PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MELALUI PENDEKATAN PROBLEMCENTERED LEARNING DISERTAI STRATEGI SCAFFOLDING
Tedy Machmud Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Gorontalo Email:
[email protected]
ABSTRACT: The aim of experimental research is to examine the enhancement of students' mathematical problem solving abilities after theyworked under Problem-Centered Learning approach with scaffolding strategy (PCLSS). Three schools are selected by stratified sampling technique in the Gorontalo City junior high school student, as a sample representing school level: high, medium and low. Through parametric and non-parametric statistical analysis, informations obtained were: (1) students’ MPSA who received PCLSS obtain higher ehancement than students who received conventional teaching approach, both in terms of the level of schools, mathematical prior ability (MPA) and the overall students. All categories show a significant difference in term of problem solving skill, (2) there is an interaction between learning approaches and school levels toward the enhancement of student’s MPSA, (3) there is no interaction between MPA and learning approach toward the enhancement of student’s MPSA. Keywords: Problem-Centered Learning Mathematical Problem Solving Ability
Aktifitas pemecahan masalah merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran matematika. Pemecahan masalah merupakan aktivitas dalam menyelesaikan suatu tugas matematika dengan mana cara penyelesaiannya belum diketahui sebelumnya dengan pasti. Pemecahan masalah matematis adalah merupakan salah satu dari enam standar proses yang dideskripsikan oleh NCTM (2000), sehingga Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (KPMM) ini penting untuk dikembangkan di sekolah khususnya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas pada mata pelajaran matematika. Kirkley (2003) mengidentifikasi suatu urutan dasar dari tiga aktivitas kognitif dalam proses pemecahan masalah:
(PCL),
Scaffolding
Strategy,
1. Merepresentasikan masalah, berupa pemanggilan kembali konteks pengetahuan yang bersesuaian, dengan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan untuk masalah yang dihadapi. 2. Mencari solusi, meliputi penyederhaan tujuan, dan mengembangkan suatu rencana tindakan dalam mencapai tujuan 3. Mengimplementasikan solusi meliputi eksekusi rencana tindakan dan mengevaluasi hasil (Machmud, 2012) Terkait dengan kesulitan siswa dalam pemecahan masalah, Kroll & Miller (1993) setelah melakukan riset literatur yang berkaitan dengan pemecahan masalah, mengidentifikasi beberapa pengetahuan yang terkait dengan kegiatan pemecahan
716
717, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
masalah. Beberapa pengetahuan itu dapat dikatakan sebagai unsur-unsur penting dalam hal kegiatan pemecahan masalah yang harus dimiliki oleh seorang pemecah masalah (problem solver), sekaligus dapat menjadi tolok ukur atau indikator atas kemampuan dalam kegiatan proses pemecahan masalah. Pengetahuan yang dimaksud berkaitan dengan pengetahuan algoritma, pengetahuan linguistik, pengetahuan konseptual dan pengetahuan skema/strategi (Machmud, 2012). Algoritme dalam matematika adalah rangkaian urutan prosedur (matematis) yang spesifik (Bell,1978).Pengetahuan tentang algoritme mencakup instruksi langkah demi langkah yang mengatur bagaimana prosedur dalam menyelesaikan suatu masalah matematis. Pada prinsipnya pengetahuan algoritme adalah merupakan suatu prosedur yang dilakukan dalam suatu urutan linier sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Algoritme terdiri dari susunan prosedur yang terstruktur secara hierarkis. Satu prosedur dalam algoritme dapat memuat sub prosedur. Dalam melakukan kegiatan penyelesaian soal pengetahuan tentang algoritme memang mutlak diperlukan, sebab pada saat akan melakukan pemecahan masalah/ soal pasti diperlukan suatu kegiatan pemilihan dan pemilahan data serta prosedur perhitungan. Secara lebih khusus Suydam & Weaver (dalam Orton, 1992) mengatakan bahwa kemampuan dalam menyeleksi data dan prosedur merupakan karakteristik seorang pemecah masalah (problem solver) yang baik. Belajar matematika tidak bisa dilepaskan dari belajar algoritme, sebagaimana dikatakan Orton (1992) bahwa pembelajaran matematika juga menyangkut tentang pembelajaran algoritma. Kurangnya pengetahuan siswa tentang algoritma akan mengakibatkan siswa akan gagal dalam kegiatan
