PERAN GENDER DALAM MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH Nurwahida Alimuddin* Abstract The change of women dignity status, in essence, began from the coming of Islam as a perfect and complete religion. In history record of humanity and religion, the women were placed on the lower level compared to the men. Furthermore, if a woman (wife) gave birth a baby girl, then she would be buried alive. This indication described how disgraceful and humble a woman before the advent of Islam. Kata Kunci: peran, gender, keluarga sakinah Pendahuluan Wacana gender telah menyajikan wilayah diskursus yang komprehensif. Masalah kesetaraan perlakuan terhadap jenis laki-laki dan perempuan diperbincangkan dalam berbagai aspek, khususnya yang terkait dengan dimensi-dimensi strategis seperti politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan bahkan agama. Keseluruhan aspek-aspek tersebut selama ini dinilai cenderung memihak kepada laki-laki. Pandangan gender yang sudah mengakar dalam masyarakat telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan yang terimplementasi tidak hanya pada marginalisasi dan subordinasi tapi bahkan sampai pada tahap kekerasan terhadap perempuan. Marginalisasi kaum perempuan sering terjadi di tempat kerja, rumah tangga, masyarakat atau kultur, bahkan negara. Ketidakadilan terhadap perempuan sudah diawali di rumah tangga dalam bentuk “diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Biasanya pendidikan bagi anak laki-laki lebih diprioritaskan ketimbang anak perempuan dengan dasar pertimbangan bahwa anak perempuan akhirnya akan ke dapur juga. Contoh lainnya, banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak waris kepada kaum perempuan sama sekali. Di dalam rumah tangga biasa
98 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
pula terjadi kekerasan terhadap perempuan (domestic violence) berupa tindakan pemukulan atau serangan terhadap fisik, baik kepada istri maupun anak-anak. Manifestasi ketidakadilan gender juga terjadi di lingkungan keluarga. Bias gender tampak mulai dari proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga. Bahkan, rumah tangga diklaim menjadi tempat kritis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender. Sebagian kalangan menilai bahwa kesetaraan dan keadilan gender yang belum terwujud sepenuhnya hingga kini disebabkan masih kuatnya struktur dan nilai-nilai sosial budaya yang patriarkhi, dengan menempatkan perempuan dan laki-lalki pada kedudukan maupun peran yang tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Padahal, secara konstitusional UUD 1945 pasal 27 menjamin persamaan kedudukan dan peran setiap warga negara laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam hukum keluarga di Indonesia kedudukan perempuan telah memberikan akses, pemberdayaan dan peluang yang cukup setara dengan kedudukan pria, namun dalam masyarakat masih ada kendalakendala realisasinya. Kendala-kendala tersebut tidak hanya terletak pada hukumnya, tetapi di bidang sosial dan psikologi masyarakat itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto menegaskan bahwa sistem penegakan suatu hukum yang baik memerlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor, yakni pertama; hukum atau peraturan itu sendiri, kedua; mentalitas petugas yang menegakkan hukum, ketiga; fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum dan keempat; kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan prilaku masyarakat.1 Menengok kasus di Indonesia dalam hal kedudukan perempuan, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) ke dalam UU No. 7 Tahun 1984, yang antara lain menyatakan bahwa: “Negara-negara peserta wajib
1
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia:Suatu Tinjauan Secara Sosiologis, (Cet. IV, Jakarta: UI-Press, 1998), 36
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam 99 Membangun Keluarga Sakinah
membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Dengan ratifikasi tersebut, berarti Indonesia mempunyai komitmen bahwa segala langkah-langkah termasuk dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum akan dilakukan untuk menjamin sepaya tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Demikian pula, keberadaan UU No. 7 Tahun 1989, dinyatakan bahwa salah satu aspek perubahan dari delapan perubahan yang termuat di dalamnya sebagai pengganti peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah perlindungan terhadap wanita. Pada bagian akhir butir 7 penjelasan umum Undang-Undang itu dikemukakan bahwa undang-undang perkawinan bertujuan antara lain untuk melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya. Pengkhususan perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini pihak istri, menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga, istri berada dalam posisi yang lemah. Dalam tatanan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya, hubungan antara suami dengan istri bersifat hirarkhial meski telah ada jaminan kesetaraan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Otoritas suami sebagai kepala keluarga lebih besar dari pada istri. Pengambilan keputusan dalam keluarga lebih dominan ditentukan oleh suami dibandingkan istri, terutama di kawasan pedesaan. Asersi di atas menggambarkan bahwa kaum perempuan hingga sekarang ini masih sering dipandang sebelah mata, sehingga menjadi semakin lemah yang menyebabkan mudahnya terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sehingga cita-cita awal terbentuknya keluarga sakinah semakin menjadi jauh. Sekarang ini, tidak susah lagi ditemukan keluarga yang jauh dari kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah, disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terjadinya miskomunikasi internal dalam rumah tangga, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah sejauhmana peran gender dalam membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah? Inilah yang akan dibahas dalam artikel ini.
