PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN PEMBERIAN DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) dan KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Eli Sahara NIM D051030041
ABSTRAK ELI SAHARA. Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Kepala Udang dalam Pakan Itik. Dibimbing oleh RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO dan HERNOMOADI HUMINTO. Telur itik yang berasal dari pemeliharaan intensif banyak yang pucat, sehingga kurang disukai oleh konsumen. Hal ini disebabkan oleh perobahan pola pemeliharaan dari sistem gembala ke sistem terkurung karena pada sistem terkurung pakan yang diberikan adalah campuran konsentrat, menir dan dedak. Pola pemeliharaan sistem gembala ternak itik mendapatkan sumber pigmen dari makanannya yang berasal dari hijauan dan hewan kecil yang berasal dari kebun, sawah dan ladang pengembalaan yang menyebabkan warna kuning telurnya lebih kuning. Sumber pigmen penguning warna kuning telur dapat diperoleh dari hijauan seperti daun katuk, lamtoro, kaliandra dan kangkung serta dari hewani seperti limbah udang. Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian yaitu : 1) penelitian pendahuluan dengan tujuan penentuan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum dalam pakan 2) penelitian lanjutan bertujuan untuk mendapatkan indeks warna kuning telur yang lebih baik dari kombinasi dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang. Sebanyak 42 ekor itik umur 6 bulan yang mulai produksi dipelihara dalam penelitian pendahuluan yang dibagi ke dalam 6 perlakuan dan 7 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor. Perlakuan 1 adalah ransum basal (RB) 100%, 2) RB + Tepung Kaliandra (K) 3%, 3) RB + K 6%, 4) RB + tepung kepala udang (CU) 3%, 5) RB + CU 6%, dan 6) RB + CU 9%. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ini didapatkan dosis tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang yang optimum untuk diterapkan pada penelitian lanjutan. Pada penelitian lanjutan digunakan 30 ekor itik umur 6 bulan yang dibagi dalam 3 perlakuan dan 10 ulangan dengan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik. Perlakuan 1 adalah RB 100%, perlakuan 2 adalah RB + K 6% + CU 3% dan perlakuan 3 adalah RB + K 6% + CU 6%. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman dan apabila terdapat hasil yang berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991). Produksi telur, perubahan histopatologi, hasil identifikasi dan tanda klinik disajikan secara deskriptif. Peubah yang diukur dalam penelitian adalah konsumsi ransum, efisiensi ransum, produksi telur, indeks warna kuning telur, Kadar retinol serum dengan menggunakan HPLC, persentase berat organ hati, ginjal, pankreas dan organ reproduksi (ovari dan oviduk), pengamatan histopatologi terhadap jaringan organ hati, ginjal,pankreas, ovari dan oviduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dapat meningkatkan indeks warna kuning telur dengan skor 11, dan perlakuan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) dengan skor 10. Tidak terdapat pengaruh perlakuan kaliandra dan kepala udang terhadap konsumsi ransum dan efisiensi ransum, sedangkan untuk produksi telur terdapat variasi antar individu itik untuk masing-masing perlakuan yaitu itik pada perlakuan R0 hanya 40% yang bertelur, itik pada perlakuan R1 60% yang bertelur dan itik pada perlakuan R2 80% yang bertelur. Kalau dilihat untuk masing-masing perlakuan, itik yang berproduksi telur tinggi untuk perlakuan R0 adalah 75%, R1 yang berproduksi
tinggi adalah 66.7% dan R2 yang berproduksi tinggi hanya 50%. Pemberian kaliandra dan kepala udang juga tidak berpengaruh terhadap organ dalam, sehingga secara histopatologi kelihatan morphologi jaringan hati, ginjal,pankreas, ovari dan oviduk masih dalam kategori normal.
ABSTRACT ELI SAHARA. Increasing Yolk Color Index by Using Calliandra Leaves Meals (Calliandra calothyrsus) and Shrimp Head Meals in Duck Diets, supervised by RITA MUTIA, PENI SOEPRAPTI HARDJOSWORO, and HERNOMOADI HUMINTO. The yolk from intensive duck system mostly has pale color, so it is not interested to consumers. This is caused by the changing of raising pattern from scavenging in to intensive duck system. In intensive duck system, the duck is fed by a mixture of concentrate and rice brand, meanwhile under scavenging, the ducks get its feed from forage and small animal from backyard, wetland, and dry land farming systems. The yellow pigment of yolk come from forage such as Sauropus androgynus Merr, Leucaena Leucocephala, Calliandra calothyrsus and Ipomoea aquatica and also from animal like shrimp waste (shrimp head). This experiment is consisted of 2 ( two) phases; 1) preliminary experiment; aimed to determine the optimum level of Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets, 2) continued experiment; aimed to get the best yolk color index from combination levels of using Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets. Forty two duck started to produce egg (6 month old) were raised in the preliminary experiment and divided in to 6 treatments with 7 replicates; each replication is consisted of 1 duck. The treatments were 1) 100% of basal diet (BD); 2) BD + 3% of Calliandra leaves meals (K); 3) BD + 6% of K; 4) BD + 3% of shrimp head meals (SH); 5) BD + 6% of SH; and 6) BD + 9% of SH. Based on the preliminary experiment is found the optimum level of calliandra leaves meals and shrimp head meals for applying in the continued experiment. In continued experiment was used 30 duck (6 month old) and divided in to 3 treatments and 10 replicates, with 1 duck in each replication. The treatment were R1) 100% 0f BD; R2) BD + 6% of K + 3% of SH; 3) BD + 6% of K + 6% of SH. This experiment used random analysis approach. The difference among the treatment was tested by Multiple Duncan s Test (Steel and Torrie, 1991). Descriptive approach was used to explain egg production, histopathology changes, the result of identification, and clinical symptom. Parameters observed were consumption, ration efficiency, egg production, yolk color index, retinol content in serum by using HPLC, percentage of the weight of lever, kidney, pancreas and reproductive (ovary and oviduct) organ. The result of the experiment showed that R1 treatment can increase yolk color index with the score, 11 and R2 got 10. There was no significant effect of Calliandra leaves meals and shrimp head meals on consumption and ration efficiency, while for egg production showed the variability among individual duck in each treatment, only 40% in R0 produced egg, 60 % in R1, and 80% in R2. The highest egg production in each treatment was found in R0 treatment 75%, in R1 treatment was 66.7%, and in R2 treatment was 50%. Using Calliandra leaves meals and shrimp head meals in diets did not affect the inner organ. From histopathology assessment showed that morphological of lever, kidney, pancreas, and reproductive (ovary and oviduct) organ still in normal category.
© Hak cipta milik Eli Sahara, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENINGKATAN INDEKS WARNA KUNING TELUR DENGAN PEMBERIAN DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) dan KEPALA UDANG DALAM PAKAN ITIK
ELI SAHARA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NIM
: Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik : Eli Sahara : D.051030041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rita Mutia, M. Agr Ketua
Prof (Emeritus) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal Ujian : 27 Maret 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah indeks warna kuning telur, dengan judul Peningkatan Indeks Warna Kuning Telur dengan Pemberian Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Tepung Kepala Udang dalam Pakan Itik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.Ir.Rita Mutia, Ibu Prof (Emeritus) Peni Soeprapti Hardjosworo dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, M.VS selaku pembimbing dan Ibu Dr.Ir. Sumiati, M.Sc selaku penguji, yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Kepada ketua dan staf pengajar Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB terima kasih atas ilmu pengetahuan bermanfaat yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa di IPB, juga kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dalam dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan. Kepada Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Ibu Ketua Yayasan Van De Venter Maas, Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan bantuan dana penelitian penulis ucapkan terima kasih. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada yang terhormat bapak (alm), ibu, bapak dan ibu mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepada suami tercinta Mada Apriandi Zuhir, SH dan ananda tersayang Muthada Mutahari Zuhir, kakak dan adek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2006
Eli Sahara
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 5 Maret 1973 dari ayah Syaharuddin (Almarhum) dan ibu Lunar. Penulis merupakan anak kelima dari 7 bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA 1 Lubuk Alung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas Padang melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Universitas Andalas. Penulis memilih Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan dan lulus tahun 1997. Tahun 2000 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Tahun 2003 terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB di Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
...
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xv
PENDAHULUAN
1
..
TINJAUAN PUSTAKA .. Pigmen Pewarna Kuning Telur Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A .. Kaliandra .. Limbah Udang . Itik Lokal . Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik ............. Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi .
3 3 5 5 8 10
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... Materi Penelitian ........................................................................... Metode Penelitian ..........................................................................
16 16 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ Penelitian Pendahuluan ................................................................. Indeks Warna Kuning Telur .......................................................... Penelitian Lanjutan ........................................................................ Kandungan Gizi Pakan Perlakuan.................................................. Konsumsi Ransum ......................................................................... Produksi Telur ................................................................................ Efisiensi Penggunaan Ransum ....................................................... Indeks Warna Kuning Telur ........................................................... Retinol Serum Itik .......................................................................... Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Dalam.................................................. Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Reproduksi .........................................
21 21 21 24 24 25 26 28 28 31
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. Kesimpulan ..................................................................................... Saran ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .
42 42 43 44
11 15
31 38
LAMPIRAN ............................................................................................... 49
DAFTAR TABEL 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan
Halaman ............................... 4
2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering ...........
4
3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gr kuning telur
4
4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering .........
6
5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang ...........................................
9
6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan ......................
16
7 Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan penyusun ransum .......................................................................................
24
8 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering .............................................
25
9 Konsumsi ransum itik selama tiga minggu (gram) ...................................
26
10 Efisiensi ransum terhadap produksi telur total selama penelitian .............
28
11 Pengaruh pemberian perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang dalam pakan terhadap kadar retinol serum itik .........................................
31
12 Pengaruh daun kaliandra dan kepala udang terhadap bobot hati, ginjal dan pankreas ..............................................................................................
32
13 Rataan persentase berat ovari dan oviduk ................................................
38
14 Callibrating the assay ................................................................................
54
15 Analytical recovery of retinol, -tocopherol and tocopherol acetate
54
16 Analisis ragam konsumsi ransum ..............................................................
55
17 Analisis ragam efisiensi ransum ................................................................
55
18 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik .........................
56
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1(3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) ........................................................................
21
2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) pada hari ke-7 .......................................................................................
22
3 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) .........................................................................
23
4 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik; a) untuk perlakuan R0 (itik no 1 sampai 10), b) perlakuan R1 (itik no 1 sampai 10), dan c) perlakuan R2 (itik nomor 1 sampai 10)
27
5 Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ................................................
29
6 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) ................................................
30
7 Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) .................................................
30
8 Morphologi jaringan hati perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................
35
9 Morphologi jaringan ginjal perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................
36
10 Morphologi jaringan pankreas perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x) .....................
37
11 Morphologi jaringan ovary perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) .....................
40
12 Morphologi jaringan oviduk perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x) .....................
41
DAFTAR LAMPIRAN 1 Pembuatan preparat histopatologi ........................................................ 2 Pengembangan metoda analisa retinol dengan
HPLC ......................
Halaman 50 52
3 Analisis ragam konsumsi ransum,efisiensi ransum dan produksi telur......................................................................................
55
4 Khromatogram retinol serum itik dengan HPLC ................................
57
PENDAHULUAN Warna kuning telur itik yang pucat tidak disukai oleh konsumen, terutama untuk telur itik yang diasin. Hal tersebut sangat mempengaruhi nilai jual dari pada telur itik.
