PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK ELEKTRONIK MELALUI ADR DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIKA (ITE) St. Laksanto Utomo, SH, MH Dosen Tetap Fakultas Hukum Usahid Jakarta dan Peneliti pada Lembaga Pengkajian Studi Hukum (LPSH-HIL.C) Jakarta Abstract According to the Act of Electronic transaction information No. 11/2008, the settlement of electronic transaction could used the institution which is called Alternative Dispute Resolution (ADR) by using negotiation, mediation and arbitration. Because of using this kind of non litigation process, the third parties like mediator or arbitrator who are crossing examination will try to get win-win solution for both parties. Key words: Electronic transaction, mediator, arbitrator, alternative dispute resolution. A. PENDAHULUAN Dalam perkembangan jaman dengan tanpa batas maka jarak antara benua satu dengan benua lainnya, antara Negara satu dengan lainnya yang dibatasi jarak ber mil-mil, bukan menjadi halangan lagi. Kecenderungan historis yang sangat menonjol di era modern adalah perubahan menuju globalisasi. Globalisasi diartikan juga sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. masyarakat diseluruh dunia menjadi saling tergantung disemua aspek kehidupan, politik, ekonami dan kultural. Ada analisis teoritis tentang globalisasi yang tergolong klasik, teori imperialisme, teori ketergantungan dan teori sistem dunia, ketiganya mempunyai pusat perhatian yang sama di bidang ekonomi yang bertujuan menjelaskan mekanisme penindasan dan ketidak adilan (Piotr Sztompka, 2005: 101). Era global yang melanda seluruh dunia sangat berpengaruh semua bidang kehidupan. Perkembangan sangat menonjol dibidang komunikasi telekomunikasi, internet sangat menunjang kemajuan ekonomi tata cara bertransaksi, dengan ditandai lahirnya bermacam-macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi borderless dalam dunia perdagangan. Perkembangan ekonomi yang sangat laju, mau tidak mau hukum harus memberikan dukungan atas kemajuan yang sangat pesat, hukum barus berlari mengejar ketertinggalan walau tertatih-tatih tetap harus memberikan dasar bagi perkembangan dunia perdagangan yang sangat liberal. Walau dalam pembuatan hukum banyak mencangkok dari perkembangan hukum dibarat, hukum modern yang sekarang umum dipakai dunia memiliki sejarah yang panjang lebih dari sepuluh abad, mengapa hukum selalu lahir di Barat dan bukannya di Cina (Satjipto R.ahardjo, 2007: 134). Bisnis melalui kontrak elektronik yang pada awalnya memberikan kemudahan serta lebih efisien, pada suatu saat karena terjadi gejolak dalam suatu negara atau perubahan kebijakan suatu negara dalam ekonomi, maka perjanjian elektronik yang pada awalnya berjalan secara begitu saja (as usuall) menjadi masalah. Adanya masalah hukum wanprestasi dan default, masalah pengiriman, produksi barang dan waktu kirim maka perjanjian/kontrak elektronik akan mencari payung hukum negara masing-masing atau dimana kontrak/perjanjian elektronik akan tunduk pada hukum dimana berlaku.
