PENGINDERAAN JAUH: POSISI, PARADIGMA, DAN PEMODELANNYA DALAM KAJIAN GEOGRAFI
Projo Danoedoro
dalam rangka
Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Tanggal 4 Agustus 2010 di Yogyakarta
Yang terhormat, Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas Geografi UGM, Dekan Fakultas Geografi UGM beserta para Wakil Dekan, Para Guru Besar Fakultas Geografi, Ketua dan Sekretaris Jurusan di lingkungan Fakultas Geografi UGM, Ketua dan Sekretaris Program Studi di lingkungan Fakultas Geografi UGM, Para Kepala Laboratorium, Seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan, Para wakil mahasiswa, serta para tamu undangan yang berbahagia,
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama marilah kita
panjatkan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenanNya kita dapat berkumpul di forum ini untuk memenuhi amanat dari Senat Fakultas Geografi UGM, yaitu melaksanakan kegiatan akademik berupa pidato pengukuhan lektor kepala bagi saya dan beberapa kolega yang lain. Dalam waktu yang relatif singkat berikut ini saya akan menyampaikan pidato tentang penginderaan jauh, bidang ilmu yang telah saya geluti hampir 27 tahun, dengan fokus berupa posisi, paradigma, dan pemodelannya dalam kajian geografi. Judul yang saya pilih dalam pidato ini adalah: PENGINDERAAN JAUH: POSISI, PARADIGMA, DAN PEMODELANNYA DALAM KAJIAN GEOGRAFI Hadirin yang saya muliakan, Kehadiran penginderaan jauh dalam aktivitas survei dan pemetaan di dunia telah lama berlangsung; begitu pula halnya di dunia pendidikan. Di Fakultas Geografi UGM sendiri, penginderaan jauh yang berakar pada teknik interpretasi foto udara telah menjadi suatu seksi atau unit tersendiri sejak tahun 1967. Hingga saat ini, status unit akademik penginderaan jauh pada jenjang S1 telah berubah-ubah dari seksi, jurusan, program studi, minat di bawah jurusan kartografi dan penginderaan jauh, dan kemudian bahkan hanya menjadi satu topik kajian di bawah program studi kartografi dan penginderaan jauh. Status akademik yang lebih mapan dipunyai oleh Program Studi S2 Penginderaan Jauh, yang sejak pendiriannya di tahun 1984 hingga sekarang tidak pernah mengalami perubahan. Sementara itu, pada jenjang S3,
1
program penginderaan jauh masih berstatus sebagai minat di bawah Program Studi S3 Ilmu Geografi. Perubahan-perubahan status dan kedudukan penginderaan jauh secara akademis di Fakultas Geografi UGM tentu saja tidak sepenuhnya menggambarkan pasang-surut perubahan status keilmuannya, mengingat bahwa dalam 40 tahun terakhir, penginderaan jauh telah dikenal sebagai salah satu alat utama dalam analisis geografi.
Mata kuliah
penginderaan jauh telah dimasukkan di hampir setiap program studi geografi di berbagai universitas di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa analisis dan interpretasi citra merupakan salah satu materi utama dalam metode dan teknik analisis geografi. Meskipun demikian, tidak semua penulis di bidang filsafat dan metodologi geografi secara terbuka mengakui bahwa penginderaan jauh merupakan satu sub-disiplin dalam geografi. Johnston (2006), salah satu geografiwan yang tulisannya banyak menyoroti perkembangan keilmuan geografi, tidak pernah menyebutkan peran signifikan penginderaan jauh dalam analisis geografi. Hagget (1983) yang pemikirannya cukup menonjol di bidang ilmu geografi juga tidak pernah menyebutnya secara spesifik sebagai bagian dari geografi terpadu. Penginderaan jauh yang mulai banyak diadopsi oleh para geografiwan dalam analisis mereka ternyata kalah populer dibandingkan dengan sistem informasi geografis (SIG), khususnya di kalangan geografi manusia, geografi regional, dan juga di berbagai forum kajian ilmu-ilmu sosial. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, seberapa penting kedudukan penginderaan jauh dalam geografi? Apakah dia hanya merupakan salah satu alat analisis geografi atau mempunyai kedudukan metodologis yang lebih penting, dalam arti mampu mengubah perkembangan keilmuan geografi dan menjadi salah satu penciri geografi modern? Pidato ini mencoba melihat perkembangan penginderaan jauh dalam kaitan dengan perkembangan geografi modern, perubahan paradigma yang terjadi kalau pun itu ada, serta model-model yang diturunkannya dalam membantu kajian-kajian geografis. Pidato ini akan saya tutup dengan pemikiran tentang sumbangan penginderaan jauh bagi perkembangan geografi dan implikasinya dalam penelitian akademis di progam pendidikan geografi. 1. POSISI PENGINDERAAN JAUH DALAM GEOGRAFI Hadirin yang saya muliakan, Gagasan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, bukan sekadar teknologi, telah lama diperdebatkan. Sutanto (1986) mengutip pemikiran Dahlberg dan Jensen (1986) yang menyatakan bahwa penginderaan jauh dan kartografi merupakan teknik dalam disiplin
2
geografi. Dalam perkembangannya, kedua teknik ini tumbuh menjadi disiplin baru yang dicirikan oleh tanda-tanda yang cukup jelas, meliputi metodologi, teknik, dan orientasi
Aktivitas
intelektual yang perkembangannya mengikuti kurva perkembangan ilmu (Gambar 1).
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
Waktu Gambar 1 Tahap perkembangan penginderaan jauh, yang mengikuti model tahap-tahap perkembangan ilmu (Jensen, 2007).
Gagasan serupa dikemukakan lagi oleh Jensen (2005), yang menyatakan bahwa posisi penginderaan jauh di geografi adalah serupa dengan posisi matematika di ilmu-ilmu alam (Gambar 2). Artinya, penginderaan jauh berdiri sendiri sebagai suatu disiplin, dan sekaligus melayani sebagai alat analisis dalam geografi. Melalui analogi ini, Jensen menempatkan penginderaan jauh di bawah geografi, seperti halnya matematika di bawah IPA (science). Gagasan bahwa perkembangan penginderaan jauh mengikuti ciri-ciri suatu tubuh pengetahuan yang berupa ilmu (sains) dapat diperbandingkan dengan pendapat Zen (1979), yang menyatakan bahwa suatu pengetahuan disebut sains kalau pengetahuan tersebut mampu memforrmulasikan gejala keteraturan di alam, menyusunnya dalam bentuk teori dan mempunyai mekanisme untuk menguji diri sendiri (self testing).
Gambar 2. 2 Posisi penginderaan jauh dalam kaitannya dengan SIG, kartografi dan surveying, yang terbentuk melalui interface antara ilmu-ilmu fisikal, hayati, dan sosial, di mana keempatnya ‘diikat’ oleh matematka dan logika (Jensen, 2005).
