PENILAIAN KERUGIAN DAN EFEKTIVITAS PENCEGAHAN KEBAKARAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT : Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau
KHULFI MUHAMMAD KHALWANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Khulfi Muhammad Khalwani NIM E151124261
RINGKASAN KHULFI MUHAMMAD KHALWANI. Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau). Dibimbing oleh BAHRUNI dan LAILAN SYAUFINA. Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang memiliki resiko kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No. 423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ± 568 700 ha dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS selaku pengelola kawasan disetiap tahun melalui Rencana Kerja Tahunan. Meskipun demikian, kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan TNS. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah penyebab kebakaran hutan gambut di kawasan TNS tahun 2014; mengidentifikasi dan menilai berbagai jenis kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut di TNS pada tahun 2014; dan menganalisis efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober 2014 – Maret 2015 yang berlokasi di TNS. Metoda pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: studi literatur (desk study) dan pencatatan, survey dampak biofisik, dan survey dampak sosial ekonomi. Penilaian kerugian dari kerusakan sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan pendekatan nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang hilang akibat kerusakan yang terjadi dan timbulnya biaya akibat dampak. Nilai kerugian total merupakan penjumlahan nilai kerusakan kayu potensial; nilai kerugian hasil hutan non kayu; nilai kerugian sektor perikanan; nilai kerugian sektor transportasi; nilai kerugian kesehatan masyarakat; nilai kerusakan habitat tumbuhan dan satwa liar; nilai karbon yang hilang; nilai kegiatan pemadaman kebakaran. Analisis dilakukan terhadap efektivitas dan kendala-kendala permasalahan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Tingkat efektifitas diukur dan dianalisis dengan cara membandingkan pencapaian sasaran atau tujuan kegiatan dengan apa yang direncanakan. Kemudian membandingkan realisasi anggaran belanja dengan target anggaran belanja. Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh total nilai estimasi kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut pada tahun 2014 di dalam kawasan TNS seluas ± 4364 ha adalah mencapai Rp134 405 786 127,Nilai kerugian terbesar diakibatkan oleh kehilangan dan kerusakan biofisik diantaranya nilai dari emisi karbon yang terjadi, nilai potensial kayu yang ada dan nilai potensial hasil hutan non kayu berupa rotan, jelutung dan kulit gemor.
Tingkat efektivitas pencegahan kebakaran hutan oleh Balai TNS khususnya tahun 2014 termasuk efektif jika dilihat dari tingkat realisasi anggaran yang mencapai 96.96%. Namun jika dilihat dari realisasi sasaran kegiatan tidak tercapai, yaitu pengurangan jumlah hotspot dan penurunan luas kebakaran hutan di dalam kawasan TNS hingga tahun 2014 maka kegiatan pengendalian kebakaran hutan di TNS dikategorikan tidak efektif Kata kunci: kebakaran gambut, efektivitas anggaran, pencegahan kebakaran, penyebab kebakaran, hutan Sebangau
.
SUMMARY KHULFI MUHAMMAD KHALWANI. Valuation of Fire Losses and Effectiveness of Fire Prevention in Peat Forest Ecosystem (Case Study in Sebangau National Park). Supervised by BAHRUNI and LAILAN SYAUFINA. One location of peat ecosystem in Indonesia which has the high risk of forest fires is Sebangau National Park (TNS). This area is designated by the Minister of Forestry decree No. 423 / Menhut-II / 2004 dated October 19th, 2004 with an area of ± 568 700 ha and administratively included in the Katingan Regency, Pulang Pisau Regency and city of Palangkaraya, Central Kalimantan Province. Peatland fire prevention activities in Sebangau National Park is one of the annual activities planned by Sebangau National Park manager. Nonetheless, forest fires still continue to occur in this area. This study aimed to identify the cause of the problem of peat fires in the TNS 2014; identify and assess the various types of loss caused by peat fires in TNS in 2014; and analyze the effectiveness of forest fire prevention activities. Research carried out for 6 months on October 2014 – March 2015 located at TNS. The method of data collection in this study were divided into three, among which: literature review (desk study) and recording, survey the impact of biophysical and socio-economic impact survey. Assessment of losses from damage to forest resources can be obtained based on the Total Economic Value (TEV) approach that lost due to damage that occurred and the incurrence of costs due to the impact. Total loss value is the sum value of the damage potential of wood; loss value of non-timber forest products; loss value of the fisheries sector; loss value of the transport sector; loss value of public health; the value of damage to plants and wildlife habitat; carbon lost value; the value of fire fighting activities. Analysis conducted on the effectiveness and constraints of the problem of forest fire prevention activities at TNS. The level of effectiveness is measured and analyzed by comparing the achievement of the goals or objectives of the activity with what is planned. Then compare actual expenditure with the budget targets. The total estimated value of the economic losses caused by peat fires in 2014 in the area of TNS of ± 4364 ha was reached Rp134 405 786 127, - The biggest loss value caused by the loss and damage to the biophysical including the value of the carbon emissions, potential value of timber and potential value of non-timber forest products such as rattan, jelutung and gemor leather. The level of cost-effectiveness of forest fire prevention by Sebangau National Park in 2014 seems to be effective from the point of view budget realization, that reached about 96.96%. However, by considering the realization of the targeted activity, namely a reduction in the number of hotspots and reduction of forest fires, the activities of fire control Sebangau National forests apparently ineffective. Forest fire prevention activities in thea area need to be improved and more focus on the root causes of the peat land fire problem. Keywords : fire losses, budget effectiveness, fire prevention, fire causes, Sebangau forest
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan lPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin lPB
PENILAIAN KERUGIAN DAN EFEKTIVITAS PENCEGAHAN KEBAKARAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT : Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau
KHULFI MUHAMMAD KHALWANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Hardjanto, MS
Judul Tesis Nama NIM
: Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau) : Khulfi Muhammad Khalwani : E151124261
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bahruni, MS Ketua
Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Tatang Tiryana, S.Hut. M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 04 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah kerugian kebakaran hutan dengan judul “Penilaian Kerugian dan Efektivitas Pencegahan Kebakaran Ekosistem Hutan Gambut (Studi Kasus di Taman Nasional Sebangau)”. Proses penulisan tesis ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Bahruni, MS dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS selaku dosen penguji dan juga khususnya untuk keluarga (Elintia, SE, Arkana AK dan Al-Khalifi AK). Penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman di Balai TNS yang telah membantu selama pengumpulan data.. Semoga penelitian ini bermanfaat dan terima kasih atas semua saran, dukungan serta nasehat-nasehatnya. Bogor, Januari 2016
Khulfi Muhammad Khalwani
DAFTAR ISI DAFTARTABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Penelitian Jenis Data Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebab Kebakaran di TNS Nilai Kerugian Kebakaran Hutan Gambut Efektivitas Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan 4 SIMPULAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Riwayat hidup
ii iii iv 1 1 3 4 4 5 6 6 7 7 8 10 20 20 24 42 49 49 49 50 52
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lokasi dan luas kebakaran di TNS tahun 2014 Jenis data yang dikumpulkan Lokasi petak penelitian nilai kerusakan hutan dan valuasi nilai dampak sosial Objek xiiikerxii dampak sosial Luas & penyebab kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 Kerugian total kebakaran ekosistem hutan gambut Sebangau tahun 2014 Pengelompokan jenis kayu ekonomis pada area bekas terbakar di TNS berdasarkan kelompok perdagangan Estimasi nilai kerugian kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 Estimasi nilai kerugian Hasil Hutan Non Kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 Jenis dan harga ikan yang diakses oleh nelayan di sekitar lokasi
6 7 9 10 22 25 26 28 30 31
11 12 13 14 15 16 17 18
kebakaran TNS tahun 2014 Estimasi nilai kerugian sektor perikanan akibat kebakaran hutan TNS tahun 2014 Estimasi dampak asap kebakaran tahun 2014 dari kawasan TNS terhadap kerugian transportasi Nilai kerugian akibat asap dari kebakaran hutan di kawasan TNS tahun 2014 Standar biaya kegiatan pengkayaan jenis di kawasan TNS untuk 1 blok (luas 250 ha) Biaya kegiatan pemadaman kebakaran hutan di kawasan TNS tahun 2014 Emisi CO2 dari kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 Nilai anggaran kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH) oleh Balai TNS Evaluasi dan pengelompokan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS tahun 2014
32 35 36 14 39 42 44 45
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Lokasi kawasan TNS (SK.423/Menhut-II/2004) Perumusan masalah penelitian Kerangka xiiiiker penelitian Desain plot anveg dan pengukuran derajat kerusakan Sebaran hotspot di TNS tahun 2014 Lokasi kebakaran hutan di TNS tahun 2014 Tutupan vegetasi di TNS tahun 2014 Lokasi bekas kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di TNS Propinsi Kalimantan Tengah. Kebun sawit rakyat dan sawah tadah hujan di sekitar kawasan TNS (atas); Tumbuhan rasau dan perakaran rasau yang sangat mudah terbakar saat musim kering (bawah) Jumlah pohon per hektar berdasarkan kelas diameter di Resort Sebangau Hulu, SPTN Wilayah I Palangka Raya Trubusan atau tunas baru yang muncul di bawah pohon yang terbakar dan merana di lokasi bekas kebakaran hutan bulan September 2014 Identifikasi lokasi bekas kebakaran hutan gambut di wilayah Resort Sebangau Hulu, SPTN I Palangka Raya HHNK yang dimanfaatkan masyarakat desa penyangga kawasan TNS berupa kulit Gemor dan Rotan Rata-rata tangkapan ikan oleh nelayan di sungai dan rawa TNS Pondok nelayan di sungai Sebangau dan sungai Katingan, Klotok nelayan yang tidak beroperasi dan potensi ikan dari rawa TNS Jarak pandang dari dan ke Bandara Tcilik Riwut Palangka Raya pada dasarian I bulan Agustus s.d dasarian III bulan Oktober 2014 Wawancara dengan kepala puskesmas, mantri dan bidan Jumlah pasien ISPA di desa sekitar lokasi kebakaran TNS di bulan
1 4 5 8 17 18 19 21 24 25 27 28 29 32 32 34 37
19 20 21 22
saat tidak ada kebakaran dan saat ada kebakaran hutan Sarang orangutan yang ditemukan pada pohon bekas terbakar (atas); bekas kebakaran hutan pada lokasi kegiatan RHL di dalam kawasan (bawah) Kegiatan pemadaman kebakaran hutan gambut dilakukan melalui udara dan pemadaman langsung di lokasi api SPTN I Palangka Raya (Foto Lakip 2014) Pengukuran lapisan gambut yang terbakar di area bekas terbakar Trend jumlah hotspot dan luas kebakaran (ha) serta trend rencana dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran hutan Tahun 20092014 di TNS
38 40 41 43
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/98 telah dianggap sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad karena dampak kerusakan hutan dan jumlah emisi karbon yang dihasilkan sangatlah besar (Glover dan Jessup 2002). Walau demikian, hingga saat ini kebakaran masih menjadi ancaman khususnya pada musim kemarau. Kebakaran bisa terjadi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, baik pada tanah mineral maupun gambut (Saharjo 1997; Page et al 2002; Syaufina 2008). Kebakaran hutan pada tipe tanah gambut jauh lebih sulit dipadamkan karena api bisa menyebar pada vegetasi dan bahan bakar lainnya di atas permukaan serta di dalam lapisan tanah gambut melalui proses pembaraan (Sumantri 2007). Proses pembaraan ini sulit diketahui penyebarannya secara visual namun besar dampaknya untuk kerusakan selanjutnya (Rein et al 2008). Salah satu lokasi ekosistem gambut di Indonesia yang masih memiliki resiko kebakaran hutan yang cukup tinggi adalah kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) yang terletak di antara sungai Katingan dan sungai Sebangau, Pulau Kalimantan. Kawasan ini ditunjuk melalui SK Menhut No.423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ± 568 700 ha dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1). Sebelumnya kawasan TNS merupakan kawasan hutan produksi dimana terdapat 13 konsesi HPH yang beroperasi dari 1970–1995 dan setelah itu menjadi open acces (WWF 2012). Pembuatan kanal/parit untuk jalur transportasi dan ekstraksi kayu dari hutan menuju sungai menjadikan kandungan air gambut berfluktuasi sangat nyata dan mengakibatkan keringnya gambut pada musim kemarau sehingga menjadi mudah terbakar (Jaenicke et al 2010).
Gambar 1 Lokasi kawasan TNS (SK Menhut 423/Menhut-II/2004)
2
Secara umum kawasan TNS masih memiliki kondisi yang relatif lebih baik sebagai habitat flora dan fauna yang unik dan endemik, jika dibandingkan dengan wilayah disekitarnya yang telah banyak dikonversi seperti pada Proyek ex–PLG (BTNS 2008). Luas lahan gambut di Pulau Kalimantan adalah 5 769 246 ha dan lebih dari 50% berada di Provinsi Kalimantan Tengah (Wahyunto et al 2005). Jika dilihat dari segi luas kawasan, upaya konservasi gambut di TNS seluas ± 568 700 ha tentunya memiliki proporsi yang cukup penting bagi pelestarian hutan gambut yang masih tersisa di Indonesia. Kawasan Sebangau memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Pada kawasan ini terdapat sekitar 792 jenis flora tumbuh yang termasuk ke dalam 128 suku (Wardani et al 2006). Suku yang terbanyak adalah Rubiaceae, Myrtaceae dan Euphorbiaceae. Suku lainnya yang masih cukup banyak adalah Moraceae, Fabaceae, Clusiaceae, Cyperaceae, Annonaceae dan Lauraceae. Tiga suku diantaranya merupakan pakan utama orangutan di TNS. Kawasan ini merupakan habitat terbesar populasi satwa langka Orangutan borneo (Pongo pygmaeus) yaitu sekitar 6200–6900 individu (Husson et al 2003) dan juga habitat terbesar pupulasi owa (Hylobates agilis albibarbis), yaitu ±19 000 individu. Dari hasil observasi mamalia diketahui bahwa di dalam kawasan ini dapat dijumpai 35 jenis mamalia dan 13 diantaranya merupakan jenis yang terancam punah. Selain jenis mamalia juga terdapat 106 jenis burung dan 36 jenis ikan yang telah teridentifikasi serta berbagai jenis reptilia (BTNS 2008). Selain sebagai habitat flora fauna, ekosistem gambut Sebangau juga berperan sebagai gudang penyimpanan karbon yaitu sekitar 2500 ton/ha (Page et al 2002). Kawasan ini juga berfungsi sebagai pengatur tata air di Kabupaten Katingan Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. Antara 80–90% volume gambut akan menjadi penampung air pada musim hujan dan melepaskannya secara bertahap pada musim kemarau (BTNS 2008). Dari aspek sosial ekonomi, hingga saat ini kawasan Sebangau masih menjadi tumpuan masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomi–ekologi yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Menurut Suhud et al (2007) dalam kurun waktu 1997–2006, Provinsi Kalimantan Tengah menempati urutan pertama dalam jumlah titik panas (hotspot), yang berarti sebagai daerah dengan potensi intensitas kebakaran hutan dan lahan terbesar di Indonesia. Kawasan konservasi TNS termasuk salah satu kawasan yang berpotensi turut terbakar dalam kurun waktu tersebut. Hingga saat ini, terutama saat musim kemarau, kebakaran terkadang masih terjadi di dalam dan sekitar kawasan konservasi TNS (BTNS 2013). Kebakaran hutan akan berdampak terhadap kerusakan biofisik dan penurunan kuantitas sumber daya hutan maupun sumber daya manusia akibat perubahan kualitas lingkungan karena polusi asap yang ditimbulkan (Brown dan Davis 1973). Kehilangan keanekaragaman hayati akibat kebakaran hutan memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan (Barbier 1995). Selanjutnya menurut Pearce dan Moran (1994), kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dapat berupa kerusakan biofisik dan perubahan produktifitas serta timbulnya biaya akibat dampak kebakaran hutan terhadap perubahan kualitas lingkungan yang disetarakan dengan istilah biaya oportunitas dalam ilmu
3
ekonomi. Selain itu kerusakan hutan ini akan menimbulkan risiko dan ketidakpastian pulihnya kondisi ekosistem hutan tersebut. Hal ini berimplikasi pada dua hal, yaitu kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dimasa akan datang akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini user cost dan kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari keanekaragaman hayati yang saat kini belum dimanfaatkan option values (Bahruni et al 2007). Valuasi terhadap nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di TNS dapat menjadi bahan masukan kepada pihak pengelola dan stakeholders. Dengan mengetahui nilai kerugian ini dapat ditentukan strategi untuk tindakan preventifnya dalam kaitannya dengan rencana alokasi anggaran pencegahan kebakaran hutan. Selanjutnya akan diketahui apakah anggaran bidang pencegahan kebakaran hutan yang telah direncanakan dan direalisasikan selama kurun waktu tersebut sudah cukup sesuai dan efektif apabila dibandingkan dengan nilai kerugian yang bisa dihindari jika tidak terjadi kebakaran hutan. Perumusan Masalah Penilaian ekonomi terhadap dampak kebakaran hutan di kawasan TNS belum pernah dilakukan. Kaitannya dengan manajemen pengelolaan kawasan hutan konservasi TNS, penilaian terhadap dampak kebakaran hutan dapat memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan ini khususnya bagi pengelola kawasan yaitu Balai TNS. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai TNS mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi tersebut, salah satu kegiatan pentingnya adalah penyusunan rencana, program dan evaluasi di bidang perlindungan hutan, termasuk didalamnya kegiatan pengendalian kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran hutan adalah semua usaha yang meliputi pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran hutan dan penyelamatan (Permenhut P.12/Menhut-II/2009). Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS disetiap tahun melalui Rencana Kinerja Tahunan. Meskipun demikian kebakaran hutan ternyata masih terjadi di dalam kawasan TNS. Tacconi (2003) menyatakan untuk kasus kebakaran hutan di Indonesia, tiga masalah kebijakan utama yang diidentifikasi diantaranya : 1) Pencemaran kabut asap, emisi karbon dan dampak-dampak terkait lainnya; 2) Degradasi hutan dan deforestasi, hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa lingkungan yang diberikan hutan, termasuk kayu dan non kayu, erosi tanah dan lenyapnya fungsi pengendali
4
banjir, keanekaragaman hayati; dan 3) Kerugian di sektor pedesaan akibat kebakaran hutan dan anomali cuaca. Walau demikian, analisis kebijakan terkait anggaran bidang kebakaran hutan belum banyak dikaji lebih lanjut. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka secara ringkas perumusan masalah dari penelitian ini dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2. Nilai Ekonomi Kerugian Kebakaran Hutan Gambut di TNS
Anggaran Bidang Pencegahan Kebakaran Hutan Gambut
Berapa ? (Belum ada yang mengukur)
Berapa ? (Apakah cukup efektif)
Gambar 2 Perumusan masalah penelitian Daftar pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini diuraikan sebagai berikut : 1. Apa masalah penyebab kebakaran hutan gambut di TNS ? 2. Berapa nilai kerugian ekonomi akibat kejadian kebakaran ekosistem hutan gambut di TNS ? 3. Bagaimana efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS jika dilihat dari a) jenis kegiatan yang direncanakan; b) rencana dan realisasi anggaran c) tata waktu dan lokasi kegiatan. 4. Apa kendala-kendala dalam pengendalian kebakaran hutan di kawasan TNS ? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi masalah penyebab kebakaran hutan gambut di kawasan TNS. 2. Mengidentifikasi dan menilai berbagai jenis kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut di TNS pada tahun 2014 3. Menganalisis efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholders yang berkepentingan dengan kawasan ekosistem gambut TNS, khususnya bagi kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan konservasi oleh Balai TNS. Glover dan Jessup (2002) menyatakan penilaian terhadap kerusakan lingkungan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu: 1) penilaian memungkinkan dilakukannya analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang
5
lebih lengkap dan akurat dari suatu upaya kebijakan atau proyek, 2) penilaian dapat menjelaskan kepada kita tingkat kepentingan relatif dari perbaikan atau perusakan lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap penduduk, dan 3) penilaian dapat menarik perhatian berbagai pihak pada permasalahan lingkungan dan membuat arti pentingnya menjadi jelas. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk melakukan penilaian kerugian kebakaran hutan di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 dan menilai efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan selama periode lima tahun terakhir, dengan melakukan analisis kualitatif terhadap kesesuaian 1) jenis kegiatan yang direncanakan, 2) rencana dan realisasi anggaran; 3) tata waktu dan lokasi kegiatan; dengan masalah penyebab kebakaran hutan di TNS. Tahapan penelitian terdiri dari identifikasi jenis dampak; identifikasi wilayah dampak; kuantifikasi dampak dan kemudian diperoleh nilai kerugian. Dalam praktek valuasi ekonomi, tidak begitu mudah memisahkan antara berbagai komponen nilai yang berbedabeda, namun karena berbagai keterbatasan cukup menghitung nilai dari beberapa komponen penggunaan sumber daya hutan yang dominan. Adapun kerangka pikir penelitian ini dijelaskan seperti pada Gambar 3. Konservasi Gambut di Indonesia (REDD+, RAMSAR, Mitigasi & Adaptasi dll.)