B. PERJANJIAN HUKUM ELEKTRONIK BERSUMBER PADA HUKUM PERJANJIAN (BW) 1. Perjanjian Kontrak Elektronik Bersumber dari : Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang “perjanjian” sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas, tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu: • Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; • Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga perumusannya menjadi, “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih rnengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” (R. Soebekti, 1979: 49). Pendapat lain Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal” (Subekti,1984: 1). Sedangkan Black Law Dictionary, merumuskan pengertian agreement sebagai berikut “A coming together of minds; a coming together in opinion or determination; the coming together in accord of two minds in a thing done on a given proposition. The union of two more minds in a thing done or to bedone; a mutual assets to do a thing ... agreement is a boarder term; e.g. an agreement might lack an essential element of a contract.” (Henry Campbell, 1990:367). Perjanjian menurut sistem common law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan (Budiono Kusumohamidjojo, 2001: 6). Sedangkan kontrak (Subekti, 1984: 7) yang berasal dari bahasa Inggris “contract” adalah : “An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are competent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality agreement, an mutuality obligation ... the writing which contains the agreement or parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof of the obligation” (Henry Campbell, 1990: 322). Dengan demikian, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu (Satrio, 1992: 31-33). Unsur-unsur kontrak seperti dirinci tersebut dengan demikian secara tegas membedakan kontrak dari suatu pernyataan sepihak (Satrio, 1992: 3136). Para pihak melakukan kontrak dengan beberapa kehendak, (Stepher Graw, 2002: 25) yaitu : a. kebutuhan terhadap janji atau janji-janji b. kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua belah pihak dalam suatu perjanjian;
c. kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban; dan d. Kebutuhan teterhadap kewjiban penegak hukum. 2. Asas-asas Hukum dalam Perjanjian Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum. Pengertian asas hukum menurut beberapa pakar adalah: Paul Scholten mendefinisikan bahwa, “Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya” (J.J.H Bruggink (alih bahasa: Arief Sidharta), 1996:119-120). Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai salah satu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakatnya. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturanperaturan hukum pada akhirnya biasa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan (Satjipto Rahardjo, 19-20 Oktober 1988) dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal, akan tetapi tidak jarang pada asas hukum dituangkan dalam perbuatan konkrit. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit.ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuanketentuan yang konkrit itu (Sudikno Mertokusumo, 1999: 35-35). Hukum perjanjian tidak terlepas dari faham individualisme, seperti yang dijumpai dalam BW (lama) tahun 1838, BW (baru), maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai ciri-ciri khas hukum perjanjian atau kontrak (J.H.M. Van Erp, 1990: 2), yaitu dalam hal kebebasan, kesetaraan, dan keterikatan kontraktual. Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak. Dari sejumlah prinsip hukum tersebut perhatian dicurahkan kapada tiga prinsip atau asas utama. Prinsip-prinsip atau asas-asas utama dianggap sebagai soko guru hukum kontrak, memberikan sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berfikir yang menjadi dasar hukum kontrak. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal tersebut, maka prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsipprinsip dasar (Herlien Budiono, 2001: 64). Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah prinsip atau asas konsestualitas dimana persetujuan-persetujuan dapat terjadi karena penyesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Pada umumnya persetujuanp-ersetujuan itu dapat dibuat secara “bebas bentuk” dan dibuat tidak secara formal melainkan konsesual (R. Feenstra dan M. Ahsman, 1988: 40). Prinsip atau asas “kekuatan mengikat persetujuan” menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam persetujuan yang mereka adakan dan yang terakhir adalah prinsip atau asas kebebasan berkontrak; dengan para pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya. Selain itu para pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratanpersyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan (J. Satrio, 1995: 74).
