
seperti eksim (dermatitis atopi) dan asma lebih rentan mengalami alergi makanan. Lebih dari 95% alergi makanan timbul pada jenis makanan seperti: telur, susu, kacang-kacangan, gandum, kedelai, dan ikan. Mencapai usia 5 tahun, alergi terhadap telur, gandum, susu, dan kedelai menghilang pada sebagian besar anak. Namun alergi terhadap kacang-kacangan dan makanan laut tetap bertahan sampai usia dewasa pada 80% anak (Judarwanto, 2010)
Mekanisme Terjadinya Alergi dari Makanan Kata alergi dapat diartikan pada suatu reaksi terhadap zat yang ada di lingkungan, dengan cara dihirup, dimakan atau kontak dengan kulit. Dalam reaksi tersebut akan melibatkan antibodi, suatu protein yang dibentuk sistem imun, yang disebut imunoglobuin (IgE). Respon imun terjadi dalam 2 tahap, tahap kepekaan awal (sensitization) dan tahap elisitasi (elicitation), skema terjadinya reaksi alregi dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 Mekanisme Terjadinya Alergi Makanan (FDA 2009)
9
Tubuh pada individu yang rentan terhadap protein tertentu dalam makananakan membentukIgE dalam sirkulasi darah, apabila terjadi paparan yang sama maka protein akan melekat pada sel mediator kekebalan (mastcell) yang menyebabkan aktivasi dari sel-sel mediator. Elisitasi ini akan menyebabkan pelepasan molekul inflamasi seperti: Histamine, Luekotrience, Prostaglandin yang terdapat pada membranmukosa mata, hidung, paru, saluran pencernaan dan kulit (Tabel 1). Zat kimia ini akan bertindak sebagai mediator response alergi.Delapan jenis makanan yang sebagian besar terkait dengan kejadian alergen makanan termasuk susu sapi, telur ayam,ikan, kerang dan makanan laut, kacang (peanut), tree nuts (almond, brazil nut, cashew nut, pistachio, seeds (mustard, sesame), dan sereal(wheat).
Tabel 1 Jenis Pangan dan Senyawa Alergen utama terkait dalam reaksi alergi makanan Jenis Bahan Pangan
Senyawa Alergen
Target organ
Efek
Susu sapi
Hidung, paru
Telur Ayam
Casein, Beta Lactoglobulin Alfa Lactalbumin Ovalbumin
Hidung, kulit
paru, Hidung tersumbat, berair, dermatitis
Ikan
Parvalbumin
Hidung
Hidung tersumbat, berair, mata gatal.
Kerang
Tripomyosin
Kulit & Perut
Dermatitis
Kacang tanah
Globulin, Albumin
Hidung
Hidung tersumbat
Kacang Kedelai
Globulin
Hiduang
Hidung tersumbat
Cereal
Prolamins
Perut
Kejang
Makanan dgn sodium sulfite atau potassium sulfite,
Sulfit SO2 >10 ppm
Paru-paru
Ashma, iritasi
Hidunggatal bersin, berair
10
Peraturan Internasional mengenai Alergen
Aturan mengenai alergen banyak dikeluarkan oleh beberapa negara, badan internasional serta asosiasi industri. Peraturan ini dibuat untuk menjaga keamanan pangan bagi konsumen dan memberikan panduan yang jelas bagi industri yang memasok bahan pangan tersebut dipasarkan. Tabel 2 menyajikan beberapa peraturan mengenai alergen yang digunakan dibeberapa negara.
Tabel 2 Peraturan International Mengenai Alergen Wilayah/Area North America USA
Canada
Asia Pacific Australia, New Zealand Europa, Africa, and Middle East European Community
Codex- FAO/WHO Association : IOFI
Peraturan yang diguanakan sebagai referesi Food Allergy Awareness and Consumer Protection Act 2004 and implementing FDA/USDA regulation and guidelines Regulation amending the food and drug regulations (1220-Enhanced Labelling for Food Allergen and Gluten Souce and Added Sulphite.
FSANZ Standard EU Directive 2003/89/EC amending food Labeling Directive 2000/13/EC Commission Directive 2007/68/EC amending Annex IIIa to Directive 2000/13/EC ALBA ALINORM 97/22 IOFI Information Letter 1294 of November 7,2001
Berdasarkan Standar umum pelabelan dan pengemasan yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius ALINORM 97/22 berikut jenis alergen utama dan makanan yang telah diketahui menyebabkan alergi.
11
Tabel 3 Kategori alergen berdasarkan FAO/ WHOCodex Alimentarius ALINORM 97/22 Alergen
Jenis Bahan Makanan
Milk Eggs Cereal, Wheat Fish
Milk Eggs Common wheat, Durum wheat, Club Wheat Fish-Anchovi, bass, bluefish,catfish, herring, marlin, Mackerel crab,crayfish,lobster,clam,cockle, mussels, octopus, oysters, scallops Peanut, almond,cashew Legumes-soy beanKacang kedelai Color additive
Shellfish & Crustacean Peanut & Tree Nut Soybean Sulfites content > 10 ppm
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)
Perkembangan keamanan pangan terus meningkat sesuai dengan persyaratan konsumen dan seirama dengan kenaikan kualitas hidup manusia. Pada tahun 1993 CAC (Codex Alimentarius Commision) sebagai organisasi standarisasi pangan FAO (Food and Agriculture Organization) /WHO (World Health Organization) telah memberikan pedoman dan
mengadopsi HACCP
sebagai sistem jaminan mutu berbasis keamanan pangan untuk seluruh industri pangan di dunia. HACCP adalah sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut (Winarno 2012). Jenis bahaya yang dapat membahayakan konsumen dan harus dikontrol secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu (1) bahaya mikrobiologis misalnya: bakteri, kapang, protozoa, ganggang , (2) bahaya kimia misalnya: bahan berbahaya, pembersih, fungisida, insektisida, herbisida, pestisida, migrasi komponen plastic, allergen dan bahan pengemas, (3) bahaya fisik misalnya: logam, gelas, plastik, perhiasan. Bahaya-bahaya dalam setiap proses produksi harus dapat dikenali, dan perlu dilakukan penyusunan mekanisme pencegahan dan pengendalian. Dalam penerapan HACCP di industri pangan perlu mengikuti 12 langkah atau tahap seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 4.