Anggaran Pencegahan - Jenis kegiatan - Rencana & realisasi - Waktu dan lokasi
Kebakaran Hutan Gambut TN Sebangau
Dampak
Perubahan kualitas lingkungan
Asap
Penurunan SDH
Biaya Pemadaman
Pendekatan pengeluaran biaya
Intangible
Tangible
Kesehatan masyarakat
Transportasi
Perikanan
Hasil Hutan Non Kayu
Kayu
Karbon
Pendekatan biaya berobat
Metode harga pasar
Metode harga pasar
Metode harga pasar
Pendekatan Harga Pasar
Metode harga Pasar
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian
Habitat
Pendekatan Biaya Restorasi
6
2 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Oktober 2014 – Maret 2015 yang berlokasi di TNS (113o 18’ – 114o 03’ BT dan 010 55’ – 03o 07’ LS). Valuasi kerugian terhadap kerusakan biofisik dilakukan pada lokasi bekas kebakaran hutan tahun 2014 dan sedangkan valuasi kerugian dampak sosial dilakukan terhadap masyarakat desa sekitar lokasi kebakaran yang termasuk wilayah dampak. Berdasarkan hasil kegiatan pengukuran langsung dan digitasi luas kebakaran hutan oleh Balai TNS diketahui bahwa luas kebakaran di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 mencapai ± 4364 ha sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Lokasi dan luas kebakaran di TNS tahun 2014 No
Lokasi kebakaran (koordinat)
Luas (ha)
A SPTN Wilayah I Palangka Raya 1 Tangkiling, Resort Habaring Hurung 44.58 (X:113.640 Y:-1.963; X:113.640 Y:-1.958) 2 Banturung, Resort Habaring Hurung 23.04 (X:113.706 Y:-2.012; X:113.707 Y:-2.006; X:113.706 Y:-2.006; X:113.704 Y:-2.001; X:113.716 Y:-2.012) 3 Marang Jl. Cilik Riwut KM. 17, Resort Habaring Hurung 75.53 (X : 113.767; Y : -2.142) 4 Marang Jl. Cilik Riwut KM. 21, Resort Habaring Hurung 13.62 (X:113.716 Y:-2.097) 5 Kereng Bengkirai, Resort Sebangau Hulu 23.55 (X:113.838 Y:-2.299; X:113.840 Y : -2.302) Sub total 180.32 B SPTN Wilayah II Pulang Pisau 1 S. Bangah (kiri) Resort Bangah (X:114.004 Y: -2.706) 124.00 2 S.Sebangau, Resort Bangah (X:114.048 Y:-2.685) 509.00 3 S. Bangah (kanan) Resort Bangah (X:114.015 Y:-2.693) 112.00 4 S. Sebangau, Resort Mangkok (X:114.042 Y:-2.643) 150.00 5 S. Sampang, Resort Paduran (X:113.636 Y:-2.778) 1253.18 Sub total 2148.18 C SPTN Wilayah III Katingan 1 S.Bulan (Sept), Resort Muara Bulan (X: 113.501 Y:-2.528) 88.97 2 S. Bulan (Sept), Resort Muara Bulan (X:113.467 Y:-2.544) 55.62 3 S. Musang, Resort Muara Bulan, (X:113.244 Y:-2.384) 1291.00 4 S. Landabung, Resort Muara Bulan 116.38 (X:113.211 Y:-2.462; X:113.213 Y:-2.455; X:113.213 Y:-2.455; X:113.214 Y: -2.464) 5 Kanal Bukit Kaki, Resort Mendawai 449.12 (X:113.184 Y:-2.590; X:113.185 Y:-2.575; X:113.192 Y:-2.574; X:113.193 Y:-2.585; X:113.193 Y : -2.585) 6 Sungai Lewang, Resort Muara Bulan (X:113.254 Y:-2.346) 34.65 Sub total 2035.74 Total luas kebakaran 4364.24 Sumber : Bagian Evaluasi dan Pelaporan Balai TNS (S.38/BTNS-1/PH/2015)
Tutupan vegetasi Hutan rawa sekunder Hutan rawa sekunder Hutan rawa sekunder Hutan rawa sekunder Hutan rawa sekunder Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa Belukar rawa
7
Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kamera, GPS, komputer (program GIS dan microsoft exel), pita meteran, penggaris, kantong plastik, kertas label, alat tulis, perekam suara dan daftar pertanyaan. Jenis Data Secara garis besar data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer yang diuraikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan No A
B
Jenis data Data sekunder 1. Kejadian kebakaran hutan 2. Kinerja Anggaran BTNS 3. Kegiatan pencegahan karhut 4. Kerawanan kebakaran hutan 5. Potensi flora fauna dan hasil hutan non kayu 6. Potensi karbon 7. Kegiatan rehabilitasi ekosistem 8. Sosial ekonomi masyarakat 9. Pemadaman kebakaran hutan Data primer 1. Fire severity dan burning efficiency 2. Potensi kayu 3. Potensi HHNK 4. Perikanan sungai&rawa gambut 5. Dampak asap bagi sector transportasi 6. Dampak asap bagi kesehatan masyarakat 7. Karakteristik kebakaran hutan gambut di TNS
Variabel
Pengumpulan data
Luas dan lokasi kebakaran Laporan tahunan, Lakip, hutan Statistik BTNS Rencana dan realisasi anggaran Lakip BTNS Jenis, lokasi dan waktu pelaksanaan Lokasi dan kelas kerawanan
Laporan kegiatan BTNS
Potensi Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL); Strutur&komposisi vegetasi; jenis HHNK. stok karbon, faktor emisi, tebal gambut Jenis kegiatan; nilai kegiatan
literatur dan laporan kegiatan BTNS, WWF dll
Jumlah penduduk, pekerjaan, dll. Standar biaya; SDM;Waktu Derajat kerusakan pohon, Rata-rata ketebalan lapisan gambut terbakar Jenis pohon, diameter, tinggi bebas cabang, potensi volume kayu, harga Jenis, produktivitas, harga Jenis ikan, harga ikan, hasil tangkapan Jumlah angkutan sungai dan udara tidak beroperasi, karakteristik dan lama dampak lama dampak, biaya obat, jumlah pasien berobat & masyarakat berobat sendiri
Bagian GIS BTNS
literatur dan laporan BTNS, WWF dll literatur dan laporan BTNS, WWF dll Dokumen desa, BPS dan BTNS BTNS, BKSDA, WWF Pengukuran di lapangan Pengukuran di lapangan Wawancara pengumpul HHNK Wawancara nelayan
Wawancara pengusaha transportasi pada wilayah dampak Wawancara dokter, bidan desa atau kepala Puskesmas, Masyarakat desa Penyebab kebakaran&kendala- Wawancara BTNS, kendala bidang PKH masyarakat, WWF-Kalteng dan BKSDA-Kalteng.
8
Pengumpulan Data Metoda pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Studi literatur (desk study) dan pencatatan 2) Survey dampak biofisik, dan 3) Survey dampak sosial ekonomi Studi literatur (desk study) dan pencatatan dilakukan terhadap semua dokumen laporan terkait potensi kawasan konservasi, habitat flora fauna dan prilaku satwa liar di kawasan TNS, laporan tahunan dan laporan kinerja terkait rencana dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran hutan, laporan penanggulangan kebakaran hutan, laporan/ data kesehatan di Puskesmas wilayah dampak kebakaran hutan dan laporan atau hasil penelitian terkait lainnya. Survey biofisik meliputi 3 (tiga) kegiatan yaitu pengukuran fire severity (tingkat keparahan) berdasarkan derajat kerusakan pohon pada area bekas terbakar dan efisiensi kebakaran berdasarkan persentase rata-rata ketebalan gambut yang terbakar; kemudian dilakukan analisis vegetasi pada lokasi yang tidak terbakar pada satu hamparan yang sama atau memiliki strata (sub tipe ekosistem) yang sama dengan area kebakaran. Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dilakukan pada area bekas kebakaran dengan cara menghitung semua jumlah pohon yang dijumpai dalam satu jalur pengamatan dan melakukan skoring terhadap tingkat kerusakan masingmasing pohon dengan skor sebagai berikut : pohon tidak terbakar = 0; terbakar basah (masih bertunas) = 1; terbakar kering (merana) = 2; dan terbakar hangus = 3 (Pawirosoemardjo 1979 dalam Yunus 2005). Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi pada setiap petak contoh terpilih (stratified random sampling), dengan kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak (Gambar 4). Risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan metode garis berpetak ukuran lebar 20 m panjang 100 m (petak ukur pohon 20x20 m2, tiang 10x10 m2, pancang 5x5 m2, semai 2x2 m2 dan serasah 1x1 m2).
Gambar 4 Desain plot analisis vegetasi dan pengukuran derajat kerusakan pohon Penentuan lokasi petak penelitian kerugian kebakaran hutan on site (kerusakan biofisik) didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : 1) Luas kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 mencapai ± 4364 ha dan tersebar pada beberapa titik di setiap wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu di SPTN I wilayah Kota Palangka Raya, SPTN II wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan SPTN III wilayah Kabupaten Katingan. 2) Kebakaran sebagian besar terjadi pada lokasi bekas terbakar pada tahun-tahun sebelumnya dan merupakan daerah belukar rawa dengan tingkat kerapatan vegetasi yang rendah dan sebagian
9
kecil pada hutan rawa sekunder; 3) Pengukuran kerusakan pada lokasi bekas terbakar idealnya dilakukan saat masih musim kemarau (setelah kebakaran padam) sehingga kondisi tapak tidak tergenang; 4) Aksesibilitas menuju beberapa lokasi kebakaran hutan cukup sulit dan jauh. Survey dampak sosial ekonomi dilakukan dengan metode wawancara terhadap responden terpilih pada wilayah cakupan dampak kebakaran hutan. Pemilihan lokasi (desa) untuk valuasi dampak sosial dilakukan dengan metode purposive sampling. Untuk penentuan lokasi penelitian dampak asap (off site) hanya dibatasi pada desa-desa penyangga kawasan TNS mengingat karena pada tahun 2014 lokasi kebakaran hutan di TNS sebagian besar jauh dari pemukiman masyarakat dan kejadian kebakaran hutan tidak hanya terjadi di dalam kawasan TNS. Dari desa-desa penyangga tersebut dipilih sebanyak 15 kelurahan/desa berdasarkan survey pendahuluan dan pertimbangan jarak terdekat dari lokasi kebakaran hutan di kawasan TNS. Khusus untuk responden nelayan dibatasi pada desa-desa yang nelayannya secara rutin mengakses ikan di sekitar lokasi kebakaran hutan. Adapun lokasi petak penelitian untuk kerusakan biofisik (on site) dan lokasi penilaian dampak sosial (off site) akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 diuraikan pada Tabel 3. Tabel 3 Lokasi petak penelitian nilai kerusakan hutan dan valuasi nilai dampak sosial Lokasi penelitian on site Lokasi kebakaran Luas kebakaran 1. Resort Sebangau Hulu, 23,55 ha Palangka Raya 2. S. Musang, Resort 1.291 ha Muara Bulan, Katingan Lokasi penelitian off site Lokasi kebakaran Desa terpapar 1. SPTN I Palangka Raya - Kereng Bengkirai - Habaring Hurung - Banturung
Tipe hutan Hutan rawa sekunder Belukar rawa Jumlah penduduk *) 7517 917 3367
Wilayah administrasi Palangka Raya Katingan Wilayah Resort - Resort Sebangau Hulu - Resort Habaring Hurung - Resort Mangkok - Resort Bangah - Resort Paduran
1338 - Sebangau Permai 1065 - Mekar Jaya 408 - Sebangau Jaya 516 - Paduran Mulya 1234 - Sebangau Mulya - Resort Baun Bango 748 3. SPTN III Katingan - Baun Bango - Resort Muara Bulan 490 - Keruing - Resort Mendawai 1613 - Galinggang 503 - Tumbang Bulan 470 - Perigi 975 - Mendawai 712 - Mekartani *) Sumber : Statistik BTNS 2014, Kecamatan Sebangau Kuala 2014, Kecamatan Mendawai dalam angka 2014 2. SPTN II Pulang Pisau
Pemilihan responden pada desa terpilih dilakukan secara acak sedangkan key informan sudah ditetapkan dan disesuaikan dengan tujuan data yang ingin diperoleh dan diuraikan seperti pada tabel berikut ini.
10
Tabel 4 Objek survei dampak sosial No A. 1
Sampling
3
Objek Wawancara Responden Masyarakat pencari ikan/ nelayan Pengumpul HHNK (jelutung, gemor, rotan) Ibu Rumah Tangga
4
Dokter/ Mantri/ Bidan desa
Purposive
5
Purposive
3
Pengusaha transportasi darat/ air/udara Key Informan Balai TN Sebangau (Polhut, Seksi perencanaan dan evaluasi, KSBTU, Kepala Balai) Mitra kerja (WWF Kalteng dan Intansi pemerintah lainnya Masyarakat Peduli Api
4
Aparat Desa
Purposive
2
B 1
2
Random Random Random
Purposive
Purposive Purposive
Tujuan Memperoleh informasi terkait nilai kerugian perikanan Memperoleh informasi terkait nilai kerugian HHNK Memperoleh informasi biaya pengobatan sendiri akibat asap Memperoleh informasi kerugian kesehatan masyarakat Memperoleh informasi kerugian transportasi Memperoleh informasi rencana, realisasi dan kendala pengendalian serta penyebab kebakaran hutan di TN Sebangau Memperoleh informasi jenis program kerjasama dan nilainya Informasi penyebab kebakaran dan kendala-kendala permasalahan. Informasi penyebab kebakaran dan Jenis bantuan sosial yang diberikan
Pengolahan dan Analisis Data Kebakaran hutan akan menimbulkan kerugian ekonomi dalam bentuk hilangnya sumber daya hutan pada lokasi kejadian (on site effect) dan kerugian akibat asap bagi manusia atau aktifitas ekonomi lainnya (off site effect). Asap dari kebakaran hutan akan mengurangi jarak pandang dan mengganggu sektor transportasi (darat, air dan udara), menurunnya produktivitas, kerugian sektor pariwisata dan tentunya mengganggu kesehatan manusia (Yunus 2005). Penilaian kerugian dari kerusakan sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan pendekatan nilai total ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang hilang akibat kerusakan yang terjadi (Pearce dan Turner 1992). Beberapa peneliti juga menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) untuk menilai perubahan ketersediaan jasa lingkungan atau ekologi, dengan cara mengukur surplus total perunit area. Menurut Pearce dan Moran (1994) pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung yaitu pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar konvensional. Berdasarkan dampak kebakaran hutan TNS yang telah diidentifikasi, kemudian dilakukan penilaian dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung. Adapun formulasinya ditetapkan sebagai berikut : NEK = (NKP + NHHNK) + (NI + NT + NKM) + (NHTSL + NKH) + NPK
11
Keterangan : NEK = Nilai Ekonomi Kerugian kebakaran hutan TN Sebangau NKP = Nilai Kerusakan Kayu Potensial NHHNK = Nilai Kerugian Hasil Hutan Non Kayu NI = Nilai Kerugian Sektor Perikanan NT = Nilai Kerugian Sektor Transportasi NKM = Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar NKH = Nilai Karbon yang Hilang NPK = Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran a. Nilai Kerugian Kayu Potensial (NKP) Pengukuran potensi kayu pada masing-masing areal terbakar didekati dengan potensi kayu pada areal hutan yang terbakar dan tidak terbakar. Perhitungan potensi volume kayu dibatasi terhadap pohon dengan diameter di atas 10 cm dan kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas diameter. Penghitungan volume pohon dilakukan dengan formula sebagai berikut : 1 = 4 Keterangan : V = Volume kayu (m3) t = tinggi pohon bebas cabang (m) d = Diameter pohon (m) f = angka bentuk (0,7) Pengukuran derajat kerusakan tegakan pohon dapat diformulasikan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh (Pawirosoemardjo 1979 dalam Yunus 2005). =
3
100 %
Keterangan : I = derajat kerusakan hutan akibat kebakaran Jsp = Jumlah nilai dari n pohon yang ada dalam plot. 3 = Nilai tertinggi dari kempat klasifikasi akibat kebakaran, n = Jumlah pohon dalam tiap plot. (Skoring : pohon tidak terbakar = 0; terbakar basah/masih bertunas = 1; terbakar kering/merana = 2; dan terbakar hangus = 3) Penilaian kerugian akibat kayu potensial yang hilang dilakukan dengan cara pendekatan nilai pasar kayu yang potensial atau harga patokan untuk hasil hutan kayu yang ditetapkan Menteri Perdagangan. Dengan formula penghitungan sebagai berikut : =
Keterangan : NKP = Nilai Kayu Potensial (m3) VKP ij = Volume Kayu Potensial jenis ke – i di lokasi – j (m3/ha) LA j = Luas areal kebakaran lokasi ke – j (ha) HKP i = Harga kayu potensial jenis ke – i (Rp/m3)
12
b.