Kendatipun diantara ketiga prinsip yang disebut diatas dapat dan harus dibedakan dengan tegas satu dengan yang lain, maka untuk memperoleh pengertian yang benar prinsip-prinsip itu justru harus dibahas secara bersamasama, satu dan lain karena ketiga-tiganya berhubungan erat satu dengan yang lain. a. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas mempunyai arti yang penting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya. consensus atau kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu formalitas (Subekti (2), 1992: 5). Pada awalnya baik hukum Germana maupun hukum Romawi (Subekti, 1984: 15) tidak mengenal persetujuan-persetujuan konsesual. Hukum Romawi berpegang teguh pada persyaratan yang ketat bahwa persetujuan-persetujuan, dengan beberapa kekecualian, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu untuk dapat dipandang sebagai persetujuan yang telah diadakan. Jadi, dengan demikian, aturan umum “nudus consensus obligat” tidak berlaku. Namun, dalam perkembangannya terdapat kecenderungan untuk mengakui aturan tersebut. Hal-hal ini merupakan pemikiran-pemikiran “primitive” dalam hukum Romawi yang didalamnya diadakan berbagai tindakan terutama yang bersifat formal untuk memperoleh suatu akibat hukum. Oleh karena itu, dalam perkembangan selanjutnya, dengan sengaja dihilangkan untuk diganti dengan sebuah pemikiran baru, yakni sebuah persesuaian kehendak. Yang memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut hukum (Herlin Budiono, 2001: 66). Selanjutnya, seperti diutarakan oleh Eggens, asas konsensualitas merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah: “een man een man een woord een woord”. Maksudnya adalah dengan diletakkan kepercayaan pada perkataannya, orang itu ditinggikan martabatnya setinggitingginya sebagai manusia. Hal yang tepat diutarakan oleh Eggens bahwa ketentuan yang mengharuskan orang dapat dipegan gucapannya adalah suatu tuntutan kesusilaan, dan memang jika orang ingin dihormati sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya (Subekti, 1984: 6). Namun hukum harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat dan memerlukan asas konsesualitas demi tercapainya kepastian hukum. Asas konsesualitas dapat disimpulkan dari Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. b. Asas Kekuatan Mengikat Baik dalam system terbuka yang dianut oleh hukum kontrak ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada pasal 1374 ayat 1 BW (lama) atau pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Di dalam Pasal 1339 KUHPerdata dimasukkan prinsip kekuatan mengikat ini: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji-janji kontraktualnya dan harus memenuhi janji-janji ini, dipandang sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi
mempertanyakan mengapa hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup hanya dimungkinkan antara lain bilamana seseorang dapat mempercayai kata-kata orang lain (Herlin Budiono, 2001: 67). Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan oleh para pihak sendiri di atas pundak masingmasing dan menetapkan ruang lingkup dan dampaknya. Persetujuan mempunyai akibat hukum dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata). “Kata yang diucapkan itu bukanlah yang mengikat di sini, melainkan ucapan kata yang ditujukan kepada pihak lain tersebut; saya harus membayar, bukan karena saya menghendakinya, akan tetapi oleh karena saya telah menjanjikannya, artinya hendak yang telah dinyatakan terhadap satu dan lain hal” (Herlin Budiono, 2001: 68) Beekhuis berpendapat bahwa BW (lama) memberikan penilaian terlampau tinggi terhadap pengertian kontrak tersebut. Dengan adanya ketentuan bahwa semua perikatan lahir dari persetujuan atau undang-undang maka persetujuan ini dengan seketika menjadi sumber hukum di luar undang-undang (Herlin Budiono, 2001: 69). Adagium pacta sun servanda diakui sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh manusiamanusia secara timbal balik pada hakikatnya bermaksud untuk dipenuhi dan jika perlu dapat dipaksakan sehingga secara hukum mengikat. c. Asas Kebebasan Berkontrak Prinsip bahwa orang terikat persetujuan-persetujuan mengasumsikan adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat turut serta di dalam lalulintas yuridis dan hal ini mengimplikasikan pada prinsip kebebasan berkontrak (J.M Beekhuis, 1953: 5). Bilamana antara pihak telah diadakan sebuah persetujuan maka diakui bahwa ada kebebasan kehendak di antara para pihak tersebut. Bahkan di dalam kebebasan kehendak ini diasumsikan adanya suatu kesetaraan minimal. Pada intinya suatu kesetaraan ekonomis antara pihak sering tidak ada. Dan jika kesetaraan antara para pihak tidak ada, maka nampaknya tidak pula ada kebebasan untuk mengadakan kontrak (Herlin Budiono, 2001: 71). Kebebasan berkontrak adalah begitu esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan di dalam lalulintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaan, maupun