Permasalahan yang sering muncul adalah konsumen seringkali
memprediksikan warna kuning telur yang cerah ada hubungannya dengan khasiat dan kualitas dari telur sehingga warna kuning telur itik yang pucat akan menurunkan nilai jual dari telur tersebut. Perubahan cara pemeliharaan itik dari sistem ekstensif menjadi intensif menyebabkan warna kuning telur itik pucat.
Hal ini disebabkan karena pada
pemeliharaan intensif digunakan pakan campuran konsentrat, dedak, menir atau jagung. Bila jagung yang digunakan berwarna putih maka warna kuning telurnya akan pucat. Pada pemeliharaan ekstensif, itik mendapat kesempatan untuk memakan sumber-sumber pigmen penguning telur seperti tanaman hijauan di sawah atau ladang penggembalaan. Untuk menghasilkan warna kuning telur yang pekat dapat ditambahkan pigmen pewarna kuning telur. Pigmen pewarna kuning telur adalah karotenoid.
Pigmen tersebut dapat dalam bentuk siap pakai
(pigmen sintetis),
tanaman hijauan atau bahan alami lain seperti cangkang udang. Bila digunakan pigmen siap pakai akan meningkatkan biaya pakan karena merupakan bahan impor dan harganya mahal. Hewan tidak dapat membuat sendiri karotenoid dalam tubuhnya, karotenoid dapat diperoleh dengan memakan bahan makanan nabati yang banyak mengandung karotenoid.
Pigmen karotenoid tersebut sebagian besar terdiri dari lutein dan
zeaxanthin yang termasuk dalam istilah xanthophyll. Di Indonesia penelitian menggunakan sumber pigmen alami seperti daun kaliandra, kangkung, daun katuk
dan daun lamtoro sudah terbukti dapat
meningkatkan indeks warna kuning telur, namun belum diketahui dosis yang dapat menghasilkan warna dengan indeks yang tinggi yaitu antara 10-12. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian dilakukan dengan penggunaan sumber karotenoid dari jenis tanaman dan hewani yaitu tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang dalam pakan.
Penelitian ini bertujuan meningkatkan indeks warna kuning telur dengan pemberian sumber pigmen alami yaitu kaliandra dan kepala udang serta pengaruhnya terhadap keamanan organ dalam.
TINJAUAN PUSTAKA Pigmen Pewarna Kuning Telur Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap warna kuning telur. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tanaman maupun hewan yang merupakan prekursor vitamin A.
Lebih dari 600 karotenoid telah diidentifikasi di
alam, sebanyak 50-60 karotenoid memiliki sifat sebagai provitamin A (Flora et al. 1999). Prawirokusumo (1991) mengatakan bahwa vitamin A terdiri dari empat macam yaitu : 1) vitamin A acetate (retinyl acetate), 2) vitamin A alkohol (retinol), 3) vitamin A aldehyde (retinal), 4) vitamin A acid (retinoic acid). Hati menyimpan kurang lebih 90% total vitamin A dalam bentuk ester retinol. Dalam tubuh, fungsi utama vitamin A dilaksanakan oleh retinol dan kedua derivatnya yaitu retinal dan asam retinoat. Ester retinol yang terlarut dalam lemak makanan akan terdispersi dalam cairan empedu dan dihidrolisis di dalam lumen usus, yang kemudian diserap langsung oleh epitel usus. Senyawa carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim carotene dioksigenase. Didalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase dengan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Murray et al. 1996). Senyawa karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu carotene, xanthophyll, ester xanthophyll dan likopen (Chichester 1976 dalam Arafah 1994). Carotene adalah pigmen berwarna kuning sampai merah tersusun atas ikatan isoprene dengan 2 methyl ditengah dalam posisi 1: 6 dan posisi lateral adalah 1: 5. Stadelman dan Co tterill (1984) mengatakan bahwa umumnya karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur sangat ditentukan oleh pakan.
Kandungan xanthophyll total bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan persentase jenis-jenis karotenoid dalam jagung kuning, tepung alfalfa dan alga dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karotenoid total kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan Bahan Makanan Tepung marigold petal Tepung alga Tepung alfalfa kering Rumput pantai Bermuda Bungkil lembaga jagung (60%) Bungkil lembaga jagung (41 %) Jagung kuning Tepung kunyit
Xanthophyll Total (mg per kg) 7000 2000 280 270 290 125 17 40 s/d 68 kali jagung
Sumber : Amrullah (2003)
Tabel 2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering Karotenoid Lutein Zeaxanthin Violaxanthin Neoxanthin Crytoxanthin Lain-lain
Alfalfa (%) 46 4 16 14 7 13
Jagung Kuning (%) 54 23 8 15
Alga (%) 86 2 4 8
Sumber : Smith dan Perdue (1966) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Tabel 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gram kuning telur Karotenoid Lutein A Zeaxanthin Cantaxanthin ß-cryptoxanthin
Persentase (%) 40 19.8 17.9 17.3
Sumber : Matsuno et al. (1986) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A Karotenoid merupakan prekursor vitamin A. Beberapa
hewan
mamalia
mempunyai kemampuan yang spesifik untuk mengabsorpsi karotenoid yang berasal dari makanan. Saluran usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A, meskipun organ-organ lainpun
mampu mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Enzim pemecah carotene yaitu -carotene 15, 15 oxygenase, dan hal ini telah dibuktikan pada usus halus, hati dan ginjal tikus. Reaksi-reaksi yang dikatalisa oleh enzim ini memerlukan oksigen. Produk awal dan satu-satunya produk yang terbentuk adalah retinal (Piliang 2001). Murray (1996) mengatakan bahwa senyawa
-carotene yang dikonsumsi
mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim
-carotene dioksigenase. Di
dalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase deangan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe dan masuk ke dalam darah. Jumlah deposit masing-masing pigmen tanaman tergantung pada jumlah gugus hidroksi atau gugus keton dalam molekul. Umumnya dihydroxy xanthophyll (Lutein dan zeaxanthin) dan diketo xanthophyll (canthaxanthin) lebih efisien ditransfer ke kuning telur daripada monohydroxy xanthophyll (cryptoxanthin) dan monoketo xanthophyll (Bracunlich 1978 dalam Stadelman dan Cotteril 1984). Kaliandra Kaliandra termasuk jenis pohon semak berkayu, dengan ciri-ciri batang mempunyai banyak cabang, tidak lurus dan pendek, pohon yang sudah dewasa mempunyai tinggi 12 m dengan diameter 20 cm.
Di daerah Jawa, kaliandra
merupakan tanaman yang bermanfaat. Kayunya untuk kayu bakar, daun-daunnya digunakan untuk pakan ternak. Kaliandra ada dua spesies, tetapi yang ditanam untuk tujuan ilmu kehutanan (forestry) adalah calliandra calothyrsus (bunga merah) dan calliandra tetragona (bunga putih).
Kedua spesies kaliandra ini berasal dari
Guatemala dan dikenalkan ke Indonesia tahun 1936. Kaliandra mulai disebarkan pertama kali adalah di pulau Jawa. Umumnya Indonesia menggunakan calliandra calothyrsus (NRC 1983). Kaliandra kemudian menjadi sumber pakan ternak yang mudah didapat, meskipun terbatas informasi tentang ketersediaan nilai nutrisinya.
Beberapa
penelitian di Australia, kaliandra telah dikenal menjadi pakan ternak yang palatabel tinggi untuk grazing dan pen-fed animals (B. Palmer, unpublished data). Rahardjo
dan Cheeke (1985) dalam Palmer (2006) melaporkan bahwa 22% protein kasar, 3070% serat kasar, 4-5% abu dan 2-3% lemak terdapat pada daun kering kaliandra. Daun kaliandra mengandung protein, carotene (provitamin A), dan xanthophyll yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering Komposisi Kimia Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) BETN (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Energi bruto (kkal/kg)
Tepung Daun Kaliandra1 19.65 19.61 3.27 42.78 4068
Tepung Daun Kaliandra2 20.36 32.64 2.69 38.41 -
Tepung Daun Kaliandra3 22.71 15.50 3.41 1.39 0.37 4275
Keterangan : 1) Soebarinoto (1986); 2) Narsum (1983) 3) Purwanegara (1988)
Disisi lain Suryadi (1995) dalam Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa kaliandra memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu 24.8 % pada daun segar dan 22.8 % pada daun kering. Permasalahan yang ada pada pemanfaatan kaliandra sebagai sumber pakan ternak ruminansia adalah tingkat konsumsi dan kecernaannya yang rendah. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi al.1989 dalam Palmer 2006).
sampai 11% (Akin et
Cannas (2001) melaporkan bahwa terdapat dua
kelompok tanin yang berpengaruh terhadap nutrisi ternak, yaitu tanin hidrolisis dan tanin kondensasi yang biasa disebut proanthocyanidin. Tanin didefinisikan sebagai water soluble polymeric phenolics yang mengikat protein (Reed 1995). Disisi lain Hagerman (2002) mendefinisikan tanin adalah water soluble phenolic compunds yang mempunyai berat molekul antara 500 sampai 3000, mempunyai sifat tidak hanya membentuk ikatan komplek dengan protein dan alkaloids tetapi juga dengan polisakarida.
Kemampuan
tanin
untuk
bereaksi
dengan
protein
dan
mengendapkannya menimbulkan masalah pada penyiapan enzim atau protein lain dari beberapa tumbuhan. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak (Robinson 1995).
Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen. Hal ini diakibatkan oleh terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam rumen. Tanin dikenal juga dapat membentuk komplek dengan ion bivalen seperti Fe++ yang dapat menurunkan ketersediaan ion Fe++ dalam tubuh (Hassan et al. 2003).
Kegunaan tanin adalah sebagai proteksi (by pass) protein, tetapi tanin
dengan level tinggi bisa menurunkan kecernaan protein untuk ternak. Nadiar (1979) dalam Palmer (2006) menambahkan bahwa tepung daun kaliandra telah diketahui sebagai sumber protein dan sumber carotene untuk produksi telur komersial. Wiryawan
(1999) mengatakan bahwa senyawa tanin dapat dihilangkan
dengan perlakuan alkali misalnya dengan penambahan NH4OH, NaOH, K2CO3 atau CaO.
Perendaman daun kaliandra dalam larutan kapur tohor menaikkan nilai
kecernaan nutrisi daun kaliandra.
Pada perendaman dalam larutan CaO 2 %
mengakibatkan kenaikan kecernaan protein sebesar 58.28 %, kecernaan NDF sebesar 17.74 % dan kecernaan ADF sebesar 12.35 %. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar tanin dalam bahan kering kaliandra sekitar 11.3 %.
Adanya tanin dalam daun
kaliandra dapat menurunkan nilai cerna dari protein. Hasil analisis kandungan tanin dalam daun kaliandra pada laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi bervariasi antara 1
17 %.
Paterson et al. (1999) dalam Stewart et al. (2001) melaporkan
bahwa hijauan ternak C. colothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak pedaging dan produksi susu pada sapi. Penambahan sedikit daun kaliandra untuk pakan ayam petelur (0.6
2.5 % dari pakan pokok) akan menghasilkan warna
kuning telur yang lebih kuning tanpa pengaruh negatif pada jumlah telur yang dihasilkan dan pada konversi pakan (Paterson et al. 2000 dalam Stewart et al. 2001). Anggorodi (1985) menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat meningkatkan warna kuning telur.
Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa makin
tinggi tingkat pemberian daun kaliandra atau daun lamtoro dalam pakan menyebabkan skor warna kuning telur bertambah tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan xanthophyll yang dikandung daun kaliandra atau daun lamtoro. Limbah Udang Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku.
Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke
tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun.
Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai
633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk (Prasetiyo 2004). Marganof (2003) mengatakan bahwa saat ini budidaya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang , pengalengan
udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang, dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu dan lain-lain.
Kulit udang mengandung
protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992) dalam Mirwandhono dan Siregar (2006) bahwa limbah udang mengandung protein 41.9%, khitin 17.0%, abu 29.2% dan lemak 4.5% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang cukup tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial terutama methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati. Kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kandungan protein yang terdapat di kepala udang masih cukup tinggi. Oleh karena itu kepala udang sangat potensial digunakan sebagai pakan.
Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang* Jenis kandungan Kadar air Protein kasar Lemak Serat kasar Kadar abu Kalsium Fosfor BETn Nitrogen Keterangan : *
Jumlah (%) 14.0** 43.40 1.40 13.20 26.80 7.05 1.52 1.20
6.30*** 44.10 4.30 12.10 27.30 11.40 1.80 -
Sudah dikeringkan ** Hartadi et all. (1997) *** Oke et al. (1978)
Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik. Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang mungkin disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine yang memberikan warna kuning kemerahan.
Itik Lokal Jenis itik lokal adalah merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner. Itik Indian Runner adalah bangsa itik yang sangat terkenal sebagai penghasil telur. Budidaya ternak itik tersebar hampir diseluruh Indonesia. Adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda, serta isolasi geografis dalam jangka waktu yang lama, maka muncul sifat khas yang membedakan itik daerah satu dengan daerah lain. Menurut Soedjai (1974) dan Srigandono (1986) itik lokal mempunyai 3 varietas dengan tempat adaptasi yang berbeda-beda yaitu : itik Bali (Anas sp.) berkembang di Bali, itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) berkembang di Kalimantan dan itik Tegal (Anas javanica) berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara. Bentuk badan itik Tegal adalah merupakan contoh itik Indian Runner yaitu dengan posisi berdiri yang hampir tegak lurus.
Warna bulu umumnya coklat dengan
beberapa variasi warna tertentu. Bentuk badannya lebih besar daripada itik Bali, warna kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan.
Tanabe et al.
(1984)
melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai hubungan kekerabatan dengan itik Khaki Campbell, yaitu merupakan persilangan itik Rouen dengan itik Indian Runner. Potensi Itik Lokal Indonesia merupakan negara dengan populasi itik terbesar kedua setelah Cina, khususnya di Asia. Dari populasi tersebut separuhnya ada di pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari luas Indonesia. Jawa Tengah secara nasional mempunyai populasi itik tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) bangsa itik Jawa Tengah yang terkenal produksi telurnya tinggi yaitu itik Tegal dan itik Magelang. Itik Tegal banyak diusahakan oleh peternak di sepanjang pantai utara, sedangkan itik Magelang banyak dipelihara oleh peternak disekitar keresidenan Kedu (Subiharta et al. 2001). Itik lokal memiliki sifat unggul yaitu masak kelamin dini. Pada umur 113 hari kelompok itik berasal dari Tegal telah mulai bertelur, untuk itik Mojosari umur mulai bertelur adalah 145 hari dan untuk itik Bali 157 hari (Hardjosworo 2001). Chavez dan Lasmini (1978) dalam Subiharta et al. (2001) melaporkan bahwa produksi telur tertinggi itik Tegal pernah mencapai 80 %. Sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur, ini dapat dilihat dari hasil penelitiannya dengan menggunakan itik Tegal yang dipelihara secara intensif mampu berproduksi 212 butir pertahun dengan variasi antara 100
300
butir. Produksi telur tersebut akan dapat terwujud apabila pakan yang diberikan memenuhi kualitas dan kuantitas. Hardjosworo (1990) menyatakan bahwa itik Tegal mempunyai potensi untuk ditingkatkan kemampuan produksi telurnya, karena dari kenyataan sekitar 50 % itik yang digunakan dalam penelitian menghasilkan produksi telur ( duck
day ) lebih
besar dari 50 %. Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik Produksi Telur Produksi telur (duck-day) dari sekelompok itik dapat tinggi bila 1) Itik-itik dalam kelompok tersebut unggul 2) Itik-itik mulai bertelurnya relatif serempak 3)
Manajemen terhadap itiknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternaknya (Hardjosworo et al. 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas telur, mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan itik. Produksi telur pada unggas sangat bervariasi untuk setiap individu selama periode bertelur.
Ada hubungan yang erat antara
jumlah telur yang dihasilkan dengan waktu periode bertelur (Koops dan Grosman 1991 dalam Laksmiwati 1997). Roesdiyanto et al.
(2001) menyatakan bahwa
sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur. Produksi telur itik lokal sangat bervariasi dan ini tergantung dari jenis itik, sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan. Hardjosworo (1989) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan pakan berbentuk pellet dengan kandungan protein 18 % dapat meningkatkan produksi telur, bobot badan dan memperpanjang siklus produksi, dibanding dengan pakan berbentuk halus dengan kandungan protein 16 % atau pellet dengan kandungan protein 16 %. Konsumsi Ransum Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi yaitu : 1) macam unggas 2) umur unggas 3) lingkungan, terutama cuaca 4) tingkat produksi. Sementara itu Wahju (1985) melaporkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan produksi. Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya, keaktifannya, temperatur lingkungan dan apakah untuk pertumbuhan atau untuk mempertahankan produksi telur. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah temperatur lingkungan, bentuk ransum, kualitas ransum, kecepatan pertumbuhan, produksi telur, stress dan kesehatan ternak.
Amrullah (2003)
mengatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi.
Jika
ayam dapat menyesuaikan konsumsi zat makanannya tepat dengan jumlah yang dibutuhkan, maka besarnya kebutuhan dapat dinyatakan dalam persen atau tingkat energi dalam ransum. Lubis 1963 dalam Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa itik
mengkonsumsi ransum lebih banyak dari ternak ayam yaitu satu setengah kali dari konsumsi ransum ternak ayam, dan lebih toleran terhadap serat kasar dibanding dengan ternak ayam (Mutzar et al. 1977 dalam Laksmiwati 1997). Kecernaan Kepala Udang Kecernaan didefinisikan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses, dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh (Mc Donald et al. 1988) ; atau selisih antara zat-zat makanan yang terkandung di dalam pakan yang dimakan oleh ternak dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi 1979). Bila nilai tersebut dinyatakan sebagai persen terhadap konsumsi disebut koefisien cerna. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala dan ekornya. Fungsi kulit pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya (Marganof 2003) Limbah udang merupakan sumber khitin dan khitosan karena kulit udang mengandung khitin sebesar 20
30 % dari berat keringnya dan keberadaannya
bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, kalsium karbonat, magnesium karbonat dan pigmen karotenoid (Jhonson dan Peniston 1982). Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, cortengterfa dan nematoda.
Khitin
biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus dan bagian dalam kulit cumi-cumi (Marganof 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10, merupakan zat padat yang tidak berbentuk (amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat.
Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-
glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Khitin termasuk golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (N-asetil2amino-2-dioksi-D-glukosa (Silverstein et al. 1981 dalam Sudibya 1998). Struktur khitin sama dengan selulosa, dimana ikatan yang terjadi antar monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi
- (1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah
gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon no 2, pada khitin digantikan oleh gugus asetamida (NHCOCH3) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetil glukosamin (Carroad dan Tom 1978 dalam Sudibya 1998). Syamsuhaidi (1997) menyatakan bahwa selama ini perhatian terhadap peran caecum pada unggas sebagai organ pencernaan fermentative agak terabaikan. Pertumbuhan usus dan caecum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile fatty acid) produk pencernaan serat merupakan sumber energi bagi mikroba. Caecum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan osmoregulasi.
Bakteri yang hidup di dalamnya mampu membuat vitamin B
kompleks. Bakteri tersebut mungkin dapat direkayasa sehingga unggas mungkin dapat diberi pakan berserat tinggi sehingga harga pakannya murah. Supadmo (1997) melaporkan bahwa ayam broiler
yang diberi ransum mengandung khitin dan
khitosan dengan level 30g/kg, pada hari ke-10 dan 18 ayam-ayam penelitian untuk kontrol dan ransum khitin mempunyai berat yang lebih besar, konsumsi pakan yang lebih baik dan rasio konversi pakan lebih rendah dari pada ayam-ayam yang diberi ransum khitosan. Selain itu pemberian serat mengurangi absorbsi lemak sehingga deposisi lemak ke dalam daging dan telur ayam dapat ditekan. Selanjutnya Sudibya (1998) menyatakan bahwa penggunaan berbagai tingkat duckweed dalam ransum ayam ras pedaging dapat mengurangi deposisi lemak abdominal dan kolesterol karkas serta ada tendensi penurunan lemak karkas, kolesterol dan trigliserida serum. Ada hubungan antara kadar trigliserida darah dengan kualitas telur (warna kuning telur) seperti yang dilaporkan Purba (2003) dalam penelitiannya bahwa kualitas telur berupa kuning telur menurun setelah rontok bulu. trigliserida dalam darah yang kuning telur menurun.
Penurunan tersebut karena
merupakan pembawa (carrier) pigmen pembawa
Konversi Ransum Konversi ransum tidak saja merupakan suatu angka untuk merefleksikan kemampuan fisiologis dalam memanfaatkan semua unsur-unsur gizi ransum, namun mempunyai arti dan nilai ekonomis yang menentukan bagi kepentingan berusaha. Perbandingan input unit ransum yang dikonversikan menjadi output unit berat badan akan menghasilkan angka fisik bagi tolok ukur perhitungan ekonomis. Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu-satuan bobot badan atau produksi telur. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa peningkatan konsumsi yang diikuti dengan penurunan pertambahan bobot badan menyebabkan tingginya konversi ransum.
Semakin kecil angka konversi
ransum berarti semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum yang diberikan. Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi Organ reproduksi ayam betina pada masa embrio terdiri dari sepasang ovarium dan oviduk, akan tetapi selama masa pertumbuhannya dan saat mencapai dewasa kelamin hanya ovarium dan oviduk bagian kiri yang berkembang normal sedangkan bagian kanan mengalami penyusutan atau rudimenter (Sturkie 1976). Laksmiwati
(1997) melaporkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan
daun kaliandra lebih baik dibandingkan dengan daun lamtoro karena perkembangan alat reproduksi lebih baik, produksi telur lebih tinggi, lebih efisien dalam penggunaan pakan.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor mulai bulan Mei sampai Agustus 2005 selama 4 bulan. Materi Penelitian Ternak Ternak percobaan yang digunakan adalah itik lokal alabio betina dewasa yang berumur 6 bulan sebanyak 72 ekor itik. Pakan Pakan yang digunakan adalah pakan basal yang terdiri dari konsentrat, menir, dedak dan minyak sayur disusun dengan kandungan protein 20 persen dan energi metabolis 2824 kkal/kg. Daun kaliandra kering didapatkan dari Balai Penelitian Peternakan Ciawi Bogor, dan digiling dengan menggunakan cutter grinder. Tepung kepala udang dibuat dengan cara mengeringkan kepala udang di bawah
sinar
matahari selama 1 minggu sampai kering. Kepala udang dijemur tiap hari mulai dari jam 8.00 pagi sampai 4.00 sore (rata-rata 8 jam/hari), kemudian digiling dengan menggunakan cutter grinder.