pemecahan masalah. Namun ini bukan berarti bahwa siswa yang mempunyai pengetahuan yang cukup dalam hal algoritme juga berarti akan sukses dalam melakukan kegiatan pemecahan masalah. Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah faktor pengetahuan linguistik. Karena pengetahuan linguistik erat kaitannya dengan aspek bahasa maka pengetahuan ini dapat dipadankan dengan pengetahuan verbal. Kemampuan memahami masalah terkait erat dengan pengetahuan verbal. Ketidakmampuan memahami masalah dengan baik adalah salah satu faktor penyebab kegagalan dalam kegiatan pemecahan masalah matematis. Penguasaan suatu kemampuan verbal–yaitu kemampuan visualisasi dan interpretasi hubungan dan fakta-fakta kuantitatif adalah salah satu ciri dari seorang pemecah masalah (problem solver) yang baik (Suydam & Weaver dalam Orton, 1992). Orton (1992) menjelaskan bahwa pembelajaran matematika mempunyai hubungan yang erat dengan pengembangan aspek bahasa. Untuk memahami konsepkonsep dan prinsip-prinsip matematika diperlukan kemampuan verbal yang dapat digunakan untuk menerjemahkan konsepkonsep dan prinsip-prinsip ke dalam simbol, selanjutnya menerjemahkan kembali simbol-simbol ke konsep dunia nyata. Dalam kegiatan pemecahan masalah penggunaan simbol dalam matematika dimaksudkan agar obyek dalam matematika dapat ditulis dengan singkat, tepat dan mudah dimengerti. Simbol dalam matematika memberikan fasilitas komunikasi, dan komunikasi akan memberikan pengertian yang berhubungan dengan konsep-konsep. Oleh karena itu kaitan antara simbol dan konsep yang disimbolkan haruslah jelas.Pentingnya pengetahuan linguistik ini diperlukan
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 718
ketika siswa dihadapkan pada soal-soal berbentuk cerita (word problem). Langkah awal yang dilakukan untuk dapat memahami soal cerita secara utuh, memerlukan kemampuan linguistik untuk menerjemahkan dan memaknai setiap informasi verbal yang ada dalam soal cerita dan merelasikannya dengan simbolsimbol matematis sehingga terbentuk representasi dari soal cerita tersebut. Dengan representasi yang dihasilkan tersebut akan membuka peluang ke arah pemecahan masalah. Novak (dalam Orton, 1992) menjelaskan bahwa konsep mendeskripsikan suatu keteraturan atau hubungan dalam suatu kelompok fakta dan ditandai dengan simbol atau lambang.Bell (1978) mengemukakan bahwa konsep dalam matematika adalah suatu ide abstrak yang dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi dan klarifikasi objek apakah sesuatu objek itu merupakan contoh atau bukan contoh dari ide tersebut. Kegiatan penyelesaian soal sangat terkait erat dengan pengetahuan konseptual.Seorang pemecah soal (problem solver) yang baik harus memiliki kemampuan dalam memahami konsep-konsep dan istilahistilah matematis (Suydam & Weaver dalam Orton, 1992). Pengetahuan siswa tentang skema dan strategi pemecahan turut memberi andil pada aktivitas pemecahan masalah.Suydam & Weaver (dalam Orton, 1992) mengatakan ciri pemecah masalah (problem solver) yang baik adalah memiliki kemampuan memilih metode pemecahan. Pengetahuan tentang informasi dari struktur masalah (skema) yang telah dipecahkan sebelumnya dapat dijadikan pengalaman sebagai upaya untuk menghindari kesalahan yang sama saat menghadapi tugas yang baru. Demikian juga pengetahuan tentang strategi pemecahan akan memudahkan untuk
memilih dan menetapkan strategi pemecahan untuk situasi masalah/soal tertentu. Terkait dengan hal ini, kajian lain menyebutkan bahwa kemampuan dalam memecahkan masalah seringkali tergantung pada kemampuan untuk menghasilkan suatu representasi atas masalahtersebut, sebagaimana penegasan Brenner (1999), yaitu “representasi menjelaskan aspekaspek khusus suatu konsep dan juga dapat membantu siswa untuk melakukan pemecahan masalah". Representasi matematika yang dilakukan siswa terhadap suatu situasi atau suatu konsep dapat muncul dalam berbagai format, misalnya bentuk fisik yang konkrit, sketsa, gambar, grafik, simbolisasi. Untuk masalahmasalah matematis yang tidak sederhana dan rumit, diperlukan siasat atau trik untuk membentuk representasi masalah menjadi mudah dimengerti sehingga menjadi mudah untuk dipecahkan. Trik atau siasat itu mungkin saja dapat dilakukan dengan membentuk representasi lain