Nilai Kerugian Hasil Hutan Non Kayu (NHHNK) Hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai pasar (market value) dihitung berdasarkan pendekatan nilai pasar setempat dengan formula sebagai berikut : =
×
×
Keterangan : NHHNK = Nilai Hasil Hutan Non Kayu PHHNK ij = Potensi HHNK jenis ke – i di lokasi – j (unit/ha) LA j = Luas areal kebakaran lokasi ke – j (ha) HHHNK i = Harga HHNK jenis ke – i (Rp/unit) c. Nilai Kerugian Perikanan (NI) Kerugian terhadap sektor perikanan dihitung dengan produktivitas masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak. =
(
1
−
pendekatan
2 )
Keterangan : KPI 1ij = Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak –j pada saat tidak terjadi kebakaran (unit/orang/bulan) KPI 2ij = Kemampuan responden pengumpul ikan jenis i di wilayah dampak –j pada saat periode kebakaran (unit/orang/bulan) HIi = Harga ikan jenis i (Rp/unit) JPI j = Jumlah masyarakat pengumpul ikan di wilayah dampak ke-j (orang) Tij = waktu periode/ lama dampak di wilayah ke-j (bulan) d. Nilai Kerugian Sektor Transportasi (NT) Kerugian terhadap sektor transportasi diprediksi dialami oleh pengusaha transportasi sungai dan udara sehingga kerugian total merupakan penjumlahan dari masing-masing kerugian tidak beroperasinya moda transportasi tersebut dan penurunan jumlah penumpang. Nilai kerugian tersebut dihitung dengan pendekatan produktivitas pengusaha transportasi pada wilayah terkena dampak selama periode dampak dengan formula sebagai berikut : NT = NTair + NTudara =
(
=
x
(
)+ (
x
)
)
Keterangan : = Jumlah Angkutan tidak Operasi dari perusahaan i di sungai j (unit) selama periode dampak asap (unit) = Jumlah penumpang per angkutan dari perusahaan i di sungai j (orang/unit) HTij = Harga tiket angkutan -i di sungai j (rupiah/orang)
13
JAOij JPKij JPBi JPPi HTi
= Jumlah Angkutan Operasi dari perusahaan i di sungai j selama periode dampak asap (unit) = Rata-rata Jumlah Penumpang Berkurang usaha angkutan i di sungai j (unit) selama periode dampak asap (orang) = Jumlah Penerbangan Batal/ dialihkan dari dan ke Palangka Raya pada maskapai i selama periode dampak = Jumlah Penumpang per sekali penerbangan pada maskapai i = Rata-rata harga tiket pada maskai i
e. Nilai Kesehatan Masyarakat (NKM) Asap biomassa yang keluar pada kebakaran hutan mengandung beberapa komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel (Brauer 2007). Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran napas (ISPA). Komponen gas dalam biomassa besar yang mengganggu kesehatan adalah karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), aldehid, ozon (O3), karbon dioksida (CO2) dan hidrokarbon. Untuk menghitung kerugian pada aspek kesehatan masyarakat terlebih dahulu harus ditetapkan batasan wilayah dampak dan diketahui lama periode terpapar dampak. Kemudian dilakukan penghitungan terhadap peningkatan jumlah penderita terkait dampak asap selama periode dampak. Nilai kerugian dihitung dengan pendekatan pengeluaran biaya pengobatan yang terjadi selama periode terpapar dampak dengan menggunakan formula sebagai berikut : =
(
=
=
−
;
) +( ;
= =
−
)+
= Keterangan : NKM = Nilai Kerugian Kesehatan Masyarakat BPI1j = Biaya pengobatan rawat inap di wilayah –j selama waktu dampak (Rp) BPI2j = Rata-rata biaya pengobatan rawat inap diluar waktu dampak (Rp) BPTI1j = Biaya pengobatan tanpa inap di wilayah dampak –j (Rp) BPTI1j = Rata-rata biaya pengobatan rawat tanpa inap di wilayah –j diluar waktu dampak (Rp) = Biaya pengobatan sendiri oleh masyarakat di lokasi –j (Rp) JPI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j selama waktu dampak JPI2j = Rata-rata jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j di luar waktu dampak JPTI1j = Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j selama waktu dampak JPI2j = Rata-rata Jumlah pasien inap/rujuk di wilayah dampak –j di luar waktu dampak HPI = Rata-rata biaya pengobatan dengan rawat inap/dirujuk HPTI = Biaya pengobatan pada puskesmas, dokter/ bidan praktek di wilayah –j JPOj = Jumlah penduduk yang membeli obat sendiri di lokasi-j
14
HO = Rata-rata harga / biaya pembelian obat sendiri (Rp) f. Nilai Kerusakan Habitat Tumbuhan dan Satwa Liar (NHTSL) Dampak kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan dari mulai sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak kebakaran terhadap banyak herbivora dikatakan justru akan memberikan jumlah makanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasinya di hutan bekas kebakaran meningkat. Bagi satwaliar dengan daerah jelajah kecil dan kemampuan mobilitas yang rendah, kebakaran akan memberikan dampak negatif. Dampak terhadap satwa liar dapat berupa: 1) Perubahan komposisi jenis 2) Perubahan struktur populasi (kematian tingkat bayi, remaja dan sebagainya), 3) Perubahan kerapatan, 4) Pengecilan ruang gerak atau homerange, 5) Perubahan biomassa (penurunan berat badan satwa liar). Selain itu kebakaran hutan menjadikan perubahan yang begitu nyata terhadap iklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis binatang. Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escape cover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa. Untuk menghitung kerugian terhadap satwa liar yang mati di lokasi kebakaran hutan sangat sulit dilakukan karena saat terjadi kebakaran hutan diprediksi satwa liar yang ada akan migrasi ke lokasi lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak langsung, yaitu terhadap habitatnya. Penghitungan kerugian terhadap kerusakan habitat yaitu dengan pendekatan biaya yang diperlukan untuk membangun habitat TSL tersebut melalui kegiatan restorasi habitat atau kegiatan rehabilitasi. =
) ∑( × (1 + )
Keterangan : NHTSL = Nilai Kerusakan Habitat Satwa Liar NTR = Nilai total kegiatan restorasi dan rehabilitasi (Rp/ha) i = tingkat inflasi; t = tahun kegiatan LA = Luas areal terbakar (ha) g. Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran (NPK) Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dianggap sebagai nilai kerugian yang muncul akibat adanya kebakaran hutan. Pemadaman dimaksudkan agar api tidak menjalar secara liar sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Nilai biaya pemadaman dilakukan dengan mendata seluruh nilai anggaran pemadaman dari Balai TN Sebangau maupun anggaran bantuan dari Direktorat PHKA, BKSDA, Pemda ataupun mitra kerja. =
(
+
)
Keterangan : NPK = Nilai Kegiatan Pemadaman Kebakaran tahun 2014 BPKHj = Biaya kegiatan pemadaman oleh Balai TNS BBPKH j = Biaya kegiatan pemadaman oleh instansi lain/ mitra (Rp)
15
h. Nilai Karbon yang Hilang (NKH) Penghitungan nilai karbon yang hilang digunakan pendekatan nilai emisi gas CO2 akibat kebakaran biomassa di atas tanah dan kebakaran pada lapisan tanah gambut. Untuk penghitungan emisi akibat kebakaran biomassa diatas tanah mengacu pada IPCC (2006) dan difokuskan hanya untuk biomassa pohon. EBiomass Burn = Aburn. B. COMF . G . 10-3 Keterangan : EBiomass burn = Emisi CO2 kebakaran biomassa (ton) Aburn, = Luas area terbakar (ha) B = Kandungan biomassa di atas permukaan sebelum terbakar (ton/ ha) COMF = Faktor pembakaran/ kehilangan dimensi (melihat dari Tabel 2.6 panduan IPCC) Gef = Faktor emisi kg/ton bahan bakar kering (melihat dari Tabel 2.5 panduan IPCC) Selanjutnya untuk penghitungan emisi akibat kebakaran lapisan gambut mengacu pada IPCC 2006. L fire = Aburn . MB . Cf . Gef. 10-3 Keterangan : L fire = jumlah emisi CO2 akibat kebakaran gambut (ton) Aburn = total luas area terbakar (ha) MB = ketersediaan bahan bakar gambut kering, mengacu dari Tabel 2.6 panduan IPCC (ton/ha). Cf = faktor pembakaran / kehilangan dimensi Gef = faktor emisi kg/ton bahan bakar kering (mengacu dari Tabel 2.7 panduan IPCC) Nilai kerugian akibat cadangan karbon yang hilang atau emisi dari kebakaran hutan didekati dengan harga pasar karbon yang dikalikan dengan dengan estimasi emisi karbon dari kebakaran hutan yang terjadi tahun 2014 dengan menggunakan formula sebagai berikut : NKH = HK . (E biomass burn + L fire) Keterangan : NKH = Nilai Karbon Hilang (Rp) HK = Harga pajak karbon equivalen emisi CO2 (Rp) EBiomass burn = Emisi CO2 kebakaran biomassa (ton) L fire = Jumlah emisi CO2 akibat kebakaran gambut (ton) i. Analisis efektivitas pencegahan kebakaran hutan Analisis dilakukan terhadap efektivitas dan kendala-kendala permasalahan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS. Tingkat efektifitas diukur dan dianalisis dengan cara membandingkan pencapaian sasaran/tujuan kegiatan dengan apa yang direncanakan. Kemudian membandingkan realisasi anggaran belanja dengan target anggaran belanja. Efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan/target kebijakan (hasil guna). Kegiatan operasional dikatakan efektif
16
apabila proses kegiatan dapat mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan/spending wisely (Mardiasmo 2009; Sumenge 2013). Kriteria efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran hutan oleh BTNS diukur dari perbandingan realisasi faktor input berupa anggaran dan realisasi faktor output berupa capaian sasaran kinerja yang direncanakan. Selanjutnya analisis kualitatif deskriptif dilakukan terhadap gap antara input dan output; jenis dan proporsi kegiatan; waktu dan lokasi kegiatan; dan permasalahan yang dijumpai. Efektivitas input =
Realisasi anggaran PKH Rencana anggaran PKH
Efektivitas output =
Capaian sasaran
x 100%;
Rencana target sasaran
Keterangan : 1. Pencapaian > 100% 2. Pencapaian 90% - 100% 3. Pencapaian 80% - 90% 4. Pencapaian 60% - 80% 5. Pencapaian < 60%
x 100%
= sangat efektif = efektif = cukup efektif = kurang efektif = tidak efektif
Organisasi sektor publik dituntut untuk memperhatikan nilai amanfaat anggaran (value for money) dalam menjalankan aktifitasnya. Tujuan yang dikehendaki masyarakat mencakup pertanggungjawaban mengenai pelaksanaan value for money, yaitu ekonomis dalam pengadaan dan alokasi sumber daya, efisien dalam penggunaan sumber daya dalam arti penggunaannya diminimalkan dan hasilnya dimaksimalkan, serta efektif dalam arti mencapai tujuan dan sasaran.
17
18
Gambar 5 Sebaran hotspot di TNS tahun 2014
19
Gambar 6 Lokasi kebakaran hutan di TNS tahun 2014
20
Gambar 7 Tutupan vegetasi di TNS tahun 2014
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebab Kebakaran Ekosistem Gambut di TNS a. Historikal kebakaran hutan gambut di TNS Kawasan TNS sebelumnya merupakan kelompok hutan yang terdiri dari hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi sehingga sebagai kawasan bekas HPH dan berbagai pemanfaatan oleh masyarakat, ekosistem di dalam kawasan ini telah mengalami perubahan. Dibangunnya kanal dan parit di dalam kawasan hutan untuk berbagai kegiatan tersebut menjadikan kandungan air gambut berfluktuasi sangat nyata dan mengakibatkan keringnya gambut pada musim kemarau. Menurut data SPTN Wilayah III Katingan kejadian kebakaran di wilayahnya sudah dimulai dari puluhan tahun yang lalu. Tercatat dari data yang diperoleh bahwa kebakaran sudah terjadi sekitar tahun 1965 tepatnya di daerah Sungai Luwangan dan Sungai Ruak Raen, Desa Baun Bango. Pada tahun tersebut terjadi kebakaran hebat yang mengakibatkan ratusan hektar kebun warga habis dilalap api. Hal ini berlangsung setiap tahun pada musim kemarau. Kemudian di pertengahan tahun 2006 juga kembali terjadi kebakaran dalam kawasan TNS kurang lebih 300 Ha terletak di Danau Jalanpangen Desa Baun Bango, dan ratusan hektar lainnya di sekitar Bukit Kaki Desa Mendawai. Kebakaran hutan di dalam kawasan Sebangau menurut WWF Kalteng telah terjadi sebelum tahun 1987, dimana lokasi kebakaran berada di Wilayah Mangkok sekitar Sungai Sebangau. Kemudian pada tahun 1996 terjadi juga kebakaran di daerah Sungai Sarangan Antang. Lebih lanjut pada tahun 1997 dan 2002 terjadi kebakaran yang cukup besar di sekitar wilayah Mangkok, bahkan kebakaran tersebut masuk ke dalam hutan dengan jarak sekitar 300 m sampai 1,5 km dari bantaran Sungai Sebangau. Kemudian areal hutan yang terbakar terjadi juga di Danau Jelutung sekitar Sungai Bangah sepanjang 2 km pada tahun 1997. Kemudian untuk wilayah sungai Rasau tahun 1997 dan 2002 terjadi kebakaran yang besar di ujung parit sekitar 11 km dari sungai Rasau dan diperkirakan api berasal dari arah Sungai Koran dan wilayah hulu Sungai Bangah. Pada tahun 2009, berdasarkan Laporan Bulanan Balai TNS telah terjadi kejadian kebakaran lebih dari 1000 ha di kawasan TNS antara lain di Kelurahan Habaring Hurung, Sungai Bangah, Daerah Sei Timba, Sekitar Pos Bangah, Daerah Mangkok SSI serta arah Jalur Mendawai-Bukit Kaki Km. 12 – 18. Daerah dengan kejadian kebakaran terbesar berada di arah jalur Mendawai-Bukit Kaki seluas 500.052 Hektar, yang merupakan areal semak belukar dan bekas kebakaran tahun 2006. Kerap berulangnya kejadian kebakaran di lokasi ini ditenggarai akibat faktor kesengajaan akibat tingginya resistensi masyarakat baik Desa Mendawai maupun Desa Sei Kaki terhadap keberadaan TNS ditambah dengan adanya permasalahan pembangunan Jalan Mendawai - Bukit Kaki - Palangkaraya yang secara langsung dan tidak langsung telah membuka akses kedalam kawasan sepanjang ± 18 Km membelah kawasan TNS. Perkembangan terkait pembangunan Jalan Mendawai – Bukit Kaki untuk sementara dihentikan dan
21
kelanjutannya menunggu hasil paduserasi RTRWP Kalimantan Tengah. Meskipun demikian telah terbukanya akses di kawasan ini telah terbukti meningkatkan kerawanan kejadian kebakaran.
Gambar 8 Lokasi kebakaran yang terlihat dari peta citralandsat tahun 2006 di TNS Propinsi Kalimantan Tengah. b. Penyebab Kebakaran di TNS tahun 2014 Berdasarkan hasil kegiatan pengukuran langsung (groundchek) dan digitasi luas kebakaran hutan oleh BTNS diketahui bahwa luas kebakaran di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 mencapai ± 4364 ha yang terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober. Dari hasil pencermatan terhadap historikal kebakaran,
22
observasi area bekas kebakaran, serta wawancara investigasi terhadap masyarakat sekitar lokasi kebakaran, BTNS dan mitra NGO (WWF) diketahui penyebab kebakaran hutan gambut di TNS tahun 2014 seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Luas dan penyebab kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 No
Lokasi kebakaran (koordinat)
Luas (ha)
A SPTN Wilayah I Palangka Raya 1 Tangkiling, Resort Habaring Hurung 44.58 (X:113.640 Y:-1.963; X:113.640 Y:1.958) 2 Banturung, Resort Habaring Hurung 23.04 (X:113.706 Y:-2.012; X:113.707 Y:2.006 X:113.706 Y:-2.006; X:113,704 Y:-2.001; X:113.71 Y:-2.012) 3 Marang KM. 17, Resort Habaring 75.53 Hurung (X:113.767;Y:-2.142) 4 Marang KM. 21, Resort Habaring 13.62 Hurung (X:113.716 Y:-2.097) 5 Kereng Bengkirai, Resort Sebangau 23.55 Hulu (X:113.838 Y:-2.299; X:113.840 Y:-2.302) Sub total 180.32 B SPTN Wilayah II Pulang Pisau 1 Sungai Bangah (kiri) Resort Bangah 124.00 (X:114.004 Y:-2.706) 2 Sungai Sebangau, Resort Bangah 509.00 (X:114.048 Y:-2.685) 3 Sungai Bangah (kanan), Resort Bangah 112.00 (X:114.015 Y:-2.693) 4 Sungai Sebangau, Resort Mangkok 150.00 (X:114.042 Y:-2.643) 5 Sungai Sampang, Resort Paduran 1253.18 (X:113.636 Y:-2.778)
Jumlah Hotspot
Penyebab kebakaran
2
Penjalaran api dari aktifitas pembukaan kebun sawit & ladang
2
2 1 3
Penjalaran api dari aktifitas nelayan
2
Penjalaran api dari aktifitas nelayan
1 1 2 7
Penjalaran api dari aktifitas penyiapan sawah & ladang
Sub total 2148.18 C SPTN Wilayah III Katingan 1 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara 88.97 1 Penjalaran api dari Bulan (X:113.501 Y :-2.528) aktifitas nelayan 2 Sungai Bulan (Sept), Resort Muara 55.62 1 Bulan (X:113.467 Y:-2.544) 3 Sungai Musang, Resort Muara Bulan 1291.00 116.38 4 Sungai Landabung, Resort Muara 3 Bulan (X:113.211 Y:-2.462; X:113.213 Y:-2.455; X:113.213 Y:-2.455; X:113.214 Y:-2.464) 5 Sungai Lewang, Resort Muara Bulan 34,65 1 (X : 113.254 Y : -2.346) 449.12 6 Kanal Bukit Kaki, Resort Mendawai 1 Penjalaran api dari (X:113,184 Y:-2.590; X:113.185 Y:aktifitas nelayan, 2.575; X:113.192 Y:-2.574; X:113.193 pembukaan ladang Y:-2.585 X:113.193 Y:-2.1585) dan pencari HHNK Sub total 2 035.74 Total luas kebakaran 4 364.24 Sumber : data kebakaran dari Evlap BTNS (Surat nomor: S.38/BTNS-1/PH/2015)
23
Aktifitas pencarian ikan (melauk) di dalam dan sekitar kawasan TNS atau di bagian DAS Sebangau dan DAS Katingan yang meliputi belasan anak sungai dan ratusan kanal ex-HPH, sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat nelayan di sekitar kawasan. Alat tangkap yang digunakan umumnya bersifat tradisional seperti pancing/banjur, tampirai, rengge, rawai, pangilar, kabam, haup dan bubu (kawat dan bambu). Namun pernah juga ditemukan nelayan yang secara illegal menggunakan strum listrik. Fakta yang ditemukan ialah masih ada nelayan yang sengaja membakar vegetasi di tepi sungai dan kanal yang didominasi oleh tumbuhan semak seperti Rasau (Pandanus atrocarpus) dan kelakai (Stenochlaena palustris). Tumbuhan rasau memiliki tipe akar serabut. Saat musim kemarau atau saat sungai dan rawa Sebangau surut, akar tumbuhan ini akan banyak menyebar di atas permukaan tanah dan sangat mudah sekali terbakar. Tujuan pembakaran adalah pertama untuk membersihkan akses bagi jalur klotok/perahu kecil saat mencari ikan di awal musim kemarau, dan kedua untuk menciptakan ruang terbuka baru sebagai tempat ikan bermain dan berkumpul saat awal musim hujan. Bekas kebakaran hutan akan meninggalkan lebak-lebak/ cerukan yang ditumbuhi rumput-rumput yang baru. Cerukan ini merupakan tempat ideal untuk memasang alat tangkap berupa tempirai, rawai dan sebagainya pada awal musim hujan. Ikan tertentu seperti patung dan biawan menyukai tempat yang agak terbuka dan mengundang ikan-ikan predator lainnya ke tempat ini, sehingga saat awal musim hujan nelayan bisa mendapatkan tangkapan yang lebih banyak. Menurut nelayan hasil tangkapan ikan terbanyak didapat saat musim ikan yaitu awal musim kemarau (saat air mulai menyurut) dan awal musim hujan (saat air mulai naik). Fakta lain yang ditemukan di lapangan ialah adanya aktifitas pembukaan lahan untuk kebun sawit oleh masyarakat dengan cara pembakaran lahan yang lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan TNS, tepatnya di wilayah Palangkaraya. Menurut masyarakat, pengurus desa dan petugas resort, pembakaran ini memang sengaja dilakukan. Api yang tidak bisa dikendalikan menjalar ke dalam kawasan TNS, bahkan ke ladang/kebun milik orang lain yang sudah ditanami. Pada desa-desa transmigrasi yang masyarakatnya mayoritas bertani, seperti di Kecamatan Sebangau Kuala, Pulang Pisau dan Kecamatan Mendawai, Katingan, diketahui bahwa pembakaran juga dilakukan sebagai teknik untuk membersihkan alang-alang, perdu, rumput dan tumbuhan liar/semak belukar dalam tahap penyiapan ladang untuk selanjutnya ditugal guna ditaburi benih padi. Aktifitas ini dilakukan saat bulan Juli s.d September dengan cara melakukan pembakaran secara gotong royong. Lokasi ladang biasanya jauh dari pusat pemukiman namun dekat dengan kawasan TNS. Kondisi hutan rawa sekunder dan semak belukar yang kering akan mudah terbakar jika ada lompatan api yang tidak disadari oleh pelaku pembakaran. Serasah dari tumbuhan, sisa cabang, ranting dan daun yang mati termasuk rumput-rumput kering di dalam kawasan TNS akan meningkatkan ketersediaan bahan bakar yang telah ada. Pada saat musim kering, bahan bakar yang menumpuk ini akan menurun kadar airnya dan menjadi mudah terbakar. Namun apabila kelembaban bahan bakar tinggi, kebakaran hutan dapat dikurangi, akan tetapi aktivitas manusia yang berhubungan dengan api menjadi pemicu utama
24
terjadinya kebakaran hutan gambut. Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat (iklim mikro). Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, kerapatan jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran si sutau daerah, sebab iklim mikro juga mempengaruhi kecepatan angin, suhu udara, kelembabab udara serta kadar air bahan bakar. Kondisi hutan rawa sekunder dan semak belukar yang kering akan mudah terbakar jika ada lompatin api yang tidak disadari oleh pelaku pembakaran.
Gambar 9 Kebun sawit rakyat dan sawah tadah hujan di sekitar kawasan TNS (atas); Tumbuhan rasau dan perakaran rasau yang sangat mudah terbakar saat musim kering (bawah) Nilai kerugian kebakaran hutan gambut Menurut Pearce dan Moran (1994), nilai ekonomi total yang didapat dari formula yang ada sebenarnya tidaklah benar-benar nilai ekonomi total dan mungkin nilai sebenarnya masih jauh lebih besar lagi. Alasannya adalah : 1). nilai tersebut masih belum mencakup seluruh nilai konservasi hutan dan 2). banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total tidak dapat dihitung dengan formula sederhana karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya jauh lebih besar dari nilai fungsi tunggal. Dalam kaitannya dengan kerugian akibat kebakaran ekosistem gambut khususnya di TNS, nilai tersebut minimal dapat menunjukkan betapa pentingnya upaya pencegahan kebakaran guna menghindari nilai kerugian berupa kerusakan sumber
25
daya yang ada dan biaya lain yang ditimbulkan akibat dampak kebakaran ekosistem gambut di TNS. Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh total nilai estimasi kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan gambut pada tahun 2014 di dalam kawasan TNS seluas ± 4364 ha adalah mencapai Rp134 405 786 127,(Seratus Tiga Puluh Empat Milyar Empat Ratus Lima Juta Tujuh Ratus Delapan Puluh Enam Ribu Seratus Dua Puluh Tujuh Rupiah). Adapun uraian dan pembahasannnya dijelaskan sebagai berikut. Tabel 6 Kerugian total kebakaran ekosistem hutan gambut Sebangau tahun 2014 No.