Susunan bahan makanan ransum dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi bahan ransum dan kandungan zat-zat makanan Bahan Konsentrat Dedak Menir Minyak sayur Total Protein Energi Metabolis (kkal/kg)
Persentase 35.28 23.59 35.47 5.66 100.00 20.03 2824.00
Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang sangkar tunggal dengan ukuran 50 x 50 x 60 cm. Setiap kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum yang
terbuat dari paralon. Alat lain yang digunakan adalah timbangan untuk menimbang telur dan itik. Untuk menentukan skor warna kuning telur digunakan Roche Yolk Colour Fan . Metode Penelitian 1. Penentuan dosis kaliandra dan kepala udang yang optimum Materi penelitian pendahuluan menggunakan itik yang mulai produksi sebanyak 42 ekor yang dibagi ke dalam 6 perlakuan. Masing-masing perlakuan terdiri dari 7 ekor itik.
Selama 2 minggu pertama (sebelum masuk perlakuan)
diberikan pakan basal atau tanpa tepung kepala udang (CU) maupun tepung daun kaliandra (K) Mulai awal minggu ketiga diberikan ransum perlakuan pendahuluan yang terdiri dari Ransum Basal (RB), RBK-(3%), RBK-(6%), RBCU-(3%), RBCU-(6%) dan RBCU-(9%) selama 2 minggu. Evaluasi warna kuning telur dilakukan pada hari ke-1 perlakuan, hari ke-7 dan hari ke-14 dengan cara memecah semua telur yang ada pada masing-masing hari tersebut. Telur pada hari ke-8 dan 15 diasin selama 10 hari dan dilakukan pengamatan secara visual. Setelah diketahui dosis-dosis yang baik untuk pemberi warna kuning telur yang diamati selama 2 minggu, dilanjutkan dengan penelitian utama Rancangan Penelitian Pendahuluan Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebanyak 6 perlakuan dengan 7 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991). Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut : Yijk=
+ i + ij
i = 1,2,3,4,5,6 j = 1,2, 7
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i i
= Pengaruh perlakuan ransum ke-i =Nilai rata-rata sesungguhnya
ij =Pengarug galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i 2. Penerapan dosis sebagai pemekat warna kuning telur Materi penelitian lanjutan menggunakan itik lokal betina dewasa yang sedang produksi sebanyak 30 ekor yang dibagi ke dalam 3 perlakuan, 10 ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor itik. Ransum perlakuan yang diberikan selama penelitian terdiri dari satu tingkat penggunaan kombinasi tepung daun kaliandra dan tepung kepala udang dalam ransum yakni R-0 (ransum basal 100% sebagai kontrol), R-1 (kaliandra 6 % + kepala udang 3%) dan R-2 (kaliandra 6 % + kepala udang 6%). Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebanyak 3 perlakuan dengan 10 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor itik (Steel and Torrie 1991). Adapun model matematikanya adalah sebagai berikut : Yijk =
+ i + ij
i = 1,2,3 j = 1,2, 10
Yij
= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat
perlakuan
ransum ke-i i
= Pengaruh perlakuan ransum ke-i = Nilai rata-rata sesungguhnya
ijk = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i. Peubah yang Diamati 1. Konsumsi ransum setiap kelompok ulangan dihitung setiap minggu berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa makanan 2. Produksi telur ditentukan dengan mencatat jumlah telur setiap hari, kemudian ditimbang untuk mengetahui beratnya dan ini dilakukan selama 3 minggu percobaan.
Jumlah telur pada satu minggu (7 hari) 3.
Duck day production =
________________________________ x 100% Jumlah itik pada 1 minggu (jumlah itik x 7 hari)
4. Efisiensi ransum berdasarkan perbandingan antara berat telur total selama penelitian dengan konsumsi
ransum total selama penelitian.
5. Kandungan retinol darah dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromotography) dengan mengikuti metoda Thurnham et al. (1988). 6. Penentuan pengukuran skor kuning telur dilaksanakan setiap hari dengan cara memecah semua telur pada hari ke-1, ke-2, ke-3 sampai hari ke-14 perlakuan (selama 2 minggu).
Warna kuning telur diukur secara visual dengan
menggunakan alat bantu
Roche yolk colour fan
macam warna dengan score dari 1
yang mempunyai 15
15. Evaluasi warna kuning telur juga
dilakukan terhadap telur yang sudah diasin, yaitu dengan mengasin semua telur pada hari 15,16 dan hari ke-17 perlakuan selama 15 hari.
Pengamatan
dilakukan secara visual. 7. Pada akhir penelitian, itik dipotong untuk mengamati ovarium, saluran telur, hati, ginjal dan pankreas. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil dua ekor itik pada setiap perlakuan dengan memilih secara acak 1 petelur yang mempunyai produksi telur diatas 30% dan satu lagi petelur yang memiliki produksi telur dibawah 20%, kemudian itik ditimbang untuk mengetahui bobot hidup. 8. Penentuan persentase bobot ovarium, bobot saluran telur, bobot hati, bobot ginjal dan bobot pankreas didasarkan atas perbandingan bobot masingmasing organ dengan bobot hidup dikalikan 100%. 9. Untuk pengamatan terhadap perubahan histopatologi maka organ-organ yang akan diperiksa segera diambil untuk dibuat sediaan histopatologi.
Analisis Statistik Untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati digunakan analisis keragaman dan apabila ditemukan hasil yang berpengaruh nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie 1991). Data diolah menggunakan komputer program General Linear Model. Untuk data produksi telur diamati secara deskriptif dan perubahan histopatologi, hasil identifikasi dan tanda klinik juga disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penelitian Pendahuluan Indeks Warna Kuning Telur Pengaruh warna kuning telur
terhadap berbagai perlakuan pakan dalam
penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Indeks Warna Kuning Telur pada Penelitian Pendahuluan
Indeks warna
12 10
R0
8
R1 R2
6
R3 4
R4
2
R5
0 H-1
H-7
H-14
Hari
Gambar 1
Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang).
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pemberian perlakuan kaliandra dan kepala udang dapat meningkatkan indeks warna kuning telur. Indeks warna kuning telur tertinggi adalah 10 yang dihasilkan oleh pemberian kepala udang 9 % dalam pakan. Pada pemecahan telur hari ke 7, perlakuan yang memberikan indeks warna tertinggi adalah R5 (9% kepala udang) dengan skor 10, diikuti oleh perlakuan R3 (3% kepala udang) dengan skor 8, R1 (3% kaliandra) dan R2 (6% kaliandra) dengan skor yang sama yaitu 7, dan R4 (6% kepala udang) dengan skor 6, serta skor yang paling rendah adalah R0 (R. Basal) yaitu dengan skor 5. Pemecahan telur itik pada hari ke 14, indeks warna tertinggi adalah pemberian kepala udang 3% (R3) dan pemberian kepala udang 9% (R5) dengan skor 10, dikuti oleh R4 dengan skor 9, R2 dengan skor 8, R1 dengan skor 7 dan R0 dengan skor 6.
Peningkatan warna kuning
terhadap kuning telur disebabkan oleh adanya pigmen karotenoid yang dikandung kaliandra atau pun kepala udang. Pigmen karotenoid akan merefleksikan warna kuning, orange, atau merah (Anonim 2005).
Rahardjo (1985) mengatakan bahwa pemberian cangkang udang sampai 30 % dalam pakan dapat menyebabkan
warna kuning telur menjadi merah, karena
cangkang udang mengandung pigmen astaxanthine. Astaxanthine adalah pigmen yang sering ditemukan pada hewan (Simpson dan Chichester 1980).
R0 hari 7 Skor 5
R1 hari 7 Skor 7
R2 hari 7 Skor 7
R3 hari 7
R4 hari 7
R5 hari 7
Skor 8
Skor 6
Skor 10
Gambar 2 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang) pada hari ke-7. Laksmiwati (1997) dalam penelitiannya bahwa pemberian kaliandra 15 % dalam ransum meingkatkan skor warna kuning telur menjadi 12 karena pada kaliandra mengandung pigmen xanthophyll yang dapat memberi warna kuning pada kuning telur. Ini ditunjang oleh pernyataan Anggorodi (1985) yang menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat meningkatkan warna kuning telur. Pengaruh perlakuan juga dipertegas oleh penampakan warna kuning telur asin rebus (Gambar 3).
Gambar 3
Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (3% kaliandra), R2 (6% kaliandra), R3 (3% kepala udang), R4 (6% kepala udang) dan R5 (9% kepala udang).
Dari pengamatan secara visual terhadap telur asin rebus yang diberi perlakuan kaliandra dan kepala udang, terlihat bahwa warna kuning telur asin rebus pada hari ke-15 kelihatan lebih masir dibanding telur asin rebus pada hari ke-8. Hal ini diduga telur asin rebus pada hari ke-15 sudah memiliki warna kuning telur yang lebih bagus dari warna telur asin rebus hari ke-8, sehingga dengan adanya NaCl dan lemak yang ada pada kuning telur menyebabkan tampilan warna kuning telur yang lebih masir. Tingkat kemasiran kuning telur sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan kadar NaCl yang terdapat pada kuning telur. Senyawa organik pemberi warna pada kuning telur (pigmen karotenoid) terdiri dari atom-atom dan ikatan-ikatan yang kaya elektron. Atom dan elektron tersebut bisa berinteraksi dan dipengaruhi oleh ion Na+ dan ion Cl-, sehingga interaksi mereka dapat menyebabkan perubahan intensitas penyebab warna kuning telur. Penyebab masirnya kuning telur tersebut diperkuat dengan pendapat
Muchtadi (1990) dalam Wulandari (2002) mengatakan bahwa
LDL adalah suatu emulsifier, yang dapat dipecahkan dengan berbagai cara yaitu : a) pemanasan b) penambahan elektrolit c) pengadukan mekanis dan d) sentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Ikatan yang terdapat pada LDL adalah ikatan kovalen, ikatan ion, ikatan hidrofobik dan ikatan vanderwalls. Masing-masing ikatan tersebut dapat dirusak oleh adanya NaCl dan panas. Penambahan elektrolit seperti NaCl dan proses pemanasan (perebusan telur asin) dapat menggangggu keseimbangan antar
fase, yaitu fase polar (protein) dan fase non polar (lipid), akibatnya sifat minyak dari fase non polar (lipid) muncul kepermukaan. Besaran minyak yang keluar adalah salah satu kriteria mutu telur asin yang berhubungan dengan tingkat kemasiran dari kuning telur. Semakin banyak minyak yang keluar kemasiran kuning telur semakin tinggi (Wulandari
2002).