yang menjadi jembatan penghubung bagi pemecahan masalah sesuai situasi/ konteks masalah yang dihadapi. Dalam tulisan ini untuk KPMM, akan dipandang sebagai suatu kompetensi dengan beberapa indikator berikut ini: (1) pemahaman terhadap masalah melalui kecermatan dalam mengidentifikasi unsurunsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan, (2) membuat/ menyusun strategi penyelesaian dan merepresentasikan (dengan simbol, gambar, grafik, tabel, diagram, model, dan lain-lain), (3) memilih/ menerapkan strategi pemecahan untuk mendapatkan solusi, dan (4) memeriksa kebenaran solusi dan merefleksikannya. Sebagai suatu kompetensi KPMM dapat ditingkatkan melalui intervensi pembelajaran. Salah satu intervensi pembelajaran yang dapat dilakukan antara
719, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
lain adalah pendekatan Problem-Centered Learning yang disertai dengan strategi scaffolding (untuk selanjutnya akan disingkat denganPCLSS). Wheatley (1993) membagi komponen Problem-Centered Learning (PCL) menjadi tiga komponen, yaitu mengerjakan tugas, kegiatan kelompok, dan berbagi (sharing). Pendekatan ini dimulai dengan menyiapkan kelas dengan memberikan penugasan berupa tugas pemecahan masalah kepada siswa untuk mengerjakan tugas tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah mengelompokkan siswa dalam kelompokkelompok kerja kecil dan mendorong mereka untuk melakukan kolaborasi. Setelah diskusi pada kelompok masingmasing dinyatakan cukup, dilanjutkan dengan kegiatan diskusi kelas. Pada diskusi ini masing-masing kelompok menyajikan materi yang telah dibahas pada diskusi kelompok. Diharapkan melalui diskusi kelas ini terjadi sharing pendapat sehingga dapat menghasilkan suatu solusi pemecahan masalah yang sedang dikerjakan. Wheatley (Jakubowsky, 1993) menegaskan beberapa aktivitas yang menjadi ciri khusus PCL, anatara lain yakni: 1. PCL memfokuskan pada pembelajaran pada masalah-masalah yang menarik bagi siswa sehingga siswa berusaha untuk memecahkan masalah tersebut; 2. PCL memfokuskan pada pentingnya komunikasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung, sehingga mereka bekerja dalam kelompok-kelompok secara kooperatif dan kolaboratif. Dalam konteks PCL siswa dihadapkan pada masalah-masalah nyata yang mungkin saja pada awalnya siswa menemui kesulitan untuk memahami konsep yang terkait dalam memecahkan soal/ masalah tersebut, sehingga untuk
memecahkan soal/masalah tersebut diperlukan daya kreatifitas yang tinggi dari siswa. Pada kondisi semacam ini kehadiran scaffolding sangat diperlukan, untuk memancing dan membuka jalan ke arah pemahaman dan penyelesaian soal/ masalah. Scaffolding dapat dilakukan guru pada setiap sesi aktivitas dari komponen pendekatan PCL. Dalam konteks pembelajaran ada beberapa bentuk scaffolding yang bisa dilakukan yakni modeling, bridging, dan schema building (Walqui 2006). Yang dimaksud dengan modeling adalah scaffolding dalam bentuk contoh atau model pemecahan matematis. Dari contoh yang diberikan siswa dapat membandingkan, menganalisa, menginterpretasi dan mengevaluasi konteks masalah matematis yang dihadapinya. Bridging adalah bentuk scaffolding yang dilakukan dengan membangkitkan kembali pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap sesuatu konsep yang sudah ada sebelumnya. Schema building adalah scaffolding dalam bentuk skema, diagram ilustrasi situasi masalah, dapat juga berupa jaringan konsep yang terkait dengan situasi masalah. Bentuk scaffolding lain juga dikemukakan oleh Roehlar dan Cantlon (1997) dalam penelitian mereka berupa: Inviting student participation, offering explanation, dan verifying and clarifying students’ understanding. Yang dimaksud dengan inviting student participation adalah bentuk scaffolding yang diberikan dengan maksud untuk mengundang siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran melalui upaya guru dengan memancing partisipasi siswa. Offering explanation adalah bentuk scaffolding yang merujuk pada sebuah pernyataan yang bersesuaian dengan pemahaman terhadap konsep yang muncul dari apa yang telah dipelajari siswa, mengapa dan kapan konsep itu
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 720