bagi masyarakat sebagai satu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa penulis dianggap sebagai suatu hak dasar bahwa kebebasan berkontrak adalah suatu aspek hukum esensial dari kebebasan individu (Friedman, 1990: 47). Hugo Grotius, seorang tokoh terkemuka dari aliran hukum alam, mengatakan bahwa hak untuk membuat perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Dikemukakannya bahwa ada suatu supreme body of law yang dilandasi oleh nalar manusia (human reason) yang disebutnya sebagai hukum alam (nature law). Ia beranggapan bahwa suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seorang yang ia menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar suatu janji, karena suatu janji tidak memberikan hak kepada pihak lain atas pelaksanaan janji itu (Peter Aronstam, 1979: 1). Pelopor dari asas kebebasan berkontrak, Thomas Hobbes, menyebutkan bahwa kebebasan berkontrak merupakan bagian dari kebebasan yang dimungkinkan apabila orang dapat dengan bebas bertindak sesuai dengan hukum (Peter Aronstam, 1979: 3). Konsep ini didukung pula oleh Jhon Stuart Mill yang menggunakan konsep kebebasan berkontrak melalui dua asas (Peter Aronstam, 1979: 3-4). Asas umum pertama mengatakan
bahwa “hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak.” Artinya bahwa hukum tidak boleh membatasi apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang telah mengadakan suatu perjanjian. Asas umum yang pertama itu menegaskan bahwa para pihak bebas untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang akan dibuat. Asas umum kedua mengemukakan bahwa, “pada umumnya seseorang menurut hukuni tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian.” Asas umum yang kedua menegaskan bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia berkeingian atau tidak berkeinginan membuat suatu perjanjian. Konsep yang dikemukakan oleh Adam Smith mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undang sepatutnya tidak dapat digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak karena kebebasan itu penting bagi kelanjutan perdagangan suatu industri (Peter Aronstamn, 1979: 3). Sehubungan dengan itu, Adam Smith menentang keras peraturan perundang-undangan yang mengatur perjanjian-perjanjian kerja, karena campur tangan yang demikian itu dapat dipengaruhi penawaran dari salah satu alat produksi yang terpenting dalam masyarakat industri, yaitu buruh. Konsep lain datang dari Bentham, yang merupakan penganut paham Utilitarisme. Menurut Bentham, ukuran yang menjadi patokan sehubungan dengan kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang dapat bertindak bebas, tanpa dapat dihalangi hanya karena memiliki bargaining position atau posisi tawar menawar untuk dapat memperoleh uang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 44). Friedman mengaskan bahwa kebebasan berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu tetapi tidak lagi memiliki nilai absolute seperti satu abad yang lalu (Friedman, 1967: 400). Demikian pula Subekti, berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Subekti, 1984: 15). Dasar tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia dapat pula dicari di dalam persyaratan-persyaratan dan tuntutan-tuntutan pergaulan hidup. Pergaulan hidup kita berbasiskan tatanan tukar-menukar barang-barang dan jasa jasa yang menuntut adanya suatu kebebasan tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan kontraktual. Kepentingan umum menuntut kebebasan berkontrak dan bahkan menentukan pula bagaimana dan sejauh mana kebebasan tersebut harus dibatasi. Pembatasan ini tidak sama untuk segala waktu dan jaman, akan tetapi berada dalarn konteks kemasyarakatan yakni harus diletakkan dalam kerangka latar belakang hubungan-hubungan dan pertimbangan-pertimbangan kemasyarakatan, evolusi ekonomi, dan perubahan-perubahan pada pandangan pandangan sosial. Kebebasan berkontrak ditinjau dari dua sudut, yakni dalam arti materiil dan formil (R. Feenstra dan M. Ahsman, 1988: 5). Pertama-tama, kebebasan berkontrak dalam arti materiil adalah bahwa kita memberikan kepada sebuah persetujuan setiap isi atau substansi bahwa kita memberikan kepada sebuah persetujuan setiap isi atau substansi yang dikehendaki, dan bahwa kita tidak terikat pada tipe-tipe persetujuan tertentu. Kedua, kebebasan berkontrak dalam arti fonnil, yakni sebuah persetujuan dapat diadakan menurut cara yang dikehendaki. “Sistem terbuka” dan “konsensualitas” baru akan mendapat makna sepenuhnya bilamana kita menghubungkannya dengan akibat hukum dari suatu persetujuan, yakni kekuatan mengikatnya. Prinsip bahwa orang terikat pada perkataan yang diucapkannya sendiri berasal dari etika. Hal tersebut telah ditemukan sejak jaman keno klasik pada sejumlah penulis yang tidak berlatar belakang yuridis. Namun setelah itu terdapat perubahan situasi dan kondisi.