Berdasarkan hasil indeks warna kuning telur yang
didapatkan dari penelitian pendahuluan maka diterapkan dosis kombinasi antara kaliandra dan kepala udang dalam penelitian lanjutan yaitu dosis kaliandra 6% dan kepala udang 3% untuk R1 serta dosis kaliandra 6% dan kepala udang 6% untuk R2. 2. Penelitian Lanjutan Kandungan Gizi Pakan Perlakuan Komposisi zat-zat makanan penyusun ransum percobaan berdasarkan analisis proksimat dan kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7
Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan makanan penyusun ransum*
Bahan Makanan Kaliandra Kepala udang Ransum basal Keterangan *:
Protein Kasar (%) 20.38 38.84 19.44
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
Ca (%)
P (%)
1.37 7.60 2.63
26.59 19.18 4.79
0.98 8.39 3.88
0.29 1.48 0.92
Energi Bruto (kal/gram) 3565 3991 3842
Analisis Proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2005)
Tabel 8
Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam ransum perlakuan selama penelitian berdasarkan bahan kering
Zat-zat makanan Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) Kalsium (%) Phospor (%) Energi Bruto (kal/gram)
R0 19.44 4.79 2.63 3.88 0.92 3842.00
Perlakuan R1 20.02 6.38 2.70 3.84 0.90 3831.08
R2 20.53 6.73 2.83 3.96 0.92 3835.14
Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kandungan protein, serat kasar dan lemak relatif makin meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pemberian kaliandra dan kepala udang pada perlakuan R1 dan R2. Kandungan kalsium, pospor, dan energi bruto perlakuan R1 dan R2 tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata. Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan hasil penelitiannya bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen yang diakibatkan oleh terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam rumen. Disisi lain Silverstein et al. (1981) dalam Sudibya (1998) mengatakan bahwa kepala udang yang banyak mengandung khitin merupakan golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (N-asetil 2 amino -2-dioksi-Dglukosa) mempunyai sifat mengikat lemak. Berdasarkan sifat yang ada pada bahan penyusun ransum akibat tanin dan khitin maka peningkatan zat-zat gizi (protein, lemak dan serat kasar) pada perlakuan R1 dan R2 ( Tabel 8 ) diharapkan dapat mencegah kekurangan ketersediaan protein dan lemak akibat diikat oleh tanin dan khitin. Konsumsi Ransum, Produktivitas Telur, Efisiensi Penggunaan Ransum, Indeks Warna Kuning Telur dan Retinol Serum Itik Konsumsi Ransum Rataan konsumsi pakan per perlakuan selama penelitian, untuk itik yang diberi pakan perlakuan R0, R1 dan R2 disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Konsumsi ransum itik selama tiga minggu (gram) Perlakuan R0 R1 R2
Konsumsi Ransum (gram) 2795.53 229.07 2599.40 461.51 2835.80 459.08
Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi ransum untuk masingmasing perlakuan hampir sama atau tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti tidak ada pengaruh perlakuan (pemberian kaliandra dan kepala udang) dalam pakan terhadap konsumsi ransum sehingga tidak mengurangi palatabilitas dari pakan. Produksi Telur Produksi telur masing-masing itik selama 3 minggu untuk 30 ekor itik disajikan dalam Gambar 4.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa produksi telur masing-
masing perlakuan cukup beragam dimana itik pada perlakuan R0 hanya 40% yang bertelur, itik pada perlakuan R1 60% yang bertelur dan itik pada perlakuan R2 80% yang bertelur. Ini menunjukkan bahwa dari masing-masing perlakuan untuk setiap ulangan terdapat variasi kemampuan berproduksi telur antar individu itik cukup besar, dimana perlakuan R0 yang berproduksi tinggi 75%, R1 yang berproduksi tinggi 66.7% dan R2 yang berproduksi tinggi hanya 50%. Dari keseluruhan jumlah itik yang bertelur, terdapat itik yang berproduksi tinggi adalah 61%, sedangkan 39 % lagi tergolong itik berproduksi rendah. Penyebab dari rendahnya produksi yang didapat dari penelitian ini perlu dicari jawabannya. Ada 3 faktor penting yang berperan dalam kemampuan itik untuk menghasilkan telur yaitu 1) faktor kebakaan 2) faktor lingkungan dan 3) faktor pakan. seperti yang dikatakan
Kemungkinan ini erat hubungannya
Hardjosworo et al. (2001) bahwa keragaman dalam
produktivitas itik lokal sangat tinggi karena itik-itik yang memiliki kemampuan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan peternak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang biak.
Produksi Te lur Itik se lama 3 Minggu 66.7
Produksi Telur (%)
70
60 53.3
60 50 40 30 20
6.7
10 0 .1 R0
.2 R0
.3 R0
.4 R0
.5 R0
.6 R0
.7 R0
.8 R0
.9 R0
0 .1 R0
Perlakuan P ersent ase Produksi T elur (%)
a) Pe rse ntase Produksi Te lur (%) 63.3
Produksi Telur (%)
70
60
56.7
60 50 40
33.3
30 20 6.7
6.7
10
R1 .1 0
R1 .9
R1 .8
R1 .7
R1 .6
R1 .5
R1 .4
R1 .3
R1 .2
R1 .1
0
Perlakuan Persentase Produksi Telur (%)
b) Pe rs e ntas e Produks i Te lur (%) 66.7
60
63.3
56.7 46.7
50 40 30 16.7
6.7
3.3
10
3.3
R 2. 8
R 2. 7
R 2. 6
R 2. 5
0 R 2. 4
R 2. 2
R 2. 1
0
R 2. 3
0
R 2. 10
20
R 2. 9
Produksi Telur(% )
70
Perlakuan
c)
Persent ase Produksi Telur (%)
Gambar 4 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik; a) untuk perlakuan R0 (itik no 1 sampai 10), b) perlakuan R1 (itik no 1 sampai 10), dan c) perlakuan R2 (itik nomor 1 sampai 10). Efisiensi Penggunaan Ransum Rataan efisiensi ransum per perlakuan selama penelitian, untuk itik yang diberi ransum R0, R1 dan R2 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Efisiensi ransum terhadap produksi telur total selama penelitian Perlakuan
Efisiensi Ransum
R0 R1 R2
0.30 0.25 0.23
0.18 0.15 0.17
Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Berpatokan ke produksi telur yang dihasilkan oleh masing-masing itik yang beragam dan konsumsi ransum selama 3 minggu, maka efisiensi ransum untuk masing-masing itik juga berbeda. Dari analisis ragam terlihat ada kecenderungan itik pada perlakuan R0 mempunyai efisiensi yang lebih baik dari itik pada perlakuan R1 dan R2. Angka efisiensi ransum yang semakin besar menunjukkan efisiensi ransum yang semakin baik karena semakin baik kemampuan itik menggunakan 1 gram ransum untuk menghasilkan telur (gram). Pada perlakuan R0 terdapat itik yang berproduksi tinggi 75 %, sedangkan itik perlakuan R1 dan R2 produksinya lebih rendah. Efisiensi ransum itik pada perlakuan R2 paling rendah karena besarnya konsumsi ransum tidak diikuti oleh tingginya produksi telur (50%). efisiensi ransum penelitian adalah 0.23
Rataan
0.30. Artinya satu gram ransum yang
dikonsumsi oleh itik akan menghasilkan berat telur antara 0.23
0.30 gram.
Indeks Warna Kuning Telur Indeks warna kuning telur dari perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 terlihat perlakuan R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang) memberikan indeks warna kuning telur paling tinggi dengan skor 11. Peningkatan indeks warna kuning telur mulai stabil dari hari ke 7 sampai hari ke 14. Pada perlakuan R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang) memberikan indeks warna kuning telur dengan skor 10. Perlakuan R0 memberikan indeks warna kuning telur dengan skor 6.
Inde ks Warna Kuning Te lur Penelitian Lanjutan
Skor indeks Warna
12 10 8
R0
6
R1 R2
4 2 0 H-1
H-2
H-3
H-4
H-5
H-6
H-7
H-8
H-9
H-10 H-11 H-12 H-13 H-14
Hari
Gambar 5
Pola indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang).
Meningkatnya indeks warna kuning telur dengan pemberian kaliandra dan kepala udang jelas disebabkan oleh pigmen karotenoid yang terkandung dalam kaliandra dan kepala udang. Pemberian kombinasi kaliandra 6% dengan kepala udang 3% (R1) memberikan indeks warna kuning telur paling tinggi (skor 11) dibanding R2 (kaliandra 6% dengan kepala udang 6% ) yaitu 10.
Pakan R2
mengandung kepala udang lebih tinggi dari R1, kemungkinan kelebihan khitin yang terdapat dalam pakan R2 tidak mudah dicerna. Hal ini dapat menimbulkan zat-zat gizi termasuk vitamin dan carotene pemberi warna pada kuning telur tidak sempurna terdeposit ke kuning telur.
Tetapi pada perlakuan R1 merupakan kombinasi
kaliandra dan kepala udang yang tepat. Carotene yang terkandung dalam pakan perlakuan R1 lebih cepat diserap dan dideposisikan ke kuning telur.
Proses
penyerapan dan konversi carotene dipermudah oleh garam empedu, lemak dan protein (Husaini 1982). Garam-garam empedu mempunyai sejumlah peranan yang penting. Garam-garam empedu bergabung dengan lipid untuk membentuk micelles kompleks yang larut dalam air supaya lipid dapat lebih mudah diserap (Ganong 1995). Carotene akan lebih efisien dipergunakan oleh tubuh dalam jumlah sedikit di dalam makanan (Tim Peneliti PAU Pangan dan Gizi-IPB 1993). Oleh sebab itu penyerapan -carotene bervariasi.
Skor 7
Skor11
Skor 10
Gambar 6 Indeks warna kuning telur dengan pemberian pakan R0 (ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang). Pemberian kombinasi kaliandra dan kepala udang dalam peningkatan indeks warna kuning telur juga dipertegas oleh warna kuning telur asin yang sudah direbus (Gambar 7).
Gambar 7
Indeks warna kuning telur asin rebus dengan pemberian pakan R0 (Ransum basal), R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang), R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang).
Dari pengamatan secara visual terlihat kuning telur perlakuan R1 lebih berminyak dan lebih masir dari perlakuan R2. Hal ini mungkin disebabkan karotenoid yang ada pada kaliandra maupun kepala udang pada perlakuan R1 dengan bantuan lemak dan protein yang ada dalam pakan lebih cepat terdeposit ke kuning telur sehingga memberi penampilan warna kuning telur yang lebih bagus. Menurut Stadelman dan Cotterill (1984) sebagian besar lipid yang terdapat di dalam kuning telur adalah dalam bentuk Low Density Lipoprotein (LDL).
Tingkat kemasiran
kuning telur sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan kadar NaCl yang terdapat pada kuning telur (Wulandari 2002).
Retinol Serum Itik Kadar retinol serum itik untuk masing-masing perlakuan R0, R1 dan R2 dapat dilihat pada Tabel 11. Darah diambil pagi hari, dari 2 (dua) ekor itik untuk masing-masing perlakuan, dimana untuk masing-masing perlakuan diambil itik yang bertelur diatas 30% dan dibawah 20% secara acak.
Tabel 11
Pengaruh pemberian perlakuan kombinasi kaliandra dan kepala udang dalam pakan terhadap kadar retinol serum itik Perlakuan
Kadar retinol serum (µg/dl) 57.30 34.95 43.20
R0 R1 R2 Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Pada Tabel 11 terlihat retinol serum R1 dan R2 lebih rendah dibanding retinol serum itik pada perlakuan R0.