Jenis kerugian
%
Nilai total (Rp)
1
Nilai kerugian kayu potensial (NKP)
74 563 218 579
55.58
2 3 4 5 6
Nilai kerugian hasil hutan non kayu (NHHNK) Nilai kerusakan Habitat TSL (NHTSL) Nilai kerugian sektor Transportasi (NT) Nilai kerugian Kesehatan masyarakat (NKM) Nilai kerugian perikanan (NI)
22 328 979 324 16 137 129 418 1 302 292 887 115 325 000 1 258 454 000
16.64
7
Nilai karbon hilang akibat kebakaran (NKH)
17 380 131 919
12.95
8
Nilai kegiatan pemadaman Kebakaran (NPK)
1 320 255 000
0.78
Total
12.02 0.97 0.08 0.93
134 405 786 127
Kerapatan (N / ha)
1. Kerugian Kayu Potensial (NKP) Pada dasarnya pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu tidak diperkenankan di dalam kawasan konservasi TNS, namun demikian perlu kiranya untuk diketahui berapa besar potensi kerusakan terhadap tegakan pohon yang ada dan nilai ekonomi kayu potensial yang hilang akibat kejadian kebakaran hutan gambut agar bisa dijadikan tolok ukur bahwa kawasan tersebut memiliki stok potensi kayu yang juga bisa dinilai secara ekonomi. Hasil pengukuran pada areal bekas terbakar menunjukkan rata-rata diameter pohon yang mati dan rusak akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 adalah lebih kecil dari 30 cm. Adapun jumlah pohon per hektar berdasarkan kelas diameter pada lokasi terdekat dalam satu hamparan dengan areal kebakaran di SPTN Wilayah I Palangka Raya dijelaskan pada Gambar 10. 120 100 80 60 40 20 0
100
103 59
47 12
10-20
20-29
30-39
40-49
50 up
diameter
Gambar 10 Jumlah pohon per hektar berdasarkan kelas diameter di Resort Sebangau Hulu, SPTN Wilayah I Palangka Raya
26
Berdasarkan peta tutupan vegetasi TNS, lokasi kebakaran di SPTN I Palangka Raya termasuk dalam hutan sekunder sehingga potensi kayunya cukup tinggi. Lokasi kebakaran di SPTN II Wilayah Pulang Pisau dan SPTN III Wilayah Katingan merupakan lokasi yang pernah mengalami kebakaran pada tahun-tahun sebelumnya dan termasuk dalam tipe tutupan vegetasi belukar rawa dan tidak ada pohon yang berdiameter diatas 30 cm pada lokasi kebakaran, sehingga seluruh jenis kayu yang ada dimasukkan kedalam kelompok Kayu Bulat Kecil (KBK) guna menghitung harga pasarnya. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan di area bekas terbakar dapat diketahui jenis-jenis pohon yang terbakar (Tabel 7) dan tingkat kerusakan yang dialaminya. Untuk memudahkan penghitungan harga maka jenis-jenis pohon pada lokasi bekas kebakaran dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/KPTS-II/2003 dan harga patokan hasil hutan kayu berdasarkan Surat Edaran Nomor : SE.3/Menhut-VI/BIKPHH/2014. Nilai kerugian ekonomi kayu potensial diukur berdasarkan volume pohon yang rusak dan mati. Pohon bernilai ekonomis dibatasi untuk diamater > 20 cm. Kemudian sebagai dasar harga digunakan harga patokan hasil hutan kayu yang berlaku di Kalimantan Tengah sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/KPTS-II/2003 dan harga patokan hasil hutan kayu berdasarkan Surat Edaran Nomor : SE.3/Menhut-VI/BIKPHH/2014. yaitu : Rp1 270 000/m3 untuk kelompok meranti/ komersial 1; Rp953 000 /m3 untuk kelompok rimba campuran atau komersial 2; Rp550 000/m3 untuk kelompok Kayu Bulat Kecil atau diameter <30 cm dan Rp2 363 000 /m3 untuk kelompok kayu indah/ ramin. Tabel 7 Pengelompokan jenis kayu ekonomis pada area bekas terbakar di TNS berdasarkan kelompok perdagangan No 1
Kelompok kayu Kelompok meranti/ komersial 1
2
Kelompok jenis rimba campuran/ komersial 2
3
Kelompok Kayu Bulat Kecil (KBK)
4
Kelompok Kayu Indah
Jenis 1. Belangiran Shorea belangeran 2. Meranti lanan Shorea leprosula 3. Keruing Dipterocarpus grandiflorus 4. Meranti merah Shorea parvifolia 5. Meranti batu Shorea teysmanniana 6. Nyatoh Palaquium sp 7. Jelutung Dyera lowii 1. Asam asam Dicryoneura acumonata 2. Banitan/ terepis Polyalthia glauca 3. Bintangur Palaquium rostratum 4. Pasir pasir Stemonurus scorpioides 5. Galam tikus Eugenia spicata 6. Gerunggang Cratoxylum glaucum 7. Jambu jambu Eugenia sp. 8. Malam malam Diospyros bantamense 9. Kempas Koompassia malaccensis 10. Ketiau Madhuca mottleyana 11. Mendarahan Myristica sp 12. Pisang pisang Mazzetia sp 13. Simpur Dillenie excelsa 14. Terentang Campnospermum macrophyllum 15. Tumih Combretocarpus rotundus Semua jenis pohon dengan diameter < 30 cm kecuali Ramin 1. Ramin Gonystylus bancanus
27
Berdasarkan kondisi vegetasi, fire severity dikelompokkan oleh De Bano (1998) sebagai berikut : a. Low fire severity; Sekurang-kurangnya 50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi bertunas, atau mati akar (tidak bertunas). Lebih dari 80% pohon yang rusak dapat bertahan hidup. b. Moderate fire severity; Antara 20–50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak, 40–80% pohon yang terbakar dapat bertahan hidup. C. High fire severity; Kurang dari 20% pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40% pohon yang rusak dapat bertahan hidup. Tingkat keparahan (fire severity) kebakaran pada tahun 2014 ini termasuk dalam kelas moderate fire severity karena tingkat kerusakan pohon pada area kebakaran hutan mencapai 46%, selebihnya masih dijumpai pohon hidup dan bahkan tumbuh trubusan baru seperti pada jenis Shorea belangeran, Eugenia sp dan Malaleuca sp. Jenis-jenis pohon yang mati disebabkan oleh 1) terbakar hangus, 2) roboh seluruhnya dan 3) sengaja ditebang saat kegiatan pemadaman untuk menghindari penjalaran api. DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat mengubah komposisi dan kondisi vegetasi hutan. Kerusakan ini dapat menyebabkan kematian vegetasi hutan. Khususnya pada tegakan pohon dapat menimbulkan cacat permanen, merangsang hama penyakit hutan pada bagian tegakan pohon yang mengalami perlukaan, menurunkan riap produksi kayu, merusak anakan dan tanaman muda, merusak tata air serta melumpuhkan fungsi lindung hutan.
Gambar 11 Trubusan atau tunas baru yang muncul di bawah pohon yang terbakar dan merana di lokasi bekas kebakaran hutan Secara ekonomi, tegakan pohon di alam yang sudah rusak atau cacat akibat terbakar tidak memiliki nilai kayu lagi karena tidak memiliki nilai pasar. Sehingga kerugian yang timbul akibat kebakaran hutan yang terjadi sudah cukup besar jika dilihat dari nilai kayu saja. Meskipun demikian tidak berarti pohon-pohon yang rusak tersebut sudah tidak bernilai lagi karena masih ada nilai lain yang tersimpan seperti stok karbon yang tersisa, habitat satwa liar dan lain sebagainya. Nilai kerugian akibat kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 berdasarkan penghitungan kerusakan tegakan pohon yang memiliki nilai kayu potensial secara
28
ekonomis saat ini, mencapai Rp ± 74.5 Milyar (Tabel 9). Potensi tegakan pohon yang terparah terjadi pada lokasi kebakaran di SPTN I wilayah Palangka Raya sedangkan pada wilayah SPTN II Pulang Pisau dan SPTN III Katingan merupakan areal yang pernah terbakar namun masih memiliki potensi kayu dengan diameter rata-rata dibawah 30 cm. Tabel 8 Estimasi nilai kerugian kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 No
Lokasi kebakaran
Luas kebakaran (Ha)
Derajat kerusakan
Harga (Rp) dan potensi volume kayu komersil (m3/ha) Komersial 1
Komersial 2
1 270 000/m3
953 000/m3
KBK
Ramin
Estimasi kerugian (Rp)
550 000/m3 2 363 000/m3
1
SPTN Wil I Palangkaraya
180.32
0.46
65.62
71.07
50.51
1.32
15 093 634 065
2
SPTN Wil II Pulang Pisau
2148.18
0.46
-
-
50.51
1.32
30 533 894 545
3
SPTN Wil III Katingan
2035.74
0.46
-
-
50.51
1.32
28 935 689 970
Total
74 563 218 579
Gambar 12 Identifikasi lokasi bekas kebakaran hutan gambut di wilayah Resort Sebangau Hulu, SPTN I Palangka Raya 2. Kerugian hasil hutan non kayu (HHNK) potensial Hasil hutan non kayu adalah bahan-bahan atau komoditas yang didapatkan dari hutan tanpa harus menebang pohon. Hasil hutan non kayu dipandang sebagai cara alternatif dalam menggerakkan perekonomian kehutanan selain dengan melakukan penebangan kayu. Hasil hutan non-kayu juga terbukti mampu
29
menghasilkan diversitas perekonomian suatu wilayah termasuk di desa-desa penyangga kawasan konservasi TNS. Sebenarnya banyak sekali jenis hasil hutan non kayu yang diakses oleh masyarakat dari dalam kawasan TNS. Namun pada penelitian ini hanya dibatasi untuk jenis 1) getah pohon pantung/ jelutung Dyera lowii, 2) kulit pohon gemor Nothaphoebe coriacea dan 3) batang rotan Calamus sp (Gambar 13). Secara alami jelutung rawa dapat tumbuh baik di rawa-rawa dengan regenerasi yang juga cukup baik. Jenis pohon jelutung rawa Dyera lowii juga merupakan salah satu spesies untuk kegiatan rehabilitasi atau pengkayaan jenis di kawasan TNS. Data populasi pohon jelutung di TNS di dekati dari jumlah pohon jelutung yang disadap oleh masyarakat di Resort Sebangau Hulu Palangka Raya. Dalam setiap jalur sadap sepanjang ± 2 km, setiap regu penyadap bisa menyadap ± 30 pohon per hektar dengan hasil sadapan sebanyak ¾ kwintal dan disadap sebanyak 2 kali dalam setahun. Getah pantung (jelutung) merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi masyarakat di sekitar TNS. Getah pantung biasanya dijual kepada pengumpul di desa, yang kemudian dijual lagi ke perusahaan pengolah dan eksportir di kota Palangka Raya. Harga getah jelutung di tingkat penyadap ialah ± Rp415 000/kwintal.
Gambar 13 HHNK yang dimanfaatkan masyarakat desa penyangga kawasan TNS berupa kulit Gemor dan Rotan Selain jelutung hasil hutan non kayu lainnya yang potensial dan memiliki nilai ekonomi ialah kulit batang gemor Nothaphoebe coriacea. Harga kulit gemor di tingkat peramu pada tahun 2009 di Palangka Raya berkisar Rp7000/kg dan harga tersebut cenderung naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan wawancara
30
terhadap pengumpul kulit gemor di desa Baun Bango, Katingan dan desa Sebangau Permai, Pulang Pisau pada tahun 2014 harga gemor mencapai Rp12000/kg. Dari hasil wawancara terhadap pengumpul kulit gemor diketahui untuk luas lahan 1 hektar bisa diperoleh kulit gemor sebanyak ½ ton apabila pengambilan dilakukan dengan cara menguliti sebagian batang pohon gemor. Namun terkadang para pengumpul kulit gemor melakukan pemanenan dengan cara menebang batang pohon gemor tersebut sehingga hal ini harus menjadi perhatian bagi pengelola kawasan. Jenis Rotan yang banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar kawasan TNS diantaranya adalah rotan taman/sega Calamus caesius, rotan irit Calamus trachycoleus, rotan semambu Calamus scipionum, rotan buyung, rotan bulu, dan rotan marau/manau dengan harga rata-rata Rp4 500 /kg. Dari hasil wawancara dengan pengumpul rotan di Desa Mendawai, Kabupaten Katingan diketahui bahwa potensi rotan yang bisa dipanen dari kawasan hutan oleh mereka kurang lebih sebesar 1 ton per hektar setiap tahunnya. Adapun nilai yang diperoleh dari kerugian akibat kebakaran hutan terhadap 3 jenis hasil hutan non kayu setelah memperhitungkan tingkat keparahan kerusakan kebakaran tahun 2014 di TNS adalah sebesar Rp22 328 979 324/tahun. Tabel 9 Estimasi nilai kerugian Hasil Hutan Non Kayu potensial akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 No
Lokasi kebakaran
Luas Potensi nilai di alam (Rp/tahun) Derajat kebakaran Getah pantung Kulit gemor Rotan kerusakan (Rp 4 150/kg) (Rp 12 000/kg) (Rp 4 500/kg) (Ha)
Estimasi kerugian (Rp/tahun)
1
SPTN Wil I Palangkaraya
180.32
0.46
112 249 200
1 081 920 000
811 440 000
922 580 232
2
SPTN Wil II Pulang Pisau
2148.18
0.46
1 337 242 050
12 889 080 000
9 666 810 000
10 990 840 743
3
SPTN Wil III Katingan
2035.74
0.46
1 267 248 150
12 214 440 000
9 160 830 000
10 415 558 349
Total
22 328 979 324
3. Kerugian sektor perikanan Kawasan TNS terletak diantara sungai Katingan dan sungai Sebangau. Sungai Katingan merupakan sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah yang memanjang ke laut jawa. Bagian tengah DAS Katingan mendapat tambahan air dari sungai-sungai kecil yang berhulu di dalam kawasan Sebangau seperti sungai Bulan, sungai Musang, sungai Landabung dan kanal Bukit Kaki. Hulu DAS Sebangau merupakan hutan rawa gambut di SPTN Wilayah I Palangka Raya. Bagian dari DAS Sebangau yang termasuk dalam kawasan TNS diantaranya sub DAS Rasau, sub DAS Bangah, sub DAS Bakung dan sub DAS Sampang, desa-desa yang mengakses ikan tangkap di DAS ini ialah Desa Kereng Bengkirai Kota Palangkaraya dan Desa-desa di kecamatan Sebangau Kuala diantaranya Paduran Sebangau, Paduran Mulya, Sebangau Permai, Mekar Jaya, Sebangau Jaya, Sei Hambawang dan Sei Bakau, Kabupaten Pulang Pisau. Aktifitas pencarian ikan (melauk) di sungai Sebangau ternyata memang sudah dilakukan secara turun temurun oleh para pencari ikan di Kelurahan Kereng Bengkirai yang merupakan pemukiman di daerah hulu sungai Sebangau. Hampir seluruh pencari ikan memiliki dan menggunakan sampat/ klotok dalam
31
beraktifitas. Alat tangkap yang digunakan umumnya bersifat tradisional seperti pancing/banjur, tampirai, rengge, rawai, pangilar, kabam, haup dan bubu (kawat dan bambu). Namun pernah juga ditemukan nelayan yang secara illegal menggunakan strum listrik. Desa-desa asal nelayan yang mengakses sumber daya perikanan di sungai – sungai, kanal dan rawa di sekitar lokasi kebakaran hutan di kawasan Sebangau tahun 2014 serta jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis yang dimanfaatkan, diantaranya diuraikan pada Tabel berikut. Tabel 10 Jenis dan harga ikan yang diakses oleh nelayan di sekitar lokasi kebakaran TNS tahun 2014 No 1
2
Wilayah DAS/ sub DAS DAS Sebangau - Sub DAS Rasau - Sub DAS Bangah - Sub DAS Bakung - Sub DAS Sampang
Desa asal nelayan yang mengakses 1. Kereng Bengkirai 2. Paduran Sebangau 3. Paduran Mulya 4. Sebangau Permai 5. Mekar Jaya 6. Sebangau Jaya
DAS Katingan 1. Keruing - Sub DAS Bulan 2. Galinggang - Sub DAS Musang 3. Tumbang Bulan - Sub DAS 4. Perigi Landabung 5. Mendawai - Kanal Bukit Kaki Jumlah nelayan wilayah dampak
Jumlah nelayan 332 5 4 6 3 3 35 49 43 36 56
Jenis ikan yang dipasarkan a) Banta Osteochilus tripolos b) Bapuyu/betok Anabas testudineus c) Baung Mystus nemurus d) Kakapar/kapar Belontia hasselti e) Karandang Channa pleuropthalmus f) Kihung Channa melanopterus g) Patung Pristolepis grooti h) Peang Channa sp. i) Pentet/lele Clarias sp. j) Puhing Chycocheliichthys apogon k) Sapat rawa Trichogaster tricopterus l) Tahuman/toman Channa sp m)Tapah Wallago leeri
Harga (Rp/Kg) 2 500 5 500 25 000 27 500 15 000 30 000 30 000 30 000 6 000 6 000 5 000 30 000 27 500
628
Sumber : Data potensi desa dan wawancara
Jumlah nelayan paling banyak berasal dari kelurahan Kereng Bengkirai yaitu berjumlah 332 orang. Mereka sengaja membuat pondok untuk tinggal di muara-muara sungai kecil yang bermuara di sungai Sebangau. Sekali 2 minggu akan datang pengumpul ikan untuk membeli ikan hasil tangkapan mereka. Desadesa yang ada di bagian hilir sungai Sebangau atau di kecamatan Sebangau Kuala Kabupaten Pulang Pisau merupakan desa transmigrasi yang sebagian besar masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan. Dari hasil identifikasi dan wawancara terhadap para nelayan diketahui bahwa hasil tangkapan ikan terbanyak didapatkan oleh mereka saat awal musim kemarau (saat air mulai menyurut) dan awal musim hujan (saat air mulai naik). Kebakaran hutan yang terjadi sejak awal bulan September hingga akhir bulan Oktober 2014 di bagian hulu dan tengah sungai Sebangau (Resort Sebangau Hulu, SPTN Wilayah I Palangka Raya dan Resort Mangkok – Resort Bangah SPTN Wilayah II Pulang Pisau) dan di sekitar sungai Bulan, sungai Musang, sungai Landabung dan kanal bukit Kaki (Resort Muara Bulandan Resort Mendawai, SPTN Wilayah III Katingan) berpengaruh terhadap total nilai ikan yang mereka kumpulkan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan dan pengumpul ikan terjadi penurunan kuantitas ikan yang diperjual-belikan dari pondok-pondok nelayan di sungai Sebangau dan sungai Bulan sejak akhir Agustus dan hingga pertengahan Oktober 2014 dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya saat tidak terjadi kebakaran hutan. Hal ini bisa saja terjadi karena rawa-rawa tempat ikan berpijah menjadi surut sedangkan lokasi-lokasi yang masih tergenang sangat jauh untuk diakses oleh nelayan. Selain itu dampak dari asap kebakaran disadari juga
32
membuat kinerja mereka menjadi menurun, baik dari segi waktu pencarian ikan dengan menggunakan alat tangkap jala atau pemasangan perangkap ikan, maupun dari aspek kesehatan nelayan itu sendiri. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Rata-rata tangkapan saat tidak ada kebakaran (Kg/bln) Rata-rata tangkapan sewaktu kebakaran (Kg/bln)
Gambar 14 Rata-rata tangkapan ikan oleh nelayan di sungai dan rawa TNS Hasil estimasi terhadap nilai kerugian sektor perikanan tangkap di sekitar sungai Sebangau dan sungai Katingan akibat kebakaran hutan di TNS tahun 2014 ini mencapai nilai Rp1258 454 000 yang diukur selama 2 bulan waktu dampak dengan rincian sebagai berikut. Tabel 11 Estimasi Nilai kerugian sektor perikanan akibat kebakaran hutan TNS tahun 2014 No 1.
2
Wilayah dampak (lokasi nelayan) DAS Sebangau - Sub DAS Mangkok - Sub DAS Bangah - Sub DAS Bakung - Sub DAS Sampang DAS Katingan - Sub DAS Bulan - Sub DAS Musang - Sub DAS Landabung - Kanal Bukit Kaki Total
Luas kebakaran (ha)
Jumlah nelayan (KK)
Rata-rata Penurunan hasil ikan (Rp/bulan)
Lama dampak (bulan)
2328.5
353
984.000
2
694 704 000
2035.74
275
1.025.000
2
563 750 000
Kerugian sektor perikanan (Rp)
1 258 454 000
Menurut persepsi masyarakat dampak kebakaran hutan saat musim kemarau tidak dirasakan langsung oleh nelayan yang bermukim di daerah kelurahan/desa (pemukiman tetap) dikarenakan mereka menilai saat terjadi kebakaran hutan dan banyak asap mereka biasanya beralih ke jenis pekerjaan yang lain. Persepsi ini merupakan permasalahan yang harus menjadi perhatian bagi pengelola kawasan karena berhubungan dengan masalah penyebab kebakaran hutan yaitu masyarakat tidak menyadari kerugian ekonomi yang timbul terhadap usaha perikanan sehingga upaya pembakaran Rasau dikhawatirkan terus terjadi. Penurunan hasil tangkapan terlihat nyata bagi nelayan yang mendirikan pondok-pondok di pinggir sungai baik di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Adanya dampak asap kebakaran hutan membuat waktu untuk memulai aktifitas mencari ikan menjadi tertunda; frekuensi kegiatan mencari ikan menurun dan ruang jelajah mencari ikan bertambah jauh. Selain itu variasi jenis alat tangkap ikan yang bisa digunakan saat terjadi kebakaran hutan menjadi terbatas.
33
Gambar 15 Pondok nelayan di sungai Sebangau dan sungai Katingan, Klotok nelayan yang tidak beroperasi dan potensi ikan dari rawa TNS 4. Kerugian sektor transportasi Kerugian terhadap sektor transportasi diprediksi dialami oleh pengusaha transportasi sungai dan udara sehingga kerugian total merupakan penjumlahan dari masing-masing kerugian tidak beroperasinya moda transportasi tersebut dan penurunan jumlah penumpang. Nilai kerugian tersebut dihitung dengan pendekatan produktivitas pengusaha transportasi umum pada wilayah terkena dampak selama periode dampak. Sungai Sebangau merupakan jalur transportasi air yang menghubungkan kota Palangka Raya dengan daerah transmigrasi di kecamatan Sebangau Kuala dan daerah Muara Bantanan (Kabupaten Pulang Pisau bagian selatan) serta daerah Muara Pagatan (Kabupaten Katingan bagian selatan). Sumber air di DAS Sebangau berasal dari daerah hulu yang merupakan kawasan hutan gambut di Resort Sebangau Hulu SPTN I Palangka Raya dan pada bagian tengah mendapat tambahan dari sub DAS Rasau, sub DAS Mangkok dan sub DAS Bangah yang termasuk dalam wilayah kerja SPTN II Pulang Pisau. Jenis transportasi umum yang ada di sungai sebangau ialah Spedboat 200PK dengan kapasitas penumpang 20 orang dan jadwal keberangkatan 2 kali Pulang Pergi per 1 minggu. Dampak asap terhadap transportasi air tidak terlalu dirasakan oleh pelaku usaha transportasi air karena hanya membuat jadwal keberangkatan speedboat saat pagi hari menjadi tertunda 1 – 2 jam. Dampak yang paling dirasakan ialah banyaknya endapan atau sampah organik yang menghalangi badan sungai saat musim kemarau.