3
Lepas dari persoalan tersebut, kehadiran penginderaan jauh (dan sistem informasi geografis) telah meningkatkan peran dan eksistensi geografi dalam dunia akademis dan praktis, khususnya dalam penyelesaian masalah-masalah keruangan, lingkungan dan kewilayahan. Johnston (2006) menunjukkan bahwa pada tahun 2001 telah dilakukan survei terhadap beberapa jurnal internasional terkemuka, untuk melihat seberapa besar kontribusi para geografiwan di setiap jurnal tersebut. Tabel 1 memperlihatkan bahwa International Journal of Remote Sensing yang diterbitkan oleh Royal Society for Photogrammetry and Remote Sensing di Inggris merupakan salah satu jurnal terkemuka dengan fokus penginderaan jauh, di mana untuk tahun 2001 itu terdapat 51 artikel yang ditulis oleh geografiwan. Posisi ini menunjukkan kontribusi penting geografiwan dalam pengembangan penginderaan jauh dunia. Tabel 1. 1. Daftar jurnal dengan jumlah artikel terbanyak yang diterbitkan oleh geografiwan, dalam nominasi untuk RAE (Research Assessment Exercise) di Inggris, 2001 Jumlah artikel yang ditulis oleh geografiwan
No
Nama Jurnal
1
Environment and Planning A
141
2
Transactions, Institute of British Geographers
102
3
Earth Surface Processes and Landforms
97
4
Hydrological Processes
90
5
Quarternary Science Review
60
6
Environment and Planning D: Society ad Space
59
7
Journal of Quarternary Science
57
8
Geomorphology
57
9
51
10
International Journal of Remote Sensing* Holocene
11
Journal of Historical Geography
49
12
Regional Studies
46
13
Area
44
14
Urban Studies
41
15
Geoforum
41
16
Political Geography
38
17
Applied Geography
34
18
Progress in Physical Geography
33
19
Journal of Hydrology
33
20
Geographical Journal
32
21
Progress in Human Geography
28
22
Annals of the Association of American Geographers
24
23
Economic Geography
50
20 (sumber: Johnston, 2006, dengan perubahan)
Penulis juga telah mencoba untuk mencermati kontribusi artikel penginderaan jauh oleh geografiwan di jurnal Remote Sensing of Environment dalam 10 tahun terakhir. Jurnal tersebut dipilih karena dua alasan. Pertama, artikel yang dimuat lebih memberi bobot pada
4
pengembangan metode penginderaan jauh, bukan aplikasi, jika dibandingkan dengan jurnaljurnal internasional lain yang berkecimpung di ranah kajian yang hampir sama; misalnya Computers, Environment and Urban Systems dan International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation (dulu bernama ITC Journal).
Kedua, jurnal tersebut
mempunyai impact factor tertinggi di dunia untuk bidang penginderaan jauh dan SIG sejak tahun 2000, yang berarti bahwa rata-rata jumlah sitasi per artikel oleh penulis lain di dunia juga paling tinggi, termasuk jika dibandingkan dengan International Journal of Remote Sensing, ASPRS Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, ISPRS Photogrammetry and Remote Sensing, serta Canadian Journal of Remote Sensing. Seperti tersaji pada Gambar 3, dalam kurun waktu 2001 sampai dengan 2010, ratarata kontribusi artikel oleh penulis yang berasal dari unit akademis geografi adalah 35,22%. Tingkat kontribusi ini lebih tinggi daripada kontribusi penulis dengan latar belakang institusi keilmuan lain. Angka ini bahkan belum mempertimbangkan kontribusi dari penulis lain dengan latar belakang geografi dan bekerja di lembaga riset dengan nama formal bukan geografi, misalnya NASA, CSIRO, dan USGS.
Gambaran ini menunjukkan bahwa
geografiwan memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan ilmu penginderaan jauh, bukan hanya dalam bentuk aplikasi melainkan juga pengembangan teori dan metodenya.
% artikel setiap tahun
100%
80%
60%
% lain-lain 40%
% artikel ahli pertanian % artikel oleh ahli ekologi dan lingkungan
20%
% artikel oleh geografiwan 0% 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun pene rbitan
Gambar 3. Kontribusi artikel geografiwan dalam jurnal Remote Sensing of Environment (2001 – 2010), dihitung dalam persentase terhadap artikel total. Data tahun 2010 hanya sampai dengan Juni.
2. PARADIGMA DALAM PENGINDERAAN JAUH Hadirin yang saya hormati, Paradigma menjadi suatu istilah yang sering disebut setiap kali perdebatan tentang aspek ontologis dan epistemologis suatu bidang ilmu muncul.
Istilah ini pertama kali
dikemukakan oleh Kuhn (1962) untuk merujuk pada suatu cara pandang atas masalah yang
5
diakui secara universal, dan dianut oleh sekelompok peneliti dan praktisi pada kurun waktu tertentu, dan dari cara pandang ini kemudian diturunkan berbagai teori, pendekatan, metode serta teknik analisis untuk menyelesaikan masalah dalam lingkup kajian bidang ilmu tertentu. Dalam geografi dikenal ada beberapa macam paradigma.
Hagget (1983) menyebutnya
sebagai supermodel. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kuhn memandang kehadiran paradigma berkaitan erat dengan revolusi ilmiah: di mana ada revolusi ilmiah, di situ muncul paradigma baru. Kritik atas perkembangan ilmu dalam bentuk revolusi ilmiah ini telah banyak dilakukan. Widberg (1978, dalam Holt-Jensen, 1999) memandang bahwa perkembangan ilmu dapat bersifat paradigmatik, namun dapat pula tidak. Secara garis besar, Widberg menjelaskan bahwa perkembangan ilmu merupakan kombinasi dari dua pasang keadaan yang bersifat dikotomis, yaitu idealistik atau materialistik, dan mekanis atau dialektis, seperti tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. 2 Klasifikasi pola perkembangan ilmu menurut Widberg (1978) Mekanis
Dialektis
Idealistik
I
II
Materialistik
III
IV
Cara pandang mekanis mengimplikasikan bahwa pekembangan ilmu bersifat linier, di mana setiap generasi baru melanjutkan generasi berikutnya. Di sini tidak ada revolusi, melainkan hanya perkembangan spesialisasi, profesionalisasi, serta perkembangan metode dan pemahaman yang lebih baik. Sebaliknya, cara pandang dialektis mengimplikasikan adanya kontradiksi antara yang lama dan baru, serta ilmu berkembang melalui revolusi. Sementara itu, cara pandang idealistik merupakan suatu cara pandang di mana ideologi menjadi faktor pendorong di balik perubahan ilmu. Cara pandang materialistik justru melihat bahwa basis material-lah yang mengatur perubahan dan kemajuan ilmu. Melalui pandangan Widberg ini maka perkembangan ilmu melalui paradigma pada hakikatnya adalah perubahan tipe IV, yaitu dialektis-materialistik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah penginderaan jauh mempunyai paradigma? Dengan memperhatikan syarat suatu cabang pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu (Zen, 1979), serta memperhatikan pendapat Dahlberg dan Jensen (1986) dan juga Jensen (2007), maka penginderaan jauh bisa dikategorikan sebagai suatu bidang ilmu, dan sekaligus sub-disiplin dalam geografi. Tabel 1 dan Gambar 3 memperkuat pandangan ini, karena 6
jumlah artikel penginderaan jauh yang ditulis oleh geografiwan menempati posisi atau persentase yang sangat menonjol dibandingkan artikel yang ditulis oleh ilmuwan lain. Melalui cara pandang Kuhn (1962) atas struktur ilmu, maka penginderaan jauh juga bisa dipandang sebagai bidang kajian yang menggunakan paradigma dalam geografi. Hadirin yang saya hormati, Saya memandang paradigma dalam penginderaan jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah paradigma yang dipinjam – atau tepatnya diwarisi— langsung dari pergulatan pemikiran geografi.