Prinsip “sistem terbuka” maupun prinsip “kekuatan mengikat” tersebut mendapat dukungan dalam ketentuan Pasal 1374 ayat 1 BW atau dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut J.H. Beekhuis, rumusan dalam pasal Undang-Undang ini mempunyai arti, “Bahwa setiap warganegara sesuai dengan caranya masing-masing melalui kontrak tersebut bertindak selaku pembuat undang-undang di dalam suasana pribadi, yang ada antara dia sendiri dengan sesama warganegaranya” (J.M Beekhuis, 1953: 5). Perumusan Pasal 1374 ayat (1) BW atau Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata pada hakikatnya merupakan suatu penerjemahan harafiah dari Code Civil Perancis (Pasal 1134), hanya tidak ditemukan perkataan “semua”. Code Civil yang menambahkan unsur “dijadikan undang-undang”, merupakan penjabaran formula dari seorang penulis hukum alam Perancis pada akhir abad XVII, yaitu Jean Domat (1625-1696). Perkataan “dijadikan undang-undang”, memiliki pengertian bahwa dalam suatu kontrak, pihak-pihak diperankan membuat suatu janji atau syarat khusus yang menyimpang dari aturan-aturan umum mengenai besarnya tanggung jawab yuridis; dan bilamana pihak-pihak melakukan hal ini, maka “kontrak tersebut telah memberikan undangundang” (J.M Beekhuis, 1953: 5-6). C. HUKUM PERIKATAN DALAM KONTRAK DAGANG ELEKTRONIK Dalam era teknologi urformatika yaitu media dunia maya (cyberspace), internet; paperless document, bahwa di era infonnasi ini teknologi informasi berperan sebagai salah satu sektor penting sebagai penunjang dan meningkatkan daya saing, aliran informasi juga dapat diikuti oleh aliran komoditi dan investasi. Perdagangan secara elektronik (Kontrak dagang elektronik) menurut. Julian Ding (Stefanus Laksanto Utomo, 2008: 50) adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa, atau mengambil alih hak, Kontrak ini dilakukan dengan media elektronik dimana para pihak tidak hadir secara fisik. Media ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web, transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional, karena terjadi di dunia maya. Dalam Perdagangan dengan media elektronik terdapat banyak istilah yang umum dipakai diantaranya Kontrak dagang elektronik (KDE), Kontrak siber, kontrak web, E-commerce, di PT.PLN (Persero) selama ini dipakai istilah e-Procurement yaitu proses pengadaan barang dan jasa dengan media elektronik (Stefanus Laksanto Utomo, Surat Kabar Harian Bisnis Indonesia). Secara umum semua penyedia jasa internet biasa disebut Internet Service Provider (ISP). Akan tetapi sebenarnya penyedia jasa ini terbagi atas 3 (tiga) jenis penyedia jasa yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban hukum yang saling berkaitan pula. Ketiga penyedia jasa itu adalah : a. penyedia jaringan akses (connection provider), b. penyedia content yang disebut juga sebagai information provide c. penyedia search engine yang lazim disebut Portal. Masalah pengakuan secara hukum terhadap transaksi elektronik mencakup dalam berbagai bidang hukum, antara lain hukum perjanjian (kontrak), hukum pembuktian, hukum administrasi negara dan peraturan tata negara hukum pidana, hukum perdata (mengenai hak milik) dan hukum acara, komunikasi, kontrol, manajemen, penyimpanan, penggunaan, pemeliharaan dan pengambilan kembali informasi dalam bentuk elektronik yang disebut
Electronic Data Interchange (EDI), telah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan lagi dalam masyarakat modern. Sayangnya, pengakuau hukum terhadap transaksi dan pencatatan dalam bentuk elektronik itu belum setara dengan pengakuan hukum atas transaksi dan pencatatan yang dilakukan secara langsung diatas kertas. Sebelum transaksi dan pencatatan dalam bentuk elektronik ini mendapat pengakuan secara hukum, maka yang terlebih dahulu harus dibangun adalah tata cara dan prosedur pelaksanannya atau paling tidak harus ekuivalen secara hukum dengan tansaksi dan pencatatan manual. Ilustrasi dari terjadinya kontrak di media elektronik ini adalah sebagai berikut: Misalnya anda ingin masuk (login) ke internet, menjelajah dan masuk ke situs web sebuah perusahaan (www) yang menawarkan produk alat-alat elektronik, lengkap spesifikasinya seperti contoh gambar, model ukuran, dan segala informasi tentang produknya, termasuk harga dan ongkos kirim serta pengepakan. Kemudian disitu terdapat pula formula pembelian. Bila anda tertarik untuk membeli produk tersebut, maka selanjutnya anda akan mengisi formulir yang tersedia dengan perintah dengan lengkap termasuk nomor kartu kredit anda dan kemudian mengirimkannya dengan perintah eksekusi yang tersedia. Dengan eksekusi itu maka telah terjadi kontrak antara anda dengan perusahaan (www) mengirimkan produk yang anda pesan dan mendapat pembayaran melalui kartu kredit anda, maka kontrak tersebut telah teipenuhi dan masalahnya selesai. Secara garis besar ada 6 (enam) komponen dalam kontrak on-line, yaitu : 1) ada kontrak dagang 2) kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik 3) kehadiran fisik dari para pihak tidak mutlak diperlukan 4) kontrak itu terjadi dalam jaringan publik 5) sistemnya terbuka, yaitu dengan internet / World Wide Web (www) 6) kontrak itu terlepas dari batas yuridikasi nasional. D. PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ADR (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) SETELAH BERLAKUNYA UNDANG UNDANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) Penyelesaian sengketa merupakan hal yang bagi sebagaian orang, kadangkala tabu dibicarakan, namun juga serigkali menjadi perdebatan yang hangat dan sengit. Dikatakan tabu, oleh karena secara alamiah tidak ada seorangpun yang menghendaki terjadinya sengketa, bagaimanapun orang berusaha menghindarinya, pasti akan selalu muncul, meski dengan kadar “keseriusan” yang berbeda-beda. Selanjutnya sengketa akan menjadi hangat dan sengit jika ternyata sengketa tersebut tak kunjung memperoleh penyelesaian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persengketaan tersebut. Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan UndangUndang Republik Indonesia Nomor: 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dapat diketahui bahwa Undang-Undang ini tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang telah cukup dikenal di Indonesia. Jika mambaca rumusan yang diberikan dalam Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 dari Penjelasan Umum Undang-Undang No.30 tahun 1999, dikatakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara Konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh undang-Undang No.30 th.1999 sebagaimana diatur dalam pasal 6 terdiri dari :
a) Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk “negosiasi” b) penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral diluar para pihak yaitu dalam bentuk “mediasi” yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) UU No.30 th01999; c) penyelesaian melalui “arbitrase” (pasal 6 ayat (9) UU No.30 th 1999). 1. Konsultasi Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU No.30 th 1999 mengenai makna maupun anti dari konsultasi. Jika melihat pada Black’s Law Dictionary dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah : act of consulting or conffering; e.g. patient with doctor, client with lawyer. Deliberation of person on some subject”. Dan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak yang merupakan pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan kliennya tersebut. 2. Negosiasi dan Perdamaian Jika membaca rumusan yang diberikan pada Pasal 6 ayat (2) UU No.30 th 1999, dikatakan bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Ketentuan tersebut mengingatkan pada ketentuan yang serupa yang diatur dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perdamaian. Berdasarkan definisi yang diberikan, dikatakan bahwa Perdamaian adalah salah satu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dapat menyerahakan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diwajibkan untuk dibuat secara tertulis, dengan ancaman tidak sah. Syarat negosiasi menurut UU No.30 th 1999 adalah: a. diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari dan; b. penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk “pertemuan langsung oleh dan antara para pihak yang bersengketa”. Selain itu perlu dicatat pula bahwa “negosiasi” merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan- pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar sidang peradilan (pasal 130 HIR). Dalam buku BUSINESS LAW, Principles, Cases an Policy karya Mark E. Roszkowski dikatakan bahwa yuridiksi nasional. (sebagaimana ayat (2) UU tersebut); diatur dalam Pasa 6 No.30 th 1999 “negotiation is process by which two parties, with differing demands reach an agreement generally through compromise and concession” ( Jack N Nolan Halley, 1992: 25). 3. Mediasi Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) , pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5) UU No.30 th 1999. menurut rumusan dari pasal 6 ayat (3) dikatakan bahwa “atas kesepakatan tertulis para pihak” sengketa atau beda pendapat’ diselesaikan melaui bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli “ maupun melalui “seorang mediator”. Undang-
Undang tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian yang jelas dari inediasi maupun mediator dan literatur hukum misalnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan mediator adalah : “Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach art agreement”. “The Mediator has no power to impose a decission on the parties”. 