100 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
Pengertian Gender Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”.2 Menurut Nasaruddin Umar, arti tersebut kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin.3 Nasaruddin Umar merumuskan pengertian gender dengan suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat4. Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki atau perempuan.5 Adapun pengertian yang dikemukakan Elaine Showalter seperti yang dikutip Nasaruddin Umar tampak lebih sederhana, yakni gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya. Berdasar pada definisi-definisi itulah akhirnya Nasaruddin Umar merumuskan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jadi, lebih mengarah pada pendefinisian laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis.6 Mansour Fakih mengemukakan pengertian gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.7 Mencermati pengertian-pengartian di atas, tampak begitu jelas bahwa gender memang berbeda dengan jenis kelamin (seks) yang penekanannya pada perbedaan secara biologis. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut akan 2
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia. (Cet. XXII, Jakarta: Gramedia, 1996), 265 3 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perpektif Alqur’an. (Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2001), 33 4 Ibid., 34 5 Hilary M. Lips, Sex and Gender, an Introduction. Ed. II, (London: Mayfield Publishing Company, 1999), 16-17 6 Nasaruddin Umar, 35 7 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Cet. VI, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 8
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam101 Membangun Keluarga Sakinah
diuraikan lebih detail. Konsep yang menyebabkan seseorang disebut sebagai laki-laki adalah karena ia memiliki alat kelamin yang berdasar pada pembagian biologis tertentu. Demikian pula seorang perempuan karena seseorang memiliki organ-organ tubuh yang berfungsi berdasarkan pada pembagian jenis kelamin ini berasal dari tanda biologis yang dikenal dengan istilah seks. 8 Seks atau jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan mendasar pada keduanya terutama dengan fungsi reproduksi. Bahwasanya laki-laki adalah jenis manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina serta alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Dalam hal ini, sama sekali tidak dapat dipertukarkan antara keduanya. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat). Sebaliknya, konsep gender yang antara lain bisa dicontohkan bahwa perempuan itu lembut dan emosional sedangkan laki-laki lebih rasional dan perkasa merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Bahwasanya ada juga laki-laki yang emosional, lemah lembut, sementara ada pula perempuan yang rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Misalnya, pada zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari lakilaki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Perubahan juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Misalnya, di suku tertentu perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Dengan demikian, sebagai sebuah produk kebudayaan, konsep serta praktik yang berkaitan dengan gender bersifat relatif. Konstruksi gender selalu berubah-ubah sesuai perubahan konjungtur sosial, politik dan 8
Siti Musda Mulia, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam). (Cet. II; Jakarta: LKAJ, 2003), 60
102 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
ekonomi lewat variabel waktu, kelas sosial, agama dan budaya dalam setiap masyarakat. Akan tetapi, dalam struktur sosial yang dominan dalam peradaban modern, batasan-batasan sosial berdasarkan jenis kelamin termanifestasi pada pelembagaan perbedaan laki-laki dan perempuan secara gender. Dalam hal ini, relasi gender terstruktur secara asimetri. 