Kategori kedua adalah paradigma yang
berkembang dari dalam penginderaan jauh sendiri. Kategori ketiga adalah paradigma yang berkembang sebagai hasil interaksi antara pergulatan pemikiran geografi secara umum, penginderaan jauh, dan ilmu-ilmu lain. Perkembangannya tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Perkembangan paradigma dalam penginderaan jauh dengan menggunakan interpretasi grafis Henriksen (1973) atas gagasan Kuhn (1962) sebagai dasar. Fase-fase krisis (scientific crisis) keilmuan ditandai dengan revolusi (program Landsat di tahun 1970-an dan citra satelit resolusi tinggi di akhir 1990-an), dan tanpa revolusi (sistem hiperspektral pada awal 1990-an).
Paradigma dalam penginderaan jauh yang diwarisi langsung dari geografi adalah paradigma morfologi bentanglahan. Holt-Jensen (1999) menyebutkan bahwa pada bentuk aslinya, paradigma dalam geografi tersebut adalah paradigma geomorfologi. Geomorfologi bukan sekadar sub-disiplin dalam geografi, melainkan merupakan suatu cara pandang atas fenomena bentanglahan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam proses dan karakteristik komponen bentanglahan yang terbentuk. Harrison (2006) menyebutnya sebagai
7
paradigma proses-bentuk (process-form paradigm), yang berakar dari geomorfologi Davisian (mengacu ke salah satu pelopor geografi fisik terkenal, William Morris Davis). Geomorfologi Davisian menekankan kajian atas struktur, proses dan tahap; meskipun titik beratnya tetap pada tahap (Rhoads, 2006). Penginderaan
jauh
menggunakan
paradigma
morfologi
bentanglahan
untuk
memahami (bukan mempelajari) proses yang berlangsung pada satuan-satuan pemetaan yang dikaji, serta menurunkan informasi berbagai karakteristik lahan yang ada pada setiap satuan berdasarkan keterkaitan antara struktur, proses dan tahap perkembangan. Pemahaman ini dijadikan dasar untuk mengkaji lebih jauh aspek-aspek spasial fenomena lain yang terkait. Interpretasi karakteristik batuan, tanah dan juga hidrologis banyak dilakukan dengan pendekatan satuan bentuklahan, di mana gagasan tentang morfologi bentanglahan menjadi landasannya. Kajian vegetasi dalam konteks ekologi bentanglahan juga merupakan contoh dari paradigma geomorfologi. Penginderaan jauh kemudian memperluas paradigma geomorfologi ini menjadi paradigma morfologi bentanglahan, dengan memasukkan bentanglahan sosiokultural ke dalamnya. Kajian fenomena kekotaan bisa dilakukan dengan interpretasi citra secara visual, di mana bentanglahan sosio-kultural diasumsikan terwakili oleh kenampakan morfologisnya.
Homogenitas kepadatan, pola, keteraturan, ukuran unit dan lokasi/situs
permukiman kota menjadi kriteria utama dalam mengelompokkan fenomena sosial, ekonomi dan kultural. Satuan-satuan itu kemudian dijadikan dasar dalam stratified sampling, serta menjadi satuan analisis utama untuk berbagai kajian. Paradigma yang berkembang dari dalam penginderaan jauh sendiri adalah paradigma spektral.
Hal ini wajar karena informasi spektral merupakan aspek intrinsik data
penginderaan jauh. Semua sensor penginderaan jauh merekam respons spektral obyek dalam bentuk citra. Paradigma spektral memandang fenomena bentangalam dari kacamata respons spektral, baik pancaran (emittance), pantulan (reflectance), serapan (absorbtance), terusan (transmittance) maupun hamburan balik (backscatter).
Menurut paradigma ini, obyek
geografis dapat dibedakan berdasarkan respons spektralnya. Teori tentang pembedaan dan klasifikasi obyek menurut paradigma spektral dikembangkan, antara lain melalui metodemetode klasifikasi multispektral, transformasi spektral (misalnya indeks vegetasi, indeks tanah, indeks kebasahan, dan indeks kekotaan), serta klasifikasi hiperspektral.
8
Teori-teori yang dilandasi paradigma spektral menjadi tulang punggung dalam pengembangan metode pemetaan fenomena geografis berbasis citra digital multispektral. Proses biofisik terkait dengan perpindahan materi dan energi juga dijelaksan melalui teori imbangan energi permukaan lahan (surface energy balance) dalam paradigma spektral. Fenomena pulau bahang di perkotaan (urban heat island) hanya dapat dimodelkan secara efektif melalui analisis spektral citra saluran termal, karena model lain tidak mampu menyajikan variasi temperatur dalam ruang secara rinci. Estimasi evapotranspirasi secara spasial juga hanya bisa efektif dimodelkan melalui analisis citra termal dan indeks vegetasi, didukung oleh model elevasi digital. Perkembangan sensor radar pada spektrum gelombang mikro seperti ALOS-PALSAR juga memungkinkan analisis spektral multi-polarisasi secara digital, untuk pembedaan tipe-tipe vegetasi dan tingkat kerusakan hutan di wilayah yang sering tertutup awan. (Isoguchi et al., 2009). Penting untuk dicatat bahwa paradigma spektral dalam penginderaan jauh juga melahirkan metode beserta parameter-parameter ikutan dalam kajian lingkungan, yang hanya bisa dilakukan dengan data penginderaan jauh. Paradigma ketiga yang berkembang sebagai hasil interaksi antara geografi, penginderaan jauh, dan ilmu-ilmu lain –misalnya geometri komputasi (computational geometry), matematika morfologi (morphology mathematics), ekologi, dan statistik spasial adalah paradigma ‘morfo-spasial kuantitatif’.