12
Tabel 4 Tahapan Aplikasi HACCP No.Tahapan
Aktifitas
HACCP Prinsip
1
Menyusun tim HACCP
-
2 3
Mendeskripsikan produk Mengidentifikasi penggunaan produk
-
4
Membuat diagram alir
-
5
Melakukan verifikasi diagram alir di tempat
-
6
Membuat daftar semua bahaya potensial dengan Prinsip 1 melakukan analisis bahaya dan penentuan tindakan penjegahan
7 8
Menentukan CCP’s (Critical Control Point) atau Prinsip 2 titik kristis untuk pengendalian Menetapkan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip 3
9
Menetapkan sistem pemantauan untuk setiap CCP
10 11
Menetapakan jenis tindakan koreksi untuk Prinsip 5 penympangan yang mungkin terjadi. Menetapkan prosedur ventidasi Prinsip 6
12
Membuat penyimpanan catatan dan dokumentasi
Prinsip 4
Prinsip 7
Pada tahapan HACCP langkah ke-7 prinsip ke-2, pada saat menentukan titik kendali kritis perlu menggunakan pedoman berupa diagram pohon keputusan CCP (CCP Decision Tree), mengacu pada Codex Alimentarious Commission GL/32 1998, sepertiyang digambar pada Gambar 2. Analisa bahaya (hazard analysis) perlu dilakukan untuk menentukan bahaya yang perlu dikendalikan yakni dengan cara melakukan identifikasi bahaya, mencari potensi dan frekuensi terjadinya bahaya tersebut, serta mengukur tingkat bahaya
yang terjadi. Tabel 5 memperlihatkan matrik penilaian bahaya yang
digunakan untuk mengukur tingkat bahaya, sampai level yang masih dapat diterima dengan mempertimbangkan: peraturan perundangan yang berlaku, persyaratan keamanan pangan dari pelanggan, rencana penggunaan oleh pelanggan, serta data lain yang relevan.
13
P1
Adakah tindakan pencegahan ?
Ya
Lakukan modifikasi tahapan dalam proses atau produk
Tidak
Apakah pencegah pada tahap ini perlu untuk keamanan pangan ?
Tidak
P2
Ya
Bukan CCP
Berhenti
Apakah tahapan dirancang spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai level yang dapat diterima ?
Ya
Tidak
P3
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat samai tingkatan yang tidak dapat diterima ?
Ya
P4
Tidak
Bukan CCP
Berhenti
Akankan tahapan berikutnya menghilangkan atau mengurangi bahaya yang teridentifikasi sampai level yang dapat diterima ?
Ya
Bukan CCP
CCP
Tidak
Berhenti
Gambar 2 Diagram Pohon Keputusan CCP (Winarno 2012 ).
14
Tabel5 Matrik penilaian bahaya antara peluang dan keakutan terjadinya bahaya.
Setelah dilakukan penilaian bahaya maka akan ditentukan tindakan pengendalian
(control
measure)
untuk
mencegah,
menghilangkan,
atau
mengurangi bahaya keamanan pangan sampai ke level yang dapat diterima, tindakan pengendalian tersebut dituangkan dalam HACCP plan yang berisi Prerequisite Program (PRP), Critical Control Point (CCP)
atau Oprational
Prerequiisite Program (OPRP). Perkalian antara peluang dan keakutan akan menghasilkan nilai, bila nilai tersebut antara 0-2 maka bahaya dapat dicegah dengan PRPyakni aktivitas dasar yang diperlukan untuk memelihara lingkungan yang higienis diseluruh rantai pangan untuk proses produksi, penanganan dan penyediaan produk yang aman untuk dikonsumsi.jika nilai yang diperoleh antara 3 -6 maka perlu adanya(OPRP), merupakan program prasyarat dimana dalam analisa bahaya ditetapkan sebagai hal yang penting untuk mengendalikan kemungkinan masuknya bahaya keamanan pangan didalam produk atau lingkungan proses.
METODOLOGI Waktu dan Tempat
Seluruh tahap penelitian dilakukan dari bulan April 2011 hingga Februari 2012 di PT. Givaudan Indonesia, bertempat di Jl.Raya Bogor KM. 35, Sukamaju, Cimanggis, Depok. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa dokumen yang telah dikeluarkan oleh badan otoritas pembuat kebijakan terutama berupa standar keamanan pangan berkaitan dengan alergen dari ALBA, Codex Alimentarius Commission (CAC) WHO/FAO, daftar material yang digunakan dalam proses pembuatan perisa bubuk. Literatur yang terkait dengan penerapan manajemen alergen di negara lain dan yang berlaku secara internasional. Beberapa data sekunder yang terkait dengan proses pembuatan perisa bubuk, dan beberapa prosedur proses: perencanaan, produksi, pengemasan, pembersihan, dan penangan pasca produksi.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus (case study). Kasus yang diteliti adalah masalah pengendalian alergen di PT. Givaudan Indonesia. Pada perinsipnya setiap produk pangan harus mencantumkan informasi jenis alergen pada label produk. Hal ini diperlukan oleh konsumen yang memiliki kepekaan alergi terhadap jenis alergen tertentu. Dalam penelitian ini telah diidentifikasi jenis alergen apa yang terdapat dalam setiap bahan baku dan penolong dalam pembuatan perisa bubuk.Disamping itu telah dilakukan evaluasi terhadap seluruh tahapan proses, mulai dari pengadaan bahan baku dan penolong sampai dengan proses pengiriman produk kepada pelanggan. Pendekatan yang digunakan adalah analisa HACCP. Tahapan proses yang dinilai kritis ditentukan cara pengendaliannya dengan menyusun
16
rancangan standar prosedur operasi (SPO). Penentuan suatu tahapan proses dikatakan sebagai tahapan krisisdan harus dikendalikan berdasarkan besarnya peluang terjadinya kontaminasi antara bahan baku dan penolong yang digunakan dan telah diketahui jenis alergennya terhadap suatu jenis produk perisa bubuk yang tidak diketahui jenis alergennya.
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan sesuai diagram alur seperti digambarkan pada diagram alur (Gambar 3)
Gambar 3 Diagram alur pelaksanaan penelitian Berdasarkan diagram alur pada Gambar 2 terdapat 4 langkah pelaksanaan yang dimulai dari identifikasi jenis alergen pada bahan baku dan penolong, analisa peluang kontaminasi silang alergen dalam proses produksi, dilanjutkan dengan
17
analisa kebutuhan standar prosedur operasi serta dilangkah terakhir melakukan perancangan SPO sistem manajemen alergen. Berikut akan dijelaskan mengenai ke empat tahapan penelitian ini: 1. Identifikasi jenis alergen pada bahan baku dan bahan penolong Identifikasi alergen ini dilakukan terhadap seluruh bahan baku dan bahan penolong yang diperlukan untuk pembuatan perisa bubuk. Bahan-bahan tersebut tercantum dalamGlobal Regulatory Database (GRD) yang telah dibuat oleh perusahaan dan didukung dengan informasi dari pemasok melalui kuesioner yang telah dilengkapi. Pada prinsipnya dari seluruh bahan baku dan bahan penolong yang terdapat pada GRD telah tercantum jenis alergennya, apabila bahan tersebut mengandung senyawa alergen. Identifikasi alergen dilakukan dengan cara expert jugment mengacu pada standar WHO/FDA Codex alinorm 97/22. Hasil dari identifikasi ini adalah daftar bahan baku dan penolong yang mengandung alergen serta mengelompokkan bahan tersebut berdasarkan jenis alergennya.