9 Stereotip (citra baku) yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang kuat dan tegar sebaliknya perempuan sebagai sosok lembut dan lemah berimplikasi pada pembagian peran antara keduanya. Peran perempuan dibakukan ke dalam sektor yang dianggap cocok untuknya yaitu sektor domestik. Sedangkan peran laki-laki dibakukan pada sektor publik. Pembagian peran tersebut menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kotak-kotak yang terkadang sulit ditembus. Keluar dari kotak tersebut, berarti masuk dalam ketegangan dan situasi yang dianggap tidak biasa. Seorang laki-laki yang ingin membuka salon kecantikan dianggap aneh sebab pekerjaan tersebut dinilai hanya cocok untuk perempuan. Sebaliknya, seorang perempuan yang terjun di bidang politik atau memimpin sebuah lembaga juga dianggap tidak wajar, karena pekerjaan seperti itu hanya cocok dan pantas untuk laki-laki.10 Masalahnya sebenarnya, pembakuan tersebut dikaitkan atau diidentifikasi sebagai kodrat. Dalam hal ini, telah terjadi kerancuan atau pemutarbalikan makna di masyarakat, di mana sesuatu yang sesungguhnya gender justeru dianggap sebagai kodrat atau ketentuan biologis yang merupakan ketentuan Tuhan. Bahkan, sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai kodrat wanita merupakan konstruksi sosial atau gender. Misalnya, urusan domestik seperti mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan. Padahal, urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga merupakan konstruksi kultural dalam suatu 9
Ciciek, Farha. “Gender dalam Wacana Mutakhir” dalam Hajar Dewantoro dan Asmawi, Rekonstruksi Fikih Perempuan. (Cet. I; Yogyakarta: Ababil, 1996), 115 10 Marentek, Sientje -Abram, “Kesetaraan Gender dalam Agama” dalam Elga Sarapung dkk (Edit), Agama dan Kesehatan Reproduksi. (Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 37
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam103 Membangun Keluarga Sakinah
masyarakat tertentu. Maka, boleh jadi jenis pekerjaan tersebut bisa juga dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena ada kemungkinan untuk dipertukarkan, berarti tugas tersebut sama sekali bukan kodrat, melainkan gender. Olehnya itu, penarikan garis tegas dalam pembagian peran antara kedua jenis kelamin yang kemudian dipatok secara kaku dengan mengatasnamakan kodrat, sama sekali tidak proporsional, karena format pembagian tersebut merupakan bentukan sosial. Hanya karena posisinya yang telah mengakar dalam kultur masyarakat, maka ia kemudian diidentifikasi sebagai kodrat. Padahal, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Kalau kodrat merupakan sesuatu yang mutlak, sebaliknya gender bersifat relatif dan tidak boleh dipermanenkan. Zaman, tempat maupun kondisi yang berbeda dapat saja menjadi pemicu munculnya gugatan atau alasan untuk keluar dari tatanan tersebut. Di sinilah perbedaan tegas antara gender dan kodrat. 1. Perempuan dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik. Sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa ditampik, bahwasanya sebelum Islam datang, status wanita sangat rendah. Dalam masyarakat Yahudi terdapat kepercayaan yang memandang perempuan sebagai makhluk di bawah laki-laki. Perempuan tidak mendapat warisan sedikitpun dari orang tua bila masih memiliki saudara laki-laki. Seorang anak perempuan yang telah menginjak dewasa dapat saja dijual oleh ayahnya. Bila telah menikah, semua miliknya dikuasai oleh suami. Sementara di masyarakat Kristen, pandangan rendah terhadap perempuan karena dinilai sebagai sumber malapetaka umat manusia. Seperti diyakini bersama, Hawa telah merayu Adam sehingga melakukan pelanggaran atas hukum Tuhan. Atas dasar itulah, ia dipandang sangat rendah dan hina. Nasib wanita benar-benar sangat memprihatinkan di berbagai belahan dunia.11 Demikian halnya di Jazirah Arab. Masyarakatnya, baik yang nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi 11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Cet. VIII, Bandung: Mizan, 1998), 296-297
104 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan dan suka berperang. Peperangan antar suku sering terjadi. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai perempuan menjadi sangat rendah. Situasi itu terus berlangsung sampai agama Islam lahir.12 Kedatangan Islam melalui Nabi Muhammad saw. telah membawa perubahan tatanan nilai yang berlaku di masyarakat. Islam sebagai ajaran yang menjunjung tinggi persamaan, salah satu misinya adalah mengangkat derajat kaum wanita menjadi setara dengan laki-laki. Sejarah mencatat bagaimana Nabi sangat menekankan pemenuhan hak-hak mereka sebagaimana kaum laki-laki. Seperti hak untuk mewarisi yang sebelum Islam tidak diakui sama sekali. Demikian pula, mereka diberi kesempatan yang sama untuk melakoni aktivitas-aktivitas secara luas di masyarakat seperti menuntut ilmu dan bekerja. Quraish Shihab memaparkan bahwa istri Nabi sendiri, Khadijah binti Khuwailid tercatat sebagai pedagang yang sangat sukses. Demikian pula, Qilat Ummi Bani Ammar tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang meminta petunjuk jual beli kepada Nabi. Zainab binti Jahsy aktif bekerja menyamak kulit binatang untuk disedekahkan hasilnya, Ummu Salim binti Malhan bekerja sebagai perias pengantin. Adapula yang berprofesi sebagai perawat, bidan dan sebagainya. Bahkan, istri Nabi, Ummu Salamah, Laila al-Ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah dan lain-lain terlibat dalam peperangan.13 Dari uraian tersebut, tampak keterlibatan kaum perempuan pada kanca peran publik merupakan sebuah dimensi yang mewarnai sejarah kehidupan kaum muslimin klasik. Realitas ini tampak sinergis dengan upaya Nabi dalam mengangkat martabat mereka berupa pemberian akses maupun dukungan untuk beraktivitas secara luas yang sama sekali tidak dijumpai 12
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Ed. I; (Cet. XII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 11 13 M. Quraish Shihab, 13
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam105 Membangun Keluarga Sakinah
pada perabadan manapun sebelum Islam. Jika kemudian, dalam suatu kurun sejarah berikutnya, muncul pembatasan bagi kaum perempuan dalam beraktivitas, narasi sejarah juga sangat jelas menampilkan bahwa kondisi tersebut merupakan bagian dari strategi penguasa yang tak lepas dari konteks individu para pemegang kendali kekuasaan ketika itu. Olehnya itu, dalam mengelaborasi persepsi sejarah mengenai posisi dan peran perempuan dalam Islam, perspektif sejarah semacam ini harus dilibatkan agar dapat membangun sebuah asumsi yang mengacu pada kerangka logis dan arif. 2. Perempuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam Islam, tidak boleh tidak untuk kembali pada rujukan utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti diketahui, keduanya menempati posisi yang teramat penting sebagai sumber ajaran Islam. Oleh karena itu, gagasan-gagasan Islam mengenai perempuan harus dirumuskan melalui elaborasi mendalam terhadap kandungan Al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan hal tersebut. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur’an dapat ditangkap lewat variabel-variabel berikut :14 a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya berpotensi sama untuk menjadi hamba ideal (muttaqin), sebagaimana ditunjuk QS. al-Hujurat (49) : 13 :
َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل ُ يَاأَيُّ َها الن ِ ِلِتَ َعارفُوا إِ َّن أَ ْكرَم ُكم ِعْن َد اللَّ ِو أَتْ َقا ُكم إِ َّن اللَّوَ َعل ٌيم َخبري ٌ ْ ْ َ َ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 14
Nasaruddin Umar, 37
106 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
Adanya kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS.al-Baqarah (2) : 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (QS.al-Nisa (4) : 34), memperoleh bagian warisan lebih banyak (QS.al-Nisa (4) : 11), menjadi saksi yang efektif (QS.al-Baqarah (2): 282), dan diperkenankan berpoligami jika memenuhi syarat (QS.al-Nisa (4): 34), semua itu tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan. b. Laki-laki dan perempuan sebagai Khalifah di bumi Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi ditegaskan dalam QS. alAn’am (6) : 165:
ِ ِ ٍ ض ُك ْم فَ ْو َق بَ ْع ِ ف ْاْل َْر ض َ ض َوَرفَ َع بَ ْع َ و ََ ُى َو الَّذي َج َعلَ ُك ْم َخ ََلئ ٍ ِ ُ َ َاا وإِنَّو ل ِ ِ اا لِيْب لُوُكم ِ ما اتَا ُكم إِ َّن ربَّ َ ِر يم ٌ ُ َ يع الْع َق ُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َر َج ٌ ور َر Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Jadi, laki-laki dan perempuan mempunyai peranan yang sama sebagai khalifah. c. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya sebagaimana termaktub dalam QS. al-A’raf (7) : 172 :
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam107 Membangun Keluarga Sakinah