Saya mengajukan istilah ini berdasarkan
kemunculan berbagai teori dan metode yang menggunakan data penginderaan jauh dan SIG sebagai kasus. Mengacu kembali ke subtansi cara pandang paradigmatik atas perkembangan sains, yang sebenarnya merupakan interpretasi grafis atas pemikiran Kuhn (Henriksen, 1973), maka kemunculan paradigma baru merupakan upaya untuk mengatasi kebuntuan atau kegagalan teori atau metode yang telah banyak dianut dalam memecahkan masalah di bidangnya. Paradigma morfologi bentanglahan melahirkan berbagai metode yang dipandang kurang mampu memberikan ukuran kuantitatif atas fenomena spasial yang dikaji. Kekurangan ini tampak nyata dari cara pendefinisian ruang dan batas-batas ruang yang bersifat kualitatif, memuat subyektivitas, serta sangat tergantung pada faktor pengalaman atau ‘jam terbang’ penafsir citra. Sementara itu, paradigma spektral memperlakukan citra penginderaan jauh sebagai kumpulan piksel secara individual, di mana pola, struktur dan ukuran fenomena spasialnya kurang dapat dikuantifikasi dengan tepat. Kekurangan dalam kuantifikasi ini muncul karena pola spasial pada layar monitor ataupun peta tercetak hanya merupakan persepsi mental analis citra, dan bukan didefinisikan secara eksplisit oleh sistem.
9
Paradigma morfo-spasial kuantitatif, menurut hemat saya, menaungi sekumpulan pendekatan dan teori yang secara langsung tidak saling berhubungan, serta ditujukan untuk mengatasi masalah yang berbeda-beda. Meskipun demikian, paradigma ini memberikan cara pandang serupa atas masalah spasial yang tidak bisa diatasi oleh dua paradigma yang terdahulu. Kesamaan cara pandang ini ialah bahwa fenomena spasial geografis itu terukur pola dan morfologinya, dapat dikuantifikasi dengan tingkat otomasi yang tinggi, dan dapat dimodelkan berdasarkan observasi atas serangkaian titik secara individual. Salah satu teori yang menonjol di bawah paradigma morfo-spasial kuantitatif ini misalnya teori fragmentasi bentanglahan. Indeks fragmentasi digunakan untuk mengukur tingkat kerapuhan ekosistem dengan memperhatikan jumlah kelas dibandingkan jumlah sel dalam setiap jendela bergerak (moving window) berukuran n x n piksel.
Implementasi
metode ini hanya bisa efektif diterapkan pada citra penutup lahan, penggunaan lahan atau tipe vegetasi berbasis piksel. Formulasi yang dikembangkan pun sangat berbasis piksel(Gergel dan Turner, 2002; O’Neill dan Smith, 2002), dengan bertumpu pada citra digital dan SIG berbasis raster. Contoh lain adalah teori dan metode klasifikasi berorientasi obyek (Baatz dan Schappe, 2000; Bock et al., 2004; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007).
Klasifikasi
berorientasi obyek mampu mengelompokkan piksel bukan semata-mata berdasarkan warna atau nilai spektralnya, melainkan juga bentuk dan ukuran obyek yang dilandasi oleh parameter statistik homogenitas piksel dan kenampakan teksturalnya.
Navulur (2007)
menyebut hal ini sebagai paradigma baru dalam penginderaan jauh, meskipun saya kurang sependapat dan cenderung menempatkannya sebagai teori dan metode baru di bawah paradigma morfo-spasial kuantitatif. Klasifikasi berbasis obyek dikembangkan untuk mengatasi kegagalan teori dan metode berbasis paradigma spektral, yang secara eksplisit tidak mampu mendeteksi, membatasi, dan mengklasifikasi fenomena spasial kumpulan piksel yang membentuk pola tertentu, meskipun secara visual kita melihatnya dengan jelas. Hadirin yang terhormat, Meskipun paradigma mendominasi silih berganti, bukan berarti bahwa paradigma lama ditinggalkan begitu saja.
Holt-Jensen (1999) menyebutkan bahwa paradigma
geomorfologi, yang kemudian disebut oleh Harrison (2006) sebagai paradigma prosesbentuk, tetap bertahan hingga sekarang.
Di penginderaan jauh, paradigma yang telah
berkembang menjadi morfologi bentanglahan ini masih sampai saat ini dan belum dapat sepenuhnya digantikan oleh paradigma lain. Paradigma spektral belum mampu menurunkan
10
teori dan metode ekstraksi informasi yang mampu menghasilkan satuan-satuan bentuklahan dengan material induk, lokasi, intensitas proses dan ekspresi relief seakurat dan seefektif interpretasi visual yang akhir-akhir ini sering dikritik karena kekurangannya itu. Paradigma morfo-spasial kuantitatif, misalnya melalui metode segmentasi dan klasifikasi berbasis obyek untuk citra Quickbird, belum dapat secara akurat menghasilkan satuan-satuan permukiman dengan kepadatan, keteraturan, dan ukuran unit yang sama (Danoedoro, 2006). Pertanyaan selanjutnya adalah, untuk apa pemahaman tentang paradigma ini? Pemahaman paradigma tentu saja tidak punya makna praktis dalam aktivitas penelitian sehari-hari. Walaupun demikian, peneliti juga perlu tahu tentang metode dan bangunan teori yang melandasi penelitiannya mengikuti suatu aliran pemikiran atau cara pandang tertentu, yang kemungkinan berbeda dengan peneliti lain, meskipun sepintas mempunyai mekanisme proses yang hampir serupa. Memahami paradigma adalah memahami proses perkembangan suatu ilmu dalam menjawab tantangan zaman.
Lebih dari itu, pemahaman ini sangat
membantu para konseptor pendidikan geografi dan perancang kurikulum penginderaan jauh untuk menempatkan fokus kajian pendidikan dan risetnya dalam perkembangan mutakhir ilmu yang digeluti. Bagi para peneliti, pemahaman tentang paradigma payung dalam model yang mereka gunakan sangat bermanfaat dalam perdebatan tentang relevansi, manfaat serta keterbatasan penelitian tersebut. Aspek spasial, spektral dan temporal menempati tema sentral dalam kajian-kajian penginderaan jauh, meskipun kedudukan aspek temporal berbeda dibandingkan keduanya. Banyak buku teks penginderaan jauh (misalnya Adams dan Gillespie, 2006; Lillesand et al., 2008; Liu dan Mason, 2009; Tso dan Mather, 2009; Gao, 2009) menambahkan konsep ‘multi’ di depan ketiga aspek tersebut, yang kemudian bermakna multi-tingkat (multi-skala), multi-spektral, dan multi-temporal.
Aspek spasial dan spektral telah mewujud dalam
paradigma-paradigma penginderaan jauh, tetapi tidak ada satu penulis pun yang menyebutkan adanya paradigma temporal dalam kajiannya. Aspek temporal dalam kajian penginderaan jauh, dan bahkan geografi, tidak pernah berdiri sendiri. Berbeda halnya dengan cara pandang penginderaan jauh atas fenomena geografis secara spasial ataupun spektral, tidak ada satu pun fenomena yang dianalisis semata-mata berdasarkan aspek temporalnya saja. Aspek temporal selalu muncul terkombinasi dengan aspek lain dalam bentuk pendekatan (approaches), misalnya pendekatan spasio-temporal, atau spektro-temporal. Pendekatan multi-temporal dalam penginderaan jauh selalu diletakkan dalam konteks paradigma yang memayunginya, baik morfologi bentanglahan, spektral , maupun morfo-spasial kuantitatif.