digunakan dan bagaimana konsep itu digunakan. Verifying and classifying students’ understandings adalah bentuk scaffolding yang berhubungan dengan verifikasi terhadap pemahaman yang muncul dari siswa. Jika pemahaman yang muncul itu masuk akal, maka guru memverifikasi respon itu, tetapi jika pemahaman yang muncul itu tidak masuk akal, maka guru melakukan klarifikasi kepada siswa. Dikaitkan dengan pendekatan PCL, pemecahan masalah merupakan salah satu fokus penting dalam pendekatan PCL. Hal ini karena salah satu tahap dari PCL adalah pemberian tugas masalah matematis. Melalui kerja kelompok siswa didorong untuk berusaha memahami, merencanakan menyelesaikan dan merefleksi situasi dan tugas matematis yang dihadapinya. Tulisan ini hendak mengkaji, menganalisis dan mengungkap tentang KPMM siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan yang memperoleh pembelajaran dengan Pembelajaran Konvensional (PK), ditinjau dari sekolah, kemampuan awal matematika serta siswa secara keseluruhan. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen (quasi experiment), dengan desain kelompok kontrol nonekuivalen (the nonequivalent control group design): Pada disain ini, kelompok eksperimen diberi pendekatan pembelajaran PCLSS, dan kelompok kontrol diberi pembelajaran dengan PK. Masingmasing kelas penelitian diberi pretest dan postest, dan relatif tidak ada perlakuan secara khusus yang diberikan pada kelas kontrol. Untuk melihat secara lebih khusus dampak dari pendekatan pembelajaran dalam penelitian ini turut dianalisis variabel kontrol yaitu level sekolah (atas,
sedang, bawah) dan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). Subjek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP/ MTs Negeri di Kota Gorontalo khususnya siswa SMP kelas VIII. Dengan teknik stratified sampling (teknik strata) ditentukan subjek sampel yakni SMP Negeri I Kota Gorontalo mewakili sekolah level tinggi, SMP Negeri 8 Kota Gorontalo mewakili sekolah level sedang dan SMP Negeri 10 Kota Gorontalo mewakili sekolah level rendah. Pada setiap sekolah tersebut ditetapkan siswa kelas VIII sebagai subjek sampel, dan dengan teknik acak kelompok (cluster random sampling) dipilih satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Dengan cara demikian siswa yang terlibat secara keseluruhan adalah sejumlah 151 siswa. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran yakni pendekatan PCLSSdan pembelajaran dengan PK, sedangkanvariabel terikat adalah kemampuan pemecahan masalah matematis pada topik Teorema Pythagoras dan Geometri untuk kelas VIII. Indikator aktivitas kemampuan pemecahan masalah matematis tersebut dapat ditelusuri antara lain melalui deskripsi respon yang dimunculkan oleh pemecah masalah (problem solver) dalam kegiatan problem solving, dalam bentuk rubrik pemecahan masalah matematis. Beberapa rubrik pemecahan masalah dalam matematika telah juga dikembangkan untuk berbagai tingkatan sekolah/ kelas. Salah satu rubrik tersebut adalah Math Problem Solving Criteria yang dikembangkan oleh Vermont Department of Education (Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment:1991). Rubrik ini terdiri empat aspek pemecahan masalah, dan setiap aspek memuat empat kriteria dengan bobot skor terendah 1 dan skor tertinggi 4 tergantung
721, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
pada respon dan kinerja yang ditampakan. Aspek pertama yakni pemahaman masalah (understanding the problem), dengan kriteria terendah (skor 1) bila siswa menampakan ketidakpahaman sehingga tidak bisa memulai dan membuat kemajuan dalam proses penyelesaian masalah, dan kriteria tertinggi (skor 4) jika siswa mampu mengidentifikasi faktor atau fakta yang relevan untuk menyelesaikan masalah. Aspek kedua yakni bagaimana kegiatan siswa dalam memecahkan masalah (how student solved problem) dengan kriteria terendah (skor 1) bila siswa tidak dapat memecahkan masalah, dan kriteria tertinggi (skor 4) jika siswa dapat memecahkan masalah dengan efisien dan brilian. Aspek ketiga yakni pengambilan keputusan sepanjang proses pemecahan masalah (decisions along the way), dengan kriteria terendah (skor 1) bila tidak terlihat alasan yang jelas atau menampakan penalaran tidak benar dalam setiap langkah proses pemecahan masalah, dan kriteria tertinggi (skor 4) jika siswa dapat memberikan penjelasan yang rasional terhadap keputusan atau langkah pemecahan masalah yang dilakukan. Aspek keempat yakni dampak dari aktivitas yang dilakukan (outcomes of