َخ َذ َربُّ َ ِم ْن بَِِنَ ا َ َم ِم ْن ظُ ُهوِرِى ْم ذُِّريَّتَ ُه ْم َوأَ ْش َه َد ُى ْم َعلَى أَنْ ُ ِس ِه ْم َ َوإِ ْذ أ ت بَِربِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى َش ِه ْدنَا أَ ْن تَ ُقولُوا يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة إِنَّا ُكنَّا َع ْن َى َذا ُ أَلَ ْس ِِ َ َافل Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). Kata َبِن ْي َبآ َبdi atas menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan warna kulit. d. Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis Semua ayat mengenai keadaan Adam dan pasangannya mulai dari Surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang ( ) هما, seperti QS. alBaqarah (2) : 35
ث ِشْئتُ َما َوََل ْ َ ت َوَزْو ُج ُ اْلَنَّةَ َوُك ََل ِمْن َها َر َ ًدا َ ْي َ َْوقُ ْلنَا يَاآ َ ُم ا ْ ُك ْن أَن ِِ ِ ِِ َ َّجَرةَ فَتَ ُكونَا م َن الظَّالم َ تَ ْقَربَا َىذه الش
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. e. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti QS. al-Nahl (16) : 97
108 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
ِ من ع ِمل ص ًاِلًا ِم ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى َوُى َو ُم ْؤِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَ نَّوُ َ يَاةً طَيِّبَة َ َ َ َْ َجَرُى ْم بَِ ْ َس ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُو َن ْ َّه ْم أ ُ َولَنَ ْج ِيَن
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Dari paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan seutuhnya. Bahwasanya kemanusiaan perempuan diakui oleh Islam sejajar dengan laki-laki. Jumhur ulama sepakat bahwa hadis-hadis yang menggunakan kata al-muslimin dan al-mu’minin dalam bentuk mufrad yang berkaitan dengan taklif, hak-hak dan perbuatan umum dianggap mencakup perempuan tanpa ada pembedaan, mereka tidak ada indikator khusus yang spesifik bagi laki-laki. Meskipun titik perhatian dan cara penyusunan al-kutub al-sittah berbeda satu sama lain, namun terdapat beberapa kesamaan dalam pembagian tema-tema kumpulan hadis, yang dapat dibagi ke dalam 3 tema umum, yakni kumpulan hadis tentang akidah, syari’ah dan akhlak. Dalam ketiga tema besar ini, bisa dikatakan bahwa citra tentang perempuan dalam kehidupan generasi awal Islam ditampilkan dalam wajah yang hampir sama. Namun demikian, jika membaca secara menyeluruh hadis-hadis Nabi, sepintas akan ditemukan pandangan, gambaran dan kenyataan bahwa perempuan memang ditampilkan dengan image yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1) Perempuan dan laki-laki secara esensial tidak dipandang berbeda 2) Perempuan dipandang dan diperlakukan secara khusus. 3) Perempuan diperlakukan secara khusus karena kondisi objektif dan harapan mereka 4) Perempuan
dipandang
dibanding laki-laki
sebagai
makhluk
yang ang lebih inferior
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam109 Membangun Keluarga Sakinah
Nasaruddin Umar, memaparkan bahwa pada saat yang sama ia diberi kesempatan untuk menutupi kekurangannya tersebut dengan aktivitasaktivitas tertentu yang jika dilakukan dengan baik tidak tertutup baginya untuk setara bahkan melebihi laki-laki. Sebaliknya, laki-laki dipandang lebih superior, namun pada saat yang sama superioritas itu mengandung tanggung jawab yang berat, yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan ia terperosok ke derajat yang sangat rendah. 15 Kedudukan Wanita dalam Perspektif Islam Berbicara tentang ruang lingkup fikih, pembahasan akan menjadi sangat luas karena meliputi segenap dimensi praktis atau amaliah umat Islam. Seperti diketahui, materi fikih meliputi bidang ibadah, jinayat, siyasah, mu’amalah dalam arti khusus dan ahwal al-syakhsiyah atau aturan-aturan dalam hukum kekeluargaan. Agar terjalin relevansi dan konsistensi dengan judul, uraian dalam sub bab ini akan menekankan pada bidang yang terakhir ini, yaitu akan ditinjau sosok perempuan dalam perspektif Islam. Perempuan dalam perspektif Islam ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, yang terindikasi pada pelaksanaan perkawinan. Perempuan diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Mulai dari proses menjelang pelaksanaan akad nikah, dia harus dilamar secara layak oleh wali atau keluarga calon suami. Mereka berdua dapat saling melihat agar dapat saling mengenal. Perempuan juga akan dimintai pendapat atau persetujuannya atas lamaran yang ada. Atas persetujuannya dan persetujuan wali atau keluarga serta pria pelamar, dilangsungkan akad nikah dengan pemberian mahar kepadanya oleh pihak suami. Mahar ini tidak boleh diusik sedikitpun tanpa seizinnya dan ia menjadi miliknya untuk selama-lamanya. Dalam pergaulan hidup rumah tangga, istri berhak mendapat perlakuan yang baik dari suami. Ia bahkan boleh menuntut pembatalan akad nikah lewat institusi khulu’ karena alasan-alasan mendasar. Dalam perceraian,