11
3. PEMODELAN DENGAN PENGINDERAAN JAUH Hadirin yang saya hormati, Berkaitan dengan istilah pendekatan, pembahasan ini kemudian merambah sampai ke konsep pemodelan dengan penginderaan jauh. Model digunakan untuk menyederhanakan masalah atau fenomena yang dikaji, sehingga melalui penyederhanaan itu semua komponen yang dipandang terlibat beserta hubungan di antara mereka jelas terlihat dan dapat dianalisis untuk memberikan pemecahan masalah (Couclelis, 2003).
Untuk dapat memecahkan
masalah melalui pemodelan diperlukan pendekatan, dan pendekatan dilandasi oleh teori maupun paradigma yang digunakan. Pendekatan merupakan cara untuk memandang masalah dari sudut pandang tertentu, untuk kemudian secara praktis merinci masalah ke dalam variabel-variabel operasional yang akan dimasukkan dalam pemodelan. Dalam penginderaan jauh, aspek spasial, spektral dan temporal sering dikombinasikan dalam berbagai pendekatan. Pendekatan spektral (yang dilandasi oleh paradigma spektral) merinci fenomena kajian ke dalam variabel-variabel spektral, baik berupa nilai spektral asli hasil perekaman sensor maupun nilai indeks hasil transformasi spektral. Variabel-variabel spektral ini diasumsikan menggambarkan fenomena variasi kerapatan vegetasi, kelembaban tanah, ataupun variasi jenis penutup lahan. Pendekatan spasio-temporal mengkombinasikan informasi spektral dan informasi (multi)-temporal dalam time-series analysis. Pendekatan kunci foto menekankan kenampakan fotomorfik pada citra melalui interpretasi fotografik. Ada banyak pendekatan dalam penginderaan jauh, tetapi yang jelas semua pendekatan itu bersifat operasional dan secara hirarkhis berada di bawah teori maupun paradigma yang memayunginya. Di bawah pendekatan, secara hirakhis terdapat model. Model melibatkan metode dan teknik. Couclelis (2003) menegaskan bahwa untuk dapat melalukan pemodelan, seluruh komponen yang akan dilibatkan harus dikenali entitasnya. Dalam kajian-kajian geografis dan lingkungan dengan penginderaan jauh dan SIG, Skidmore (2002) merinci model spasial berdasarkan dua hal utama, yaitu landasan logika dan metode pemrosesan. Landasan logika dapat dibagi menjadi dua, yaitu logika deduktif dan logika induktif; sementara metode pemrosesan dapat dirinci menjadi deterministik dan stokhastik. Oleh Skidmore, metode pemrosesan yang bersifat deterministik masih dirinci menjadi tiga, yaitu deterministikempiris,
deterministik yang dikendalikan oleh pengetahuan (knowledge-driven), dan
deterministik yang dikendalikan oleh proses (process-driven). Dengan demikian, kombinasi
12
antara dua macam landasan logika dan empat macam metode pemrosesan memberikan delapan jenis pemodelan spasial, yang dapat dilakukan dengan penginderaan jauh dan SIG (Tabel 3). Tabel 3. 3 Taksonomi pemodelan lingkungan berbasis penginderaan jauh dan SIG, yang merupakan modifikasi atas Skidmore (2002) dan Jensen (2005)
Model Logika Induktif Model statistik, misalnya regresi seperti USLE
Model berdasarkan Metode Pemros Pemrosesan esan
Empiris
Deduktif Interpretasi visual karakteristik batuan, tanah dan hidrologis melalui kenampakan morfologis pada citra
Pemetaan biomassa dengan NDVI Modifikasi model induktif, misalnya R-USLE Klasifikasi terselia dengan algoritma maximum likelihood Klasifikasi terselia (inversi model) Linear spectral unmixing untuk ’memecah’ informasi pada citra resolusi relatif rendah
Deterministik
Bayesian expert system Pengetahuan (knowledge) Proses
Sistem pakar dengan basis pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman
Klasifikasi dengan metode fuzzy Modifikasi koefisien pada model untuk kondisi lokal dengan memanfatkan data lapangan atau data laboratorium
Model hidrologi, misalnya estimasi koefisien aliran permukaan dan debit puncak, integrasi dengan SIG berbasis raster Koreksi radiometrik citra dengan radiative transfer model
Stokhastik
Klasifikasi dengan jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network)
Simulasi Monte Carlo
Melanjutkan gagasan Skidmore (2002), Jensen (2005) memberikan penjelasan tentang masing-masing model. Model deterministik menggunakan masukan yang bersifat spesifik, sementara keluarannya pasti (fixed). Sebaliknya, model stokhastik justru memanfaatkan masukan yang beragam secara acak, dan keluarannya sangat bervariasi. Dari sisi basis logikanya, model induktif sangat dominan dalam penanganan data spasial, baik dengan penginderaan jauh maupun SIG. Langkahnya meliputi pendefinisian hipotesis, pengumpulan data dari serangkaian fakta, analisis statistik untuk menerima atau menolak hipotesis, dan kemudian menyatakan probabilitas kesimpulan. Di sisi lain, model deduktif mengembangkan suatu kesimpulan spesifik dari satu himpunan proposisi. Langkah-langkahnya meliputi penarikan informasi dari kebenaran umum (berupa premis-premis) ke arah kesimpulan, di mana penerimaan atas premis berarti juga penerimaan kebenaran atas kesimpulan yang terbentuk.
13
Pemahaman tentang landasan model logika relatif mudah dimengerti. Untuk metode pemrosesan, diperlukan pemahaman yang lebih jauh karena hal ini jarang dibahas secara lebih rinci. Jensen (2005) melanjutkan, metode pemrosesan secara deterministik-empiris dapat dilakukan secara induktif maupun deduktif. Model ini seringkali dikembangkan dari data empiris hasil pengukuran, meskipun aturan mainnya sering dikemas dalam suatu sistem pakar (expert system). Karena berbasis data empiris, model semacam ini kadangkala sulit untuk diperluas ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Untuk model dengan logika induktif, saya dapat memberikan contoh tentang hubungan antara respons spektral air dan kandungan material tersuspensinya dengan nilai pantulan pada citra Ikonos saluran biru, hijau, merah dan inframerah dekat di Teluk Jakarta pada tahun 2005, yang tidak begitu saja dapat diberlakukan untuk kondisi tahun 2010 dan atau di Teluk Bone. Contoh lain adalah penggunaan training area dalam klasifikasi terselia dan model-model geostatistik. Model deterministik yang dikendalikan pengetahuan (knowledge-driven deterministic model) memanfaatkan aturan berisi definisi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Apabila model ini dilandasi oleh logika induktif, maka contohnya adalah penggunaan prior probability untuk membedakan tingkat probabilitas untuk kelas-kelas yang berbeda berdasarkan sampel spektral yang diambil. Contoh lainnya adalah penggunaan basis logika samar (fuzzy logic) (Tso dan Mather, 2008) dalam memberikan derajat keanggotaan (membership grades) yang berbeda-beda pada setiap sampel, sesuai dengan posisinya dalam ruang spektral. Kedua contoh ini memberikan gambaran tentang pemasukan pengetahuan analis (berdasarkan pengalaman) dalam mempengaruhi proses statistik pengolahan citra oleh komputer. Apabila basis logika deduktif yang digunakan, maka contohnya adalah sistem pakar berbasis pengetahuan (knowledge-based expert system).