activities) dengan kriteria terendah (skor 1) bila hanya sebatas menyelesaikan masalah, dan kriteria tertinggi (skor 4) jika solusi dari masalah dibuat menjadi aturan umum (digeneralisai) dan diperluas ke situasi yang lebih kompleks. Data yang diperoleh dari hasil pretest dan postest dianalisis untuk mengetahui besarnya peningkatan KPMM siswa kelas eksperimen dan kontrol. Besar peningkatan dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized gain), yaitu: g = posttest score pretest score maximum possiblescore pretestscore Hake dalam (Meltzer, 2002)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Data KPMM Berdasar Level Sekolah, KAM, Siswa Keseluruhan dan Pendekatan Pembelajaran Analisis statistik deskriptif data KPMM siswa yang meliputi skor minimun, skor maksimum, rerata pretes, postes, ngain, dan simpangan baku ditinjau dari masing-masing level sekolah, kemampuan awal matematika, siswa secara keseluruhan berdasarkan pendekatan pembelajaran disajikan pada Tabel 1 (terlampir). Merujuk pada Tabel1, dapat dideskripsikan bahwa: pertama, kualitas KPMM siswa di tinjau dari sekolah (level tinggi, sedang dan level rendah), KAM (tinggi, sedang dan rendah) dan siswa keseluruhan yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS, maupun siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK pada awal perlakuan pembelajaran adalah relatif sama; kedua, pada masing-masing kategori, kualitas KPMM siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK. Hasil-hasil uji komparasi untuk melihat kesetaraan KPMM siswa pada masing-masing kategori diuraikan sebagaimana berikut ini. 1. Tabel 2 (terlampir), menyajikan rangkuman hasil uji komparasi untuk melihat kesetaraan KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK, ditinjau dari level sekolah. Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 722
2.
3.
pembelajaran dengan PK pada masing-masing level sekolah. Tabel 3 (terlampir), menyajikan rangkuman hasil uji komparasi untuk melihat kesetaraan KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK, ditinjau dari KAM. Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK pada masing-masing kelompok level KAM. Tabel 4 (terlampir), menyajikan rangkuman hasil uji komparasi untuk melihat kesetaraan KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK, ditinjau dari siswa secara keseluruhan. Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK secara keseluruhan.
Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Sekolah terhadap Peningkatan KPMM Berdasarkan Tabel 5 (terlampir) dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig). untuk pendekatan pembelajaran yang kurang dari 0,05. Demikian pula sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) untuk sekolah yang kurang dari 0,05. Demikian pula terlihat nilai probabilitas (sig.) untuk interaksi Pendekatan Pembelajaran * Sekolah, kurang dari 0,05, dengan demikian H0 di tolak, artinya ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan sekolah terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan demikian faktor pendekatan pembelajaran dan sekolah, bersama-sama berinteraksi secara signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.Secara grafik, interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran dengan sekolah terhadap peningkatan KPMM siswa dapat dilihat pada Grafik 1 (terlampir). Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan KAM terhadap Peningkatan KPMM Berdasarkan Tabel 6 (terlampir) dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) untuk pendekatan pembelajaran yang kurang dari 0,05. Demikian pula KAM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.) untuk KAM yang kurang dari 0,05. Demikian pula terlihat nilai probabilitas (sig.) untuk interaksi Pendekatan Pembelajaran * KAM, lebih dari 0,05, dengan demikian H0 di terima, artinya tidak ada interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan KAM terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dengan demikian faktor pendekatan
723, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
pembelajaran dan KAM, bersama-sama tidak memberikan kontribusi secara signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.Secara grafik, interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran dengan KAM terhadap peningkatan KPMM siswa dapat dilihat pada Grafik 2 (terlampir).