34
Kejadian kebakaran hutan gambut di dalam kawasan Sebangau mengakibatkan terbukanya vegetasi dan meningkatnya erosi tanah dan jumlah endapan-endapan organik (sisa-sisa batang, cabang, ranting, semak dll) yang terbawa ke badan sungai Sebangau. Berdasarkan observasi dan wawancara terhadap pelaku usaha transportasi air di Sungai Sebangau, pada saat musim kemarau dan air di rawa gambut menyusut, maka sungai Sebangau akan mengalami pendangkalan dan banyak sekali sampah organik sisa pembakaran yang menghalangi alur sungai sehingga transportasi air tidak bisa beroperasi. Nilai kerugian akibat moda tranportasi air yang tidak beroperasi selama 10 minggu khusus untuk di Sungai Sebangau adalah sebesar Rp185 600 000. Sedangkan dari hasil wawancara terhadap pelaku usaha transportasi air di sungai Katingan, diketahui bahwa dampak asap kebakaran tidak begitu berpengaruh bagi operasional transportasi air karena menurut mereka asap yang ada tidak begitu parah dan spedboat tetap bisa melewati badan sungai Katingan yang memang cukup besar. Khusus dampak asap kebakaran terhadap transportasi udara, wawancara dilakukan terhadap Balai Meteorologi Bandara Tcilik Riwut Palangka Raya, Petugas posko siaga kebakaran hutan dan lahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sedang melaksanakan operasi pemadaman lewat udara dan kantor cabang maskapai penerbangan yang beroperasi di Kalimantan Tengah pada tahun 2014 yaitu Garuda Indonesia, Lion Air dan Susi Air. Dari hasil wawancara diketahui bahwa asap kebakaran hutan, lahan dan pekarangan di kota Palangka Raya berpengaruh terhadap kondisi jarak pandang yang diperbolehkan untuk melakukan penerbangan dan pendaratan di bandara Tcilik Riwut Palangka Raya. Selain itu, pergerakan angin pada bulan Agustus–Oktober 2014 juga terkadang berasal dari arah selatan dan tenggara. Maka dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan gambut di TNS, khususnya di wilayah Palangka Raya ikut memberikan dampak terhadap transportasi udara.
Gambar 16 Jarak pandang dari dan ke Bandara Tcilik Riwut Palangka Raya pada dasarian I bulan Agustus s.d dasarian III bulan Oktober 2014 Jarak pandang minimal untuk melakukan lepas landas atau pendaratan di bandara berbeda-beda pada setiap maskapai namun biasanya di bawah jarak pandang 500 meter tidak dianjurkan untuk melakukan pendaratan atau lepas landas. Sebagai contoh dampak asap terhadap tranportasi udara selama periode dampak dimulai sejak dasarian I Agustus sampai dasarian III bulan Oktober 2014, maskapai Garuda Indonesia tidak beroperasi sebanyak 11 kali; 1 kali
35
penerbangan dibatalkan; 61 kali delay; 1 kali penerbangan dialihkan ke Surabaya; 2 kali dialihkan ke Balikpapan, dan 2 kali dialihkan ke Banjarmasin. Pada dasarnya tidak semua asap kebakaran yang berpengaruh pada sektor transportasi udara berasal dari kebakaran di kawasan TNS. Untuk menghitung nilai kerugian terhadap dampak transportasi akibat asap dari kebakaran di kawasan TNS maka dipilih nilai koreksi sebesar 20,08% dari total kerugian sektor transportasi udara akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kota Palangka Raya. Nilai koreksi 20.08% ditentukan berdasarkan pendekatan persentase jumlah hotspot di SPTN I Wilayah Palangka Raya dengan jumlah hotspot di kota Palangka Raya selama periode dampak. Berdasarkan rekapitulasi data hotspot satelit NOAA18 dari Direktorat PKH (http://www.indofire.org/indofire/hotspot) sejak awal Agustus hingga akhir Oktober 2014 jumlah hotspot yang ada di wilayah kota Palangka Raya adalah sebanyak 239 sedangkan yang terletak didalam kawasan Sebangau (SPTN Wil. I Palangka Raya) berjumlah 48. Hasil etimasi kerugian terhadap transportasi udara selama dampak asap di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2014 ialah Rp5 560 200 000 sehingga nilai kerugian yang diakibatkan oleh sumbangsih asap dari kawasan TNS bila didekati menggunakan peresentase jumlah hotspot adalah sebesar Rp1 116 692 887,Tabel 12 Estimasi dampak asap kebakaran tahun 2014 dari kawasan TNS terhadap kerugian transportasi No 1
2
Moda transportasi terkena dampak Transportasi Air (Spedboat umum di Sungai Sebangau, rute Kereng Bengkirai ,Palangka Raya – Sebangau Kuala – Muara Bantanan ∑ Trip / minggu Lama dampak ∑ penumpang/ trip Harga tiket (Rupiah) (minggu) 4 kali 10 20 232 000 Transportasi Udara Maskapai Tidak/gagal ∑ penumpang Harga tiket Kerugian operasi (Rupiah) maskapai Susi air 34 14 450 000 214 200 000 Garuda air 17 162 1 100 000 3 029 400 000 Lion air 22 162 650 000 2 316 600 000 Total
Nilai Kerugian (Rp)
185 600 000
1 116 692 887
1 302 292 887
5. Kerugian kesehatan masyarakat Asap biomassa yang keluar pada kebakaran hutan mengandung beberapa komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel (Brauer 2007). Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran napas (ISPA). Komponen gas dalam biomassa besar yang mengganggu kesehatan adalah karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan aldehid. Beberapa senyawa lain seperti ozon (O3), karbon dioksida (CO2) dan hidrokarbon juga mempunyai dampak buruk terhadap paru-paru. Untuk menghitung kerugian pada aspek kesehatan masyarakat dilakukan dengan pendekatan human capital berupa biaya pengobatan pada desa/kelurahan yang terdekat atau berbatasan langsung dengan lokasi kebakaran hutan gambut.
36
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan (mantri) dan bidan dari 15 desa yang terpilih (Gambar 17), diketahui bahwa sejak bayi masih berumur 1 minggu sudah bisa terkena ISPA akibat polusi udara dari asap kebakaran hutan gambut. Selain itu partikulat-partikulat yang ada di asap kebakaran hutan dapat mengendap pada makanan dan mengakibatkan meningkatnya penderita diare.
Gambar 17 Wawancara dengan kepala puskesmas, mantri dan bidan 350 300 250 200 150 100 50 0
Jumlah pasien saat tidak kebakaran (jiwa) Jumlah pasien saat periode dampak (jiwa)
Gambar 18 Jumlah pasien ISPA di desa sekitar lokasi kebakaran TNS di bulan saat tidak ada kebakaran dan saat ada kebakaran hutan Dari data laporan W2 UPTD Puskesmas Kereng Bengkirai kota Palangka Raya tahun 2014 pada minggu-minggu selama dan paska kebakaran hutan yaitu pada bulan September hingga November diketahui bahwa jumlah pasien terkait
37
ISPA dan diare meningkat sebanyak 252 orang yang terdiri dari 173 orang pasien umur diatas 5 tahun, 44 orang pasien berumur 1-5 tahun dan 21 orang pasien dibawah umur 1 tahun. Berdasarkan data dari puskesmas Sebangau Kuala Kabupaten Pulang Pisau bahkan dijumpai pasien berusia di atas 70 tahun dan dibawah 1 tahun yang meninggal dunia akibat ISPA pada bulan September 2014. Nilai kerugian kebakaran hutan di kawasan TNS terhadap aspek kesehatan masyarakat dihitung berdasarkan peningkatan jumlah pasien ISPA dan Diare ke Puskesmas, bidan /mantri dan dokter praktek serta jumlah masyarakat yang mengeluarkan biaya untuk membeli obat dan masker secara pribadi di desa yang terpapar asap selama periode dampak yaitu bulan September – November 2014. Adapun nilainya adalah sebesar Rp115 325 000 dan diuraikan sebagai berikut. Tabel 13 Nilai kerugian kesehatan masyarakat akibat asap dari kebakaran hutan di kawasan TNS tahun 2014 No 1
Desa kena dampak Kereng Bengkirai
2
Habaring Hurung
3
Banturung
Jumlah penduduk 7517
Jumlah KK 2036
Peningkatan Pasien ISPA & Diare 538
Jumlah KK berobat sendiri 1425
Nilai kerugian (Rp) 41 093 000
917
241
67
153
4 704 500
3367
1074
197
609
16 277 500
4
Sebangau Permai
1338
378
104
202
6 700 000
5
Mekar Jaya
1065
318
82
233
6 455 000
6
Sebangau Jaya
408
180
37
90
2 720 000
7
Paduran Mulya
516
156
36
88
2.610.000
1234
401
92
267
7 255 000
748
238
65
111
3 865 000
8
Sebangau Mulya
9
Baun Bango
10
Keruing
11
Galinggang
12 13
490
156
43
73
2 545 000
1613
514
71
308
6 665 000
Tumbang Bulan
503
186
34
118
2.910.000
Perigi
470
137
44
59
2 455 000
14
Mendawai
975
292
69
146
4 485 000
15
Mekartani
712
264
53
185
4 585 000
Total
115 325 000
Meskipun luas kebakaran hutan di TNS pada tahun 2014 terbilang cukup luas, namun berdasarkan hasil wawancara pada puskesmas dan masyarakat di desa-desa penyangga kawasan menunjukkan bahwa nilai kerugian terhadap aspek kesehatan masyarakat tidak terlalu besar. Hal ini bisa disebabkan jumlah penduduk yang ada di sekitar kawasan TNS memang tidak terlalu padat dan lokasi kebakaran jauh dari pemukiman. Populasi tertinggi ada di kelurahan Kereng Bengkirai yang terletak di kota Palangka Raya sedangkan kebakaran terluas terjadi di SPTN II Pulang Pisau dan SPTN III Katingan. 6. Nilai kerugian kerusakan habitat Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) Kawasan TNS merupakan habitat terbesar populasi satwa langka orangutan borneo (Pongo pygmaeus) yaitu sekitar 6200–6900 individu (Husson 2004) dan juga habitat terbesar pupulasi owa (Hylobates agilis albibarbis), yaitu ± 19 000 individu (Buckely 2006). Dari hasil observasi mamalia oleh CIMTROP
38
UNPAR (2002), diketahui bahwa di dalam kawasan ini dijumpai 35 jenis mamalia dan 13 diantaranya merupakan jenis yang terancam punah. Dampak kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan dari mulai sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak kebakaran terhadap beberapa jenis herbivora dikatakan justru akan memberikan jumlah makanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasi satwa pemakan daun ini di hutan-hutan bekas kebakaran meningkat. Dampak api terhadap satwaliar dengan daerah jelajah yang kecil atau kemampuan mobilitasnya yang rendah, dikatakan banyak terpengaruh. Kebakaran hutan menjadikan perubahan yang begitu banyak terhadap iklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis satwa (Gambar 19). Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escape cover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa. Tersedianya makanan adalah hal utama yang membatasi kehadiran satwa di dalam hutan. Untuk menghitung kerugian terhadap satwa liar yang mati di lokasi kebakaran hutan sangat sulit dilakukan karena saat terjadi kebakaran hutan diprediksi satwa liar yang ada akan migrasi ke lokasi lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak langsung, yaitu perubahan terhadap habitatnya. Penghitungan nilai kerugian minimal akibat kebakaran hutan terhadap kerusakan habitat TSL di kawasan TNS dilakukan dengan menghitung total biaya yang diperlukan untuk membangun habitat TSL tersebut melalui kegiatan restorasi habitat atau kegiatan rehabilitasi (pengkayaan jenis) yang diperlukan.
Gambar 19 Sarang orangutan yang ditemukan pada pohon bekas terbakar (atas); bekas kebakaran pada lokasi RHL di dalam kawasan (bawah)
39
Berdasarkan penghitungan terhadap biaya yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi atau kegiatan pengkayaan jenis di dalam kawasan konservasi gambut dan dengan memperhatikan rata-rata nilai inflasi sebesar 5.71% maka diperoleh nilai total kerugian saat ini dari kerusakan habitat TSL adalah sebesar Rp 924 395 164.9/blok atau Rp3 697 58066 /hektar luas kejadian kebakaran. Jika pada tahun 2014 ini luas kebakaran hutan gambut di dalam kawasan TNS mencapai 4364.24 ha maka total nilai kerugian berupa kerusakan habitat Tumbuhan dan Satwa Liar ialah sebesar Rp16 137 129 418,Biaya yang diperlukan untuk merehabilitasi kawasan konservasi gambut TNS dalam bentuk kegiatan pengkayaan jenis seluas 250 ha atau 1 blok diuraikan pada Tabel 14 dan secara rinci dijelaskan pada bagian Lampiran 3. Tabel 14. Standar biaya kegiatan pengkayaan jenis di kawasan TNS untuk 1 blok (luas 250 ha) No
Nilai Rp/blok1) Rp/ Ha 73 750 000 295 000
Jenis Kegiatan
1 2
Present value (Rp/Ha)
Penyusunan Rancangan Teknis Penanaman dan pemeliharaan tahun berjalan (T-0) 658 475 000 2 633 900 - Kebutuhan bahan (Rp 314.675.000) - Upah tenaga kerja (Rp 343.800.000) Inflasi 5.71% 3 Pemeliharaan tahun pertama (T+1) - Kebutuhan bahan (Rp 63.000.000) 207 750 000 831 000 - Upah tenaga kerja (Rp 144.750.000) 4 Pemeliharaan tahun kedua (T+2) 93 000 000 372 000 - Penyiangan dan supervisi Total 1 032 975 000 4 131 900 3.697.580,66 Nilai total rehabilitasi area kebakaran = Rp 3 697 580.66 /ha x 4 364.24 ha = Rp 16 137 129 418,1) BPDAS Kahayan – Kalimantan Tengah
7. Kerugian yang timbul akibat biaya pemadaman Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dianggap sebagai nilai kerugian yang muncul akibat adanya kebakaran hutan. Pemadaman dimaksudkan agar api tidak menjalar secara liar sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Nilai biaya pemadaman dilakukan dengan mendata seluruh nilai anggaran pemadaman dari Balai TNS maupun anggaran bantuan dari Direktorat PHKA, BKSDA dan mitra kerja. Untuk pelaksanaan kegiatan pemadaman di TNS pada tahun 2014 besarnya realisasi dana yang digunakan ialah Rp1 320 255 000 dengan rincian sumber dana sebagai berikut. Tabel 15 Biaya kegiatan pemadaman kebakaran hutan di TNS tahun 2014 Sumber dana Balai TN Sebangau DAOPS BKSDA Kalteng
Nilai (Rp) 243 910 000 38 235 000
WWF Kalteng
216 700 000
BNPB
841 000 000
Total
Rincian kegiatan 4 kali pemadaman pendahuluan dan 1 kali pemadaman lanjutan bersama masyarakat RPK 3 kali operasi pemadaman diantaranya : - 1 regu pada bulan Agustus 2014 di resort Habaring Hurung - 2 regu bulan September 2014 di sungai koran resort Sebangau Hulu - 2 regu pada bulan September di resort Bangah Pemadaman dilakukan dengan melibatkan masyarakat RPK pada 11 cluster Pemadaman dengan helicopter sikorsy di resort Bangah dan resort Paduran, Pulang Pisau
1 320 255 000
Sumber : Wawancara BTNS (Bpk Dayat), BKSDA (Bpk Dody), WWF (Koordinator karhut), dan posko siaga kebakaran hutan dan lahan Badan Nasional Penanggulangan
40
Berdasarkan data pada Kertas Kerja Anggaran & Kegiatan (DIPA) Balai TNS 2014, nilai rencana kegiatan pemadaman pendahuluan kebakaran hutan ialah sebesar Rp40 080 000/kegiatan untuk 4 kali kegiatan masing-masing 5 hari per kegiatan dan pemadaman lanjutan sebesar Rp32 000 000/kegiatan untuk 2 kali kegiatan masing 10 hari per kegiatan. Dari hasil wawancara terhadap kepala SPTN Wilayah pengelolaan, besaran dana ini masih sangat kurang cukup untuk kegiatan pemadaman mengingat pada tahun 2014 kejadian kebakaran merata di setiap wilayah seksi. Masalah utamanya ialah akses untuk mobilisasi personil dan peralatan sangat sulit saat musim kemarau. Terbatasnya nilai anggaran yang direncanakan membuat kegiatan pemadaman tidak berjalan optimal meskipun ada bantuan dana dari mitra kerja dan tambahan SDM dari DAOPS Manggala Agni – BKSDA Kalimantan Tengah.
Gambar 20 Kegiatan pemadaman kebakaran hutan gambut dilakukan melalui udara dan pemadaman langsung di lokasi api SPTN I Palangka Raya (Foto Lakip 2014)
Selain melalui darat, kegiatan pemadaman juga dilakukan oleh BNPB melalui udara dengan menggunakan helicopter bolco (kapasitas angkut bom air 500 liter) dengan biaya 25 juta/hari dan helicopter sikorsy (kapasitas angkut bom air 3600 liter) dengan biaya 14500 USD/jam dengan. Dari hasil wawancara terhadap petugas posko siaga kebakaran hutan dan lahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Bandara Tcilik Riwut Kalimantan Tengah diketahui bahwa untuk kegiatan pemadaman (bom air) tidak memperhatikan apakah sumber asap atau lokasi kebakaran berada di dalam atau di luar kawasan hutan. Namun dari catatan di posko lapangan diketahui, bahwa telah dilakukan
41
kegiatan pemadaman lewat udara dengan helicopter di daerah Bangah dan Paduran Sebangau (kawasan TNS) selama dua hari. Hal tersebut juga dibenarkan oleh masyarakat di kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau saat dilakukan wawancara dengan masyarakat, bahwa selama kurang lebih 2 hari Helicopter sering hilir mudik di atas desa mereka untuk melepaskan bom air di lokasi kebakaran hutan di sekitar sungai Bangah dan sungai Sampang (Wilayah Resort Bangah dan Resort Paduran SPTN II Pulang Pisau) 8 Kerugian karbon yang hilang Untuk mengetahui nilai kerugian karbon yang hilang saat setelah kejadian kebakaran ekosistem gambut TNS digunakan pendekatan nilai emisi CO2 dari kebakaran di atas permukaan dan di bawah permukaan. Besarnya emisi diperoleh dengan menggunakan formula yang ditetapkan dalam IPCC (2006) dan Suplement Entire Report IPCC (2013). Untuk kandungan bahan bakar kering di bawah permukaan merujuk pada tabel IPCC 2013 (Lampiran 2). Faktor pembakaran / Cf (kehilangan dimensi) pada kebakaran di bawah permukaan didekati dengan cara membandingkan rata-rata ketebalan lapisan gambut yang terbakar dengan kedalaman gambut pada lokasi kebakaran yaitu sebesar 0.1 atau 10%. Lokasi kejadian kebakaran hutan di dalam Kawasan TNS pada tahun 2014 ini memiliki rata-rata ketebalan gambut hingga 2 m.
Gambar 21 Pengukuran lapisan gambut yang terbakar di area bekas terbakar Untuk kebakaran di atas permukaan besarnya faktor pembakaran merujuk pada hasil penelitian Toriyama et al (2013) yang berlokasi di sekitar sungai Sebangau yaitu sebesar 0,32 (32%). Nilai Cf ini lebih kecil daripada nilai yang ada dalam IPCC 2006 yaitu sebesar 0.5 (50%), sedangkan kandungan bahan bakar kering di atas permukaan merujuk pada hasil penelitian Toriyama et al (2013).
42
Dari hasil penghitungan diperoleh besarnya emisi CO2 untuk kejadian kebakaran di hutan rawa gambut sekunder TNS, yaitu sebesar ± 62.42 ton/ha atau total mencapai 272.415 ton CO2 dari total luas kebakaran 4.364.24 ha pada tahun 2014. Jika harga karbon tahun 2014 mencapai 24,15 U$ (Worlbank 2014) dan rata-rata kurs dolar terhadap rupiah pada tahun 2014 sebesar Rp 11.600 maka diperoleh nilai total kehilangan karbon akibat kebakaran ekosistem gambut di TNS adalah sebesar Rp76 314 579 245,- Namun demikian harga patokan untuk karbon yang digunakan mengacu pada rata-rata harga proyek karbon di Indonesia yaitu ± 5.5 U$ sehingga nilai kerugian akibat emisi karbon yang terjadi ialah sebesar Rp17 384 007 783,- Adapun rincian kerugian emisi per hektar adalah sebagai berikut. Tabel 16 Emisi CO2 dari kebakaran hutan gambut TNS tahun 2014 Faktor emisi/ G Kandungan bahan (Kg/Ton bahan kering (ton/ha) kering) Kebakaran di bawah permukaan 170 1)
Faktor pembakaran (Cf)
Emisi CO2 (ton/Ha)
Harga karbon (Rp/ ton)
Nilai kerugian (Rp/ha)
0.1
7,88
63800
503 254.4
0.32
54,54
63800
3 480 030
464 1)
Kebakaran di atas permukaan 114.4 2)
1490 1) Total
1)
IPCC 2006
2)
62,42
3 983 284
Toriyama et al 2014
Efektivitas Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan Sumenge (2013) menyebutkan bahwa efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektifitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely). Kegiatan pencegahan kebakaran hutan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian kebakaran hutan, yaitu semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan (Permenhut P.12/Menhut-II/2009). Kegiatan pengendalian kebakaran hutan gambut di TNS merupakan salah satu dari beberapa kegiatan yang direncanakan dan dianggarkan oleh Balai TNS disetiap tahun melalui Rencana Kinerja Tahunan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya pencapaian sasaran Kementerian Kehutanan selama periode rencana strategis 2010–2014 dengan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) yaitu : 1) Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi berkurang 20% setiap tahun dari rerata 2005– 2009, dan 2) Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50% dalam 5 tahun dibanding kondisi rerata 2005–2009. Pada tahun 2010 tidak ada hotspotdi dalam kawasan TNS dan kejadian kebakaran hutan juga tidak ada. Pada tahun 2014 jumlah hotspot sebanyak 107 titik dan mengalami peningkatan 80 titik dibanding tahun 2013 sebanyak 27 hotspot. Begitupun dengan luas kebakaran yang terjadi juga mengalami peningkatan pada tahun 2011 dan tahun 2014. Berdasarkan Laporan Balai TNS (S.38/BTNS-1/PH/2015) pada tahun 2014 luas kebakaran adalah 4364.24 ha.