Danoedoro (1993, 2006)
menggunakan hubungan antara karakteristik lahan dengan pola rotasi tanam yang dijumpai di lapangan sebagai dasar penyusunan aturan berbasis komputer, untuk mentransformasi peta penutup lahan hasil klasifikasi multispektral menjadi peta rotasi tanaman di lingkungan SIG berbasis raster. Model deterministik yang dikendalikan oleh proses (process-driven deterministic model) biasanya menggunakan matematika untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu proses. Sebagian besar model ini dikembangkan secara deduktif, dan berlaku untuk wilayah yang relatif sempit serta tidak begitu kompleks. Di samping itu, model ini dapat diwujudkan dalam bentuk lumped model (utuh dan hanya melihat hasil akhirnya sebagai satu nilai), ataupun terdistribusi (distributed model). Contoh basis logika 14
deduktif untuk model ini adalah model-model koreksi atmosfer dalam kalibrasi nilai piksel citra, di mana nilai spektral yang diterima oleh sensor (dan dicatat sebagai nilai piksel) dilacak kembali sampai ke nilai radiansi spektral (dalam mWatt cm-2 sr-1 µm-1) pada permukaan obyek, dengan mempertimbangkan irradiansi spektral matahari, hamburan oleh partikel atmosfer, dan kontribusi obyek-obyek lain yang ada di sekitarnya (Tso dan Mather, 2008). Contoh untuk model induktif adalah modifikasi koefisien pada model-model yang sudah dikembangkan dengan mengganti nilai koefisien berdasarkan observasi lapangan atau analisis laboratorium. Dalam penginderaan jauh, contoh untuk model stokhastik berbasis logika induktif adalah klasifikasi dengan jaringan syaraf tiruan (artificial neural network, ANN). Pada ANN, piksel-piksel ‘dilatih’ melalui proses induksi dan bobot untuk setiap variabel (bisa citra spektral, bisa pula data bukan spektral) diberi bobot secara acak untuk mengawali proses parambatan balik (back propagation). Di samping taksonomi model yang dideskripsikan oleh Skidmore (2002), Jensen (2005) menjelaskan adanya basis ‘logika teknologi’ (technological logic) dalam pemodelan. Model ini tidak secara eksplisit menjadikan logika induktif atau deduktif sebagai basisnya. Para peneliti yang menggunakan basis logika teknologi ini lebih tertarik pada esktraksi informasi baru dengan metode dan teknologi yang memadai, dan kadang-kadang juga mampu menurunkan pengetahuan baru. Lingkup kajiannya biasanya di wilayah penginderaan jauh terapan. Hadirin yang terhormat, Implementasi pemodelan berbasis citra penginderaan jauh seperti yang taksonominya dijelaskan oleh Skidmore (2002) sebenarnya terkait erat dengan SIG. Pada kebanyakan aplikasi, penginderaan jauh dikombinasikan atau bahkan diintegrasikan dengan SIG. Karena SIG mampu memproses data spasial dari berbagai sumber yang berbeda, dan setiap data spasial masukan juga kemungkinan diturunkan dari sumber data dengan metode dan payung paradigma yang berbeda, maka batas-batas perbedaan paradigma seperti yang telah diuraikan sebelumnya pun menjadi kabur. Sebagai contoh, pemodelan kehilangan tanah dengan USLE (model deterministikempiris-induktif) menggunakan masukan data erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, serta penutup lahan dan praktek konservasi. Kebanyakan peneliti menggunakan satuan pemetaan tanah (menurut paradigma morfologi bentanglahan) untuk 15
memetakan tingkat erodibilitasnya; sementara peta penutup lahan diturunkan melalui metode klasifikasi multispektral yang berkembang di bawah paradigma spektral. Danoedoro et al. (2008) memadukan peta penutup lahan hasil segmentasi berbasis obyek (mengikuti paradigma morfo-spasial kuantitatif) dengan hasil klasifikasi multispektral menurut paradigma spektral. Pada contoh pertama,
terdapat inkonsistensi kerincian informasi spasial sebagai
konsekuensi penggabungan landasan paradigma yang berbeda.
Paradigma morfologi
bentanglahan menggunakan batas kemampuan mata dan tangan
manusia dalam
mendefinisikan satuan spasial (spatial unit) –dalam hal ini satuan pemetaan erodibilitas; sedangkan paradigma spektral menggunakan piksel untuk mendefinisikan satuan spasialnya. Pemodelan semacam ini dapat memberikan hasil yang kadangkala di luar perkiraan analis. Sama halnya ketika satuan-satuan bentuklahan hasil interpretasi visual dipadukan dengan peta lereng yang diturunkan secara otomatis dari model elevasi digital, maka bisa saja dijumpai hasil berupa dataran aluvial dengan kemiringan lereng > 25%. Dengan kata lain, landasan paradigma yang berbeda untuk menghasilkan dua macam informasi yang ketika dipadukan akan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Dalam hal ini masalah bisa dihindari kalau dua macam data masukan diproses dengan metode yang menganut paradigma yang berbeda namun menggunakan basis satuan spasial yang sama, yaitu piksel. Misalnya, peta erodibilitas tanah diturunkan dengan pendekatan geostatistik, yang pada dasarnya berkembang di bawah paradigma morfo-spasial kuantitatif; sementara peta penutup lahan tetap diturunkan dari klasifikasi multispektral. Pada contoh berikutnya, dua paradigma yang berbeda digunakan untuk saling memperkuat. Pendefinisian ‘obyek’ melalui paradigma morfo-spasial kuantitatif tidak selalu mampu memperhatikan detil isi pada tingkat piksel, sementara analisis multispektral berdasarkan paradigma spektral hanya mampu memberikan informasi pada tingkat piksel secara individual. Kombinasi keduanya mampu memberikan definisi spasial yang lebih baik tentang penggunaan lahan, dengan memperhatikan rincian spektral pikselnya dan sekaligus morfologi kelompok pikselnya. Hadirin yang saya muliakan, Dengan memperhatikan uraian dan contoh-contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa perkembangan penginderaan jauh sebagai ilmu atau setidaknya sebagai sub-disiplin dalam geografi telah cukup lanjut. Perkembangan ini antara lain bisa ditinjau melalui kacamata
16
paradigmatik, atau menurut Widberg (1978, dalam Holt Jensen, 1999) bersifat dialektismaterialistik. Paradigma telah menurunkan berbagai teori dan model.