membangkitkan kembali pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap sesuatu konsep yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh diperlihatkan pada Gambar 1 sajian tugas kelompok dalam panduan belajar yang membahas materi pokok tentang Teorema Pythagoras dan hasil pekerjaan siswa:
Pembahasan Pemecahan masalah jika dipandang sebagai suatu strategi adalah proses berpikir siswa untuk memecahkan masalah atau tugas yang dihadapi menggunakan pengetahuan sebelumnya. Strategi ini ditempuh siswa misalnya dengan jalan menguraikan masalah tersebut menjadi masalah yang lebih sederhana, menuliskan kembali masalah itu sesuai dengan pengetahuan dan bahasa sendiri, merepresentaskan masalah tersebut kedalam bentuk sketsa, grafik, gambar atau simbolisasi dan mendiskusikan alur berpikir atas masalah tersebut dengan teman yang lain. Pembelajaran dengan pendekatan PCLSS antara lain dirancang untuk memberi kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas belajar sehingga siswa dapat membangun pemahaman sendiri dan berpartisipasi dalam proses belajarnya serta mengembangkan strategi dalam pemecahan masalah/ soal atau tugas yang dihadapi. Melalui strategi scaffolding yang tepat siswa difasilitasi untuk dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematisnya. Sebagai contoh sintaks PCLSS yang dimulai dengan tahap task (pemberian tugas) dihadirkan antara lain dengan memberikan tugas/ masalah yang menarik atau memuat suatu situasi yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa, sehingga siswa segera terlibat dalam proses belajar. Pada tahap ini dihadirkan strategi scaffolding bridging yakni bentuk scaffolding yang dilakukan dengan
Gambar 1Cuplikan Hasil Kerja Siswa pada Panduan Belajar
Tugas di atas berbunyi: Dua buah tiang berdampingan dengan jarak 24 meter. Jika tinggi tiang masing-masing adalah 22 meter dan 12 meter, hitunglah panjang kawat penghubung antara ujung-ujung tiang tersebut. Dari jawaban tersebut tergambar proses berpikir siswa dalam menyelesaikan tugas tersebut yakni dengan membuat sketsa gambar, mengidentifikasi unsur-unsur dan besaran yang ada dalam sketsa yang dibuat. Strategi ini telah membuka peluang bagi siswa dapat menyelesaikan tugasnya. Hasil analisis data menunjukkan jika dilihat secara keseluruhan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS ternyata mendapatkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Jika dilihat dari pengelompokan level sekolah ternyata sekolah yang memperoleh pembelajaran PCLSS, lebih
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 724
tinggi dalam hal peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dibandingkan dengan sekolah yang memperoleh pembelajaran konvensional (Tabel 2). Kelompok sekolah level tinggi menerima manfaat lebih tinggi dalam hal peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis ini. Namun jika dibandingkan dengan pengelompokan level KAM ternyata kelompok level KAM tinggi (Tabel 3), memperoleh peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sekolah level tinggi. Jika ditelusuri dari sisi interaksi, ternyata faktor pendekatan pembelajaran dan faktor level sekolah secara bersamasama berinteraksi secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, sebagaimana halnya jika hal ini dilihat secara parsial, faktor pendekatan atau faktor level sekolah berkontribusi terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Namun jika dilihat dari interaksi faktor pendekatan pembelajaran dan faktor level KAM, ternyata secara bersama-sama tidak terdapat interaksi faktor pendekatan pembelajaran dan faktor level KAM terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Hanya saja jika dilihat secara parsial, faktor pendekatan atau faktor level KAM tetap berkontribusi terhadap perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis. Dari pengujian tersebut dapat diyakini bahwa pembelajaran dengan pendekatan PCLSS memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, sedangkan faktor pengelompokkan level sekolah dan pengelompokkan level KAM relatif turut memberikan sumbangsih pada tingkat perbedaan peningkatan tersebut.
PENUTUP Kesimpulan 1. Siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS memperoleh peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK. Perbedaan peningkatan KPMM siswa ini dapat dicermati baik dari sisi level sekolah, level KAM maupun secara keseluruhan.Semua kategori yang dikomparasikan menunjukkan perbedaan yang siginifikan. 2. Faktor pendekatan pembelajaran dan sekolah, bersama-sama berinteraksi secara signifikan terhadap perbedaan peningkatan KPMM siswa. Demikian pula jika dilihat secara parsial yakni dari aspek pendekatan pembelajaran atau aspek sekolah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan KPMM. 3. Faktor pendekatan pembelajaran dan KAM, bersama-sama tidak berinteraksi secara signifikan terhadap perbedaan peningkatan KPMM. Namun jika dilihat secara parsial yakni dari aspek pendekatan pembelajaran atau aspek KAM memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan KPMM. Saran 1. Guru perlu mengimplementasikan pembelajaran dengan pendekatan PCLSS ini pada pembelajaran matematika tingkat SMP dalam upaya meningkatkan KPMM siswa. 2. Guru perlu melakukan pencermatan (noticing) terhadap karakteristik siswa secara lebih mendalam sehingga akan dapat memberikan scaffolding yang tepat waktu dan tepat sasaran. 3. Untuk dapat memaksimalkan implementasi PCLSS ini dikelas dan
725, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
memaksimalkan scaffolding secara tepat waktu dan tepat sasaran, perlu
dipehatikan jumlah siswa dalam kelas.