15
Ibid., 253
110 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
ia berhak mengasuh anak sebelum umur 7 tahun selama ia belum kawin, dengan beban nafkah pada si ayah. Dalam masa iddah talaq raj’iy atau dalam keadaan hamil baik dalam masa iddah talaq raj’iy atau talaq ba’in, ia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Mengenai kewajiban rumah tangga, Islam sebenarnya membebaskan perempuan dari pekerjaan manual. Menurut ketentuan Islam yang ketat, perempuan tidak wajib memasak, mencuci, bahkan menyusui bayi. Istri dapat saja menolak untuk melakukan salah satu pekerjaan itu tanpa mendapat ancaman akan dituntut secara hukum oleh suaminya. Jika ia mengerjakan pekerjaan tersebut, itu merupakan sedekah darinya. Di lain sisi, istri juga diperbolehkan untuk memberi nafkah kepada suami, anak dan rumah tangganya, meskipun hal tersebut merupakan kewajiban suami, asal si istri rela dalam hal ini. Bahkan, dalam keadaan suami miskin, istri boleh memberikan zakatnya kepada suami, tetapi suami tidak boleh memberikan zakat kepada istri, karena istri berada dalam tanggungannya. Ini bisa dimaknai bahwa sesungguhnya Islam mentolerir adanya wanita sebagai pencari nafkah karena adanya perkembangan zaman yang mempengaruhi tatanan kehidupan, antara lain desakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan baru. Jadi, dalam Islam hubungan suami istri adalah hubungan kemitrasejajaran. Sebuah keluarga akan sampai kepada tujuan perkawinan (mawaddah wa rahmah) bila keduanya saling memahami dan saling mu’asyarah bi al-ma’ruf, termasuk di dalamnya mengatur urusan rumah tangga. Mendidik anak misalnya, merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Mengenai posisi kepala rumah tangga, sebenarnya Islam memberi posisi yang sama kepada suami maupun istri. Masing-masing menduduki posisi kepala rumah tangga, hanya bidangnya berbeda sesuai dengan kodratnya. Laki-laki memegang urusan keluar sedang istri memegang urusan ke dalam. Sebagaimana sabda Nabi :
ُكلُّ ُك ْم َر ٍاع َوُكلُّ ُك ْم:عن ابن عمر رضي اهلل عنهما عن النيب صلعم قال ِ واْملرأَةُ ر،الرجل ر ٍاع علَى أَى ِل ب يتِ ِو ِ ِِ ِ ُاعيَة َ َْ َ َْ ْ َ َ ُ ُ َّ َو، َواْْلَمْي ُر َر ٍاع،َم ْس ُؤْوٌل َع ْن َرعيَّتو
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam111 Membangun Keluarga Sakinah
ِ علَى ب ي فَ ُكلُّ ُك ْم َر ٍاع َوُكلُّ ُك ْم َم ْس ُؤْو ُل َع ْن،ِت َزْوِج َها َوَولِ ِده َْ َ .)(البخارى.َر ِعيَّتِ ِو Dari Ibnu Umar r.a. dari Nabi Saw. beliau bersabda: masingmasing kamu adalah pemimpin dan masing-masing pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpin. Imam adalah pemimpin, dan suami adalah pemimpin atas keluarganya. Dan perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suami dan anak-anaknya, maka tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiaptiap kamu bertanggung jawab atas yang dipimpin. Meski demikian, posisi dan pembagian di atas tidak statis, artinya mengikuti perkembangan kemampuan dan kualitas masing-masing. Bisa saja ada pelimpahan sebagian fungsi di antara keduanya manakala itu dianggap baik dan menunjang dinamika keluarga. Lebih lugas dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan suami dan istri dalam rumah tangga menurut Islam adalah kepemimpinan komplementer, artinya masing-masing tidak mandiri dan harus saling menyempurnakan. Untuk memperkuat terjalinnya kemitrasejajaran, suami dan istri tidak saling mendominasi tetapi saling menghormati peran dan posisi masing-masing. Membina Rumah Tangga Menuju Keluarga Sakinah Pada dasarnya perbedaan gender tidak perlu dipersoalkan sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. Tetapi kenyataannya perbedaan tersebut telah mengakibatkan laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat untuk membuat kita terlena dan terlanjur percaya pada anggapan yang salah kaprah bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Anggapan ini pada hakikatnya bermula pada pemberlakuan istilah suami istri, di mana perempuan berubah status menjadi istri yakni sepenuhnya telah menjadi milik suami. Jika istri melakukan suatu kesalahan dalam pandangan suami, seolah-olah menjadi kewajiban suami untuk segera mengingatkannya, peringatan ini diberikan sebagai bentuk pengajaran terhadap istri dalam rangka membina rumah tangga menuju keluarga sakinah. Namun sayangnya bentuk pengajaran ini terkadang melebihi batas dengan mengarah pada tindak kekerasan baik secara fisik maupun jiwa