Model-model dalam
penginderaan jauh, termasuk yang diintegrasikan dengan SIG, berakar pada paradigma yang berbeda-beda. Lepas dari perbedaan itu, kita telah melihat bahwa penginderaan jauh mampu memberikan kontribusi penting dalam geografi. Ada dua kontribusi utama yang bisa saya sebut di sini. Pertama, kontribusi berupa metode dan teknik untuk meningkatkan aktualitas geografi dalam menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata. Geografiwan Brian Berry (1965, dalam Longley et al., 2005) pernah membayangkan suatu sistem yang mampu memilah informasi keruangan dalam berbagai lapisan yang berbeda, yang dapat diambil secara selektif dan sekaligus dipadukan untuk kebutuhan tertentu; namun dia tidak pernah dapat membayangkan bahwa penginderaan jauh dan SIG dapat memenuhi impian tersebut, meskipun dengan bantuan inisiasi gagasan teknis dari seorang arsitek lanskap bernama Ian McHarg pada tahun 1967, yang menemukan metode tumpangsusun peta dan menuliskannya di buku Design with Nature (Longley et al., 2005). Data penginderaan jauh dapat dihasilkan pada berbagai skala (resolusi spasial) yang berbeda-beda pada waktu yang sama dan juga yang berbeda-beda, untuk menganalisis fenomena geografis yang sama melalui pendekatan multi-tingkat dan multi-waktu, termasuk yang hampir real time. Kedua, kontribusi teoretik yang mampu meningkatkan peran geografi serta ‘memperbaiki’ status keilmuan geografi. Salah satunya adalah pengembangan gagasan teori tentang modifiable areal unit problem (MAUP) oleh geografiwan Stan Openshaw (Openshaw dan Taylor, 1979) dari Inggris. Gagasan tentang MAUP ini menunjukkan adanya perubahan kesimpulan yang dapat ditarik dari suatu kajian geografis, apabila skala observasi dan zonasinya diubah (disebut sebagai scale and zoning effects) (Montello dan Sutton, 2006). Citra penginderaan jauh digital sangat efektif dalam pemodelan efek skala melalui upscaling dan downscaling, sementara cara pendefinisian satuan pemetaan melalui interpretasi fotografik akan berpengaruh secara signifikan terhadap pengambilan kesimpulan. Masalah ini tidak pernah dibahas sebelumnya di kalangan praktisi dan ilmuwan dengan latar belakang bukan geografi. Hadirin yang terhormat, Akhirnya sampailah pembahasan saya pada bagian akhir dari pidato ini. Uraian sebelumnya telah membawa perbincangan ini ke pemahaman bahwa pemodelan dengan
17
penginderaan jauh juga berarti menggunakan citra penginderaan jauh dan sekaligus cara pemodelannya.
Merujuk pada pendapat Meijerink (1996) dan Forster (1997), aspek
terpenting dalam penelitian dengan pemodelan berbasis citra penginderaan jauh adalah tentang cara memodelkannya. Model tersebut dipandang cukup maju apabila relevan dengan perkembangan terkini penginderaan jauh. Artinya, melibatkan satu variabel dari penginderaan jauh dalam suatu pemodelan lingkungan yang bersifat multi-variabel akan sangat bermakna dari sisi keilmuan penginderaan jauh, apabila pemodelan citra penginderaan jauh dilakukan dengan cara yang tidak atau jarang dilakukan sebelumnya. Terlebih lagi, apabila analisis data penginderaan jauh itu mampu memberikan kontribusi signifikan tentang bagaimana model itu secara akurat mewakili masalah dan fenomena yang dikaji. Hal yang sama diungkapkan oleh Phinn (2002). Sebaliknya, ukuran jumlah variabel yang diturunkan dari data penginderaan jauh menjadi kurang bermakna secara teoretis bagi perkembangan ilmu penginderaan jauh, apabila metode dan model yang digunakan itu telah bersifat mapan, banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dan mudah diprediksi akurasi hasilnya. Perdebatan yang muncul selama ini tentang berapa jumlah variabel yang harus diekstrak dari penginderaan jauh dapat dipahami, karena banyak peneliti di Indonesia lebih terfokus pada aspek aplikasi, dan bukan pada pemodelannya sendiri.
Isyu ini dengan
sendirinya akan beralih ketika peneliti menitikberatkan penelitiannya pada pengembangan model tentang cara ekstraksi informasi dari citra. Isyu terkait dengan aplikasi cenderung menggeser fokus kajian ke SIG dan bukan lagi murni penginderaan jauh. Ketika fokus kajian bergeser ke SIG, maka berapa banyak variabel yang harus diekstrak dari penginderaan jauh menjadi kurang relevan. memberikan
penjelasan
Dengan demikian, para peneliti sebaiknya secara eksplisit tentang
posisi
penelitian
yang
mereka
lakukan,
apakah
pengembangan penginderaan jauh atau justru aplikasi penginderaan jauh yang terintegrasi dengan SIG. Perdebatan tentang suatu penelitian bersifat penginderaan jauh atau sekadar memanfaatkan data penginderaan jauh juga sebaiknya dilihat melalui kacamata perumusan masalah dan pertanyaan penelitiannya. Penelitian penginderaan jauh memfokuskan masalah penelitiannya pada dua hal, yaitu pada sistem dan cara pemodelannya, serta pada bidang aplikasinya. Sementara itu, penelitian yang hanya memanfaatkan data penginderaan jauh hanya berfokus pada aplikasinya. Sebagai penutup, atas terlaksananya acara pidato ini, saya ucapkan terima kasih kepada Senat, Dekan, dan para Wakil Dekan Fakultas Geografi UGM, yang telah menyelenggarakan acara ini. Saya juga sangat berterimakasih kepada pihak-pihak berikut
18
ini: Prof. Dr. Sutanto, guru saya yang telah menarik minat saya untuk belajar penginderaan jauh pada kuliah perdananya hampir 27 tahun yang lalu; Guru-guru saya yang lain, terutama Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S. (yang juga telah mengkoreksi isi naskah ini), Prof. Dr. Dulbahri, Prof. Dr. Hartono, DEA, DESS, Dr. Prapto Suharsono, M.Sc., Drs. Goenadi (almarhum), Drs. Zuharnen, M..S serta Drs. R. Suharyadi, M.Sc. yang telah mendidik saya menjadi sarjana geografi dengan bidang keahlian utama penginderaan jauh. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh dan PUSPICS yang telah bersama-sama membangun suasana akademik yang kondusif bagi berkembangnya ilmu penginderaan jauh. Saya merasa perlu untuk berterima-kasih kepada beberapa dosen lain yang sering berdiskusi tentang pemikiran geografi, misalnya Prof. Dr. Rijanta, MSc., Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., dan Drs. Sukamdi, M.Sc; serta Drs. Tukiran, M.A. yang telah memberikan koreksi atas naskah ini. Terima kasih juga kepada Wirastuti Widyatmanti, SSi di UNSW yang telah membantu menyediakan akses internet bagi ribuan artikel dalam jurnal-jurnal internasional di bidang penginderaan jauh dan SIG secara online, untuk saya pilah dan hitung persentasenya. Terima kasih kepada para mahasiswa/alumni S1, S2 dan S3 yang saya bimbing ataupun saya uji, karena sebenarnya saya juga belajar dari mereka. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada keluarga, terutama almarhum ayah dan ibu yang telah mendidik saya mencintai geografi sejak masa kanak-kanak; istri saya Esti Chrismawaty dan anak-anak: Dida, Aga dan Angga yang telah rela saya kesampingkan berkali-kali dalam aktivitas akademik saya. Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Buah pemikiran ini tentu saja masih memuat banyak kekurangan. Kritik dan saran atas pemikiran yang berrsifat membangun sangat saya harapkan. Namun demikian, saya masih berharap bahwa apa yang telah saya tulis ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat geografi dan penginderaan jauh, baik di Indonesia maupun dalam lingkup yang lebih luas. Semoga Tuhan Yang Maha Esa tetap memberkati kita semua. Amin. Terima kasih.