2. Analisapeluang kontaminasi silang alergen dalam proses produksi Pada analisa ini juga mencakup proses pengadaan dan penerimaan bahan baku dan penolong karena pada tahapan ini diperlukan informasi tentang keberadaan alergen pada sepesifikasi bahan baku dan penolong yang akan dipasok atau diterima. Kemungkinan kontaminasi silang dianalisa lebih mendalam pada setiap proses pembuatan perisa bubuk. Metoda yang digunakan adalah dengan Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh kepala bagian yang bertanggung jawab terhadap masing-masing proses dan pendekatan metoda HACCP untuk melihat tingkat bahaya bahaya pada setiap tahapan proses.Hasil dari analisa ini merupakan informasi tentang berbagai kemungkinan terjadinya kontaminasi silang dari setiap proses dan alternatif solusi pencegahan atau pengendalian proses untuk memastikan hasil proses mengandung atau tidak mengandung alergen.Apabila mengandung alergen dapat ditentukan secara pasti jenis alergennya.
18
3. Analisa kebutuhan Standar Prosedur Operasi Setelah dilakukan analisa kemungkinan terjadinya kontaminasi silang pada setiap tahapan proses pembuatan perisa bubuk maka tahapan selanjutnya adalah menganalisa kebutuhan standar SPO, dimana pada tahap ini ditentukan prosedur
yang diperlukan untuk memastikan bahaya kontaminasi silang
alergen dapat dikendalikandan dihilangkan. Hasil dari analisa ini adalah teridentifikasinya kebutuhan SPO untuk setiap tahapan proses pembuatan perisa bubuk dari pengadaan bahan bahan baku sampai pengiriman produk akhir ke pelanggan. FGD akan melakukan peninjauan kembali hasil identifikasi kebutuhan SPO.
4. Perancangan SPO sistem manajemen alergen. Tahapan ini merupakan tahapan akhir dalam penelitian ini, dimana setelah dilakukan identifikasi kebutuhan SPO, maka dibuat rancangan SPO untuk area yang memerlukan prosedur operasi guna memastikan potensi kontaminasi silang dapat dikurangi dan dicegah.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Alergen pada Bahan Baku dan Bahan Penolong Berdasarkan hasil identifikasi dari data sekunder berupa informasi dari pemasok meliputi data informasi produk, kuesioner dari pemasok diperoleh 56 bahan baku dari total 964 material yang aktif digunakan untuk memproduksi perisa bubuk dikategorikan sebagai alergen, mengacu pada kategorisasi berdasarkan FAO/WHO (CAC2010) seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Distribusi alergen pada bahan baku hasil kategorisasi berdasarkan FAO/WHO.
Analisa identifikasi alergen juga menunjukkan bahwa 7 bahan baku memiliki lebih dari 1(satu) kombinasi kategori alergen, seperti yang ditampilkan pada Gambar 5. Penanganan untuk bahan baku dan penolong yang memiliki lebih dari satu kategori alergen tidak
berbeda dengan
penanganan pada bahan alergen yang harus hanya memiliki satu alergen.
19
20
Gambar 5. Distribusi Bahan Baku dan Bahan Penolong yang Memiliki Lebih dari Satu Kategori Alergen
Setiap bahan baku dan penolong kategori alergen dilengkapi dengan huruf “A” disertai dengan nama dari jenis alergen yang dimilikinya. Pada saat penyimpanan diletakkan di area khusus alergen, di level paling bawah dari rak, dan seperti bahan alergen yang lain digunakan lembar plastik penutup (plastic slip sheet) untuk menutup permukaan kemasan bagian atas agar tidak ada kontaminasi silang dari bahan baku dan penolong yang berada di rak bagian atasnya. Bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam industri perisa dapat mengandung alergen,disebabkan dari beberapa hal: asal bahan baku baku, komposisi bahan penyusunnya dan proses pembuatannya. Sebagai contohbahan baku: karamel digunakan untuk membentuk warna, sementara dalam proses pembuatan tidak bisa dihindari menggunakan sulfit untuk mendapatkan warna yang diharapkan. Dalam pembuatan perisa bubuk, tidak dapat begitu saja mengganti bahan baku atau bahan penolong yang masuk kategori alergen, karena akan menggangu hasil profil produk yang dihasilkannya baik penampakan, rasa dan kestabilan produk, sehingga mengawasan, penanganan, pengemasan dan
21
penyimpanan produk berhubungan dengan alergen perlu diatur dalam suatu sistem manajemen alergen yang tepat dan terpadu agar dapat memastikan tidak terjadi kontaminasi silang.Dewasa ini pengendalian alergen sudah merupakan
hal yang biasa dan wajib untuk diterapkan sejalan dengan
semakin tingginya permintaan pasar terhadap penanganan masalah keamanan panganterutama dalam perdagangan antar negara.
2.
Peluang kontaminasi silang alergen pada proses pembuatan perisa bubuk.
Hasil analisa peluang terjadinya kontaminasi silang alergen untuk setiap tahapan proses dalam rantai proses industri perisa bubuk, meliputi beberapa aktifitas sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram Alir Rantai Proses Pembuatan Perisa Bubuk Proses analisa peluang kontaminasi silang alergen telah dilakukan oleh bagian Quality Assurance, selanjutnya didiskusikan dalam FGD, dengan peserta yang mewakili masing-masing departmen dan keahliannya, terdiri dari bagian produksi, perawatan, regulasi, kualitas, dan mikrobiologi. Hasil analisa peluang kontaminasi silang alergen pada tahapan proses pembuatan perisa bubuk akan dijelaskan secara detail sebagai berikut ini.
2.1. Pengadaan Bahan Baku Pengadaan bahan merupakan tanggung jawab bagian pembelian (Purchasing). Kontrol atau pengukuran potensi alergen didasarkan pada
22
kuesioner pemasok(Supplier Questionnaire) dengan informasi alergen sesuai dengan bahan yang dipasok sebagaitarget dan toleransi(lampiran 1). Informasi tersebut akan digunakan untuk memperbaharuiGlobal Regulatory Database. Pada tahapan proses ini bagian pembelian akan mengacu pada database tersebut untuk membuat purchase order kepada pemasok,
bila terjadi
ketidaksesuaian informasi maka akan diteruskan ke Global Material Management, bagian ini yang mengumpulkan semua informasi material termasuk kuesioner. Berdasarkan
analisa bahaya alergen, proses pengadaan bahanbaku
memilki tingkat risiko 3dan tahapan proses ini bukan merupakan CCP karena terdapat proses validasi terhadap kuesioner dari seluruh supplier oleh team khusus (Global Ingredient Manajement) dan informasi ini akan digunakan untuk mengidentifikasi jenis alergen untuk setiap bahan baku yang datang. Pengendalian proses ini dapat dilakukan dengan memastikan bagian pengadaan bahan baku selalu menggunakan pemasok yang telah diregistrasi dan mendapat persetujuan sebagai pemasok bahan baku.