43
Berdasarkan skenario pada Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH) disebutkan bahwa jumlah hotspot yang masih bisa ditolerir di dalam kawasan TNS pada tahun 2014 ialah sebanyak 59 hotspot namun jumlah hotspot ternyata mencapai 107 sehingga capaian sasaran penurunan jumlah hotspot di TNS selama periode Rentra 2010–2014 tidak terpenuhi (BTNS 2014). Luas area terbakar di kawasan TNS mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Target luas maksimal (tolerensi) kebakaran hutan di TNS selama periode renstra 2010–2014 adalah seluas 545 ha sedangkan pada tahun 2014 luas kebakaran hutan mencapai 4784.14 ha sehingga upaya pencapaian sasaran kedua, yaitu luas kawasan hutan yang terbakar bisa ditekan hingga 50% dalam 5 tahun dibanding kondisi rerata 2005–2009, juga tidak tercapai oleh Balai TNS. Jika memperhatikan definisi efektivitas berdasarkan sasaran outcomes yang direncanakan, maka pelaksanaan kegiatan bidang pengendalian kebakaran hutan di TNS pada periode Rentra tahun 2010–2014 bisa dikatakan tidak efektif karena jumlah hotspot dan luas areal terbakar mengalami peningkatan atau lebih dari target yang ditolerir. Adapun jumlah hotspot dan luas kebakaran di TNS selama periode Renstra 2010 – 2014 dijelaskan pada gambar 22. 5000
4364,24
4000 3000 2000
1090,72
1000
520,57
0
0 2010
2009
5,4
180,06
2011
2012
2013
2014
luas kebakaran (ha) 150 107
100 50
37
23
30
0
27
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah Hotspot (x Rp 1 juta)
1,985.22
2,000 1,500 1,000
1,309.43 499.90
670.62
500
422.53
Rencana anggaran bidang PKH Realisasi Anggaran bidang PKH
478.54
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Gambar 22 Trend jumlah hotspot dan luas kebakaran (ha) serta trend rencana dan realisasi anggaran pencegahan kebakaran Tahun 2009–2014 di TNS
44
Meskipun pencapaian sasaran kegiatan dikatakan tidak efektif namun jika memperhatikan tingkat realisasi target anggaran bidang pengendalian kebakaran hutan di TNS pada tahun 2013 dan 2014 ternyata menunjukkan tingkat serapan yang tinggi atau bisa dikatakan efektif. Hal ini disebabkan karena sejak kejadian kebakaran tahun 2011 Balai TNS merencanakan untuk membuat satuan khusus DAOPS Manggala Agni di kawasan TNS. Pada tahun 2013 tingginya realisasi disebabkan oleh pengadaan tanah untuk pembangunan markas DAOPS dan pada tahun 2014 untuk kegiatan pembangunan Markas DAOPS Manggala Agni dan pengadaan fasilitas lainnya (Rincian jenis kegiatan dan realisasi anggaran terlampir). Adapun anggaran kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH) oleh Balai TN Sebangau diuraikan pada Tabel 18. Tabel 17 Nilai anggaran kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan (PKH) oleh Balai TNS Tahun
Rencana Anggaran DIPA Tahunan (Rp)
Rencana Anggaran bidang PKH (Rp)
Persentase dari anggaran tahunan
Realisasi Anggaran bidang PKH (Rp)
Persentase dari rencana bidang PKH
Tingkat efektivitas
1
2
3
4
5
6
7
2009
4 996 057 000
499 896 000
10.01 %
458 458 300
91.71 %
2010
8 360 081 000
670 617 000
8.02 %
550 190 000
82.04 %
2011
7 476 720 000
422 526 000
5.65 %
169 741 000
40.17 %
efektif Cukup efektif Tidak efektif
2012
10 633 956 000
478 536 000
4.50 %
202 060 000
42.22 %
Tidak efektif
2013
12 814 750 000
1 309 428 000
10.22 %
1 223 416 100
93.43 %
efektif
2014
10 973 691 000
1 985 216 000
18.09 %
1 924 880 050
96.96 %
efektif
Sumber : LAKIP dan Laporan Tahunan 2009–2014 (data diolah)
Sasaran strategis kegiatan pengendalian kebakaran hutan oleh Balai TNS ialah meningkatkan upaya–upaya sistem pencegahan pemadaman, penanggulangan dampak kebakaran hutan, areal rawan kebakaran di 3 SPTN wilayah, menekan jumlah hotspot, dampak asap dan luasan hutan yang terbakar. Jika dilihat dari trend perencanaan anggaran terkait pencegahan kebakaran hutan di TNS terlihat bahwa nilai rencana pencegahan kebakaran hutan seperti mengikuti trend luas kejadian kebakaran pada tahun sebelumnya. Selain itu jenis kegiatan yang direncanakan juga tidak banyak berbeda. Pada tahun 2009 terjadi kebakaran yang cukup luas (±1090 ha) sehingga hal ini membuat nilai rencana kegiatan pada tahun berikutnya ditingkatkan. Tingginya realisasi kegiatan pencegahan dan didukung dengan curah hujan yang tinggi selama tahun 2010 membuat tidak ada hotspot maupun kebakaran hutan yang terjadi pada tahun ini. Hal ini membuat realisasi dana untuk kegiatan pemadaman tidak tercapai. Tidak adanya kebakaran pada tahun 2010 ternyata membuat perencanaan anggaran pencegahan pada tahun 2011 diturunkan dan bahkan realisasinya tidak mencapai 50%. Kebakaran hutan gambut di dalam kawasan konservasi pada tahun 2011 mencapai luas ±481 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian perencanaan di Balai TNS, disadari bahwa kegiatan yang ada di Balai TNS tidak hanya difokuskan untuk pencegahan kebakaran saja karena mengingat masih banyak tugas pokok dan fungsi lembaga yang lainnya. Selain itu bagian perencanaan anggaran juga menyadari bahwa tidak adanya kebakaran membuat perencanaan lengah dan kurang memperhatikan bidang ini, namun setelah
45
kebakaran tahun 2011 barulah mulai direncanakan untuk membangun satuan khusus di bidang pengendalian kebakaran hutan. Meskipun sampai pada tahun 2014 anggaran lebih banyak untuk belanja fisik/pengadaan namun diharapkan setelah tahun 2014 kegiatan pengendalian kebakaran hutan di TNS bisa lebih dioptimalkan. Hingga akhir tahun 2014 terjadi kebakaran hutan seluas ± 4364 ha membuat anggaran untuk pemadaman tidak mencukupi. Adanya mekanisme pencairan anggaran yang dibatasi oleh instansi pusat dan banyaknya jenis kegiatan lain yang direncanakan membuat kuantitas kegiatan patroli pencegahan kebakaran hutan menjadi berkurang akibat keterbatasan dana. Selain itu kegiatan penjagaan secara terus-menerus yang difokuskan pada lokasi-lokasi yang diidentifikasi sebagai daerah rawan kebakaran khususnya saat musim kemarau tidak pernah dilakukan. Pada dasarnya kegiatan pencegahan kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi 3 bidang yang mencakup upaya : 1) penegakan hukum; 2) pendidikan dan peningkatan pemahaman masyarakat; dan 3) pengembangan teknologi sarana dan prasarana. Untuk tahun 2014 adapun indikator kinerja output dan detail rencana kerja terkait bidang Pengendalian Kebakaran Hutan oleh Balai TNS diantaranya adalah : a) Laporan hasil pemantauan jumlah titik panas (hotspot) sebanyak 45 laporan - Operasionalisasi posko pengendalian kebakaran hutan (5 bulan rawan) - Rapat kerja/ evaluasi hasil pemantauan hotspot (triwulan) - Sosialisasi/ penyuluhan pengendalian kebakaran hutan (3 kecamatan) - Pembinaan kelompok tani hutan tanpa bakar (2 desa konservasi) - Patroli pencegahan kebakaran hutan tingkat resort (8 Resort) - Patroli pencegahan kebakaran hutan partisipatif (3 SPTN) - Konsultasi dan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan b) Laporan pemadaman dan penanganan dampak pasca kebakaran hutan sebanyak 12 Laporan - Pemadaman pendahuluan kebakaran hutan (3 SPTN) - Pemadaman lanjutan kebakaran hutan (3 SPTN) - Identifikasi areal eks kebakaran hutan (sesuai lukos kejadian) c) Pengembangan sarana dan prasarana khusus pengendalian kebakaran hutan yaitu pembangunan markas DAOP TN Sebangau. Jika diperhatikan dari jenis kegiatan yang direncanakan pada tahun 2014 (Tabel 18) untuk bidang pengendalian kebakaran hutan sebenarnya masih kurang variatif, karena mengingat luasnya kawasan dan perbedaan masalah penyebab kebakaran pada masing-masing lokasi. Selain itu berdasarkan pencermatan terhadap waktu realisasi anggaran, diketahui bahwa setelah semester ke-2 baru terjadi peningkatan belanja yang menunjukkan bahwa banyak jenis kegiatan yang dilakukan atau anggaran yang dibelanjakan pada periode ini. Namun pada periode ini juga merupakan waktu paling banyak kejadian hotspot atau kebakaran hutan. Starategi alokasi anggaran diakui masih kurang terencana dengan baik dalam hal ini. Upaya pencegahan kebakaran hutan gambut Sebangau seharusnya tetap menjadi prioritas yang harus direalisasikan saat menjelang bulan - bulan / periode waktu puncak hotspot yaitu bulan Juli - Agustus – September – Oktober. Ada atau tidak ada kebakaran hutan setiap tahunnya sebaiknya tidak dijadikan tolak ukur
46
karena kegiatan pencegahan yang meliputi kegiatan patroli periodik atau penjagaan selama terus menerus serta penyuluhan harus ditingkatkan menjelang periode waktu kemarau. Tabel 18 Evaluasi dan pengelompokan kegiatan pencegahan kebakaran hutan di TNS tahun 2014 No
Jenis kegiatan
Nilai (Rp)
%
1
Posko siaga PKH (Groundchek hotspot & rapat-rapat)
93 830 000
5
2
Pembinaan kelompok tani tanpa bakar
19 326 000
1
3
Patroli pencegahan kebakaran hutan basis resort & pertisipatif
106 454 000
5
4
Koordinasi/konsultasi bidang PKH
74 271 000
4
5 6
Pemadaman kebakaran Pembangunan markas DAOP & Sapras
243 910 000 1 446 675 000
12 73
Permasalahan Groundchek masih kurang cepat dilakukan karena keterbatasan SDM & tidak adanya dana siap pakai Hanya bisa dilakukan di satu desa dan waktu pelaksanaannya di akhir tahun Frekuensinya masing kurang, untuk 8 wil. resort masing-masing hanya 2 kali dan tidak ada kegiatan penjagaan di daerah rawan kebakaran Kurang menyentuh stakeholders di tingkat tapak Anggaran yang direncanakan sedikit Belum ada kegiatan peningkatan kapasitas SDM (MPA)
1 984 466 000
Ketidaksingkronan antara penyebab kebakaran dan cara penanggulangannya terjadi di semua negara di dunia. Di Indonesia dan Brazil penyebab utama kebakaran adalah masalah sosial dan politik, namun prioritas rencana dan aksi penanggulangannya adalah teknis dan riset pemadaman kebakaran. Ketidaksingkronan ini ditengarahi melambatkan usaha penanggulangan kebakaran hutan (Carmenta et al 2011). Pada dasarnya kegiatan pemantauan titik hotspot telah dilakukan setiap hari melalui mailinglist si Pongi dan diinformasikan pada masing-masing wilayah seksi pengelolaan. Namun pada saat akan melakukan groundcek kendala yang dialami ialah keterbatasan SDM dan aksesibilitas. Dengan luas kawasan TNS yang mencapai ±568.700 ha jumlah pegawai fungsional Polhut hanya 16 orang serta penyuluh kehutanan hanya berjumlah 3 orang dari total 50 orang pegawai keseluruhan. Pada tahun 2004 sebelum UPT Balai TNS dibentuk, disekitar kawasan sebangau telah dibentuk Regu – Regu Pengendali Kebakaran Hutan (RPK) yang terdiri dari masyarakat di sekitar kawasan TN. Sebangau. Pembentukan beberapa RPK tersebut difasilitasi oleh proyek CKPP (Central Kalimantan Peatland Project) yang merupakan gabungan/konsorsium beberapa LSM/NGO seperti WWF, BOS, CKFCP dan lain – lain. Hingga saat ini regu – regu tersebut masih ada dan setelah proyek CKPP usai kemudian UPT Balai TNS terbentuk, keberadaan RPK ini terus dikembangkan kapasitas SDM dan sarana prasarananya meskipun masih dirasa kurang optimal. Pada tahun 2009 juga telah dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) yang terdiri dari pegawai dan staf Balai TNS. Namun dengan semakin kompleksnya permasalahan pengelolaan TNS, serta musim kemarau panjang yang mulai rutin datang sejak tahun 2011 keberadaan RPK masih dirasa kurang cukup untuk mengatisipasi terjadinya bahaya kebakaran hutan dan melakukan pengecekan titik hotspot secara langsung di lapangan. Selain itu, secara umum RPK yang ada juga mengalami kesulitan untuk
47
melakukan koordinasi baik sesame anggota maupun dengan pihak pengelola karena faktor kesibukan/ aktifitas pribadi masing-masing anggotanya. Dari hasil wawancara terhadap beberapa anggota RPK, diantaranya bapak Erwan Asbun dari RPK Baun Bango, menyebutkan bahwa, “Kegiatan pembinaan RPK masih dirasa kurang dan RPK seakan terkesan tidak ada kejelasan. Selain itu kegiatan sosialisasi ke masyarakat tentang bahaya kebakaran baru dilakukan setelah ada kebakaran dan ini dirasa terlambat karena sebaiknya sosialisasi dilakukan 2 – 3 bulan sebelum kemarau. “ Sedangkan menurut bapak Agus dari RPK Tumbang Bulan menyatakan, “Kebakaran yang terjadi sangat sulit dipadamkan selain karena sangat luas, jumlah SDM dan peralatan masih kurang.” Berdasarkan penelusuran terhadap rencana kinerja Balai TNS kegiatan Kegiatan Coaching clinic atau pembinaan / penyegaran terhadap masyarakat RPK terakhir kali diadakan pada tahun 2010. Kegiatan Coaching clinic atau pembinaan / penyegaran terhadap masyarakat RPK sebaiknya bisa dilakukan rutin setiap tahun sehingga kesiapan RPK bisa terus terpantau. Permasalahan lain yang ditangkap dari hasil wawancara di lapangan ialah secara umum dari anggota RPK / MPA yang ada masih mengalami kesulitan untuk melakukan koordinasi dengan pihak pengelola karena faktor kesibukan/ aktifitas pribadi masing-masing anggotanya. Untuk itu Balai TNS telah merencanakan untuk membuat satuan khusus manggala agni untuk melakukan berbagai upaya pengendalian kebakaran hutan khususnya di dalam kawasan TNS yang memiliki medan lapangan relatif lebih berat. Kegiatan pembinaan/ penyuluhan kelompok tani tanpa bakar baru direncanakan pada tahun 2014 pada dua lokasi yaitu di Resort Habaring Hurung, Palangka Raya dan Resort Paduran, Pulang Pisau. Namun kegiatan ini hanya terealisasi pada satu lokasi yaitu di Resort Habaring Hurung, Palangka Raya dan baru bisa terselenggara pada bulan awal November (setelah kejadian kebakaran hutan). Salah satu solusi dalam mengatasi kendala akses dan luasnya kawasan ialah adanya kegiatan yang dilakukan oleh mitra kerja yaitu WWF dan CIMTROPUNPAR di kawasan TNS. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai TNS selama ini kerjasama yang dilakukan masih kurang sinergis dan optimal. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan sinergisitas dan pembagian peranan, hak dan kewajiban sebaiknya dikaji kembali secara komprehensif. Adanya prosedur standar, khususnya terhadap pengaturan wilayah kegiatan seperti patroli pencegahan, penyuluhan masyarakat, pembagian atau alokasi sumber dana perlu disusun bersama agar kegiatan yang dilakukan tertata dengan baik dan jika terjadi kebakaran hutan alur koordinasi juga menjadi lebih cepat dan jelas. Upaya pencegahan kebakaran hutan di TNS tidak bisa lepas dari kharakteristik sosial sekitar kawasan, karena pada dasarnya kebakaran hutan gambut jarang atau tidak ada yang terjadi dengan sendirinya. Masih tingginya ketergantungan dan akses masyarakat akan manfaat hutan membuat semakin
48
tinggi pula resiko bahaya kebakaran jika kurang mendapat perhatian dari pengelola. Hal ini ditandai dengan masih adanya aktifitas masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan TNS seperti mencari ikan atau memungut hasil hutan non kayu. Ini juga merupakan potensi sekaligus tantangan bagi pemangku kawasan untuk terus berupaya melakukan sosialisasi – sosialisasi dan membangun kesetaraan dalam upaya mewujudkan kawasan koservasi yang lestari dan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat yang ada disekitarnya TNS secara geografis terletak di antara dua sungai besar dan sekitar 46 (empat puluh enam) desa pada 7 (tujuh) kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan. Dari 7 (tujuh) kecamatan tersebut mayoritas masyarakat di sekitar kawasan TNS bermatapencaharian utama dari hasil perikanan dan pertanian. Desa-desa tersebut sebagian besar merupakan desa tradisional dan desa transmigrasi. Bentuk desa tradisional umumnya memanjang di pinggiran dan mengikuti aliran sungai. Untuk mencapai desa-desa tersebut hanya dapat ditempuh dengan menggunakan perahu motor atau klotok dan speed boat. Sedangkan desa transmigrasi berpola mengumpul dan sudah mengembangkan pertanian intensif. Hasil pencermatan terhadap laporan kegiatan pemberdayaan masyarakat, Model Desa Konservasi (MDK) dan pemberian bantuan sosial, menunjukkan bahwa tekanan terhadap kawasan TNS di sekitar desa-desa tersebut (lokasi kegiatan pemberdayaan masyarakat) tetap masih ada, khususnya terkait jumlah hotspot tidak berpengaruh signifikan. Sehingga pengkajian mendalam terhadap strategi kegiatan pemberdayaan masyarakat yang lebih tepat di sekitar lokasilokasi yang rawan kejadian kebakaran hutan sebaiknya dilakukan dan ditindaklanjuti. Selain itu sinergisitas kegiatan terhadap stakeholders lain (mitra yang sudah ada) harus tetap dijaga dan ditingkatkan khususnya saat puncak periode hotspot.
49
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penyebab kebakaran ekosistem gambut TNS saat musim kemarau diakibatkan oleh kesengajaan dan kelalaian manusia yang bentuknya berbedabeda pada masing-masing tipe lokasi kebakaran. Nilai kerugian terbesar diakibatkan oleh kehilangan dan kerusakan biofisik diantaranya nilai dari emisi karbon, nilai potensial kayu yang ada dan nilai potensial hasil hutan non kayu berupa rotan, jelutung dan kulit gemor. Nilai kerugian yang langsung berdampak pada manusia seperti nilai kerugian kesehatan masyarakat, nilai kerugian sektor perikanan dan nilai kerugian sektor transportasi tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan nilai kerugian kerusakan potensi biofisik. Nilai kerugian lainnya yang juga diperhitungkan ialah nilai biaya yang timbul akibat kerusakan habitat TSL serta biaya pemadaman kebakaran hutan. Tingkat efektifitas pencegahan kebakaran hutan oleh Balai TNS khususnya tahun 2014 termasuk efektif jika dilihat dari tingkat realisasi anggaran yang mencapai 96.96%. Namun jika dilihat dari realisasi sasaran kegiatan yang tidak tercapai, yaitu pengurangan jumlah hotspot dan penurunan luas kebakaran hutan di dalam kawasan TNS hingga tahun 2014 maka kegiatan pengendalian kebakaran hutan di TNS dikategorikan tidak efektif. Saran Upaya pencegahan kebakaran hutan gambut Sebangau seharusnya tetap menjadi prioritas yang harus direalisasikan saat menjelang bulan - bulan / periode puncak hotspot yaitu bulan Agustus – September – Oktober. Ada atau tidak ada kebakaran hutan setiap tahunnya sebaiknya tidak dijadikan tolak ukur karena kegiatan pencegahan yang meliputi kegiatan patroli periodik atau penjagaan selama terus menerus serta penyuluhan harus ditingkatkan menjelang periode ini. Untuk itu perlu disusun sebuah road map upaya pencegahan kebakaran hutan di TNS. Pemetaan terhadap bentuk-bentuk strategi upaya pencegahan kebakaran hutan di ekosistem gambut TNS sebaiknya disusun secara terarah baik dari jenis kegiatan, lokasi kegiatan dan sasaran kegiatan. Selain itu baiknya Balai TNS dapat membuka peluang kerjasama/ kemitraan yang lebih banyak lagi dengan stakeholders lain (selain yang sudah ada saat ini), khususnya dalam upaya perlindungan hutan gambut. Hal ini mengingat luas kawasan yang lebih dari setengah juta hektar dan jumlah pegawai masih dibawah 60 orang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kerugian kebakaran hutan gambut di TNS yang berdampak langsung terhadap masyarakat secara komprehensif dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang mungkin belum diperhitungkan dalam penelitian ini. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis apakah penggunaan hotspot masih sesuai untuk dijadikan indikator awal (early warning system) terjadinya kebakaran hutan di dalam kawasan TNS.