19
DAFTAR PUSTAKA Adams, J. B., dan Gillespie., A.R. (2006). Remote Sensing of Landscape with Spectral Images: A Spectral Modeling Approach. Cambridge: Cambridge University Press Baatz, M., and Schape, A. (2000). Multiresolution Segmentation: An Optimization Approach for High Quality Multiscale Image Segmentation. In. Strobl, J., Blaschke, T., and Griesebner, G. (Ed.), Angewandte Geographische Informations-verarbeitung XII (pp. 12-23). Heidelberg: Wichmann-Verlag. Bock, M., Xofis, P., Mitchley, J., Rossner, G., Wissen, M. (2004). Object-oriented Methods for Habitat Mapping at Multiple Scales – Case Studies from Northern Germany and Wye Downs, UK. Journal for Nature Conservation (13), 75—89. Couclelis, H. (2002). Modeling Framework, Paradigms and Approaches. In: Clarke, K.C., Parks, B.O., and Crane, M.P. (eds) Geographic Information Systems and Environmental Modeling, UpperSaddle River, NJ: Prentice Hall. Dahlberg, R.W., dan Jensen, J.R. (1986). Education dor Cartography and Remote Sensing in the Service of an Information Society: The United States Case. The American Cartographer, 13 (1): 51-71 Danoedoro, P. (1993). The Use of Knowledge-based Approaches in the Integration of Remote Sensing and GIS in Land-use Mapping. A Case Study of the Bufer Zone of Biosphere Reserve, West Java, Indonesia, MSc Thesis, Intenational Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences, Enschede Danoedoro, P. (2006). Versatile Land-use Information for Local Planning in Indonesia: Contents, Extraction Methods, and Integration based on Moderate- and High-spatial Resolution Imagery, PhD Thesis, The University of Queensland, Brisbane. Danoedoro, P., Sammut, J., Farda, N. M., dan Widyatmanti, W. (2008). Combining Image Segmentation and Multispectral Classification for Generating Land-use Information: A Case Study of Maros Area, South Sulawesi, Indonesia. Paper presented at the Joint 4th EARSEL Special Interest Group on Developing Countries and 8th GISDECO Conference: Integrating GIS and Remote Sensing in a Dynamic World, 4-7 June 2008, Istanbul, Turkey. Forster, B. (1997). Komunikasi pribadi. Gao, J. (2009). Digital Analysis of Remotely Sensed Imagery. New York: McGraw Hill. Gergel, S. E., and Turner, M.G. (Eds.) (2002). Learning Landscape Ecology -- A Practical Guide to Concepts and Techniques, Springer, New York. Hagget, P. (1983). Geography – A Modern Synthesis. 2nd Edition. New York: Harper and Row Harrison, S. (2006). What Kind of Science is Physical Geography? In: Castree, N., Rogers, A., and Sherman, D. (eds). Questioning Geography, Oxford: Blackwell Publishing Hendriksen, G. (1973). Grunnnlagsproblemer of interaksjon-en Metageografisk hovedfagsoppgave i geografi, Geografisk Institutt, Universitetet i Bergen Holt-Jensen, A. (1999). Publications
Geography – History and Concept, Third Edition,
analyse,
London: Sage
Isoguchi, O., Shimada, M., Rakwatin, P. dan Uryu, Y. (2009). A Preliminary Study on Deforestation Monitoring in Sumatra Island by using PALSAR. Jakarta: K & C Initiative. An International Science Colaboration led by JAXA. 20
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chpman, J. (2008). Remote Sensing and Image Interpretation, 6th edition. New York: John Wiley and Sons Liu, J. G., dan Mason, P. J. (2009). Essential Image Processing and GIS for Remote Sensing. Oxford: Wiley-Blackwell Jensen, J. R. (2005). Introductory Digital Image Processing – A Remote Sensing Perspective, 3rd edition, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Jensen, J. R. (2007). Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. 2nd Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Johnston, R.J. (2006). Geography – Coming Apart at the Seams? In: Castree, N., Rogers, A., and Sherman, D. (eds). Questioning Geography. Oxford: Blackwell Publishing Kuhn, T.S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press. Longley, P. A., Goodchild, M.F., Maguire, D.J., and Rhind, D.W. (2005). Geographic Information Systems and Science, 2nd edition. New York: Wiley. Meijerink, A.M.J. (1996). Komunikasi pribadi. Montello, D.R., and Sutton, P.C. (2006). An Introduction to Scientific Research Methods in Geography, London: Sage Publications Navulur, K. (2007). Multispectral Image Analysis using the Object-oriented Paradigm. New York: CRC Press O'Neill, R., and Smith, M.A. (2002). Scale and Hierarchy Theory, in Learning Landscape Ecology -A Practical Guide to Concepts and Techniques, edited by S. E. Gergel, and Turner, M.G., pp. 3-8, Springer, New York. Openshaw, S. dan Taylor, P.J. (1979). A Million or So Correlation Coefficients: Three Experiments on the Modifiable Areal Unit Problem. In Wrigley, N. (ed), Statistical Applications in the Spatial Sciences. London: Pion Phinn, S. R. (2002). Komunikasi pribadi. Ranasinghe, A.K.R.N., (2006). Multi-scale Texture and Color Segmentation of Oblique Airborne Video Data. Masters thesis. Enschede: International Institute for Applied Geoinformation and Earth Application, 120 pp Rhoads, B. Process/Form. In: Castree, N., Rogers, A., and Sherman, D. (eds). Questioning Geography. Oxford: Blackwell Publishing Skidmore, A. K. (2002). Environmental Modelling with Remote Sensing and GIS. London: Taylor and Francis. Sutanto (2006). Penginderaan Jauh Jilid 1 dan 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Tso, B. and Mather, P. M. (2008). Classification Methods for Remotely Sensed Data. 2nd edition. Boca Raton: CRC Press. Zen, M.T. (1979). Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Gramedia
21