2.2.
Penerimaan Bahan Baku Proses penerimaan bahan baku merupakan tanggungjawab bagian
gudang. Saat kedatangan bahan baku akan dilakukan pengecekan terhadap alat transportasi yang digunakan, termasuk kondisi kendaraan, jenis barang yang diangkut, serta kelengkapan dokumen seperti surat jalan (delivery note), sertifikat hasil analisa (Certificate of Analysis). Setiap jenis produk akan diidentifikasi mengenai jenis alergen berdasarkan database informasi alergen di dalam sistem SAP(System Application Product).Hasil identifikasi bahaya pada proses penerimaan bahan baku dan bahan penolong diperoleh tingkat risiko 3. Berdasarkan
analisa bahaya alergen, proses penerimaan bahan baku
memiliki tingkat bahaya 3 dan tahapan proses ini bukan merupakan CCP karena pada proses penerimaan barang, informasi yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis alergen sudah ada di dalam sistem untuk setiap bahan baku. Ada beberapa peluang yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi
23
silang di area ini yaitu: (1) kerusakan kemasan produk karena penanganan yang salah selama transportasi dari supplier ke gudang penerimaan dan(2) informasi alergen pada label kemasan tidak ada atau tidak tercetak dengan jelas. Tindakan pengendalian perlu dilakukan untuk memperkecil peluang kontaminasi silang diatas dengan cara: melakukan inspeksi secara visual untuk setiap kedatangan barang berkaitan dengan kondisi kemasan barang, kebersihan kendaraan
dari ceceran produk. Apabila terdapat kerusakan
kemasan produk harus segera dipisahkan untuk mengehindari kontaminasi silang dan dibuatkan laporan/berita acara setiap terjadi ketidaksesuaian. Kemasan bahan baku dan bahan penolong selanjutnya dilakukan pelabelan dengan label internal yang berisi informasi: nama, kode, nomor batch, nomor HU(Handling Unit), kondisi penyimpanan, tanggal kedaluwarsa, kode dan jenis alergen serta simbol hazard untuk setiap bahan baku, dalam beberapa kasus dapat terjadi informasi dalam label tersebut tidak muncul, hal ini disebabkan kesalahan sistem atau data belum diperbaharui, sehingga perlu dilakukan verifikasi dengan mencocokkan dengan daftar material yang mengandung alergen. 2.3.Penyimpanan Bahan Baku Bahan baku yang telah diterima bagian gudang akan diberi identitas berupa label yang menginfomasikan: nama produk, nomor batch, nomor HU(Handling Unit), tanggal kedaluwarsa, kondisi penyimpanan, berat bersih, simbol bahan berbahaya dan informasi alergen. Informasi ini berupa symbol “A” serta informasi kategori alergen yang dimiliki, contoh: cereals, soybean, sulfites yang secara otomatis akan tercetak secara spesifik sesuai dengan kode bahan yang diterima seperti pada Gambar 7.
24
Gambar 7 Label Bahan Baku (Raw Material) dengan Informasi Alergen Berdasarkan analisa bahaya alergen, proses penyimpanan bahan baku memiliki tingkat bahaya dengan rating 3. Peluang terjadinya kontaminasi pada tahapan proses ini adalah: (1) kerusakan kemasan produk dikarenakan kesalahan dalam penanganan sehingga terjadi ceceran produk yang berpotensi terjadinya kontaminasi silang dan (2) penempatan produk alergan yang tidak tepat, dimana tidak adanya pemisahan antara produk yang mengandung alergen dan tidak alergen. Tahapan proses ini bukan merupakan CCP karena pada proses penyimpanan barang, risiko kontaminasi silang alergen masih dapat dicegah dengan adanya identifikasi alergen pada label produk, pemisahan produk alergen , serta adanya prosedur penangan alergen. Solusi untuk mengurangi potensi kontaminasi silang pada tahap penyimpanan bahan baku adalah menyimpan produk pada rak yang telah tersedia. Khusus untuk produk yang mengandung alergen, akan ditempatkan di lokasi khusus pada rak paling bawah dan ditutup dengan plastik penutup, serta melakukan pembersihan gudang secara rutin. Karyawan yang bekerja juga perlu mendapatkan training penyegaran berkaitan dengan GMP dan keamanan pangan khususnya untuk manajemen alergen. 2.4.Penyiapan Bahan Baku (Pre-batch) Proses penyiapan bahan baku merupakan bagian dari proses produksi, pada proses ini bahan baku dalam jumlah penggunaan sedikit akan ditimbang dan dicampur menjadi produk setengah jadi (submixing).Hasil identifikasi
25
bahaya, untuk tahapan proses ini dapat dilihat pada Lampiran1. Tahapan proses ini memiliki tingkat bahaya rating 6, dan bukan sebagai CCP namun dengan tingkat bahaya rating 6 perlu dibuatkan prosedur operasi agar dapat mempermudah bagi operator untuk selalu mengikuti prosedur penanganan produk alergen. Pada tahapan proses ini peluang terjadinya kontaminasi silang cukup besar, diantaranya: (1) kontaminasi silang dari peralatan dan alat bantu yang digunakan dan (2) kontaminasi silang dari sirkulasi udara akibat filter pada AHU (Air Handling Unit) tidak berfungsi dengan baik. Solusi untuk menangani peluang terjadinya kontaminasi tersebut dengan melakukan kontrol terhadap terhadap peralatan.Peralatan untuk mengambilbahan baku diharuskan teridentifikasi untuk setiap jenis alergen, serta penempatan bahan baku alergen perlu ditempatkan di rak paling bawah dan dikemas dengan kondisi yang tertutup untuk menghindari kontaminasi silang antara bahan baku alergen dan non alergen ataupun antara tipe bahan baku alergen yang berbeda. Sirkulasi udara ruang produksi juga perlu dipastikan berjalan dengan baik, terutama filter pada alat AHU perlu mendapat perhatian khusus dengan melakukan monitoring secara rutin dengan indicator tekanan, apabila tekanan udara terbaca di alat monitor maka dipastikan filter udara perlu dibersihkan. Dalam hal ini operator
memegang peranan penting untuk memastikan proses
pendukung berjalan dengan baik sehingga kontaminasi silang selama proses penyiapan material tidak terjadi, untuk ini diperlukan pemahaman yang cukup dalam
menangani produk alergen melalui pelatihan khusus seperti yang
tertuang dalam Prerequisite Programmes on Food Safety for Food Manufacturing (PAS 220 2008). . 2.5. Produksi Perisa Bubuk Dalam tahapan proses produksi yang meliputi Charging, Dry Blending, Sieving dan Filling memiliki kesamaan dalam peluang terjadinya kontaminasi yakni: (1) kontaminasi silang dari peralatan yang digunakan,(2) kontaminasi silang karena proses pembersihan yang kurang sempurna,(3) kontaminasi silang
dari kesalahan dalam menentukan urutan produk yang akan
26