112 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
(perasaan) yang secara keseluruhannya menambah keyakinan pada masyarakat bahwa disebabkan laki-laki selalu menganggap dan dianggap bahwa laki-laki yang berstatus suami berkuasa penuh terhadap perempuan yang berstatus sebagai istri. Nasehati suami kepada istri dalam kacamata Islam adalah sesuatu yang diwajibkan apabila mendapati istri berbuat maksiat ataupun melanggar ketentuan/syari’at Allah. Namun, nasehat yang dimaksud adalah nasehat dalam bentuk al-maudizah al-hasanah (nasehat yang baik) bukan dalam bentuk kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Bab III tentang “Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga”.16 Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan bahwa “kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”, dan pasal 7 dipaparkan bahwa kekerasan psikis yang dimaksud dalam pasal 5 adalah “perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampun untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, berat pada seseorang. Adapun pasal 8 bahwa kekerasa seksual yang dimaksud dalam pasal 5 meliputi “pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu”. Berdasarkan pasal-pasal di atas, menggambarkan paradigma yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat sudah saatnya direkonstruksi ulang untuk kemudian disosialisasikan bahwa “nasehat sang suami terhadap istri tetap diperlukan guna membina rumah tangga menuju keluarga sakinah mawaddah warahmah”, melalui nasehat al-mauidzah al-hasanah. Hanya dengan nasehat demikian inilah, yang dapat mewujudkan rumah tangga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena nasehat seperti itu, akan menghindarkan prilaku kasar, cemoohan, bentakan, dan sebagainya dari suami terhadap istri. 16
UU RI. Nomor 23 Tahun 2004: 5
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam113 Membangun Keluarga Sakinah
Dari perspektif tersebut maka “membina” yang dimaksud adalah segala upaya atau penanganan berupa merintis, meletakkan dasar, melatih, membina, memelihara, mencegah, membiasakan, mengarahkan, serta mengembangkan kemampuan suami istri untuk mewujudkan keluarga sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya, upaya, dan dana yang dimiliki. Jika hal ini dapat dimanfaatkan dan dimaksimalkan, maka keluarga yang merupakan masyarakat terkecil yang di dalamnya terdapat paling ada suami dan istri, anak-anak, atau famili lainnya yang terbentuk melalui tali perkawinan, akan hidup bersama secara aman, tenang, bahagian dan sejahtera di bawah ridha Allah swt., yang lebih dikenal dengan keluarga sakinah. Keluarga sakinah adalah keluarga yang hidup di atas rasa tenteram, aman dan damai. Seorang akan merasakan sakinah apabila terpenuhi unsurunsur hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang. Sebaliknya, sebagian atau salah satu dari yang disebutkan tadi tidak terpenuhi ,maka orang tersebut akan merasa kecewa, resah dan gelisah. Apabila unsur-unsur tersebut tadi tidak terpenuhi, maka orang gampang sekali berputus asa dan tidak jarang ada yang mengambil jalan pintas dengan cara mengakhiri hidupnya. Hajat hidup yang diinginkan dalam kehidupan duniawiyah seseorang meliputi: kesehatan, sandang, pangan, papan, peguyuban (organisasi), perlindungan hak azasi dan sebagainya. Seseorang yang sakinah hidupnya adalah orang yang terpelihara kesehatannya, cukup sandang, pangan dan papan, diterima dalam pergaulan masyarakat yang beradab, serta hak-hak azasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan norma susila. Dengan demikian, keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati
dan
memperdalam
nilai-nilai
keimanan,
ketaqwaan dan akhlaq mulia. Setelah suami istri memahami hak dan kewajibannya, kedua belah pihak masih harus melakukan berbagai upaya
114 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