DAFTAR RUJUKAN
Bell, F. H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). USA: Wm C. Brown Company Publishers. Brenner, M.E., Herman, S., Ho, H-Z. & Zimmer, J.M. 1999. Cross-National Comparison of Representation Competence.Journal for Research in Mathematics Education (JRME), 30 (5): 541-557. Jakubowski, E. 1993. Constructing Potential Learning Opportunities in Middle Grades Mathematics. Dalam K. Tobin (Ed). The Practice of Constructivism in Science Education (hal.: 135-144). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Kirkley, J. 2003. Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia: www.plato.com/downloads/papers/p aper_04.pdf. Diakses pada tanggal 12 Mei 2010. Kroll, D. L.& Miller, T. 1993. Insight from Research on Mathematical Problem Solving in Middle Grades. Dalam Owens, Douglas T. (Ed.), Research Ideas for the Classroom Middle Grades Mathematics (halaman: 5877). New York: NCTM. Machmud, Tedy. 2012. Kajian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP se-Kota Gorontalo.Prosiding Konferensi Nasional Matematika (KNM) ke XVI, Tahun 2012. ISBN: 978-60219590-2-2. Bandung:Universitas Padjajaran. Maryland State Department of Education. 1991. Sample Activities, Student Responses and Maryland Teachers'
Comments on a Sample Task: Mathematics Grade 8, February 1991. Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment. Tersedia pada: http://web.njit.edu/~ronkowit/teachi ng/rubrics/samples/math_probsolv_ chicago.pdf. Diakses pada tanggal 2 Mei 2011. Meltzer, D. E. 2002. The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/ per/ docs/ Addendum_on_normalized _gain.pdf. Diakses pada tanggal 15 Maret 2011. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia pada: www.nctm.org/standards/overview.h tm. Orton, A. 1992.Learning Mathematics.Issues, Theory and Classroom Practice.Second Edition. London: British Library Cataloguing in Publication Data. Roehler, L.R. & Cantlon, D.J. 1997. Scaffolding: A Powerful Tool in Social Constructivist Classrooms’s. In K. Hogan & M. Pressley. 1997. (Eds). Scaffolding Student Learning: Instructional Approaches and Issues. Cambridge: Brookline Books, Inc.
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 726
Walqui, A. 2006. Scaffolding Instructionalfor English Language Learners: A Conceptual Framework. The International Journal of Bilingual Education and Bilingualism. Vol. 9 No.2. Wheatley, G.H. 1993. The Role of Negotiation in Mathematics
Learning. Dalam K. Tobin (Ed). The Practice of Constructivism in Science Education (hal.: 121-134). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
727, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
LAMPIRAN Tabel 1. Statistik Deskriptif Data KPMM Siswa Ditinjau dari Level Sekolah, KAM, Siswa Keseluruhan dan Pendekatan Pembelajaran
Kelompok Data
Pembelajaran
N
PCLSS
22
PK
23
PCLSS
29
PK
30
PCLSS
23
PK
24
PCLSS
17
PK
16
PCLSS
38
PK
46
PCLSS
19
PK
15
PCLSS
74
PK
77
Tinggi (Tg)
Level Sekolah
Sedang (Sd)
Rendah (Rd)
Tinggi (Tg)
KAM
Sedang (Sd)
Rendah (Rd)
Siswa Keseluruhan
Catatan: Skor maksimum = 50
Jenis Data Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain Pre Post n-Gain
Skor Min. 5,00 25,00 0,375 5,00 20,00 0,250 5,00 20,00 0,333 5,00 15,00 0,167 5,00 20,00 0,302 5,00 15,00 0,188 15,00 30,00 0,400 12,00 24,00 0,188 5,00 21,00 0,356 5,00 17,00 0,167 5,00 20,00 0,302 5,00 15,00 0,222 5,00 20,00 0,302 5,00 15,00 0,167