diproduksi,dan (4) kontaminasi silang dari sirkulasi udara di area produksi yang kurang baik. Sebagai solusi untuk mengurangi peluang terjadinya kontaminasi silang maka beberapa hal telah ditetapkan sebagai titik kendali untuk mengurangi risiko tersebut diantaranya: pengaturan jadwal produksi, pencucian peralatan, sirkulasi udara, dan operator. Pengaturan jadwal produksi memegang peranan yang penting untuk mengurangi risiko kontaminasi silang. Produk yang tidak mengandung bahan alergen akan mendapat prioritas untuk diproduksi lebih awal. Pencucian basah perlu dilakukan setelah memproduksi produk yang menggunakan bahanbakualergen serta dipastikan pencucian tersebut efektif (Lampiran 3). Kondisi proses selama pembuatan perisa bubuk dicatat dalam lembar produksi (Lampiran4). Verifikasi dilakukan pada air bilasannya menggunakan alat Conductivity Meter dan melakukan validasi metoda pembersihan
allergen
(Lampiran5)
dengan
mengambil
dan
mengirimkansampel air bilasan ke pihak ketiga (eksternal laboratorium) untuk pengukuran residu alergen (AFGC, 2007). Sirkulasi udara dalam ruang produksi perlu dimonitor dan dipastikan udara yang masuk telah melalui proses penyaringan dengan AHU(Air Handling Unit). Berdasarkan hasil analisa bahaya dapat dilihat pada Lampiran 1 beberapa tahapan dalam proses ini memiliki tingkat bahaya dengan rating 3 sampai dengan 6, maka untuk memastikan bahwa potensi kontaminasi tersebut bisa berkurang diperlukan SPO yang mencakup penggunaan peralatan dan alat pendukung produksi, proses pembersihan, jadwal produksi, dan penyaringan udara.
2.6.Pengemasan Produk Jadi Peluang kontaminasi silang alergen pada tahapan proses pengemasan produk perisa bubuk adalah kontaminasi silang dari ceceran pada bahan pengemas yang berasal dari
bahan baku ataupun produk jadi yang
mengandung alergen.Hasil analisis bahaya diperoleh dengan tingkat bahaya 3. Solusi untuk menangani peluang kontaminasi ini dengan melakukan pengecekan untuk setiap bahan pengemasan yang akan digunakan serta
27
melakukan perbersihan bila ditemukan ceceran dengan perlakukan fisik menggunakan vacuum cleaner, bila tidak memungkinkan maka kemasan tersebut tidak boleh digunakan. Pengamatan dan verifikasi untuk tindakan koreksi ini dengan cara melakukan Audit GMP.
2.7.Penyimpanan Produk Jadi Produk jadi akan dipindahkan dari area produksi ke area gudang dengan alat bantu transportasi. Peluang terjadinya kontaminasi silang alergen termasuk kecil, karena kondisi kemasan produk yang tertutup, hal ini juga diperlihatkan pada hasil analisa bahaya dengan tingkat bahaya rating 3.Pada proses pemindahan perlu dipastikan tidak ada ceceran bubuk yang disebabkan karena kerusakan kemasan saat proses pemindahan barang. Saat penyimpanan produk jadi perlu dipastikan bagian atas dari tumpukan produk diatas palet, telah ditutup dengan plastik penutup agar mengurangi risiko terjadinya kontaminasi silang ke produk lain selama penyimpanan.Pengamatan dan verifikasi untuk tindakan koreksi ini dengan cara melakukan Audit GMP . 2.8.Pengiriman Produk Jadi ke Pelanggan Proses pengiriman merupakan proses akhir yang perlu mendapat perhatian sebelum barang diterima oleh pelanggan. Peluang terjadinya kontaminasi silang alergen pada tahapan akhir ini tetap ada terutama disebabkan oleh kerusakan kemasan selama proses pengiriman karena kesalahan dalam penanganan produk. Hasil analisis bahayapada tahap proses pengiriman dengan tingkat bahaya rating3 .Solusi untuk mengurangi peluang kontaminasi yakni dengan melakukan pengawasan diantaranya: memastikan kondisi alat transportasi dalam kondisi yang baik dan layak, pengecekan dokumen seperti surat jalan (delivery note), certificate of analysis, serta penempatan produk di kendaraan pengangkut. Semua titik kendali tersebut dicatat dalam laporan inspeksi barang keluar, dimana akan berguna untuk telusur balik bila terjadi ketidaksesuaian selama proses pengangkutan. Pada setiap tahapan proses pembuatan perisa bubuk telah dilakukan identifikasi peluang terjadinya kontaminasi alergen, tindakan perbaikan dan pencegahan.Secara umum dari hasil identifikasi peluang kontaminasi alergen
28
serta analisa bahaya diperoleh bahwa area produksi merupakan area yang memiliki peluang kontaminasi alergen yang lebih besar dengan tingkat bahaya rating antara 3 sampai dengan 6, sehingga diperlukan pengendalian khusus OPRP (Oprational Prerequisite Program) dituangkan dalam SPO untuk dipantau yang menunjukkan bahwa OPRP diimplementasikan serta didukung dengan instruksi kerja yang jelas apabila diperlukan. Sementara untuk area lain masih dapat dikendalikan dengan PRP (Prerequisite Program) seperti GMP.
3. Kebutuhan Standar Prosedur Operasi Kebutuhan SPO pada tahapan pembuatan perisa bubuk diperoleh setelah dilakukan analisapeluang terjadinya kontaminasi silang, dalam tahapan ini telah
ditentukan beberapa prosedur yang diperlukan untuk memastikan
bahaya
kontaminasi
silang
alergen
dapat
dikendalikan
atau
dihilangkan.Analisa ini dapat mengidentifikasi kebutuhan SPO untuk setiap tahapan proses pembuatan perisa bubuk dari pengadaan bahan bahan baku sampai pengiriman produk akhir ke pelanggan. Hasil review FGD adalah diperlukan 6 SPO
untuk memastikan pengendalian alergen dalam rantai
proses pembuatan perisa bubuk yang dapat diimplementasi dengan baik sehingga potensi kontaminasi silang alergen dapat dikurangi dan dicegah. Secara ringkas kebutuhan SPO ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kebutuhan Standar Prosedur Operasi pada pengendalian alergen dalam proses pembuatan perisa bubuk. No
SPO yang dibutuhkan
1
Pengadaan, penerimaan dan peyimpanan bahan baku & bahan penolong
2
Proses produksi perisa bubuk meliputi proses charging, blending, filling dan pengemasan
3
Penyimpanan produk jadi perisa bubuk
Alasan Potensi kesalahan pelabelan dan kerusakan produk selama transportasi cukup besar sehingga perlu dilakukan pengendalian dengan SPO tersendiri. Hasil analisa peluang kontaminasi alergen memiliki peluang yang besar dan hasil analisa bahaya memiliki rating 3 sampai dengan 6, maka pengendalian alergen tidak cukup dengan PRP namun dibutuhkan OPRP yang dituangkan didalam SPO Kesalahan dalam penempatan barang di gudang, dan kerusakan kemasan
Bagian terkait Pembelian dan Gudang
Produksi
Gudang
29
No
SPO yang dibutuhkan
Alasan produk dapat memicu kontaminasi silang.