yang dapat mendorong kearah tercapainya cita-cita mewujudkan keluarga sakinah. Secara singkat dapat dikemukakan di sini beberapa upaya yang perlu dilakukan guna mewujudkan rumah tangga menuju keluarga sakinah. Upaya tersebut antara lain: a. Mewujudkan harmonisasi hubungan antara suami istri. b. Membina hubungan antara anggota keluarga dan lingkungan. c. Melaksanakan pembinaan kesejahteraan keluarga. d. Membina kehidupan beragama dalam keluarga. Guna merealisasikan ke empat hal tersebut, maka diperlukan saling pengertian, saling menerima kenyataan, saling melakukan menyesuaikan diri, saling memupuk rasa cinta, bermusyawarah dan bermufakat dalam sehelum melakukan suatu tindakan, suka memaafkan, dan berperan serta untuk kemajuan bersama. Semuanya mendorong rumah tangga untuk mencapai keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Penutup Keterlibatan kaum perempuan pada kanca peran publik merupakan sebuah dimensi yang mewarnai sejarah kehidupan kaum muslimin klasik. Realitas ini tampak sinergis dengan upaya Nabi dalam mengangkat martabat mereka berupa pemberian akses maupun dukungan untuk beraktivitas secara luas yang sama sekali tidak dijumpai pada perabadan manapun sebelum Islam. Jika kemudian, dalam suatu kurun sejarah berikutnya, muncul pembatasan bagi kaum perempuan dalam beraktivitas, narasi sejarah juga sangat jelas menampilkan bahwa kondisi tersebut merupakan bagian dari strategi penguasa yang tak lepas dari konteks individu para pemegang kendali kekuasaan ketika itu. Olehnya itu, dalam mengelaborasi persepsi sejarah mengenai posisi dan peran perempuan dalam Islam, maka perempuan harus melibatkan diri agar dapat membangun sebuah asumsi yang mengacu pada kerangka logis dan arif, sehingga kesetaraan dalam rumah tangga antara suami dan istri seimbang. Keluarga adalah sumber kekuatan masyarakat, karena keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berfungsi menjamin
Nurwahida Alimuddin, Peran Gender dalam115 Membangun Keluarga Sakinah
terwujudnya nilai-nilai agamis yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam jiwa pribadi dan keluarga. Melalui institusi ini generasi muda dibentuk untuk menjadi anggota masyarakat yang kuat dan stabil, sebagaimana Allah menciptakan istri bagi seorang suami dari jenisnya sendiri, agar suami cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antara kamu kasih sayang. Konsep gender dalam perspektif Islam memberikan kontribusi yang besar bagi terbentuknya keluarga sakinah. Islam mengatur segalanya, apalagi hubungan dan relasi dua insan yang telah terkait tali perkawinan, dengan adanya saling pengertian dalam segala hal, dan memahami konsep gender yang islami, maka keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana yang diidam-idamkan setiak rumah tangga akan terwujud. Daftar Pustaka Al-Bukhari, Abu Abdillah bin Ismail, Sahih al-Bukhariy, Juz I. Cet. I, Beirut: Libanon: Dar al-Kutub 21-Ilmiah 1412 H-1992 M. Ciciek, Farha. “Gender dalam Wacana Mutakhir” dalam Hajar Dewantoro dan Asmawi, Rekonstruksi Fikih Perempuan. Cet. I; Yogyakarta: Ababil, 1996. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Cet. VI, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia.Cet. XXII, Jakarta: Gramedia, 1996. M. Lips, Hilary. Sex and Gender, an Introduction. Ed. II, London: Mayfield Publishing Company, 1999. Marentek, Sientje -Abram, “Kesetaraan Gender dalam Agama” dalam Elga Sarapung dkk (Edit), Agama dan Kesehatan Reproduksi. Cet. I; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Musda Mulia, Siti. Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam). Cet. II; Jakarta: LKAJ, 2003. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VIII, Bandung: Mizan, 1998.
116 Musawa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010:97-116
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis). Cet. IV, Jakarta: UI-Press, 1998. Tim Redaksi Lima Bintang, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, UU. RI. Nomor 23 Tahun 2004. Jakarta: Lima Bintang, 2004. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perpektif Alqur’an. Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2001. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Ed. I; Cet. XII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. *Dosen tetap Jurusan Dakwah STAIN Datokarama Palu