50
DAFTAR PUSTAKA Bahruni, Suhendang E, Darusman D, Alikodra HS. 2007. A System Approach to Estimate Total Economic Value of Forest Ecosystem : Use Value of Timber and Non Timber Forest Products. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 4 (3) : 369–378. Barbier E. 1995. The Economics of Forestry and Concervation : Economic Values and Polities. Commonwealth Forestry Review. 74 (1) : 128-140 Brauer M. 2007. Health impact of biomass air pollution. New York (USA) : World Health Organization. Brown A, Davis K. 1973 Forest Fire : Control and Use. New York (USA): McGraw Hill Book Company, Inc. [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau. 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sebangau. Palangka Raya (ID : BTNS [BTNS] Balai Taman Nasional Sebangau. 2013. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Sebangau tahun 2013. Palangka Raya (ID) : BTNS Carmenta R, Parry L, Blackburn A, Vermeylen S, Barlow J. 2011. Understanding human-fire interactions in tropical forest regions: a case for interdisciplinary research across the natural and social sciences. Ecology and Society 16 (1) : 53. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol16/iss1/art53/ Glover D, Jessup T. 2002. Indonesia’s Fire and Haze. Institute of Southeast Asia Studies. Manila : International Development Research Centre. [IPCC] Intergovernmental Mental Panel On Climate Change. 2013. Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Wetlands. Methodological Guidance on Lands with Wet and Drained Soils, and Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. IPCC. Jaenicke J, Wösten H, Budiman A, Siegert F. 2010. Planning hydrological restoration of peatlands in Indonesia to mitigate carbon dioxide emissions. Mitigation Adaptation Strategy Global Change. 15 : 223–239. Husson S, Page SE, Rieley JO. 2003. Population Status of the Borneon Orangutan (Pongo pygmaeus) in the Sebangau Peat Swamp Forest, Central Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation. 110 : 141–152. Matthew B, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif : buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta (ID): UI pr. Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra NN, Jaya A. 2004. Petunjuk Lapangan : Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programmed an Wildlife Habitat Canada. Bogor (ID) : CIFOR Page SE, Siegert S, Rieley J, Boehm H, Jaya A, Limin SH. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature. 420:61-65 Pearce, D. 2001.The Economic Value of Forest Ecosystems. Ecosystem Health. 7 (4) Blackwell Science, Inc. Pearce D, Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. London (ENG) : IUCN Earthscan Publications Ltd.
51
Pearce D, Turner RK. 1992. Economics of Natural Resources and The Environment. New York (USA) : Harvester Wheatsheaf. Rein G, Cleaver N, Pironi P, Ashton C, Torero JL. 2008. The severity of smouldering peat fires and damage to the forest soil. Catena. 74 : 304–309 Saharjo B, Putra EI, Atik U. 2012. Pendugaan Emisi CO2 sebagai Gas Rumah Kaca akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan Tengah, Tahun 2000-2009. Jurnal Silvikultur Tropika. 03(03) : 143–148. Suhud M, Saleh C. 2007 (eds). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Habitat Orangutan. Jakarta (ID): WWF-Indonesia. Sumantri. 2007. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Sebuah Pemikiran, Teori, Hasil Praktek, dan Pengalaman Lapangan. Bogor (ID) : Ditjen PHKA. Sumenge AS. 2013. Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Belanja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Minahasa Selatan. Jurnal EMBA. 1(3): 74-81 Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api, Penyebab dan Dampak kebakaran. Malang (ID) : Banyu Media Publishing. Tacconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Bogor (ID) : CIFOR. Toriyama J, Takahashi T, Nishimura S, Sato T, Monda Y, Saito H, Awaya Y, Limin SH, Susanto AR, Darma F, Krisyoyo, Kiyono Y. 2013. Estimation of fuell mass and its loss during a forest fire in peat swamp forest of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management. 314:1-8. www.elsevier.com/locate/foreco Turetsky MR , Wieder RK. 2001. A direct approach to quantifying organic matter lost as a result of peatland wildfire. Can. J. For. Res. 31: 363–366. Wardani W, Erlinawati I, Widjaya EA, Karsono. 2006 : Eksplorasi dan pengungkapan pemanfaatan flora di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Bidang Botani. Bogor (ID) : Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo H. 2005. Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatra and Kalimantan. Bogor (ID) : Wetland International Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). [WWF] World Wildlife Foundation. 2012. Rewetting of Tropical Peat Swamp Forest In Sebangau National Park, Central Kalimantan, Indonesia. Project Design Document for Validation under the Climate, Community and Biodiversity Project Design Standards Second Edition. Jakarta (ID) : WWFIndonesia Sebangau Project. Yunus L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat). [Disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB.
52
53
Lampiran 1 Jenis pohon pada area terbakar di TNS
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama lokal Asam-asam Banitan/ terepis Belangiran Bintangur Pasir pasir Galam tikus Gerunggang Jambu-jambu Malam malam Kempas Ketiau Mendarahan Meranti/lanan Keruing Meranti merah Jelutung/ pantung Meranti rawa/ putih Nyatoh Pisang-Pisang Ramin Simpur Terentang Tumih
Nama latin Dicryoneura acumonata Polyalthia glauca Shorea belangeran Palaquium rostratum Stemonurus scorpioides Eugenia spicata Cratoxylum glaucum Eugenia sp. Diospyros bantamense Koompassia malaccensis Madhuca mottleyana Myristica sp Shorea leprosula Dipterocarpus grandiflorus Shorea parvifolia Dyera lowii Shorea teysmanniana Palaquium sp Mazzetia sp Gonystylus bancanus Dillenie excelsa Campnospermum macrophyllum Combretocarpus rotundus
Suku Sapindaceae Annonaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Icacinaceae Myrtaceae Hypericaceae Myrtaceae Ebenaceae Leguminaceae Sapotaceae Myristicaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Annonaceae Thymelaeaceae Dilleniaceae Anacardiaceae Rhizoporaceae
54
Lampiran 2 Nilai Kandungan Bahan Bakar Kering, Faktor Emisi, Faktor Pembakaran (IPCC 2013 dan Toriyama et al 2014)
55
Process
Tipe of land cover change
Burning (first fire)
Unburnt to burn mature forest Virforestgin forest to fire damaged Logged forest to fire damaged forest Unburnt to burnt primary tropical forest Unburn to burn regenerated forest Unburnt to burn secondar tropical forest Burn mature forest to regenerated forest Burn regenerated forest to mixed cropland and shrubland
Burning (Second fire) Loss of fuel after burning
Time for loss of fuel (years) <1 <1 <1 <1 <1 <1 12 -
Fuel mass Before land After land cover cover change (Mg change ha-1) (Mg ha-1) 319.7 ± 235.8 ± 83.3 21.2 439.4 ± 136.4 ± 44.0 56.8 205.6 ± 136.4 ± 44.0 55.6 -
Loss of fuel (Mg ha-1)
Emission factor of Combution GHG emission CO2 equivalence factor (Mg CO2 ha-1) (g CO2 kg-1)
Source
83.9 ± 86.0
0.26
1810
151.8 ± 155.5
(Toriyama et al 2014)
303.2 ± 72.0 69.2 ± 71.0
0.69
1810
548.7 ± 130.3
0.34
1810
125.2 ± 128.5
0.50
1810
290.3 ± 21.4
(Hergpualc’h and Verchot 2011) (Hergpualc’h and Verchot 2011) (IPCC 2006)
0.32
1810
77.0 ± 55.2
(Toriyama et al 2014) (IPCC 2006)
131.5 ± 17.1 -
89.0 ± 25.2
160.4 ± 11.8 42.6 ± 30.5
-
46.4 ± 8.0
0.50
1810
84.0 ± 14.5
235.8 ± 83.3 89.0 ± 25.2
131.5 ± 17.1
104.3 ± 85.0 73.3 ± 25.4
-
1723
179.6 ± 146.5
(Toriyama et al 2014)
-
1723
126.2 ± 43.8
(Toriyama et al 2014; Hergpualc’h and Verchot 2011)
15.7 ± 2.8
56
Lampiran 3 Standar biaya kegiatan Rehabilitasi di TN Sebangau Kebutuhan biaya rehabilitasi untuk 1 blok/ 250 Ha (T-0) No
Jenis kegiatan
I
Upah 1
2
3
2
biaya total
a. Upah pembuatan batas blok dan petak
HOK
350
45000
15750000
b. Upah pembuatan jalur tanaman
HOK
1000
45000
45000000
c. Upah penentuan arah larikan
HOK
350
45000
15750000
d. Upah pemasangan ajir (100.000 batang)
HOK
280
45000
12600000
e. Upah pembuatan lubang tanam (100.000)
HOK
1200
45000
54000000
f. Upah pembuatan papan nama kegiatan (1)
HOK
10
45000
450000
g. Upah pembuatan papan nama petak (10)
HOK
40
45000
1800000
h. Upah pembuatan pondok kerja (1)
HOK
80
45000
3600000
i. Upah pembuatan gubuk kerja (5)
HOK
200
45000
9000000
j. Upah penanaman (100.000)
HOK
1120
45000
50400000
k. Upah distribusi bibit ke lubang tanam
HOK
320
45000
14400000
Pemeliharaan tahun berjalan (T-0) a. Upah penyulaman
HOK
440
45000
19800000
b. Upah penyiangan/ pembersihan jalur
HOK
1250
45000
56250000
30
1500000
45000000
Pengawasan/supervisi OB
Bahan a. Pengadaaan patok arah larikan
patok
25000
500
12500000
b. Pengadaan ajir
batang
100000
150
15000000
c. Pengadaan Papan Nama Kegiatan
unit
1
750000
750000
d. Pengadaan papan nama petak
unit
10
250000
2500000
e. Pengadaan pondok kerja
unit
1
15000000
15000000
f. Pengadaan gubuk kerja
unit
5
2500000
12500000
a. parang
buah
50
65000
3250000
b. ganco/tugal
buah
50
50000
2500000
paket
1
21875000
21875000
Pengadaan alat
Pengamanan/pemeliharaan bibit sementara a. pengamanan
IV
biaya satuan
Bahan dan peralatan 1
III
volume
Pelaksanaan (T-0)
a. Pengawasan (5 0rang x 6 bulan) II
satuan
pembibitan bibit tanaman + 10% penyulaman Jelutung (40%)
batang
44000
2500
110000000
Belangiran (60%)
batang
66000
1800
118800000
JUMLAH (I)
658475000
57
Lampiran 3 lanjutan Kebutuhan biaya rehabilitasi untuk 1 blok/ 250 Ha (T+1) No
Jenis kegiatan
I
satuan
volume
biaya satuan
biaya total
Upah 1
Pemeliharaan tanaman (T+1) a. Upah distribusi bibit ke lubang tanaman (30.000 btg)
2
300
45000
13500000
b. upah penyulaman
HOK
1000
45000
45000000
c. upah penyiangan/pembersihan jalur (1 x)
HOK
1250
45000
56250000
20
1500000
30000000
18900000
Pengawasan/supervisi a. pengawasan/supervisi (5 orang x 4 bulan)
II
HOK
OB
Pembibitan Bibit tanaman sulaman (30%) Belangiran (30%)
batang
9000
2100
Ubar (70%)
batang
21000
2100
JUMLAH (II)
44100000 207750000
Kebutuhan biaya rehabilitasi untuk 1 blok/ 250 Ha T+2 No
Jenis kegiatan
I
satuan
volume
biaya satuan
biaya total
1400
45000
63000000
20
1500000
30000000
Upah 1
Pemeliharaan tanaman (T+2) a. Upah penyiangan/pembersihan jalur (1 x)
2
HOK
Pengawasan Pengawasan/supervisi (5 orang x 4 bulan)
OB
JUMLAH (III)
93000000
Kebutuhan alat dan bahan Kebutuhan bahan dan peralatan
Satuan
Jumlah untuk 1 blok (250 ha)
1. Pengadaaan patok arah lairkan
Patok
100
2. Pengadaan ajir
Batang
400
3. Pengadaan Papan Nama Kegiatan
Unit
1
4. Pengadaan papan nama petak
Unit
10
5. Pengadaan pondok kerja
Unit
1
6. Pengadaan gubuk kerja
Unit
5
- Parang
Buah
50
- Ganco/Tugal
Buah
50
7. Pengadaan alat
58
Lampiran 3 lanjutan Kebutuhan tenaga kerja Kebutuhan tenaga kerja
satuan
volume/ha
Jumlah HOK
1. Upah pembuatan batas petak/blok
HOK
1.4
2. Upah penentuan arah larikan
HOK
1.4
350
3. Upah pembuatan jalur tanaman
HOK
4
1000
4. Upah pemasangan ajir
HOK
1.4
350
5. Upah pembuatan lubang tanaman
HOK
4.8
1500
350
6. Upah pembuatan papan nama kegiatan
HOK
0.04
10
7. Upah pembuatan papan nama petak
HOK
0.16
40
8. Upah pembutan pondok kerja
HOK
0.32
80
9. Upah penanaman
HOK
4.6
1150
10. Upah ditribusi bibit ke lubang tanam
HOK
1.28
320
11. Upah penyulaman
HOK
1.76
440
4.6
1150
0.12
30
12. Upah penyiangan/ pembersihan jalur
HOK
13. Pengawasan supervisi
OB
Sumber : RTK – RHL Balai TNS 2014
59
Lampiran 4 Laporan Pencegahan Kebakaran Groundcheck Hotspot di TN Sebangau Tahun 2014 No
1
Hasil Pemantauan Satelit NOAA dan MODIS Sumber Tanggal Koordinat Lokasi (desa,kec,kab) Lat Long
Tanggal
Koordinat Lat
Long
Lokasi (desa,kec,kab)
Groundcheck Lapangan Indikasi kebakaran* Luas Terbakar Tdk terbakar Terbakar 11 12 13 V
Status Kawasan/ Keterangan Lahan 14 15 TNS Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder TNS Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder TNS Tidak dapat dilakukan groundcheck karena ke lokasi hotspot tidak dapat diakses. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder
2 NOAA 18
3 04/02/ 2014
4 -2.108
5 6 7 8 113.69 Hiang Bana, Tasik 06/02/ 2014 -2.108 Payawan, Katingan
9 113.69
10 Hiang Bana, Tasik Payawan, Katingan
2
NOAA 18
04/02/ 2014
-1.977
113.637 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
05/02/ 2014 -1.977
113.637
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
V
3
NOAA 18
25/02/ 2014
-2.36
113.72 Jahanjang, Kamipang, Katingan
26/02/ 2014 -2.36
113.72
Jahanjang, Kamipang, Katingan
V
4
NOAA 18
7/03/ 2014
-2.32
113.82 Kereng Bangkirai, 8/03/ 2014 Sabangau, Palangka Raya
113.821
Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya
V
TNS
5
NOAA 18
27/03/ 2014
-2.12
113.6
113.6
Talingke, Tasik Payawan, Katingan
V
TNS
1
Talingke, Tasik Payawan, Katingan
-2.312
28/03/ 2014 -2.12
Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder
60
6
NOAA 18
27/03/ 2014
-2.2
113.72 Asam Kumbang, Kamipang, Katingan
29/03/ 2014 -2.2
113.72
Asam Kumbang, Kamipang, Katingan
V
TNS
Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder
7
NOAA 18
18/04/ 2014
-2.12
113.76 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
19/04/ 2014 -2.12
113.76
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
8
NOAA 18
10/05/ 2014
-2.33
113.63 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan
12/05/ 2014 -2.33
113.63
Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan
V
TNS
9
NOAA 18
10/05/ 2014
-2.52
113.97 Paduran Sebangau, sebangau Kuala, P Pisau
11/05/ 2014 -2.52
113.97
Paduran Sebangau, sebangau Kuala, P Pisau
V
TNS
10
NOAA 18
17/05/ 2014
-2.13
113.7
18/05/ 2014 -2.13
113.7
Talingke, Tasik Payawan, Katingan
V
TNS
11
NOAA 18
22/06/ 2014
-2.265
113.725
S. Simpang Kiri, Kereng Bangkirai, Palangka Raya
V
TNS
Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Ditemukan titik asap kebakaran di luar kawasan dengan jarak 1,5 km dari hotspot yang dicek lahan yang terbakar diduga milik masyarakat yang melakukan pembersihan Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih
Talingke, Tasik Payawan, Katingan
113.725 S. Simpang Kiri, 23/06/ 2014 -2.265 Kereng Bangkirai, Palangka Raya
61
12
NOAA 18
18/07/ 2014
-2.065
113.695 Tumbang Tahai, Bukit Batu P. Raya
19/07/ 2014 -2.065
113.695
Tumbang Tahai, Bukit Batu P. Raya
V
TNS
13
NOAA 18
25/07/ 2014
-2.13
113.74 Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
05/08/ 2014 -2.13
113.74
Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
V
TNS
14
NOAA 18
27/07/ 2014
-2.15
113.745 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
05/08/ 2014 -2.15
113.745
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
15
NOAA 18
30/07/ 2014
-2.173
113.752 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
05/08/ 2014 -2.173
113.752
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
16
NOAA 18
30/07/ 2014
-2.15
113.745 Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
05/08/ 2014 -2.15
113.745
Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
V
17
NOAA
1/08/
-2.12
113.745 Marang, Bukit
05/08/2014
-2,12447 113,7495 Marang, Bukit
V
TNS
0,02 ha
TNS
rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi sekitar HS merupakan hutan sekunder Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Walaupun telah dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Kebakaran terjadi di luar kawasan TN Sebangau sekitar 2 km dari hotspot pada lahan perkebunan masyarakat.. Terjadi kebakaran pada lokasi yang di groundcheck, namun lokasi tersebut sudah merupakan lahan pertanian masyarakat transmigrasi Habaring Hurung.
Ditemukan titik bekas terbakar pada
62
18
2014
Batu, Palangka Raya
2
18
NOAA 18
2/08/ 2014
-2.11
113.725 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
05/08/ 2014 -2,11572 113,7328 Marang, Bukit 1 Batu, Palangka Raya
V
TNS
19
NOAA 18
2/08/ 2014
-2.35
113.765 Bukit Tunggal, Jekan Raya P. Raya
06/08/ 2014 -2,23228 113,7928 Bukit Tunggal, Jekan Raya P. Raya
V
TNS
20
NOAA 18
2/08/ 2014
-2.35
V
TNS
21
NOAA 18
5/08/ 2014
-2.125
V
TNS
22
NOAA 18
13/08/ 2014
-2.31
113.99 Paduran 3/08/ 2014 -2.348 Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.77 Marang, Bukit 6/08/ 2014 -2.175 Batu, Palangka Raya 113.81 Kereng Bangkirai, 14/08/ 2014 -2.31 Sabangau, Palangka Raya
V
TNS
23
NOAA 18
14/08/ 2014
-2.3
V
TNS
113.815 Kereng Bangkirai, 21/08/ 2014 -2.9860 Sabangau, Palangka Raya
113.89
Batu, Palangka Raya
Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.678 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya 113.81 Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya 113.8221 Kereng Bangkirai, Sabangau,
koordinat Lat : -2,13127 ; Long : 113,75475 yang luasnya ± 200m² berada pada kawasan Taman Nasional Sebangau, tetapi pada saat dilakukan pengecekan api sudah padam, Kebakaran banyak ditemukan di luar kawasan TN Sebangau, yaitu pada titik koordinat Lat : 2,111233 ; Long : 113,74475., Lat : -2,10758 ; Long : 113,75055., Lat : -2,10540 ; Long : 113,75371 dan Lat : -2,09855 ; 113,76444, Dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kebakaran terjadi di luar kawasan TN Sebangau. Ditemukan areal bekas terbakar pada pada titik pada titik koordinat Lat : -2,15059 ; Long :113,76559 dan berda pada kawasan Taman Nasional Sebangau. Areal ini sengaja dibakar untuk pembukaan lahan yang dilakukan oleh kelompok tani Eka Hapakat, kepentingan pembukaan lahan sawit. Tidak ditemukan adanya kebakaran di sekitar lokasi hotspot, kebakaran terjadi di luar kawasan TN Sebangau yaitu di seberang S. Sebangau berupa tumbuhan Rsau dan semak. Tidak ditemukan adanya kebakaran di sekitar lokasi hotspot, kebakaran terjadi pada lahan masyarkat yang berjarak ± 1 km. Tidak ditemukan adanya kebakaran di sekitar lokasi hotspot, kebakaran terjadi pada lahan masyarkat yang berada di seberang sungai. Dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran.