4
Pengiriman produk jadi ke pelanggan
5
Kemampuan telusur
6
Pelatihan
Bagian terkait terjadinya
Potensi kerusakan produk banyak terjadi pada saat pengiriman barang melalui sarana transportasi darat, laut dan udara. Kerusakan barang tersebut memiliki potensi kontaminasi silang alergen, Sangat membantu dalam proses penelusuran akar penyebab terjadinya kontaminasi silang, dampak yang ditimbulkan dan membantu mempercepat pengambilan keputusan untuk mengambil tindakan koreksi .
Gudang, Distribusi, Customer Care
Pengetahuan tentang alergen tidak banyak diketahui oleh setiaporang karena adanya kesenjangan informasi dan tingkat pemahamannya sehingga perlu dilakukan pelatihan.
Produksi Gudang Personalia
QM/QC/Regulatory
3.1. SPO Pengadaan,Peneriman dan Penyimpanan Bahan Baku dan Penolong Kebutuhan SPO untuk proses pengadaan,penerimaan dan penyimpanan bahan baku dan penolong menjadi hal yang penting karena proses ini merupakan awal pengendalian alergen
yang akan mempengaruhi proses
pengendalian berikutnya. Pada SPO ini terdapat tiga proses yang disatukan yakni
proses
pengadaan,
penerimaan
dan
penyimpanan
mengingat
keterkaitan satu dengan yang lain cukup besar. Barang yang masuk harus melalui pemasok yang telah mendapat persetujuan atau ditunjuk oleh bagian pengadaan melalui mekanisme pemilihan pemasok, selanjutnya akan diterima oleh bagian gudang sesuai dengan order pembelian dan surat jalan dari bagian pembelian.Setelah produk diidentifikasi, maka barang alan disimpan sesuai dengan standar penyimpanan dan karakteristik bahan. SPO ini akan diaplikasikan untuk mengatur aktivitas pengendaliaan alergen di area pembelian dan gudang.
3.2. SPO Proses produksi perisa bubuk Proses produksi memerlukan SPO karena pada tahapan ini, dari hasil analisapeluang kontaminasiallergen,memiliki peluang terjadi kontaminasi
30
silang yang besar mengingat kondisi produk masih dalam kondisi yang terbuka,dan diperkuat dengan hasil analisa bahaya yang memiliki rating 3 sampai dengan 6.Dengan hasil ini,dibutuhkan OPRP yang dituangkan didalam SPO proses produksi perisa bubuk. Bagian produksi merupakan bagian yang terkait langsung dalam implementasi SPO ini di lapangan.
3.3. SPO Penyimpanan produk jadi. Produk jadi merupakan barang yang siap untuk dikirim ke pelanggan, namun apabila dalam proses penaganannya tidak benar maka potensi terjadinya kontaminasi alergen masih ada. Kesalahan dalam penempatan barang di gudang,dan kerusakan kemasan produk dapat memicu terjadinya kontaminasi silang. Hal ini pula yang menjadi alasan diperlukannya SPO di area penyimpanan produk jadi. SPO ini akan diaplikasikan untuk membantu bagian gudang dalam pengendalian alergen terhadap kontaminasi silang.
3.4. SPO Pengiriman produk jadi ke pelanggan Kebutuhan SPO untuk proses pengiriman produk jadi ke pelanggan menjadi penting karena potensi kerusakan produk banyak terjadi pada saat pengiriman barang melalui sarana transportasi darat, laut dan udara. Kerusakan barang tersebut memiliki potensi kontaminasi silang alergen, oleh karena itu perlu ada SPO guna memberikan acuan bagi semua pihak yang langsung ataupun tidak langsung menangani proses pengiriman produk jadi kepada pelanggan seperti bagian gudang dan pihak transporter.
3.5. SPO Kemampuan telusur Kontaminasi silang alergen dapat terjadi dari atau ke produk sehingga kemampuan telusur menjadi hal yang sangat penting, untuk memastikan apakah telah terjadi kontaminasi dan dari mana sumber kontaminasi tersebut. Kemampuan telusurini meliputi kemampuan telusur ke belakang (backward) dari produk akhir sampai ke supplier pemasok bahan baku dan penolong, sertakemampuan telusur ke depan (forward) dari pemasok hingga ke pelanggan yang mengkonsumsi produk. SPO kemampuan telusur akan sangat
31
membantu bagi pihak yang terlibat dalam proses penelusuran akar penyebab terjadinya kontaminasi silang.Bagian Quality Management, Quality Control, dan
Regulatory akan dapat menggunakan SPO ini dengan tujuan dapat
mencari akar penyebab kontaminasi, dan mengetahui seberapa besar dan luas kontaminasi yang terjadi tersebut, sehingga dapat segera mengambil tindakan untuk perbaikan secara cepat dan tepat.
3.6. SPO Pelatihan Pemahaman tentang alergen tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga diperlukan pelatihan dasar pengenalan allergen, namun tujuan, aspek penting dan sasaran pelatihan tersebut belum dibakukan.Hal ini menjadi alasan bahwa penting dibuatkan SPO pelatihan khusus dalam penanganan bahaya alergen kepada bagian pembelian, distribusi, gudang, produksi, pengawasan kualitas, dan transportasi.