4. Konsiliasi dan Perdamaian Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-Undang No.30 th 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa konsiliasi adalah : Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a view towards avoiding trial in a labor disputes before arbitration”. “Court of conciliation is a court which proposes terms of adjustment, so as to avoid litigation”. Konsiliasi tidak berbeda jauh dengan Perdamaian sebagaimana diatur dalarn pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 Bab kedelapan betas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan jika demikian berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi secara tidak langsung juga tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternative penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Dengan berlakunya Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) disyaratkan Sebagai berikut : a. Tentang....TTE dengan berlaku sesuai pasal 5 dan mempunyai kekuatan hukum sesuai pasal 11 Juncto pasal 12 yang berisi sebagai berikut : Pasal 5 Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik : 1) Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari. alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 11 : (1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; (b) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan. (c) Seluruh perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi estela waktu penandatanganan dapat diketahui; (d) Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan; (e) Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk diidentifikasikan siapa penanda tangannya;dan (f) Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada pasal (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12 (1) Setiap orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya; (2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya meliputi : (a) Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak; (b) Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait Pembuatan Tanda Tangan Elektronik; (c) Penandatangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap mempercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika : 1) Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau 2) Keadaan yang diketahui oleh Penandatangan dapat menimbulkan resiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan 3) Dalam hal sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda. Tangan harus memastikan kebenaran dan keuntungan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut. 4) Setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaskud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. b. Keabsahan dokumen sesuai pasa1 16 Pasal 16 (1) Sepanjang tidak ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut : (a) Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; (b) Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; (c) Dapat beroperasi sesuai dengan Prosegur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; (d) Dilengkapi dengan Prosegur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan (e) Memilikin mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebertanggung jawaban Prosedur atau petunjuk. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Sertifikasi ………dalam transaksi Elektronik pasal 10
Pasal 10 : (1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan. (2) Ketentuan mengenai pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud nada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. d. Penawaran yang berlaku sesuai pasal 9 Pasal 9 Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. E. KESIMPULAN Penyelesaian sengketa sengketa kontrak elektronik melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) sesuai Pasal 39 Undang-undang No: 11 Tahun 2008 Internet dan Transaksi Elektronik dimungkinkan serta menjadi pilihan, prinsip penyelesaian yang memberikan kedua belah pihak yang bersengketa hak yang sama dalam memberikan argumentasi dalam pengajuan permasalahan serta alternatif penyelesaian, hal ini posisi para pihak sejajar untuk mencari titik temu dalam menyelesaiakan permasalahan yang disengketakan. DAFTAR PUSTAKA Aronstam, Peter, Consumer Protection, Freedom of Contracts and The Law, Juta and Company ltd, Cape Town, 1979. Beekhuis, JM, Contract en Contractvirjheid, Groningen, Jakarta, 1953. Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1996. Budiono, Herlin, Het Evenhichibeginsel Voor Het Indonesich Contractenrecht Diss, Leiden, 2001. Campbell, Henry, Black Law Dictionary, 7th edition, West Publishing Co, St Paul Minn, 1990. Erp, JHM Van, Contracts als Rechibetrekking, Een Rectvergelijkende Studie, Diss KUB Zwolle, 1990. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Rajawali, Jakarta, 1990. Graw, Stepher, An Introduction to Law of Contract, Thomson & Legal Regulation, Sydney, 2002. Haley, Jacqueline M Nolan, Alternative Dispute Resolution, St Paul Minn, West Publishing Co, 1992 Kusumohamijoyo, Budiono, Panduan Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta 2001. Republik Indonesia, Undang-Undang No:11 Tahun 2008 Internet dan Transaksi Elektronik.
Rahardjo, Satjipto, Peran dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional, 1998. _______________Biarkan Hukum Mengalir, Catatan kritis tentang pergulatan Manusia dan Hukum, Buku Kompas, Jakarta 2007. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Internusa, - Jakarta, 1979. Stompka, Pioter, The Sociology of Change (Sosilogi Perubahan Sosial), Prenada Media, Jakarta, 2005. Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999. Utomo, St Laksanto, Menyoal Undang-undang Telematika, Surat Kabar Harian Bisnis Indonesia, 2000. _____________, Pemeriksaan Dari Segi Hukum atau Due Diligence, Alumni, Bandung, 2008