Hal ini diduga pada perlakuan R1 dan R2
pigmen carotene nya lebih cepat terdeposit ke dalam kuning telur karena kadar lemak dan protein ransum yang berfungsi sebagai carrier pada perlakuan R1 (3.10% lemak dan 22.99% protein ) dan R2 (3.33 % lemak dan 24.16% protein) lebih tinggi dari R0 (2.79% lemak dan 20.61% protein). Dengan demikian, retinol yang tersedia dalam darah pada perlakuan R1 dan R2 sudah lebih dulu disebarkan ke seluruh folikel yang ada. Penyerapan -carotene dipercepat oleh garam empedu, lemak dan protein (Husaini
1982). Hal ini diperkuat oleh indeks warna kuning telur pada
perlakuan R1 dan R2 adalah rata-rata 10 yang lebih tinggi dari R0 rata-rata 5. Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Dalam (Hati, Ginjal dan Pankreas) Hati Hati merupakan organ tempat metabolisme yang penting pada unggas, sehingga berdasarkan fungsi tersebut semua zat-zat makanan yang dikonsumsi akan ditransfer ke hati untuk mengalami proses metabolisme. Diperkuat oleh
Ganong
(1995) mengatakan bahwa hati mempunyai fungsi dalam pembentukan empedu, penyimpanan karbohidrat, pembentukan benda-benda keton, dan fungsi-fungsi lain
pada pengaturan metabolisme karbohidrat, reduksi dan konjugasi hormon steroid adrenal dan kelenjar kelamin, detoksikasi berbagai obat-obatan dan toksin, membentuk protein-protein plasma dan banyak fungsi-fungsi penting dalam metabolisme lemak. Dari pengamatan secara makroskopis terlihat persentase bobot hati yang paling besar secara berurut adalah perlakuan R1 dan R0 serta persentase bobot hati yang paling kecil adalah perlakuan R2 dan Ri. Sampel Ri diambil dari perlakuan kontrol yang tidak bertelur.
Tabel 12 Pengaruh daun kaliandra dan kepala udang terhadap bobot hati, ginjal dan pankreas Perlakuan R0 R1 R2 Ri (itik yang tidak bertelur)
Bobot hati (%) 2.59 2.76 1.93 1.60
Bobot ginjal (%) 0.67 0.71 0.47 0.55
Bobot pankreas (%) 0.14 0.35 0.37 0.15
Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Dari rataan persentase bobot hati terlihat perbedaan bobot antar perlakuan R1 dan R2. Perlakuan R2 memiliki persentase bobot hati lebih kecil sekitar 69.9%. Kemungkinan perbedaan bobot hati ini erat hubungannya dengan itik yang sedang produksi dan yang tidak berproduksi. Ada satu ekor ulangan pada itik perlakuan R2 yang produksinya sangat rendah (16.70% ) sehingga rataan bobot hatinya lebih kecil dari yang sedang produksi. Itik pada perlakuan R1 semua ulangan yang diambil untuk dipotong adalah sedang produksi sehingga hatinya lebih besar.
Hal ini
diperkuat dengan rataan bobot hati pada perlakuan Ri atau itik yang tidak sedang produksi, dimana rataan bobot hatinya paling kecil. Kuning telur terutama disusun oleh lemak dan protein yang membentuk lipoprotein yang duapertiga bagiannya adalah fraksi berkepadatan rendah (LDF = Low Density Fraction), diketahui disintesis
hati oleh stimulus dari hormon estrogen (Amrullah 2003).
Dengan
demikian tingginya bobot hati perlakuan R1 dari yang lain dapat dihubungkan dengan aktifnya produksi telur, terutama hati sebagai tempat sintesa kuning telur.
Pengamatan histopatologi hati pada itik pada perlakuan R0, R1, R2 kelihatan normal, dengan terdapat sedikit vakuola lemak, dan dikategorikan normal (Gambar 8). Artinya perlakuan yang diberikan, walaupun ada zat anti nutrisi tanin dan khitin yang terdapat pada kaliandra dan kepala udang tidak bersifat toksik bagi tubuh itik. Ginjal Ginjal adalah organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur yang berguna dari filtrat, sisa akhir yang dikeluarkan dari ginjal merupakan kelebihan dan produk buangan plasma (Frandson 1992). Secara fisiologi ginjal merupakan suatu sistem urinary yang bertanggung jawab untuk berlangsungnya ekskresi bermacammacam produk buangan dari dalam tubuh. Sistem ini juga penting sebagai faktor untuk mempertahankan homeostasis yaitu suatu kondisi keseimbangan cairan internal tubuh yang relatif konstan. Dari pengamatan secara makroskopis (Tabel 12) terlihat rataan persentase bobot ginjal antara perlakuan hampir sama.
Dapat diartikan bahwa tidak ada
pengaruh perlakuan terhadap organ ginjal, sehingga fungsi ginjal tetap berjalan normal. Hal ini didukung juga dari pengamatan histopatologi yang menunjukkan bahwa ginjal kelihatan tidak ada menunjukkan kelainan (normal) seperti pada Gambar 9. Pankreas Dari rataan persentase bobot pankreas (Tabel 12) terlihat bahwa persentase berat pankreas untuk masing-masing perlakuan hampir sama tapi ada kecenderungan yang diberi perlakuan kaliandra dan kepala udang yaitu R1 dan R2 menunjukkan persentase bobot pankreas yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh kadar tanin dan khitin yang terdapat pada masing-masing perlakuan R1 dan R2. Semakin tinggi kandungan tanin dan khitin dalam ransum maka kelihatan bobot pankreasnya semakin besar. Sesuai dengan fungsi pankreas seperti yang dikatakan oleh Ganong (1995) bahwa fungsi pankreas sebagai kelenjar yang berpartisipasi dalam pencernaan pakan yang menghasilkan getah pankreas yang mengandung enzim-enzim pemecah karbohidrat, protein dan lemak. Enzim-enzim getah pankreas aktif setelah mengalir ke dalam lumen usus halus bagian duodenum. Diduga dengan kandungan tanin dan
khitin yang tinggi dalam ransum membuat pankreas bekerja lebih aktif untuk memproduksi enzim-enzim yang dibutuhkan oleh usus sehingga bobot pankreas meningkat.
Perlakuan kaliandra dan kepala udang dalam pakan tidak sampai
merusak jaringan pankreas.
Diduga jumlah kaliandra dan kepala udang yang
digunakan dalam perlakuan ini masih dalam batas yang aman karena
dari
pengamatan histopatologi, morphologi pankreas masih kelihatan normal (Gambar 10).
Gambar 8
Morphologi jaringan hati perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x).
Gambar 9 Morphologi jaringan ginjal perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x).
Gambar 10 Morphologi jaringan pankreas perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum asal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 20x).
Pengaruh Pemberian Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Keamanan Organ Reproduksi (Ovari dan Oviduk) Rataan bobot ovari dan oviduk untuk masing-masing perlakuan R0, R1 dan R2 dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Rataan persentase berat ovari dan oviduk Perlakuan R0 R1 R2
Berat ovari (%) 3.14 3.15 1.67
Berat oviduk (%) 4.55 2.87 1.31
Ket : R0 = Ransum Basal (RB) R1 = RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang R2 = RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang
Dari Tabel 13 terlihat ada kecenderungan rataan persentase ovari maupun oviduk pada perlakuan R2 menunjukkan angka paling rendah. Hal ini erat kaitannya dengan itik yang sedang produksi dengan yang tidak sedang produksi. Sampel itik pada R1 (R15 dan R19) pada Gambar 4, adalah itik yang sedang aktif berproduksi, sehingga pada ovarinya banyak terdapat folikel hirarki. Folikel dalam ovari menurut tingkat kematangannya dibedakan menjadi empat kelompok. Pertama folikel hirarki (FH) atau hierarchy follicle merupakan folikel yang besar dan penuh dengan kuning telur serta mempunyai tingkatan ukuran yang jelas sesuai dengan tingkat kematangannya.
Kelompok folikel hirarki ini adalah yang terberat dibandingkan
folikel telur lainnya. Kelompok kedua yaitu folikel kuning kecil (FKK) folikel yang berwarna kekuning-kuningan dengan ukuran antara 5 sampai 10 mm. Kelompok ketiga adalah folikel putih besar (FPB) folikel yang berwarna keputih-putihan dengan ukuran antara 1 sampai 4 mm, dan kelompok keempat yaitu folikel putih kecil, merupakan folikel yang belum mengalami pertumbuhan, dengan diameter kurang dari 1 mm (Etches 1996). Berbeda dengan perlakuan R2 (R2.3 dan R2.10) salah satu ulangan sampel itiknya berproduksi sangat rendah yaitu hanya 16.7% bertelur selama penelitian ( Gambar 4) yaitu pada minggu pertama perlakuan. Dari minggu ke 2 sampai terakhir penelitian itik tersebut tidak bertelur. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyusutan jumlah dan ukuran folikel telur pada ovari, sedangkan sebagian besar dari masa ovari adalah folikel, terutama folikel bertingkat, sehingga berat ovari akan
berkurang.
Diperkirakan ada pengaruh tanin dan khitin dalam ransum pakan
perlakuan, hingga tanin yang mengikat protein dan khitin yang mengikat lemak akan mengurangi ketersediaan nutrisi guna perkembangan ovari yang menunjang produksi telur. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi sampai 11% (Akin et al.1989 dalam Palmer 2006). Disisi lain Silverstein et al. 1981 dalam Sudibya (1998) mengatakan bahwa kepala
udang
yang
banyak
mengandung
khitin
merupakan
golongan
homopolisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (N-asetil 2 amino -2-dioksi-D-glukosa) mempunyai sifat mengikat lemak. Akibat dari pengaruh tanin yang mengikat protein serta khitin yang mengikat lemak, mengakibatkan zat nutrisi untuk pembentukan telur dari pakan semakin sedikit kesediaannya , akibatnya berat folikel telur menjadi turun. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa komposisi kuning telur umumnya terdiri dari lemak (31.8-35.5%) dan protein (15.7-16.6%).
Indikasi
adanya pengaruh tanin dan khitin yang kemungkinan menghambat perkembangan ovari terlihat dari persentase berat ovari pada perlakuan R2 (6% kaliandra + 6% kepala udang), dimana persentase berat ovarinya adalah 1.67%, lebih rendah dari R0 (ransum basal) dan R1 (6% kaliandra + 3% kepala udang). Sturkie (1976); Nesheim et al. (1979); Etches (1996) mengatakan bahwa hormon estrogen yang dihasilkan oleh folikel telur mempunyai peranan penting pada tumbuh dan berkembangnya oviduk. Oleh karena itu kecilnya berat ovari dan jumlah folikel telur pada perlakuan R2 mengakibatkan kandungan estrogen menurun, sehingga bobot oviduk juga menurun. Secara histopatologi, tanin dan khitin belum sampai merusak jaringan, sehingga morphologi ovari dan oviduk masih kelihatan normal (Gambar 11 dan 12).
Gambar 11 Morphologi jaringan ovari perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x).
Gambar 12 Morphologi jaringan oviduk perlakuan R0 (ransum basal), R1 (ransum basal + 6% kaliandra + 3% kepala udang) dan R2 (ransum basal + 6% kaliandra + 6% kepala udang) masih kelihatan normal (pewarnaan HE; pembesaran lensa objektif 10x).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai peningkatan indeks warna kuning telur dengan pemberian daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan kepala udang dalam pakan itik dapat disimpulkan bahwa : Tahap 1 penelitian 1. Pada pemecahan telur hari ke-7 dan hari ke-14, untuk pemberian perlakuan kaliandra, yang memberikan indeks warna paling tinggi adalah perlakuan R2 (pemberian kaliandra 6%) dengan skor 8, sedangkan untuk pemberian perlakuan kepala udang, yang memberikan indeks warna terbaik adalah perlakuan R3 (kepala udang 3%) dan R5 (kepala udang 9%) dengan skor 10 (hari ke-14). 2. Telur asin rebus yang diasin pada hari ke-15 memperlihatkan kuning telur yang lebih baik (masir) dibandingkan dengan telur asin rebus yang diasin pada hari ke-8.