4. Pembuatan Standar Prosedur Operasi Manajemen Alergen Beberapa SPO yang dibutuhkan dalam pengendalian kontaminasi silang alergen telah ditetapkan berdasarkan hasil tinjauan yang dilakukan oleh tim FGD.Selanjutnya
untuk
memastikan
bahwa
SPO
tersebut
dapat
diimplementasikan dan efektif dalam mengendalikan potensi kontaminasi silang di dalam rantai proses pembuatan perisa bubuk, maka diperlukan rancangan SPO yang sistematis dan telah mencakup beberapa hal penting diantaranya: (1) tujuan SPO tersebut dibuat,
(2) cakupan dari obyek yang
dikendalikan, (3) penanggungjawab dalam pelaksanaan SPO. Ringkasan rancangan SPO dapat dilihat pada Tabel 6. Rancangan SPO Pengadaan, penerimaan dan penyimpanan bahan baku dan penolong (Lampiran 6)menekankan pada pentingnya data informasi alergen dari pemasok yang akan digunakan sebagai identifikasi bahan alergen pada tahapan proses berikutnya, jika pada tahap ini tidak dikendalikan maka kesalahan dapat terjadi sehingga potensiterjadinya kontaminasi alergen lebih besar. SPO inimenekankan pada pentingnya identifikasi produk dengan
32
informasi alergen pada label dan pengaturan posisi saat penyimpanan di dalam gudang agar mengurangi potensi terjadinya kontaminasi silang Rancangan SPO proses produksi perisa bubuk (Lampiran 7), disusun berdasarkan alur proses produksi dari perencanaan jadwal produksi, persiapan bahan baku yang akan digunakan untuk pembuatan perisa bubuk, proses pencampuran dan pengadukan sampai pengemasan produk jadi. SPO ini perlu didukung dengan beberapa instruksi kerja(IK) seperti: IK produksi perisa bubuk, IK pencucian blender, dan IK validasi prosespencucian. Rancangan SPO ini juga menekankan pentingnya pengendalian kontaminasi silang yang bersumber dari peralatan dan sirkulasi udara. Penyimpanan dan pengiriman produk jadi diatur dengan SPO tersendiri dengan tujuan agarperisa bubuk yang telah diproduksi tidak mengalami kontaminasi silang saat penyimpanan produk jadi dan pengiriman ke pelanggan.Aspek penting yang ditekankan dalam SPO ini adalah penempatan produk, kebersihan gudang, pengawasan melalui inspeksi dilapangan, dan pencatatan untuk setiap adanya ketidaksesuaian di lapangan agar dapat ditindaklanjuti untuk tindakan perbaikan (Lampiran 8 dan 9). Rancangan SPO pelatihan menekankan pada peningkatan pengetahuan mengenai alergen melalui informasi yang diberikan pada pelatihan tersebut.Materi yang diberikan dalam pelatihan telah diatur dalam SPO ini, dan
untuk mengukur tingkat pemahaman dari peserta pelatihan maka
dilakukan evaluasi pelatihan seperti yang diatur dalam SPO (Lampiran 10). Kemampuan telusur dalam sistem manajemen alergen sangat diperlukan dalam menghadapi kondisi kritis seperti penarikan produk (product recall). Rancangan SPO kemampuan telusur akan memberikan arahan dalam menangani kondisi kritis tersebut melalui langkah penelusuran seperti pada simulasi yang dipaparkan dalam rancangan SPO (Lampiran 11).
Tabel7 Rancangan Standar Prosedur Operasi pada pengendalian alergen dalam proses pembuatan perisa bubuk No 1
2
3
4
Standar Prosedur Operasi Pengadaan,penerimaan dan peyimpanan bahan baku & bahan penolong
Proses produksi perisa bubuk
Tujuan
Lingkup
Mencegah kontaminasi alergen pada bahan makanan yang tidak seharusnya mengandung alergen dan memastikan bahan baku teridentifikasi dengan informasi alergen yang tepat dan benar. Memastikan selama proses pembuatan perisa bubuk tidak terjadi kontaminasi silang alergen
Prosedur ini akan diaplikasikan untuk proses kedatangan barang dari pemasok. Prosedur ini dapat digunakan untuk bagian pembelian dan gudang
Penyimpanan produk jadi perisa bubuk
Memastikan selama proses penyimpanan produk jadi tidak terjadi kontaminasi silang alergen.
Pengiriman produk jadi perisa bubuk ke pelanggan
Memastikan selama proses pengiriman tidak terjadi kontaminasi silang alergen
5
Pelatihan
6
Kemampuan telusur
Menjelaskan kebutuhan pelatihan khususnya berkaitan dengan system menajemen alergen agar setiap karyawan dapat mengerti alergen dan cara menanganinya. Dokumen ini akan memberikan arahan dalam melakukan penelusuran terhadap produk yang dikembalikan atau ditarik akibat kontaminasi alergen dan mengevaluasi efektifitas proses telusur ini
Prosedur ini akan diaplikasikan untuk proses pembuatan perisa bubuk di PT. Givaudan Indonesia
Prosedur ini akan diaplikasikan untuk proses penyimpanan produk jadi perisa bubuk yang di produksi oleh PT. Givaudan Indonesia SPO ini diaplikasikan untuk semua orang yang bekerja di area pengiriman produk jadi perisa bubuk serta pihak lain yang berkaitan dengan proses pengiriman barang ke pelanggan Prosedur ini diaplikasikan untuk perisa yang diproduksi oleh PT. Givaudan Indonesia. Prosedur ini akan diaplikasikan untuk produk perisa yang diproduksi oleh PT.Givaudan Indonesia.