Maks. 25,00 45,00 0,800 30,00 40,00 0,600 20,00 40,00 0,737 21,00 32,00 0,486 20,00 35,00 0,605 18,00 30,00 0,394 25,00 45,00 0,800 30,00 40,00 0,600 25,00 40,00 0,737 21,00 35,00 0,500 20,00 35,00 0,550 7,00 25,00 0,444 25,00 45,00 0,800 30,00 40,00 0,600
Rerata
Simpangan Baku
16,591 33,864 0,529 13,870 28,391 0,408 11,103 30,448 0,505 10,800 22,033 0,289 10,652 27,565 0,436 9,708 20,250 0,263 18,706 36,647 0,576 17,688 30,000 0,389 12,263 30,710 0,494 11,130 22,674 0,299 7,790 24,842 0,408 5,400 18,467 0,293 12,595 30,568 0,491 11,377 23,377 0,317
6,053 5,963 0,116 6,737 5,590 0,085 4,386 5,435 0,089 4,270 4,422 0,061 4,344 5,186 0,078 3,884 3,814 0,048 3,602 3,535 0,097 4,423 5,177 0,109 4,341 4,484 0,078 3,698 4,023 0,069 3,675 4,810 0,079 0,828 4,138 0,087 5,522 5,982 0,101 5,249 5,685 0,089
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 728
Tabel 2. Rangkuman Output Uji Perbedaan Data n-Gain KPMM Ditinjau dari Level Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran Sekolah Level Tinggi Sedang Rendah
Pembelajaran PCLSS PK PCLSS PK PCLSS PK
Rerata n-Gain 0,529 0,408 0,505 0,289 0,436 0,263
Uji t
Sig. (2-tailed)
Keputusan
3,984
0,000
H0 Ditolak
10,927
0,000
H0 Ditolak
9,185
0,000
H0 Ditolak
H0: Tidak terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK pada masing-masing level sekolah. Tabel 3. Rangkuman Output Uji Perbedaan Data n-Gain KPMM Ditinjau dari Kelompok Level KAM dan Pendekatan Pembelajaran KAM Level Tinggi Sedang Rendah
Pembelajaran
Rerata n-Gain
PCLSS PK PCLSS PK PCLSS PK
0,576 0,389 0,494 0,299 0,408 0,293
Uji t
Sig. (2-tailed)
Keputusan
5,207
0,000
H0 Ditolak
12,094
0,000
H0 Ditolak
4,024
0,000
H0 Ditolak
H0: Tidak terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK pada masing-masing kelompok level KAM. Tabel 4. Rangkuman Output Uji Perbedaan Data n-Gain KPMM Ditinjau dari Pendekatan Pembelajaran Secara Keseluruhan Pembelajaran
Rerata n-Gain
t
Sig. (2-tailed)
Keputusan
PCLSS PK
0,491 0,317
11,227
0,000
H0 Ditolak
H0:
Tidak terdapat perbedaan skor rerata n-gain KPMM antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PCLSS dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan PK secara keseluruhan.
729, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Tabel 5. Rangkuman Output Hasil Uji ANAVA Dua Jalur Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Sekolah terhadap Peningkatan KPMM Siswa Sumber Data Intercept Pendekatan Sekolah Pendekatan *Sekolah Kesalahan Total
Jumlah Kuadrat (JK) 24,401 1,072 0,331
1 1 2
Rerata Jml Kuadrat (RJK) 24,401 1,072 0,165
3692,013 162,242 25,030
0,000 0,000 0,000
0,058
2
0,029
4,361
0,014
0,958 26,862
145 151
0,007
dk
F
H0: Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan sekolah terhadap peningkatan KPMM siswa.
Grafik 1 Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan Sekolah terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Sig.
Machmud, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, 730
Tabel 6. Rangkuman Output Hasil Uji ANAVA Dua Jalur Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan KAM terhadap Peningkatan KPMM Siswa Sumber Data Intercept Pendekatan KAM Pendekatan * KAM Kesalahan Total
Jumlah Kuadrat (JK) 20,937 0,853 0,304
1 1 2
Rerata Jml Kuadrat (RJK) 20,937 0,853 0,152
3070,821 125,041 22,323
0,000 0,000 0,000
0,040
2
0,020
2,959
0,055
0,989 26,862
145 151
0,007
dk
F
H0: Tidak terdapat perbedaan varians skor n-Gain KPMM pada keenam kelompok ditinjau dari KAM dan pendekatan pembelajaran.
Grafik 2. Interaksi antara Faktor Pendekatan Pembelajaran dengan KAM terhadap Peningkatan KPMM
Sig.