63
Palangka Raya
24
NOAA 18
14/08/ 2014
-2.3
113.78 Kereng Bangkirai, 21/08/ 2014 -2.27771 113.8195 Kereng Sabangau, Bangkirai, Palangka Raya Sabangau, Palangka Raya
25
NOAA 18
26/08/ 2014
-2.15
113.765 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
26
NOAA 18
30/08/ 2014
-2
27
NOAA 18
1/09/ 2014
-1.995
28
NOAA 18
3/09/ 2014
-1.97
29
NOAA
3/09/
-2.12
27/08/ 2014 -2,14
113.555 Petak Bahandang, Tasik payawan, Katingan 113.552 Petak Bahandang, Tasik payawan, Katingan 113.635 Tangkiling, Bukit 4/09/ 2014 Batu, Palangka Raya 113.7
Asam Kumbang,
-
113,772
Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basahV
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
75,55
TNS
Dilakukan penyisiran dengan radius 1 km dari koordinat hotspot, tidak ditemukan lokasi kebakaran. Kondisi di sekitar hotspot vegetasinya masih rapat dan didominasi oleh pohon, lantai hutan masih basah Ditemukan adanya bekas kebakaran dan kejadian kebakaran kawasan TN. Sebangau pada titik pertama koordinat Lat : -2,14; Long : 113,772 yang berjarak + 950 meter dari titik hotspot. Terjadi kebakaran juga pada : Titik kedua Lat : -2,14; Long : 113,767 yang berjarak + 800 meter dari titik hotspot. Titik ketiga Lat : -2,14; Long : 113,773 yang berjarak + 1,1 km dari titik hotspot. Titik keempat Lat : -2,13; Long : 113,763 yang berjarak + 1 km dari titik hotspot. Tidak dilakukan groundcheck karena kondisi S. Rasau surut/kering sehingga tidak ada akses untuk menuju lokasi hotspot
-
-
-
-
-
-
TNS
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi S. Rasau surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada di sekitar jl. Cilik Riwut. Tidak dilakukan groundcheck karena tidak
-1.97
-
113.635
-
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya -
64
18
2014
30
NOAA 18
3/09/ 2014
-2.11
31
NOAA 18
4/09/ 2014
-2.14
32
NOAA 18
6/09/ 2014
-1.97
33
NOAA 18
6/09/ 2014
-1.998
34
NOAA 18
6/09/ 2014
-2.099
35
NOAA 18
6/09/ 2014
-2.165
36
NOAA 18
7/09/ 2014
-2.195
37
NOAA 18
7/09/ 2014
-2.78
38
NOAA 18
14/09/ 2014
-1.965
39
NOAA
14/09/
-2.04
Kamipang, Katingan 113.72 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
ada akses ke lokasi tersebut. 4/09/ 2014
-2.0973
113.7172 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
113.76 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
5/09/ 2014
-2.1387
113.7648 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
V
TNS
113.62 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya 113.686 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.717 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya 113.75 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya 113.75 Bukit Tunggal, Jekan Raya P. Raya 113.63 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.635 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya 113.69 Habaring
7/09/ 2014
-1.972
113.52
7/09/ 2014
-1.987
113.686
-
-
-
7/09/ 2014
-2.177
113.723
8/09/ 2014
-2.186
113.71
-
-
-
15/09/ 2014 -1.967
113.622
15/09/ 2014 -2.04
113.69
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya Marang, Bukit Batu, Palangka Raya Bukit Tunggal, Jekan Raya P. Raya -
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya Habaring
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
Tidak ditemukan kebakaran di sekitar lokasi hotspot Ditemukan lahan bekas terbakar yg berada di luar TNS Ditemukan areal bekas terbakar yang telah dipadamkan Ditemukan lahan bekas terbakar yg berada di luar TNS pada kordinat Lat : -2,1460 dan Long : 113,7797 Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±3 km dari hotspot Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1,7 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±2 km dari hotspot Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±3 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi
65
18
2014
Hurung, Bukit Batu P. Raya
40
NOAA 18
14/09/ 2014
-2.04
41
NOAA 18
14/09/ 2014
-2.19
42
NOAA 18
15/09/ 2014
-1.95
43
NOAA 18
15/09/ 2014
-2.48
44
NOAA 18
16/09/ 2014
-1.94
45
NOAA 18
16/09/ 2014
-1.983
46
NOAA 18
16/09/ 2014
-2.104
47
NOAA 18
23/09/ 2014
-1.99
48
NOAA 18
23/09/ 2014
-2.015
49
NOAA 18
23/09/ 2014
-2.78
113.71 Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya 113.755 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya 113.65 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya 113.37 Tampelas, Mendawai, Katingan 113.6 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
Hurung, Bukit Batu P. Raya 15/09/ 2014 -2.04
113.71
15/09/ 2014 -2.06
113.701
16/09/ 2014 -1.85
113.55
-
-
-
Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya Marang, Bukit Batu, Palangka Raya Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya -
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada pada lahan usaha transmigrasi. Lokasi hotspot berada di lahan transmigrasi, ditemukan kebakaran pada lahan masyarakat transmigrasi. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1,1km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±700 m dari hotspot Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut
17/09/ 2014 -1.91
113.56
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1,7 km dari hotspot
113.62 Tangkiling, Bukit 18/09/ 2014 -1.93 Batu, Palangka Raya 113.704 Tahai, Bukit Batu, 18/09/ 2014 -2.11 Palangka Raya
113.61
Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya Tahai, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
113.71 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.71 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.33 Perigi, Mendawai, Katingan
24/09/ 2014 -1.89
113.51
-
V
_
TNS
24/09/ 2014 -2.011
113.71
Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya -
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±500 m dari hotspot Lokasi hotspot merupakan hutan sekunder, tidak ditemukan kebakaran pada lokasi tersebut , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1,7 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±800 m dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1k m dari hotspot Kondisi S. Landabung surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
113.671
-
66
50
NOAA 18
24/09/ 2014
-1.997
113.687 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.69 Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
25/09/ 2014 -1.987
113.626
51
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.04
52
NOAA 18
24/09/ 2014
53
NOAA 18
54
Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya Habaring Hurung, Bukit Batu P. Raya
-
V
_
TNS
25/09/ 2014 -2.01
113.58
-2.127
113.727 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
25/09/ 2014 -2.114
24/09/ 2014
-2.29
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.3
55
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.717
-
V
_
TNS
113.711
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
113.81 Kereng Bangkirai, 25/09/ 2014 -2.27 Sabangau, Palangka Raya
113.79
-
V
_
TNS
113.83 Kereng Bangkirai, 25/09/ 2014 -2.32 Sabangau, Palangka Raya
113.82
Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya
-
V
_
TNS
113.997 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.625 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.655 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.455 Tumbang Bulan, Mendawai,
113.817
-
V
_
TNS
56
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.77
-
-
-
TNS
Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
57
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.85
-
-
-
TNS
Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
58
NOAA 18
24/09/ 2014
-2.56
V
_
_
TNS
Terjadi kebakaran di sebelah utara lokasi hotspot yang berjarak ±1,8 km pada kordinat
26/09/ 2014 -2.711
-
-
-
-
-
-
25/09/ 2014 -2.56
113.455
Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau -
-
Tumbang Bulan,
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±4 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada pada lahan usaha transmigrasi. Lokasi hotspot merupakan hutan sekunder, tidak ditemukan kebakaran pada lokasi tersebut , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±1,4 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada di sekitar jalan G. Obos yg berjarak ±2 Km dari hotspot.. Lokasi hotspot merupakan hutan sekunder, tidak ditemukan kebakaran pada lokasi tersebut , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada ±500 km dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di seberang S. Sebangau.
67
Katingan 59
NOAA 18
25/09/ 2014
-2.77
113.63 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.78 Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya
60
NOAA 18
1/10/ 2014
-2.37
61
NOAA 18
1/10/ 2014
-2.7
114
62
NOAA 18
1/10/ 2014
-2.69
113.365
63
NOAA 18
1/10/ 2014
-2.37
113.45
64
NOAA 18
1/10/ 2014
-2.21
113.56
65
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.007
113.698
66
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.143
113.757
67
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.18
113.76
68
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.37
113.76 Kereng Bangkirai, Sabangau,
Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan Jahanjang, Kamipang, Katingan Asam Kumbang, Kamipang, Katingan Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya Marang, Bukit Batu, Palangka Raya Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mendawai, Katingan -
lat :-2545 dan long :113,466 -
-
-
TNS
Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
TNS
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut, terjadi kebakran di luar kawasan TNS yang berada di seberang S. Sebangau Kondisi S Bangah surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut.
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi kanal Jahanjang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut.
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
V
_
TNS
-
-
-
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat. Ditemukan lokasi bekas kebakaran yang terjadi pada bulan Agustus dan telah dilakukan pemadaman. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak 1 KM dari lokasi hotspot. Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut.
3/10/ 2014
-2.09
4/10/ 2014
-2.143
4/10/ 2014
-2.18
-
-
113.698 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.757 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya 113.76 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya -
-
68
69
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.36
70
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.4
71
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.69
72
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.76
73
NOAA 18
2/10/ 2014
-2.85
74
NOAA 18
3/10/ 2014
-1.96
75
NOAA 18
3/10/ 2014
-1.973
76
NOAA 18
3/10/ 2014
-2
77
NOAA 18
3/10/ 2014
-2.02
78
NOAA
3/10/
-2.153
113.99 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.95 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 114.06 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.63 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.67 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.615 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya 113.687 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
3/10/ 2014
113.977 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau -
-
V
_
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di seberang S. Sebangau
-
-
-
TNS
Kondisi S. Bakung surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-2.71
114.17
-
V
_
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di seberang S. Sebangau
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tersebut. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak 1 KM dari lokasi hotspot. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak 1 KM dari lokasi hotspot. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat. berjarak ±1,5 KM dari hotspot Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi
-
3/10/ 2014
-2.387
-
Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau -
4/10/ 2014
-1.968
113.617 Tangkiling, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
113.68 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya
5/10/ 2014
-2,12
113.58
Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
113.68 Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.747 Marang, Bukit
5/10/ 2014
-2.02
113.68
-
V
_
TNS
5/10/ 2014
-2.153
Banturung, Bukit Batu, Palangka Raya 113.747 Marang, Bukit
-
V
_
TNS
69
18
2014
79
NOAA 18
3/10/ 2014
-2.19
113.75 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
80
NOAA 18
3/10/ 2014
-2.765
81
NOAA 18
3/10/ 2014
-2.2
82
NOAA 18
4/10/ 2014
-2.2
113.625 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.565 Asam Kumbang, Kamipang, Katingan 113.75 Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
83
NOAA 18
8/10/ 2014
-2.28
84
NOAA 18
9/10/ 2014
-2.37
113.8
85
NOAA 18
9/10/ 2014
-2.57
113.38
86
NOAA 18
9/10/ 2014
-2.25
113.56
87
NOAA 18 NOAA 18
9/10/ 2014 10/10/ 2014
-2.18
113.57
-2.38
113.785
88
Batu, Palangka Raya
Batu, Palangka Raya -2.19
113.75
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
-
-
-
-
-
-
-
TNS
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi S. Kamipang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
6/10/ 2014
-2.22
113.79
Marang, Bukit Batu, Palangka Raya
-
V
_
TNS
113.805 Kereng Bangkirai, 9/10/ 2014 Sabangau, Palangka Raya
-2.268
113.81
-
V
_
TNS
-
-
-
Kereng Bangkirai, Sabangau, Palangka Raya -
-
-
-
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak ±1,3 KM dari lokasi hotspot. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berada di sekitar jalan G. Obos yg berjarak ±2 Km dari hotspot.. Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
11/10/ 2014
-2.57
-
V
_
TNS
-
-
-
-
-
TNS
-
-
-
-
-
TNS
Groundcheck hanya bisa dilakukan sampai dengan Danau Jalan Pangen karena tidak ada akses untuk menuju ke lokasi hotspot. Kondisi S. Kamipang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau. Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
Sabaru, Sabangau, Palangka Raya Galinggang, Mendawai, Katingan Baun Bango, Kamipang, Katingan Asam Kumbang, Kamipang, Sabaru, Sabangau,
5/10/ 2014
hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak ±2,5 KM dari lokasi hotspot. Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot , kebakaran terjadi di lahan masyarakat.yang berjarak ±1,7 KM dari lokasi hotspot. Kondisi S. Sampang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
113.508 Baun Bango, Kamipang, Katingan -
-
70
89
NOAA 18
10/10/ 2014
-2.78
90
NOAA 18
11/10/ 2014
-2.55
91
NOAA 18
11/10/ 2014
-2.352
92
NOAA 18
11/10/ 2014
-2.23
93
NOAA 18
11/10/ 2014
-2.24
94
NOAA 18
12/10/ 2014
-2.39
95
NOAA 18
18/10/ 2014
-2.405
96
NOAA 18
19/10/ 2014
-2.404
97
NOAA 18
27/10/ 2014
-2.542
98
NOAA 18 NOAA 18
28/10/ 2014 28/10/ 2014
-2.205
99
-2.97
Palangka Raya 113.36 Perigi, Mendawai, Katingan 113.375 Galinggang, Mendawai, Katingan 113.78 Sabaru, Sabangau, Palangka Raya 113.55 Baun Bango, Kamipang, Katingan 113.68 Baun Bango, Kamipang, Katingan 113.755 Sabaru, Sabangau, Palangka Raya 113.8 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.776 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau 113.375 Galinggang, Mendawai, Katingan 113.56 Asam Kumbang, Kamipang, 113.32 Mekartani, Mendawai, Katingan
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Kondisi S. Landabung surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
13/10/ 2014
-2.234
-
V
_
TNS
-
-
-
-
-
TNS
Groundcheck hanya bisa dilakukan sampai dengan Danau Jalan Pangen karena tidak ada akses untuk menuju ke lokasi hotspot. Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses kelokasi tersebut
-
-
-
-
-
-
-
TNS
29/10/ 2014
-2.97
113.32
-
V
_
TNS
Kondisi S. Kamipang surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau. Terjadi kebakaran di lahan masyarakat yang berjarak ± 1 km dari lokasi hotspot
113.511 Baun Bango, Kamipang, Katingan -
Mekartani, Mendawai, Katingan
71
100
NOAA 18
29/10/ 2014
-2.97
113.32 Mekartani, Mendawai, Katingan 113.325 Perigi, Mendawai, Katingan 113.392 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan
30/10/ 2014
-2.97
113.32
101
NOAA 18
29/10/ 2014
-2.78
102
NOAA 18
1/11/ 2014
-2.644
103
NOAA 18
3/11/ 2014
104
NOAA 18
-
-
-
3/11/ 2014
-2.644
-2.6
113.385 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan
4/11/ 2014
-2.59
6/11/ 2014
-2.52
NOAA 18
6/11/ 2014
-2.615
113.63 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan 113.4 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan
105
106
NOAA 18
8/11/ 2014
-2.39
107
NOAA 18
9/11/ 2014
-2.422
113.795 Sabaru, Sabangau, Palangka Raya 113.717 Paduran Sebangau, Sebangau Kuala, P Pisau
8/11/ 2014
-
Mekartani, Mendawai, Katingan -
-
V
_
TNS
Terjadi kebakaran di lahan masyarakat yang berjarak ± 1 km dari lokasi hotspot
-
-
-
TNS
Kondisi S. Landabung surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
113.392 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan 113.31 Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan -
V
-
-
TNS
Terjadi kebakaran di pinggiran S. Bulan dan S. Musang pada area terbuka yang sudah padam saat groundcheck
-
V
_
TNS
Tidak ditemukan kebakaran pada lokasi hotspot . Kebakaran terjadi di luar kawasan TN Sebangau.
-
-
-
TNS
Kondisi SBandat surut/kering sehingga lokasi hotspot tidak dapat dijangkau.
V
-
-
TNS
Terjadi kebakaran di pinggiran S. Bulan pada area terbuka yang sudah padam saat digroundcheck
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tsb.
-
-
-
TNS
Tidak dilakukan groundcheck karena tidak ada akses ke lokasi tsb.
-2.615
113.4
-
-
-
-
-
-
Sumber : Evlap BTNS (Surat Kepala Balai TNS nomor: S.38/BTNS-1/PH/2015)
Tumbang Bulan, Mendawai, Katingan -
72
Lampiran 4 Rekapitulasi pengukuran luas kebakaran hutan kawasan Taman Nasional Sebangau tahun 2014 I. SPTN WILAYAH I No Tanggal Pengukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
5 s.d. 15 September 2014 5 s.d. 15 September 2014 11 s.d. 15 September 2014 12 s.d. 15 September 2014 13 s.d. 15 September 2014 14 s.d. 15 September 2014 15 s.d. 15 September 2014 18 s.d. 24 November 2014 19 s.d. 24 November 2014 20 s.d. 24 November 2014
Koordinat
Tangkiling - Resort Habaring Hurung Tangkiling - Resort Habaring Hurung Banturung - Resort Habaring Hurung Banturung - Resort Habaring Hurung Banturung - Resort Habaring Hurung Banturung - Resort Habaring Hurung Banturung - Resort Habaring Hurung Bukit Tunggal – Resort Habaring Hurung Marang – Resort Habaring Hurung Kereng Bengkirai 1 – Resort Sebangau Hulu 21 s.d. 24 November 2014 X : 113.840262 Y : -2.302401 Kereng Bengkirai 2 – Resort Sebangau Hulu TOTAL LUAS AREAL TERBAKAR DI SPTN WILAYAH I
II. SPTN WILAYAH II No Tanggal Pengukuran 1 10 s.d. 17 November 2014 2 11 s.d. 17 November 2014 3 11 s.d. 17 November 2014 4 12 s.d. 17 November 2014 5 10 s.d. 17 November 2014
X : 113.640552 X : 113.640857 X : 113.706596 X : 113.707921 X : 113.706714 X : 113.704443 X : 113.716007 X : 113.767946 X : 113.71600 X : 113.838176
Lokasi Kejadian
Y : -1.963295 Y : -1.958907 Y : -2.012184 Y : -2.006057 Y : -2.006105 Y : -2.001752 Y : -2.012184 Y : -2.142517 Y : -2.097214 Y : -2.299949
Koordinat X : 114.004 Y : -2.706 X : 114.048 Y : -2.685 X : 114.015 Y : -2.693 X : 114.042 Y : -2.643 X : 113.636 Y : -2.778
Lokasi Kejadian Sungai Bangah – Resort Bangah Sungai Bangah – Resort Bangah Sungai Bangah – Resort Bangah Sungai Mangkok – Resort Mangkok Sungai Sampang – Resort Sebangau Kuala TOTAL LUAS AREAL TERBAKAR DI SPTN WILAYAH II
Luas Kebakaran (Ha) 29.61 14.98 2.25 5.87 9.83 5.06 2.25 75.55 13.62 12.51 11.03 182.56
Luas Kebakaran (Ha) 124 510 112 150 1253.18 2148.18
73
III. SPTN WILAYAH III No Tanggal Pengukuran 1 3 s.d. 12 September 2014
Koordinat X : 113.501 Y : -2.528
Lokasi Kejadian Sungai Bulan - Resort Muara Bulan
Luas Kebakaran (Ha) 88.97
2
27 September 2014
X : 113.467
Y : -2.544
Sungai Bulan - Resort Muara Bulan
55.62
3
11 November 2014
X : 113.244598
Y : -2.384661
Sungai Bulan - Resort Muara Bulan
1291
4
25 November s.d. 1 Desember 2014 26 November s.d. 1 Desember 2014 27 November s.d. 1 Desember 2014 28 November s.d. 1 Desember 2014 29 November s.d. 1 Desember 2014 30 November s.d. 1 Desember 2014 30 November s.d. 1 Desember 2014 30 November s.d. 1 Desember 2014 30 November s.d. 1 Desember 2014 18 s.d. 24 Desember 2014
X : 113.211150
Y : -2.462968
Sungai Landabung - Resort Muara Bulan
40.15
X : 113.213402
Y : -2.455215
Sungai Landabung - Resort Muara Bulan
27.88
X : 113.213883
Y : -2.455687
Sungai Landabung - Resort Muara Bulan
18.25
X : 113.214226
Y : -2.464703
Sungai Landabung - Resort Muara Bulan
30.10
X : 113.211150
Y : -2.462972
Kanal Bukit Kaki – Resort Mendawai
80.50
X : 113.211150
Y : -2.462973
Kanal Bukit Kaki – Resort Mendawai
90.39
X : 113.211150
Y : -2.462974
Kanal Bukit Kaki – Resort Mendawai
64.12
X : 113.211150
Y : -2.462975
Kanal Bukit Kaki – Resort Mendawai
21.11
X : 113.211150
Y : -2.462976
Sungai Lewang – Resort Muara Bulan
34.90
X : 113.211150
Y : -2462977
Kanal Bukit Kaki – Resort Mendawai
193
5 6 7 8 9 10 11 12 13
TOTAL LUAS AREAL TERBAKAR DI SPTN WILAYAH III TOTAL LUAS AREAL TERBAKAR DI KAWASAN TN SEBANGAU TAHUN 2014 ( I+II+III) Sumber : Evlap BTNS (Surat Kepala Balai TNS nomor: S.38/BTNS-1/PH/2015)
2035.74 4364.24
74