Penanggungjawab olehKepala Bagian Pembelian& Gudang
Kabag Produksi
Instruksi Kerja Pendukung − Penerimaan bahan baku &bahan penolong
− Pencucian blender − Validasi proses pembersihan. − Proses produksi perisa bubuk
Gudang
Logistik
HR QM Produksi
QA/QC
33
34
Rekomendasi untuk Perusahaan dan Industri Perisa Bubuk
Berdasarkan hasil kajian yang sudah dijelaskan di atas, dapat diberikan rekomendasi kepada perusahaan khususnya dan industri perisa bubuk
umumnya
dengan rekomendasi berikut. Pada pengendalian kontaminasi alergen dengan pendekatan analisis bahaya dapat menggunakan alat bantu HACCP dan GMP, dimana diperoleh 6 rancangan SPO untuk mengendalikan peluang terjadinnya kontaminasi silang di setiap tahapan proses. Pada pendekatan analisis bahaya ini masih banyak menggunakan data dan putusan yang bersifat kualitatif baik dari pengumpulan data sekunder ataupun putusan yang diambil dari FGD, oleh karena itu rancangan SPO tersebut perlu dilakukan validasi prosedur saat diimplementasikan di lapangan, dengan mengukur efektifitas penerapan SPO dalam mengendalikan potensi kontaminasi silang alergen. Berdasarkan EFSA (European Foods Safety Autority), masing-masing orang memiliki perbedaan tingkat toleran terhadap alergen, hal ini pula yang menjadi alasan perlunya dilakukan analisis risiko yang lebih dalam menggunakan data kuantitatif yang diperoleh dengan dukungan kemajuan teknologi analisa menggunakan metoda ELISA, PCR dan Mass Spectrometry, agar dapat memonitor dan mengetahui jumlah alergen apabila terjadi kontaminasi. Pada akhirnya dapat dipastikan tingkat risiko terhadap keamanan pangan.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil identifikasi bahan baku dan bahan penolong perisa bubuk (n=964) di PT Givaudan menunjukkan 56 bahan mengandung alergen yang termasuk dalam 7 dari 8 kategori alergen utama sesuai dengan FAO/WHO yaitu mengandung: Gandum, Kedelai, Susu, Telur, Ikan ,Kepiting, dan sulfit. Alergen yang berasal dari Susu(24) paling banyak ditemukan pada bahan baku dan penolong, diikuti oleh kedelai(21), ikan(11), kepiting(4), sulfit(3), gandum(1), dan telur(1). Terdapat 7 bahan baku yang memiliki lebih dari satu kombinasi kategori alergen, yaitu susu,ikan dan kedelai(3), gandum dan kedelai(1), kepiting dan kedelai(1), susu dan kedelai(1), serta ikan dan kedelai(1) Analisis peluang kontaminasi silang memberikan informasi berbagai kemungkinan terjadinya kontaminasi silang dan alternatif solusi untuk pencegahan atau pengendalian pada setiap tahapan proses produksi, dilanjutkan dengan Analisis kebutuhan SPO yang telah dapat menentukan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk mengendalikan peluang terjadinya kontaminasi silang alergen pada proses produksi perisa bubuk. Hasil verifikasi oleh FGD (Focus Group Discussion) terhadap kebutuhan SPO pada tahapan proses pembuatan perisa bubuk telah menghasilkan beberapa rancangan SPO dalam rangka mendukung sistem manajemen alergen untuk mengendalikan peluang kontaminasi silang alergen di PT. Givaudan Indonesia. SPO tersebut adalah Pengadaan, penerimaan dan peyimpanan bahan baku & bahan penolong; Proses produksi perisa bubuk; Penyimpanan produk jadi perisa bubuk; Pengiriman produk jadi perisa bubuk ke pelanggan; Pelatihan; dan Kemampuan telusur. Rekomendasi yang dapat diberikan bagi PT. Givaudan Indonesia bahwa pengendalian bahaya kontaminasi alergen dapat dilakukan dengan pendekatan analisis bahaya dengan alat bantu HACCP dan GMP. Rancangan SPO ini masih perlu dilakukan validasi dalam penerapan di lapangan untuk memastikan rancangan prosedur ini telah efektif dapat mencegah
peluangterjadinya
kontaminasi silang alergen.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat kualitatif, sehingga seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi
36
perlu dilakukan analisis lanjutan menggunakan pendekatan risiko yang didukung denganteknologi analisa untuk menghasilkan kuantitatif.
informasi dan data yang lebih
37
DAFTAR PUSTAKA [AFGC] Australian Food and Grocery Council. 2007 Food Industry Guide to Allergen Management and Labeling.Australia Food and Grocery Council. Brisbane. [Anonim] 2011. Good Manufacturing Practice and Hazard Analysis Critical Control Point. http://www.foodallergens.info/manufac/GMP[15 Nov 2011] Arctander, S. 2003. Perfume and Flavor Chemicals (Aroma Chemicals). New Jersey: Montclair. Ashurt, P.R. 1999. Food Flavourings (3rd ed). Aspen Publishers.IncGaitherburg, Maryland. British Standads Institute. 2008. Prerequisite programmes on food safety for food manufacturing. BSI publising. UK. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Bahan Tambahan Pangan – Persyaratan Perisa dan penggunaan dalam Produk Pangan. SNI-01 7152-2006. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2008. General Standard the use of Flavorings, Codex Stan 66-2008. Rome: CAC. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2010. Joint FAO/WHO Food Standard Program,Procedural Manual (19th ed). [FDA] Food and Drug Administrator. 2009. Food Allergen Labeling and Consumer Protection Act of 2004.FDA Fellow, PJ. 2009. Food Processing Technology. Principles (3rded).Woodhead Publising Limited. Abington. England.
and
Practice
Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry (2nded). Marcel Dekker, Inc. New York. [FSA] Food Standard Agency. 2006. Guidance on Alergen Management and Consumer Information. FSA, London Lefingwell & Associates. 2011. Flavors and Fragrances Industry Leader http://www.leffingwell.com/top_10.htm [13 Juli 2011] Heath, H.B. 1986. Source Book of Flavor.The AVI Publ. Co. Inc. Westport Connecticut. [IFST] The Institute of Food Science & Tecnology, 2005 Food Allergy,Public Affairs and Technical & Legislative Committee, IFST, London Joanne S, Mimi T, 2004. Community Paedriatic Review Vol 13, 3 September 2004. Departement of Immunology, Royal Children’s Hospital, Melbourne, Australia.
38
Judarwanto, W, 2010. Prevalence and Incidence of Food Allergy 1980 – 2010. Children’s Allergy Center Online Picky Eaters Clinic [October 2011] [PAS] Public Available Spesification. 2008. Prerequisite Programmes on Food Safety for Food Manufacturing.British Standars Institute Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Vishweshwarai, L. dan A.Moushigian. 1992. Aplication Tecnology of Flavour in Various Food Product. Symposium on Flavour Technology and Its Application in Food Industry.PAU-Himitepa-PATPI-QUEST. Winarno, F.G. 2002. Flavor Bagi Industri Pangan. M-BRIO Press. 2002. Cetakan 1 Winarno, F.G. 2012. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan M-BRIO Press. 2002. Cetakan 3.
39
LAMPIRAN
38 Lampiran 1 Analisa bahaya kontaminasi alergen dalam proses pembuatan perisa bubuk
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49 Lampiran 2 Lembar kuesioner pemasok bahan baku
50
51
52 Lampiran 3 Lembar pencatatan proses pembersihan di area produksi perisa bubuk
53
Lampiran 4 Lembar pencatatan proses produksi perisa bubuk
54
Lampiran 5 Instruksi kerja untuk proses validasi pembersihan alergen
55
56
57 Lampiran 6 Standar prosedur operasi untuk personal hygiene
58
59
60
Lampiran 7 Contoh daftar bahan baku dari hasil pengelompokan jenis alergen
61
Lampiran 8 Instruksi kerja proses pembersihan blender
62
63
64
65
Lampiran 9 Instruksi kerja proses produksi perisa
66
67
68
69
Lampiran 10 Rancangan SPO Pengadaan, Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Baku
70
71
72 Lampiran 11 Rancangan SPO Proses Produksi Peris Bubuk
73
74
75 Lampiran 12 Rancangan SPO Penyimpanan Produk Jadi Perisa Bubuk
76
77
78 Lampiran 13 Rancangan SPO Pengiriman Produk Jadi Perisa Bubuk ke Pelanggan
79
80
81
Lampiran 14 Rancangan SPO Pelatihan Sistem Manajemen Alergen
82
83
84
85
Lampiran 15 Rancangan SPO Kemampuan Telusur
86