Tahap 2 penelitian 1. Ditinjau dari level penggunaannya, perlakuan R1 ( kaliandra 6% + kepala udang 3%) memberikan indeks warna kuning telur paling baik yaitu dengan skor 11. 2. Nilai retinol serum yang paling rendah adalah pada perlakuan R1 (34.95 µg/dl), karena retinol tersebut lebih cepat dideposisikan ke kuning telur. 3. Penggunaan kombinasi kaliandra dan kepala udang tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum dan efisiensi ransum. 4. Terdapat variasi yang cukup beragam terhadap produksi telur (30 ekor itik penelitian), itik yang berproduksi tinggi ( 33.30
66.70 %) yaitu 61% sedangkan
39% lagi adalah itik yang berproduksi rendah (3.30
16.70 %).
5. Penggunaan kombinasi kaliandra dan kepala udang tidak berpengaruh terhadap persentase
bobot
ginjal,
pankreas
dan
hati,
dengan
dipertegas
hasil
histopatologinya yang memperlihatkan morfologi jaringan ginjal, pankreas dan hati yang normal.
6. Penggunaan kombinasi kaliandra dan kepala udang juga tidak berpengaruh terhadap persentase bobot organ reproduksi (ovari dan oviduk) yang didukung oleh pengamatan histopatologi dari ovari dan oviduk masih kelihatan normal. 7. Itik yang sedang tidak produksi memberikan persentase bobot hati, ovari dan oviduk yang rendah.
Saran 1. Perlu untuk mencari dosis sumber pigmen alami yang lain untuk mendapatkan indeks warna kuning telur yang lebih tinggi. 2. Perlu diukur kadar kolesterol pada kuning telur untuk melihat pengaruh kepala udang dalam mereduksi kolesterol. 3. Perlu ditentukan kadar xanthophyll dan astaxanthine pada kuning telur untuk melihat hubungannya dengan meningkatnya warna kuning telur.
DAFTAR PUSTAKA Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunungbudi Kompleks IPB Baranangsiang Bogor. Anggorodi R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia. Anggorodi R. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Anonim 2005. Overview of Photosynthesis. http:/www.biologycorner.com. Arafah 1994. Ketersediaan Hayati -karoten dan Interaksinya dengan Mineral Besi (Fe) Pada bayam (Amaranthus hybridus L.). Tesis . Bogor: Program Pascasarjana, Institurt Pertanian Bogor. Cannas A 2001. Tannins. Animal Science at Cornell University. http//www: Ansci.edu/plants/toxygents/tannin. Etches RJ. 1996. Reproduction in Poultry. Wallingford : CAB International. Flora SD, Bagnasco M, Vainio H. 1999. Modulation of Genotoxic and Related Effects by Carotenoids and Vitamin A in Experimental Models: Mechanistic Issues. Review Mutagenesis. 14: 153-172. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed.4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ganong WF. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi 14. Jakarta: EGG Penerbit Buku Kedokteran. Hagerman AE. 2002. Tannin Chemestry. http/www:
[email protected]. Hardjosworo PS. 1989. Respon Biologik Itik Tegal terhadap Pakan Pertumbuhan dengan Berbagai Kadar Protein. Disertasi .Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjosworo PS. 1990. Usaha-Usaha Peningkatan Manfaat Itik Tegal Untuk Produksi Telur. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Di dalam : Pengembangan Ternak Itik di Jawa Tengah. Prosiding Temu Unggas, Sub Sektor Peternakan. Hardjosworo PS et al. 2001. Perkembangan Teknologi Peternakan Unggas Air di Indonesia. Di Dalam : Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Prosiding Lokakarya Unggas Air; Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm 22-41.
Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke empat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hassan IAG, Elzubeir EA, El Tinay AH. 2003. Growth and Apparent Absorption of Minerals in Broiler Chicks Fed Diets with Low or High Tannin Contents. J. Tropical Animal Health and Production. 35: 189-196. Husaini. 1982. Penggunaan Garam Fortifikasi untuk Menanggulangi Masalah Kurang Vitamin A. Disertasi . Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Johnson EI dan Peniston QP. 1982. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Product. Connecticut: The AVI Publishing Company. Laksmiwati NM. 1997. Pemanfaatan Daun Kaliandra dan Daun Lamtoro Sebagai Sumber Protein Dalam Pakan Itik Lokal. Thesis . Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://www:Marganof @yahoo.com. Mc Donald P, Edwards RA and Green Halgh JFD. 1988. Animal Nutrition. 4th Edition. London, New York: Longman. Ltd. Mirwandhono E , Siregar Z. 2004. Pemanfaatan Hidrolisat Tepung Kepala Udang dan Limbah Kelapa Sawit yang Difermentasi dengan Aspergillus Niger, Rhizophus Oligosporus dan Thricoderma Viridae dalam Ransum Ayam Pedaging. © 2004 Digitized by USU Digital Library http://www: Geogle.com/Kepala Udang 8 April 2006 . Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodmell VW. 1996. Biokimia Harper. Edisi24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Narsum. 1983. Budidaya Tanaman Pakan dalam Ekosistem Hutan jati. Disertasi]. Bandung: Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran Bandung. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requerements of Poultry. 9th Revised Ed. Washington,D.C: National academy Press. Nesheim MC. Austic RE, Card LE. 1979. Poultry Production. Edisi ke 12. Phildelphia : Lea & Febiger. Oke OL, Talabi and Umoch IB. 1978. The Possible Use of Chitin and Chitosan as Animal Feed. J. Food Sci and Technology. 1 : 327 332. Palmer B, Macqueen, Gutteridge RC. 2006. Calliandra calothyrsus-a Multipurpose Tree Legume for Humid Location. http://Geogle.com/Callindra calothyrsus 10 Pebruari 2006 .
Piliang WG. 2001. Nutrisi Vitamin. Vol 1. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Prasetiyo KW. 2004. Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Sebagai Bahan Pengawet Kayu ramah Lingkungan. http://Geogle.com/Cangkang Udang 8 April 2006 . Prawirokusumo S. 1991. Biokimia Nutrisi (Vitamin). Edisi pertama. Yogyakarta BPFE. Purba M. 2003. Pola Rontok Bulu Itik Betina Alabio (Anas platyrynchos borneo) dan Mojosari (Anas javanicus) serta Pengaruhnya terhadap Lemak darah (Trigliserida), Produksi dan Kualitas Telur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwanegara SM. 1988. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Bentuk Fisik Ransum terhadap Pertumbuhan Kelinci Lepas Sapih. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rahardjo YC. 1985. Nilai Gizi Cangkang Udang dan Pemanfaatannya Untuk Itik. Di dalam: Prosiding Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Hlm 97-109. Reed JD. 1995. Nutritional Toxicology of Tannins and Related Polyphenols in Forage Legumes. J.Anim Sci. 73:1516-1528. Report of an Ad Hoc Panel of the Advisory Committee on Technology Innovation Board on Science and Technology for International Development Office of International Affairs National Research Council. 1983. Calliandra a Versatile Small Tree for the Humid Tropics. Washington, D.C: National Academy Press. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6. Bandung: Penerbit ITB. Roesdiyanto, Mugiyono S, Tugiyanti E. 2001. Upaya Penyediaan DOD Pedaging Entik Melalui Persilangan Entok >< Itik Dengan Teknologi Inseminasi Buatan. Fakultas Peternakan Unsoed. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Di dalam: Prosiding Lokakarya Unggas Air. Hlm 87-93.
Simpson KL, Chichester CO. 1980. Carotenoid in Relation to Vitamin A. Proceedings of Join WHO-IVACG Meeting on Vitamin A Deficiency and Xerophthalmia. Okt 13 17. Jakarta.
Soebarinoto. 1986. Evaluasi Beberapa Hijauan Leguminosa Pohon sebagai Sumber Protein untuk Ternak. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soedjai ARH. 1974. Beternak Itik Seri Indonesia Membangun. Bandung: Penerbit. NV. Masa Baru. Srigandono B. 1986. Ilmu Unggas Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stadelman WJ and Cotterill OJ. 1984. Egg Science and Technology. Fourth Edition. USA: Food Product Press An Imprint of The Haworth Press, Inc. Steel RGD dan Torrie J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa Bambang Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia.
Suatu
Stewart J, Mulawarman, Roshetko JM dan Powell MH. 2001. Produksi dan Pemanfaatan Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Pedoman Lapang. Sturkie PD. 1976. Reproduction in the Female and Egg Formation.In : P.D. Sturkie. Ed. Avian Physiology. Third ed. New York: Springer Verlag. Subiharta, Prasetyo LH, Rahardjo YC, Prawirodigdo S. 2001. Program Village Breeding Pada Itik Tegal Untuk Peningkatan Produksi Telur: Seleksi Itik Tegal Generasi Pertama dan Kedua. Di Dalam : Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Prosiding Lokakarya Unggas Air; Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal 79-86. Sudibya. 1998. Manipulasi Kadar Kolesterol dan Asam Lemak Omega-3 Telur ayam Melalui Penggunaan Kepala Udang dan Minyak Ikan Lemuru. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Supadmo. 1997. Pengaruh Sumber Khitin dan Prekursor karnitin Serta Minyak Ikan Lemuru Terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol Serta Asam Lemak Omega-3 Ayam Broiler. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed (family lemnaceae) Sebagai pakan Serat Sumber Protein Dalam ransum Ayam Pedaging. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syahrir S dan Fattah AL. 2000. Studi Laju Pengurangan Tanin Dalam Segmen Pencernaan Ternak Kambing Berpakan Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makasar. 1: 1-5.
Tanabe Y, Hetzel DJS, Kizaki T and Gunawan B. 1984. Boichemical studies on phylogenetic relationship of Indonesian and other Asian duck breed. Helsinki, Finland: Proc. XVII Worldss poultry congresss and exhibition. hlm. 180183. Thurnham DI, Smith E, Flora PS. 1988. Concurrent Liquid-Chromatographic Assay of Retinol, -Tocopherol, -Cryptoxanthin in Plasma, with Tocopherol Acetate as Internal Standard. Journal Clinical Chemistry, 34: 377-381. Tim Peneliti PAU Pangan dan Gizi-IPB. 1993. Studi Dampak Intervensi Sayuran Sumber Vitamin A Terhadap Status Vitamin A dan Perilaku Konsumsi Sayuran Sumber Vitamin A. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Wahju J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. P.O. Box 14. Bulaksumur. Wiryawan KG. 1999. Upaya Pengurangan Kadar Tanin Dalam daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Dengan Menggunakan Larutan Kapur Tohor dan Uji Kecernaannya Secara In Vitro. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan. 22: 52-59. . Wulandari Z. 2002. Sifat Organoleptik, Sifat Fisikokimia dan Total Mikroba Telur Itik Asin Hasil Penggaraman Dengan Tekanan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi pada organ dalam (hati, ginjal, pankreas, ovari dan oviduk) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
a. Fiksasi Sediaan masing-masing organ dalam yang telah direndam (diawetkan) dalam larutan Buffer Netral Formalin (BNF) 10% kemudian disayat dengan ketebalan kirakira 3 mm, dimasukkan kedalam tissue-cassete, dan siap untuk proses dehidrasi secara otomatis.
b. Dehidrasi Sediaan masing-masing organ dalam dalam tissue-cassete dimasukkan kedalam keranjang Carrier yang kemudian dipasang pada tissue processor yang berturut-turut pada alkohol 70%, 80%,90%,95%, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol absolut I dan absolut II. Lalu dilakukan proses penjernihan (clearing), yaitu dengan cara memasukkan sediaan dibersihkan ke dalam xylol I dan xylol II.
c. Perendaman (embedding), parafinasi dan pencetakan (blocking) Sediaan ayam dalam tissue-cassete setelah lepas dari larutan xylol II, segera dicelupkan atau direndam dalam larutan parafin cair (suhu 580
600C) selama
masing-masing 1 jam. Kemudian pada saat proses pencetakan sebaiknya dilakukan dekat sumber panas.
Sediaan dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah berisi
parafin cair setengah dari tinggi dinding cetakan dan kemudian setelah bagian dasar mulai membeku lalu ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Sediaan tersebut diatur letaknya. d. Pemotongan (sectioning) Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar dengan ketebalan kira-kira 5
m.
Hasil irisan yang berbentuk pita diapungkan diatas
0
permukaan air hangat (40 C) baru kemudian dipilih irisan yang baik dan diletakkan diatas gelas obyek yang telah diolesi dengan Ewit (campuran albumin dan gliserin).
Kemudian gelas objek disimpan dalam inkubator selama 2 jam dengan temperatur 560C agar irisan lebih melekat pada gelas objek dan preparat siap diwarnai.
e. Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses deparafinasi (penghilangan parafin) dan proses rehidrasi (penambahan air). Hal ini dilakukan agar zat warna dapat terserap dengan sempurna. Deparafinasi dilakukan dengan cara : sediaan dimasukkan berturut-turut ke dalam xylol II dan xylol I masing-masing selama 2 menit.
Setiap kali dilakukan
pemindahan, daerah sekitar sediaan diusap dengan kertas tissue tanpa menyentuh jaringan. Rehidrasi dilakukan dengan cara : sediaan dimasukkan berturut-turut ke dalam alkohol absolut II dan alkohol absolut I masing-masing selama 2 menit, kemudian ke dalam alkohol 95%, alkohol 90%, dan alkohol 90% masing-masing selama 1 menit. Setelah proses rehidrasi, sediaan dibilas didalam air mengalir selama 1 menit lalu dimasukkan ke dalam pewarna Mayer,s Haematoxylin selama 1 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam Larutan Lithium Carbonate selama 15-13 detik dan kemudian dibilas di dalam air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam pewarna Eosin selama 2-3 detik, lalu dibilas kembali dengan air mengalir. Setelah pewarnaan selesai, dilakukan proses dehidrasi dengan memasukkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat yaitu alkohol 80%, 90% dan 95 % sebanyak 10 celupan, lalu ke dalam alkohol absolut I sebayak 10 celupan dan alkohol absolut II selama 2 menit. Setelah itu preparat dikeringkan diudara terbuka dan kemudian diteteskan perekat yaitu permount lalu ditutup dengan cover glass dan diberi label. Setelah preparat kering, dapat dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.
Lampiran2 Pengembangan Metoda Analisa Retinol dengan HPLC (Thurnham 1988) 1. Sampel preparasi Campurkan secara cepat 0.25 mL plasma atau serum dengan 0.25 mL dari 10 mmol/L reagent SDS,
pencampuran dilanjutkan selama 1 menit setelah
ditambahkan 0.5 mL ethanol yang engandung 40 µmol tocopherol acetate per liter, terakhir ditambahkan 1 mL n-heptane yang mengandung 0.5 gram BHT per liter, campuran di vortex selama 2.5
menit dan centrifuge (2500 x g, 10
menit,200C) untuk memisahkan phase. Pindahkan 0.7 mL supernatant heptane, uapkan pada kondisi nitrogen pada suhu 400C, dan residu dicampurkan ke dalam 0.25 mL phase mobile. Untuk sampel yang sedikit campurkan 0.1 mL dengan 0.1 mL SDS, 0.2 mL ethanol dan 1 mL heptane. Kemudian pindahkan 0.7 mL heptane, diuapkan dan dicampurkan ke 0.1 mL phase mobile untuk pengukuran. 2. Proteks sampel dan standar dari cahaya Sampel diproteksi dengan cara mengekstraksinya dalam kondisi cahaya alami tapi tidak terpapar oleh cahaya matahari dan cahaya fluorescent secara terus menerus. Ekstrak akhirnya ditempatkan di dalam vial yang berwarna gelap yang mengandung 0.3 mL poli ethilene. Standar disimpan pada suhu -200C, dalam pengerjaannya standar juga sama dengan sampel.
Semua standar diproteksi
0
cahaya langsung matahari dan disimpan pada 4 C bila sedang tidak digunakan. 3. Pengukuran Siapkan standar seperti pada Tabel 14 dan disimpan pada suhu -200C. Standar harus dikalibrasi setiap minggu. Untuk penyesuaian dengan peralatan standar kerja disiapkan di dalam pelarut yang cocok dengan konsentrasi tertentu seperti pada Tabel 14. Luas area pada chromatographi untuk setiap standar merupakan perbandingan dengan total area seluruhnya. Dalam penggunaan licopene harus dalam bentu segar, sensitifitas alat dicek setiap hari dengan mencampurkan standar kerja seperti pada Tabel 14, kemudian mengukur luas panasnya di chromatography. Biasanya 0.5 mL larutan diuapkan dan dicampurkan ke dalam 0.25 mL phase mobile dan diukur standar deviasinya. 4. Pengecekan recovery Recovery diukur dengan memodifikasi cara yang di atas. Ethanol sebanyak 0.5 mL yang mengandung standar internal (kira-kira 40µmol/L) dipipet ke 18 tabung
yang mengandung sampel dan 0.2 mL standar kerja yang telah diuapkan dan dikeringkan. Setelah pencampuran 5 mL serum dengan 5 mL dari 10 mL mol/L reagent SDS, lalu di tambahkan 0.5 mL campuran tersebut ke 18 tabung tadi. Kemudian tambahkan 1 ml heptane yang mengandung BHT dan divortex selama 2.5 menit, 0.7 mL estrak heptane dari setiap tabung diambil lalu diuapkan dan dibuat dalam kelompok A,B dan C. Kelompok A mengandung 0.25 mL phase mobile. Grup B dan C juga mengandung jumlah phase yang sama. Kemudian retinol, tocopherol, dan tocopherol acetate yang terdapat pada 18 ekstrak tersebut diukur dengan menggunakan metode kalibrasi standar eksternal (Tabel 15). 5. Ketelitian percobaan Untuk menentukan koefisien variasi interbatch 0.5 mL dari plasma yang telah expayer dari sampel transfusi darah dimasukkan ke dalam 5 mL tabung plastik pada suhu -200C. Sebelum digunakan sampel di thawing dulu agar tidak ada yang membeku. Koefisien variasi intrabatch diperoleh dari pengukuran tunggal ekstrak dari 20 cairan dari sampel plasma yang sama.
Tabel 14 Callibrating the assay Analyte
Absorptivity, A.mol-1L-1 (at ,nm) 52.48 (325)
Stock standard Dilution of working standards conc (and For calibration To adjust solvent)a for purityb Retinol 25 mg/100 mL 1:50 (ethanol) 1:500 (ethanol) 3.26 (292) 1 g/100 mL 1:100 (ethanol)c 1:1000 - Tocopherol (heptane) 145.5 (446) 1 mg/10 mL 1:100 (hexane) 1:500 -carotene (hexane) 136.91 (452) 5 mg/25 mL 1:100 (hexane) 1:500 -carotene (hexane) 186:3 (474) 1 mg/10 mL 1:11 (hexane)c 10:50 Lycopene (chloroform) 136.0 (451) 0.5 mg/10 mL 1:20 (hexane) 2:500 -Cryptoxanthine (hexane) (284) 1 g/100 mL 1:100d (ethanol)c 2:500e Tocopherol acetate (heptane) Ket : an = Pelarut hexane dan heptane mengandung 500 mg BHT per liter b stok pelarut diuapkan dan residu diencerkan dalam phase mobile. Standar kerja digunakan individu untuk menaksir kemurnian dan langsung pada konsentrasi standar kerja sebelum mengkalkulasikan faktor respon atau mencampur standar kerja terhadap sensitifitas monitor setiap hari c Stok pelarut dipindahkan dengan menguapkan di bawah nitrogen sebelum diencerkan
Tabel 15 Analytical recovery of retinol, -tocopherol and tocopherol acetatea Concn, µmol/Lb Retinol
-Tocopherol
Tocopherol acetate
Mean
SD
Mean
SD
Mean
SD
A:serum + working standard
2.81
0.18
37.14
0.64
109.62
3.81
B:serum only
1.45
0.08
17.52
0.83
52.39
1.69
C:serum reconstituted with
3.39
0.13
44.75
1.09
135.25
2.94
working standard %recoveryc a
70.10
72.05
69.07
Ket : n = enam ekstraksi masing-masing sebagai gambaran dalam cara kerja, dengan meningkatkan sampel/SDS mixtute pada ethanol, dan untuk grup A tergabung pada campuran standar kerja retinol, -tocopherol acetate menjadi ethanol b = mengkonversikan menjadi mg/L, multiply retinol x 0.292, -tocopherol x 0.4307, dan carotenes x 0.5369 c = kalkulasikan menjadi ( A-B) / (C-B) x 100
Lampiran 3
Analisis Ragam Konsumsi Ransum, Efisiensi Produksi Telur
Ransum dan
Tabel 16 Analisis ragam konsumsi ransum Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
db
Jumlah Kuadrat
2 27 29
319910 4285975 4605885
Kuadrat Tengah 159955 158740
F Hitung
P>F
1.01
0.3784
Kuadrat Tengah 0.00679 0.02765
F Hitung
P>F
0.25
0.7856
Tabel 17 Analisis ragam efisiensi ransum Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
db
Jumlah Kuadrat
2 14 16
0.01357 0.38705
Tabel 18 Pengaruh pemberian daun kaliandra dan kepala udang terhadap produksi telur itik selama 3 minggu dari 30 ekor itik No Itik
Persentase produksi telur (%)
R0.1 R0.2 R0.3 R0.4 R0.5 R0.6 R0.7 R0.8 R0.9 R0.10 R1.1 R1.2 R1.3 R1.4 R1.5 R1.6 R1.7 R1.8 R1.9 R1.10 R2.1 R2.2 R2.3 R2.4 R2.5 R2.6 R2.7 R2.8 R2.9 R2.10
60.00 53.30 6.70 66.70 63.30 56.70 6.70 6.70 60.00 33.30 56.70 16.70 46.70 6.70 66.70 3.30 3.30 63.30
Ket : Sampel pemeriksaan itik untuk perlakuan R0 adalah itik no 1 sampai 10; R1 itik nomor 1 sampai 10; R2 itik nomor 1 sampai 10
Lampiran 4 Khromatogram Retinol Serum Itik dengan HPLC a) Retinol Serum Itik Perlakuan R0 A (Ransum Basal)
b) Retinol Serum Itik Perlakuan R0 B (Ransum Basal)
c) Retinol Serum Itik Perlakuan R1 A (RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang)
d). Retinol Serum Itik Perlakuan R1B (RB + 6% kaliandra + 3% kepala udang)
e) Retinol Serum Itik Perlakuan R2 A (RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang)
f) Retinol Serum Itik Perlakuan R2 B (RB + 6% kaliandra + 6% kepala udang)
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.